Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2015 STUDI KERENTANAN WILAYAH PESISIR BALI TERHADAP TSUNAMI Rima Gusriana Harahap 1), Wahyudi2), dan Kriyo Sambodho 2) 1) Program Studi Magister Teknik Manajemen Pantai, FTK-ITS Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya, 60111, Indonesia e-mail: [email protected] 2) Jurusan Teknik Manajemen Pantai, FTK-ITS ABSTRAK Busur Kepulauan Bali dan Nusa Tenggara merupakan salah satu jalur gempa yang cukup aktif di Nusantara. Seismisitas tinggi tersebut dipengaruhi oleh adanya zona subduksi antara lempeng Indo-Australia dan Eurasia di selatan, serta patahan naik busur belakang Bali-Flores di bagian utara. Pesisir selatan Bali merupakan kawasan pemukiman dan pariwisata padat yang memiliki risiko tsunami yang serius. Dengan simulasi montecarlo dan perangkat lunak MIKE 21, diperoleh tinggi maksimum tsunami di bibir pantai adalah 15 meter dan jarak genangan mencapai dua kilometer. Dengan analisa kerentanan, didapatkan nilai Indeks Kerentanan Pesisir (IKP) di tiga zona; Zona A: 194 (sangat rentan), Zona B: 60 (cukup rentan), dan Zona C: 11 (tidak rentan). Selanjutnya, indeks kerentanan disajikan secara informatif dalam bentuk peta sebagai upaya meminimalkan level risiko terhadap tsunami. Kata kunci: Subduksi, Tsunami, Kerentanan. PENDAHULUAN Busur Kepulauan Bali dan Nusa Tenggara merupakan salah satu bagian jalur gempa teraktif di Nusantara. Sejak awal 2015, telah tercatat 77 gempa kecil terjadi di sekitar Pulau Bali (BMKG, 2015). Wilayah tersebut juga memiliki catatan riwayat tsunami, di antaranya Tsunami Sumba tahun 1977 dan Tsunami Banyuwangi tahun 1994 (Dokumen Teknis GITEWS, 2010). Selain itu, patahan belakang (back arc fault) di bagian utara juga pernah memicu terjadinya Tsunami Flores pada 1992 dengan korban jiwa 2.080 orang (Harry Yeh, et.al, 1993). Namun, riwayat gempa dan tsunami tidak menyurutkan minat masyarakat serta wisatawan untuk menikmati eloknya alam Pulau Bali. Selain pesisir yang padat, nilai kerohanian masyarakat dengan mayoritas pemeluk Hindu juga menempatkan pusat aktivitas dan sarana peribadatan (pura) di tepi pantai. Beberapa hal tersebut menjadikan studi kerentanan pesisir terhadap tsunami di Bali semakin kompleks untuk dikaji. Dalam menganalisa kerentanan terhadap tsunami, diperlukan studi tentang prediksi penjalaran gelombang dan potensi genangan (inundansi) yang terjadi di daratan. Peneliti sebelumnya seperti Pedersen (2005), Leschka (2008), Luger (2010), atau Kaiser (2011) menawarkan perangkat lunak MIKE 21 untuk memodelkan penjalaran tsunami dari episentrum gempa menuju pantai. Selanjutnya, beberapa peneliti lain menggunakan ArcGIS untuk memudahkan melihat hasil penjalaran tsunami di daratan. Luas daerah genangan menjadi pertimbangan untuk merumuskan Indeks Kerentanan Pesisir (IKP) atau Coastal Vulnerability Index (CVI) yang dipetakan secara informatif. ISBN: 978-602-70604-2-5 B-21-1 Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2015 Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan model penjalaran tsunami hingga mencapai pantai serta prediksi area yang berpotensi tergenang, guna merumuskan nilai indeks kerentanan. METODE 1. Pengumpulan Data a. Batimetri Peta batimetri diperoleh dari data batimetri global BODC (British Oceanographic Data Centre) menggunakan GEBCO (General Bathymetric Chart of the Oceans) yang menyimpan database kontur kedalaman laut seluruh dunia. Produk batimetri ini selanjutnya diolah dengan perangkat lunak Surfer 10 hingga menghasilkan kerapatan kontur dengan interval yang diinginkan. b. Data Historis Gempa Pengumpulan data kejadian gempa diperlukan untuk mensimulasi kejadian gempa yang mungkin terjadi. Data yang dikumpulkan merupakan penggabungan dari data gempa Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) sejak 1815-2015 serta data United States Geological Survey (USGS) dari tahun 1950-2015. Adapun data gempa yang dipilih berjumlah 51 kejadian gempa dengan minimal skala magnitude 5 di sekitar Bali. Dengan simulasi montecarlo, nilai rata-rata magnitude gempa diolah sebanyak 1.000 kali percobaan hingga didapat nilai minimum, rata-rata, dan maksimum magnitude gempa yang mungkin terjadi, yaitu: Magnitude (μ) minimum = 6,87 Magnitude (μ) maksimum = 9,64 Magnitude (μ) rata-rata = 7,61 Sehingga, yang digunakan dalam penelitian adalah gempa dengan kekuatan magnitude sebesar 7,61. Angka ini selanjutnya digunakan dalam perhitungan parameter gempa yang mampu membangkitkan tsunami. 