IEEE Paper Template in A4 (V1)

advertisement
TAMADDUN
||Volume||1||Nomor||1||Hal|| 33 – 48 ||2016||
|ISSN (online): 2528-2565|
Available online at:http://ejournal.kopertais4.or.id/index.php/tamaddun
PENYALAHGUNAAN NARKOBA DALAM MASYARAKAT:
SEBUAH ANALISIS TEORI STRUKTURAL FUNGSIONALISME
Muhammad Solikhudin
[email protected]
Institut Agama Islam (IAI) Uluwiyah Mojokerto, Indonesia
Jalan Raya Mojosari Mojokerto KM.4 No.10 Mojokerto
Catatan Artikel:
dikirim: 3 September 2016
Diterima: 4 Oktober 2016
Korespondesi Penulis:
Ponsel: +6285852082078
Abstrak
Penyalahgunaan narkoba yang terjadi saat ini telah
meresahkan segenap warga Indonesia, khususnya Sidoarjo.
Pada setiap tahun kasus ini selalu terjadi, bahkan korbannya
adalah pemuda Indonesia. Dengan melihat realitas kehidupan
bangsa saat ini, mengharuskan kita untuk terus merenung dan
melakukan kebaruan (novelty) sehingga terwujud tatanan
masyarakat yang lebih baik dalam sendi-sendi kehidupan
publik. Pelbagai problem yang muncul, semisal kasus narkoba
yang saya sebutkan di atas merupakan secuil contoh yang
harus dicarikan solusinya. Di sinilah peran semua warga
negara dibutuhkan untuk mengupayakan kebajikan dan
kebijaksanaan dalam rangka memutus mata-rantai kejahatan
yang
telah
berkelindan.
Wajah
Indonesia
yang
membahagiakan tercederai, karena perbuatan pemuda yang
mengabaikan agama sebagai pedoman kehidupan. Slogan anti
narkoba sejatinya belum cukup, perlu adanya dialog antar
manusia yang berkelanjutan. Tulisan ini mencoba mengurai
kajian penyalahgunaan narkoba di Sidoarjo dengan sudut
pandang teori Struktural Fungsionalisme. Dalam tulisan ini
penulis juga merelevansikan kajian ini dengan pendekatan
teori tindakan komunikatif Habermas, Istiṣlāh al-Ghazali,
dan Maqāsid shari’ah al-Shatibi.
Kata Kunci: Narkoba, Structural Functionalism, Sidoarjo
Muhammad Solikhudin
Tamaddun Volume 1, Nomor 1, September, 2016
P a g e | 34
Abstract
Abuse of drug at the time, has been troubling all Indonesian
citizens, Sidoarjo particularly. In every year this case always
happens, even the victims are young people of Indonesia. By
looking the reality of the life of the nation today, it requires us
to reflect constantly and do a novelty until realized order of
society better in the joints of public life. Various of problems
that arise, as drug cases that I mentioned above is a piece of
an example that must be looked for a solution. Here, the role
of all citizens required to seek goodness and wisdom in order
to break the chain of crimes that have been intertwined. Face
of Indonesia happy marred, because performance of young
who ignore religion as a guide of life. Slogan without-drug is
not enough actually, we need for dialogue between people
ongoing. This paper attempts to unravel the study of drug
abuse in Sidoarjo with the viewpoint the theory of structural
functionalism. The structural functionalism is one ideology or
perspective in sociology that sees society as a system
composed from parts which interconnected with other parts.
Then, change in one part will cause imbalance in turn would
create social change on the other part. In this paper the writer
also relevant this study with the approach of communicative
action theory of Habermas, Istiṣlāh al-Ghazali, and Maqāsid
shari’ah al-Shatibi.
Keywords: Drug, Structural Functionalism, Sidoarjo
PENDAHULUAN
Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang didasarkan pada sebuah gagasan filosofis:
bahwa pasti ada yang namanya ilmu tentang kehidupan sosial. Di luar gagasan yang
sederhana, muncul banyak sekali perdebatan. Perdebatan tersebut berkisar mulai dari
pertanyaan: apakah memang masuk akal, bahwa ada yang namanya ilmu tentang dunia
sosial, ke pertanyaan: termasuk jenis apakah ilmu tersebut, hingga pertanyaan: seperti
apakah ―dunia sosial‖, ―masyarakat‖ (atau berbagai varian untuk terma ini). Gagasan
1
mengenai ilmu sosial tidak terlahir dari ―ruang hampa‖, namun muncul dalam sebuah
domain yang sudah penuh sesak—dengan bidang-bidang seperti filsafat, agama, etika,
ilmu, hukun, dan beragam disiplin ilmu yang lain, yang melontarkan klaim-klaim untuk
menjelaskan atau mendeskripsikan domain ini secara benar.
Pada pembahasan ini, penulis akan mengkaji secara khusus teori Fungsionalisme
Stuktural sebagai analisis dari permasalahan yang terjadi di Sidoarjo, yakni
penyalahgunaan Narkoba. Secara sederhana Struktural Fungsionalisme adalah salah satu
1
George Ritzer, The Wiley-Blackwell Companion To Sosiologi, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar,
2013), 13.
Muhammad Solikhudin
Tamaddun Volume 1, Nomor 1, September, 2016
P a g e | 35
paham atau perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem
sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling
menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa
perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur
dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional
maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.
2
Tokoh dalam teori Struktural Fungsionalisme di antaranya adalah Roberk K.
Merton dan Talcott Parsons. Selama hidupnya Parsons membuat sejumlah besar karya
teoritis. Di antara karyanya adalah tentang Struktural Fungsionalisme, di mana teori ini
diawali dengan empat fungsi penting untuk semua sistem ―tindakan‖, terkenal dengan
AGIL. Adaptasi (adaptation), pencapaian tujuan (goal attainment), integrasi (integration),
latensi atau pemeliharaan pola (latency). 3 Sedangkan Merton berupaya mengembangkan
analisisnya tentang teori Struktural Fungsionalisme dengan beberapa pokok pikiran baru
yakni mengenai disfungsi, fungsi yang tampak (manifest function), dan fungsi yang tak
tampak (latent
function). Menurut Merton, fungsi-fungsi
didefinisikan sebagai
―konsekuensi-konsekuensi yang diamati yang dibuat untuk adaptasi atau penyesuaian suatu
sistem tertentu‖.
