BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
II.1
TINJAUAN PUSTAKA
Korosi
II.1.1 Pengertian Korosi
Korosi diidentifikasikan sebagai kerusakan logam akibat reaksi kimia atau
elektrokimia antara logam dengan lingkungannya. Lingkungan korosif seperti
CO2, H2S, O2 dan senyawa-senyawa lain umum dijumpai dalam tanah, air,
atmosfer dan aliran proses dalam industri.
Umumnya logam terdapat di alam dalam bentuk oksida logam atau garam.
Pada pemanfaatan logam, dibutuhkan logam dengan kemurnian yang tinggi,
sehingga perlu dilakukan pemurnian. Logam hasil pemurnian ini mempunyai
tingkat energi yang lebih tinggi daripada bentuk asalnya sehingga mempunyai
kecenderungan untuk kembali ke bentuk semula, berupa oksida atau garamnya,
ketika berhubungan dengan lingkungan.
Pada proses korosi pada suhu kamar, perpindahan energi disebabkan oleh
adanya aliran elektron di dalam logam dan aliran muatan listrik akibat pergerakan
ion dalam elektrolit dengan arah aliran yang berlawanan dengan arah aliran
elektron. Sehingga dapat dikatakan bahwa korosi pada suhu kamar merupakan
proses elektrokimia.
II.1.2 Korosi Sebagai Reaksi Elektrokimia
Peristiwa korosi atau pelarutan logam akibat reaksi dengan lingkungannya
dapat digambarkan sebagai suatu sel elektrokimia yang terdiri dari anoda, katoda,
elektrolit, dan konduktor (Gambar II.1)
4
Gambar II.1 Korosi Logam dalam Lingkungan Air Laut sebagai Reaksi Elektrokimia
II.1.2.1 Anoda
Anoda adalah bagian dari permukaan logam yang terkorosi. Saat logam
terkorosi, atom logam kehilangan sebagian elektronnya dan melarut sebagai ion.
Karena atom mengandung jumlah muatan positif (proton) dan muatan negatif
(elektron) yang sama, kehilangan elektron menyebabkan kelebihan muatan positif,
sehingga menghasilkan ion yang bermuatan positif atau kation.
Reaksi elektrokimia untuk pelarutan logam adalah:
Mn+ + ne-
M
Atom logam
Ion logam
elektron
Peristiwa ini disebut oksidasi. Ion logam akan masuk ke dalam larutan, sedangkan
elektron tertinggal di permukaan logam.
II.1.2.2 Katoda
Katoda adalah bagian dari permukaan logam yang tidak melarut, tetapi
menjadi tempat terjadinya reaksi reduksi yang memungkinkan keberlangsungan
korosi. Elektron yang tertinggal di anoda akan bergerak sepanjang logam menuju
permukaan katoda, lalu bereaksi dengan ion terlarut dan menurunkan bilangan
oksidasi ion tersebut.
Reaksi reduksi yang biasa terjadi di lingkungan asam:
2H+ + 2eIon hidrogen
elektron
H2
gas hidrogen
Jika ada oksigen, reaksi yang mungkin terjadi yaitu:
O2 + 4H+ + 4e-
2H2O
5
(untuk larutan asam)
O2 + 4H2O+ 4e-
4OH-
(untuk larutan netral dan basa)
II.1.2.3 Elektrolit
Untuk mendukung reaksi, logam (anoda dan katoda) harus berada dalam
larutan yang memiliki daya hantar listrik. Larutan semacam ini disebut elektolit.
Elektrolit menghantarkan arus dari anoda ke katoda dengan menjadi media
perpindahan ion-ion.
II.1.2.4 Konduktor
Arus listrik hanya dapat mengalir dalam sirkuit yang tertutup. Oleh sebab
itu, anoda dan katoda harus dihubungkan oleh konduktor untuk memberikan jalan
bagi elektron untuk mengalir dari anoda ke katoda. Untuk permukaan logam yang
terkorosi, yang bertindak sebagai konduktor adalah logam itu sendiri.
II.2
Air Laut
Untuk mempelajari korosi logam dalam air laut, dapat dibuat air laut
buatan yang mempunyai sifat fisik yang hampir sama dengan air laut alami.
Dibandingkan dengan air tawar, air laut lebih korosif sebab kelarutan oksigen
dalam air laut lebih besar dibandingkan kelarutan oksigen dalam air tawar.
Oksigen merupakan oksidator yang dapat menimbulkan korosi logam.
Dari segi mikrobiologis, air laut lebih korosif dibandingkan dengan air
tawar. Penyebabnya ialah pada air laut terkandung banyak garam-garam mineral
(3,4%) dan pH 8 (sedikit basa) yang membuat mikroba tumbuh lebih subur
dibanding pada air tawar.
Dalam air laut buatan tidak terdapat mikroorganisme asing sebagai
kompetitor bakteri pereduksi sulfat (SRB) sehingga korosi hanya diakibatkan oleh
aktivitas SRB dan bukan oleh mikroba lainnya.
II.2.1 Temperatur
Temperatur air laut sangat mempengaruhi jenis organisme yang hidup di
dalamnya. Temperatur air laut diperkirakan berkisar antara -2oC sampai 35oC.
6
sedangkan temperatur bagian laut yang lebih dalam umumnya lebih rendah,
walaupun mungkin juga lebih tinggi dibandingkan bagian permukaannya.
II.2.2 Komposisi
Komposisi Kimia air laut sangat kompleks. Kadar garam dalam air laut
atau salinitas dinyatakan sebagai jumlah klorida yang terkandung. Secara
matematis hubungan antara salinitas dan klorinitas dapat dinyatakan sebagai
berikut:
Salinitas = 0,03 + (1,85 x klorinitas)
Baik salinitas maupun klorinitas dinyatakan dalam satuan per mil (0/00).
