7 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah Pengembangan atau pembangunan didefinisikan sebagai upaya yang terkoordinasi dan sistematik untuk menciptakan suatu keadaan dimana terdapat lebih banyak alternatif yang sah bagi setiap warga negara untuk memenuhi aspirasinya yang paling humanistik yaitu peningkatan kesejahteraan (Sitorus, 2012). Dari sisi keberlanjutan atau sustainability, terdapat tiga sudut pandang terkait keberlanjutan dari sebuah pembangunan yaitu sudut pandang „literal‟, „ekologi‟ dan „sosial‟. Sudut pandang literal menekankan pada keberlanjutan segala sesuatu. Sudut pandang ekologi lebih menekankan pada pembangunan berkelanjutan ekologi yang berbasis pada kehidupan manusia. Sementara dari sisi sosial, keberlanjutan lebih menekankan pada sisi sosial ekonomi yang berbasis kehidupan manusia. Jadi keberlanjutan adalah suatu upaya mempertahankan kehidupan manusia dengan penekanan pada aspek ekologi, sosial dan ekonomi (Lele, 1991). Menurut Chen et al. (2013), penetapan kebijakan terkait pembangunan wilayah pesisir harus mempertimbangkan tiga dimensi pembangunan berkelanjutan yaitu lingkungan, ekonomi dan sosial. Dalam pengambilan keputusan pembangunan wilayah pesisir, terutama di negara-negara berkembang, perlu dipertimbangkan bagaimana menyeimbangkan antara tiga hal tersebut dan bagaimana memilih alternatif optimal untuk mengatasi berbagai konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Kebijakan pengembangan wilayah pesisir harus diimbangi dengan mempertimbangkan dampak pembangunan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Evaluasi tentang program-program pembangunan terkait ekonomi dan sosial merupakan hal yang penting sebagai dasar penentuan kebijakan pembangunan wilayah pesisir di masa depan. Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2005), pengembangan wilayah merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, penurunan kesenjangan antar wilayah dan pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup di suatu wilayah. Upaya ini diperlukan karena setiap wilayah memiliki kondisi sosial ekonomi, budaya dan keadaan geografis yang berbeda-beda, sehingga pengembangan wilayah bertujuan untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Optimal berarti dapat tercapainya tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial budaya dan lingkungan yang berkelanjutan. Sejalan dengan salah satu tujuan pengembangan wilayah nasional, yakni mewujudkan keseimbangan pertumbuhan antar daerah, maka tujuan perencanaan wilayah pada suatu kabupaten sebagai penjabaran dalam ruang lingkup yang lebih kecil, adalah keseimbangan pertumbuhan antara kecamatan, desa dan seterusnya (Rinaldi, 2004). Wilayah merupakan suatu area geografis yang memiliki ciri tertentu serta menjadi media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Perencanaan pembangunan wilayah dapat diartikan sebagai upaya untuk merumuskan serta mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi maupun program pembangunan yang di dalamnya juga mempertimbangkan aspek 8 wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan untuk mencapai kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan (Dahuri dan Nugroho, 2004). Menurut Rustiadi et al. (2009), dalam menyusun perencanaan pembangunan berbasis wilayah penting untuk diperhatikan keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antarpelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Salah satu ciri penting pembangunan wilayah adalah adanya upaya mencapai pembangunan berimbang (balanced development), dengan terpenuhinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap wilayah maupun daerah yang beragam sehingga dapat memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal bagi masyarakat di seluruh wilayah. Dalam