Akan tetapi ada suatu bias (simpangan) ideologis yang jelas ketika orang hanya
berfokus pada adaptasi atau penyesuaian, karena mereka selalu merupakan konsekuensikonsekuensi positif. Perlu dicatat bahwa fakta sosial yang satu dapat mempunyai
konsekuensi-konsekuensi negatif untuk fakta sosial yang lainnya.
Hubungan teori Struktural Fungsionalisme terhadap fenomena penyalahgunaan
Narkoba pada masyarakat di Sidoarjo adalah, di mana Narkoba (Narkotika, Psikotropika,
dan Bahan Adiktif) itu sendiri bagi sebagian masyarakat Sidoarjo memiliki fungsi untuk
menenangkan pikiran atau membuat manusia bahagia, sehingga tubuh seolah terbang
melayang, namun pada kenyataannya Narkoba dapat menimbulkan disfungsi bagi tubuh
manusia seperti kehilangan akal sehat dan dapat merusak organ tubuh. Oleh karena itu
dalam tulisan ini penulis akan mengurai analisis teori struktul fungsional terhadap
penyalahgunaan Narkoba pada masyarakat Sidoarjo dengan menggunakan
penelitian
kepustakaan dan diperkuat dengan penelitian lapangan dengan mewawancarai penyuluh
Badan Narkotika Nasional wilayah Sidoarjo yang memiliki jargon ― Menuju Sidoarjo
Bersih Narkoba‖. Tidak hanya itu, penulis juga merelevansikan kajian ini dengan
2
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2009), 21.
3
Georgio Ritzer-Dougls J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenad Media, 2005), 121.
Muhammad Solikhudin
Tamaddun Volume 1, Nomor 1, September, 2016
P a g e | 36
pendekatan teori tindakan komunikatif
Habermas, Istiṣlāh al-Ghazali, dan Maqāsid
shari’ah al-Shatibi.
PEMBAHASAN
Pengertian Struktural Fungsionalisme
Abad 20 ditandai dengan munculnya banyak teori sosial dan beberapa di antaranya
merupakan tradisi pemikiran berbasis negara. Sejak dekade 1930-an hingga 1960-an,
Amerika Serikat merupakan pusat pertumbuhan dan runtuhnya teori struktural fungsional
(yang berakar pada karya Durkheim selain dari beberapa antropolog). Seiring dengan
berkembangnya nilai-nilai politik liberal dan kepercayaan dalam hal harmoni sosila yang
ditawarkan oleh sistem negara kesejahteraan (welfare state), khususnya setelah PD II, teori
stuktural fungsional menawarkan sintesis sistem pemikiran sosial secara komperhensif.
Namun demikian, salah satu kelemahan teori ini adalah ketidakmampuannya dalam
menawarkan penjelasan yang meyakinkan tentang konflik sosial dan ketimpangan
distribusi pendapatan, sebaik penjelasan mengenai perubahan sosial. Teori ini mengalami
kemunduran mulai akhir dekade 1960.4
Struktural Fungsionalisme adalah salah satu paham atau perspektif di dalam
sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian
yang saling berhubungan dengan bagian yang lain. Kemudian, perubahan yang terjadi pada
salah satu bagian akan menyebabkan ketidak-seimbangan pada gilirannya akan
menciptakan perubahan sosial pada bagian lain. Perkembagan fungsionalisme yang didapat
dalam biologi. Asumsi dasar teori ini ialah bahwa semua elemen atau unsur kehidupan
masyarakat harus berfungsi atau fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa
menjalankan fungsinya dengan baik.5
Guna memahami teori ini dengan secara lebih baik, kita bisa menganalisa bisnis
penerbangan yang ada di bandara udara. Berdasarkan struktur, bisnis penerbangan itu
sendiri dari pelbagai unsur, elemen, atau komponen, seperti pesawat, pilot, pramugari,
penjual tiket, ahli mesin, penumpang, petugas menara, karyawan restoran, dan sebagainya.
Menurut teori fungsionalisem structural, bisnis penerbangan itu akan berjalan lancar kalau
masing-masing komponen terebut di atas menjalankan fungsinya dengan baik. Kemacetan
4
Sindung Haryanto, Spektrum Teori Sosial: Dari Klasik Hingga Modern, (Yogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), 11
5
Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Pustaka Prestasi Publisher, 2007), 48.
Muhammad Solikhudin
Tamaddun Volume 1, Nomor 1, September, 2016
P a g e | 37
atau perubahan pada satu bagian akan menimbulkan kemacetan atau perubahan pada
bagian yang lain sehingga menciptakan ketidak-seimbangan atau kemacetan.6
Penganut teori Struktural Fungsionalisme cenderung untuk melihat hanya kepada
sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem yang lain dan karena itu
mengabaikan menentang fungsi-fungsi lainnya dalam suatu sistem sosial. Secara ekstrim
penganut teori beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional
bagi suatu masyarakat. Dengan demikian pada tingkat tertentu umpamanya peperangan,
ketidaksamaan sosial, perbedaan ras, bahkan kemiskinan ―diperlukan‖ oleh suatu
masyarakat. Kalau terjadi konflik, penganut teori Struktural Fungsionalisme memusatkan
perhatiannya kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga masyarakat
tetap dalam keseimbangan. Begitu pula penyalahgunaan narkoba masuk dalam hal yang
―diperlukan‖ oleh suatu masyarakat. Ketika melihat fenomena tersebut pihak BNN
melakukan aksinya untuk melakukan kontrol sedini mungkin dan merehab mereka yang
menjadi korban, serta menindak tegas pelaku pengedar dan Bandar narkoba. Di sini
lembaga BNN berfungsi sebagai pengayom masyarakat dan masyarakat merasa terayomi.
