BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah merupakan awal pelaksanaan konsep otonomi daerah, sebagai wujud proses desentralisasi dalam rangka pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Undang-undang tersebut kini telah direvisi menjadi UndangUndang Nomor 32 tahun 2004. Implikasi Undang-Undang tersebut ialah daerah memiliki porsi kewenangan yang sangat besar dibandingkan dengan era sebelumnya. Pasal 18 UU No.32 tahun 2004 menyatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut. Kewenangan pengelolaan wilayah laut diberikan kepada provinsi sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau perairan kepulauan dan sepertiganya untuk wilayah kewenangan laut kabupaten/kota. Berdasarkan kewenangan pengelolaan laut yang dapat diterima oleh daerah, maka penting bagi pemerintah daerah sebagai pelaksana utama otonomi untuk memahami, mengatur, dan menetapkan wilayah kewenangannya di wilayah laut. Kondisi ini berkaitan erat dengan hak mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di laut sehingga dapat dikelola secara maksimal (Arsana, 2005). Aspek tata batas wilayah laut yakni penetapan dan penegasan batas di wilayah laut menjadi suatu aktivitas yang bernilai strategis, hal ini diungkapkan oleh Sugito (2008) mengingat tingginya nilai suatu wilayah bagi pemerintah daerah, tidak hanya bagi daerah yang bersangkutan namun bagi daerah-daerah yang berbatasan pula. Untuk melaksanakan penegasan batas daerah ditetapkan peraturan berupa “Pedoman Penegasan Batas Daerah” melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (selanjutnya disebut Permendagri) Nomor 1 tahun 2006. Penetapan Permendagri ini didasarkan pula pada urgensi penentuan luas wilayah suatu daerah. Luas wilayah suatu daerah merupakan salah satu parameter dalam menentukan besar Dana Alokasi Umum yang diterima oleh tiap-tiap daerah sesuai dengan UU No.33 tahun 2004 1 2 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Permendagri No.01 tahun 2006 berisi mengenai ketentuan dan acuan teknis dalam pelaksanaan penegasan batas daerah baik di darat maupun di laut. Permendagri ini telah digunakan sebagai acuan bagi pemerintah daerah selama enam tahun terakhir. Permendagri No.01 tahun 2006 kini dicabut dan dibatalkan dengan telah diundangkannya Permendagri baru yakni Permendagri No.76 tahun 2012 pada tanggal 14 Desember tahun 2012. Pertimbangan adanya revisi peraturan ini disebutkan bahwa Permendagri No.01 tahun 2006 tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan kurang memadai dalam proses percepatan penyelesaian batas daerah. Pergantian peraturan mengakibatkan ketentuan dan pedoman dalam penegasan batas daerah, khususnya batas daerah di wilayah laut mengalami perubahan. Salah satu ketentuan yang diubah yakni berkaitan dengan acuan penarikan garis batas kewenangan pengelolaan laut daerah, sehingga perbedaan garis acuan tersebut memungkinkan untuk menghasilkan konfigurasi garis batas yang berbeda. Perbedaan penerapan garis acuan pada kedua Permendagri tersebut, melatarbelakangi perlu adanya kajian penegasan batas kewenangan pengelolaan wilayah laut daerah yang dilakukan secara kartometrik. Kartometrik, dalam bahasan ini memiliki makna melakukan penegasan batas kewenangan pengelolaan wilayah laut daerah di atas peta laut. I.2. Rumusan Masalah Perubahan mengenai pedoman penegasan batas daerah dengan pencabutan Permendagri No.01 tahun 2006 dan pemberlakuan Permendagri No.76 tahun 2012 memberikan perubahan terhadap metode dan hasil penegasan batas kewenangan pengelolaan wilayah laut daerah. Bertolak pada kondisi adanya perbedaan prinsip mengenai penggunaan garis acuan yang digunakan dalam penarikan klaim batas kewenangan pengelolaan daerah di wilayah laut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari perubahan penerapan garis acuan terhadap hasil penegasan batas kewenangan pengelolaan wilayah laut suatu daerah. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis memiliki fokus pertanyaan penelitian yaitu, sebagai berikut: 3 1. Seberapa besar perbedaan luas area pertampalan klaim daerah di wilayah laut yang dihasilkan atas dasar Permendagri No.01 tahun 2006 dan Permendagri No.76 tahun 2012? 2. Seberapa besar perbedaan luas kewenangan pengelolaan daerah di wilayah laut yang dihasilkan atas dasar Permendagri No.01 tahun 2006 dan Permendagri No.76 tahun 2012? 3. Bagaimana perbedaan posisi garis batas daerah di wilayah laut yang dihasilkan atas dasar Permendagri No.01 tahun 2006 dan Permendagri No.76 tahun 2012? I.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perbedaan penerapan garis acuan sesuai dengan ketentuan Permendagri No.01 tahun 2006 dan Permendagri No.76 tahun 2012, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu, sebagai berikut : 1. Mengetahui besar perbedaan luas area pertampalan klaim daerah di wilayah laut. 2. Mengetahui besar perbedaan luas kewenangan pengelolaan daerah di wilayah laut. 3. Mengetahui perbedaan posisi garis batas daerah di wilayah laut. I.