AKTIVITAS INSEKTISIDA EKSTRAK DAUN

advertisement
AKTIVITAS INSEKTISIDA EKSTRAK DAUN Tephrosia vogelii
(LEGUMINOSAE) DAN BUAH Piper aduncum (PIPERACEAE)
TERHADAP LARVA Crocidolomia pavonana
NELLY NAILUFAR
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
1
ABSTRAK
NELLY NAILUFAR. Aktivitas Insektisida Ekstrak Daun Tephrosia vogelii
(Leguminosae) dan Buah Piper aduncum (Piperaceae) terhadap Larva
Crocidolomia pavonana. Dibimbing oleh DJOKO PRIJONO.
Hama tanaman merupakan salah satu kendala biotik penting dalam budi
daya berbagai jenis tanaman. Insektisida nabati ekstrak daun Tephrosia vogelii
dan ekstrak buah Piper aduncum berpotensi untuk mengendalikan hama
Crocidolomia pavonana. Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh ekstrak daun
T. vogelii, ekstrak buah P. aduncum, serta campuran kedua ekstrak tersebut pada
tiga macam perbandingan konsentrasi terhadap mortalitas larva C. pavonana.
Setiap ekstrak yang diperoleh diuji terhadap larva instar II C. pavonana dengan
metode celup daun (lama pemberian daun perlakuan 48 jam). Pada semua
perlakuan, mortalitas larva masih rendah pada 24 jam sejak perlakuan (JSP),
tingkat mortalitas meningkat tajam antara 24 dan 48 JSP. Berdasarkan
perbandingan LC50 dan LC95 pada 72 JSP, ekstrak T. vogelii masing-masing
sekitar 1,27 dan 1,09 kali lebih beracun terhadap larva C. pavonana daripada
ekstrak P. aduncum. Pada perlakuan campuran, makin besar proporsi konsentrasi
ekstrak P. aduncum, nilai LC50 dan LC95 makin cepat mendekati nilai konstan
atau penurunan nilai LC50 dan LC95 lebih kecil setelah 48 JSP. LC50 dan LC95
campuran ekstrak 1:1, 5:1, dan 1:5 lebih rendah dibandingkan dengan LC50 dan
LC95 ekstrak T. vogelii dan ekstrak P. aduncum. Berdasarkan nilai indeks
kombinasi, campuran ekstrak T. vogelii dan P.aduncum pada ketiga nisbah
konsentrasi bersifat sinergistik kuat. Campuran 1:5 paling sinergistik
dibandingkan dengan campuran 1:1 dan campuran 5:1 baik pada taraf LC50
maupun LC95. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara umum makin besar
proporsi konsentrasi ekstrak P. aduncum, campuran ekstrak bersifat makin
sinergistik. Dengan demikian, campuran ekstrak T. vogelii dan P. aduncum yang
bersifat sinergis layak untuk dikembangkan lebih lanjut.
Kata kunci: Insektisida nabati, sinergisme, Tephrosia vogelii, Piper aduncum,
Crocidolomia pavonana,.
1
AKTIVITAS INSEKTISIDA EKSTRAK DAUN Tephrosia vogelii
(LEGUMINOSAE) DAN BUAH Piper aduncum (PIPERACEAE)
TERHADAP LARVA Crocidolomia pavonana
NELLY NAILUFAR
A34070027
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
1
Judul Skripsi
: Aktivitas Insektisida Ekstrak Daun Tephrosia vogelii
(Leguminosae) dan Buah Piper aduncum (Piperaceae)
terhadap Larva Crocidolomia pavonana
Nama Mahasiswa : Nelly Nailufar
NIM
: A34070027
Disetujui,
Dosen Pembimbing
Ir. Djoko Prijono, MAgrSc.
NIP 19590827 198303 1 005
Diketahui,
Ketua Departemen
Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc.
NIP 19640204 199002 1 002
Tanggal lulus:
1
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Indramayu pada tanggal 4 Mei 1989 sebagai anak pertama
dari tiga bersaudara pasangan Bapak Syahroni and Ibu Kuswinih. Penulis
menyelesaikan pendidikan sekolah lanjutan atas di SMA Negeri 1 Kandanghaur,
Indramayu (2004-2007).
Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian
Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada kurikulum berbasis
mayor-minor.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB dan mengikuti masa Tingkat Persiapan
Bersama selama 1 tahun.
Pada tahun berikutnya penulis melanjutkan
pendidikannya dengan Mayor Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian dan Minor
Ekonomi Pertanian dari Departemen Ekonomi Sumberdaya Lingkungan, Fakultas
Ekonomi Manajemen, IPB.
Selama masa kuliah, penulis aktif bergabung dengan beberapa organisasi
seperti IAAS (International Association of Students in Agricultural and Related
Sciences) dan Tae Kwon Do, mengikuti kepanitiaan pada beberapa acara kampus,
dan mengikuti beberapa pelatihan, seperti kuliah lapangan di Kepulauan Krakatau
bersama mahasiswa Universitas Viena Austria, pelatihan kewirausahaan, dan
pelatihan jurnalistik. Pada tahun 2010, penulis terpilih sebagai Duta lingkungan
Hidup Fakultas Pertanian dan terpilih sebagai Duta Lingkungan Hidup Terfavorit
IPB. Tahun 2011 penulis mendapat beasiswa Kuswata Kartawinata Awards yakni
berupa beasiswa perjalanan yang diberikan kepada pelajar Indonesia yang lolos
menjadi penyaji pada konferensi tahunan Association for Tropical Biology and
Conservation & Society for Biology Conservation (Africa Section) Joint Meeting
2011 di Tanzania, Afrika Timur. Selama masa kuliah penulis memperoleh
besiswa Peningkatan Prestasi Akademik dan beasiswa dari Yayasan Goodwill
International. Penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Pemanfaatan dan
Pengelolaan Pestisida dan memiliki pengalaman bekerja sebagai asisten di Klinik
Tanaman IPB.
1
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat
rahmat, hidayah serta kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Aktivitas Insektisida Ekstrak Daun Tephrosia vogelii (Leguminosae)
dan Buah Piper aduncum (Piperaceae) terhadap Larva Crocidolomia pavonana”.
Penelitian dan penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium
Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman dari bulan
Oktober 2010 sampai Agustus 2011.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Ir. Djoko Prijono, MAgrSc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
banyak ilmu, pengetahuan, saran, dan motivasi.
2. Ir. Ivonne Oley Sumarauw, M.Si selaku dosen penguji tamu yang telah
memberikan saran dan motivasi.
3. Prof. Dr. Dadang, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan saran dan arahan.
4. Kedua orang tua dan keluarga besar Syahroni, S.Pdi yang selalu memberikan
dukungan dan motivasi.
5. Urfiyan Indra L, ST yang selalu sabar dan selalu memberi motivasi setiap
waktu.
6. Sahabat yang selalu ada dalam suka dan duka, Veteriani Nova Milasari S.Pi,
Nurhidayanti S.TP, Fathia Amalia Ramadhani, Yayu Siti Nurhasanah, dan
Annisa Noor Baeti S.Hut.
7. Teman-teman seperjuangan yang bekerja di Laboratorium Fisiologi dan
Toksikologi Serangga, Ahmad Izzudin, M.Si, Dadang M Hasyim, M.Si,
Herma Amalia, SP, Astri Febriani, SP, Hendi Irawan, Sani Nihlatussania, dan
Rizky Arifiansyah.
8. Rasa terima kasih penulis sampaikan juga kepada seluruh mahasiswa
Departemen Proteksi Tanaman, khususnya angkatan 44 atas semangat yang
selalu berkobar.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, 23 September 2011
Nelly Nailufar
1
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
viii
PENDAHULUAN ......................................................................................
Latar Belakang ...................................................................................
Tujuan Penelitian ...............................................................................
Manfaat Penelitian .............................................................................
1
1
4
4
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
Sifat Insektisida Tephrosia vogelii ....................................................
Sifat Insektisida Piper aduncum ........................................................
Potensi Campuran Insektisida Nabati ................................................
5
5
7
8
BAHAN DAN METODE ...........................................................................
Tempat dan Waktu .............................................................................
Bahan Tumbuhan Sumber Ekstrak ....................................................
Penyiapan Tanaman Pakan ................................................................
Pemeliharaan Serangga Uji ...............................................................
Penentuan Kadar Air Tumbuhan Sumber Ekstrak ............................
Ekstraksi T. vogelii dan P. aduncum .................................................
Uji Toksisitas Ekstrak Tunggal .........................................................
Uji Toksisitas Ekstrak Campuran ......................................................
10
10
10
10
11
11
12
12
14
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
Hasil Ekstraksi dan Uji Pendahuluan ................................................
Toksisitas Ekstrak T. vogelii dan P. aduncum terhadap Larva
C. pavonana .......................................................................................
Ekstrak Tunggal .......................................................................
Ekstrak Campuran ...................................................................
Sifat Aktivitas Campuran Ekstrak T. vogelii dan P. aduncum ..........
16
16
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
31
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
32
LAMPIRAN ................................................................................................
36
19
19
25
27
1
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Hasil ekstrak daun Tephrosia vogelii dan buah Piper aduncum
pada jumlah perendaman yang berbeda dan mortalitas larva
Crocidolomia pavonana akibat perlakuan dengan ekstrak
T. vogelii 0,14% dan P. aduncum 0,10% ..............................................
16
2 Penduga parameter hubungan konsentrasi-mortalitas ekstrak
daun T. vogelii dan ekstrak buah P.aduncum terhadap larva
instar II C. pavonana ..............................................................................
22
3 Penduga parameter hubungan konsentrasi-mortalitas campuran
ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak buah P.aduncum terhadap
larva instar II C. pavonana .....................................................................
28
4 Sifat aktivitas campuran ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak buah
P. aduncum dengan tiga macam nisbah konsentrasi terhadap
larva instar II C. pavonana .....................................................................
29
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Struktur kimia rotenon ...........................................................................
6
2 Struktur kimia dilapiol ...........................................................................
8
3 Hubungan antara jumlah perendaman dan hasil ekstraksi daun
T. vogelii dan buah P. aduncum ............................................................
17
4 Perkembangan tingkat mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan
ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak buah P.aduncum . ..........................
21
5 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan
campuran ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak buah P.aduncum
dengan nisbah konsentrasi 1:1, 5:1, dan 1:5 . .........................................
26
1
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Mortalitas larva Crocidolomia pavonana pada perlakuan ekstrak daun
Tephrosia vogelii ...................................................................................
37
2 Mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan ekstrak daun Piper
aduncum ................................................................................................
37
3 Mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan campuran ekstrak daun
T. vogelii dan ekstrak buah P. aduncum dengan nisbah konsentrasi
1:1 ..........................................................................................................
