BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1.Tentang Autis Sejarah munculnya terminologi autistik pertama kali dicetuskan oleh Eugen Bleuler seorang psikiotrik Swiss pada tahun 1911. Dimana terminology ini digunakan pada penderita schizophrenia anak remaja.1Pada tahun 1943, Dr. Leo Kanner dari Johns Hopkins University mendeskripsikan tentang autistik pada awal masa kanakkanak. Penemuannya didasarkan pada hasil observasi dari 11 anak-anak dari tahun 1938-1943. Penemuan Leo Kanner ini diyakini menjadi penemuan pertama tentang apa itu autis. Kata autis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata ‘autos’ yang berarti ‘Aku’.2 Dalam pengertian non-ilmiah dapat diinterpretasikan bahwa semua anak yang mengarah pada dirinya sendiri disebut autistik. Berk dalam buku yang sama menyebutkan autis dengan istilah “Absorbed in the self “.3 Dengan demikian autism dapat didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asyik dengan dirinya sendiri. Pengertian ini menunjuk pada bagaimana anak-anak autis gagal bertindak dengan minat pada orang lain, tetapi kehilangan beberapa penonjolan 1 Yuwono. Joko., (2012): Memahami Anak Autistik, Kajian Teoritik dan Empirik, Penerbit Alfabeta, Bandung, hal. 8 2 Monks dkk 1998 dalam Yuwono. Joko., (2012): Memahami Anak Autistik, Kajian Teoritik dan Empirik, Penerbit Alfabeta, Bandung, hal. 24 3 Ibid, hal. 24 perilaku mereka. Ini tidak membantu orang lain untuk memahami seperti apa dunia mereka.Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang berhubungan dengan komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya sudah terlihat sebelum usia tiga tahun. Bahkan apabila autis infantil, gejalanya sudah ada sejak bayi. Autis juga merupakan suatu konsekuensi dalam kehidupan mental dari kesulitan perkembangan otak yang kompleks yang mempengaruhi banyak fungsifungsi, antara lain persepsi (perceiving), intending, imajinasi (imagining) dan perasaan (feeling).4 Autis juga dapat dinyatakan sebagai suatu kegagalan dalam penalaran sistematis (sistematic reasoning). Dalam suatu analisis ‘microsociological’ tentang logika pemikiran mereka dan interaksi dengan yang lain.Sunu mengatakan bahwa anak autis selektif terhadap stimulasi rangsangan dari lingkungan sehingga seringkali kesulitan menangkap informasi secara maksimal dari sekitarnya.5 Anak autis memiliki kekurangan pada ‘creative induction’ atau membuat penalaran induksi yaitu penalaran yang bergerak dari premis-premis khusus (minor) menuju kesimpulan umum. Namun memiliki kelebihan di dalam deduksi, yaitu bergerak pada kesimpulan khusus dari premis-premis (khusus) dan kuat di dalam abduksi yaitu peletakan premis-premis umum pada kesimpulan khusus. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kemampuan kognitif anak autis. Sebagai informasi terdapat sekitar 40% anak autis 4 Aquirre.Blaise. MD., Anjaly Sastry., (2012) : Parenting Anak Dengan Autisme. Solusi, Strategi dan Saran Praktis Untuk Membantu Keluarga Anda, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 24. 5 Sunu. Christoper.,( 2012) : Unlocking Autism,Panduan Memecahkan Masalah Autism, Griya Taman Asri Blok c-335, Yogyakarta, hal. 8 dengan IQ dibawah 50 dan 30% dengan IQ di antara 70.6Namun lebih dari hal itu kognitif yang dimaksud diatas adalah kemampuan yang mencakup aktifitas mengamati, menafsirkan, memperkirakan, mengingat, menilai dan lain sebagainya.7 Diagnostic Statistical Manual (DSM IV) yang dikembangkan oleh para psikiater dari Amerika8 mendefinisikan anak autis melalui keadaan yang ada pada diri seseorang seperti di bawah ini. Melalui konsep bahwa keadaan anak tersebut mewakili paling sedikit enam pokok dari kelompok a, b dan c di bawah ini yang meliputi : a. Gangguan interaksi sosial yang meliputi (paling sedikit dua diantaranya) : 1. Memiliki kesulitan dalam mengunakan berbagai perilaku nonverbal seperti, kontak mata, ekspresi muka, sikap tubuh dan bahasa tubuh lainnya yang mengatur interaksi sosial. 2. Memiliki kesulitan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya atau teman yang sesuai dengan tahap perkembangan mentalnya. 3. Ketidakmampuan untuk berbagi kesenangan, minat, atau keberhasilan secara spontan dengan orang lain (seperti, kurang tampak adanya perilaku memperlihatkan, membawa atau menunjuk objek yang menjadi minatnya). 6 Safaria. Triantoro., (2005) : Autisme, Pemahaman Baru untuk Hidup Bermakna bagi Orang Tua, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 7 7 Yanuarita. Franc.Andri. S.Psi., (2014) :Rahasia Otak dan Kecerdasan Anak, Teranova Books, Yogyakarta, hal. 66 8 Yuwono. Joko., (2012): Memahami Anak Autistik, Kajian Teoritik dan Empirik, Penerbit Alfabeta, Bandung, hal. 149. 4. Ketidakmampuan dalam membina hubungan sosial atau emosi yang timbal balik. b. Gangguan dalam berkomunikasi yang meliputi (paling sedikit satu diantaranya) : 1. Keterlambatan dalam perkembangan bicara atau sama sekali tidak mampu (bukan disertai dengan mencoba untuk mengkompensasikannya melalui caracara komunikasi alternatif seperti gerakan tubuh atau lainnya). 2. Bagi individu yang mampu berbicara, kurang mampu untuk memulai pembicaraan atau memelihara suatu percakapan dengan yang lain. 3. Pemakaian bahasa yang stereotip atau berulang-ulang atau bahasa yang aneh (idiosyncantric). 4. Cara bermain kurang bervariatif, kurang mampu bermain pura-pura secara spontan, kurang mampu meniru secara sosial sesuai dengan tahap perkembangan mentalnya. c. Gangguan minat perilaku yang terbatas, repetatif, dan stereotip yang meliputi (paling tidak satu diantaranya) : 1. Keasyikan dengan satu atau lebih pola-pola minat yang terbatas dan stereotip baik dalam intensitas maupun dalam fokusnya. 2. Tampak tidak fleksibel atau kaku dengan rutinitas atau ritual yang khusus, atau yang tidak memiliki manfaat. 3. Perilaku motorik yang stereotip dan berulang-ulang (seperti, memukul-mukul atau menggerak-gerakkan tangannya atau mengetuk-ngetukkan jarinya, atau menggerakkan seluruh tubuhnya). 4. Keasikan yang menetap dengan bagian-bagian dari benda tanpa menyenangi bagian yang lain yang tidak dikenal. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak autis adalah anak-anak yang mengalami kesulitan perkembangan otak yang kompleks yang mempengaruhi banyak fungsi-fungsi otak. Keadaan ini terjadi sebelum mereka berusia tiga tahun dengan dicirikan oleh adanya hambatan kualitatif dalam interaksi sosial, komunikasi dan terobsesi pada satu kegiatan atau obyek yang mana mereka memerlukan layanan pedidikan khusus untuk mengembangkan potensinya. 2.2. Faktor Penyebab Autis 2.2.1. Faktor Genetik Berdasarkan kompleksitas dan keragaman serta jumlah gen yang bertanggungjawab atas pembentukannya, autis melibatkan banyak gen. Dari perspektif genetika, jika seorang anak menderita autism maka anak yang lain yang lahir dari ibu yang sama mempunyai risiko juga.9 Lebih kurang 20% dari kasus-kasus autisme disebabkan oleh faktor genetik. Penyakit genetik yang sering dihubungkan dengan autisme adalah tuberous sclerosis (17-58%) dan sindrom fragile-X(20-30%). Disebut fragile-X karena secara sitogenetik penyakit ini ditandai oleh adanya kerapuhan (fragile) yang tampak seperti patahan diujung akhir lengan panjang kromosom X 4. Sindrom fragile-X merupakan 9 Aquirre.Blaise. MD., Anjaly Sastry., (2012), op.cit., hal. 45 penyakit yang diwariskan secara X-linked (X terangkai) yaitu melalui kromosom X. Pola penurunannya tidak umum, yaitu tidak seperti penyakit dengan pewarisan Xlinked lainnya, karena tidak bisa digolongkan sebagai dominan atau resesi, laki-laki dan perempuan dapat menjadi penderita maupun pembawa sifat (carrier).10 2.2.2. Ganguan pada Sistem Syaraf Banyak penelitian yang melaporkan bahwa anak autis memiliki kelainan pada hampir semua struktur otak. Tetapi kelainan yang paling konsisten adalah pada otak kecil. Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel purkinye diotak kecil pada autisme. Berkurangnya sel purkinye diduga dapat merangsang pertumbuhan akson, glia dan myelin sehingga terjadi pertumbuhan otak yang abnormal. Sebaliknya pertumbuhan akson yang abnormal dapat menimbulkan sel purkinye mati.11 Otak kecil berfungsi mengontrol fungsi luhur dan kegiatan motorik, juga sebagai sirkuit yang mengatur perhatian dan penginderaan. Jika sirkuit ini rusak atau terganggu maka akan mengganggu fungsi bagian lain dari sistem saraf pusat, seperti misalnya sistem limbik yang mengatur emosi dan perilaku. 