BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan Konsep pertanggungjawaban sosial perusahaan (CSR) bukanlah merupakan konsep yang baru di masyarakat pada umumnya dan dunia usaha pada khususnya, dan mulai mengemuka menjadi isu besar dan dibahas oleh banyak pihak sejak sekitar awal tahun 1960-an di Amerika Serikat dan pada awal tahun 1970-an di Eropa tepatnya di Prancis. Konsep tersebut semakin berkembang seiring dengan konsep lainnya sejalan dengan berkembangnya dunia usaha dan ekonomi. Saat ini, corporate social responsibility semakin menjadi suatu isu penting di dunia bisnis dan masyarakat dan ruang lingkup pembahasannya pun semakin beragam seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan dunia bisnis dan ekonomi yang sangat pesat. Sebuah survei yang dilakukan oleh Environks International, conference board dan Prince of wales business leader forum yang bertajuk The Millenium poll on corporate social responsibility (1999) pada 25.000 responden di 23 negara mengenai CSR yakni bahwa dalam pembentukkan opini tentang perusahaan, aspek praktik terhadap karyawan, etika bisnis, dampak terhadap lingkungan, dan CSR mempunyai perhatian paling besar dari responden yaitu sebanyak 60%, sedangkan 40% responden meyakinkan bahwa citra perusahaan dan citra merk yang paling berpengaruh. Sikap konsumen terhadap perusahaan yang tidak melaksanakan CSR adalah ingin “menghukum” 40% yang tidak memiliki perhatian terhadap CSR, sementara 50% memilih untuk tidak membeli produknya dan akan mengungkapkan kepada orang lain mengenai kekurangan-kekurangan yang dimiliki perusahaan yang tidak menjalankan CSR tersebut. Hanya 1/3 dari total responden tersebut yang mendasari opininya atas faktot bisnis seperti aspek finansial, ukuran perusahaan, maupun strategi manajemen. Penelitian lain dari world Economic Forum, bahwa 52% konsumen di dunia sudah tidak percaya lagi pada perusahaan besar, dan mayoritas konsumen akan menghentikan konsumsi suatu produk yang mempunyai citra buruk atau produk memperoleh liputan pers yang negatif. Fakta-fakta tersebut mendorong perusahaan mengelola bisnis yang seimbang dan tidak lagi memperlakukan tanggung jawab sosial sebagai akal-akalan, tetapi menjadi bagian yang holistik dari strategi perusahaan. Wacana CSR yang berkembang saat ini merupakan suatu tuntutan bagi pelaku bisnis untuk melakukan praktik bisnis yang bertanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar dan hal tersebut dianggap penting dan oleh perusahaanperusahaan besar dunia dijadikan sebagai bagian dari Business Plan perusahaan. CEO Avon corp., Andrea Jung (2002), dimana perusahaan yang dipimpinnya membentuk Avon Foundation, menyatakan: “CSR telah menjadi prioritas utama perusahaan-perusahaan fortune 500, sebagai upaya untuk berbisnis lebih etis dan memenuhi kewajiban corporate citizenship”. Di Indonesia, perusahaan besar pun sudah memenuhi CSR seperti PT HM Sampoerna Tbk. (HMS) membuat Sampoerna Enterpreneur Training Center dengan program bimbingan anak Sampoerna dan perpustakaan, Mitra Tembakau dan Cengkeh (MTC), dan Sampoerna rescue. Sejalan dengan perkembangan CSR banyak didirikan forum organisasi atau lembaga non-governmental (NGO) yang berkonsentrasi terhadap CSR, yang diantaranya Business for Social Responsibility dan World Business Councill For Sustainable Development (dibentuk tahun 1992 di Amerika Serikat), EMPRESA (dibentuk tahun 1998 di Brasil), The CSR Europe (bermarkas di Belgia untuk pelaksanaan CSR di Eropa), Business in the community (promotor CSR di Inggris) dan di Indonesia memiliki forum for Corporate Governance in Indonesia. Upaya standarisasi dan mekanisme penilaian CSR pun dilakukan. Social Accountability 8000 adalah standar pelaksanaan pertanggungjawaban sosial perusahaan yang disusun oleh The Council of Economic Priorities Accreditation Agency. Keahlian profesional berbasis CSR juga dapat diraih dengan mengikuti kursus seperti sertifikasi AA-1000 yang dikeluarkan Institute of Social an Ethical Accountability, sedangkan New York Stock Exchange telah membuat indeks khusus yang mengelompokkan performa Sustainable 26 emiten (yang salah satu penilaiannya adalah performa pelaksanaan CSR) yaitu The Dow Jones Sustainable Index (DJSI). Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen (IAI-KAM) dan didukung oleh kementrian Lingkungan Hidup (KLH), Komite Nasional Kebijakan Governance, dan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan kualifikasi penilaian dengan menyelenggarakan Indonesian Sustainability Reporting Award (ISRA). Kualifikasi tersebut diukur secara nasional yang dapat mendorong perusahaan agar dapat mempersiapkan untuk dapat memenuhi standar-standar internasional. PertanggungJawaban Sosial perusahaan dalam penelitian ini diukur menggunakan teknik indexing yes/no approach yang merupakan bentuk paling sederhana dari metode content analysis, untuk mengkuantifikasi suatu pengungkapan sosial menggunakan penentuan skor dengan dua angka yang akan diberikan pada setiap kategori (atau lebih tepatnya subkategori) pengungkapan sosial, yaitu 0 dan 1. Angka 1 diberikan apabila suatu subkategori diisi atau diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan sampel, Sedangkan angka 0 diberikan pada kategori yang tidak diungkapkan pada perusahaan sampel. Kategori pengungkapan sosial dalam penelitian ini adalah kategori yang diungkapkan oleh Hackston dan Milne (1996) dimana kategori pengungkapan sosial dibagi menjadi tujuh kategori. Kategori ini telah dimodifikasi sesuai kebutuhan, kondisi dan hal penting lain yang telah dijelaskan diatas adanya penyesuaian berdasarkan peraturan Bapepam No. VIII.G.2 sehingga terdapat 78 kategori pengungkapan sosial yang sesuai dengan kondisi Negara Indonesia. Kategori pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan itu diantaranya: 1. Lingkungan 1. Pengendalian polusi kegiatan operasi, pengeluaran riset dan pengembangan untuk pengurangan polusi. 2. Pernyataan yang menunjukkan bahwa operasi perusahaan tidak mengakibatkan polusi atau memenuhi ketentuan hukum dan peraturan polusi. 