Perbandingan Penggunaan Asas Muatan Materi Antara Undang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah awal, fungsi narkotika diperlukan oleh
manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan,
kesehatan dan studi ilmiah. Oleh karenanya diperlukan Narkotika
untuk di produksi secara terus menerus untuk kepentingan
tersebut.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis,
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan
golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang
ini1.
Di dalam pengertian tentang Narkotika, selalu diuraikan
tentang pengertian Narkotika sebagai dua fungsi. Salah satunya
adalah yang tertera di dalam dasar pertimbangan Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa
Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang
bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula
1
Lihat Ketentuan Umum Bab I Pasal 1, Undang-Undang No 35
Tahun 2009, Tentang Narkotika.
menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
disalahgunakan
atau
digunakan
tanpa
pengendalian
dan
pengawasan yang ketat dan saksama.2
Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur
menurut takaran/dosis dapat menimbulkan bahaya fisik dan
mental serta dapat menimbulkan ketergantungan pada pengguna
itu sendiri. Penyalahgunaan narkotika sebagai salah satu bentuk
zat yang membahayakan, karena di samping merusak fisik dan
mental juga mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat yang
pada gilirannya dapat mengganggu sendi-sendi keamanan
nasional
dalam
rangka
pembangunan
nasional
menuju
masyarakat yang adil dan makmur seperti yang dicita-citakan
dalam tujuan negara yang tercantum pada Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 alinea keempat. Dalam kontek inilah
kewenangan negara sebagai representasi kepentingan publik
menjadi dasar dari pemberian kewenangan negara untuk
memonopoli reaksi atas kejahatan.3
Bahaya pemakaian narkotika sangat besar pengaruhnya
terhadap negara, jika sampai terjadi pemakaian narkotika
secara besar-besaran di masyarakat, maka bangsa
Indonesia akan menjadi bangsa yang sakit, apabila terjadi
2
Ibid, hlm 2.
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung,
Nusa Media, hlm 112
2
3
demikian negara akan rapuh dari dalam karena ketahanan
nasional merosot.4
Dalam kontek sistem hukum, Indonesia berkepentingan
langsung terkait Narkotika karena sudah masuk pada tingkat
membahayakan dan demi kepentingan dan keberlangsungan masa
depan negara.
Pertama, sebagai bagian dari sistem kontrol (social
control) yang mengatur perilaku manusia. Kedua, sebagai
sarana menyelesaikan sengketa (dispute settlement).
Ketiga, sistem hukum memiliki fungsi sebagai social
engineering function. Keempat, hukum sebagai social
mantenance, yaitu fungsi yang menekankan peranan
hukum sebagai pemeliharaan “status quo”.5
Sejarah perundang-undangan tentang tindak pidana
Narkotika di Indonesia merujuk pada Undang-Undang Nomor 9
tahun 1976 tentang Narkotika sebagaiman telah diubah dalam
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan
terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika. Ketiga Undang-Undang tersebut merupakan
revisi perbaikan dengan melihat kontek, kebutuhan dan tantangan
atas
problematika
penyalahgunaan
Narkotika
yang
terus
berkembang. Deskripsi secara sederhana dengan memperhatikan
4
Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta: Djambatan,
2004, hlm 5.
5
Teguh Prasetyo, Filsafat, teori & Ilmu Hukum, Pemikiran Menuju
Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Jakarta, Rajawali Pers, 2012,
hlm 311.
3
tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Indonesia yang
semakin
hari
semakin
meningkat,
dibutuhkan
perubahan
perangkat perundang undangan yang aplikatif sesuai kebutuhan
kondisi saat itu. Oleh sebab itu, indikasi kebutuhan zaman yang
terus berubah menjadi salah satu alasan mengapa aplikasi
Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tidak lagi mampu secara
efektif
mengatasi
setiap
tindak
pidana
narkotika
yang
berkembang secara cepat. Alasan lain adalah pada satu sisi
pemerintah membutuhkan upaya untuk mengantisipasi dengan
membentuk dan memberlakukan Undang-Undang Narkotika
yang bersifat khusus.
Kebutuhan antisipasi ini juga bedasarkan pada kenyataan
bahwa kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
dimiliki oleh Indonesia saat ini belum menjangkau kejahatan
tersebut. Oleh karena itu, Andi Hamzah (1997) meyakini bahwa
ketentuan pidana di dalam perundang-undangan pidana khusus
lebih interen dan lebih mendekati tujuan reformasi di banding
dengan yang tercantum di dalam KUHP yang telah kuno itu.6
Jika merujuk pada ruang lingkup materi, rumusan
kebijakan kriminalisasi dan kualifikasi tindak pidana tentang
Narkotika dalam Undang-Undang nomor 9 tahun 1976 terfokus
6
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta:
PT. Pradnya Paramita, 1997, hlm 67.
4
untuk kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan
(Pasal 23 dan 24 Undang-Undang nomor 9 tahun 1976). Dengan
adanya kelemahan-kelemahan pada perkembangan kebutuhan
sosial dan budaya yang berkembang cepat, serta kebutuhan
cakupan
ruang
lingkup
isi
pengaturan
tindak
pidana
penyalahgunaan Narkotika seperti tersebut, maka pemerintah
Indonesia mengadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1976 dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997 tentang Narkotika.
Ruang lingkup Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang narkotika, mempunyai cakupan norma, materi, maupun
ancaman pidana yang di perberat di banding dengan Undang
Undang Nomor 9 Tahun 1976. Hal ini didasarkan pada faktor
perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwa nilai dan norma
dalam ketentuan yang berlaku pada saat itu tidak memadai lagi
sebagai sarana efektif untuk mencegah dan memberantas
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Kemajuan
teknologi dan informasi, perkembangan struktur masyarakat dan
latar belakang tindak pidana penyalahgunaan Narkotika semakin
komplek pada akhirnya juga membutuhkan perbaikan UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 yang sudah tidak cukup efektif
dalam pelaksanaannya sesuai kebutuhan jaman. Indikasi utama
yang digunakan adalah tindak pidana Narkotika di dalam
5
masyarakat menunjukkan kecenderungan meningkat tinggi tiap
tahun baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan pelaku
yang semakin meluas dan bervariatif. Meski demikian pelaku
penyalahgunaan narkotika tetap di dominasi oleh kalangan anakanak, remaja, dan generasi muda. Oleh sebab itu, UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 ini dicabut dan di sempurnakan
oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Undang-Undang
Nomor
35
Tahun
2009
tentang
Narkotika mengatur ruang lingkup lebih luas pada peraturan
materi, peran dan pelaksana yang terlibat dalam penanganan
tindak kejahatan khusus (extra ordinary crime). Contoh salah
satu konsekuansi dari kejahatan khusus (extra odinary crime)
adalah terkait hukuman bagi pelaku. Pelaku tindak pidana
narkotika diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan
dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati
selain pidana penjara dan pidana denda. Mengingat tindak pidana
narkotika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka
ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif
dengan menjatuhkan 2 (dua) jenis pidana pokok sekaligus.
Misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan
pidana denda.
Secara material, jika dibandingkan dalam KUHP,
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga
6
lebih tegas mengatur kekurangan di dalam KUHP yang hanya
menghendaki salah satu pidana pokok saja. Di dalam KUHP
penjatuhan dua hukuman pokok sekaligus memang tidak
dimungkinkan oleh karenanya tidak ada hukuman yang
dijatuhkan berupa pidana penjara dan pidana denda secara
bersama-sama.
Penerapan pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, adalah suatu upaya radikal untuk
menghukum orang-orang yang tak dapat diperbaiki lagi. Dengan
penerapan pidana mati ini maka hilang kewajiban negara untuk
memelihara mereka dalam penjara-penjara yang demikian
besarnya.7 Pemberlakuan pidana mati bagi pelaku tindak pidana
narkotika memang mengundang kontroversi. Beberapa pendapat
menyebutkan bahwa pidana mati tidak sesuai dengan ajaran
agama, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu
pidana mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia berdasarkan
Pasal 28 A UUD 1945 perubahan kedua, Pasal 4 dan Pasal 33
ayat (2) Undang-undang HAM Nomor 39 Tahun 1999 bahwa
setiap orang bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan
nyawa serta bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) ICCPR bahwa
setiap orang berhak untuk hidup. Akan tetapi, jika ditinjau
7
Andi Hamzah, dkk, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini
dan di Masa Depan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hal. 27.
7
melalui pendekatan filosofis kemanusiaan bahwa hukuman
dengan pidana mati sangat pantas dijatuhkan kepada para
penyalahguna narkotika tersebut, terutama terhadap jaringan dan
para pengedarnya. Oleh karena akibat dari perbuatan tersebut
sangat berat bobot kejahatannya, yang pada akhirnya dapat
menghancurkan hampir kebanyakan generasi muda dari sebuah
bangsa.8
Pada satu sisi, sanksi pidana yang dijatuhkan oleh para
hakim terhadap para pelaku kejahatan masih dinilai belum
memberikan rasa takut dan dipengaruhi oleh norma-norma di luar
norma hukum tampaknya masih melekat dan menjadi kendala
terhadap penegakan hukum secara konsekuen.9 Penegakan
hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya dalam hal
pemidanaan, seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum
yang bersifat menghukum pelaku kejahatan sehingga dapat
memberikan efek jera. Terkait dengan hal ini, penulis sependapat
dan merujuk H.J Smidt yang dikutip oleh Teguh Prasetyo (2011),
keberagaman jenis dan sanksi, khususnya yang berupa sanksi
tindakan (treatment) memang lebih banyak dipengaruhi oleh
8
Moh. Taufik Makaro dkk, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2005, hal. 47.
9
Gatot Supramono, Op.cit, hal 93.
8
perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat, lebih
canggih dan berdimensi baru (new demention of criminology)10.
Selain itu, di dalam sistem hukum pidana di Indonesia,
dapat timbul pengaturan hukum pidana (kebijakan kriminalisasi)
khusus, tersendiri di luar yang di atur di dalam KUHP.
Pengaturan tindak pidana narkotika merupakan pengaturan salah
satu dari hukum pidana (kebijakan kriminalisasi) khusus di luar
KUHP
tersebut.
Sebagai
bentuk
pidana
khusus,
berarti
“...mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang
tertentu yang tidak dapat di lakukan oleh orang lain selain orang
tertentu”11. Secara tegas dalam uraian selanjutnya disampaikan
bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus diatur dalam UndangUndang Pidana tersendiri12
Sementara di dalam KUHP sendiri menyatakan tentang
kemungkinan adanya Undang-Undang Pidana di luar KUHP itu
sendiri, sebagaimana dapat disimpulkan dari ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 103 KUHP. Pasal 103 KUHP menyatakan:
Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII buku ini
berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan
perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali
jika oleh undang-undang itu ditentukan lain.
10
Teguh Prasetyo, Op cit, hlm 81.
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta, Rajawali
Pers, hal 229
12
Ibid, hlm 229
9
11
Maksud dari penjelasan di dalam Pasal 1-85 Buku I
KUHP tentang Ketentuan Umum/Asas-asas Umum berlaku juga
bagi perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan undangundang atau peraturan di luar KUHP, kecuali undang-undang
atau peraturan itu menyimpang. Dengan kata lain, penerapan
ketentuan pidana khusus dimungkinkan berdasarkan asas lex
spesialis derogate lex generalis yang mengisyaratkan bahwa
ketentuan yang bersifat khusus akan lebih diutamakan daripada
ketentuan yang bersifat umum. Maka terkait dengan hal ini
tentunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 maupun
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
ketentuan materiil dan formilnya tidak sama dengan ketentuan
yang ada dalam KUHP dan KUHAP. Salah satunya adalah
perbedaan masa penangkapan pelaku 1 x 24 jam dalam KUHAP
menjadi total 6 hari dalam UU Nomor 35 Tahun 2009.
Pada sisi lain, ditetapkannya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan tercatat dalam lembaran Negara tanggal 12
Agustus 2011, menjadi rujukan atas semua proses dan subtansi
pembentukan perundang-undangan di Indonesia. Asas secara
formil dan material di dalam proses dan subtansi pembentukan
perundang-undangan di uraikan dengan jelas di dalam Bab II
10
Asas Pembentukan Perundang-Undangan Pasal 5 dan Pasal 613.
Berkaitan
dengan
asas
pembentukan
perundang-undangan
tersebut, maka terkait dengan sejarah pekembangan pengaturan
Narkotika di Indonesia mulai dari Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1976, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 maupun
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, menurut penulis,
penting untuk merunut secara ilmiah asas-asas undang-undang
tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam kaitan ruang
lingkup undang-undang tersebut diatas. Kepentingan utamanya
adalah
mendapatkan
gambaran
obyektif
perkembangan
perundang-undangan tentang narkotika di Indonesia dan prioritas
pengembangannya kedepan.