pembangunan wilayah perlu senantiasa diarahkan pada tujuan pengembangan wilayah, antara lain mencapai: (1) pertumbuhan (growth), yaitu terkait dengan alokasi sumber daya-sumber daya yang langka terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan untuk hasil yang maksimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia dalam meningkatkan kegiatan produktivitasnya; (2) pemerataan (equity), yang terkait dengan pembagian manfaat hasil pembangunan secara adil sehingga setiap warga negara yang terlibat perlu memperoleh pembagian hasil yang memadai secara adil. Dalam hal ini perlu adanya kelembagaan yang dapat mengatur manfaat yang diperoleh dari proses pertumbuhan material maupun non-material di suatu wilayah secara adil; serta (3) keberlanjutan (sustainability), bahwa penggunaan sumber daya baik yang ditransaksikan melalui sistem pasar maupun di luar sistem pasar harus tidak melampaui kapasitas kemampuan produksinya (Anwar, 2005). Pengembangan ekonomi wilayah pesisir sangat erat kaitannya dengan disparitas antar wilayah. Masyarakat pesisir telah menemukan diri mereka terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan, over-eksploitasi sumberdaya alam, yang mengakibatkan degradasi sumberdaya untuk makanan dan kelangsungan hidup, sehingga mendorong pemiskinan (Hidayati, 2000). Moreno-Casasola (2000), kemiskinan dan degradasi sumberdaya lahan merupakan akibat dari kurangnya dirasakan pilihan mata pencaharian masyarakat pesisir dan praktek eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya. Kekuatankekuatan luar seperti kondisi pasar dan akses memainkan peran penting dalam membentuk situasi ini, termasuk diantaranya adalah kebijakan pembangunan di wilayah pesisir itu sendiri. Kendala yang terjadi dalam pengelolaan pesisir salah satunya adalah kurangnya kesadaran di antara pembuat kebijakan terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat pesisir dan peran mereka dalam mengelola lingkungan. Menurut Rustiadi et al. (2009), timbulnya disparitas antar wilayah antara lain disebabkan oleh beberapa faktor utama yang terkait dengan variabel fisik maupun variabel ekonomi wilayah, yaitu: (1) geografi; (2) sejarah; (3) politik; (4) kebijakan pemerintah; (5) administrasi; (6) sosial-budaya; dan (7) ekonomi. Suatu wilayah yang memiliki kondisi geografi lebih baik akan mempunyai kemampuan untuk berkembang yang lebih baik dibandingkan wilayah dengan kondisi geografi kurang menguntungkan. Bentuk organisasi serta kondisi perekonomian pada masa lalu akan mempengaruhi tingkat perkembangan masyarakat di suatu wilayah dalam hal menumbuhkan inisiatif dan kreativitas dalam bekerja dan berusaha. 9 Instabilitas politik serta sistem administrasi yang tidak efisien akan menghambat pengembangan wilayah dalam hal hilangnya peluang investasi akibat ketidakpastian usaha terutama di bidang ekonomi dan perijinan yang rumit. Demikian juga kebijakan pemerintah yang tidak tepat dengan lebih menekankan pada pertumbuhan pembangunan tanpa diimbangi dengan pemerataan. Nilai-nilai sosial-budaya masyarakat yang konservatif dan kontraproduktif akan menghambat perkembangan ekonomi wilayahnya. Salah satu upaya yang dilakukan dalam rangka penyerasian pembangunan daerah untuk mengurangi disparitas, mewujudkan keterpaduan pembangunan, serta mempercepat kemajuan pembangunan daerah, dilaksanakan melalui pendekatan berbasis wilayah yang pada prinsipnya adalah meminimalisasi friksi dan memaksimalisasi sinergitas sehingga terwujud keserasian pembangunan daerah di wilayah pengembangan, yang mencakup tiga aspek, yaitu: (1) keserasian pertumbuhan antar daerah, antar wilayah maupun antar kawasan yang berorientasi pada kepentingan bersama pengembangan potensi lokal, (2) keserasian kebijakan dan program-program pembangunan sektoral dan daerah dalam