37
4 Mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan campuran ekstrak daun
T. vogelii dan ekstrak buah P. aduncum dengan nisbah konsentrasi
5:1 ..........................................................................................................
38
5 Mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan campuran ekstrak daun
T. vogelii dan ekstrak buah P. aduncum dengan nisbah konsentrasi
1:5 ..........................................................................................................
38
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hama tanaman merupakan salah satu kendala biotik penting dalam budi
daya berbagai jenis tanaman.
Petani yang menerapkan cara budi daya
konvensional sering menggunakan insektisida sintetik untuk mengendalikan hama
yang menyerang pertanaman mereka.
Insektisida sintetik diketahui memiliki
banyak keunggulan di antaranya efektif pada dosis rendah, memberikan hasil
yang cepat, dapat digunakan pada berbagai kondisi, dan dalam jangka tertentu
ekonomis. Insektisida sintetik merupakan salah satu sarana penting yang dapat
digunakan untuk mengendalikan hama dalam keadaan darurat ketika populasi
hama telah mendekati atau melampaui ambang ekonomi (Metcalf 1982;
Djojosumarto 2008).
Selain memiliki banyak keuntungan insektisida sintetik juga dapat
mengakibatkan berbagai dampak negatif, seperti dampak terhadap konservasi
lingkungan dengan terbunuhnya organisme bukan sasaran yang berada di dalam
atau di dekat lokasi aplikasi termasuk musuh alami hama, resistensi dan resurjensi
hama serta munculnya hama sekunder. Penggunaan insektisida sintetik juga dapat
menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan manusia, petani yang terpapar
insektisida pada saat aplikasi, dan konsumen oleh residu yang terdapat pada hasil
panen (Metcalf 1982; Perry et al. 1998).
Petani memilih insektisida sintetik karena pertimbangan harga, akan tetapi
faktanya petani sayuran di Jawa Barat menyemprot insektisida sintetik 2-3 kali
per minggu dan total aplikasi insektisida pada lahan pertanaman kubis dapat
mencapai 30-35 kali dalam satu musim tanam. Biaya yang dikeluarkan oleh
petani di Jawa Barat untuk insektisida sintetik mencapai 10-30% dari total biaya
produksi (Rauf et al. 2005).
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan
Tanaman disebutkan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan dengan
menggunakan sarana dan cara yang tidak mengganggu kesehatan dan atau
mengancam keselamatan manusia, serta tidak menimbulkan gangguan dan
21
kerusakan sumber daya alam atau lingkungan hidup.
Salah satu sarana
pengendalian hama yang memenuhi kriteria tersebut ialah insektisida nabati.
Golongan insektisida tersebut mengandung bahan aktif alami dari tumbuhan yang
mudah terdegradasi dan relatif aman terhadap organisme bukan sasaran sehingga
lebih ramah lingkungan (Prakash & Rao 1997).
Salah satu bahan tumbuhan yang potensial untuk djadikan insektisida
nabati ialah daun kacang babi Tephrosia vogelii J. D. Hooker (Leguminosae).
Daun T. vogelii diketahui mengandung senyawa rotenon dan senyawa rotenoid
lain yang bersifat insektisida, seperti deguelin, tefrosin, dan elipton (Delfel et al.
1970; Lambert et al. 1993). Rotenon merupakan salah satu senyawa insektisida
nabati penting dan sering digunakan untuk mengendalikan hama sejak tahun 1848
hingga 1925. Akar tuba (Derris elliptica) merupakan salah satu sumber rotenon
pada masa itu sebelum akhirnya tergeser oleh insektisida sintetik (Matsumura
1985).
Pemanfaatan daun T. vogelii sebagai sumber rotenon lebih
menguntungkan dibandingkan dengan akar tuba, karena pemanenan dan
penanganan bagian daun lebih mudah daripada membongkar akar (Abizar &
Prijono 2010).
Serbuk daun T. vogelii diketahui efektif mengendalikan kumbang yang
menyerang kacang tanah, Caryedon serratus, dalam waktu 13 hari mortalitas
kumbang tersebut mencapai 98.8% (Delobel & Malonga 1987).
Abizar dan
Prijono (2010) melaporkan bahwa ekstrak etil asetat daun T. vogelii berbunga
ungu memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva instar II
Crocidolomia pavonana dengan LC95 tidak lebih besar dari 0,3%. Baru-baru ini
Febrianni (2011) melaporkan bahwa ekstrak aseton daun T. vogelii pada
pengujian dengan metode celup daun dapat mengakibatkan kematian dan
penghambatan makan pada larva Plutella xylostella.
Jenis tumbuhan lain yang aktif terhadap serangga ialah sirih hutan, Piper
aduncum L. (Piperaceae). Fazolin et al. (2005) melaporkan bahwa perlakuan
dengan minyak atsiri daun P. aduncum pada konsentrasi 1% dengan metode
aplikasi
kontak
dapat
mengakibatkan
tingomarianus hampir 100%.
kematian
kumbang
Cerotoma
Ekstrak heksana daun P. aduncum dilaporkan
paling aktif di antara 14 spesies Piperaceae yang diuji oleh Bernard et al. (1995)
31
terhadap larva nyamuk Aedes atropalpus. Dilapiol yang diisolasi dari daun P.
aduncum pada konsentrasi 0,1 ppm dapat mematikan larva nyamuk A. atropalpus
sebesar 92%. Dilapiol juga merupakan komponen volatil utama yang terdapat
pada daun P. aduncum dengan kandungan sebesar 43.3% (Rali et al. 2007).
Insektisida nabati dapat digunakan dalam bentuk campuran ekstrak dua
atau lebih jenis tumbuhan. Beberapa keunggulan sediaan insektisida nabati yang
berbahan baku campuran ekstrak tumbuhan dibandingkan dengan penggunaan
ekstrak tunggal di antaranya mengurangi ketergantungan pada satu jenis
tumbuhan sebagai bahan baku (Dadang & Prijono 2008). Penggunaan insektisida
dalam bentuk campuran lebih ekonomis bila campuran bersifat sinergis (Stone et
al. 1988), dapat meningkatkan spektrum aktivitas insektisida (Dadang & Prijono
2008), dan dapat menunda timbulnya resistensi hama terhadap insektisida
(Georghiou 1983).
Komponen utama ekstrak P. aduncum adalah dilapiol (fenilpropanoid)
yang bersifat sebagai insektisida dan sinergis (Bernard et al. 1995; Fazolin et al.
2005). Dilapiol dapat menghambat aktivitas enzim sitokrom P450 dalam sediaan
mikrosom dari sel-sel saluran pencernaan ulat penggerek batang jagung Ostrinia
nubilalis, sehingga enzim pemetabolisme senyawa asing tersebut tidak dapat
menguraikan bahan aktif insektisida lain yang dicampurkan (Bernard et al. 1990).
Dilapiol memiliki gugus metilendioksifenil dalam strukturnya yang merupakan
ciri berbagai senyawa sinergis yang dapat menghambat aktivitas enzim sitokrom
P450 (Perry et al. 1998; Scott et al. 2008). Oleh karena itu, ekstrak P. aduncum
diharapkan memiliki potensi sinergis jika dicampur dengan bahan lain termasuk
ekstrak T. vogelii.
Hama utama pada tanaman sayuran Brassicaceae yakni ulat krop kubis C.
pavonana berpotensi untuk dijadikan sebagai hama sasaran insektisida nabati. Di
lapangan, musuh alami tidak efektif menekan populasi hama tersebut. Serangan
C. pavonana bersama P. xylostella dapat menimbulkan kerusakan hingga 100%
terutama pada musim kemarau (Sastrosiswojo & Setiawati 1993). Selain itu, C.
pavonana mudah diperbanyak di laboratorium dengan pakan alami yang dapat
disediakan dengan mudah.
41
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh ekstrak daun T. vogelii bunga
ungu, ekstrak buah P. aduncum, serta campuran kedua ekstrak tersebut pada tiga
macam perbandingan konsentrasi terhadap mortalitas larva C. pavonana.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang potensi
ekstrak T. vogelii dan campurannya dengan P. aduncum sebagai insektisida nabati
berbahan aktif majemuk yang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dalam
pengendalian hama C. pavonana.
1
TINJAUAN PUSTAKA
Sifat Insektisida Tephrosia vogelii
Kacang babi Tephrosia vogelii J. D. Hooker (Leguminosae) merupakan
tumbuhan asli Afrika. Tanaman kacang babi berbentuk perdu, tumbuh tegak
dengan tinggi mencapai 2-3 m. Daunnya berwarna hijau dan bermanfaat untuk
pupuk hijau. Bunganya berwarna ungu, merah, dan putih. Perbanyakan tanaman
kacang babi dapat dilakukan dengan biji. Daun kacang babi telah dimanfaatkan
sebagai racun ikan, insektisida, dan naungan persemaian tanaman kopi (Gaskins et
al 1972; Heyne 1987).
Delobel dan Malonga (1987) melaporkan bahwa perlakuan dengan serbuk
daun T. vogelii pada biji kacang tanah dengan perbandingan 1:40 (w/w) dapat
menyebabkan kematian kumbang Caryedon serratus sebesar 98.8% dan 30 hari
setelah aplikasi imago gagal menghasilkan telur.
Wulan (2008) melaporkan
bahwa aktivitas insektisida ekstrak daun T. vogelii bergantung pada jenis pelarut
yang digunakan saat ekstraksi dan metode pengujian yang digunakan. Pada
pengujian dengan metode residu pada daun, fraksi yang aktif terhadap larva
Crocidolomia pavonana adalah fraksi n-heksana, fraksi etil asetat, dan ekstrak
metanol dengan LC50 berturut-turut 0,14%, 0,45%, dan 0,30%, sedangkan dengan
metode kontak fraksi yang aktif hanya fraksi n-heksana dengan LC50 sebesar
1,1%.
Selain mengakibatkan kematian, fraksi atau ekstrak yang aktif juga
berpengaruh terhadap perkembangan larva dan fraksi n-heksana juga memiliki
efek antifeedant (penghambat makan). Abizar dan Prijono (2010) melaporkan
bahwa ekstrak etil asetat daun T. vogelii berbunga ungu memiliki aktivitas
insektisida yang kuat terhadap larva instar II C. pavonana (LC50 dan LC95 pada 72
JSP masing-masing 0,091% dan 0,273%).
Selain mengakibatkan kematian,
perlakuan dengan ekstrak T. vogelii bunga ungu juga menghambat perkembangan
larva C. pavonana akibat sifat penghambat makan ekstrak uji atau pengaruh
gabungan dari sifat penghambat makan dan peracunan oleh senyawa aktif ekstrak
pada sel-sel atau jaringan yang terlibat dalam proses pencernaan makanan dan
pertumbuhan serangga.