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain sebagai berikut: 1. Sebagai salah satu tulisan yang dapat dijadikan referensi terkait penegasan kewenangan pengelolaan laut daerah bagi pemerintah daerah maupun instansi yang berwenang. 2. Memberikan alternatif penegasan batas daerah di wilayah laut pada segmen batas yang saling berbatasan di lokasi penelitian. 4 I.5. Batasan Masalah Pembatasan masalah dalam pelaksanaan penelitian ini meliputi : 1. Lokasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah segmen batas provinsi saling berhadapan dan saling berdampingan. Lokasi penelitian untuk daerah pantai yang berbatasan saling berhadapan dipilih pada segmen batas Provinsi Jambi dengan Provinsi Kepulauan Riau, segmen batas Provinsi Riau dengan Provinsi Kepulauan Riau, dan segmen batas Provinsi Lampung dengan Provinsi Banten. Daerah provinsi berbatasan saling berdampingan dipilih pada empat segmen yakni, segmen batas Provinsi Jambi dengan Provinsi Riau dan Sumatera Selatan, serta segmen batas antara Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan Provinsi Banten dan Jawa Barat. 2. Penentuan garis batas dilakukan dengan prinsip sama jarak atau equidistance line dan prinsip median line dengan menggunakan tools Voronoi Diagram pada aplikasi Sistem Informasi Geografis. I.6. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai kajian penentuan batas kewenangan wilayah laut daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti, diantaranya Adnyana (2007), Purnomo (2007) dan Prabandari (2013). Ketiga penelitian tersebut merupakan skripsi yang membahas topik yang sama yakni penelitian untuk menentukan dan mengetahui cakupan daerah yang menjadi suatu kewenangan wilayah laut daerah tertentu secara kartometrik. Penelitian yang dilakukan oleh Adnyana (2007) dan Purnomo (2007) dilakukan berdasarkan Permendagri No.01 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah, sedangkan penelitian Prabandari (2013) dilakukan berdasarkan Permendagri No.76 tahun 2012 dan Permendagri No.01 tahun 2006. Penelitian yang dilakukan oleh Adnyana (2007) dengan judul “Delimitasi Batas Maritim Antara Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat” mengkaji cakupan kewenangan wilayah laut Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat 5 di Selat Lombok serta pengaruh penerapan garis dasar normal dan garis dasar lurus terhadap penarikan batas wilayah laut. Penelitian Adynana (2007) dilakukan dengan simulasi penarikan klaim di wilayah laut untuk masing-masing provinsi sejauh 12 mil laut berdasar penerapan garis dasar lurus dan normal, kemudian menentukan pertampalan klaim dalam simulasi tersebut, sehingga pada pertampalan tersebut dilakukan penentuan batas di wilayah laut dengan prinsip garis tengah (median line). Penelitian Adnyana (2007), menyimpulkan bahwa untuk provinsi dengan bentuk kepulauan, penggunaan jenis garis dasar lurus cenderung akan menambah luas klaim wilayah laut, sehingga penerapan garis pangkal lurus pada Provinsi Bali maupun Provinsi Nusa Tenggara Barat akan menguntungkan masing-masing provinsi tersebut karena dapat melakukan klaim wilayah laut lebih luas. Penelitian kedua yang dilakukan oleh Purnomo (2007) berjudul “Kajian Penentuan Batas Maritim Daerah antara Kabupaten Cilacap dengan Kabupaten Kebumen Berdasarkan Garis Dasar Normal dan Garis Dasar Lurus menggunakan Metode Ekuidistan”. Aspek yang dikaji dalam penelitian oleh Purnomo (2007) sama dengan penelitian oleh Adnyana (2007), begitu pula dengan teknis prosedural penelitian yang dilakukan serta perangkat lunak yang digunakan yakni Caris Lots. Perbedaan kedua penelitian tersebut adalah wilayah kajian yang diteliti. Penelitian Purnomo (2007) ialah kabupaten yang saling berdampingan dan berhadapan dengan laut lepas, sehingga untuk melakukan klaim di wilayah laut masing-masing kabupaten dapat dilakukan sejauh 1/3 dari 12 mil yakni 4 mil laut. Delimitasi atau penentuan batas di wilayah laut untuk daerah bertampalan antara kedua kabupaten dilakukan dengan menggunakan prinsip sama jarak (equidistance). Hasil penelitian Purnomo (2007) menyebutkan bahwa terdapat dua faktor yang berpengaruh dalam penentuan batas wilayah laut daerah yaitu distribusi titik dasar dan penerapan jenis garis dasar atau konfigurasi garis dasar yang digunakan. Penarikan batas maritim antara Kabupaten Cilacap dengan Kabupaten Kebumen berdasarkan garis dasar lurus lebih menguntungkan karena menghasilkan luasan yang lebih luas bila dibandingkan dengan penarikan berdasarkan garis dasar normal. Penelitian ketiga dilakukan oleh Prabandari (2013) berjudul “Delimitasi Batas Maritim Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali”. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini ialah mengenai luas wilayah pertampalan klaim Provinsi Jawa Timur 6 dan Provinsi Bali di selat Bali, serta perbandingan hasil penarikan batas di wilayah laut menggunakan prinsip median line berdasarkan penarikan garis pantai sesuai Permendagri No.76 tahun 2012 dan Permendagri No.01 tahun 2006. Penerapan prinsip median line dilakukan pada perbatasan daerah di wilayah laut saling berhadapan dengan menggunakan perangkat lunak Auto Cad dan Arc GIS. Penelitian Prabandari (2013) menyimpulkan bahwa penentuan batas wilayah laut antara Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali dilakukan dengan prinsip median line menghasilkan luas wilayah pertampalan apabila menggunakan garis kombinasi seluas 2.145,735 km2 dan dengan penerapan acuan garis pantai seluas 2.104,142 km2. Luas perairan pada wilayah pertampalan untuk Provinsi Jawa Timur berdasarkan penerapan garis pantai adalah 1.113,143 km2 dan untuk Provinsi Bali adalah 990,999 km2; untuk penerapan kombinasi garis dasar, luas perairan Provinsi Jawa Timur bertambah menjadi 1.145,260 km2 dan untuk Provinsi Bali luas perairannya bertambah menjadi 1.000,483 km2. Terdapat perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan penelitian yang dilakukan oleh ketiga peneliti sebelumnya. Penelitian yang dilakukan penulis ialah kajian penegasan batas daerah di wilayah laut berdasarkan penerapan “Pedoman Penegasan Batas Daerah” sesuai dengan Permendagri No.1 tahun 2006 dan Permendagri No.76 tahun 2012. Daerah penelitian yang digunakan dalam kajian bervariasi pada daerah berbatasan saling berhadapan dan daerah berbatasan saling berdampingan. Perangkat yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan penerapan prinsip penegasan batas di wilayah laut baik prinsip sama jarak (equidistance line) maupun median line menggunakan tools Voronoi Diagram pada aplikasi Sistem Informasi Geografis. I.7. Landasan Teori Dalam sub bab ini disajikan teori yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian kajian penegasan batas kewenangan pengelolaan wilayah laut daerah atas dasar Permendagri No.01 tahun 2006 dan Permendagri No.76 tahun 2012, yang meliputi tinjauan yuridis hukum nasional dalam penegasan batas daerah di wilayah laut, aspek teknis dalam penentuan batas kewenangan pengelolaan wilayah laut 7 daerah, prinsip penegasan klaim kewenangan pengelolaan daerah di wilayah laut, peta laut, penentuan garis batas dengan prinsip sama jarak menggunakan Voronoi diagram, dan perhitungan luas secara numerik. I.7.1. Tinjauan yuridis hukum nasional dalam penegasan batas daerah di wilayah laut Perjalanan bangsa Indonesia dalam menetapkan dasar hukum penegasan batas daerah di wilayah laut tidak serta merta muncul dengan sendirinya. Awal sejarah dalam penegasan batas daerah di wilayah laut dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Setelah Bangsa Indonesia merdeka selama 15 tahun mulai dari tahun 1945 hingga tahun 1960, Indonesia mewarisi prinsip hukum laut sama dengan yang diterapkan oleh Belanda yakni Ordonansi Hindia Belanda 1939. Ordonansi Hindia Belanda 1939 ini disebut Teritoriaie Zeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (Danurejo dalam Sjawie, 2001). Sjawie (2001) menjelaskan bahwa, berdasarkan prinsip-prinsip pada ordonansi ini setiap pulau di wilayah Indonesia hanya mempunyai wilayah laut territorial sejauh 3 mil laut dari garis pantai, sehingga laut yang memisahkan pulaupulau merupakan laut bebas. Hal ini sangat bertolak belakang dengan jiwa, maksud dan isi Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa Nusantara harus dipandang sebagai satu kesatuan. Selain itu, hal tersebut juga dirasa merugikan bagi Bangsa Indonesia sehingga pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Deklarasi Djuanda yang menyatakan bahwa negara Republik Indonesia merupakan Negara Kepulauan (Archipelagic State). Danusaputro dalam Sjawie (2001), menjelaskan bahwa publikasi Deklarasi Djuanda ini tidak mendapatkan perhatian khusus dari masyarakat Internasional, sebaliknya berbagai reaksi dan protes keras datang dari luar negeri. Hal ini disebabkan karena melalui Deklarasi ini, laut yang dahulunya merupakan bagian Laut Bebas berubah statusnya menjadi Perairan Pedalaman. Perjuangan Bangsa Indonesia dalam mempertahankan konsep Negara Kepulauan dilakukan pada Konferensi Hukum Laut I tahun 1958 di Jenewa dan Konferensi II tahun 1960. Sebelum pelaksanaan Konferensi II tahun1960, Indonesia memberlakukan prinsip Negara Kepulauan dalam sebuah undang-undang yakni Undang-Undang No.4/Prp./tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (Kusumaatmadja 8 dalam Sjawie, 2001). Pada hakekatnya undang-undang tersebut mengubah cara penentuan garis