KEJAHATAN KESUSILAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

advertisement
KEJAHATAN KESUSILAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
HUKUM POSITIF
(Analisis Putusan Nomor 401/pid.B/2007/PN.Jak.Sel)
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Fitrotul Amalia HF
105045101486
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
KONSENTRASI PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini.
Salawat serta salam semoga selalu semoga selalu tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya,
yang istiqomah dalam menjalankan amanah-Nya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan skripsi
ini, banyak mengalami kekurangan, kesulitan hambatan dan tantangan.
Namun berkat bantuan, dorongan serta arahan dari berbagai pihak, penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini guna memperoleh gelar Srtata Satu ( S1 )
Sarjana Syari’ah pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Karenanya dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan
terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu penulis, baik langsung maupun tidak langsung, untuk itu
penulis sampaikan terima kasih kepada yth:
1. Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum.
2.
Dr. Asmawi. M. Ag., Ketua Program Studi Jinayah Siyasah, dan ibu Sri
Hidayati,
M. Ag, Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah.
3. Kepada Bu Sri Hidayati dan Bapak Nurul Irfan yang telah dengan sabar
membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat terselasaikan.
4.
Keluarga besar Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Beserta segenap dosen, karyawan dan seluruh staff yang telah
banyak membantu dan memberikan fasilitas bagi penulis.
5.
Pegawai serta staff Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah
membantu penulis dalam mengumpulkan dan mencari data serta
dokumen yang penulis butuhkan untuk penyusunan skripsi.
6. Kepada Kedua Orang tua penulis, Papihku tersayang H. Khafidzoh Hasyim
almarhum dan Mamihku tercinta HJ. Robeah almarhum, yang telah
mendidik, mengasuh sejak kecil sampai dewasa serta mendo’akan
penulis sajak kecil, hingga kini, mudah-mudahan amal beliau diterima
disisi Nya, dan segala apa yang telah diberikan mendapatkan pahala dari
Allah SWT. Akan selalu ku ingat akan jasa-jasa mu. Sembah sujud Kepada
Mu. Ilove you
7. Kepada seluruh kakak-kakakku yaitu Jenal Fudin HF, Nur Anisah HF,
Fatkhul Inayah HF, Abdul Khalik, K Arbi, Mba Iis, yang senantiasa selalu
mendidik dan menasehati, dan merekalah yang selalu memberiki motivasi,
semangat, dukungan, dan selalu membantu dalam bentuk materil maupun
formil, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas askripsi ini. serta
do’anya selama ini, penulis ucapkan terima kasih yang mendalam.
8. Adik-adikku tercinta: Alim HF, Budi HF, dan keponakan-keponakanku yang
lucu-lucu dan imut-imut Mizna, Adit (si tembem ) yang selalu mengganggu
disaat penulis sedang mengerjakan skripsi, sehingga penulis mempunyai
semangat dan motivasi yang tinggi.
9 Kepada Kekasihku Nur Akhmad yang selalu menyayangi dan memberiku
semangat dan dorongan dalam penulisan skripsi ini, sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi, thanks for all to my darling.
10. Kepada Nita yang selalu menemani penulis, capek, ngantuk ia tetap
temanin penulis, thanks ya nita….
Atas semua itu penulis hanya bisa mendo,akan semoga amal baik yang
telah diberikan, diterima oleh Allah SWT. Akhirnya penulis berharap,
semoga skripsi ini bermanfaat. Amien
Fitrotul Amalia. HF
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................i
PENGANTAR
DAFTAR ISI .............................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah............................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .....................................9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................9
D. Metode Penelitian ....................................................................10
E. Review Pustaka........................................................................12
F. Sistematika Penulisan ..............................................................19
BAB 11 TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAHATAN KESUSILAAN DAN
PELECEHAN SEKSUAL
A. Pengertian Kejahatan Kesusilaan ............................................21
B. Bentuk-bentuk Kejahatan Kesusilaan .....................................24
C. Pengertian dan Batas-batas Pelecehan Seksual......................32
BAB 111 PELECEHAN SEKSUAL DI TINJAU DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Pelecehan Seksual Dalam Hukum Islam ..................................38
1. Seksualitas Dalam Hukum Islam ............................................38
2. Hukum Pelecehan Seksual ....................................................44
3. Sanksi Terhadap Pelaku Pelecehan Seksual .........................47
B. Pelecehan Seksual Dalam Hukum Positif .................................53
1.Seks dan Kesusilaan Dalam Hukum Positif.............................53
2. Hukum Pelecehan Seksual ....................................................57
3. Sanksi Pelecehan Seksual .....................................................60
BAB 1V PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR 401/
pid. B/ 2007/ PN. Jak. Sel.
A. Putusan Hakim .....................................................................68
1. Kronologis Peristiwa atau Kejadian .................................68
2. Tuntutan Jaksa.................................................................71
3. Putusan Hakim .................................................................73
B. Analisis Putusan Hakim....................................................
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...........................................................................81
B. Saran-saran...........................................................................83
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 86
LAMPIRANLAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kekerasan dalam beberapa tahun belakangan ini, telah menjadi
masalah paling aktual dan sangat populer di tengah-tengah peradaban
global. Ia telah memasuki berbagai wilayah komunitas: politik, ekonomi,
sosial, budaya, seni, ideologi, pemikiran keagamaan, bahkan dalam
wilayah sosial yang paling eksklusif yang bernama keluarga. Kekerasan
justru semakin menjadi fenomena kehidupan yang tak terpisahkan.
Kekerasan seksual mempunyai berbagai nama, tergantung situasi
dan bentuk kekerasannya. Kekerasan seksual dapat dirujuk sebagai
penyiksaan,
penghukuman
yang
kejam,
tidak
manusiawi
atau
merendahkan, pemerkosaan dan lain-lain. Tergantung dari situasinya.
Dewasa ini kita menyaksikan dengan jelas munculnya berbagai
peningkatan kriminalitas, kerusakan moral, perusakan lingkungan hidup,
kemiskinan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual. Semuanya adalah
bentuk kekerasan yang sesungguhnya merupakan dimensi lain dari pada
manusia.
Dalam kondisi yang mencekam seperti itu, sekarang banyak orang
yang mencoba mencari paradigma alternatif bagi sistem sosial yang
menolak kekerasan. Sudah saatnya disadari bahwa peranan agama
dalam proses kehidupan modern menjadi sebuah tuntunan yang tak
terelakkan.1
Manusia dilengkapi nafsu seks dan dengan nafsu seks itu pula
manusia dapat mempertahankan keturunannya, oleh karena itu seks
dianggap sesuatu yang mulia dan mempunyai nilai seksual. Menurut
James Dever dalam bukunya Dictionary of psychology, berpendapat
bahwa seks adalah suatu perbedaan yang mendasar yang berhubungan
dengan reproduksi dalam satu jenis yang membagi jenis itu menjadi dua
bagian yaitu jantan dan betina sesuai dengan sperma (jantan), dan sel
telur (betina) yag direproduksi.2
Seksual
adalah
masalah
yang
tak
pernah
habis
untuk
dibincangkan. Bila unit kemanusiaan adalah sepasang laki-laki dan
perempuan, maka seks merupakan kekuatan-kekuatan yang menarik,
mereka satu
sama lain
menuju
penyatuan.3 Kebutuhan seksual
merupakan kebutuhan dasar pada diri manusia namun kebutuhankebutuhan yang bersifat naluri terkadang menjadikan manusia lepas
kontrol. Manusia berlomba-lomba untuk merengguk semua kenikmatan
1
Syafiq Hasyim (ed ), Menakar “Harga” perempuan: Eksplorasi lanjut Atas Hak Reproduksi
Perempuan dalam Islam, (Bandung Mizan,1999 ), h.203-204
2
James Drever, Dictionary Of Psychology, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1998), Cet. Ke-2, h.
439
3
Hasan Hathaut, Revolusi Seksual, (Bandung : Mizan,1994 ), h.70
dunia, meskipun cara yang ditempuhnya sudah tidak lagi memperhatikan
segi-segi moralitas yang ada dalam masyarakat.4
Seksual artinya berkenaan dengan perkara percampuran laki-laki
dan
perempuan.5
Dengan
demikian
kejahatan
seksual
berarti
penyimpangan dalam seks yang dilakukan oleh laki- laki atau perempuan
yang dapat dihukum.
Menurut kamus Besar Indonesia pengertian pelecehan seksual
adalah pelecehan yang merupakan bentuk pembendaan dari kata kerja
melecehkan
yang
berarti
menghinakan,
memandang
rendah,
mengabaikan6.
Pengertian pelecehan seksual adalah semua tindakan seksual
atau kecenderungan bertindak seksual yang bersifat intimidasi non fisik
(kata-kata, bahasa, gambar) atau fisik (gerakan kasat mata dengan
memegang, menyentuh, meraba, mencium) yang dilakukan seorang lakilaki atau kelompoknya terhadap perempuan atau kelompoknya.7
4
Ayip Syafrudin, islam Dan pendidikan Seks Anak , (solo: pustaka Mantiq, 1991 ), Cet. Ke-
1,h.12
5
WJ.S. Poerwadarminto, Kamus umum bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), h.
6
Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal 245
h. 387
Tak jarang pula didengar diskursus bahwa kebanyakan pria di
masa tertentu setuju atau bahkan meyakini bahwa perempuan adalah
makhluk yang “inferior” dan tidak setara dengan kaum pria.
Perempuan telah dibatasi fungsinya dengan alasan masalah
biologisnya, sedang di lain pihak, pria dianggap sebagai makhluk tuhan
yang “superior” dan lebih penting dibandingkan dengan perempuan,
yang mewarisi kepemimpinan, jabatan, dan memiliki kapasitas besar
untuk melakukan tugas yang tidak biasa dilakukan perempuan.
Akibatnya laki-laki dianggap lebih manusia, bebas menikmati pilihan
yang tersedia untuk ambil bagian dalam pergerakan, pekerjaan, dan di
dalam bidang sosial, politik dan ekonomi berdasarkan individualitasnya
sebagai manusia, motivasi yang diberikan dan kesempatan yang
tersedia.8 Kekerasan terhadap perempuan memang merupakan tindak
penistaan dan pengebirian harkat kemanusiaan, akan tetapi ada di
antara manusia ini yang menganggap itu sebagai konsekuensi logis
kehidupan ini, yakni perempuan dianggap pantas untuk dikorbankan
untuk diperlakukan sebagai objek pemuas kepentingan laki-laki dengan
cara apapun juga, termasuk membolehkan tindak kekerasan.
Konstruksi sosial yang membedakan manusia berdasarkan gender
(seks), menjadi tidak menghargai kemampuan manusia secara pribadi.
7
Daldjoemi, “Perempuan, sudah dilecehkan masih dituduh meniming-iming” , Kompas, 21
November 1994
8
Charles Kruzman (ed ) wacana islam liberal : pemikiran islam kokontomporer tentang isu –
isu Global, (jakarta :Paramadina, 2001 ), Cet . Ke-1, h. 193-194
Laki- laki yang secara pribadi tidak mampu menjadi pencari nafkah
utama keluarganya akan dilecehkan oleh masyarakat, bahkan oleh istri
dan anak-anaknya. Demikian pula perempuan yang tidak dapat
melaksanakan tugas domestik (sehari-hari ) akan dinilai salah, berproses
menjadi pelecehan lanjut, yang kemudian menjadi bentuk kejahatan.
Konstruksi sosial gender melahirkan berbagai macam bentuk kekerasan
seks seperti pelecehan seksual , pemerkosaan, dan incest. Dalam
program seri loka karya kesehatan dan kekerasan terhadap perempuan,
yang diadakan di jakarta tahun 1998, pelecehan seksual atau seksual
harassment diartikan sebagai perbuatan yang memaksa seseorang
terlibat dalam suatu hubungan seksual atau menempatkanya sebagai
obyek perhatian seksual yang tidak diinginkanya. Pada dasarnya
perbuatan itu dirasakan atau dipahami sebagai perlakuan yang
merendahkan pihak yang dilecehkan sebagai manusia.9
Dari uraian di atas dapatlah dikatakan bahwa, meskipun telah
dibuat beberapa kaidah hidup dan peraturan hukum yang berlaku, akan
selalu tetap ada pelanggaran yang terjadi.
Kekerasan seksual dapat mencakup berbagai tindakan kejahatan
seperti pemerkosaan, perbudakan, pelacuran paksa, kehamilan paksa,
dan sterilisasi paksa. Kekerasan seksual digunakan sebagai cara
9
YLKI dan The Ford Fondation, Program Seri Loka Karya Kesehatan dan Kekerasan
terhadap Perempuan, (Jakarta YKLI dan The Ford Foundation, 1998) h.16
menerapkan kekuasaan dan dominasi terhadap korban. Mayoritas
korbanya adalah perempuan dan anak-anak.10
Kejahatan seksual berarti penyimpangan atau penyalahgunaan
dalam seks yang dilakukan leh laki-laki dan perempuan yang dapat
dihukum, dalam hukum pidana disebut dengan delik susila. H.Oemar
Seno Adji menyebutkan bahwa kata- kata delik susila mengingatkan kita
kepada delik-delik seksual seperti perzinaan, pelacuran, homo seksual,
atau delik-delik yang menurut istilah lauis B.Schwartz adalah sex related
seperti aportus abscenity dan lain- lain.11
Kejahatan pelecehan seksual selalu terjadi sejak manusia ada,
fenomena ini tidak terlepas dari sifat alamiah manusia yang selalu ingin
mencari kepuasan, apalagi nafsu seks merupakan naluri mendasar
manusia. Di samping seks mempunyai nilai mulia dan suci, seks juga
mampu merendahkan dan menghancurkan martabat manusia seperti
pelacuran, perzinaan, pelecehan seksual dan yang lebih kasar dan kejam
adalah perkosaan. Hal ini karena manusia diberikan hiasan nafsu
terhadap seks dan materi. Sebagaimana Firman Allah :(Q.S.Ali Imran/ 3 :
14 )
10
Galuh Wandita dkk, Hukum pidana Internasional dan perempuan : Komnas Perempuan ,
(Jakarta)
11
Oemar seno Adji , Hukum acara pidana dalam perspeksi, (Jakarta : Erlangga, 1981),
Cet.Ke-3 , h.3
‫زُ"َ ِ!سِ ُ اََاتِ َِ اَءِ وَاََِْ وَاََِِْ اَََُْْ ِة‬
ُ‫َع‬%َ َ&َِ‫َمِ وَاْ)َْثِ ذ‬+ْ‫َﻥ‬-ْ‫ِ وَا‬.ََُْ‫ِ ا‬/َْ0ْ‫ِ وَا‬.1ِ2ْ‫هَِ وَا‬4‫َِ ا‬
( : /‫ان‬9 ‫بِ )ال‬6َْ‫ُ ُُْ ا‬7َ8ِْ9 ُ:!‫ﻥَْ وَا‬8‫اْ)ََةِ ا‬
Artinya : Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas , perak, kuda pilihan , binatang-binatang
ternak Dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia di
sisi Allah tempat kembali yang baik (surga ). (Q.S. Ali Imran/ 3: 14)
Berpijak
pada
kenyataan
ini
ditambah
merosotnya
akhlak
memungkinkan terjadinya kekerasan di mana pihak perempuan selalu
menjadi korban. Padahal dalam pemikiran Islam sendiri diwarnai
interpretasi
yang
berpihak
pada
laki-laki
dengan
menemukan
pembenaran dari hal yang disebut sebagai ciptaan Tuhan yang
sempurna. Hal itu dibungkus dengan ungkapan agama sebagaimana
yang digariskan Kitab suci. Ayat 34 surat An-Nisa biasanya dikutip
dengan menunjukkan supremasi laki-laki atau perempuan:
ٍ ْ+َ‫ ﺏ‬Dَ!َ9 ْEَُ1ْ+َ‫ُ ﺏ‬:!‫َ ا‬/1َF َِ‫ اَءِ ﺏ‬Dَ!َ9 َ‫َاُن‬G ُ‫َل‬H‫ا‬
B
َِ‫َِْ ﺏ‬Iْ!ِ ٌ‫َت‬KِFَ ٌ‫َت‬%ِ‫َﻥ‬G ُ‫ِ)َت‬LَF ْEِِ‫َُا ِْ أََْا‬2ْ‫وَﺏَِ أَﻥ‬
OِF ُ‫ُُوه‬Pْ‫ُهُ وَاه‬Kِ+َF ُ‫ُنَ ﻥُُزَه‬Fَ0َ‫ ﺕ‬Oِ‫ُ وَا!ﺕ‬:!‫َ ا‬Nِ2َ
َ:!‫َ!َِْ ﺱَِ!ً إِن ا‬9 ‫ُا‬Iَْ‫َ!َ ﺕ‬F ْEُUَْ+ََ‫ِنْ أ‬VَF ُ‫ِ وَاﺽِْﺏُه‬XِHَ1َْ‫ا‬
( : /‫ آًَِا )اء‬Zِ!َ9 َ‫آَن‬
Artinya : kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. ”. (Q.S. An-Nisa/ 4: 34 )
Meskipun
demikian
Al-Qur’an
sesungguhnya
menyinggung
perempuan sebagai mitra laki-laki, sebagai orang yang sama-sama
bertanggung jawab setara atas perbuatannya di depan Tuhan, yang
digambarkan dengan hubungan yang harmonis antara laki-laki dan
perempuan sebagai sepasang pakaian yang saling melengkapi, bukan
sebagai subjek dan objek.12
Tentang pelecehan seksual ini sangat luas, meliputi : main mata,
siulan, nakal, komentar yang berkonotasi seks, humor porno, cubitan,
colekan, tepukan, atau sentuhan di bagian tubuh tertentu atau isyarat
yang bersifat seksual, ajakan berkencan dengan iming-iming atau
ancaman,
ajakan
melakukan
hubungan
seksual
sampai
dengan
perkosaan.13
Pelecehan juga dapat berupa komentar atau perlakuan negatif
yang berdasar pada gender, sebab pada dasarnya pelecehan seksual
merupakan pelecehan gender, yaitu pelecehan yang didasarkan atas
gender. Palecehan seksual dalam hukum Islam telah diatur secara jelas.