Selain itu, dengan jumlah penduduk Indonesia yang
sangat besar dan wilayah yang sangat luas yang merupakan
Negara kepulauan akan menjadikan permasalahan dalam upaya
penanggulangan penylahgunaan narkotika di Indonesia. Banyak
sekali jalan baik yang resmi maupun tidak resmi yang bisa
dijadikan pintu masuk untuk penyelundukan narkotika. Dengan
jumlah aparat penegak hukum di bidang narkotika yang terbatas
disertai peralatan yang terbatas akan menjadikan permasalahan di
bidang penegakan hukum terhadap peredaran gelap narkotika.
13
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Perundang-Undangan.
11
Dengan jumlah dan peralatan yang terbatas tersebut
diperlukan peran serta masyarakat secara aktif guna menekan
peredaran narkotika secara illegal. Masyarakat diharapkan dapat
membantu aparat penegak hukum dengan cara memberikan
informasi tentang adanya peredaran gelap narkotika maupun
bersedia menjadi saksi saat aparat penegak penegak hukum
melakukan upaya upaya
penegakan hokum, sehingga antara
penegak hokum dan masyarakat dapat bekerja sama dalam
pemberantasan peredaran gelap narkotika. Setidaknya masyarakat
dapat menjadi “ penegak hukum “ bagi dirinya sendiri maupun
bagi keluarganya sendiri.
Dari uraian di atas, penulis tertarik mengkaji secara
yuridis ilmiah mengenai penggunaan asas pada muatan materi
peraturan perundang-undangan dalam pengaturan tindak pidana
penyalahgunaan narkotika di Indonesia. Khususnya perbandingan
penggunaan asas pada muatan materi antara Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika.
12
B.
Rumusan Masalah
Bagaimana perbandingan muatan materi antara UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika?
C.
Tujuan Penelitian
Menganalisa dan mengetahui perkembangan pengaturan
muatan materi antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1997 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika.
D.
Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan
sumbangan pengetahuan dan pendekatan penelitian
khususnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan
terkait dengan ruang lingkup kajian hukum dan
produk
perundang-undangan,
khususnya
tentang
narkotika.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat
secara langsung bagi pengambil kebijakan, khususnya
berbagai fihak yang bekerja didalam perumusan,
13
penegakan dan pengawasan hukum di Indonesia,
khususnya bagi penanggulangan penyalahgunaan
narkotika.
E.
Keaslian Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pertama yang
dilakukan oleh penulis. Sejauh ini belum ada peneliti lain
yang meneliti, mengenai perbandingan muatan materi
antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan
Undang-Undang
Nomor
35
Tahun
2009
Tentang
Narkotika. Dengan demikian peneliti menjamin kleaslian
bahan bahan yang berkaitan dengan topic ini tanpa plagiat
dari penelitian terdahulu dalam bidang ini.
F.
Metode Penelitian
1.
Jenis penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk
menemukan
aturan
hukum,
prinsip-prinsip
hukum,
maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
14
dihadapi.14
Sesuai
dengan
karakteristik
perumusan
masalah yang ditujukan untuk menganalisa perbandingan
muatan hukum perundang-undangan antara UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009, maka metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif. Kategori penelitian normatif karena keilmuan
hukum memang bersifat preskriptif yaitu melihat hukum
sebagai norma sosial bukan gejala sosial15. Penelitian
hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji
hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori,
sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi,
lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan
pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu
undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan16.
Kajian hukum normatif ini akan di gunakan untuk
mengkaji
perbandingan
muatan hukum
perundang-
undangan antara dua produk hukum yaitu UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pengertian
14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana,
2010, hlm. 35.
15
Ibid, hlm 33.
16
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung,
Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 101-102.
15
Perbandingan hukum dalam kontek penelitian ini merujuk
kepada pendapat Teguh Prasetyo (2012) adalah ilmu yang
membandingkan sistem-sistem hukum yang ada di dalam
suatu negara atau antarnegara17.
2. Pendekatan Penelitian
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach).
Pendekatan perundang-undangan diperlukan karena
yang menjadi fokus sekaligus tema sentral penelitian
ini
yaitu
perbandingan
asas
muatan
hukum
perundang-undangan antara Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika. Untuk itu peneliti
harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang
mempunyai sifat-sifat: comprehensive, all-inclusive,
systemat
18
. Selain itu dalam metode pendekatan
perundang-undangan,
peneliti
perlu
memahami
hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundangundangan19.
Dengan
demikian,
pendekatan
perundang-undangan dalam penelitian ini merupakan
17
Teguh, Prasetyo,Op cit, hal. 363
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Malang: Banyumedia, 2006, hlm. 303.
19
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hlm 96.
16
18
legislasi dan regulasi mengenai pengaturan tindak
pidana penyalahgunaan narkotika di Indonesia.
b. Pendekatan filsafat (philosopical Approach)
Dengan sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar dan
spekulatif, penjelajahan filsafat akan mengupas isu
hukum (legal issues) dalam penelitian normatif secara
radikal
dan
mengupasnya
secara
mendalam20.
Pemahaman akan makna merupakan hal yang
esensial di dalam penelitian21. Melalui pendekatan
filsafat penulis akan mengupas asas-asas hukum
pidana dalam pengaturan narkotika di Indonesia.
c. Pendekatan konsep (conceptual approach).
Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti
tidak beranjak dari aturan hukum yang ada22. Dalam
penelitian ini, maka penulis akan menggali konsep
keadilan berdasarkan pandangan-pandangan tokohtokoh dan doktrin-doktrin hukum yang berkembang
dalam Ilmu Hukum. Meskipun tidak secara eksplisit,
konsep hukum dapat juga diketemukan di dalam
undang-undang23. Jadi konsep-konsep hukum tersebut
20
Johnny Ibrahim, Op.cit, hlm 320.
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hlm 87.
22
Ibid, hlm 137.
23
Ibid, hlm138.
17
21
akan dijadikan penulis sebagai pijakan dalam
membangun
argumen-argumen
hukum
dalam
menemukan
asas-asas
pidana
dalam
hukum
pengaturan narkotika di Indonesia.
3. Tehnik Pengumpulan Data dan Sumber Penelitian
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian adalah penelusuran kepustakaan yang berupa
literatur dan dokumen-dokumen yang ada, yang berkaitan
dengan objek penelitian24. Oleh karena itu, sumber data
penelitian ini adalah data sekunder, yang meliputi bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tertier25. Bahan hukum yang dikaji meliputi beberapa hal
berikut:
a.
Bahan hukum primer
Yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan
perundang-undangan yakni :
1). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika;
24
Ronny Hantijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Jakarta,
Ghalia Indonesia, 1982, hlm 24.
25
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta; Rajawali Press, 1995, hlm 39.
18
2). Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika
3). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dan
4). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
b.
Bahan hukum sekunder
Adalah bahan hukum yang diperoleh dari studi
kepustakaan, seperti buku-buku teks yang ditulis para
ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para
sarjana dan hasil simposium mendukung bahan
priomer serta yang relevan dengan isu penelitian.
c.
Bahan hukum tersier
Adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum
sekunder. Dalam kontek penelitian ini,
penulis akan menggunakan kategori bahan hukum
tersier sebagai bahan penelitian meliputi kamus
hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
Kamus Bahasa Inggris ataupun ensiklopedia yang
relevan dengan isu penelitian ini.
19
4. Metode Analisis
Pertama, Penelitian ini menggunakan metode
analisis deskriptif kualitatif dengan penalaran deduktif.
Deskripsi
atau
pemaparan
merupakan
kegiatan
menentukan isi aturan hukum setepat mungkin, sehingga
kegiatan mendeskripsikan tersebut dengan sendirinya
mengandung kegiatan interpretasi26. Dengan demikian
penelitian ini termasuk dalam dogmatik hukum, yaitu
deskripsi, sistematisasi, analisis, interprestasi, dan menilai
positif27.
hukum
Dalam
penelitian
ini
yang
diinterprestasikan yaitu perbandingan asas muatan hukum
perundang-undangan antara Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.
Kedua, Analisis perbandingan, yaitu hasil analisis
deskriptif kualitatif dengan penalaran deduktif tersebut di
bandingkan dengan menjelaskan perbandingan muatan
materi perundang-undangan dari dua produk undang
narkotika, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika.
26
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum,
Bandung, Mandar Maju, 2000, hlm 149-150.
27
J.J.H. Bruggink, Op.cit, hal. 169.
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Tentang Hukum
Berbicara
tentang
hukum
pada
umumnya
yang
dimaksudkan adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan
atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama: keseluruhan
peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu
kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya.28
Pada
dasarnya, menurut J.J.H. Bruggink29 perintah perilaku,
yang mewujudkan isi kaidah itu dapat menampilkan diri dalam
berbagai wajah/sosok. Penggolongan yang paling umum adalah :
a.
perintah (Gebod) adalah kewajiban umum untuk
melakukan sesuatu;
b.
larangan (Verbod) adalah kewajiban umum untuk
tidak melakukan sesuatu;
c.
pembebasan
(Vrijstelling,
dispensasi)
adalah
pembolehan (Verlof) khusus untuk tidak melakukan
28
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),
Yogyakarta: Liberty, 2005, hlm 40.
29
J.J.H. Bruggink, Refleksi tentang Hukum, Bandung: Penerbit PT
Citra Aditya Bakti, 1999, hlm 100.
21
sesuatu yang secara umum diharuskan; dan
d.
izin (toestemming, permisi) adalah pembolehan
khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum
dilarang.
Selain dari aspek tersebut di atas maka kaidah hukum
dapat
juga
ditentukan
dalam
hukum
yang
tercatat
/terdokumentasikan seperti: hasil-hasil penelitian Hukum adat,
penilaian ahli hukum, pandangan doktrin tentang hukum,
pandangan filosofi seorang filsuf dan lain sebagainya. Begitu
pula kaidah hukum dapat ditemukan dalam hukum tertulis
seperti: UU, Yurisprudensi, Keputusan Pemerintah Pusat/Daerah
dan lain sebagainya. Kaidah hukum dapat pula ditemukan dalam
kitab-kitab suci, ada kemungkinan hukum yang tercatat/tertulis
berasal dari kenyataan hukum, tetapi pembentukannya bersifat
rasional. Pembentuknya (seperti DPR/D, Kepala daerah, dan lainlain)
mempunyai
kepentingan
tertentu
atau
mempunyai
pandangan tertentu yang cukup berperanan dalam terbentuknya
hukum tersebut. Adanya kepentingan/pandangan tertentu turut
dipertimbangkan mengakibatkan fakta empiris akan menjadi
hukum setelah diolah secara rasional. Dalam pembentukan
hukum yang terbentuk tidak berasal semata-mata dari kebiasaan
tetapi timbul berdasarkan suatu pertimbangan dari pihak
berwibawa sehingga anggota masyarakat patuh. Hukum yang
22
hidup (living Law) tidak bisa lepas dari pertimbangan pihak yang
berwibawa.
Maka
tidak
salah
salah
jika
Mertokusumo
mengatakan bahwa hukum adalah kekuasaan, kekuasaan yang
mengusahakan ketertiban30.
Dengan demikian ditinjau dari deskripsi di atas dapatlah
ditarik 2 (dua) asumsi dasar, yaitu: Pertama, bahwasanya kaidah
hukum dapat ditemukan dalam hukum tertulis dan tercatat.
Kedua, bahwasanya pembentukan hukum yang hidup tidak lepas
dari
legitimasi
kewibawaan
yang
mengakibatkan
adanya
pertimbangan nilai, maka dapat disimpulkan bahwa kaidah
hukum tidak semata-mata terlihat berupa fakta empiris tetapi juga
berupa hal rasional. Hukum tidak bisa diindetikkan begitu saja
dengan fakta empiris yang alamiah dan fisik serta dapat diserap
dengan panca indera. Hukum bersangkutan dengan manusia yang
secara utuh bersosok monodualistis antara jiwa dan badan,
individu dan masyarakat. Kaidah hukum berintikan keadilan.
Adil dan tidak adil merupakan pendapat mengenai nilai secara
pribadi.
Kaidah hukum bersangkutan dengan martabat manusia
(human
dignity),
bagaimana
manusia
terlindungi
dari
kesewenang-wenangan, bebas dari rasa takut dan lain-lain dan ini
merupakan aspek personal dari hukum. Sedangkan terhadap
30
Lih. Sudikno Mertokusumo, Ibid, hlm 20.