Komposisi air laut alami dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel II.1 Komposisi Utama Air laut
Komposisi
Jumlah (0/00)
Klorida (CI-)
18,979
2-
Sulfat (SO4 )
2,6486
-
Bikarbonat (HCO3 )
0,1397
-
0,0646
Fluorida (F )
0,0013
Asam borat (H3BO3)
0,0200
Bromida (Br )
-
+
Natrium (Na )
10,5561
2+
Magnesium (Mg )
1,2720
2+
Kalsium (Ca )
0,4001
+
Kalium (K )
0,3800
2+
Stronsium (Sr )
0,0133
II.2.3 Kerapatan
Kerapatan air laut dipengaruhi oleh salinitas dan klorinitas. Jika ρo
merupakan kerapatan air laut pada 0oC yang dinyatakan dalam gram/ ml dan σo
didefenisikan sebagai (ρo -1) x 1000, maka hubungan antara kerapatan dan
klorinitas dapat dinyatakan sebagai:
σo = -0,069 + 1,4708 Cl1 - 0,001570 Cl2 + 0,0000398 Cl3
II.2.4 Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut merupakan faktor penting dalam korosi logam yang
terendam air laut. oksigen terlarut juga mempengaruhi pertumbuhan organisme
7
dalam laut. Kandungan oksigen terlarut di permukaan air laut ditentukan oleh
jenis mikroorganisme yang terkandung dalam air laut.
II.2.5 Tingkat Keasaman
Tingkat keasaman air laut (pH) berkisar antara 8,1 – 8,3. tetapi dapat turun
hingga 7,0 pada kondisi diam (stagnan) akibat pembentukan H2S sebagai produk
metabolisme oleh bakteri pereduksi sulfat.
II.2.6 Kedalaman Air Laut
Kedalaman air laut sangat berpengaruh terhadap temperatur dan
konsentrasi oksigen terlarut. Temperatur akan semakin menurun dengan semakin
dalamnya air laut, karena intensitas cahaya matahari semakin berkurang.
Sementara itu konsentrasi O2 semakin rendah dengan bertambahnya kedalaman
air laut, akibat kelarutan O2 yang rendah dalam air dan kontak udara dengan air
hanya terjadi di permukaan laut saja. Dengan demikian laju korosi akan semakin
berkurang dengan semakin dalamnya posisi logam di bawah permukaan air laut.
II.3
Sulfate-Reducing Bacteria (SRB)
II.3.1 Karakteristik
Kelompok bakteri pereduksi sulfat (Sulfate-Reducing Bacteria atau SRB)
ini adalah gabungan dari berbagai spesies bakteri sejati (Eubacteria) yang secara
morfologi berbeda-beda, obligat anaerob, dan bersifat Gram-negatif (tipe SRB
pembentuk spora dan berfilamen merupakan Gram-positif), yang menggunakan
sulfat atau senyawa sulfur-teroksidasi yang lain sebagai penerima-elektron
terakhir (terminal electron acceptor) dalam proses metabolismenya.
Umumnya, metabolisme SRB bersifat fermentative, namun jarang
menggunakan karbohidrat sebagai sumber karbon. Sel SRB kemungkinan
mengandung sitokrom C dan B. sebagian besar spesies SRB memiliki hidrogenase
serta sulfite reduktase berupa desulfoviridin, desulforubidin atau P582.
Beberapa strain dapat mereduksi nitrat menjadi ammonia dan sebagian
yang lain memiliki kemampuan untuk mengikat nitrogen. Klasifikasi genus dan
jenisnya dilakukan berdasarkan cara bakteri menggunakan senyawa organik:
8
banyak spesies yang melaksanakan oksidasi substrat, misalnya laktat, secara tidak
sempurna menghasilkan CO2 dan asetat, dimana asetat tidak dapat dioksidasi lebih
jauh. Sementara itu, spesies lain mampu mengoksida asetat dan senyawa organik
lain secara sempurna hingga menjadi CO2.
SRB hidup dengan baik di dalam lumpur anaerob, endapan pada dasar
perairan dan lingkungan laut serta saluran pencernaan manusia dan hewan.
Karakter Sulfate-Reducing Bacteria (SRB) yaitu:
-
Sel berbentuk bulat, oval, batang, atau spiral
-
Diameter sel 0,4-3,0 mikrometer
-
Hidup sendiri(uniseluler), berpasang-pasangan atau kadang membentuk
rantai pendek
-
Hidup pada rentang temperature 4-770C, pH antara 5-9 dan tekanan
maksimum 500 bar
-
Pada medium agar membentuk koloni berwarna coklat kekuningan, merah
muda atau putih
-
Menggunakan garam ammonia sebagai sumber nitrogen
II.3.2 Metabolisme
II.3.2.1 Sumber Karbon dan Sumber Energi
Respirasi yaitu proses oksidasi senyawa organik atau senyawa anorganikpereduksi oleh senyawa anorganik yang menghasilkan energi. Apabila oksidator
yang digunakan adalah oksigen, maka proses tersebut dinamakan respirasi aerob,
sedangkan bila oksidator yang digunakan adalah senyawa selain oksigen
(misalnya nitrat atau sulfat) proses tersebut dinamakan respirasi anaerob.
Dari sinilah munculnya istilah tipe metabolisme fermentative bagi SRB,
sebab definisi paling awal tentang fermentasi adalah proses metabolisme yang
berlangsung dalam keadaan tanpa oksigen. Respirasi anaerob melibatkan lintasan
metabolisme yang pada prinsipnya sama dengan respirasi aerob yang terjadi pada
mikroorganisme heterotrof.
Bardasarkan sumber energi dan sumber utama karbon, mikrorganisme
digolongkan menjadi:
9
1. Fotoautotrof, menggunakan cahaya sebagai sumber energi dan CO2
sebagai sumber utama karbon
2. Fotoheterotrof, menggunakan cahaya sebagai sumber energi dan senyawa
organik sebagai sumber karbon
3. Kemoautotrof, menggunakan senyawa kimia sebagai sumber energi dan
CO2 sebagai sumber karbon
4. Kemoheterotrof, menggunakan senyawa kimia sebagai sumber energi dan
senyawa rganik sebagai sumber karbon. Dalam hal ini kemoheterotrof
mempunyai sifat yang agak unik dibandingkan dengan golongan lain yaitu
mampu menggunakan satu jenis senyawa organic sebagai sumber karbon
sekaligus sebagai sumber energi
Dari uraian tersebut, SRB digolongkan sebagai kemoheterotrof, yaitu
menggunakan senyawa kimia (hidrogen) sebagai sumber energi dan senyawa
organik sebagai sumber karbon.
