BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

advertisement
 1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Tanah merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Manusia beraktifitas,
bermasyarakat, dan dalam melangsungkan kehidupannya memerlukan tanah, yang
hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada baik di permukaan, di
dalam tubuh bumi, maupun di atas permukaan bumi. Demikian besar keberadaan
tanah bagi kehidupan, sehingga tanah menjadi bagian dasar dari kebutuhan manusia.
Tanah juga merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki nilai
ekonomis dan nilai sosial yang tinggi. Tanah tidak dapat diproduksi ataupun
diperbaharui seperti sumber daya alam yang lain yang dapat tergantikan.
Perbandingan antara ketersediaan tanah sebagai sumber daya alam yang langka di
satu sisi dan pertambahan jumlah penduduk dengan berbagai pemenuhan
kebutuhannya akan tanah disisi lain, tidak mudah dicari titik temunya. Dengan
perkataan lain, akses untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah untuk memenuhi
kebutuhan dasar manusia itu belum dapat dinikmati oleh setiap orang yang antara lain
disebabkan karena perbedaan dalam akses modal.1
Undang-Undang no 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (selanjutnya disebut UUPA)
menyebutkan “Semua hak atas tanah
1
Bernhard Limbong, 2012, Hukum Agraria Nasional, cet. I, Margaretha
Pustaka, hal.245.
2 mempunyai fungsi sosial”2. Pasal ini menjelaskan bahwa hak atas tanah apapun yang
ada pada seseorang, tidak boleh semata-mata dipergunakan untuk pribadinya,
pemakaian
atau tidak dipakainya tanah yang menyebabkan kerugian bagi
masyarakat. Dengan demikian, tidak dibenarkan bahwa seorang pemilik tanah
membiarkan tanahnya terlantar sedangkan orang lain menderita kelaparan karena
tidak memiliki tanah untuk menghasilkan bahan makanan. Penggunaan tanah harus
disesuaikan dengan keadaanya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat bagi
baik kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi
masyarakat dan negara.3
Mengingat kenyataan bahwa tanah merupakan sumber daya alam yang tidak
dapat diperbaharui dan pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka pengaturan
penguasaan tanah dipandang sangat penting, berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD
NRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa tanah dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Hubungan hukum antara negara dengan tanah, yang dalam UUD NRI Tahun 1945
dirumuskan dengan istilah “dikuasai” itu, ditegaskan sifatnya sebagai hubungan
hukum publik oleh UUPA yang tercantum dalam Pasal 2.
2
Lihat Penjelasan Pasal 6 UUPA 1960.
Boedi Harsono, 2010, Hukum Agraria Indonesia , cet. X, Djambatan, Jakarta,
hal. 577.
3
3 Pasal 2 UUPA menyebutkan rincian kewenangan hak menguasai dari negara
berupa kegiatan4:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Berdasarkan hak menguasai dari negara seperti ditegaskan dalam Pasal 2
UUPA, maka menurut ketentuan dalam Pasal 4 UUPA bahwa kepada perseorangan
atau badan hukum diberikan beberapa macam hak atas tanah. Konsekuensi
pengakuan negara terhadap hak atas tanah yang dimiliki orang-orang atau badan
hukum, maka negara berkewajiban memberikan jaminan kepastian hukum terhadap
hak atas tanah tersebut, sehingga setiap orang atau badan hukum yang memiliki hak
tersebut dapat mempertahankan haknya.
Hak-hak atas tanah yang selanjutnya dirinci dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA,
adalah: hak milik, hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai, hak sewa, hak
membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak tersebut
dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta
hak-hak yang sifatnya sementara yang akan ditetapkan sementara, dimaksudkan
4
Ibid., hal. 232.
4 untuk memberikan hak atas tanah berdasarkan peruntukannya dan subjek yang
memohon hak atas tanah tersebut.
Berkaitan dengan hak sewa yang diuraikan secara khusus dalam Pasal 44 ayat
(1) UUPA dinyatakan bahwa “Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak
sewa atas tanah, apabila ia berhak menggunakan tanah milik orang lain untuk
keperluan pembangunan, dengan membayar sejumlah uang sebagai sewanya.” Dalam
penjelasan Pasal 44 UUPA disebutkan bahwa oleh karena hak sewa merupakan hak
pakai yang mempunyai sifat khusus maka disebut tersendiri. Hak pakai yang intinya
adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah milik orang lain
selama jangka waktu tertentu.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata)
pada buku II mengatur tentang kebendaan (kecuali mengenai tanah). Benda
diantaranya dibedakan ke dalam benda bergerak dan benda tidak bergerak. Setiap
benda dapat diberikan hak status keperdataan (hak kebendaan). Hak kebendaan
adalah hak yang melekat pada kebendaan tersebut ke mana pun kebendaan tersebut
beralih, pemegang hak memiliki hak atas kebendaan tersebut.5 Ada beberapa jenis
hak keperdataan yang dapat dibebankan atas benda yaitu hak milik, hak sewa, hak
pakai, hak gadai, hak tanggungan dan lain sebagainya.
5
Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingakat Herlien Budiono
I), hal. 229.
5 Dalam kegiatan ekonomi, bentuk hak-hak atas tanah dituangkan dalam bentuk
praktek ekonomi atau kegiatan bisnis, dalam arti kata tanah dapat diperoleh dengan
mengadakan perjanjian.6 KUHPerdata
mengenal berbagai perjanjian,7 beberapa
contoh dari perjanjian yang sering ditemui dalam kegiatan sehari-hari antara lain
seperti: jual-beli, sewa- menyewa, tukar menukar, pinjam-meminjam, dan lain-lain. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah “Suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.” Perjanjian tersebut mengikat para pihak secara hukum, untuk
pelaksanaan hak dan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian itu. Perjanjian
memberikan kepastian bagi penyelesaian sengketa, dan perjanjian ditujukan untuk
memperjelas hubungan hukum.8 Salah satu cara mendapatkan hak atas tanah adalah dengan melakukan
perjanjian sewa-menyewa. Perjanjian sewa-menyewa diatur dalam buku III
KUHPerdata tentang Perikatan. Pasal 1233 KUHPerdata menentukan, “Tiap-tiap
perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, maupun karena Undang-Undang”.
6
Dalam tulisan ini, penulis mempersamakan istilah perjanjian dan kontrak.
Ada 14 jenis perjanjian antara lain : a. Perjanjian timbal balik; b. Perjanjian
cuma-cuma; c. Perjanjian atas beban; d. Perjanjian bernama; f. Perjanjian obligatoir;
g. Perjanjian kebendaan; h. Perjanjian konsensual; i. Perjanjian riil; j. Perjanjian
liberatori; k. Perjanjian pembuktian; m. Perjanjian untung-untungan; n. Perjanjian
publik; o. Perjanjian campuran. Mariam Darus Badrulzaman, dkk,2001, Kompilasi
Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 66.
8
I Ketut Artadi, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi
Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Perjanjian, Udayana
University Press, Denpasar, hal. 27.
7
6 Perikatan bersumber perjanjian dapat dibagi atas perjanjian pada umumnya dan
perjanjian-perjanjian khusus.9 Perjanjian khusus, diantaranya adalah perjanjian sewamenyewa.
Berdasarkan Pasal 1548 KUHPerdata, “Sewa-menyewa adalah suatu
persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan
kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan
pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat
menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak.” Dari
uraian di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam perjanjian
sewa-menyewa adalah :
1. Adanya pihak yang menyewakan dan pihak penyewa,
2. Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak.
3. Adanya objek sewa-menyewa, yaitu barang baik barang bergerak maupun
tidak bergerak
4. Adanya imbalan pembayaran suatu harga atas manfaat tersebut
5. Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu.
Sebagai suatu perjanjian, sewa-menyewa harus mengikuti kaidah-kaidah
hukum perjanjian. Untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat yang harus
dipenuhi, yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
9
Djaja S. Meliala, 2012, Penuntun Praktis Hukum Perjanjian Khusus, Nuansa
Aulia, Bandung, hal.1.
7 1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. cakap untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal.
Syarat sahnya suatu perjanjian yang kesatu (sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya) dan syarat kedua (cakap untuk membuat suatu perjanjian)
disebut syarat subjektif, karena menyangkut subjek hukum yaitu orang-orang atau
pihak-pihak yang membuat perjanjian. Sedangkan syarat ketiga (objek atau suatu hal
tertentu) dan syarat keempat (sebab atau causa yang halal) disebut sebagai objektif,
karena menyangkut objek hukum yang diperjanjikan oleh orang-orang atau subjek
hukum yang membuat perjanjian tersebut.10
Dalam perjanjian terdapat tiga unsur penting, yaitu11 :
a. Unsur esensialia
Perjanjian dibuat berdasarkan pada unsur-unsur pokok. Salah satu unsur pokok
tidak ada, maka perjanjian menjadi timpang, dan perjanjian dianggap tidak
pernah ada dan tidak mempunyai akibat hukum. Pada perjanjian sewamenyewa unsur esensialianya adalah barang yang disewakan, harga sewa dan
waktu sewa.
10
Muhammad Syaifuddin, 2012, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung,
hal.110.
11
I Ketut Artadi, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit., hal. 35.
8 b. Unsur naturalia
Unsur naturalia adalah unsur yang sudah diatur dalam undang-undang dan
berlaku untuk setiap perjanjian, apabila para pihak tidak mengaturnya.
Misalnya dalam perjanjian tersebut tidak diatur menyangkut cacat
tersembunyi, maka berlakulah ketentuan mengenai cacat tersembunyi
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1504 KUHPerdata.
c. Unsur aksidentalia
Unsur aksidentalia adalah suatu peristiwa yang dituangkan dalam suatu
perjanjian yang nanti ada atau tidak ada peristiwa mana menjadi unsur
aksidentalia mengikat para pihak.
Para pihak yang telah mengikatkan diri pada apa yang dinyatakan dalam
perjanjian, juga mengikatkan diri terhadap segala ketentuan perundang - undangan,
kepatutan, dan kebiasaan seperti diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang
berbunyi: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.” Sehingga
faktor yang menentukan isi perjanjian adalah kehendak para pihak sebagai faktor
primer serta faktor-faktor lain meliputi: kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
9 Perjanjian sewa-menyewa ini merupakan persetujuan konsensual yang bebas
bentuknya. Boleh diperbuat dengan persetujuan lisan atau tertulis.12 Jika sewamenyewa itu diadakan secara tertulis, sewa akan berakhir demi hukum apabila waktu
yang
ditentukan
sudah
habis
tanpa
memerlukan
suatu
pemberitahuan
pemberhentiannya. Sebaliknya jika sewa-menyewa itu dibuat hanya secara lisan,
pihak yang menyewakan berhak untuk menghentikan sewa itu setiap saat, sepanjang
ia (pihak yang menyewakan)
diperlukan
memberitahukan
mengindahkan cara-cara dan jangka waktu yang
pengakhiran
sewa-menyewa
menurut
kebiasaan
setempat. Berakhirnya sewa-menyewa, menurut ketentuan Pasal 1570 KUHPerdata,
yang ditentukakan secara tertulis berakhir dengan sendirinya sesuai dengan batas
waktu yang telah ditentukan para pihak. Sehingga
apabila lama sewa-menyewa
sudah ditentukan dalam persetujuan secara tertulis, perjanjian sewa berakhir tepat
pada saat yang telah ditetapkan. Berbeda dengan ketentuan Pasal 1571 KUHPerdata
yang ditentukan tanpa tertulis, perjanjian seperti ini tidak berakhir tepat pada waktu
yang diperjanjikan. Perjanjian tersebut berakhir setelah adanya “pemberitahuan” dari
salah
satu
pihak
tentang
kehendak
mengakhiri
sewa-menyewa,
dengan
memperhatikan jangka waktu yang layak menurut kebiasaan setempat.13
Suatu perjanjian sewa-menyewa menurut Pasal 1548 KUHPerdata harus
memiliki batas waktu tertentu. Batas waktu merupakan unsur yang esensial dalam
12
M.Yahya Harahap, 1986, Segi -Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung,
hal. 222.
13
Ibid., hal.228.
10 suatu perjanjian sewa-menyewa. Terpenuhinya unsur esensial dalam suatu perjanjian
menjamin terwujudnya kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak. Penelitian ini
ditujukan untuk mengkaji ketentuan hukum positif tertulis (perundang-undangan) dan
ketentuan perjanjian yang diberlakukan pada peristiwa hukum tertentu (in concreto).
Pengkajian tersebut bertujuan untuk memastikan apakah hasil penerapan pada
peristiwa hukum tertentu (in concreto) itu sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan
undang-undang atau ketentuan perjanjian.14
Peristiwa kongkret dalam penelitian ini adalah perjanjian sewa-menyewa
tanah yang tidak menetapkan batas waktu dan putusan pengadilan atas penyelesaian
perkara perjanjian tersebut. Dalam hal ini akan dilakukan pengujian apakah
perundang-undangan dan ketentuan perjanjian telah diterapkan dengan baik dalam
perjanjian sewa-menyewa tanah dan dalam putusan pengadilan. Apakah perjanjian
sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu dan putusan pengadilan atas perkara tersebut
sesuai atau tidak sesuai dengan perundang-undangan dan ketentuan perjanjian.
Sengketa kasus sewa-menyewa berawal dari suatu perjanjian yang dibuat di
bawah tangan. Perjanjian tersebut mengenai urusan penggunaan tanah selamalamanya atau dalam waktu tidak terbatas, dibuat di Desa Kedewatan, Kecamatan
Ubud, Kabupaten Gianyar pada tahun 1971 (seribu sembilan ratus tujuh puluh satu).
Disebutkan dalam perjanjian tanah seluas 30 (tiga puluh) are dengan harga sewa Rp.
14
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad I), hal.53.
11 27.000 (dua puluh tujuh ribu rupiah) untuk jangka waktu selama-lamanya atau tidak
terbatas. Sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu tersebut membuat salah satu pihak
merasa dirugikan dan ingin mengakhiri perjanjian sewa-menyewa tersebut.
Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran pada hasil-hasil penelitian, sepanjang
yang diketahui dari hasil-hasil penelitian yang sudah ada maka belum ada penelitian
yang menyangkut masalah validitas perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas
waktu dan cara pengakhiran perjanjian sewa menyewa tanah tanpa batas waktu
tersebut. Adapun penelitian yang berkaitan dengan perjanjian sewa-menyewa yang
pernah dilakukan adalah :
Tesis dari Sri Hartati, NIM 06211038, alumni dari Magister Ilmu Hukum
Universitas Andalas, dengan judul tesis “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa
Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu Melalui Gugatan Dipengadilan Negeri
Pariaman”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang ditulis dalam tesis
tersebut adalah hukum apa yang telah digunakan oleh hakim dalam penyelesaian
sengketa tentang sewa-menyewa tanpa batas waktu di Pengadilan Negeri Pariaman,
dan apa pertimbangan hakim dalam menentukan hukum yang berlaku terhadap
sengketa tentang perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu tersebut.15
15
Sri Hartati, 2008, “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa Menyewa Tanah
Tanpa Batas Waktu Melalui Gugatan Dipengadilan Negeri Pariaman” Tesis Fakultas
Hukum Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas, Padang, http:// repository.
unand.ac.id/id/eprint/556.
12 Tesis dari Rika Fitri, NIM 087011101, alumni dari Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, dengan judul tesis “Analisis Yuridis Terhadap Akta
Sewa-menyewa Rumah Yang Dibuat Di Hadapan Notaris (Studi Kantor Notaris Kota
Medan)”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang ditulis dalam tesis tersebut
adalah bagaimanakah pengaturan klausul akta sewa-menyewa yang dibuat di hadapan
notaris, bagaimana pengaturan mengenai pengosongan dalam akta sewa-menyewa
rumah, dan perlindungan apakah yang diberikan dalam perjanjian sewa-menyewa
terhadap penyewa dan yang menyewakan.16
Tesis dari Kelvina Sefialora, NIM 087011062, alumni dari Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul tesis “Aspek Yuridis Dari
Perjanjian Sewa-menyewa Rumah Yang Objeknya Dijaminkan Di Bank”. Adapun
yang menjadi pokok permasalahan yang ditulis dalam tesis tersebut adalah apakah
sewa-menyewa rumah dapat dilakukan jika objek sewa dijaminkan ke bank,
bagaimana akibat hukum yang akan timbul terhadap penyewa rumah dalam masa
sewa jika debitur wanprestasi terhadap kreditur (bank), dan bagaimana upaya
penyelesaian dari akibat wanprestasi debitur terhadap kreditur (bank).17
16
Rika Fitri, 2010, “Analisis Yuridis Terhadap Akta Sewa-menyewa Rumah
Yang Dibuat Di Hadapan Notaris (Studi Kantor Notaris Kota Medan)” Tesis
Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789 /25953 /4/ chapter %20I.pdf.
17
Kelvina Sefialora, 2010, “Aspek Yuridis Dari Perjanjian Sewa-menyewa
Rumah Yang Objeknya Dijaminkan Di Bank” Tesis Fakultas Hukum Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, http://repository.usu.ac.id/
bitstream/123456789/22266/6/chapter%20I.pdf.
13 Meskipun ada peneliti terdahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai
masalah perjanjian sewa menyewa tanpa batas waktu, namun secara substansi pokok
permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini. Dengan demikian
penelitian ini adalah asli dan secara akademis dapat dipertanggungjawabkan.
1.2
Rumusan Masalah :
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis membuat judul
Pengakhiran Perjanjian Sewa-menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu, dengan
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah validitas perjanjian sewa-menyewa tanah yang tidak
mencantumkan batas waktu sewa-menyewa ?
2. Bagaimana cara mengakhiri perjanjian sewa-menyewa tanah yang tidak
menetapkan batas waktu ?
1.3
Tujuan Penelitian
Mengacu pada judul dan rumusan permasalahan dalam penelitian ini maka
dapat dikemukakan tujuan penelitian yang dikualifikasikan menjadi tujuan umum dan
tujuan khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:
1.3.1
Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum
khususnya di bidang hukum perjanjian yaitu untuk memecahkan permasalahan terkait
dengan pelaksanaan perjanjian sewa-menyewa tanah yang tidak menetapkan batas
waktu.
14 1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk
menjawab rumusan masalah yakni:
a. Untuk mengetahui validitas perjanjian sewa-menyewa tanah yang tidak
mencantumkan batas waktu.
b. Untuk mengetahui cara mengakhiri perjanjian sewa-menyewa tanah yang
tidak menetapkan batas waktu.
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya sehingga
bermanfaat secara teoritis dan praktis.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan hukum dalam bidang hukum perjanjian
khususnya mengenai perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu.
Penulis akan mengunggah hasil penelitian ini di internet sehingga dapat
memberikan manfaat kepada khalayak umum yang berkepentingan.
1.4.2
Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi para pihak
yaitu para peneliti, praktisi hukum dan masyarakat umum:
15 a. Memberikan masukan atau informasi bagi para pihak yang mengadakan
perjanjian sewa-menyewa tanah dan mensosialisasikan hasil penelitian ini ke
masyarakat umum.
b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para peneliti khususnya yang sedang
memperdalam tentang perjanjian sewa-menyewa.
c. Dapat bermanfaat bagi praktisi hukum dalam menangani perjanjian sewamenyewa tanah tanpa batas waktu yang terjadi dalam praktek.
1.5
Landasan Teoritis dan Kerangka Konseptual
1.5.1
Landasan Teoritis
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan teori hukum/teori
khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma dan
lain-lain yang dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian.
Dalam setiap penelitian selalu harus disertai pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena
ada hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan dan
pengolahan data, analisa serta konstruksi data.18
1.5.1.1 Teori Hukum
Teori hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori validitas hukum
dan teori sama nilai.
18
Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan, 2011,
Universitas Udayana, Denpasar, hal.52.
16 1.
Teori Validitas Hukum
Teori validitas oleh Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa “validitas adalah
eksistensi norma secara spesifik”. Suatu norma adalah valid merupakan suatu
pernyataan yang mengansumsikan eksistensi norma tersebut dan mengansumsikan
bahwa norma itu memiliki kekuatan mengikat (binding force) terhadap orang yang
perilakunya diatur.19
Menurut Hans Kelsen, suatu aturan harus dalam keadaan valid terlebih dahulu
baru diketahui apakah aturan tersebut dapat menjadi efektif. Setelah valid, dan
diterapkan ternyata peraturan tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat secara
meluas dan/atau secara terus menerus, maka ketentuan hukum tersebut menjadi
hilang unsur validitasnya, sehingga berubah sifat dari aturan yang valid menjadi
aturan yang tidak valid.20 Memenuhi suatu kriteria tertentu adalah salah satu
karakteristik dari validitas, dimana dalam konsep validitas tercakup juga pengertian
kekuatan memaksa.
Teori ini relevan dengan permasalahan dalam penulisan ini. Teori Validitas
dipakai untuk menganalisis permasalahan pertama yaitu bagaimana validitas
perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu. Suatu perjanjian sewa-menyewa
19
Asshiddqie Jimly dan Ali Safa’at,M., 2006, Teori Hans Kelsen Tentang
Hukum, cet.I,Konstitusi Pers, Jakarta, hal.36.
20
Munir Fuady, 2013, Teori-teori Besar dalam Hukum(Grand Theory),
Cet.1, Prenada Media Group, Jakarta, hal.117.
17 dikatakan valid, apabila telah memenuhi persyaratan sahnya suatu perjanjian sewamenyewa.
2.
Teori Sama Nilai
Teori Perjanjian oleh Rescoe pound, menyatakan 4 teori mengenai
mengikatnya suatu perjanjian yaitu : teori hasrat, teori tawar menawar, teori sama
nilai, dan teori kepercayaan merugi. Dalam buku An Introduction to the Philoshopy of
law, Rescoue Pound menulis:
Putting them in the order of their currency, we may call them (1) the will theory,
(2) the bargain theory, (3) the equivalent theory, (4) the injurious-reliance theory.
That is, promises are enforced as a giving effect to the will of those who agree, or
to the extent that they are bargains or parts of bargains, or where an equivalent
for them has been rendered, or where they have been relied on by the promisee to
his injury, according to the theory chosen21
Ikatan dari suatu perjanjian dikuatkan oleh hukum karena perjanjian memberi
akibat kepada hasrat mereka yang menyetujui, perjanjian itu diakui sampai
kepada batas tawar menawar atau bagian dari tawar menawar, atau dimana satu
equivalent bagi janji telah diberikan, atau apabila perjanjian dipercayai oleh pihak
yang menerima janji atas kerugiannya sendiri, menurut teori yang dipilih.22
Dari ke empat teori diatas yang paling relevan dengan permasalahan adalah teori
sama nilai. Teori ini mengajarkan bahwa suatu perjanjian baru mengikat jika para
pihak dalam perjanjian tersebut memberikan prestasinya yang seimbang atau sama
nilai (equivalent).
Berdasarkan syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320
KUHPerdata, bila dilihat pada teori ini, bahwa suatu perjanjian baru mengikat jika
21
Roscoe Pound, 1922, An Introduction To The Philosophy Of Law, Yale
University Press, hal. 57.
22
Roscoe Pound, 1989, Pengantar Filsafat Hukum, terjemahan Mohamad
Radjab, Bhratara, Jakarta,(selanjutnya disebut Roscoe Pound II), hal.163.
18 para pihak memiliki hasrat atas janji tersebut, dan memberikan prestasinya yang
seimbang atau sama nilai. Teori sama nilai dipakai untuk menganalisis permasalahan
kedua yaitu bagaimana cara mengakhiri perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas
waktu, karena teori ini dapat menjelaskan mengenai kekuatan mengikat perjanjian,
yaitu suatu perjanjian baru mengikat bila para pihak dapat memberikan prestasi yang
seimbang atau sama nilai.