2.2.3. Ketidakseimbangan Kimiawi Beberapa peneliti menemukan sejumlah kecil dari gejala autistik berhubungan dengan makanan atau kekurangan kimiawi di badan. Alergi terhadap makanan 10 11 Faradz. MH., Sultana Dr. Ph.D, Jurnal Kesehatan Indonesia 2003 Dr. Hardiono D. Pusponegoro, SpA(K),2003 tertentu, seperti bahan-bahan yang mengandung susu, tepung gandum, daging, gula, bahan pengawet, penyedap rasa, bahan pewarna, dan ragi. Untuk memastikan pernyataan tersebut, selama tahun 2000 sampai 2001 telah dilakukan pemeriksaan terhadap 120 orang anak yang memenuhi kriteria gangguan autisme menurut DSM IV. Rentang umur antara 1-10 tahun, dari 120 orang itu 97 adalah anak laki-laki dan 23 orang adalah anak perempuan. Dari hasil pemeriksaan diperoleh bahwa anak- anak ini mengalami gangguan metabolisme yang kompleks, dan setelah dilakukan pemeriksaan untuk alergi, ternyata dari 120 orang anak yang diperiksa, 100 anak (83,33%) menderita alergi susu sapi, gluten dan makanan lain, 18 anak (15%) alergi terhadap susu dan makanan lain, 2 orang anak (1,66 %) alergi terhadap gluten dan makanan lain.12 Penelitian lain menghubungkan autism dengan ketidakseimbangan hormonal, peningkatan kadar dari bahan kimiawi tertentu di otak, seperti opioid, yang menurunkan persepsi nyeri dan motivasi. 2.3. Perilaku dan Hambatan Anak Autis 2.3.1. Perilaku Sosial Perilaku sosial memungkinkan seorang individu untuk berhubungan dan berinteraksi dalam seting interaksi sosial. Anak-anak autis yang nonverbal telah diketahui bahwa mereka mengabaikan (ignore) orang lain, memperlihatkan masalah umum dalam bergaul dengan orang lain secara sosial. Hal ini senada dengan apa yang 12 Dr. Melly Budiman, SpKJ, 2003 disebut oleh Yuwono13 bahwa perilaku sosial anak autis yang muncul sering sekali tidak sinkron dengan nilai-nilai sosial di lingkungannya. Ekspresi sosial mereka terbatas pada ekspresi emosi-emosi yang ekstrim, seperti menjerit, menangis atau tertawa yang sedalam-dalamnya. Anak-anak autis tidak menyukai perubahan sosial atau gangguan dalam rutinitas sehari-hari dan lebih suka apabila dunia mereka tetap sama. Apabila terjadi perubahan, mereka cenderung lebih mudah marah, contohnya mereka akan marah apabila mengambil rute pulang dari sekolah yang berbeda dari yang biasa dilewati, atau posisi furniture di dalam kelas berubah dari semula. Anakanak autis sering memperlihatkan perilaku yang merangsang dirinya sendiri (selfstimulating) seperti mengepak-ngepakkan tangan (hand flapping), mengayun-ayun tangan ke depan dan kebelakang, membuat suara-suara yang tetap (ngoceh), atau menyakiti diri sendiri (self-inflicting injuries) seperti menggaruk-garuk, kadang sampai terluka dan menusuk-nusuk. Perilaku merangsang diri sendiri lebih sering terjadi pada waktu yang berbeda dari kehidupan anak atau selama situasi sosial berbeda. Safaria,14 menyebut ini sebagai perilaku ritualistik yang pada beberapa anak memaksakan terlaksananya urutan peristiwa tertentu sebelum tidur. 13 Yuwono. Joko., (2012): Memahami Anak Autistik, Kajian Teoritik dan Empirik, Penerbit Alfabeta, Bandung, hal. 53 14 Safaria. Triantoro., (2005) : Autisme, Pemahaman Baru untuk Hidup Bermakna bagi Orang Tua, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 6. 2.3.2. Perilaku Komunikasi Anak autis sangat berbeda dengan anak yang lain dalam berbahasa dan berkomunikasi karena mereka kesulitan memproses dan memahami bahasa.15 Hal ini menjadi perilaku komunikasi yang menghambat perkembangan anak autis. Dalam meningkatkan perkembangan kecerdasan anak autis, peran bahasa atau komunikasi itu sangatlah penting. Bahasa termasuk pembentukan kata-kata, belajar aturan-aturan untuk merangkai kata-kata menjadi kalimat dan mengetahui maksud atau suatu alasan menggunakan bahasa. Bahasa merupakan sesuatu yang abstrak. Pemahaman bahasa memerlukan fungsi pendengaran yang baik dan persepsi pendengaran yang baik pula. Bahasa pragmatis yang merupakan penerjemahan (interpreting) dan penggunaan bahasa dalam konteks sosial, fisik (physical) dan konteks linguistik. Pragmatis dan komunikasi berhubungan erat, untuk menjadi seorang komunikator yang berhasil, seorang anak harus memiliki pengetahuan tentang bahasa yang dipergunakannya sama baiknya dengan pemahaman tentang manusia dan dimensi dunia yang bukan manusia. Bahasa meliputi ujaran, tulisan, symbol dan gesture tubuh yang semuanya dilihat dalam konteks dan setting. Bagi anak yang sulit menyerap, memproses dan mengintegrasikan informasi indra maka akan mengalami tantangan bagaimana komunikasi nonverbal bisa cocok dengan kata-kata.16 15 Thompson. Jenny., (2012) : Memahami Anak Berkebutuhan Khusus, (terj), Esensi Erlangga Indonesia, hal. 88. 16 Aquirre.Blaise. MD., Anjaly Sastry., (2012), op.cit., hal. 206. Komunikasi adalah kemampuan untuk membiarkan orang lain mengetahui apa yang diinginkan individu, menjelaskan tentang suatu kejadian kepada orang lain, untuk menggambarkan tindakan dan untuk mengakui keberadaan atau kehadiran orang lain. Komunikasi dapat dilakukan secara verbal dan nonverbal. Komunikasi dapat dijalin melalui gerakan tubuh, melalui isyarat atau dengan menunjukkan gambar atau kata-kata. Secara tidak langsung komunikasi menyatakan suatu situasi sosial antara dua individu atau lebih. Dalam komunikasi, orang yang membawa pesan disebut pemrakarsa (initiator) sedangkan orang yang mendengarkan pesan disebut penerima pesan. Pesan bergantian antara pemrakarsa dan penerima pesan. Untuk memenuhi kemampuan (competent) dalam keterampilan pragmatis anak harus mengetahui, memahami dan mengerti kedua peran tersebut, sebagai pemrakarsa dan sebagai penerima pesan. Seorang ahli bedah otak bernama Penfield17 berkesimpulan, orang merasakan lagi emosi yang pada mulanya dihasilkan oleh keadaan dalam dirinya. Dia sadar akan interpretasi yang sama, benar atau salah, yang dia berikan terhadap pengalaman itu pada saat-saat pertama. Jadi, ingatan yang timbul bukanlah reproduksi fotografis atau fonografis adegan atau peristiwa masa lampau. Tepatnya, ingatan itu adalah reproduksi dari apa yang dilihat, didengar, dirasa dan dimengerti.18 Kegagalan menerima isi pesan secara cermat disebut kegagalan komunikasi primer, dalam hal ini terutama anak autis mengalami kegagalan menerima isi pesan. Komunikasi juga dimaksudkan untuk menimbulkan kesenangan dan kehangatan 17 Harris, (1987) hal. 21 Rakhmat.Jalaluddin., ( 2008 ) : Psikologi Komunikasi, Penerbit Remaja Rosdekarya,Yogyakarta, hal. 13. 18 hubungan, namun pada kasus anak autis, kesenangan terhadap benda maupun manusia ditunjukkan dengan emosi yang mendalam. Faisal Yatim19 mengatakan kualitas komunikasi pada anak autis sangat buruk, mereka tidak mampu menganalisis dan memahami sistem komunikasi manusia. Kemampuan bicara mengalami keterlambatan, bahasa yang tidak lazim selalu diulang-ulang, dan tidak nampak usaha dari si anak untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Mereka juga tidak mampu berbagi rasa terhadap perasaan orang sekitar dalam hubungan antar teman sepergaulan serta perilaku berkomunikasi. Menurut Hovland dalam Blake Haroldsenkomunikasi antarpribadi sebagai Interpersonalcommunication as interacting situation in whichan individual (the comunicator) transmit stimuli (usually verbal symbols) to modify the behavior of other individuals (communicates) in face to face setting.20 Hovland berpendapat bahwa komunikasi antarpribadi sebagai suatu situasi interaksi, dimana individu (komunikator) mengirim stimulus (perangsang) berupa simbol verbal untuk mengubah perilaku individu-individu lain dalam situasi tatap muka. Wood21, berpendapat bahwa, “Skill interpersonal communication is directly linked to the quality of our lives. Interpersonal communication help us seek our personal goals, the prosess of intrapersonal communication is the basis of our relationships”. 19 Yatim. Faisal., (2003) : Autisme : Suatu Gangguan Jiwa Pada Anak-Anak, Pustaka Populer Obor, Jakarta, hal. 24. 