II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Budidaya Kacang Panjang Klasifikasi tanaman kacang panjang menurut Anto, 2013 sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Subkelas : Dicotyledonae Ordo : Rosales Famili : Leguminoceae Genus : Vigna Spesies : Vigna sinensis L. Tanaman kacang panjang memilki akar dengan sistem perakaran tunggang. Akar tunggang adalah akar yang terdiri atas satu akar besar yang merupakan kelanjutan batang. Sistem perakaran tanaman kacang panjang dapat menembus lapisan olah tanah pada kedalaman hingga 60 cm dan cabang-cabang akarnya dapat bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium sp. Untuk mengikat unsur nitrogen (N2) dari udara sehingga bermanfaaat untuk menyuburkan tanah. Kacang panjang dapat menghasilkan 198 kg bintil akar/tahun atau setara dengan 400 kg pupuk urea (Mandiri, 2011). Sebagian besar tanaman yang dibudidayakan adalah tanaman tetraploid. Ada dua bentuk tanaman utama, yaitu tipe menjalar dengan pertumbuhan merayap atau menyebar dan tipe semak dengan pertumbuhan agak lebih tegak dan kurang menyebar (Tindal, 1983). 5 6 Batang tanaman kacang panjang memiliki ciri-ciri liat, tidak berambut, berbentuk bulat, panjang, bersifat keras, dan berukuran kecil dengan diameter sekitar 0,6 – 1 cm. Tanaman yang pertumbuhannya bagus, diameter batangnya dapat mencapai 1,2 cm lebih. Batang tanaman berwarna hijau tua dan bercabang banyak yang menyebar rata sehingga tanaman rindang. Pada bagian percabangan, batang mengalami penebalan (Cahyono, 1986). Daun kacang panjang merupakan daun majemuk yang bersusun tiga helai. Daun berbentuk lonjong dengan ujung daun runcing (hamper segitiga). Tepi daun rata, tidak berbentuk, dan mememiliki tulang daun yang menyirip. Kedudukan daun tegak agak mendatar dan memiliki tangkai utama. Daun panjangnya antara 9 – 13 cm dan panjang tangkai daun 0,6 cm. permukaan daun kasar. Permukaan daun bagian atas berwarna hijau tua, sedangkan permukaan daun bagian bawah berwarna lebih muda. Ukuran daun kacang panjang sangat bervariasi, yakni panjang daun antara 9 – 15 cm dan lebar daun antara 5 – 8 cm ( Cahyono, 1986). Bunga tanaman ini terdapat pada ketiak daun, majemuk, tangkai silindris, panjang kurang lebih 12 cm, berwarna hijau keputih-putihan, mahkota berbentuk kupu-kupu, berwarna putih keunguan, benang sari bertangkai, panjang kurang lebih 2 cm, berwarna putih, Bunga tanaman kacang panjang tergolong bunga sempurna, yakni dalam satu bunga terdapat alat kelamin betina (putik) dan alat kelamin jantan (benang sari) kepala sari kuning, putik bertangkai, berwarna kuning, panjang kurang lebih 1 cm, dan berwarna ungu (Hutapea, 1994). Buah kacang panjang berbentuk polong, bulat, dan ramping, dengan ukuran panjang sekitar 10 - 80 cm. Polong muda berwarna hijau sampai keputih- 7 putihan, sedangkan polong yang telah tua berwarna kekuning-kuningan. Setiap polong berisi 8 - 20 biji (Samadi, 2003). Biji kacang panjang berbebtuk bulat panjang dan agak pipih, tetapi kadang – kadang juga terdapat sedikit melengkung. Biji yang telah tua memiliki warna yang beragam, yaitu kuning, coklat, kuning kemerah-merahan, putih, hitam, merah, dan putih bercak merah (merah putih), bergantung pada jenis dan varietasnya. Biji memiliki ukuran besar (panjang x lebar), yaitu 8-9 mm x 5-6 mm (Cahyono, 1986). 2.2 Mungbean Yellow Mosaic Virus (MYMV) Klasifikasi Mungbean Yellow Mosaic Virus (MYMV) sebagai berikut : Family : Geminiviridae Genus : Begomovirus Spesies : Mungbean Yellow Mosaic Virus MYMV adalah virus yang berasal dari famili Geminiviridae, genus Begomovirus yang sering menyerang tanaman budidaya. MYMV pertama kali dilaporkan berasal dari India yang kemudian menyebar keseluruh dunia (Khattak et al,. 