23
pernyataan bahwa kaidah hukum berlaku bagi siapapun dan
kapanpun, pedoman bagi anggota masyarakat bertingkah laku,
dan untuk memperhatikan kaidah hukum tersebut dibentuklah
pranata hukum dan lembaga hukum, adalah merupakan aspek
sosial dari kaidah hukum. Aspek personal dan aspek sosial dari
kaidah hukum itu sepertinya saling bertentangan satu sama
lainnya seperti tidak saling mendukung. Usaha-usaha untuk
mempertemukan antara keduanya dapat disebut usaha kultural.
Proses
pembentukan dan penerapan kaidah hukum dimana
hubungan timbal balik aspek personal dan aspek sosial
merupakan proses berbudaya. Sehingga proses integrasi antara
pribadi masyarakat dan kebudayaan merupakan inti dari kaidah
hukum yang secara substansial merupakan titik tolak kajian dari
hukum.
Eksistensi
sanksi
sebagai
penguat
kaidah
hukum
merupakan salah satu kaidah sosial yang penting. Secara
operasional menurut Paul Bohannan, sanksi merupakan perangkat
aturan-aturan
yang mengatur bagaimana lembaga-lembaga
hukum mencampuri suatu masalah untuk dapat memelihara suatu
sistem sosial, sehingga memungkinkan warga masyarakat hidup
24
dalam sistem itu secara tenang dan dalam cara-cara yang
diperhitungkan31.
Lebih lanjut Marwan Mas (2004) membagi fungsi hukum
ke dalam tujuh fungsi, yaitu:32
a.
fungsi hukum sebagai sarana sosial control,
b. fungsi hukum sebagai ”a tool of social engineering”
(sarana perekayasa masyarakat),
c.
fungsi hukum sebagai simbol,
d. fungsi hukum sebagai alat politik,
e.
fungsi hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa,
f.
fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial,
g. fungsi hukum sebagai sarana pengintegrasi sosial.
Dalam literatur tentang Hukum dikenal beberapa teori
tentang tujuan hukum, yaitu:33 (a). Teori Etis. Menurut teori etis
hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan
oleh keyakinan kita yang etis tentang yang adil dan tidak. (b).
Teori utilistis. Menurut teori ini hukum ingin menjamin
kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang
sebanyak-banyaknya. Pada hakekatnya menurut teori ini tujuan
hukum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau
31
Ihromi, Antropology dan Hukum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1984, hlm 61.
32
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia,
2004, hal. 80-88.
33
Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm 77-81.
25
kebahagian yang terbesar bagi jumlah orang terbanyak. (c). Teori
Campuran. Menurut Mochtar Kusumaatmadja tujuan pokok dan
pertama dari hukum adalah ketertiban. Kemudian menurut
Purnadi dan Soerjono Soekanto tujuan hukum adalah kedamaian
hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi
dan ketenangan intern pribadi. Sedangkan Soebekti berpendapat
bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan negara, yaitu
mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan kepada rakyatnya.
B. Teori Tentang Pidana
Pidana merupakan karakteristik hukum pidana yang
membedakannya dengan hukum perdata. Dalam gugatan perdata
pada umumnya, pertanyaan timbul mengenai berapa besar jika
ada, tergugat telah merugikan penggugat dan kemudian
pemulihan apa jika ada yang sepadan untuk menggantikan
kerugian penggugat. Dalam perkara pidana, sebaliknya, seberapa
jauh terdakwa telah merugikan masyarakat dan pidana apa yang
perlu dijatuhkan kepada terdakwa karena telah melanggar hukum
(pidana)34.
Istilah ”hukuman” yang berasal dari kata ”straf” dan
istilah ”dihukum” yang berasal dari perkataan ”wordt gestraft”.
34
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Cet. 3, Jakarta : PT.
Rineka Cipta, 2008, hlm. 27.
26
Menurut Prof. Mulyatno istilah-istilah tersebut merupakan istilahistilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilahistilah itu dan menggunakan istilah yang modern, yaitu ”pidana”
untuk menggantikan kata ”straft” dan ”diancam dengan pidana”
untuk mengggantikan kata ”wordt gestraft”, kalau ”straft”
diartikan ”hukuman”, maka ”strafrecht” seharusnya diartikan
”hukum hukuman”35.
Menurut beliau ”dihukum” berarti
”diterapi hukuman”, baik hukum pidana maupun hukum perdata.
”Hukuman” adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi
yang maknanya lebih luas daripada pidana, sebab mencakup juga
keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata36.
Demikian
pula
Prof.
Sudarto
menyatakan
bahwa
”penghukuman” berasal dari kata dasar ”hukum”, sehingga dapat
diartikan sebagai ”menetapkan hukum”, atau ”memutuskan
tentang hukumnya” (”berechten”). ”Menetapkan hukum” untuk
suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana
saja, akan tetapi juga hukum perdata37. Selanjutnya dikemukakan
oleh beliau bahwa istilah ”penghukuman” dapat disempitkan
artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap
sinonim dengan ”pemidanaan” atau ”pemberian/penjatuhan
35
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana,
Bandung: Alumni, 1992, hlm 1.
36
Ibid.
37
Ibid.
27
pidana” oleh hakim. ”penghukuman” dalam arti yang demikian
menurut Prof. Sudarto mempunyai makna sama dengan
”sentence” atau ”veroordeling”, misalnya dalam pengertian
”setence conditionally” atau ”voorwaardelijk veroordeeld” yang
sama artinya dengan ”dihukum bersyarat” atau dipidana
bersyarat”. Akhirnya dikemukakan oleh Prof. Sudarto bahwa
istilah ”hukuman” kadang-kadang digunakan untuk pengganti
perkataan ”straf”, namun menurut beliau istilah ”pidana” lebih
baik daripada ”hukuman” 38.
Istilah ”hukuman” yang merupakan istilah umum dan
konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah
karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup
luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang
hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan,
moral, agama dan sebagainya39. Oleh karena ”pidana” merupakan
istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian
atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifatsifatnya yang khas40.
Guna memberikan gambaran yang lebih luas, berikut ini
dikemukakan beberapa pendapat atau definisi dari para sarjana
38
Ibid.
Ibid, hlm 2.
40
Ibid.
39
28
tentang pidana:41 (a). Prof. Sudarto, SH: ”Pidana ialah
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.” (b).
Prof. Roeslan Saleh: ”Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini
berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara
pada pembuat delik itu.” (c). Fitzgerald: “Punisment is the
authorirative infliction of suffering for an offence.” (Pidana
adalah hukuman dari suatu kejahatan yang mengakibatkan
penderitaan). (d). Ted Honderich: “Punisment is an authority’s
infliction of penalty (something involving deprivation or distress)
on an offender for an offence.” (Pidana adalah hukuman dari
penguasa gerupa penjabutan hak-hak, penderitaan bagi yang
pelanggar kejahatan). (e). Sir Rupert Cross:”Punisment means:
The inliction of pain by the State on someone who has been
convicted of an offence” (Pidana adalah hukuman yang berupa
kesakitan atau penderitaan yang dilakukan oleh negara pada
seseorang yang bersalah melakukan kejahatan). (f). Burton M.
Leiser: “A punisment is a harm inflicted by a person in a position
of authority upon another who is judged to have violated a rule
or a law”.
(g). H.L.A. Hart:
”Punisment must :
41
Ibid.
29
1. involve pain or other consequences normally
considered unpleasant,
2. be for an actual or supposed offender for his offence;
3. be for an offence against legal rules,
4. be intentionally administered by human beings other
than the offender,
5. be imposed and administered by an authority
constituted by a legal system against with the offence
is committed.
(Pidana harus : (1). Meliputi kerugian / kesakitan atau
konsekuensi yang lain yang biasanya dianggap tidak
menyenangkan. (2). Ada untuk pelanggaran sebenarnya atas
kejahatan. (3). Ada untuk suatu kejahatan yang melanggar hukum
yang resmi. (4). Diberikan secara sengajaoleh masyarakat lain
daripada oleh pelanggar. (5). Dipaksakan dan disengaja oleh
suatu kekuasaan yang dibentuk oleh sistem resmi yang
berlawanan dengan kejahatan)
(h). Alf Ross:
“Punishment is that social response which:
1. occur where there is violation of a legal rule;
2. is imposed and carried out by authorized persons on
behalf of the legal order to which the violated rule
belongs;
3. involves suffering or at least other consequences
normally considered unpleasant;
4. expresses disapproval of the violator”
(Pidana adalah respon sosial : (1). Terjadi dimana ada
pelanggaran hukum (2). Dipaksakan dan dikeluarkan oleh orang
yang berkuasa diatas kepentingan dari
perintah resmi; (4).
eliputi penderitaan atau setidak-tidaknya konsekuensi lain yang
30
dianggap tidak menyenangkan. (5). Menyatakan ketidaksetujuan
atas pelanggaran)
Berdasarkan beberapa definisi para ahli tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri
sebagai berikut :42
a)
Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu
pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibatakibat lain yang tidak menyenangkan;
b)
Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau
badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang
berwenang);
c)
Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah
melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
C. Asas-asas Pembuatan Undang-Undang
Materi sumber hukum yang menjadi acuan pembentukan
produk hukum di Indonesia adalah Pancasila, UUD 1945,
Yurisprudensi, Hukum Agama, Hukum Adat, dan Hukum
Internasional. Oleh karena itu memahami tentang asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan akan merujuk
bagaimana cara undang-undang di susun dan bekerja.
42
Ibid, hlm 4.
31
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian asas
adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir,
berpendapat dan bertindak43. Dari pengertian tersebut, maka asasasas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau
sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan
perundang-undangan. Pandangan kata asas adalah prinisip yang
berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir,
berpendapat dan bertindak.
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan penulis
mencoba mengklasifikasikan di dalam dua pokok pembahasan
yaitu pertama, Asas materil; atau prinsip-prinsip substantif; dan
kedua Asas formal; atau prinsip-prinsip teknik pembentukan
peraturan perundang-undangan. Dalam dua kerangka tersebut,
penulis merujuk kepada pendapat Prof. Purnadi Purbacaraka dan
Prof. Soerjono Soekantanto44, yang mengkompilasi enam asas
dalam menyusun undang- undang:
a.
Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut
(non retroaktif);
43
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta, Balai Pustaka, 2002, hlm 70
44
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Peraturan
perundang-undangan dan Yurisprudensi, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti,
1989, hlm 7-11
32
b.
peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi pula;
c.
peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus
menyampingkan peraturan
perundang-undangan
yang bersifat umum (lex specialis derogat lex
generalis);
d.
peraturan
perundang-undangan
belakangan
membatal-kan
yang
peraturan
berlaku
perundang-
undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori
derogate lex periori);
e.
peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu
gugat;
f.
peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk
semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan
spiritual dan materil bagi masyarakat maupun
individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas
welvaarstaat).
33
Sementara Amiroedin Sjarief, mengajukan lima asas45 :
a.
asas tingkatan hirarkhi;
b.
peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu
gugat;
c.
peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus
menyampingkan UU yang bersifat umum (lex
specialis derogate lex generalis);
d.
peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut;
e.
UU yang baru menyampingkan UU yang lama (lex
posteriori derogat lex periori).
Menurut I.C Van der Vlies sebagaimana dikutip oleh
Roseno Harjowidigo (2004) asas- asas formal dan material bagi
pembentukan perundang-undangan adalah sebagai berikut:46
Pertama,
Asas tujuan yang jelas (beginsel van duetlijke
doelstelling); asas ini mencakup tiga hal yaitu mengenai
ketepatan letak peraturan perundang-undangan yang akan
45
Amiroeddin Sjarif, Perundang-undangan: Dasar, Jenis, dan Teknik
Membuatanya,
Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hlm. 78-84.
46
Roseno Harjowidigo, Wetgeving Sleerdi Negeri Belanda dan
Perkembangan Undang-undang saat ini di Indonesia, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta
Timur, 2004, hlm. 48.
34
dibentuk, kerangka kebijakan umum pemerintahan, tujuan khusus
peraturan perundangundangan yang akan dibentuk dan tujuan
bagian-bagian
peraturan
perundang-undangan
yang
akan
dibentuk tersebut. Kedua, Asas Organ/Lembaga Yang Tepat
(beginsel van het juiste organ); asas ini memberikan penegasan
tentang perlunya kejelasan kewenangan organ-organ/lembagalembaga yang menetapkan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.