17
Sifat Insektisida Piper aduncum
Tumbuhan sirih hutan Piper aduncum L (Piperaceae) berasal dari Amerika
tropis dan diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1860. Sirih hutan tumbuh pada
ketinggian 90 sampai 1000 m dpl (Heyne 1987).
Perlakuan dengan ekstrak
heksana daun P. aduncum pada konsentrasi 1-20 mg/ml mengakibatkan kematian
larva caplak Rhipicephalus microplus, parasit pada ternak seperti sapi, keledai,
kuda, dan domba, sebesar 11,4%-70,42% dengan LC50 9,30 mg/ml dan pada
konsentrasi 5-100 mg/ml menghambat reproduksi imago sebesar 12,5%-54,2%.
Sementara itu perlakuan dengan minyak atsiri daun P. aduncum pada konsentrasi
0,1 mg/ml mengakibatkan kematian larva caplak tersebut sampai 100% (Silva et
al. 2009). Minyak atsiri P. aduncum dilaporkan juga toksik terhadap kumbang
daun kacang Cerotoma tingomarianus dengan metode aplikasi kontak, perlakuan
pada konsentrasi 1% dapat mengakibatkan kematian kumbang hampir 100%
(Fazolin et al. 2005). Bernard et al. (1995) melaporkan bahwa ekstrak kasar daun
P. aduncum pada konsentrasi 0,4% dapat menghambat perkembangan larva
penggerek batang jagung Ostrinia nubilalis hingga 90%.
Hasyim (2011)
melaporkan juga bahwa perlakuan ekstrak n-heksana buah P. aduncum pada
konsentrasi 0,20% mengakibatkan kematian larva instar II lebih dari 95%.
Dilapiol (Gambar 2) merupakan komponen utama fraksi aktif daun P.
aduncum dan perlakuan dengan dilapiol 0,1 ppm menyebabkan kematian larva
nyamuk Aedes atropalpus sebesar 92% (Bernard et al. 1995). Hasyim (2011)
melaporkan bahwa komponen utama dalam fraksi aktif dari ekstrak n-heksana
buah P. aduncum adalah dilapiol (golongan fenilpropanoid), dengan area puncak
pada kromatogram berdasarkan analisis dengan kromatografi gas sebesar 68,8%.
Selain bersifat insektisida, dilapiol yang diisolasi dari minyak atsiri daun P.
aduncum juga bersifat anticendawan dan antibakteri (Parmar et al. 1998; Kato &
Furlan 2007).
Senyawa dilapiol
memiliki
gugus
metilendioksifenil
(MDF)
yang
merupakan ciri penting dari berbagai senyawa yang bersifat sebagai sinergis
insektisida (Metcalf 1967; Bernard et al. 1990; Scott et al. 2008). Senyawa yang
memiliki
gugus
MDF
dapat
menghambat
aktivitas
enzim
polisubstrat
monooksigenase (PSMO) yang berperan dalam menurunkan daya racun senyawa
91
lignan yang mengandung gugus metilendioksifenil dalam buah P. cubeba.
Dilapiol juga memiliki gugus metilendioksifenil dalam strukturnya yang
merupakan ciri berbagai senyawa sinergis yang dapat menghambat aktivitas
enzim sitokrom P450 (Metcalf 1967; Perry et al. 1998). Enzim sitokrom P450
merupakan enzim pemetabolisme senyawa asing atau penurun daya racun.
Bernard et al. (1990) melaporkan bahwa dilapiol yang berasal dari P. aduncum
dapat menghambat aktivitas enzim sitokrom P450 dalam sediaan mikrosom dari
sel-sel saluran pencernaan larva penggerek batang jagung O. nubilalis. Oleh
karena itu, ekstrak P. aduncum yang mengandung dilapiol berpotensi sinergis bila
dicampurkan dengan ekstrak tumbuhan lain.
1
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi
Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor (IPB) mulai Oktober 2010 sampai Agustus 2011.
Bahan Tumbuhan Sumber Ekstrak
Bahan tumbuhan yang digunakan sebagai sumber ekstrak adalah daun
Tephrosia vogelii berbunga ungu yang berasal dari Kawasan Agropolitan,
Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dan buah Piper aduncum yang
diperoleh dari lingkungan sekitar kampus IPB Darmaga, Bogor. Daun T. vogelii
langsung dipotong kecil-kecil lalu dikeringudarakan selama 1 minggu, sedangkan
buah P. aduncum dikeringudarakan dalam keadaan utuh juga selama 1 minggu.
Penyiapan Tanaman Pakan
Daun brokoli (Brassica oleracea L. var. italica Plenck) digunakan sebagai
pakan serangga uji dan sebagai media perlakuan pada uji hayati di laboratorium.
Benih brokoli cv. Green Magic disemai dalam nampan semai yang diisi media
semai campuran tanah, kompos Super Metan dan diberi pupuk majemuk (NPK
18-9-10+TE) empat butir per lubang tanam.
Bibit berumur 4 minggu atau
memiliki empat helai daun dipindahkan ke polybag kapasitas 5 L yang diisi
campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 3:1 (v/v). Pada setiap
polybag ditanam satu bibit tanaman. Setelah berumur 4 minggu tanaman dipupuk
NPK dengan dosis ± 1 g per polybag. Pupuk ditabur melingkar mengelilingi
tanaman lalu ditutup tanah dan disiram. Pemeliharaan tanaman brokoli yang
dilakukan
meliputi
penyiraman,
penyulaman,
penyiangan
gulma,
dan
pengendalian hama secara mekanis. Daun tanaman brokoli yang telah berumur
sekurang-kurangnya 2 bulan digunakan sebagai pakan larva C. pavonana.
111
Pemeliharaan Serangga Uji
Serangga C. pavonana yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
koloni yang diperbanyak di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga,
Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Pembiakan serangga dilakukan mengikuti
prosedur yang digunakan oleh Prijono dan Hassan (1992). Imago C. pavonana
dipelihara dalam kurungan plastik kasa berbingkai kayu (50 cm x 50 cm x 50 cm)
dan diberi pakan larutan madu 10% yang diserapkan pada segumpal kapas yang
digantungkan di dalam kurungan.
Daun brokoli yang tangkainya dicelupkan
dalam tabung film berisi air diletakkan di dalam kurungan sebagai tempat
peletakan telur. Kelompok telur pada daun brokoli dikumpulkan setiap hari.
Setelah telur menetas, larva dipindahkan ke dalam wadah plastik (35 cm x 26 cm
x 6 cm) berjendela kasa yang dialasi kertas stensil, dan diletakkan daun brokoli
bebas pestisida sebagai pakannya. Larva instar II digunakan untuk pengujian.
Bila tidak digunakan untuk pengujian, sebagian larva dipelihara lebih lanjut dalam
wadah plastik berisi daun brokoli. Menjelang berpupa, larva dipindahkan ke
dalam wadah plastik lain yang berisi serbuk gergaji steril sebagai medium untuk
berpupa. Pupa beserta kokonnya dipindahkan ke dalam kurungan plastik-kasa
seperti di atas sampai muncul imago untuk pemeliharaan selanjutnya.
Penentuan Kadar Air Tumbuhan Sumber Ekstrak
Botol timbang dikeringkan pada suhu 105 oC dalam oven selama 30 menit,
kemudian didinginkan dan ditimbang. Sebanyak 2 g sampel (serbuk daun T.
vogelii dan buah P. aduncum) dimasukkan ke dalam botol timbang dan
dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 2 jam, kemudian cawan
diangkat dan didinginkan.
Botol timbang dengan sampel ditimbang hingga
diperoleh bobot konstan (AOAC 2006). Persentase kadar air dihitung dengan
persamaan:
Kadar air (%) =
Bobot awal – bobot akhir
Bobot awal
x 100%
121
Ekstraksi T. vogelii dan P. aduncum
Potongan daun T. vogelii bunga ungu dan buah P. aduncum kering udara
digiling menggunakan blender hingga menjadi serbuk, kemudian diayak
menggunakan pengayak kawat kasa berjalinan 0.5 mm. Serbuk daun T. vogelii
dan serbuk buah P. aduncum masing-masing 25 g direndam dalam 200 ml etil
asetat.
Perendaman dibedakan menjadi lima macam perlakuan berdasarkan
jumlah perendaman yaitu 2x, 3x, 4x, 5x, dan 6x perendaman. Setiap perlakuan
perendaman diulang tiga kali.
Untuk setiap perendaman, bahan tumbuhan
direndam selama 3 jam, masing-masing dikocok setiap 30 menit. Cairan hasil
rendaman disaring menggunakan corong kaca yang dialasi kertas saring Whatman
No. 41 diameter 185 mm. Hasil saringan diuapkan dengan menggunakan rotary
evaporator pada suhu 50 ºC dan tekanan 240 mbar sehingga diperoleh ekstrak
kasar. Ekstrak daun T. vogelii yang diperoleh berbentuk bahan pekat berwarna
hijau gelap dan ekstrak buah P. aduncum berupa bahan semipadat berwarna
cokelat. Setiap ekstrak yang diperoleh disimpan dalam lemari es (± 4 ºC) hingga
saat digunakan. Data persentase hasil ekstrak ditransformasi ke arcsin√
kemudian diolah dengan sidik ragam berdasarkan rancangan acak lengkap yang
dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%. Analisis
statistika dilakukan dengan menggunakan program Statistical Analysis System
(SAS) versi 9.1 (SAS Institute 2002-2003).
Uji Toksisitas Ekstrak Tunggal
Pengujian dilakukan melalui dua tahap, yaitu uji pendahuluan dan uji
lanjutan. Pada uji pendahuluan, kelima ekstrak daun T. vogelii berbunga ungu
diuji pada konsentrasi 0,14% (w/v) dan kelima ekstrak buah P. aduncum diuji
pada konsentrasi 0,1% (w/v). Setiap perlakuan terdiri atas enam ulangan. Semua
pengujian dilakukan dengan menggunakan metode celup daun. Ekstrak daun T.
vogelii dan ekstrak buah P. aduncum masing-masing dicampur dengan pelarut
metanol dan Solvesso R-100 serta pengemulsi Tween 80 (9:1:5) (konsentrasi
akhir 0,96% v/v) kemudian diencerkan dengan akuades sampai volume yang
sesuai. Akuades yang hanya mengandung pelarut metanol dan Solvesso R-100
serta pengemulsi Tween 80 digunakan sebagai larutan kontrol. Semua suspensi
13
1
ekstrak dikocok dengan menggunakan pengocok ultrasonik agar ekstrak dapat
tersuspensikan secara merata di dalam air.
