BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau, memiliki potensi bencana yang sangat tinggi dari berbagai jenis bencana seperti dari faktor geologi (gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api), faktor hidrometerologi (banjir, tanah longsor, kekeringan, angin topan), faktor biologi (wabah penyakit manusia, penyakit tanaman/ternak, hama tanaman), faktor kegagalan teknologi (kecelakaan industri, kecelakaan transportasi, radiasi nuklir, pencemaran bahan kimia), dan faktor yang disebabkan karena ulah manusia (Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan). Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Kepala Badan Nasional Penanggulanagan Bencana, Maarif (2014) menyebutkan bahwa diperkirakan selama tahun 1815 hingga Februari 2014 Indonesia telah mengalami bencana sebanyak 13.416 kejadian yang berdampak pada banyaknya korban meninggal (228.977 jiwa), luka-luka (lebih dari 395.335), menderita dan mengungsi (31 juta jiwa), kerusakan rumah dan lain-lain. 1 2 Diperkirakan kerugian dan kerusakan akibat bencana mencapai ratusan triliun rupiah. Bencana terjadi merata di wilayah Indonesia, Bappenas dan KLH (dalam Maarif, 2014) menambahkan bencana terkonsentrasi di pulau Jawa. Hal ini disebabkan oleh kepadatan jumlah penduduk yang menyebabkan daya dukung dan daya tampung pulau Jawa terlampaui sejak tahun 2007. Diperkirakan sekitar 60% dari 240 jiwa penduduk Indonesia tinggal di pulau Jawa. Bencana yang sering melanda pulau Jawa disebabkan karena faktor hidrometerologi. Daerah Istimewa Yogyakarta terletak pada jalur tektonik dan vulkanik. Secara geografis pada sisi utara terdapat vulkanik merapi yang aktif dan sisi selatan terdapat Samudra Hindia yang didalamnya terdapat palung Jawa yang merupakan jalur subduksi lempeng Indo-Australia-Eurasia. Pertemuan ketiga lempeng tersebut menjadi penyebab utama kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya rawan gempa (Hasil Survei Daerah, t.t). Hal yang sama diungkapkan oleh Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota dari University of Hawaii, Dolores Foley (Latief, 2014) bahwa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi salah satu dari 28 wilayah di Indonesia yang rawan gempa dan tsunami. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta beberapa kali pernah terpapar gempa dengan kekuatan 5 skala Richter. Gempa dengan kekuatan besar tersebut berdasarkan catatan (Hasil Survei Daerah, t.t) terakhir kali terjadi di tahun 2006. Gempa tahun 2006 menelan banyak korban jiwa dan merusak bangunan. Korban meninggal diketahui sebanyak 5.048 jiwa dan melukai 27.808 jiwa. Korban terbanyak berada di kabupaten Bantul dengan jumlah meninggal sebanyak 4.280 orang, luka berat 8.673 orang dan luka ringan sebanyak 3.353 3 orang. Sementara itu jumlah rumah yang mengalami kerusakan sebanyak 240.396 rumah dan menimbulkan kerugian lebih dari 29 triliun rupiah. Gambar 1. Peta Kawasan Rawan Bencana Gempa Bumi D.I. Yogyakarta Grehenson (2011) menjelaskan letak kabupaten Bantul berada di zona subduksi lempeng Australia dan Eurasia yang merupakan wilayah rawan gempa dan tsunami. Menurut peta kawasan rawan bencana gempa bumi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 1.) wilayah kabupaten Bantul paling selatan yaitu kecamatan Pundong, kecamatan Imogiri dan kecamatan Pleret masuk kedalam zona merah. Zona merah mengindikasikan bahwa wilayah tersebut berpotensi dilanda goncangan gempa bumi dengan skala intensitas VII-VIII MMI (Modified Mercally Intensity). Daerah tersebut juga berpotensi mengalami retakan tanah, longsor dan pergeseran tanah karena letaknya dekat dengan sumber gempa bumi dengan kedalaman dangkal. 