Ketiga, Asas Perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids
beginsel); asas ini tumbuh karena selalu terdapat alternatif atau
alternatif-alternatif lain untuk menyelesaikan suatu masalah
pemerintahan selain dengan membentuk peraturan perundangundangan. Keempat, Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van
uitvoorbaarheid); asas ini dinilai orang sebagai usaha untuk
dapat
ditegakkannya
peraturan
perundang-undangan
yang
bersangkutan. Sebab tidak ada gunanya suatu peraturan
perundang-undangan yang tidak dapat ditegakkan. Kelima. Asas
konsensus (het beginsel van consensus); asas ini menunjukkan
adanya
kesepakatan
melaksanakan
ditimbulkan
rakyat
kewajiban
oleh
dan
peraturan
bersangkutan.
35
dengan
pemerintah
menanggung
untuk
akibat
yang
perundang-undangan
yang
Masih menurut I.C Van der Vlies sebagaimana dikutip
oleh Roseno Harjowidigo (2004), kebutuhan akan asas-asas
material dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
adalah:
a.
Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar
(het
beginsel
duitdelijke
van
duitdelijke
systematiek);
asas
terminologie
ini
adalah
en
agar
peraturan perundang-undangan dapat dimengerti oleh
masyarakat dan rakyat, baik mengenai kata-katanya
maupun mengenai struktur atau susunannya.
b. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de
kenbaarheid); asas ini menekankan apabila sebuah
peraturan perundang-undangan tidak dikenali dan
diketahui oleh setiap orang lebih lebih yang
berkepentingan maka ia akan kehilangan tujuannya
sebagai peraturan.
c.
Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het
rechsgelijkheids beginsel); asas ini menunjukkan
tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang
hanya ditujukan kepada sekelompok orang tertentu,
karena
hal
ini
akan
36
mengakibatkan
adanya
ketidaksamaan
dan
kesewenangan-wenangan
di
depan hukum terhadap anggota-anggota masyarakat.
d. Asas
kepastian
hukum
(het
rechtszekerheidsbeginsel); asas ini merupakan salah
satu sendi asas umum negara berdasarkan atas
hukum.
e.
Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual
(het beginsel van de individuale rechtsbedeling); asas
ini bermaksud memberikan penyelesaian yang khusus
bagi hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu sehingga
dengan demikian peraturan perundang-undangan
dapat memberikan jalan keluar selain bagi masalahmasalah umum juga masalah-masalah khusus.47
Pembentukan peraturan perundang–undangan Indonesia
yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang
diberikan oleh cita negara hukum yang tidak lain adalah
Pancasila, yang oleh Attamimi diistilahkan sebagai bintang
47
Roseno Harjowidigo, Wetgeving Sleerdi Negeri Belanda dan
Perkembangan Undang-undang saat ini di Indonesia, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta
Timur, 2004, hlm. 49-50.
37
pemandu, prinsip negara hukum dan konstitusionalisme, di mana
sebuah negara menganut paham konstitusi48.
Lebih
lanjut
mengenai
A.
Hamid.
S.
Attamimi,
mengatakan jika dihubungkan pembagian atas asas formal dan
materil, maka pembagiannya sebagai berikut :
a. Asas–asas formal:
1)
asas tujuan yang jelas;
2)
asas perlunya pengaturan;
3)
asas organ / lembaga yang tepat;
4)
asas materi muatan yang tepat;
5)
asas dapat dilaksanakan;
6)
asas dapat dikenali.
b. Asas–asas materiil:
1)
asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma
fundamental Negara;
2)
48
asas sesuai dengan hukum dasar Negara;
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu perundang-undangan (dasardasar dan pembentukannya), Yogyakarta, Kanisius, 1998, hlm.197-198.
38
3)
asas sesuai dengan prinsip negara berdasarkan
hukum;
4)
asas sesuai dengan prinsip pemerintahan berdasarkan
konstitusi49.
Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 harus
dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, yang meliputi50.
1)
kejelasan tujuan;
2)
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
3)
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
4)
dapat dilaksanakan;
5)
kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6)
kejelasan rumusan; dan
7)
keterbukaan.
49
50
Ibid hlm.197-198.
Lihat Pasal 5 Undang Undang Nomor 12 tahun 2011.
39
Sedangkan materi muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan asas 51:
1) pengayoman;
2) kemanusiaan;
3) kebangsaan;
4) kekeluargaan;
5) kenusantaraan;
6) bhinneka tunggal ika;
7) keadilan;
8) kesamaan kedudukan dalam hukum;
9) pemerintahan;
10) ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
11) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Menurut Soefyanto, materi muatan perundang-undangan
harus mengandung asas52:
51
Lihat Pasal 6 ayat (1) Undang Undang Nomor 12 tahun 2011.
Soefyanto, Peraturan perundang-undangan (dasar dan teknik
pembuatan), Jakarta, Universitas Islam Jakarta, 2007, hlm. 25-26.
40
52
1. asas pengayoman;
2. asas kemanusiaan;
3. asas kebangasaan;
4. asas kekeluargaan;
5. asas kenusantaraan;
6. asas bhineka tunggal ika;
7. asas keadilan;
8. asas
kesamaan
kedudukan
dalam
hukum
dan
pemerintahan;
9. asas ketertiban dan kepastian hukum;
10. asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Asas asas pembuatan hukum tersebut secara khusus
penulis merujuk dalam kontek hukum pidana seperti yang
diuraikan oleh Teguh Prasetyo (2011) menegaskan tiga asas
utama, yaitu: asas legalitas, penyertaan dan asas Actus Mens Sit
Rea53. Sementara di dalam hukum perdata, Soefyanto (2007)
53
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta, Rajawali
Pers, 2011, hlm., 254-256
41
dalam perjanjian antara lain meliputi: asas kesepakatan,
kebebasan berkontrak dan iktikad baik.54
D.
Teori Tujuan Hukum Gustav Radbruch
Gustav Radbruch (21 November 1878-23 November
1949) lahir di Lubeck Jerman. Gustav Radbruch adalah profesor
hukum dan professor filsafat di universitas Konigsberg, Kiel dan
Heidleberg. Kehidupan diluar kampus, Radbruch juga merupakan
politisi senior Partai Demokrat Sosialis dan pernah di
Kementerian Hukum Jerman di era Republik Weimar. Setelah di
Jerman dikuasai oleh Nazi, dia dilengserkan dan kemudian aktif
di kampus. Aktivitas inilah yang kemudian mengantarkan Gustav
Radbruch sebagai „Bapak Reformasi Pendidikan Hukum55‟.
Radbruch mengkombinasikan dua pendekatan sekaligus,
yaitu pendekatan normative dan pedekatan empiris. Oleh sebab
itu Radbruch mengembangkan tiga tujuan hukum56, pertama,
Kepastian Hukum. Yaitu tuntutan pertama hukum ialah supaya ia
positif, yaitu berlaku pasti. Hukum harus ditaati, supaya hukum
sungguh-sungguh positif. Hukum adalah keseluruhan peraturan
54
Soefyanto, Op cit, hlm. 25-26
Achmad Ali, Menguat Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
Peradilan (judicial Prudence), Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(legisprudence), Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm. 181
56
Notohamidjoyo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum. Salatiga, Griya
Media, 2011, hlm. 33-35
42
55
yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa
kelakukan manusia dalam masyarakat Negara dan antar Negara.
Hukum bersifat Sollen-Sein, memperhatikan norma yang harus
diwujudkan dalam kenyataan.
Radbruch mengakui adanya hukum alam yang mengatasi
hukum positif, yaitu 57:
a.
Setiap individu harus diperlakukan menurut keadilan
di depan pengadilan;
b.
Pengakuan dan penghormatan terhadap hak hak asasi
manusia yang tidak boleh dilanggar;
Harus
ada
keseimbangan
antara
pelanggaran
dan
hukuman.
Kedua, Keadilan Hukum. Bagi Radbruch ilmu hukum
adalah pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat atau bersumber
dari manusia maupun dari Tuhan. Ilmu tentang apa yang adil dan
apa yang tidak adil58. Sebagai pengikut mahzab Neokantianisme,
Radbruch mengembangkan teori keadilan hukum (rechtsidee)
sebagai
mahkota
dari
tata
hukum.
Hukum
merupakan
kulturwissenschaft atau budaya masyarakat. Jadi tujuan hukum
57
58
Ibid, hlm. 132
Ibid. hlm. 183.
43
menurut Radbruch adalah merealisasikan nilai-nilai59. Hukum
bukan „tatanan norma formal dari norma-norma‟ kultur bukan
wilayah
„akal
murni‟
tetapi
„akal
praktis‟.
Sehingga
kulturwissenschaft adalah nilai-nilai manusia. Pengetahuan, seni,
moralitas, maupun hukum adalah bagian dari kebudayaan dan
masing-masing mengemban nilai-nilai manusiawi60.
Hukum menurut Radbruch mengemban nilai keadilan
bagi kehidupan konkrit manusia. Ini intrinsik dalam
hukum, karena memang itu salah satu hakikatnya sebagai
salah
satu
unsur
kebudayaan…ilmu
bertugas
menghadirkan kebenaran, seni untuk keindahan, tingkah
laku susila untuk moralitas. Jadi masing-masing punya
misi dan tugas sendiri-sendiri dengan sasaran akhir adalah
manusia dengan kebutuhan riilnya61.
Radbruch juga mengatakan bahwa hukum sebagai
pengemban nilai keadilan, menjadi ukuran bagi adil dan tidaknya
suatu tata hukum. Nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum
sebagai hukum. Ia menjadi landasan moral hukum dan sekaligus
tolok ukur system hukum positif. Tanpa keadilan (rechtsidee)
sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum62.
59
Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia
Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, hlm., 169170
60
Ibid
61
ibid
62
Ibid. hlm. 131
44
Hukum memiliki tiga susunan hukum secara struktural,
yakni (1). Keadilan, Keadilan adalah kesamaan hak di depan
hukum. (2). Kepastian. Kepastian menunjuk pada jaminan bahwa
hukum benar-benar berfungsi sebagai peratutan yang ditaati.
Kepastian merupakan kerangka operasional hukum. (3). Finalitas
yaitu menunjuk pada tujuan keadilan yaitu mewujudkan kebaikan
dalam, hidup manusia.
Ketiga, Daya Guna. Hukum perlu menuju tujuan yang
penuh harga (waardeval). Nilai kebaikan bagi manusia dapat
dihubungkan dengan tiga subyek yaitu individu (individualwerte)
adalah nilai-nilai pribadi yang penting untuk mewujudkan
kepribadian manusia. Daya guna hukum harus mewujudkan
kepribadian manusia yang penuh harga (waardeval). Sementara
Daya Guna hukum juga terkait nilai kolektivitas atau nilai nilai
masyarakat (gemeinschaftswerte), atau nilai yang hanya dapat
diwujudkan dalam masyarakat manusia. Daya guna hukum juga
merupakan nilai-nilai karya kebudayaan, ilmu dan kesenian
(werkwerte).
Yang pertama kali hendak dimajukan kebaikannya adalah
manusia sebagai individu. Jika tujuan hukum adalah kemajuan
Negara maka akan menghasilkan system hukum kolektif, ini akan
terlihat seperti Negara sosialis.
45
Dalam penjelasan implementasi hukum, bagaimana jika
pertentangan antara keadilan dan kepastian? Radbruch menilai,
kepastian hukum harus dijaga demi keamanan. Namun jika
pertentangan antara tata hukum dan keadilan menjadi begitu
besar, sehingga ia benar benar dirasakan tidak adil, maka demi
keadilan (rechtsidee) tata hukum itu harus dilepaskan63.
Teori
ini
(Radsbrucian
formula)
berusaha
untuk
mengatasi dualisme antara sein dan sollen, antara „materi‟ dan
„bentuk‟. Teori ini juga memandang sein dan sollen, „materi‟ dan
„bentuk‟ sebagai dua sisi dari satu mata uang. Radbruch tidak
ingin terjebak dalam dikotomi perdebatan antara „materi‟ dan
„bentuk‟. Sehingga Radbruch berkeyakinan bahwa „materi‟
mengisi „bentuk‟, dan „bentuk melindungi „materi‟. Nilai
keadilan adalah „materi‟ yang harus menjadi isi aturan hukum,
sedangkan aturan hukum adalah „bentuk‟ yang harus melindungi
nilai keadilan.
Pendapat Radbruch ini menurut para ahli dipengaruhi
oleh pengalaman dirinya sebagai warga Jerman yang mengalami
bagaimana Nazi Jerman menggunakan hukum untuk menjadi
pembenar genocida dan peperangan. Kekawatiran kejadian
terhadap tirani hukum untuk kepentingan kolektif (mayoritas)
63
Ibid, hlm. 132
46
oleh Negara yang diselewengkan oleh Nazi Jerman menjadikan
keyakinan Radbruch bahwa keadilan (rechtsidee) adalah mahkota
tertinggi didalam hukum tanpa bisa ditawar.