Teori Struktural Fungsionalisme dari Tokoh Robert K. Merton
Model analisa fungsional Merton merupakan hasil perkembangan pengentahuannya
yang menyeluruh tentang ahli-ahli teori klasik. Dia menggunakan penulis-penulis besar
seperti Max Weber, William I. Thomas, dan E. Durkheim sebagai dasar bagi karyanya. Di
permukaan mungkin terlihat bahwa Merton sendiri tidak memiliki suatu teori yang bulat,
mengingat ia hanya menulis esei-esei yang mencoba menyempurnakan berbagai aspek
tulisan-tulisan klasik. Akan tetapi di dalam keseluruhan tulisan-tulisannya kita menemukan
suatu tema yang menonjol yaitu. ―arti pentingnya memusatkan perhatian pada struktur
sosial dalam analisa sosiologis.‖7
Karya awal Merton sangat dipengaruhi oleh Weber, seperti yang terlihat dalam
disertasi doktoralnya yang menganalisa perkembangan ilmu pada abad ke-17 di Inggris. Di
sini Merton meneliti hubungan antara Protestanisme dan Perkembangan ilmu, yang dalam
banyak hal sama dengan karya klasik Weber ketika ia menunjukkan korelasi antara Etika
Pretestan dan perkembangan Kapitalisme. Di dalam menganalisa berbagai tulisan dari
―British Royal Society‖ Merton menunjukkan bahwa ―beberapa elemen etika protestan
6
Ibid,.
Tim Penerjemah Yasogama, Sosiologi Kontemporer Margaret M. Poloma, (Jakarta:
RajaGrasindo Persada, 2004), 30-31.
7
Muhammad Solikhudin
Tamaddun Volume 1, Nomor 1, September, 2016
P a g e | 38
terkandung di dalam dunia kegiatan keilmuan dan sagat membekas pada sikap-sikap para
ilmuwan terhadap pekerjaan mereka.8
Robert K. Merton seorang pentolan teori ini berpendapat bahwa obyek analisa
sosiologi adalah fakta sosial, seperti: peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial,
organisasi kelompok, organisasi kelompok, pengendalian sosial, dan sebagainya. Hampir
semua penganut teori ini berkecenderungan untuk memusatkan perhatiannya kepada fungsi
dari satu fakta sosial terhadap fakta sosial yang lain. Hanya saja menurut Merton pula,
sering terjadi percampuradukan antara motif-motif subyektif dengan pengertian fungsi.
Padahal perhatian fungsionalisme structural harus lebih banyak ditujukan kepada fungsifungsi dibandingkan dengan motif-motif. Fungsi adalah akibat-akibat yang dapat diamati
yang menuju adaptasi atau penyesuaian dalam suatu sistem. Oleh karena fungsi itu bersifat
netral secara ideologis maka Merton mengajukan pula satu konsep yang disebut: dis-fungsi.
Sebagaimana struktur sosial atau pranata sosial dapat menyumbang terhadap pemeliharaan
fakta-fakta sosial lainnya, sebaliknya, ia juga dapat menimbulkan akibat-akibat yang
bersifat negatif. Contohnya perbudakan dalam sistem sosial 9 Amerika Serikat lama,
khususnya di bagian selatan. Perbudakan tersebut jenis fungsional bagi masyarakat
Amerika kulit putih. Karena sistem tersebut dapat menyediakan tenaga buruh yang murah,
memajukan ekonomi pertanian kapas serta menjadi sumber bagi status sosial terhadap kulit
putih. Tetapi sebaliknya, perbudakan mempunyai disfungsi. Sistem perbudakan membuat
orang sangat tergantung kepada sistem ekonomi agraris sehingga tidak siap untuk
memasuki industrialisasi.10
Dari uraian di atas terlihat bahwa suatu pranata atau institusi tertentu dapat
fungsional bagi unit sosial tertentu dan sebaliknya disfungsional bagi unit sosial yang lain.
Dalam contoh di atas, pranata perbudakan itu fungsional bagi unit kulit putih dan
disfungsinal bagi unit sosial negro. Di sini kita sebenarnya telah memasuki suatu konsep
lain dari Merton, yakni mengenai sifat dari fungsi. Merton membedakannya atas fungsi
manifest dan fungsi laten. Fungsi manifest (manifest) adalah fungsi yang diharapkan
(intended). Fungsi manifest dari institusi perbudakan di atas adalah untuk meningkatkan
produktivitas di Amerika Serikat bagian Selatan. Sedangkan fungsi laten adalah sebaliknya,
fungsi yang tidak diharapkan. Sepanjang menyangkut contoh di atas fungsi latennya adalah
8
Ibid, 31.
Kehidupan masyarakat dapat dikatakan sebagai sistem sosial oleh karena di dalam masyarakat
terdapat unsur-unsur sistem sosial. Secara garis besar, unsure-unsur sistem sosial dalam masyarakat
adalah orang-orang yang saling tergantung antara satu sama lainnya dalam suatu keseluruhan. Lihat
Abdulsyani, Sosiologi, Teori, dan Terapan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 129.
10
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2009), 22.
9
Muhammad Solikhudin
Tamaddun Volume 1, Nomor 1, September, 2016
P a g e | 39
menyediakan kelas rendah yang luas yang memungkinkan peningkatan status sosial orang
kulit putih baik yang kaya maupun yang miskin. Fungsi laten ini berhubungan dengan
konsep Merton lainnya yang disebut: un anticipated qonsequences.