5.1.1.2 Asas Asas Perjanjian
Beberapa asas sebagai pendukung dari teori yang telah dipaparkan diatas
adalah asas konsesualisme, asas kebebasan berperjanjian, asas pacta sunt servanda,
asas itikad baik, asas proporsionalitas, dan asas kepatutan.
1.
Asas konsesualisme
Perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (consensus) dari
pihak-pihak. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata terkandung asas yang sangat esensial
dari hukum perjanjian, yaitu asas konsesualisme yang menentukan adanya perjanjian.
Asas konsensualisme menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat antara dua atau
lebih orang telah mengikat sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau
lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai
kesepakatan atau konsensus.23
23
Gunawan Widjaja,2007, Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum
Perdata, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.263.
19 Dalam membuat perjanjian disyaratkan adanya konsensus, yaitu para pihak
sepakat atau setuju mengenai prestasi yang diperjanjikan.24 Setiap perjanjian
mengikat para pihak yang membuatnya jika sudah tercapai sepakat mengenai prestasi
atau hal pokok dari perjanjian tersebut. Asas konsensualisme sebagaimana terdapat
pada Pasal 1320 ayat (1), menekankan adanya persesuaian kehendak (meeting of
mind) sebagai inti dari hukum perjanjian.
Asas konsensualisme merupakan roh dari suatu perjanjian, yang tersimpul dari
kesepakata para pihak, namun pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak
mencerminkan wujud kesepakatan yang sesungguhnya yang disebabkan adanya cacat
kehendak (wilsgebreke) yang mempengaruhi perjanjian. Cacat kehendak dalam
KUHPerdata meliputi:
a. Kesesatan atau dwaling.
b. Penipuan atau bedrog.
c. Paksaan atau dwang.
Bila kata sepakat yang diberikan para pihak tidak berada dalam kerangka yang
sebenarnya, maka hal ini akan mengancam eksistensi perjanjian itu sendiri. Sehingga
pemahaman terhadap asas konsensualisme tidak terpaku pada kata sepakat saja, tetapi
syarat-syarat lain dalam Pasal 1320 KUHPerdata dianggap telah terpenuhi sehingga
perjanjian tersebut menjadi sah.
24
Muhammad Syaifudin, op.cit., hal.77.
20 Asas konsensualisme juga terkandung dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata
memuat ketentuan yaitu perjanjian yang dibuat secara sah tidak dapat ditarik kembali
(diputuskan) secara sepihak, selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang ditentukan undang-undang. Ini berarti bahwa jika satu
pihak ingin memutuskan perjanjian, maka harus memperoleh persetujuan dari pihak
lainnya. Jadi harus diperjanjikan lagi, baru perjanjian dapat diputus oleh salah satu
pihak jika ada persetujuan dari pihak lainnya sebagai wujud dari adanya kesepakatan
para pihak dalam pemutusan perjanjian tersebut.
Bila para pihak tidak mencapai kesepakatan, sehingga diantara para pihak itu
timbul sengketa, dalam arti berbeda pendapat tentang hukum dan faktanya yang
berkaitan dengan pemutusan perjanjian, maka sengketa tersebut diselesaikan oleh
pengadilan negeri melalui prosedur hukum gugatan oleh salah satu diantara dua pihak
yang bersengketa tersebut. Dengan demikian, asas konsensualisme ternyata tidak
hanya harus ada pada saat pelaksanaan perjanjian, namun harus pula ada pada saat
pemutusan perjanjian.
2.
Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral di
dalam hukum perjanjian, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum
namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan perjanjiantual para
pihak. Asas ini merupakan asas yang universal sifatnya, artinya artinya dianut oleh
hukum perjanjian di semua negara pada umumnya.
21 Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak
bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi semangat
liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu.25 Menurut paham individualism
setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, sementara itu di dalam
hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak.
Perjanjian, dalam bentuk yang paling klasik, dipandang sebagai ekspresi
kebebasan manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian. George Jessel,
menyatakan “Perjanjian merupakan wujud kebebasan (freedom of contract) dan
kehendak bebas untuk memilih (freedom of choice).26 Perjanjian dibuat atas pilihan
dan kemauan mereka sendiri, penyelesaian isi perjanjian dilakukan dengan
kesepakatan bersama (mutual agreement).27 Hubungan bebas dan sukarela itu sah
apabila terdapat kesepakatan yang wajar antara para pihak. Apabila kesepakatan
dilanggar maka perjanjian dapat dibatalkan.
Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka, yang artinya hukum
memberikan keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan
hukumnya.28 Apa yang diatur dalam Buku III KUHPerdata hanya sekedar mengatur
dan melengkapi. Berbeda dengan pengaturan Buku II KUHPerdata yang menganut
25
Agus Yudha Hernoko, 2011,Hukum Perjanjian; Asas Proporsionalitas
Dalam Perjanjian Komersial, Kencana Prenada Media Group, hal.109.
26
Ida Bagus Wyasa Putra, 1997, Aspek-aspek Hukum Perdata ; Dalam
Transaksi Bisnis Internasional, PT. Refika Aditama,Bandung, hal.62.
27
Ibid.
28
Agus Yudha, loc. cit.
22 sistem tertutup atau bersifat memaksa (dwingend recht), di mana para pihak dilarang
menyimpangi aturan-aturan yang ada di dalam Buku II KUHPerdata tersebut.
Sistem terbuka pada Buku III KUHPerdata tercermin dalam Pasal 1338 ayat
(1). Menurut Sutan Remi Sjahdeini29 asas kebebasan berkontrak melingkupi ruang
lingkup sebagai berikut :
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan
dibuatnya.
d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang
yang bersifat opsional ( aanvullend, optional)
Asas kebebasan membuat perjanjian terkandung dalam Pasal 1338
KUHPerdata, yang memuat ketentuan-ketentuan normatif, sebagai berikut:
1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.
29
Sutan Remy Sjahdeini, 2009, Kebebasan Berperjanjian dan Perlindungan
Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,
PT.Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hal.54.
23 2. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup
untuk itu.
3. Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Namun yang penting untuk diperhatikan bahwa kebebasan berkontrak
sebagaimana tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tidaklah
berdiri dalam kesendiriannya. Asas tersebut berada dalam satu sistem yang utuh dan
padu dengan ketentuan lain terkait. Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi
bahwa para pihak dalam perjanjian memiliki posisi tawar (bargaining position) yang
seimbang, tetapi dalam kenyataanya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar
yang seimbang.30
Selain dibatasi oleh ketentuan normatif dalam Pasal 1338 KUHPerdata,
kebabasan membuat perjanjian juga dibatasi oleh ketentuan limitatif dalam Pasal
1337 KUHPerdata, karena Pasal ini melarang perjanjian yang substansinya
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jadi setiap
perjanjian yang disepakati tetap sah apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan
peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh dalam satu sistem, maka penerapan
asas kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari substansi Pasal 1338 ayat (1)
30
Agus Yudha, op.cit., hal.111.
24 KUHPerdata harus juga dikaitkan dengan kerangka pemahaman pasal-pasal atau
ketentuan yang lain, yaitu:
1). Pasal 1320 KUHPerdata, ketentuan yang mengatur mengenai syarat syahnya
perjanjian.
2.) Pasal 1335 KUHPerdata, ketentuan yang melarang dibuatnya perjanjian tanpa
causa, atau dibuat berdasarkan suatu causa yang palsu atau yang terlarang,
dengan konsekuensi tidaklah mempunyai kekuatan.
3.) Pasal 1337 KUHPerdata, menentukan bahwa suatu sebab adalah terlarang,
apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum.
4.) Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang mengharuskan bahwa suatu perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik.
5.) Pasal 1339 KUHPerdata, yang mengikat perjanjian dengan sifat, kepatutan,
kebiasaan dan undang-undang.
6.) Pasal 1347 KUHPerdata, yang mengatur mengenai hal-hal yang menurut
kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan ke dalam
perjanjian.
3.
Asas kekuatan mengikat perjanjian (Pacta Sunt Servanda)
Asas hukum ini disebut juga asas pacta sunt servanda, yang terkandung dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yaitu “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pengertian berlaku
25 sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
menunjukkan bahwa
undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam
perjanjian sejajar dengan pembuat undang-undang.31 Menurut Herlien Budiono32,
asas pacta sunt servanda diakui sebagai aturan yang menetapkan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah, mengingat kekuatan hukum yang terkandung di
dalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan
penataannya. jika dipandang perlu dapat dipaksakan dengan bantuan sarana
penegakan hukum.
Perjanjian dianggap sebagai sumber hukum perikatan selain undang-undang ,
karena setiap perikatan lahir dari perjanjian atau undang-undang. Ini berarti bahwa
setiap subjek hukum dapat membentuk hukum, dalam hal ini hukum perjanjian
sebagaimana halnya pembentuk undang-undang. Para pihak yang membuat perjanjian
secara mandiri mengatur pola hubungan-hubungan hukum di antara mereka.
Kekuatan perjanjian tersebut mempunyai daya berlaku seperti halnya undang-undang
yang dibuat legislator dan karenanya harus ditaati oleh para pihak, bahkan jika
dipandang perlu dapat dipaksakan dengan bantuan sarana penegakan hukum.
Terdapat analogi tertentu antara perjanjian dengan undang-undang. Hingga
batas tertentu para pihak yang berkontrak bertindak sebagai pembentukan undang 31
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.127.
Herlien Budiono, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan
Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
(selanjutnya disingkat Herlien Budiono II), hal.31. 32
26 undang. Adapun perbedaannya terkait dengan daya berlakunya, yaitu undang-undang
dengan segala proses dan prosedurnya berlaku dan mengikat untuk semua orang dan
bersifat abstrak. Sementara itu, perjanjian mempunyai daya berlaku terbatas pada para
kontraktan (para pihak) yang bermaksud untuk melakukan perbuatan konkrit.33
Kekuatan mengikat perjanjian, terkait isi perjanjian atau prestasi, tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yag dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk
segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan
atau undang-undang. Hal ini terkandung dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Dalam
pelaksanaanya diberikan penegasan untuk dipenuhinya syarat itikad baik,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata.
4.
Asas itikad baik
Asas itikad baik dalam suatu perjanjian terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata yang berbunyi: ”Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Dalam praktek pelaksanaan perjanjian sering ditafsirkan sebagai hal yang
berhubungan dengan kepatuhan dan kepantasan dalam melaksanakan suatu
perjanjian. Menurut teori klasik hukum perjanjian, asas itikad baik dapat diterapkan
dalam situasi dimana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, akibat ajaran ini
tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap pra perjanjian atau
33
Muhammad Syaifuddin, op.cit., hal.93.
27 tahap perundingan, karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat
tertentu.34
Penerapan asas itikad baik dalam perjanjian bisnis, haruslah sangat
diperhatikan terutama pada saat melakukan pra kontrak atau negoisasi, karena itikad
baik baru diakui pada saat perjanjian sudah memenuhi syarat syahnya perjanjian atau
setelah negoisasi dilakukan. Suharnoko35 menyebutkan bahwa secara implisit
Undang-Undang Perlindungan Konsumen sudah mengakui bahwa itikad baik sudah
harus ada sebelum ditandatangani perjanjian, sehingga janji-janji pra perjanjian dapat
diminta pertanggung jawaban berupa ganti rugi, apabila janji tersebut diingkari.
Asas itikad baik menjadi salah satu instrumen hukum untuk membatasi
kebebasan berkontrak dan kekuatan mengikatnya perjanjian. Dalam hukum perjanjian
itikad baik memiliki tiga fungsi yaitu, fungsi yang pertama, semua perjanjian harus
ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah yaitu
hakim dapat menambah isi perjanjian dan menambah peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan perjanjian itu. Sedangkan fungsi ketiga adalah fungsi
membatasi dan meniadakan.
5.
Asas Proporsionalitas
Asas proporsionalitas merupakan asas yang melandasi atau mendasari
pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagian dalam seluruh
34
Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, PT. Prenada
Media, Jakarta, hal.5.
35
Ibid., hal.9.
28 proses kontraktual.36 Asas proporsionalitas sangat berorientasi pada konteks
hubungan dan kepentingan para pihak seperti menjaga kelangsungan hubungan agar
berlangsung kondusif dan fair.
6.
Asas Kepatutan
Asas ini berkaitan dengan ketentuan dari isi perjanjian. Kepatutan melengkapi
keberlakuan keadilan. Duynstee memberikan definisi kepatutan sebagai kebajikan
yang mendorong manusia untuk menggunakan apa yang menjadi haknya untuk
berbuat secara rasional (menurut akal sehatnya).37 G.W. Paton menegaskan bahwa
kepatutan dalam pelaksanaannya tidak berlawanan dengan hukum, bahkan
pengaruhnya semakin kuat dalam penyelesaian sengketa ketika aspek hukum tidak
mengaturnya.38 Kepatutan sangat membertimbangkan aspek-aspek yang penting yang
melingkupi suatu kasus, yaitu : itikad baik, maksud para pihak, situasi atau keadaankeadaan, dan lain-lain.39 Dalam hal ini hakim dituntut memperhitungkan situasi dan
keadaan yang melingkupi mereka yang melakukan pelanggaran, dan pertimbangan
kepatutan dapat mengarahkan hakim pada putusan yang seadil-adilnya berdasarkan
kepatutan.
36
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.87.
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.66.
38
Agus Yudha Hernoko, loc.cit.
39
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.67. 37
29 5.1.2
Kerangka Konseptual
Dalam penelitian hukum, adanya landasan teoritis dan kerangka konseptual
menjadi syarat yang sangat penting. Suatu kerangka konseptual merupakan kerangka
yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang akan diteliti.40
Dalam kerangka konseptual diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang
akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.
Kerangka konseptual dalam penelitian ini adalah konsep perjanjian, konsep
perikatan, konsep berakhirnya perjanjian, dan konsep pengakhiran perjanjian.
Konsep-konsep tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Perjanjian merupakan perbuatan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan
dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih.
b. Perikatan yaitu suatu hubungan hukum dalam bidang harta kekayaan di antara dua
orang atau lebih, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi sedangkan pihak
yang lain wajib melakukan suatu prestasi.
c. Berakhirnya perjanjian merupakan selesai atau hapusnya sebuah perjanjian yang
dibuat antara dua pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur tentang suatu hal. Pihak
kreditur adalah pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi, sedangkan
debitur adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Sesuatu hal
40
Ronny Hanitijo Soemitro, 1982, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal.25.
30 disini bisa berarti segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh kedua pihak, bisa
jual beli, utang piutang, sewa-menyewa, dan lain-lain.41
e. Pengakhiran perjanjian yaitu penghentian perjanjian
dikarenakan perjanjian
tersebut tidak menetapkan batas waktu.
1.6
1.6.1
Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris42. Penelitian ini mengkaji
pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif (perundang-undangan) dan
perjanjian secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam
masyarakat guna mencapai tujuan yang ditentukan43. Pengkajian tersebut bertujuan
untuk memastikan apakah hasil penerapan pada peristiwa hukum in concreto itu
sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang atau ketentuan perjanjian.
Penelitian ini mengkaji implementasi ketentuan perundang-undangan dan
perjanjian sewa-menyewa pada peristiwa hukum in concreto yaitu perjanjian sewamenyewa yang dibuat tanpa batas waktu dan putusan pengadilan atas perkara
perjanjian tersebut. Tahap pertama penelitian untuk mengetahui bagaimana validitas
perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu dengan menguji perjanjian
sewa-menyewa tanpa batas waktu tersebut dengan ketentuan dalam KUHPerdata
41
Salim H.S., 2011, Hukum Kontrak; Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak,
Sinar Grafika, Jakarta, hal. 163.
42
Bambang Sunggono,2011, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Rajagrafindo
Persada, Jakarta, hal. 42.
43
Abdulkadir Muhammad I, op.cit., hal. 53.
31 khususnya mengenai syarat sahnya perjanjian sewa-menyewa. Tahap kedua untuk
mengetahui bagaimana perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu dapat diakhiri,
apakah pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara sewa-menyewa tanpa batas
waktu telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan ketentuan perjanjian.
1.6.2
Jenis Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konseptual
(conceptual approach).
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan cara
melakukan telaah terhadap semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut
paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.44 Dalam penelitian ini undangundang dan regulasi yang ditelaah antara lain:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Undang-Undang no 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok
Agraria
3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan melakukan telaah terhadap
kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang berkaitan yang telah
menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
44
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hal.93.
32 Hal yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi
atau reasoning yaitu pertimbangan hakim untuk sampai kepada suatu putusan.45
Pendekatan
ini
digunakan
untuk
menelaah
putusan
pengadilan
no.07/Pdt.G./2001/PN.GIR, putusan no: 205/Pdt/2001/PT.DPS serta putusan
Mahkamah Agung Nomor: 2312 K/Pdt/2002 untuk mengetahui pertimbangan
hakim untuk sampai pada putusannya.
c. Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan
mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum,
peneliti akan menemukan ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum
yang relevan dengan isu yang dihadapi.46
1.6.3
Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum yang digunakan antara lain:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat
secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi
pihak-pihak yang berkepentingan (perjanjian, konpensi, dokumen hukum, dan
putusan hakim).47 Bahan hukum yang diteliti dalam penelitian ini antara lain :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
45
Ibid., hal.119.
Ibid., hal. 95.
47
Abdulkadir Muhammad I , op.cit., hal. 93.
46
33 2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria
3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
4) Surat perjanjian bersama-kontrak
5) Putusan Pengadilan no.07/Pdt.G./2001/PN.GIR
6) Putusan Pengadilan no. 205/Pdt/2001/PT.DPS
7) Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2312 K/Pdt/2002
b. Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi,
tesis, disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum.48 Bahan hukum sekunder yang
penulis gunakan dalam penelitian ini antara lain buku-buku ilmu hukum yang
berkaitan dengan hukum agraria, hukum perdata, hukum perikatan, hukum
perjanjian, termasuk jurnal dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan perjanjian
sewa-menyewa.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder49. Dalam penelitian ini
digunakan kamus hukum dan kamus besar Bahasa Indonesia dalam rangka
mencari definisi operasional.
48
49
Peter Mahmud Marzuki, op.cit.,hal.155.
Abdulkadir Muhammad I, op.cit., hal. 93.
34 1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi pustaka yang
meliputi perundang-undangan, yurisprudensi, dan buku-buku literatur. Disamping
studi pustaka juga studi dokumen
hukum
yang tidak dipublikasikan melalui
perpustakaan umum seperti dokumen perjanjian dan putusan pengadilan. Dalam
penelitian ini bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier
akan dikumpulkan berdasarkan metode sistematis.
1.6.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan hukum
1.6.5.1Teknik Pengolahan
Teknik pengolahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain teknik
deskripsi, teknik sistematisasi, dan teknik argumentasi.
a. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari
penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap sesuatu kondisi atau
posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Dalam penelitian ini
permasalahan akan dideskripsikan serinci mungkin sehingga tergambarkan
kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum yang terkait dengan
permasalahan ini.
b. Teknik sistematis adalah berupaya mencari kaitan rumusan suatu konsep atau
proposisi hukum yang berkaitan dengan permasalahan.
c. Teknik argumentasi adalah pemberian alasan-alasan yang bersifat penalaran
hukum.
35 1.6.5.2 Analisis Bahan Hukum
Bahan
hukum
yang
dikumpulkan
disusun
secara
sistematis
untuk
diklasifikasikan sesuai dengan kebutuhannya. Selanjutnya bahan hukum yang telah
disusun tersebut dianalisis secara kualitatif sesuai dengan permasalahan yang diteliti
dengan menggunakan teknik deskripsi, teknik sistematisasi, dan teknik argumentasi
kemudian disajikan dalam bentuk tesis. Penelitian ini merupakan penelitian yang
bersifat deskriptif analitis.
1.7
Sistematika Penulisan
Agar dapat diketahui dengan jelas kerangka dari penulisan tesis ini, maka
perlu dibuat sistematika penulisannya, dimana sistematika dari tesis ini terbagai atas
lima (5) bagian yang disebut dengan bab, yang dimulai dari bab satu sampai dengan
bab lima, masing-masing antara bab yang satu dengan bab yang lainnya saling
berhubungan erat, dan sebagai gambaran mengenai sistematika penulisannya, adalah
sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN, pada bab ini berisi tentang uraian latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan
teoritis dan kerangka konseptual, metode penelitian, serta sistematika
penulisan dari penelitian yang dilakukan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA, pada bab ini pustaka yang diperoleh dari bukubuku ilmu hukum serta peraturan perundang-undangan khususnya tinjauan
36 umum tentang perikatan, tinjauan umum tentang perjanjian, serta tinjauan
umum tentang perjanjian sewa-menyewa.
BAB III : VALIDITAS PERJANJIAN SEWA-MENYEWA TANAH TANPA
BATAS WAKTU, pada bab ini dibahas mengenai validitas suatu
perjanjian, validitas suatu perjanjian sewa-menyewa, serta hasil penelitian
terhadap validitas suatu perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas
waktu.
BAB IV : PENGAKHIRAN PERJANJIAN SEWA-MENYEWA TANAH TANPA
BATAS WAKTU, pada bab ini dibahas mengenai cara berakhirnya suatu
perjanjian, cara berakhirnya suatu perjanjian sewa-menyewa, serta hasil
penelitian mengenai cara pengakhiran perjanjian sewa-menyewa tanah
tanpa
batas
waktu
no.07/Pdt.G./2001/PN.GIR,
dalam
Putusan
Putusan
Pengadilan
Pengadilan
Negeri
Tinggi
no.205/Pdt/2001/PT.DPS serta Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2312
K/Pdt/2002
BAB V : SIMPULAN DAN SARAN, sebagai penutup dari penelitian dengan judul
“Pengakhiran Perjanjian Sewa-menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu”,
maka pada bab ini akan dikemukakan mengenai simpulan dan saran-saran
dari penelitian yang dilakukan yaitu pengujian validitas perjanjian sewamenyewa tanah tanpa batas waktu dan cara mengakhiri perjanjian sewamenyewa tanah tanpa batas waktu dalam putusan pengadilan.
37 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Umum Tentang Perikatan
2.1.1
Pengertian perikatan dan hubungannya dengan perjanjian
Kata perikatan terdapat dalam Pasal 1233 KUHPerdata, yang menyatakan
bahwa perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena undang-undang.
Namun Pasal tersebut tidak memberikan definisi mengenai perikatan, karena
KUHPerdata sendiri memang tidak memberikan definisi tentang perikatan.
Berikut pendapat beberapa sarjana mengenai pengertian dari perikatan pada
Pasal 1233 KUHPerdata: Perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang artinya
hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum. Hubungan yang berada di luar
lingkungan hukum bukan merupakan perikatan.50 Pengertian perikatan menurut
Subekti51
adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain,
dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Perhubungan
yang dimaksud bahwa hak si berpiutang tersebut dijamin oleh hukum atau undangundang. Apabila tuntutan tidak dipenuhi oleh debitur atau si berutang secara sukarela,
maka si berpiutang dapat menuntut haknya di depan hakim.
50
H.Mashudi dan Moch.Chidir Ali, 2000, Pengertian Pengertian Elementer
Hukum Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung, hal.24.
51
Subekti, 2010, Hukum Perjanjian, Cet.XXIII, PT. Intermasa, Jakarta
(selanjutnya disebut Subekti II), hal.1.
