BAB III ANALISIS MENGENAI PENETAPAN HARGA PADA KASUS PENETAPAN HARGA OBAT GENERIK OLEH PERUSAHAANPERUSAHAAN FARMASI DI INDONESIA III.1. Indikasi Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Penetapan Harga Obat Generik di Indonesia Terkait mahalnya harga obat generik di Indonesia, terdapat perbedaan pandangan antara perusahaan-perusahaan farmasi sebagai produsen dengan masyarakat kelas menengah ke bawah yang mengkonsumsi obat generik sebagai konsumen. Perusahaan-perusahaan farmasi sebagai produsen memandang bahwa obat-obat generik yang mereka produksi dan beredar di Indonesia sudah teramat murah sampai-sampai mereka hampir merugi dan bahkan mereka meminta diberikan subsidi dari pemerintah untuk bahan baku obat generik117. Perusahaanperusahaan farmasi juga meminta pemerintah melakukan peninjauan ulang terhadap harga obat generik, karena di dalam harga pokok obat terdapat pula variabel bahan baku dan biaya produksi sehingga dengan melonjaknya harga minyak internasional maka akan menyumbang kenaikan biaya produksi sebesar 15%-20%118. Unsur-unsur yang menyebabkan para pelaku usaha farmasi memiliki pandangan bahwa harga obat generik yang mereka produksi terlalu murah dan berharap untuk dinaikkan adalah diimpornya sebagian besar bahan baku obat. Dimana sesuai dengan struktur keadaan Negara Indonesia ini yang masih berbelitbelit birokrasinya sehingga menimbulkan biaya-biaya yang tinggi untuk hal yang tidak seharusnya seperti adanya pungutan-pungutan liar dan biaya yang besar untuk mengeluarkan barang dari pelabuhan. Rantai birokrasi di Indonesia seperti sengaja diperpanjang. Sistem pelayanannya tidak dibuat secara terpadu dengan sistem pelayanan satu pintu. Hal-hal itulah yang menimbulkan mahalnya harga 117 ”Obat Generik Terancam Hilang”, <http://tribunjabar.co.id/artikel_view.php?id=26142 &kategori=9>, 19 Desember 2008. 118 ”Indofarma Belum Naikkan Harga Obat Meski BBM Naik”, <http://jkt2.detikhot.com/ read/2008/05/29/120234/946987/124/.http://jkt2.detikhot.com>, 19 Desember 2008. Universitas Indonesia 33 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008 pokok impor. Diimpornya sebagian besar bahan baku obat tersebut merupakan efek dari kelemahan sistem pembangunan Indonesia yang setiap kali ada pembangunan pabrik akan selalu memakai substitusi impor (raw materialnya harus impor). Padahal di Indonesia sebenarnya semuanya tersedia, dan juga dengan tidak terlalu mengandalkan kepada impor bahan pembuatan obat, akan turut menyejahterakan masyarakat karena mereka akan mendapat lapangan pekerjaan. Kalaupun dirasa yang tersedia di Indonesia belum cukup layak, seharusnya jangan juga mengimpor barang jadi, namun sebisa mungkin mengimpor barang yang setengah jadi saja agar proses pengolahan selanjutnya dapat tetap dilakukan di Indonesia. Contoh sederhana lainnya, mie instan yang tepungnya di impor, dengan mie instan yang tepungnya olahan dalam negeri, maka mie instan yang tepungnya hasil olahan dalam negeri harganya akan lebih murah. Selain karena impor bahan baku, unsur lainnya adalah perbedaan yang terlampau jauh antara kurs rupiah dengan kurs dolar juga mengakibatkan pandangan para pelaku usaha farmasi tersebut. Contohnya saja US$ 1 = Rp. 11.000, maka bagi yang terbiasa bertransaksi dengan menggunakan dolar memang tidak akan berpikir obat di Indonesia mahal, akan tetapi lain halnya bagi rakyat Indonesia terutama kalangan menengah kebawah yang bertransaksi dengan menggunakan rupiah, mereka akan menganggap bahwa harga obat di Indonesia memang mahal. Karenanya apabila pihak produsen mematok harga pokok obat generik yang mereka produksi dengan