GAMBARAN KONSEP DIRI PADA PENDERITA TB PARU DI WILAYAH KERJA UPTD KESEHATAN PUSKESMAS SUKAMULYA KABUPATEN CIAMIS TAHUN 2016 SKRIPSI Diajukan Untuk Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan Pada Program S1 Keperawatan Oleh : ASEP SUDRAJAT NIM : 12SP277008 PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH CIAMIS 2016 GAMBARAN KONSEP DIRI PADA PENDERITA TB PARU DIWILAYAH KERJA UPTD KESEHATAN PUSKESMAS SUKAMULYA KABUPATEN CIAMIS TAHUN 20161 2 3 Asep Sudrajat Elis Noviati Lilis Lismayanti 4 INTISARI Penyakit TB Paru merupakan penyakit infeksi dan menular. Penyakit ini dapat diderita oleh setiap orang dan dapat menyebabkan perubahan fisik, mental dan sosial. Keadaan ini dapat mempengaruhi konsep diri penderitanya. Sehingga menyebabkan penderita TB Paru merasa tidak berdaya, menolak, merasa bersalah, merasa rendah diri dan menarik diri dari orang lain. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui gambaran konsep diri pada penderita TB paru di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis Tahun 2016. Desain penelitian ini yaitu deskriptif dengan sampel adalah 30 orang penderita TB paru. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dengan skala Likert. Hasil penelitian menunjukkan sebesar 53,3% memiliki citra diri negatif ,50% memiliki ideal diri positif dan negatif, 56,7% memiliki harga diri rendah, 60,0% memiliki penampilan peran positif, dan 53,3% memiliki identitas diri positif. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan konsep diri pada penderita tuberkulosis memiliki kategori positif sebanyak 56,7%. Disarankan bagi perawat yang bertanggung jawab dalam masalah TB paru, agar dalam memberikan bimbingan dan konseling bagi penderita TB paru supaya dapat meningkatkan koping diri terhadap perubahan komponen konsep diri dan memperhatikan aspek perubahan komponen konsep diri yang terjadi pada penderita TB paru. . . Kata Kunci : Kepustakaan : Keterangan : Konsep Diri, Penderita TB Paru 43 Referensi (2005-2014) 1 Judul, 2 Nama Mahasiswa S1 Keperawatan, 3 Nama Pembimbing I, 4 Nama Pembimbing II iv THE SELF CONCEPT OF PATIENTS WITH TUBERCULOSIS IN PUSKESMAS SUKAMULYA KABUPATEN CIAMIS YEAR 2016 1 2 3 Asep Sudrajat Elis Noviati Lilis Lismayanti 4 ABSTRACT Pulmonary tuberculosis is an infectious and contagious disease. Every person can suffer from this disease. Which cauces physical, mental and social changes. This condition potentially affects patients self concept which then makes tuberculosis patients feel powerless, offensive, guilty, and inferior and tend to withdraw from society. This research’s aim was to know description of self-concept component to tuberculosis patients in Puskesmas Sukamulya Kabupaten,2016. Design of this research was descriptive with sample was 30 tuberculosis patients. Data were collected by using questionnaire with likert scale. The result of research showed that as much as 53,3% of respondents had negative bodyi mage,50,0%of respondents had posittive and negative self-ideal, 56,7 % of respondents showed low self esteem, 60,0% of respondents had positive role performance, and 53,3% of respondents had positive self identity. Based on the results of this study concluded that self-concept in patient tuberculosis have the category positif 56,7%. It’ssuggest for nurse who responsible in tuberculosis problems in order to give a introduction and counseling for tuberculosis patients to increase self coping against the change of self-concept and observe that change which created to tuberculosis patients. Keywords : Bibliography : Description : Self-conceft, Tuberculosis Patients 43 reference (2005-2014) 1.Title, 2. Student Name, 3. Name of Supervisor I, 4. Name of Supervisor II v 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri tahan asam (BTA) Mycobacterium tuberkulosis. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat kejadian 9 juta kasus pertahun diseluruh dunia dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta manusia ( Atit et al, 2012). Penyakit TB Paru dari tahun ke tahun mengalami peningkatan walaupun berbagai upaya telah dilakukan baik penyuluhan sampai dengan pengobatan gratis di puskesmas dan rumah sakit kurangnya kesadaran penderita untuk berobat secara teratur menjadi penyebab masih tingginya kasus TB Paru sampai tahun 2013 ( Kemenkes, 2013). World Health Organization (WHO) mengatakan Pada tahun 2013, terdapat 6,1 juta kasus TB Paru. Dari jumlah kasus tersebut 5,7 juta adalah orang-orang yang baru didiagnosis dan 0,4 juta lainnya sudah dalam pengobatan. Meskipun prevalensi TB Paru menurun secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, namun jumlah penderita penyakit TB Paru di Indonesia masih terbilang tinggi karena jumlah penderita TB di Indonesia menempati peringkat empat terbanyak di seluruh dunia setelah China, India, dan Afrika Selatan. Prevalensi TB Paru diindonesia pada tahun 2013 ialah 297 per 100.000 penduduk dengan kasus baru setiap tahun mencapai 460.000 kasus. Dengan demikian, Total kasus hingga 2013 mencapai sekitar 800.000 – 900.000 kasus (Tjandra,2014). Data Depkes menyebutkan pasen TB Paru yang ditemukan dan diobati tahun 2012 mencapai 42,32% 2 (Target 80%), dan pada tahaun 2013 mencapai 90,8% (target 87%). Penanggulangan TB Paru sesuai dengan sarat WHO bisa mencapai sekurangnya 85 % pasien TB Paru dapat ditemukan dan diobati dengan angka kesembuhan sekitar 87% (kemenkes,2013). Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan tahun 2013 adalah 0.4 persen, tidak berbeda dengan 2007. Lima provinsi dengan TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%), DKI Jakarta (0.6%), Gorontalo (0.5%), Banten (0.4%) dan Papua Barat (0.4%) (kemenkes,2013). Jumlah penderita tuberculosis paru yang berada di kabupaten Ciamis pada tahun 2013 sebanyak 1.164 kasus, tahun 2014 sebanyak 1.388 Kasus dan tahun 2015 sebanyak 1.395 kasus. Table 1.1 Data 5 Besar UPTD Kesehatan Puskesmas Dengan penderita Tuberkulosis paru di Kabupaten Ciamis tahun 2015 Penderita Tuberkulosis Paru No Puskesmas Target Kejadian % 50 35 30 30 30 207,38 159,99 117,84 109,71 111,17 penemuan 1. 2. 3. 4. 5. Sukamulya Gardujaya Sukamantri Panumbangan Jatinagara 24 22 26 27 27 Sumber : Dinkes Kabupaten Ciamis, 2015 Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya merupakan Puskesmas yang memiliki jumlah penderita Tuberkulosis paru pertama dari data 5 besar puskesmas di Kabupaten Ciamis dengan jumlah penderita tuberculosis sebanyak 50 orang (207,38) dari target penemuan 24 orang pada tahun 2015. 3 Pada tahun 2015 angka kejadian TB di UPTD Kesehatan puskesmas Sukamulya mengalami penurunan sebanyak 3 kasus, penderita TB di Puskesmas Sukamulya dari tahun ke tahun merupakan penderita baru, terdapat catatan angka kekambuhan penyakit sebanyak 2 orang dari tahun 2013 – 2015, faktor yang paling mempengaruhi tingginya angka kejadian tuberkolosis paru diwilayah UPTD Kesehatan puskesmas sukamulya adalah faktor kontak langsung dengan penderita tuberkolosis. Tabel 1.2. Cakupan Kasus Tuberkulosis Paru Berdasarkan Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya tahun 2015 No 1 Desa Desa Sukasetia Kejadian 5 2 Desa Sukahaji 9 3 Desa sukamaju 3 4 Desa sukahurif 4 5 Desa cijulang 9 6 Desa sukamulya 8 7 Lain-lain 13 Jumlah 50 Sumber : Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis, 2015 Puskesmas Sukamulya sudah menjalankan Program Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis Paru dengan menyediakan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin dan pencatatan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan tuberculosis namun kejadian tuberculosis masih tetap tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh “indah 2012” ada hubungan antara dukungan keluarga terhadap konsep diri pada penderita tuberkulosis dalam proses pengobatan di wilayah Puskesmas Bendosari Sukoharjo. 