47
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISA PERBANDINGAN
UNDANG-UNDANG NARKOTIKA
UU NO 22 TAHUN 1997 DENGAN UU NO 35 TAHUN 2009
Narkotika merupakan zat atau bahan yang bermanfaat di
suatu
bidang
pengobatan,
pengembangan ilmu
pelayanan
pengetahuan. Tetapi
kesehatan
dan
pada sisi
lain
menimbulkan kerugian sistematis apabila disalahgunakan oleh
masyarakat tanpa pengendalian dan pengawasan oleh pemerintah.
Pengaturan terhadap penyalahgunaan narkoba telah dilakukan
dengan berbagai cara oleh berbagai Negara termasuk Indonesia
dalam bentuk preemtif maupun represif dengan melibatkan
seluruh elemen penegak hukum dan masyarakat. Termasuk
melihat
secara berkala kinerja regulasi
terdahulu
untuk
menerbitkan regulasi baru yang lebih adaptif dan sesuai dengan
kebutuhan penanggulangan penyalahgunaan narkotika saat ini
dan kedepan.
1.
Undang-Undang Narkotika Berkembang, tidak lengkap
dan tidak Selalu Jelas
Secara substansial, perubahan signifikan pada UU Nomor
35
Tahun
2009
sebagai
regulasi
48
khusus
merupakan
penyempurnaan dan adaptasi perkembangan regulasi Narkotika
dari UU Nomor 22 Tahun 1997. Perkembangan regulasi ini
sejalan dengan kaidah peraturan atau hukum sebagai sebuah
yurisprudensi. Aturan hukum tidak lengkap karena hukum selaku
berkembang mengikuti perkembangan masyarakat. Sebagai
bagian dari budaya dan nilai kehidupan manusia, maka hukum
pada dasarnya telah ada sejak kehidupan manusia. Setiap perilaku
manusia yang berhubungan dengan orang lain dengan sendirinya
adalah perbuatan hukum. Hubungan perilaku ini di bakukan
dalam norma tata aturan hokum tertulis. Upaya hukum positif
adalah untuk membakukan hubungan perilaku ini dalam norma
tata aturan hukum tertulis.
Dengan kaidah tersebut, maka hukum positif selalu
berkembang dan melengkapi seiring dengan perkembangan
kebudayaan manusia. Basis utama hukum adalah menggali dari
dalam masyarakat. Hukum atau peraturan hukum bertujuan untuk
mengatur kegiatan manusia. Sedangkan kegiatan manusia tidak
terhitung jumlah dan jenisnya, maka tidak heran jika peraturan
hukum tidak lengkap dan tidak selalu jelas. Berdasarkan
pengertian dasar tersebut pada kontek perbandingan asas muatan
materi UU Nomor 5 Tahun 1997 dan UU Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, menarik untuk dirunut perbandingan antar
keduanya.
49
2.
Narkotika Sebagai Tindak Pidana Khusus
Pada sisi lain pengesahan materi UU Nomor 35 Tahun
2009 menggantikan UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika menegaskan bahwa narkotika adalah bagian dari
Hukum Tindak Pidana Khusus. Maksudnya adalah tindak pidana
narkotika diatur dalam Undang Undang Pidana yang berada di
luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari
Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materil
maupun Hukum Pidana Formil. Hukum tindak pidana khusus
mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu
yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu.
Hukum tindak pidana khusus secara substansi berlaku khusus
kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu di arahkan.
Indikator lain yang digunakan untuk mengukur bahwa
undang-undang tersebut merupakan hukum pidana khusus adalah
pada penyimpangan ancaman pidana yang terdapat dalam
undang-undang pidana umum. Hukum Tindak Pidana Khusus
adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU
pidana tersendiri. Seluruh indikator tersebut terpenuhi dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Artinya semua ketentuan tentang Narkotika ketentuannya diatur
sendiri dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut.
50
3.
Undang-undang Khusus Narkotika No 22 tahun 1997
dan No 35 tahun 2009 Bersifat Dinamis
Sebagai Undang Undang Tindak Pidana Khusus tentang
Narkotika Nomor 22 Tahun 1997 dan Nomor 35 Tahun 2009
bersifat adaptif terhadap perubahan. Ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam undang-undang narkotika dapat dengan mudah
diubah apabila terdapat penyimpangan atau mengatur hal-hal
yang sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang tersebut
karena
perkembangan
zaman.
Elastisitas
undang-undang
Narkotika ini karena Undang-Undang ini hanya mengatur satu hal
yaitu tentang narkotika.
Perubahan undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan
undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dapat
dilakukan secara elastic sesuai kebutuhan dan kontek kinerja
regulasi. Berbeda dengan undang-undang pidana umum sejenis
KUHP dan KUHAP kurang memiliki elastisitas karena
ketentuan-ketentuan yang terdapat didalamnya mengatur banyak
hal.
4.
Perbandingan Hukum Materil Dalam Undang-Undang
Narkotika No 22/1997 dengan No 35/2009.
51
4.1. Kontektualisasi Amar Pertimbangan Hukum
Di sahkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika tanggal 14 September 2009 merupakan
revisi dari UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Di
dalam amar pertimbangannya, pemerintah menilai UU
Nomor 22 Tahun 1997 untuk menjamin masyarakat
Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur, meningkatkan
derajat kesehatan sumber daya manusia, urgensi bahaya
narkotika, mengatur tata kelola dan ancaman pidana
terhadap penyalahgunaan narkotika, Pemerintah menilai
UU Nomor 22 Tahun 1997 tidak efektif lagi menanggulangi
situasi dan kondisi tindak pidana narkotika yang semakin
berkembang dan terorganisir. Seperti ditulis didalam
pertimbangan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
pada huruf e yang berbunyi:
e. bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat
transnasional yang dilakukan dengan menggunakan
modus operandi yang tinggi, teknologi canggih,
didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan
sudah banyak menimbulkan korban, terutama di
kalangan generasi muda bangsa yang sangat
membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang
52
untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana
tersebut;64
Sementara di dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 huruf e
juga menyampaikan hal yang sama:
e. bahwa kejahatan narkotika telah bersifat
transnasional yang dilakukan dengan menggunakan
modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih,
sedangkan peraturan perundang-undangan yang ada
sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi
dankondisi yang berkembang untuk menanggulangi
kejahatan tersebut;65
Pertimbangan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009, tidak jauh beda tata bahasanya dengan pertimbangan
yang digunakan untuk merevisi Undang-undang Nomor 9
Tahun 1976 dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika. Hanya pada poin (e) tersebut diatas,
terjadi penggabungan substansi pertimbangan dibandingkan
dengan undang-undang sebelumnya. Kontekstualisasi hukum
dalam amar pertimbangan menjadi landasan pembeda utama
atas perubahan undang-undang.
64
65
Lihat Menimbang UU No 35/2009
Lihat Menimbang UU no 22/1997
53
Perbedaan yang lainnya adalah di dalam pertimbangan
UU Nomor 35 Tahun 2009, tentang Narkotika pada huruf e
ada tambahan “ didukung oleh jaringan organisasi yang luas,
dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di
kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara “ . Sedangkan di
dalam pertimbangan UU Nomor 22 Tahun 1997 tidak ada.
4.2. Pengembangan Ketentuan Umum
Didalam UU Nomor 35 Tahun 2009 terdapat uraian
Ketentuan
Umum
yang
menjadi
pembeda
sekaligus
pelengkap dari UU Nomor 22 Tahun 1997. Penambahan
ketentuan
umum
dirumuskan
sesuai
dengan
kaidah
penegakan penyalahgunaan narkotika yang berkembang saat
ini adalah:
Kejahatan Terorganisasi adalah kejahatan yang
dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur yang
terdiri atas 3 (tiga) orang atau lebih yang telah ada
untuk suatu waktu tertentu dan bertindak bersama
dengan tujuan melakukan suatu tindak pidana
Narkotika66.
66
Lihat Ketentuan Umum UU No 35/2009
54
Penegasan utama dari Ketentuan Umum yang tertera
didalam UU Nomor 35 Tahun 2009 adalah tindak pidana
narkotika sebagai kejahatan yang bisa dilakukan secara
terorganisir dan lintas Negara/transnasional sehingga tindak
pidana narkotika secara tersirat jelas bukan merupakan
sekedar kegiatan kriminal biasa.
4.3. Meningkatkan Golongan Bahan Narkotika dan
Pembatasan Penggunaannya
Di
dalam
Lampiran
Undang-Undang
Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika67
menegaskan bahwa Indonesia meningkatkan golongan
bahan-bahan yang masuk dalam kategori Narkotika serta
klasifikasi penggunaannya. Pertama, Sesuai dengan UU
Nomor 35 Tahun 2009 ada perluasan golongan bahan-bahan
dalam kategori Narkotika/Psikotropika dibandingkan dengan
UU Nomor 22 Tahun 199768. Diantaranya dengan
memindahkan Psikotropika Golongan II termasuk sabusabu, ke dalam kategori narkotika Golongan I karena
tingkat bahaya bagi kesehatan manusia.
67
Lihat Lampiran Undang Undang Republik Indonesia Nomor
35 Tahun 2009
68
Lihat Lampiran Undang Undang Republik Indonesia Nomor
22 Tahun 1997
55
Kedua, dalam UU Nomor 35 Tahun 2009, Narkotika
Golongan I tidak digunakan untuk pelayanan kesehatan
karena sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Dengan
demikian, ada pelarangan dan sanksi berat secara tegas
terhadap organisasi kriminal/sindikat yang memproduksi,
mengimpor, dan mengedarkan secara melawan hukum
Ekstasi dan Sabu. Jika beratnya melebihi 5 (lima)
gram Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman
(termasuk heroin dan kokain) maka pelaku dipidana dengan
pidana mati atau pidana penjara lainnya69.
4.4. Asas-asas Berlakunya Tindak Pidana Narkotika
Asas
hukum
menurut
Paul
Scholten
dalam
Notohamidjoyo70 adalah suatu tendensi-tendensi yang
disyaratkan kepada hukum oleh faham kesusilaan kita
(tendenzenm welke ons zedelijk oordeel aan het rech stelt).
Demikian juga menurut H.J. Holmes berpendapat bahwa
asas-asas hukum yang konkrit, melainkan perlu dipandang
69
Lihat Bab XV Ketentuan Pidana UU No 35/2009
Dr. O. Notohamidjojo, SH. Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum,
Salatiga, Griya Media, 2011
, hlm 23.
56
70
sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk (rishtsnoer) bagi
hukum yang berlaku71
Fungsi asas-asas hukum menurut Notohamidjojo72 adalah:
1. Pengundang-undang harus mempergunakan asasasas hukum sebagai pedoman bagi kerjanya.
2. Hakim melakukan interpretasi hukum berdasarkan
pada asas asas hukum.
3. Hakim perlu mempergunakan asas-asas hukum,
apabila ia perlu mengadakan analogi.
4. Hakim dapat melakukan koreksi terhadap
peraturan perundang-undang, apabila undangundang, karena tidak dipakai terancam kehilangan
maknanya.
Terkait dengan penjelasan diatas, maka jika melihat
Muatan
Materi
Undang-undang
tentang
Narkotika,
diselenggarakan berdasarkan beberapa asas yang diatur
dalam Pasal 3 UU Nomor 35 Tahun 2009 yaitu:
71
72
a)
keadilan,
b)
pengayoman,
c)
kemanusiaan,
d)
ketertiban,
e)
perlindungan,
f)
keamanan,
Ibid. hlm 23
Ibid. hlm 23
57
g)
nilai-nilai ilmiah,
h)
kepastian hukum.
Masuknya azas dalam bagian pasal merupakan langkah
maju dalam perbaikan undang-undang Narkotika sesuai UU
Nomor 35 Tahun 2009. Langkah penetapan azas dalam
undang-undang
narkotika
Undang-Undang
Nomor
sejalan
12
dengan
Tahun
2011
ketetapan
Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sementara, pada UU Nomor 22 Tahun 1997,
penegasan asas-asas yang ditetapkan adalah sesuai dalam
Penjelasan Umum alinea ke 5 yang berbunyi:
Untuk lebih meningkatkan pengendalian dan
pengawasan serta meningkatkan upaya mencegah dan
memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika, diperlukan pengaturan dalam bentuk
undang-undang baru yang berasaskan keimanan dan
ketagwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, manfaat,
keseimbangan, keserasian, dan selarasan dalam
perikehidupan hukum, serta ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dan dengan mengingat ketentuan baru
dalam Konvensi Perserikataan Bangsa-Bangsa tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan
Psikotropika tahun 1988 yang telah diratifikasi dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 Tentang
Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
58
tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan
Psikotropika.