4 Hal inilah yang mengakibatkan kabupaten Bantul menjadi kabupaten terparah akibat gempa yang mengalami kerusakan infrastruktur dan korban jiwa terbanyak daripada wilayah lainnya. Berdasarkan laporan data jumlah korban gempa DIY-Jateng (Sofyan, 2010) data korban selamat akibat gempa tercatat 169.000 korban dengan mayoritas korban mengalami luka berat. Dimungkinkan dari banyaknya korban selamat yang mengalami luka berat beberapa diantaranya mengalami kecacatan. World Health Organization (WHO) dalam Booklet Ministry of Social Affairs (dalam Demartoto, 2005) mendefinisikan kecacatan sebagai kesulitan/kesukaran dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat baik di bidang ekonomi, sosial maupun psikologis yang dialami oleh individu yang disebabkan oleh ketidaknormalan psikis, fisiologis, maupun tubuh dan ketidakmampuannya dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Penyandang cacat juga diatur melalui Undang-Undang Republik Indonesia nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat yang menyebutkan penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya. Penyandang cacat dibagi dalam tiga kategori yang terdiri dari: a) penyandang cacat fisik; b) penyandang cacat mental; c) penyandang cacat fisik dan mental. Baru-baru ini, istilah yang digunakan untuk penyandang cacat atau penyandang disabilitas dirubah menjadi difabel. Istilah difabel diperkenalkan pada 1998 yang merupakan singkatan dari frosa bahasa Inggris different ability people. Penggantian istilah dimaksudkan untuk memberi sikap positif yang menekankan pada perbedaan kemampuan, bukan pada keterbatasan, 5 ketidakmampuan atau kecacatan baik secara fisik maupun mental (Sapda, 2010a). Data Dinas Sosial DIY mencatat jumlah difabel sekitar 370 ribu di tahun 2006. Jumlah ini meningkat sebanyak 891 orang pasca gempa bumi (Korban gempa, t.t). Banyaknya jumlah korban gempa yang mengalami difabel akibat gempa mendapat perhatian dari pemerintah. Salah satu bentuk perhatian pemerintah dengan didirikannya Pusat Rehabilitasi Terpadu Penyandang Cacat di Pundong Bantul yang saat ini telah berganti nama menjadi Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas Provinsi DIY. Tujuan dari rehabilitasi tersebut untuk meningkatkan kemampuan difabel dalam bidang sosial, vokasional serta mobilitas sehingga mampu menumbuhkan kemauan dan kemampuan dalam melaksanakan fungsi sosial secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat (Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, t.t). Selain lembaga pemerintahan ada juga lembaga non pemerintahan baik dalam negeri maupun luar negeri yang juga turut membantu para korban gempa yang mengalami difabel akibat gempa seperti Yakkum, Karina, JICA (Jepang), SAPDA (Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak), P3Y (Peguyuban Penyandang Paraplegia Yogyakarta) dan beberapa lembaga kemasyarakatan lainnya. Saat ini, para korban yang mengalami difabel akibat gempa masih harus meneruskan kehidupannya dengan berbagai permasalahan yang dihadapi. Kondisi fisik dari para difabel menjadi salah satu permasalahan dimana sebagian besar korban mengalami difabel pada anggota gerak seperti tangan, kaki dan tulang belakang. Menerima bahwa anggota tubuh tidak lagi sempurna seperti 6 sebelumnya dan menyadari keterbatasan dalam aktivitas menjadi konflik dalam diri para korban difabel akibat gempa bumi. Peran Ayah yang mengalami difabel akibat gempa menjadi pukulan berat baginya karena akan mengalami kendala dalam menafkahi keluarga. Para ibu yang mengalami difabel juga mengalami kendala dalam melayani suami dan anak-anaknya. Konflik tidak hanya muncul dari penerimaan diri namun juga penerimaan dari lingkungan. Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) melalui survei pada kelompok perempuan difabel korban gempa di wilayah Bantul pada kecamatan Jetis dan Bambanglipuro berkaitan dengan membangun motivasi dan penerimaan diri, sebanyak 50 responden perempuan difabel korban gempa 60% masih belum menerima bahwa dirinya menjadi difabel. Rata-rata responden masih malu untuk keluar rumah, merasa rendah diri, sedih dengan kondisi yang dialami, dukungan keluarga yang masih kurang dan masih belum memiliki keberanian untuk mengeluarkan dan menyampaikan pendapatnya (Djati, 2010). Korban yang mengalami difabel akibat gempa bumi khususnya pada tulang belakang disebut juga paraplegia dan paralisis. Paraplegia mengindikasikan kelumpuhan pada kedua belah bagian bawah tubuh, termasuk dua belah