Donor elektron SRB, sebagai istilah lain dari sumber karbon, adalah
produk akhir metabolisme fermentative bakteri anaerob lain, yaitu laktat dan
hidrogen. Sumber karbon yang dapat dioksidasi secara sempurna diubah menjadi
CO2, sedangkan oksidasi tidak sempurna menghasilkan asetat, yang tidak dapat
dioksidasi lebih lanjut oleh mayoritas spesies bakteri SRB. Karena itu spesies
tersebut tidak dapat menggunakan asetat sebagai senyawa sumber karbon. Namun
ada pula segolongan kecil SRB yang dapat menggunakan asetat sebagai sumber
karbon dan mengoksidasinya secara sempurna menghasilkan CO2.
Pada mikroorganisme yang menggunakan sulfat sebagai sumber sulfur,
reaksi biosintesa yang normal terjadi adalah reduksi sulfat(valensi S+6) menjadi
sulfide(valensi S-2). Proses reduksi yang disebut dengan assimilatory sulfate
reducing ini, berada dari sisi mekanisme enzimatik dan fungsi metabolik sulfat
sebagai penerima elektron terakhir yang terjadi pada SRB, walaupun sama-sama
menghasilkan sulfida. Proses reduksi sulfat yang terjadi pada metabolisme SRB
ini disebut dissimilatory sulfate reduction.
Reduksi sulfat menjadi sulfida melibatkan transfer empat elektron. Pada
dissimilatory sulfate reduction, reduksi sulfat menjadi sulfite berlangsung dengan
katalisa tiga enzim:
10
SO42- + ATP
APS + P-P
P-P
2P
APS
+ H2O
+ 2e
AMP + SO3
(ATP sulfurylase)
(pyrophosphorylase)
2-
(APS reductase)
Ditinjau dari mekanismenya, konversi tersebut serupa dengan oksidasi
SO3-2 menjadi
SO42- oleh Thiobacillus dan bakteri-bakteri ungu; intermediet
(produk antara) yang berperan penting adalah Adenylphosphosulfate (APS).
(Catatan : ATP = Adenosinetriphospate, AMP = Adenosinemonophospate, APS =
Adenylphosphosulfat, P-P = Pyrophosphate)
Gambar II.2 Dissimilatory Sulfate Reduction, Pembentukan Sulfida dari Sulfit
oleh SRB
Reduksi sulfit oleh Desulfovibrio terjadi melalui beberapa tahap yang
digambarkan oleh dissimilatory sulfate reduction berbeda dengan assimilatory
sulfate reduction dalam hal jumlah enzim yang digunakan.
Sedangkan assimilatory sulfate reduction berlangsung melalui intermediet
aktif yang berbeda, yaitu Adenylylsulfate kinase, seperti digambarkan pada
Gambar II.3 berikut:
11
Gambar II.3 Assimilatory sulfate reduction, menghasilkan H2S untuk digunakan dalam
reaksi biosintesa
II.3.2.2 Peranan Hidrogen
Hidrogen berperan penting dalam metabolisme SRB, terutama bagi
spesies yang tidak dapat menggunakan asetat sebagai sumber karbon. Hidrogen
dihasilkan dari penggabungan atom-atom hidrogen yang dilepaskan saat oksidasi
senyawa karbon (misalnya laktat) berlangsung. Hidrogen ini lalu berdifusi
menembus membrane sel. Apabila terdapat sulfat, hidrogen tersebut dioksidasi
oleh hidrogenase periplasmik yang mentransfer elektron ke dalam sel dan
mereduksi sulfat secara intraseluler.
Dengan demikian hidrogen berfungsi sebagai penyedia elektron bagi
reduksi menjadi sulfida. Jika sulfat tidak tersedia, sedangkan dalam lingkungan
SRB terdapat bakteri metanogen (bakteri penghasil metana), transfer hidrogen
dapat dilakukan antar spesies (simbiotik) sehingga SRB masih tetap dapat hidup
dan tumbuh dengan baik.
12
Gambar II.4 Hydrogen cycling dalam SRB
II.3.3 Simbiosis (Siklus Sulfur)
Sulfur, salah satu komponen penting pembangun sel mahluk hidup,
banyak terdapat pada lapisan kulit bumi, terutama dalam bentuk sulfat terlarut
atau senyawa sulfur organik teroksidasi. Sulfur tereduksi dalam bentuk H2S juga
terdapat pada biosfer sebagai hasil metabolisme mikroorganisme dan, dalam
jumlah yang kecil, sebagai produk aktivitas vulkanik. Kecuali ia mudah
teroksidasi oleh oksigen, baik secara spontan maupun dengan bantuan bakteri.
Asimilasi sulfat memiliki kemiripan dengan asimilasi nitrat. Pertama,
dalam hal perlunya reduksi atom sulfur dalam senyawa sulfat agar dapat
direaksikan dengan senyawa organik, sebab dalam mahluk hidup, sulfur hamper
selalu hadir dalam bentuk tereduksi sebagai gugus –SH atau –S-S-. Kedua, nutrisi
yang diasimilasi hanya secukupnya sekedar untuk menunjang pertumbuhan
organisme sehingga tidak ada kelebihan produk reduksi yang dikeluarkan ke
lingkungan.
Ketika senyawa organik yang mengandung sulfur mengalami mineralisasi,
sulfur dilepaskan dalam bentuk senyawa anorganik tereduksi sebagai H2S. proses
ini menyerupai amonifikasi, dimana nitrogen dilepaskan dari bahan organik dalam
bentuk senyawa anorganik tereduksi sebagai ammonia.