38 J. Satrio52 memberikan definisi yang sama mengenai perikatan yaitu hubungan
hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara dua pihak, disatu pihak ada hak dan
di lain pihak ada kewajiban. Adapun dalam hal tidak terpenuhinya suatu prestasi
perikatan dapat dilakukan dengan ganti rugi dalam sejumlah uang tertentu yang
pemenuhannya dapat dituntut di depan hakim. Mariam Darus Badrulzaman53
menegaskan adanya 4 unsur penting dalam suatu perikatan yaitu: hubungan hukum,
kekayaan, pihak-pihak dan prestasi, sehingga memberikan definisi perikatan sebagai
hubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta
kekayaan, dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib
memenuhi prestasi itu.
Sehingga dapat disimpulkan perikatan adalah suatu hubungan hukum antara
dua orang atau dua pihak yang mengadakan perjanjian dimana akan melahirkan hak
dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi kedua belah pihak yang
mengadakan perjanjian tersebut. Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
ini menegaskan tentang kewajiban perdata, yaitu bahwa kewajiban perdata dapat
terjadi karena dikehendaki oleh para pihak, dimana para pihak disini adalah mereka
yang terkait dalam perikatan, baik perikatan yang sengaja dibuat oleh mereka,
ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pihak-
52
J.Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, PT.
Citra Aditya Bakti, hal.5.
53
Mariam Darus Badrulzaman,dkk, op.cit., hal.1.
39 pihak dalam perikatan minimal terdiri dari dua pihak, yaitu pihak yang berkewajiban
(debitur) dan pihak yang berhak atas pemenuhan prestasi (kreditur).
Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa
dengan perjanjian maka akan timbul perikatan. Perjanjian merupakan sumber
terpenting yang melahirkan perikatan, dimana sumber lain adalah undang-undang.
Perjanjian demikian menurut doktrin dikenal sebagai perjanjian obligatoir atau
perjanjian yang menimbulkan perikatan.
2.1.2 Pembagian perikatan
Perikatan dapat dibagi menurut
sumber lahirnya perikatan, dan menurut
isi/prestasi perikatan.
1.
Pembagian perikatan menurut sumber lahirnya perikatan, dibagi menjadi dua,
yaitu54 :
a. Perikatan yang bersumber dari perjanjian. Dasar hukumnya adalah Pasal 1233
ayat (1) KUHPerdata, dimana dengan membuat perjanjian, salah satu atau
lebih pihak dalam perjanjian tersebut mengikatkan dirinya untuk memenuhi
kewajiban sebagaimana yang telah dijanjikan;
b. Perikatan yang bersumber dari undang-undang. Sumber perikatan, selain
perjanjian adalah dari undang-undang. KUHPerdata membagi perikatan yang
lahir dari undang-undang ini menjadi perikatan yang lahir karena undang 54
Kartini Mulyadi, Gunawan Widjaya, 2004, Perikatan pada Umumnya, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 46.
40 undang saja, dan perikatan yang lahir karena undang-undang yang disertai
dengan perbuatan manusia. Untuk perikatan yang lahir dari undang-undang
disertai dengan perbuatan manusia, terbagi atas perbuatan yang bertentangan
dengan undang-undang dan perbuatan yang diperbolehkan oleh undangundang;
2.
Pembagian menurut isi/prestasi perikatan:
Pasal 1234 KUHPerdata membagi perikatan menurut isinya/prestasi
perikatannya ke dalam55 :
a. Perikatan yang ditujukan untuk memberikan sesuatu;
KUHPerdata tidak memberikan definisi dari perikatan untuk memberikan
sesuatu, tetapi dari rumusan yang ditemukan dari Pasal 1235 KUHPerdata
dapat kita ketahui bahwa yang dimaksudkan dengan perikatan untuk memberi
sesuatu adalah perikatan yang mewajibkan debitur untuk menyerahkan suatu
kebendaan. Pengertian kebendaan adalah sebagaimana yang dirumuskan
dalam Pasal 499 KUHPerdata, yaitu setiap barang dan tiap hak yang dapat
menjadi objek dari hak milik. Kebendaan ini selanjutnya dibedakan lagi ke
dalam kebendaan bertubuh, tidak bertubuh, bergerak atau tidak bergerak.
55
Ibid., hal.50-53.
41 b. Perikatan untuk melakukan sesuatu;
Perikatan untuk berbuat atau melakukan sesuatu merupakan perikatan yang
berhubungan dengan kewajiban debitur untuk melaksanakan pekerjaan atau
jasa tertentu untuk kepentingan kreditur.
c. Perikatan untuk tidak melakukan sesuatu
Dalam perikatan untuk tidak melakukan sesuatu, kewajiban prestasinya
bersifat pasif, yaitu tidak berbuat sesuatu atau membiarkan sesuatu
berlangsung.
2.2
Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
2.2.1 Pengertian dan pengaturan perjanjian
Hukum Perjanjian diatur dalam buku III KUHPerdata terdiri dari dua bagian,
yaitu bagian umum yang memuat peraturan yang berlaku bagi perikatan pada
umumnya, dan bagian khusus yang memuat peraturan mengenai perjanjian yang
banyak dipakai dalam masyarakat dan telah memiliki nama-nama tertentu. Pengaturan
secara khusus mengenai perjanjian diatur pada Buku III KUHPerdata, mulai Pasal
1313 sampai dengan Pasal 1351.
Dalam sehari-hari istilah perjanjian disepadankan dengan istilah kontrak.
Dalam penulisan ini istilah perjanjian disamakan dengan perjanjian berlandaskan
pada KUHPerdata buku III titel kedua tentang “perikatan-perikatan yang lahir dari
perjanjian atau kontrak”. Contract adalah: an agreement between two or more
42 persons which creates an obligation to do or no to do a particular thing.56 Unsurunsur esensial kontrak yaitu: component parties, subject matter, a legal
consideration, and mutuality of obligation.57
Di dalam Pasal 1313 KUHPerdata dinyatakan definisi mengenai perjanjian
yaitu “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Rumusan yang diberikan
tersebut hendak memperlihatkan bahwa suatu perjanjian adalah:58
1. suatu perbuatan;
2. antara sekurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua orang);
3. perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji
tersebut.
Kata “perbuatan” dalam rumusan di atas menjelaskan bahwa suatu perjanjian hanya
mungkin tercapai bila ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan, maupun
tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata. Selanjutnya
pengertian “antara sekurangnya dua orang” menunjukkan bahwa suatu perjanjian
tidak mungkin dibuat sendiri. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihakpihak yang berjanji tersebut. Perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan
dirinya kepada orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau
56
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing.Co., ST.
Paul Minnesota, USA, hal.293.
57
Ibid.
58
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian, cet.V, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal.7.
43 prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak)
lainnya yang berhak atas prestasi tersebut yang merupakan perikatan yang harus
dipenuhi oleh orang atau subjek hukum tersebut.59
Dengan demikian, rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa
dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana salah satu pihak merupakan
pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya merupakan pihak berhak
atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu
atau lebih orang. Bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat
juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.60
Selain yang diberikan oleh Pasal 1313 KUHPerdata, beberapa sarjana juga
memberikan perumusan mengenai perjanjian:
1. Menurut Subekti
Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain
atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.61
2. Menurut Wirjono Prodjodikoro
Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua
pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk
59
Gunawan Widjaja, op.cit., hal.285.
Gunawan Widjaja, op.cit., hal.286.
61
Subekti II, loc.cit.
60
44 melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak
lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.62
3. Menurut KRMT Tirtodiningrat
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara
dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat
dipaksakan oleh undang-undang.63
4. Menurut Herlien Budiono
Perjanjian adalah perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya,
hapusnya hak, atau menimbulkan suatu hubungan hukum dan dengan cara
demikian, perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para
pihak. Jika suatu perbuatan hukum adalah perjanjian, orang-orang yang
melakukan tindakan hukum disebut pihak-pihak.64
Berdasarkan uraian pengertian perjanjian menurut beberapa para sarjana, maka dapat
dipahami bahwa: pertama, perjanjian adalah perbuatan hukum dalam lapangan hukum
harta kekayaan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih dengan mengikatkan
dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu atau lebih orang; kedua,
perjanjian menimbulkan akibat hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban yang
konkrit dalam hubungan tersebut.
62
Wirjono Prodjodikoro, 2011, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cet. IX, CV.
Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut Wirjono Prodjodikoro I), hal.4.
63
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.16.
64
Herlien Budiono II, op.cit., hal.3.
45 Pasal 1338 KUHPerdata mengatur mengenai akibat suatu perjanjian bagi para
pihak, yaitu:
a. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya,
b. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu,
c. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Agar kepentingan pihak lain terlindungi karena pada saat dibuat berdasarkan kepada
kesepakatan antara kedua belah pihak, maka pada saat pembatalannnya pun harus atas
kesepakatan kedua belah pihak. Pasal 1339 KUHPerdata menentukan bahwa dalam
suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas
disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutuan, kebiasaan dan
undang-undang. Dengan demikian yang mengikat para pihak dalam perjanjian adalah:
a. isi perjanjian;
b. kepatutan;
c. kebiasaan; dan
d. undang-undang.65
65
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna
Pasal 1233 Sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta, hal.79.
46 2.2.2 Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian
Buku III KUHPerdata mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian,
yaitu:
1. syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata:
- sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
- kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- suatu hal tertentu;
- suatu sebab yang halal.
2. Syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur diluar Pasal 1320
KUHPerdata, yaitu Pasal 1335,Pasal 1339, dan Pasal 1347.66
2.2.3 Unsur-unsur dalam perjanjian
Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam
Perjanjian. Unsur-unsur tersebut diuraikan oleh Ahmadi Miru67 sebagai berikut :
1. Unsur esensialia, adalah unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian, karena
jika tidak ada unsur ini maka perjanjian tidak ada;
2. Unsur naturalia, adalah unsur yang telah diatur dalam undang-undang,
sehingga jika tidak diatur oleh para pihak dalam perjanjian, maka undangundang yang mengaturnya;
66
Muhammad Syaifuddin, op.cit., hal.110.
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Perjanjian dan Perancangan Perjanjian, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal.31-32.
67
47 3. Unsur aksidentalia, adalah unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak jika
para pihak memperjanjikannya. Demikian pula klausul-kalusul lainnya yang
sering ditentukan dalam perjanjian, yang bukan merupakan unsur esensial
dalam perjanjian.
Sedangkan Herlien Budiono68 menggunakan istilah “bagian” dari perjanjian dan
bukan unsur-unsur perjanjian. Pendapatnya terhadap bagian dari perjanjian tersebut
adalah :
1. Bagian esensialia, adalah bagian dari perjanjian yang harus ada. Apabila
bagian tersebut tidak ada, bukan merupakan perjanjian (bernama) yang
dimaksudkan oleh para pihak, melainkan perjanjian lain. Kata sepakat
merupakan bagian esensialia yang harus ada. Dalam perjanjian sewamenyewa bagian esensialianya adalah:
- sepakat dari para pihak;
- objek sewa;
- jangka waktu sewa; dan
- uang sewa.
2. Bagian naturalia, adalah bagian perjanjian yang berdasarkan sifatnya dianggap
ada tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak, yang galibnya
bersifat mengatur termuat di dalam ketentuan perundang-undangan untuk
masing-masing perjanjian bernama. Ini berarti bahwa para pihak bebas untuk
68
Herlien Budiono II, op.cit., hal.67-72.
48 mengaturnya sendiri, bahkan karena ketentuan tersebut tidak bersifat
memaksa, bebas untuk menyimpanginya. Sebaliknya, jika para pihak tidak
mengatur sendiri di dalam perjanjian, ketentuan perundang-undangan tentang
perjanjian tersebut akan berlaku. Bagian naturalia dari perjanjian sewamenyewa adalah ketentuan-ketentuan, baik Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1992 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 maupun KUHPerdata
yang sifatnya tidak memaksa. Contoh dari ketentuan yang bersifat mengatur
yang merupakan bagian naturalia dari perjanjian sewa-menyewa adalah:
perjanjian sewa-menyewa tidak putus dengan dijualnya objek sewa, kecuali
telah diperjanjikan sebelumnya. Jika ada perjanjian demikian, penyewa tidak
berhak menuntut ganti rugi apabila tidak diperjanjikan dengan tegas (Pasal 13
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 jo. Pasal 1576 KUHPerdata).
3. Bagian aksidentalia, adalah bagian dari perjanjian berupa ketentuan yang
diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Misalnya termin (jangka waktu)
pembayaran, pilihan domisili, pilihan hukum, dan cara penyerahan barang.
Contoh dari ketentuan aksidentalia pada perjanjian sewa-menyewa adalah:
- pilihan hukum dan pilihan domisili.
- cara pembayaran uang sewa.
- denda atas keterlambatan penyerahan kembali setelah sewa berakhir.
- Pengaturan pembayaran rekening listrik, air, telepon, pajak bumi dan
bangunan, iuran RT, dan asuransi.
49 Singkatnya bagian aksidentalia pada perjanjian sewa-menyewa adalah bagian
yang tidak termasuk, baik ke dalam bagian essentialia maupun naturalia dari
perjanjian sewa-menyewa.
2.2.4 Jenis-jenis perjanjian
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah
sebagai berikut:69
1. Perjanjian timbal balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok
bagi kedua belah pihak. Misalkan perjanjian jual-beli.
2. Perjanjian cuma-cuma
Perjanjian
dengan
cuma-cuma
adalah
perjanjian
yang
memberikan
keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya: hibah.
3. Perjanjian atas beban
Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi dari pihak
yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua
prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
4. Perjanjian bernama
Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.
Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama
oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi
69
Mariam Darus Badrulzaman,,dkk, op.cit., hal.66-69.
50 sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam bab V sampai dengan bab XVIII
KUHPerdata.
5. Perjanjian tidak bernama
Di luar perjanjian bernama, tumbuh pula perjanjian tidak bernama, yaitu
perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat
di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang
disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti
perjanjian kerja sama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan. Lahirnya
perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak,
dalam mengadakan perjanjian.
6. Perjanjian obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian di mana pihak-pihak sepakat
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain.
Menurut KUHPerdata perjanjian jual beli saja belum lagi mengakibatkan
beralihnya hak milik atas suatu benda dari penjual kepada pembeli.
7. Perjanjian kebendaan
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan
haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban
(oblige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain
(levering, transfer). Penyerahannya itu sendiri merupakan perjanjian
kebendaan. Dalam hal perjanjian jual beli benda tetap, maka perjanjian jual
51 belinya
disebutkan
juga
perjanjian
jual
beli
sementara
(voorlopig
koocontract). Untuk perjanjian jual beli benda-benda bergerak maka
perjanjian obligatoir dan perjanjian kebendaannya jatuh bersamaan.
8. Perjanjian konsensual
Perjanjian konsensual adalah perjanjian di mana di antara kedua belah pihak
telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut
KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338
KUHPerdata).
9. Perjanjian riil
Di dalam KUHPerdata ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku
sesudah terjadi penyerahan barang, misalnya perjanjian penitipan barang
(Pasal 1694 KUHPerdata), pinjam pakai (Pasal 1740 KUHPerdata). Perjanjian
yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil. Perbedaan antara perjanjian
konsensual dan riil ini adalah sisa dari hukum romawi yang untuk perjanjianperjanjian tertentu diambil alih oleh hukum Perdata kita.
10. Perjanjian liberatoir
Perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada,
misalnya pembebasan utang (kwijtschelding) yang diatur dalam Pasal 1438
KUHPerdata.
52 11. Perjanjian pembuktian
Perjanjian di mana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku
di antara mereka.
12. Perjanjian untung-untungan
Perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanjian asuransi
yang diatur dalam Pasal 1774 KUHPerdata.
13. Perjanjian publik
Perjanjian publik yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh
hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan
pihak lainnya swasta. Di antara keduanya terdapat hubungan atasan dengan
bawahan, jadi tidak berada dalam kedudukan yang sama, misalnya perjanjian
ikatan dinas.
14. Perjanjian campuran
Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur
perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa)
tapi pula menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan.
2.2.5 Asas-asas hukum perjanjian
Asas-asas hukum perjanjian menurut fungsinya terdiri dari70:
asas-asas
hukum perjanjian yang membangun konstruksi hukum perjanjian, yaitu membangun
fondasi bagi kontruksi hukum perjanjian yang kokoh, dan menempatkan kedudukan
70
Muhammad Syafuddin, op.cit., hal.76.
53 para pihak dalam hubungan-hubungan hukum kontraktual yang setara. Fungsi yang
kedua, asas yang mengarahkan substansi hukum perjanjian,
yang fungsinya
mengarahkan para pihak
perjanjian, yang
mencakup
hak
dan
untuk menentukan sendiri substansi
kewajiban
mereka
dalam hubungan-hubungan
hukum
perjanjiantual yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan
kesusilaan.
Selanjutnya, asas-asas hukum perjanjian tersebut adalah:
1. Asas-asas hukum perjanjian yang membangun konstruksi hukum perjanjian
a. Asas konsensualisme
b. Asas kebebasan berperjanjian
c. Asas pacta sunt servanda
d. Asas itikad baik
e. Asas proporsionalitas
f. Asas kepercayaan
2. Asas-asas hukum perjanjian yang mengarahkan substansi hukum perjanjian:
a. Asas kepatutan
b. Asas moral
c. Asas kebiasaan
d. Asas ganti kerugian
e. Asas ketepatan waktu
f. Asas keadaan memaksa
54 g. Asas pilihan hukum
h. Asas penyelesaian sengketa
2.2.6
Sifat terbuka hukum perjanjian
Hukum perjanjian menganut asas terbuka, dengan pengertian bahwa setiap
orang bebas untuk membuat perjanjian atau bersepakat tentang segala hal, dalam
bentuk apa pun juga, dengan siapa saja mengenai suatu benda tertentu; selama dan
sepanjang:
1. perjanjian atau kesepakatan tersebut berada dalam lapangan bidang hukum di
mana mereka dimungkinkan untuk berjanji atau bersepakat; dan
2. tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum,
yang berlaku dalam masyarakat di mana kesepakatan atau perjanjian tersebut
dibuat dan dilaksanakan.71
Dengan dibuatnya perjanjian oleh para pihak tersebut yang hanya akan
berlaku secara sah jika dipenuhi keempat unsur yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata, maka berlakulah pula asas-asas umum hukum perjanjian yang berlaku
bagi mereka tersebut. Yang menjadi catatan bahwa suatu perjanjian akan berlaku
menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya, dimana memuat perikatan
atau kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut.
Sifat keterbukaan hukum perjanjian sangat terbatas hanya pada saat para pihak
menyatakan kehendak mereka, yang berada dalam harta kekayaan. Pada saat itu para
71
Gunawan Widjaja, op.cit., hal.301.
55 pihak bebas untuk menentukan kehendak mereka. Setelah tercapai kesepakatan,
mereka tidak lagi dalam lapangan hukum perjanjian, melainkan telah masuk dalam
hukum perikatan yang menentukan mengenai kewajiban, prestasi yang harus
dipenuhi. Jadi hukum perjanjian hanya bersifat terbuka sebatas pada saat
pembentukan perjanjian berdasarkan kesepakatan bebas, mengenai suatu hal tertentu
yang berada dalam lapangan harta kekayaan, tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum. Setelah perjanjian terbentuk, para pihak
tidak lagi bebas untuk menentukan kehendaknya. Bahkan untuk membatalkannya,
para pihak memerlukan bantuan hakim pengadilan.
2.2.7
Berakhirnya perjanjian
Berakhirnya perjanjian merupakan selesai atau hapusnya sebuah perjanjian
yang dibuat antara dua pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur tentang sesuatu hal.
Pihak kreditur adalah pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi, sedangkan
debitur adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi.72
Dalam buku III KUHPerdata telah diatur tentang berakhimva perikatan.
Berakhirnya perikatan diatur dalam Pasal 1381 KUHPerdata. Berakhirnya perikatan
karena perjanjian dibagi menjadi tujuh macam, yaitu73 :
(1) pembayaran;
(2) novasi (pembaruan utang);
72
73
Salim H.S., op.cit., hal.163.
Salim H.S., op.cit., hal.165.
56 (3) kompensasi;
(4) konfusio (percampuran utang);
(5) pembebasan utang;
(6) kebatalan; dan
(7) berlaku syarat batal.
Di samping ketujuh cara tersebut, dalam praktik dikenal pula cara berakhirnya
perjanjian, yaitu:
1. jangka waktunya berakhir;
2. dilaksanakan objek perjanjian;
3. kesepakatan kedua belah pihak;
4. pemutusan perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak; dan
5. adanya putusan pengadilan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berakhirnya perjanjian dapat digolongkan
menjadi dua belas macam, yaitu:
1. pembayaran;
2. novasi (pembaruan utang);
3. kompensasi;
4. konfusio (percampuran utang);
5. pembebasan utang;
6. kebatalan;
7. berlaku syarat batal;
57 8. jangka waktu perjanjian telah berakhir;
9. dilaksanakan objek perjanjian;
10. kesepakatan kedua belah pihak;
11. pemutusan perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak; dan
12. adanya putusan pengadilan.74
Menurut R Setiawan, hapusnya suatu perjanjian harus dibedakan dari
hapusnya suatu perikatan, karena dengan hapusnya perikatan belum tentu menghapus
adanya suatu perjanjian. Adanya kemungkinan perikatan telah hapus sedangkan
perjanjian yang menjadi sumbernya masih tetap ada.75 Pada umumnya perjanjian
akan hapus bila tujuan perjanjian telah tercapai, dan masing-masing pihak telah saling
menunaikan kewajibannya atau prestasinya sebagaimana yang dikehendaki mereka
bersama. Perjanjian dapat hapus karena:
a. tujuan dari perjanjian telah tercapai dan masing-masing pihak telah memenuhi
kewajibannya atau prestasinya.
b. perjanjian hapus karena adanya putusan oleh hakim.
c. salah satu pihak mengakhirinya dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan
setempat terutama dalam hal jangka waktu pengakhiran.
d. para pihak sepakat untuk mengakhiri perjanjian yang sedang berlangsung,
misalnya dalam peristiwa tertentu perjanjian akan hapus seperti yang
74
75
hal.69.
Salim H.S., loc.cit.
R. Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung,
58 disebutkan dalam Pasal 1603 ayat j KUHPerdata yang menyebutkan dengan
meninggalnya salah satu pihak perjanjian akan hapus.
e. perjanjian akan hapus apabila telah lewat waktu yang telah ditentukan
bersama.
f. perjanjian akan berakhir menurut batas waktu yang ditentukan undangundang.76
2.3
Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Sewa-menyewa
2.3.1
Pengertian dan pengaturan perjanjian sewa-menyewa
Salah satu bentuk perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata adalah perjanjian
sewa-menyewa. Perjanjian sewa-menyewa termasuk dalam perjanjian bernama.
Perjanjian ini adalah suatu perjanjian konsensual yang bebas bentuknya. Boleh dibuat
dengan persetujuan lisan atau tertulis. Objek persetujuan sewa-menyewa meliputi
segala jenis benda, baik atas benda berwujud, tak berwujud, maupun benda bergerak
dan tidak bergerak.
Sewa-menyewa diatur dalam Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600
KUHPerdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata yang dimaksud dengan
sewa-menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang
selama waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut
belakangan itu disanggupi pembayarannya.
76
Ibid., hal. 70.
59 Definisi yang lain dari perjanjian sewa-menyewa diungkapkan oleh Subekti77
yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu
benda untuk dipakai selama jangka waktu tertentu sedangkan pihak lainnya
menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada
waktu-waktu yang ditentukan. Menurut M.Yahya Harahap78, perjanjian sewamenyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa.
Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak disewa
kepada penyewa untuk dinikmati sepenuhnya. Perjanjian sewa-menyewa adalah
“penikmatan” atas suatu barang dengan jalan membayar sewa untuk suatu jangka
waktu tertentu. Penikmatan itu tidak terbatas sifatnya. Seluruh kenikmatan yang dapat
dikecap dari barang yang disewa, harus diperuntukkan bagi si penyewa.
Pada dasarnya sewa-meyewa dilakukan untuk waktu tertentu, sedangkan
sewa-menyewa tanpa waktu tertentu tidak diperkenankan. Persewaan tidak berakhir
dengan meninggalnya orang yang menyewakan atau penyewa. Begitu juga karena
barang yang disewakan dipindahtangankan. Disini berlaku asas bahwa jual beli tidak
memutuskan sewa-menyewa.79
Dari uraian di atas, dapatlah dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam
perjanjian sewa-menyewa adalah:
a. Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian
77
Subekti II, op.cit., hal 90.
M.Yahya Harahap,op.cit., hal.220.
79
Salim H.S.,op.cit., hal.58-59.
78
60 b. Adanya suatu benda yang dapat memberikan manfaat (kenikmatan)
c. Adanya pihak yang memiliki suatu benda yang dapat memberi manfaat (pihak
yang menyewakan) dan pihak yang menggunakan manfaat ( pihak penyewa)
d. Adanya imbalan pembayaran suatu harga atas manfaat tersebut
e. Adanya jangka waktu.
Di dalam KUHPerdata tidak ditentukan secara tegas tentang bentuk perjanjian sewamenyewa yang dibuat oleh para pihak. Oleh karena itu, perjanjian sewa-menyewa
dapat dibuat dalam bentuk tertulis atau lisan.Dalam perjanjian sewa-menyewa tanah,
khususnya dalam praktik dibuat dalam bentuk tertulis dan isi perjanjian tersebut telah
dirumuskan oleh para pihak, dan atau notaris.
2.3.2
Subjek dan objek perjanjian sewa-menyewa
Pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa-menyewa adalah:
a. Pihak yang menyewakan
b. Pihak penyewa
Pihak yang menyewakan adalah orang atau badan hukum yang menyewakan barang
atau benda kepada pihak lainya untuk dinikmati kegunaan benda tersebut kepada
penyewa. Pihak yang menyewakan barang atau benda tidak harus pemilik benda
sendiri tetapi semua orang yang atas dasar hak penguasaan untuk memindahkan
pemakaian barang ke tangan orang lain. Hal tersebut dikarenakan di dalam sewamenyewa yang diserahkan kepada pihak penyewa bukanlah hak milik atas suatu
barang melainkan hanya pemakaian atau pemungutan atas hasil dari barang yang
61 disewakan. Pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang menyewa barang
atau benda dari pihak yang menyewakan. Objek barang yang dapat disewakan adalah
barang bertubuh saja, namun ada pendapat lain yang berpendapat bahwa tidak hanya
barang-barang yang bertubuh saja yang dapat menjadi objek sewa melainkan hak-hak
juga dapat disewa.80
Tujuan dari diadakanya perjanjian sewa-menyewa adalah untuk memberikan
hak pemakaian kepada pihak penyewa sehingga benda yang bukan bersetatus hak
milik dapat disewakan oleh pihak yang mempunyai hak atas benda tersebut. Jadi
benda yang dapat disewakan oleh pihak yang menyewakan dapat berupa hak milik,
hak guna usaha, hak pakai, hak mengunakan hasil, hak pakai, hak sewa (hak sewa
kedua) dan hak guna bangunan.
Subekti
berpendapat bahwa dalam perjanjian sewa-menyewa tidaklah
menjadi keberatan apabila harga sewa tersebut berupa uang, barang ataupun jasa.81
Jadi objek dari perjanjian sewa-menyewa adalah segala jenis benda, baik benda
bergerak maupun benda tidak bergerak, benda berwujud maupun benda tidak
berwujud.
80
Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan
Tertentu, hal. 190.
81
Subekti, op.cit., hal. 40.
62 2.3.3
Hak dan kewajiban pihak yang menyewakan dan penyewa
a.
Hak dan kewajiban pihak yang menyewakan
Hak dari pihak yang menyewakan adalah menerima harga sewa yang telah
ditentukan. Pasal 1550 KUHPerdata menentukan tiga macam kewajiban pihak yang
menyewakan. Ketiga macam kewajiban tersebut merupakan kewajiban yang harus
dibebankan pada pihak yang menyewakan, sekalipun hal itu tidak ditentukan dalam
perjanjian82:
1. Kewajiban untuk menyerahkan barang yang disewa kepada pihak penyewa;
2. Kewajiban pihak yang menyewakan untuk memelihara barang yang disewa
selama waktu yang diperjanjikan, sehingga barang yang disewa tadi tetap
dapat dipergunakan, dan dinikmati sesuai dengan hajat yang dimaksud
penyewa;
3. Pihak yang menyewakan wajib memberi ketentraman kepada si penyewa
menikmati barang yang disewa, selama perjanjian sewa berlangsung.
Mengenai kewajiban pertama, yakni menyerahkan barang yang disewa kepada
pihak penyewa. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1551 KUHPerdata, yang menyewakan
harus menyerahkan barang yang disewakan dalam keadaan sebaik-baiknya. Tentang
kewajiban kedua, pihak yang menyewakan wajib memelihara dan melakukan
perbaikan atau reparasi, selama perjanjian sewa-menyewa masih berjalan, terkecuali
pembetulan-pembetulan kecil yang menjadi kewajiban si penyewa.
82
M. Yahya Harahap, op.cit., hal 223.
63 Kewajiban ketiga yakni memberi penikmatan yang tentram bagi pihak si
penyewa, selama jangka waktu perjanjian sewa-menyewa berjalan, meliputi:
menanggung segala kekurangan yang merupakan cacat pada barang yang disewakan,
pihak yang menyewakan tidak boleh merubah bangunan dan susunan barang yang
disewa selama perjanjian sewa-menyewa masih berlangsung, dan pihak yang
menyewakan bertanggung jawab atas cacat barang yang disewa, apabila cacat tadi
menghalangi pemakaian barang.
b.
Hak dan kewajiban pihak penyewa
Hak dari pihak penyewa adalah menerima barang yang disewakan dalam
keadaan baik. Kewajiban pihak penyewa diatur dalam Pasal 1560, 1561, 1564 dan
1566 KUHPerdata. Secara garis besarnya dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Membayar atau melunasi uang sewa sesuai dengan jumlah dan waktu yang
telah ditentukan;
2. Memakai barang yang disewa secara patut sesuai dengan tujuan yang
ditentukan dalam perjanjian;
3. Wajib menanggung segala kerusakan yang terjadi selama masa sewamenyewa. Kecuali jika dapat membuktikan, bahwa kerusakan tersebut bukan
karena kesalahannya, tetapi terjadi diluar kekuasaannya.
4. Harus mengembalikan barang yang disewa kepada yang menyewakan pada
saat berakhirnya perjanjian sewa.
64 Menggunakan atau menikmati objek sewa berlaku selama masa sewa
merupakan hak dari penyewa. Selama itu hak penyewa dimaksud tidak hilang
sekalipun objek dialihkan (dijual) kepada pihak ketiga, kecuali terjadinya pelepasan
atau pembatalan perjanjian karena suatu sebab. Dalam hukum perdata dikenal suatu
kaedah yang diatur dalam Pasal 1576 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi ”jual beli tidak memutuskan sewa-menyewa”. Pasal ini memberikan
kedudukan yang kuat bagi penyewa dalam memanfaatkan objek sewa.
2.3.4 Risiko dalam perjanjian sewa-menyewa
Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu
peristiwa yang terjadi diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang
menjadi objek dari suatu perjanjian.83 Risiko merupakan suatu akibat dari suatu
keadaan yang memaksa (overmacht) sedangkan ganti rugi merupakan akibat dari
wanprestasi.
Pembebanan risiko terhadap objek sewa didasarkan terjadinya suatu peristiwa
diluar dari kesalahan para pihak yang menyebabkan musnahnya barang/objek sewa.
Musnahnya barang yang menjadi objek perjajian sewa-menyewa dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu :
a. Musnah secara total (seluruhnya)
Jika barang yang menjadi oyek perjanjian sewa-menyewa musnah yang
diakibatkan oleh peristiwa di luar kesalahan para pihak maka perjanjian
83
Subekti, op.cit., hal.92.
65 tersebut gugur demi hukum. Pengertian musnah disini berarti barang yang
menjadi objek perjanjian sewa-menyewa tidak lagi bisa digunakan sebagai
mana mestinya, meskipun terdaat sisa atau bagian kecil dari barang
tersebut masih ada.
Ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 1553 KUHPerdata yang
menyatakan jika musnahnya barang terjadi selama sewa-menyewa
berangsung yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang diakibatkan oleh
suatu keadaan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan pada salah satu
pihak maka perjanjian sewa-menyewa dengan sendirinya batal.
b. Musnah sebagian
Barang yang menjadi objek perjanjian sewa-menyewa disebut musnah
sebagian apabila barang tersebut masih dapat di gunakan dan dinikmati
kegunaanya walaupun bagian dari barang tersebut telah musnah. Jika
objek perjanjian sewa-menyewa musnah sebagian maka penyewa
mempunyai pilihan, yaitu :
a. Meneruskan perjanjian sewa-menyewa dengan meminta pengurangan
harga sewa.
b. Meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa.
66 2.3.5 Mengulangsewakan dan melepaskan sewa kepada pihak ketiga
Pihak penyewa dilarang untuk mengulang sewakan objek sewa kepada pihak
ketiga tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari pemilik objek sewa. Mengenai hal
ini diatur di dalam Pasal 1559 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
Si penyewa, jika kepadanya tidak telah diperzinkan, tidak diperbolehkan
mengulang sewakan barang, yang disewanya, maupun melepaskan sewanya
kepada orang lain, atas ancaman pembatalan perjanjian sewa dan pengantian
biaya, rugi, dan bunga, sedangkan pihak yang menyewakan, setelah pembatalan
itu, tidak diwajibkan mentaati perjanjian ulang sewa.
Dari ketentuan yang berlaku dari Pasal 1559 ayat (1) KUHPerdata tersebut dapat
diketahui bahwa:
a. Mengulang-sewakan kepada pihak ketiga hanya dapat dilakukan oleh seorang
penyewa apabila diperbolehkan di dalam perjanjian sewa-menyewa atau
disetujui oleh para pihak.
b. Jika pihak penyewa mengulang-sewakan objek sewa dalam masa sewa maka
pihak yang menyewakan objek sewa dapat melakukan pembatalan perjanjian
sewa-menyewa dan menuntut ganti rugi. Akibat pembatalan perjanjian sewamenyewa tersebut maka perjanjian sewa-menyewa yang dilakukan oleh pihak
penyewa dengan pihak ketiga juga batal demi hukum.
Dari ketentuan Pasal 1559 ayat (1) KUHPerdata tersebut dapat diketahui
tentang istilah mengulang-sewakan dan melepas sewa. Pada prinsipnya kedua
perbuatan tersebut dilarang dilakukan bagi pihak penyewa. Meskipun demikian
perbutan-perbuatan tersebut boleh dilakukan oleh penyewa jika sebelumnya telah
67 diperjanjiakan sebelumnya. Berikut ini adalah perbedaan kedua perbuatan tersebut:
mengulang sewakan yaitu penyewa bertindak sendiri sebagai pihak yang
menyewakan objek sewa dalam suatu perjanjian sewa-menyewa yang diadakan
olehnya dengan pihak ketiga, dan melepaskan sewa adalah pihak penyewa
mengundurkan diri sebagai pihak yang menyewa dan menyuruh pihak ketiga untuk
mengantikan kedudukanya sebagai penyewa sehingga pihak ketiga tersebut
berhadapan sendiri dengan pihak yang menyewakan objek sewa.
68 BAB III
VALIDITAS PERJANJIAN SEWA MENYEWA TANAH
TANPA BATAS WAKTU
3.1
Validitas Perjanjian
Validitas berasal dari bahasa Inggris dari kata validity yang berarti keabsahan
atau kesahihan.84 Dalam kamus hukum arti valid adalah saat sahnya, dan arti kata
validitas adalah syarat mulai berlakunya suatu tindak administratif secara yuridis
formal, yakni saat ditandatanganinya tindak administratif tersebut oleh pejabat yang
berwenang.85 Validitas hukum berarti bahwa norma hukum itu mengikat, bahwa
orang harus berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma hukum, bahwa orang
harus mematuhi dan menerapkan norma hukum. Norma hukum satuan tetap valid
selama norma tersebut merupakan bagian dari suatu tata hukum yang valid.86
Untuk memastikan bahwa suatu perbuatan hukum adalah perjanjian, maka hal
yang harus ditempuh adalah memeriksa validitas dari perjanjian tersebut. A valid
contract is one that meets all of the legal requirements for a binding contract.87Suatu
perjanjian dapat mengikat para pihak, tergantung kepada sah atau tidak sahnya
perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut. Sah atau tidak sahnya suatu
84
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press, Jakarta,
hal.792.
85
Setiawan Widagdo, 2012, Kamus Hukum, PT. Prestasi Pustaka, Jakarta,
hal.575.
86
http://www.referensimakalah.com/2012/10/pengertian-validitas hukum.html.
Jane P.Mallor,et.al, 2007, Business Law: The Ethical, Global, And ECommerce Environment, McGraw Hill Companies, Inc., New York, hal.279.
87
69 perjanjian dapat dipastikan dengan menggunakan instrumen hukum yang menguji
standar keabsahan perjanjian yang mereka buat. Hal tersebut diatur dalam Buku III
KUHPerdata yaitu:
1. Syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan
2. Syarat sahnya perjanjian yang diatur di luar Pasal 1320 KUHPerdata (Pasal
1335, Pasal 1337, Pasal 1339 dan Pasal 1347)88
Pasal 1320 KUHPerdata merupakan instrumen pokok untuk menguji
keabsahan perjanjian yang dibuat oleh para pihak.89 Dalam Pasal 1320 KUHPerdata
terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal;
Sehubungan dengan keempat syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata diatas,
maka terdapat konsekuensi apabila tidak dipenuhinya masing-masing syarat yang
dimaksud. Dua syarat yang pertama, yaitu syarat kesepakatan dan kecakapan
dinamakan syarat-syarat subyektif karena berkenaan dengan orang-orangnya atau
subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat yang kedua yaitu syarat
88
89
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.157.
Agus Yudha Hernoko, loc.cit.
70 suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat-syarat objektif karena
mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut diatas
menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan
kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap
unsur subyektif) maupun batal demi hukum ( dalam hal tidak terpenuhinya unsur
objektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak
dapat dipaksakan pelaksanaannya.90 In common law, contracts are affected by
illegality where the contract was contrary to (1) positive law, (2) morals or good
manners, and (3) public policy.91 Jadi demikian pula di sistem common law, bahwa
suatu perjanjian menjadi tidak sah apabila bertentangan dengan hukum positif yang
berlaku, bertentangan dengan moral atau kepatutan dan ketertiban umum.
Penjelasan masing-masing syarat syahnya suatu perjanjian lebih mendalam
adalah sebagai berikut :
a.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirirnya
Pasal 1320 KUHPerdata syarat pertama mensyaratkan adanya kesepakatan
sebagai salah satu syarat validitas suatu perjanjian. For a contract to be valid, the
90
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, hal.94.
G.H.Treitel, 1995, The Law Of Contract, International Student Edition,
Sweet & Maxwell, London, hal.389.
91
71 parties must consent to the basic matters contained in the agreement.92 Kesepakatan
mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masingmasing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan para pihak saling
bersesuaian.
Kesepakatan yang merupakan pernyataan kehendak para pihak dibentuk oleh
dua unsur, yaitu unsur penawaran dan penerimaan. Penawaran diartikan sebagai
pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian. Usul ini
mencakup esensialia perjanjian yang akan ditutup. Sedangkan penerimaan merupakan
pernyataan setuju dari pihak lain yang ditawari.93 Sepakat ditandai oleh penawaran
dan penerimaan dengan cara : tertulis, lisan, diam-diam, dan simbol-simbol tertentu.94
Sepakat menurut Herlien Budiono, mencakup pengertian tidak saja “sepakat”
untuk mengikatkan diri, tetapi juga “sepakat” untuk mendapatkan prestasi. Dalam
perjanjian timbal balik, masing-masing pihak tidak saja mempunyai kewajiban, tetapi
juga berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Suatu perjanjian sepihak yang
memuat hak atau kewajiban satu pihak untuk mendapatkan/memberikan prestasi,
tetapi mensyaratkan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak.95
Perjanjian yang lahir dari kesepakatan (karena bertemunya penawaran dan
penerimaan),
pada kondisi normal adalah bersesuaian antara kehendak dan
92
Sudargo Gautama, 1995, Indonesian Business Law, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal.74.
93
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal.162.
94
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit., hal.51.
95
Herlien budiono II, op.cit., hal.73-74. 72 pernyataan. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa kesepakatan
dibentuk oleh adanya unsur cacat kehendak. Ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata
menyebutkan hal-hal sepakat tidak terbentuk, yaitu jika sepakat diberikan karena
kesesatan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Selain itu juga terdapat
unsur penyalahgunaan keadaan yang belum diatur secara normatif dalam
KUHPerdata, tetapi berkembang dalam doktrin hukum dan yurisprudensi.
Jadi terdapat empat hal yang dapat dijadikan alasan pembatalan perjanjian
berdasarkan adanya cacat kehendak, yaitu :
-
Kesesatan atau dwaling
Kesesatan dalam perjanjian diatur dalam Pasal 1322 KUHPerdata. Kesesatan
terjadi jika salah satu pihak dalam membuat perjanjian khilaf dalam
mengemukakan pernyataan, atau khilaf mengenai objek perjanjian namun
pihak lain yang mengetahui atau secara normal semestinya dapat
memperkirakan pihak tersebut dalam keadaan khilaf, tetap membiarkan.
- Paksaan atau dwang
Paksaan dalam perjanjian diatur dalam Pasal 1323 sampai dengan Pasal 1327
KUHPerdata. Paksaan adalah suatu perbuatan ancaman yang dilakukan oleh
orang, karena kedudukannya, usia, jenis kelamin sedemikian rupa sehingga
dapat menakutkan orang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan
ancaman itu menjadi kenyataan akan dapat memberikan kerugian pada dirinya
73 secara nyata. Perbuatan ancaman tersebut tidaklah ditujukan kepada fisik,
tetapi merupakan ancaman psikologis yang sifatnya melanggar hukum.
-
Penipuan atau bedrog
Penipuan dalam perjanjian diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata. Penipuan
merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, dimana perjanjian
dibuat karena adanya daya upaya dari salah satu pihak, baik dengan kata-kata
ataupun perbuatan untuk mengelabui pihak lain, sehingga pihak lain setuju
membuat perjanjian
- Penyalahgunaan keadaan
Penyalahgunaan keadaan dikatagorikan sebagai kehendak yang cacat, karena
lebih sesuai dengan dengan isi dan hakekat penyalahgunaan keadaan tersebut,
yang mempengaruhi syarat-syarat subjektifnya.96 Terdapat dua unsur
penyalahgunaan keadaan yaitu: adanya kerugian yang diderita satu pihak dan
adanya penyalahgunaan kesempatan oleh para pihak pada saat terjadinya
perjanjian.
Penyalahgunaan
keadaan
dibedakan
menjadi
dua
yaitu
penyalahgunaan keunggulan ekonomi dan penyalahgunaan keunggulan
kejiwaan.
96
H.P. Panggabean, 2010, Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan Untuk
Pembatalan Perjanjian, Liberty, Yogya, hal.51.
74 b.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Setiap subjek hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan
hukum adalah pengemban hak dan kewajiban hukum. Siapa yang dapat dan boleh
bertindak dan mengikatkan diri adalah mereka yang cakap bertindak dan mampu
utnuk melakukan suatu tindakan hukum yang membawa akibat hukum. Ketentuan
Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa “setiap orang adalah cakap untuk
membuat perikatan-perikatan, terkecuali ia oleh undang-undang dinyatakan tidak
cakap. Tidak cakap menurut hukum adalah mereka yang oleh undang-undang
dilarang melakukan tindakan hukum.
Pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan kriteria orang-orang yang tidak cakap
untuk membuat suatu perjanjian. Pasal ini menerangkan tentang orang yang dianggap
tidak cakap, yakni97 :
1. orang-orang yang belum dewasa, yakni orang yang belum berusia 21 tahun
dan belum menikah karena walaupun belum berusia 21 tahun kalau sudah
menikah, maka sudah dianggap cakap, bahkan walaupun dia bercerai sebelum
berusia 21 tahun;
2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, yakni orang yang gila, kalap
mata, bahkan dalam hal tertentu juga orang yang boros;
3. orang-orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang,
yakni perempuan yang sudah menikah dan tidak didampingi oleh suaminya.
97
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, op.cit., hal.74.
75 Walaupun demikian, ketentuan ini sudah tidak diberlakukan sekarang
sehingga perempuan yang bersuami pun dianggap telah cakap menurut hukum
untuk membuat perjanjian.
4. pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu, khusus bagian keempat ini sebenarnya
bukan tergolong orang yang tidak cakap, melainkan orang yang tidak
berwenang untuk melakukan perbuatan hukum.
Sedangkan dalam hal subjek hukumnya adalah berupa badan hukum standar
kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum tidak menghadapi polemik seperti
pada perorangan, karena cukup dilihat pada kewenangannya. Artinya kecakapan
untuk melakukan perbuatan hukum didasarkan pada kewenangan yang melekat pada
pihak yang mewakilinya. Dengan demikian, untuk mengetahui syarat kecakapan pada
badan hukum harus diukur dari aspek kewenangannya.98
c.
Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu adalah apa yang menjadi kewajiban dari debitur dan apa
yang menjadi hak dari kreditur. Suatu hal tertentu sebagai objek perjanjian adalah
pokok perikatan ataupun sebagai pokok prestasi. Prestasi terdiri atas :
1. memberikan sesuatu;
2. berbuat sesuatu;
3. tidak berbuat sesuatu.
98
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal. 191. 76 Asser-Rutten menyebutkan bahwa menurut tradisi hukum perjanjian, untuk
sahnya suatu perjanjian, maka perjanjian haruslah :
(1) dapat ditentukan;
(2) dapat diperdagangkan (diperbolehkan);
(3) mungkin dilakukan;
(4) dapat dinilai dengan uang.99
Pasal 1333 KUHPerdata menentukan barang yang menjadi objek perjanjian harus
merupakan pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Barang
paling sedikit dapat ditentukan jenisnya misalnya jenis barang yang tampak oleh
mata dapat ditentukan dengan cara menghitung, menimbang, mengukur, menakar,
menentukan batas, menentukan kualitas.
Doktrin hukum mengakui bahwa tidak hanya terhadap benda/barang yang
berwujud, tetapi juga terhadap benda/barang yang tidak berwujud yang akan nada
di kemudian hari, dapat menjadi objek atau pokok persoalan dalam perjanjian,
asalkan benda/barang itu dapat ditentukan kemudian dan dengan syarat-syarat
tertentu. (syarat menangguhkan).100 Jika syarat objektif berupa objek atau pokok
persoalan tertentu atau dapat ditentukan sebagaimana diharuskan oleh Pasal 1332
sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata tidak terpenuhi, maka perjanjian yang
dibuat oleh pihak batal demi hukum, artinya perjanjian tersebut sejak semula
99
Herlien Budiono II,op.cit., hal.107.
Herlien Budiono II, op.cit.,hal.109.