Namun dapat dlihat dari pengertian pelecehan seksual maka tindakan
12
Syed Mahmuddun Nasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya , (Bandung : Remaja Rosdakarya,
1991 ), h.494
13
seksual
http: // www pancaran anugrah. Org / index. Rofie.multiply. journal / item 5 / pelecehan
tersebut dapat dimasukkan dalam kategori perzinaan dengan paksaan
yang pelakunya dapat dikenakan hukuman berat.14 Paksaan di sini
secara bahasa berarti membawa seseorang kepada yang tidak
disukainya secara memaksa. Sedangkan menurut istilah fuqaha, berarti
mendorong orang lain untuk berbuat sesuatu yang tidak disukainya dan
tidak ada pilihan baginya untuk perbuatan tersebut.15
Dengan latar belakang permasalahan di atas penulis tertarik untuk
melakukan penelitian secara mendalam dan menuliskanya dalam bentuk
skripsi dengan judul: “PELECEHAN
PELECEHAN SEKSUAL SEBAGAI KEJAHATAN
KESUSILAAN
KESUSILAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM
POSITIF.
(Analisis putusan Nomor 401 / Pid.B / 2007 / PN.Jak.Sel.)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berhubung judul
skripsi sangat luas dan agar pembahasan
skripsi ini terarah, maka penulis membatasi permasalahannya hanya
berkisar pada pembahasan masalah terpenting bagi segi normatif.
kemudian penulis merumuskan permasalahan utama dalam skripsi ini,
sebagai berikut:
14
Suparman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, ( Yogyakarta: PKBI, 1997 ), h.
80
15
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu Al- Islamy Wa Adillatuhu, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1984),
Juz v, h. 386
1. Bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum positif tentang
kejahatan pelecehan seksual ?
2. Apa sanksi yang harus dikenakan bagi pelaku tindak pidana pelecehan
seksual menurut hukum Islam dan hukum positif?
3. Bagaimana putusan Hakim pengadilan Negeri (PN) jakarta selatan
No.401/PID.B/2007/PN.Jak.Sel tentang sanksi kejahatan seksual atau
kesusilaan (perkosaan dan perzinaan)?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penulis meneliti hal ini untuk mencapai beberapa tujuan. Tujuan
tersebut adalah:
1. Untuk mengetahui perspektif hukum Islam dan hukum positif tentang
kejahatan pelecehan seksual.
2. Untuk mengetahi bagaimana sanksi yang dikenakan bagi pelaku tindak
pidana pelecehan seksual menurut hukum Islam dan hukum positif.
3. Untuk mengetahui putusan hakim pengadilan Negeri Jakarta Selatan
No.401/pid.B/2007/PN.Jak.Sel. tentang sanksi kejahatan seksual atau
kesusilaan (perkosaan dan perzinaan).
Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Secara Akademis
Secara akademis, manfaat dari penulisan ini adalah :
a. Menambah referensi akademis dalam wacana sanksi pidana bagi
pelaku
pelecehan seksual menurut hukum Islam dan hukum
positif.
b. Mendapatkan
pengetahuan
atau
pemikiran
tentang
gejala
terjadinya pelecehan seksual.
2. Secara Praktis :
1. Dengan adanya ketentuan hukum dan sanksi yang berat, sanksi
pidana bagi pelaku pelecehan seksual, penindasan dan kekerasan
terhadap perempuan akan diminimalisir.
2. Memperoleh pengetahuan tentang hukum pelecehan seksual,
sehingga masyarakat dan mahasiswa akan lebih hati-hati dalam
melakukan suatu tindakan.
D.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah pelaku
kejahatan pelecehan seksual atau orang-orang yang melakukan aksi
kejahatan pelecehan seksual. Jenis penelitian ini berbentuk penelitian
deskripsi kualitatif .
1. Sumber Data
Penulisan skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan (library
research), yaitu penelitian yang mengacu pada literatur-literatur dan
referensi yang berkenaan dan berhubungan dengan judul skripsi ini.
Untuk mengaktualisasikan data dimaksud, penulis juga melakukan
penelitian Lapangan (field Reseach ) yaitu penelitian yang dilakukan
dengan cara mengumpulkan data-data dari lapangan yang ada
relevensinya dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini yaitu
sebuah contoh kasus yang perkaranya telah memiliki kekuatan hukum
tetap dan diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Adapun sumber data berupa bahan hukum yang digunakan
penulis gunakan adalah:
a. Sumber data bahan primer, yaitu berupa kitab Al-Qur’an sebagai
rujukan utama hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum pidana
(KUHP) sebagai rujukan hukum positif
b. Sumber data bahan hukum sekunder yaitu berupa makalahmakalah,
artikel, serta kitab-kitab atau buku-buku lain yang
mendukung penulisan skripsi ini
2. Teknik Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan dalam peneliti ini adalah :
Kajian
pustaka
penelaahan dan
(liberary
Research) yaitu dengan melakukan
mempelajari buku-buku, artikel, jurnal, makalah-
makalah sejenis, seminar, meneliti dan mempelajari dokumen dan
data-data yang diperoleh dari karya-karya atau literatur dan
referensi yang berhubungan dengan skripsi ini, dan putusan
pengadilan.
3. Tekhnik Analisis Data
Dalam tahap ini penulis menggunakan teknik analisis kualitatif,
di mana penulis berusaha menganalisis berbagai pemikiran dan
kesimpulan yang harus konsisten dalam literatur-literatur tersebut.
Dalam hal ini data yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah
berkas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang akan ditinjau
lebih jauh untuk mendapatkan hasil yang akurat dan obyektif.
Adapun mengenai teknik penulisan skripsi yang digunakan
merujuk pada buku pedoman yang disusun oleh Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah.
E.
Review Pustaka
Dari beberapa literatur buku yang ada penulis telaah terdapat
beberapa karya tulis berupa skripsi dan buku-buku yang dijadikan acuan
awal oleh penulis yaitu sebagai berikut:
Dalam skripsi yang telah ada terdapat hasil penelitian yang ditulis
oleh mahasiswa fakultas syariah dan Hukum yaitu:
1. Judul: Tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh anak (Analisis
putusan No: 516/ pid. B/2008/PN Jak Sel)
Penulis: Maira Hendrawati
Nim: 104043201369
Pembahasan dalam skripsi ini bahwa tindak pidana yang
dilakukan
oleh
terdakwa
(AA)
terhadap
korban
(OS)
adalah
memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin korban dengan
menggunakan obat tidur yang menyebabkan korban menjadi pingsan.
Sebagai perbuatan ini dinamakan perkosaan untuk bersetubuh dan
terdakwa harus dikenakan pasal-pasal perkosaan untuk bersetubuh
(bukan lagi pasal pencabulan). Akan tetapi jaksa justru menuntut
terdakwa dengan pasal 82 uu perlindungan anak (tentang pencabul
terhadap
anak).
Dan
dilihat
dari
Fiqhiyah
kasus
ini
merupakan.sehingga di kenai hukuman had zina ghoiru mukhsan,
yaitu 100 kali hukuman cambuk, hukuman pengasingan serta ganti
rugi atau mahar materil yang diberikan kepada korban.
2.
Judul: Hak-hak asasi korban tindak pidana perkosaan dalam
perspektif hukum pidana Islam dan viktimologi.
Penulis: Anita Navita Nuryanti
Nim: 103045128134
Pembahasan skripi ini adalah yang dimaksud dengan korban
adalah orang-orang yang mendesak fisik mental dan sosial akibat dari
tindakan kriminal seseorang dan yang termasuk korban disini dari
korban
perorangan maupun
kelamin
perkosaan
adalah
suatu
tindakan untuk melakukan hubungan seksual kepada seseorang
secara maksa bahkan dalam bentuk kekerasan dari seseorang lakilaki untuk melampiaskan nafsu seksualnya yang dilakukan diluar
pernikahan. Viktimologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
korban.
3. Judul: Pendampingan LBH terhadap korban kasus perkosaan (Studi
atas peran LBH Apik Jakarta)
Penulis: Nur ilmy Aulia
Nim: 101043222071
Skripsi ini menjelaskan bahwa pandangan hukum positif
kejahatan perkosaan termasuk kejahatan paksaan dengan kekerasan
yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan. Untuk
melakukan nafsu seksualnya yang dilakukan di luar keinginan
perempuan tersebut. Dan pandangan hukum Islam bahwa hukum
Islam menganjurkannya untuk tidak menindas dorongan seks.
Melainkan dianjurkan untuk dipenuhi dengan cara yang halal dan
Islam mengakui bahwa kebutuhan seks manusia adalah naluri alamiah
yang harus di pelihara bukan di tindas. Dan upaya yang dilakukan
LBH Apik Jakarta dalam mendampingi korban untuk mendaptkan
keadilan dengan memberikan pelayanan hukum dan memberikan
pembelaan hukum selama mendampingi korban. Bahwa Islam pun
melegitimasikan LBH sehingga institusi sosial yang dalam usahanya
semaksimal
mungkin
berupaya
menciptakan
keadilan
bagi
masyarakat yang membutukan khususnya bagi kaum miskin dan buta
hukum.
4. Tindak pidana mengenai kesopanan yang ditulis oleh Adami Chazawi,
Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005
Dalam buku ini dijelaskan tentang kejahatan kesusilaan dalam
persetubuhan yaitu kejahatan yang dimaksudkan pada pasal-pasal
tertentu yakni pada pasal 284 (perzinaan) pasal 285 (perkosaan
bersetubuh) pasal 286 (bersetubuh dengan perempuan bukan istrinya
yang dalam keadaan pingsan).
Ketidakberdayaan itulah orang yang menerima kekerasan
terpaksa menerima segala sesuatu yang akan diperbut oleh dirinya
(walaupun bertentangan dengan kehendaknya). oleh karena itu
perkosaan adalah tindak pidana material dan bukan tindak pidana
formal walaupun dirumuskan juga perbuatan yang dilarang dalam
pasal 285 yakni memaksa. Dijelaskan juga bersetubuh dengan
perempuan bukan istrinya yang keadaan pingsan
kejahatan
kesusilaan dalam hal persetubuhan yang dimaksud ini dirumuskan
dalam pasal 286.
5. Delik-delik khusus tindak pidana-tindak pidana melanggar normanorma kesusilaan dan norma-norma kepatutan, ditulis oleh P.A.F.
Lamintang, Penerbit Mandar Maju Cetakan 1, Th 1990
Dalam
buku
ini
dijelaskan
bahwa tindak pidana yang
melanggar norma-norma kesusilaan adalah tindak pidana perzinaan,
tindak pidana perzinaan atau overspel yang dimaksudkan dalam
pasal 284 ayat (1) KUHP itu merupakan suatu opzettleijk delict atau
suatu tindak pidana yang harus dilakukan dengan sengaja. itu berarti
bahwa unsur kesengajaan tersebut harus terbukti ada pada diri
pelaku, agar ia dapat dinyatakan terbukti telah memenuhi unsur
kesengajaan dalam melakukan salah satu tindak pidana perzinaan.
menurut Mr Modderman itulah perzinaan itu kemudian telah
dicantumkan sebaai salah satu kejahatan terhadap kesusilaan di
dalam wetboek van strafrech yang sedang dibentuk16. tindak pidana
perkosaan, yang diatur dalam pasal 285 KUHP itu ternyata hanya
mempunyai unsur-unsur objektif, masing-masing yakni:
a.Barang siapa
b.Dengan kekerasan atau
c.Dengan ancaman akan memakai kekerasan
d.Memaksa
e.Seorang wanita
f.Mengadakan hubungan kelamin di luar perkawinan
g.Dengan dirinya.
Walaupun
di
dalam
rumusanya,
undang-undang
tidak
mensyaratkan keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri
pelakau dalam melakukan perbuatan yang dilarang dalam pasal 285
KUHP, kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana perkosaan pada
pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja tindak pidana
mengadakan hubungan kelamin dengan wanita yang sedang berada
dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, oleh karena tindak pidana
tersebut merupakan suatu opzettalijk delict dengan sendirinya untuk
dapat menyatakan dalam seorang terdakwa terbukti mempunyai
kesengajaan dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya baik penuntut umum maupun hakim harus dapat
membuktikan bahwa unsur kesengajaan tersebut pada diri terdakwa.
tindak pidana dengan kekerasan atau dengan ancaman akan
memakai kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau untuk
membiarkan dilakukanya tindakan-tindakan melanggar kesusilaan,
tindak pidana kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa
seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya tindakantindakan melanggar kesusilaan diatur dalam pasal 289 KUHP, untuk
dapat menyatakan seorang terdakwa itu terbukti melakukan tindak
pidana pada pasal 289 KUHP, baik penuntut umum maupun hakim
dapat melakukan tentang adanya kehendak atau maksud terdakwa
untuk memakai kekerasan atau akan memakai ancaman kekerasan,
tentang adanya kehendak atau maksud, tentang adanya pengetahuan
terdakwa bahwa yang ia paksakan itu ialah agar orang yang dipaksa
melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya melanggar kesusilaan
baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain.
6. Pidana Islam di Indonesia ditulis oleh Muhammad AminSuma dkk.
Penerbit Pustaka Firdauus Cetakan 1, Juni 2001 Jakarta.
Buku ini menulis tentang tindak pidana kesusilaan
dalam
hukum Islam, Islam menentukan dengan sangat sederhana bahwa
kejahatan kesusilaan merupakan kejahatan yang sangat peka,
sehingga kalau memang terbukti dan diajukan dimuka hakim,
hukumanya tegas dan jelas. Karena menyangkut harkat dan harga diri
serta kehormatan manusia. dan banyak ayat yang menyangkut
kejahatan kesusilaan ini. yang patut untuk jadi perhatian di antaranya
ayat in: janganlah dekati zina sungguh itu adalah kekejian dan
seburuk-buruk jalan (Q.S. Al-Isra 17: 32).
7. Pornografi pornoaksi ditinjau dari hukum Islam yang ditulis oleh
Neng Djubaedah. Penerbit Prenada Media, Cetakan ke 2, Desember
2004.
Dalam buku ini ditulis akibat tindak pidana pornografi,
tindak pidana perzinaan tindak pidan perkosaan, dalam tindak pidana
perzinaan dan tindak pidana perkosaan, sedangkan menurut Islam
zina adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh orang laki-laki dan
orang perempuan yang yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah
dengan cara memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin
perempuan tanpa keraguan (syubhat) untuk mencapai kenikmatan
tertentu. Dan menurut hukum Islam orang yang berhak melakukan
pengaduan
perbuatan
zina
adalah
setiap
orang
yang
dapat
membuktikan tindak pidana perzinaan tersebut. Dalam buku tersebut
juga tidak dibahas mengenai kejahatan kesusilaan dalam kajian
hukum positif, dengan demikian buku tersebut berbeda dengan
skripsi yang akan penulis lakukan.