2000). Di Indonesia, penyakit virus kuning pertama kali dilaporkan menyerang pertanaman tembakau pada tahun 1989. Virus gemini dikenal dengan berbagai nama antara lain penyakit brekele (Sumatera Barat dan Bengkulu), penyakit golkar (Jawa Tengah dan Jawa Timur), penyakit bule (Jawa Timur), dan penyakit kuning (di berbagai tempat). Virus kuning ini dapat ditemukan di dataran rendah 8 dari 100 m dpl hingga dataran tinggi di atas 1000 m dpl, dan dapat menyerang berbagai umur tanaman (Gunaeni dkk., 2008). 2.2.1 Vektor Geminivirus Serangga vektor sangat besar pengaruhnya dalam penyebaran penyakit. Suatu serangga dapat menjadi vektor dari beberapa virus, namun ada juga serangga yang hanya dapat menularkan satu virus. Satu virus juga dapat ditularkan oleh beberapa vektor (Pracaya, 2008). Serangga sebagai vektor virus dapat dibedakan menjadi serangga yang bersifat nonpersisten dan persisten. Serangga nonpersisten artinya penularan virus melalui stillet atau mulut serangga, setelah masa akuisisi serangga langsung dapat menularkan virus ke tanaman sehat, sesudah itu kemampuan serangga menularkan penyakit akan menurun. Jika kemudian serangga tersebut kembali menghisap tanaman sakit akan ada virus yang terhisap lagi dan akan ditularkan ke tanaman sehat lainnya. Sedangkan serangga persisten artinya virus dapat bertahan hidup didalam tubuh serangga. Virus tersebut dapat bersifat sirkulatif atau propagatif didalam tubuh serangga (Pracaya, 2008). Virus kuning (Geminivirus) ditularkan oleh kutu kebul Bemisia tabaci (Genn.). Penularan oleh serangga vektor kutu kebul sangat dipengaruhi oleh lamanya masa akuisisi serangga pada tanaman sakit, jumlah serangga dan lamanya periode inokulasi yang terjadi pada tanaman sehat. Kutu kebul menularkan virus kuning secara persisten (tetap) artinya sekali kutu kebul makan tanaman yang mengandung virus kuning, maka selama hidupnya dapat menularkan virus kuning. Gunaeni dkk., (2008) mengatakan periode makan 9 akuisisi (makan tanaman sakit untuk memperoleh virus) selama 30 menit, namun serangga tersebut dapat menularkan virus setelah 48 jam dari masa akuisisi. 2.2.2 Kisaran inang Geminivirus Tanaman inang merupakan tanaman yang digunakan oleh patogen untuk bertahan hidup dan berkembang, tanaman inang dapat berupa tanaman budidaya maupun gulma yang berada di sekitarnya. Tanaman inang dapat dibedakan menjadi tanaman inang utama dan tanaman inang alternatif. Tanaman inang utama adalah tanaman yang digunakan oleh patogen sebagai sumber nutrisi utamanya, dan tanaman inang alternatif adalah tanaman yang digunakan patogen untuk bertahan hidup selama tanaman inang utama tidak ada (Adinugroho, 2008). Berbagai inang virus kuning (Geminivirus asal Indonesia) antara lain adalah Ageratum conyzoides, Gomphrena globosa, Phaseolus vulgaris, Glycine max, Capsicum annuum, C. frutescens, Lycopersicon esculentum, L. pimpinellifolium, Nicotiana benthamiana, dan N. glutinosa (Gunaeni dkk., 2008). 