4 Setiap perubahan dalam kesehatan dapat menjadi stressor yang mempengaruhi konsep diri, dan ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri salah satunya yaitu significant other atau orang-orang terdekat (Stuart & Sundeen, 2007). Seseorang yang sakit biasanya akan mengalami perubahan terhadap konsep diri. Konsep diri adalah citra mental seseorang terhadap dirinya sendiri, mencakup bagaimana mereka melihat kekuatan dan kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya. Konsep diri tidak hanya bergantung pada gambaran tubuh dan peran yang dimilikinya tetapi juga bergantung pada aspek psikologis dan spiritual diri. Konsep diri berperan penting dalam hubungan seseorang dengan anggota keluarganya yang lain. Klien yang mengalami perubahan konsep diri karena sakitnya mungkin tidak mampu lagi memenuhi harapan keluarganya, yang akhirnya menimbulkan ketegangan dan konflik (Potter & Perry, 2009). Penyakit TB Paru merupakan suatu penyakit yang dapat mempengaruhi konsep diri penderitanya. Konsep diri yang bisanya terpengaruhi citra diri, ideal diri, harga diri, peran, identitas diri. Tuberkulosis sering kali menimbulkan dampak terhadap fisik, mental dan sosial. Stigma negatif dan diskriminasi yang diberikan oleh masyarakat terhadap pasien TB paru dapat menyebabkan penurunan harga diri. Hal ini yang menjadi perbedaan penyakit TB paru dari penyakit kronis lainnya. Penyakit TB paru dan pengobatannya dapat mengganggu seluruh aspek dari diri seseorang. Perubahan fisik, pandangan negatif masyarakat mengenai penyakit ini, dan keterbatasan dalam melakukan aktivitas dan sosialisasi mempengaruhi seluruh bagian dari konsep diri pasien TB paru. Oleh karena itu peran keluarga terhadap penderita TB paru sangat dibutuhkan khususnya dalam memberikan perawatan, tidak 5 hanya perawatan secara fisik namun juga perawatan secara psikososial. (Stuart, 2008). Terjadinya perubahan konsep diri pada penderita TB Paru akan mempengaruhi psikologis penderita, akibatnya penderita merasa tidak berdaya, merasa bersalah, merasa rendah diri dan menarik diri, oleh sebab itu dukungan keluarga merupakan aspek yang sangat penting dalam motivasi, sikap optimis merupakan sikap yang sangat dianjurkan dalam Islam, sebagai mana firman Alloh SWT dalam Ali Imran: 139). ََو ََل ت َ ِهنُوا َو ََل تَ ْحزَ نُوا َوأ َ ْنت ُ ُم ْاْل َ ْعلَ ْونَ ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ُمؤْ ِمنِين Artinya : “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (Ali Imran: 139)”. علَ ْي ِه ُم ْال َم ََلئِ َكةُ أ َ ََّل تَََاُُوا َو ََل َّ إِ َّن الَّذِينَ قَالُوا َربُّنَا َ اَّللُ ث ُ َّم ا ْستَقَا ُموا تَتَن ََّز ُل َعدُون َ تَحْ زَ نُوا َوأ َ ْب ِش ُروا بِ ْال َجنَّ ِة الَّتِي ُك ْنت ُ ْم تُو Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) : Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah. Suliswati (2005) mengatakan Aspek psikologis merupakan aspek yang sering dilupakan oleh perawat. Perawat sering lebih berfokus terhadap adaptasi fisik yang dilalui pasien dan cenderung mengesampingkan adaptasi psikologisnya ketika menderita TB paru. dalam teori adaptasinya mengatakan bahwa pengalaman individu dan 6 interpretasi dari lingkungan membentuk persepsi diri. Pada pasien TB paru sendiri, penyakit TB paru dan program pengobatan yang harus dijalani dalam jangka waktu yang lama serta stigma yang didapatkan dari masyarakat terkait penyakit TB paru dapat mempengaruhi konsep diri dan prilaku pasien TB paru. Hasil studi pendahuluan wawancara pada penderita TB Paru dan petugas kesehatan di puskesmas sukamulya pada tanggal 15 maret 2016 didapatkan kebanyakan masyarakat yang mederita TB Paru, merasa rendah diri, merasa bersalah terhadap penyakit yang dideritanya, menarik diri dari orang lain karena khawatir penyakit yang diderita menular kepada orang lain, mengalami gangguan dalam berhubungan, dan malu untuk memeriksakan dirinya ke tempat pelayanan kesehatan, Akibatya petugas kesehatan selalu melakukan pemeriksaan kepada masyarakat untuk melihat masyarakat yang terkena TB Paru. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti “Gambaran Konsep Diri Pada Penderita TB Paru Di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis”. B. RUMUSAN MASALAH Penyakit TB Paru merupakan penyakit yang dapat mempengaruhi perubahan konsep diri penderita TB Paru.Perubahan tubuh dapat mempengaruhi semua komponen konsep diri yaitu Citra diri, Ideal diri, Harga diri, Peran diri, dan identitas diri. bisanya penderita TB Paru mempersepsikan sakit dengan menunjukkan perubahan perilaku, seperti : marah-marah, menarik diri, kegiatan sehari – hari dirumah, dan membatasi diri. Selain itu penderita merasa ketakutan akan isolasi dan perlakuan negatif dari masyarakat bila mengetahui dirinya menderita TBC. 7 Pada penelitian ini penulis akan meliahat “Gambaran Konsep Diri Pada Penderita TB Paru Di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis‟‟. C. Tujuan penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui gambaran konsep diri penderita TB paru Wilayah kerja UPTD Kesehatan Puskesmas sukamulya. 2. Tujuan khusus a Mengetahui gambaran citra diri penderita Tuberkolosis di Wilayah kerja UPTD Kesehatan Puskesmas sukamulya. b Mengetahui gambaran ideal diri penderita Tuberkolosis di Wilayah kerja UPTD Kesehatan Puskesmas sukamulya. c Mengetahui gambaran harga diri penderita Tuberkolosis di Wilayah kerja UPTD Kesehatan Puskesmas sukamulya. d Mengetahui gambaran peran diri penderita Tuberkolosis di Wilayah kerja UPTD Kesehatan Puskesmas sukamulya. e Mengetahui gambaran identitas diri penderita Tuberkolosis di Wilayah kerja UPTD Kesehatan Puskesmas sukamulya. D. Manfaat penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kesehatan dan keperawatan terutama yang berkaitan dengan Tuberkolosis. 8 2. Manfaat Praktis a Dinas kesehatan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data nyata bagi dinas kesehatan untuk membuat program kesehatan yang lebih baik lagi berkaitan dengan penyakit TB Paru. b Puskesmas Hasil penelitian ini dapat dijadikan data untuk lebih memahami terhadap kondisi psikologis penderita TB Paru. c Institusi pendidikan Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi yang berguna bagi para pembaca untuk menambah wawasan, pengetahuan, tentang ilmu kesehatan penyakit dalam dan komunitas tentang penyakit TB Paru. d Peneliti lain Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dan bahan dasar sebagai acuan untuk penelitian lebih lanjut khususnya tentang hubungan konsep diri pada penderita tuberkolosis. E. Keaslian penelitian Penelitian mengenai konsep diri yang pernah di lakukan oleh „‟Indah 2012” tentang hubungan antara dukungan keluarga terhadap konsep diri pada penderita tbc dalam proses pengobatan di wilayah kerja puskesmas bendosari Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mengetahui hubungan antara dukungan keluarga terhadap konsep diri pada penderita TBC dalam proses pengobatan di wilayah kerja Puskesmas Bendosari. Jenis penelitian kuantitatif dengan rancangan cross sectional. 9 Persamaan dengan penelitian ini adalah pada objek penelitian yang membahas tuberkolosis. Sedangkan perbedaan dengan penelitian yang peneliti buat yaitu pada lokasi, waktu, teknik pengambilan sampel, dan judul yang diambil yaitu “ Gambaran Konsep Diri Pada Penderita TB Paru Di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis”. Jenis penelitian yang akan dilakukan ini termasuk jenis penelitian yang bersifat deskriftif di mana bertujuan untuk melihat konsep diri pada penderita TB Paru. 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Konsep diri a. Pengertian konsep diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart dan Sudeen, 2007). Hal ini temasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya. Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh, menyangkut fisik, emosi, intelektual, sosial, dan spiritual. Beberapa hal yang perlu dipahami dalam konsep diri yaitu: dipelajari melalui pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain, berkembang secara bertahap, diawali pada waktu bayi mulai mengenal dan membedakan dirinya dan orang lain, positif ditandai dengan kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan, negativ ditandai dengan hubungan induvidu dan hubungan social yang maladaptiv, merupakan aspek kritikal dan dasar dari pembentukan perilaku idividu, berkembang dengan cepat bersama-sama dengan perkembangan bicara, terbentuk karena peran keluarga khususnya pada masa anak-anak yang perkembangannya (suliswati, 2005). mendasari dan membantu 11 b. Pembentukan konsep diri Konsep diri merupakan hasil dari aktivitas pengeksplorasian dan pengalaman dengan tubuhnya sendiri. Konsep diri dipelajari melalui pengalaman pribadi setiap individu, hubungan dengan orang lain dan interaksi dengan dunia diluar dirinya. Konsep diri berkembang terus mulai dari bayi hingga usia tua. Pengalaman dalam keluarga merupakan dasar pembentukan konsep diri karena keluarga dapat memberikan perasaan mampu dan tidak mampu, perasaan diterima atau ditolak dan dalam keluarga individu mempunyai kesempatan untuk mengidentifikasi dan meniru perilaku orang lain yang diinginkannya serta merupakan pendorong yang kuat agar individu mencapai tujuan yang sesuai atau pengharapan yang pantas. Dengan demikian jelas bahwa kebudayaan dan sosialisasi mempengaruhi konsep diri dan perkembangan kepribadian seseorang. Seseorang dengan konsep diri positif dapat mengeksplorasi dunianya secara terbuka dan jujur karena latar belakang penerimaannya sukses, konsep diri yang positif berasal dari pengalaman yang positif yang mengarah pada kemampuan pemahaman. Karakter individu dengan konsep diri yang positif : 1) Mampu membina hubungan pribadi, mempunyai teman dan gampang bersahabat. 2) Mampu berfikir dan membuat keputusan. 3) Dapat beradaptasi dan menguasai lingkungan. Konsep diri negativ dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang maladaptiv. Setiap individu dalam kehidupannya tidak terlepas dari berbagai stressor, dengan adanya stressor akan menyebabkan ketidakseimbangan dalam diri sendiri. Dalam usaha 12 mengatasi ketidakseimbangan tersebut individu menggunakan koping yang bersifat membangun ataupun koping yang bersifat merusak. Koping yang konstruktif akan menghasilkan respon yang adaptif yaitu aktualisasi diri dan konsep diri yang positif. Maria (2007) mengatkan faktor-faktor yang memepengaruhi pembentukan dan perkembangan konsep diri seseorang, antara lain: a). Usia Konsep diri terbentuk seiring dengan bertambahnya usia dimana perbedaan ini lebih banyak berhubungan dengan tugas-tugas perkembangan. Pada masa kanak-kanak, konsep diri seseorang menyangkut hal-hal disekitar diri dan keluarganya. Pada masa remaja, konsep diri sangat dipengaruhi oleh teman sebaya dan orang yang dipujanya, sedangkan remaja dan kematangannya terlambat yang diperlakukan seperti kanak-kanak merasa tidak dipahami sehingga cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri, sedangkan masa dewasa konsep dirinya sangat dipengaruhi oleh status sosial dan pekerjaan dan pada usia tua konsep dirinya lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan fisik, perubahan mental maupun sosial (Febri, 2008). b). Pendidikan Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi akan meningkatkan prestasinya. Jika prestasinya meningkat maka konsep dirinya akan berubah (Febri, 2008). c). Status sosial ekonomi Status sosial seseorang memengaruhi bagaimana penerimaan orang lain terhadap dirinya. Penerimaan lingkungan dapat memengaruhi konsep diri seseorang, penerimaan lingkungan 13 terhadap seseorang cenderung didasarkan pada status sosial ekonominya. Maka dapat dikatakan individu yang status sosialnya tinggi akan dibandingkan mempunyai individu konsep yang diri status yang lebih sosialnya positif rendah. (Pudjijogyanti, 2009). d). Hubungan keluarga Seseorang yang mempunyai hubungan yang erat dengan anggota keluarganya akan mengidentifikasikan diri dengan orang lain dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama, bila tokoh ini sesama jenis maka akan mengembangkan konsep diri yang layak untuk jenis seksnya. e). Orang lain Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih dahulu, bagaimana anda mengenal diri saya akan membentuk konsep diri saya, (Rakhmat, 2005) menjelaskan bahwa individu diterima orang lain, dihormati dan disenangi karena keadaan dirinya, individu akan cenderung bersikap menghormati dan menerima dirinya. Sebaliknya bila orang lain selalu meremehkan dirinya, menyalahkan, dan menolaknya ia akan cenderung tidak menyenangi dirinya. f). Kelompok rujukan (Reference group) Yaitu kelompok yang secara emosional mengikat individu, dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep dirinya. Menurut (Rakhmat, 2005) ciri orang yang memiliki konsep diri negative ialah peka terhadap kritik, responsive sekali terhadap pujian, mempunyai sikap hiperkritis, cenderung merasa tidak disenangi orang lain, merasa tidak diperhatikan, dan bersikap psimis 14 terhadap kompetisi, sebaliknya orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal: 1. Kemampuan mengatasi masalah. 2. Merasa setara dengan orang lain. 3. Menerima pujian tanpa rasa malu. 4. Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat. 5. Mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya. c. Jenis konsep diri Jenis konsep diri dalam perkembangannya iterbagi menjadi dua jenis : 1. Konsep diri positif Konsep diri yang positif lebih berupa penerimaan diri, kerendahan hati dan kedermawanan dan bukan kepada kebanggan yang besar, keangkuhan serta keegoisan. Konsep diri positif bersifat stabil dan bervariasi. Seseorang yang mempunyai konsep diri positif mengenal dirinya dengan sangat baik, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang bermacam-macam tentang dirinya atau dengan kata lain dapat menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya sendiri, evaluasi tehadap dirinya sendiri menjadi positif dan menerima keberadaan orang lain serta mampu merancang tujuan-tujuan sesuai realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai. 15 Menurut Rakhmat (2005) orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal, yaitu: 1) Ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah. 2) Ia merasa setara dengan orang lain. 3) Ia menerima pujian tanpa rasa malu. 4) Ia menyadari, bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat. 5) Ia mampu memperbaiki dirinya karena sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya. 2. Konsep diri negatif Konsep diri yang negatif timbul dari kurangnya kepercayaan kepada kemampuan sendiri. Orang yang tidak menyenangi dirinya merasa bahwa dirinya tidak akan mampu mengatasi persoalan. Orang yang kurang percaya diri akan cenderung sedapat mungkin menghindari situasi komunikasi. Ia takut orang lain akan mengejeknya atau menyalahkannya. Orang yang takut dalam interaksi sosial, akan menarik diri dari pergaulan, berusaha sekecil mungkin berkomunikasi, dan akan berbicara apabila terdesak saja. Tentu tidak semua ketakutan komunikasi disebabkan kurangnya percaya diri, tetapi di antara berbagai faktor, percaya diri adalah yang paling menentukan (Rakhmat, 2005). 16 Rakhmat, 2005) mengungkapkan ada empat tanda orang yang memiliki konsep diri negatif, yaitu: 1) Ia peka pada kritik. 2) Responsif sekali terhadap pujian. 3) Merasa tidak disenangi orang lain. 4) Bersikap pesimis terhadap kompetisi. d. Komponen konsep diri 1. Gambaran diri atau citra tubuh (body image) . Gambaran diri adalah sikap individu terhadap tubuhnya baik disadari atau tidak disadari meliputi persepsi masa lalu atau sekarang mengenai ukuran dan bentuk, fungsi dan penampilan serta potensi tubuh (Suliswati, 2005). Factor-faktor predisposisi klien dengan gangguan citra tubuh antara lain: kehilangan atau kerusakan bagian tubuh, perubahan ukuran, bentuk dan penampilan tubuh (akibat pertumbuhan dan perkembangan atau penyakit), proses patologik penyakit dan dampaknya terhadap struktur maupun fungsi tubuh, prosedur pengobatan seperti radiasi, kemoterapi, transplantasi. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi gambaran diri seseorang, seperti, munculnya stresor yang dapat menggangu integrasi gambaran diri. Stresor-stresor tersebut dapat berupa : 1) Operasi. mastektomi, amputsi ,luka operasi yang semuanya mengubah gambaran diri. Demikian pula tindakan koreksi seperti operasi plastik, dan lain –lain. 2) Kegagalan fungsi tubuh. 17 Seperti hemiplegi, buta, tuli dapat mengakibatkan depersonlisasi yaitu tidak mengakui atau asing dengan bagian tubuh, sering berkaitan dengan fungsi saraf. 3) Waham yang berkaitan dengan bentuk dan fungsi Seperti sering terjadi mempersiapkan pada klien penampilan gangguan dan jiwa, klien pergerakan tubuh sangat berbeda dengan kenyataan. 4) Tergantung pada mesin. Seperti : klien intensif care yang memandang imobilisasi sebagai tantangan, akibatnya sukar mendapatkan informasi umpan balik yang enggan menggunakan intensif care dipandang sebagai gangguan. 5) Perubahan tubuh Hal ini berkaitan dengan tumbuh kembang dimana seseorang akan merasakan perubahan pada dirinya seiring dengan bertambahnya usia. Tidak jarang seseorang menanggapinya dengan respon negatif dan positif. Ketidakpuasan juga dirasakan seseorang jika didapati perubahan tubuh yang tidak ideal. 6) Umpan balik interpersonal yang negatif Umpan balik ini adanya tanggapan yang tidak baik berupa celaan, makian sehingga dapat membuat seseorang menarik diri. 7) Standar sosial budaya. Hal ini berkaitan dengan kultur sosial budaya yang berbeda-beda pada setiap orang dan keterbatasannya serta keterbelakangan dari budaya tersebut 18 menyebabkan pengaruh pada gambaran diri individu, seperti adanya perasaan minder. Beberapa gangguan pada citra diri tersebut dapat menunjukan tanda dan gejala, seperti : 1) Shock psikologis Syok Psikologis merupakan reaksi emosional terhadap dampak perubahan dan dapat terjadi pada saat pertama tindakan. Syok psikologis digunakan sebagai reaksi terhadap ansietas. Informasi yang terlalu banyak dan kenyataan perubahan menggunakan mekanisme mengingkari, menolak tubuh membuat pertahanan dan diri proyeksi. klien seperti Untuk mempertahankan keseimbangan diri. 2) Menarik diri Klien menjadi sadar akan kenyataan, ingin lari dari kenyataan, tetapi karena tidak mungkin maka klien lari atau menghindar secara emosional. Klien menjadi pasif, tergantung, tidak ada motivasi dan keinginan untuk berperan dalam perawatannya. 3) Penerimaan atau pengakuan secara bertahap Setelah klien sadar akan kenyataan maka respon kehilangan atau berduka muncul. Setelah fase ini klien mulai melakukan reintegrasi dengan gambaran diri yang baru. 19 Perubahan perilaku pada gangguan citra tubuh antara lain: menolak menyentuh atau melihat bagian tubuh tertentu, menolak bercermin, tidak mau mendiskusikan keterbatasan atau cacat tubuh, menolak usaha rehabilitasi, usaha pengobatan mandiri yang tidak tepat, dan menyangkal cacat tubuh. Hal-hal penting yang terkait dengan gambaran diri sebagai berikut: a). Fokus individu terhadap fisik lebih menonjol pada usia remaja Bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, serta tanda-tanda pertumbuhan kelamin sekunder (mamae, menstruasi, perubahan suara, pertumbuhan bulu), menjadi citra diri. b). Cara individu memandang diri berdampak penting terhadap aspek psikologis. c). Gambaran yang realistik terhadap menerima dan menyukai bagian tubuh, akan memberi rasa aman dalam menghindari kecemasan dan meningkatkan harga diri. d). Individu yang stabil, realistik, dan konsisten terhadap gambaran dirinya, dapat mendorong sukses dalam kehidupan. Sejak lahir individu mengeksplorasi bagian tubuhnya, menerima reaksi tubuhnya, menerima stimulus orang lain. Persepsi dan pengalaman individu terhadap tubuhnya dapat mengubah citra tubuh secara dinamis, persepsi orang lain di lingkungan klien terhadap tubuh klien turut mempengaruhi penerimaan klien pada dirinya. 20 2. Ideal diri (self ideal) Ideal diri adalah persepsi individu tentang perilakunya, disesuaikan dengan standar pribadi yang terkait dengan cita-cita, harapan, dan keinginan, tipe orang yang diidam-idamkan, dan nilai yang ingin dicapai. Pembentukan ideal diri dimulai pada masa anak-anak dipengaruhi oleh orang yang penting pada dirinya yang memberikan harapan atau tuntutan tertentu. Seiring dengan berjalannya waktu individu menginternalisasikan harapan tersebut dan akan membentuk dasar-dasar ideal diri. Pada usia remaja, ideal diri akan membentuk melalui proses identifikasi pada orang tua, guru, dan teman. Pada usia yang lebih tua dilakukan penyesuaian yang merefleksikan berkurangnya kekuatan fisik dan perubahan peran serta tanggung jawab (Suliswati, 2005). Individu cenderung menetapkan tujuan yang sesuai dengan kemampuannya, kultur, realita, menghindari kegagalan dan rasa cemas. Ideal diri harus cukup tinggi supaya mendukung respek terhadap diri, tetapi tidak terlalu tinggi, terlalu menuntut, samarsamar. Ideal diri berperan sebagai pengatur internal dan membantu individu mempertahankan kemampuannya menghadapi konflik atau kondisi yang membuat bingung. Ideal diri penting untuk mempertahankan kesehatan dan keseimbangan mental. 21 Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ideal diri sebagai berikut: a. Menetapkan ideal diri sebatas kemampuan. b. Faktor kultur dibandingkan dengan standar orang lain. c. Hasrat melebihi orang lain. d. Hasrat untuk berhasil. e. Hasrat untuk memenuhi kebutuhan realistis. f. Hasrat untuk menghindari kegagalan. g. Adanya perasaan cemas dan rendah diri. 3. Harga diri (self esteem) Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku dapat memenuhi ideal diri. Harga diri sangat rentan terganggu pada saat remaja dan usia lanjut. Harga diri yang tinggi terkait dengan keefektifan dalam kelompok dan penerimaan oleh orang lain. Sementara itu harga diri rendah terkait dengan hubungan interpersonal yang buruk dan hal itu merupakan resiko terjadinya depresi (Suliswati. (2005). Menurut beberapa ahli dikemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan harga diri, seperti : 1) Perkembangan individu Faktor predisposisi dapat dimulai sejak masih bayi, seperti penolakan orang tua menyebabkan anak merasa tidak dicintai dan mengkibatkan anak gagal mencintai dirinya dan akan gagal untuk berkembang mencintai lebih orang besar, anak lain. Pada mengalami saat anak kurangnya pengakuan dan pujian dari orang tua dan orang yang dekat 22 atau penting baginya. Ia merasa tidak adekuat karena selalu tidak dipercaya untuk mandiri, memutuskan sendiri akan bertanggung jawab terhadap prilakunya. Sikap orang tua yang terlalu mengatur dan mengontrol, membuat anak merasa tidak berguna. 2) Ideal Diri tidak realistis Individu yang selalu dituntut untuk berhasil akan merasa tidak punya hak untuk gagal dan berbuat kesalahan. Ia membuat standar yang tidak dapat dicapai, seperti cita-cita yang terlalu tinggi dan tidak realistis. Yang pada kenyataan tidak dapat dicapai membuat individu menghukum diri sendiri dan akhirnya percaya diri akan hilang. 3) Gangguan fisik dan mental Gangguan ini dapat membuat individu dan keluarga merasa rendah diri. 4) Sistem keluarga yang tidak berfungsi Orang tua yang mempunyai harga diri yang rendah tidak mampu membangun harga diri anak dengan baik. Orang tua memberi umpan balik yang negatif dan berulang-ulang akan merusak harga diri anak. Harga diri anak akan terganggu jika kemampuan menyelesaikan masalah tidak adekuat. Akhirnya anak memandang negatif terhadap pengalaman dan kemampuan di lingkungannya. 5) Pengalaman traumatik yang berulang, misalnya akibat aniaya fisik, emosi dan seksual. 