Pemanfaatan sulfat dalam sintesa unsur pembangun sel (cell constituents)
yang
mengandung
sulfur
dan
dekomposisi
senyawa-senyawa
tersebut
menghasilkan reaksi overall reduksi sulfat menjadi H2S. H2S juga dibentuk
langsung dari sulfat melalui aktivitas SRB. SRB mengoksidasi senyawa organik
dan molekul hidrogen dengan menggunakan sulfat sebagai oksidator. Peran SRB
13
dalam siklus sulfur dapat dibandingkan dengan peran bakteri pereduksi nitrat
dalam siklus nitrogen. Aktivitas SRB nampak pada lingkungan yang kadar
sulfatnya tinggi sebagai bau busuk H2S dan warna yang hitam pekat. Warna hitam
ini disebabkan oleh akumulasi besi sulfida.
H2S hasil dekomposisi senyawa yang mengandung sulfur, atau reduksi
sulfat, dan aktivitas vulkanik sebagian besar dikonversi ke dalam bentuk sulfat.
Hanya sedikit yang berubah menjadi sulfur (valensi 0). Oksidasi biologis H2S dan
sulfur elemental ini dilakukan oleh bakteri fotosintentik dan bakteri kemoautotrof,
yang berlangsung secara aerob oleh bakteri sulfur tak berwarna (colorless sulfur
bacteria) atau secara anaerob oleh bakteri sulfur ungu dan hijau. Karena oksidasi
ini menghasilkan ion hidrogen, maka efek dari proses ini membuat lingkungan
sekitarnya menjadi asam
Gambar II.5 Siklus Sulfur
14
Gambar II.6 Kolonisasi bakteri yang menggambarkan proses korosi di bawah biofilm(11)
Gambar II.6 memperlihatkan proses yang terjadi akibat timbulnya biofilm,
sedangkan biofilm itu sendiri merupakan suatu bentuk simbiosis antara bakteri
aerob dengan bakteri anaerob (yang diantaranya adalah SRB). Bakteri aerob yang
hidup di dekat permukaan luar biofilm mengkonsumsi oksigen dan menyediakan
habitat anaerob yang sesuai bagi pertumbuhan SRB pada permukaan logam.
II.3.4 Pertumbuhan
Ada beberapa tipe pertumbuhan, diantaranya adalah yang diamati melalui
jumlah/kuantitas dan atau ukuran/kualitas sel. Populasi bakteri merupakan
gambaran jumlah atau massa sel yang ada pada saat tertentu, yang dinyatakan
dalam konsentrasi atau kerapatan sel.
Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor fisik, kimia dan biologis
lingkungannya seperti temperatur, pH, nutrisi, kadar oksigen, dan sumber energi
SRB yaitu: sulfat.
Pengamatan fase pertumbuhan dilakukan dengan membuat grafik
jumlah/massa sel terhadap waktu pengamatan.
Fase pertumbuhan terbagi menjadi 7 fase yaitu:
1. Fase adaptasi (Initial phase of growth)
2. Fase pertumbuhan dipercepat (accelerated phase of growth)
3. Fase pertumbuhan eksponensial (logarithmic phase of growth)
15
4. Fase pertumbuhan diperlambat (decelerated phase of growth)
5. Fase stasioner (stationary phase of growth)
6. Fase kematian dipercepat (accelerated phase of death)
7. Fase kematian eksponensial (logarithmic phase of death)
Dua fase terakhir seringkali dirangkum menjadi fase kematian saja untuk
memudahkan.
Gambar II.7 Kurva Pertumbuhan Bakteri
•
Fase Adaptasi
Fase ini disebut juga fase lag karena pertumbuhannya tidak nyata terlihat.
Pada fase ini bakteri beradaptasi dengan lingkungan barunya, yaitu medium dan
nutrisi yang tersedia, agar dapat melangsungkan metabolisme dan perkembangan
selanjutnya.
•
Fase Pertumbuhan Dipercepat
Pada tahap ini bakteri sudah dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Apabila lingkungan menyediakan cukup nutrisi, temperatur dan
pH yang optimum, maka pembelahan bakteri akan semakin cepat.
•
Fase Eksponensial
Pada fase ini, pertumbuhan bakteri terlihat pesat, karena terjadi
peningkatan jumlah bakteri secara eksponensial. Metabolisme berlangsung
minimum dan singkat, tidak banyak produk metabolit yang dihasilkan sebab
energi yang diperoleh dari oksidasi substrat digunakan untuk pembentukan
biomassa. Peningkatan yang pesat ini harus diimbangi dengan faktor biologis;
berupa bentuk dan sifat jasad serta lingkungan yang ada, ada faktor non-biologis,
16
berupa kandungan nutrisi dalam medium, temperatur, pH, kadar oksigen dan
cahaya.
•
Fase Pertumbuhan Diperlambat
Pengurangan laju pertumbuhan disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya ialah terbatasnya jumlah nutrien dalam medium, konsentrasi bakteri
dalam medium mulai jenuh (terjadi kompetisi yang tinggi antar sel bakteri dalam
memperebutkan nutrisi yang terbatas) dan pH yang semakin menurun akibat
akumulasi produk metabolisme.
•
Fase Stasioner (pertumbuhan konstan)
Nutrien telah berkurang dan bakteri telah jenuh (jumlah nutrisi yang ada
tidak dapat lagi mengakomodasikan kebutuhan seluruh sel sehingga sel yang tidak
dapat bertahan akan mati). Laju pertumbuhan sama dengan laju kematian. Kondisi
ini kemungkinan besar tidak terjadi pada bakteri yang hidup di daerah kaya sulfat
dan terjadi aliran sehingga pertumbuhan tidak dibatasi oleh ruang.
•
Fase Kematian
Pada fase ini bakteri sudah tidak dapat lagi mentoleransi keadaan
lingkungan, bertumbuh atau mempertahankan diri. Meskipun dapat terjadi siklus
sulfur dimana sulfida dioksidasi kembali menjadi sulfat, namun perbandingan
jumlah bakteri pereduksi sulfat dan bakteri pengoksidasi sulfur dapat
mempengaruhi cepat atau lambatnya fase kematian ini.
