BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Pemilu merupakan salah satu perwujudan asas kerakyatan dan sebagai salah satu proses demokrasi yang membutuhkan peran serta dan partisipasi publik. Dalam era demokrasi, Pemilu merupakan praktik politik yang dapat menjadi instrumen kontrol masyarakat kepada penguasa. Pemilu melahirkan pemimpin yang mengemban amanah untuk menyejahterakan rakyat dengan integritas baik berdasarkan kepercayaan dari pemilih. Negara demokrasi yang menyelenggarakan Pemilu menempatkan kedudukan rakyat sebagai pelaku politik yang merdeka dan dapat dipahami dari pemahaman historis terhadap UUD 1945 pasai 1 ayat 2 yang berbunyi kedaulatan adalah di tangan rakyat. Setiap warga negara berhak terlibat aktif dalam berkehidupan politik begitu pula dengan para penyandang disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indonesia, para penyandang disabilitas juga berhak terlibat aktif dalam berkehidupan politik. Pasal 43 ayat 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah menerangkan secara tegas bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan, baik untuk dipilih maupun memilih. Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas dalam UU Nomor 19 Tahun 2011 telah menjamin hak pilih para penyandang disabilitas dalam Pemilu. Undang-Undang ini juga menyebutkan negara memiliki kewajiban untuk mewujudkan hak penyandang disabilitas dan menjamin kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar, yang salah satunya 1 2 adalah hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan dalam Pemilu. Penjelasan mengenai peraturan perundang-undangan di atas seharusnya bisa mengakomodir kepentingan hak politik para penyandang disabilitas dalam Pemilu tanpa adanya diskriminasi. Sebagai rakyat, pemilih penyandang disabilitas menjadi bagian penting dalam mengukur sukses tidaknya pelaksanaan Pemilu. Jika penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPU dan Bawaslu mampu membuka ruang politik yang luas dan memudahkan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas untuk mengikuti keseluruhan proses Pemilu, maka keberhasilan pelaksanaan Pemilu secara luas terbuka untuk tercapai. Sejauh ini, sejak Pemilu 2004 regulasi seputar Pemilu sudah memasukkan penyandang disabilitas sebagai salah satu isu krusial. Untuk itu, dapat dikatakan bahwa secara legal-formal hak-hak politik penyandang disabilitas sudah masuk dalam pertimbangan penting dalam Pemilu Indonesia. Namun, pijakan regulasi ini rupanya tidak berbanding lurus dengan aspek teknis pelaksanaannya bahkan tidak sejalan dengan tingkat kesadaran para kontestan Pemilu itu sendiri. Boleh dikatakan bahwa kapasitas pengetahuan akan isu penyandang disabilitas baik bagi para pelaksana, pengawas, maupun pesertanya jauh di bawah standar. Implikasinya, hambatan-hambatan pemilih penyandang disabilitas seperti hambatan teknis, informasi, dan mental masih tak mampu diruntuhkan walau aspek legalnya telah didukung lewat regulasi yang dibuat. Hal ini mengakibatkan pemenuhan hak politik para penyandang disabilitas dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia selalu diwarnai dengan kendala dan permasalahan. Berdasarkan temuan The Asia Fondation, 35% lebih para 3 penyandang disabilitas tidak mempunyai akses ke Pemilu atau tidak paham akan Pemilu, artinya 35% dari penyandang disabilitas yang memiliki hak suara tidak mampu menggunakan hak suaranya dalam Pemilu 2014 (sumber: http://rumahopini.com/partisipasi-penyandang-disabilitas-dalam-politik-2014/. Akses 30 November 2014). Permasalahan ini semakin kompleks ketika peran penyelenggara Pemilu ditengarai masih tidak mampu menyediakan pelayanan yang aksesibel dalam Pemilu bagi penyandang