skenario pengembangan wilayah, serta (3) keserasian di antara stakeholder dalam dinamika pengembangan wilayah (Sumarsono 2004). Upaya mewujudkan keseimbangan antar kawasan menjadi penting karena pada dasarnya keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi kesenjangan antarwilayah yang pada akhirnya akan mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh. Kesenjangan antarwilayah selama ini telah menimbulkan banyak permasalahan, baik sosial, ekonomi maupun politik, terlebih karena kemiskinan yang terjadi di suatu tempat akan berbahaya bagi wilayah lainnya dan juga ketika kesejahteraan di suatu tempat yang lain tidak terdistribusikan secara adil ke seluruh wilayah (Rustiadi et al. 2009). Pusat Pertumbuhan dan Hirarki Wilayah Dalam kaitannya dengan strategi pengembangan wilayah, perlu diidentifikasi wilayah-wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan yang mampu menggerakan ekonomi wilayah di sekitarnya. Melalui pendekatan konsep wilayah nodal, dapat diketahui wilayah yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan dan seberapa besar dampaknya dalam memberikan multiplier effect terhadap wilayah lain. Menurut Tarigan (2008), suatu wilayah atau kawasan dapat dijadikan sebagai pusat pertumbuhan apabila memenuhi kriteria sebagai pusat pertumbuhan, baik secara fungsional maupun secara geografis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan merupakan lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar (daerah belakangnya). Secara geografis, pusat pertumbuhan merupakan lokasi dengan fasilitas dan kemudahan yang mampu menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) serta menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi dan masyarakat pun memanfaatkan fasilitas yang ada di lokasi tersebut. Wilayah sebagai pusat pertumbuhan pada dasarnya harus mampu mencirikan antara lain: hubungan internal dari berbagai kegiatan atau adanya keterkaitan antara satu 10 sektor dengan sektor lainnya, keberadaan sektor-sektor yang saling terkait menciptakan efek pengganda yang mampu mendorong pertumbuhan daerah belakangnya, adanya konsentrasi geografis berbagai sektor atau fasilitas yang menciptakan efisiensi, serta terdapat hubungan yang harmonis antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakangnya. Anwar (2005) mengemukakan bahwa pendekatan analisis pembangunan wilayah yang lebih tepat harus mampu mencerminkan adanya kerangka berfikir yang menyangkut interaksi antara aktivitas-aktivitas ekonomi spasial dan mengarah pada pemanfaatan sumberdaya secara optimal antara kegiatan di kawasan kota-kota dan wilayah-wilayah belakangnya (hinterland), di samping interaksi tersebut berlangsung dengan wilayah-wilayah lainnya yang lebih jauh. Kawasan kota dan wilayah belakangnya dapat terjadi hubungan fungsional yang tumbuh secara interaktif yang dapat saling mendorong atau saling menghambat dalam mencapai tingkat kemajuan optimum bagi keseluruhannya. Menurut Panuju (2012), berdasarkan konsep wilayah nodal, pusat maupun hinterland suatu wilayah memiliki ciri khas dimana inti mengatur proses berjalannya interaksi dari komponen sel dan hinterland mendukung keberlangsungan hidup sel dan mengikuti pengaturan yang dibangun oleh inti. Jika suatu wilayah dianalogikan sebagai satu sel, maka dalam wilayah kota utama yang menjadi inti dari wilayah memiliki fungsi penting yang berperan besar dalam mempengaruhi jalannya interaksi antar berbagai hinterland. Pusat memiliki daya tarik kuat bagi elemen di hinterland. Daya tarik tersebut secara harfiah berupa berbagai layanan yang didukung fasilitas dan infrastruktur yang lengkap. Hinterland mendukung berjalannya proses penting yang dilakukan di pusat. Proses-proses penting tersebut terdiri dari proses-proses transaksi dan peningkatan nilai tambah