20 Psikologi, amarsuteja.blogspot.com 21 Wood., (1983) hal.6 Kemampuan komunikasi antar pribadi itu memberi pengaruh langsung terhadap kualitas hidup seseorang, dan membantu dalam bentuk suatu kesamaan dan menyesuaikan dengan yang lain. Kemampuan komunikasi antar pribadi memungkinkan seseorang mengatur perilaku sosial dalam usaha pencapaian dasar dari hubungan yang dilakukannya. Dengan memahami perilaku yang ada pada anak autis diatas maka anak autis sangat membutuhkan orang dewasa sebagai pemrakarsa. Pemrakarsa memberikan kesempatan anak autis untuk memberi respon atas apa yang diajukan oleh pemrakarsa tersebut. Respon yang dimaksud adalah baik itu melalui kata-kata yang bisa diucapkan atau juga respon secara nonverbal. Kemungkinan yang lebih biasa dengan keadaan anak autis adalah merespon dengan nonverbal. Yang harus dikuatkan adalah bagaimana agar anak autis merespon secara nonverbal dan mampu mengatakannya dengan gerakan. Memahami kesulitan diatas dan untuk memberikan efek terbaik dalam program pengembangan kecerdasan kinestetik jasmani anak autis sangat dibutuhkan peranan orang lain (orang dewasa, pekerja sosial, guru dan orangtua). Sangat sulit diharapkan inisiatif dari anak autis itu sendiri. Kalaupun ide itu ada namun sulit sekali mengkomunikasikannya. Dalam hal inilah peranan orang dewasa sangat dibutuhkan untuk dapat mencapai peningkatan yang maksimal. 2.3.3. Hambatan Anak Autis Anak autis termasuk salah satu tipe anak yang mengalami gangguan perkembangan kompleks yang berdampak pada perkembangan sosial, komunikasi perilaku dan emosi yang tidak berkembang secara optimal. Akibat gangguan perkembangan ini anak menjadi kurang memperhatikan lingkungannya dan asyik dengan dunianya sendiri. Gangguan tersebut bersumber pada gangguan otak yang terdapat pada bagian interaksi dan komunikasi sehingga para penyandang autism mengalami kesulitan pada komunikasi verbal dan nonverbal, interaksi sosial, aktivitas bermain. Kesulitan ini menyebabkan anak autis kesulitan melakukan interaksi dengan orang lain dan dunia luar. Kondisi anak autis tidak hanya mempengaruhi kehidupan anak itu sendiri namun juga berdampak pada orang tua dan anggota keluarganya serta lingkungan sosial dimana anak itu berada. Permasalahan yang utama yaitu ketidakmampuan anak untuk memahami informasi dan komunikasi. Dengan memperhatikan keterangan yang disebut diatas kita bisa melihat beberapa hal yang dikategorikan menjadi hambatan anak-anak autis. Hal ini mungkin belum mencakup keseluruhan secara sempurna namun cukup mewakili hambatan yang pada umumnya dimiliki anak autis. Lorna Wing22 mengelompokkannya dalam dua hal yaitu masalah dalam memahami lingkungan (problem in understanding the world) dan masalah gangguan perilaku dan emosi (difficult behaviour and emotional problems). Kalau kita jabarkan kedua hal tersebut, ada beberapa hal yang menjadi perhatian kita tentang hambatan pada anak autis23 yakni, 22 Wing. Lorna., ( 1974) : Autistic Children a Guide For Parents and Proffesionals, The Citadel Press, New Jersey, hal. 23 Konsep ini dipadu dengan data yang ada di id.wikipedia.org/wiki/Autisme dan file.upi.edu/Hambatan-Perkembangan. 1. Sulit dalam memahami pembicaraan (difficulties in understanding speech). Anak autis tampak tidak menyadari bahwa pembicaraanmemiliki makna, tidak dapat mengikuti perintah verbal, mendengar peringatan atau paham apabila dirinya dimarahi (scolded). Menjelang usia lima tahun banyak anak autis yang mengalami keterbatasan dalam memahami pembicaraan. Beberapa anak autis tidak pernah berbicara, beberapa anak autis belajar untuk mengatakan sedikit kata-kata, biasanya mereka mengulang kata-kata yang diucapkan orang lain. Mereka memiliki kesulitan dalam mempergunakan kata sambung, tidak dapat menggunakan kata-kata secara fleksibel atau mengungkapkan ide. 2. Lemah dalam pengucapan dan kontrol suara (poor pronounciation and voice control). Beberapa anak autis memiliki kesulitan untuk membedakan suara tertentu yang mereka dengar. Mereka kebingungan dengan kata-kata yang hampir sama, dan memiliki kesulitan untuk mengucapkan kata-kata yang sulit. Mereka biasanya memiliki kesulitan dalam mengontrol kekerasan (loudness) suara. 3. Masalah dalam memahami benda yang dilihat (problems in understanding things that are seen).Beberapa anak autis sangat sensitif terhadap cahaya yang sangat terang, seperti cahaya lampu kamera (blitz).Anak autis mengenali orang atau benda dengan gambaran mereka yang umum tanpa melihat detil yang tampak. 4. Indra peraba, perasa dan pembau (the senses of touch, taste and smell).Anakanak autis menjelajahi lingkungannya melalui indera peraba, perasa dan pembau mereka. Beberapa anak autis tidak sensitif terhadap dingin dan rasa sakit. 5. Sikap menyendiri dan menarik diri (aloofness and withdrawal).Banyak anak autis yang berperilaku seolah-olah orang lain tidak ada. Anak autis tidak merespon ketika dipanggil atau seperti tidak mendengar ketika ada orang yang berbicara padanya, hal itu terlihat dari ekspresi mukanya yang kosong. 6. Menentang perubahan (resistance to change).Banyak anak autis yang menuntut pengulangan rutinitas yang sama. Beberapa anak autis memiliki rutinitas mereka sendiri, seperti mengetuk-ngetuk kursi sebelum duduk, atau menempatkan objek dalam garis yang panjang. 7. Ketakutan khusus (Special fears).Anak-anak autis tidak menyadari bahaya yang sebenarnya, mungkin karena mereka tidak memahami kemungkinan konsekuensinya. 8. Ketidakmampuan untuk bermain (Inability to play).Banyak anak autis bermain dengan air, pasir atau lumpur selam berjam-jam. Mereka tidak dapat bermain pura-pura. Anak-anak autis kurang dalam bahasa dan imajinasi, mereka tidak dapat melakukan permainan dengan anak-anak yang lain secara bersama-sama. Hambatan-hambatan diatas harus mendapat perhatian dalam memberikan pendidikan atau pelatihan agar hasil yang akandicapai dapat maksimal. Bentuk hambatan yang telah disebut memberikan pengaruh besar dalam pembentukan kecerdasan kinestetik anak autis. Tentu sangat sulit karena adanya hambatan komunikasi dan hambatan berperan secara bersama. Kesulitan itu bukan berarti tidak mungkin, karena dengan kesungguhan dan kesabaran, sebesar apapun tantangannya tetap bisa diatasi. 2.4. Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Terapi autis. Untuk membantu anak autis menjadi lebih “normal” dibutuhkan bantuan pengobatan dan terapi. Handojo dalam bukunya Autisma,24 menjelaskan metode terapi mempunyai tujuan untuk membantu anak autis dalam hal (1) Komunikasi dua arah yang efektif, (2) Sosialisasi ke dalam lingkungan Menghilangkan atau meminimalkan yang umum, (3) perilaku yang tidak wajar,(4) Mengajarkan materi akademik (5) Kemampuan Bantu/Bina Diri dan Ketrampilan lain. Ada beberapa jenis terapi untuk membantu anak autis menjadi lebih baik, antara lain. 1. Terapi wicara Terapi wicara wajib diberikan kepada anak autis karena sebagian besar mereka tidak dapat berbicara atau berbahasa. Kecenderungan mereka tidak dapat berbicara bukan karena bisu, namun karena mereka tidak dapat merespon lingkungan sehingga 24 Handojo. Y., (2006) :Autisma, Intermasa Delphie Bandi, Jakarta, hal. 167. tidak peduli dan tidak mau belajar apa-apa. Terapi ini perlu dilakukan secara intensif dan kontinyu dalam ruang yang aman, tenang dan dapat meningkatkan perhatian anak autis. Dalam berbagai artikel mengenai autisme, banyak dijelaskan bahwa gangguan berbahasa dan bicara pada autisme mempunyai gradasi dari yang terparah, tidak bisa bicara, hingga yang bisa bicara dengan baik. Hal ini juga tergantung dari perkembangan kognitif si penyandang. Mulai dari intelegensia rendah hingga yang tinggi.25 Latihan PECS (Picture Exchange Communication Sistem) dan Compic (Computerized Pictograph) atau bahasa gambar dapat dimanfaatkan untuk anak autis. Selain bahasa gambar dapat dipakai bahasa isyarat dan bahasa tulisan atau ketika dengan mesin ketik atau komputer. Gangguan bahasa merupakan salah satu jenis kelainan atau gangguan dalam komunikasi dengan indikasi seseorang mengalami kesulitan atau gangguan dalam proses simbolis. Kesulitan atau gangguan simbolis mengakibatkan seseorang tidak mampu mengubah konsep pengertian menjadi simbol-simbol atau lambang-lambang yang dapat dimengerti oleh orang lain. Terapi wicara (speech therapy) adalah pengobatan atau penyembuhan kekurangan atau kesalahan yang berhubungan dengan pengekspresian ide-ide atau pikiran, mengucapkan bunyi atau suara yang mempunyai arti sebagai hasil penglihatan, pendengaran, pengalaman melalui gerakan-gerakan mulut, bibir serta organ bicara lain yang merupakan obyek belajar serta menarik perhatian. Tujuan yang hendak dicapai dalam terapi wicara (speech therapy) agar supaya anak dapat diajak bicara, 25 Van Tiel, Julia Maria (2008), Anakku Terlambat Bicara, http://Katulistiwa.net, tanggal 24 November 2014, hal. 205 dapat mengembangkan kemampuan bicara/bahasanya secara baik sesuai dengan normabahasa yang berada dalam lingkungannya, serta dapat diterima oleh masyarakat. Demikian juga supaya anak dapat mengekspresikan perasaan serta kemauannya secara baik, dapat berkomunikasi dengan lingkungannya, baik secara lisan maupun tertulis. 