2. Perhitungan Initial Condition Initial condition merupakan kondisi awal tinggi gelombang saat terjadi gempa. Perhitungan tinggi gelombang mengunakan script Fortran yang dibuat oleh Kura dari Universitas Tohoku. Dari script tersebut didapatkan data initial condition berupa ketinggian gelombang tsunami di titik awal terjadinya gempa. 3. Simulasi dengan MIKE 21 Flow Model MIKE 21 Flow Model digunakan untuk mendapatkan penjalaran gelombang tsunami dari pusat terjadinya gempa tektonik bawah laut menuju daratan. Hydrodynamic module mensimulasikan ketinggian air yang bervariasi dan alirannya dalam respon terhadap variasi gaya di wilayah pantai. 4. Prediksi Genangan Dengan perangkat lunak ArcGIS, daerah genangan dapat diprediksi dengan memperhitungkan ketinggian tsunami di garis pantai serta kemiringan lahan yang terkena hempasan gelombang. 5. Perumusan Indeks Kerentanan Pesisir (IKP) Setelah diketahui area tergenang dan variabel yang terkait, dilakukan skoring atau pembobotan pada setiap variabel kerentanan. Dari hasil skoring diketahui tingkat kerentanan berdasarkan metode IKP yang terbagi menjadi beberapa aspek seperti sosial, ekonomi, fisik, dan lingkungan. ISBN: 978-602-70604-2-5 B-21-2 Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2015 HASIL DAN DISKUSI 1. Perhitungan Parameter Gempa Penentuan momen magnitude (Mw) terlebih dahulu diawali dengan perhitungan seismic momen (Mo), berdasarkan persamaan Wells dan Coppersmith (1994), yaitu sebagai berikut: Mo = 10 (3/2 . magnitude + 16.1) (1) (3/2 . 7,61+ 16.1) Mo = 10 Mo = 3,1623 . 1027 Dari perhitungan tersebut, selanjutnya diperoleh nilai momen magnitude (Mw) sebagai berikut: Mw = 2/3 * log (Mo) – 10,7 (2) Mw = 2/3 * log (3,1623 . 1027) – 10,7 Mw = 7,63 Dari data magnitude gempa yang diperoleh, dilakukan perhitungan parameter gempa sehingga dihasilkan data parameter gempa sebagai berikut: Surface Rupture Length (SRL) Log SRL = -3,55 + 0,74 Mw (3) Log SRL = -3,55 + 0,74 (7,63) SRL = 125,51 km Downdip Ruptere Widtht (RW) Log RW = -0,76 + 0,27 Mw (4) Log RW= -0,76 + 0,27 (7,63) RW = 20 km Rupture Area (RA) Log RA = -3,42 + 0,90 Mw (5) Log RA= -3,42 + 0,90 (7,63) RA = 2818,38 km2 2. Perhitungan Gelombang Initial Condition Karena gempa dengan kekuatan 7,63 Mw belum pernah terjadi sebelumnya, maka diambil lokasi koordinat gempa di sekitar lokasi penelitian, dengan kedalaman yang memicu tsunami. Dalam penelitian ini, diputuskan untuk menggunakan data gempa berkedalaman 10 km, pada koordinat 9,53° LS dan 114,8° BT di selatan Bali. Setelah mendapatkan koordinat episentrum, magnitude, dan kedalaman gempa, selanjutnya adalah menentukan skenario sudut patahan untuk menunjang perhitungan initial condition gelombang tsunami. Data sudut patahan diperoleh dari Harvard Global Centroid Moment Tensor (Global CMT) Tsunami Banyuwangi tahun 1994, meliputi data slip, dip, dan strike patahan. Selanjutnya, dengan bantuan script Fortran diperoleh tinggi gelombang mula-mula (initial condition) saat terjadi deformasi patahan di dasar laut setinggi 4,3 meter. ISBN: 978-602-70604-2-5 B-21-3 Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2015 Gambar 1. Skenario Sumber Gempa dan Visual Gelombang Bangkitan Gempa 3. Permodelan Tsunami dengan Mike 21 Flow Model Dalam menjalankan simulasi, beberapa kondisi awal telah ditetapkan sebagai basic parameter yang dibutuhkan oleh model seperti jumlah time step, waktu