Potongan daun brokoli segar dan bebas pestisida (4 cm x 4 cm) dicelup satu
per satu dalam suspensi ekstrak dengan konsentrasi tertentu sampai basah merata
lalu dikeringudarakan. Daun kontrol dicelup dalam larutan kontrol yang sesuai.
Setiap potong daun perlakuan dan daun kontrol diletakkan secara terpisah di
dalam cawan petri (diameter 9 cm) yang dialasi tisu yang ukurannya melebihi
diameter cawan. Cawan petri diletakkan pada posisi terbalik. Alas tisu diletakkan
pada bagian tutup cawan, sedangkan bagian dasar cawan ditutupkan di atas tisu.
Dengan demikian, bagian tutup dan dasar cawan tersekat tisu sehingga larva uji
tidak dapat keluar dari dalam cawan.
Sebanyak 15 ekor larva instar II C.
pavonana yang baru ganti kulit dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian
diberikan daun kontrol atau daun perlakuan yang sesuai. Larva tersebut dibiarkan
makan selama 24 jam. Setelah 24 jam ditambahkan daun perlakuan atau daun
kontrol secukupnya. Dua puluh empat jam berikutnya, daun perlakuan diganti
dengan daun tanpa perlakuan. Jumlah larva yang mati diamati dan dicatat setiap
hari sampai hari ke-4 (96 jam sejak perlakuan [JSP]).
Data mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan dengan ekstrak T.
vogelii 0,14% dan P. aduncum 0,10% pada 48, 72, dan 96 JSP ditransformasi ke
arcsin√
kemudian diolah dengan sidik ragam berdasarkan rancangan
acak lengkap yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf
nyata 5%. Analisis statistika dilakukan dengan menggunakan program SAS versi
9.1 (SAS Institute 2002-2003).
Ekstrak yang berasal dari perlakuan perendaman yang memberikan hasil
ekstraksi dan aktivitas insektisida terbaik digunakan dalam uji lanjutan. Ekstrak
T. vogelii dan P. aduncum masing-masing diuji pada enam taraf konsentrasi yang
diharapkan dapat mengakibatkan kematian serangga uji antara 15% dan 95%.
Taraf konsentrasi uji ekstrak T. vogelii ialah 0,025%, 0,06%, 0,095%, 0,13%,
0,165%, dan 0,2% (w/v), dan ekstrak P. aduncum 0,075%, 0,11%, 0,145%,
0,18%, 0,215%, dan 0,25% (w/v). Cara perlakuan dan pengamatan pada uji
lanjutan sama seperti pada uji pendahuluan. Data mortalitas kumulatif pada 48,
14
1
72, dan 96 JSP diolah dengan analisis probit menggunakan program POLO-PC
(LeOra Software 1987).
Uji Toksisitas Ekstrak Campuran
Ekstrak T. vogelii dan P. aduncum diuji dalam bentuk campuran pada enam
taraf konsentrasi yang diharapkan dapat mengakibatkan kematian serangga uji
antara 15% dan 95%. Ekstrak campuran diuji pada tiga macam perbandingan
konsentrasi, yaitu 1:1, 5:1, dan 1:5 (w/w). Konsentrasi uji ekstrak T. vogelii dan
P. aduncum dalam campuran 1:1 masing-masing 0,00625%, 0,0125%, 0,025%,
0,0375%, 0,05%, dan 0,0625%.
Untuk campuran 5:1 konsentrasi ekstrak T.
vogelii berturut-turut 0,02%, 0,045%, 0,07%, 0,095%, 0,12%, dan 0,145% dan
konsentrasi ekstrak P. aduncum berturut-turut 0,004%, 0,009%, 0,014%, 0,019%,
0,024%, dan 0,029%. Untuk campuran 1:5 konsentrasi ekstrak T. vogelii berturutturut 0,003%, 0,009%, 0,015%, 0,021%, 0,027%, dan 0,033% dan konsentrasi
ekstrak P. aduncum berturut-turut 0,015%, 0,045%, 0,075%, 0,105%, 0,135%,
dan 0,165%. Cara perlakuan dan pengamatan pada uji ekstrak campuran sama
seperti pada uji ekstrak tunggal. Data mortalitas kumulatif pada 48, 72, dan 96
JSP diolah dengan analisis probit seperti pada uji ekstrak tunggal.
Sifat aktivitas campuran ekstrak daun T. vogelii dan buah P. aduncum
dianalisis berdasarkan model kerja bersama berbeda dengan menghitung indeks
kombinasi pada taraf LC50 dan LC95. Indeks kombinasi (IK) pada taraf LCx
tersebut dihitung dengan rumus berikut (Chou & Talalay 1984):
LCx1 (cm)
IK =
LCx1
LCx2 (cm)
+
LCx2
+
LCx1 (cm)
LCx1
x
LCx2 (cm)
LCx2
LCx1 dan LCx2 masing-masing merupakan LCx ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak
buah P. aduncum pada pengujian terpisah; LCx1(cm) dan LCx2(cm) masing-masing
LCx ekstrak T. vogelii dan P. aduncum dalam campuran yang mengakibatkan
mortalitas x (misal 50% dan 95%). Nilai LCx tersebut diperoleh dengan cara
mengalikan LCx campuran dengan proporsi konsentrasi ekstrak T. vogelii dan P.
aduncum dalam campuran.
151
Kategori sifat interaksi campuran adalah sebagai berikut (diadaptasi dari
Gisi 1996; Kosman & Cohen 1996):
(1) bila IK < 0.5, komponen campuran bersifat sinergistik kuat;
(2) bila 0.5 ≤ IK ≤ 0.77, komponen campuran bersifat sinergistik lemah;
(3) bila 0.77 < IK ≤ 1.43, komponen campuran bersifat aditif;
(4) bila IK > 1.43, komponen campuran bersifat antagonistik.
1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Ekstraksi dan Uji Pendahuluan
Secara umum, hasil ekstrak daun Tephrosia vogelii dan buah Piper
aduncum lebih besar dengan makin banyaknya jumlah perendaman bahan
tumbuhan dalam pelarut etil asetat. Hasil ekstrak T. vogelii pada perendaman 6x
nyata lebih tinggi daripada perendaman 2x dan 3x, sementara hasil ekstrak pada
perendaman 4x nyata lebih tinggi daripada perendaman 2x tetapi tidak berbeda
nyata dengan perlakuan perendaman lain termasuk perendaman 6x (Tabel 1).
Peningkatan hasil ekstrak T. vogelii yang lebih kecil pada perendaman 5x dan 6x
dibandingkan dengan pada perendaman 3x dan 4x sesuai dengan pola hubungan
antara jumlah perendaman dan hasil ekstrak yang mengikuti persamaan regresi
kuadratik, dengan koefisien determinasi (R2) yang tinggi, yaitu > 0,99 (Gambar
1). Hubungan antara jumlah perendaman dan hasil ekstrak P. aduncum juga
mengikuti persamaan regresi kuadratik tetapi dengan R2 (0,9) yang lebih rendah
Tabel 1 Hasil ekstrak daun Tephrosia vogelii dan buah Piper aduncum pada
jumlah perendaman yang berbeda dan mortalitas larva Crocidolomia
pavonana akibat perlakuan dengan ekstrak T. vogelii 0,14% dan P.
aduncum 0,10%
Jumlah
perendaman a
a
Rerata hasil ekstrak (%) b,d
T. vogelii
Rerata mortalitas larva (%)
pada perlakuan ekstrak c,d
P. aduncum
T. vogelii
P. aduncum
2x
4,796a
9,262a
45,2a
33,7a
3x
5,652ab
10,711a
53,0a
38,5a
4x
6,151bc
10,888a
53,0a
23,3a
5x
6,392bc
11,028a
38,1a
24,1a
6x
6,618c
11,636a
45,2a
17,8a
Tiap kali perendaman 25 g serbuk tumbuhan direndam dalam 200 ml etil asetat selama 3 jam
dan rendaman dikocok setiap 30 menit.
b
Berdasarkan bobot kering udara serbuk tumbuhan. Kadar air sampel serbuk daun T. vogelii dan
buah P. aduncum masing-masing 7,37% ± 2,04% dan 6,89% ± 1,42% (n = 3).
c
Mortalitas kumulatif pada 96 jam setelah perlakuan.
d
Rerata pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut
uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%. Data ditransformasi ke arcsin √
sebelum dilakukan sidik ragam.
17 1
12
P. aduncum
y = -0,122 x2 + 1,488 x + 6,96
R² = 0,899
Hasil ekstrak (%)
10
8
6
T. vogelii
y = -0,108 x2 + 1,305 x + 2,650
R² = 0,994
4
2
0
0
1
2
3
4
5
6
Jumlah perendaman
Gambar 3 Hubungan antara jumlah perendaman dan hasil ekstraksi daun
T.vogelii dan buah P. aduncum. Keterangan perendaman sama seperti
pada catatan kaki “a” pada Tabel 1.
daripada ekstrak T. vogelii, dan hasil ekstrak P. aduncum tidak berbeda nyata
antarperlakuan perendaman (Tabel 1).
Hasil ekstrak P. aduncum berkisar dari 9,262% (2x perendaman) sampai
11,636% (6x perendaman).
Hasil tersebut sekitar 1,7–1,9 kali lebih tinggi
daripada hasil ekstrak T. vogelii yang berkisar dari 4,796% (2x perendaman)
sampai 11,636% (6x perendaman) (Tabel 1 dan Gambar 1). Perbedaan hasil
ekstrak tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan sifat genetika dan bagian
tumbuhan yang diekstraksi.
Daun T. vogelii relatif tipis dan tidak banyak
mengandung minyak sedangkan buah P. aduncum banyak mengandung minyak
(Hasyim 2011).
Hasil ekstrak daun T. vogelii dalam penelitian ini berada di antara hasil
ekstrak dengan pelarut n-heksana (4,72%) dan metanol (22,77%) yang dilaporkan
oleh Wulan (2008). Etil asetat bersifat lebih polar daripada n-heksana sehingga
181
dapat mengekstrak senyawa-senyawa nonpolar dan yang lebih polar sedangkan nheksana hanya mengekstrak senyawa-senyawa nonpolar (Houghton & Raman
1998). Karena itu, hasil ekstrak T. vogelii dengan pelarut etil asetat lebih tinggi
daripada hasil ekstrak dengan pelarut n-heksana. Sementara itu, metanol dapat
mengekstrak berbagai senyawa polar yang tampaknya banyak terkandung di
dalam daun T. vogelii sehingga penggunaan pelarut metanol memberikan hasil
ekstrak sebanyak 4,82 dan 3,44 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut nheksana dan etil asetat.