pangkal normal menjadi garis pangkal lurus dan menentukan bahwa lebar Laut Teritorial Indonesia adalah 12 mil laut (Sjawie, 2001). Adanya undangundang ini diharapkan lebih menegaskan konsep Negara Kepulauan yang akan disidangkan pada Konferensi II tahun 1960. Kusumaatmadja (1978) dalam Sjawie (2001) menjelaskan bahwa dalam kedua Konferensi Hukum Laut I dan II tidak memberikan uraian yang mendalam mengenai pengajuan Deklarasi Djuanda, bahkan mendapatkan protes dari wakil pemerintah USA karena dianggap mengurangi kebebasan di laut. Kusumaatmadja dalam Sjawie (2001) menjelaskan bahwa, protes negara maritim terhadap konsepsi Negara Kepulauan tersebut telah diantisipasi pada Deklarasi Djuanda yakni dengan memberikan garansi berupa hak lintas damai di wilayah perairan Indonesia bagi kapal asing yang melintas. Pada akhirnya Konferensi III Hukum Laut tahun 1982, pengajuan konsep Negara Kepulauan oleh Indonesia mendapatkan pengakuan dari masyarakat Internasioal. Konsep tersebut diakui melalui ketentuan mengenai Negara Kepulauan dan lebar laut territorial sejauh 12 mil laut yang dimuat dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 54 dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang dikenal dengan United Nations Convention on the Law of the Sea atau disebut UNCLOS III tahun 1982 (Sjawie, 2001). Pemerintah Indonesia meratifikasi Hukum Laut III 1982 ini dengan Undang-Undang No.17 tahun 1985. Kemudian, pada tanggal 8 Agustus 1996 UU No. 4/PRP/1960 dibatalkan dengan penerbitan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang isinya sangat umum, yaitu menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan Hukum Laut III 1982 serta tidak mencantumkan daftar koordinat titik-titik dasar pantai terluar dari pulau terluar wilayah Indonesia. Tindak lanjut dalam menjalankan konsep Negara Kepulauan, pada tanggal 16 Juni 1998 dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1998 tentang Koordinat Geografis Titik Dasar Kepulauan di Laut Nusantara. Sejalan dengan adanya desentaralisasi sebagai wujud pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maka dikeluarkan UndangUndang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. UU No.22 tahun 1999 mengatur ketentuan mengenai batas laut provinsi sejauh 12 mil laut dari garis pantai dan untuk kabupaten/kota sejauh sepertiga batas laut provinsi. Pada pelaksanaannya, 9 UU No.22 tahun 1999 ini tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru. UU No.22 tahun 1999 memunculkan istilah yang menimbulkan salah penafsiran mengenai batas daerah di wilayah laut, yakni dalam Undang-Undang ini menggunakan istilah “batas laut daerah”. Istilah tersebut banyak ditafsirkan oleh pemerintah daerah sama dengan membagi wilayah teritori bagi daerah seperti halnya wilayah administrasi di darat, padahal yang dimaksud sesungguhnya ialah mengatur kewenangan pusat dan daerah di wilayah laut (Arsana, 2005). Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi terbitnya UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti dari UU No.22 tahun 1999, dengan mengganti istilah “batas laut daerah” menjadi “kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut” (Arsana, 2005). Berkaitan dengan penegasan batas daerah di wilayah laut, UU No.32 tahun 2004 menjelaskan dalam pasal 18 ayat 1 bahwa, setiap daerah provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut tersebut dalam hal kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; pengaturan administratif; pengaturan tata ruang; penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; serta ikut dalam pemeliharaan keamanan dan pertahanan kedaulatan negara. Pasal 18 ayat 4 menyebutkan bahwa kewenangan untuk pengelolaan sumber daya di wilayah laut bagi daerah yakni paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Pasal 18 ayat 5 menyebutkan apabila wilayah laut antara dua provinsi kurang dari 24 mil laut, maka kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar dua provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi yang dimaksud. Ketentuan pada Pasal 18 ayat 4 dan ayat 5 menegaskan bahwa kewenangan pengelolaan di wilayah laut bagi kabupaten/kota yaitu sepertiga dari wilayah kewenangan provinsi, hal ini bukan berarti secara mutlak sejauh empat mil laut. 10 Kondisi ini terjadi apabila daerah provinsi tidak memungkinkan mengklaim wilayah laut secara penuh sejauh 12 mil laut. Klaim tidak dapat dilakukan secara maksimal akibat dari pembagian kewenangan wilayah laut pada daerah provinsi yang berbatasan dengan jarak kurang dari 24 mil laut. Pembagian kewenangan pengelolaan di wilayah laut tersebut menghasilkan klaim kewenangan pengelolaan bagi daerah di wilayah laut kurang dari 12 mil laut. Hal ini berarti, tidak mungkin bagi kabupaten untuk mengklaim kewenangan pengelolaan di wilayah laut