kaki. Permasalahan serius yang terjadi pada paraplegia adalah dys use atrophy (pengecilan kaki karena jarang digerakkan akibat posisinya yang statis (Sapda, 2010b). Paralisis merupakan hilangnya kemampuan untuk bergerak karena cedera atau penyakit pada bagian saraf atau kelumpuhan (Departemen Pendidikan Nasional, 2008). Difabel paraplegia dan paralisis memiliki ketergantungan pada kursi roda dan tempat tidur karena kondisi yang dialaminya. Ketergantungan ini berdampak 7 pada aksesibilitas yang minim dan jarang berpindah tempat sehingga membuatnya rentan terhadap penyakit. Penyakit yang sering melanda paraplegia dan paralisis yaitu dekubitus. Dekubitus atau luka tekan merupakan luka yang diakibatkan oleh tekanan pada suatu bagian tubuh yang mengganggu sirkulasi (Harnawatiaj dalam Pratiwi, 2013). Beragam permasalahan yang dihadapi korban yang mengalami difabel akibat gempa bumi tentunya berdampak pada status sosial, ekonomi dan psikologis yang dapat menimbulkan trauma. Trauma merupakan respon emosional dari peristiwa yang mengerikan seperti kecelakaan, pemerkosaan atau bencana alam. Segera setelah kejadian, akan menimbulkan shock dan penolakan yang khas. Reaksi jangka panjang meliputi emosi tak terduga, flashback, hubungan yang tegang dan bahkan gejala-gejala fisik seperti sakit kepala atau mual (American Psychological Association, t.t). Kamus lengkap psikologi (Chaplin, 2011) mendefinisikan trauma sebagai satu luka, baik yang bersifat fisik atau jasmaniah maupun psikis. Berdasarkan kriteria diagnostik (DSM-IV-TR, 2000) trauma hanya dapat dirasakan oleh mereka yang mengalami, menyaksikan, atau menghadapi peristiwa atau kejadian-kejadian berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri maupun orang lain yang disertai respon berupa ketakutan yang hebat, rasa tidak berdaya atau horor. Individu yang terpapar trauma merespon peristiwa traumatis dengan dua respon yaitu respon negatif dan respon positif (Bensimon, 2012). Respon negatif digambarkan dengan stress, depresi dan posttraumatic stress disorder (PTSD). Respon positif digambarkan dengan resiliensi dan posttraumatic growth yang 8 selanjutnya dalam penelitian ini disebut pertumbuhan pasca trauma (Tedeschi & Calhoun, 1996; 2004). Bonnano (2004, 2005) menjelaskan sebuah peristiwa bencana alam seperti banjir, angin topan dan gempa bumi relatif tidak selalu menggambarkan dampak negatif dari peristiwa traumatis. Beberapa individu dipastikan mengalami peristiwa negatif yang signifikan yang dapat mempengaruhi dan menyebabkan masalah psikologis seperti gangguan stres pasca trauma (PTSD). Namun, perubahan positif juga ditemukan sebagai konsekuensi dari trauma berupa growth yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut pertumbuhan (Bonnano, 2004; Tedeschi & Calhoun, 2004; Janoff- Bulman dalam Hefferon & Boniwell, 2011). Penelitian mengenai dampak positif dari peristiwa traumatis mulai banyak dilakukan sejak awal tahun 1990-an. Tokoh pertama yang mengembangkan penelitian mengenai dampak positif dari peristiwa traumatis yaitu Tedeschi dan Calhoun pada tahun 1996. Tedeschi dan Calhoun (2004) menggunakan istilah pertumbuhan pasca trauma karena penggunaan makna yang sesuai dengan sebuah fenomena. Istilah “pasca trauma” menekankan bahwa pertumbuhan yang terjadi sebagai akibat dari sebuah peristiwa yang sangat menegangkan (peristiwa traumatis hebat) dan bukan sebagai akibat dari stres ringan. Penggunaan istilah “trauma” atau “peristiwa traumatis” dalam tulisan Tedeschi dan Calhoun lebih luas dan lebih inklusif daripada istilah yang ada pada DSM IV (Zoellner & Maercker, 2006). Istilah pertumbuhan menggarisbawahi bahwa orang tersebut telah berkembang melampaui tingkat adaptasi, fungsi psikologis atau kesadaran hidup sebelumnya. 