Pada Penjelasan Umum tersebut, dapat disimpulkan
bahwa UU Nomor 22 Tahun 1997 menganut asas :
a)
keimanan dan ketagwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa,
b)
manfaat,
c)
keseimbangan,
d)
keserasian,
e)
keselarasan dalam perikehidupan hukum,
f)
ilmu pengetahuan dan teknologi
Penegasan penggunaan asas yang berlaku di dalam
materi muatan undang-undang menjadi urgen, apalagi jika
menyangkut dua kaidah hukum yang saling melengkapi
seperti di dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika, dimana proses acara pidana sesuai dengan
Tindak Pidana Umum yang tertera dalam KUHAP.
Sementara pidana merujuk pada UU Nomor 22 Tahun
1997. Sebagai catatan, asas yang dipakai di dalam produk
UU
Tindak
Pidana
Umum
sesuai
KUHP
adalah
diselenggarakan berdasarkan azas: (a) Azas legalitas
(b) Azas teritorial (c) Azas tidak berlaku surut (retro aktif)
59
(d) Azas nasionalitas yang terdiri dari nasionalitas aktif dan
pasif.
Asas asas yang terkandung dalam Undang Undang
Nomor 22 Tahun 1997 dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Keimanan dan ketagwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa
Asas ini adalah asas menetap (constant) atau asas
yang berlaku tetap dalam semua kaidah berkehidupan.
Asas ini merupakan derajat tertinggi dalam produk
hukum dan undang-undang. Wujud utama dari asas
keimanan dan ketagwaaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa
adalah
tercapainya
keadilan
hukum
dalam
kehidupan manusia.
Merujuk kepada konsep keadilan yang di susun
oleh Gustav Radbruch, maka asas keimananan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, jika dikaitkan dengan konsep
keadilan hukum Gustav Radbruch adalah hukum
sebagai pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat atau
60
bersumber dari manusia maupun dari Tuhan. Ilmu
tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil73
Keimanan dan Ketagwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa menuntut orang untuk berlaku adil dengan
kepercayaan yang penuh dan transenden kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Di dalam Pancasila, jelas posisi
tertinggi dalam sila adalah sila pertama. Ketuhanan
yang Maha Esa. Artinya asas hukum UU Nomor 22
Tahun 1997 dilandaskan pada asas Ketuhananan yang
Maha Esa. Asas pertama dalam berbangsa dan
bernegara. Prinsip utama yang mencerminkan pribadi
yang Bertagwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah
berlaku adil terhadap semua manusia. Konsep Adil
menurut Penjelasan Umum UU Nomor 12 Tahun 2011
Huruf g:
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga Negara.
73
Ibid. hlm. 183.
61
Konsep asas keadilan ini juga di dalam UU Nomor
35 Tahun 2009 sesuai dengan asas keadilan, asas
kemanusiaan, asas pengayoman dan perlindungan bagi
individu masyarakat dan negara. Kontek ketagwaan dan
keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta Keadilan
adalah wujud tertinggi dari asas Materi Muatan
Perundang-undangan.
b. Manfaat.
Asas manfaat adalah asas yang memastikan bahwa
hukum yang ditetapkan atau setiap Materi Muatan
Perundang-undangan
memberikan
manfaat
bagi
kehidupan manusia yang lebih baik dan bermartabat
dalam kontek Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada kaidah yang lain, asas manfaat jika dilihat dari UU
Nomor 12 Tahun 2011 merupakan makna yang dekat
dengan
Asas
“Kedayagunaan
dan
Hasilgunaan”.
Menurut Penjelasan Umum UU Nomor 12 Tahun 2011
Huruf e:
Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan
kehasilgunaan “adalah bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan dibuat karena memang
bener-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
62
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Substansi dari asas manfaat di dalam UU Nomor
22 Tahun 1997 terkait dengan asas-asas Asas
Pengayoman, Asas Ketertiban, Asas Perlindungan, Asas
Keamanan dan Kepastian hukum. Meskipun belum
diuraikan secara ekplisit, tetapi kinerja UU Nomor 22
Tahun 1997 diharapakan mampu memberikan kejelasan
pengayoman, ketertiban, perlindungan, keamanan dan
kepastian hukum bagi individu, masyarakat dan Negara.
Termasuk didalammnya adalah bagi korban dan
keluarga korban dan masyarakat umum.
c. Keseimbangan,
keserasian,
dan
selarasan
dalam
perikehidupan hukum, serta Ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Makna dari asas ini adalah merujuk kepada
Penjelasan Umum UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan
Peraturan
Penjelasan Huruf j:
63
Perundang-undangan,
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan,
keserasian dan keselarasan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundangundangan
hasur mencerminkan keseimbangan, keserasian,
dan keselarasan, antara kepentingan individu,
masyarakat dan kepentingan bangsa dan Negara.
Penegasan
keseimbangan,
keserasian
dan
keselarasan dalam perikehidupan hukum, serta Ilmu
pengetahuan mencerminkan bahwa UU Nomor 22
Tahun 1997 sesuai dengan herarki hukum. Penjenjangan
setiap
jenis
didasarkan
peraturan
pada
perundang-undangan
asas-asas
peraturan
yang
perundang-
undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Asas tersebut diatas, jika dibandingkan dengan
asas-asas yang tertulis didalam UU Nomor 35 Tahun
2009, maka dikategorikan dalam asas kepastian hukum.
Hukum bekerja untuk ditaati dan untuk itu dibutuhkan
kejelasan hirarki hukum sehingga kinerja hukum bisa di
pertanggungjawabkan.
Sementara penggunaan asas Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi bermakna, UU Nomor 22 Tahun 1997
64
memberikan ruang pengakuan ilmu pengetahuan dan
teknologi didalam menjalankan materi muatan hukum.
Pengakuan ini penting mengingat UU Nomor 22 Tahun
1997 merupakan Undang Undang Narkotika yang
perkembangannya sangat pesat dan dekat dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Di dalam UU Nomor 35 Tahun 2009, asas Ilmu
Pengetahuan dan Tekonologi ini kategorikan ke dalam
asas Nilai-Nilai Ilmiah. Substansi dari kedua asas dalam
UU Nomor 22 Tahun 1997 dan UU Nomor 35 Tahun
2009 adalah sama. Perbedaannya adalah pada UU
Nomor 22 Tahun 1997 belum tegas mencantumkan asas
ke dalam pasal ke dalam Materi Muatan Perundangundangan, tetapi masuk ke dalam Penjelasan Umum.
Sedangkan
UU
Nomor
35
Tahun
2009
tegas
memasukan asas-asas ke dalam Pasal 3.
4.5. Perluasan Tempat Kejadian Perkara
Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal
Narkotika 1961, beserta Protokol Tahun 1972 yang
mengubahnya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara
65
Republik Indonesia Nomor 3085; serta penerbitan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic
Drugs and Psychotropic Substances, 1988 atau Konvensi
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
tentang
Pemberantasan
Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988,
sebagaimana tertera dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3673; maka asas
territorial dan kerjasama ektrateritorial dalam kejahatan
Narkotika semakin tegas. Penegasan Narkotika sebagai
extra ordinary crime memungkinkan undang-undang
Narkotika menjangkau wilayah ektrateritorial.
Di dalam Pasal 63 UU Nomor 35 Tahun 2009, upaya
kerja sama dengan negara lain dan/atau badan internasional
secara bilateral dan multilateral, baik regional maupun
internasional dalam rangka pembinaan dan pengawasan
Narkotika dan Prekursor Narkotika di masukan dalam
bagian
tugas
Kepentingan
terintegrasi
Negara
nasional
dengan
demi
ini
kepentingan
diupayakan
kepentingan
nasional.
pemerintah
internasional
bagi
perlawanan terhadap kejahatan narkotika pada tingkat
global. Pasal 63 UU Nomor 35 Tahun 2009:
66
Pemerintah mengupayakan kerja sama dengan
negara lain dan/atau badan internasional secara
bilateral dan multilateral, baik regional maupun
internasional dalam rangka pembinaan dan
pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika
sesuai dengan kepentingan nasional.
Sedangkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 belum
tegas memberikan kewenangan pemerintah secara regional
kawasan maupun internasional untuk menjalin kerjasama
produktif melawan kejahatan Narkotika. Kelemahan UU
Nomor 22 Tahun 1997 adalah secara formil mengikuti
undang-undang tindak pidana umum sesuai KUHP yang
tidak memiliki cakupan ekstra teritorial karena KUHP
hanya berlaku diwilayah Negara Indonesia.
4.6. Pembatasan
Penyimpanan,
Rehabilitasi
dan
Pengobatan Narkotika
Penerbitan UU Nomor 35 Tahun 2009 menegaskan
kepada
masyarakat
bahwa
mereka
tidak
diperbolehkan/penyimpanan narkotika untuk jenis dan
golongan apapun. Penyimpanan Narkotika diperbolehkan
pada industri farmasi, pedagang besar farmasi, apotek,
rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,
dokter dan lembaga ilmu pengetahuan. Sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 UU Nomor 35 Tahun 2009:
67
Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan:
a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan
bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;
c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika; dan
d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis
dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu
Narkotika.
Pada satu sisi, UU Nomor 35 Tahun 2009
memberikan
ketegasan
bahwa
tidak
diperkenankan
menyimpan secara personal kecuali pasien rehabilitasi dan
mendapatkan resep dari dokter yang ditunjuk. Sementara
kekawatiran akan sangat menyulitkan pengguna narkotika
yang sedang melakukan pemulihan, dimana para pengguna
harus mengunjungi tempat-tempat tertentu secara ilegal di
minimalisir dan dinafikan. Semua bentuk rehabilitasi bagi
korban dilakukan oleh Negara dan di control oleh Negara
melalui rehabilitasi medis terpercaya.
Satu sisi ada kekawatiran akan memunculkan black
market Narkoba semakin besar di Indonesia, tetapi
68
kekawatiran ini bisa dimengerti sebagai bagian dari kritik
atas pelayanan rehabilitasi korban narkoba yang kurang
professional.
Ketentuan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksanan
di sidang pengadilan dalam Pasal 103 UU Nomor 35 Tahun
2009 ditentukan:
(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu
Narkotika dapat:
a.
memutus
untuk
memerintahkan
yang
bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan
tindak pidana Narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang
bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah
melakukan tindak pidana Narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan
bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa
menjalani hukuman.74
74
Pasal 103 UU No. 35/2009
69
Penegasan rehabilitasi dan pengobatan bagi korban
Penyalah Guna Narkotika dan/atau Pecandu Narkotika
cukup menarik di dalam UU Nomor 35 Tahun 2009. Kata
“dapat” pada Pasal 103 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009
tersebut menempatkan para pengguna narkotika baik yang
bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi. Untuk
kepentingan tersebut dalam persidangan, Hakim diberikan
wewenang menghukum pecandu/penyalahguna narkotika
untuk ditetapkan menjalani pengobatan dan rehabilitasi dan
dapat dijadikan sebagai pengganti hukuman.
Pada sisi lain, UU Nomor 35 Tahun 2009 juga
mengatur mekanisme pelaporan bagi korban yang belum
cukup umur oleh orang tuanya/ wali, untuk mendapat
Rehabilitasi Medis dan Sosial dari negara; dan bagi
Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur, selama 2 (dua)
kali perawatan dokter di Lembaga Rehabilitasi Medis yang
ditunjuk Pemerintah, kesemuanya tidak dituntut pidana,
tetapi diwajibkan menjalani Rehabilitasi Medis dan Sosial.
Pasal 54 “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan
70
Narkotika
wajib
menjalani
rehabilitasi
medis
dan
rehabilitasi sosial” 75.
Hal berbeda ditemukan pada UU Nomor 22 Tahun
1997, Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau
membawa narkotika yang digunakan untuk dirinya sendiri
yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi dengan bukti
yang sah. “(2) Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika
kepada … dan (f) pasien.76
Melalui UU Nomor 35 Tahun 2009, kebebasan dan
kehendak sendiri untuk sembuh tidak lagi diberikan oleh
Negara. Para pecandu dan korban mempunyai kewajiban
mengikuti rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang
dikelola oleh negara. Para korban pecandu narkotika
diwajibkan untuk melaporkan diri mereka kepada pusat
kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban
tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan
keluarga sesuai Pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2009. Akan
terbit peraturan menteri yang mengatur tentang rehabiltasi
medis dan sosial yang diselenggarakan oleh instansi
pemerintah ataupun masyarakat.
75
76
Pasal 55 UU No 35/2009.
