BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) yang memiliki 17.508 gugusan pulau-pulau. Daruri (2000) menyatakan ada sebanyak 5.700 pulau telah memiliki nama, meskipun merupakan pemberian oleh masyarakat lokal dan sekitar 931 pulau didiami oleh manusia. Beberapa propinsi merupakan pulau-pulau kecil seperti NTT, NTB dan beberapa propinsi memiliki pulau-pulau kecil seperti Riau dan Lampung. Sumberdaya pesisir dapat digolongkan sebagai kekayaan alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources), dan sumberdaya yang tidak dapat habis (continous resources) (Gany, 2000). Berbagai ragam sumberdaya hayati pesisir yang penting dan dapat diperbaharui adalah hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, rumput laut, dan perikanan. Hutan mangrove adalah daerah/zona yang unik yang merupakan peralihan antara komponen laut dan darat, yang berisi vegetasi laut dan perikanan (pesisir) yang tumbuh di daerah pantai dan sekitar muara sungai (selain dari formasi hutan pantai) yang selalu atau secara teratur digenangi oleh air laut serta dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasi laut dan perikanan (pesisir) mangrove dicirikan oleh jenis-jenis tanaman bakau (Rhizopora spp.), api-api (Avicenia spp.), prepat Universitas Sumatera Utara (Sonneratia spp.) dan tinjang (Bruguiera spp.). Data luas hutan mangrove di dunia ini sekitar 15,9 juta ha, sedangkan di Indonesia terdapat 4,25 juta ha (Dahuri, 1997) yang tersebar di seluruh wilayah pantai di Indonesia (Wartapura, 1991). Menurut data pada tahun 1993, di Sumatera terdapat hutan mangrove seluas 856.134 ha (Dahuri, 1997). Dari luas tersebut di Propinsi Sumatera Utara terdapat 60.000 ha (Wartapura, 1991, Dartius, 1988). Hutan mangrove di Sumatera terutama tersebar di Pantai Timur, disebabkan karena: 1) Pantai Timur mempunyai dataran lebih rendah dibanding Pantai Barat Sumatera. 2) Banyak sungai-sungai besar di Sumatera yang mengalir ke Pantai Timur. Kondisi ini mendorong pertumbuhan mangrove di muara sungai makin subur dan makin luas, karena banyak endapan yang terbawa arus sungai (Dahuri, 1997). Menurut Dahuri (2000) hingga tahun 1993 telah terjadi penurunan kawasan laut dan perikanan (pesisir) mangrove sebesar 52% dari 5,2 juta ha pada tahun 1982 menjadi 2,5 juta ha, yang berarti dalam jangka waktu 11 tahun telah rusak setengahnya. Dari data luasan tersebut 40% terdapat di Irian Jaya dan sisanya di pulau-pulau lain. Terumbu karang merupakan keunikan di antara asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis. Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Medreporaria = Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, 1992). Di Indonesia, ekosistem terumbu karang menempati kira-kira 7.500 km2 yang terbentang sepanjang 17.500 km dengan potensi Universitas Sumatera Utara yang dapat dimanfaatkan seperti berbagai jenis ikan hias, lobster, penyu, kima, teripang dan lain-lain. Terumbu karang juga dimanfaatkan untuk bahan bangunan, pembuatan jalan, pelabuhan udara dan bahan baku industri pupuk (Dahuri, 2000). Padang Lamun (seagrass) yang merupakan komponen utama yang dominan di lingkungan pesisir. Biasanya berkembang pada perairan dangkal, agak berpasir dan berasosiasi dengan laut dan perikanan (pesisir) bakau dan terumbu karang. Komunis padang lamun di Indonesia merupakan terluas. Rumput laut berbeda dengan padang lamun, di mana komunitas rumput laut berkembang pada substrat yang keras sebagai tempat melekat. Jadi mereka mampu mendaurulangkan nutrien kembali ke dalam ekosistem agar tidak terperangkap di dasar laut (Nybakken, 1992). Beberapa jenis rumput laut dijadikan makanan ternak, bahan baku obat-obatan, agar-agar dan lain-lain. Dari 555 jenis rumput laut di Indonesia, sekitar 4 jenis yang telah dikomersilkan yaitu Euchema, Gracillaria, Gelidium, dan Sargasum. Potensi rumput laut di Indonesia dapat dilihat dari potensi lahan budidaya rumput laut yang tersebar di 26 propinsi di Indonesia. Potensi ini secara keseluruhan mencakup areal seluas 26.700 ha dengan potensi produksi sebesar 482.400 ton per tahun (Dahuri, 2000). Sumberdaya pesisir laut sangat beragam, antara lain dari jenis-jenis ikan pelagis (cakalang, tuna, layar) dan jenis ikan dumersal (kakap, kerapu). Selain itu, terdapat juga biota lain yang dapat ditemukan di seluruh pesisir di Indonesia, seperti kepiting, udang, teripang, dan kerang. Berdasarkan hukum laut yang baru, yaitu ketentuan Zona Ekonomi Eksklusif, laut di Indonesia memiliki luas 5.866.133 km2, Universitas Sumatera Utara dengan potensi ikannya 6,62 juta ton/tahun. Sementara kemampuan rakyat Indonesia untuk memungutnya 1,6 juta ton pertahun (Danusaputro, 1991). Selain memiliki potensi kekayaan alam, pesisir di Indonesia merupakan kawasan yang padat oleh penduduk, dan aktivitas industri. Menurut Alikodra (2005) hingga tahun 2000, terdapat 42 kota dan 181 kabupaten berada di wilayah pesisir, diantaranya adalah kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Medan, Manado, Surabaya, Ujung Pandang, Denpasar, merupakan tempat pusat-pusat pertumbuhan, bahkan banyak diantaranya yang telah melakukan reklamasi pantai. Di lain pihak, kawasan pesisir juga telah menjadi pusat-pusat industri, di mana 80% industri berlokasi di pesisir dan membuang limbahnya ke laut. Sehingga, pada umumnya di kota-kota pantai mempunyai tingkat pencemaran yang tinggi. Selanjutnya Alikodra (2005) juga mengatakan bahwa 60% penduduk dunia bermukim di wilayah pesisir, termasuk Indonesia yang dikenal sebagai negara maritim, di mana 140 juta penduduknya bermukim di wilayah pesisir (terutama di wilayah 50 km dari garis pantai ke arah darat). Wilayah pesisir merupakan suatu himpunan dari komponen hayati dan nirhayati. Komponen hayati dan nirhayati secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem. Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua komponen tersebut dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada baik dalam struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya. Kelangsungan fungsi wilayah pesisir sangat menentukan kelestarian sumberdaya hayati sebagai komponen utama dalam sistem di wilayah pesisir (Bengen, 2002). Universitas Sumatera Utara Besarnya potensi kekayaan alam pesisir telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan hidup seperti over capacity di sektor perikanan, perusakan hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun serta abrasi pantai dan gelombang pasang hingga masalah tsunami. Permasalahan ini sangat terkait dengan kemiskinan masyarakat pesisir, kebijakan yang tidak tepat, rendahnya penegakan hukum (law enforcement), dan rendahnya kemampuan sumberdaya manusia (SDM). Permasalahan di pesisir di atas bila dikaji lebih lanjut memiliki akar permasalahan yang mendasar. Menurut Dahuri (2003) ada lima faktor, yaitu pertama tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dan kemiskinan, kedua konsumsi berlebihan dan penyebaran sumberdaya yang tidak merata, ketiga kelembagaan, keempat, kurangnya pemahaman tentang ekosistem alam, dan kelima kegagalan sistem ekonomi dan kebijakan dalam menilai ekosistem alam. Beberapa hasil studi mengungkapkan bahwa perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumberdaya pesisir yang selama ini dijalankan bersifat sektoral dan terpilah-pilah. Padahal karakteristik ekosistem pesisir yang secara ekologis saling terkait satu sama lain termasuk dengan ekosistem lahan atas, serta beraneka sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan sebagai potensi pembangunan yang pada umumnya terdapat dalam suatu hamparan ekosistem pesisir. Sehingga pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat diwujudkan melalui pendekatan terpadu dan holistik. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai proses pemanfaatan sumberdaya pesisir serta ruang yang memperhatikan aspek konservasi dan keberlanjutannya. Adapun konteks Universitas Sumatera Utara keterpaduan meliputi dimensi sektor, ekologis, hirarkhi pemerintahan, antar bangsa/negara, dan disiplin ilmu (Cicin-Sain dan Knect, 1998; Kay dan Alder, 1999). Memang Departemen Perikanan dan Kelautan telah mengembangkan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia seperti Marine Coastal Resource Management Program (MCRMP), namun pengelolaan ini menghadapi masalah yaitu masih belum terpenuhinya standar kapasitas perencanaan pengelolaan pesisir. Berdasarkan hal-hal tersebut maka diperlukan penelitian perencanaan pengelolaan wilayah pesisir, dengan tujuan untuk menyusun strategi pengembangan kapasitas perencanaan untuk mencapai pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalah: 1. Apakah ada keterkaitan antara kerusakan ekosistem mangrove dengan kapasitas perencanaan sumberdaya pesisir; 2. Apakah ada keterkaitan antara peran stakeholder di wilayah pesisir dalam memanfaatkan sumberdaya alam pesisir dengan kapasitas perencanaan; 3. Apakah ada keterkaitan antara kondisi sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat pesisir dengan kapasitas perencanaan sumberdaya pesisir; 4. Apakah ada perbedaan antara desa yang mendapatkan program perencanaan wilayah pesisir melalui MCRMP dan desa yang tidak memperoleh program Universitas Sumatera Utara perencanaan dalam hal sosial ekonomi, sosial budaya dan pemanfaatan wilayah pesisir; 5. Bagaimana meningkatkan kapasitas perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir atas dasar strategi pengelolaan terpadu (integrated management). 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun konsep pengembangan kapasitas perencanaan pengelolaan pesisir melalui: 1. Analisis kerusakan dan pemanfataan sumberdaya alam dan lingkungan pesisir Timur Propinsi Sumatera Utara. Variabel kerusakan sumberdaya alam khususnya ekosistem mangrove; 2. Analisis sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pelestarian ekosistem/fungsi-fungsi ekologis sumberdaya alam pesisir; 3. Analisis instrumen perencanaan daerah, kapasitas lembaga perencanaan Integrated Coastal Management (ICM) dan proses perencanaan daerah pada implementasi ICM; 4. Analisis hubungan antara kapasitas perencanaan daerah dengan kondisikondisi kerusakan ekosistem mangrove, pola pemanfaatan sumberdaya alam pesisir, kondisi sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat pesisir Pantai Timur Sumatera Utara; Universitas Sumatera Utara 5. Analisis perbedaan antara lokasi yang mendapatkan program perencanaan (MCRMP) wilayah pesisir dengan lokasi yang tidak memperoleh program perencanaan pada kondisi sosial ekonomi, sosial budaya dan pemanfaatan sumberdaya pesisir. Dengan kata lain, penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi pengembangan kapasitas perencanaan pengelolaan wilayah pesisir yang mampu menjaga kualitas lingkungan hidup dan meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial budaya masyarakat pesisir. Universitas Sumatera Utara