Penyalahgunaan Narkoba di Sidoarjo
Masyarakat Indonesia, lebih khusus masyarakat Sidoarjo saat ini dihadapkan pada
problem penyalahgunaan Narkoba. Di sinilah peran semua elemen masyarakat untuk
berupaya menghindari hal tersebut diperlukan. Mereka yang menjadi korban sebaiknya
segera direhabilitasi dan mereka pelaku pengedar Bandar dan Narkoba hendaknya
dihukum dengan hukuman yang sepantasnya. Peran Badan Narkotika Nasional saja tidak
cukup. Namun peran semua elemen masyarakat mulai akar rumput hingga elit dibutuhkan.
Sebagaimana hasil wawancara penulis dengan penyuluh BNN wilayah Siodarjo
dengan mengutip pesan dari pimpinan BNN Sidoarjo, bahwa pada tahun 2015 dapat
disimpulkan pengguna narkoba dari kalangan pelajar / anak muda lebih banyak jika
dibandingkan dengan orang dewasa. Mereka kebanyakan memakai narkoba, semisal ganja,
sabu-sabu, dan lain-lain. Dengan demikian, dari 456 orang target bidikan yang sudah
direhab BNN Sidoarjo, kebanyakan dari mereka adalah pelajar.11
Selanjutnya, untuk wilayah Sidoarjo dalam kasus narkoba, menempati ranking ke-2
setelah Surabaya, jika dilihat dari propinsi Jawa Timur. Alasan yang menyebabkan
Sidoarjo menduduki posisi ke-2, adalah lokasi yang strategis atau dekat dengan Bandara
Juanda, terminal, dan pelabuhan-pelabuhan kecil, sebagai alat tranportasi.
Dalam peristilahan orang-orang yang terlibat narkoba, setidaknya ada empat istilah
yang dibisa dijelaskan di sini:
a. Penyalahguna : orang yang mengerti narkoba dan sengaja memakai narkoba;
b. Korban : orang yang tidak mengerti narkoba dan dipaksa atau ditipu untuk
memakai narkoba;
c. Kurir : orang yang mengantar narkoba, baik mengerti atau tidak;
d. Pengedar : orang bertugas sebagai penyalur narkoba;
e. Bandar : orang yang memiliki dan ingin menjual-belikan narkoba.
Adapun solusi yang ditawarkan BNN adalah upaya pencegahan, pemberantasan,
penyalahgunaan, peredaran gelap narkotika yang disingkat dengan P4GN. Dengan jalur
sosialisai, melakukan test urine di instansi atau lembaga masyarakat, dan merehab mereka
yang menjadi korban narkoba.
11
Syayyid Abdullah, Wawancara, Sidoarjo, 26 September 2016.
Muhammad Solikhudin
Tamaddun Volume 1, Nomor 1, September, 2016
P a g e | 40
Zat yang digolongkan sejenis minuman memabukkan adalah narkoba. Narkoba
adalah kepanjangan dari narkotika, psikotrpika, dan obat yang berbahaya. Zat ini
digolongkan sejenis minuman khamar, termasuk juga zat yang memabukkan dan haram
status hukumnya dikonsumsi oleh manusia. Hal ini, dikemukakan oleh al-Ahmady Abu anNur. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa narkoba melemahkan, membius, dan
merusak akal12 serta anggota tubuh manusia.13
Pengertian pskotropika dalam UU No. 5 Tahun 1997 adalah zat atau obat, baik
alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental
dan perilaku. Adapun psikotropika adalah salah satu obat yang sering disalahgunakan
penggunanya, tanpa pengawasan dan petunjuk medis yang mempunyai keahlian tentang itu.
Obat psikotropika adalah terbuat dari sejenis tumbuhan atau bahan kimia yang dapat
mempengaruhi fungsi akal, yaitu lumpuh dan hilang ingatan, seperti orang mabuk dan
menggelepar.14
Selanjutnya, mengenai obat-obat yang berbahaya atau obat terlarang dikonsumsi
oleh generasi muda saat ini mempunyai berbagai macam jenis, apabila dikelompokkan
mencakup tiga jenis obat-obat terlarang, yaitu (1) jenis pertama: narkoba natural (alami)
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti ganja, opium, koka, alkot, dan lain-lain, (2)
jenis kedua: narkoba semi sintesis, yaitu yang dimodifikasi dari bahan-bahan alami yang
diproses secara kimiawi supaya memberikan pengaruh lebih kuat, seperti morfin, kokain,
dan sebagainya, (3) jenis ketiga, yaitu narkoba sintesis, yaitu pil-pil yang terbuat dari
bahan kimia murni. Pengaruh dan efek yang ditimbulkannnya sama dengan narkotika
natural atau semi sintesis. Hal ini biasa dikemas dalam bentuk kapsul, pil, cairan injeksi,
minuman, serbuk, dan berbagai bentuk lainnya.15
12
Maqāshid al-Shari’ah ialah tujuan diberlakukannya sebuah hukum, dimana dalam hal ini
mencakup lima prinsip dasar universal dari penetapan sebuah hukum, yaitu memeliharanya
tegaknya agama (hifẓ al-din), perlindungan jiwa (hifẓ al-nafs), perlindungan terhadap akal (hifẓ al‘aql), pemeliharaan keturunan (hifẓ al-nasl) dan perlindungan atas harta kekayaan (hifẓ al-māl).
Lihat Ahmad al-Raisuni, Naẓariah al-Maqāṣid ‘inda al-Imām al-Shāṭibi(Beirut: Dar al-Kutub al‗Alamiah li al-Kitab al-Islami,1992), 152. Maqāṣid al-Syari’ah mencakup lima hal:, perlindungan
hak hidup (hifẓ al-nafs), perlindungan hak beragama (hifẓ al-din), pemeliharaan hak berkeluarga
(hifẓ al-nasl) dan perlindungan atas harta kekayaan (hifẓ al-māl) dan perlindungan terhadap hak
profesi (hifẓ al-‘irdl). Lihat Syaiful Arif, Humanisme Gus Dur, (Ar-Ruzz Media: Yogjakarta,
2013), 284. Lihat juga Al-Ghazali,al-Mustaṣfa min Ilmi al-Uṣūl,(Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub alIlmiah,2010), 275. dengan penjelasan tersebut pemeliharaan akal serta tubuh manusia sejatinya
diperintah dalam agama. Oleh karena itu, manusia dilarang merusaknya.