100
77 dianggap tidak pernah ada. Jadi para pihak tidak terikat dengan perjanjian itu,
sehingga masing-masing pihak tidak dapat menuntut pelaksanaan perjanjian, karena
perjanjian sebagai dasar hukum tidak ada sejak semula.
c.
Suatu sebab yang halal
Pengertian sebab atau causa yang halal tidak dijelaskan dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Vullmar memberikan pengertian sebab atau causa yang tidak dilarang
sebagai maksud atau tujuan dari perjanjian.101 Subekti102 menjelaskan bahwa sebab
atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.
Herlien Budiono103 menjelaskan bahwa kata “causa” dalam ilmu hukum
mengandung pengertian sebagai dasar yang melandasi hubungan hukum jika
memenuhi dua syarat: pertama, tujuan perjanjian mempunyai dasar yang pantas/patut;
kedua, harus mengandung sifat yang sah. Perjanjian yang tidak memenuhi dua syarat
tersebut akan menimbulkan akibat hukum mengikat para pihak, karena perjanjian
tersebut menurut undang-undang tidak mempunyai causa.
Menurut Annalisa Yahanan, Muhammad Syaifuddin, dan Yunial Laili104,
kriteria atau ukuran sebab atau causa yang halal adalah:
101
Mummad Syaifuddin,op.cit., hal.131.
Subekti II, op.cit., hal.20.
103
Herlien Budiono II, op.cit., hal.114.
104
Annalisa Yahanan, Muhammad Syaifuddin, dan Yunial Laili Mutiari, 2009,
Perjanjian Jual Beli Berklausula Perlindungan Hukum Paten, Tunggal Mandiri
Publlishing, Malang, hal.24.
102
78 1. Perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Misalnya perjanjian untuk melakukan pembunuhan dengan imbalan tertentu
mempunyai sebab atau causa yang bertentangan atau dilarang oleh Pasal 338
KUHPidana, sehingga perjanjiannya batal demi hukum, dalam arti sejak
semula perjanjian dianggap tidak pernah ada dan para pihak tidak terikat
untuk melaksanakan isi perjanjian;
2. Perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan kesusilaan, yang relatif
tidak sama wujudnya di seluruh dunia, sehingga di Indonesia suatu perbuatan
tertentu dapat dianggap bertentangan dengan kesusilaan. Jadi tergantung pada
anggapan yang didasarkan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat terhadap
perbuatan itu. Misalnya, perjanjian dengan seorang artis film yang berpakaian
sangat minim atau mempertontonkan auratnya;
3. Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, yang
merupakan lawan atau kebalikan dan kepentingan individu. Contohnya,
perjanjian pengangkutan barang yang melebihi daya muat alat pengangkut
dapat membahayakan ketertiban umum.
Perjanjian yang sebab atau causanya yang halal berkaitan dengan tiga aspek dari
perbuatan hukum kontraktual, yaitu:
(1) dilakukannya perbuatan hukum kontraktual;
(2) substansi dari perbuatan hukum kontraktual;
(3) maksud dan tujuan dari perbuatan hukum kontraktual.
79 Jadi, sebab atau causa yang halal ditujukan terhadap pembuatan perjanjian dan
prestasi dalam perjanjian yang harus dilaksanakan oleh para pihak.
Suatu perjanjian tanpa sebab atau dibuat karena sebab yang palsu
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1335 KUHPerdata, adalah termasuk ke dalam
sebab yang tidak halal. Berkaitan dengan sebab yang tidak halal dapat dijumpai
dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, kesusilaan ( Pasal 1254, 1335, 1337 KUHPerdata) dan kebiasaan
dan kepatutan ( Pasal 1339 KUHPerdata).
Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang
dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang
mengikat para pihak, oleh KUHPerdata diberikan asas umum, yang merupakan
pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan
membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan
yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaanya atau
pemenuhannya.
3.2
Validitas Perjanjian Sewa Menyewa
Seperti yang dikemukakan pada bab sebelumnya, dalam Pasal 1548
KUHPerdata dirumuskan bahwa “sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dengan
mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang
lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan
80 pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi
pembayarannya.”
Sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian dimana terdapat pihak-pihak
yang mengikatkan diri untuk suatu prestasi, yaitu pihak yang menyewakan yang
memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak penyewa selama waktu
tertentu dan pihak penyewa yang memberikan prestasi berupa pembayaran suatu
harga yang disanggupi dan merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak.
Validitas perjanjian sewa-menyewa adalah keabsahan daripada perjanjian
sewa-menyewa tersebut yang harus mengikuti kaidah-kaidah hukum perjanjian.
Selain harus memenuhi persyaratan umum yang tercantum dalam Pasal 1280
KUHPerdata, sewa-menyewa harus memenuhi persyaratan khusus yang diatur dalam
Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600 KUHPerdata. Berdasarkan rumusan pengertian
sewa-menyewa dalam Pasal 1548 KUHPerdata, maka dapat disimpulkan beberapa hal
pokok dalam sewa-menyewa:
a.
Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian
Sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian sewa-menyewa harus
memenuhi syarat syahnya perjanjian seperti diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata
yaitu:
-
Adanya kesepakatan diantara mereka yang mengikatkan diri;
-
Pihak-pihak yang melakukannya dianggap cakap untuk membuat suatu
perjanjian;
81 -
Adanya hal tertentu yang diperjanjikan, dan
-
Perjanjian itu harus mengandung suatu sebab yang halal.
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa “semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”,
maka klausul-klausul dalam perjanjian yang telah dibuat dan disepakati oleh para
pihak dengan sendirinya berlaku sebagai undang-undang (pacta sunt servanda) bagi
pihak-pihak tersebut.
Menurut Subekti dengan menekankan pada perkataan “semua”, maka Pasal
tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita
diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang
apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu
undang-undang atau dengan perkataan lain dalam soal perjanjian, kita
diperbolehkan membuat undang-undang bagi kita sendiri. Pasal-Pasal dari hukum
perjanjian hanya berlaku, apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturanaturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu.”105
Para pihak diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjianperjanjian yang mereka adakan itu. Kalau mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal,
itu berarti mengenai soal tersebut akan tunduk kepada undang-undang.
Biasanya orang yang mengadakan suatu perjanjian tidak mengatur secara
terperinci semua persoalan yang bersangkutan dengan perjanjian itu. Pada umumnya
105
Subekti II, op.cit., hal. 14.
82 mereka hanya menyetujui hal-hal pokok saja, dengan tidak memikirkan soal-soal
lainnya.106 Dalam hal perjanjian sewa-menyewa, perjanjian sudah dianggap cukup
jika sudah memuat klausul-klausul apabila setuju tentang barang dan harga sewanya.
Tentang dimana barang harus diserahkan, siapa yang harus memikul biaya
pengantaran barang, tentang bagaimana barang itu musnah dalam perjalanan, soalsoal itu lazimnya tidak terpikirkan dan tidak diperjanjikan.107 Apabila dikemudian
hari terdapat masalah maka yang bersangkutan akan tunduk saja pada hukum dan
undang-undang. ”Namun apabila pembuat perjanjian itu tidak atau kurang memahami
hukum maka akan berlandaskan pada kebiasaan setempat yang mungkin saja
kebiasaan itu sesungguhnya lahir atau sejalan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”108
Perjanjian menganut sistem terbuka yang mengandung pengertian bahwa
perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan
perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu KUHPerdata
dibentuk. KUHPerdata hanya mengatur perjanjian khusus atau perjanjian bernama
yang sudah memang dikenal masyarakat. “Sistem terbuka dalam hukum perjanjian
telah memberi peluang yang sangat luas bagi munculnya jenis-jenis perjanjian baru
106
Subekti II, op.cit., hal. 13.
Subekti II, loc.cit.
108
Than Thong Kie, 2000, Study Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris
Buku I, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal.76.
107
83 yang lazimnya merupakan gabungan dari perjanjian-perjanjian bernama tersebut.”109
Perjanjian sewa-menyewa telah berkembang sedemikian rupa sesuai dengan
perkembangan kebutuhan masyarakat seperti: perjanjian sewa beli, sewa usaha
dengan hak opsi (leasing), perjanjian bangun-pakai-serah (build-operate-transfer)
dan sebagainya.110
Para pihak yang membuat perjanjian, dianggap sudah mengetahui bahwa
mereka tidak hanya mengikatkan diri terhadap apa yang dinyatakan dalam perjanjian
yang dibuatnya tetapi juga telah mengikatkan diri terhadap segala ketentuan
perundang-undangan, kepatutan dan kebiasaan seperti diatur dalam Pasal 1339
KUHPerdata yang berbunyi : “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal
yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.
Dengan demikian, yang mengikat para pihak dalam perjanjian adalah: (i) isi
perjanjian; (ii) kepatutan, (iii) kebiasaan, dan (iv) undang-undang.
b.
Adanya suatu benda yang dapat memberikan manfaat (kenikmatan)
Perjanjian sewa-menyewa tidak mungkin terjadi tanpa adanya suatu yang
dapat memberikan manfaat dan kegunaan atau menurut istilah KUHPerdata suatu
“kenikmatan” kepada si pemakainya. Maksud persetujuan sewa-menyewa ialah
“penikmatan” atas suatu benda dengan jalan membayar sewa untuk suatu jangka
109
G.H.S Lumban Tobing, 2003, Seri Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir
Dari Undang-Undang, Erlangga, Jakarta, hal. 89.
110
Suharnoko, op.cit., hal.44.
84 waktu tertentu. Benda yang menjadi objek sewa-menyewa bukan untuk dimiliki tetapi
hanya untuk dinikmati.
Penikmatan atas seluruh benda yang disewa tidak akan menimbulkan
persoalan, jika si penyewa menguasai seluruh bahagian benda. Masalah penikmatan
bisa menimbulkan persoalan, apabila si penyewa hanya menyewa atas sebahagian
barang saja.111 Seperti halnya penyewaan atas sebagian bawah suatu rumah bertingkat
atau satu kamar dari suatu rumah tentunya penyewa hanya berhak menikmati bagian
yang disewa saja. Atas dasar penikmatan inilah memungkinkan terjadinya perjanjian
sewa-menyewa hanya untuk sebagian saja dari suatu benda. Karena penyewaan atas
suatu kamar jelas dapat dipakai dan dinikmati si penyewa.
Dengan demikian pada sewa-menyewa “sebagian dari suatu benda” dapat
diartikan “benda”. Berbeda pada perjanjian jual beli, pengertian benda adalah
“sesuatu yang utuh” yang dapat diletakkan atasnya hak untuk memiliki.
c.
Adanya pihak yang memiliki suatu benda yang dapat memberi manfaat (yang
menyewakan) dan pihak yang menggunakan manfaat (penyewa)
Unsur ini merupakan subjek perjanjian atau para pihak yang membuat
perjanjian. Subjek perjanjian dapat merupakan orang per orang (naturlijk person) atau
badan hukum (recht person). Sehubungan dengan subjek perjanjian, perjanjian
menganut azas personalia. Azas ini dapat ditemukan dalam dalam ketentuan Pasal
1315 KUHPerdata, yang berbunyi: “Pada umumnya tak seorangpun dapat
111
M. Yahya Harahap, op.cit., hal. 222.
85 mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada
untuk dirinya sendiri.”
Pasal 1315 KUHPerdata diatas menunjuk pada kewenangan bertindak dari
seseorang yang membuat perjanjian. Secara khusus ketentuan Pasal ini menunjuk
pada kewenangan bertindak untuk individu pribadi sebagai subjek hukum pribadi
yang mandiri, yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas nama dirinya
sendiri.112 Dalam kapasitas kewenangan tersebut, sebagai orang yang cakap bertindak
dalam hukum, maka setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang perorangan, sebagai
subjek hukum akan mengikat diri pribadi tersebut, dan lapangan perikatan, mengikat
seluruh harta kekayaan yang dimiliki olehnya secara pribadinya sesuai ketentuan
Pasal 1131 KUHPerdata, yang berbunyi : “Segala kebendaan si berutang, baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan
ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”
Dalam hal, orang perorangan tersebut melakukan tindakan hukum dalam
kapasitasnya yang berada yaitu tidak untuk kepentingan dirinya sendiri, maka
kewenangannya harus disertai dengan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa memang
orang-orang perorangan tersebut tidak membuat atau menyetujui dilakukannya
perjanjian untuk dirinya sendiri. Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja113
112
113
Kartini Muljadi dan Gunawan Wijaya, op.cit., hal.15.
Kartini Muljadi dan Gunawan Wijaya ,op.cit, hal.17.
86 masalah kewenangan bertindak seseorang sebagai individu dapat dibedakan ke
dalam:
1. Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingan dirinya sendiri. Dalam hal ini
ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata berlaku baginya secara pribadi;
2. Sebagai wakil dari pihak tertentu. Mengenai perwakilan ini, dapat dibedakan
kedalam :
a. Badan
hukum
dimana
orang
perorangan
tersebut
bertindak
dalam
kapasitasnya selaku yang berhak dan berwenang untuk mengikat badan
hukum tersebut
dengan pihak ketiga. Dalam hal ini berlakulah ketentuan
mengenai perwakilan yang diatur dalam anggaran dasar dari badan hukum
tersebut, yang akan menentukan sampai seberapa jauh kewenangan yang
dimilikinya untuk mengikat badan hukum tersebut serta batasan-batasannya.
b. Perwakilan yang ditetapkan oleh hukum, misalnya dalam bentuk kekuasaan
orang tua, kekuasaan wali dari anak dibawah umur, kewenangan curator untuk
mengurus harta pailit. Dalam hal ini berlakulah ketentuan umum yang diatur
dalam buku I KUHPerdata dan undang-undang kepailitan sebagaimana
diumumkan dalam Staatsblaad Tahun 1905 No.217 dan Tahun 1906 No. 348
yang telah diubah dengan pemerintah pengganti undang-undangan No.1
Tahun 1998 jo Undang-undang No.4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan jo
Undang – Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Hutang.
87 c. Sebagai kuasa dari orang atau pihak yang memberikan kuasa. Dalam hal ini
berlakulah ketentuan yang diatur dalam Bab XVI Buku III KUHPerdata,
mulai dari Pasal 1792 hingga Pasal 1819 KUHPerdata.
d.
Adanya imbalan pembayaran suatu harga atas manfaat tersebut
Imbalan terhadap pembayaran benda dan manfaatnya merupakan hal penting
untuk menjadikan suatu perjanjian dapat dikategorikan sebagai perjanjian sewamenyewa. Kalau seorang diserahi suatu barang untuk dipakainya tanpa kewajiban
membayar sesuatu apapun, maka yang terjadi adalah perjanjian pinjam-pakai.
Harga sewa merupakan unsur yang esensial dalam perjanjian sewa-menyewa,
sehingga dapat dipastikan selalu tercantum dalam klausul perjanjian tertulis. Namun
masih banyak dalam masyarakat dilakukan perjanjian sewa-menyewa dengan
perjanjian lisan yaitu dengan mengikuti kebiasaan setempat bahkan tidak jarang
terjadi pembayaran dilakukan tanpa kwitansi dan hanya mengandalkan ingatan kedua
belah pihak. Pasal 1569 KUHPerdata, mengantisipasi pengaturan hukumnya sebagai
berikut : “Jika terjadi perselisihan tentang harga suatu penyewaan yang dibuat dengan
lisan, yang sudah dijalankan dan tidak terdapat suatu pembayaran maka pihak yang
menyewakan harus dipercaya atas sumpahnya, kecuali apabila si penyewa memilih
untuk menyuruh menaksir harga sewanya oleh orang-orang ahli.”
e.
Adanya jangka waktu
Jangka waktu merupakan bagian yang esensial dalam perjanjian sewa-
menyewa, sehingga tidak terjadi suatu perjanjian sewa-menyewa tanpa adanya batas
88 waktu. KUHPerdata mengatur perjanjian sewa-menyewa dengan batas waktu baik
yang dibuat dengan tertulis maupun dengan lisan. Pada sewa-menyewa yang dibuat
tanpa batas waktu, batas waktu penghentian yang selayaknya ini berpedoman pada
kepatutan dan kebiasaan setempat. Untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak
diingikan dikemudian hari maka pencantuman “batas waktu yang jelas” sangat
diperlukan.
3.3
Validitas Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu
Telah dijelaskan pada bab sebelumnya dalam buku III KUHPerdata memuat
peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya dan bagian khusus yaitu
perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah memiliki
nama-nama tertentu. Sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian bernama, yaitu
perjanjian khusus yang mempunyai nama sendiri. Bentuk perjanjian sewa-menyewa
ada yang dibuat secara tertulis, dan perjanjian dibuat secara lisan. Dalam prakteknya,
terdapat perjanjian sewa-menyewa tertulis dan lisan dengan batas waktu tertentu,
adapula perjanjian sewa-menyewa yang tidak ditentukan batas akhir waktunya.
Validitas perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu, dapat diuji
dengan menggunakan isntrumen hukum untuk menentukan keabsahan perjanjian
tersebut. Berdasarkan teori validitas dari Hans Kelsen, bahwa norma hukum itu
mengikat, dan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian harus menaati dan
menerapkan norma hukum tersebut. Dalam halnya perjanjian sewa-menyewa, norma
hukum yang harus ditaati dan diterapkan adalah peraturan-peraturan yang termuat
89 dalam Buku III KUHPerdata. Validitas suatu perjanjian sewa-menyewa harus
memenuhi persyaratan umum syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan persyaratan khusus yang diatur dalam Pasal 1548
KUHPerdata tentang sewa-menyewa.
Beberapa contoh putusan mengenai perjanjian sewa-menyewa tanpa batas
waktu adalah sebagai berikut :
1.
Putusan Mahkamah Agung no.3280 K/Pdt/1995,114 sewa-menyewa rumah
yang perjanjiannya tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah
ditentukan bersama dinyatakan berakhir dalam waktu 3 tahun ( Pasal 12 (6)
UU No. 4 tahun 1992 dan Pasal 21ayat (1) PP No. 44 tahun 1992).
2.
Putusan Pengadilan Negeri Pariaman No. 33/ PDT.G/ 2003/PN.PRM,115
menghukum tergugat mengosongkan tanah perumahan sewa terperkara
dengan jalan membongkar rumah milik Tergugat, penggugat sebagai pemilik
tanah objek perkara bagai manapun sudah sepatutnya diberi kesempatan untuk
dapat menikmati tanah objek perkara tersebut.
3.
Putusan Mahkamah Agung No. 2313 K/Pdt/2002,116 menyatakan sah bahwa
ahli waris penyewa berhak menerima dan mewarisi tanah sengketa,
114
Habib Adjie, 2011, “Hukum Perjanjian”, habibadjie.dosen.narotama.
ac.id/files /2011/04/Hukum-Perjanjian-2-Keabsahan-Perjanjian.pdf, hal.32.
115
Sri Hartati, 2008, “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa-menyewa Tanah
Tanpa Batas Waktu Melalui Gugatan Dipengadilan Negeri Pariaman”, Artikel,
Fakultas Hukum Universitas Andalas, hal.15.
116
Lihat lampiran.
90 menyatakan sewa- menyewa tanpa batas waktu adalah sah menurut hukum
berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu setiap persetujuan yang dibuat
oleh kedua belah pihak adalah mengikat sebagai undang-undang bagi yang
membuatnya.
Selanjutnya akan dilakukan pengujian keabsahan terhadap perjanjian sewa –
menyewa tanah tanpa batas waktu yang melatar belakangi putusan MA No. 2313
K/Pdt/2002 tersebut.
Sewa-menyewa tanah
terjadi sejak tahun 1971 di Banjar
Lungsiaka Desa, Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali dibuktikan
dengan surat perjanjian tertanggal 22 September 1971 dengan isi perjanjian sebagai
berikut :
1. Terjadi hubungan sewa-menyewa antara Anak Agung Rai Pande sebagai
pihak pemilik tanah mengadakan perjanjian di bawah tangan dengan Sjamsuari Sjam
selaku penyewa, perjanjian tersebut dibuat diatas kertas segel dengan nama “Surat
Perjajian Bersama-Perjanjian”,
2. Kesepakatan yang diperjanjikan diantara pihak pemilik tanah dan penyewa
tanah yaitu mengenai urusan/penggunaan tanah untuk tanah seluas 30 are (3000m2)
dengan batas-batas nya :
-
Sebelah utara berbatas dengan
: Anak Agung Anom Nesa
-
Sebelah timur berbatas dengan
: sungai
-
Sebelah selatan berbatas dengan
: Tjok. Dugil
91 -
Sebelah barat berbatas dengan
masuk lebar 4 meter dan sisa
: Anak Agung Raka Pande (jalan
tanah)
3. Perjanjian tersebut mulai berlaku tanggal 22 September1971 dan dibayar
seharga Rp. 27.000 (dua puluh tujuh ribu) oleh Sjamsuari Sjam untuk jangka waktu
selama-lamanya/tidak terbatas.
4.
Terdapat 2 (dua) pokok isi perjanjian terkait dengan pihak Anak Agung
Rai Pande sebagai masyarakat setempat pemilik tanah dengan pihak Sjamsuari Sjam
yang saat itu sebagai pengusaha yang beralamat di Jakarta yaitu bahwa:
-
Pihak penyewa berkewajiban menerima anak pihak pertama setelah tamat
sekolah untuk bekerja pada usaha milik penyewa di atas tanah tersebut
-
Pihak penyewa memberikan prioritas kepada keluarga pihak pertama
minimal 4 orang untuk bekerja (buruh rendah) selama usaha
pembangunan.
Dalam Pasal 1548 KUHPerdata tentang sewa-menyewa menyatakan bahwa
yang disebut sewa-menyewa ialah suatu perjanjian dengan mana satu pihak
mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu benda kepada pihak lain
selama jangka waktu tertentu dengan pembayaran tertentu. Bahwa unsur-unsur yang
harus dipenuhi dalam sewa-menyewa adalah:
-
Adanya kesepakatan antara kedua orang atau kedua belah pihak yang
mengadakan perjanjian
92 -
Pihak yang satu menyerahkan / memberikan kenikmatan manfaat suatu benda
( dalam hal ini pemilik barang/benda)
-
Pihak lainnya menerima untuk selama waktu tertentu dengan pembayaran (
dinyatakan dengan sejumlah uang) .
Perjanjian sewa tanpa batas waktu tidak memenuhi unsur-unsur yang harus dipenuhi
dalam perjanjian sewa-menyewa yaitu selama waktu tertentu. Perjanjian ini tidak
valid karena tidak memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sewa-menyewa.
Bagian esensialia dari suatu perjanjian adalah bagian perjanjian yang harus
ada. Apabila bagian tersebut tidak ada, bukan merupakan perjanjian bernama yang
dimaksudkan para pihak.117 Dalam perjanjian sewa-menyewa yang merupakan bagian
esensialia adalah sepakat dari pada para pihak, objek sewa, jangka waktu sewa, dan
uang sewa. Bagian esensialia dari suatu perjanjian mewujudkan bentuk utuh dari
suatu perjanjian, jika hal itu tidak dipenuhi, maka tuntutan terhadap pemenuhan
perjanjian tidak dapat diterima.118 Hal ini merupakan perbuatan hukum yang
nonexistent, yaitu suatu perbuatan yang tidak memenuhi salah satu atau semua unsur
suatu perbuatan hukum (tertentu).119 Maka perjanjian ini dianggap tidak pernah ada
dan tidak mempunyai akibat hukum.
Pada sewa-menyewa, hak menikmati barang yang diserahkan kepada si
penyewa: hanya terbatas pada “suatu jangka waktu tertentu” saja, sesuai dengan
117
Herlien Budiono II, op.cit., hal.67.
Herlien Budiono, op.cit., hal.366.