8.. Hukum pidana Islam ditulis oleh
Ahmad Muslich, Penerbit Sinar
Grafika Offset Cetakan 1, Jakarta Maret 2005.
Dalam buku ini disebutkan bahwa kejahatan kesusilaan adalah
perzinaan, syariat Islam melarang zina karena zina itu banyak
bahayanya, baik terhadap akhlak dan agama, jasmani atau badan di
samping terhadap masyarakat dan keluarga bahaya terhadap agama
dan akhlak dari perbuatan zina sudah cukup jelas. seseorang yang
melakukan perbuatan zina, pada waktu itu ia merasa gembira dan
senang, sementara dipihak lain perbuatanya itu menimbulkan
kemarahan
kutukan
Tuhan,
karena
Tuhan
melarangnya
dan
menghukum pelakunya. Dijelaskan lagi bahwa unsur-unsur jarimah
zina menurut para ulama itu ada dua yang pertama persetubuhan
yang diharamkan, kedua adanya kesengajaan atau niat yang melawan
hukum.
Dari berbagai karya tulis, penulis melihat masih adanya
kekurangan
sehingga
dapat
menjadi
bahan
penelitian
dalam
penulisan skripsi ini. Kekurangan-kekurangan dalam penulis tersebut
adalah tidak adanya pembahasan mengenai kajian hukum Islam dan
Hukum positif. Hal inilah yang menjadi alasan penulis untuk meneliti
lebih jauh mengenai kajian hukum Islam dan hukum positif terhadap
kejahatan pelecehan seksual sebagai kejahatan kesusilaan dalam
perspektif hukum Islam dan hukum positif.
F. Sistematika Penulisan
BAB I
Berisi tentang pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang
masalah, pembatasan. dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penulisan, review pustaka, dan
sistematika penulisan.
BAB II
Tinjauan umum tentang kejahatan kesusilaan dan pelecehan
seksual yang terdiri dari pengertian pelecehan seksual, bentukbentuk kejahatan kesusilaan, dan pengertian
batas- batas
pelecehan seksual.
BAB III
Pelecehan seksual ditinjau dalam perspektif hukum Islam dan
hukum positif. Seksualitas dalam kontaks islam terdiri dari
hukum pelecehan seksual, sanksi terhadap pelaku pelecehan
seksual. Dan seksualitas dalam hukum positif yang terdiri dari
seksualitas dalam konteks positif, hukum pelecehan seksual,
sanksi terhadap pelaku pelecehan seksual.
BAB IV Analisis
putusan
pengadilan
Negeri
jakarta
selatan
No.401/pid.B/2007/PN.Jak.Sel. yaitu putusan hakim yang terdiri
dari kronologis peristiwa atau kejadian, tuntutan jaksa, putusan
hakim. Dan analisis putusan hakim menurut hukum Islam dan
hukum positif.
BAB V
Merupakan penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAHATAN KESUSILAA
KESUSILAAN
DAN PELECEHAN SEKSUAL
A.
Pengertian Kejahatan Kesusilaan
Problem yang dihadapi manusia datang silih berganti. Tidak
pernah kenal titik nadir. Manusia dililit oleh masalah yang diproduksinya
sendiri. Problem ini menjadikanya sebagai makhluk yang kehilangan
arah dan tujuan. Ia punya ambisi, keinginan dan tuntutan yang dibalut
nafsu, tetapi karena hasrat berlebihan, gagal dikendalikan dan dididik,
ini mengakibatkan masalah yang dihadapinya makin banyak dan
beragam.
Kejahatan kesusilaan dapat dikatakan sebagai tindak pidana
yang bersifat universal, karena hampir semua negara mengenalnya dan
mengaturnya dalam ketentuan hukum masing- masing. Hanya saja
mengenai macam dan kriteria atau konsepsi mengenai nilai kesusilaan
yang dilanggar dapat berbeda. Pada dasarnya tindak pidana kesusilaan
dipengaruhi oleh pandangan, nilai-nilai sosial, dan norma agama yang
berlaku di dalam masyarakat yang dibatasi oleh tempat dan waktu.
Suatu perbuatan di daerah atau negara tertentu dapat diklasifikasikan
sebagai tindak pidana kesusilaan, tetapi di daerah atau negara lain
tidak. Atau mungkin juga dapat terjadi bahwa perbuatan tertentu
sekarang diklasifikasikan sebagai tindak pidana kesusilaan, sebaliknya
di kemudian hari tidak demikian.
Kejahatan kesusilaan terbagi menjadi dua istilah, susila dan
kesusilaan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia kata susila artinya
baik budi bahasanya, adat-istiadat yang baik, sopan santun, tertib dan
beradab. Sedangkan kesusilaan artinya perihal susila yang berkaitan
dengan adab dan sopan santun.17
Menurut Suparman Marzuki bahwa setiap delik itu pada
hakikatnya merupakan delik kesusilaan, karena semua bentuk larangan
dengan sanksi hukum pidana pada hakikatnya melambangkan bentuk
perlindungan terhadap sistem nilai kesusilaan atau moralitas tertentu
yang ada di dalam masyarakat.18
Menurut Sudrajat Bassar, kesusilaan adalah mengenai adat
kebiasaan yang lebih baik dalam perhubungan antara berbagai anggota
17
Departemen pendidikan dan kebudayaan, kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
pustaka, 1998), Cet. Ke-1, h.874
18
Suparman Marzuki, Pelecehan Seksual,( Yogyakarta: FH UI, 1995) h. 75
masyarakat, tetapi khusus yang sedikit banyak mengenai kelamin ( seks
) seorang manusia.19
Sedangkan Loebby Loqman membagi delik kesusilaan menjadi
dua bagian, yaitu delik kesusilaan dalam arti sempit dan delik kesusilaan
dalam arti luas. Beliau berpendapat bahwa; delik kesusilaan dalam arti
sempit yaitu perbuatan yang berhubungan dengan seks yang sudah
merupakan istilah sosiologis, artinya masyarakat telah mengenal
kesusilaan perbuatan yang berhubungan dengan seks. Misalnya
pelacuran, homoseksual, lesbian dan lain-lain. Sedangkan kesusilaan
dalam arti luas tidak hanya meliputi kesusilaan dalam arti sempit, tetapi
juga perbuatan- perbuatan yang tidak ada hubunganya dengan seks.20
Lain halnya delik yang diatur dalam pasal 281 KUHP baru dapat
dikatakan melakukan tindak pidana kesusilaan apabila perbuatan
tersebut dilakukan di muka orang lain.
Dengan kata lain apabila perbuatan itu dilakukan dalam kamar
atau di dalam rumah di mana tidak ada orang lain yang melihat berarti
tidak ada tindak pidana kesusilaan. Lain dari pada yang diatur dalam
pasal 281 ke-2 KUHP meskipun perbuatan itu dilakukan di muka orang
lain tidak dapat dikatakan melakukan tindak pidana menurut pasal 281
19
Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, ( Bandung, CV. Remaja
Karya, 1986), Cet. Ke-2, h. 161
20
Loebby Loqman, Delik kesusilaan, makalah lokakarya BPHN, 1995.
ke-2 KUHP kecuali keberadaan orang lain di mukanya itu bertentangan
dengan kehendaknya.
Apabila kita amati pasal 281 KUHP tersebut, bahwa perbuatan itu
dikatakan melanggar tindak pidana kesusilaan jika ada orang tidak
menghendaki atas perbuatan itu. Jadi, tindak pidana tersebut ada
apabila penilaian dari luar diri pelaku yang tidak menghendaki atas
perbuatan itu. Untuk itu yang perlu dibuktikan: apakah betul bahwa
perbuatan yang ia lakukan itu orang lain dapat melihatnya21.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, kejahatan terhadap
kesusilaan adalah sebagai bentuk pelanggaran atau kejahatan terhadap
nilai-nilai susila, mengenai adat kebiasaan yang baik, sopan-santun atau
perbuatan yang berhubungan dengan seks. Namun bentuk kejahatan
kesusilaan sifatnya masih relatif, tergantung yang menerima atau
korban yang dirugikan apakah keberadaanya bertentangan dengan
kehendaknya atau tidak.
B.
BentukBentuk-bentuk Kejahatan Kesusilaan
1. Pornografi dan Pornoaksi
21
Suharto RM, Hukum Pidana Materiil; Unsur- Unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan,
Jakarta: Sinar Grafika, 1996), cet. Ke-1, h. 97- 98
Dalam Webster Dictionary dijelaskan bahwa kata pornografi
terdiri dari dua kata asal, yaitu porno dan grafi. Porno berasal dari
bahasa yunani yaitu porno dan grafi.Porne artinya pelacur,
sedangkan grafi berasal kata graphein artinya ungkapan (expretion),
jadi secara harfiah pornografi berarti suatu ungkapan tentang
pelacur.22 Dengan demikian pornografi berarti:
a. Suatu ungkapan dalam bentuk cerita-cerita tentang pelacur atau
prostitusi.
b. Suatu pengungkapan dalam bentuk tulisan atau likisan tentang
kehidupan erotis, dengan tujuan untuk menimbulkan rangsangan
seks kepada pembaca atau yang melihatnya.
Berdasarkan definisi di atas maka pornografi itu terdapat
dalam tulisan-tulisan, likisan-likisan, fotografi, film, seni pahat, syair,
bahkan dalam bentuk ucapan-ucapan, sedangkan dalam kamus
Inggris-Indonesia, Pornografi dirumuskan dengan “karangan, tulisan
atau gambar yang cabul/ porno”.23
Menurut
Wirdjono
Prodjodikoro
menyatakan
pornografi
berasal dari kata pornos, berarti melanggar kesusilaan atau cabul
dan grafi yang berarti tulisan, dan kini juga meliputi gambar atau
22
The Lexicon Webster International Dictionary of The English Language, The English
Language, The English Language Institute of America, INC, London, 1978, h. 178
23
439
John M. Echol, Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia 1984), h.
barang pada umumnya yang berisi atau menggambarkan suatu yang
menyinggung rasa susila dari orang yang membaca atau melihatnya.
Kinipun unsur ketelanjangan ada perana terbanyak dan disamping
kini dapat disebutkan peluk-pelukan, dan cium-ciuman yang berdaya
menimbulkan nafsu birahi antara pria dan wanita.24
Menurut Neng Jubaedah; Strip-tease yang dilakukan langsung
atau tanpa melalui media komunikasi saat ini dapat disebut
pornoaksi. Apabila strip-tease itu ditampilkan dimedia komunikasi,
maka strip-tease dapat dikategorikan pornografi.25
Dari beberapa definisi diatas, dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa pornografi aadalah suatu ungkapan, tindakan, perbuatan,
apakah berupa bacaan, tulisan, gambar, foto, film, syair, nyanyian,
ukiran,
pertunjukan,
timgkah
laku,
model-model,
gaya-gaya,
goyangan erotis yang bersifat cabu atau mesum yang menimbulkan
nafsu birahi manusia
Lain halnya dengan ajaran Islam yang secara jelas memberi
aturan-aturan dalam pergaulan social masyarakat seperti sopan
24
Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak pidana Tertentu di Indonesia, ( Jakarta: Eresco,
1969), h. 108
25
Neng Jubaedah, Pornografi dan Pornoaksi di tinjau dari Hukum Islam, (Bogor: Kencana,
2003), Cet. Ke1, h. 131
santun, etika
berpakaian
dan
memandang
seseorang
dalam
berinteraksi dan bergaul.
Pornografi bisa berupa benda-benda mati, bisa juga berupa
benda hidup. Yang berupa berupa benda mati misalnya buku-buku
atau majalah, gambar-gambar cabul/porno, tulisan, foto, syair,
nyanyian, ukiran,yang bersifat cabul/mesum. Sedangka yang hidup
seperti tarian telanjang, goyangan penyanyi yang erotis, juga film
porno atau blue, karena gambarnya hidup sehingga bisa diidentikan
dengan pornoaksi.
Sejalan dengan itu, Islam melarang tingkah laku genit yang
merangsang nafsu seksual, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an
.Q.S. An-Nur ayat 31 sebagai berikut:
☺"#$
,-./0123 & %&'(')*+
;< , 789:" %&(⌧5)*6
* E<F , 7*B*C+D =>?@1A:+
*I)J&KL) H 87G *87
OPQ*:
,-. ☺+MN
=>?@1A:+
;<
H
,TU::9
E<F
, 7*B*C+D
3
VW7B:A
3
VW7Y*2Z
3 VW7[:2 Z*2Z
3
VW7Y\G123
3 VW7[:2 Z\G123
I_9*2
3
,7]^%F
I_9*2
3
VW7]^%F
3
,7^8%3
&aQ#* * 3 ,7Y/`
3
, 7:8☺+3
Pefg3 J1⌧d =>bAcB
k8.l % h*21ij
=>?p
m)5no
3
OPQ*:
H:87&(*+
;< H Z/rG q^i1*:
,7#:91if2
*I)J&K\s
*Ib5)+Z6 * %qQ#:L
Ht2
O
,7B*C+D
*v+3

PQeF
2Zax#8
=w: ☺)
=w #)5
Artinya : Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka,
atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung.
Dengan jelas, sedangkan adanya larangan membuka aurat
tidak boleh diperlihatkan dan tidak boleh melihat aurat orang lain.
Secara otomatis hal tersebut adalah bagian tubuh yang dapat
membangkitkan nafsu seks.
2. Perzinaan
Secara
etimologis
zina
berarti
persetubuhan
yang
diharamkan. Sedangkan secara terminologis zina berarti setiap
persetubuhan antara pria dan wanita melalui faraj (vagina atau anus)
yang antara keduanya tidak ada ikatan tali perkawinan yang sah
serta tidak ada unsur syubhat.26 Contoh persetubuhan yang did ala
unsure syubhat adalah seseorang yang bersetubuh dengan wanita di
kamar tidurnya yang dikira istrinya, tetapi ternyata orang lain.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa kontak sosial diluar
nikah antara pria dan wanita baik melalui vagina maupun anus,
disebut
zina.
Disamping
itu
para
pengikut
mazhab
Syafi’i
menambahkan bahwa homoseksual juga dikategorikan dengan zian
sebab anus itu juga termasuk dalam term faraj.27
Pendapat ini dibantah oleh pengikut madzab Hanafi yang
menyatakan bahwa zina terbatas pada persetubuhan antara laki-laki
dan wanita (yang bukan suami istri yang sah) yang dilakukan melalui
qubul (vagina).
26
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa,I al-Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam, (t. tp: Dar al- Fikr, t.
th) Jilid 11, h. 8
27
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’I al-Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam, (t. tp: Dar al FIKR,
T.TH), JILID 11, H.8
Karena itu, homo seks dan kontak seksual pranikah antara
laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri, yang tidak melalui
vagina seperti melalui anus (anal seks) atau oral mulut(oral seks),
juga tidak bisa disebut zina.
3. Perkosaan
Perkosaan dan perzinaan dalam hukum Islam sama-sama
kejahatan seksual. Akan tetapi perkosaan bukanlah perzinaan biasa,
namun dalam perkosaan terdapat unsure pemmaksaan si pelaku
terhadap korbannya.Mengingat prinsip itu banyak merugikan pihak
wanita semisal masih ada yang mensahkan pemukulan terhadap
isterinya bila iamembangkang dalam pelayanan seksual.28 Maka
pasal 285 KUHP menyebutkan “barang siapa dengan kekerasan atau
dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang wanita bersetubuh
dengan laki-laki di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan dngan pidana penjara paling lama 12 tahun. Menutup
kemungkinan diadakannya ancaman pidana terhadap perkosaan
yang terjadi di dalam rumah, dilakukan dalam bentuk perkosaan.29
Oleh Karena itu, seorang yang melakukan perzinaan dengan
dalih terpaksa karena keadaan ekonomi lemah, lingkungan, psikis
28
Eko Orasetyo dan Suparman Marzuki, Peremuan Dalam Wacsna Perkosaan, (Yogyakarta:
PKBI, 1997), H.93
29
Ade Latifa, “ Tindakan Kekerasan Suami Terhadap Isteri”
makalah 1998
dan sebagainya adalah alasan yang tidak dapat dipertanggung
jawab secara moral serta agama dan juga melanggar hukum serta
undang-undang. Berbeda kalau dengan keadaan dipaksa atau
diancam dalam melakukan hubungan seksual (diperkosa). Maka
selain unsur penyalahgunaan seks, didalamnya terdapat unsur
kekerasan yang pelakunya akan mendapat sanksi zina, sedangkan
korban perkosaan tidak dikenai sanksi.