2. Terapi Okupasi Terapi ini diberikan kepada anak autis yang mengalami gangguan pada sensori halusnya untuk memperbaiki kekuatan koordinasi dan ketrampilannya. Hal ini memberi pengaruh amat besar bagi otot halus jari tangan agar dapat menulis. Terapi okupasi berguna untuk melatih otot-otot halus anak. Menurut penelitian, hampir semua kasus anak autis mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya sangat kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang benda dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, dsb. Dengan terapi ini anak dilatih untuk membuat semua otot dalam tubuhnya berfungsi dengan tepat. 3. Terapi Sosialisasi. Terapi sosialisasi dilakukan dengan menghilangkan perilaku yang tidak wajar, dimulai dari kepatuhan dan kontak mata, tata krama,dsb. Banyak anak autis memerlukan bantuan supaya dapat mempertahankan percakapan, berhubungan dengan teman yang baru dan bahkan mengenali tempat bermainnya. Terapi kemampuan sosial ini membantu anak menciptakan atau memfasilitasi terjadinya interaksi sosial. 4. Terapi Biomedik Terapi ini menggunakan obat-obatan, vitamin, mineral dan food supplements. Setiap individu membutuhkan terapi medis yang berbeda. Dasar pemikirannya yaitu gangguan dalam tubuh akan memunculkan gangguan perilaku sehingga bila gangguan dalam tubuh dapat diatasi maka gangguan perilaku yang ditampilkannya pun akan berkurang. 5. Terapi Applied Behavior Analysis (ABA) ABA sering digunakan untuk penanganan anak autistik. Terapi ini sangat representatif bagi penanggulangan anak spesial dengan gejala autisme. Terapi ABA memiliki prinsip yang terukur, terarah dan sistematis,termasuk variasi yang diajarkan sangat luas sehingga dapat meningkatkan keterampilan komunikasi, sosial dan motorik halus maupun kasar. Terapi ABA adalah metode tatalaksana perilaku yang berkembang sejak puluhan tahun yang ditemukan oleh psikolog Amerika yang bernama Ivar. O. Lovaas dari Universitas California Los Angeles, Amerika Serikat.26Secara prinsip, terapi ABA meliputi 3 langkah yaitu memecah keterampilan anak autistik menjadi beberapa bagian atau langkah-langkah kecil. Pertama, terstruktur, yakni pengajaran menggunakan teknik yang jelas. Kedua, terarah, yakni ada kurikulum yang jelas untuk membantu mengarahkan terapi. Ketiga, terukur, yakni keberhasilan dan kegagalan menghasilkan perilaku yang diharapkan, diukur dengan berbagai cara, tergantung pada kebutuhan. Pada tataran praktis, menurut Ing 26 Handojo. Y., (2006) :Autisma, op.cit., hal. 50. Darta R Wijaya, dalam makalah Kesimpulan Mengenai ABA27, terapi Applied Behavior Analysis (ABA) menggunakan teknik “discrete trials”, yaitu seluruh tugas (target-target perilaku) dipecah dalam tahap kecil. Belajar “diskret” berarti memerinci keterampilan ke dalam komponen kecil, mengajarnya sampai terkuasai, memberi pengulangan, menyediakan prompt (bantuan), menghilangkan ketergantungan dan pemberian pujian (reinforcerment). 6. Terapi Sensori Integrasi Terapi ini diberikan kepada anak autis yang mengalami gangguan dalam memproses impuls yang diterima dari berbagai indera secara simultan. Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran sensoris dan kemampuan merespon terhadap stimulus sensori tersebut. Untuk itu digunakan stimulus yang bervariasi antara lain ayunan, bola trampolin, sikat dan baju yang lembut, parfum, lampu berwarna-warni, pemijatan dan tekstur bervariasi. 7. Terapi Bermain Merupakan usaha penyembuhan untuk mencapai perkembangan fisik, intelektual, emosi dan sosial anak secara optimal. Suasana untuk terapi bermain suasana yang tidak membuat anak merasa tertekan, takut atau terpaksa bermain. Catron dan Allen28berpendapat bahwa tujuan bermain yang utama adalah untuk mengoptimalkan perkembangan anak secara menyeluruh serta terjadinya komunikasi interaktif. 27 Wijaya. Ing Darta R., (2005) : di dalam makalah Kesimpulan Mengenai ABA , hal. 57 Catron. Carrol. E & Allen. Jan., (1999) :Early Childhood Curriculum : A Creative Play Model, Merill Prentice Hall, New Jersey, hal. 30. 28 Dalam tulisan ini akan diteliti bagaimana melalui terapi bermain kecerdasan kinestetik anak autis meningkat. Dengan meningkatnya kecerdasan kinestetik jasmani anak autis diyakini mampu menyelaraskan pikiran dan perilaku mereka. 2.5. Kecerdasan Kinestetik Jasmani 2.5.1. Pengertian Kecerdasan Majemuk Pembahasan tentang kecerdasan telah banyak dikemukakan oleh pakarpsikologi dan kesehatan. Menurut Gunawan, diantaranya adalah Charles Spearman dengan teori General Intelligence, Raymond Cattel dan John Horn dengan teori Fluidand Crystalized Intelligence, dan Stenberg dengan teori TriarchicIntelligence.29Berikutnya Gardner dengan teori Multiple Intelligence, sedangkan Armstrong menyebutkan dengan Kinds of Smart, Multiple Intelligence.30 Pada perkembangan selanjutnya muncul pakar kecerdasan, antara lain Goleman dengan teori Emotional Intelligence.31 Masing-masing pakar mengemukakan definisi kecerdasan. Dari definisi yang dikemukakan para pakar tersebut diketahui bahwa kecerdasan dinyatakan sebagai potensi yang perlu dikembangkan. Seiring dengan perkembangan teori kecerdasaan, perhatian orang terhadap pengertian kecerdasan telah bergeser dari kecerdasan sebagai kemampuan umum (g faktor) beralih kepada kecerdasan beberapa dan bahkan banyak domain. Peralihan perhatian tersebut juga 29 Gunawan. Adi. W., (2003) :Genius Learning Strategy, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 218- 222. 30 Amstrong. Thomas Ph.D., (2002) :Kinds Of Smart, Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence, Gramedia, Jakarta, hal. 3 31 Gunawan. Adi. W., (2003)., op.cit, hal. 222. menurut Semiawan terlihat dalam pengembangan individu yang mengacu kepada pendapat yang menunjukkan bahwa perkembangan manusia diwujudkan melalui beragam aspek yang berbeda.32 Hal tersebut merupakan pertanda bahwa teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences) mulai mendapat perhatian untuk digunakan sebagai acuan dalam berbagai aktivitas untuk memacu perkembangan manusia termasuk aktivitas pembelajaran di sekolah-sekolah. Teori kecerdasan majemuk pertama kali dikemukakan oleh Howard Gardner dalam bukunya Frames of Mind.33 Gardner mengembangkan teori kecerdasan majemuk berdasarkan kriteria yang terdiri dari delapan faktor, yaitu, 1. Adanya pembagian wilayah kecerdasan pada struktur otak, seperti central core, sistem limbik dan hemisfer serebral 2. Terdapat kecerdasan yang menonjol pada orang tertentu (savant dan genius) 3. Kecerdasan berkaitan dengan kebudayaan dan berkembang mengikuti pola perkembangan tertentu 4. Memiliki konteks historis 5. Memiliki hubungan dengan temuan psikometrik 6. Memiliki hubungan dengan hasil penelitian psikologi eksperimental Semiawan. Conny. R., (2004) :“Perkembangan Anak Usia Dini”, makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, Kerjasama Dirjen PLSP Depdiknas dengan UNJ, 9 – 11 Oktober 2004, Jakarta, hal. 9. 