unsur karena impor (yang berarti dengan kurs dolar), otomatis harga obat generik di Indonesia akan terasa mahal bagi konsumen dalam negeri. Contoh sederhananya saja, coca cola yang dibeli di Singapura seharga 3 dolar, ketika dibawa ke Indonesia akan menjadi Rp.30.000, sedangkan bila membeli coca cola yang diproduksi di Indonesia, cukup membelinya dengan harga Rp. 2.500. Seharusnya masyarakat mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan mempunyai akses yang sama untuk mendapatkan obat yang terjamin kualitasnya sesuai daya belinya119. 119 ”Obat untuk Siapa”, <http://yugosan.blogspot.com/2008/07/obat-untuk-siapa.html>, 19 Desember 2008. Universitas Indonesia 34 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008 Untuk mengatasi perbedaan pandangan serta pendapat antara produsen dan konsumen tersebut, pemerintah dalam hal ini menteri kesehatan berupaya untuk menjembatani perbedaan tersebut dengan mengeluarkan suatu kebijakan terkait harga obat generik, yaitu dengan adanya SK Menteri Kesehatan Nomor 487/Menkes/SK/VII/2006 yang menetapkan harga obat generik sebagai pengganti SK Menteri Kesehatan Nomor 336/Menkes/SK/V/2006 tentang Harga Obat Generik yang mengatur harga 386 item obat generik. Namun meskipun SK Menteri tersebut memiliki niat yang baik, akan tetapi tidak akan efektif apabila tidak melihat kepada sisi produsen seperti darimana sumber bahan baku obatnya, bagaimana penyediaan bahan bakunya, dan bagaimana rantai birokrasi serta perizinannya. Berdasarkan hasil penelusuran serta analisa penulis, penulis berpendapat bahwa justru kebijakan pemerintah yang dimaksudkan untuk membantu menyejahterakan masyarakat banyak tersebut dikhawatirkan malah akan memfasilitasi terjadinya kartel diantara pelaku usaha farmasi. Karena kartel merupakan salah satu bentuk dari tindakan pelanggaran persaingan usaha yang paling menarik untuk dilakukan oleh para pelaku usaha. Adam Smith menulis dalam The Wealth Nations pada tahun 1776, “People of the same trade seldom meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices”120. Dengan seringnya para pelaku usaha dalam bisnis yang sama bertemu, perbincangan yang terjadi diantara mereka yang semula memperbincangkan mengenai hal-hal yang tidak berkaitan dengan kegiatan bisnis mereka seperti kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan pada waktu luang mereka, namun pada akhir perbincangan mereka tersebut akan dihasilkan suatu konspirasi yang bertentangan dengan kesejahteraan konsumen, atau bahkan perbincangan mereka tersebut akan berujung pada terbentuknya suatu plot untuk menaikkan harga. Untuk mengalahkan kartel, berdasarkan sistem ekonomi caranya adalah dengan menerapkan sistem ekonomi liberal yang terkendali. Jadi meskipun para pelaku usaha dibiarkan untuk bersaing sebebas-bebasnya namun untuk hal-hal tertentu 120 R. Shyam Khemani, A Framework for the Design and Implementation of Competition Law and Policy, (United States of America: Library of Congress Cataloging, 1999), hal. 21. Universitas Indonesia 35 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008 seperti contohnya untuk bahan baku yang penting, jangan dikuasai oleh satu pelaku usaha melainkan harus tersedia di pasar secara bebas. Globalisasi merupakan salah satu alternatif untuk menghilangkan kartel, namun untuk negaranegara berkembang pemerintahnya harus melakukan perlindungan kepada masyarakatnya terutama golongan ekonomi lemah atau pengusaha-pengusaha kecil dengan cara salah satunya yaitu memberikan subsidi untuk melindungi konsumen yang tidak mampu. Apabila harga obat generik dapat ditekan melalui jalan