119
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit.,hal.35
118
93 lamanya jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian.120 Perjanjian sewa tanah
hanya bersifat menikmati manfaat tanah untuk digunakan oleh penyewa dalam waktu
tertentu dengan pembayaran harga sewa dan tidak mengalihkan hak milik atas
tanah.Hak kebendaan seorang pemilik tanah tidak beralih kepada penyewa
Perjanjian sewa-menyewa yang mencantumkan jangka waktu untuk selamalamanya/tidak terbatas tersebut merupakan pengingkaran terhadap lembaga hukum
jual-beli terutama jual-beli atas tanah, karena apabila ada pihak yang memang tidak
beritikad baik dalam perjanjian yang dibuatnya dan mencantumkan jangka waktu
selama-lamanya maka dengan demikian objek menjadi dapat dikuasai untuk selamalamanya tanpa perlu melakukan jual-beli secara sah. Hal ini jelas bertentangan
dengan asas kepastian hukum yang dijamin oleh keberadaan lembaga hukum jualbeli. Pada perjanjian sewa-menyewa tanah untuk waktu selama-lamanya atau tidak
terbatas secara substansi akan sama dengan artinya dengan menjual, ini artinya
melanggar hak asasi dari pemilik untuk dapat menikmati manfaat tanah miliknya
sendiri, sedangkan disisi lain pemilik tanah yang mempunyai sertifikat hak milik (hak
atas tanah turun-temurun, terkuat dan terpenuh) atas tanah tersebut. Sehingga pada
hakikatnya telah terjadinya kekaburan substansi hukum, rasa ketidakadilan dan
ketidak patutan karenanya persewaan bentuk apapun mestinya mengenal batas waktu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas
waktu adalah tidak valid. Tidak valid karena persyaratan khusus yang merupakan
120
M.Yahya Harahap, op.cit., hal.221.
94 bagian yang sangat esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa tidak terpenuhi yaitu
jangka waktu tertentu. Apabila jangka waktunya tidak ditentukan atau tanpa batas
waktu, maka perjanjian tersebut dianggap tidak valid, void dan tidak mempunyai
akibat hukum. Sejalan dengan itu, Catherine Elliot dan Frances Quinn menyatakan
void contracts are agreements that create no legal obligations and for which no
remedy will be given.121
Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu ini pun tidak memenuhi Pasal
1339 KUHPerdata, dimana para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara
tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, namun juga terikat oleh kepatutan,
kebiasaan dan undang-undang. Jangka waktu penggunaan tanah yang selamalamanya/tidak terbatas tersebut telah bertentangan dengan asas kepatutan dalam
masyarakat.
121
Catherine Elliot, Frances Quinn, 2005, Contract Law, Edinburgh Gate,
England, hal. 562.
95 BAB IV
PENGAKHIRAN PERJANJIAN SEWA MENYEWA TANAH
TANPA BATAS WAKTU
4.1
Cara Berakhirnya Perjanjian
Normalnya, suatu perjanjian akan hapus setelah perjanjian tersebut berakhir.
Artinya, ketika seluruh bentuk-bentuk perikatan yang telah disepakati dalam
perjanjian telah dilaksanakan, maka perjanjian berakhir dan hapus dengan sendirinya.
Akan tetapi, selain dari ketentuan-ketentuan berakhirnya perjanjian melalui cara
pemenuhan seluruh ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian (atau
yang dalam pengertian umumnya juga dikenal dengan cara pelunasan atau
pembayaran) KUHPerdata berdasarkan Pasal 1381 mengatur tentang cara berakhirnya
perikatan berdasarkan perjanjian, yaitu :
1.
Berakhirnya perjanjian karena pembayaran
Pemenuhan kewajiban adalah pelaksanaan isi perjanjian. Dengan telah
dipenuhinya apa yang dijanjikan, maka tujuan perikatan telah tercapai. Dikatakan
perikatan berakhir. Undang-undang menggunakan beberapa istilah untuk menunjuk
pada
pelaksanaan
kewajiban,
seperti
“pemenuhan”,
“pembayaran”,
dan
“pelaksanaan”.122
Berakhirnya perjanjian karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam
Pasal 1382 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1403 KUHPerdata. Ada dua pengertian
122
Herlien Budino II, op.cit. hal.168.
96 pembayaran, yaitu pengertian secara sempit dan yuridis teknis.123 Pengertian
pembayaran dalam arti sempit, adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur.
Pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Namun, pengertian
pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang atau barang, tetapi
juga dalam bentuk jasa, seperti jasa dokter bedah, tukang cukur atau guru privat.
Syarat utama pemenuhan kewajiban adalah karena adanya perikatan.
Pembayaran yang dilakukan kepada orang yang tidak berwenang untuk menerima
pembayaran menyebabkan pembayaran tersebut dapat dituntut kembali, demikian
ketentuan Pasal 1359 ayat (1) KUHPerdata. Ketentuan Pasal 1382 KUHPerdata
mengatur siapa yang dapat melakukan pembayaran, yaitu:
a. debitur yang berkepentingan langsung;
b. pihak ketiga yang berkepentingan, yakni pihak yang juga turut berkewajiban
untuk membayar, yakni penanggung utang (borg) atau orang yang turut
berutang;
c. pihak ketiga lainnya yang tidak berkepentingan asalkan bertindak atas namanya
sendiri dengan maksud untuk melunasi utang debitur atau atas namanya sendiri
asalkan tidak menggantikan hak-hak kreditur.
Sedangkan pihak yang berhak untuk menerima pembayaran diatur dalam Pasal 1385
KUHPerdata yaitu:
a. kreditur; atau
123
Salim H.S., op.cit.,hal.165.
97 b. orang yang menerima kuasa dari kreditur; atau
c. orang yang telah ditunjuk oleh hakim; atau
d. orang-orang yang berhak menurut undang-undang.
Ketentuan-ketentuan yang diatur sebagai dasar dari berakhirnya perjanjian
melalui pembayaran tersebut di atas, sangat menekankan pada bentuk-bentuk
penyelesaian yang disepakati oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu
sendiri.Misalnya, tentang pembayaran kepada pihak yang berhak dengan jumlah dan
tata cara yang disepakati oleh keduanya. Dengan kalimat lain, tidak ada alasan untuk
melakukan pembayaran jika memang tidak ada kewajiban untuk itu. Begitu pula
sebaliknya, tidak ada alasan untuk menerima pembayaran bila tidak ada hak untuk itu.
2.
Pembaruan utang (Novasi)
Novasi diatur dalam Pasal 1413 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1421
KUHPerdata. Novasi
adalah sebuah persetujuan, di mana suatu perikatan telah
dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di
tempat yang asli.124 Novasi diartikan pula sebagai perjanjian yang menggantikan
perikatan yang lama dengan perikatan yang baru. Penggantian tersebut dapat terjadi
berkenaan dengan salah satu pihak, yakni kreditur atau atau debitur, ataupun terjadi
pada objek perjanjiannya.
Ketentuan Pasal 1413 KUHPerdata menyebutkan bahwa pembaruan utang
dilaksanakan dengan tiga jalan, yaitu:
124
Salim H.S.,op.cit., hal.168.
98 a. apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna
orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang
lama, yang dihapuskan karenanya. Terjadi dan dikenal sebagai novasi
objektif;
b. apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang
berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya.
Terjadi dan dikenal sebagai novasi subjektif pasif;
c. apabila sebagai akibat suatu persetujan baru, seorang berpiutang baru
ditunjuk untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap siapa si
berutang dibebaskan dari perikatannya. Terjadi dan dikenal sebagai novasi
subjektif aktif.
Sementara itu, yang merupakan unsur-unsur novasi adalah sebagai berikut:
a. adanya perjanjian baru;
b. adanya subjek yang baru;
c. adanya hak dan kewajiban; dan
d. adanya prestasi.
3.
Kompensasi
Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 KUHPerdata
sampai dengan Pasal 1435 KUHPerdata. Kompensasi adalah perjumpaan utang antara
debitur dan kreditur yang sama-sama mempunyai piutang ataupun tagihan diantara
kedua belah pihak. Contohnya A mempunyai tagihan Rp. 1 juta kepada B, dimana
99 pada saat yang bersamaan B juga mempunyai tagihan kepada A. Dengan keadaan ini
A dan B dapat mengadakan perjumpaan utang yang akhirnya akan membebaskan
kedua belah pihak dari perjanjian-perjanjian yang telah diperjumpakan tadi.
4.
Percampuran utang
Percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 KUHPerdata sampai dengan
Pasal 1437 KUHPerdata. Percampuran utang adalah percampuran kedudukan sebagai
orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu (Pasal 1436
KUHPerdata). Percampuran utang terjadi apabila kedudukan sebagai orang
berpiutang dan orang yang berutang berada pada satu orang, akan mengakibatkan
secara hukum terjadinya percampuran utang yang mengakibatkan hapusnya piutang
yang ada. Ada dua cara terjadinya percampuran utang, yaitu:
a. dengan jalan penerusan hak dengan alas hak umum, misalnya si kreditur
meninggal dunia dan meninggalkan satu-satunya ahli waris, yaitu debitur.
Ini berarti bahwa dengan meninggalnya kreditur maka kedudukan debitur
menjadi kreditur;
b. dengan jalan penerusan hak di bawah alas hak khusus, misalnya pada jual
beli atau legaat.
Pada umumnya percampuran utang terjadi pada bentuk-bentuk debitur menjadi ahli
waris dari debitur.
100 5.
Pembebasan utang
Pembebasan utang diatur dalam Pasal 1438 KUHPerdata sampai dengan Pasal
1443 KUHPerdata. Pembebasan utang merupakan suatu kesepakatan yang secara
sukarela dilakukan oleh seorang kreditur terhadap debiturnya, dan ataupun pihakpihak yang terikat untuk menyelesaikan kewajiban tersebut untuk membebaskan
debitur dari seluruh kewajiban-kewajiban utangnya. Ada dua cara terjadiya,
pembebasan utang, yaitu: (1) cuma-cuma; dan (2) prestasi dari pihak debitur.
Pembebasan ini didasarkan pada perjanjian.
6.
Kebatalan
Kebatalan perjanjian diatur dalam Pasal 1446 KUHPerdata sampai dengan
Pasal 1456 KUHPerdata. Ada empat penyebab timbulnya pembatalan perjanjian,
yaitu:
a. adanya perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa dan di
bawah pengampuan;
b. tidak mengindahkan bentuk perjanjian yang disyaratkan dalam undangundang;
c. adanya cacat kehendak;
d. tidak
terpenuhinya salah satu atau semua unsur dari suatu perjanjian
(nonexsistent).
Akibat dari kebatalan apakah karena batal demi hukum atau setelah adanya tuntutan
akan kebatalannya mempunyai akibat yang sama, yaitu tidak mempunyai akibat
101 hukum (yang diinginkan). Demikian pula dengan perbuatan hukum yang nonexistent.
Ketiga peristiwa hukum tersebut berakibat sama.125
Kebatalan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kebatalan mutlak dan
kebatalan relatif. Kebatalah absolut adalah perbuatan hukum yang batal demi hukum,
yaitu atas perbuatan hukum tersebut sejak terjadinya perbuatan hukum tidak
mempunyai akibat hukum. Sedangkan yang dimaksudkan dengan kebatalan relatif
adalah perbuatan hukum yang dapat dibatalkan dimana keadaan di mana keadaan
dapat dibatalkannya atau disahkannya perbuatan hukum digantungkan pada keinginan
satu pihak.
Perbedaan antara batal dapat dibatalkan di satu pihak dan nonexistent di lain
pihak secara juridis praktis memang tidak ada perbedaannya karena kedua kelompok
tersebut sama-sama tidak mempunyai akibat hukum, hanya penyebabnya yang
berbeda.126 Perbedaan secara juridis dogmatis antara penyebab kebatalan mempunyai
nilai di dalam menentukan permohonan pembatalan melalui pengadilan negeri. Jelas
pada perbuatan hukum yang nonexistent tidak perlu dimohonkan pembatalannya
karena secara juridis dogmatis perbuatan tersebut “tidak ada”, sedangkan pada
perbuatan hukum yang cacat lainnya dapat dimohonkan dengan putusan atau dengan
penetapan pengadilan negeri. Apabila cacat pada perbuatan hukum berakibat batal
125
126
Herlien Budiono, op.cit., hal.381.
Herlien Budiono, op.cit., hal.384.
102 demi hukum, penetapannya bersifat deklaratoir, sedangkan untuk perbuatan hukum
yang dapat dibatalkan, sifat keputusannya adalah constitutief.127
7.
Berlakunya syarat batal
Syarat batal adalah suatu syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan
perjanjian dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula, seolah-olah tidak ada
suatu perjanjian (Pasal 1265 KUHPerdata). Biasanya syarat batal berlaku pada
perjanjian timbal balik. Seperti pada perjanjian jual beli, sewa-menyewa dan lain-lain.
Ketentuan Pasal 1266 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan syarat batal dianggap selalu
dicantumkan dalam perjanjian timbal balik. Manakala salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya, dianggap syarat batal yang diperjanjikan dipenuhi. Dalam
hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, demikian ketentuan Pasal 1266 ayat
(2) KUHPerdata, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
Disamping ketujuh cara tersebut diatas, dalam praktik dikenal pula cara
berakhirnya perjanjian yaitu:
8.
Jangka waktu perjanjian telah berakhir
Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak, baik perjanjian yang dibuat
melalui akta di bawah tangan maupun yang dibuat oleh atau di muka pejabat yang
berwenang telah ditentukan secara tegas jangka waktu dan tanggal berakhirnya
perjanjian. Penentuan jangka waktu dan tanggal berakhirnya perjanjian dimaksudkan
bahwa salah satu pihak tidak perlu memberitahukan tentang berakhirnya perjanjian
127
Herlien Budiono, loc.cit.
103 tersebut, namun para pihak telah mengetahuinya masing-masing. Penentuan jangka
waktu dan tanggal berakhirnya perjanjian adalah didasarkan pada kemauan dan
kesepakatan para pihak. Ada perjanjian yang jangka waktu dan tanggal berakhirnya
perjanjian singkat dan ada juga jangka waktu dan tanggal berakhirnya lama.
9.
Dilaksanakan objek perjanjian
Pada dasarnya objek perjanjian adalah sama dengan prestasi. Prestasi itu
terdiri dari melakukan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Di dalam
perjanjian timbal balik, seperti jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar dan lain-lain
telah ditentukan objek perjanjian. Misalnya, dalam perjanjian jual beli tanah, yang
menjadi objek perjanjian adalah barang dan harga.
Pihak penjual tanah berkewajiban untuk menyerahkan tanah secara riil dan
menyerahkan surat-surat tanah tersebut, begitu juga pembeli tanah berkewajiban
untuk menyerahkan uang harga tanah tersebut. Sedangkan hak dan penjual tanah
adalah menerima uang harga tanah dan hak dari pihak pembeli menerima tanah
beserta surat-surat yang menyertainya.
Dengan telah dilaksanakan objek perjanjian maka perjanjian antara penjual
dan pembeli telah berakhir, baik secara diam-diam maupun secara tegas. Contoh
lainnya, dalam perjanjian jasa dokter, di mana dokter memeriksa pasien dan
menyerahkan resep kepada pasien, dan pasien membayar jasa dokter. Sejak terjadi
pembayaran jasa dokter oleh pasien, pada saat itulah perjanjian itu telah berakhir.
104 10.
Kesepakatan kedua belah pihak
Kesepakatan kedua belah pihak merupakan salah satu cara berakhirnya
perjanjian, di mana kedua belah pihak telah sepakat untuk menghentikan perjanjian
yang telah ditutup antara keduanya. Motivasi mereka untuk menyepakati berakhirnya
perjanjian tersebut adalah berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Ada yang
menyepakatinya didasarkan pada nila-inilai kemanusiaan dan ada juga yang
menyepakati karena bisnis. Pertimbangan karena bisnis adalah didasarkan pada
untung rugi. Apabila salah satu pihak merasa rugi untuk melaksanakan substansi
perjanjian tersebut, salah satu meminta kepada pihak lainnya untuk mengakhiri
perjanjian tersebut dan pihak lainnya akan menyetujuinya.
11.
Pemutusan perjanjian secara sepihak
Pada dasarnya suatu perjanjian harus dilaksanakan oleh para pihak
berdasarkan itikad baik, namun dalam kenyataannya sering kali salah satu pihak tidak
melaksanakan substansi perjanjian, walaupun mereka telah diberikan somasi
sebanyak tiga kali berturut-turut. Karena salah satu pihak lalai melaksanakan
prestasinya maka pihak yang lainnya dengan sangat terpaksa memutuskan perjanjian
itu secara sepihak.
Pemutusan perjanjian secara sepihak merupakan salah satu cara untuk
mengakhiri perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Artinya pihak kreditur
menghentikan berlakunya perjanjian yang dibuat dengan debitur, walaupun jangka
105 waktunya belum berakhir. Ini disebabkan debitur tidak melaksanakan prestasi
sebagaimana mestinya.
12.
Putusan pengadilan
Penyelesaian sengketa di bidang perjanjian dapat ditempuh melalui dua pola,
yaitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan lazim disebut dengan alternative dispute resolution (ADR). Cara ini dapat
dilakukan dengan konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.
Apabila kelima cara itu telah dilakukan oleh para pihak namun masih juga menemui
jalan buntu maka salah satu pihak, terutama pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan
perjanjian dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri di tempat perjanjian atau
objek berada. Biasanya dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak, telah
ditentukan tempat penyelesaian sengketa.
4.2
Cara Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa
Perjanjian berakhir secara umum diatur di dalam undang-undang. Penentuan
berakhirnya perjanjian sewa-menyewa terkait dengan bentuk perjanjian. Ketentuan
hukum perjanjian sewa-menyewa di dalam KUHPerdata membedakan antara
perjanjian sewa-menyewa yang dibuat secara lisan dan tertulis. Berikut ini cara-cara
berakhirnya perjanjian sewa-menyewa:
106 4.2.1
Berakhir sesuai dengan batas waktu tertentu yang sudah ditentukan
a. Perjanjian sewa-menyewa tertulis
Diatur di dalam Pasal 1570 KUHPerdata yang berbunyi: “jika sewa dibuat
dengan tulisan, maka sewa tersebut berakhir demi hukum, apabila waktu yang
ditentukan telah lampau tanpa diperlukanya suatu pemberitahuan untuk itu”.
Dalam perjanjian sewa-menyewa yang masa berakhirnya telah ditentukan
secara tertulis, sewa-menyewa dengan sendirinya berakhir sesuai dengan batas
waktu yang telah ditentukan dalam persetujuan secara tetulis, perjanjian sewa
berakhir tepat pada saat yang telah ditetapkan.128
b. Perjanjian sewa-menyewa lisan
Diatur dalam Pasal 1571 KUHPerdata yang berbunyi: “jika sewa tidak dibuat
dengan tulisan, maka sewa tersebut tidak berakhir pada waktu yang
ditentukan, melainkan jika pihak lain menyatakan bahwa ia hendak
menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang waktu yang
diharuskan menurut kebiasaan setempat.”
Dalam hal ini, berakhirnya sewa-menyewa tidak disudahi sesaat setelah
lewatnya batas waktu yang telah ditentukan. Melainkan setelah adanya
pemberitahuan dari salah satu pihak, yang menyatakan kehendak akan
mengakhiri sewa-menyewa. Pemberitahuan pengakhiran sewa tersebut, harus
memeperhatikan jangkauan waktu yang layak menurut kebiasaan setempat.
128
M. Yahya Harahap, op.cit., hal.238.
107 4.2.2 Batas akhir sewa-menyewa tidak ditentukan waktunya.
Berakhirnya waktu sewa dalam perjanjian sewa-menyewa seperti ini
didasarkan pada pedoman bahwa berakhirnya sewa-menyewa pada saat yang
dianggap pantas oleh para pihak. Undang-undang tidak mengatur berakhirnya
perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu, yang diatur dalam undangundang hanya berakhirnya sewa-menyewa tertulis dan lisan yang mempunyai
batas waktu tertentu. Oleh karena itu pengakhiran perjanjian sewa-menyewa
tanpa batas waktu tertentu sebaiknya diserahkan kepada penghentian yang
selayaknya bagi kedua belah pihak atau batas waktu penghentian yang
selayaknya ini berpedoman kepada kepatutan dan kebiasaan setempat.129
4.2.3
Berakhirnya sewa-menyewa dengan ketentuan khusus
a. Permohonan/pernyataan dari salah satu pihak
Penghentian
perjanjian
sewa-menyewa
hanya
dapat
dilakukan
atas
persetujuan kedua belah pihak yaitu pihak yang menyewakan dengan pihak
penyewa. Penghentian karena kehendak para pihak ini bisa dilakukan tanpa
putusan dari pengadilan. Dalam Pasal 1579 KUHPerdata diatur bahwa pemilik
barang tidak dapat menghentikan sewa dengan mengatakan bahwa ia akan
menggunakan sendiri barangnya, kecuali apabila pada saat membentuk
perjanjian sewa-menyewa ini diperbolehkan, dimana hal tersebut telah
ditentukan lebih dulu dalam perjanjian. Namun jika ketentuan tersebut tidak
129
M.Yahya Harahap , op.cit., hal.240.
108 disebutkan dalam perjanjian, maka pihak yang menyewakan tidak dapat
mempergunakan alasan dimaksud.
b. Putusan Pengadilan
Penghentian hubungan sewa-menyewa yang dikehendaki oleh salah satu pihak
saja, hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan seperti yang diatur di
dalam Pasal 10 ayat (3) PP No. 49 Tahun 1963 jo PP No. 55 Tahun 1981.
Perjanjian berakhir atau hapus, karena terdapat putusan hakim yang memutus
berakhirnya perjanjian tersebut, berdasarkan gugatan pembatalan yang
diajukan oleh salah satu pihak.
Berikut beberapa putusan Mahkamah Agung tentang sewa-menyewa:130
1. -Dalam hal tergugat secara melawan hukum telah menyewakan rumah
milik penggugat kepada pihak ketiga, maka penggugat berhak atas
ganti kerugian dari tergugat, yang besarnya sama dengan uang sewa
yang oleh tergugat telah diterima dari pihak ketiga tersebut.
-Dalam hal uang sewa ditentukan dalam mata uang asing, maka ganti
rugi itu dihitung dalam mata uang republik Indonesia (rupiah), sesuai
dengan nilai lawan (kurs) mata uang asing tersebut dalam rupiah pada
waktu putusan pengadilan dijatuhkan (MA tanggal 17-91973 No. 625
K/Sip/1972).
130
Habib Adjie, loc.cit, hal.31-35.
109 2. Segala
sesuatu
mengenai
penghentian
sewa-menyewa
dan
pengosongan rumah merupakan wewenang Kantor Urusan Perumahan
(MA tanggal 22-3-1972 No. 937 K/Sip/1970).
3. -Apabila pembeli kolam mengetahui bahwa kolam yang bersangkutan
ada pada (sedang disewa oleh) orang lain, maka ia juga mengambil
risiko atas beban yang mungkin akan mengakibatkan kerugian
baginya, sehingga tidak ada alasan yang cukup untuk mengabulkan
gugatan atas ganti kerugian yang dideritanya.
-Sekalipun pemilik baru berhak menghentikan hubungan sewamenyewa tanah yang diadakan oleh pemilik lama dengan memberikan
waktu yang layak kepada penyewanya, ia wajib membayar ganti
kerugian kepada penyewa tersebut.