23 Penganiayaan yang dialami dapat berupa penganiayaan fisik, emosi, perampokan. peperangan, Individu bencana merasa alam, tidak kecelakan mampu atau mengontrol lingkungan. Respon atau strategi untuk menghadapi trauma umumnya mengingkari trauma, mengubah arti trauma, respon yang biasa efektif terganggu, akibatnya koping yang biasa berkembang adalah depresi dan denial pada trauma. Faktor predisposisi gangguan harga diri antara lain: penolakan dari orang lain, kurang penghargaan, pola asuh yang salah yang terlalu dilarang, terlalu dikontrol, terlalu dituruti, terlalu dituntut dan tidak konsisten, persaingan antar saudara, kesalahan dan kegagalan yang berulang dan tidak mampu mencapai standar yang ditentukan. Perubahan perilaku yang berhubungan dengan harga diri rendah antara lain: mengkritik diri sendiri, merasa bersalah dan khawatir, merasa tidak mampu, menunda keputusan, gangguan berhubungan, menarik diri dari realita, merusak diri, membesarbesarkan diri sebagai orang penting, perasaan negative terhadap tubuh, ketegangan peran, pesimis menghadapi hidup, keluhan fisik, dan penyalah gunaan zat. Harga diri dibentuk sejak kecil dari adanya penerimaan dan perhatian. Harga diri akan meningkat sesuai meningkatnya usia. Untuk meningkatkan harga diri anak diberi kesempatan untuk sukses, beri penguatan atau pujian bila sukses, tanamkan “ideal” atau harapan jangan terlalu tinggi dan sesuaikan dengan budaya, berikan dorongan untuk aspirasi atau cita-citanya dan membantu membentuk pertahanan diri untuk hal-hal yang menggangu persepsinya. 24 Seseorang yang mengalami harga diri rendah ditandai dengan perilaku seperti perasaan cemas, mengkritik diri sendiri atau orang lain, penurunan produktivitas, destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain, gangguan dalam berhubungan, perasaan tidak mampu, rasa bersalah, mudah tersinggung atau marah yang berlebihan, perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri, ketegangan peran yang dirasakan, pandangan hidup yang pesimis, keluhan fisik, pandangan hidup yang bertentangan, penolakan terhadap kemampuan personal, dan menarik diri (Stuart & Sundeen, 2007). Adapun cara untuk meningkatkan harga diri adalah sebagai berikut: a Memberikan kesempatan untuk berhasil. b Memberikan pengakuan dan pujian. c Mananamkan gagasan yang dapat memotivasi kreativitas seseorang untuk berkembang. d Mendorong aspirasi atau cita-citanya. e Menanggapi pertanyaan dan pendapat dengan cara memberi penjelasan yang sesuai. f Memberikan dukungan untuk aspirasi yang positif sehingga seorang memandang dirinya diterima dan bermakna. g Membantu pembentukan koping. 4. Peran diri (self role) Peran diri adalah serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan oleh masyarakat dihubungakan dengan fungsi individu di dalam kelompok sosialnya. Peran memberikan sarana untuk berperan serta dalam kehidupan sosial dan 25 merupakan cara untuk menguji identitas dengan memvalidasi pada orang yang berarti. Setiap orang disibukkan oleh beberapa peran yang berhubungan dengan posisi pada tiap waktu sepanjang daur kehidupan. Harga diri yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan ideal diri. Faktor predisposisi gangguan peran meliputi: transisi peran yang sering terjadi pada proses perkembangan, perubahan situasi dan keadaan sehat-sakit, ketegangan peran ketika individu menghadapi dua harapan yang bertentangan secara terus menerus yang tidak terpenuhi, keraguan peran ketika individu kurang pengetahuannya harapan peran yang spesifik dan bingung tentang tingkah laku peran yang sesuai dan peran yang terlau banyak ( Suliswati. 2005). Sepanjang kehidupan individu sering menghadapi perubahan-perubahan peran, baik yang sifatnya menetap atau sementara karena situasional. Hal ini, biasanya disebut dengan transisi peran. Transisi peran tersebut dapat di kategorikan menjadi beberapa bagian, seperti : 1) Transisi Perkembangan Setiap perkembangan dapat menimbulkan ancaman pada identitas. Setiap perkembangan harus di lalui individu dengan menjelaskan tugas perkembangan yang berbedabeda, hal ini dapat merupakan stresor bagi konsep diri. 2) Transisi Situasi Transisi situasi terjadi sepanjang daur kehidupan, bertambah atau berkurang orang yang berarti melalui kelahiran atau kematian, misalnya status sendiri menjadi berdua atau 26 menjadi orang tua. Perubahan status menyebabkan perubahan peran yang dapat menimbulkan ketegangan peran yaitu konflik peran, peran tidak jelas atau pera berlebihan. 3) Transisi sehat sakit Stresor pada tubuh dapat menyebabkan gangguan gambaran diri dan berakibat diri dan berakibat perubahan konsep diri. Perubahan tubuh dapat mempengaruhi semua komponen konsep diri yaitu gambaran diri, identitas diri peran diri dan harga diri. Masalah konsep diri dapat dicetuskan oleh faktor psikologis, sosiologi atau fisiologi namun yang penting adalah persepsi klien terhadap ancaman (Salbiah. dunia psikologi, 2008). Penyebab atau faktor-faktor gangguan peran tersebut dapat di akibatkan oleh konflik peran interpersonal, individu dan lingkungan tidak mempunyai harapan peran yang selaras, contoh peran yang tidak adekuat, kehilangan hubungan yang penting, perubahan peran seksual, keraguraguan peran perubahan kemampuan fisik untuk menampilkan peran sehubungan dengan proses menua, kurangnya pengertian tentang peran, ketergantungan obat, kurangnya keterampilan sosial, perbedaan budaya, harga diri rendah, dan konflik antar peran yang sekaligus diperankan. Gangguan-gangguan peran yang terjadi dapat ditandai dengan tanda dan gejala, seperti mengungkapkan ke tidak puasan perannya atau kemampuan menampilkan peran, mengingkari atau menghindari peran, kegagalan 27 transisi peran, ketegangan peran, kemunduran pola tanggung jawab yang biasa dalam peran, proses berkabung yang tidak berfungsi, dan kejenuhan pekerjaan (Stuart & Sundeen, 2007). 5. Identitas diri (self identity) Identitas diri adalah kesadaran tentang diri sendiri yang dapat diperoleh individu dari observasi dan penilaian terhadap dirinya, individu menyadari bahwa dirinya berbeda dengan orang lain. Identitas diri merupakan sintesis dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh, tidak dipengaruhi oleh pencapaian tujuan, atribut atau jabatan dan peran. Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain dan tidak ada duanya. Kemandirian timbul dari perasaan berharga (respek pada diri sendiri), kemampuan dan penguasaan diri (Suliswati. (2005). Perubahan perilaku yang berhubungan dengan kerancuan identitas antara lain: tidak melakukan kode moral, kepribadian yang bertentangan, hubungan interpersonal yang eksploitatif, perasaan hampa, perasaan mengambang tentang diri, kekacauan identitas seksual, ideal diri tidak realistis, tidak mampu berempati terhadap orang lain. Faktor predisposisi gangguan identitas diri meliputi: ketidakpercayaan terhadap orang lain, tekanan dari teman sebaya, dan perubahan struktur sosial. Identitas berkembang sejak masa anak-anak bersamaan dengan perkembangan konsep diri. Dalam identitas diri ada otonomi yaitu mengerti dan percaya diri, respek terhadap diri, 28 mampu menguasai diri, mengatur diri dan menerima diri. Ciri-ciri individu yang mempunyai identitas diri positif antara lain: a. Mengenal diri sebagai organisme yang utuh terpisah dari orang lain. b. Mengakui jenis kelamin sendiri. Memandang berbagai aspek dalam dirinya sebagai suatu keselarasan. c. Menilai diri sendiri sesuai dengan penilaian masyarakat. d. Menyadari hubungan masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. e. Mempunyai tujuan hidup yang bernilai dan dapat direalisasikan. e. Teori faktor yang mempengaruhi konsep diri Menurut Stuart dan Sundeen (2007) ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri. Faktor-foktor tersebut terdiri dari teori perkembangan, Orang yang terpenting atau yang terdekat (Significant Other) dan persepsi diri sendiri (Self Perception) 1. Pengaruh perkembangan Konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian berkembang secara bertahap sejak lahir seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dan orang lain. Dalam melakukan kegiatannya memiliki batasan diri yang terpisah dari lingkungan dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi lingkungan melalui bahasa, pengalaman atau pengenalan tubuh, nama panggilan, pangalaman budaya dan hubungan interpersonal, kemampuan 29 pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan merealisasi potensi yang nyata. 