pemfokusan kepada produk-produk dalam negeri untuk proses produksi, industri-industri akan dapat menambah tenaga kerja, bahan baku dalam negeri dapat diolah secara meluas sehingga dapat memakai banyak tenaga kerja, daya beli masyarakat akan naik, dan karena anggaran pemerintah Indonesia masih terbatas maka dengan murahnya harga obat generik otomatis pemerintah dapat membangun lebih banyak Puskesmas sehingga akan lebih banyak pula masyarakat tidak mampu yang akan terbantu. Dalam melakukan penetapan harga obat, pemerintah juga harus melakukan peninjauan harga atas harga-harga yang sudah ditetapkan sebelumnya secara berkala. Apabila peninjauan harga secara berkala tersebut terus-menerus tidak dilakukan, maka sangat dimungkinkan akan timbulnya kartel diantara pelaku usaha farmasi karena mereka harus dapat mempertahankan kehidupan perusahaannya sehingga berbagai cara akan mereka lakukan untuk dapat bertahan hidup. Dimana salah satu cara yang paling mungkin untuk dilakukan tanpa melanggar ketentuan dari pemerintah tentang harga obat yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dengan harga yang murah tanpa memperhatikan kondisi perekonomian adalah dengan membentuk suatu kartel diantara para pengusaha farmasi tersebut. Mereka akan bersepakat untuk melakukan pengaturan produksi obat generik dan melakukan pengaturan atas pemasaran obat-obat generik tersebut. Dampak dari adanya penetapan harga obat oleh pemerintah tanpa adanya peninjauan secara berkala untuk dilihat kesesuaiannya dengan kondisi saat ini sudah mulai terlihat. Sejumlah obat generik yang penting mulai sulit untuk ditemukan di apotek-apotek. Kalaupun ada, harga dari obat generik tersebut Universitas Indonesia 36 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008 meningkat sekitar 5% - 40%121. Pernah pula salah satu obat generik benar-benar menghilang di peredaran dengan alasan mahalnya harga bahan baku obat122. Kenyataan yang terjadi di lapangan, setelah harga obat generik ditetapkan dengan harga yang ekonomis ternyata masih bisa memberikan bonus untuk apotek sebesar 20% - 60%123. Yang berarti masih terdapat selisih harga yang cukup besar dengan penurunan yang dilakukan pemerintah. Mengenai perbedaan harga yang mencolok antara obat generik bermerek dengan obat generik non merek, menurut pandangan penulis terdapat empat poin yang dapat menjadi penyebabnya. Yang pertama ialah biaya publikasi yang besar yang diperlukan oleh obat generik bermerek untuk dapat mempublikasikan produknya. Yang kedua adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan yang memproduksi obat generik bermerek tersebut untuk dapat tetap mempertahankan citra mereknya. Apabila salah satu atau kedua poin tersebut yang menjadi penyebab mahalnya harga obat generik bermerek dibandingkan dengan obat generik non mereknya, hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang salah, karena biaya publikasi serta biaya untuk mempertahankan citra suatu merek merupakan hal yang wajar untuk dikeluarkan oleh suatu perusahaan. Sebagaimana dikatakan oleh DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode 2006-2009 bahwa untuk obat generik itu sendiri memang tidak terdapat perbedaan zat berkhasiat antara generik non merek dengan generik bermerek124. Perbedaannya hanyalah obat generik non merek diberi logo oleh pemerintah, dan obat generik bermerek tidak diberi logo oleh pemerintah melainkan diberi merek dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya. Karenanya harga obat generik non merek memang seharusnya lebih murah karena harganya sudah ditetapkan oleh pemerintah agar terjangkau oleh masyarakat. 