II.4
Korosi Mikrobiologis
Korosi mikrobiologis bisa didefenisikan sebagai kerusakan logam oleh
proses-proses yang berlangsung, baik secara langsung maupun tak langsung,
sebagai hasil dari aktivitas metabolisme ke mikroorganisme.
Pentingnya meneliti korosi ialah untuk memperoleh kondisi optimal dalam
pencegahan korosi dan penanggulangannya. Korosi di industri merupakan sesuatu
yang tak terelakkan. Korosi menjadi hal yang penting sebab biaya perawatan dan
perbaikan akan bertambah bila terjadi kerusakan pada bahan, khususnya logam.
Diperoleh fakta bahwa pendapatan per kapita Negara (Gross National Product,
GNP) di Amerika Serikat pada tahun 1992 bisa berkurang sebesar 4,2 % (setara
290 juta dolar) akibat korosi.
17
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, didapati fakta bahwa korosi
mikrobiologis lebih berbahaya dibandingkan korosi biasa dan korosi abrasi.
Korosi mikrobiologis bukan hanya korosi biasa (merata), tetapi merupakan
gabungan efek zat kimia, kelakuan mekanik dan elektrokimia sehingga dampak
yang ditimbulkan jelas lebih parah.
II.4.1 Pengaruh dari Mikroorganisme dalam Proses Korosi
Mikroorganisme
memberikan
kontribusi
terhadap
proses
korosi
disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
1. Pengaruh langsung terhadap laju reaksi anodik dan katodik
2. Perubahan dari hambatan film dipermukaan logam akibat metabolisme
mikroorganisme maupun dari produk metabolismenya
3. Pembentukan lingkungan yang korosif
4. Pencetusan sesuatu penghalang (barrier) oleh pertumbuhan dan
multiplikasi mikroba sehingga menghasilkan sel-sel konsentrasi elektrolit
pada permukaan logam.
(Catatan: masing-masing faktor bergantung pada karakteristik fisiologis dari
mikroorganisme yang bersangkutan)
Untuk perkembangan dan pertumbuhannya, kebanyakan mikroba harus
memiliki komponen-komponen kimia organik dan anorganik untuk memasok
oksigen, nitrogen, hidrogen, atau sulfur sesuai kebutuhan metabolisme masingmasing. Komponen-komponen ini bervariasi pemakaiannya tergantung dari
mikroba masing-masing. Literatur tentang mikrobiologi melaporkan bahwa
sejumlah organisme yang menjadi perhatian dalam korosi mikrobiologis diyakini
autrofilik dan mampu mengembangkan pertumbuhan dalam lingkungan yang
miskin akan komponen-komponen organik.
II.4.2 Mikroorganisme-mikroorganisme yang Berkaitan dengan Korosi
Mikroorganisme seringkali dikelompokkan berdasarkan kemampuan atau
ketidakmampuan untuk tumbuh dalam lingkungan yang mengandung oksigen
atmosferik. Mikroba-mikroba dengan baik berkembang dalam lingkungan
18
tersebut, sedangkan mikroba-mikroba anaerobik memilih lingkungan yang lebih
cocok untuk pertumbuhannya dengan konsentrasi oksigen terlarut mendekati nol.
Asal dari reaksi-reaksi korosi yang didukung oleh beberapa kelakuan
berbeda dari mikroba aerobik tentunya berbeda dengan yang dimunculkan oleh
mikroba anaerobik. Mikroba-mikroba yang mempunyai andil dalam korosi logam
bisa dikelompokkan dalam satu maupun dua kelompok sebagai berikut:
II.4.2.1 Mikrooraganisme Anerobik
Beberapa mikroorganisme anaerobik yang menyebabkan korosi disajikan
dalam Tabel II.2:
Tabel II.2 Mikroorganisme Anaerobik Penyebab Korosi
Jenis
Contoh
Keterangan
Sulfate-Reducing Vibrio
Sporovibrio desulfuricans (Beijerinck)
Starkey
Bentuk batang, melengkung, kadang spiral
Ukuran 1-5 mikron
Motil (aktif bergerak)
Mikroba Pereduksi
Nitrat
Escherichia coli
Pseudomonas fluorescens
P. aeruginosa
Micrococcus denitrificans
Proteus vulgaris
Serratia marcescens
Methanobacterium omelianskii
Methanococcus mazei
Methanobacterium sohngenii
Bakteri penghasil metana
II.4.2.2 Mikroorganisme Aerobik
Beberapa mikroorganisme aerobik yang menyebabkan korosi disajikan
dala Tabel II.3 :
Tabel II.3 Mikroorganisme Aerobik Penyebab Korosi
Jenis
Kelompok
Bakteri sulfur
Thiobacili
Bakteri
sulfur
Bakteri besi
Mikroorganisme
Lain-lain
Contoh
Keterangan
Thiobacillus thioparus
Beijerinck
Thiotrix sp.
Beggiatoa sp.
Thioploca sp.
Schizomycetes
Ordo III Chlamydobacteriales
Famili Chlamydobacteriaceae
Generasi I-IV
Bakteri pembentuk lender
Fungi
Alga
Protozoa
Bryozoa
19
Mampu
menyimpan
sulfur
untuk
sementara waktu di dalam sel sebelum
mengoksidasinya
menjadi
sulfat
(Thiobacillus dan bakteri sulfat)
Pada jenis bakteri sulfat generasi merah
dan ungu terdapat bakteriopurpurin
II.4.3 Mekanisme Korosi Oleh SRB
II.4.3.1 Mekanisme Korosi Oleh SRB menurut Kuhr dan Vlugt(1934)
Mekanisme yang dikemukakan oleh Von Wolzogen Kuhr dan Van der
Vlugt ini adalah mekanisme korosi baja oleh mikroorganisme yang pertama kali
diajukan. Menurut mereka, SRB menggunakan hidrogen katodik untuk reduksi
disimilasi sulfat menurut reaksi:
Anodik
: 4 Fe
Disosiasi air
: 8 H2O
4 Fe2+ + 8 e
8 H+ + 8 OH-
Reaksi Katodik: 8 H+ + 8 e-
8 Ho
Depolarisasi katodik oleh SRB : SO42- + 8 Ho
Produk korosi
: Fe2- + S2-
S2- + 4H2O
FeS dan
3Fe2+ + 6OHReaksi overall
: 4 Fe + SO42- + 4H2O
3Fe(OH)2
3Fe(OH)2 +
FeS + 2 OH-
Pada mekanisme korosi diatas, laju korosi ditentukan oleh reaksi
depolarisasi yang merupakan reaksi paling lambat. Hal itu disebabkan oleh
adsorpsi atom hidrogen oleh SRB yang membutuhkan energi aktivasi besar.