13
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 79.
14
Ibid,.
15
Ibid, 80-81.
Muhammad Solikhudin
Tamaddun Volume 1, Nomor 1, September, 2016
P a g e | 41
Zat dan obat-obatan di atas, penting untuk diketahui oleh masyarakat pada
umumnya, terutama orang tua, agar dapat mengetahui perubahan yang terjadi pada anakanak atau orang di sekitarnya, yaitu mereka yang sudah terperosok ke dalam jurang
penyalahgunaan narkoba, agar mengendalikan atau mencegah sedini mungkin.16
Dalam budaya masyarakat yang bersifat konsumeristis dan serba instan, masyarakat
cenderung mudah memakai obat atau bahan yang dapat mengubah suasana hati mereka.
Narkoba menjadikan suasana hati berubah.ada banyak alasan yang diajukan mengapa
orang memakai narkoba, semua alasan itu dapat dikelompokkan sebagai berikut17:
a. Mencari pengalaman yang menyenangkan
Mereka mencari sensasi. Mereka ingin merasa nyaman dan gembira.
Mereka ingin sesuatu yang baru, yang menggairahkan dan menyerempet
bahaya. Mereka juga didorong oleh rasa ingin tahu. Yang tidak kalah kuatnya
adalah, dorongan untuk menghilangkan perasaan jenuh dan bosan.
b. Mengatasi stress
Narkoba memberi perasaan santai sehingga dapat melupakan masalah
yang dihadapi. Mereka memakai narkoba agar merasa rileks atau tenang dari
situasi yang menegangkan. Narkoba menghindari rasa sedih, tertekan atau
marah. Narkoba juga dijadikan cara untuk meredakan rasa takut dan tidak
percaya diri.
c. Menanggapi masalah sosial
Menggunakan narkoba menjadikan remaja dianggap lebih jantan,
dewasa, atau keren. Mereka ingin diterima dan diakui oleh kelompok
sebayanya. Mereka ingin meniru apa yang dilakukan idola mereka. Media
massa juga sering menggambarkan kebutuhan untuk merasa ‗high‘sebagai
bagian dari gaya hidup dengan merokok, minum alkohol, dan memakai
narkoba.
Analisis Teori Fungsinalisme Struktural terhadap Penyalahgunaan Narkoba di
Sidoarjo
Sub pembahasan ini adalah bagian paling penting pada tulisan ini, di mana penulis
berupaya menganalisis fenomena penyalahgunaan narkoba di Sidoarjo dengan pisau
analisis teori Fungsinalisme Struktural.
16
Ibid, 81.
Gories Mere, dkk Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Berbasis Sekolah Melalui Program
Anti Drugh Campaign Goes To School, (Jakarta: Badan Nakotika Nasional, 2013),18.
17
Muhammad Solikhudin
Tamaddun Volume 1, Nomor 1, September, 2016
P a g e | 42
Kasus penyalahgunaan narkoba dalam cara hidup menyimpang di Sidoarjo
merupakan fenomena yang tak terbantahkan. Penyalahgunaan narkoba tersebut jenis
fungsional bagi BNN Sidoarjo. Karena sistem/cara hidup menyimpang tersebut dapat
befungsi baik bagi BNN dengan cara melakukan upaya perbaikan masyarakat melalui
sosialisasi dan rehabilitasi. Tetapi sebaliknya, penyalahgunaan narkoba mempunyai
disfungsi.
Sistem/cara
hidup
menyimpang
dengan
memakai
narkoba
membuat
perekonomian pecandu narkoba menurun drastis dan mereka yang terjerumus, harus
melakukan pemulihan, yang jikalau mereka tidak hati-hati, mereka bisa kecanduan lagi,
karena terpengaruh teman-temannya yang belum baik, dan narkoba bisa merusak akal serta
tubuh manusia.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa suatu pranata tertentu dapat fungsional bagi
unit sosial tertentu dan sebaliknya disfungsional bagi unit sosial yang lain. Dalam kasus di
atas, pranata penyalahgunaan narkoba itu fungsional bagi unit BNN dan disfungsional bagi
unit masyarakat yang kecanduan narkoba. Di sini kita memasuki suatu konsep lain dari
Merton, yakni mengenai sifat dari fungsi. Merton membedakannya atas fungsi manifest
dan fungsi laten. Fungsi manifest (manifest) adalah fungsi yang diharapkan (intended).
Fungsi manifest dari penyalahgunaan narkoba di atas adalah untuk meningkatkan kinerja
BNN di Siodarjo. Sedangkan fungsi laten adalah sebaliknya, fungsi yang tidak diharapkan.