121 “Obat Generik Langka dan cetak/0704/27/jatim/65739.htm>, 12 Desember 2008. Mahal”, <www.kompas.com/kompas- 122 “Menkes: Aksi Mafia Membuat Harga Obat Mahal”, <http://www.detikinet.com/read/2007/12/17/124615/868074/10/menkes-aksi-mafia-membuatharga-obat-mahal>, 12 Desember 2008. 123 “Soal Penetapan Harga Jangan sampai Obat Langka”, <http://www.faisalbasri.com/Content/Aktifitas_Detail.asp?AktifitasID=139>, 12 Desember 2008. 124 “Beralihlah ke Obat Generik”, < http://citizennews.suaramerdeka.com/index.php? option=com_content&task=view&id=565&Itemid=1>, 18 Desember 2008. Universitas Indonesia 37 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008 Selain itu biaya promosi obat generik non merek tidak sebesar obat generik bermerek sehingga lebih ekonomis. Dua poin lainnya yang dapat menjadi penyebab mahalnya harga obat generik bermerek dibandingkan dengan harga obat generik non merek meskipun khasiat keduanya sama yaitu adanya kemungkinan terdapat kolusi diantara para pelaku usaha farmasi yang memproduksi obat generik bermerek tersebut untuk menjaga level harga mereka yang tetap tinggi. Hal ini terlihat dari, meskipun banyak pelaku usaha farmasi yang memproduksi obat generik bermerek, akan tetapi kesemuanya sama-sama menjual obat generik bermerek produksinya dengan harga yang mahal bila dibandingkan dengan harga obat generik non mereknya, padahal besarnya tiap-tiap perusahaan tersebut jelas berbeda, sehingga besarnya biaya produksi tiap-tiap perusahaan pasti berbeda. Meskipun memang antara perusahaan farmasi yang satu dengan perusahaan farmasi yang lain tidak menyeragamkan harganya, akan tetapi mereka sama-sama tetap menjaga level harga mereka pada posisi yang tinggi. Ini tidak akan terjadi apabila persaingan usaha terjadi secara kompetitif. Dengan kompetitifnya persaingan yang terjadi, pasti akan ada diantara perusahaan farmasi itu yang melakukan langkah-langkah inovatif untuk dapat menjual obat generiknya dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan pesaingnya yang memproduksi jenis obat generik yang berkhasiat sama dengan tujuan untuk menarik konsumen dan memperbesar pangsa pasar. Namun dengan tidak terjadinya hal tersebut, dapat dicurigai bahwa telah terjadi suatu tindakan anti persaingan diantara para pelaku usaha farmasi untuk tetap menjaga level harga mereka pada tingkat yang tinggi untuk menghindari berpindahnya konsumen kepada perusahaan yang memproduksi obat dengan harga yang lebih murah dibanding pesaingnya. Apabila benar hal inilah yang menyebabkan mahalnya harga obat generik bermerek di Indonesia, maka terdapat indikasi timbulnya kartel diantara para pelaku usaha farmasi yang memproduksi obat generik bermerek tersebut. Dengan asumsi bahwa benar terjadi kartel diantara para pelaku usaha farmasi yang samasama memproduksi obat generik dengan cara membuat perjanjian diantara mereka untuk mempengaruhi harga obat generik bermerek, hal ini akan mengakibatkan terganggunya kesejahteraan masyarakat karena masyarakat harus tetap membayar Universitas Indonesia 38 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008 mahal untuk membeli obat yang seharusnya dapat mereka beli dengan murah, dan juga efisiensi yang menjadi tujuan dari pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak tercapai karena para pelaku usaha tidak melakukan usaha-usaha yang inovatif untuk dapat mencapai efisiensi tersebut, dengan anggapan bahwa mereka tidak perlu repot-repot berusaha menurunkan harga karena dengan harga yang tinggi pun produk mereka akan selalu laku di pasaran karena mereka tidak memiliki saingan. Dengan asumsi demikian, maka