kejadian, kondisi batas, dan lain-lain. Dengan acuan parameter-parameter tersebut, simulasi dilakukan untuk memodelkan penjalaran tsunami dari titik lokasi gempa hingga mencapai pantai. Gambar 2. Tampilan Surface Elevation pada Time Step 2 dan 15 Gambar 3. Tampilan Surface Elevation pada Time Step 25 dan 27 ISBN: 978-602-70604-2-5 B-21-4 Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2015 Berdasarkan simulasi di atas, didapatkan gelombang tsunami yang menghempas pesisir selatan Banyuwangi dan Bali dengan ketinggian bervariasi antara 12-15 meter. Tsunami pertama mencapai pantai pada time step ke 25 atau 14 menit setelah gelombang initial terbentuk. Berdasarkan simulasi, dapat diketahui adanya reduksi energi gelombang yang datang tegak lurus dari selatan Selat Bali. Ketinggian gelombang lalu berkurang setelah menabrak pesisir selatan Bali dan Semenanjung Blambangan, Banyuwangi. Dari kasus tersebut, disimpulkan telah terjadi difraksi yang menyebabkan gelombang menyusut dari yang semula 12-16 meter menjadi 4-6 meter pada jarak 20 km dari ujung rintangan. Lokasi yang perlu mendapat perhatian lebih adalah wilayah pesisir selatan Bali yang menghadapi terjangan tsunami yang cukup tinggi. Secara administratif, kawasan tersebut termasuk dalam wilayah Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan pariwisata yang terus berkembang. 4. Analisa Daerah Genangan Kecamatan Kuta Selatan merupakan bagian dari Kabupaten Badung yang terdiri atas enam kelurahan, yaitu Kelurahan Pecatu, Ungasan, Kutuh, Jimbaran, Benoa, dan Tanjung Benoa. Kawasan yang landai dengan topografi 0-20 meter ditemui di kawasan Kelurahan Benoa dan Tanjung Benoa, sehingga dua kawasan ini diputuskan sebagai lokasi penelitian untuk menghitung genangan tsunami yang berhasil masuk ke daratan. Jika tinggi maksimum tsunami saat mencapai pantai adalah 15 meter, maka dapat dipastikan hampir separuh kawasan pesisir timur akan tergenang dan menerima dampak yang luar biasa. Dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS, dapat dihasilkan genangan akibat tsunami sebagaimana gambar berikut. Gambar 4. Area Tergenang di Kelurahan Benoa dan Tg. Benoa ISBN: 978-602-70604-2-5 B-21-5 Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2015 5. Indeks Kerentanan Pesisir (IKP) terhadap Tsunami Untuk mengetahui tingkat kerentanan pesisir terhadap tsunami, perhitungan Indeks Kerentanan Pesisir (IKP) dilakukan berdasarkan parameter-parameter dari berbagai sumber. Pesisir timur Kuta Selatan meliputi Kelurahan Benoa dan Tg. Benoa adalah daerah dataran pantai yang rendah dengan tanah tinggi yang alamiah berjarak lebih dari 2 km dari pantai. Asian Disaster PreparednessCentre (ADPC) dalam Matthias Mueck (2008) menyebutkan, jika estimasi rata-rata kecepatan orang berjalan saat evakuasi adalah 1,20 m/s, maka dibutuhkan kurang lebih 30 menit berjalan kaki untuk mencapai lokasi aman dari jarak 2 km. Dengan waktu tempuh tsunami mencapai garis pantai adalah 14 menit, maka didapatkan jarak tempuh maksimum dengan berjalan kaki menuju area aman adalah sejauh 1 kilometer. Berdasarkan hal tersebut, zona genangan tsunami lalu dibagi menjadi 3 kategori untuk 3 nilai kerentanan, yaitu zona A (jarak 0-1 km dari pantai); zona B (jarak 1-2 km dari pantai; zona C (jarak > 2 km dari pantai). Tabel 1. Skor Kerentanan Pesisir Timur Kuta Selatan Kategori Lingkungan Sosial Ekonomi Fisik Variabel Zona A Zona B Zona C Slope Jarak pemukiman dari pantai Ketinggian Kepadatan penduduk Rasio penduduk rentan Rasio tenaga kerja Bangunan tinggi di pantai Kepadatan bangunan 5 5 5 5 3 4 1 2 5 3 4 5 3 4 1 2 5 1 2 5 3 4 1 2 Kondisi genangan Jarak menuju ketinggian aman 5 5 5 1 1 1 194 60 11 Indeks Kerentanan Pesisir (IKP) Kelas Kerentanan 1: Sangat rendah 2: Rendah 3: Sedang 4: Tinggi 5: Sangat tinggi Dari pengolahan data, maka diperoleh skor untuk masing-masing zona kerentanan sebagaimana terlampir pada Tabel 1. Nilai IKP didapatkan melalui persamaan