Hasil ekstraksi buah P. aduncum dengan pelarut etil asetat dalam penelitian
ini lebih tinggi daripada hasil ekstraksi dengan pelarut n-heksana yang dilaporkan
oleh Hasyim (2011), yaitu 6,93%.
Ekstraksi yang dilakukan Hasyim (2011)
dilakukan sampai cairan rendaman mendekati tidak berwarna sedangkan dalam
penelitian ini perendaman dibatasi sampai paling banyak enam kali meskipun
cairan rendaman belum mendekati tidak berwarna.
Namun demikian, hasil
ekstrak P. aduncum dalam penelitian ini masih lebih tinggi daripada hasil ekstrak
yang dilaporkan oleh Hasyim (2011). Hal ini disebabkan oleh etil asetat yang
bersifat lebih polar daripada n-heksana sehingga etil asetat dapat mengekstrak
lebih banyak senyawa daripada n-heksana seperti yang telah dijelaskan di atas.
Selain itu, perbedaan sifat bahan tumbuhan yang digunakan dapat menyebabkan
perbedaan hasil ekstrak yang diperoleh. Perbedaan sifat bahan tumbuhan tersebut
dapat disebabkan oleh keragaman sifat genetika dan umur tumbuhan, kondisi
tanah dan vegetasi di sekitar lokasi tumbuhan sumber, serta kondisi musim saat
pengambilan bahan tumbuhan (Kaufman et al. 2006).
Berbeda dengan hasil ekstrak T. vogelii dan P. aduncum yang makin
meningkat dengan makin banyaknya jumlah perendaman bahan tumbuhan,
mortalitas larva Crocidolomia pavonana antarperlakuan tidak berbeda nyata
(Tabel 1).
Secara numerik, mortalitas serangga uji hanya meningkat pada
perlakuan dengan kedua ekstrak tersebut yang berasal dari perendaman 3x.
Mortalitas serangga uji pada perlakuan dengan ekstrak T. vogelii dari perendaman
4x sudah tidak meningkat lagi dan menurun pada perendaman 5x dan 6x.
Sementara itu, mortalitas serangga uji pada perlakuan dengan ekstrak P. aduncum
sudah menurun mulai perlakuan perendaman 4x.
Perbedaan antara pola
191
peningkatan hasil ekstrak T. vogelii dan buah P. aduncum seperti yang telah
dijelaskan di atas dan pola perbedaan mortalitas larva C. pavonana pada
perlakuan perendaman yang berbeda kemungkinan karena sebagian besar bahan
aktif sudah terekstrak pada perlakuan perendaman 3x.
Untuk T. vogelii,
kandungan bahan aktif yang terekstrak pada perendaman 4x tampaknya tidak
berbeda dengan perendaman 3x sementara pada perendaman 5x dan 6x tambahan
hasil ekstrak yang diperoleh tampaknya lebih banyak mengandung bahan yang
tidak aktif sehingga kandungan bahan aktif dalam ekstrak lebih rendah dan
akibatnya mortalitas serangga uji juga lebih rendah dibandingkan dengan
perendaman 3x dan 4x. Penjelasan serupa juga berlaku untuk P. aduncum, yaitu
pada perendaman 4x, 5x, dan 6x kandungan bahan aktif dalam ekstrak yang
diperoleh tampaknya lebih rendah sehingga mortalitas serangga uji juga lebih
rendah dibandingkan dengan perendaman 3x. Berdasarkan data hasil ekstraksi
dan mortalitas larva C. pavonana yang dijelaskan di atas, ekstrak T. vogelii dan P.
aduncum yang digunakan dalam uji lanjutan adalah ekstrak yang masing-masing
berasal dari perendaman 4x dan 3x.
Toksisitas Ekstrak T. vogelii dan P. aduncum terhadap Larva C. pavonana
Ekstrak Tunggal
Hasil uji lanjutan menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat daun T. vogelii
bekerja relatif lambat. Pada 24 jam sejak perlakuan (JSP), perlakuan dengan
ekstrak T. vogelii pada konsentrasi tertinggi (0,2%) mengakibatkan kematian larva
C. pavonana hanya sekitar 1% sedangkan pada konsentrasi 0,025%–0,165%
belum ada kematian serangga uji. Tingkat mortalitas serangga uji meningkat
tajam antara 24 dan 48 JSP; pada konsentrasi ekstrak T. vogelii 0,2%, mortalitas
serangga uji pada 48 JSP telah melebihi 70%, sedangkan pada konsentrasi
0,025%–0,165%, mortalitas serangga uji berkisar dari sekitar 1% sampai 33%.
Antara 48 dan 72 JSP masih terjadi peningkatan mortalitas serangga uji yang
cukup besar, dan setelah 72 JSP peningkatan mortalitas serangga uji sangat kecil
(Gambar 4A). Pada pengamatan 48, 72, dan 96 JSP, mortalitas serangga uji
makin meningkat dengan makin besarnya konsentrasi ekstrak T. vogelii. Pada
akhir pengamatan (96 JSP), mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan dengan
201
ekstrak T. vogelii 0,025%–0,2% berkisar dari sekitar 2% sampai 100% (Gambar
4A). Pola perkembangan mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan dengan
ekstrak T. vogelii tersebut serupa dengan yang dilaporkan oleh Abizar dan Prijono
(2010).
Ekstrak etil asetat buah P. aduncum juga bekerja relatif lambat. Pada 24
jam sejak perlakuan (JSP), perlakuan dengan ekstrak P. aduncum pada
konsentrasi tertinggi (0,25%) mengakibatkan kematian larva C. pavonana kurang
dari 40% sedangkan pada konsentrasi 0,075%–0,215% kematian serangga uji
berkisar dari sekitar 2% sampai 15%. Seperti pada perlakuan dengan ekstrak T.
vogelii, tingkat mortalitas serangga uji akibat perlakuan dengan ekstrak P.
aduncum juga meningkat tajam antara 24 dan 48 JSP; pada konsentrasi ekstrak P.
aduncum 0,25%, mortalitas serangga uji pada 48 JSP telah mencapai 100%,
sedangkan pada konsentrasi 0,075%–0,215%, mortalitas serangga uji berkisar dari
sekitar 9% sampai lebih dari 70%. Namun, berbeda dengan ekstrak T. vogelii
yang masih mengakibatkan peningkatan mortalitas serangga uji yang cukup besar
antara 48 dan 72 JSP (Gambar 4A), pada perlakuan dengan ekstrak P. aduncum,
peningkatan mortalitas serangga uji sangat kecil antara 48 dan 72 JSP dan tidak
terjadi lagi peningkatan mortalitas setelah 72 JSP (Gambar 4B). Seperti pada
perlakuan dengan ekstrak T. vogelii, pada pengamatan 48, 72, dan 96 JSP,
mortalitas serangga uji juga makin meningkat dengan makin besarnya konsentrasi
ekstrak P. aduncum.
Pada akhir pengamatan (96 JSP), mortalitas larva C.
pavonana akibat perlakuan dengan ekstrak P. aduncum 0,075%–0,25% berkisar
dari sekitar 13% sampai 100% (Gambar 4B).
Mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan dengan ekstrak T. vogelii dan
P. aduncum pada konsentrasi tertinggi telah melebihi 50% mulai 48 JSP, karena
itu analisis probit dilakukan terhadap data mortalitas pada 48, 72, dan 96 JSP.
LC50 dan LC95 ekstrak T. vogelii pada 72 JSP menurun tajam bila dibandingkan
dengan LC50 dan LC95 pada 48 JSP, sedangkan pada 96 JSP hanya terjadi
penurunan nilai LC50 dan LC95 yang sangat kecil dibandingkan dengan LC50 dan
LC95 pada 72 JSAP (Tabel 2). Sementara itu, mortalitas larva C. pavonana pada
perlakuan dengan ekstrak P. aduncum sudah mendekati maksimum pada 48 JSP
(Gambar 4B) sehingga LC50 ekstrak tersebut pada 72 JSP sedikit menurun bila
1
21
100
0,200%
0,165%
0,130%
0,095%
0,060%
0,025%
A
Mortalitas (%)
80
60
40
20
0
100
0,250%
0,215%
0,180%
0,145%
0,110%
0,075%
B
Mortalitas (%)
80
60
40
20
0
0
24
48
72
96
Waktu pengamatan (JSP)
Gambar 4 Perkembangan tingkat mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan
ekstrak daun T. vogelii (A) dan ekstrak buah P.aduncum (B). Pada
semua perlakuan, tidak ada kematian larva kontrol hingga 96 JSP.
dibandingkan dengan LC50 pada 48 JSP, dan pada 96 JSP sudah tidak terjadi
perubahan nilai LC50. Nilsi LC95 ekstrak P. aduncum pada 72 JSP sedikit lebih
besar daripada LC95 pada 48 JSP, dan pada 96 JSP sudah tidak terjadi perubahan
nilai LC50 (Tabel 2). Pola perubahan nilai LC50 dan LC95 ekstrak T. vogelii dan P.
aduncum dari 48 JSP ke 96 JSP secara umum sesuai dengan pola perkembangan
mortalitas serangga uji seperti yang telah dijelaskan sebelumnya (Gambar 4).
Baik ekstrak daun T. vogelii maupun ekstrak buah P. aduncum memiliki
LC95 terhadap larva C. pavonana sekitar 0,3% (Tabel 2) sehingga kedua ekstrak
tersebut dapat dikatakan memiliki aktivitas insektisida yang kuat karena LC 95-nya
22
Tabel 2 Penduga parameter hubungan konsentrasi-mortalitas ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak buah P.aduncum terhadap larva instar II
C. pavonana
Jenis ekstrak
T. vogelii
P. aduncum
a
b
Waktu pengamatan
(JSP) a
a ± GB b
b ± GB b
LC50 (SK 95%)
(%) b
LC95 (SK 95%)
(%) b
48
3,180 ± 0,396
4,262 ± 0,457
0,179 (-)
0,436 (-)
72
3,769 ± 0,317
3,949 ± 0,330
0,111 (0,072–0,163)
0,290 (0,186–2,014)
96
3,742 ± 0,312
3,876 ± 0,323
0,108 (0,071–0,155)
0,288 (0,186–1,715)
48
4,195 ± 0,334
5,079 ± 0,405
0,149 (0,118–0,184)
0,315 (0,236–0,731)
72
3,982 ± 0,322
4,684 ± 0,384
0,141 (0,110–0,173)
0,317 (0,235–0,742)
96
3,982 ± 0,322
4,684 ± 0,384
0,141 (0,110–0,173)
0,317 (0,235–0,742)
JSP = jam sejak perlakuan.
a = intersep garis regresi probit, b = kemiringan regresi probit, GB = galat baku, SK = selang kepercayaan.