Selain itu, perbandingan jumlah produk korosi (FeS) dengan jumlah besi mulamula seharusnya adalah 1:4. Namun kenyataannya, rasio ini bervariasi antara
0,9:1 sampai 50:1.
II.4.3.2 Mekanisme Korosi oleh SRB menurut Booth dan Tiller (1960)
Mekanisme yang diajukan oleh Booth dan Tiller merupakan koreksi dan
penyempurnaan teori depolarisasi katodik SRB oleh Kuhr dan Vlugt. Penelitian
terhadap polarisasi katodik menggunakan SRB yang ditumbuhkan dalam media
tanpa sulfat serta variasi dengan dan tanpa besi sulfida, menegaskan adanya dua
mekanisme depolarisasi yang berbeda.
Selain konsumsi hidrogen katodik oleh reaksi enzimatik bakteri
hidrogenase positif, terdapat pula bukti adanya depolarisasi katoda oleh padatan
besi sulfida. Terlihat adanya laju korosi yang tinggi pada sistem tanpa SRB
apabila sulfida ditambahkan secara terus menerus ke dalam sistem. Dari penelitian
tersebut disimpulkan bahwa keberadaan lapisan sulfida sangat penting dan
20
menentukan laju korosi secara signifikan. Teori ini pun belum tentu berlaku untuk
kuningan, karena ZnS belum tentu lebih katodik daripada Cu-Zn.
II.4.4 Faktor yang Mempengaruhi Korosi oleh SRB
Laju korosi oleh SRB ditentukan oleh adanya faktor-faktor berikut:
a. Sulfida dan besi sulfida, sehingga tidak berlaku untuk kuningan
b. Sulfur elemental, sulfat dan besi sulfat sehingga tidak berlaku untuk kuningan
c. Adanya perbedaan konsentrasi O2 (pembentukan Oxygen Concentration Cell)
d. Adanya inhibitor korosi dan inhibitor pertumbuhan mikroba
II.4.5 Bentuk Serangan Korosi Oleh SRB
SRB mengkorosi logam melalui beberapa bentuk morfologi serangan
korosi seperti berikut:
1. Korosi sumuran lokal (local pitting corrosion)
Sering terjadi pada baja dengan kekuatan rendah dan non-ferrous alloy,
diakibatkan oleh aktivitas SRB yang tumbuh dalam lapisan lendir pada
permukaan logam.
2. Korosi retakan (cracking corrosion)
Serangan korosi berbentuk retakan ada yang dipengaruhi oleh sulfida
(sulphide-induce stress corrosion cracking, SCC), dan oleh hidrogen
(hydrogen-induce cracking) yang diakibatkan oleh permeasi hidrogen
dalam kondisi konsentrasi sulfida tinggi.
II.5
Kuningan
II.5.1 Sifat Umum
Kuningan merupakan campuran logam (Alloy) yang komponen utamanya
adalah tembaga (Cu) dan seng (Zn). Konsentrasi seng (Zn) yang terdapat di dalam
kuningan berkisar antara 10-40%. Beberapa jenis kuningan juga mengandung
campuran logam lain dalam jumlah yang kecil seperti timah, alumunium, timbal,
besi atau mangan. Kuningan merupakan campuran logam yang penting karena
kemudahan penggunaannya, ketahanan terhadap korosi, dan penampilannya yang
menarik.
21
Penambahan seng pada tembaga mengakibatkan penurunan titik leleh.
Kuningan 95% Cu dan 5% Zn titik lelehnya 1949 oF, kuningan 50% Cu dan 50%
Zn titik lelehnya 1616 oF. Penambahan seng pada tembaga juga mengakibatkan
perubahan warna. Kuningan 10% Zn berwarna perunggu, kuningan 15% Zn
berwarna emas, kuningan 20-38% Zn berwarna kuning. Saat seng mencapai 45%,
kuningan menjadi berwarna putih perak, rapuh, dan kehilangan karakteristiknya.
Tensile strength maksimum dicapai jika kuningan mengandung 55% tembaga dan
ductility maksimum dicapai jika kuningan mengandung 70% tembaga.
Contoh beberapa jenis kuningan dan sifatnya dapat dilihat pada Tabel II.4.
Tabel II.4 Sifat mekanik beberapa jenis kuningan
Material
Komposisi
Red brass
85 Cu, 15 Zn
Tensile Strength
Yield strength
Elongation
Rockwell Hardness
hard
soft
hard
soft
hard
soft
hard
soft
65000
40000
53000
15000
10
50
B72
B5
Yellow brass
66 Cu, 34 Zn
73000
45000
60000
17000
10
60
B80
B12
Cartridge brass
70 Cu, 30 Zn
76000
47000
62000
17000
10
60
B83
B15
low brass
80Cu, 20 Zn
73000
43000
60000
16000
8
50
B81
B10
Karena sifatnya yang khas, setiap jenis kuningan memiliki manfaat
tersendiri. Alpha brass adalah kuningan yang cocok digunakan dalam suasana
dingin sedangkan beta brass cocok digunakan dalam suasana panas. Cartridge
brass banyak digunakan untuk wilayah yang dalam sedangkan Red brass
digunakan untuk pipa air panas dalam suasana korosif. Karena sifatnya yang
mudah dibentuk dan berwarna kuning keemasan, low brass banyak digunakan
sebagai perhiasan.