sejauh empat mil laut, karena terdapat segmen batas yang lebar klaimnya tidak secara penuh sejauh 12 mil laut. Pelaksanaan penegasan batas daerah baik di wilayah darat maupun wilayah laut sesuai dengan UU No.32 tahun 2004, diatur dalam sebuah petunjuk teknis yang digunakan sebagai pijakan bagi daerah dan instansi yang berwenang. Peraturan pemerintah mengenai aturan dan petunjuk teknis dalam penegasan batas daerah ditetapkan oleh Kementerian Dalam Negeri melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) tentang “Pedoman Penegasan Batas Daerah”. Permendagri yang pertama ditetapkan adalah Permendagri No.01 tahun 2006 pada tanggal 12 Januari 2006. Penetapan Permendagri ini didasarkan pada perihal penegasan batas daerah harus dilakukan secara sistematis dan terkoordinasi dalam rangka penentuan batas secara pasti di lapangan sesuai dengan amanat UndangUndang Pembentukan Daerah. Kini Permendagri tersebut telah direvisi dengan Permendagri No. 76 tahun 2012 pada tanggal 14 Desember 2012. Pertimbangan pergantian Permendagri yang mengatur Pedoman Penegasan Batas Daerah menyebutkan bahwa Permendagri No.01 tahun 2006 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kurang memadai dalam proses percepatan penyelesaian batas daerah. Perubahan yang terjadi pada Permendagri ini, secara prinsip adalah menitikberatkan kepada proses penegasan batas. Penegasan batas sesuai dengan Permendagri No.01 tahun 2006 merupakan kegiatan penentuan batas secara pasti di lapangan, dimana kegiatan ini berarti harus ada pengukuran batas dilapangan. Berbeda halnya dengan peraturan yang tertuang dalam Permendagri No.76 tahun 2012 yang memperbolehkan penegasan batas daerah di wilayah laut dilakukan dengan metode kartometrik. Berdasarkan Permendagri No.76 tahun 2012 11 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah, “metode kartometrik dalam penegasan batas daerah di wilayah laut adalah penelusuran/ penarikan garis batas pada peta kerja dan pengukuran/ penghitungan posisi titik, jarak serta luas cakupan wilayah dengan menggunakan peta dasar dan peta-peta lain sebagai pelengkap”. Penegasan batas daerah ini dilakukan untuk menciptakan tertib adminisrasi pemerintahan yang dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti, baik dari aspek yuridis maupun aspek teknis. Selain perubahan mengenai proses penegasan batas daerah di wilayah laut, terjadi pula perubahan peraturan mengenai teknis penetapan dan penegasan batas daerah di wilayah laut dalam hal garis acuan penarikan klaim di wilayah laut, hal ini akan dijelaskan pada sub bab I.7.2 dan merupakan materi dasar kajian dalam penelitian ini. Perubahan peraturan juga terjadi pada pengaturan mengenai penyelesaian sengketa batas daerah, dimana pada Permendagri No.01 tahun 2006 masalah penyelesaian perselisihan batas daerah ini belum diatur secara rinci. Untuk Permendagri No.76 tahun 2012 telah mengatur secara rinci kewenangan dan tatacara dalam penyelesaian perselisihan batas daerah baik di wilayah darat maupun di wilayah laut. I.7.2. Aspek teknis dalam penegasan batas kewenangan pengelolaan wilayah laut daerah Penegasan batas kewenangan pengelolaan wilayah laut daerah tidak terlepas dari aspek-aspek teknis yang mengacu pada pedoman penegasan batas daerah yakni Permendagri yang mengatur hal tersebut. Aspek-aspek teknis penegasan batas kewenangan pengelolaan wilayah laut daerah pada tulisan ini disajikan berdasarkan aspek teknis yang diatur berdasarkan Permendagri No.01 tahun 2006 dan Permendagri No.76 tahun 2012, sehingga dapat diketahui perbedaan aspek teknis yang digunakan pada kedua Permendagri tersebut. Terdapat penggunaan beberapa istilah teknis yang berbeda untuk menyatakan suatu perihal yang sama, dan terdapat pula beberapa istilah teknis yang ditambahkan dan dihapus pada Permendagri baru. Adapun istilah teknis yang digunakan dalam Permendagri No.01 tahun 2006 adalah garis pantai, garis dasar, titik awal, titik sekutu, titik acuan, pulau, dan satuan. Untuk 12 istilah teknis yang digunakan dalam Permendagri No.76 tahun 2012 antara lain di tambahkan istilah titik dasar, namun dihapuskan istilah titik awal dan garis dasar. I.7.2.1. Garis pantai. Garis pantai adalah garis pertemuan antara daratan dan lautan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang tersedia pada peta dasar yakni peta laut. Garis pantai yang dimaksud merupakan garis air rendah (low water line) yang telah disajikan pada peta laut melalui survey batimetri dan pengukuran pasang surut dengan menggunakan datum vertikal tertentu, sesuai dengan UndangUndang No.32 tahun 2004 seperti yang tersaji pada Gambar I.1. Garis pantai dalam ketentuan Permendagri No.76 tahun 2012 dijadikan garis acuan atau baseline dalam melakukan penarikan klaim kewenangan pengelolaan daerah di wilayah laut. Berbeda halnya