disabilitas, misalnya ketika KPU pusat maupun KPU di daerah tidak menyediakan Template Braille atau surat suara bagi para pemilih tunanetra pada Pemilu Legislatif 2014. Beberapa organisasi masyarakat banyak mengkritisi seperti halnya kutipan di bawah ini : “Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) mendesak Komisi Pemilu (KPU) menyediakan fasilitas serta surat suara bagi kaum difabel, terutama kaum tunanetra. Selama ini kertas suara yang disediakan oleh KPU bagi penyandang tunanetra masih sangat minim. “Memang untuk beberapa Pemilu seperti Pilpres dan DPD sudah ada seperti huruf timbul, bukan braile, jadi bisa diraba. Tapi untuk DPR RI, DPRD, dan seterusnya itu tidak ada. Itu sulit karena banyak sekali,” kata Ketua I Pertuni Mochammas Oce Soedioto kepada Dresnews.com”. (Sumber: http://www.gresnews.com/berita/politik/1110172-penyandang-disabilitas -tuntut-kpu-sediakan-fasilitas-Pemilu-untuk-kaum-difabel/. Akses 10 November 2014). Permasalahan ini menimbulkan reaksi keras dari berbagai kelompok penyandang disabilitas. Penyelenggara Pemilu 2014 tidak mempunyai perangkat yang bisa membantu penyandang disabilitas memenuhi hak-haknya, sehingga kehadiran mereka terkesan tidak dianggap penting dalam bagian Pemilu. Pemenuhan hak pilih bagi para penyandang disabilitas seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara agar 4 hak-hak politik penyandang disabilitas sebagai warga negara dapat terpenuhi. Salah satu pernyataan yang peneliti kutip dari media elektornik menegaskan hal yang sama tentang kisruhnya penyediaan aksesibilitas dalam Pemilu 2014: “Sayangnya penyelenggaraan pesta demokrasi tahun ini masih dianggap jauh dari memadai dalam melayani kebutuhan hak politik kaum difabel. Hal tersebut bisa dilihat dari kesiapan penyelenggara Pemilu dalam memberikan akses pada proses Pemilu yang minim. Padahal para penyandang disabilitas memiliki hak politik yang sama dengan warga lainnya. Ketua Pusat Pemilu Akses Penyandang Cacat (PPUA PENCA), Ariani Soekarwo mengaku kecewa terhadap penyelenggaraan Pemilu dalam hal ini Komisi Pemilu (KPU). KPU dinilai belum memperhatikan penyandang disabilitas khususnya sarana dan prasarana yang memadai. Karena itu kondisi ini perlu jadi perhatian serius oleh semua pihak. Penyandang disabilitas punya hak politik yang sama dengan warga lainnya.” (Sumber: http://www.gresnews.com/berita/politik/12094Pemilu-2014-masih-tak-memperhatikan-hak-politik-penyandangdisabilitas. Akses 10 November 2014) Mengkaji fenomena tersebut, aksesibilitas masih menjadi kendala dan permasalahan di dalam pelaksanaan Pemilu 2014, baik dalam Pileg maupun Pilpres. Pemilih penyandang disabilitas masih dijadikan korban dari berbagai streotipe negatif yang disematkan negara di masa lalu melalui wacana kecacatan, yang hingga kini belum dapat dibersihkan dari cara pandang banyak orang termasuk penyelenggara dan peserta Pemilu. Streotipe ini menjadi hambatan mental yang kemudian membutuhkan pendekatan spesifik untuk membangun kesadaran pemilih penyandang disabilitas untuk memaknai betapa pentingnya Pemilu. Penyelenggara Pemilu seharusnya dapat menjamin hak setiap warga negara untuk memilih secara langsung wakil-wakil dan pemimpin yang mereka kehendaki dengan penyediaan aksesibilitas yang memadai. Ketika hak-hak politik para penyandang disabilitas sama dengan pemilih lain maka sudah seharusnya 5 penyelenggara Pemilu juga memberikan perhatian khusus bagi mereka. Sebaliknya ketika Pemilu dianggap sebagai salah satu wujud partisipasi politik, maka sebuah persepsi akan sangat mempengaruhi sikap, perilaku, serta motivasi untuk tetap selalu berperan aktif pada Pemilu yang akan datang. Ketimpangan dan kesenjangan terhadap para penyandang