33 Gardner. Howard.,(1993) : Frames Of Mind The Theory of Multiple Intelligences, TenthAnniversary Edition, Basic Books A Member of The Perseus Books Group, New York, hal. 63-69 32 7. Cara kerja atau rangkaian cara kerja dasar dapat diidentifikasi 8. Memiliki sistem penandaan atau simbol khas sendiri. Kriteria yang dikemukakan Gardner tersebut sebagai bukti bahwa teori kecerdasan majemuk tidak hanya dikembangkan berdasarkan hasil kajiannya sendiri, tetapi juga menggunakan dasar dan hasil kerja para pakar teori perkembangan dan kecerdasan yang muncul lebih dahulu. Gardner mengemukakan bahwa kecerdasan adalah kemampuan yang berkaitan dengan tiga hal, yaitu kemampuan untuk, 1. Memecahkan masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. 2. Menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan. 3. Menciptakan sesuatu atau menawarkan jasa yang akan memberikan penghargaan dalam budaya setempat.34 Dalam bukunya yang lain Gardner mendefinisikan kecerdasan sebagai potensi biopsikologi yang digunakan sebagai pengolah informasi yang dapat dikembangkan sesuai dengan lingkungan budaya untuk memecahkan permasalahan atau menciptakan sesuatu (karya) yang bermanfaat bagi lingkungannya.35 Amstrong mengatakan bahwa kecerdasan itu merupakan kemampuan untuk menangkap situasi baru serta kemampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu seseorang.36 34 Ibid., hal. 66. Ibid., Hal. 45. 36 Amstrong. Thomas Ph.D., (2002), op.cit., hal. 2. 35 Sebagai potensi biologis kecerdasan akanmeningkat sesuai dengan pertambahan usia dan mencapai puncaknya pada saat dewasa dan menurun pada saat tua, sedang kecerdasan sebagai potensi psikologis, kecerdasan akan berkembang akibat terjadinya proses belajar dan terbentuknya pengalaman hidup pada diri individu. Berdasarkan penjelasan diatas dapat dinyatakan bahwa kecerdasan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki individu yang dapat berkembang secara alami dan dapat pula dikembangkan melalui pembelajaran dan pengalaman. Ini berarti lingkungan dapat berperan dalam membantu individu untuk mengembangkan kemampuannya. Samples mengemukakan bahwa kecerdasan merupakan kemampuan melakukan sesuatu yang bermanfaat dalam masyarakat di lingkungan sekitar.37 Sedangkan Gottfredson yang dikutip Elliott, dkk mengemukakan bahwa kecerdasan merupakan kemampuan mental yang bersifat umum, yang diantaranya sebagai kemampuan untuk menelaah (toreason),merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, mengemukakan ide-ide, belajar cepat dan belajar dari pengalaman.38 Dua pendapat tersebut menegaskan bahwa kecerdasan sebagai suatu kemampuan. Kemampuan tersebut berfungsi untuk menelaah, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, mengemukakan ide ide serta yang terpenting adalah kemampuan tersebut berkaitan dengan belajar. 37 Bob. Sampels.,(2002) : Revolusi Belajar untuk Anak Panduan Belajar Sambil Bermain untuk Membuka Pikiran Anak-Anak Anda, alih bahasa Rahmani Astuti, Penerbit Kaifa, Bandung, hal. 149. 38 Elliott. Stephen. N., dkk., (2000) : Educational Psychology Effective Learning Third Editor, McGraw Hill, New York, hal. 489. Pendapat lain tentang kecerdasan dikemukakan oleh Lazear yang menyatakan bahwa seseorang yang cerdas adalah : 1. Mereka yang dapat memecahkan permasalahan yang mereka hadapi dalam hidupnya 2. Mereka yang dapat menghadapi berbagai tantangan hidup dengan kreatif 3. Mereka yang dapat menghasilkan berbagai hal bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.39 Pendapat ini menunjukkan bahwa kecerdasan berkaitan dengan kemampuan untuk mengupayakan sesuatu, yaitu memecahkan masalah, menghadapi tantangan, dan menghasilkan sesuatu. Selanjutnya Lazear menambahkan dari definisi awal Gardner, bahwa kecerdasan itu adalah jalan atau cara yang dapat digunakan untuk mengetahui hal-hal apa yang kita ketahui, pahami, pelajari, bagaimana memproses informasi, dan memperoleh knowledge.40 Pendapat ini lebih memerinci bahwa kecerdasan berkaitan dengan kemampuan untuk mengetahui hal-hal apa yang sudah dimiliki individu sebagai suatu bentuk kemampuan. Berkaitan dengan kemampuan, Gagne, Leslie dan Wager menyatakan bahwa kemampuan merupakan suatu daya atau kekuatan sebagai hasil belajar yang dapat diketahui.41 Kemampuan dapat diperoleh setelah seseorang menyelesaikan kegiatan belajar. Kemampuan tersebut sebagai bentuk hasil belajar yang dapat ditingkatkan 39 Lazear. David., ( 2000) : Pathways of Learning Teaching Students and Parents About Multiple Intelligences, Zephyr Press, Arizona, Tucson, hal. 18 40 Ibid., hal. 18. 41 Wager. William.W.,dkk., ( 1992 ) : Principles of Instructional Design, Harcourt Brace Jovanovich, For Worth, hal. 43. dan diketahui. Ini berarti, ada proses yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dan menentukan kemampuan yang dimiliki seseorang. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa pengertian kecerdasan majemuk dalam penelitian ini dibatasi pada kemampuan yang dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran. Pembatasan ini dilakukan dengan mengacu kepada Armstrong yang mengemukakan bahwa berbagai kegiatan dapat membantu anak untuk mengembangkan kecerdasan majemuk42 dan Gardner menegaskan bahwa kecerdasan majemuk dapat digunakan sebagai pendekatan dan tujuan (goal) dalam pembelajaran.43 Selanjutnya Gogri dkk mengemukakan bahwa kecerdasan majemuk dapat digunakan untuk membantu anak belajar dengan lebih baik.44 Dengan demikian, rancangan kegiatan belajar di Rumah Pintar Autis yang memperhatikan indikator setiap aspek kecerdasan majemuk dapat mengembangkan kemampuan anak sesuai dengan indikator pada setiap aspek kecerdasan majemuk. Gardner berkeyakinan bahwa semua manusia memiliki bukan hanya satu kecerdasan (inteligensi) melainkan groupabilities.45 Salah satu bentuk kecerdasan majemuk yang dimaksud diatas adalah kecerdasan kinestetik jasmani. Yaitu kecerdasan yang mengacu kepada kecerdasan olah tubuh manusia. 42 Amstrong. Thomas., (2004 ) : Menerapkan Multiple Intelligences Di Sekolah, alih bahasa Yudhi, hal. 46. 43 Gardner. Howard.,(1993) : Frames Of Mind The Theory of Multiple Intelligences, TenthAnniversary Edition, Basic Books A Member of The Perseus Books Group, New York, hal. 188 44 Gogri.Purvi, Reeta Sonawat., (2008) :Multiple Intelligences for Preschool Children, Multi-tech Publishing Co, Mumbai, hal. 5. 45 Gardner. Howard.,(1999) : Intelligence Reframed, hal. 8 2.5.2. Kecerdasan Kinestetik Jasmani Menurut Gardner kecerdasan kinestetik merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan dalam menggunakan tubuh secara terampil untuk mengungkapkan suatu ide, pemikiran dan perasaan, mampu bekerja sama dengan baik dalam menangani dan memanipulasi objek.46 Kecerdasan ini juga meliputi keterampilan fisik dalam bidang koordinasi, keseimbangan, daya tahan, kekuatan, kelenturan dan kecepatan. Kecerdasan ini sangat menonjol pada diri seorang penari, atlet, pematung, pemusik, aktor, mekanik atau dokter bedah. Kecerdasan kinestetik jasmani berkaitan dengan kemampuan menggunakan gerak seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaannya serta keterampilan menggunakan tangan untuk mencipta atau mengubah sesuatu.47 Hal ini sebenarnya senada dengan apa yang diutarakan oleh Gardner bahwa kecerdasan ini meliputi kemampuan fisik yang spesifik, seperti koordinasi, keseimbangan, keterampilan, kekuatan, kelenturan, kecepatan dan keakuratan menerima rangsang, sentuhan, dan tekstur. Kecerdasan kinestetikJasmani artinya kecerdasan melakukan gerakan tubuh dan atau anggota badan termasuk menggunakan gerakan tubuh sebagai ekspresi emosi. Kecerdasan ini menggunakan keahlian seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan serta keterampilan menggunakan tangan untuk menciptakan atau mengubah sesuatu. 46 Gardner (1999), op.cit., hal. 16. Musfiroh.Tadkiroatun., (2008) : Cerdas Melalui Bermain, Cara Pengasuh Multiple Intellegences Pada Anak Usia Dini, Tiara Wacana, Yogyakarta, hal. 50. 