23
tidak melebihi 0,5% (Dadang & Prijono 2008). Toksisitas ekstrak etil asetat T.
vogelii dalam penelitian ini (LC50 dan LC95 pada 72 JSP masing-masing 0,111%.
dan 0,290%, Tabel 2) sedikit lebih lemah daripada ekstrak etil asetat T. vogelii
bunga ungu yang dilaporkan oleh Abizar dan Prijono (2010) (LC50 dan LC95 pada
72 JSP masing-masing 0,091% dan 0,273%), tetapi lebih kuat daripada ekstrak nheksana dan ekstrak metanol T. vogelii bunga ungu yang dilaporkan oleh Wulan
(2008) (LC50 dan LC95 pada 72 JSP masing-masing 0,14% dan 0,34% untuk
ekstrak n-heksana serta 0,30% dan 1,30% untuk ekstrak metanol). Lebih lanjut,
pada taraf LC50, toksisitas ekstrak T. vogelii dalam penelitian ini lebih kuat sekitar
1,3 kali dibandingkan dengan ekstrak aseton T. vogelii bunga ungu yang
dilaporkan oleh Prijono et al. (2010) tetapi toksisitasnya setara pada taraf LC95
(LC50 dan LC95 pada 72 JSP masing-masing 0,145% dan 0,290%).
Dalam penelitian ini dan penelitian oleh Prijono et al. (2010) digunakan
daun dari tanaman T. vogelii berbunga ungu yang berasal sekitar kebun sayuran di
Kawasan Agropolitan di Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur (1283 m dpl,
6°43’23” LS dan 107°0’26” BT), sedangkan sampel daun yang digunakan oleh
Wulan (2008) berasal dari lahan petani di Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor
(914,4 m dpl, 6°41'17,51” LS dan 106°56'55,42” BT), dan yang digunakan oleh
Abizar dan Prijono (2010) berasal dari kebun sayuran organik Bina Sarana Bakti
di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor (914,4 m dpl, 6°41'17,51” LS dan
106°56'55,42” BT). Perbedaan keadaan lingkungan tempat asal bahan tumbuhan,
sifat genetika dan umur tanaman, dan musim saat pengambilan bahan tumbuhan
dapat mengakibatkan perbedaan kandungan bahan aktif yang selanjutnya dapat
memperngaruhi aktivitas ekstrak yang diperoleh (Kaufman et al. 2006).
Perbedaan jenis pelarut juga dapat mempengaruhi banyaknya bahan aktif yang
terekstrak (Houghton & Raman 1998) dan hal ini juga dapat mempengaruhi
aktivitas ekstrak yang diperoleh seperti yang telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya.
Pada taraf LC50, toksisitas ekstrak etil asetat buah P. aduncum dalam
penelitian ini sebanding dengan toksisitas ekstrak n-heksana buah P. aduncum
yang dilaporkan oleh Hasyim (2011), sedangkan pada taraf LC95 sekitar 1,2 kali
kurang beracun.
Pelarut n-heksana dapat melarutkan senyawa nonpolar
24
24
sedangkan pelarut etil asetat selain dapat melarutkan senyawa nonpolar juga dapat
melarutkan senyawa yang bersifat lebih polar (Houghton & Raman 1998).
Tampaknya senyawa aktif P. aduncum bersifat relatif nonpolar yang dapat
diekstrak dengan baik menggunakan pelarut n-heksana sementara penggunaan etil
asetat selain dapat mengekstrak senyawa aktif tersebut juga mengekstrak senyawa
lebih polar yang kurang aktif. Akibatnya, meskipun hasil ekstrak P. aduncum
dengan pelarut etil asetat (Tabel 1) lebih tinggi daripada hasil ekstrak dengan
pelarut n-heksana yang dilaporkan Hasyim (2011), kandungan senyawa aktif
dalam ekstrak P. aduncum dengan pelarut etil asetat lebih rendah daripada ekstrak
dengan pelarut n-heksana, sehingga toksisitas ekstrak P. aduncum dengan pelarut
etil asetat lebih rendah daripada toksisitas ekstrak dengan pelarut n-heksana.
Selain itu, perbedaan aktivitas ekstrak P. aduncum yang diperoleh juga dapat
disebabkan oleh perbedaan sifat genetika dan umur tanaman (Kaufman et al.
2006).
Berdasarkan perbandingan LC50 dan LC95 pada 72 JSP (Tabel 2), ekstrak T.
vogelii masing-masing sekitar 1,27 dan 1,09 kali lebih beracun terhadap larva C.
pavonana daripada ekstrak P. aduncum.
Perbedaan toksisitas kedua ekstrak
tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan toksisitas senyawa aktifnya atau
perbedaan kandungan senyawa aktifnya. Senyawa aktif insektisida utama dalam
daun T. vogelii antara lain rotenon, deguelin, dan tefrosin yang termasuk dalam
golongan rotenoid ((Delfel et al. 1970; Marston 1984, Lambert et al. 1993).
Rotenon memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap berbagai jenis serangga
sebagai racun perut dan racun kontak (Perry et al, 1998; Djojosumarto 2008).
Pada tingkat sel, rotenon menghambat transfer elektron antara NADH
dehidrogenase dan koenzim Q pada kompleks I dari rantai transpor elektron di
dalam mitokondria (Hollingworth 2001). Hambatan terhadap proses respirasi sel
tersebut menyebabkan produksi ATP menurun sehingga sel kekurangan energi
yang selanjutnya dapat menyebabkan kelumpuhan
berbagai sistem otot dan
jaringan lainnya.
Hasyim (2011) melaporkan bahwa komponen utama dalam fraksi aktif dari
ekstrak n-heksana buah P. aduncum adalah dilapiol (golongan fenilpropanoid),
dengan area puncak pada kromatogram berdasarkan analisis dengan kromatografi
25
24
gas sebesar 68,8%. Di Kanada, dilapiol telah diisolasi sebagai senyawa utama
yang bersifat insektisida dari daun P. aduncum. Perlakuan dengan dilapiol 0,1
ppm dapat mengakibatkan mortalitas larva nyamuk Aedes atropalpus sebesar 92%
(Bernard et al. 1995).
Cara kerja dilapiol dalam mengakibatkan kematian
serangga secara langsung belum diketahui dengan pasti.
Senyawa tersebut
memiliki gugus metilendioksifenil (MDF) yang merupakan ciri penting dari
berbagai senyawa yang bersifat sebagai sinergis insektisida (Metcalf 1967;
Bernard et al. 1990; Scott et al. 2008). Senyawa yang memiliki gugus MDF dapat
menghambat aktivitas enzim polisubstrat monooksigenase (PSMO) yang berperan
dalam menurunkan daya racun senyawa atau metabolit toksik di dalam tubuh.
Terhambatnya enzim PSMO dapat mengakibatkan penumpukan senyawa atau
metabolit toksik di dalam tubuh serangga yang akhirnya dapat mengakibatkan
kematian (Bernard et al. 1995).
Ekstrak Campuran
Pola perkembangan mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan campuran
ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak buah P. aduncum pada nisbah konsentrasi 1:1
(w/w) (Gambar 5A) berada di antara pola perkembangan mortalitas akibat
perlakuan dengan ekstrak T. vogelii dan P. aduncum secara terpisah (Gambar 4).
Sementara itu, sesuai nisbah konsentrasinya, pola perkembangan mortalitas
serangga uji pada perlakuan campuran ekstrak T. vogelii dan P. aduncum pada
nisbah konsentrasi 5:1 (Gambar 5B) lebih menyerupai pola perkembangan
mortalitas akibat perlakuan dengan ekstrak T. vogelii (Gambar 4A) dan pada
nisbah konsentrasi 1:5 (Gambar 5C) lebih menyerupai pola perkembangan
mortalitas akibat perlakuan dengan ekstrak P. aduncum (Gambar 4B).
Seperti pada perlakuan dengan ekstrak T. vogelii dan P. aduncum secara
terpisah, pada pengamatan terakhir (96 JSP), perlakuan dengan campuran kedua
ekstrak tersebut pada ketiga macam nisbah konsentrasi mengakibatkan mortalitas
serangga uji yang makin meningkat dengan makin besarnya konsentrasi campuran
ekstrak uji (Gambar 5). Pada beberapa konsentrasi uji, mortalitas serangga uji
telah melebihi 50% mulai 48 JSP, karena itu analisis probit dilakukan terhadap
data mortalitas serangga uji pada 48, 72, dan 96 JSP.
26
24
100
A
0,1250%
0,1000%
0,0750%
0,0500%
0,0250%
0,0125%
B
0,087%
0,072%
0,057%
0,042%
0,027%
0,012%
C
0,099%
Mortalitas (%)
80
60
40
20
0
100
Mortalitas (%)
80
60
40
20
0
100
0,081%
Mortalitas (%)
80
0,063%
0,045%
60
0,027%
0,009%
40
20
0
0
24
48
72
96
Waktu pengamatan (JSP)
Gambar 5 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan campuran
ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak buah P.aduncum dengan nisbah
konsentrasi 1:1 (A), 5:1 (B), dan 1:5 (C)
24
27
Seperti pola perkembangan mortalitas serangga uji, pola penurunan LC50
dan LC95 campuran ekstrak T. vogelii dan P. aduncum 5:1 terhadap larva C.
pavonana dari 48 ke 96 JSP (Tabel 3) menyerupai pola penurunan LC50 dan LC95
ekstrak T. vogelii (Tabel 2), sedangkan pola penurunan LC50 dan LC95 campuran
ekstrak 1:5 menyerupai pola penurunan LC50 dan LC95 ekstrak P. aduncum dan
pola penurunan LC50 dan LC95 campuran ekstrak 1:1 berada di antara pola
penurunan LC50 dan LC95 ekstrak T. vogelii dan P. aduncum secara terpisah.
Makin besar proporsi konsentrasi ekstrak P. aduncum, nilai LC50 dan LC95 makin
cepat mendekati nilai konstan atau penurunan nilai LC50 dan LC95 lebih kecil
setelah 48 JSP (Tabel 3).
Pada 96 JSP, LC50 dan LC95 campuran ekstrak T. vogelii dan P. aduncum
dengan nisbah konsentrasi 1:5 masing-masing 1,39 dan 1,45 kali serta 1,37 dan
1,34 kali lebih rendah dibandingkan dengan LC50 dan LC95 campuran ekstrak 1:1
dan 5:1 (Tabel 3).