Sepanjang menyangkut contoh di atas fungsi latennya adalah terdapat sebagai masyarakat
yang menyalahgunakan narkoba yang memungkinkan peningkatan status sosial bagi
orang-orang yang ada di BNN, meskipun yang melakukan upaya perbaikan masyarakat
dan berhasil hanya sebagian, misalnya. Bisa jadi orang-orang yang ada di BNN hanya
ingin berkerja nyata tanpa menghiraukan peningkatan status sosial, namun masyarakat
secara luaslah yang menilai, sehingga ototamis status sosial menjadi meningkat dari
penilaian tersebut. Tidak hanya itu para pegawai yang berhasil menjalankan tugas juga
mendapatkan reward dari pimpinannya karena kinerjanya yang bagus. Dengan demikian
jelaslah, bahwa fungsi laten ini berhubungan dengan konsep Merton lainnya yang disebut:
konsekuensi yang tidak diantisipasi (un anticipated qonsequences)
Relevansi dengan Maqāṣid al-Shatibi
Selanjutnya jika melihat fenomena penyalahgunaan narkoba, maka jelaslah, bahwa
hal tersebut mengakibatkan pemeliharaan kepada lima prinsip dasar universal dari
penetapan hukum terabaikan. Narkoba bisa merusak fungsi akaldan ini bertentangan
dengan
hifẓ
al-‘aql,
merusak
tubuh
manusia,
bertentangan
dengan
hifẓ
al-
nafs,pemeliharaan harta pribadi terabaikan. Dengan demikian hal ini masuk dalam
Muhammad Solikhudin
Tamaddun Volume 1, Nomor 1, September, 2016
P a g e | 43
pembahasan maqasid bertaraf primer (ḍaruriyah). Imam Abu Ishaq al-Shatibi dalam
kitabnya al-Muwāfaqāt menjelaskan Maqāṣid bertaraf primer (ḍaruriyah) sebagai berikut:
Ḍaruriyah adalah maṣlaḥah yang berkorelasi erat dengan terjaganya kemaslahatan
agama dan dunia, sehingga stabilitas kemaslahatan agama dan itu sangat tergantung
pada terealisasinya maṣlaḥah ḍaruriyah itu. Jika kemaslahatan ini diabaikan, maka
kemaslahan dunia tidak akan berjalan secara berkelanjutan, namun menyebabkan
kerusakan tatanan hidup.18 Kemaslahatan dalam taraf ini mencakup lima prinsip dasar
universal dari pensyari‘atan, yaitu memeliharanya tegaknya agama (hifẓ al-din),
perlindungan jiwa (hifẓ al-nafs), perlindungan terhadap akal (hifẓ al-‘aql),
pemeliharaan keturunan (hifẓ al-nasl) dan perlindungan atas harta kekayaan (hifẓ almāl).19
Relevansi dengan Istiṣlāh al-Ghazali
Senada dengan al-Shatibi, al-Ghazali juga menuturkan lima prinsip dasar universal
dari penetapan hukum yang harus dijaga di dalam kitabnya al-Muṣtaṣfa, Istiṣlāh adalah:
Menarik kemanfaatan dan manghindari atau menyingkirkan hal yang membahayakan.
Akan tetapi bukan ini yang dimaksudkan dalam pembahasan ini. Sebab mengupayakan
manfaat atau menyingkirkan bahaya adalah tujuan-tujuan makhluk, sedangkan kebaikan
makhluk adalah dalam pencapaian tujuan mereka. Menurut al-Ghazali yang dimaksud
mashlahah adalah menjamin tujuan-tujuan syari‘at, sedangkan tujuan-tujuan syara‘ pada
makhluk mencakup lima hal, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.20
Pernyataan al-Ghazali dalam menentukan standar timbangan maṣlaḥah di atas
sangatlah tepat. Karena setiap manusia memiliki standar ukuran berbeda-beda dalam
menilai suatu kemaslahatan. Apalagi kebanyakan manusia memiliki kecendrunagan
memenuhi kepentingan pribadinya tanpa mempertimbangkan kemashlahatan umum,
karenanya merupakan keniscayaanlah bila Shāri’ menggariskan ketentuan-ketentuan
syari‘at agar terwujud netralitas dalam menimbang kemaslahatan dan mendistribusikan
kemanfaatan.
Maṣlaḥah mursalah dapat digunakan jika memenuhi tiga kriteria, yakni bertaraf
ḍarurat, kepastian terjadi dan bersekup universal. Ketentuan ini diungkapkan oleh alGhazali, didukung oleh al-Baidlawi dan ulama‘ lainnya. Bertaraf ḍarurat maksudnya
bahwa mashlahah tersebut adalah salah satu dari prinsip dasar, yakni pemeliharaan agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta kekayaan. Bersekup universal maksudnya bahwa
kemashlahatan tersebut merupakan kepentinagn umum kaum muslimin, bukan kepentingan
Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqāt fī Uṣūl al-Shari’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah,2004)
221.
19
Ahmad al-Raisuni, Naẓariah al-Maqāṣid ‘inda al-Imām al-Shāṭibi(Beirut: Dar al-Kutub al‗Alamiah li al-Kitab al-Islami,1992) 152.
20
Al-Ghazali, al-Mustaṣfa min’ Ilmi al-Uṣūl (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah,2010),275.
18
Muhammad Solikhudin
Tamaddun Volume 1, Nomor 1, September, 2016
P a g e | 44
individu tau sekelompok manusia. Sedang yang dikehendaki denagn kepastian terjadi
adalah bahwa kemashlahatan yang dituju tersebut secara pasti atau hampir pasti tercapai. 21
Al-Ghazali berkata: Dalam permasalahan yang menyangkut dua starata terakhir ini dari
maṣlaḥah, yakni ḥajiyyah dan taḥsiniyyah, pencetus hukum tidak boleh hanya semata
berlandaskan prinsip maslahah tanpa didukung legalitas dalil (nas dan ijma‘). Kecuali bila
bentuk maslahah tersebut diberlakukan dalam posisi strata ḍarurat , yang karenanya
seorang mujtahid dapat merumuskan ijtihadnya dengan hanya berdasarkan pada prinsip
maslahah yang diberlakukan dalam posisi strata ḍarurat tersebut. Bila pemberlakuan
prinsip maṣlaḥah dengan dua strata terakhir ini tanpa didukung dalil syara‘, maka hal ini
sama halnya dengan istiḥsan, sedangkan jika dalil syara‘ memperkuatnya, maka hal ini
adalah qiyas. Adapun pencetus hukum dengan menggunakan prinsip maṣlaḥah bertaraf
ḍarurat, maka hal ini diperbolehkan, kendati secara spesifik dalil shara‘ tidak
merekomendasikannya.22
Contoh yang diakui al-Ghazali sebagai penerapan maṣlaḥah mursalah dengan
kriteria yang ia canangkan adalah pungutan pajak (kharaj) terhadap orang-orang kaya
ketika kas negara tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup para parajurit Islam.