disabilitas akan menimbulkan sebuah persepsi tersendiri mereka terhadap pelaksanaan Pemilu. Cara pandang terhadap permasalahan tersebut cenderung tidak membawa solusi khususnya bagi para penyandang disabilitas, bahkan dapat mempengaruhi sikap mereka terhadap proses demokrasi. Permasalahan akan timbul ketika cara pandang ini menghasilkan sikap apatis terhadap Pemilu dan berkembang dalam diri khususnya kaum muda. Kondisi ini tentunya bukan sesuatu yang dikehendaki dalam proses demokrasi, karena Pemilu merupakan wujud partisipasi politik dan dicirikan oleh besarnya partisipasi kaum muda di dalamnya; kaum yang pada saat sekarang ini dituntut untuk membentuk sikap dan keyakinan dalam menentukan arah politik. Mas’oed, Mohtar (2003: 184) menyatakan bahwa kaum muda berada pada lapisan umur yang memungkinkan untuk menjadi energetic dan cocok untuk menjadi pelopor perbaikan keadaan. Dipandang dari sudut usia akan sangat rentan di kemudian waktu jika persepsi kaum muda terhadap proses demokrasi akan semakin apatis, karena masa waktu yang mereka miliki masih panjang dan masih membutuhkan banyak peran untuk membuat perubahan yang lebih baik bagi politik Indonesia. Oleh karena itu, perhatian terhadap generasi muda berarti memberikan perhatian terhadap nasib bangsa. 6 Hal itu juga berlaku bagi kaum muda penyandang disabilitas. Keterbatasan aksesibilitas dalam Pemilu akan sangat berpengaruh terhadap persepsi mereka terhadap demokrasi Indonesia. Kaum muda yang di dalamnya termasuk mereka yang menyandang disabilitas, khususnya mahasiswa juga merupakan golongan cendekiawan dan bagian generasi muda yang sedang mempersiapkan diri untuk memasuki kehidupan bermasyarakat secara penuh juga memiliki peranan dalam memajukan bangsa. Menurut Alfian Darmawan (1993: 106) : “Dalam kaitan untuk merealisir terciptanya kehidupan politik yang semakin demokratis tentu bukan hanya menjadi tugas partai politik, melainkan tugas mulia seluruh komponen masyarakat terutama tentu saja adalah mereka para generasi muda yang terdidik, yakni mahasiswa.” Kedudukan mahasiswa penyandang disabilitas sebagai intelektual muda kampus telah menjadikan mereka memiliki tugas dan misi tersendiri dalam hidupnya yang akan memberi arti bagi lingkungannya dan peranan mereka sangat berpengaruh terhadap proses politik yang terjadi. Mahasiswa dipandang sebagai agen perubahan di masa depan, termasuk sebagian dari mereka yang memiliki disabilitas fisik. Persepsi mereka terhadap Pemilu tidak hanya sekedar persepsi mereka terhadap proses pelaksanaan, namun juga mengetahui sejauhmana sikap dan partisipasi aktif mereka. Sikap terhadap objek politik mempengaruhi tindakan apa yang akan dilakukan berkenaan dengan objek tersebut dan partisipasi membutuhkan kesadaran politik yang dilandasi oleh motivasi serta hal-hal yang mendorong sebagai demokrasi Pancasila. upaya mengimplementasikan pengamalan nilai-nilai 7 Dengan mengetahui persepsi mahasiswa penyandang disabilitas terhadap aksesibilitas Pemilu akan sangat erat kaitannya dengan Ketahanan Politik di masa mendatang. Kajian terhadap Ketahanan Politik menuntut adanya sebuah kesadaran politik, disiplin nasional, dan dinamika sosial yang tinggi, sehingga tumbuh motivasi dan aktivitas konstruktif yang membangkitkan partisipasi aktif dalam pembangunan nasional (Hermawan, 2014: 33). Hal tersebut dapat terdorong jika implementasi-implementasi kebijakan pemerintah, mewadahi kepentingan yang setidaknya dapat penyandang disabilitas berupa kemudahan guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dapat terlaksana. Ramlan Surbakti (1992: 152) mengemukakan bahwa konflik terjadi jika ada pihak-pihak yang merasa diperlakukan tidak adil atau manakala