-Bila sebidang tanah yang disewa oleh orang lain dijual, maka
hubungan sewa-menyewa dengan pemilik lama harus dihormati oleh
pemilik baru, dengan pengertian bahwa apabila pemilik baru hendak
menghentikan hubungan sewa-menyewa itu, ia harus memberi waktu
yang layak kepada penyewa untuk mengosongkan tanah tersebut dan
menyerahkannya kepadanya. (MA tanggal 12-9-1970 No. 130
K/Sip/1970).
110 4. MA No. 213 K/Sip/1979, sebagai penyewa, penggugat tidak
mempunyai
kedudukan
untuk
menggugat
tentang
beralihnya
kepemilikan.
5. MA
No.
313
K/Sip/1960,
penjualan
sebidang
tanah
tidak
mengakibatkan putusnya perjanjian sewa-menyewa yang telah ada
antara pemilik tanah yang lama.
6. MA No. 287 K/Sip/1963, Pasal 1553 BW menentukan kalau barang
yang disewa adalah musnah dari sebab suatu keadaan yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan pada salah satu pihak, maka perjanjian sewamenyewa dengan sendirinya batal. Perkataan “musnah” ini harus
ditafsirkan sedemikian rupa, bahwa barang itu tidak usah sama sekali
musnah melainkan sudah cukup, apabila barang itu rusak sedemikian
rupa, sehingga tidak dapat lagi dipergunakan.
7. MA No. 219 K/Sip/1955, hak penyewa untuk membongkar dan
mengambil barang-barangnya yang ada pada benda yang disewanya
sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 1567 BW hanya dapat
dilaksanakan pada waktu ia meninggalkan benda yang disewanya itu
dan tidak lagi sesudah itu.
8. MA No. 3280 K/Pdt/1995, sewa-menyewa rumah yang perjanjiannya
tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah ditentukan
111 bersama dinyatakan berakhir dalam waktu 3 tahun ( Pasal 12 (6) UU
No. 4 tahun 1992 dan Pasal 21ayat (1) PP No. 44 tahun 1992).
9. MA No. 199 K/sip/1962, hukum adat yang kini dianggap berlaku tidak
mengenal ketentuan seperti Pasal 1579 BW yang tidak membolehkan
perjanjian sewa-menyewa rumah dihentikan oleh yang menyewakan
dengan alasan akan memakai sendiri rumah itu.
10. MA No. 32 K/Sip/1954, menurut Pasal 1579 BW hubungan sewamenyewa suatu perkarangan tidak dapat dihentikan dengan alasan
pekarangannya akan dipakai sendiri oleh pihak yang menyewakan,
kecuali apabila pada waktu membentuk persetujuan sewa-menyewa ini
dijanjikan diperbolehkan. Adanya janji ini tidak didalilkan oleh
penggugat maka gugatannya tidak dapat diterima.
11. MA No. 7 K/Sip/1959, dalam hal ini, oleh karena menurut Pasal 1567
BW pada waktu terhentinya sewa si penyewa dapat mengambil segala
sesuatu yang dipasang olehnya pada perkarangan yang disewa, maka si
pemilik pekarangan tidak berhak membongkar begitu saja bangunan
tersebut tanpa izin si penyewa.
12. MA No. 313 K/Sip/1960, perjanjian sewa-menyewa sebidang tanah
bertahan terus, meskipun pemilik tanah menjualnya kepada orang lain.
13. MA No. 1400 K/Sip/1974, membongkar, mengubah dan mendirikan
bangunan adalah hak pemilik, bukan hak penyewa, pengadilan tidak
112 dapat member izin untuk membangun, membongkar mengubah
bangunan kepada penyewa.
14. MA No. 227 K/Sip/1973, karena sewa-menyewa diadakan tanpa
ketentuan mengenai batas waktu serta alasan-alasan berakhirnya
sewa,hubungan sewa-menyewa tidak dengan sendirinya berakhir
karena oleh penyewa sewa di operkan kepada anaknya tanpa izin
pemilik, tetapi pengoperan tanpa izin itu dapat merupakan alasan
untuk meminta pemutusan hubungan sewa-menyewa.
15. MA No. 4413 K/Pdt/1986, penghentian sewa-menyewa dapat
dilakukan berdasarkan kepentingan pemilik atas dasar kepatutan dan
keadilan sosial pada waktu tersebut.
16. MA No. 1976 K/Pdt/1994, merujuk kepada Keputusan Menteri Sosial
No. 11 Tahun 1977 dalam hal SIP yang dimiliki oleh para penyewa
sudah habis dan tidak atau belum diperpanjang, maka beralasan untuk
menghukum para penyewa untuk mengosongkan tanah dan rumah
terperkara, namun dikaitkan dengan kedudukan ekonomi antara pihak
yang menyewakan dengan para penyewa ternyata lebih lemah, maka
pihak yang menyewakan berkewajiban untuk membayar pesangon
kepada para penyewa guna mencari tempat tinggal pengganti yang
layak sebesar 25% dari harga pasaran tanah dan rumah sengketa.
c. Benda objek sewa-menyewa musnah
113 Pasal 1553 KUHPerdata mengatur apabila benda sewaan musnah sama sekali
bukan karena kesalahan salah satu pihak, maka perjanjian sewa-menyewa
gugur demi hukum. Dengan demikian perjanjian berakhir bukan karena
kehendak para pihak melainkan karena keadaan memaksa (Overmacht).
4.3
Cara Pengakhiran Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu
Penyelesaian sengketa di bidang perjanjian dapat ditempuh melalui dua pola,
yaitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Apabila penyelesaian sengketa di
luar pengadilan masih juga menemui jalan buntu maka salah satu pihak, terutama
pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan perjanjian dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Negeri di tempat perjanjian atau objek berada. Biasanya dalam perjanjian
yang dibuat oleh para pihak, telah ditentukan tempat penyelesaian sengketa.
Perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu, dapat berlangsung
sepanjang disepakati oleh kedua belah pihak. Bila perjanjian tersebut tidak disepakai
lagi dan timbul sengketa, masing-masing pihak merasa tidak puas sehingga merasa
perlu untuk mendapat kepastian hukum dengan memasukkan gugatan ke pengadilan.
Permohonan penghentian hubungan sewa-menyewa tanpa batas waktu oleh salah satu
pihak tersebut akan diputus oleh hakim berdasarkan gugatan yang diajukan, dan
menentukan hapus atau berakhirnya perjanjian tersebut.
Beberapa contoh putusan pengakhiran perjanjian sewa-menyewa tanpa batas
waktu adalah sebagai berikut:
114 1.
Putusan Mahkamah Agung no. 3280 K/Pdt/1995.131
Sewa-menyewa rumah yang perjanjiannya tidak tertulis atau tertulis tanpa
batas waktu yang telah ditentukan bersama dinyatakan berakhir dalam waktu 3 tahun
( Pasal 12 (6) UU No. 4 tahun 1992 dan Pasal 21ayat (1) PP No. 44 tahun 1992).
Pertimbangan hakim mengacu kepada Pasal 12 ayat 6 Undang-undang No. 4 Tahun
1992 tentang perumahan dan pemukiman bahwa sewa-menyewa rumah dengan
perjanjian tidak tertulis tanpa batas waktu yang telah berlangsung sebelum berlakunya
undang-undang ini dinyatakan telah berakhir dalam waktu tiga tahun setelah
berlakunya undang-undang ini.
2.
Putusan Pengadilan Negeri Pariaman no. 33/ PDT.G/ 2003/PN.PRM.132
Perjanjian sewa-menyewa secara terus-menerus atau tanpa batas waktu
diakhiri dengan menghukum tergugat/penyewa untuk mengosongkan tanah
perumahan
sewa
terperkara
dengan
jalan
membongkar
rumah
milik
tergugat/penyewa. Pertimbangan hakim dalam hal ini adalah untuk memenuhi rasa
keadilan, maka hakim mengabulkan gugatan penggugat sebagai pemilik tanah objek
perkara yang sudah sepatutnya diberi kesempatan untuk dapat menikmati tanah objek
perkara tersebut.
131
132
Habib Adjie, op.cit.,hal.32.
Sri Hartati, loc.cit.
115 3.
Putusan Mahkamah Agung no. 2313 K/Pdt/2002.133
Putusan ini diawali dengan perkara perdata nomor: 07/Pdt.G./2001/PN.GIR
dengan banding yang diakhiri dengan putusan nomor: 205/Pdt/2001/PT.DPS tapi
perkara ini terus berlanjut sehingga memerlukan penetapan akhir oleh Mahkamah
Agung dengan Penetapan Nomor: 2313 K/Pdt/2002.
Selanjutnya putusan pengadilan ini akan dibahas lebih detail dan dilakukan
pengujian terhadap putusan hakim melalui pertimbangan-pertimbangan yang dipakai
hakim dalam menyelesaikan perkara perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas
waktu ini, apakah penerapannya sesuai dengan ketentuan perjanjian. Sebelumnya
pada bab III, telah diuraikan isi perjanjian sewa-menyewa yang melatar belakangi
perkara ini.
3.1
Putusan Pengadilan Negeri Denpasar nomor: 07/Pdt.G./2001/PN.GIR.134
Para Pihak :
1. Dra. Dalifah Syamsuddin, bertempat tinggal di komplek Bumi Jati Waringin
F. 14. RT. 03 /16, Kelurahan Jati Waringin, Kecamatan Pondok Gede, KOdya
Tingkat II Bekasi.
2. Amir Rabik, bertempat tinggal di Dusun/Banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan,
Kecamatan Ubud, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar, kedua-duanya
133
134
Lihat lampiran.
Lihat lampiran.
116 adalah pemilik tanah sengketa dan disebut juga sebagai penggugat I dan
penggugat II.
Melawan :
1. Anak Agung Rai Pande, bertempat tinggal di Dusun/Banjar Lunsiakan, Desa
Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar,
selanjutnya disebut juga sebagai tergugat.
A.
Kasus Posisi
1. Bahwa penggugat I adalah kakak kandung dari Alm. Sjamsuarni Sjam yang
telah meninggal dunia , yang juga telah menetapkan penggugat I sebagai ahli
waris tunggal berdasarkan Akta Permohonan Pertolongan pembagian harta
peninggal No. 011/P3IIP/2000/P.A.BKS, tertanggal 04 Desember 2000 dan
Surat Keterangan kelurahan Jatiwaringin No. 587/PD.01/XII/2000, tertanggal
19 Juli 2000;
2. Bahwa adik kandung penggugat I Alm. Sjamsuarni Sjam telah mengontrak
sebidang tanah dari tergugat sesuai dengan Surat Perjanjian Bersama
Perjanjian tertanggal 22 September 1971 seluas + 3000 m2 (30 Are) dari pipil
No. 34, persil 13 a, Kls. II.
3. Bahwa sesungguhnya tanah tersebut diatas sudah dibeli oleh adik kandung
penggugat I dari tergugat, karena tergugat malu didengar oleh warga menjual
tanah, maka terhadap tanah yang sudah dibeli oleh adik kandung penggugat
117 selanjutnya dibuatkanlah Surat Perjanjian Bersama Perjanjian pada tanggal 22
September 1971 dengan jangka waktu selama-lamanya/tidak terbatas;
4. Bahwa diatas tanah sengketa tersebut adik kandung penggugat sudah
mendirikan bangunan, selama + 12 tahun bangunan tersebut ditempati oleh
adik kandung penggugat I dan selanjutnya tanah dan bangunan tersebut
diserahkan (dikuasakan) penguasaan dan pengelolaannya pada bulan februari
1982 dan dikuatkan dengan surat tugas tertanggal 1 Juni 1988 kepada
penggugat II dan dipertegas lagi dengan surat perjanjian penggunaan tanah
tertanggal 11 April 1994 dari penggugat I kepada penggugat II;
5. Bahwa tanpa sepengetahuan penggugat I dan penggugat II tiba-tiba pada
tanggal 24 Februari 2000, tempat usaha dan Kantor Konsulat Spanyol
penggugat II didatangi oleh + 20 orang pemuda dengan membawa tongkat,
pentungan dan senjata tajam yang kemudian tergugat menutup (menembok)
jalan masuk ke tanah sengketa;
6. Bahwa atas perbuatan tergugat yang tidak memenuhi isi dari Surat Perjanjian
Bersama tertanggal 22 September 1971 dan tergugat juga sudah menutup
(menembok) asset menuju jalan keluar masuk ketanah sengketa adalah
perbuatan melawan hukum.
B.
Gugatan
Berdasarkan uraian diatas, penggugat I dan penggugat II mengajukan gugatan
di Pengadilan Negeri Gianyar karena merasa dirugikan oleh tindakan tergugat yang
118 menutupi/menembok akses jalan keluar masuk menuju tempat tanah sengketa (Kantor
Konsulat Spanyol). Atas hal tersebut penggugat I dan penggugat dalam gugatannya
juga mengajukan petitum sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan penggugat I dan penggugat II untuk seluruhnya;
2. Menyatakan sah hukum “surat perjanjian bersama perjanjian” tertanggal 22
September 1971 antara adik kandung penggugat I dengan tergugat tentang
jangka waktu perjanjian selama-lamanya/tidak terbatas atas sebidang tanah
pipil No. 34, persil No. 13, klas II, luas + 3000 m2 (30 are) dari luas asal 5250
m2, atas nama Dw.Rk. Mangku terletak di dusun/banjar Lungsiakan, Desa
Kedewatan, Kecamatan Ubud;
3. Menyatakan hukum tergugat telah melakukan perbuatan melanggar hukum
menutup atau menembok jalan masuk selebar 4 meter menuju tempat tinggal,
tempat usaha dan kantor Konsulat Spanyol penggugat II;
4. Menghukum tergugat untuk membongkar tembok yang menutup jalan masuk
selebar 4 meter menuju tempat tinggal, tempat usaha dan kantor konsulat
spanyol penggugat II;
5. Menyatakan hukum penggugat II telah menderita kerugian setiap bulan
sebesar Rp. 50.000.000,- sejak tanggal 24 Pebruari 2000 dan kerugian
inmateriil sebesar Rp. 500.000.000,-;
119 6. Menghukum tergugat untuk membayar kerugian materiil setiap bulan sebesar
Rp. 50.000.000,- sejak tanggal 24 Pebruari 2000 dan kerugian inmateriil
sebesar Rp. 500.000.000,- kepada penggugat II;
7. Meletakan sita jaminan (conservatoir beslag) atas barang-barang milik
tergugat baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak;
8. Menyatakan hukum bahwa putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu
walaupun tergugat mengajukan banding, kasasi maupun peninjauan kembali;
9. Menghukum tergugat untuk membayar segela biaya yang timbul dalam
perkara ini.
C.
Eksepsi dan rekonpensi tergugat
1. Jawaban dalam eksepsi dan dalam pokok perkara
Bahwa tergugat konpensi menolak secara tegas semua dalil-dalil gugatan
penggugat konpensi terkecuali apa yang secara tegas telah diakui olehnya;
2. Bahwa dalam hal ini para tergugat rekonpensi ingin tetap menguasai tanah
sengketa hanya berdasarkan perjanjian perjanjian yang pernah dibuat oleh
penggugat rekonpensi dengan Syamsuarni almarhum yaitu adik kandung
tergugat rekonpensi I. Padahal para tergugat rekonpensi tidak mempunyai hak
lagi untuk menguasai dan menempati tanah sengketa sebab salah satu pihak
yang membuat perjanjian perjanjian itu yaitu syamsuarni syamsuddin sudah
meninggal dunia;
120 3. Bahwa terhadap terhadap perjanjian perjanjian tersebut diatas yang dibuat
dibawah tangan pada tanggal 22 september 1971 ternyata isinya juga banyak
terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku salah satu
diantaranya dalam perjanjian itu tidak ada batas waktu berlakunya perjanjian
tersebut. Dan setelah perjanjian berjalan adik kandung tergugat rekonpensi I
(syamsuarni syamsuddin) sama sekali sejak perjanjian itu dibuat hingga
sekarang tidak pernah melakukan/melaksanakan/memenuhi isi perjanjian
tersebut.
Maka berdasarkan atas alasan-alasan yang telah kami kemukakan tersebut diatas,
penggugat rekonpensi mohon agar pengadilan negeri gianyar berkenan memutus:
Dalam konpensi :
-
Menolak gugatan para penggugat konpensi seluruhnya atau setidaktidaknya menyatakan gugatan para penggugat konpensi tidak dapat
diterima.
Dalam rekonpensi:
1. Mengabulkan gugatan penggugat rekonpensi untuk seluruhnya;
2. Menyatakan hukum tanah sengketa adalah syah hak milik penggugat
rekonpensi;
3. Menyatakan hukum perjanjian perjanjian tanah sengketa antara penggugat
rekonpensi dengan syamsuarni syamsuddin/adik kandung tergugat
rekonpensi I, yaitu perjanjian dibawah tangan yang dibuat pada tanggal 22
121 september 1972 dan perjanjian yang dibuat tanggal 11 Januari 1974 adalah
batal demi demi hukum;
4. Menyatakan hukum perjanjian sewa-menyewa yang dibuat antara anak
kandung penggugat rekonpensi dengan tergugat rekonpensi II pada
tanggal 29 oktober 1986 batal demi hukum karena masa perjanjiannya
sudah habis;
5. Menyatakan hukum para tergugat rekonpensi telah melakukan perbuatan
melawan hukum menguasai dan menempati tanah sengketa tanpa alasan
hak yang sah;
6. Menyatakan hukum semua bangunan yang ada diatas tanah sengketa
menjadi hak milik penggugat rekonpensi;
7. Menghukum para tergugat rekonpensi menyerahkan tanah sengketa
dengan lasia kepada penggugat rekonpensi dan bila perlu dengan bantuan
yang berwajib;
8. Menyatakan hukum putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu
walaupun para tergugat rekonpensi banding dan kasasi;
9. Menghukum para tergugat rekonpensi untuk membayar biaya yang timbul
dalam perkara ini.
D.
Pertimbangan hukum dan putusan
Berdasarkan hal-hal diatas, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gianyar
dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa:
122 1. Menimbang, bahwa untuk mendalilkan gugatannya para penggugat telah
mengajukan bukti surat yang diberi tanda P-1 s/d P-13 serta telah
mengajukan 4 orang saksi masing-masing yaitu : 1. I Made Lembeng, 2 I
Ketut Robin, 3. Ketut Munut, 4. Ni Wayan Taman. Sedangkan tergugat
untuk menguatkan dalil sangkalannya telah pula mengajukan bukti surat
yang diberi tanda T-1 s/d T-9 serta telah pula mengajukan 3 orang saksi
yaitu : 1. Anak Agung Rai Santun , 2. I Wayan Tambun, 3. I Made Koyo;
2. Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti P-3, P-4, P-4a dan P-5, P-9
serta keterangan saksi Ketut Robin, Ketut Munut serta Ni Wayan Taman
masing-masing berhubungan dan bersesuaian satu sama lainnya;
3. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut telah terbukti
secara hukum bahwa A.A. Rai Pande (tergugat) telah terikat perjanjian
perjanjian dengan syamsuarni syam atas sebidang tanah yang terletak di
Dusun/Banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud dengan
jangka waktu selama-lamanya;
4. Menimbang, bahwa oleh karena syamsuarni syamsuddin telah meninggal
dunia dan Dra. Dalifah Syamsuddin adalah satu-satunya ditetapkan
sebagai ahli waris. Mka terhadap tanah sengketa tersebut yang paling
berhak mewaris adalah Dra. Dalifah Syamsuddin sebagai penggugat I;
5. Menimbang, bahwa berdasarkan pengamatan majelis hakim pada saat
melakukan pemeriksaan setempat atas tanah sengketa pada tanggal 6 April
123 2001 memang benar jalan yang menuju tanah sengketa yang telah berisi
bangunan telah ditutup dengan tembok sehingga penggugat II maupun
karyawan konsulat spanyol yang menyewa rumah diatas tanah sengketa
tidak bisa keluar maupun masuk;
6. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, bahwa
tergugat telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum karena telah
menembok jalan yang menuju tanah sengketa;
Dalam rekonpensi:
7. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dalam konpensi
tersebut diatas, majelis hakim berpendapat bahwa perjanjian perjanjian
bersama antara A.A. Rai Pande (tergugat) dengan syamsuarni syam atas
sebidang tanah seluas +30 are yang terletak di Dusun/Banjar Lungsiakan
dengan jangka waktu yang selama-lamanya adalah sah menurut hukum
sebagaimana tertuang dalam bukti P-3. Oleh karena Pasal 1338 KUHPerdata
bahwa setiap persetujuan yang dibuat oleh kedua belah pihak adalah mengikat
sebagai undang-undang bagi yang membuatnya;
8. Menimbang, bahwa menurut majelis bahwa bukti yang diajukan oleh tergugat
konpensi / penggugat rekonpensi yang bertanda T-2 s/d T-8 serta keterangan
saksi-saksi yaitu A.A. Rai Pande, I Wayan Tambun dan I Made Koyo tidak
ada yang dapat melumpuhkan alat bukti penggugat konpensi/tergugat
124 rekonpensi. Oleh karena itu penggugat rekonpensi tidak dapat membuktikan
dalil-dalil gugatanya;
9. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas penggugat
rekonpensi tidak dapat membuktikan dalil gugatannya maka penggugat
rekonpensi berada pihak yang kalah;
10. Menimbang, bahwa oleh karena penggugat rekonpensi/tergugat konpensi
berada pada pihak yang kalah, maka biaya perkara ini termasuk biaya
rekonpensi dibebankan kepada tergugat konpensi/penggugat rekonpensi.
11. Setelah memperhatikan undang-undang yang bersangkutan :
Mengadili :
Dalam konpensi :
1. Mengabulkan gugatan penggugat I dan penggugat II untuk sebagian;
2. Menyatakan sah menurut hukum “surat perjanjian bersama perjanjian”
tertanggal 22 September 1971 antara adik kandung penggugat I dengan
tergugat tentang jangka waktu perjanjian selama-lamanya / tidak terbatas
atas sebidang tanah, pipil No. 34, persil No. 139, Klas II, Luas + 3. 000
m2 (30 are) dari luas asal 5250 m2 atas nama Dewa Raka Mangku, yang
terletak di Dusun/Banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud;
3. Menyatakan sah menurut hukum penggugat I adalah ahli waris tunggal
dari syamsuarni syam disebut juga syamsuarni syamsuddin yang berhak
menerima dan mewaris tanah sengketa;
125 4. Menyatakan sah menurut hukum penggugat II tinggal dan menempati
tanah sengketa atas kuasa dan seijin syamsuarni syam disebut juga
syamsuarni syamsuddin dan penggugat I;
5. Menyatakan hukum tergugat telah melakukan perbuatan melanggar hukum
menutup atau menembok jalan masuk selebar 4 meter menuju tempat
tinggal, tempat usaha kantor konsulat spanyol dan tempat tinggal
penggugat II;
6. Menyatakan hukum bahwa putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu
sepanjang mengenai jalan masuk selebar 4 meter yang menuju tempat
tinggal, tempat usaha, kantor konsulat spanyol dan tempat penggugat II
walaupun tergugat mengajukan banding, kasasi maupun peninjauan
kembali;
7. Menghukum tergugat untuk membongkar tembok yang menutup jalan
masuk selebar 4 meter menuju tempat tinggal, tempat usaha Kantor
Konsulat Spanyol dan tempat tinggal Penggugat II.
Dalam rekonpensi :
-
Menolak gugatan penggugat rekonpensi seluruhnya.
Dalam konpensi Dan rekonpensi :
126 -
Menghukum tergugat dalam konpensi atau penggugat dalam rekonpensi
untuk membayar biaya perkara ini yang hingga kini dianggar sebesar Rp.
174.000.