9 Joseph (2009) juga mengenalkan istilah pertumbuhan sebagai potensi yang dimiliki manusia dalam menghadapi peristiwa yang penuh tekanan dan menyakitkan. Konsep pertumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kesamaan dengan konsep pertumbuhan yang diajukan oleh Tedeschi dan Calhoun (1996, 2004) serta Joseph (2009). Istilah pertumbuhan berasal dari konsep psychological growth. Tedeschi, Park dan Calhoun (dalam Sutisna, 2013) lebih menggunakan istilah psychological growth daripada psychological developmental karena psychological growth lebih mempunyai dimensi psikososial yang lebih luas daripada psychological developmental. Dimensi psikososial yang masuk dalam pengertian psychological growth tersebut mencakup peningkatan dalam aspek fisik, emosional, kognitif, sosial dan spiritual yang digambarkan dalam dimensi pertumbuhan pasca trauma yang disusun oleh Tedeschi dan Calhoun pada tahun 1996. Psychological growth yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut psikologi pertumbuhan lebih menekankan pada kepribadian yang sehat yang berakar dari para ahli psikologi humanistik. Para ahli psikologi pertumbuhan yakin bahwa manusia harus berkembang dan bertumbuh melalui kekuatankekuatan yang secara potensial menghambat. Kepribadian yang sehat yang dimaksudkan para ahli psikologi pertumbuhan yaitu mereka yang optimis dan penuh harapan serta percaya terhadap kapasitas diri untuk dapat memperluas, memperkaya, mengembangkan, dan memenuhi kebutuhan sesuai kemampuannya (Schultz, 1991). Beragam pertumbuhan peritiwa pasca traumatis trauma. Uraian juga diketahui penjelasan mampu dari membentuk beberapa literatur 10 menunjukkan beragam peristiwa yang memicu traumatis diantaranya seperti masalah medis (HIV/AIDS, kanker payudara, serangan jantung, cedera otak, cedera tulang belakang, cedera ortopedi serius, penyakit pada sumsum tulang belakang, radang sendi, leukemia, penyakit kronis, penyakit terminal, multiple sclerosis, sakit fisik), bencana alam (tornado, angin topan, gempa bumi, bencana kiriman), kecelakaan transportasi (pesawat, mobil), pengalaman interpersonal (pemerkosaan, kekerasan fisik dan seksual baik pada wanita maupun anak-anak, pelecehan anak), dan pengalaman traumatis lainnya seperti infertilitas, infeksi SARS, perceraian, korban perzinaan, korban penembakan, kehilangan/berkabung/kematian (anak, pasangan atau orangtua), kebakaran rumah, ketergantungan obat-obatan, korban selamat dari peperangan seperti pertempuran militer atau peristiwa traumatis akibat teroris (9/II) dan peristiwa bom (Tedeschi & Calhoun, 1996, 2004; Cheng dkk., 2006; Yu dkk., 2010; Hefferon & Boniwell, 2011; Werdel & Wicks, 2012; Duran, 2013). Penelitian mengenai pertumbuhan pasca trauma di Indonesia juga pernah diteliti oleh Rahmah dan Widuri (2011) mengenai posttraumatic growth pada penderita kanker payudara dan Urbayatun (2012) mengenai peran dukungan sosial, koping religius-islami, dan stres terhadap pertumbuhan pasca trauma pada penyintas gempa yang mengalami cacat fisik. Hasil penelitian menemukan bahwa pada pasien kanker, terdapat dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pasca trauma yaitu dari sisi eksternal (anak dan cucu sebagai life expectation serta motivasi dari orang tua untuk melakukan pengobatan) dan internal (spiritualitas, optimism, resiliensi dan reframing) sedangkan pada penyintas gempa yang mengalami cacat fisik, dukungan sosial diketahui menjadi 11 moderator terbaik hubungan antara stres dengan koping religius-Islami dan hubungan antara koping religius-Islami dengan pertumbuhan pasca trauma. Tedeschi dan Calhoun (2004) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pasca trauma seperti karakteristik individu, karakteristik keadaan sekitar, managemen emosi terhadap peristiwa yang sulit, proses perenungan/kognitif yang secara otomatis atau yang disengaja, selfdisclosure, kepribadian, optimisme, harapan, pengaruh sosial (dukungan sosial) dan budaya, koping, narrative development dan kebijaksanaan. Faktor-faktor yang disebutkan diatas selanjutnya lanjutkan kedalam penelitian payung dengan judul besar determinasi pertumbuhan pasca trauma. Beberapa variabel yang terkait dalam penelitian payung ini seperti karakteristik individu, kepribadian, optimisme, harapan, spiritual, koping dan dukungan sosial. Pada penelitian ini, pertumbuhan pasca trauma dikaitkan dengan peristiwa gempa bumi dengan subjek