Hal tersebut menunjukkan bahwa makin besar proporsi
konsentrasi ekstrak P. aduncum, aktivitas insektisida campuran makin kuat. LC50
campuran ekstrak 1:1, 5:1, dan 1:5 berturut-turut 2,51; 2,40; dan 3,48 kali lebih
rendah dibandingkan dengan LC50 ekstrak T. vogelii dan 3,28; 3,13; dan 4,55 kali
lebih rendah dibandingkan dengan LC50 ekstrak P. aduncum. Sementara itu, LC95
campuran ekstrak 1:1, 5:1, dan 1:5 berturut-turut 2,97; 3,03; dan 4,06 kali lebih
rendah dibandingkan dengan LC95 ekstrak T. vogelii dan 3,27; 3,34; dan 4,46 kali
lebih rendah dibandingkan dengan LC50 ekstrak P. aduncum. Dengan demikian,
campuran ekstrak T. vogelii dan P. aduncum pada ketiga nisbah konsentrasi lebih
toksik terhadap larva C. pavonana daripada ekstrak T. vogelii dan P. aduncum
pada perlakuan secara terpisah.
Sifat Aktivitas Campuran Ekstrak T. vogelii dan P. aduncum
Berdasarkan nilai indeks kombinasi (IK) pada pengamatan 48, 72, dan 96
JSP, campuran ekstrak T. vogelii dan P.aduncum pada ketiga nisbah konsentrasi
bersifat sinergistik kuat (IK < 0,5) baik pada taraf LC50 maupun LC95 (Tabel 4).
Campuran 1:5 paling sinergistik (IK paling rendah) dibandingkan dengan
campuran 1:1 dan campuran 5:1 baik pada taraf LC50 maupun LC95. Campuran
1:1 lebih sinergistik (IK lebih rendah) daripada campuran 5:1 pada taraf LC50,
28
Tabel 3 Penduga parameter hubungan konsentrasi-mortalitas campuran ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak buah P.aduncum terhadap
larva instar II C. pavonana
Nisbah
konsentrasi a
1:1
5:1
1:5
a
Waktu pengamatan
(JSP) b
a ± GB c
b ± GB c
LC50 (SK 95%)
(%) c
LC95 (SK 95%)
(%) c
48
5,774 ± 0,430
4,565 ± 0,352
0,054 (0,033–0,075)
0,125 (0,087–0,444)
72
6,041 ± 0,418
4,474 ± 0,324
0,045 (0,029–0,059)
0,104 (0,075–0,232)
96
6,389 ± 0,442
4,686 ± 0,339
0,043 (0,033–0,054)
0,097 (0,075–0,157)
48
6,488 ± 0,678
5,692 ± 0,564
0,072 (0,061–0,098)
0,141 (0,102–0,429)
72
6,896 ± 0,544
5,192 ± 0,417
0,047 (0,037–0,057)
0,097 (0,075–0,190)
96
6,837 ± 0,537
5,087 ± 0,408
0,045 (0,034–0,056)
0,095 (0,072–0,212)
48
6,395 ± 0,498
4,589 ± 0,376
0,040 (0,034–0,046)
0,092 (0,077–0,124)
72
6,647 ± 0,518
4,494 ± 0,374
0,033 (0,021–0,043)
0,077 (0,057–0,162)
96
6,874 ± 0,539
4,557 ± 0,384
0,031 (0,020–0,039)
0,071 (0,054–0,136)
Nisbah konsentrasi ekstrak T. vogelii:P. aduncum.
JSP = jam sejak perlakuan.
c
a = intersep garis regresi probit, b = kemiringan regresi probit, GB = galat baku, SK = selang kepercayaan.
b
29
Tabel 4 Sifat aktivitas campuran ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak buah P.
aduncum dengan tiga macam nisbah konsentrasi terhadap larva instar II
C. pavonana
Nisbah
kosentrasi a
1:1
5:1
1:5
Waktu
pengamatan
(JSP) b
Indeks kombinasi
Sifat interaksi c
LC50
LC95
LC50
LC95
48
0,359
0,370
Sin. kuat
Sin. kuat
72
0,394
0,373
Sin. kuat
Sin. kuat
96
0,382
0,347
Sin. kuat
Sin. kuat
48
0,443
0,364
Sin. kuat
Sin. kuat
72
0,428
0,344
Sin. kuat
Sin. kuat
96
0,419
0,339
Sin. kuat
Sin. kuat
48
0,269
0,287
Sin. kuat
Sin. kuat
72
0,254
0,256
Sin. kuat
Sin. kuat
96
0,240
0,215
Sin. kuat
Sin. kuat
a
Nisbah konsentrasi ekstrak T. vogelii:P. aduncum.
JSP = jam sejak perlakuan.
c
Sin. = sinergistik,
b
sedangkan pada taraf LC95 96 JSP kedua campuran tersebut memiliki tingkat
sinergisme yang setara (IK lebih kurang sama). Hal tersebut menunjukkan bahwa
secara umum makin besar proporsi konsentrasi ekstrak P. aduncum, campuran
ekstrak bersifat makin sinergistik. Proporsi konsentrasi P. aduncum yang lebih
besar kemungkinan menyebabkan penghambatan yang lebih besar terhadap
aktivitas enzim PSMO sehingga senyawa aktif T. vogelii dapat terhindar dari
penguraian oleh enzim tersebut dan dapat tetap bekerja menyerang bagian
sasaran.
Sifat sinergistik campuran ekstrak T. vogelii dan P. aduncum kemungkinan
disebabkan oleh komponen utama ekstrak P. aduncum yaitu dilapiol yang bersifat
sebagai insektisida dan sinergis (Bernard et al. 1995; Scott et al. 2008). Dilapiol
dapat menghambat aktivitas enzim PSMO dalam sediaan mikrosom dari sel-sel
saluran pencernaan ulat penggerek batang jagung Ostrinia nubilalis, sehingga
enzim pemetabolisme senyawa asing tersebut tidak dapat menguraikan bahan
aktif insektisida lain yang dicampurkan (Bernard et al. 1990). Seperti yang telah
30
dijelaskan sebelumnya, dilapiol memiliki gugus MDF dalam strukturnya yang
merupakan ciri berbagai senyawa sinergis yang dapat menghambat aktivitas
enzim PSMO (Metcalf 1967; Perry et al. 1998). Terhambatnya enzim penurun
daya racun senyawa asing tersebut mengakibatkan senyawa aktif dalam ekstrak T.
vogelii yang dicampurkan tidak terurai dan dapat tetap bekerja.
Penggunaan insektisida nabati dalam bentuk campuran yang bersifat
sinergistik dapat mengurangi ketergantungan pada satu jenis tumbuhan sebagai
bahan baku dan meningkatkan spektrum aktivitas insektisida (Dadang & Prijono
2008), lebih ekonomis (Stone et al. 1988), dan dapat menunda timbulnya
resistensi hama terhadap insektisida (Georghiou 1983). T. vogelii dan P. aduncum
mudah dibudidayakan dan dapat tumbuh dengan cepat sehingga bahan baku
insektisida nabati dari kedua jenis tumbuhan tersebut dapat diperoleh dengan
cukup mudah. Dengan demikian, campuran ekstrak T. vogelii dan P. aduncum
yang bersifat sinergis layak untuk dikembangkan lebih lanjut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Perendaman serbuk daun Tephrosia vogelii dan serbuk buah Piper aduncum
dalam pelarut etil asetat (1:8 w/v) masing-masing sebanyak 4x dan 3x
menghasilkan ekstrak yang lebih aktif terhadap larva Crocidolomia pavonana,
tetapi hasil ekstrak masing-masing tidak berbeda nyata, dibandingkan dengan
jumlah perendaman 5x dan 6x untuk ekstrak T. vogelii dan jumlah perendaman
4x, 5x, dan 6x untuk ekstrak P. aduncum. Berdasarkan perbandingan LC50 dan
LC95 pada 72 jam setelah perlakuan (JSP), ekstrak T. vogelii masing-masing
sekitar 1,27 dan 1,09 kali lebih beracun terhadap larva C. pavonana daripada
ekstrak P. aduncum. Pada taraf LC50, T. vogelii dan P. aduncum pada nisbah
konsentrasi 1:1, 5:1, dan 1:1 berturut-turut 2,51; 2,40; dan 3,48 kali lebih toksik
daripada ekstrak T. vogelii dan 3,28; 3,13; dan 4,55 kali lebih toksik daripada
ekstrak P. aduncum. Sementara itu, pada taraf LC95 campuran ekstrak 1:1, 5:1,
dan 1:5 berturut-turut 2,97; 3,03; dan 4,06 kali lebih toksik daripada ekstrak T.
vogelii dan 3,27; 3,34; dan 4,46 kali lebih toksik daripada ekstrak P. aduncum.
Berdasarkan model kerja bersama bebas, campuran ekstrak T. vogelii dan P.
aduncum pada ketiga nisbah konsentrasi bersifat sinergistik kuat terhadap larva C.
pavonana, baik pada taraf LC50 maupun LC95; indeks kombinasi pada taraf LC50
96 JSP berkisar dari 0,240 sampai 0,419 dan pada taraf LC95 96 JSP berkisar dari
0,235 sampai 0,347.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa campuran ekstrak T.
vogelii dan P. aduncum yang bersifat sinergis berpotensi untuk dimanfaatkan
sebagai bahan alternatif dalam pengendalian hama C. pavonana. Campuran T.
vogelii dan ekstrak buah P. aduncum dapat diuji pada nisbah konsentrasi lain
untuk mendapatkan campuran ekstrak yang mungkin lebih sinergistik. Untuk
mendapatkan
manfaat
yang
lebih
besar,
ekstrak
tersebut
dapat
diuji
keefektifannya terhadap hama lain, keamanannya terhadap musuh alami hama,
serta keefektifannya untuk mengendalikan hama di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Abizar M, Prijono D. 2010. Aktivitas insektisida ekstrak daun dan biji Tephrosia
vogelii J.D. Hooker (Leguminosae) dan ekstrak buah Piper cubeba L.
(Piperaceae) terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera:
Crambidae). JHPT Trop 10:1-12.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2006. Official Methods of
Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. Ed ke-18.
Washington DC: AOAC.
Bernard CB, Arnason JT, Philogène BJR, Lam J, Waddell T. 1990. In vivo effect
of mixtures of allelochemicals on the life cycle of the European corn borer,
Ostrinia nubilalis. Entomol Exp Appl 57:17-22.
Bernard CB, Krishnamurty HG, Chauret D, Durst T, Philogene BJR et al. 1995.
Insecticidal defenses of Piperaceae from the Neotropics. J Chem Ecol
21:801-814.
Cabras P, Caboni P, Cabras M, Angioni A, Russo M. 2002. Rotenone residues
on olives and in olive oil. J Agric Food Chem 50: 2576-2580.