dengan ketentuan pada Permendagri No.01 tahun 2006 yakni garis pantai digunakan sebagai acuan dalam penarikan garis dasar. I.7.2.2. Titik dasar, titik awal, titik acuan dan titik sekutu. Berdasarkan perubahan Permendagri tentang “Pedoman Penegasan Batas Daerah”, terdapat perbedaan istilah yang digunakan untuk menunjukan perihal yang sama antara Permendagri baru dan Permendagri lama. Istilah titik dasar yang digunakan pada Permendagri No.76 tahun 2012 disebut sebagai titik awal pada Permendagri No.01 tahun 2006. Titik dasar ataupun titik awal merupakan titik koordinat yang terletak pada garis pantai yang digunakan untuk menentukan garis acuan penarikan klaim, guna mengukur batas daerah di laut yang ditarik tegak lurus dari garis pantai tersebut, seperti yang terlihat pada Gambar I.1. Sehingga dapat dikatakan bahwa, titik dasar ini mewakili batas terluar dari daratan dan digunakan dalam penentuan garis batas daerah di wilayah laut. Titik dasar ataupun titik awal ini dalam terminologi batas internasional disebut sebagai titik pangkal atau basepoint. Garis acuan penarikan klaim sesuai dengan Permendagri No.76 tahun 2012 menggunakan garis pantai seperti yang telah dijelaskan pada sub bab I.7.2.1, sedangkan Permendagri No.01 tahun 2006 menggunakan garis dasar yang dijelaskan pada sub bab I.7.2.3. Titik acuan merupakan titik ikat dari titik dasar, sehingga titik dasar yang berada pada zona pasang surut dilaut dapat direferensikan dengan koordinat titik acuan yang berada di darat, seperti yang terlihat pada Gambar I.2(a) dan Gambar 13 I.2(b). Sedangkan, titik sekutu merupakan tanda batas yang terletak di darat pada koordinat batas antar daerah provinsi, kabupaten/kota yang digunakan sebagai titik acuan untuk penegasan batas daerah di laut. Gambar I.1. Titik dasar dan garis pantai (Permendagri No.76, 2012) Garis Batas Daerah di Laut (a) (b) Gambar I.2. (a) Penarikan klaim di wilayah laut berdasarkan penerapan garis pantai sesuai Permendagri No. 76 tahun 2012 (Permendagri No.76, 2012); (b) penarikan klaim di wilayah laut berdasarkan penerapan garis dasar sesuai Permendagri No.01 tahun 2006 (Permendagri No.1, 2006) I.7.2.3. Garis dasar. Istilah garis dasar ini terdapat pada Permendagri No.01 tahun 2006, garis dasar merupakan garis yang menghubungkan antara dua titik awal dan terdiri dari garis dasar lurus dan garis dasar normal yang digunakan sebagai acuan dalam penarikan garis batas daerah di wilayah laut, seperti yang terlihat pada Gambar II.2 (b). Istilah garis dasar pada ketentuan Permendagri No.76 tahun 2012 tidak disebutkan, sebab acuan penarikan klaim kewenangan pengelolaan di wilayah 14 laut ditentukan berdasarkan garis pantai, seperti yang terlihat pada Gambar I.2 (a). Berdasarkan Gambar I.2 (a) dan I.2 (b) dapat terlihat perbandingan penerapan garis acuan penarikan klaim di wilayah laut berdasarkan Permendagri No.01 tahun 2006 dan Permendagri No.76 tahun 2012. Terminologi pada Permendagri No.76 tahun 2012 mengenai garis pantai sebagai garis acuan penarikan klaim di wilayah laut, dapat disamakan dengan garis dasar normal yang diatur pada Permendagri No.01 tahun 2006. Garis dasar normal yaitu garis yang berhimpit dengan garis pantai atau garis kontur nol antara dua titik awal, biasanya garis ini berbentuk kurva, seperti yang disajikan pada Gambar I.3. Penentuan garis batas dengan menggunakan garis dasar lurus apabila menghubungkan dua titik awal berdekatan dan berjarak tidak lebih dari 12 mil laut seperti pada Gambar I.3. Gambar I.3. Contoh penentuan titik awal garis dasar lurus dan garis dasar normal (Permendagri No.1, 2006) I.7.2.4. Pulau. Pulau yang dimaksud adalah merupakan daratan yang terbentuk secara alamiah dan senantiasa berada diatas permukaan laut saat pasang tertinggi. I.7.2.5. Satuan. Unit satuan yang digunakan dalam penentuan batas daerah di wilayah laut dibedakan menjadi satuan jarak dan satuan luas atau area. Satuan jarak yang digunakan adalah mil laut (nautical mile), dimana 1 mil laut sama dengan 1,852 meter, hal ini sesuai dengan hasil konferensi Hidrografi Internasional tahun 1929 yang telah disetujui oleh IHO. Satuan ukuran luas umumnya kilometer persegi (km2), bukan mil laut persegi (mil2) (IHO, 2006). I.7.3. Prinsip penegasan klaim kewenangan pengelolaan daerah di wilayah laut Penegasan batas daerah di wilayah laut bertujuan untuk memberikan kewenangan pengelolaan wilayah laut bagi masing-masing daerah yang dilaksanakan berdasarkan pedoman penegasan batas daerah. Prinsip penegasan batas daerah di 15 wilayah laut yang diatur pada pedoman penegasan batas daerah melalui Permendagri No.01 tahun 2006 tidak mengalami perubahan setelah dilakukan pergantian menjadi Permendagri No.76 tahun 2012. Dalam proses penarikan dan pengukuran batas kewenangan pengelolaan daerah di wilayah laut