produksi. Industri dan jasa sebagai aktifitas yang berperan besar dalam peningkatan nilai tambah akan berkembang pesat di inti (kota) dengan fasilitas yang lengkap tersebut. Sebaliknya, hinterland sebagai pendukung berlangsungnya proses di pusat memiliki keunggulan sumberdaya dasar untuk mendukung proses peningkatan nilai tambah di pusat. Secara teknis identifikasi pusat dan hinterland dapat dilakukan dengan mengidentifikasi jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah penduduknya. Pusat yang memiliki daya tarik kuat karena lengkapnya fasilitas dicirikan dengan jumlah unit dan jumlah jenis fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan dengan hinterland. Disamping fasilitas umum, pusat juga berpotensi memiliki industri dan jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas yang secara relatif paling lengkap dibandingkan dengan unit wilayah yang lain. Selanjutnya wilayah pusat tersebut disebut sebagai wilayah berhirarki. Pembangunan Sektor Ekonomi Salah satu solusi pembangunan wilayah pesisir adalah melalui upaya peningkatan ekonomi masyarakat. Menurut Spurgeon (1999), ekonomi bisa didefinisikan sebagai “studi efisiensi alokasi sumberdaya”. Pemerintah menghadapi tantangan bagaimana memaksimumkan pendapatan ekonomi melalui penggunaan sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki (tenaga kerja, modal dan sumberdaya alam). 11 Perubahan menuju pasar tunggal dan peningkatan globaliasi membutuhkan upaya meningkatkan kompetisi dan keberlanjutan sektor ekonomi. Analisis ekonomi, baik nasional dan sub-nasional sangat dibutuhkan sebagai informasi bagi kebijakan publik, tata kelola dan regulasi sektor tersebut. Analisis ekonomi wilayah, menyediakan akses bagi pemegang kebijakan terkait dampak sektor ekonomi. Analisis juga bisa digunakan untuk kebijakan wilayah regional masa depan untuk memastikan keberlanjutan sektor secara ekonomi dan lingkungan (Morrissey dan O‟Donoghue, 2012). Rustiadi et al. (2009) mengemukakan bahwa keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis antara sektor-sektor pembangunan, sehingga setiap program-program pembangunan dalam kelembagaan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Keterpaduan sektoral tidak hanya mencakup hubungan antarlembaga pemerintahan tetapi juga antara pelakupelaku ekonomi secara luas dengan latar sektor yang berbeda. Dalam hal ini wilayah yang berkembang ditunjukkan dengan adanya keterkaitan antarsektor ekonomi wilayah, sehingga terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis. Keterpaduan spasial membutuhkan interaksi spasial yang optimal yang ditunjukkan dengan adanya struktur keterkaitan antarwilayah yang dinamis. Pendekatan sektoral dilakukan dengan menentukan sektor unggulan yang memiliki kontribusi dalam perekonomian secara keseluruhan. Suatu sektor dikatakan sebagai sektor kunci atau sektor unggulan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang yang relatif tinggi; (2) menghasilkan output bruto yang relatif tinggi sehingga mampu mempertahankan final demand yang relatif tinggi pula; (3) mampu menghasilkan penerimaan bersih devisa yang relatif tinggi; dan (4) mampu menciptakan lapangan kerja yang relatif tinggi (Arief, 1993). Berlakunya otonomi daerah membawa implikasi bagi setiap pemerintah daerah untuk mampu melihat sektor-sektor yang memiliki keunggulan ataupun kelemahan di wilayahnya. Oleh karena itu, setelah berlakunya otonomi daerah, setiap daerah memiliki kewenangan dalam menetapkan sektor atau komoditas yang akan menjadi prioritas pengembangan. Sektor atau komoditas yang memiliki keunggulan memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan dapat menjadi push factor bagi sektor-sektor lain untuk berkembang (Tarigan, 2008). Pada konsep pembangunan daerah yang berbasis sektor/komoditas