II.5.2 Korosi Pada Kuningan
Secara umum, kuningan mengalami dua masalah korosi yang utama yaitu
dezinsifikasi (dezincification) dan korosi retak tegangan (Stress corrosion
cracking).
II.5.2.1 Dezinsifikasi (dezincification)
Dezinsifikasi adalah pengikisan atau pelarutan komponen aktif dari
kuningan yaitu seng (zinc) akibat korosi. Dezinsifikasi dapat dikenali melalui sisa
tembaga yang berpori.
22
Terdapat dua jenis dezinsifikasi berdasarkan serangan yang menyebar di
sekitar titk awal korosi atau yang menembus secara tegak lurus kedalam logam,
yaitu jenis sumbat (plug type) dan jenis lapisan (layer type). Dezinsifikasi jenis
lapisan lebih cepat merusak dibanding jenis sumbat terutama pada material
lembaran tipis dan silinder.
Perbedaan jenis kuningan menyebabkan perbedaan serangan dezinsifikasi.
Kuningan alumunium lebih rentan terserang dezinsifikasi jenis sumbat daripada
jenis lapisan. Kuningan yang mengandung 85% tembaga atau lebih, secara umum
lebih tahan terhadap dezinsifikasi.
Laju dezinsifikasi dipengaruhi oleh komposisi elemen kuningan,
temperatur, adanya bekas tegangan, konsentrasi oksigen dan klorida, dan kontak
galvanik. Penambahan besi dan mangan pada kuningan dapat mempercepat
dezinsifikasi tetapi penambahan arsen, antimony, fosfor, bismuth dan timah pada
konsentrasi yang rendah dapat mereduksi laju dezinsifikasi. Peningkatan
temperatur, adanya retakan, konsentrasi oksigen yang rendah, adanya klorida, dan
kontak galvanik dengan logam mulia akan mempercepat laju dezinsifikasi.
II.5.2.2 Korosi Retak Tegangan (Stress Corrosion Cracking = SCC)
Korosi retak tegangan adalah korosi akibat lingkungan yang korosif,
rentannya logam paduan (alloy) terhadap korosi, dan tegangan atau beban statik
yang terjadi secara simultan. Hal-hal yang mempengaruhi korosi retak tegangan
adalah temperatur, komposisi lingkungan, komposisi logam, tegangan, dan
struktur logam.
Pengaruh komposisi lingkungan sangat spesifik terhadap terjadinya korosi
retak tegangan pada setiap jenis paduan. Korosi retak tegangan pada kuningan
dapat terjadi dalam lingkungan yang mengandung ammonia (season cracking)
tetapi tidak tejadi dalam lingkungan yang mengandung klorida. Pengaruh berbagai
komposisi lingkungan terhadap korosi retak tegangan beberapa jenis kuningan
dapat dilihat pada Tabel II.5.
Tabel II.5. Pengaruh berbagai komposisi lingkungan terhadap SCC kuningan
Jenis Kuningan
Red Brass
Cartidge Brass
Cl-
OH-
S-2
1
4
1
4
5
4
1
4
5
23
SO4-2
NH3
HCO4-2
Air laut
1
4
1
Yellow Brass
4
4
1
4
5
4
2
Admirality Brass
1
4
1
4
5
4
1
Alummunium Brass
1
4
1
4
5
1
Naval Brass
1
4
1
4
5
1
Keterangan Tabel:
1. Tahan
2. Tahan kecuali jika dikeraskan atau didinginkan
3. Tahan kecuali dinaikkan sensitivitasnya
4. Tahan kecuali pada temperature atau konsentrasi tertentu
5. Tidak tahan
II.5.3 Korosi Kuningan dalam Air Laut oleh SRB
II.5.3.1 Korosi Kuningan dalam Air Laut
Kondisi air laut merupakan kondisi yang cocok untuk terjadinya
dezinkifikasi. Hal ini disebabkan oleh aliran yang stagnan atau kecil, pH netral,
dan kandungan garam yang tinggi. Sedangkan korosi retak tegangan (SCC) pada
kuningan hanya terjadi jika air laut mengandung amonia yang biasanya bersumber
dari bangkai binatang laut (www.coopper.org).
II.5.3.2 Korosi Kuningan dalam Lingkungan Akuatik Mengandung S-2
Sulfida (S2-) dalam air laut tidak mengakibatkan kerusakan yang
signifikan pada logam tembaga dan turunannya, termasuk pada kuningan. Namun
terdapat pengecualian, yaitu bila terdapat Oksigen terlarut atau bila pada kondisi
anaerob suatu air yang mengandung Sulfida diaerasi oleh air bersih
(www.coopper.org).
II.5.3.3 Hipotesa Korosi Kuningan dalam Air Laut oleh SRB
Berdasarkan berbagai literatur yang telah dikemukakan di atas, penulis
menyimpulkan bahwa korosi mungkin terjadi pada kuningan di dalam air laut
yang mengandung SRB. Korosi pada kuningan tersebut dimungkinkan
diakibatkan oleh biofilm yang tidak merata.
II.6
Inhibitor Korosi
Inhibitor korosi ialah suatu zat yang ditambahkan dalam konsentrasi kecil
ke dalam sebuah lingkungan, akan menyebabkan penurunan laju korosi yang
terjadi dalam lingkungan tersebut [Fontana, 1987]. Inhibitor untuk suatu sistem
24
aqueous (terutama air pendingin) harus mudah larut dalam air. Biarpun demikian
inhibitor akan bereaksi membentuk lapisan pelindung yang tak larut dalam air dan
mengendap pada permukaan logam. Ditinjau dari mekanisme inhibisi, inhibitor
dapat digolongkan menjadi:
1. Inhibitor Katodik
2. Inhibitor Anodik
3. Inhibitor Adsorpsi
II.6.1 Inhibitor Katodik
Inhibitor ini dapat menghambat reaksi katodik atau mengendap secara
selektif di daerah katoda, sehingga meningkatkan tahanan listrik dan menghambat
difusi spesi yang mudah tereduksi ke permukaan katoda. Contoh: Dalam suasana
asam dapat digunakan senyawa-senyawa Arsen dan Antimon, sedangkan untuk
suasana basa digunakan senyawa-senyawa berupa ZnSO4, CaCO3 dan MgCO3.