korban yang mengalami difabel akibat gempa bumi. Beberapa penelitian yang terkait dengan pertumbuhan pasca trauma pada korban gempa telah dilakukan oleh beberapa peneliti baru baru ini (seperti Tang, 2006; Yu dkk., 2010; Xu & Liao, 2011; Urbayatun, 2012; He, Xu & Wu, 2013). Beberapa faktor yang diketahui berperan terhadap pertumbuhan pasca trauma seperti jenis kelamin dimana wanita lebih tinggi pertumbuhan pasca trauma daripada pria (Tedeschi & Calhoun, 1996; Tang, 2006), kepribadian (seperti ekstraversi; Tedeschi & Calhoun, 1996) dan dukungan sosial (Linley & Joseph, 2004a; Sawyer, Ayers & Field, 2010). Jenis kelamin merupakan bagian dari karakteristik demografi individu yang membedakan antara pria dan wanita berdasarkan dimensi biologisnya. Perbedaan jenis kelamin terbukti menjadi prediktor dari berbagai peristiwa 12 traumatis (Calhoun & Tedeschi, 1998; Linley & Joseph, 2004a; Swickert, DeRoma & Saylor, 2004; Salo, Qouta & Purnamaki, 2005). Hal ini dibuktikan dengan banyaknya wanita yang mengalami pertumbuhan setelah melewati peristiwa traumatis daripada pria. Perbedaan jenis kelamin juga didokumentasikan oleh para remaja dan dewasa yang membuktikan bahwa perbedaan jenis kelamin terbukti kuat diberbagai jenis stres termasuk serangan terorisme dan masalah kesehatan kronis (Tedeschi & Calhoun, 1996; Linley & Joseph, 2004a; Jaarsma, Sanderman & Ranchor., 2006; Laufer & Solomon, 2006). Helgeson, Reynolds dan Tomich (dalam Werdel & Wicks, 2012) juga membuktikan bahwa wanita dengan karakteristik nonwhite diketahui lebih mampu merasakan manfaat setelah melewati peristiwa traumatis dalam kehidupannya. Unggulnya wanita dalam berbagai peristiwa trauma tidak terlepas dari beberapa sebab. Taylor, Klein, Lewis dan Gruenewald (2000) membuktikan hormon oksitosin yang berkombinasi dengan hormon wanita (estrogen) berkontribusi membuat wanita cenderung mencari teman ketika menghadapi peristiwa yang menekan atau stres. Disamping itu, wanita juga diketahui lebih terbuka (ekspresif) dan dapat menerima pengalaman emosionalnya (Swickert, dkk., 2004; Jaarsma, dkk., 2006). Eagly dan Crowley (dalam Swickert & Hittner, 2009) juga menemukan bahwa wanita diharapkan dan didorong untuk mencari bantuan kepada orang lain ketika menghadapi masalah. Berbeda dengan pria yang lebih tertutup karena akan menunjukkan kelemahan ketika mencari bantuan saat menghadapi masalah. Hal ini memungkinkan wanita untuk dapat menjalin komunikasi dengan orang lain daripada pria ketika menghadapi peristiwa stres. 13 Sebaliknya, penelitian yang dilakukan oleh Polantinsky dan Esprey (dalam Linley & Joseph, 2004a) tidak menemukan perbedaan jenis kelamin (ayah dan ibu) pada subjek orang tua yang kehilangan anaknya. Penelitian lain yang dilakukan Urbayatun (2012) pada subjek penyintas gempa yang mengalami cacat fisik juga tidak menemukan perbedaan jenis kelamin yang dapat memprediksi pertumbuhan pasca trauma. Temuan yang berbeda dari beberapa ahli tersebut menunjukkan bahwa jenis kelamin masih menjadi pertanyaan apakah memang berperan terhadap pertumbuhan pasca trauma. Karakteristik individu lainnya yaitu kepribadian. Peranan karakteristik kepribadian dalam berbagai jenis trauma masih belum jelas apakah karakteristik kepribadian sudah ada sebelum peristiwa trauma terjadi atau terbentuk setelah peristiwa trauma terjadi. McCrae dan Costa (dalam Tedeschi & Calhoun, 1996) melalui penelitian panjang mengenai kepribadian sebelum dan sesudah peristiwa traumatis seperti kehilangan membuktikan bahwa kepribadian secara umum sudah ada sebelum peristiwa traumatis dan kepribadian tidak terpengaruh (relatif menetap) pasca peristiwa traumatis. Tipe kepribadian yang sering kali dikaitkan dengan peristiwa stres, trauma dan growth adalah tipe kepribadian Big Five Personality atau kepribadian lima besar (Tedeschi & Calhoun, 1996, 2004; Wang, Wang, Wang, Wu & Liu, 2013). Kepribadian lima besar terdiri lima dimensi yaitu extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism dan openness to experience. Variasi hubungan rendah hingga sedang antara kepribadian lima