Karena bila langkah ini tidak ditempuh, sementara para parajurit sibuk bekerja untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, niscaya dikhawatirkan musuh akan menyerang atau
pemberontakan dan kekacauan dalam negeri sewaktu-waktu akan meletus. Tindakan ini
ditempuh untuk meminimalisir dampak negatif, disatu sisi terdapat ancaman keamanan
negeri-negeri dari dalam atau luar negeri karena para prajurit sibuk dengan mata
pencahariannya, sedang disisi lain, penarikan pada orang-orang kaya
merupakan
pelanggaran atas hak kekayaan mereka. Dengan prinsip daf’ al-Ashadd al-Ḍararain
(menolak dampak negatif terbesar), prioritas diarahkan pada penghindaran dampak negatif
pertama, yang juga sekaligus sebagai pemenuhan terhadap mashlahah bertaraf ḍarurat
dengan sekup komunitas kaum muslimin.23
Relevansi dengan Teori Tindakan Komunikatif Habermas
Selanjutnya, manakala kasus penyalahgunaan narkoba sudah dianalisis dengan teori
struktural fungsionalisme, Istiṣlāh al-Ghazali, dan Maqāṣid al-Shatibi bertaraf primer,
maka kini kasus tersebut saya analisis dengan pendekatan teori tindakan komunikatif
Habermas.
21
Ibid, 257-258.
Ibid, 277.
23
Ibid, 280.
22
Muhammad Solikhudin
Tamaddun Volume 1, Nomor 1, September, 2016
P a g e | 45
Titik tolak etika diskursus J. Habermas adalah teori ―tindakan komunikatif‖. Dalam
teori ini, Habermas membuat analisis praksis manusia (yaitu tindakan manusia terhadap
dunia diluar dirinya, terhadap alam atau dunia non sosial budaya dan terhadap manusia
atau dunia sosial budaya). Dalam kegiatan hidup (praksis) manusia tersebut dapat
dibedakan dua dimensi yang secara isi (esensial) berbeda, yaitu dimensi kerja (tindakan
manusia atas alam atau dunia non sosial budaya) dan dimensi komunikatif (yaitu tindakan
manusia terhadap sesama manusia dan dunia sosial budaya). 24 Dalam upaya perbaikan
kegiatan hidup diperlukan teori ―tindakan komunikatif‖, kemudian diterapkan langsung
dalam kehidupan nyata. Pada dimensi kerja, contohnya adalah dengan memasang slogan
anti narkoba di sekolah, dan tempat-tempat lain yang strategis dan pada dimensi
komunikatif adalah upaya mendialogkan bahaya narkoba di ruang publik antara manusia
dengan manusia yang lain. Khususnya bagi orangtua yang memiliki anak remaja,
seyogyanya melakukan pendekatan koumunikasi kepada anaknya dengan cara yang
karikatif.
Pada dimensi kerja, tindakan manusia memiliki rasionalitas tujuan disebut tindakan
instrumental, karena memperlakukan alam menurut perhitungan yang rasional (terukur)
dengan cara yang efisien demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan oleh subjek.
Tindakan instrumental menurut Habermas tidak tepat untuk diterapkan terhadap sesama
manusia dan dunia sosial budaya, karena manusia bukanlah objek melainkan subjek juga.
Tindakan manusia terhadap sesama manusia dan dunia sosial budaya adalah
tindakan berdimensi komunikasi. Dalam tindakan berdimensi komunikasi, tindakan
manusia diarahkan oleh norma-norma yang telah disepakati bersama berdasarkan harapan
(cita-cita) timbal balik diantara subjek-subjek yang berinteraksi. Jadi rasionalitas tindakan
komunikasi adalah tercapainya pengertian bersama (konsensus) diantara pihak-pihak yang
berinteraksi. Tindakan komunikasi itu berlangsung dalam dunia sosial budaya (kerangka
kerja institusional), termasuk di dalamnya adalah norma-norma moral. Karena itu
pemberlakuan norma-norma dalam masyarakat baru dinilai legitim apabila mengandaikan
rasionalitas komunikasi (yaitu tercapainya pengertian bersama).
Menurut J. Habermas (sejalan dengan teori ―tindakan komunikatif‖), maka
legitimasi pemberlakuan norma-norma moral hanya dapat dipastikan menurut prinsip
―universalisasi‖, yaitu sebuah norma moral hanya boleh dianggap sah jika akibat dan efekefek samping yang diperkirakan akan mempengaruhi pemuasaan kepentingan siapa saja,
dengan sebuah pengandaian bahwa norma itu ditaati secara umum, dapat disetujui tanpa
24
Nur Hasan, Ijtihad Politik NU (Yogjakarta: Manhaj, 2010), 10-11.
Muhammad Solikhudin
Tamaddun Volume 1, Nomor 1, September, 2016
P a g e | 46
paksaan oleh semua pihak. Dan prinsip ―etika diskursus‖, yaitu hanya norma-norma yang
disetujui (atau dapat disetujui) oleh semua yang bersangkutan sebagai peserta diskurusu
praktis yang dianggap sah. Dan diskursus bersama itu sendiri sudah mengandaikan suasana
yang terbuka, bebas dari dominasi dan referensi norma-norma sosial dan kekuasaan serta
penerapan norma-norma secara luwes.
PENUTUP
Struktural Fungsionalisme adalah salah satu paham atau perspektif di dalam
sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian
yang saling berhubungan dengan bagian yang lain. Kemudian, perubahan yang terjadi pada
salah satu bagian akan menyebabkan ketidak-seimbangan pada gilirannya akan
menciptakan perubahan sosial pada bagian lain. Perkembagan fungsionalisme yang didapat
dalam biologi. Asumsi dasar teori ini ialah bahwa semua elemen atau unsur kehidupan
masyarakat harus berfungsi atau fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa
menjalankan fungsinya dengan baik.