tentunya tidak semua daerah dapat melakukan penarikan klaim batasnya secara penuh sejauh 12 mil laut, hal ini dikarenakan kondisi wilayah Indonesia yang merupakan kepulauan dan terdapat 33 Provinsi di dalamnya, tentunya terdapat daerah-daerah yang saling berbatasan dengan jarak wilayah laut kurang dari 24 mil laut. Bertolak pada kondisi tersebut, maka penegasan batas kewenangan pengelolaan daerah di wilayah laut atau delimitasi batas di wilayah laut ini diperlukan. Berikut adalah ketentuan yang diatur untuk prinsip penegasan batas daerah di wilayah laut: a. Penarikan garis batas daerah di wilayah laut untuk suatu pulau ataupun gugusan pulau yang berjarak lebih dari dua kali 12 mil laut yang berada dalam satu provinsi, diukur secara melingkar dengan jarak 12 mil laut untuk provinsi dan sepertiganya untuk kabupaten/kota, seperti terlihat pada Gambar I.4. Gambar I.4. Penarikan garis batas pada pulau dan/atau gugusan pulau yang berjarak lebih dari dua kali 12 mil laut yang berada dalam satu provinsi (Permendagri No.76, 2012) b. Penarikan garis batas pada pulau yang berjarak kurang dari dua kali 12 mil dan berada dalam daerah provinsi yang berbeda, diukur menggunakan prinsip garis tengah (median line) seperti pada Gambar I.5 untuk daerah berbatasan saling berhadapan dan prinsip sama jarak (equidistance) untuk daerah berbatasan saling berdampingan. 16 Gambar I.5. Penarikan garis batas pada pulau yang berjarak kurang dari dua kali 12 mil laut yang berada pada provinsi yang berbeda (Permendagri No.76, 2012) c. Penentuan batas wilayah laut pada daerah berbatasan dengan pantai yang saling berdampingan dilakukan dengan menggunakan prinsip sama jarak (equidistance line). Metode delimitasi ini menggunakan dua garis yang memiliki jarak yang sama dari garis pangkal pada daerah pantai yang saling berdampingan, seperti yang terlihat pada Gambar I.6. Garis batas Daerah di wilayah Laut Gambar I.6. Prinsip sama jarak untuk daerah berbatasan saling berdampingan (Permendagri No.76, 2012) d. Penentuan batas wilayah laut pada daerah berbatasan dengan pantai yang saling berhadapan berjarak kurang dari 24 mil, dilakukan dengan menggunakan prinsip garis tengah (median line). Metode delimitasi ini menggunakan pada prinsipnya sama dengan prinsip sama jarak, hanya saja istilah median line 17 digunakan pada kondisi daerah pantai yang berhadapan atau berseberangan, seperi yang terlihat pada Gambar I.7. Garis batas Daerah di wilayah Laut Gambar I.7. Prinsip garis tengah untuk daerah berbatasan saling berhadapan (Permendagri No.76, 2012) Keterangan Gambar I.4 sampai dengan Gambar I.7 : Kewenangan pengelolaan laut provinsi Kewenangan pengelolaan laut kabupaten dan kota Daratan/pulau I.7.4. Peta Laut Berdasarkan Pedoman Penegasan Batas Daerah dalam Permendagri No.01 tahun 2006 maupun Permendagri No.76 tahun 2012 terdapat aturan mengenai penggunaan peta dasar yang digunakan dalam penetapan dan penegasan batas daerah di wilayah laut secara kartometrik, yakni sebagai berikut : 1. Peta Laut dan/ atau Lingkungan Laut Nasional (LLN) skala 1:500.000 untuk batas wilayah laut provinsi, 2. Peta Laut dan/ atau Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) skala 1:50.000 untuk batas daerah kabupaten dan kota. Peta laut atau nautical chart pada Technical Aspect of The Law on The Sea (2006) didefinisikan sebagai peta dengan tujuan khusus (special-purpose map) yang dirancang untuk navigasi atau tujuan khusus lainnya. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam kaitannya dengan peta laut adalah proyeksi peta, datum horizontal, dan datum vertikal. Proyeksi peta yang digunakan pada peta laut adalah 18 proyeksi merkator, yakni garis meridian dan parallel digambarkan dengan garis lurus yang berpotongan dengan sudut yang sebenarnya, sehingga akan mempertahankan azimuth dan sifat proyeksi merkator yang konformal akan mempertahankan bentuk asli di atas peta. Peta laut yang digunakan dalam penarikan batas wilayah laut adalah peta dengan skala yang memadai untuk penentuan garis pangkal dan diakui secara resmi keberadaannya oleh semua pihak yang terkait. Datum vertikal yang digunakan pada peta laut adalah garis air rendah (low water line) yang dijadikan dasar atau referensi untuk menyatakan kedalaman air dibawahnya. I.7.5. Penentuan garis batas dengan prinsip sama jarak menggunakan Voronoi diagram Voronoi diagram merupakan istilah yang diambil dari nama seorang matematikawan Rusia bernama Georgy Fedoseevich Voronoi, Voronoi mendefinisikan dan mempelajari kasus umum n-dimensional pada tahun 1908. Voronoi diagram dapat didefinisikan sebagai struktur geometris yang terbentuk dari titik terdekat yang berjarak sama (Okabe et al. 2000, Bertolotto-Leidinger & Hangouët 2003:88 dalam Casquer & Hangouët 2003). Hangouët (2003) menyatakan bahwa dilihat dari