besar dengan peristiwa traumatis tidak dapat terelakkan. Tedeschi dan Calhoun (1996; 2004) menemukan extraversion dan openness memungkinkan mempengaruhi individu untuk menjadi lebih kearah 14 positif selama melewati pengalaman stres dan trauma dan tidak ditemukan pada dimensi kepribadian lainnya seperti agreeableness dan conscientiousness (Tedeschi & Calhoun, 2004). Individu dengan karakteristik kepribadian extraversion dan openness memiliki kecenderungan untuk bersikap terbuka terhadap pengalaman internalnya. Jaarsma dkk., (2006) juga membuktikan bahwa openness to experience juga membantu individu dalam melewati peristiwa trauma pada subjek yang menderita kanker. Evers, Kraaimaat, van Lankveld, Jongen, Jacobs dan Bijlsma (2001) mereplikasi hubungan antara extraversion, neutoticism, harga diri and optimis pada subjek yang menderita arthritis dan multiple sclerosis. Hasil penelitian menemukan bahwa extraversion, harga diri dan optimis yang tinggi mampu melewati peristiwa traumatis dan mengalami pertumbuhan pasca peristiwa traumatis. Namun tidak ditemukan hubungan neuroticism dengan peristiwa traumatis (Tedeschi & Calhoun, 1996, 2004; Jaarsma, dkk., 2006). Kepribadian ekstraversi mendominasi perannya dalam menghadapi peristiwa traumatis. Costa dan McCrae (dalam Ramdhani, 2009), menganalogikan ekstraversi dengan pandai bergaul, tegas, aktif atau energik, suka mencari pengalaman baru dan hangat. Individu yang menyadari adanya emosi positif saat berada dalam peristiwa yang sulit, akan dapat memproses informasi tentang pengalaman yang lebih efektif dan menghasilkan perubahan skema yang menunjang pertumbuhan pasca trauma. Aspinwall (dalam Tedeschi & Calhoun, 2004) juga membuktikan bahwa emosi positif mempengaruhi pengolahan informasi. Individu dengan kepribadian ekstroversi dapat lebih mentolelir stimulasi dan meningkatkan dukungan sosial. Cohen dan Wills (dalam Swickert & Hittner, 15 2009) menemukan bahwa dukungan sosial dapat membantu inidividu dalam mengevaluasi peristiwa untuk mengurangi stres dan telah terbukti mampu mempengaruhi kesehatan. Temuan ini diperkuat oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Taylor (2006) yang menemukan bahwa individu dengan dukungan sosial yang tinggi memiliki stres rendah dan dapat terhindar dari efek negatif stres (Smet, 1994). Bentuk dukungan sosial pun beragam seperti dukungan emosional, penghargaan, instrumental, dan informatif (Cobb dkk., dalam Sarafino 1990; House & Khan, 1985). Urbayatun (2012) pada studi pendahuluannya menemukan aspek-aspek dukungan sosial bagi penyandang difabel meliputi dukungan afeksi, dukungan sarana, dan dukungan aktifitas. Dalam keadaan tertekan, dukungan sosial berperan mengurangi stres dengan menyediakan dukungan afeksi, sarana, dan aktifitas sebagai penunjang dalam proses pertumbuhan. Dukungan sosial dapat mempengaruhi peristiwa traumatis dengan beberapa cara diantaranya membiarkan individu yang mengalami trauma untuk berbicara mengenai pengalaman yang mereka rasakan sehingga membuat individu memiliki kesempatan untuk menerima dukungan emotional, umpan balik informasi mengenai peristiwa stres yang dihadapinya (Swickert & Hittner, 2009). Dukungan sosial yang diterima oleh para korban gempa yang mengalami difabel akibat gempa bumi juga beragam dari keluarga, saudara, sahabat, teman, pemerintah hingga lembaga masyarakat. Dukungan yang bersumber dari keluarga dan pemerintah menjadi hal yang penting bagi kenyamanan fisik dan psikologis para korban yang mengalami difabel akibat gempa bumi untuk keberlangsungan hidup kedepannya. 