para pelaku usaha farmasi yang memproduksi obat generik ini telah melakukan tindakan anti persaingan dan melanggar pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Namun demikian berdasarkan hasil penelusuran penulis, literatur-literatur ekonomi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kesepakatan untuk melakukan kolusi yang terjadi diantara para pelaku usaha farmasi ini yang kemudian dapat membentuk suatu ”tacitly collusive group” dapat dilihat kemampuan para anggota grupnya untuk menyetujui kesepakatan dengan bergantung kepada setidaknya empat aspek dari struktur pasar yaitu meningkatnya pembagian pasar, meningkatnya jumlah pelaku usaha yang menjadi anggota grup kolusi yang akan mengakibatkan mengecilnya pembagian keuntungan, meningkatnya tingkat keasimetrisan diantara para anggota grup yang akan memunculkan satu anggota grup dengan insentif yang besar untuk mematahkan kesepakatan kolusi, serta meningkatnya tingkat ke-asimetrisan antara anggota grup dengan pelaku usaha yang bukan anggota grup karena perusahaan yang relatif besar dan tidak menjadi bagian dari grup kolusi tersebut akan memiliki kemampuan yang lebih besar untuk meningkatkan produksi serta mencuri penjualan dari anggota grup125. Dengan demikian, tindakan kesepakatan berkolusi yang dilakukan oleh para pelaku usaha farmasi tersebut dapat dikatakan sangatlah rapuh karena sewaktuwaktu dapat saja salah satu diantara anggota grup mendadak keluar dari grup karena ingin meraih keuntungan serta pangsa pasar yang lebih besar, dapat pula muncul pelaku usaha baru diluar grup tersebut yang berani menjual dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan anggota grup karena pelaku usaha baru ini melakukan berbagai inovasi agar tercapainya efisiensi sehingga dia dapat menjual 125 David Parker, “A Screening Device for Tacit Collusion Concerns”, (European Competition Law Review, 2006), hal.424. Universitas Indonesia 39 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008 obat generik dengan harga yang lebih murah dibanding pesaing-pesaingnya dengan khasiat yang sama bagusnya. Poin berikutnya yang dapat menjadi penyebab mahalnya harga obat generik bermerek yaitu, adanya kemungkinan terdapat kolusi antara dokter dengan pelaku usaha farmasi yang disebabkan oleh tidak transparannya harga obat dan minimnya informasi soal obat126. Selain adanya kemungkinan terjadinya kolusi antara dokter dengan pelaku usaha farmasi, berdasarkan hasil penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), terdapat juga permainan dengan apotek127. Karena bisa saja seorang dokter menyetujui permintaan pasiennya agar dituliskan resep generik akan tetapi ketika sudah sampai di apotek, resep itu akan segera diganti menjadi obat paten, bukan generik lagi. Seandainya benar terjadi kolusi antara pelaku usaha farmasi dengan dokter maupun apotek, dan pelaku usaha farmasi tersebut telah melakukan kesepakatan dengan mayoritas dokter maupun apotek di suatu wilayah, maka dapat dikatakan bahwa pelaku usaha farmasi tersebut telah menciptakan suatu barrier to entry bagi pelaku usahapelaku usaha pesaingnya, karena tindakan dari pelaku usaha farmasi tersebut telah menghalangi pelaku usaha farmasi pesaingnya untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang sama dengannya. Dengan tidak adanya pesaing dalam pasar yang sama, maka dia dapat menentukan harga obatnya seenaknya. Dengan asumsi pelaku usaha farmasi tersebut telah menciptakan suatu barrier to entry yang mengakibatkan timbulnya persaingan usaha tidak sehat, maka pelaku usaha farmasi tersebut telah melanggar pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. III.2. Penetapan Harga Obat Generik Ditinjau Dari Perspektif Hukum Persaingan Usaha Industri obat merupakan suatu industri yang mahal dan membutuhkan biaya yang besar terlebih untuk proses research & developmentnya. Karenanya 126 “Kolusi Antara Dokter dan Perusahaan Obat Seharga Sebuah Sedan Volvo”, http://health.groups.yahoo.com/group/Dokter_Indonesia/message/4864>, “Bisnis Obat: Kolusi Dokter-Farmasi Harus Ditindak”, <http://www2.kompas.com/kesehatan/news/0604/28/110720. htm>, dan ”Mengakhiri Kolusi Dokter dan Perusahaan Farmasi”, < http://www.hukumonline.com/ detail.asp?id=18808&cl=Kolom>, 23 Desember 2008. 127 ”Kolusi Antara Dokter dan Perusahaan Obat Seharga Sebuah Sedan Volvo”, Ibid. Universitas Indonesia 40 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008 untuk suatu industri yang mahal seperti industri obat, adanya intervensi dari pemerintah, dalam hal ini pricing policy, sah-sah saja untuk dilakukan demi melindungi kesejahteraan masyarakat banyak. Dan selain juga industri obat merupakan suatu industri yang mahal, dalam industri obat ini posisi tawar masyarakat adalah nol, sehingga intervensi dan campur tangan pemerintah untuk menentukan harga obat memang penting untuk dilakukan, terlebih untuk obat generik yang memang ditujukan untuk masyarakat menengah kebawah. Namun, pemerintah juga harus melihat serta memperhatikan dari sisi kelangsungan hidup produsennya, dan juga harus memperhatikan persaingan yang terjadi di pasar. Jangan sampai dengan adanya pricing policy tersebut justru persaingan usaha yang semula terjadi dengan baik dan sehat, malah berubah menjadi persaingan usaha yang tidak sehat karena persaingan yang sehat dalam dunia usaha itu mutlak perlu dilakukan. Iklim usaha yang kondusif harus turut diperhatikan oleh pemerintah manakala membuat suatu pengaturan persaingan usaha, untuk menjamin tetap adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama baik bagi pelaku usaha besar, menengah, maupun kecil. Hal ini sesuai dengan tujuan dari adanya pengaturan mengenai persaingan usaha sebagaimana terdapat dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Mengenai pricing policy tersebut, akan lebih baik apabila pemerintah bukan menetapkan harga obat melainkan memberikan referensi harga. Karena apabila pemerintah menetapkan harga obat, maka kemungkinan yang akan timbul adalah produsen obat yang memproduksi obat generik lambat laun akan mengurangi produksinya karena memproduksi obat generik sudah tidak menguntungkan lagi bagi mereka128. Akan tetapi, bila memang yang sudah terjadi saat ini adalah penetapan harga secara sepihak oleh pemerintah, yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah senantiasa melakukan peninjauan secara berkala terhadap harga yang ditetapkan. Pemerintah harus melihat, apakah harga yang ditetapkan tersebut masih sesuai dengan kondisi yang terjadi saat ini. Jangan sampai dengan adanya penetapan harga dari pemerintah yang tidak pernah dilakukan peninjauan tersebut 128 “Cabut Pajak Obat!Pangsa Pasar Obat Rp 26 Triliun/Tahun”, <http://www.faisalbasri.com/Content/Aktifitas_Detail.asp?AktifitasID=139>, 12 Desember 2008. Universitas Indonesia 41 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008 mengakibatkan perusahaan-perusahaan farmasi jadi mengurangi produksi mereka demi efisiensi serta kelangsungan hidup perusahaan mereka. Karena hal tersebut justru akan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat. Dan juga, jangan sampai dengan adanya penetapan harga yang tidak pernah ditinjau tersebut mengakibatkan timbulnya kartel dalam industri