2. Orang yang terpenting atau terdekat (Significant Other) Dimana konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain, belajar diri sendiri melalui cermin orang lain yaitu dengan cara pandangan diri merupakan interprestasi diri pandangan orang lain terhadap diri, anak sangat dipengaruhi orang yang dekat, remaja dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan dirinya, pengaruh orang dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup, pengaruh budaya dan sosialisasi. 3. Persepsi diri sendiri (Self Perception) Yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Konsep diri dapat dibentuk melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif. Sehingga konsep merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari prilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif dan dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu. (Salbiah. dunia psikologi, 2008). f. Pengukuran Konsep Diri Burns (dalam Strein, 2008) mengemukakan dua cara yang dapat dilakukan untuk mengukur konsep diri, yaitu : 1. Melalui respon atas aitem-aitem dalam skala konsep diri spesifik yang diberikan kepada subjek. 30 2. Melalui pengamatan individual atas pola perilaku yang muncul dari subjek. Untuk metode pelaporan yang dapat digunakan dalam mengukur konsep diri individu di antaranya : 1. Skala Penilaian Skala ini dapat berupa kuesioner, inventori, atau skala-skala sikap yang diberikan kepada subjek. 2. Daftar ceklist Metode ini mengarahkan subjek untuk memilih aitem-aitem yang sesuai dengan kondisi subjek yang sebenarnya. 3. Teknik Sort-Q Metode ini mengarahkan subjek untuk melakukan sortir ataupun pengurutan terhadap kumpulan item-item yang ada dalam tes. Sehingga didapatkan sebuah kontinum penilaian yang sesuai dengan diri subjek. 4. Metode respons yang tidak terstruktur (bebas) Metode ini meminta subjek untuk memberikan jawaban yang tidak terstruktur (bebas). Jenis soal yang ditawarkan biasanya tertulis dalam bentuk essay, dimana subjek disuruh untuk menuliskan kata-kata dalam kolom yang kosong. 5. teknik-teknik proyektif Teknik ini sering digunakan dalam mengukur konsep diri yang tidak sadar (unconscious self-concept). 6. Wawancara Alat ukur yang dapat digunakan dalam mengukur konsep diri ini cukup. 31 g. Tindakan pada gangguan konsep diri Fokus tindakan adalah pada tingkat penilaian kognitif terhadap kehidupan yang terdiri dari persepsi, keyakinan, dan pendirian. Kesadaran klien akan emosi dan perasaannya juga hal yang penting, setelah mengevaluasi hal kognitif dan kesadaran perasaan, klien mulai menyadari masalah dan kemudian merubah perilaku, prinsip asuhan keperawatan yang diberikan adalah pemecahan masalah yang terlihat dari kemajuan klien yang meningkat dari satu tingkat ke tingkat berikutnya. Tindakan keperawatan dibagi lima tingkat (Stuart dan Sundeen, 2007). 1. Memperluas kesadaran diri (ekspanded self-awareness). 2. Menyelidiki atau eksplorasi diri (self-eksploration). 3. Mengevaluasi diri (self-evaluation). 4. Perencanaan realistis (realistic planning). 5. Tanggung jawab bertindak (commitment to action). 2. Tuberkulosis a. Pengertian Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang banyak menginfeksi manusia yang disebabkan oleh mycobacterium tubercolosis. Penyakit ini banyak menginfeksi paru dan jika di obati dengan baik penyakit ini dapat sembuh. transmisi penyakit biasanya melalui saluran nafas yaitu melalui droplet yang dihasilkan oleh pasien yang terinfeksi TB ( Mario dan Richad,2011). b. Etiologi dan faktor resiko TB Tubekulosis adalah penyakit yang menular langsung disebabkan oleh infeksi kuman (basil) mycobacterium tuberculosis organisme ini termasuk ordo Actinomycetalis, familiamycobacteriaceae dan 32 genusmycobacterium. genus mycobacterium memiliki beberapa spesies diantaranya mycobacterium tubercolosis yang menyebabkan infeksi pada manusia. basil tuberkolosis berbentuk batang ramping lurus, tapi kadang-kadang agak melengkung, dengan ukuran panjang 2-4 dan lebar 0,2-0,5. Organisme ini tidak bergerak, tidak membentuk sporan dan tidak berkapsul, bila diwarnai akan terlihat berbentuk manik-manik atau granular, sebagian besar basil tuberkolosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lain. mycobacterium tuberkolosis merupakan mikobakteria tahan asam dan merupakan mikobakteria aerob obligat dan mendapat energi dari oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana. dibutuhkan waktu 18 jam untuk menggandakan pertumbuhan pada media kultur biasa dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu (Putra,2010). Suhu optimal untuk tumbuh pada 370c dan pH 6,4–7,0. jika dipanaskan pada suhu 600c akan mati dalam waktu 15-20 menit. kuman ini sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Selnya terdiri dari rantai panjang glikolipid dan phospoglican yang kaya akan mikolat (mycoside) yang melindungi sel mikobakteria dari lisosomserta menahan pewarna fuschin setelah disiram dengan asam (Herchline,2013). c. Patogenesis TB Paru Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet saluran nafas yang mengandung kuman - kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya di inhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Setelah berada dalam ruang alveolus, biasanya dibagian bawah lobus atas paru atau dibagian atas 33 lobus bawah, basil tuberkel membangkitkan reaksi peradangan leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri tersebut, namun tidak membunuh organisme tersebut. sesudah hari-hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag. alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi. bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari ( Price dan Standridge,2006). Kuman yang bersarang dijaringan paru akan berbentuk sarang tuberkolosis pneumoni kecil dan disebut sarang primer atau fokus ghon.dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus, semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. kompleks primer menurut Amir dan Bahar (2009) selanjutnya dapat menjadi : 1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. 2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garisgaris fibrotik, klasifikasi di hilus dan dapat terjadi reaktivasi lagi kuman yang dormant. 3) Berkomplikasi dan menyebar. 34 d. Klasifikasi TB Paru Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum, TB Paru menurrut PDPI (2011) dikategorikan menjadi : 1. TB Paru BTA postif : a). Sekurang –kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukan BTA postif. b). Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjuknan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukan gambaran tuberkulosis aktif. c). Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukan BTA positif dan biakan positif. 2. TB Paru dan BTA negatif : a). Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukan BTA negatif. gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukan tuberkolosis aktif. b). Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukan BTA negatif dan biakan menunjukan tuberkolosis positif. e. Menifestasi Klinis Gejala klinis TB dapat dibagi menjdi 2 golongan yaitu gejala lokal dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal berupa gejala respiratorik (PDPI,2011). 1. Gejala Respiratorik Gejala respiratorik sangat bervariasi mulai tidak bergejala samapai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi gejala respiratorik terdiri dari : a). Batuk > 2 minggu. b). Batuk darah. 35 c). Sesak nafas. d). Nyeri dada. 2. Gejala sistemik yang dapat timbul berupa : a). Demam. b). Keringat malam. c). Anoreksia. d). Berat nadan menrurun. f. Diagnosis TB Paru Diagnosis TB Paru dapat ditegakan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemerikaan penunjang lainnya. Pada pemeriksaan fisik kelainan paru umumnya terletak didaerah lobos superior terutama daerah apeks dan segemen posterior, serta dareah apek lobus inferior.pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkhial ,suara nafas melemah, ronkhi basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum (PDPI,2011). Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otototot interkostal.bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya (Amin dan Bahar,2009). Pada pemeriksaan radiologi (PDPI,2011) menyatakan gambaran yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah : 1) Bayangan berawan atau nodular disegmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segemen superior lobus bawah. 2) Kavitas,terutama lebih dari satu,dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular. 3) Banyangan bercak miller. 36 4) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang). g. komplikasi dan prognosis Terdapat berbagai macam komplikasi TB Paru, dimana komplikasi dapat terjadi di paru-paru, saluran nafas, pembuluh darah, mediastinum, pleura ataupun dinding dada (Jeoung dan Lee,2008). Komplikasi TB ini dapat terjadi baik baik pada pasien yang diobati ataupun tidak Secara garis besar menurut kim et al (2011) komplikasi TB dikategorikan menjadi : 1) Lesi parenkim a). Tuberkuloma dan thin-walled cavity. b). Sirkatriks dan destruksi paru. c). Aspergilloma. d). Karsinoma bronkogenik. 2) Lesi saluran nafas. a). Bronkiektasis. b). Stenosis trakeabronkhial. c). Bronkolitiasis. 3) komplikasi vaskular a). Tombosis dan vaskulitis. b). Dilatasi arteri nronchial. c). Aneurisma rassmussen. 4) Lesi mediastinum a). Klasifikasi nodus limfa. b). Fistula esofagomediastinal. c). Tuberkolosis perikarditis. 37 5) Lesi pleura a). Chronic tubercolous empyema dan fibrothorax. b). Fistula bronkopleura. c). Pneumotoraks. Prognosis dapat menjadi buruk bila dijumpai keterlibatan ekstra paru, keadaan immunodefisiensi, usia tua, dan riwayat pengobatan TB sebelumnya (Herchline,2013). Kesembuhan sempurna biasanya dijumpai pada kasus non MDR dan non –XDR TB, ketika regimen pengobatan selesai. beberapa penelitian menunjukan bahwa terapi dengan sisitem DOTS memiliki tingkat kekambuhan 0 -14 %. Pada negara dengan prevalensi TB yang rendah, kekambuhan biasanya timbul 12 bulan setelah pengobatan selesai dan biasanya diakibatkan oleh relaps. Hal ini berbeda pada negara dengan prevalensi TB yang tinggi, dimana kekambuhan diakibatkan oleh reinfeksi (Herchline,2013). h. Pencegahan Menurut PDPI (2011) Cara terbaik untuk mencegah TB adalah dengan pengobatan terhadap pasien yang mengalami infeksi TB sehingga rantai penularan terputus. Tiga topik dibawah ini merupakan topik yang penting untuk pencegahan TB : 1. Proteksi terhadap paparan TB Diagnosis dan tatalaksana dini merupakan cara terbaik untuk menurunkan paparan TB, Resiko Paparan Terbesar Terdapat Di Bangsal TB dan ruang rawat, dimana staf medis dan pasien lain mendapat paparan berulang dari pasien yang terkena TB. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemungkinan transmisi antara lain : 38 a). Cara batuk Cara ini merupakan cara yang sederhana, murah dan efektif dalam mencegah penularan TB dalam ruangan. pasien harus menggunakan sapu tangan untuk menutupi mulut dan hidung, sehingga saat batuk atau bersin tidak terjadi penularan melalui udara. b). Menurunkan konseentrasi bakteri 1) Sinar matahari dan ventilasi Sinar matahari dapat membunuh kuman TB dan ventilasi yang baik dapat mencegah transmisi TB dalam ruangan. 2) Filtrasi Penyaringan udara tergantung dari fasilitas dan sumber daya yang tersedia. 3) Radiasi dan UV bakterisidal M.tuberkolosis sangat sensitif terhadap radiasi UV bakterisidal.metode radiasi ini sebaiknya digunakan di ruangan yang dihuni pasien TB yang infeksius dan ruangan dilakukan tindakan induksi sputum ataupun bronkoskopi. c). Masker Penggunaan masker secara rutin akan menurunkan penyebaran kuman lewat udara. jika memungkinkan, pasien TB dengan batuk tidak terkontrol disarankan menggunakan masker setiap saat. staf medis juga disarankan menggunakan masker ketika paparan terhadap sekret nafas tidak dapat dihindari. 39 d). Rekomendasi NTP (National TB prevention) terhadap paparan TB : 1) Segera rawat inaf pasien dengan TB paru BTA (+) untuk pengobatan fase intensif, jika diperlukan. 2) Pasien sebaiknya diisolasi untuk mengurangi resiko paparan TB ke pasien lain. 3) Pasien yang diidolasi sebaiknya tidak keruangan tanpa menggunakan masker. 4) Pasien yang dicurigai atau dikonfirmasi terinfeksi TB sebaiknya tidak ditempatkan diruangan yang dihuni pasien yang immunocompromised, seperti HIV, traspalntasi dan onkologi. 2. Vaksinasi BCG (Bacillus calmette guerin ) BCG merupakan vaksi hidup yang berasal dari m.bovis fungsi BCG adalah melindungi anak terhadap TB diseminata dan TB ekstra paru berat (TB meningitis dan TB milier).BCG tidak memliki efek menurunkan kasus TB paru pada dewasa. BCG diberikan secara intradermal kepada populasi yang belum terinfeksi. 1) Tes tuberkolin Neonatus dan bayi hingga 3 bulan tanpak adanya riwayat kontak dengan TB, dapat diberikan vaksinasi BCG tanpa tes tuberkolin sebelumnya. 2) Vaksinasi rutin Pada negara dengan prevalensi TB yang tinggi WHO merekomendasikan pemberian vaksinasi BCG sedini mungkin,terutama saat baru lahir. Pada bayi baru lahir 40 hingga usia 3 bulan,dosisnya adalah 0,5 ml sedangkan untuk anak yang lebih besar diberikan 0,1 ml. i. Terapi pencegahan Tujuan terapi pencegahan adalah untuk mencegah infeksi TB menjadi penyakit, karena penyakit TB dapat timbul pada 10 % orang yang mengalami infeksi TB. kemoprofilaksis dapat diberikan bila ada riwayat kontak dengan tes tuberkolin positif tetapi tidak ada gejala bukti radiologis TB. obat yang digunakan biasanya dalah isonazid (5mg/kg) selama 6 bulan. jika memungkinkan dilakukan dengan pengamatan langung. Wieslaw et al, (2011) mengatakan kelompok yang mendapat profilaksis anatar lain : a). Bayi dengan ibu yang terinfeksi TB paru Bayi yang sedang mendapat asi dari ibu denga TB paru, sebaiknya mendapat isoniazid selam 3 bulan. selam 3 bulan dilakukan tes tuberkolin, jika hasil negatif maka diberikan vaksinasi, jika positif maka dilanjutkan isoniazid selam 3 bulan lagi, jika terdapat adanya bukti penyakit, maka perlu diberikan pengobatan penuh. b). Anak dengan riwayat kontak, tuberkolin negatif, tampak sehat, tanpa riwayat BCG, sama seperti diatas. c). Anak dengan riwayat kontak, tuberkolin positif (tanpa riwayat BCG). 1. Anak tanpa gejala sebaiknya diberikan profilaksis isoniazid 6 bulan. 2. Anak dengan gejala dan pemeriksaan menunjukan TB diberikan pengobatan TB. 41 3. Anak dengan gejala, tetapi pemeriksaan tidak menunjukan TB, diberikan profilaksis isoniazid. j. Pengobatan DEPKES (2007) mengatakan pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip antara lain : 1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah yang cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. pemakaian jangan gunakan OAT-kombinasi OAT dosis tunggal tetap (monoterapi). (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. 2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT =Directly observed treatment) oleh seorang pengawas menelan obat (PMO). Panduan OAT yang digunakan diindonesia yaitu : 1) Kategori I a TB paru (kasus baru).BTA Positif pada foto toraks terdapat lesi luas. b Panduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/4 RH atau 2 RHZE/6HE atau 2 RHZE/4RH3H3. 2) Kategori II 1. TB Paru kasus kambuh. Panduan obat yang dianjurkan adalah 2RHZES/1 RHZE sebelum ada hasil uji resistensi. bila hasil resistensi telah ada, berikan obat sesuai dengan hasil uji resistensi. 2. TB Paru kasus gagal pengobatan a Panduan obat yang dianjurkan sebelum ada hasil uji resistensi (contoh :3-5 bulan kanamisin, ofloksasin, 42 etionamid, sikloserin, dianjurkan 15-18 bulan ofloksasin, etinamid, sikloserin). b Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2 RHZES/1 RHZE. c Fase lanjut sesuai dengan uji hasil resistensi. d Bila tidak terdapat hasil uji resistensi,dapat diberikan 5 RHE. 3. TB Paru kasus putus berobat a Berobat > 4 bulan BTA saat ini negatif,klinis radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan .bila gambaran radiolgi aktif ,lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan penyakit paru lain.bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan panduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama(2 RHZES/1 RHZE/ 5 REH3E3). BTA saat ini positif, pengobatan dimulai dari awal dengan panduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. b Berobat < 4 bulan Bila BTA positif, pengobatan dimulai darai awal dengan panduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan lebih lama. Bila BTA negatif, gambaran foto thoraks positif TB aktif, pengobatan diteruskan. 