3. Pernyataan yang menunjukkan bahwa polusi operasi telah atau akan dikurangi. 4. Pencegahan atau perbaikan kerusakan lingkungan akibat pengolahan sumber alam, misalnya reklamasi daratan atau reboisasi. 5. Konservasi sumber alam, misalnya mendaur ulang kaca, besi, minyak, air dan kertas. 6. 7. Penggunaan materi daur ulang Menerima penghargaan berkaitan dengan program lingkungan yang dibuat perusahaan. 8. Merancang fasilitas yang harmonis dengan lingkungan. 9. Kontribusi dalam seni yang bertujuan untuk memperindah lingkungan. 10. Kontribusi dalam pemugaran bangunan bersejarah. 11. Pengolahan limbah. 12. Mempelajari dampak lingkungan untuk memonitor dampak lingkungan perusahaan. Perlindungan lingkungan hidup. II. Energi 1. Menggunakan energi secara lebih efisien dalam kegiatan operasi. 2. Memanfaatkan barang bekas untuk memproduksi energi. 3. Mengungkapkan penghematan energi sebagai hasil produk daur ulang. 4. Membahas upaya peusahaan dalam mengurangi konsumsi energi. 5. Pengungkapan peningkatan efisiensi energi dari produk. 6. Riset yang mengarah pada peningkatan efisiensi energi pada produk. 7. Mengungkapkan kebijakan energi perusahaan. III. Kesehatan dan Keselamatan Tenaga Kerja 1. Mengurangi polusi, iritasi, atau resiko dalam lingkungan kerja. 2. Mempromosikan keselamatan tenaga kerja dan kesehatan fisik atau mental. 3. Mengungkapkan statistik kecelakaan kerja. 4. Mentaati peraturan standar kesehatan dan keselamatan kerja. 5. Menerima penghargaan berkaitan dengan keselamatan kerja. 6. Menerapkan suatu komite keselamatan kerja. 7. Melaksanakan riset untuk meningkatkan keselamatan tenaga kerja. 8. Mengungkapakan pelayanan kesehatan tenaga kerja. IV. Lain-Lain Tentang tenaga kerja 1. Mendirikan suatu pusat pelatihan tenaga kerja atau mengadakan pelatihan tenaga kerja dengan program tertentu 2. Memberikan bantuan keuangan pada tenaga kerja dalam bidang pendidikan. 3. Mengungkapkan fasilitas-fasilitas yang diberikan untuk tenaga kerja. 4. Mengungkapkan kebijakan penggajian dalam perusahaan. 5. Mengungkapkan tingkatan manajerial yang ada, jumlah tenaga kerja dalam perusahaan, dan kelompok usia mereka. 6. Mengungkapkan statistik tenaga kerja, misalnya penjualan pertenaga kerja. 7. Mengungkapkan kualifikasi tenaga kerja yang direkrut 8. Melaporkan hubungan perusahaan dengan serikat buruh. 9. Melaporkan gangguan, aksi tenaga kerja, serta negosiasi dari gangguan dan aksi tersebut. 10. Informasi reorganisasi perusahaan yang mempengaruhi tenaga kerja. 11. Informasi dan statistik V. Produk 1. Pengungkapan informasi pengembangan produk perusahaan, termasuk pengemasannya. 2. Gambaran pengeluaran riset dan pengembangan produk. 3. Pengungkapan informasi proyek riset perusahaan untuk memperbaiki produk. 4. Pengungkapan bahwa produk memenuhi standar keselamatan. 5. Membuat produk lebih aman untuk konsumen. 6. Melaksanakan riset atas tingkat keselamatan produk perusahaan. 7. Pengungkapan peningkatan kebersihan /kesehatan dalam pengelolaan dan penyiapan produk. 8. Pengungkapan informasi atas keselamatan produk perusahaan. 9. Pengungkapan informasi mutu produk yang dicerminkan dalam penerimaaan penghargaan. 10. Informasi yang dapat diferivikasi bahwa mutu produk telah meningkat (misalnya ISO 9000). VI. Keterlibatan Masyarakat. 1. Sumbangan tunai, produk, pelayanan untuk mendukung aktivitas masyarakat, pendidikan, seni. 2. Tenaga kerja paruh waktu (part-time employment) dari mahasiswa atau pelajar. 3. Sebagai sponsor untuk proyek kesehatan masyarakat. 4. Membantu riset medis. 5. Sebagai sponsor untuk konferensi pendidikan, seminar atau pertunjukan seni. 6. Membiayai program beasiswa. 7. Membuka fasilitas karyawan untuk masyarakat. 8. Mensponsori kampanye nasional. 9. Mendukung pengembangan industri lokal. VII. Umum 1. Pengungkapan tujuan atau kebijakan perusahaan secara umum berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat. 2. Informasi berhubungan dengan tanggung jawab sosial perusahaan selain yang disebutkan diatas. 2.1.1 Pengertian Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan Sukses dunia bisnis dalam globalisasi amatlah fenomental. George G Brenkert menyebutkan, 51 dari 100 kekuatan ekonomi terbesar dunia bukan Negara, tetapi entitas bisnis. Wacana tentang tanggung jawab dunia bisnis bagi pemangku kepentingan juga meningkat amat fenomental (Brenkert,2004). Istilahnya bisa bermacam-macam, seperti etika bisnis, corporate citizenship, corporate sustainability, triple bottom line, stakeholder dialogue, Corporate social responsibility (CSR). Meski terdapat nuansa perbedaan disana-sini, namun semua istilah tersebut mengacu pada satu hal, yakni peran bisnis dalam masyarakat. Corporate Social Responsibility (CSR) yang didefinisikan oleh Jakarta Consulting group adalah suatu konsep yang berkaitan dengan tanggung jawab sebuah perusahaan dengan lingkungannya. Pengertian lingkungan tersebut bisa menjadi sangat luas, mulai dari pemerintah hingga masyarakat sekitar dimana operasi perusahaan yang besangkutan dilakukan. Bentuk tanggung jawabnya dapat bermacam-macam, seperti pemberdayaan ekonomi, hukum, perilaku etis perusahaan terhadap masyarakat sekitar, sampai pada bentuk kegiatan-kegiatan filantropis. CSR merupakan bentuk yang tak terpisahkan dari GCG, dan merupakan bagian yang tak terpisahkan bagi penyempurnaan GCG. Salah satu dari empat prinsip GCG adalah prinsip responsibility (pertanggungjawaban). Tiga prinsip lainnya adalah fairness, transperancy, dan accountability. tiga prinsip tersebut lebih menekankan pada kepentingan pemegang saham perusahaan (Shareholder) sehingga prinsip tersebut lebih mencerminkan shareholder driven-concept. Contohnya, perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas (fairness), penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu (transperancy), dan fungsi dari kewenangan RUPS, komisaris dan direksi (accountability). Prinsip responsibility lebih menekankan pada kepentingan stakeholder perusahaan, dimana perusahaan harus dapat menciptakan suatu nilai tambah (value added) dari produk dan jasa bagi stakeholder perusahaan. Dapat memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya. prinsip responsibility lebih mencerminkan stakeholder driven-concept. Megan Cannolly (2002), peneliti dari Survey and Research Institute inc., mendefinisikan CSR sebagai perpaduan antara operasi bisnis dengan nilai-nilai sosial dan menyangkut pengintegrasian kepentingan stakeholder kedalam kebijakan dan tindakan bisnis perusahaan. CSR juga membantu memfokuskan pencapaian tiga keberhasilan perusahaan dimana perusahaan tidak hanya berpijak pada single bottomline, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya saja, Tetapi perusahaan pun memiliki tanggung jawab harus berpijak pada triple bottom-line. Disini bottom lines lainnya, selain fianansial adalah sosial dan lingkungan, yang dalam Global Reporting Initiative Guidance (GRI GUIDANCE 2002) disebut sebagai triple bottom-line success of company dan pertama kali diperkenalkan oleh John Eikington (1997). Terwujudnya „triple bottom-line success of company’ pemenuhan tanggung jawab finansial (corporate financial ini dipicu oleh responsibility), Selanjutnya adalah upaya perusahaan untuk meminimalisir dampak negatif dari salah lingkungan (corporate environmental responsibility), dan upaya perusahaan untuk berperilaku yang sesuai dengan harapan lingkungan sosialnya (corporate social responsibility). Keseluruhan tanggung jawab tersebut dipandang sebagai kontribusi perusahaan dan dunia bisnis secara umum dalam mewujudkan sustainable development (Milne 2002). Elkington (1997) merumuskan tanggung jawab sosial bisnis dengan triple bottem line atau “tiga P”, yakni People, Planet and Profit. “jantung hati” bisnis bukan hanya laba, tetapi juga manusia dan –jangan lupa- planet. Keterkaitan perusahaan dengan daerah lingkungan sosialnya menuntut dipenuhinya pertanggungjawaban sosial perusahaan (CSR). Secara harfiah CSR ialah tanggung jawab sosial perusahaan. Definisi umum menurut The Wordl Business council on sustainable Development adalah: “komitmen dari bisnis atau perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, seraya meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dari masyarakat luas.” Secara umum menurut The Wordl Business council on sustainable Development CSR adalah: “Understood to be the way firms integrate social, environmental and economic concerns into their values, culture, decision making, strategy and operations in a transparent and accountable menner and there by establish better practice within the firm, creath wealth and improve society.” Tidak hanya itu, definisi lainnya mengungkapkan model CSR lainnya yang dilihat dari sudut pandang corporate social responsibility dan corporate environmental responsibility. Definisi Corporate Social Responsibility menurut European Commisions (scott davis,2004) adalah : “A concept whereby companies integrate social and environmental concern in their business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basis as they are increasingly aware that responsible behavior leads to sustainable business success.” Observatory Of Europian SMEs (2002) mendefinisikan Corporate Social Responsibility sebagai : “Corporate social responsibility can br defined as the voluntary integration of social and environmental concerns in the enterprises’ daily business operations and in the interaction with their stakeholders.” Gray et al (1987) juga menyatakan bahwa : “Social responsibility are the responsibilities for actions which do not have purely financial implications and which are demanded of an organization under some (implicit oe explicit) identifiable contract” (dalam Ahmad dan Rahim,2002). Definisi-definisi tersebut mempunyai cakupan yang sangat luas yaitu terdiri dari : 1. Isu-isu filosofi dan normatif yang berhubungan dengan peranan bisnis dalam masyarakat (studi terhadap CSR yang dilakukan oleh Bowen (1953); Elbert dan Parket (1973) dan Sethi (1979)) 2. Pertanyaan-pertanyaan yang bersifat manajerial menyangkut taktik yang digunakan kalangan bisnis untuk merespon ataupun menghindari social demands (studi terhadap corporate social responsiveness yang dilakukan oleh Ackerman &Bauer (1976), Caroll (1979), dan Frederick (1978)) 3. Isu-isu sosiologis yang berhubungan dengan pengaruh operasi bisnis terhadap masyarakat (studi terhadapa corporate social responsibility yang dilakukan oleh Strand (1983) dan Wood (1991)). (Rusi, 2006:29) Menurut Grey et.al. Corporate Social Responsibility (CSR) adalah merupakan suatu proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara kesesluruhan. Hal tersebut memperluas tanggung jawab organisasi (khususnya perusahaan), diluar peran tradisionalnya untuk menyediakan laporan keuangannya kepada pemilik modal, khususnya pemegang saham. Perluasan tersebut dibuat dengan asumsi bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab yang lebih luas dibanding hanya mencari laba untuk pemegang saham. Pengertian CSR pun dapat kita lihat dalam pernyataan Europian Community yang memiliki perhatian besar terhadap CSR. Mereka menyatakan bahwa: “By stating their social responsibility and voluntaliry taking on commitments which go beyond common regulatory and conventional requirements, which they would have to respect in any case, companies endeavour to raise the standards of social development, environmental protection and respect of fundamental rights and embrace an open governance, reconciling interests of various stakeholders in an overall approach of quality and sustainability” (promoting a europian framework for corporate social responsibility, Green Paper, P.4, Brussels, 18.7.2001, emphasis added). Dibeberapa Negara lain mendefinisikan Corporate social responsibility adalah sebagai berikut: 1. CSR is about capacity building for sustainable livelihood. It respects cultural differences and find the business opportunities in building the skills of employees, the community and the government” 2. CSR is about business giving back to society 3. CSR has been defined much more in terms of a philanprophic models. Companies make profits, unhindered expect by fulfilling