2.2.3 Gejala infeksi Mungbean Yellow Mosaic Virus (MYMV) Gejala awal dari tanaman yang terinfeksi MYMV adalah dengan munculnya bercak kuning pada sekitar tulang daun muda yang kemudian menyebar keseluruh bagian daun (Auliya dkk., 2014.) Gejala yang ditimbulkan oleh virus gemini berbeda-beda, tergantung pada genus dan spesies tanaman yang terinfeksi. Gejala awal tanaman terinfeksi dapat dilihat pada daun muda atau pucuk berupa bercak kuning di sekitar tulang daun, kemudian berkembang menjadi urat daun berwarna kuning (vein clearing), 10 cekung dan mengkerut dengan warna mosaik ringan atau kuning. Gejala berlanjut hingga hampir seluruh daun muda atau pucuk berwarna kuning cerah, dan ada pula yang berwarna kuning bercampur dengan hijau, daun cekung dan mengkerut berukuran lebih kecil dan lebih tebal (Gunaeni dkk., 2008). Pada tanaman yang terinfeksi sangat keras bercak kuning tersebut dapat menyebar keseluruh bagian tanaman hingga ke bagian buahnya yang menyebabkan buah dari tanaman tersebut menguning dan menyebabkan malformasi sehingga ukurannya lebih kecil dari tanaman sehat. 2.3 Polymerase Chain Reaction ( PCR ) Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan metode untuk amplifikasi potongan DNA secara in vitro pada daerah spesifik yang dibatasi oleh dua buah primer oligonukleotida. Teknik ini mampu memperbanyak sebuah urutan 105106-kali lipat dari jumlah nanogram dari DNA template. PCR merupakan suatu reaksi in vitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut melalui bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu thermocycler. Panjang target DNA berkisar antara puluhan sampai ribuan nukleotida yang posisisnya diapit sepasang primer. Primer yang berada sebelum daerah target disebut sebagai forward primer dan yang berada setelah daerah target disebut reverse primer. Enzim yang digunakan sebagai pencetak rangkaian molekul DNA baru dikenal sebagai enzim polymerase (Muladno, 2010). 11 Dalam melakukan uji PCR terdapat tiga tahapan atau reaksi yang terjadi yaitu denaturasi, penempelan primer (annealing), dan pemanjangan primer (extension). Tahapan pertama dimulai dengan melakukan denaturasi DNA cetakan sehinggga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded) akan terpisah menjadi rantai tunggal (single stranded). Denaturasi DNA dilakukan dengan menggunakan panas (95ºC) selama 1-4 menit (Yuwono, 2006). Denaturasi yang tidak lengkap mengakibatkan DNA mengalami renaturasi (membentuk DNA untai ganda kembali) secara cepat, dan ini mengakibatkan gagalnya proses PCR. Adapun waktu denaturasi yang terlalu lama, mungkin dapat mengurangi aktivitas enzim Taq polymerase (Muladno, 2010). Tahap kedua yaitu penempelan primer (annealing) pada DNA cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal yang dilakukan pada suhu 55ºC selama 1 menit. Primer akan membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen primer (Yuwono, 2006). Pada tahapan ini, primer forward yang runutan nukleotidanya berkomplemen dengan salah satu untai tunggal akan menempel pada posisi komplemennya. Demikian juga primer reverse akan menempel pada untai tunggal lainnya (Muladno, 2010). Setelah kedua primer menempel pada posisinya masing-masing, enzim Taq polymerase mulai mensintesis molekul DNA baru yang dimulai dari ujung 3’ masing-masing primer (Muladno 2010). Sintesis DNA ini terjadi pada suhu 72ºC selama 1-2 menit. Pada suhu ini, DNA polymerase akan melakukan proses polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada DNA cetakan dengan bantuan enzim Taq DNA polymerase (Yuwono, 2006). 12 Setelah terjadi polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen dengan DNA cetakan. DNA rantai ganda yang terbentuk dengan adanya ikatan hidrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA baru hasil polimerasi selanjutnya akan didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu inkubasi menjadi 95ºC. Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya. Ketiga tahapan tersebut diulangi lagi sampai 25-30 siklus sehingga pada akhir siklus akan didapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan (Yuwono, 2006).