Sebagaimana hasil wawancara penulis dengan penyuluh BNN wilayah Siodarjo
dengan mengutip pesan dari pimpinan BNN Sidoarjo, bahwa pada tahun 2015 dapat
disimpulkan pengguna narkoba dari kalangan pelajar / anak muda lebih banyak jika
dibandingkan dengan orang dewasa. Mereka kebanyakan memakai narkoba, semisal ganja,
sabu-sabu, dan lain-lain. Dengan demikian, dari 456 orang target bidikan yang sudah
direhab BNN Sidoarjo, kebanyakan dari mereka adalah pelajar.
Kasus penyalahgunaan narkoba dalam cara hidup menyimpang di Sidoarjo
merupakan fenomena yang tak terbantahkan. Penyalahgunaan narkoba tersebut jenis
fungsional bagi BNN Sidoarjo. Karena sistem/cara hidup menyimpang tersebut dapat
befungsi baik bagi BNN dengan cara melakukan upaya perbaikan masyarakat melalui
sosialisasi dan rehabilitasi. Tetapi sebaliknya, penyalahgunaan narkoba mempunyai
disfungsi.
Sistem/cara
hidup
menyimpang
dengan
memakai
narkoba
membuat
perekonomian pecandu narkoba menurun drastis dan mereka yang terjerumus, harus
melakukan pemulihan, yang jikalau mereka tidak hati-hati, mereka bisa kecanduan lagi,
karena terpengaruh teman-temannya yang belum baik, dan narkoba bisa merusak akal serta
tubuh manusia.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa suatu pranata tertentu dapat fungsional bagi
unit sosial tertentu dan sebaliknya disfungsional bagi unit sosial yang lain. Dalam kasus di
atas, pranata penyalahgunaan narkoba itu fungsional bagi unit BNN dan disfungsional bagi
unit masyarakat yang kecanduan narkoba. Di sini kita memasuki suatu konsep lain dari
Muhammad Solikhudin
Tamaddun Volume 1, Nomor 1, September, 2016
P a g e | 47
Merton, yakni mengenai sifat dari fungsi. Merton membedakannya atas fungsi manifest
dan fungsi laten. Fungsi manifest (manifest) adalah fungsi yang diharapkan (intended).
Fungsi manifest dari penyalahgunaan narkoba di atas adalah untuk meningkatkan kinerja
BNN di Siodarjo. Sedangkan fungsi laten adalah sebaliknya, fungsi yang tidak diharapkan.
Sepanjang menyangkut contoh di atas fungsi latennya adalah terdapat sebagai masyarakat
yang menyalahgunakan narkoba yang memungkinkan peningkatan status sosial bagi
orang-orang yang ada di BNN, meskipun yang melakukan upaya perbaikan masyarakat
dan berhasil hanya sebagian, misalnya. Bisa jadi orang-orang yang ada di BNN hanya
ingin berkerja nyata tanpa menghiraukan peningkatan status sosial, namun masyarakat
secara luaslah yang menilai, sehingga ototamis status sosial menjadi meningkat dari
penilaian tersebut. Dengan demikian jelaslah, bahwa fungsi laten ini berhubungan dengan
konsep Merton lainnya yang disebut: konsekuensi yang tidak diantisipasi (un anticipated
qonsequences).
Narkoba yang merupakan momok bagi kita semua, di mana hal tersebut hingga saat
ini masih menjadi problem utama yang harus dicarikan solusinya. Sebagaimana fenomena
yang terjadi Sidoarjo. Hemat saya penerapan teori struktural fungsionalisme yang sudah
diriilkan ini, sebaiknya terus diilanggengkan—pada saat bersamaan BNN yang berfungsi
sebagai pengayom masyarakat dalam bidan narkoba bisa menjalankan fungsinya dengan
baik dan masyarakat menjadi terayomi dengan kehadiran BNN.
Saran yang kedua dengan maraknya kasus narkoba yang dalam hal ini lebih banyak
diserang adalah para pelajar/pemuda, hendaknya juga menjadi pelajaran bagi orang tua
maupun guru supaya anaknnya/anak didiknya tidak sampai terjerumus dalam kasus ini.
Pendekatan keagamaan yang baik kepada anaknya, serta dialog yang berkelanjutan dengan
anaknnya menjadi hal yang signifikan untuk ―dilirik‖ semua orang tua dan guru.
Muhammad Solikhudin
Tamaddun Volume 1, Nomor 1, September, 2016
P a g e | 48
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Syayyid. Wawancara, Sidoarjo, 26 September 2016.
Abdulsyani. 2012. Sosiologi, Teori, dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara.
Ali, Zainuddin. 2009. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Arif, Syaiful. 2013. Humanisme Gus Dur. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Ghazali. 2010. (al) al-Mustaṣfa min’ Ilmi al-Uṣūl. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah.
Haryanto, Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial: Dari Klasik Hingga Modern.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Hasan, Nur. 2010. Ijtihad Politik NU. Yogyakarta: Manhaj.
Ishaq al-Shatibi, Abu. 2004. al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Shari’ah. Beirut: Dar al-Kutub alIlmiah.
Mere, Gories, dkk. 2013. Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Berbasis Sekolah Melalui
Program Anti Drugh Campaign Goes To School. Jakarta: Badan Nakotika
Nasional.
Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Pustaka Prestasi Publisher.
Raisuni, Ahmad. 1992. (al) Naẓariah al-Maqāṣid ‘inda al-Imām al-Shāṭibi. Beirut: Dar alKutub al-‗Alamiah li al-Kitab al-Islami.
Ritzer, George. 2009. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
____________. 2013. The Wiley-Blackwell Companion To Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
_____________. 2005. Dougls J. Goodman, Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada
Media.
Tim Penerjemah Yasogama. 2004. Sosiologi Kontemporer Margaret M. Poloma. Jakarta:
Raja Grasindo Persada.
Muhammad Solikhudin
Tamaddun Volume 1, Nomor 1, September, 2016
Download