their duty to pay taxes. Then they donate a certain share of the profits to charitable causes. It is seen as tainting the act for the company to receive any benefits from the giving 4. CSR diartikan sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komuniti lokal dan masyarakat secara lebih luas (Sankat, Clement K, Trinidad and tobacco Bureau of standard (TTBS),2002). Berdasarkan pernyataan tersebut diatas bahwa penerapan konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) bagi masyarakat kian mutlak dilakukan. CSR adalah komitmen perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan seraya memperhatikan masyarakat luas dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. CSR merupakan perwujudan prinsip Responsibility dalam GCG. Penerapan CSR telah banyak dilakukan oleh korporasi-korporasi di Indonesia. Hampir semua korporasi di Indonesia mengalokasikan anggaran khusus guna menjalankan kegiatan sosial maupun kegiatan yang berkaitan dengan kepedulian lingkungan. CSR bukan hanya kegiatan peruahaan meningkatkan yang pendapatan membengkakkan dan membuat pengeluaran, keberadaan melainkan perusahaan justru diterima masyarakat, konsep CSR adalah aset strategis dan kompetitif bagi perusahaan ditengah iklim bisnis dan multistakeholders (banyak pemangku kepentingan) yang makin menuntut praktik etis dan bertanggung jawab. CSR melahirkan sejumlah keuntungan, yaitu profitabilitas dan kinerja finansial yang lebih kokoh, misalnya lewat efisiensi lingkungan, menurunkan kerentanan gejolak dengan komunitas sekitar, sekaligus mempertinggi reputasi perusahaan, meningkatkan kinerja keuangan, mengurangi biaya perusahaan, meningkatkan reputasi dan citra perusahaan, meningkatkan penjualan dan loyalitas konsumen, meningkatkan kualitas dan produktivitas, meningkatkan kemampuan (skill) buruh. 2.1.2. Teori-Teori Yang Menunjang Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan Konsep CSR sebetulnya relatif baru. Teori korporasi klasik, akar-akar konsep CSR sulit ditemukan. Hal itu karena proposisi teori klasik, sebagaimana telah dirumuskan oleh Adam smith (1998) tugas korporasi diletakkan semata-mata mencari keuntungan, ”the only duty of the corporationis to make profit.” Proposisi ini bukannya tidak diakui oleh ilmuwan-ilmuwan selanjutnya. Menurut Harris, Jr (1991) menuliskan tiga teoti CSR yang terkemuka dari para ahli termasuk Milton Friedman. Ketiga teori tersebut mendapat pertentanganpertentangan. Berikut dibawah ini adalah ketiga teori tersebut beserta pendapatpendapat yang menentang: 1 The Corporate Accountability Theory, Ralph Nader Nader menyatakan bahwa perusahaan dibuat oleh pemerintah/Negara (creatures of the state) sebagai fungsi dari publik. Perusahaan dianggapnya mempunyai tingkatan yang sama dengan pemerintah karena ukuran dan kekuatan ekonominya, Karena pemerintah terbentuk dari publik dan perusahaan dibentuk oleh pemerintah, maka tanggung jawab perusahaan ialah melayani apa yang diinginkan publik. Pendapat kontra dari pendapat Nader adalah : Perusahaan merupakan milik pribadi dimana pemegang saham merupakan pemiliknya, perusahaan bukannya semata-mata buatan negara, Jika semua kebijakan perusahaan diatur negara maka perusahaan tidak akan berkembang. Karena perusahaan bukanlah buatan Negara, maka Negara tidak mempunyai kekuatan untuk mengatur perusahaan. Perusahaan bukanlah suatu fungsi dari publik, maka tidak ada yang namanya tanggung jawab sosial didalam perusahaan. 2. The Profit Motive Theory, Milton Friedman: Menurut Friedman, hanya ada satu tujuan perusahaan yaitu mencari profit sebesar-besarnya. Friedman melarang perusahaan untuk terlibat dalam aktivitas sosial, alasannya adalah karena perusahaan itu dimiliki oleh para pemegang saham dan para manajer (eksekutif) merupakan agen dari mereka, yaitu melayani apa yang pemegang saham inginkan (membuat profit) bukannya melakukan aktivitas sosial. Perusahaan sebenarnya terbentuk dari para individu, yang tentunya juga memiliki tanggung jawab terhadap keluarga, namun hal ini tidak menjadi masalah karena dia menggunakan uangnya sendiri untuk hal-hal tersebut, Tapi bila manajer mengalihkan profit perusahaan untuk hal sosial (misalnya isu lingkungan, menurunkan inflasi, dan lainnya) maka terjadi pembebanan pajak terhadap dua pihak; pertama pada pemegang saham, yaitu mengurangi return dari uang yang telah diinvestasikan dan yang kedua pada konsumen, yaitu dengan cara menaikkan harga. Hal ini berakibat pada turunnya profit. Kontra dari pendapat Friedman adalah : Pernyataan ini menyarankan perusahaan untuk mengabaikan sisi kewajiban sosial. 3. The Corporate Natural Rights Theory. Den Uyl: Hingga saat ini, teori ini lah yang dapat menyatukan antara kepentingan mencari profit dan pelaksanaan kewajiban moral. Teori ini mirip dengan teori Friedman, perbedaannya terletak pada adanya aturan untuk menghargai individu. Uyl juga menyatakan bahwa investasi yang bersifat sumbangan (charity) pada akhirnya akan meningkatkan profit. Pemikiran akan berkurangnya profit dan profit menjadi tidak maksimal menjadi sebuah pertanyaan disini, namun Uyl tidak menggunakan kata “maximizing profit”, Dia menggunakan kata “expected rate of return”. Maksimalisasi profit bisa terjadi bila semua pihak mendapatkan informasi sempurna dan hal ini hampir tidak mungkin terjadi, demikian pendapat Uyl. Meskipun para manajer berusaha untuk memenuhi tanggungjawabnya terhadap pemilik perusahaan, pasti tidak akan tercapai dan akan terjadi defisiensi secara moral. Kontra terhadap pendapat Uyl saat ini masih belum ada. 2.1.3 Implementasi Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan Griffin membagi pendekatan implementasi CSR kedalam tiga pendekatan yang diadopsi oleh perusahaan (1995:63-64): 1. Social Obligation Approach Sebuah pendekatan dimana perusahaan membuat komitmen minimum terhadap kelompok-kelompok dan individu-individu yang berada didalam lingkungan perusahaan tersebut. Pelaksanaan komitmen minimum ini biasanya dilakukan untuk sekedar memenuhi ketentuan dan peraturan pemerintah serta praktik bisnis standar. Dapat dikatakan bahwa dalam pelaksanaan pendekatan ini, perusahaan sebetulnya belum sepenuhnya ingin melakukan social responsibility. Semuanya dilakukan hanya untuk memenuhi kewajiban bukan karena kesadaran. Perusahaan masih berpegang pada pendapat bahwa profit seharusnya tidak dialokasikan untuk program-program sosial. Salah satu contoh bentuk pendekatan ini adalah peringatan kesehatan pada kemasan rokok. Kewajiban pencantuman peringatan kesehatan ini wajib dilakukan oleh seluruh perusahaan rokok yang merupakan suatu ketentuan aturan pemerintah dan bukannya kesadaran dari perusahaan rokok itu sendiri. 