Chou TC, Talalay P. 1984. Quantitative analysis of dose-effect relationships: the
combined effects of multiple drugs or enzyme inhibitors. Adv Enzyme Regl
22:27-55.
Dadang, Prijono D. 2008. Insektisida Nabati: Prinsip, Pemanfaatan, dan
Pengembangan. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian
Bogor.
Delfel NE, Tallent WH, Carlson DG, Wolff IA. 1970. Distribution of rotenone
and deguelin in Tephrosia vogelii and separation of rotenoid-rich fractions.
J Agric Food Chem 18:385−390.
Delobel A, Malonga P. 1987. Insecticidal properties of six plant materials
against Caryedon serratus (Ol.) (Coleoptera: Bruchidae). J Stored Prod Res
23:173−176.
Djojosumarto P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Fazolin M, Estrela JLV, Catani V, De Lima MS, Alécio EMR. 2005. Toxicidade
do oleo de Piper aduncum L. a adultos de Cerotoma tingomarianus
Bechyné (Coleoptera: Chrysomelidae). Neotrop Entomol 34:485-489.
Febrianni A. 2011. Aktivitas insektisida ekstrak biji Annona squamosa, minyak
atsiri daun Cinnamomum multiflorum, ekstrak daun Tephrosia vogelii, dan
campuran ketiganya terhadap larva Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera:
Yponomeutidae) [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Gaskins MH, White GA, Martin FW, Delfel NE, Ruppel EG, Barnes DK. 1972.
Tephrosia vogelii: A Source of Rotenoids for Insecticidal and Piscicidal
Use. Washington DC: United States Department of Agriculture.
33
Georghiou GP. 1983. Management of resistance in arthropods. Di dalam:
Georghiou GP, Saito T, editor. Pest Resistance to Pesticides. New York:
Plenum Press. hlm 769-792.
Gisi U. 1996. Synergistic interaction of fungicides in mixtures. Phytopathology
86:1273-1279.
Hagemann JW, Pearl MB, Higgins JJ, Delfel NE, Earle FR. 1972. Rotenone and
deguelin in Tephrosia vogelii at several stages of maturity. J Agric Food
Chem 20:906-908.
Hasyim DM. 2011. Potensi buah sirih hutan (Piper aduncum) sebagai insektisida
botani terhadap larva Crocidolomia pavonana [tesis]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid ke-2. Badan Litbang
Kehutanan, penerjemah. Jakarta: Yayasan Sarana Warna Jaya. Terjemahan
dari: De Nuttige Planten van Ned-Indië.
Hollingworth RM. 2001. Inhibitors and uncouplers of mitochondrial oxidative
phosphorylation. Di dalam: Krieger R, Doull J, Ecobichon D, Gammon D,
Hodgson et al., editor. Handbook of Pesticide Toxicology. Vol 2. San
Diego: Academic Press. hlm 1169-1227.
Houghton PJ, Raman A. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of
Natural Extracts. London: Chapman & Hall.
Kato MJ, Furlan M. 2007. Chemistry and evolution of the Piperaceae. Pure
Appl Chem 79:529–538.
Kaufman PB, Kirakosyan A, McKenzie M, Dayanandan P, Hoyt JE, Li C. 2006.
The uses of plant natural products by humans and risks associated with their
use. Di dalam: Cseke LJ, Kirakosyan A, Kaufman PB, Warber SL, Duke
JA, Brielmann HL, editor. Natural Products from Plants. Boca Raton:
CRC Press. hlm 441-473.
Kosman E, Cohen Y. 1996. Procedures for calculating and differentiating
synergism and antagonism in action of fungicide mixtures. Phytopathology
86:1255-1264.
Lambert N, Trouslot MF, Nef-Campa C, Crestin H. 1993. Production of
rotenoids by heterotrophic and photomixotrophic cell cultures of Tephrosia
vogelii. Phytochemistry 34:1515-1520.
LeOra Software.
Software.
1987.
POLO-PC User’s Guide.
Petaluma (CA): LeOra
Marston A, Msonthi JD, Hostettmann K. 1984. On the reported molluscicidal
activity from Tephrosia vogelii leaves. Phytochemistry 23:1824–1825.
Matsumura F. 1985. Toxicology of Insecticides. Ed ke-2. New York: Plenum
Press.
Metcalf RL. 1967. Mode of action of insecticide synergists. Annu Rev Entomol
12:229-256.
34
Metcalf RL. 1982. Insecticides in pest management. Di dalam: Metcalf RL,
Luckman WH, editor. Introduction to Insect Pest Management. Ed ke-2.
New York: John Wiley & Sons. hlm 215-275.
Parmar VS, Jain SC, Gupta S, Talwar S, Rajwanshi VK, et al. 1998. Polyphenols
and alkaloids from Piper species. Phytochemistry 49:1069-1078.
Perry AS, Yamamoto I, Ishaaya I, Perry RY. 1998. Insecticides in Agriculture
and Environment: Retrospects and Prospects. Berlin: Springer-Verlag.
Prakash A, Rao J. 1997. Botanical Pesticides in Agriculture. Boca Raton: CRC
Press.
Prijono D, Hassan E. 1992. Life cycle and demography of Crocidolomia
binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyralidae) on broccoli in the laboratory.
Indones J Trop Agric 4:18−24.
Prijono D, Syahbirin G, Rauf A, Dadang. 2010. Pengembangan formulasi
insektisida nabati berbasis ekstrak tanaman Tephrosia vogelii untuk
mengendalikan hama kubis Crocidolomia pavonana dan hama kutu
Paracoccus marginatus. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Laporan akhir
Program Insentif Riset Terapan, Kementerian Negara Riset dan Teknologi,
Kontrak No. 021/RT/D.PSIPTN/Insentif/PPK/I/ 2010.
Rali T, Wossa SW, Leach DN, Waterman PG. 2007. Volatile chemical
constituents of Piper aduncum L and Piper gibbilimbum C.DC (Piperraceae)
from Papua New Guinea. Molecules 12:389-394.
Rauf A, Prijono D, Dadang, Winasa IW, Russell IW. 2005. Survey of pesticide
use by cabbage farmers in West Java, Indonesia [research report]. Bogor:
Department of Plant Pests and Diseases, Bogor Agricultural University.
Saryanah NA. 2008. Toksisitas campuran ekstrak Piper retrofractum Vahl.
(Piperaceae) dan Tephrosia vogelii Hook f. (Leguminosae) terhadap larva
Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae) [skripsi]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
SAS Institute. 2002-2003. SAS 9.1 TS Level 1M3. Cary (North Carolina): SAS
Institute.
Sastrosiswojo S, Setiawati W. 1993. Hama-hama kubis dan pengendaliannya. Di
dalam: Permadi AH, Sastrosiswojo S, editor. Kubis. Bandung: Balithor
Lembang. hlm 39-50.
Scott IM, Jensen HR, Philogene BJR, Arnason JT. 2008. A review of Piper spp.
(Piperaceae) phytochemistry, insecticidal activity and mode of action.
Phytochem Rev 7: 65-75.
Silva WC, Martins JR de S, Souza HEM de, Heinzen H, Cesio MV et al. 2009.
Toxicity of Piper aduncum L. (Piperales: Piperaceae) from the Amazon
forest for the cattle tick Rhipicephalus (Boophilus) microplus (Acari:
Ixodidae). Vet Parasitol 164:267–274.
Stone ND, Makela ME, Plapp FW. 1988. Nonlinear optimization analysis of
insecticide mixtures for the control of the tobacco budworm (Lepidoptera:
Noctuidae). J Econ Entomol 81:989-994.
35
Wulan RDR. 2008. Aktivitas insektisida ekstrak daun Tephrosia vogelii Hook. f.
(Leguminosae) terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera:
Pyralidae) [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
37
Lampiran 1 Mortalitas larva Crocidolomia pavonana pada perlakuan ekstrak
daun Tephrosia vogelii
Konsentrasi (%, w/v)
0,0250
0,0600
0,0950
0,1300
0,1650
0,2000
Mortalitas kumulatif (%) pada JSP a
24
48
72
96
0,00
1,11
2,22
2,22
0,00
2,22
18,89
21,11
0,00
12,22
27,78
28,89
0,00
18,89
56,67
58,89
0,00
33,33
65,56
66,67
1,00
74,44
100,00
100,00
a
JSP= jam sejak perlakuan.
Jumlah serangga uji pada awal perlakuan adalah 15 ekor larva instar II untuk semua perlakuan.
Larva diberi makan daun perlakuan selama 2 x 24 jam.
Lampiran 2 Mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan ekstrak buah Piper
aduncum
Konsentrasi (%, w/v)
0,0750
0,1100
0,1450
0,1800
0,2150
0,2500
Mortalitas kumulatif (%) pada JSP
24
48
72
96
1,00
8,89
13,33
13,33
11,11
25,56
30,00
30,00
15,56
48,89
52,22
52,22
2,22
54,44
58,89
58,89
2,22
71,11
73,33
73,33
37,00
100,00
100,00
100,00
Catatan kaki seperti pada Lampiran 1.
Lampiran 3 Mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan campuran ekstrak daun
T. vogelii dan ekstrak buah P. aduncum dengan nisbah konsentrasi
1:1
Konsentrasi (%, w/v)
0,0125
0,0250
0,0500
0,0750
0,1000
0,1250
Catatan kaki seperti pada Lampiran 1.
Mortalitas kumulatif (%) pada JSP
24
48
72
96
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
5,56
11,11
11,11
7,78
57,78
74,44
74,44
2,22
52,22
70,00
77,78
0,00
91,11
94,44
94,44
0,00
100,00
100,00
100,00
38
Lampiran 4 Mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan campuran ekstrak daun
T. vogelii dan ekstrak buah P. aduncum dengan nisbah konsentrasi
5:1
Konsentrasi (%, w/v)
0,0120
0,0270
0,0420
0,0570
0,0720
0,0870
Mortalitas kumulatif (%) pada JSP
24
48
72
96
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
3,33
16,67
20,00
0,00
8,89
36,67
38,89
0,00
16,67
51,11
53,33
1,11
46,67
88,89
88,89
0,00
76,67
96,67
98,89
Catatan kaki seperti pada Lampiran 1.
Lampiran 5 Mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan campuran ekstrak daun
T. vogelii dan ekstrak buah P. aduncum dengan nisbah konsentrasi
1:5
Konsentrasi (%, w/v)
0,0090
0,0270
0,0450
0,0630
0,0810
0,0990
Catatan kaki seperti pada Lampiran 1.
Mortalitas kumulatif (%) pada JSP
24
48
72
96
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
25,56
45,56
50,00
2,22
53,33
55,56
63,33
5,56
78,89
91,11
91,11
12,22
90,00
97,78
100,00
29,00
100,00
100,00
100,00
Download