unggulan ada beberapa kriteria sektor/komoditas sebagai motor penggerak pembangunan suatu daerah, antara lain : mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran, mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward dan backward linkages) yang kuat, mampu bersaing (competitiveness), memiliki keterkaitan dengan daerah lain (complementary), mampu menyerap tenaga kerja, bertahan dalam jangka waktu tertentu, berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan lingkungan serta tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal (Djajadiningrat dalam Rachmawati, 2012). 12 Upaya pengembangan keunggulan komparatif suatu sub-sektor dilakukan melalui pendekatan pada potensi sumberdaya lokal. Sektor yang dikembangkan harus mampu menyerap tenaga kerja lokal dengan didukung oleh kesesuaian lingkungan sumberdaya lokal. Untuk memetakan sektor unggulan di suatu wilayah, salah satunya bisa didekati dengan menggunakan data nilai tambah (PDRB) yang dicapai masing-masing sektor. Analisis capaian PDRB merupakan salah satu pendekatan yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi sektor unggulan bedasarkan kapasitas aktual masing-masing sektor (Rustiadi et al., 2009) Perencanaan Pembangunan Wilayah Dalam perspektif paradigma keterkaitan antar wilayah, perencanaan pembangunan wilayah dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu melalui pendekatan sektoral dan pendekatan wilayah. Pendekatan sektoral dilaksanakan dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di wilayah tersebut. Pendekatan ini mengelompokkan kegiatan ekonomi atas sektor-sektor yang seragam atau dianggap seragam. Pendekatan wilayah dilakukan bertujuan melihat pemanfaatan ruang serta interaksi berbagai kegiatan dalam ruang wilayah, sehingga terlihat perbedaan fungsi ruang yang satu dengan ruang yang lainnya. Perbedaan fungsi tersebut terjadi karena perbedaan lokasi, perbedaan potensi, dan perbedaan aktivitas utama pada masing-masing ruang yang harus diarahkan untuk bersinergi agar saling mendukung penciptaan pertumbuhan yang serasi dan seimbang (Tarigan, 2008). Perencanaan pembangunan wilayah dalam hubungannya dengan suatu daerah sebagai wilayah pembangunan, merupakan suatu proses perencanaan pembangunan yang bertujuan melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah atau daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada, serta harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, namun tetap berpegang pada asas prioritas (Riyadi dan Bratakusumah, 2005). Perencanaan pembangunan wilayah dari aspek ekonomi adalah penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam mencapai target pembangunan yaitu pertumbuhan, yang kemudian diikuti dengan kegiatan investasi pembangunan baik investasi pemerintah maupun swasta. Penentuan peranan sektor-sektor pembangunan diharapkan dapat mewujudkan keserasian antarsektor pembangunan, sehingga dapat meminimalisasi inkompabilitas antarsektor dalam pemanfaatan ruang, mewujudkan keterkaitan antarsektor baik ke depan maupun ke belakang, serta proses pembangunan yang berjalan secara bertahap ke arah yang lebih maju dan menghindari kebocoran maupun kemubaziran sumberdaya (Anwar 2005). Menurut Rustiadi et al. (2009), skala prioritas pembangunan harus didasarkan atas pemahaman bahwa: (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan wilayah, dll); (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan 13 spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, buatan dan sosial yang ada. Atas dasar pemikiran tersebut maka di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis karena besarnya sumbangan yang diberikan sektor tersebut terhadap perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut memberikan dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan, dimana