2. Social-Reaction Approach Sebuah pendekatan dimana pada perusahaan melewati komitmen minimum social responsibility-nya berdasarkan permintaan. Contoh dari bentuk pendekatan ini adalah ketika suatu perusahaan memberikan bantuan dana untuk suatu kegiatan sosial hanya jika perusahaan menerima proposal pengajuan bantuan dana untuk kegiatan sosial tersebut. 3. Social-Response Approach Sebuah pendekatan dimana dalam pendekatan ini perusahaan mencari kesempatan untuk berkontribusi dalam kegiatan-kegiatan sosial. Contohnya adalah HM Sampoerna yang dengan kesadaran sendiri menyusun program-program sosial seperti Program Bimbingan Anak Sampoerna dan Perpustakaan, dengan memberikan beasiswa yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Kotler dan Lee (2005) mengidentifikasi enam pilihan program bagi perusahaan untuk melakukan inisiatif dan aktifitas yang berkaitan dengan berbagai masalah sosial sekaligus sebagai wujud komitmen dari tanggung jawab sosial perusahaan. Keenam inisiatif sosial yang bisa dieksekusikan oleh perusahaan adalah: 1. Cause Promotions, dalam bentuk memberikan kontribusi dana atau penggalangan dana untuk meningkatkan kesadaran akan masalah-masalah sosial tertentu seperti, misalnya, bahaya narkotika. 2. Cause-Related marketing, bentuk kontribusi perusahaan dengan menyisihkan sepersekian persen dari pendapatan sebagai donasi bagi masalah sosial tertentu, untuk periode waktu atau waktu tertentu. 3. Corporate Social Marketing, Disini perusahaan membantu pembangunan maupun implementasi dari kampanye dengan fokus untuk mengubah perilaku tertentu yang mempunyai pengaruh negatif, seperti misalnya kebiasaan berlalu lintas yang beradab. 4. Corporate Philantrhopy, adalah inisiatif perusahaan dengan memberikan kontribusi langsung kepada suatu aktivitas amal, lebih sering dalam bentuk donasi ataupun sumbangan tunai. 5. Community Volunteering, dalam aktivitas ini perusahaan memberikan bantuan dan mendorong karyawan, serta mitra bisnisnya untuk secara sukarela terlibat dan membantu masyarakat setempat. 6. Socially responsible business practice, ini adalah sebuah inisiatif dimana perusahaan mengadopsi dan melakukan praktik bisnis tertentu serta investasi yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas komunitas dan melindungi lingkungan. 2.2 Akuntansi Sosial Akuntansi sosial telah ada sebelum tahun 1960-an, namun dorongan utama dari bentuk akuntansi ini dapat diidentifikasi terutama pada tahun 1960-an dan 1970an, yaitu ketika Milton Freedman (1962) dan para pengikutnya berpendapat bahwa perusahaan telah memberikan kontribusi yang khusus kepada masyarakat dengan berusaha untuk memaksimalkan laba dengan menyediakan barang dan jasa yang diinginkan masyarakat (sekalipun pada tingkat harga yang memberikan beberapa pengaruh sosial yang negatif). Pendapat-pendapat tersebut bagi pertanggungjawaban sosial perusahaan justru mencerminkan perubahan dalam harapan masyarakat. Selama tahun 1960-an dan 1970-an, kepercayaan masyarakat dalam perilaku, tujuan, keuntungan, dan etika perusahaan jatuh secara dramatis (Szepan:1980). Perhatian yang meningkat terhadap kepuasan bekerja, komunikasi yang stabil, populasi dan penggunaan SDA. Pemerintah, universitas, sekolah, organisasi, masyarakat dan perusahaan itu sendiri pun mulai menaruh perhatian pada pengaruh sosial dari perusahaan dan mulai mengevaluasi kinerja perusahaan dari segi ekonomi dan sosial, karena perubahan tersebut pula banyak perusahaan diberbagai negara mulai mengungkapkan dan mulai menyajikan dampak sosial perusahaan dalam laporan dengan berbagai bentuk. 2.2.1. Pengertian Akuntansi Sosial Akuntansi Sosial merupakan suatu cara untuk menilai suatu organisasi (perusahaan) dan hubungan yang diciptakan antara internal dan eksternal suatu komunitas atau stakeholders. Ramanathan (1976) dalam bukunya “Toward a heavy of Corporate Social Accounting” mengemukakan bahwa: “Social accounting is the process of selecting firm-level social performance variables, measures, and measurement procedures; systematically developing information useful for evaluating the firm’s social performance; and communicating such information to concerned social groups, both within and outside the firm”. Selain itu Gray, Owen, dan Maunders (1987) Mendefinisikan Akuntansi sosial lebih kepada suatu proses komunikasi atas dampak ekonomi suatu perusahaan kepada lingkungan sosialnya seperti halnya yang dikemukakan oleh Gray, Owen dan Adam (1996) sebagai berikut: “The process of communicating the social and environmental effects of organizations economic action to particular interest group within society and to society at large. As such it involves extending the accountability to organizations (particularly companies), beyond the traditional role of providing a financial account to the owner of capital, in particular, shareholders, such an extension is predicted upon the assumption that companies do have wider responsibilities than simply to make maney for shareholders.” Menurut Parker (1989:169-170) menyebutkan : “Social accounting is defined as the construction and maintenance of organizational social information system designed to evaluate an organization’s social impact, assess the effectiveness of its programs, and report upon the overall discharge of its social responsibilities.” Parker (1989:169) juga mengemukakan bahwa akuntansi untuk dampak sosial organisasi itu mencakup: 1. Assessing impact of corporate activities 2. Measuring effectiveness of corporate social programs 3. Reporting upon on organization’s discharging of its social responsibility. 