16 Pasca gempa, pemerintah memfasilitasi pembangunan rumah yang roboh, bantuan usaha dan kesehatan bagi para korban gempa. Bentuk kepedulian pemerintah dan lembaga masyarakat juga menjadi sumber kekuatan untuk dapat maju menghadapi kehidupan selanjutnya. Namun, kepedulian pemerintah terhadap nasib para korban gempa hanya berlangsung satu hingga dua tahun pasca gempa (Decubitus, 2014). Menginjak tahun ketiga dan selanjutnya hanya ada beberapa lembaga sosial yang masih peduli memberikan dukungan baik berupa materi, support, pelatihan dan lain sebagainya. Dukungan sosial sangat dibutuhkan bagi para korban yang mengalami difabel akibat gempa hingga saat ini, diantaranya mengenai permasalahan seperti kesehatan dan ekonomi. Kepedulian kepada korban yang mengalami difabel akibat gempa bumi masih banyak dibutuhkan. Swickert dan Hittner (2009) serta Rahmah dan Widuri (2011) melalui penelitiannya membuktikan bahwa dukungan sosial dapat meningkatkan perasaan individu melalui kedekatan dengan keluarga dan jaringan sosial lainnya. Ketika individu yang mengalami trauma berusaha keluar untuk mencari dukungan dan dukungan tersebut sudah tersedia, individu akan melihat orang lain dengan cara yang lebih positif dan tumbuh lebih dekat dengan orang-orang dalam jaringan dukungan mereka. Dari paparan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa individu dengan karakteristik wanita memiliki kepribadian ekstraversi yang pandai bergaul, tegas, aktif atau energik, suka mencari pengalaman baru dan hangat serta didukung dengan kemampuan sosialnya yang baik dapat dipastikan bahwa individu tersebut dapat dengan mudah menghadapi peristiwa traumatis dan berpotensi tinggi mengalami pertumbuhan pasca trauma. 17 Kenyataannya, tidak semua individu yang mengalami peristiwa traumatis hebat mampu melewati, menerima dan mengalami pertumbuhan. Penelitian Urbayatun (2012) menunjukkan adanya variasi pertumbuhan pasca trauma pada penyintas bencana gempa yang mengalami cacat fisik. Mayoritas subjek menunjukkan pertumbuhan pasca trauma sedang sebesar 43,4%. Terlihat pula masih ada subjek dengan kategori rendah sebesar 26,2% dan rendah sekali sebesar 6,1%. Sisanya berada pada kategori tinggi sebesar 14,4% dan tinggi sekali sebesar 9,9% dari total subjek 263 orang. Variasi pertumbuhan pasca trauma pada penyintas gempa yang mengalami cacat fisik menunjukkan bahwa pertumbuhan pasca trauma bukanlah hal yang bisa dianggap universal. Tidak semua orang mampu menghadapi peristiwa traumatis seperti gempa terutama bagi mereka yang mengalami difabel akibat gempa bumi. Pertumbuhan pasca trauma dapat dicapai dengan kegigihan dan keyakinan yang kuat dari individu yang didukung oleh lingkungan. Melalui wawancara (28 Oktober 2014) dengan salah satu korban yang mengalami difabel fisik pada tangan, Ibu R dulunya merupakan ibu rumah tangga dengan dua orang anak. Sejak peristiwa gempa tahun 2006 tersebut, Ibu R mengalami cedera pada lengan yang mengharuskannya melakukan perawatan selama beberapa bulan di rumah sakit Solo. Suami Ibu R juga mengalami cedera pada tulang belakang yang berdampak pada keterbatasan dalam beraktifias. Keterbatasan yang dimiliki suami Ibu R, mengaharuskan Ibu R membantu suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kegigihan Ibu R untuk bekerja dengan keterbatasan fisiknya menunjukkan bahwa sebagai korban yang mengalami difabel akibat gempa bumi, Ibu R dapat menjalankan kehidupan 18 barunya dengan penuh sungguh-sungguh tanpa ada penyesalan akibat peristiwa yang lalu. Beberapa penelitian sebelumnya yang terkait dengan korban yang mengalami difabel akibat gempa bumi yaitu Fauziah (2008) yang memfokuskan pada peran terapi suportif reassurance terhadap penderita paraplegi survivor gempa Bantul, Florentius (2009) yang memfokuskan pada rehabilitasi pada penyandang cacat akibat gempa, dan Urbayatun (2012) yang memfokuskan pada pertumbuhan pasca truma dengan dukungan sosial, coping religi-Islami dan stres. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk mengetahui peran jenis kelamin, kepribadian ekstraversi dan dukungan sosial terhadap pertumbuhan pasca trauma pada korban yang mengalami difabel akibat gempa bumi. B. Rumusan Permasalahan 1. Bagaimana peran jenis kelamin, kepribadian ekstraversi dan dukungan sosial terhadap pertumbuhan pasca trauma pada korban yang mengalami difabel akibat gempa bumi? 2. Bagaimana peran jenis kelamin terhadap pertumbuhan pasca trauma pada korban yang mengalami difabel akibat gempa bumi? 3. Bagaimana peran kepribadian ekstraversi terhadap pertumbuhan pasca trauma pada korban yang mengalami