4. Masturbasi dan onani
Yang dimaksud dengan Masturbasi ialah: Mencari kepuasan
seksual
dengan
memainkan
alat
kelamin
atau
meraba-raba
(mengelus-elus) daerah erotik sndiri, istilah ini lazimnya digunakan
terhadap perempuan, sedang onani adalah mencari kepuasan
seksual dengan memainkan alat kelamin sendiri pada pria. Dalam
istilah fiqh masturbasi disebut dengan: “ al-musahaqah”30 .‫ ا‬dan
onani disebut denganistilah: “al-istimnai bil yadi” 8‫ءﺏ‬%‫ا[ﺱ‬
baik
masturbasi maupun onani, keduanya memang tidak digolongkan
pada perbuaan zina, akan tetapi termasuk ke dalam penyalahgunaan
seks dan dipandang seagai hal yan maksiat dan perbuatan yang
tercela.
5. Liwath (homo sexual dan lesbian)
lesbian
30
Aji Abdul Gofar, dan Ibrahim, Giliran Anak lelaki, editor 111, (27 Februari 1990), h. 66
Liwath adalah cara perumusan nafsu seksual dengan sesama
mereka yang berkelamin sejenis, misalnya laki-laki dengan laki-laki,
perempuan dengan perempuan.
Homo sexual adalah istilah yang dipakai atau digunakan untuk
kaum lelaki, dan pelakunya bisa disebut dengan “gues” selain
disebabkan oleh sosialisasi yang salah sejak kanak-kanak. Pelaku ini
secara biologis
diakibatkan
oleh
kelebihan
sekrasi estragen
(hormone seks wanita) pada pria. Sedang lesbian diistilahkan
dengan hubungan seksual antara dua/ lebih wanita.31
Masalah homo sexual terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu: Surat
Asy-Syu’ara: 165-166)
% *y*)zD *y"f3
{m
*Ib☺Q#8)
12Za *}Q#8~ * *y|i⌧L
O qZa9^)D3 &r qZa=2i
) =w * d€1 1qB]3 1*2
(١٦٦–١٦٥
Artinya: Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia,
an kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan
kamu adalah orang-orang yang melampaui batas".( Asy-Syu’ara: 165-166)
31
M. Thalib, Pergaulan Bebas Prositusi dan Wanita, (Yogyakarta: PD. Hidayat, 1986), cet.
Pertama, h.39
6. Besttiality
Bestiality adalah melakukan hubungan seks dengan binatang
atau melampiaskan dorongan seksualnya terhadap binatang ternak/
binatang piaraan.32
Melakukan atau melampiaskan nafsu seksualnya terhadap
binatang, di Indinesia, memang jarang terjadi, naman demikian
pernah ditemukan dan sempat diberitakan dalam majalah “Editor”
dengan sasaran seekor ayam.33
Masalah Bestiality, Islam menggolongkan sebagai perbuatan
yang maksiat, dan termasuk juga kedalam perbuatan kejahatan
seksual, sebab perbuatan menyetubuhi binatang jelas merupakan
tindakan abnormal dan kotor.34 Dalam salah satu hadits bahkan
ditegaskan, bahwa hukuman pelaku Bestiality adalah dibunuh, hal ini
sesuai dengan hadits berikut:
:
(
)
32
Departemen RI, Al-Qur,an dan Terjemahannya, Terjemahan: Yayasan Penyelenggara
Penerjemah Al-Quran , (Jakarta: PT. Bumi Restu, 1997), cet. Ke-1, h. 385
33
34
Ibid, h. 129
“ Kamus Pelaku Seksual Menyimpang”, (Jakarta: Suara Karya Minggu), Minggu kedua
Januari 1990
Artinya: Dari Abdullah bin Umar dan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas,
Sesungguhnya Rasulullah saw., berkata: Barang siapa yang
melakukan (Bestiality) terhadap binatang, maka bunuhlah pelakunya
beserta binatangnya”.(Hadits Riwayat Ahmad, Abu Daud dan
Turmudzi).
Islam memandang Bestiality sebagai perbuatan yang keji dan
dosa, karena itu sepantasnya sebagai perbuatan yang keji dan dosa
karena itu sepantasnya mendapat hukuman berat.
C.
Pengertian dan BatasBatas-Batas Pelecehan Seksual
Kejahatan kesusilaan atau moral offenses dan pelecehan atau
seksual harassment merupakan bentuk pelanggaran atas kesusilaan
yang bukan saja masalah hukum nasional suatu negara melainkan
sudah merupakan dua masalah hukum negara di dunia atau masalah
global. Istilah pelecehan seksual digunakan untuk menunjukkan suatu
perilaku tertentu dalam masyarakat yang tidak hanya bermakna teknis
atau objektif semata melainkan juga mengandung makna gugatan di
dalamnya.
Pelecehan seksual berasal dari dua kata, pelecehan dan seksual.
Sedangkan kata seks menurut etimologi mengandung arti jenis kelamin,
yakni laki-laki dan perempuan. Seks juga merupakan dorongan kuat
bagi laki-laki dan perempuan untuk mengadakan hubungan kelamin.35
Kata seks juga diartikan sebagai suatu yang berkenaan dengan perkara
persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. 36
James Drever dalam bukunya “ Dictionary of Psychology”
berpendapat bahwa seks adalah suatu perbedaan yang mendasar yang
berhubungan dengan reproduksi dalam satu jenis yang membagi jenis
itu menjadi dua bagian yaitu jantan dan betina sesuai dengan sperma
(Jantan), dan sel telur (Betina) yang direproduksi.37
Pendapat ini lebih menitik beratkan pada hubungan antara lakilaki dan perempuan. Untuk memperluas pendapat tersebut James
Drever menambahkan dalam teori Psycho analisanya bahwa seks
mencakup fenomena yang mempunyai sikap langsung pada reproduksi
dengan anggapan bahwa kenikmatan berasal dari susunan yang sama.38
Jadi pelecehan seksual (seksual harassment) yaitu komentarkomentar verbal atau isyarat, tanpa diminta, yang sengaja atau
berulang-ulang, atau hubungan fisik yang bersifat seksual bukan suka
sama suka.
35
Ainur Rochim, Sumbangsih Umat Islam Menanggulangi Kejahatan Seksual di Indonesia,
(Jakarta, Proyek pembinaan kemahasiswaan Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag. RI, 1985, Cet,
Ke 1, h. 5
36
Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia h. 797
37
James Drever, Dictionary Of Psychology, ( Jakarta: PT Bina Aksara, 1988), Cet. Ke-2, h.
439
38
Ibid, h. 439
Pengertian pelecehan seksual banyak diberikan orang dalam
berbagai konteks kalimat. Namun dari semua pengertian itu dapat
dipahami bahwa pelecehan seksual mengacu pada perbuatan yang oleh
korbanya (dirasa tidak menyenangkan, karena perbuatan tersebut
bersifat intimidasi, menghinakan atau tidak menghargai dengan
membuat seorang sebagai obyek pelampiasan seksual.
Dari beberapa pengertian tersebut pelecehan seksual harus
dijabarkan
dengan
melihat
akibat
yang
dirasakan
si
penerima
pelecehan. Karena perilaku yang sama mungkin dilihat sebagai
pelecehan seksual oleh seorang perempuan, mungkin tidak oleh
perempuan lain.
Pelecehan seksual dalam hukum Islam tidak diatur secara jelas.
Namun dapat dilihat dari pengertian pelecehan seksual maka tindakan
tersebut dapat dimasukkan dalam kategori tindak pidana dengan
paksaan (7 ‫ ﺏ [ آ ا‬D ‫ ) ا‬yang pelakunya dapat dikenakan hukuman
berat.39
Pengertian ( 7 ‫ ﺏ [ آ ا‬D ‫ا‬
) ialah setiap persetubuhan yang
dilakukan oleh orang laki-laki terhadap seorang perempuan ( tidak
mustahil sebaliknya) yang dilakukan dengan cara paksa dan kekerasan.
39
Suparman Marzuki, Pelecehan Seksual, (Yogyakarta: FH UI, 1995), h. 80
Paksaan di sini secara bahasa berarti membawa seseorang
kepada yang tidak disukainya secara memaksa. Sedangkan menurut
istilah fuqoha’ berarti mendorong orang lain untuk berbuat sesuatu yang
tidak disukainya dan tidak ada pilihan lagi baginya untuk perbuatan
tersebut.40
Untuk memahami konsep pelecehan seksual lebih lanjut ada
baiknya diperhatikan tentang ”apa dan siapa” yang dilecehkan secara
seksual. Menurut Beauvais membaginya dalam 4 (empat) kelompok
yaitu: laki-laki melecehkan
wanita, wanita melecehkan
laki-laki,
heteroseksual melecehkan homoseksual dan homoseksual, melecehkan
heteroseksual.41
Dengan demikian anggapan sebagian orang tentang pelecehan
seksual hanya terjadi terhadap wanita ditepis oleh Beauvais. Sementara
seperti yang dikutip oleh Khaeruddin menyatakan bahwa istilah
pelecehan seksual pun bisa terjadi pada laki-laki.42 Namun yang sering
terjadi korban pelecehan seksual cenderung kaum perempuan, seperti
pelecehan seksual yang terjadi pada remaja.
40
Wahbah Az-Zuhaili, Al- Fiqhu Al- Islamy Wa Adillatuhu, ( Damaskus : Dar al- Fikr, 1984),
Juz V, h. 386
41
Khaeruddin, Pelecehan Seksual terhadap Isteri, (Yogyakarta: Pusat penelitian
Kependudukan UGM, 1999), Cet. Ke-1 h. 3
42
Ibid, h. 3
Adapun jenis-jenis yang dapat diartikan sebagai pelecehan
seksual adalah gerakan fisik, misalnya cubitan, tindakan intimidasi atau
memalukan, (siulan, tindakan tak senonoh seperti merangkul dan
meraba, memegang pinggul, menampar pantat, rayuan seks. Tingkah
laku
yang
berupa
ucapan
seperti
pernyataan-pernyataan
yang
didasarkan sebagai penghinaan lelucon yang bersifat menghina, bahasa
yang bersifat mengancam dan cabul, rayuan seks verbal; yang
menyinggung perasaan seperti gambar-gambar porno, lukisan-likisan
grafis. Sedangkan pelecehan seksual yang menjurus ke pelanggaran
kejahatan seksual (berat) dapat berupa perkosaan dan sebagainya.
Dari segi bentuk perbuatan pelecehan seksual hanya mengarah
kepada perilaku yang seksual, yang dirasa oleh korban, tetapi tidak
sampai pada bentuk kekerasan, sedangkan kejahatan seksual bisa
berupa tindakan kekerasan seksual yang sifatnya memaksa seperti
pencabulan,
pemerkosaan,
atau
penganiayaan
seksual
lainya.
Walaupun antara pelecehan seksual dengan kejahatan seksual secara
konseptual dapat dibedakan, namun dalam prakteknya kedua jenis
perbuatan tersebut sulit untuk dibedakan, karena keduanya pada suatu
garis kontinum.
Dapat
diketahui
bahwa
sebuah
pelecehan
seksual
dapat
berlangsung menjadi proses kejahatan seksual serta penindasan dan
kekerasan terhadap perempuan baik fisik maupun non fisik yang antara
keduanya sama-sama tidak menyenangkan. Perbedaan tersebut dapat
dilihat dari kualitas perbuatan pelaku yang berdampak bagi korban.
Sebuah
pelecehan
kekerasan.
seksual
Tindakan
ini
jelas
hanya
tidak
sekedar
sampai
pada
perlakuan
merendahkan,
bersifat
intimidasi yang mengarah kepada seksual. Sedangkan kejahatan
seksual telah jelas sampai pada perbuatan seksual yang memberi
dampak pada pelakuan fisik, seperti luka pada bagian alat vital atau
bagian tubuh lainya akibat pemukulan karena pelaku memaksa korban
untuk menuruti hasrat seksualnya dan pengalaman traumatis bagi
korban.
Sedangkan ajaran Islam telah jelas memberi aturan-aturan dalam
pergaulan sosial masyarakat seperti sopan-santun, etika berpakaian,
dan memandang seseorang dalam berinteraksi atau bergaul. Dengan
demikian pelecehan seksual merupakan bentuk perbuatan yang
bermoral rendah, karena moral merupakan tata kelakuan seseorang
dalam berinteraksi dan bergaul.
Dalam ajaran Islam jangankan mencium atau memegang anggota
badan seorang perempuan, melihat dengan menimbulkan syahwat saja
tidak boleh, karena dikhawatirkan dapat menimbulkan dan mendekati
zina.
BAB III
PELECEHAN SEKSUAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF
A.
Pelecehan Seksual Dalam Hukum Islam
1. Seksualitas Dalam Hukum Islam
Hukum disusun, dibuat dan disahkan tentu saja ada tujuannya
bagi kehidupan umat manusia di muka bumi ini, baik hukum itu
berasal dari Allah SWT maupun produk manusia sendiri. Dengan
tujuan ini, maka akan ada suatu atau beberapa pencapaian
(idealitas) yang didambakan manusia selaku subjek dan objek
pemberlakuan hukum.
Jikalau hawa nafsu manusia yang tidak diatur dapat
menimbulkan equilibrium dalam masyarakat, tentulah harus ada
peraturan-peraturan yang membawa hawa manusia itu suatu
perkembangan
yang
tidak
akan
membahayakan
masyarakat.
Sehingga tiap-tiap manusia mempunyai jiwa yang tidak lagi akan
menindas manusia lain dalam memuaskan hawa nafsunya (
Abdoerrau’uf 1970 : 38).43
Pandangan Abdoerra’uf itu menunjukkan, bahwa hukum Islam
bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi manusia. Ketentuanketntuan normatifnya, jika ditegakkan dapat mencegah nafsu buruk
manusia yang cenderung dapat merugikan dan merusak harkat
kemanusiaan. Hubungan antar manusia menjadi harmonis, tidak
diwarnai oleh perilaku yang menempatkan sesama manusia sebagai
objek pemuas kepentingan diri sendiri dan kelompok. Manusia yang
satu
dapat tercegah
untuk melakukan
tindak penganiayaan,
kekerasan dan kekejian pada manusia lainya.
Islam memandang kehendak dan hasrat seksual sebagai
realitas dan bagian integral kehidupan manusia yang universal (Q.S.
Ali-Imran/ 3: 14). Bahkan dalam Islam hasrat seksual itu tidak
sekedar dipandang sebagai daya biologis yang mekanistis. Namun
juga merupakan konstribusi pencapaian prestasi ilahiah metafisis.
Karena itu, pemenuhan hasrat seksual dari proses paling awal
hingga produksinya merupakan bagian integral dari ibadah.
Dalam sistem Islam moralitas seks termasuk urusan Syariat
(hukum Islam),44 kocokan seksual antara suami dan isteri lebih
43
Abdoerrau’uf, Seksualitas dalam Hukum Islam, (Jakarta: Bina Ilmu 1970), h. 38
berarti daripada mencari kepuasan. Nabi Muhammad SAW telah
mengajarkan bahwa seks salah satu amal shaleh dalam Islam.
Bahkan beliau melarang umatnya beribadah terus menerus dan tidak
memenuhi kebutuhan seksualnya.
Satu-satunya sarana yang memperoleh legitimasi Islam untuk
menyalurkan kebutuhan seksual tersebut adalah melalui lembaga
perkawinan. Hal ini berarti bahwa seseorang hanya diperkenankan
memenuhi kebutuhan seksualnya dengan suami atau istrinya yang
sah. Firman Allah Qs. Al- Mu’minun/ 23 : 5-6:
1q*I?p
m *y‚(58 1q79:(5
3 1q79^)D3 PQ*: E<F
1qT „8☺+3
&aQ#*
*
) m =>b#* J1⌧d 1qT…†‡"
(6-5 :
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteriisteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka Sesungguhnya mereka dalam
hal ini tiada terceIa.” (Q.S. AL-Mukminun 23: 5-6)
Kendatipun ayat di atas mengatakan bahwa seksual itu baru
dibenarkan setelah seseorang laki-laki dan perempuan berstatus
resmi sebagai suami isteri, namun dalam kenyataan empirik, tidak
semua orang mentaati jalan atau ketentuan hukum yang diperintah
44
Sayyid Muhammad Ridhwi, Perkawinan, Moral dan Seks dalam Islam, (Jakarta: Lentera,
1994), h. 18
oleh Islam itu sendiri. Ada sementara orang-orang yang lebih suka
menyalurkan dan memuaskan nafsu seksualnya kepada selain isteri
(WTS, kekasih) atau suaminya yang sah, yang secara teologis
disebut zina.