43 3) Kategori III a). TB Paru (kasus baru),BTA negatif atau pada foto toraks lesi minimal. b). Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/ 4 R3H3. 4) Kategori IV TB Paru kronik, panduan obat yang dianjurkan bila belum ada hasil uji resisitesi, berikan RHZES. bila telah ada hasil uji resistensi, berikan sesuai uji resistensi (minimal OAT). 5) Kategori V MDR TB, Paduan obat yang dianjurkan sesuai uji resistensi ditambah OAT lini 2 atau H seumur hidup (PDPI.2011). Obat-oabat TB memiliki efek samping diantarnya : 1. Isoniazid dapat menyebabkan kerusakan hepar yang akan mengakibatkan mual, muntah dan jaundice. Kadang dapat menyebabkan kebas pada tungkai. 2. Rifamfisin dapat menyebabkan keruskan hepar, perubahan warna air mata, keringat dan urun menjadi oranye. 3. Pirazinamid dapat menyebabkan keruskan hepar dan gout. 4. Etambutol dapat menyebabkan pandangan kabur dan gangguan penglihatan warna karena obat ini mempengaruhi nervus optikus. 5. Streptomisin dapat menyebabkan pusing dan gangguan pendengaran akibat keruskan saraf telingan dalam. 44 B. Landasan Teori Setiap perubahan dalam kesehatan dapat menjadi stressor yang mempengaruhi konsep diri, seseorang yang sakit bisanya akan mengalami perubahan perubahan konsep diri. konsep diri adalah citra mental seseorang terhadap dirinya sendiri, mencakup bagaimana mereka melihat kekuatan dan kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya. konsep diri tidak hanya tergantung pada gambaran tubuh dan peran yang dimilikinya tetapi juga bergantung pada aspek psikologis da spiritual diri. Penyakit tuberkolosis merupakan suatu penyakit yang dapat mempengaruhi konsep diri penderitanya. konsep diri yang biasanya terpengaruhi citra diri, ideal diri, harga diri, peran dan identitas diri. bisanya penderita TB Paru mempersepsikan sakit dengan menunjukan perilaku seperti marah-marah, menarik diri, dan membatasi diri. Selain itu penderita merasa ketakutan akan isolasi dan perlakuan negatif dari masyarakat bila mengetahui dirinya menderita TBC. Aspek psikologis merupakan aspek yang sering dilupakan oleh perawat. Perawat sering lebih berfokus terhadap adaptasi fisik yang dilalui pasien dan cenderung mengesampingkan adaptasi psikologisnya ketika menderita TB paru. 45 C. Kerangka konsep Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah (Notoatmodjo, 2010). Adapun kerangka konsep dari penelitian yang berjudul “Gambaran Konsep Diri Pada Penderita TB Paru Di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis” dapat di gambarkan sebagai berikut : Gambaran konsep diri : Penderita TB 1. Citra diri 2. Ideal diri 3. Harga diri 4. Peran diri 5. Identitas diri Gambar 2.1 kerangka konsep Keterangan : Diteliti Tidak Ditelitii Konsep diri positif (+) Konsep diri negatif (-) . DAFTAR FUSTAKA Al Quran Surat Al Imran 3 Ayat 139. Agustiani, H. (2006). Psikologi perkembangan pendekatan ekologi kaitannya dengan konsep diri, Bandung : PT.Refika Aditama. Amin dan Bahar ,(2009) Tuberculosis Paru, Dalam : Sudoyono , A.,W., dkk Buku Ajar Ilimu Penyakit Dalam Jilid II .Ed 4 ,Jakarta : FKUI. Arikunto, (2006), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, PT Rineka Cipta. Jakarta. Atit el ., (2012) Tracing contacts of TB patient in malaysia: costs and prscticality.A Springer Open Journal ,1: 8. Burns, R.B. Konsep Diri Teori, Pengukuran, Perkembangan dan Perilaku. Alih Bahasa: Eddy . Penerbit Arcan: Jakart a; 2008. Daulay,w (2009). Hubungan dukungan keluarga dengan harga diri rendah pada pasien tuberkulosis. jurnal keperawatan. Depkes (2007) Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis .Departement Kesehatan Republik Indonesia .Edisi 3,Cetakan II. Dinkes Kabupaten Ciamis (2015) Laporan Survisasi Terpadu Berbasis Puskesmas (STP) Dinas Kesehatan Pangandaran. Erdem. (2003), Determination of self-esteem levels of patients with tuberculosis. Febri, Diana, dkk. (2008).Hubungan Antara Konsep Diri dan Kecemasan Dengan Penyesuaian Sosial Pada Penyandng Epilepsi Tipe Gradial.Anima Vol. XII No. 46 April-Juni. Fitriani E. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis. Semarang: UNS. 2012 Girsang YL. Gambaran harga diri pasien tuberkulosis di Poliklinik Paru RS Persahabatan. Depok: FIK Universitas Indonesia. 2013. Herchline, (2013) Tuberculosis .Available from : http://emedicine.mediscape .com/ [accesed 15 maret 2016]. Jeong ,Y.,J.Lee, K., S., (2008) Pulmonary Tuberculosis : Up-To-Date Imaging and Management. American Journal of Roentgrnology : 191 (3). Available From : http://www.ajronline.org/ [accesed 16 maret 2016]. Kemenkes RI, (2013) . Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Kim et al, (2011) Thoracic Sequelae and Complications of Tubeculosis . Radio Graphics.21 (4). Naga, S. S. (2012). Ilmu penyakit dalam. Yogyakarta: Diva Press. Notoatmodjo,S, (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta Jakarta. ____________, (2012) Promosi Kesehatan Dan Perilaku Kesehatan Rineka cipta : Jakarta. Maria, Ulfah. 2007. Peran Persepsi Keharmonisan Keluarga dan Konsep Diri Terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja. Tesis (Tidak diterbitkan). Mario dan Richard, (2011) Tuberulosis. Dalam : Kasper, D., L., et al. Harrison Principles of Internal Medicine 16th Ed.Mc Graw-Hill. Mazbow, 2009. Apa itu dukungan sosial? Online. www. Mazbow.com /2009/08/apa-itudukungan-sosial. PDPI , (2011) Tuberkolosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia : Jakarta. Potter & Perry (2009) Buku Ajar Funda mental Keperawatan : Konsep, Proses & Praktek. Edisi 4. Vol 1. Jakarta : EGC. Price, S,A., Standridge, M.P., ( 2006 ) Tuberkolosis Paru. Dalam : Price, S.A., Wilson, L.M., Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC. Pudjijogyanti, CR. 2008. Konsep Diri Dalam Pendidikan.Jakarta : Arcan. Purwanto, S., dan Riyadi. (2009). Asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu. Priyoto, 2014. Teori sikap dan prilaku dalam kesehatan, Nuha Medika. Putra ,A.K., (2010) Kejadian Tuberculosis pada anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita TB Paru BTA Positif. Available from : http : // repository . usu.ac . id / handle /123456789/19500 [ accesed 15 maret 2016 ]. Putra, R. N. (2011). Hubungan perilaku dan kondisi sanitasi rumah dengan kejadian TB Paru. Diperoleh tanggal 15 Januari 2014 dari http://www.repository.unand.ac.id/16894. Rakhmat, J. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakara. Ridwan Akdon, (2007) Rumus dan Data Dalam Aplikasi Statistik. Alpabeta : Bandung. Raynel, F. (2010). Gambaran komponen konsep diri pada penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Padang Pasir kota Padang. Jurnal Keperawatan Ners, 6, 93- 98. Salbiah. Konsep diri.Desember 2008. Diakses tanggal 22 desember 2009 10.35. http://duniapsikologi.dagdigdug.com/files/2008/12/konsep-diri.pdf. Stuart, dkk 2008, Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 3 Jakarta : EGC. Stuart, G.W, & Sundeen, S.J. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 5. Jakarta; EGC. Suliswati. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC. Tjandra (2014) Indonesia Peringkat 4 Pasien TB Terbanyak di Duinia Available from : http://health.kompas.com/ [accesed 17 maret 2016]. Wadjah N. Gambaran karakteristik penderita TBC Paru di Wilayah Kerja Pukesmas Pagimana Kecamatan Pagimana Kabupaten Banggai. Banggai: USU. 2012 . Wieslaw et al, (2011) TB Manual National Tuberculosis Programme Guidelines. Available from : www.euro.who.int/ [accesed 16 maret 2016]. World Health Organization (WHO). (2013). Tuberculosis Available from : www.who.co.id [accesed 15 maret 2016 ]. Yuliana, 2013. Hubungan antara harga diri rendah dengan prilaku pada penderita tuberkulosis, jurnal keperawatan.