Pasal 39 UU No 22/1997
71
4.7. Ketentuan Pidana antara UU No 22 Tahun 1997 dengan
UU No 35 Tahun 2009
Beberapa perbandingan ketentuan pidana yang diatur
di dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 dan UU Nomor 35
tahun 2009 adalah sebagai berikut:
Matrik 3.1. Perbandingan Substansi Muatan Materi UU No 22/1997
dan UU No 35/2009.
Substansi
Muatan
Materi
Jumlah pasal
mengandung
pidana
Ancaman
pidana
Sanksi
Tambahan
Jenis
Kesalahan
Ancaman
Pemidanaan
Sistem
kumulatif
UU No 22 Tahun 1997
UU No 35 Tahun 2009
Memuat 19 pasal me
ngandung pidana dari 96
pasal, atau 19 %.
Terdapat
ancaman
hukuman mati, hukum
penjara,
hukuman
denda.
39 pasal mengandung macammacam pidana dari 150 pasal,
atau 26%.
Terdapat ancaman hukuman
mati, penjara, denda. Ancaman
hukuman lebih berat dibanding
UU No 22/1997. Penegasan
hukum mati bagi pelaku.
Sanksi administratif sampai
pencabutan izin usaha dan
status badan hokum
Unsur ketidakesengajaan tidak
berlaku/culpa
Menggunakan
pendekatan
pidana minimal
Percobaan atau permufakatan
jahat untuk melakukan tindak
pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika sama dengan orang
melakukan
kejahatan
atau
pelanggaran
terhadap
ketentuan
dalam
undangundang narkotika ini
Sanksi
administratif
sampai pencabutan izin
usaha
Unsur ketidakesengajaan
tidak berlaku/Culpa
Menggunakan
pende
katan pidana minimal
Percobaan atau permu
fakatan jahat untuk mela
kukan tindak pidana
Narkotika dan Prekursor
Narkotika sama dengan
orang melakukan kejahat
an atau pelanggaran ter
hadap ketentuan dalam
undang-undang
72
Narkotika ini.
Hukuman
denda
dan
Hukuman pidana dan denda
lebih berat dari UU N0 22 1997
Persamaan Hu
kuman Terha
dap Delik Per
cobaan
dan
Delik Selesai
Menyamakan hukuman
pidana
bagi
pelaku
tindak pidana selesai
dengan pelaku tindak
pidana percobaan.
Menyamakan hukuman pidana
bagi pelaku tindak pidana
selesai dengan pelaku tindak
pidana percobaan.
Ancaman hu
kuman orang
tua
pelaku/
korban
dan
Masyarakat
Rehabilitasi
Tidak
memberikan
hukuman kepada orang
tua/keluarga.
Memberikan ancaman hukuman
pidana 6 bulan kurungan bagi
yang tidak melaporkan penyalah
gunaan narkotika/psikotropika.
Mengenal
konsep
rehabilitasi oleh Negara
dan masyarakat
Mengenal konsep rehabilitasi
hanya oleh Negara.
Penegak
hukum
Penegak hukum dalam
hal ini Penyidik hanya
diampu oleh Penyidik
Polri
Barang yang dilarang
hanya narkotika yang
sudah jadi/siap pakai
Selain penyidik dari Kepolisian
juga ada penyidik dari BNN
Jenis barang
yang dilarang
pidana
Barang yang dilarang selain
narkotika yang sudah jadi juga
prekusornya
atau
bahan
bahannya.
Dari tabel diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Jumlah Pasal Mengandung Pidana
Penerbitan UU Nomor 35 Tahun 2009 dengan tegas
penggunaan
pendekatan
pidana
lebih
menonjol
dibandingkan dengan ketentuan pidana dalam UU Nomor
22 Tahun 1997. Pendekatan pidana digunakan sebagai
73
upaya efek jera dan memberi rasa takut kepada pelaku
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Ketentuan
pidana tercantum pada 39 pasal yang mengandung macammacam pidana dari 150 pasal yang ada dalam UU Nomor
35 Tahun 2009, atau 26%. Sementara di dalam UU Nomor
22 Tahun 1997 memuat 19 pasal yang mengandung pasal
pidana dari keseluruhan 96 pasal, atau 19 %. Tampak
pendekatan treatment hukum masih dominan pada UndangUndang tersebut.
Meskipun demikian penggunaan pasal mengandung
pidana pada UU 22 Tahun 1997 dan UU 35 Tahun 2009
mencerminkan asas manfaat yang terkait dengan Asas
Pengayoman, Asas Ketertiban, Asas Perlindungan Hukum,
Asas Keamanan dan Kepastian Hukum. Pendekatan Asas
Keamanan dan Kepastian Hukum tampak memunculkan
kekawatiran disatu sisi dari terbitnya UU Nomor 35 Tahun
2009. Ada kekawatiran munculnya kriminalisasi orang,
baik produsen, distributor, konsumen dan masyarakat
dalam undang-undang ini. Apalagi super bodi dengan
kewenangan yang luar biasa seperti Badan Narkotika
Nasional memungkinkan untuk melakukan hal tersebut jika
lemah dalam kontrol.
74
b. Ancaman Pidana
Dalam undang-undang narkotika Nomor 22 Tahun
1997 maupun UU Nomor 35 Tahun Nomor 2009 terdapat
ancaman hukuman mati, hukum penjara, hukuman denda.
Perbedaan kedua undang-undang tersebut adalah pada berat
ringannya sanksi. Sebagai perhatian utama adalah dalam
UU Nomor 35 Tahun 2009 yang menegaskan hukuman
mati bagi pelaku yang terbukti membawa secara tidak sah
narkotika pada ukuran tertentu.
Pendekatan ancaman pidana mati merujuk secara
langsung pada penggunaan asas keadilan yang merupakan
asas menetap (constant) dari Asas Keimanan dan
Ketagwaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti tertulis
di dalam Asas UU Nomor 22 Tahun 1997. Sementara di
dalam UU Nomor 35 Tahun 2009, asas tersebut di jabarkan
dalam
Asas
Keadilan,
Asas
Kemanusiaan,
Asas
Pengayoman dan Perlindungan bagi Individu Masyarakat
dan Negara.
c. Sanksi Tambahan
Pada penyelenggara dan pengelolaan yang ditunjuk,
terdapat sanksi adminisratif seperti teguran, peringatan,
denda adminisratif, penghentian sementara kegiatan dan
75
pecambutan izin serta hukuman tambahan yang diatur
dalam Pasal 130 ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, berupa: (a) pencabutan izin usaha;
dan/atau (b) pencabutan status badan hukum.
Sesuai UU Nomor 35 Tahun 2009, penggunaan
Asas Kemanusiaan, Asas Pengayoman dan Perlindungan
bagi Individu Masyarakat dan Negara lebih menonjol di
dalam asas muatan materi pasal ini. Meskipun juga
memberikan ruang bagi berjalannya Asas Kepastian
Hukum. Sementara UU Nomor 22 Tahun 1997 di
kategorikan sebagai Asas Keseimbangan, Keserasian dan
Keselarasan dalam Perikehidupan Hukum.
d. Jenis Kesalahan
Secara harfiah, dalam Tindak Pidana narkotika
penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan melawan
hukum” dalam pasal-pasal di Bab XV Ketentuan Pidana
UU Nomor 35 Tahun 2009 dengan tidak memperdulikan
unsur kesengajaan. Artinya siapa saja dapat terkena
ancaman pidana baik melakukan perbuatan penyalahgunaan
narkotikan secara sengaja maupun tidak sengaja. Meskipun
dikenal didalam hukum pidana Asas Tidak Ada Pidana
Tanpa Kesalahan tetapi, delik ini dapat menjerat orang76
orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niatan
melakukan tindak pidana narkotika. Baik karena adanya
paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuan. Semisal di jebak,
di titipi oleh orang lain tanpa sepengetahuan pembawa atau
karena ketidaktahuan maupun menerima paket dari pos dan
kondisi lainnya. Dalam undang-undang narkotika tidak
mengenal adanya delik culpa atau ketidaksengajaan.
Penanganan kasus penyalahgunaan narkotika yang
kurang efektif salah satunya adalah alibi ketidaksengajaan
pelaku atau berlindung sebagai korban. Oleh karena itu di
dalam UU Nomor 35 Tahun 2009, UU Nomor 22 Tahun
1997 dan KUHP Hukum Pidana Umum dalam KUHP
terdapat delik culpa. Meskipun di dalam KUHP terhadap
orang yang melakukan delik culpa tersebut masih
dipertimbangkan, seperti dalam pasal 359 KUHP.
Penegasan
Asas
Perlindungan,
Asas
Ilmu
Pengetahuan atau Asas Nilai-Nilai Ilmiah merupakan
rujukan utama bagi berjalannya keserasian, keselarasan dan
keseimbangan kehidupan individu masyarakat dan Negara.
Asas pada muatan materi pasal ini baik dalam UU Nomor
22 Tahun 1997 maupun UU Nomor 35 Tahun 2009
mengakui bahwa penyalahgunaan narkotika yang terus
berkembang memaksa undang-undang berkembang dan
77
mengikuti ranah teknologi dan nilai-nilai ilmiah yang terus
berkembang.
e. Ancaman Pemidanaan
Pendekatan UU Nomor 35 Tahun 2009 maupun
UU Nomor 22 Tahun 1997 menetapkan sistem pidana
minimal. Hal ini memunculkan asumsi bahwa UU
tersebut dapat mencegah masyarakat untuk berhubungan
dengan
narkotika/psikotropika.
Meskipun
ada
kekawatiran penggunaan pidana minimal juga akan
menutup kebebasan Hakim dalam menjatuhkan putusan,
walaupun
di
dalam
prakteknya,
hakim
dapat
menjatuhkan putusan kurang dari pidana minimal.
Keputusan
Hakim
tersebut
diperbolehkan
oleh
Mahkamah Agung.
Pada sisi lain, sistem pemidanaan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1997 juga tidak memberikan hukuman
kepada orang tua/keluarga pelaku penyalahgunaan
narkotika. Pada Pasal 86 menyebutkan:
(1). Orang tua atau wali pecandu yang belum
cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam)
78
bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah). (2). Pecandu narkotika yang
belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh
orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 ayat (1) tidak dituntut pidana.
Pasal 88 juga menyebutkan:
(2). Keluarga pecandu narkotika sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) yang dengan sengaja tidak
melaporkan pecandu narkotika tersebut dipidana
dengan pidana kurungan palinglama 3 (tiga) bulan
atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu
jutarupiah).
Sementara Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
memberikan ancaman hukuman pidana bagi keluarga
yang
tidak
melaporkan
penyalahgunaan
narkotika/psikotropika.
Pasal 134 :
(2) Keluarga dari Pecandu Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang dengan sengaja tidak
melaporkan Pecandu Narkotika tersebut dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan
atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000,00
(satu juta rupiah).
Sesuai UU Nomor 22 Tahun 1997 dan UU Nomor
35 Tahun 2009, Asas Keadilan dan Keseimbangan jelas
79
tercermin dari ancaman pemidanaan yang meluas sampai
ke orang tua/keluarga pelaku penyalahgunaan narkotika.
f. Sistem Kumulatif
Percobaan
atau
permufakatan
jahat
untuk
melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika sebagaimana diatur dalam undang-undang
narkotika tersebut dengan pidana penjara yang sama
dengan orang melakukan kejahatan atau pelanggaran
terhadap ketentuan dalam undang-undang narkotika ini.
Dalam pasal-pasal di Bab XV Ketentuan Pidana UU
Nomor 35 Tahun 2009 percobaan untuk menyediakan
narkotika golongan 1, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Sebagaimana tertera dalam Pasal 111 UU Nomor 35
Tahun 2009.
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan
hukum
menanam,
memelihara,
memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan
80
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan
miliar rupiah).
Sedangkan dalam kaidah Hukum Tindak Pidana
Umum dalam KUHP, hukuman terhadap orang yang
melakukan percobaan adalah maksimum hukuman
utama yang diadakan bagi kejahatan dikurangkan
dengan sepertiganya, dalam hal percobaan.
Berdasarkan sifat hukuman, sanksi dan hukuman
dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 dan UU Nomor 22
tahun 1997 tentang Narkotika bersifat komulatif.
Maknanya orang yang tertangkap melakukan kejahatan
atau pelanggaran terhadap narkotika akan dihukum
dengan hukuman pidana dan hukuman denda. Jadi
terpidana harus memenuhi vonis hukuman primer dan
vonis hukuman subsider tersebut. Pidana kumulatif ini
menjadi salah satu ciri utama UU Tindak Pidana Khusus
Tentang Narkotika. Perbedaan Hukuman Kumulatif
antar kedua UU narkotika tersebut adalah pada lama
hukuman pidana dan besar denda. Pada UU Nomor 35
81
Tahun 2009, hukuman yang demikian memberikan efek
jera bagi pelaku.