Menurut Murthadla Muthahari asumsi seperti yang dilontarkan
oleh para pendukung konsep seks bebas, sangat menyesatkan dan
didasarkan pada asumsi yang palsu, sebab pemuasan sepenuhnya
atas seluruh manusia, tegas Muthahari adalah mustahil. Orang-orang
yang memberikan konsep/resep pemuasan nafsu tanpa kekangan,
tak lagi bisa membedakan sifat manusia dan sifat hewan.45
Lagi pula lanjut Muthahari pemuasan tanpa kekangan atas
seksualitas manusia seperti yang telah disarankan oleh para
pendukung konsep seks bebas itu, bukannya menjadikan frustasi
dan ketegangan psikologis menjadi berkurang, sebaliknya malah
cenderung makin meningkat. Timbulnya berbagai bentuk kejahatan,
kecemasan, kegelisahan, pesimisme dan kecemburuan adalah
sebagian dari contoh-contohnya.
Dalam suatu perkawinan yang paling mendominasi adalah
kebutuhan seks, sehingga seseorang apabila keinginan seksnya
merasa terhalang tidak ada penyaluran, karena istri sudah tua
45
Murthadla Muthahari, Etika Seksual Dalam Islam. (terj), oleh M. Hashem dari Ethies In
Islam and In the Western Word, (Jakarta: Lentera, 1993), h. 79-80
(monopous) atau isteri mempunyai penyakit. Maka timbul emosional
sekalipun keyakinan dalam agamanya kuat. Demi memenuhi
kebutuhan seksualnya maka Islam memberi jalan keluar dengan
memperbolehkan berpoligami, sebagaimana firman Allah:
E<3
ˆZ‰)5%
yF
OiŠ*[L) PI HZo)F
qZa
%‹
*
H a]"
O_\9* Z/rG %r
y‡" H 8Ž*2|i 8„Q#
HZ@
E<3
B)5%
&aQ#* * 3 \8@Q^"
8A^
O
1qZa:G8☺+3
)
.m HZ: E<3 P\‘3
( a’O
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak
yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya. (Q.S : An-Nisa/ 4:3)
Dari kutipan di atas, Islam mengajari pengikutnya untuk tidak
menindas dorongan seks, melainkan memenuhinya, tetapi dengan
cara yang bertanggung jawab. Islam mengikuti kebutuhan seks
manusia sebagai bagian naluri alami yang harus dipelihara, bukan
ditindas.
Islam
membahas
seksualitas
secara
luas
yang
tidak
ditemukan dalam ajaran agama lain:
a. Islam membedakan antara cinta dan seks sebagai nafsu
Cinta kasih adalah mawaddah dan warahmah, sedangkan seks
adalah kekuatan naluri yang disebut nafsu, syahwat. Dalam
perkawianan
kedua
hal
ini
menyatu,
hingga
keduanya
memberikan nikmat yang tertinggi bagi manusia.
b. Islam menjelaskan keinginan pertama dan utama buat laki-laki
adalah perempuan.
c. Islam menjelaskan bahwa nafsu seks harus dididik, dipimpin
supaya ia membawa kebahagiaan.
Namun dibalik itu semua nafsu seks merupakan suatu
problema yang paling pelik bagi manusia. Nafsu seks dapat
menjerumuskan manusia ke lembah kemaksiatan dan kejahatan,
seperti perzinaan, pelacuran, pemerkosaan, perampokan dan
sebagainya.
Dalam Alquran, juga menceritakan tentang beberapa kasus
yang menunjukan bahwa seks bisa menjadi sumber malapetaka umat
manusia.
Nafsu seks mempunyai potensi besar untuk mencelakakan
manusia, karena itu Islam menyarankan penyaluran seks itu dengan
melangsungkan perkawinan agar sesuai dengan tujuan ibadah
kepada Allah.
Maka sesuai dengan fitrah manusia menyalurkan naluri seks,
bukan merupakan kenikmatan biologis semata, tetapi ada tujuan lain
yang harus dicapai:
a) Menjalin kasih sayang antara pria dan wanita
Inilah yang terkandung dalam firman Allah surat Ar-Rum/ 30: 21
yang berbunyi:
y3
5“[*+Z
&
1qZa(5]3 &r 2Za *}Q#8~
Ht:Za*B$
☯^)D3
q(•–*2 ;889 87)F
PI …yF O ^h8☺&i \……
U™1F$
—*+˜8
8A^
(٢١:٣٠ :
)*y:pa⌧5*[*+
Artinya: “ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir. (Q.S: Ar-Rum/30:21)
b) Mendirikan
keluarga dalam
rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, warahmah. Seorang laki-laki adalah pemimpin rumah
tangga dan bertanggung jawab atas bawahannya.
c) Demi kesinambungan eksistensi manusia dalam memperbanyak
keturunan serta kehidupan rumah tangga. Hal ini adalah sunah
dan fitrah kehidupan yang ditetapkan Allah.
d)
Untuk mendapatkan kenikmatan jasamani dan rohani bagi
manusia.46
Tampak jelas betapa luasnya Islam membahas permasalahan
seks. Bahkan menurut pandangan Islam, hubungan seks antar
suami isteri bukan hanya untuk mencari kenikmatan semata,
tetapi memiliki fungsi luhur yaitu sebagai upaya regenerasi,
pelestarian spesies manusia. Karena memiliki fungsi luhur, maka
Allah menciptakan manusia berpasang-pasang (laki-laki dan
perempuan) supaya tidak terasa membosankan.
2. Hukum Pelecehan Seksual
Hukum Islam dapat dijadikan alternatif untuk menjawab atau
memberikan solusi terhadap masalah penyimpangan moral dan
tindak kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat. Ada pendekatan
yang bersifat moral dan ada pula pendekatan represif yuridis yang
ditawarkan untuk menghadapi persoalan tersebut.
46
Fathi Yakan, Islam dan seks (terj), oleh Syafril Halim dari Al-Islam Wa Al-Jins, (Jakarta:
CV. Firdaus, 1991), h. 2-25
Menyangkut masalah pelecehan seksual dalam hukum Islam
tidak terdapat aturan dan ketentuan yang jelas mengenai hukum,
sanksi secara terperinci, karena dalam al-Quran dan Hadis istilah
pelecehan seksual tidak ditemukan.
Pelaku
pelecehan
seksual
hukuman
yang
dijatuhkan
merupakan balasan yang setimpal atau diharapkan pelaku dapat
menebus dosa-dosa yang dilakukan terhadap korban. Pelaku
dikenakan hukuman yang cukup berat yang dapat membuatnya
menjadi jera atau agar di kemudian hari tidak mengulangi lagi
perbuatan jahatnya. Ada tuntunan untuk mengantarkan manusia
pada pintu taubat, yakni dimensi spiritualitas yang dilalui manusia
dalam
membersihkan dirinya dari perbuatan-perbuatan
dosa,
tercela, menodai agama dan merugikan orang lain. Pelaku diberikan
sanksi yang tidak sebatas meringankan bebanya di dunia, namun
juga
diorentasikan
untuk
meringankan
beban
yang
harus
dipertanggungjawaban di akhirat kelak.
Hukuman yang cukup berat dijatuhkan kepada pelaku itu
diharapkan menjadi suatu proses pendidikan kesadaran perilaku
dari kecenderngan berbuat jahat. Hukuman itu menjadi prevensi
(pencegahan) agar anggota masyarakat yang hendak berbuat jahat
tidak tidak meneruskan aksi kejahatanya. Jika pelaku kejahatan
kekerasan seksual mendapat sanksi hukum sebagaimana yang
digariskan dalam syari’at Islam, maka sangat mungkin anggota
masyarakat yang bermaksud melakukan perbuatan sejenis dapat
dicegahnya sejak dini.
Namun demikian walaupun tidak ditemukan istilah pelecehan
seksual, bukan berarti manusia berbuat seenaknya sendiri tanpa
adanya rasa malu dan batas-batas etika serta moral dalam
kehidupan bermasyarakat.
Dalam ajaran agama Islam telah jelas memberi aturan dalam
pergaulan hidup bermasyarakat seperti bersopan santun, ketika
berpakaian dan memandang seseorang dalam berinteraksi atau
bergaul. Dengan demikian, pelecehan seksual, merupakan bentuk
perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan yang bermoral rendah.
Karena syari’at
Islam lebih menekankan pada segi akhlaq/moral
yang menjadi tolok ukur seseorang dalam menilai perilaku dan
perbuatanya, sehingga tidak menyalahi aturan dan kebiasaan yang
ada di dalam masyarakat, apa yang patut dan apa yang tidak patut
dilakukan.47
Larangan memperlihatkan kehidupan erotis dan aurat dalam
Islam dimaksudkan untuk mencegah adanya rangsangan nafsu
seksual terhadap orang yang melihatnya, yang mungkin akan
menimbulkan fitnah dan perbuatan-perbuatan mesum.
47
Lihat Istilah Moral dan Dialektika Hukum dan Moral, karangan Gunawan Setiardjo, h.90
Hubungan seksual (zina) itu, baik dilakukan atas dasar suka
sama suka maupun dengan paksaan adalah perbuatan haram
hukumnya. Keharaman tersebut
menurut Muhammad Ali al-
Shabuni, yang didasarkan pada Q.S. An-Nur ayat 3 berbunyi sebagai
berikut:
E<F
⌧a*+
;<
P‘…š
h⌧zJ&›:
3
^h]8D
87 a*+ ;< hL]…š
O
œJ&›:
3
ky8D
E<F
PQ*:
8A^
*€.l:
(٣:٢٤/ )
.m *Ib ☺)
Artinya:Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (QS. An-Nur 24/ : 3)
Sedangkan kejahatan seksual yang sudah sampai taraf zina
dan bukti-buktinya cukup, Islam telah memberi aturan-aturan yang
jelas mengenai had zina. Bagi pezina muhsan (laki-laki dan
perempuan yang telah menikah) berzina, maka hukumanya adalah di
cambuk seratus kali dan di rajam sampai mati. Sedangkan pezina
ghoiru muhsan (laki-laki dan perempuan yang belum pernah atau
tidak berstatus sebagai suami atau isteri yang belum menikah) maka
hukumanya dicambuk seratus kali dan diasingkan selam satu tahun.
3. Sanksi terhadap pelaku pelecehan seksual
Pelecehan seksual merupakan tindakan yang merugikan dan
tidak menyenangkan bagi korban. Dalam hukum Islam perbuatan
yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat, baik
anggota badan maupun jiwa, harta, benda, keamanan, nama baik
perasaan ataupun hal-hal yang harus dipelihara dan yang dijunjung
tinggi keberadaanya dapat dikatakan sebagai perbuatan perbuatan
jarimah.
Menyangkut tindak pelecehan seksual dalam hukum Islam
tidak terdapat aturan dan ketentuan yang jelas mengenai sanksi
hukumnya secara terperinci, karena baik dalam al-Qur’an maupun
Hadis istilah pelecehan seksual belum dtemukan. Dalam syariat
Islam perbuatan yang belum terdapat ketentuan hukum yang jelas
terperinci, maka ketentuan hukum tersebut menjadi masalah ijtihad
para ulama atau ulil amri yang akan menghasilkan ketentuan hukum
terhadap permasalahan yang dihadapi, dengan mengacu pada
ketentuan al-Qur’an dan al-Hadis, produk hukum tersebut berbentuk
jarimah ta’zir, yaitu jenis hukuman yang tidak ditentukan oleh alQur’an dan al-Hadis, diberlakukan kepada orang yang berbuat
maksiat atau melakukan jenis pidana tertentu yang tidak ada sanksi
had atau kafaratnya, baik yang berkaitan dengan hak Allah seperti
makan disiang hari dibulan ramadan tanpa uzur, meninggalkan salat,
membuat kerusakan di bumi, tidak taat pada pemerintah, melempar
najis di tengah jalan umum, dan perampokan, pencurian, maupun
yang berkaitan dengan hak manusia seperti menyetubuhi istri
melalui dubur, menyogok hakim, menghina, atau melecehkan
oranglain.
Adapun contoh kasus lain dalam jarimah ta’zir yang berkaitan
dengan kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak
adalah percobaan perzinaan atau perkosaan dan perbuatan yang
mendekati zina, seperti mencium, meraba-raba buah dada atau alat
kemaluan, menonton VCD atau gambar porno, goyangan penyanyi
dangdut yang menggunakan pakaian rok mini dan sejenisnya.
Meskipun dilakukan dengan tidak ada paksaan karena hukum Islam
tidak
memandangnya
sebagai
pelanggaran
terhadap
hak
masyarakat. Jelasnya bukan delik aduan, melainkan delik biasa.48
Dengan demikian hukuman bagi pelaku pelecehan seksual
akan diserahkan kepada seorang hakim atau ulil amri yang berhak
untuk memutus perkara tersebut.
Apabila tindakan
pelecehan
seksual telah
berlangsung
menjadi sebuah hubungan seksual (zina) yang tentunya di luar
pernikahan yang sah, maka akan dikenakan hukuman had karena
perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan zina.
48
H. Ahmad Djazuli, Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), cet ke-3, h. 181
Dalam syariat Islam hukuman zina dan perkosaan itu
dibedakan menjadi tiga macam, yakni hukuman dera (dicambuk),
pengasingan dan rajam (dilempar dengan batu sampai mati). Baik
pezina muhsan (laki-laki atau perempuan yang telah menikah)
berzina, maka hukumanya adalah dirajam sampai mati. Sedangkan
bagi pezina yang ghoiru muhsan (laki-laki atau perempuan yang
belum menikah) maka hukumanya adala dicambuk 100 (seratus) kali
dan diasingkan selama 1 (satu) tahun.
Allah SWT berfirman Q.S. An-Nur ayat 2-3:
P‘…š
hL]…š
A@Q^ …Zz H(&9"
H —\*"89 hžH 8☺T„r
8☺TU
2ZzL~"f
;<
yF mI? PI h""3i
2
*y:
ˆZ‰Zz
H
.%B8
™1L)
8☺TU⌧L*:
&@hT&¡)
%r
h⌧5Y
¢m
*Ib ☺)
E<F
⌧a*+
;<
P‘…š
h⌧zJ&›:
3
^h]8D
87 a*+ ;< hL]…š
O
œJ&›:
3
ky8D
E<F
PQ*:
8A^
*€.l:
(2-3 / )
.m *Ib ☺)
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiaptiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (2) Laki-laki yang berzina
tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang
musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oranorang yang mukmin. (3) (Q.S. An-Nur/24: 2-3)
Selain hukuman yang telah disebutkan dalam al-Qur’an di
atas, dalam sebuah Hadis Rasulullah SAW juga dijelaskan tentang
sanksi zina:
:9 e‫ل رﺱل ا‬G : ‫ل‬G :9 e‫ ا‬D‫ رﺽ‬gL‫دة ﺏ ا‬9 9 ‫و‬
.i 8!H k‫ ﺏ‬k‫ ا‬,.‫ ﺱ‬O2‫ وﻥ‬.i 8!H U‫ ﺏ‬U‫ ا‬: E!‫وﺱ‬
49
.(E! 7‫ )روا‬EH‫وا‬
Artinya: ”(Bila yang berzina itu) wanita perawan dengan pria jejaka,
maka didera seratus kali dan di asingkan selama 1 tahun, (Bila yang
berzina itu) wanita dengan pria yang telah menikah maka hukumanya
adalah di cambuk seratus kali dan dirajam”. (H.R. Muslim).