Atas Putusan Pengadilan Negeri Gianyar tersebut, tergugat tidak puas dan
mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Denpasar. Dasar hukum mengajukan
banding ke Pengadilan Tinggi Denpasar pada intinya adalah karena apa yang
diputuskan oleh Pengadilan Negeri Gianyar tidak sesuai dengan jawaban gugatan
dan proses persidangan, sehingga tidak memenuhi rasa keadilan bagi tergugat selaku
pemilik tanah sengketa.
Setelah permohonan pemeriksaan dalam tingkat banding yang diajukan oleh
kuasa hukum pembanding dan telah diajukan memori banding yang oleh para
terbanding telah juga diajukan kontra memori banding dengan Putusan Perkara No.
07/Pdt.G/2001/PN.GIR, tanggal 16 Juli 2001
3.2
Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar no. 205/Pdt/2001/PT.Dps.135
A.
Pokok Pertimbangan Hukum.
1. Menimbang,
bahwa
permohonan
banding
dari
tergugat
dalam
konpensi/penggugat dalam rekonpensi/pembanding tersebut telah diajukan
dalam tenggang waktu dan menurut tata cara serta memenuhi persyaratan
yang ditentukan oleh undang-undang maka permohonan banding tersebut
secara formal dapat diterima;
135
Lihat lampiran.
127 2. Menimbang, bahwa pengadilan tinggi setelah memeriksa dan meneliti
dengan seksama berkas perkara beserta turunan resmi putusan pengadilan
negeri gianyar tanggal 16 Juli 2001 No. 7/Pdt.G/2001/PN.Gir. dan telah
pula membaca dan memperhatikan memori banding yang diajukan oleh
tergugat dalam konpensi/penggugat dalam rekonpensi/pembanding serta
kontra memori banding yang diajukan oleh para penggugat dalam
konpensi/para tergugat dalam rekonpensi/para termbanding, yang ternyata
tidak ada hal-hal baru yang perlu dipertimbangkan maka pengadilan tinggi
dapat menyetujui dan membenarkan putusan hakim tingkat pertama oleh
karena dalam pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah memuat dan
menguraikan dengan tepat dan benar semua serta alasan-alasan yang
menjadi dasar dalam putusan dan dianggap telah tercantum pula dalam
putusan ditingkat banding;
3. Menimbang, bahwa dengan demikian maka pertimbangan-pertimbangan
hukum hakim tingkat pertama tersebut diambil alih dan dijadikan dasar di
dalam pertimbangan putusan Pengadilan Tinggi sendiri, sehingga putusan
Pengadilan
Negeri
Gianyar
tanggal
16
Juli
2001
Nomor.
7/Pdt.G/2001/PN.GIR. dapat dikuatkan;
4. Menimbang bahwa oleh karena tergugat dalam konpensi/penggugat dalam
rekonpensi/pembanding tetap berada dipihak yang dikalahkan, maka
128 kepadanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat
peradilan;
5. Mengingat peraturan hukum dan undang-undang yang berlaku khususnya
undang No. 14 tahun 1970, undang-undang No. 2 tahun 1986 serta Rbg.
Mengadili :
-
Menerima permohonan banding dari tergugat dalam konpensi/ penggugat
dalam rekonpensi/pembanding tersebut.
-
Menguatkan putusan pengadilan negeri gianyar tanggal 16 Juli 2001
Nomor.: 7/Pdt.G/2001/PN.Gir, yang dimohonkan banding.
-
Menghukum
tergugat
dalam
konpensi/penggugat
dalam
rekonpensi/pembanding untuk membayar biaya perkara dalam kedua
tingkat peradilan, yang untuk ditingkat banding saja ditetapkan sebesar
Rp.100.000,- ( seratus ribu rupiah)
3.3
Putusan Mahkamah Agung no. 2313 K/Pdt/2002.136
1. Bahwa putusan pengadilan tinggi denpasar tanggal 26 Nopember 2001
No. 205/Pdt/2001/PT.Dps. pemohon kasasi telah menyatakan kasasi
tanggal 11 Maret 2002, sehingga dengan demikian pemasukan memori
kasasi ini masih dalam tenggang waktu sebagaimana ditentukan oleh
undang-undang;
136
Lihat lampiran.
129 2. Bahwa dalam putusan pengadilan negeri gianyar tanggal 16 Juli 2001 No.
7/Pdt.G/2001/PN.Gir,
sudah
tepat
dan
benar
tanpa
memberikan
pertimbangan lebih jauh mengenai memori pembanding adalah merupakan
pertimbangan hukum yang salah dan menyimpang dari hukum acara
perdata yang berlaku;
3. Bahwa judex factie pengadilan tinggi denpasar yang menganggap benar
dan menyetujui Putusan Pengadilan Negeri Gianyar dalam perkara
tersebut, yang menyatakan sah surat perjanjian bersama perjanjian
tertanggal 22 September 1971 antara adik kandung penggugat I dengan
tergugat tentang jangka waktu perjanjian selama-lamanya atau tidak
terbatas adalah keliru besar, sebab perjanjian yang dibuat tersebut
bertentangan dengan Pasal 1320 BW tentang syarat-syarat syahnya suatu
perjanjian antara lain:
1. Sepakat mereka yang mengikat diri
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
4. Bahwa jangka waktu yang ditulis dalam perjanjian tersebut untuk selamalamanya/tidak terbatas bertentangan dengan ketentuan undang-undang
yang diatur dalam Pasal 1548, karena dalam Pasal tersebut dsyaratkan
130 jangka waktu tertentu artinya waktunya terbatas dan tidak untuk selamalamanya;
5. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas lagi pula
dari sebab tidak ternyata bahwa putusan judex factie dalam perkara ini
tidak bertentangan dengan hukum dan atau undang-undang, maka
permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi Anak Agung Rai
Pande tersebut harus ditolak;
6. Menimbang, oleh karena permohonan kasasi dari pemohon kasasi telah
dinyatakan ditolak, maka kepadanya harus dibebani untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi ini;
7. Memperhatikan Pasal-Pasal dari undang-undang No. 4 tahun 2004,
undang-undang No. 14 tahun 1985 jo. Undang-undang No. 5 tahun 2004
yang bersangkutan.
Mengadili :
-
Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi Anak Agung Rai Pande
tersebut.
-
Menghukum pemohon kasasi untuk membayar biaya perkara dalam semua
tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp.
200.000,- (dua ratus ribu rupiah).
131 3.4
Analisis hukum
Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu merupakan perjanjian yang tidak
seimbang atau mengandung klausul yang berat sebelah karena pemohon kasasi tidak
dapat memanfaatkan tanah sengketa selama-lamanya padahal pemohon kasasi adalah
pemilik tanah, sedangkan termohon yang menguasai tanah sengketa dapat
menggunakan dan menikmati hasil dari tanah sengketa tersebut untuk selamalamanya.
Perjanjian yang demikian melanggar asas keadilan, yang mana dalam ajaran asas
keadilan menyatakan bahwa perjanjian adalah adil apabila prestasi-prestasi yang
diperjanjikan adalah sama nilainya atau yang dimaksudkan sebaliknya bahwa
prestasi-prestasi yang diperjanjikan itu adil berdasarkan suatu perjanjian yang
seimbang, yaitu perjanjian dilakukan oleh pihak-pihak yang sama haknya.137
Rescoue Pound dalam teorinya yaitu teori sama nilai menyatakan bahwa
suatu perjanjian baru mengikat jika para pihak dalam perjanjian tersebut memberikan
prestasinya yang seimbang atau sama nilai.138 Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas
waktu tentunya tidak memberikan prestasi yang seimbang dan merugikan pemilik
tanah karena tidak dapat menikmati dan menggunakan tanah miliknya sendiri selamalamanya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1559 KUHPerdata yang menyatakan: ”si
penyewa jika kepadanya tidak telah diperijinkan, tidak diperbolehkan mengulang
sewa barang, yang disewanya maupun melepaskan sewanya kepada orang lain, atas
137
138
Herlien Budiono, op.cit., hal.20.
Roscoe Pound II, loc.cit.
132 ancaman pembatalan perjanjian sewa…….”. Peralihan hak sewa dari termohon I
(Dalifah Sjamsuddin) kepada termohon II (Amir Rabak) tanpa ijin dari pemilik tanah
yaitu Anak Agung Rai Pande adalah tidak beralaskan hukum sehingga tidak dapat
dibenarkan karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 1559 KUHPerdata.
Bahwa Sjamsuarni Sjam tidak melaksanakan kewajiban sesuai dengan isi
perjanjian sewa-menyewa yang dibuat yaitu:
-
pihak kedua berkewajiban menerima anak pihak pertama setelah tamat
sekolah untuk bekerja pada usaha pihak kedua diatas tanah tersebut
-
pihak kedua memberikan prioritas kepada keluarga pihak pertama minimal
4 orang untuk bekerja (buruh rendah) selama usaha pembangunan”.
Menurut Pasal 1266 KUHPerdata syarat batal dianggap selalu dicantumkan
dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya. Perjanjian sewa-menyewa tanpa batas watu ini tidak
menyebutkan syarat batal maka sesuai Pasal 1266 KUHPerdata manakala salah satu
pihak tidak memenuhi kewajibannya dapat dimohonkan pembatalan dimuka hakim.
Bahwa wanprestasi dalam perjanjian timbal balik dapat dimajukan sebagai alasan
minta pecahnya perjanjian dan hakim diberi kuasa mengatur akibatnya selaras dengan
keadaan dan kepatutan.139
Perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tanpa batas waktu tidak memenuhi
bagian esensial dari suatu perjanjian sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 1548
139
Wirjono Prodjodikoro I, op.cit., hal.88.
133 KUHPerdata yaitu selama jangka waktu tertentu. Bila unsur yang paling pokok dalam
suatu perjanjian tidak ada, maka perjanjian tersebut menjadi timpang dan tuntutan
terhadap pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima.
Perjanjian tersebut tidak
mengikat dan tidak mempunyai akibat hukum, maka perjanjian ini harus diakhiri.
Perjanjian sewa tanah dengan jangka waktu selama-lamanya tidak sekedar
mengingkari lembaga jual beli tetapi mengingkari lembaga hak milik yang bersifat
hak asasi, dan juga jika sewa dinyatakan tidak terbatas maka artinya melanggar hak
asasi pemiliknya untuk dapat memanfaatkan tanah miliknya sendiri. Perjanjian ini
mencederai rasa keadilan dan melanggar kepatutan,sehingga sewa tanah dengan
jangka waktu selama-lamanya tersebut patut untuk segera diakhiri.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian sewamenyewa tanah tanpa batas waktu dalam Putusan Mahkamah Agung
no. 2313
K/Pdt/2002 ini dapat diakhiri dengan cara pemilik tanah mengajukan gugatan ke
Pengadilan Negeri untuk diakhirinya perjanjian dengan dasar-dasar gugatan sebagai
berikut:
1. karena perjanjian ini melanggar asas keadilan dan asas kepatutan, yaitu
prestasi-prestasi yang diperjanjikan tidak seimbang/sama nilainya, dimana
pemilik tanah tidak dapat menggunakan dan menikmati hasil dari tanah
tersebut selama-lamanya, karenanya perjanjian sewa-menyewa bentuk apapun
semestinya mengenal batas waktu.
134 2. karena pihak penyewa tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi), sehingga
dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri perjanjian sesuai dengan Pasal 1266
KUHPerdata.
3. karena perjanjian sewa-menyewa tanah untuk waktu selama-lamanya secara
substansi akan sama artinya dengan menjual, ini artinya melanggar hak asasi
dari pemilik untuk dapat menikmati manfaat tanah miliknya sendiri selamalamanya. Perjanjian ini mencederai rasa keadilan dan melanggar kepatutan,
sehingga sewa tanah dengan jangka waktu selama-lamanya tersebut patut
untuk segera diakhiri.
4. karena telah terjadi peralihan hak sewa dari termohon I (Dalifah Sjamsuddin)
kepada termohon II (Amir Rabak) tanpa ijin dari pemilik tanah yaitu Anak
Agung Rai Pande, bertentangan dengan ketentuan Pasal 1559 KUHPerdata
dan perjanjian ini dapat diakhiri.
Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa perjanjian sewa-menyewa tanah
tanpa batas waktu ini adalah sah menurut hukum, berdasarkan Pasal 1338
KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat oleh kedua belah
pihak adalah mengikat sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Sedangkan
dalam ketentuan perjanjian, suatu perjanjian sewa-menyewa dapat mengikat, apabila
syarat_syarat suatu perjanjian sewa-menyewa telah terpenuhi. Dalam hal ini jangka
waktu yang merupakan unsur yang sangat esensial dan merupakan syarat khusus
sahnya suatu perjanjian sewa-menyewa tidak terpenuhi dan melanggar asas kepatutan
135 dan kebiasaan, Hakim dalam hal ini lebih menekankan pada aspek daya mengikatnya
perjanjian serta mengenyampingkan aspek kepatutan dan kebiasaan. Dalam
KUHPerdata pun telah dengan tegas dirumuskan pemaknaan kepatutan yaitu dalam
Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUHPerdata.
Bahwa faktor kepatutan merupakan faktor yang teramat penting di dalam
penemuan hukum. Rasa kepatutan ini mengharapkan para hakim untuk
memberikan pertimbangan terhadap masalah yang dihadapinya. Faktor kepatutan
perlu mendapat perhatian dalam setiap pertimbangan yang hendak diambil oleh
hakim untuk menjatuhkan keputusannya.140
Putusan pengadilan ini tidak menerapkan ketentuan perjanjian. Meskipun
putusan ini telah berkekuatan hukum tetap, maka dapat saja diajukan kembali karena
hakim yang memutus perkara tersebut telah khilaf, kurang cermat dalam meneliti
bentuk isi perjanjian yang dibuat para pihak yang mengakibatkan merugikan ahli
warisnya sehingga tidak dapat menikmati dan menggunakan tanah miliknya sendiri
untuk selama-lamanya.
140
Mahadi, “Sekelumit Tentang Faktor Kepatutan Dalam Penemuan Hukum”,
dikutip dari Muhammad Arifin, 1984, Itikad Baik Sebagai Asas Pokok Dalam Hukum
Perikatan Nasional, Majalah Hukum dan Pembangunan, No.1 Tahun ke XIV,
hal.359.
136 BAB V
PENUTUP
5.1
Simpulan
Dari hasil pembahasan permasalahan pada bab III dan bab IV, maka diperoleh
simpulan sebagai berikut:
1.
Perjanjian sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu tidak valid karena tidak
terpenuhinya persyaratan khusus yang merupakan bagian yang esensial dari
suatu perjanjian sewa-menyewa yaitu jangka waktu tertentu. Apabila jangka
waktunya tidak ditentukan atau tanpa batas waktu, maka perjanjian tersebut
dianggap tidak valid, tidak ada, dan tidak mempunyai akibat hukum.
2.
Penyelesaian sengketa di bidang perjanjian dapat ditempuh melalui dua pola,
yaitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Dalam penelitian ini para
pihak memilih penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan. Perjanjian
sewa-menyewa tanah tanpa batas waktu dalam putusan Mahkamah Agung no: 2313 K/Pdt/2002 dapat diakhiri dengan cara pihak pemilik tanah mengajukan
gugatan ke Pengadilan Negeri untuk diakhirinya perjanjian dengan dasardasar gugatan sebagai berikut:
a. karena perjanjian ini melanggar asas keadilan dan asas kepatutan, yaitu
prestasi-prestasi yang diperjanjikan tidak seimbang/sama nilainya, dimana
pemilik tanah tidak dapat menggunakan dan menikmati hasil dari tanah
137 tersebut selama-lamanya, karenanya persewaan bentuk apapun semestinya
mengenal batas waktu.
b. karena pihak penyewa tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi),
sehingga dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri perjanjian sesuai
dengan Pasal 1266 KUHPerdata.
c. karena perjanjian sewa-menyewa tanah untuk waktu selama-lamanya atau
tidak terbatas secara substansi akan sama artinya dengan menjual, ini
artinya melanggar hak asasi dari pemilik untuk dapat menikmati manfaat
tanah miliknya sendiri selama-lamanya.Perjanjian ini mencederai rasa
keadilan dan melanggar kepatutan,sehingga sewa tanah dengan jangka
waktu selama-lamanya tersebut patut untuk segera diakhiri.
d.
karena telah terjadi peralihan hak sewa tanpa ijin dari pemilik tanah yang
bertentangan dengan ketentuan Pasal 1559 KUHPerdata dan perjanjian ini
dapat diakhiri.
5.2
Saran
Mendasarkan pada uraian pembahasan dan kesimpulan yang disampaikan,
maka saran yang dapat diajukan untuk mendapatkan kajian lebih lanjut adalah:
Hendaknya para pihak yang akan mengadakan perjanjian sewa-menyewa
berhati-hati dalam membuat perjanjian, jangan sampai membuat perjanjian tanpa
menetapkan batas waktu untuk menghindari timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan
dan merugikan nantinya. Para hakim juga hendaknya berhati-hati dalam memberikan
138 pertimbangan-pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara, khususnya disini
perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu. Faktor kepatutan dan kebiasaan adalah
hal yang harus diperhatikan sebagai pertimbangan dalam putusannya. Meskipun
putusan diatas telah berkekuatan hukum tetap, maka dapat saja diajukan kembali
karena hakim yang memutus perkara tersebut telah khilaf, kurang cermat dalam
meneliti bentuk isi perjanjian yang dibuat para pihak yang mengakibatkan merugikan
ahli warisnya yaitu tidak dapat menikmati dan menggunakan tanah miliknya sendiri
untuk selama-lamanya.
139 DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Artadi, I Ketut dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi
Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Perjanjian,
Udayana University Press, Denpasar.
Badrulzaman, Mariam Darus, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing.Co., ST. Paul
Minnesota, USA
Budiono, Herlien, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
_______, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Elliot, Catherine & Frances Quinn, 2005, Contract Law, Edinburgh Gate, England.
Fuady, Munir, 2013, Teori-Teori Besar dalam Hukum (Grand Theory), Cet.1,
Prenada Media Group, Jakarta.
Gautama, Sudargo, 1995, Indonesian Business Law, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.
Salim H.S., 2011, Hukum Perjanjian Teori dan Teknik Penyusunan Perjanjian, Sinar
Grafika ,Jakarta.
Harahap, M.Yahya, 1986, Segi segi Perjanjian, Alumni, Bandung.
Harsono, Boedi, 2010, Hukum Agraria Indonesia, cet. X, Djambatan, Jakarta
Hernoko, Agus Yudha, 2011, Hukum Perjanjian; Azas Proporsionalitas Dalam
Perjanjian Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Asshiddqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
cet.I, Konstitusi Pers, Jakarta.
140 Limbong, Bernhard, 2012,
Pustaka, Jakarta.
Hukum Agraria Nasional, cet. I, PT.
Margaretha
Mallor, Jane P., et.al, 2007, Business Law: The Ethical, Global, And E-Commerce
Environment, McGraw Hill Companies,Inc., New York.
Marzuki, Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.
Mashudi, H. dan Moch.Chidir Ali, 2001, Pengertian Pengertian Elementer Hukum
Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung.
Meliala, Djaja S., 2012, Penuntun Praktis Hukum Perjanjian Khusus, Nuansa Aulia,
Bandung.
Miru, Ahmad dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perikatan; Penjelasan Makna Pasal
1233 Sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta.
Miru, Ahmad, 2007, Hukum Perjanjian dan Perancangan Perjanjian, Rajawali
Pers, Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir, 1992, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
_______, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Mulyadi, Kartini dan Gunawan Widjaya, 2004, Perikatan pada Umumnya, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
_______, 2010, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Panggabean, H.P., 2010, Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan Untuk
Pembatalan Perjanjian, Liberty, Yogya.
Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan , 2011, Universitas
Udayana, Denpasar.
Pena, Tim Prima, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press, Jakarta.
Pound, Roscoe, 1922, An Introduction To The Philosophy Of Law, Yale University
Press.
141 _______, 1989, Pengantar Filsafat Hukum, terjemahan Mohamad Radjab, Bharatara,
Jakarta.
Prodjodikoro, Wirjono, 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan
Tertentu, Sumur Bandung, Jakarta.
_______, 2011, Azas-Azas Hukum Perjanjian, CV.Mandar Maju, Bandung.
Satrio, J., 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Setiawan, R., 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung..
Simanjuntak, Ricardo, 2011, Hukum Perjanjian; Teknik Perancangan Perjanjian
Bisnis, PT. Gramedia, Jakarta.
Sjahdeini, Sutan Remy, 2009, Kebebasan Berperjanjian Dan Perlindungan Yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia,
PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Subekti, 1984, Pokok Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta.
_______, 2010, Hukum Perjanjian, Cet.XXIII,PT. Intermasa,Jakarta.
Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media,
Jakarta.
Sunggono, Bambang, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Rajagrafindo Persada,
Jakarta.
Syaifuddin, Muhammad, 2012, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung.
Tan, Thong Kie, 2000, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris I, Ictiar Baru
Van Hoeve, Jakarta.
Treitel, G. H., 1995, The Law Of Contract, International Student Edition, Sweet &
Maxwell, London.
Widagdo, Setiawan, 2012, Kamus Hukum, PT. Prestasi Pustaka, Jakarta.
142 Widjaja, Gunawan, 2007, Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Wyasa Putra, Ida Bagus, 1997, Aspek-aspek Hukum Perdata; Dalam Transaksi Bisnis
Internasional, PT. Refika Aditama, Bandung.
Yahanan, Annalisa, Muhammad Syaifuddin, dan Yanial Laili, 2009, Perjanjian Jual
Beli Berklausula Perlindungan Hukum Paten, Tunggal
Mandiri
Publishing, Malang.
Yudha Hernoko Agus, 2011 , Hukum Perjanjian; Azas Proporsionalitas Dalam
Perjanjian Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
B.
Peraturan Perundang – Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria. (lembaran negara).
C.
Majalah
Mahadi, “Sekelumit Tentang Faktor Kepatutan Dalam Penemuan Hukum”,dikutip
dari Muhammad Arifin, 1984, Itikad Baik Sebagai Asas Pokok Dalam
Hukum Perikatan Nasioonal, Majalah Hukum dan Pembangunan, No.1
Tahun ke XIV.
D.
Elektronik
Adjie, Habib, 2011, ”HukumPerjanjian”, habibadjie. dosen. narotama. ac.id /files
/2011/04 /Hukum -Perjanjian-2-Keabsahan-Perjanjian.pdf.
Fitri, Rika, 2010, “Analisis Yuridis Terhadap Akta Sewa-menyewa Rumah Yang
Dibuat Di Hadapan Notaris (Studi Kantor Notaris Kota Medan)” Tesis
Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara,
Medan, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789 /25953 /4/ chapter
%20I.pdf.
143 Hartati, Sri, 2008, “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Tanpa
Batas Waktu Melalui Gugatan Dipengadilan Negeri Pariaman” Tesis
Fakultas Hukum Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas, Padang, http://
repository.unand.ac.id/id/eprint/556.
_______, 2008, “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Sewa-menyewa Tanah Tanpa
Batas Waktu Melalui Gugatan Di Pengadilan Negeri Pariaman” Artikel,
Fakultas Hukum Universitas Andalas. http://repository.unand.ac.id/
556/1/Sri_Hartati_06211038.rtf.
http://www.referensimakalah.com/2012/10/pengertian-validitas-hukum.html.
Sefialora, Kelvina, 2010, “Aspek Yuridis Dari Perjanjian Sewa-menyewa Rumah
Yang Objeknya Dijaminkan Di Bank” Tesis Fakultas Hukum Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, http :// repository .usu.
ac.id/bitstream/123456789/22266/6/chapter%20I.pdf.
Download