Efek Jera dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 dan
UU Nomor 35 Tahun 2009 merupakan salah satu
manifestasi penerapan Asas Keadilan, Asas Kepastian
Hukum dan Asas Keseimbaangan, Keserasian dan
Keselarasan dalam Perikehidupan Hukum.
g. Persamaan Hukuman Terhadap Delik Percobaan
dan Delik Selesai.
Dalam Undang-undang pidana umum KUHP
terjadi pembedaan vonis hukuman antara suatu tindak
pidana selesai dengan suatu tidak pidana tidak selesai
atau percobaan. Sedangkan UU Nomor 22 Tahun 1997
dan UU Nomor 35 Tahun 2009 menyamakan hukuman
pidana bagi pelaku tindak pidana selesai dengan pelaku
tindak pidana percobaan.
Latar belakang bahwa tindak Pidana Narkotika
adalah suatu kejahatan sistematis karena perbuatan
tersebut memiliki efek yang buruk dan berlanjut di
masyarakat.
Oleh
karena
itu
delik
percobaan
mensyaratkan suatu tindak pidana tersebut terjadi dan
akibat tindak pidana tersebut selesai.
82
Sementara pada kasus penyalahgunaan narkotika,
diasumsikan bahwa semua proses kejahatan oleh pelaku
berhenti, tetapi dampaknya masih berlanjut. Meskipun
penting juga dicari cara untuk membedakan pemidanaan
antara pelaku tidak pidana percobaan dan pelaku tidak
pidana selesai harus dibedakan untuk menjunjung tinggi
Asas Keadilan, Asas Manfaat dan Asas Keseimbangan
Hukum yang merupakan kekuatan dari UU Nomor 22
Tahun 1997 dan UU Nomor 35 Tahun 2009.
h. Ancaman hukuman bagi orang tua pelaku/
korban dan masyarakat
Di dalam materi pidana UU Nomor 35 Tahun 2009
memberikan
ancaman
hukuman
pidana
6
bulan
kurungan pada UU Nomor 35 Tahun 2009 bagi orang
tua yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang
menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi.
Dalam Pasal 128 UU Nomor 35 Tahun 2009
menyebutkan:
(1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum
cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam)
83
bulan atau pidana denda paling banyak Rp.
1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Meskipun unsur ‟kesengajaan tidak melapor‟
tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, unsur tersebut
tidak mengecualikan orang tua yang tidak mengetahui
bahwa zat yang dikonsumsi anaknya adalah narkotika.
Undang-undang
Nomor
35
Tahun
2009
memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun bagi
orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana
narkotika. Sesuai Pasal 131 UU Nomor 35 Tahun 2009:
Setiap orang yang dengan sengaja tidak
melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113,
Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal
118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122,
Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal
127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Maknanya undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
juga menuntut agar setiap orang melaporkan tindak
pidana narkotika. Potensi kesulitan justru muncul pada
saat penerapan undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.
84
Biasanya pasal-pasal sejenis ini digunakan untuk pihakpihak yang ditangkap ketika berkumpul dengan para
pengguna
narkotika.
Orang
tersebut
juga
dapat
dipergunakan sebagai saksi mahkota untuk memberatkan
suatu tindak pidana narkotika. Pada satu sisi, pasal ini
juga menjadi ancaman serius bagi para pihak yang
mendampingi komunitas pecandu narkotika dalam
bentuk yayasan sosial, rehabilitasi yang dikelola oleh
masyarakat maupun individu.
Ketidaksinkronan delik materiil terdapat pada
ketentuan peran serta masyarakat yang diatur pada pasal
104 sampai pasal 108 BAB XIII Tentang Peran
Masyarakat sesuai UU Nomor 35 Tahun 2009 dimana
dalam
ketentuan
Bab
tersebut
masyarakat
tidak
diwajibkan untuk melaporkan jika mengetahui adanya
penyalahgunaan
narkotika
atau
peredaran
gelap
narkotika. Pasal 107 UU Nomor 35 tahun 2009
Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat
yang berwenang atau BNN jika mengetahui
adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Terkait
dengan informasi
tentang Narkotika,
masyarakat memiliki hak dan tanggungjawab yang
85
tentunya hak dan tanggung jawab ini dapat digunakan
maupun tidak gunakan tergantung pada keputusan
individu masyarakat.
Tanggung jawab memberantas penyalahgunaan
narkotika merupakan tanggung jawab bersama antara
Negara, individu, keluarga dan masyarakat. Oleh sebab
itu, penggunaan Asas Manfaat dan Asas Keseimbangan,
Keserasian dan Keselarasan dalam Perikehidupan
Hukum menonjol dalam bagian pasal-pasal yang
menjelaskan tentang peran dan tanggung jawab
masyarakat.
i. Rehabilitasi
Di dalam Undang-Undang 22 Tahun 1997 konsep
rehabilitasi bagi korban dan pelaku penyalahgunaan
narkotika
adalah
oleh
Negara
dan
Masyarakat.
kelemahan mendasar rehabilitasi korban narkotika
adalah ketidakjelasan batasan antara rehabilitasi oleh
Negara maupun rehabilitasi oleh masyarakat. Sementara
di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tanggung jawab rehabilitasi di fokuskan pada tanggung
jawab Negara yang harus mengatur tata kelola peran
86
masyarakat dalam rehabilitasi bagi korban. Dalam pasal
55 UU Nomor 35 Tahun 2009 menyebutkan:
(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika
yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada
pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau
lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial
yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan
pengobatan
dan/atau
perawatan
melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Sementara Pasal 57:
Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi
medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat
diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau
masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan
tradisional.
Pasal 58 juga menyebutkan:
Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika di
selenggarakan baik oleh instansi pemerintah
maupun oleh masyarakat.
Peran rehabilitasi termasuk rehabilitasi sosial
diatur secara ketat atas ijin dari pemerintah, sesuai Pasal
56 UU Nomor 35 Tahun 2009:
(1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika
dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh
Menteri. (2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang
diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau
87
masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis
Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan
Menteri.
Rehabilitasi
bagi
korban
penyalahgunaan
narkotika merupakan manifestasi Asas Keadilan, Asas
Manfaat,
Asas
Keseimbangan,
Keserasian
dan
Keselarasan Perikehidupan Hukum. Negara menyadari
bahwa Negara harus kuat untuk menjamin peran
masyarakat dalam proses rehabilitasi korban dalam
bentuk yayasan rehabilitasi korban narkotika, klinik
rehabilitasi maupun kegiatan masyarakat sejenisnya
dengan mengatur dalam tata laksana hukum pada
tingkat operasional lapangan melalui peraturan setingkat
Menteri.
j. Penegak hukum
Perubahan signifikan dalam UU Nomor 35 tahun
2009 di bandingkan denan UU Nomor 22 tahun 1997
adalah
dalam hukum formil dalam penanganan
Nrakotika di Indonesia adalah dibentuknya Badan
Narkotika Nasional sebagai Lembaga Pemerintah Non
Kementerian yang merupakan organisasi vertikal dari
pusat sampai ke provinsi dan kabupaten/ kota yang
88
bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 telah memperkuat bidang
pemberantasan
dan
penegakan
hukum
dengan
memberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan
kepada BNN, di samping penyidik dari kepolisian
maupun instansi lain. Ada dua Bab masing-masing Bab
XI dan Bab XII yang mengatur khusus tentang BNN.
Seperti didalam Pasal 64 UU Nomor 35 tahun 2009:
(1) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang
ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang
selanjutnya disingkat BNN.
(2) BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan lembaga pemerintah nonkementerian
yang berkedudukan di bawah Presiden dan
bertanggung jawab kepada Presiden.
Porsi kewenangan besar bagi BNN diberikan oleh
UU Nomor 35 tahun 2009 untuk mencegah dan
memberantas penyalahgunaan dan peredaran narkotika
dan prekursor narkotika. Selain itu BNN juga dapat
memantau, mengarahkan dan meningkatkan kapasitas
89
masyarakat
untuk
melakukan
pencegahan
terhadap
penyalahgunaan narkotika dengan cara memberdayakan
anggota masyarakat. Kewenangan ini menjadikan BNN
menjadi superbodi yang memiliki kekuasaan yang besar
terkait Narkotika di Indonesia. Pasal 70 UU Nomor 35
tahun 2009:
BNN mempunyai tugas:
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional
mengenai pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika;
b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika,
baik yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun masyarakat;
e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika;
f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan
kegiatan
masyarakat
dalam
pencegahan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika;
g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral,
baik regional maupun internasional, guna
90
mencegah dan memberantas peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
h. mengembangkan laboratorium Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan
penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika; dan
j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan
tugas dan wewenang.
Selain dari pada itu, BNN diberi kewenangan
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap
penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor
narkotika beserta dengan kewenangan yang dimilki
penyelidik dan penyidik seperti penangkapan selama 3 x
24 jam dan dapat diperpanjang 3×24 jam ditambah
penyadapan dalam hal melakukan kewenangannya dalam
pemberantasan narkotika. Pasal 71 UU Nomor 35 tahun
2009:
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang
melakukan
penyelidikan
dan
penyidikan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika.
91
k. Jenis barang yang dilarang
Di dalam UU Nomor 22 tahun 1997 narkotika yang
dilarang hanya jenis narkotika yang telah siap pakai atau
narkotika yang sudah jadi. Sedangkan di dalam UU
Nomor 35 tahun 2009 selain narkotika yang telah siap
pakai atau narkotika yang sudah jadi juga diatur tentang
prekusornya atau bahan bahan pembuat narkotika.
Seperti didalam Pasal 5 UU Nomor 35 tahun 2009:
Pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini
meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau
perbuatan yang berhubungan dengan Narkotika
dan Prekursor Narkotika.
Sementara Pasal 129 UU Nomor 35 tahun 2009
berbunyi :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun
dan
denda
paling
banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hukum:
a. memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
b. memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
92
c. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan
Prekursor
Narkotika
untuk
pembuatan
Narkotika;
d. membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan
Narkotika.
93
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa perbandingan muatan materi
antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dapat
disimpulkan bahwa dibandingkan dengan Undang-undang Nomor
22 Tahun 1997, muatan materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 lebih tegas mengatur tindak pidana khusus tentang
narkotika sesuai kebutuhan perangkat undang-undang untuk
menghadapi perkembangan kondisi nasional dan transnasional,
modus operandi penyalahgunaan narkotika yang semakin tinggi,
praktek tindakan penyalagunaan narkotika dan psikotropika yang
menggunakan teknologi canggih yang semakin berkembang
pesat, dan jaringan organisasi kriminal yang luas lintas Negara.
Ketegasan
aturan
tindak
pidana
narkotika
dan
psikotropika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
meliputi perluasan Ketentuan Umum, ketegasan Dasar, Asas dan
Tujuan Undang-Undang, Perluasan Ruang Lingkup Golongan
Narkotika, Pengadaan, Impor dan Ekpor yang ketat, Peredaran
hanya oleh Negara, Label dan Publikasi, Prekursor Narkotika,
Pengobatan dan Rehabilitasi oleh Negara, Pembinaan dan
94
Pengawasan, Pencegahaan dan
Pemberantasan oleh badan
khusus, Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang
Pengadilan oleh Badan Khusus dan berita acara pidana khusus,
meningkatkan Peran Serta Masyarakat, pemberian Penghargaan,
serta Ketentuan Pidana yang semakin berat dan akumulatif.
Sedangkan asas asas hokum dalam undang undang Nomor
22 tahun 1997 yang rasio legis munculnya norma dimuat dalam
penjelasan umum alenia 5 sementara undang undang Nomor 35
tahun 2009 asas asas hukumnya dimasukan dalam rumusan
norma norma dalam undang undang tersebut dan di cantumkan
dalam Pasal 3.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, saran yang
peneliti perlu sampaikan adalah:
1. Bagi penegak hukum seperti Badan Narkotika Nasional dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia perlu memahami
tentang perubahan antara UU No. 22 Tahun 1997 dengan UU
No. 35 Tahun 2009, sehingga penegakan Hukum dalam
tindak pidana Narkotika menjadi lebih baik.
2. Bagi Badan Narkotika Nasional dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia perlu meningkatkan kerjasama intensif
95
untuk meningkatkan kinerja hukum (law enforcement)
tentang penyalahgunaan narkotika sebagaimana
telah
ditetapkan di dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika.
3. Bagi
masyarakat
secara
luas,
perlu
mengembangkan
mekanisme peran serta masyarakat dalam proses pelaksanaan
Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 secara proporsional.
Peran serta secara proporsional akan memberikan dampak
tercapainya asas-asas muatan materi undang undang ini.
96
Download