Adapun hukuman pengasingan ( isolasi ) dari tempat
tinggalnya bagi pelaku zina para ulama berbeda pendapat yaitu:
49
11, h. 48
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Indnesia: Daar Ilhya al-Kutub al- Arabiyyah, t. th.), jilid
a. Menurut Imam Ahmad bahwa rasanya hukuman dera seratus kali
belum cuku hingga perlu ditambah dengan internir atau
pengasingan selama setahun.
b. Menurut Imam Abu Hanifah bahwa tidak mesti harus diasingkan
(isolasi), soal hukuman pengasingan terserah pertimbangan
hakim yang memutuskan.
c. Menurut
Imam
Malik
bahwa
yang
dikenakan
hukuman
pengasingan hanya laki-laki saja, sedangkan bagi wanita tidak
diperlukan. Dalam hal ini pada kasus perkosaan tentunya bagi
wanita tidak ada sanksi apa-apa.
d. Menurut Imam Syafi’I, al-Qurtubi, Atha’, Thawus dan Khulafur
rasyidin mereka menyatakan bahwa perlu didera dan diisolasikan
bagi pezina yang bukan muhsan.50
Keterangan yang demikian itu bagi berlaku bagi orang yang
merdeka, sementara bagi orang yang sama-sama berstatus budak
atau hamba sahaya, maka pelakunya tetap dikenakan hukuman had
atasnya sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya.
Dalam hal hukuman Satria Efendi berpendapat bahwa
hukuman pemerkosaan pun berbeda dengan perzinaan. Jika sanksi
zina adalah had (dera atau rajam), untuk pemerkosaan sanksinya
50
Asyhari Abd. Ghafar, pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil,
(Jakarta: Grafindo Utama, 1987), h. 28-29
adalah had disertai dengan hukuman tambahan (ta’zir) yang
ditentukan majlis hakim51.
Akan tetapi korban pemerkosaan tidak dibebankan sanksi
karena dia dipaksa. Menurut jumhur ulama (Maliki, Syafi’I dan
Hambali), baik laki-laki, maupun perempuan, tidak dikenakan sanksi
apa-apa. Argumentasi naqli yang diajukan jumhur adalah Q.S. AlBaqarah ayat 173 sebagai berikut:
:q(•)LQ#*
*€8
8☺£]F
*€¤
h*[)8☺)
* +.šG¥) %q
H J1* “2 …-g3
)*2 J1⌧d Zo&{ 8☺"
O )LQ#*: %q)F ¦⌧" A*: ;<
i
⌦i(5⌧d
p
…yF
(173 2 : / )
{©.m
Artinya: Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah
tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. AlBaqarah/ 2 : 173)
51
Menyeret Pemerkosa ke Rumah Jagal, h. 71
Akan tetapi, menurut mazhab hanafi, laki-laki yang dipaksa
berzina, mesti dijatuhi hukuman had, sebab laki-laki itu ada
kemungkinan untuk menghindarkan diri dari hal tersebut. Karena itu,
bila tidak mengelak, berarti ia merestui dirinya diperkosa, dan ini
berarti tidak ada paksaan.52
Terhadap perempuan korban perkosaan diceritakan dalam
sebuah riwayat, bahwa khalifah Umar r.a. pernah menjatuhkan
hukuman dera terhadap seorang hamba sahaya milik beliau yang
telah menzinai seorang anak perempuan dengan memaksanya,
sehingga hilang keperawanannya, maka khalifah Umar menderanya
sampai 50 (lima puluh kali), kemudian mengasingkanya sampai 1
(satu) tahun dan beliau tidak mendera anak perempuan itu karena ia
dipaksa.53
Hukuman rajam juga berlaku terhadap laki-laki yang sudah
beristri memperkosa wanita dengan dilempari batu sampai mati,
adapun wanita yang diperkosa tidak dihad dan tidak berdosa, sebab
dia tidak berdaya dan tidak dapat dipersalahkan, karena kejahatan
itu berlangsung bukan atas keinginannya.
52
Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abi Bakar al-Suyuthi, al-jami’ al-Saghir, (Beirut: Dar alFikr, t.th), juz 11, h.13
53
Fauzan al-Anshari dan Abdurrahman Madjri menurut Sigman Freud, Hukuman Bagi
Pezina dan Penuduhnya, (Jakarta: Khoirul Bayan, 2002), cet ke-1, h. 13
Itulah konsep hukum Islam dalam memberikan sanksi
hukuman terhadap pelaku zina dan perkosaan baik yang dilakukan
oleh laki-laki yang sudah beristri ataupun belum, yang begitu tegas
dan ketat sekali, sehingga hal ini akan membuat seseorang berfikir
seribu kali untuk melakukan zina (perkosaan), karena mengingat
sanksi yang dijatuhkanya sangat mengerikan. Hukuman/sanksi
seperti ini juga diberlakukan pada perempuan, kecuali perempuan
yang diperkosa.
B.
Pelecehan Seksual Dalam Hukum Positif
1. Seks dan Kesusilaan Dalam Hukum Positif
Kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual berbasis pada
pandangan masyarakat tentang hubungan seks. Oleh karenanya
formulasi delik atau kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual
serta bentuk ancaman pidananya dalam kitab hukum pidana secara
substansial berbeda dan sangat tergantung pada pandangan
masyarakat.
Sigmun Freud (1956-1939) yang disebut bapak psico analisa:
berpendapat bahwa manusia hidup didorong oleh naluri yaitu naluri
makan untuk mempertahankan hidup dan naluri seksual untuk
mempertahankan keturunan dan kehidupan kebersamaan. Bahkan
naluri seks sering lebih menonjol, sehingga seluruh aktifitas manusia
nyaris digerakakkan oleh naluri seks dan hal ini biasa disebut
dengan pansexualisme. Dan dengan teori “libido sexualismenya”,
Sigmund Freud menyatakan, bahkan dengan dorongan seks
merupakan pondasi bagi perkembangan personality (kepribadian)
manusia.54
Kendati demikian, para pendukung kebebasan seksual,
seperti
Freud,
pembatasan
manusia.
justru
dan
berusaha
mencampakkan
larangan-larangan
Pembatasan
dan
larangan
moral
itu
dalam
tegas
pembatasanseksualitas
Freud
telah
menyebabkan banyak penderitaan pada manusia dan menimbulkan
gangguan emosi, termasuk ketentuan-ketentuan dan obsesi-obsesi
bawah sadar.55 Lebih lanjut Freud menyatakan bahwa seseorang
tidak berarti tanpa memenuhi kepuasan seks. Semua norma agama,
moral,nilai-nilai masyarakat dan adat kebiasaan adalah aturanaturan palsu yang menghancurkan swemangat manusia dan
merupakan penindasan tanpa alasan.56
54
Humaidi Tatapangrasa, Seks Dalam Islam, (Surabaya : Bina Ilmu, 1980), h. 21
55
Murthada Muthahari, Etika Seksual Dalam Islam. (terj), oleh M. Hashem dari Ethies In
Islam and In the Western Word, (Jakarta: Lentera, 1993), h.24
56
Fathi Yakan, Islam dan Seks (terj), Oleh Syafril Halim dari Al-Islam Wa Al-Jins, (Jakarta:
CV. Firdaus, 1991), h. 16
Oleh karena itu, semua kepentingan manusia utamanya
menyangkut pemenuhan gairah seksual, harus dibiarkan bebas
untuk memperoleh kepuasan. Hal ini dianggap akan mampu
melenyapkan deprifasi, prustasi dan ketidakpuasan manusia dalam
proses pemuasan nafsunya.
Secara umum ada dua pandangan tentang seksual. Pertama,
seksual dipandang sebagai suatu perbuatan yang kotor dan
menjijikan
yang
seharusnya
dijauhi
orang.
Kedua,
seksual
merupakan perbuatan yang alamiah dan merupakan tuntutan yang
manusiawi. Cara pandang pertama memandang seks rendah, kotor
dan menjadi karakteristik orang yang berdosa, sekalipun dengan
istri yang sah. Pemenuhan tuntutan seksual dapat menimbulkan
konsekuensi yang buruk dalam kehidupan seseorang. Cara pandang
kedua, nafsu seksual betapapun kecilnya tidak dipandang sebagai
sesuatu yang jahat dan menimbulkan konsekuensi yang buruk. Oeh
karenanya
pemenuhan
nafsu
seksual
merupakan
tuntutan
manusiawi.57
Cara pandang yang kedua ini melahirkan pandangan bahwa
pemenuhan nafsu seksual dapat dilakukan secara bebas (kebebasan
seks), karena apabila dikekang akan menimbulkan efek-efek yang
negatif dalam kehidupan manusia.
57
Suparman Marzuki, Pelecehan Seksual, (Yogyakarta:FH UI, 1995) h. 98
Cara pandang lain mengenai pemenuhan seks yang dianggap
baik dan manusia yang tidak ditafsirkan secara bebas tanpa batas.
Kebebasan tanpa batas dinilai telah menyimpang dari naluri manusia
dan kemanusiaannya. Kebahagiaan individu tidaklah terletak pada
upaya memaksimalkan kesenangan di bidang seksualitas.
Bentuk perlindungan hukum pidana terhadap pandangan
seksual merupakan cerminan dari pandangan sosial tentang seks.
Dalam masyarakat yang menganut seks bebas, hukum pidana
dirumuskan sebagai upaya untuk melindungi nilai kebebasan yang
dianggap penting dan diutamakan. Pelanggaran di bidang seksual
dalam hukum pidana pada hakekatnya merupakan pelanggaran
terhadap
hak-hak individual atau
kebebasan
individual yang
merupakan nilai dasar yang hendak ditegakkan melalui saran hukum
(pidana). Sehingga reaksi sosial berupa ancaman sanksi pidana
terhadap pelaku akan semakin, berat apabila tindakan tersebut
melanggar hak-hak individu seseorang, bukan berbasis pada
pelanggaran terhadap nilai kesucian seks. Sebagaimana tertulis
dalam KUHP yang mencerminkan pandangan tersebut di atas,
tercantum pasal 281 dan pasal 284 sebagaimana yang akan dibahas
dalam bab ini mengenai sanksi hukum.
2. Hukum Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia belum terdapat
ketentuan hukum yang jelas. Namun perlu dicatat bahwa hukum itu
hanya merupakan salah satu kaidah sosial atau norma yang ada
dalam masyarakat. Menurut Sudikno Mertokusumo, kaidah sosial
merupakan
perumusan
suatu
pandangan
mengenai
perilaku
pelecehan atau sikap yang seyogyanya dilakukan.58 Pandangan
tersebut
jelas
bersumber
dari
masyarakat,
sehingga
suatu
perbuatan seperti pelecehan seksual dianggap sebagai tindakan
yang perlu dipidana jika aspirasi dan persepsi dari masyarakat
menganggapnya demikian. Dari sisi walaupun ketentuan hukum
belum ada secara jelas mengatur masalah pelecehan seksual, hal ini
sebetulnya telah diatur dalam norma sosial lainya. Norma-norma
sosial tentang pelecehan seksual perlu ditingkatkan menjadi hukum
formal (pidana). Hal ini berarti menyangkut masalah kriminalisasi,
yaitu perbuatan yang semula dipandang bukan sebagai tindak
pidana, karena perbuatan tersebut dianggap merugikan dan
menggangu.
Pelecehan seksual dalam KUHP tidak ditemukan, tetapi bukan
berarti tidak ada aturannya sama sekali. Masih terdapat pasal-pasal
58
Sudikno Mertokusumo, Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Pelecehan Seksual,
(Yogyakarta: Foundation Dengan Penelitian Kependudukan UGM,1999), Cet. Ke-1, h. 1
dalam KUHP mengenai ketentuan hukum. masalah pelecehan
seksual.59 Peraturan hukum pidana mengenai pelecehan seksual
dimasukkan pada tindak kejahatan kesusilaan (Bab X1V, Buku ke-2)
dan pelanggaran kesusilaan (Bab V1, Buku ke-3), seperti pemaksaan
yang tidak menyenangkan, perbuatan cabul, perzinaan, perkosaan
dan penganiayaan. Namun hal tersebut tidak dapat begitu saja
disamakan dengan konteks pelecehan seksual yang berkembang
saat ini.60
Begitu pula bila pasal-pasal dalam bab yang telah disebutkan
satu- persatu maka akan sulit untuk menerapkan pasal tersebut pada
perbuatan pelecehan seksual.
Berdasarkan uraian tersebut dalam satu tindakan pelecehan
seksual mengandung unsur:
a. Adanya suatu tindakan.
b. Perasaan yang tidak nyaman atau tidak mengenakan atas
perbuatan pelaku.
c. Belum ada ketetapan hukum yang jelas sesuai dengan pengertian
pelecehan seksual yang berkembang saat ini.
59
Ibid.
60
Ibid, h. 12
d.
Timbul perasaan untuk mengadakan hubungan intim atau
persetubuhan.
Di samping itu peraturan-peraturan dalam KUHP di Indonesia
tidak mengenal istilah kekerasan terhadap perempuan. Bahkan
dalam rancangan Undang-Undang KUHP, istilah kekerasan tidak
digunakan. Namun terdapat pasal-pasal dalam KUHP, yang paling
tidak memungkinkan perempuan yang menjadi korban kekerasan
mangadukan perkaranya kepada polisi. Pasal-pasal tersebut, yang
dapat dicari hubunganya dengan masalah kekerasan terhadap
perempuan adalah “kejahatan kesusilaan” (Bab X1V, Buku ke-2,
pasal 281-297, (Bab V1, Buku ke-3 Pasal 351-356).61
Dari
segi
bentuk
perbuatan
pelecehan
seksual
dapat
berlangsung menjadi proses sebuah kejahatan seksual, antara
keduanya sama-sama tidak menyenangkan. Perbuatan tersebut
dapat dilihat dari kualitas perbuatan pelaku yang berdampak bagi
korban. Sebuah pelecehan seksual belum tentu sampai pada
perlakuan kekerasan. Tindakan ini hanya sekedar merendahkan,
mengolok-olok,
menggoda
yang
mengarah
kepada
seksual.
Sedangkan kejahatan seksual jelas-jelas sebagai perbuatan yang
memberi dampak pelakuan fisik, intimidasi dengan pemukulan,
karena pelaku memaksa korban untuk menuruti hasrat seksualnya.
61
Sulistiyowati Irianto, Kekerasan Terhadap Perempuan dan Hukum Pidana, (Jurnal Umum,
Edisi 10 Februari-April 1999)
Bila
pemaksaan
pelecehan
hubungan
seksual
seksual
berlangsung
maka
menjadi
dikenakan
sebuah
hukuman
pemerkosaan yang sesuai dengan pasal-pasal yang disebutkan
Dalam kaitan ini zina dan perkosaan dalam hukum positif
(KUHP) dimasukkan dalam kejahatan kesusilaan dan pelanggaran
kesusilaan. Di samping sanksinya ringan, zina dan perkosaan itu
dianggap sebagai delik aduan. Artinya para pelakunya baru bisa
diadili bila telah ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.
Pengaturan hukum pidana pelecehan seksual dirumuskan
sebagai perbuatan terlarang, yang pada hakekatnya memberi cap
jahat terhadap perbuatan pelecehan seksual, secara formal sesuai
dengan peraturan-peraturan yang dilandasi dengan realitas sosial
dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Pengaturan hukum
pidana yang berlaku belum memadai. Oleh karena itu upaya
pembaharuan hukum pidana termasuk mengenai pelecehan seksual
perlu dilakukan.62
Penetapan perilaku seksual dalam perundang-undangan
sebagai kebijakan hukum pidana sangat penting dalam tahap
formulasi yang akan mendasari penetapan dan pelaksanaanya.
Formulasi
62
tersebut
menyangkut
perbuatan
apa
saja
yang
Supanto, Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Pelecehan Seksual, (Yogyakarta: Foundation
Dengan penelitian Kependudukan UGM, 1999), Cet. Ke-1, h. 2
seharusnya dijadikan tindak pidana pelecehan seksual dan sanksi
apa yang selayaknya dikenakan bagi pelaku. Penentuan ini
merupakan proses pencelaan terhadap suatu produk perundangundangan. Oleh karena itu, aspek nilai-nilai budaya masyarakat,
serta pandangan masyarakat mengenai tindak pelecehan seksual
perlu diakomodasikan dalam ketentuan-ketentuan hukum formal.
3. Sanksi Pelecehan Seksual
Hukum dibuat dan diberlakukan sebagai perlindungan kepada
setiap orang agar dapat memberikan rasa aman dari semua
perbuatan yang dapat mengganggu dan mengancamnya. Adanya
sanksi dalam hukum, diharapkan dapat memberikan perlindungan
kepada setiap manusia dari berbagai gangguan tersebut. Pelecehan
seksual merupakan salah satu perbuatan yang dirasa mengganggu
dan merugikan, sehingga ketentuan hukum dan sanksinya harus
benar-benar ditegakkan.
Dalam KUHP, pelecehan seksual tidak dimasukkan secara
kongkrit, namun dari definisi dan penjelasan dalam KUHP pelecehan
seksual dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan.