4. Providing an internal and external information system that allow a comprehensive assessment of all organizational resources and impact (social and economics) Menurut Belkaoui (1993:435) bahwa: “Akuntansi sosial adalah proses pengurutan, pengukuran dan pengungkapan pengaruh yang kuat dari pertukaran antar suatu perusahaan dan lingkungan sosialnya. Akuntansi sosial adalah ekspresi suatu tanggumg jawab perusahaan.” Menurut Linowes, seperti yang dikutip oleh Belkaoui (1993:435), mendefinisikan akuntansi sosial sebagai penerapan akuntansi dibidang ilmu sosial yang meliputi ilmu pengetahuan masyarakat, ilmu pengetahuan politik, dan ilmu pengetahuan ekonomi. Freedman dalam tulisannya “Social Accounting” mengatakan bahwa sehubungan dengan kinerja usaha (business performance), akuntansi sosial berarti: “…identifying, measuring and reporting on the relationship between business and its environment. The business environment includes natural resources, the community in which it operates, the people it employs, its costumers, competitors, and other firms and groups with which it deals. The reporting process can be both external and internal” (dalam siegel and Ramanauskan, 1991:499). Definisi lain yang mengatakan bahwa akuntansi sosial merupakan suatu pengertian yang sistematis atas akibat dari berdirinya suatu perusahaan terhadap lingkungan sekitar perusahaan tersebut menggunakan sumber daya manusia serta finansial dan komunitas yang ada disekitar perusahaan tersebut berdiri, seperti yang dikemukakan oleh Quarter, mook,& Richmond (2003) yang menyebutkan bahwa: “Social accounting is a systemathic analysis of the effects of an organizations on its communities of interest of stakeholders, with stakeholders input as part of the data that are analyzed for the accounting statement.” Akuntansi sosial pun mengacu pada pengertian akuntansi seperti halnya akuntansi konvensional yang akan bermuara pada pengungkapan suatu pelaporan yang mencakup proses identifikasi, pencatatan, pengukuran, dan pengungkapan yang membedakannya adalah kata sosial itu sendiri. Hal ini dapat dipahami karena akuntansi sosial itu merupakan bagian atau lingkup yang baru yang lebih luas dari akuntansi keuangan konvensional. Pelaporan dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu pengungkapan dalam laporan keuangan, melalui format terpisah, atau melalui audit sosial. 2.2.2. Tujuan Dan Lingkup Akuntansi Sosial Tujuan akuntansi sosial adalah untuk mengukur dan mengungkapkan biaya serta manfaat yang ditimbulkan oleh kegiatan produksi perusahaan, dengan kata lain untuk menginternalisasi biaya dan manfaat sosial agar dapat menilai laba sosial ekonomi yang lebih komprehensif dan relevan dengan tuntutan lingkungan. Tujuan akuntansi sosial menurut Belkaoui (1993:435) sebagai berikut: “mengukur dan mengungkapkan dengan tepat seluruh biaya dan manfaat bagi masyarakat yang ditimbulkan oleh aktivitas-aktivitas yang berkaitan denga produksi suatu perusahaan. Lebih tepatnya bertujuan menginternalisir biaya sosial dan manfaat sosial tersebut agar dapat menentukkan suatu hasil yang lebih relevan dan sempurna, yang merupakan keuntungan sosial suatu perusahaan.” Menurut Belkaoui (1993:436) pun menyebutkan klasifikasi lingkup pengungkapan dampak sosial perusahaan yang mengutip pernyataan The National Association of Accountants Committee an Accounting for Corporate Social Performance, adalah sebagai berikut: a. Yang melibatkan masyarakat, mencakup aktivitas yang pada dasarnya menguntungkan masyarakat umum, Seperti kedermawanan, pembuatan perumahan, pelayanan kesehatan, kegiatan sukarela para karyawan, program pemberian makanan, dan perencanaan serta perbaikan masyarakat. b. Klasifikasi sumber daya manusia yaitu program pendidikan dan pelatihan serta program perluasan tenaga kerja, kondisi kerja, kebijaksanaan kenaikan pangkat, tunjangan karyawan. c. Klasifikasi sumber fisik dan sumbangan lingkungan, yaitu mengenai kualitas udara dan air, pengendalian polusi suara, dan pelestarian lingkungan hidup. d. Sumbangan produk atau jasa, memperhatikan pengaruh produk atau jasa perusahaan terhadap masyarakat, dengan memperhatikan beberapa pertimbangan seperti kualitas produk, pembungkus produk, periklanan, ketentuan garansi, dan keamanan produk. 2.2.3. Hubungan Antara Akuntansi Sosial Dengan Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan Sukses dunia bisnis dalam globalisasi amatlah fenomental. George G Brenkert menyatakan, 51 dari 100 kekuatan ekonomi terbesar di dunia bukanlah negara, tetapi entitas bisnis. Wacana tentang tanggung jawab dunia bisnis bagi pemangku kepentingan juga meningkat amat fenomental (Brenkert, Corporate integrity and Accountability, 2004). Istilah pertanggungjawaban sosial bisa bermacam-macam, seperti etika bisnis, corporate citizenship, corporate sustainability, triple bottom line, stakeholders dialogue, corporate social responsibility, corporate stewardship. Istilahistilah tersebut memiliki relevansi dengan prinsip-prinsip berbisnis yang socially responsible. Istilah-istilah yang ada, tanggung jawab bisnis lebih dikenal secara luas dengan istilah corporate social responsibility (CSR) serta istilah tersebut diasumsikan mengacu kepada pengertian yang sama. Menurut Mobley (Accounting Review, Oktober 1970: 767) dalam tesisnya bahwa: “Teknologi suatu sistem perekonomian meletakkan suatu struktur pada masyarakatnya yang tidak hanya menentukkan aktivitas perekonomiannya, tetapi juga mempengaruhi hubungan sosialnya dan kesejahteraannya. Oleh karenanya suatu pengukuran yang terbatas pada konsekuensi ekonomi saja tidaklah memadai sebagai suatu penaksir hubungan sebab akibat sistem semesta: pengukuran ini mengabaikan pengaruh (akibat) sosial perusahaan.” (Belkaoui, 1993:434) Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa untuk melakukan pengukuran terhadap pertanggungjawaban sosial perusahaan (CSR) tidak dapat hanya dilakukan dengan akuntansi keuangan konvensional yang hanya terbatas mengukur kondisi keuangan saja maka akuntansi sosial muncul sebagai alat untuk mengukur dan melaporkan pertanggungjawaban sosial perusahaan dan mengoreksi penjabaran transaksi sosial yang dilakukan oleh akuntansi keuangan konvensional. 