farmasi. Selain harus adanya peninjauan secara berkala dari pemerintah terhadap harga yang mereka tetapkan, dapat pula dilakukan penetapan tarif bawah tarif atas sebagaimana yang diterapkan terhadap perusahaan taksi. Sehingga dengan demikian, perusahaan-perusahaan farmasi tersebut dapat dengan bebas menentukan harga dalam rentang harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian, persaingan usaha yang sehat dalam industri farmasi akan terjaga, karena dengan kebebasan bagi mereka untuk menentukan harga selama masih tetap berada dalam rentang harga yang diijinkan oleh pemerintah, mereka akan berlomba-lomba untuk menarik konsumen dengan cara mengurangi harga jualnya namun tetap dengan tidak mengurangi khasiatnya. Dengan cara demikian pula, menurut penulis pemerintah dapat lebih mudah memonitor perkembangan persaingan usaha yang terjadi di dunia industri. Terhadap perbedaan harga yang signifikan antara obat generik bermerek dan obat generik non merek untuk obat dengan khasiat yang sama, pemerintah dapat memberikan pembatasan persentase keuntungan maksimal yang boleh diperoleh perusahaan farmasi, dimana pembatasan persentase keuntungan maksimal tersebut diberikan setelah tentunya pemerintah melakukan penelitian harga pokok dari obat yang bersangkutan. Contoh dari mekanisme pembatasan keuntungan maksimal sebesar 10% dari harga pokok. Pelaku usaha A dan B yang sama-sama memproduksi obat dengan khasiat yang sama, dimana pelaku usaha A yang berproduksi dengan cara yang lebih efisien sehingga menghasilkan harga pokok obat Rp.9.-, dari harga pokok tersebut pelaku usaha A diperbolehkan untuk mengambil keuntungan maksimal 10% sehingga apabila obat tersebut dijual dengan harga Rp.9,9.- maka pelaku usaha A sudah mendapatkan keuntungan maksimal. Sedangkan pelaku usaha B yang berproduksinya kurang efisien sehingga menghasilkan harga pokok obat yang lebih mahal dari pelaku usaha A yaitu Rp.10.-, apabila dia juga ingin Universitas Indonesia 42 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008 memperoleh keuntungan maksimal, dia harus menjual obatnya dengan harga Rp. 11.-. Dari perbedaan harga jual tersebut, kembali kepada pilihan konsumen apakah tetap ingin membeli produk yang harganya lebih mahal, sedangkan ada obat yang khasiatnya sama persis dengan obat yang harganya lebih mahal tersebut hanya saja harganya lebih murah. Mekanisme ini dalam accounting disebut dengan COGS (Cost of Good Sold)129. Dengan digunakannya mekanisme ini, akan selalu timbul persaingan diantara para pelaku usaha farmasi, karena siapa yang lebih efisien dalam berproduksi maka dialah yang akan memperoleh keuntungan yang lebih besar dan memperoleh pangsa pasar yang lebih besar. Pengawasan atas mekanisme ini menurut penulis akan lebih baik diserahkan kepada KPPU, YLKI, dan konsumen. Biarkan konsumen sendiri yang memilih dan menilai. Mekanisme seperti ini menurut analisa penulis merupakan suatu mekanisme yang win-win solution, karena baik masyarakat sebagai konsumen maupun pelaku usaha sebagai produsen akan sama-sama mendapatkan keuntungan. Mekanisme ini juga mendidik masyarakat untuk menjadi masyarakat yang kritis, kritis memilih mana obat yang memang sesuai antara harga dengan khasiatnya, jangan sampai masyarakat hanya membayar mahal untuk mereknya bukan untuk khasiatnya. 129 “Cost of Goods Sold: Definiton”, <http://www.investorwords.com/1158/Cost_Of_ Goods_Sold.html>, dan “Cost of Goods Sold (COGS)”, <http://www.accountingglossary.net/ definition/106-Cost_Of_Goods_Sold_COGS>, 23 Desember 2008. Universitas Indonesia 43 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008