Di mana pelecehan merupakan tindakan yang melanggar norma
hukum. Tindakan yang melanggar norma hukum, dirumuskan oleh
Wirdjono Prodjodikoro, sebagai tindakan yang bertentangan dengan
hukum dan bertentangan dengan hak orang lain tanpa hak.63
Adapun
tindakan-tindakan
pelecehan
seksual
tersebut
dilakukan dengan cara sengaja, unsur kesengajaan di dalam KUHP
sangat diperhatikan. Sedangkan sanksi yang diberikan pada
pelakunya beragam, yaitu dengan hukuman penjara atau denda. Dari
berbagai sanksi yang dikenakan memang cukup ringan, hal ini
karena tindak pidana pelecehan seksual hanya dianggap sebagai
kejahatan terhadap kesusilaan. Tetapi apakah rasa keadilan akan
dapat dirasakan oleh korban?
Dalam KUHP dijelaskan bahwa seseorang atau sekelompok
orang yang melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan dapat
dihukum walaupun dalam bentuk ringan, contoh di atas dapat
dimasukkan dalam ketentuan pasal-pasal dalam KUHP.64
Yang dimaksud melanggar kesusilaan adalah suatu perbuatan
yang dapat menimbulkan kehendak untuk bersetubuh, baik meliputi
kata-kata maupun perbuatan yang mengenai seks. Atau bisa
diartikan sebagai perbuatan yang melanggar perasaan malu
63
Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, ( Jakarta: PT. Eresco,
1980), cet. Ke-3, h. 2
64
Lihat Pasal 281 KUHP Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:ke-1. barang siapa dengan sengaja dan
terbuka melanggar kesusilaan; ke-2. barang siapa dengan sengaja dan di muka orang lain yang ada
di situ bertentangan dengan kehendaknya melanggar kesusilaan
seksual. Jadi bersifat cabul dan tidak senonoh karena perbuatan itu
dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang melecehkan unsur
delik pasal 281 KUHP.
Ke-1: Barang siapa
1. Dengan sengaja
2.Melanggar kesusilaan
Ke-2: Barang siapa
1. Dengan sengaja di muka orang lain
2. Bertentangan dengan kehendaknya
3. Melanggar kesusilaan
Bahwa delik yang diatur dalam pasal 281 KUHP tersebut
dapat dikatakan melakukan tindak pidana kesusilaan apabila,
perbuatan tersebut dilakukan di muka orang lain, dengan kata lain
dikatakan melanggar jika da penilaian dari luar diri pelaku tidak
menghendaki atas perbuatan itu.
Lain dari pada yang diatur dalam pasal 281 ke-2 KUHP,
meskipun perbuatan itu dilakukan di muka orang lain, tidak dapat
dikatakan melakukan tindak pidana menurut pasal 281 ke-2 KUHP,
kecuali keberadaan orang lain di mukanya itu bertentangan dengan
kehendaknya
Pasal 282 KUHP65
Pasal 283 KUHP. 66
Pasal 284 KUHP. 67
Pasal 285 KUHP. Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar
65
Lihat KUHP: (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan dan menempelkan di muka
umum tulisan, gambaran atau benda, yang telah diketahiunya isinya dan yang melanggar kesusilaan,
atau barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjikkan, atau ditempelkan di muka umum,
membikin tulisan , gambaran, atau benda tersebut, memasukannya ke dalam negeri, meneruskannya,
mengeluarkannya dari negeri atau mempunyai dalam persediaan, ataupun barang siapa secara
terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkanya
sebagai bisa didapat, diancam dengan pidanapenjara paling lama satu tahun enam bulan atau denda
paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.(2) Barang siapa dengan maksud untuk disiarkan,
dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum,membikinnya memasukannya ke dalam negeri,
meneruskan,mengeluarkannya dari negeri, atau mempunyi dalam persediaan, ataupun barangsiapa,
secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa dimintai, menawarkannya sebagai bisa
didapat, diancam, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga, bahwa tulisan, gambaran atau benda
itumelanggar kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah (3) Kalau yang bersalah,melakukan kejahatan tersebut dalam
ayat pertam, sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah
66
Lihat KUHP: (1) Diancam dengan penjara paling lam sembilan bulan atau denda paling
banyak sembilan ribu rupiah, barang siapa menawarkan, memberikan, untuk terus menerus untuk
sementara waktu menerahkan atau memperlihatkan, tulisan, gambaran atau benda yang melanggar
kesusilaan, maupun alat mencegah atau menggugurkan kehamilan, kepada seorang yang belum cukup
umur, dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika
isi tulisan, gambaran,benda, atau alat itu telah diketahuinya. (2) Diancam dengan pidana yang sama,
barang siap membacakan isi tulisan yang melanggar melanggar kesusilaan di muka orang yang belum
cukup umur termasuk dalam ayat yang lalu, jika isi tadi telah diketahuinya. (3) Diancam dengan
pidana paling lama tiga bulan atau denda paling banyaksembilan ribu rupiah, barang siap
menawarkan memberikan untuk terusmaupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau
memperlihatkan, tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk
mencegah atau menggugurkanhamil kepada seseorangyang belum cukup umur dimaksud dalamayat
pertama, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga, bawa tulisan, gambaran atau benda yang
melanggar kesusilaan atau alat itu adalah untuk menggugurkan kehamilan.
67
Lihat KUHP: Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: yaitu seorang
pria telah kawin yang melakukan gendak (overspel), bahwa diketahuinya pasal 27 BW berlaku
baginya.
perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan penjara
paling lama dua belas tahun.
Unsur pemberatan pidana dalam pasal tersebut ialah: Dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita yang
bukan isterinya untuk bersetubuh. Bahwa perbuatan yang dilakukan
sedemikian rupa sehingga orang tidak dapat mengelakkan yang
akhirnya kehendak yang dimaksud pelaku dapat mengelakkan yang
akhirnya kehendak yang dimaksud pelaku dapat terlaksana, seperti
yang diatur dalam pasal 89 KUHP. Bahwa delik ini yang perlu
dibuktikan ialah:
a.
Bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan bagaimana yang
dilakukan pelaku sehingga persetubuhan dapat terlaksana.
b. Kekerasan atau ancaman kekerasan harus ada hubunganya
langsung dengan persetubuhan yang dilakukan pelaku.
c. Bahwa persetubuhan tersebut tidak dikehendaki oleh korban.
d. Korban adalah bukan isterinya.
Pasal 286 KUHP.
KUHP 68
68
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahui
bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
Pasal 287 KUHP. 69
Pasal 288 KUHP 70
Pasal 289 KUHP.
KUHP 71
Pasal 290 KUHP. 72
Pasal 291 KUHP. 73
69
(1) Barang siap bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahuinyaatau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau
umurnya sembilan tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurny
wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal
294
70
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya
harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya dikawin, apabila perbuatan
mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan. (2) Jika perbuatan
mengakibatkan lika-luka berat, dijatuhkan hukuman pidana penjara paling lama delapan tahun. (3) Jika
mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun
71
Barang siap dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk
melakukan atau membiarkan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang
kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
72
Diancam dengan pidana penjara paling lama tujih tahun (1) barang siapa dengan seorang
padahal diketahuibhwa seorang itu pingsan atau tidak berdaya, (2) dan melakukan perbuatan cabul
denagan seorang padahal umurnya belum lima belas tahun, bahwa belum mampu kawin .(3) Barang
siapa membujuk seorang yang sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau
umurnya tidak jelasyang bersangkutan belum di kawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, atau bersetubuh diluar perkawinan.
73
(1) Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287,289, dan 290
mengakibatkan lika berat, dijatuhkan pidana penjara penjara paling lama lima belas tahun. (2) Jika
salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286,, 287, dan 290 itu mengakibatkan mati,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 292 KUHP. 74
Pasal 293 KUHP. 75
Pasal 294
294 KUHP. 76
Pasal 294 jika dibandingkan dengan pasal 289 dia atas
membuka peluang bagi suatu interpretasi: “ Bila hendak melakukan
pencabulan pilihlah korban dengan kriteria: anak perempuan di
bawah umur dan memilikihubungan kerabatdengan pelaku atau
berada di bawah tanggung jawab pelaku, karena ancaman hukuman
lebih ringan dari pada bila dilakukan terhadap perempuan dewasa”.
74
Orang yang belum cukup umur, yang melakukan perbuatan cabuldengan orang lain
sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
75
(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan
perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatansengaja menggerakkan seorang
belum dewasa dan baik tingkah lakunya, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul dengan dia, padahal tentang belumkedewasaannya itu diketahui atau selayaknya harus
diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan
atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu. (3) Tenggang waktu tersebut
dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.
76
(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinyaanak
angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum cukup umur, atau dengan orang yang belum
cukup umur yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjaganya, diserahkan kepadanyayang belum
cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling tujuh tahun. (2) Diancam dengan pidana yang
sama: Ke-1: Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang-orang yang karena jabatan
adalah bawahannya atau dengan orang yang penjaganya dipercayakan atau diserahkan kepadanya..
Ke2. Seorang pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas, atau pesuruh dalam penjara, tempat
pendidikan, rumah piatu, rumah sakit ingatan, atau lembaga sosial yang melakukan perbuatan cabul
dengan orang yang dimasukan ke dalamnya.
Lagi-lagi hukum tidak melindungi perempuan, khususnya anak
perempuan, dan tindakan perkosaan.
Pasal 295 KUHP. 77
Seperti juga pelecehan seksual, peraturan-peraturan dalam
KUHP di Indonesia tidak mengenal istilah kekerasan terhadap
perempuan. Namun terdapat pasal-pasal dalam KUHP, yang paling
tidak memungkinkan perempuan yang menjadi korban kekerasan
mengadukan perkaranya ke polisi. Pasal-pasal tersebut, yang dicari
hubungannya
dengan
kekerasan
terhadap
perempuan
(penganiayaan) adalah:pasal 351, 356.
77
(1)Diancam: Ke-1. dengan penjara paling lama lima lima tahun, barang siapa dengan
sengajamenghubumngkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak
tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum cukup umur, atau oleh
orang yang belum cukup umur yang pemeliharaany, pendidikan atau penjagaanya, diserahkan
kepadanya, ataupun aleh bujangny atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain. Ke2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barang siapa dengan sengaja menghubungkan
atau memudahkan perbuatan cabul kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas, yang dilakukan oleh
orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan
orang lain. (2) Jika yang bersalah, melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan, maka
pidana dapat ditambah sepertiga.
BAB 1V
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI (PN) JAKARTA SELATAN TENTANG
PELECEHAN SEKSUAL SEBAGAI KEJAHATAN KESUSILAAN
NO 401/ PID.B/2007/PN.JAK. SEL
A. Putusan Hakim
1. Kronologis Peristiwa atau Kejadian
a. Bahwa ia terdakwa Subaidi, pada hari jum’at tanggal 18 November
2005 sekitar jam 13.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada suatu
waktu dalam bulan November 2005, bertempat di jalan Gedung
Hijau V1 BC.12 RT. 07/ 017, Kel. Pondok Pinang, Kec. Kebayoran
Lama, Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang
masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, telah melakukan perbuatan kekerasan seksual.78
b. Bahwa terdakwa dan saksi Rosmawati (wanita berumur 31 tahun),
sama-sama bekerja asebagai pembantu rumah tangga di rumah
saksi Ir.Nonviani yang terletak di jalan Gedung Hijau V1 BC. 12 RT.
78
Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Tentang kejahatan seksual No.
401/PID.B/2007/PN. JAKSEL, h. 5.
07 / 017, Kel. Pondok Pinang, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta
selatan, dan keduanya menetap di rumah majikannya tersebut.79
c. Bahwa pada hari Jum’at tanggal 18 November 2005 sekitar jam
13.00 WIB, ketika majikan sedang pergi dan saksi Rosmawati
sedang tidur siang dikamarnya, Terdakwa kemudian masuk ke
dalam kamar saksi Rosmawati yang saat itu tidak terkunci,
selanjutnya setelah masuk Terdakwa mengunci pintu kamar dari
dalam, lalu Terdakwa membuka baju dan celananya sendiri hingga
telanjang bulat, selanjutnya Terdakwa mendekati saksi Rosmawati
dan langsung mencekik leher saksi Rosmawati dengan kedua
belah tangannya, karena kaget maka saksi Rosmawati menjadi
terbangun, lalu Terdakwa buru-buru menyuruh saksi Rosmawati
untuk diam, tapi saksi Rosmawati yang mengetahui Terdakwa akan
berbuat jahat kemudian berusaha memberi perlawanan dengan
berontak, selanjutnya Terdakwa terus mencekik dan mengancam
akan memukul saksi Rosmawati dengan tangan kananya jika
melawan.
d. Karena takut, maka saksi Rosmawati kemudian hanya bisa diam
ketika Terdakwa membuka kaos, BH, celana panjang dan celana
dalam miliknya selanjutnya Terdakwa membuka kedua belah kaki
saksi Rosmawati (dikangkangkan), lalu Terdakwa menindih badan
saksi Rosmawati sementara kedua tangannya memegang ke dua
79
Ibid., h.5.
tangan saksi Rosmawati kesamping kanan dan kiri, kemudian alat
kemaluan Terdakwa (penis) yang sudah dalam keadaan tegang
dimasukkan dengan paksa ke dalam alat kemaluan (vagina) saksi
rosmawati dengan cara menggerakkan pantatnya naik turun
berkali-kali hingga Terdakwa merasakan nikmat dan mengeluarkan
cairan
spermanya
didalam
alat
kemaluan
(vagina)
saksi
Rosmawati.
e. Bahwa
setelah
melakukan
perbuatan
tersebut,
Terdakwa
menyuruh saksi Rosmawati untuk tidak menceritakan kejadian
tersebut kepada orang lain dengan cara menempelkan jari telunjuk
tangan kanannya kearah bibir, dan juga akan memukul dengan
cara memperagakan tangannya, selanjutnya Terdakwa kembali
memakai
pakainnya
lalu
pergi
meninggalkan
kamar
saksi
Rosmawati, sedangkan saksi Rosmawati yang tidak menghendaki
perbuatan Terdakwa tersebut hanya bisa merasakan sakit dan
perih di alat kemaluannya.
f. Bahwa akibat kekerasan seksual yang di lakukan Terdakwa, maka
saksi Rosmawati selanjutnya hamil dan sekarang telah melahirkan
seorang bayi berjenis kelamin laki-laki.
g. Berdasarkan hasil visum Et Repertum No. 2896/ 1/ PKT/ V11/ 06
tanggal 22 juli 2006 dari RSUP Ciptomangunkusumo yang dibuat
oleh Dokter Rika Susanti selaku Dokter pemeriksa dan diketahui
oleh Dokter Spesialis Forensik Dokter Dedi Afandi, disimpulkan
bahwa pada pemeriksaan terhadap koraban perempuan yang
mengaku berumur tiga puluh satu tahun (Rosmawati) ditemukan
luka robekan lama pada selaput dara akibat gesekan benda tumpul
yang melalui liang senggma (panetrasi). Dari hsil USG dari dokter
bagian kebidanan didapatkan usia kehamilan 33 minggu, janin
tunggal hidup.
h. Selanjutnya berdasarkan hasil pemeriksaan Identifikasai DNA dari
Lembaga Biologi molekuler EIJKMN tanggal 10 januari 2007 yang
ditanda tangani oleh Dr. Hermawati Sudoyo, Ph. D selaku Ketua
TIM Identifikasi DNA, disimpulkan bahwa:
1. Sampel SBD-AF (darah dalam tabung yang berasal dari terduga
dari ayah) dan AGM-C (darah dalam tabung yang berasal dari
anak) adalah individu berjenis kelamin laki-laki (X, Y)
2. Enam belas alel Loci marka SRT yang dianalisis dari SBD-AF
(terduga ayah) cocok (matched) dengan alel paternal dari
sampel AGM-C (anak). Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa probabilitas SBD-AF sebagai ayah biologis dari sampel
AGM-C Adalah 99,999 %. Oleh karena itu SBD-AF sebagai
terduga ayah tidak dapat disingkirkan dari kemungkinan
sebagai ayah biologis AGM-C
2. Tuntutan Jaksa
Atas perbuatan Subaidi tersebut maka jaksa penuntut
mendakwakan:
Umum
a. Menyatakan terdakwa Subaidi secara sah dan meyakinkan
Terbukti bersalah melakukan tindak pidana
dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh
dengan dia di luar perkawinan, yang diatur dan diancam pidana
dalam pasal 285 KUHP yang berbunyi: “ Barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena
melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.80
b. Menjatuhkan pidana terhadap Subaidi dengan pidana penjara
selama 6 (enam) tahun penjara dikurangi selama terdakwa
menjalani masa tahanan sementara dan dengan perintah terdakwa
tetap ditahan.
c. Menyatakan barang bukti berupa : 1 buah kaos warna kuning, 1
buah celana jeans warna biru, 1 buah celana dalam warna biru dan
1 BH warna biru, dirampas untuk dimusnahkan.
3. Putusan Hakim
Dalam Putusan Pengadialn Negeri Jakarta Selatan yang
dibacakan pada dan diserahkan pada tanggal 06 juni 2007 dengan No.