IKP = √((perkalian skor tiap variabel)/(jumlah variabel). Berdasarkan penyusunan IKP menurut Doukakis (2005), maka dapat disimpulkan nilai IKP pesisir timur Kuta Selatan Zona A: 194 (sangat rentan), Zona B: 60 (cukup rentan), dan Zona C: 11 (tidak rentan). Lebih lengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5. Demi mendukung prosedur evakuasi yang tepat, beberapa papan petunjuk evakuasi perlu ditempatkan di sepanjang jalan utama atau kawasan padat pemukiman. Pesisir Benoa dan Tg. Benoa berdampingan dengan sejumlah bangunan hotel yang besar dan kuat, yang dapat memainkan peran bagi evakuasi vertikal. Bangunan naungan evakuasi vertikal yang diakui secara resmi perlu ditandai dengan rambu yang sesuai. Selain evakuasi vertikal, evakuasi horizontal juga perlu dilakukan untuk menjamin kelancaran alur evakuasi. Adapun contoh rekomendai alur evakuasi vertikal dan horizontal disajikan pada Gambar 6. ISBN: 978-602-70604-2-5 B-21-6 Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2015 Gambar 5. Peta Kerentanan terhadap Tsunami Gambar 6. Contoh Shelter untuk Evakuasi saat Terjadi Tsunami ISBN: 978-602-70604-2-5 B-21-7 Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2015 KESIMPULAN Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:: 1. Tsunami pesisir Bali menggunakan simulasi parameter dengan magnitude gempa 7,63 Mw di area subduksi dan menghasilkan gelombang mula-mula di episentrum gempa setinggi 4,3 meter. 2. Dengan MIKE 21, diperoleh tinggi gelombang 12-15 meter saat mencapai pantai, menjalar dalam waktu 14 menit setelah terbentuk initial condition. 3. Wilayah pesisir timur Kuta Selatan meliputi Kelurahan Benoa dan Tg. Benoa merupakan kawasan paling landai yang menerima dampak serius dari tsunami. 4. Dengan perhitungan IKP, diperoleh nilai kerentanan terhadap tsunami di pesisir timur Kuta Selatan bervariasi, yaitu Zona A: 194 (sangat rentan), Zona B: 60 (cukup rentan), dan Zona C: 11 (tidak rentan). 5. Beberapa hotel berbintang dapat dimanfaatkan sebagai sarana evakuasi vertikal. Hal tersebut memberi keuntungan baik bagi pengusaha maupun masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). 2014. Gempa Bumi dan Tsunami. www.bmkg.go.id. Diakses tanggal 5 Mei 2015. Dall’Osso, Filippo dan Dale Dominey-Howes. 2009. A method for assessing the vulnerability of buildings to catastrophic (tsunami) marine flooding. UNSW and the Sydney Coastal Councils Group Inc. Australia. Dokumen Teknis Peta Bahaya Tsunami Bali. 2010. GITEWS. Doukakis, E. 2005. Coastal Vulnerability and Risk Parameter. Europan Water 11/12. Kaiser, Gunilla et.al. 2011. The Influence of Land Cover Roughness on The Results of High Resolution Tsunami Inundation Modeling. Nat. Hazards Earth Syst. Sci., 11, 2521– 2540, 2011. Leschka, S., et.al. 2008. A Tsunami Generation Tool For Dynamic Sea Bottom Deformation And Its Application to The 17 July 2006 Java Earthquake Tsunami. International Conference on Tsunami Warning (ICTW), Bali. Luger, Stephen Anton dan Rhydar Lee Harris. 2010. Modelling Tsunamis Generated by Earthquakes and Submarine Slumps Using MIKE 21. P017-13. Muck, Matthias. 2008. Development and application of a spatial information system supporting tsunami evacuation planning in South-West Bali. Universität Regensburg. Jerman. Pedersen, Rasch, dan Sato. 2005. Modelling of the Asian Tsunami of the Coast of Northern Sumatra. Tsunami paper_v5.doc/NHP et al United State Geological Survey (USGS). 2015. USGS-NEIC Earthquake Cattalogue, www.earthquake.usgs.gov. Diakses tanggal 5 Mei 2015 Wells, Donald L. dan Kevin J. Coppersmith. 1994. New Empirical Relationships among Magnitude, Rupture Length, Rupture Width, Rupture Area, and Surface Displacement. Bulletin of the Seismological Society of America, Vol. 84, No. 4, pp. 974-1002 Yeh, Harry dan Fumihiko Imamura, et. al. 1993. The Flores Island Tsunamis. EOS Vol. 74 No. 33 August 17 1993, pages 369, 371-373. ISBN: 978-602-70604-2-5 B-21-8