47 Pergerakan tubuh kita banyak terkait dengan sistem saraf dan struktur tubuh kita. Pada dasarnya terdapat dua macam pergerakan dalam tubuh kita yaitu pergerakan tidak sadar dan pergerakan sadar. Pergerakan tidak sadar adalah pergerakan yang dilakukan di luar kesadaran atau dengan kata lain kita tidak dapat mengatur pergerakan tersebut sesuai keinginan kita. Sebaliknya, pada pergerakan sadar kita dapat mengatur dan mengoordinasikan gerakan kita, seperti saat kita berlari atau saat menulis. Pada kecerdasan kinestetik pergerakannnya adalah sadar karena berkaitan dengan kemampuan fisik untuk mengkoordinasikan gerakan tubuh serta kemampuan menerima rangsangan. Jasmine mengemukakan bahwa kecerdasan kinestetik sangat berhubungan dengan tubuh anak.48 Tubuh anak akan terlihat kelenturannya apabila sering melakukan gerak tubuh. Hal tersebut sangatlah diperlukan oleh manusia pada umumnya supaya gerak tubuhnya tidak terlihat kaku. Perkembangan pada tubuh manusia pada dasarnya akanmengembangkan kecerdasan kinestetik. Latihan-latihan anggota tubuh perlu dilakukan sejak usia dini, baik kekuatannya maupun kelenturannya yang akan terwujud melalui latihan dan kebiasaan sejak usia dini.Kebiasaan diperoleh melalui latihan-latihan menirukan dan melakukan pengulangan, peniruan dan segalanya akan berlangsung secara otomatis. 48 Jasmine. Julia., (2007) : Mengajar dengan Kecerdasan Majemuk, Nuansa, Jakarta, hal. 127 Einon menyatakan bentuk kecerdasan kinestetik memungkinkan terjadinya kecerdasan antara pikiran dan tubuh yang diperlukan dalam aktifitas seperti menari, olah raga dan drama.49 Kecerdasan kinestetik adalah kemampuan untuk mengolah tubuh serta melakukan pekerjaan yang membutuhkan keterampilan anggota tubuh tertentu. Pada hakikatnya sejak lahir seorang anak telah mempunyai kemampuan untuk bergerak, oleh sebab itu pendidik haruslah memberi kebebasan pada anak untuk bergerak. Perlu adanya suatu pembelajaran yang khusus untuk mengatasi ketidakaturan dalam proses gerak anak sehingga bisa mengarahkan anak untuk mengembangkan kecerdasan kinestetiknya. Anak yang memiliki kecerdasan kinestetik memiliki koordinasi tubuh yang baik. Gerakan-gerakan mereka terlihat seimbang, luwes, dan cekatan. Mereka cepat menguasai tugas-tugas motorik halus seperti menggunting, melipat, menjahit, menempel, merajut, menyambung, mengecat dan menulis. Secara artistik mereka mempunyai kemampuan menari dan menggerakan tubuh mereka dengan luwes dan lentur. Mereka memerlukan kegiatan belajar yang bersifat kinestetik dan dinamis. Menurut Gardner, kecerdasan gerak kinestetik mempunyai lokasi di otak serebeum (otak kecil), basal ganglia (otak keseimbangan) dan motor korteks. Kecerdasan ini memiliki wujud relatif bervariasi, bergantung pada komponenkomponen kekuatan dan fleksibilitas serta dominan seperti tari dan olahraga. 49 Einon. Dorothy. Dr., (2010): Permainan Cerdas Jilid I Untuk Anak Usia 2-6 Tahun, Erlangga, Jakarta, hal. 12. Lebih lanjut Gardner mengemukakan bahwa kecerdasan kinestetik jasmani adalah kemampuan menggunakan seluruh tubuh dan komponennya untuk memecahkan permasalahan, membuat sesuatu atau menggunakan beberapa macam produksi, dan koordinasi anggota tubuh dan pikiran untuk menyempurnakan penampilan fisik.50 Sedangkan Lazear menjelaskan bahwa kecerdasan kinestetik jasmani berkaitan dengan aktivitas fisik dan dapat dilihat seperti dalam kegiatan mengenderai sepeda, memarkir mobil, menangkap sesuatu benda yang dilemparkan, dan mengatur keseimbangan tubuh saat bergerak atau berjalan.51 Dua pendapat tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan kinestetik jasmani terdiri dari beberapa kemampuan yang berkaitan dengan jasmani dan gerak. Penjelasan lain tentang kecerdasan kinestetik jasmani dikemukakan oleh Armstrong yang menyatakan bahwa kecerdasan kinestetik jasmani berkaitan dengan keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan serta keterampilan menggunakan tangan untuk menciptakan atau mengubah sesuatu.52 Pendapat tersebut menekankan bahwa kecerdasan kinestetik jasmani meliputi kemampuan yang berkaitan dengan gerakan-gerakan tubuh yang spesifik, kesanggupan memanipulasi objek dan memiliki keterampilan fisik seperti koordinasi, keseimbangan, kekuatan, kelenturan dan keterampilan. Anak-anak yang memiliki kecerdasan ini sering tidak mau diam saat sedang duduk, belajar atau atau sedang 50 Gardner, (1999), op.cit., hal. 206. Lazear. David., ( 2000), op.cit., hal. 2 52 Amstrong. Thomas Ph.D., (2002) , op.cit., hal. 33. 51 makan, dan biasanya merekalah yang nomor satu minta izin ke luar untuk bermain. Mereka memproses pengetahuan melalui sensasi tubuh. Mereka butuh kesempatan untuk belajar dengan bergerak atau memperagakan sesuatu. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas dapat dinyatakan bahwa kecerdasan kinestetik jasmani adalah kemampuan yang berkaitan dengan fisik dan gerak yang dapat digambarkan melalui ciri-ciri antara lain : 1. Mudah bergerak dengan daya kontrol tubuh yang baik, seperti berjalan, lari, lompat, menangkap, melempar 2. Menyentuh objek disekitarnya 3. Memanipulasi benda, seperti kursi digunakan sebagai mobil 4. Responsif terhadap lingkungan, misalnya menggerakkan tubuh atau tangan saat merasakan angin bertiup 5. Berpikir mekanis 6. Mengingat apa yang dilakukan 7. Membuat kerajinan tangan 8. Berolah raga. Dengan delapan gambaran yang dikemukakan diatas sebagai ciri-ciri berjalannya kecerdasan kinestetik dengan baik begitu besar harapan keselarasan pikiran dan perilaku anak autis dapat terwujud. Banyak hal yang ada pada diri anak autis akan berubah menjadi lebih baik dengan terciptanya peningkatan kecerdasan kinestetik yang dimaksud. Hal ini jugalah yang mendasari pemikiran peneliti dalam melakukan penelitian ini. 2.5.3. Pengenalan Tentang Otak Sejak lahir semua kecerdasan telah ada di otak manusia. Meskipun demikian, bagaimanakah kecerdasan manusia itu dapat dikembangkan? Setiap otak manusia terbagi atas tiga bagian, yang disebut sebagai otak triune. Tiap-tiap bagian otak berkembang pada waktu yang berbeda, mempunyai syaraf tertentu, dan mengatur tugas tertentu pula. Yang pertama, Otak reptil atau batang otak merupakan bagian otak yang bertanggung jawab atas fungsi-fungsi motor-sensor, yakni pengetahuan tentang realitas fisik yang berasal dari panca indera. Disebut otak reptil karena otak ini berkaitan dengan insting mempertahankan hidup.53 Jika anak merasa tidak aman, otak reptil ini spontan bangkit dan bersiaga.Yang kedua adalah sistem limbik, yang terletak dibagian tengah otak. Bagian otak ini mempunyai fungsi emosi dan kognitif. Bagian ini disebut otak mamalia, karena sistem limbik yang sangat canggih ini juga merupakan bagian otak yang dimiliki mamalia. Otak ini menyimpan perasaan manusia, pengalaman yang menyenangkan, memori, dan kemampuan belajar.54Yang ketiga adalah neokorteks, merupakan materi otak terbesar (80% dari seluruh materi otak). Pada otak neokorteks inilah kecerdasan-kecerdasan manusia berada. Neokorteks mengatur proses bernalar, berfikir intelektual, membuat keputusan, bahasa, kendali motorik sadar, dan ciptakan gagasan nonverbal.55 53 Yanuarita. Franc.Andri. S.Psi., (2014) :Rahasia Otak dan Kecerdasan Anak, Teranova Books, Yogyakarta, hal. 39. 54 Ibid., hal. 39. 55 Ibid., hal. 32. Ketika anak berusia 4-6 tahun, otak reptil dan otak mamalianya telah berkembang sekitar 80%. Pada saat itulah berbagai kecerdasan anak terbuka. Jika hingga usia 4-6 tahun anak diperlakukan dengan baik, terstimulasi dengan berbagai aktivitas jasmani yang menyenangkan dan berolah pikir, maka ketiga bagian otak akan berkembang dengan baik. Nutrisi yang baik, derajat kesehatan yang baik dan stimulasi yang memadai melaui aktivitas pendidikan jasmani yang baik membantu perkembangan otak reptil dan otak mamalia. Bahkan, karena aktivitas pendidikan jasmani mampu menggerakkan gagasan, memecahkan masalah, mendatangkan kegembiraan sekaligus, maka neokorteks anak pun semakin terangsang. Semakin terangsang otak anak dengan aktivitas intelektual dan interaksi lingkungan, semakin banyak jalinan yang terbentuk antarsel di dalam neokorteks. Selain teori otak triune di atas, otak manusia juga dibagi berdasarkan teori belahan otak, yakni otak kanan dan otak kiri. Cara berpikir otak kanan adalah acak, tidak teratur, holistik, dan intuitif. Otak kanan berkaitan dengan aspek perasaan, emosi, spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, humor, warna, imajinasi, dan kreativitas. Otak kiri bercara pikir logis, urut, sistematis, dan rasional. Otak kiri berkaitan dengan ekspresi bahasa, dan berpikir simbolis. Walaupun otak memiliki bagian-bagian yang diidentifikasi dari sudut bentuk dan fungsinya, kesemuanya merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Oleh karena itu, kesemuanya harus dipelihara dengan baik, melalui perawatan, stimulasi yang terus menerus, dan pemberian kesempatan yang memadai. Masalah utama mengapa anak harus dirangsang melalui permainan yang mengasah semua kecerdasannya adalah karena tidak satu pun bagian otak yang bekerja secara sempurna tanpa adanya rangsang dari bagian yang lain. Howard Gardner melalui teori multiple intelligences menyatakan bahwa sembilan kecerdasan manusia berkaitan dengan semua bagian otak, terutama otak bagian kanan dan otak kiri.56 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kecerdasan dapat berkembang dengan baik apabila terpenuhi syarat berikut, struktur saraf bagian bawah harus cukup berkembang agar energi dapat mengalir ke tingkat yang lebih tinggi, anak harus merasa aman secara fisik dan emosional, harus ada model pemberian rangsangan yang wajar. 