HUBUNGAN PENGGUNAAN HUMIDIFIER PADA TERAPI OKSIGEN ALIRAN RENDAH DENGAN PENINGKATAN SUHU TUBUH DAN KADAR LEUKOSIT Saifudin Zukhri , Sukirno ABSTRACT Beberapa peneliti menyebutkan bahwa pemberian oksigen aliran rendah tidak memerlukan humidifier, peneliti lain menyebutkan bahwa pemberian oksigen aliran rendah tanpa humifier dapat menyebabkan kekeringan mukosa saluran napas dan bisa menyebabkan infeksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan humidifier pada terapi oksigen aliran rendah terhadap peningkatan suhu tubuh dan kadar leukosit. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah kuasi eksperimental, yang melibatkan 30 pasien yang dirawat di Instalasi Rawat Intensive RSUP. Dr. Soradji Tirtonegoro Klaten dan mendapatkan terapi oksigen aliran rendah (4-5 l/menit). Empat belas pasien diberikan terapi oksigen dengan air pelembab (humidifier), sisanya 16 pasien diberikan terapi oksigen tanpa air pelembab. Sebelum pemberian terapi okisgen seluruh pasien dilakukan pemeriksaan leukosit dan rongent untuk memastikan bahwa pasien tidak menderita pneumonia. Setelah 3 hari mendapatkan terapi oksigen, dilkaukan pemeriksaan lagi untuk mengetahui ada tidaknya pneumonia. Hasil penelitian menenujukan pasien yang menggunakan humidifier memiliki suhu rata-rata sebelum dan sesudah pemberian oksigen secara berurutan adalah 36.47◦C dan 36,75oC (p= 0.013); dengan kadar leukosit rata-rata sebelum dan sesudah pemberian oksigen secara berurutan adalah 11.97 X 103 /dl dan 11.14 x 103/dl (p=1.27) . Suhu rata-rata pada kelompok tanpa humidifier sebelum dan sedudah pemberian oksigen adalah 36.48oC dan 36.58oC (p=0.37), dengan kadar leukosit sebelum dan sesudah terapi oksigen 11.79 x 103.dl dan 12.03 x 103/dl (p=0.85) Kesimpulan dari penilitian terdapat kenaikan suhu tubuh yang signifikan antar sebelum dan sesudah pemberian oksigen aliran rendah dengan menggunakan humidifier. Rata-rata kenaikan suhu yang dialami masih dalam batas normal. Tidak terjadi perubahan kadar leukosit yang signifikan antara sebelum dengan sesudah terapi oksigen dengan humifier,Kata Kunci : Humidifier, suhu tubuh, leukosit 18 MOTORIK, VOL .10 NOMOR 21, AGUSTUS 2015 I. PENDAHULUAN Penggunaan humidifier penting pada terapi oksigen, tetapi beberapa buku menyebutkan bahwa terapi oksigen yang menggunakan nasal kanul dengan kecepatan aliran oksigen kurang dari 4 liter per menit tidak perlu memakai humidifier (Perry & Potter, 2006). Ada perbedaan pendapat diantara peneliti terkait penggunaan humidifier hubungannya dengan kejadian HAP. Hilton (2004) menyebutkan bahwa pemberian non humidifier tidak boleh labih dari 4 jam. Kenji (2004) melakukan demonstrasi matematika, menyimpulkan bahwa pemakaian oksigen 4-5 liter per menit tidak membutuhkan humidifier karena aliran oksigen 4-5 liter per menit dengan menggunakan alat nasal kanul atau simple masker, masih dipengaruhi udara ruangan. Kelembaban udara ruangan masih mencukupi untuk membantu kelembaban terapi oksigen yang diberikan. Campbell, et al (1988) melakukan penelitian bahwa pemakaian humidifier dengan diisi air atau tidak diisi air dengan aliran oksigen kurang dari 5 liter per menit selama perawatan, setiap harinya masih ditemukan keluhan kekeringan pada mukosa hidung. Non humidifier masih dapat menjadi pilihan terapi karena dapat mengurangi biaya dan mempermudah perawat pada waktu perawatan tabung. Terjadinya kekeringan pada mukosa saluran pernapasan pada pemeberian okdigen tanpa pelembab dapat menjadi port de entri masuknya kuman ke dalam lapisan mukosa dan menyebabkan infeksi. Penggunaan pelembab juga memungkinkan masuknya kuman ke dalam saluran pernapasan. Kuman penyebab pnemunia mungkin masuk ke dalam saluran pemberian oksigen pada saat pengisian. Suasanayang lembab diperkirakann juga menjadi media yang baik untk pertumbuhan bakteri. Adanya infeksi dalam tubuh akan membangkitkan respon imunitas yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel leukosit dan peningkatan suhu tubuh. Dengan kata lain, perubahan suhu tubuh dan kadar leukosit merupakan salah satu indicator terjadinya infeksi. II. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen. Sampel penelitian ini adalah 30 pasien yang di rawat di ruang perawatan intesif (ICU) RSUP. Dr. Soradji Tirtonegoro Klaten dan mendapatkan terapi oksigen aliran rendah (1-6 ml/menit. Sampel kemudian dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama sebanyak 14 pasien diberikan oksigen aliran rendah (1-6 l/menit) dengan humidifier dengan menggunakan cairan steril, kelompok ke dua diberikan terapi oksigen aliran rendah tanpa humidifier (air). Pemeriksaan suhu tubuh dan leukosit dilakukan dua kali, yaitu sebelum diberikan terapi oksigen dan setelah 72 jam pasien mendapatkan terapi oksigen. Untuk mengetahui hubungan antara kejadian HAP dengan penggunaan humidifier Saifudin digunakan uji Chi Square (X2) dengan taraf Zukhri, Sukirno*, Hubungan Penggunaan Humidifier … 19 signifikansi(α) 0.05. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil a. Karakteristik Responden Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Kelompok Usia Usia responden <40 tahun 40-50 tahun 51-60 tahun 61-70 tahun >71 tahun Total Frekuensi 3 4 9 11 3 30 Prosentase (%) 10 13,3 30 36,7 10 100 Sumber: Data Primer,2011 Frekuensi umur responden terbanyak pada usia 61-70 tahun yaitu sebanyak 11 responden (36,7%) dan paling sedikit pada usia <40 tahun dan >71 tahun yaitu masing-masing sebanyak 3 responden (10%). b. Jenis Penyakit Yang Diderita Tabel 2.Distribusi Frekuensi Responden Menurut Diagnosa Medis Diagnosa Medis Tetanus Post laminektomi Decompensatio cordis CHF dan Atrial Fibrilasi Ventrikel ekstra sistole Ca mammae Supra ventrikel takikardi STEMI(ST Elevasi Myocard infark ) Post Sectio Cesarea dan Atonia Uteri Total Frekuensi 1 1 5 7 4 1 2 7 2 30 Prosentase (%) 2,8 2,8 14,3 20 11,4 2,8 5,6 20 5,6 100 Sumber: Data Primer, 2011 Frekuensi diagnosa medis responden terbanyak adalah CHF , Atrial fibrilasi, dan STEMI yaitu masing-masing sebanyak 7 responden (20%). Sedangkan frekuensi terkecil adalah tetanus, post laminektomi, dan Ca mammae yaitu masing-masing sebanyak 1 responden (2,8%). c. Suhu Tubuh dan Kadar Leukosit Tabel 3. Perubahan suhu tubuh dan jumlah sel leukosit sebelum dan setelah pemberian oksigen dengan humidifier. 20 MOTORIK, VOL .10 NOMOR 21, AGUSTUS 2015 PARAMETER Suhu Jumlah Leukosit RATA-RATA SEBELUM 36,47oC 11,97 ribu/dl RATA-RATA SESUDAH 36,75oC 11,14 ribu.dl p (uji t) 0.013* 1.270 Dari table 3 diketahui bahwa terdapat perbedaan suhu yang signifikan antara sebelum dan sesudah pemberian oksigen dengan humidifier, dan tidak ada perbedaan jumlah leukositnya. Tabel 4. Perubahan suhu dan jumlah leukosit pada pemberian oksigen tanpa humidifier. PARAMETER Suhu Jumlah Leukosit IV. RATA-RATA SEBELUM 36,48oC 11,79 ribu/dl RATA-RATA SESUDAH 36,58oC 12,03 ribu.dl p (uji t) 0.368 0.859 PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai usia responden didapatkan bahwa usia terbanyak berada pada usia 61-70 tahun sebanyak 11 responden (36,7%) dan terkecil pada usia pada usia <40 tahun dan >71 tahun yaitu masing-masing sebanyak 3 responden (10%). Usia dapat mempengaruhi terjadinya infeksi khususnya usia lanjut yaitu usia >61 tahun. Usia lanjut dapat terjadi infeksi dikarenakan daya tahan tubuhnya menurun, sedangkan daya tahan tubuh merupakan faktor risiko terjadinya penumonia (PDPI, 2003). Pengecilan kelenjar timus dapat mengurangi pembentukan makrofage yang merupakan salah satu sel pertahanan pada paru. Penyakit kronik seperti penyakit jantung, penyakit obstruksi paru menahun, diabetes dan perawatan di rumah sakit yang lama mempengaruhi daya tahan tubuh terhadap infeksi. Faktor lain yang memepengaruhi adalah pembedahan. Besarnya risiko kejadian infeksi tergantung pada jenis pembedahan (PDPI, 2003). Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa penyakit jantung berada pada tingkat terbanyak yaitu CHF, Atrial fibrilasi, dan STEMI masingmasing sebanyak 7 responden (20%).penyakit selanjutnya adalah tetanus, post laminektomi dan Ca mamae masing-masing 1 responden (2,8%). Dua belas responden yang diberikan terapi oksigen aliran rendah menggunakan humidifier dengan air tidak mengalami peningkatan leukosit . Dalam air yang digunakan adalah aquabidest yang steril dan tehnik penggantian air menggunakan tehnik aseptiks sehingga dapat memutus rantai infeksi sehingga tidak terjadi infeksi nosokomial. Sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh NafisahSaifudin (2007) bahwa pencegahan infeksi Humidifier nosokomial Zukhri, Sukirno*, Hubungan Penggunaan … 21 dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal antara lain tabung yang digunakan dalam keadaan bersih,air dalam humidifier harus steril dan diganti setiap 24 jam, dan bila cairan hendak ditambahkan sisa cairan harus dibuang terlebih dahulu. Jrank (2009) menyebutkan bahwa bakteri 80-90% terdiri dari air dan membutuhkan air untuk tumbuh dan mendapatkan nutrisi. Pernyataan ini didukung oleh Gibson (1990) yang menyatakan bahwa bakteri membutuhkan air untuk pertumbuhan dan bila kondisi tidak baik akan menjadi spora. Scaffer, et al (1996) menyebutkan bahwa terdapatnya bakteri pada humidifier akibat masuknya bakteri yang ada diudara atau diri pasien. Aerosol bakteri yang terdapat dalam air humidifier atau bakteri yang ada diselang oksigen dapat menjadikan infeksi nosokomial. Pertumbuhan bakteri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah : air dimana bakteri akan mati atau mati suri jika terlalu kering, zat-zat organik yang dibutuhkan bakteri sebagai sumber energi untuk aktivitas metaboliknya, garam-garam anorganik (fosfat, sulfat, magnesium, kalsium, besi, seng, tembaga, kobal, molybdenum) penting untuk sistem enzim didalam bakteri dan mengontrol osmosis (Gibson, 2004). Pencegahan pertumbuhan bakteri pada tabung humidifier sangat penting dilakukan meski penelitian sebelumnya tidak menyebutkan kejadian infeksi nosokomial dengan adanya bakteri pada humidifier. Bukti klinis adanya infeksi paru (pneumonia) adalah bila ditemukan minimal satu dari tanda dan gejala berikut : demam (>38 derajat celcius ), leucopenia (< 4.000 WBC/mm3) atau leukositosis ( >12.000 SDP/mm3), hasil foto thorak didapatkan gambaran pneumonia ( Wahab 1994). Dari hasil penelitian pada penggunaan humidifier dengan air didapatkan adanya perbedaan suhu tubuh sebelum dan sesudah perlakuan dengan nilai t = 2,887 dan nilai p = 0,013. Sedangkan hasil uji beda terhadap angka leukosit didapatkan nilai t 1,152 dan nilai p 0,270 jadi dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara angka leukosit sebelum dan sesudah perlakuan. Responden yang mengalami HAP adalah yang diberikan terapi oksigen aliran rendah menggunakan humidifier dengan air yaitu sebanyak 2 responden. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa responden tersebut berusia lanjut dan menderita penyakit jantung. Kedua hal tersebut dapat mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga mudah terjadi HAP. Selain itu juga dipengaruhi oleh tabung dan air yang digunakan sebagai 22 humidifier. Keadaan ini dimungkinkan karena tabung humidifier sering dipergunakan pasien dan selalu menggunakan air tanpa diganti terlebih dahulu, sehingga diperkirakan masih terdapat spora. Selain usia lanjut dan penyakit jantung, dari hasil foto radiologi didapatkan cardiomegali dan edema pulmo. Edema pulmo akan menyebabkan cidera alveoli, sehingga terjadi kolonisasi bakteri pada bagian yang cidera dan terjadi infeksi HAP. Penelitian pada terapi oksigen tanpa humidifier (tanpa air) didapatkan MOTORIK, VOL .10 NOMOR 21, AGUSTUS 2015 tidak ada perbedaan yang bermakna suhu tubuh dan angka leukosit sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil uji beda pada suhu tubuh didapatkan nilai t = 0,929 dan nilai p = 0,368, sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan antara suhu tubuh sebelum dan sesudah perlakuan. Demikian juga uji beda pada angka leukosit didapatkan nilai t 0,581 dan nilai p 0,859, sehingga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan antara angka leukosit sebelum dan sesudah perlakuan. Pada pengukuran suhu tubuh responden didapatkan ada yang mengalami penurunan dan peningkatan, dan ada yang menetap. Demam terjadi oleh karena perubahan pengaturan homeostatik suhu normal pada hipotalamus yang dapat disebabkan antara lain oleh infeksi, vaksin, agen biologis (faktor perangsang koloni granulositmakrofag, interferon dan interleukin), jejas jaringan (infark, emboli pulmonal, trauma, suntikan intramuskular, luka bakar). Jalur akhir penyebab demam yang paling sering adalah adanya pirogen, yang kemudian secara langsung mengubah “set-point” di hipotalamus, menghasilkan pembentukan panas dan konversi panas. Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat 2 jenis pirogen yaitu pirogen eksogen dan pirogen endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh yaitu pirogen mikrobial dan pirogen non-mikrobial. Pirogen mikrobial diantaranya seperti bakteri gram positif, bakteri gram negatif, virus maupun jamur; sedangkan pirogen non-mikrobial antara lain proses fagositosis, kompleks antigen-antibodi, steroid dan sistem monosit-makrofag; yang keseluruhannya tersebut mempunyai kemampuan untuk merangsang pelepasan pirogen endogen yang disebut dengan sitokin yang diantaranya yaitu interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF), limfosit yang teraktivasi, interferon (INF), interleukin-2 (IL-2) dan Granulocytemacrophage colony-stimulating factor (GM-CSF). Sebagian besar sitokin ini dihasilkan oleh makrofag yang merupakan akibat reaksi terhadap pirogen eksogen. Dimana sitokin-sitokin ini merangsang hipotalamus untuk meningkatkan sekresi prostaglandin, yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh (Walter R.W., 2005). Selain adanya peningkatan suhu tubuh infeksi juga ditandai adanya leukositosis. Peningkatan neutrofil merupakan penyebab awal leukositosis yang menyertai suatu infeksi atau peradangan. Pada infeksi, jumlah sel imatur (sel meiloid) dalam darah meningkat karena neutrofil yang matang dan granulosit yang lain habis terpakai. Apabila infeksi mereda sel-sel matang dibebaskan dari sumsum tulang dan kembali mendominasi dalam sirkulasi (Ganong F.W., 2003). Selain dari hasil pengukuran tanda vital khususnya suhu tubuh dan angka leukosit, HAP didukung dengan hasil foto thorax. Hasil foto thorax menunjukkan adanya infiltrat baru atau progresif yang menetap, konsolidasi, kapitasi. DanSaifudin dari hasil didapatkan 2 reponden Zukhri,penelitian Sukirno*, Hubungan Penggunaan Humidifieryang … 23 mempunyai hasil foto thorax yang menunjukkan adanya HAP pada responden yang menggunakan humidifier dengan air. Pneuomonia merupakan peradangan paru, distal dari brokiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru, gangguan pertukaran gas`setempat sehingga pada pemeriksaan radiologi didapatkan hasil tersebut. Infeksi nosocomial adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit. Pneumonia nosokomial dapat muncul terutama pada pasien yang menggunakan ventilator, tindakan trakeostomy, intubasi, pemasangan NGT