prinsip pembuatan struktur geometri Voronoi diagram, hal ini identik dengan prinsip median line maupun equidistance line yang merupakan himpunan setiap titik yang berjarak sama dari titik terdekat yang berasal dari garis pangkal atau garis dasar. Dengan kata lain, setelah unsur geometris berupa garis dasar diberikan, maka Voronoi diagram dapat melakukan perhitungan yang menghasilkan garis tengah. C A B Gambar I.8. Contoh pembuatan Voronoi diagram (Sarvottamananda, 2010) 19 Keterangan Gambar I.8 : s1, s2 dan s3 : titik acuan pembentukan Voronoi diagram V(s1), V(s2) dan V(s3) : Voronoi edge yang terbentuk setelah komputasi Voronoi diagram Gambar I.8 merupakan gambar langkah pembentukan Voronoi diagram berdasarkan tiga titik, beserta karakteristik dari hasil komputasi Voronoi diagram yang dijelasakan oleh Sarvottamananda (2010). Adapun langkah tersebut diawali dengan membuat Voronoi edge yang berupa poligon tertutup dimana setiap tepi Voronai edge tersebut merupakan garis tegak lurus yang membagi sama jarak antara dua titik acuan, untuk titik s1 dan s2 akan menghasilkan tepi Voronoi edge berupa garis A, untuk s1 dan s3 membentuk tepi Voronoi edge berupa garis B, sedangkan untuk tepi Voronoi edge berupa garis C dihasilkan dari titik s2 dan s3. Berdasarkan hasil poligon Voronoi edges V(s1), V(s2) dan V(s3) tersebut maka ketiganya akan berpotongan dan akan menghasilkan Voronoi vertex. Voronoi vertex tersebut memiliki jarak yang sama terhadap tiga buah titik acuan s1, s2 dan s3, hal ini digambarkan pada lingkaran yang melewati ketiga titik tersebut. Lingkaran tersebut memiliki titik pusat yang berupa Voronoi vertex, sehingga dikatakan bahwa jarak titik acuan ke Voronoi vertex adalah sebesar jari-jari lingkaran yang melewati titik acauan tersebut. Titik pada Voronoi vertex inilah yang kemudian dapat diidentifikasi sebagai titik tengah antara tiga titik acuan tersebut, hal ini sama dengan prinsip median line dan equidistance pada penentuan batas di wilayah laut. Perhitungan Voronoi diagram menurut Hangouët (2003) dihitung berdasar pada data titik atau segmen yang mewakili garis pantai dan garis dasar sehingga menghasilkan geometris yang terdiri dari potongan garis mediatrix (titik-titik equidistance), garis bisektor (segmen-segmen equidistance), dan busur parabola (point-segmen equidistance). Voronoi diagram dapat dihitung pula ketika daerah berbatasan yang ingin ditentukan tidak saling berhadapan, yaitu ketika daerah pantai yang berbatasan saling berdampingan atau adjacent dalam terminologi perbatasan maritim. Penyelesaian batas dengan menggunakan konstruksi Voronoi diagram memperhitungkan geometri baseline, sehingga ketika divisualisasikan Voronoi diagram menunjukkan pengaruh dan efek dari setiap detail dari bentuk baseline yang digunakan. 20 I.7.6. Perhitungan luas secara numeris Penegasan batas daerah di wilayah laut tentunya berkaitan dengan seberapa jauh dan seberapa luas bagi daerah untuk mendapatkan kewenangan pengelolaan di wilayah laut, sehingga diperlukan besaran yang dapat merepresentasikan hal tersebut. Besaran yang dapat merepresentasikan besar kewenangan pengelolaan daerah di wilayah laut yakni besaran luas. Luas dapat dihitung untuk mengetahui luas kewenangan pengelolaan suatu daerah di wilayah laut serta dapat pula digunakan untuk melakukan identifikasi luas area pertampalan klaim wilayah laut yang hendak ditentukan batasnya. Luas adalah jumlah areal yang terproyeksi pada bidang horisontal dan dikelilingi oleh garis-garis batas. Luas bidang yang dihitung didalam peta merupakan gambaran dari permukaan bumi dengan proyeksi ortogonal sehingga selisih-selisih tinggi dari titik batas diabaikan (Basuki, 2006). Dalam penelitian ini perhitungan luas daerah klaim kewenangan pengelolaan di wilayah laut daerah dilakukan berdasarkan prinsip metode numeris yaitu dengan koordinat. Dimisalkan sebidang areal yang dibatasi oleh titik-titik A(X1,Y1), B(X2,Y2), C(X3,Y3), dan D(X4,Y4). Maka luas segi empat ABCD dapat dihitung dengan cara sebagai berikut (Basuki, 2006): Apabila Gambar I.9 diproyeksikan terhadap sumbu-X, maka: Y B C A D B1 A1 D1 C1 X Gambar I.9. Luasan dengan angka koordinat (Basuki, 2006) 21 ……………..(I.1) Disederhanakan menjadi : ……………………….........(I.2) Apabila gambar di proyeksikan terhadap sumbu –Y maka akan menjadi : ……………………………..(I.3) Kedua rumus diatas dapat disederhanakan menjadi : ……………(I.4) I.8. Hipotesis Penerapan garis acuan penarikan klaim daerah di wilayah laut, yakni garis dasar kombinasi sesuai dengan Permendagri No.01 tahun 2006 dan garis pantai sesuai dengan Permendagri No.76 tahun 2012 akan mengakibatkan adanya perbedaan luas area pertampalan klaim daerah di wilayah laut, luas kewenangan pengelolaan daerah di wilayah laut, serta perbedaan posisi garis batas daerah di wilayah laut.