2.5.4. Stimulasi Terhadap Kecerdasan Kinestetik Bermain merupakan suatu kegiatan yang menyenangkan dan spontan sehingga hal ini memberikan rasa aman secara psikologis pada anak. Begitu juga dalam suasana bermain aktif, dimana anak memperoleh kesempatan yang luas untuk melakukan eksplorasi guna memenuhi rasa ingin tahunya. Anak bebas mengekspresikan gagasannya melalui khayalan, drama, bermain konstruktif dan sebagainya.57 Dalam hal ini anak dimungkinkan untuk mengembangkan perasaan 56 Gardner. Howard.,(1993) : Frames Of Mind The Theory of Multiple Intelligences, TenthAnniversary Edition, Basic Books A Member of The Perseus Books Group, New York, hal. 57 Yanuarita. Franc.Andri. S.Psi., (2014), op.cit., hal. 111. bebas secara psikologis. Bermain dapat digunakan sebagai media untuk meningkatkan keterampilan dan kecerdasan tertentu pada anak. Stimulasi kecerdasan kinestetik terjadi pada saat bermain. Pada saat bermain itulah anak berusaha melatih koordinasi otot dan gerak. Pada saat kegiatan bermain berlangsung hampir semua aspek perkembangan anak dapat terstimulasi dan berkembang dengan baik termasuk didalamnya perkembangan kreativitas. Hal senada sejalan dengan apa yang disebut oleh Catron dan Allen yang mengemukakan bahwa bermain dapat memberikan pengaruh secara langsung terhadap semua area perkembangan.58 Anak-anak dapat belajar tentang dirinya sendiri dan lingkungan, serta kebebasan untuk berimajinasi, bereksplorasi dan menciptakan suatu bentuk kreativitas. Dalam hal yang dimaksud diatas stimulasi kinestetik terjadi dalam wilayahwilayah berikut: 1. koordinasi mata-tangan dan mata-kaki, seperti menggambar, menulis, memanipulasi objek, menaksir secara visual, melempar, menendang, menangkap 2. keterampilan lokomotor, seperti berjalan, berlari, melompat, berbaris, meloncat, mencongklak, merayap, berguling, dan merangkak 3. keterampilan nonlokomotor, seperti membungkuk, menjangkau, memutar tubuh, merentang, mengayun, berjongkok, duduk, berdiri 58 Catron. Carrol. E & Allen. Jan., (1999) :Early Childhood Curriculum : A Creative Play Model, Merill Prentice Hall, New Jersey, hal. 21 4. kemampuan mengontrol dan mengatur tubuh seperti menunjukkan kesadaran tubuh, kesadaran ruang, kesadaran ritmik, keseimbangan, kemampuan untuk mengambil start, kemampuan menghentikan gerak, dan mengubah arah. Dunia anak adalah dunia bermain, karena selama rentang perkembangan usia dini, anak melakukan kegiatan dengan bermain, mulai dari bayi, balita hingga masa kanak-kanak. Bermain merupakan suatu kegiatan yang dilakukan anak dengan atau tanpa mempergunakan alat. Bermain menghasilkan pengertian dan memberikan informasi, memberi kesenangan dan mengembangkan imajinasi spontan anak dan tanpa beban. Kebutuhan atau dorongan internal (terutama tumbuhnya sel saraf di otak) sangat memungkinkan anak melakukan berbagai aktivitas bermain tanpa mengenal lelah. Selama ini jika anak sudah bersekolah, orangtua kebanyakan membebani anak dengan tuntutan yang berat. Seperti anak harus pandai menulis, berhitung dan membaca. Padahal anak masih dalam usia dini yaitu 0-6 tahun. Begitu juga dengan pihak sekolah, ada sebagian sekolah yang dalam kegiatan pembelajarannya tidak menggunakan konsep bermain dengan tepat, sehingga tujuan bermain bagi anak tidak tercapai. Seharusnya dalam aktivitas belajar benar-benar diterapkan konsep "bermain sambil belajar". Dengan demikian, anak benar-benar merasakan dunianya dengan sempurna, berkesempatan mengembangkan segala aspek kecerdasan yang ada pada dirinya. Ketika bermain, secara fisik anak juga belajar memahami bagaimana kerja tubuhnya, memperkuat dan mengembangkan otot dan koordinasinya melalui gerak, melatih motorik halusnya dengan cara berlatih menggunting kertas, menggambar, mengutak-atik benda, dan lain sebagainya. Begitu juga dengan motorik kasar dan keseimbangannya, seperti memanjat, berlari, melompat, berjalan dan lain-lain. Kegiatan tersebut mungkin saja akan tercipta pada anak apabila adanya suatu rangsangan atau pembelajaran khusus yang mengacu ke arah pengembangan kecerdasan kinestetik. Cara mendidik dan mengajar anak-anak, baik di rumah, maupun di sekolah masih kurang efektif. Pada dasarnya kemauan dan perasaan anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh sebab itu, seorang anak harus dilatih dan dibiasakan melakukan segala sesuatu yang nantinya dapat dipergunakan sebagai bekal hidup di masa yang akan datang. Dengan demikian, pendidikan bagi anak usia dini harus dimulai dari dalam pikiran dan jiwa anak, dan harus berdasarkan kegiatan anak itu sendiri. Untuk itu, perlu motivasi bagi anak untuk berbuat sendiri dan bukan hanya menerima saja. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, walaupun pengembangan kecerdasan kinestetik khususnya dalam gerak tubuh sudah dilaksanakan disekolah, akan tetapi dalam pelaksanaannya kurang optimal. Permainan hanya sekedar bermain, tanpa melakukan tindak lanjut pada olah gerak anak yang perlu untuk dikembangkan lagi seperti keterampilan tangan dan pembelajaran gerak tubuh. Dengan demikian aspek psikomotorik anak berkembang dengan optimaldan dapat merangsang kreativitas, imajinasi, dan olah pikir anak yang nantinya akan diungkapkan dalam bentuk gerak. Anak yang memiliki kecerdasan gerak-kinestetik memiliki koordinasi tubuh yang baik dan mampu atau terampil menggunakan anggota tubuhnya.59 Gerakangerakan mereka terlihat seimbang, luwes, dan cekatan. Mereka cepat menguasai tugas-tugas motorik halus dan secara artistik kemampuan menari dan menggerakkan tubuh mereka luwes dan lentur. Guru dapat memfasilitasi anak-anak yang memiliki kecerdasan ini dengan memberi kesempatan pada mereka untuk bergerak. Pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga anak-anak leluasa bergerak dan memiliki peluang untuk mengaktualisasikan dirinya secara bebas. Pembelajaran dapat dilakukan di luar ruangan seperti di ataspapan titian, berjalan satu kaki, senam irama, merayap, dan lari jarak pendek.60 Permainan yang bermuatan akademis sangat membantu anakanak menyalurkan kebutuhan mereka untuk bergerak. Rangsangan terhadap kecerdasan kinestetik membantu perkembangan dan pertumbuhan anak. Sesuai dengan sifat anak, yakni suka bergerak, proses belajar hendaklah memperhatikan kecenderungan ini. Anak-anak dengan kecenderungan kecerdasan ini belajar dengan menyentuh, memanipulasi, dan bergerak. Mereka memerlukan kegiatan belajar yang bersifat kinestetik dan dinamis. Mereka membutuhkan akses ke lapangan bermain, lapangan rintangan, kolam renang, dan ruang olah raga. Oleh karena itu, proses 59 Amstrong. Thomas Ph.D., (2002) , op.cit., hal. 4. Sujiono. Yuliani .M & Bambang Sujiono., (2010) :Bermain Kreatif Berbasis Kecerdasan Jamak, PT Indeks, Jakarta, hal. 59. 60 pembelajaran yang menuntut konsentrasi anak dalam konteks pasif (duduk tenang di kelas) hendaklah dikurangi. Kecerdasan kinestetik dapat dirangsang melalui permainan-permainan yang memungkinkan anak dapat memperkuat dan mengembangkan otot dan koordinasinya melalui gerak, melatih motorik halus, motorik kasar, dan keseimbangan karena ketika bermain fisik anak juga belajar memahami bagaimana kerja tubuhnya.61 Dengan meningkatnya kecerdasan kinestetik maka akan semakin memberi kemungkinan untuk terjadinya koordinasi antara kognitif dan tindakan gerak. Semakin sering ini dilakukan dengan pola yang terarah maka koordinasi tadi menjadi keselarasan antara pikiran dan perilaku anak itu sendiri. 