2.3 Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yang sering juga disebut sebagai social disclosure, Corporate Social Reporting, Social Accounting (Mathews, 1995) atau Corporate Social Responsibility (Hackston dan Milne, 1996) merupakan suatu penggambaran dampak dari kegiatan ekonomi yang dilakukan perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya, atau menurut (Grey et. Al., 1987) merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungannya dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Hal tersebut memperluas tanggung jawab organisasi (khususnya perusahaan), diluar peran tradisionalnya untuk menyediakan laporan keuangan kepada pemilik modal, khususnya pemegang saham. Perluasan tersebut dibuat dengan asusmsi bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab yang lebih luas dibanding hanya mencari laba untuk pemegang saham. Pengungkapan sosial merupakan salah satu bentuk dari tiga model pelaporan sosial, yang terdiri dari format pelaporan terpisah, perluasan laporan keuangan (pengungkapan sosial), dan format audit sosial. Sebagaimana disarankan oleh PSAK No. 1 Tahun 1998 (revisi), “Perusahaan dapat juga menyajikan laporan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting.” Maka pengungkapan sosial merupakan salah satu bentuk dari laporan tambahan (value added statement) yang disusun guna meningkatkan karakteristik kualitatif laporan keuangan. 2.3.1. Motivasi dan Alasan perusahaan Dalam Pengungkapan Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan Setiap perusahaan melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dengan motivasi dan alasan sebagai berikut: 1. Untuk menciptakan kesan yang baik bagi perusahaan 2. Untuk mendukung kesinambungan bisnis perusahaan 3. Untuk meningkatkan legitimasi perusahaan dihadapan stakeholders 4. Sebagai upaya untuk meminimalisir resiko bisnis. Lindblom (1994, dalam Ahmad dan Rahim, 2002) lebih mengutamakan teori legitimasi sebagai motivasi perusahaan untuk mengungkapkan aktivitas sosial, sehingga motivasi teori legitimasi ini merupakan upaya perusahaan untuk memperoleh public acceptance dan memperlihatkan kredibilitas perusahaan terhadap stakeholders. Upaya ini merupakan respon perusahaan terhadap kerasnya persaingan di era globalisasi dan era liberalisasi yang menurut good business practices. 2.4 . kepemilikan Institusional Institutional ownership (kepemilikan institusional) adalah kepemilikan saham perusahaan oleh institut seperti perusahaan asuransi, Bank, Dana pensiun, dan investment Banking atau merupakan persentase saham yang dimiliki suatu institusi atas perusahaan yang akan diteliti. Pound (1988) menyatakan bahwa institutional ownership sangat berpengaruh tidak hanya terhadap kinerja keuangan perusahaan tapi juga berpengaruh dalam menetapkan strategi, aktivitas, dan stakeholder lainnya seperti pada pernyataan yaitu: “institutional stakeholder investment are so large that they have less ability thn individual shareholders to move quickly in and out off investment in a firm without affecting share prices. As a result, these institutional investor have a strong interest not only in the financial performance of the firmin which they invest , but also in the strategies, activities and other stakeholders of the firm”. Turban (1997) menambahkan bahwa institutional investor akan mendapatkan manfaat jangka panjang jika perusahaan menerapkan CSR seperti menjaga kualitas produk, peduli akan lingkungan, komunitas, dan orang-orang yang mereka pekerjakan. Perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi cenderung akan menarik investor, karena perusahaan tersebut dinilai memiliki resiko yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki tanggung jawab sosial. Terutama investor yang bertipe risk-seeker yang lebih memilih resiko yang kecil, akan tetapi hal tersebut dalam jangka panjang akan berubah sesuai dengan kinerja perusahaan, jika kinerja perusahaan meningkat maka jumlah Institutional investors akan meningkat pula demikian sebaliknya. Kepemilikan institusional diukur dengan menghitung rasio kepemilikan saham perusahaan oleh suatu institusi 2.5. Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan atau skala perusahan pada dasarnya adalah pngelompokan perusahaan kedalam beberapa kelompok, diantaranya perusahaan besar, sedang dan kecil. Thawakkal (1992) menyatakan, skala perusahaan merupakan ukuran yang dipakai untuk mencerminkan besar kecilnya perusahaan. Ukuran perusahaan menggambarkan besar kecilnya suatu perusahaan, dapat ditunjukan oleh total aktiva, jumlah karyawan, jumlah penjualan, rata-rata tingkat penjualan, dan rata-rata total aktiva (Ferri and Jones, 1979 dalam jaelani dkk.,2001). Menurut Clapham (1996), ukuran perusahaan yang biasa dipakai untuk menentukan tingkatan perusahaan adalah: - Tenaga kerja, merupakan jumlah pegawai tetap dan honorer yang terdaftar atau bekerja di perusahaan pada suatu saat tertentu. - Tingkat penjualan, merupakan volume penjualan suatu perusahaan pada suatu periode tertentu, misalnya satu tahun. - Total hutang ditambah dengan nilai pasar saham biasa perusahaan yang merupakan jumlah hutang dan nilai pasar saham biasa perusahaan pada saat atau suatu tanggal tertentu. - Total aktiva (assets) yang merupakan keseluruhan aktiva yang dimiliki perusahaa pada saat tertentu. Seperti skala perusahaan yang dikemukakan diatas, Biro pusat statistik (BPS 1999) mengelompokkan tingkatan skala perusahaan berdasarkan jumlah tenaga kerja perusahaan yaitu sebagai berikut: Skala perusahaan jumlah tenaga kerja Industri rumah tangga 1 – 4 orang Industri kecil 1 – 19 orang Industri menengah 20 – 99 orang Industri besar 100 orang keatas Pengelompokan perusahaan atas dasar tingkat penjualan adalah sebagai berikut: Skala perusahaan tingkat penjualan per tahun Besar > Rp 10 milyar Sedang Rp 3 – 10 milyar Kecil < Rp 3 milyar Menteri perindustrian dengan SK No.13/M/SK-1/S/1990 tanggal 14 maret 1990 mengelompokan perusahaan dengan didasarkan pada nilai asset yang dimiliki perusahaan seperti yang diatur dalam pasal 9 ayat 1 yang menyatakan bahwa: “Kriteria bidang usaha dengan kelompok industri kecil adalah (a) nilai kekayaan perusahaan seluruhnya yidak lebih dari 600 juta rupiah, tidak termasuk nilai rumah dan tanah yang ditempati, (b) pemilik adalah warga Negara Indonesia”. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perusahaan yang memiliki asset 600 juta atau lebih, dapat dikelompokan kedalam industri menengah dan besar. Ukuran perusahaan yang didasarkan pada total asset yang dimiliki perusahaan diatur dengan ketentuan Bapepem no.11/PM/1997, yang menyatakan bahwa: “perusahaan menengah atau kecil adalah perusahaan yang memiliki jumlah kekayaan (total asset) tidak lebih dari 100 milyar rupiah”. Penelitian yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan juga, dinyatakan oleh Belkaoui dan Karpik (1989), Adam et. AI., (1995,1998), Hackston dan Milne. Tidak semua penelitian mendukung hubungan antara ukuran perusahaan dengan pengungkapan sosial, antara lain Hackston dan Milne (1996), Roberts (1992), Sigh dan Ahuja (1983), Davey (1982) dan Ng (1985), Guthrie dan Mathews (1985). Jumlah karyawan adalah ukuran kriteria ukuran organisasi yang paling umum digunakan oleh peneliti (DeLone, 1988). Penelitian ini ukuran organisasi diukur dengan jumlah karyawan (soegiharto, 2001). Cara menghitung Ukuran perusahaan adalah dengan mencari rasio dari jumlah karyawan yang ada pada perusahaan tersebut. 2.6 Pengaruh Kepemilikan Institusional Terhadap Pengungkapan Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan Kepemilikan asing dalam perusahaan merupakan pihak yang dianggap concern terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Seperti diketahui, negara-negara luar terutama Eropa dan United State merupakan negara-negara yang sangat memperhatikan isu-isu sosial; seperti pelanggaran hak asasi manusia, pendidikan, tenaga kerja, dan isu lingkungan seperti, efek rumah kaca, pembalakan liar, serta pencemaran air. Hal ini juga yang menjadikan dalam beberapa tahun terkhir ini, perusahaan multinasional mulai mengubah perilaku mereka dalam beroperasi demi menjaga legitimasi dan reputasi perusahaan. Struktur kepemilikan lain adalah kepemilikan institusional, dimana umumnya dapat bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar (lebih dari 5%) mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan dan diharapkan juga dapat bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan oleh manajemen (Faizal, 2004 dalam Arif, 2006). Hal ini berarti kepemilikan institusi dapat menjadi pendorong perusahaan untuk melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial. Penelitian Tanimoto dan Suzuki (2005) dalam melihat luas adopsi GRI dalam laporan tanggung jawab sosial pada perusahaan publik di Jepang, membuktikan bahwa kepemilikan asing pada perusahaan publik di Jepang menjadi faktor pendorong terhadap adopsi GRI dalam pengungkapan tanggung jawab sosial, Sedangkan penelitian Susanto (1994) dan Marwata (2006) meneliti luas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan perusahaan yang terdaftar di BEI, menemukan pemilikan saham oleh investor asing dalam penelitian ini tidak memiliki hubungan dengan luas pengungkapan sukarela. Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan oleh institusi keuangan, seperti perusahaan asuransi, bank, dana pensiun, dan asset menejemen (Koh, 2003; Veronica dan Bachtiar, 2005). Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer. Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar (lebih dari 5%) mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen (Arif, 2006). Hal yang sama juga dikemukan oleh Shleifer and Vishny (1986) dalam Barnae dan Rubin (2005) bahwa institutional shareholders, dengan kepemilikan saham yang besar, memiliki insentif untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan. Berdasarkan teori diatas maka, penelitian ini menunjukkan hipotesis sebagai berikut : Ha: Terdapat pengaruh yang positif dari kepemilikan institusional terhadap pengungkapan pertanggungjawaban sosial perusahaan. 2.7 Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Pengungkapan Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan Ukuran perusahaan merupakan variabel yang banyak digunakan untuk menjelaskan variasi pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan. Hal ini dikaitkan dengan teori agensi, dimana perusahaan besar yang memiliki biaya keagenan yang lebih besar akan mengungkapkan informasi yang lebih luas untuk mengurangi biaya keagenan tersebut. Perusahaan besar merupakan emiten yang banyak disoroti, pengungkapn yang lebih besar merupakan pengurangan biaya politis sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan. Tidak semua peneliti mendukung hubungan antara ukuran perusahaan dengan tanggung jawab sosial perusahaan. Penelitian yang tidak berhasil menunjukkan hubungan kedua variabel ini seperti yang disebutkan oleh Hackson dan Milne (1996) antara lain Roberts (1992), Sigh dan Ahuja (1983). Davey (1982) dan Ng (1985) juga tidak menemukan hubungan antara variabel ini dan hal tersebut menurut Guthrie dan Mathews (1985) mungkin disebabkan oleh rendahnya jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian tersebut. Penelitian yang berhasil menunjukkan hubungan kedua variabel antara lain Belkoui dan Karpik, Adam et. al., (1995,1998), Hackston dan Milne (1996), Kokubu et. al., (2001), Hasibuan (2001) dan Gray et. al., (2001). Secara umum menurut Gray et. al., (2001), kebanyakan penelitian yang dilakukan mendukung hubungan antara ukuran perusahaan dengan tanggung jawab sosial perusahaan. Berdasarkan teori agensi, maka penelitian ini menunjukkan hipotesis subagai berikut : Ha : Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap pertanggungjawaban sosial perusahaan Kepemilikan Institusional Ukuran Perusahaan Pengungkapan Tanggung Jwab Sosial Perusahaan pengungkapan