dan terapi inhalasi. Beberapa penyebab pneumonia nosokomial antara lain aspirasi lambung, penggunaan penghambat histamine tipe II, penggunaan alat-alat nebulizer, alat pelembab (humidifier), pipa nasogastrik, pipa endotrakeal termasuk penghisapan lendir, dan pemberian makanan melalui enteral yang semuanya merupakan faktor resiko terjadinya infeksi nosokomial pada paru-paru (Tabrani, 1996). Humidifier adalah salah satu penyebab infeksi. Pada pernafasan normal pelembaban udara dilakukan oleh mukosa dan pembuluh darah di mulut dan hidung. Gas yang diberikan dalam terapi tidaklah mengandung uap air, oleh karena itu harus diberikan pelembab. Rongga hidung berperan sebagai pemanas dan pelembab udara, dan sekaligus juga sebagai filter (saringan). Apabila pelembaban udara disaluran pernafasan bagian atas tidak sempurna, maka dapat mengakibatkan terjadinya iritasi pada saluran pernafasan bagian bawah (Tabrani, 1996). Penelitan ini masih mengandung bebrapa kelemahan diantaranya adalah : 1. Sampel ada yang berusia lebih dari 70 th Usia lanjut dapat terjadi HAP dikarenakan daya tahan tubuhnya menurun, sedangkan daya tahan tubuh merupakan faktor risiko terjadinya pnumonia 2. Sampel ada yang mendapatkan terapi antibiotika Ini karena antibiotika merupakan pembunuh kuman / bacteri, sehingga pada pasien yang mendapat antibiotika jumlah leukocit akan turun sehingga akan kurang valid untuk mendiagnose pneumonia, dan kecil kemungkinan untuk terkena infeksi nosokomial 3. Sampel menggunakan alat invasif (infuse dan douwer catheter) Alat invasife merupakan media masuknya bakteri/kuman kedalam tubuh sehingga bila terjadi infeksi sulit untuk membedakan infeksi nosokomial paru atau infeksi yang berasal dari alat invasife 24 MOTORIK, VOL .10 NOMOR 21, AGUSTUS 2015 V. KESIMPULAN 1. Terdapat perbedaan suhu tubuh yang signifikan antar sebelum dan setelah pemberian oksigen aliran rendah dengan menggunakan pelembab air selama 48 jam 2. Tidak terdapat perbedaan jumlah leukosit yang seignifikan antar sebelum dengan sesudah pemberian oksigen aliran rendah dengan pelembab selama 48 jam. 3. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan suhu tubuh dan jumlah leukosit antara sebelum dengan sesudah pemberian oksigen aliran rendah tanpa pelembab selama 48 jam. VI. SARAN 1. Penggunaan humidifier pada pemberian oksigen masih relative aman untuk digunakan sepanjang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip yang benar (tidak terkontaminasi) 2. Sebaiknya dilakukan penelitian dengan jangka waktu yang lebih lama (minimal 3 x 24 jam) agar diketahui dampaknya, dengan jumlah sampel yang lebih besar dan pengendalian variable pengganggu yang lebih ketat. DAFTAR PUSTAKA Brunner and Suddart .2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta EGC Budiarto, E .2003. Metodologi Penelitihan Kedokteran. Jakarta, EGC Chastre and Fagon. 2002. Ventilator Associated Pneomonia. Amerikan Journal Respiratory and Critical Care Medicine 165.867-903 Corona and Raimondi. 2004 Prevention of Nosocomial Infection in ICU Setting Minerva Anastesiol volume:70 (2007) Fardo and nightingale. 2004. Guidelines Preventing VAP. Availabe on; http://www.cdc.gov. tanggal 20 Desember 2010 Lubis. 2003. InfeksiNosokomial pada Neonatus. Universitas Sumater Utara Digital Librari Avaliable on http:// search.ebcohost.om. tanggal akses 24 Desember 2010 Moch.Imron. 2010. Metodologi Penelitihan Bidang Kesehatan. CV Sagung Seto Mustofa. 2003. Pedoman pencegahan dan penanggulangan infeksi di ICU. Jakarta, Depkes RI Notoatmodjo .2005. Metode penelitian kesehatan. PT Rineka Cipta , Jakarta Wahab, 2001. Dasar Biologi dan klinis Penyakit Infeksi.Yogyakarta; Gajah Mada University Press Weinstein.2007.Nosocomial Infction Update. Cook Ountry Hospital & Rush Medical Collegge,Chicago