2.6. Manfaat Bermain Dalam Mengembangkan Kecerdasan Kinestetik 2.6.1. Bermain dan Manfaatnya Menurut Solehuddin bermain dapat dipandang sebagai suatu kegiatan yang bersifat volunteer, spontan, terfokus pada proses, memberi ganjaran secara instrinsik, menyenangkan, aktif dan fleksibel.62 Semakin kuat ciri-ciri tersebut muncul dalam sebuah kegiatan maka semakin jelas bahwa kegiatan tersebut adalah kegiatan bermain. Hal yang tidak dipungkiri bahwa bermain merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan pada kehidupan anak. Bermain merupakan aktivitas utama anak ketika ia 61 62 Ibid, hal. 36. Solehuddin. M., (1997) :Konsep Dasar Pendidikan Prasekolah, IKIP, Bandung, hal. 77. dalam keadaan terjaga, sebab melalui bermainlah anak belajar berbagai hal, memahami kehidupan dan mengumpulan informasi mengenai sesuatu. Sehingga dalam pendidikan anak, bermain merupakan alat belajar utama dalam mencapai tujuan pendidikan anak. Selain itu, bermain mempunyai multi fungsi dalam perkembangan dan pertumbuhan anak. Salah satu tujuan bermain seperti diuraikan Solehuddin adalah mengembangkan keterampilan-keterampilan motoriknya. Sebab dalam bermain biasanya mendorong anak untuk bergerak, seperti melompat, berlari, menari, berputar, dan gerakan-gerakan lainnya. Wiyani menyebut bahwa bentuk permainan itu ada seperti bentuk permainan fungsional yang merupakan dasar kecerdasan kinestetik dengan melakukan gerakan otot berulang-ulang.63 Kemudian permainan konstruktif yang melatih keterampilan motorik halus dengan kegiatan menggambar atau melukis. Syamsuddin lebih tegas mengatakan bahwa ketika bermain seorang anak sedang belajar atau mengeksplorasi sesuatu, baik itu mengeksplorasi dirinya maupun sesuatu.64 Oleh karena itu bermain pada masa anakanak merupakan sesuatu hal yang menyenangkan dan sekaligus saat yang bagus sekali untuk belajar. Tujuan kegiatan bermain adalah membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap pengetahuan, ketrampilan dan kreativitas yang diperlukan 63 Wiyani. Novan., (2002) : Acuan Menu Pembelajaran Pada Kelompok Bermain,Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta, hal. 56. 64 Syamsudin. Haeriah., (2014) : Brain Game untuk Balita, Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta, hal. 4. oleh anak untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan untuk pertumbuhan dan perkembangan pada tahapberikutnya.65 Landreth, mendefinisikan terapi bermain sebagai hubungan interpersonal yang dinamis antara anak dengan terapis. Hubungan itu terlatih dalam prosedur terapi bermain yang menyediakan materi permainan yang dipilih dan memfasilitasi perkembangan suatu hubungan yang aman bagi anak untuk sepenuhnya mengekspresikan dan eksplorasi dirinya (perasaan, pikiran, pengalaman, dan perilakunya) melalui media bermain.66 Gheart & Leovitt berpendapat bahwa bermain juga memegang peranan untuk mengembangkan kemampuan intelektual, khususnya merangsang perkembangan kognitif, membangun struktur kognitif, belajar memecahkan masalah, rasa kompetisi dan percaya diri, menetralisir emosi negatif, menyelesaikan konflik, menyalurkan agresivitas secara aman dan mengembangkan konsep diri secara realistik.67 Secara fisik, bermain juga mematangkan kecakapan motorik kasar dan halus, keterampilan jari jemari, serta koordinasi mata dan tangan. Kepekaan penginderaan juga berkembang, menguasai keterampilan motorik dan menyalurkan energi fisik. Pengembangan imajinasi dan kreativitas juga berkembang melalui aktivitas bermain. 65 Sujiono. Yuliani .M & Bambang Sujiono., (2010) , op.cit., hal. 19 Academia : Terapi Bermain Anak, www.academia.edu/6573544/TerapiBermainAnak 67 Gheart & Leovitt, (1985), Bermain Aktif, Jurna Psikologi Unair hal. 99. 66 Dari beberapa pendapat para ahli diatas bisa disimpulkan bahwa kegiatan bermain berperan untuk mengembangkan kemampuan fisik, intelektual, sosial dan emosional. Kegiatan ini sangat membantu dalam mengembangkan kemampuan anak autis. Dengan bermain kemampuan fisik anak autis diharapkan dapat dicapai secara maksimal.Bermain merupakan metode yang paling efektif untuk mematangkan perkembangan anak.68 Bermain merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam periode perkembangan diri anak. Kegiatan bermain mempengaruhi perkembangan keenam aspek perkembangan anak, yaitu aspek kesadaran diri, emosional, sosial, komunikasi, kognisi dan keterampilan motorik.69 Aktivitas-aktivitas di kelas yang diprakarsai dan dirancang guru dapat dikatakan menggunakan metode bermain apabila menyediakan berbagai pilihan bagi anak, menyenangkan, dan ada interaksi di antara anak. Sementara bagi guru, suatu kegiatan dapat dikatakan bermain apabila mengandung unsur eksplorasi, eksperimentasi, penemuan dan evaluasi. 2.6.2. Bentuk-bentuk Permainan Yang Mendorong Kecerdasan Kinestetik Dalam dunia anak, proses pembelajaran merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan yang integral pula. Artinya, guru tidak akan dapat memisahkan kegiatan-kegiatan secara spesifik, sebab tujuan-tujuan dalam satu kegiatan pun sangat 68 Indriana, Yeniar, (2008)Gorontologi & Progeria, Yogyakarata Pustaka Pelajar, hal.23. Catron. Carrol. E & Allen. Jan., (1999) :Early Childhood Curriculum : A Creative Play Model, Merill Prentice Hall, New Jersey, hal. 76. 69 beragam, baik untuk mendorong perkembangan kognitif, emosi, maupun perkembangan motoriknya. Oleh karena itu, spesifikasi yang dilakukan dalam tesis ini hanyalah untuk memberi fokus yang lebih jelas terhadap masalah yang dikaji, sehingga pada hakikatnya satu permainan tidaklah hanya mempunyai satu tujuan perkembangan tetapi dapat pula mencakup tujuan perkembangan anak lainnya. Berikut beberapa bentuk permainan yang mampu meningkatkan keterampilan motorik anak, sehingga secara langsung maupun tidak langsung mampu merangsang kecerdasan kinestetik (tubuh) sebagaimana yang diungkapkan dalam teori Howard Gardner mengenai kecerdasan ganda.70 1. Bermain Basket Tujuan permainan ini adalah memberikan kesempatan bagi anak-anak berlatih koordinasi mata dengan tangan. Dalam permainan ini anak dan tutor sama-sama aktif. Cara permainan: Hamparkan selembar kertas Koran di atas lantai sebagai titik pinalti atau pijakan anak dalam melempar. Dorong anak untuk melempar bola ke dalam “ring” dari titik pinalti tersebut. Buatlah bulatan dengan tangan (tutor) sebagai “ring”nya, kemudian tutor boleh bergerak, misalnya memutari anak, untuk melatih anak mengkoordinasikan pengamatannya. 70 Gardner. Howard.,(1993) : Frames Of Mind The Theory of Multiple Intelligences, Tenth- Anniversary Edition, Basic Books A Member of The Perseus Books Group, New York, hal. Apabila anak merasakan kesulitan dalam memasukan bola ke dalam “ring”, gerakkan “ring” ke arah bola dengan sengaja sehingga bola masuk dan anak tidak menjadi frustasi. 2. Bisbol Bola Tujuan permainan ini adalah supaya anak belajar tentang proses di dalam melakukan suatu gerakan. Dimulai dengan mata yang menatap kearah obyek, otak memerintahkan tangan untuk memukul, sampai tangan melaksanakan perintah tersebut. Cara permainan: Buatlah pemukul dari kertas koran yang digulung, atau benda lain yang tidak berbahaya. Jangan gunakan pemukul dari bahan-bahan keras seperti kayu, besi atau jenis lainnya. Berikan alat pemukul tersebut kepada anak yang harus digunakan untuk memukul balon yang terbang bergerak pelan. Jumlah balon disesuaikan dengan jumlah anak, dalam satu kali permainan, jumlah pemain jangan terlalu banyak supaya anak dapat bergerak dengan lebih bebas. 3. Balapan unik Tujuan dari bentuk permainan fisik ini adalah agar anak-anak belajar mengendalikan tubuhnya untuk melakukan gerakan dengan cara tertentu. Selain itu, mereka juga belajar mengatur dan memperkuat keseimbangannya dalam melakukan gerakan yang tidak biasa. Cara permainan: Diharapkan beberapa anak (misalnya 3-5 orang) untuk melakukan balapan dengan berjalan menggunakan bagian telapak kaki kaki bagian belakang sampai ke garis finish. Balapan juga dapat menggunakan alat tubuh lainnya, seperti berjalan memakai tumit, jongkok, balapan mundur, berjalan kepiting (berjalan menyamping) melompat satu kaki, melompat mundur, atau berjalan sambil berpegangan tangan.