II.6.2 Inhibitor Anodik
Inhibitor jenis ini dapat meningkatkan polarisasi anoda melalui reaksi
dengan ion-ion logam yang terkorosi untuk membentuk selaput tipis pasif yang
terdiri dari logam oksida, logam hidroksida atau logam metalat.
Inhibitor anodik dapat digolongkan menjadi 2 jenis yaitu:
1. Inhibitor Oksidator, mengoksidasi logam secara langsung untuk
mendapatkan lapisan pasif, misalnya ion khromat.
2. Inhibitor bukan Oksidator, membutuhkan oksigen untuk mengoksidasi
logam membentuk lapisan pasif. Inhibitor ini antara lain: benzoate,
molibdat, silikat, borat, dan posfat (PO43-)
II.6.3 Inhibitor Adsorpsi
Inhibitor adsorpsi ini mempunyai gugus-gugus fungsional yang mampu
membentuk ikatan “Chemisorbed” dengan permukaan logam, antara lain gugus
amina (NH2), karboksilat (COOH) dan fosfonat (PO3H2). Inhibitor ini bekerja atas
dasar mekanisme adsorpsi, membentuk film inhibitor “Chemisorbed” pada
25
permukaan logam sehingga melindungi permukaan logam dari lingkungan yang
korosif atau menghambat difusi spesi mudah tereduksi menuju permukaan logam.
Dalam penelitian ini, inhibitor korosi yang akan digunakan adalah Kalium
Vanadat, Na-Benzoat dan Glutaraldehid. Alasan penggunaan inhibitor ini adalah
karena mampu mencegah korosi merata sekaligus mencegah korosi mikrobiologis
(dengan cara menginhibisi pertumbuhan SRB).
II.6.4 Kalium Vanadat
II.6.4.1 Vanadat sebagai Inhibitor Sistem Biologis
Vanadium telah dipertimbangkan sebagai satu dari 14 logam berat yang
bersifat merusak, daya racun vanadium ditunjukkan dengan kemampuannya
menghambat
kerja
sistem-sistem
enzim
seperti
monoamine
oksidase,
adenosinetriphosphatase (ATP-ase), tirosinase, kolinesterase dan kolesterol
sintetase.
Sementara itu, vanadat (vanadium dengan valensi +5) telah diketahui
menjadi inhibitor beberapa enzim Na-K ATP-ase, tetapi enzim-enzim ini hampir
tidak dipengaruhi vanadium bervalensi +4 (vanadium tereduksi).
II.6.4.2 Vanadat sebagai Inhibitor Korosi Merata
Vanadat
mencegah
korosi
dengan
cara
menjadi
pasivator
dan
mempasifkan logam sehingga logam terbendung kecenderungannya untuk
terdegradasi (baca: terkorosi).
Cara kerja inhibitor pasivator dalam mencegah korosi ialah dengan cara
diadsorbsi oleh permukaan logam, kemudian menurunkan energi bebas total dari
system dan meningkatkan kestabilan dari film pasif (“film pelindung”).
Vanadat mempunyai dua bentuk yaitu ortovanadat (VO43-) dan
metavanadat (VO3-). Keduanya merupakan inhibitor pasivator yang baik namun
berbeda cara kerjanya dan mempunyai keunikan masing-masing.
II.6.5 Natrium Benzoat
Inhibitor ini termasuk jenis bukan pengoksida. Menurut Slaiman dan
Davis penggunaan Na-Benzoat untuk proteksi besi dari serangan korosi lebih
efektif dalam larutan yang mengandung oksigen terlarut.
26
Inhibitor Na-Benzoat ini akan menstabilkan spesi Fe (II) terlarut dalam
bentuk ferrobenzoat. Dengan adanya oksigen terlarut dalam larutan maka spesi Fe
(II) terlarut akan mudah teroksidasi lebih lanjut membentuk Fe2O3, sebagai
komponen utama dari film stabil.
Dengan demikian, pasivasi besi dalam larutan yang mengandung benzoat
dapat dinyatakan sebagai oksidasi langsung dari besi menjadi Fe2O3.
II.6.6 Glutaraldehid
Glutaraldehid adalah salah satu inhibitor korosi yang mudah larut dalam
air, alkohol, dan benzene, tidak peka terhadap sulfur dan compatible dengan
bahan kimia lainnya, toleran terhadap garam-garam dan kesadahannya. Inhibitor
ini dapat bereaksi dengan ammonia, gugus amine primer dan oxygen scavenger.
Glutaraldehid mempunyai rumus kimia OHC(CH2)3CHO atau disebut juga 1,5Pentanadial dengan berat molekul sebesar 100,13 g/mol.
Glutaraldehid menginhibisi korosi baja dalam media asam dengan cara
adsorpsi dan interaksi dengan permukaan logam. Glutaraldehid sudah
diaplikasikan sebagai inhibitor korosi dalam peralatan produksi ekstraksi gas alam
dan minyak bumi.
Glutaraldehid dapat mencegah korosi pada peralatan untuk penanganan
gas alam yang mengandung hidrogen sulfida. Hal ini dimungkinkan karena
glutaraldehid dapat mempengaruhi proses kimia yang mengubah
hidrogen
sulfida yang bersifat korosif menjadi senyawa belerang organik yang menginhibisi
korosi. Bahan kimia yang memiliki sifat mengurangi aktivitas pertumbuhan
bakteri disebut biosida. Glutaraldehid merupakan biosida yang sangat penting,
mempunyai dua gugus fungsional yang terhubung dengan jembatan karbon.
Walaupun glutaraldehid meningkatkan pH, namun stabilitas kimia dari
larutan glutaraldehid dalam lingkungan alkali kurang baik sehingga membatasi
kemungkinan aplikasinya.
27
Download