pihak berperilaku menyentuh titik kemarahan pihak lain. Penjelasan ini memaknai bahwa tekanan-tekanan dan keresahan para penyandang disabilitas akan mempengaruhi stabilitas politik dalam negeri apabila diskriminasi akses penyandang disabilitas tidak diperlakukan sebagai sebuah isu yang perspektif dalam kebijakan pemerintah, padahal dari segi kuantitasnya jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sangat tinggi. Dalam berita tentang ketenagakerjaan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyatakan bahwa data berdasarkan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada tahun 2010 setidaknya terdapat 10 persen penduduk Indonesia atau sekitar 24 juta orang merupakan penyandang disabilitas. Jumlahnya bisa jauh lebih banyak dibandingkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) (Ishak Salim, 2014: 3). Jumlah tersebut merupakan 8 jumlah yang cukup besar untuk dijadikan pertimbangan dalam meraih partisipasi serta pertimbangan intensitas konflik sosial yang bisa terjadi. Berdasarkan penjelasan di atas, Ketahanan Politik dapat terwujud oleh seberapa demokratisnya Pemilu itu dijalankan. Jika pelaksanaan Pemilu masih tidak aksesibel dan masih diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, maka implikasinya sangat berpengaruh pada cara pandang, sikap, serta keputusan politik kalangan penyandang disabilitas terhadap kebijakan dan pembangunan di bidang politik. Dengan latar belakang tersebut, penelitian ini mengambil judul Aksesibilitas Pemilu 2014 dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Politik (Studi Tentang Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas di Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). 1.2. Pertanyaan Penelitian : Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah persepsi mahasiswa penyandang disabilitas tentang aksesibilitas Pemilu 2014? 2. Bagaimanakah persepsi mahasiswa penyandang disabilitas tentang implikasi aksesibilitas Pemilu 2014 terhadap Ketahanan Politik? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah, 1. Untuk mengetahui persepsi mahasiswa penyandang disabilitas tentang aksesibilitas Pemilu 2014. 9 2. Untuk mengetahui persepsi mahasiswa penyandang disabilitas tentang implikasi aksesibilitas Pemilu 2014 terhadap Ketahanan Politik. 1.4. Keaslian Penelitian Peneliti menyatakan bahwa penelitian yang berjudul “Aksesibilitas Pemilu 2014 dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Politik (Studi Tentang Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas di Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)” bukanlah plagiasi atau duplikasi dari hasil karya peneliti lain. Keaslian materi penelitian dapat dibuktikan dengan membandingkan antara penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang membahas suatu tema serupa, yaitu : 1. Tesis mengenai Persepsi Mahasiswa Terhadap Pemilu 1987, Suatu Studi Kasus di Universitas Diponegoro Semarang oleh Warsito S2 Ilmu Politik UGM 1987. Pada penelitiannya Warsito ingin mengetahui tentang persepsi mahasiswa dan peranan Pancasila sebagai asas tunggal pada pelaksanaan Pemilu di tahun 1987. 2. Laporan penelitian tentang Persepsi Politik Mahasiswa Islam Terhadap Pemilu 1992 oleh Mashuri Maschab FISIPOL UGM 1992. Penelitian oleh Mashuri Maschab lebih mengkaji persepsi mahasiswa di beberapa perguruan tinggi Islam di Yogyakarta terhadap pelaksanaan proses Pemilu di tahun 1992 dan pengaruh keagamaan dalam membentuk persepsi politik. 3. Buku tentang Persepsi Gerakan Mahasiswa Islam Terhadap Politik Luar Negeri Indonesia di Timur Tengah oleh Muhammad Faris Alfadh, Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL Universitas Muhammadiyah 10 Yogyakarta 2012. Penelitian di dalam buku Muhammad Faris Alfadh bertujuan untuk mengetahui kebijakan luar negeri Indonesia di mata para aktivis mahasiswa Islam. 