dampak tidak langsung terwujud akibat perkembangan sektor tersebut berdampak bagi berkembangnya sektor-sektor lain dan secara spasial berdampak luas di seluruh wilayah. Menurut Saefulhakim (2004), keterbatasan dalam hal ketersediaan sumber daya harus menjadi pertimbangan pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam melaksanakan program-program pembangunan daerahnya sehingga dalam perencanaan pembangunan perlu ditetapkan adanya skala prioritas pembangunan. Pembangunan Wilayah Pesisir Menurut UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, dimana ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan. Untuk membangun wilayah pesisir, dibutuhkan arahan dan strategi pembangunan yang didasarkan pada potensi yang dimiliki wilayah tersebut. Dalam membangun wilayah pesisir diperlukan strategi yang tepat. Menurut Hopkins (2001), strategi adalah serangkaian tindakan yang bisa dianggap sebagai sebuah pohon keputusan (decision tree). Strategi dibutuhkan sebagai alat untuk menentukan tindakan apa yang harus dilakukan saat ini dalam hubungannya dengan tindakan di masa depan. Strategi dibutuhkan dalam situasi dimana ada banyak tindakan yang harus dibuat dimana tindakan-tindakan tersebut berada dibawah banyak otoritas dalam jangka waktu yang lama dan dalam sebuah lingkungan yang tidak mendukung. Strategi adalah sebuah dasar perencanaan karena secara eksplisit menjelaskan tentang bagaimana mengambil sebuah tindakan nyata dari beragam pilihan yang pada akhirnya akan memberikan konsekwensi atas hasil yang ingin dicapai. Strategi dan manajemen pembangunan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir dan pemanfaatan sumberdaya membutuhkan pendekatan hirarki dan terintegrasi. Indikator-indikator utama berdasarkan hasil identifikasi pada level wilayah lokal harus digunakan untuk mengidentifikasikan prioritas untuk menduga manfaat dan batasan-batasan yang dimiliki komunitas dalam menyusun strategi manajemen wilayah pesisir (Kronen et al., 2010). Dalam konteks teori dasar ekonomi dan teori pertumbuhan, kekuatan relatif dari transaksi pembelian dan penjualan oleh lembaga ekonomi lokal dan hubungan distribusi spasial dari pendapatan dan tenaga kerja, merupakan hal yang krusial dalam pengembangan ekonomi lokal. Oleh sebab itu, identifikasi kebutuhan lokalitas, sektoral atau karakteristik lainnya yang berhubungan dengan integrasi ekonomi lokal sangat dibutuhkan dalam pembangunan (Courney et al., 2006). 14 Dalam pembangunan ekonomi pesisir, kapasitas daya tampung ekosistem dan kapasitas produksi ekonomi menjadi faktor pembatas yang perlu diperhatikan. Menurut Nobre et al. (2009), faktor-faktor pembatas tersebut meliputi: 1. Batasan wilayah, terkait area lahan yang dapat dimanfaatkan untuk aktivitas budidaya dan penggunaan lainnya; 2. Batasan sumberdaya, terkait ketersediaan sumberdaya, densitas panen dan pelaksanaan yang berpengaruh pada laju produksi; 3. Batasan lingkungan, berupa efek dari kondisi lingkungan yang akan berpengaruh terhadap tingkat produksi. Efek ini sangat tergantung dari proses budidaya dan kapasitas asimilasi dari ekosistem; 4. Batasan skala, dimana setiap pengurangan maupun penambahan unit variabel input akan memberikan dampak pada pengurangan maupun penambahan kapasitas output produksi. 