difabel akibat gempa bumi? 4. Bagaimana peran dukungan sosial terhadap pertumbuhan pasca trauma pada korban yang mengalami difabel akibat gempa bumi? 19 C. Tujuan Dan Manfaat Pelaksanaan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Peran jenis kelamin, kepribadian ekstraversi dan dukungan sosial terhadap pertumbuhan pasca trauma pada korban yang mengalami difabel akibat gempa bumi. 2. Peran jenis kelamin terhadap pertumbuhan pasca trauma pada korban yang mengalami difabel akibat gempa bumi. 3. Peran kepribadian ekstraversi terhadap pertumbuhan pasca trauma pada korban yang mengalami difabel akibat gempa bumi. 4. Peran dukungan sosial terhadap pertumbuhan pasca trauma pada korban yang mengalami difabel akibat gempa bumi. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan kontribusi secara teoritis maupun praktis yaitu: 1. Secara teoritis penelitian ini dapat menambah informasi dan pengetahuan di bidang psikologi, khususnya psikologi klinis, tentang pertumbuhan pasca trauma pada korban yang mengalami difabel akibat gempa bumi. 2. Secara praktis penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam memberikan intervensi pada korban yang mengalami difabel akibat gempa bumi berkaitan dengan jenis kelamin, kepribadian ekstraversi dan dukungan sosial untuk meningkatkan pertumbuhan pasca trauma. D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian yang dilakukan mengenai pertumbuhan pasca trauma, jenis kelamin, kepribadian ekstraversi dan dukungan sosial pada korban yang 20 mengalami difabel akibat gempa bumi sepanjang penulis ketahui di lingkungan Universitas Gadjah Mada diantaranya: 1. Urbayatun (2012) tentang Peran Dukungan Sosial, Koping ReligiusIslami, dan Stres terhadap Pertumbuhan Pasca Trauma (PPT) pada Penyintas Gempa yang Mengalami Cacat Fisik. Tujuan penelitian untuk meneliti pertumbuhan pasca trauma pada penyintas gempa yang mengalami cacat fisik, melalui model moderasi dukungan sosial, stress buffering model, dan peran mediasi koping religius-islami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model dukungan sosial menjadi moderator hubungan dua jalur sekaligus, yaitu antara stres dengan koping religiusislami dan antara koping religius-islami dengan PPT. Ditemukan adanya peran usia, pendidikan, lama perkawinan, dan keparahan terhadap PPT namun tidak ada peran gender, pekerjaan, penghasilan, dan status perkawinan terhadap PPT. 2. Florentius (2009) tentang Rehabilitasi Penyandang Cacat Akibat Gempa di Kabupaten Bantul. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik informan, memperoleh gambaran tentang kemandirian dan keberfungsian sosial penyandang cacat akibat gempa dengan pemberian pelayanan rehabilitasi yang berbentuk bimbingan sosial dan keterampilan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelayanan rehabilitasi berupa bimbingan sosial dan keterampilan belum optimal karena waktu pelaksanaan yang sangat singkat, namun penyandang cacat telah mendapat motivasi yang baik dalam bimbingan sosial, sehingga para penyandang cacat dapat memahami dan menyadari terhadap kenyataan yang menimpa dirinya. 21 3. Fauziah (2008) tentang Peran Terapi Suportif Reassurance Terhadap Depresi pada Penderita Paraplegi Survivor Gempa Bantul. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peran terapi suportif reassurance untuk menurunkan tingkat depresi pada penderita paraplegi survivor gempa Bantul. Hasil penelitian menunjukkan terapi suportif reassurance dapat menurunkan tingkat depresi dengan pola penurunan simtom yang bervariasi anatar simtom yang satu dengan simptom yang lain. Variasi ini juga terjadi antara partisipan satu dengan yang lain. Hasil penelitian kualitatif menunjukkan terapi suportif reassurance dapat mengubah kesadaran partisipan dalam memahami dirinya, mempengaruhi sikapnya dalam menghadapi permasalahan yang dialami. Perbedaan penelitian saat ini dengan sebelumnya, bahwa dalam peneliti ini memperhatikan jenis kelamin, kepribadian ekstraversi, dukungan sosial dan pertumbuhan pasca trauma pada korban yang mengalami difabel akibat gempa bumi.