4. Tesis mengenai Persepsi Pemuda Terhadap Partai Politik Nasional Peserta Pemilu 2014 dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Politik Wilayah (Studi Pada KNPI Provinsi Banten) oleh Agus Aan Hermawan S2 Ketahanan Nasional Sekolah Pascasarjana UGM 2014. Penelitian ini membahas persepsi pemuda terhadap partai politik nasional peserta Pemilu 2014 serta sikapnya terhadap legitimasi partai politik serta pemerintah terhadap stabilitas politik wilayah Provinsi Banten. Judul penelitian yang diajukan oleh peneliti mempunyai objek material yang sama dengan penelitian sebelumnya yaitu pemuda dan mahasiswa. Namun yang membedakan adalah subjek penelitian. Subjek dalam penelitian ini adalah pemuda dalam status sosialnya sebagai mahasiswa yang memiliki hambatan fisik dan kemampuan berbeda atau disebut dengan penyandang disabilitas yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi inklusi. Mahasiswa penyandang disabilitas mempunyai kondisi fisik yang tidak sama dengan para mahasiswa pada umumnya dan diskriminasi pelayanan aksesibilitas terhadap hak politiknya masih sering terjadi. Sampai saat ini, peneliti masih belum menemukan penelitianpenelitian terdahulu yang mengkaji persepsi politik Pemilu di kalangan mahasiswa penyandang disabilitas. Penelitian Warsito dan Mashuri Maschab dilakukan untuk mengukur persepsi mahasiswa nondisabilitas terhadap Pemilu di tahun 1987 dan di tahun 11 1992 menurut peneliti kondisinya sangat jauh berbeda setelah pasca reformasi di masa sekarang. Hal ini menjadi menarik dan berbeda untuk diteliti karena dengan keterbatasan penginderaan yang dimilikinya, peneliti sangat ingin mengetahui bagaimana persepsi para mahasiswa penyandang disabilitas terhadap aksesibilitas Pemilu 2014. Penelitian lain oleh Agus Aan Hermawan lebih menggali persepsi pemuda KNPI provinsi Banten terhadap peran dan fungsi partai politik dalam ajang Pemilu 2014, sedangkan dalam penelitian ini lebih difokuskan pada persepsi mengenai aksesibilitas Pemilu 2014 bagi kalangan penyandang disabilitas. Dalam penelitian yang sama, lebih lanjut Agus Aan Hermawan mengkaji implikasi Ketahanan Politik pada stabilitas politik wilayah khususnya di provinsi Banten, sedangkan dalam penelitian ini lebih kepada urgensi Ketahanan Politik secara umum yang bisa terjadi pada setiap daerah. Berdasarkan analisis perbedaan dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini juga mengkaji persepsi mahasiswa penyandang disabilitas tentang implikasi aksesibilitas Pemilu 2014 terhadap Ketahanan Politik. Persepsi akan mempengaruhi sikap dan perilaku yang secara langsung juga mempengaruhi tingkat kesadaran berpartisipasi dalam politik. Mahasiswa penyandang disabilitas juga termasuk generasi kaum muda yang masih memiliki waktu panjang dan membutuhkan banyak peran untuk berpartisipasi dalam menjalankan roda demokrasi. 12 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut, 1. Manfaat bagi Pemuda Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang peningkatan sumber daya pemuda sebagai golongan generasi muda yang strategis terhadap pelaksanaan Pemilu. 2. Manfaat bagi Program Studi Ketahanan Nasional Penelitian ini diharapkan mampu memberikan tambahan pengetahuan dalam pengembangan ilmu, khususnya mengenai persepsi terhadap aksesibilitas Pemilu yang mempengaruhi Ketahanan Politik sebagai upaya dalam menopang Ketahanan Nasional. 3. Bagi Pemerintah Dapat merekomendasikan suatu kebijakan yang kondusif untuk pembinaan mahasiswa, khususnya para penyandang disabilitas sebagai insan yang mempunyai andil dalam proses demokrasi.