5. Batasan biaya, terkait dengan jumlah input yang bisa digunakan; 6. Maksimalisasi keuntungan, besarnya keuntungan yang dapat meningkatkan produksi sehingga keuntungan bisa terus diraih. Menurut Asmawi et al. (2012), program-program terkait manajemen pesisir merupakan pendekatan penting dalam melaksanakan tujuan dan strategi pembangunan berkelanjutan. Secara global, manajemen pesisir merupakan alat manajemen yang efektif yang bekerja secara lintas disiplin, lintas sektoral dan lintas institusional dalam mengelola sumberdaya. Manajemen pesisir memberikan banyak implikasi positif bagi sektor lingkungan, sosial dan ekonomi serta merupakan suatu kerangka kerja universal yang dapal diaplikasikan di semua negara untuk memenuhi aspirasi nasional dalam meningkatan pertumbuhan dan pembangunan fisik maupun sosial-ekonomi. Di masa depan, keberlanjutan manajemen sumberdaya pesisir merupakan target kebijakan yang sangat penting bagi seluruh pemerintahan di negara-negara yang memiliki garis pantai. Area pesisir mendapatkan tekanan kuat akibat efek dari sistem alam dan sistem manusia. Integrasi sosial-ekonomi di kawasan pesisir membutuhkan dua konteks analisis yaitu: (1) Memahami efek kekuatan perubahan sosial ekonomi seperti pertumbuhan polulasi, urbanisasi dan perubahan penggunaan lahan; dan (2) menduga dampak perubahan terhadap kesejahteraan masyarakat serta menduga biaya dan manfaat sosial yang dirasakan masyarakat dalam penggunaan sumberdaya (Turner, 2000). Dalam rangka untuk mencoba dan mencapai pendekatan yang lebih terpadu terhadap isu-isu pembangunan pesisir, pemerintah sebaiknya membangun pesisir berdasarkan model pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam konsep Pengelolaan Kawasan Pesisir secara terintegrasi (Integrated Coastal Zone Management-ICZM). Bentuk pengelolaan seperti ini membutuhkan kemampuan kelembagaan untuk menangani masalah-masalah inter-sektoral seperti, lintas disiplin ilmu, kewenangan-kewenangan dari lembaga pemerintah dan batas-batas kelembagaan (Dirhamsyah, 2006). Menurut Haley (2009), prinsip-prinsip ICZM meliputi: 1. Kebijakan yang harus dikembangkan secara terpadu, bukan bersifat sektoral 15 2. Wilayah laut dan pesisir diperlakukan sebagai zona tunggal dan bukan sebagai unit terpisah 3. Perlu pendekatan jangka panjang untuk pengelolaan wilayah pesisir dan laut 4. Sistem pemerintahan yang memungkinkan semua pemangku kepentingan untuk berkontribusi dalam memformulasikan kebijakan agar lebih efektif. Conyers (1994) mengemukakan bahwa konsep pembangunan harus bersifat top down dan melibatkan stakeholder dengan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan. Pendekatan-pendekatan yang bisa dilakukan diantaranya adalah: (1) Para perencana harus mulai menyadari perlunya diperhitungkan variabel nonekonomis apabila mengingingkan keberhasilan dalam implementasi pembangunan; (2) Penentuan kebijakan pembangunan dan pengambilan keputusan harus mempertimbangkan kondisi sosial, kebutuhan orang-orang yang menjadi objek pembangunan serta informasi-informasi terkait dampak pembangunan terhadap masyarakat di sekitarnya; (3) Perencana harus mengubah mind set yang pada awalnya menganggap aspek ekonomi sebagai tujuan akhir pembangunan menjadi kesadaran bahwa tujuan akhir dari pembangunan adalah aspek sosial. Yang menjadi target adalah kondisi sosial masyarakat, bukan hanya pertumbuhan ekonomi semata. Hikmat (2001) mengemukakan bahwa strategi pembangunan harus meletakan partisipasi aktif masyarakat kedalam efektifitas, efisiensi dan sikap kemandirian yang dilaksanakan melalui kegiatan kerjasama dengan para sukarelawan, LSM, termasuk organisasi dan pergerakan masyarakat. Menurut Nasdian (2013), Proses partisipasi adalah suatu proses untuk mengubah cara pandang para praktisi dengan melibatkan komunitas dalam proses pembangunan. Proses partisipasi merupakan proses yang bertingkat yang membutuhkan komitmen jangka panjang dari berbagai stakeholder. Perencanaan partisipatif memelukan pemahaman tentang kompleksitas hubungan kekuasaan serta visi yang lebih dinamis tentang komunitas. Partisipasi merupakan proses pendistribusian kekuasaan pada komunitas sehingga mereka memperoleh kontrol lebih besar pada hidup mereka untuk mampu mandiri berdasarkan kekuatan dan potensi yang mereka miliki.