401/ PID. B/ 2007 terdakwa atas nama Subaidi , Umur/ tanggal lahir 30
80
Lihat pasal 285 KUHP
tahun, Jenis kelamin: Laki-laki, Kebangsaan Indonesia, Agama: Islam,
Pekerjaan:Pembantu Rumah Tangga , Tempat Tinggal: Gg. Pelangi Rt.
010/ 01 Kel. Kalibata, Kec. Pancoran, Jakarta Selatan atau Vila Nusa
Indah Blok RR 6 No. 58 Kel. Bojong Kulur , Kec. Gunung Putri, Bogor,
benar telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan
tindakan pidana “kejahatan seksual”. Hal tersebut dikatakan ketua
majlis hakim, Fransisca , dalam pembacaan vonis terhadap Subaidi di
pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Dia mengatakan,
terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Bab XIV
KUHP tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Terdakwa terbukti
melakukan kejahatan seksual dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar
perkawianan, sehingga divonis selama 6 (enam) tahun penjara
dikurangi selama terdakwa menjalani masa tahanan sementara dan
dengan perintah terdakwa tetap ditahan.
Melihat dari pertimbangan hakim hal-hal yang memberatkan
bahwa
perbuatan
terdakwa
mengakibatkan
saksi
Rosmawati
mengalami tekanan mental yang amat hebat karena hamil dan
melahirkan anak tanpa ada bapaknya, terdakwa tidak mengakui terus
terang perbuatannya dan selalu berbelit-belit dalam memberikan
keterangan dipersidangan, tidak terlihat ada tanda penyesalan dalam
diri terdakwa.
Sedangkan hal yang meringankan adalah terdakwa belum
pernah dihukum. Akhirnya hakim menyatakan bahwa:
a). Terdakwa Subaidi telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana diatur dalam pasal 285 KUHP dalam dakwaan kedua.
b). Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “ dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan
dia di luar perkawinan” , sebagaiman tersebut dala pasal 285
KUHP dalam dakwaan kedua.
c) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 6 tahun penjara
d) Menyatakan pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa dikurangi
selama masa penahanan terdakwa.
e) Menyatakan barang bukti berupa1 buah kaos warna kuning, 1 buah
celana jeans warna biru, 1 buah celana dalam warna biru dan 1 BH
warna biru, dirampas untuk dimusnahkan.
f) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 2000,(dua ribu rupiah)
g) Memerintahkan terdakwa tetap ditahan.81
81
Putusan No.401/PID.b/2007/PN JAK,SEL, h.12.
B. Analisis Putusan Hakim
Hakim
1. Analisa Putusan Hakim menurut KUHP
Dalam putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas
perkara
No:
401/PID/.B/2007/PN.JAK.SEL.
tentang
kejahatan
kesusilaan dengan terdakwa Subaidi belum sesuai dengan amanat
Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Dalam putusan tersebut
terdakwa hanya dijatuhi hukuman selama 6 tahun penjara, seharusnya
dihukum dengan 12 tahun penjara. padahal dalam perkara tersebut
terdakwa telah terbukti secara menyakinkan melakukan perbuatan
kejahatan kesusilaan (Bab XIV) KUHP tentang kejahatan terhadap
kesusilaan yaitu (pasal 285 KUHP)
82.
Tetapi ada hal-hal yang
memperingan atas putusan terhadap tindak pidana yaitu terdakwa
belum pernah dihukum.
2. Analisa Putusan Hakim menurut Hukum Islam
Hukum
Islam
menegaskan
bahwa,
kehormatan
manusia
merupakan suatu hal yang prinsip dan mahkota yang harus dilindungi
82
Pasal 285 yang rumusannya ” barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”
serta dipelihara dari segala bentuk ancaman maupun gangguan yang
akan merendahkan atau melanggar nilai-nilai kemanusiaanya.
Dalam kajian hukum Islam kejahatan seksual dikategorikan
sebagai kejahatan kesusilaan, maka hukum Islam membagi berbagai
bentuk-bentuk kejahatan seperti:
1. Perzinaan
Secara etimologis zina itu berarti
"‫ ا)م‬D‫"ا‬
, atau
persetubuhan antara pria dan wanita melalui faraj (vagina) yang
antara keduanya tidak ada ikatan tali perkawinanyang sah serta
tidak ada unsur syubhat.83 Contoh persetubuhan yang di dalamnya
terdapat unsur syubhat adalah seseorang yang bersetubuh dengan
wanita yang berada di kamar tidurnya yang dikira istrinya, tetapi
ternyata orang lain.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa kontak sosial di
luar nikah antara pria dan wanita, baik melalui vagina maupun
anus, disebut zina. Di samping itu para pengikut madzhab Syafi’i
menambahkan bahwa homoseksual (yang biasanya melakukan
kontak seksual melalui anus) juga dikategorikan sebagai zina
sebab anus itu juga termasuk dalam termasuk dalam term faraj.84
83
.Muhammad Ali al-Sahabuni, Rawa’a al-Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam, (t. tp: Daral- Fikr, t.
th), Jilid 11, h. 8
84
Ibid., h. 43
Pendapat ini dibantah oleh pengikut madzhab Hanafi yang
menyatakan bahwa zina itu hanya terbatas pada persetubuhan
antara laki-laki dan wanita (yang bukan suami isteri yang sah) yang
dilakukan melalui qubul (vagina).85
Karena itu, homoseks dan kontak seksual pranikah antara
laki-laki dan wanita yang bukan suami istri, yang tidak melalui
vagina seperti melalui anus (anal seks) atau mulut (oral seks), juga
tidak bisa disebut zina.
Dalam masalah zina yang merupakan bagian dari kejahatan
kesusilaan Sayyid Sabiq mengemukakan pendapatnya sebagai
berikut: “Zina itu terang merupakan perbuatan yang menimbulkan
kerusakan besar”. Dilihat secara ilmiah zina adalah salah satu di
antara sebab dominant yang mengakibatkan kerusakan dan
kehancuran
peradaban, menularkan penyakit yang berbahaya,
mendorong orang untuk terus menerus hidup membujang serta
praktek hidup bersama tanpa nikah (kumpul kebo). Dengan
demikian zina merupakan sebab utama dari pada kemelaratan,
pencabulan dan pelacuran.86
85
86
. Ibid., h.44
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut : Dar al-Fikr, 1981), cet. Ke-3, h. 427
Adapun definisi zina dalam hukum Islam adalah hubungan
seksual yang dilakukan antara laki-laki dan wanita yang keduanya
tanpa ikatan perkawinan yang sah. Dasar keharaman zina dalam
syariat Islam adalah firman Allah SWT:
1q*I?p
m *y‚(58 1q79:(5
3 1q79^)D3 PQ*: E<F
1qT „8☺+3
&aQ#*
*
=>b#*
J1⌧d
1qT…†‡"
O_⌧1*[12
8☺"
m
8Aª£fgf" 8A^ Zi
©m *y 8) :qArtinya: Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteriisteri mereka atau budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam
hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka Itulah
orang-orang yang melampaui batas. (Q.S. Al-Mu’minun/23 : 5-7)
Bahkan tidak hanya zinanya yang haram, mendekatipun
haram sebagaimana difirman Allah SWT:
H
P\‘.lš
H2*)F
;<
Z8­ h*¬" *y⌧z «£]F
.¢m ⌧L•8­
Artinya:. “ Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk..” (Q.S. Al-Isra / 17:32)
Disamping itu Rasulullah SAW bersabda:
:!9 e‫ ا‬D!‫ ﺹ‬e‫ل رﺱل ا‬G : :9 e‫ ا‬D‫س رﺽ‬9 ‫ إﺏ‬9
r ‫!ن ﺏأة‬0" sF ‫ وام ا[ﺥ‬e‫ ﺏ‬u" ‫ آن‬:E!‫وﺱ‬
.(8‫ ا‬7‫ ان )روا‬k‫ن ﺙ‬F ‫ ذا )م‬+
Artinya: Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
maka ia tidak berkhalwat dengan seseorang perempuan tanpa
disertai muhrimnya, karena yang ketiganya ialah syaitan.
(HR.Akhmad)
2. Perkosaan
Perkosaan dan perzinaan dalam hukum Islam sama-sama
kejahatan seksual. Akan tetapi perkosaan bukanlah perzinaan
biasa, namun dalam perkosaan terdapat unsure pemaksaan si
pelaku terhadap korbannya. Menurut Dr. Satria Efendi, dalam
bahasa Arab pun istilah perkosaan bukanlah zina tapi ( ‫ ا‬. ) ‫ ك‬%‫ا[ ﻥ‬
‫ ) ء‬Yaitu rampasan kehormatan wanita.87
Menurut Prof. H. Loebby Loqman, Guru Besar FH UI,
perkosaan
adalah
persetubuhan
diluar
pernikahan
dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan. Disamping itu juga disebut
perbuatan perkosaan bila terjadi persetubuhan dengan paksaan
psikis yang memang tidak dikendaki wanita tersebut.88 Karena itu,
87
“ Menyeret Pemerkosa Ke Rumah Jagal ” , UMMAT, (4 September 1995 ), h. 71
88
Harian Umum Kompas, (1 Agustus 1995 ), h. 8
seorang isteri tidak bisa secara hukum mengajukan kasus “maritel
rape“ yakni bahwa ia telah diperkosa oleh suaminya. Prinsip
seperti ini tidak dikenal dalam Islam dan KUHP, sebab dalam
hukum Islam perkosaan dimasukkan dalam kategori zina bi al-
ikrah, yakni kontak seksual yang dilakukan oleh pria dan wanita
yang bukan suami isteri yang sah yang dilakukan dengan paksaan
atau ancaman.
Mengingat prinsip itu banyak merugikan pihak wanita
semisal masih ada suami yang mensahkan pemukulan terhadap
isterinya bila ia membangkang dalam pelayanan seksual.89 Maka
pasal 285 KUHP menyebutkan “ barang siapa dengan kekerasan
atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang wanita
bersetubuh dengan laki-laki di luar perkawinan, diancam karena
melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12
tahun”. Menutup kemungkinan diadakannya ancaman pidana
terhadap perkosaan yang terjadi dalam perkawinan (marital rape),
padahal dalam
kenyataannya kekerasan
yang dialami oleh
perempuan banyak terjadi di dalam rumah, dilakukn oleh anggota
89
Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan,
(Yogyakarta: PKBI, 1997), H. 93
keluarga, terutama suami, termasuk yang dilakukan dalam bentuk
perkosaan.90
Oleh karena itu, seorang yang melakukan perzinaan dengan
dalih terpaksa karena keadaan ekonomi lemah, lingkungan, psikis
dan sebagainya adalah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara moral serta agama dan juga melanggar hukum serta
undang-undang. Berbeda kalau dengan keadaan dipaksa atau
diancam dalam melakukan hubungan seksual (diperkosa). Maka
selain unsur penyalahgunaan seks, didalamnya terdapat unsur
penyalahgunaan seks, didalamnya terdapat unsur kekerasan yang
pelakunya
akan
mendapat
sanksi
zina,
sedangkan
korban
perkosaan tidak dikenai sanksi.
Jadi perzinaan dan perkosaan itu berbeda, perzinaan itu
dilakukan antara laki-laki dan wanita yang keduanya tanpa ikatan
perkawinan yang sah dan dilakukan suka sama suka, sedangkan
perkosaan yaitu perbuatan yang terjadi dengan paksaan si pelaku
terhadap korbannya.
Menurt analisa penulis bahwa Hukum positif menurut saya
kurang relevan sekali, karena dari si korban tersebut mengalami
trauma yang sangat berat, bahwa si korban merasa sangat
dirugikan, dan hukumannya saja hanya di penjara dan membayar
90
Ade Latifa,” Tindakan Kekerasan Suami Terhadap Isteri”, makalah 1998
denda, jadi tidak sebanding dengan perbuatannya tersebut.
Sedangkan menurut hukum Islam hukuman bagi perkosaan
sanksinya adalah had disertai dengan hukuman tambahan (ta’zir
yang di tentukan oleh hakim). Maka disini menurut saya hukuman
yang pantas untuk korban perkosaan adalah hukum Islam karena
hukum Islam adalah hukuman yang sangat adil, tegas dan jelas,
karena menyangkut harga diri serta kehormatan manusia.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan tentang kejahatan pelecehan
seksual menurut hukum Islam dan hukum positif yang bersumber pada
al-Qur’an dan KUHP, dan analisis putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan No 401/PID.B/2007/PN.JAK.SEL. maka sebagai akhir dari
pembahasan ini dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut:
1. Islam memandang bahwa hasrat seksual merupakan bagian integral
dari ibadah. Hubungan suami dan istri bukan hanya untuk mencari
kenikmatan biologis semata, melainkan memiliki fungsi luhur. Namun
demikian Islam tidak membenarkan bila gairah seksual tersebut
dipenuhi
dengan
cara
bebas
dan
membabi
buta,
tanpa
menghiraukan norma-norma agama dan norma susila. Semua ini
apabila dilakukan maka melanggar hukum Allah.
Sedangkan menurut hukum positif pelecehan seksual atau sexual
harassment adalah perbuatan yang oleh korbannya dirasa tidak
menyenangkan
karena
perbuatan
tersebut
mengintimidasi,
menghinakan tidak menghargai, merendahkan, dengan membuat
seseorang sebagai objek pelampiaskan seksual atau pelecehan
seksual dapat diartikan sebagai perbuatan yang menyangkut
masalah seks.
2. Dalam hukum Islam pelecehan seksual yang ringan seperti perbuatan
yang mendekati zina; mencium, meraba-raba, memegang baik fisik
maupun
non
fisik yang
sifatnya merendahkan, menghinakan
seseorang sebagai obyek pelampiasan seksual telah berlangsung
menjadi sebuah hubungan seksual (zina) yang tentunya diluar
pernikahan yang sah, maka akan
dikenakan hukuman had.
Ketentuan mengenai zina dan perkosaan adalah: Bagi pezina
muhsan (laki-laki dan perempuan yang telah menikah) berzina, maka
hukumannya adalah dirajam sampai mati, sedangkan bagi pezina
ghoiru muhsan (laki-laki dan perempuan yang belum menikah), maka
hukumannya didera seratus kali jilid dan diasingkan selama satu
tahun, serta terhadap korban perkosaan tidak dikenai sanksi karena
dipaksa.
Dalam KUHP istilah pelecehan seksual dapat dikategorikan sebagai
kejahatn terhadap kesusilaan (bab XIV, buku ke-2) dan pelanggaran
kesusilaan ( bab VI, buku ke-3), dimana pelecehan seksual
merupakan tindakan yang melanggar norma hukum dan hak orang
lain. Dari berbagai sanksi yang dikenakan memang cukup ringan,
yaitu dengan hukuman penjara.
3.
Bahwa
dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
selatan
No.401/PID/.B/2007/PN.JAK.SEL. Tim Majelis Hakim menjatuhkan
vonis kepada Subaidi dengan hukuman enam (6) tahun penjara. Dari
putusan pengadilan tersebut maka jika ditinjau dari hukum Islam
maka hukuman bagi terdakwa belumlah sesuai dengan kaidah
hukum yang ada pada hukum Islam. Sanksi kejahatan pelecehan
seksual (perzinaan) dalam hukum Islam pelaku dikenakan had zina,
dirajam sampai mati (pezina muhsan), sedangkan (pezina ghoiru
muhsan ) dikenakan hukuman cambuk 100 kali dan diasingkan
selama 1 tahun.
Sanksi dalam hukum positif yaitu terdapat dalam delik kejahatan
terhadap kesusilaan bab X1V, sangat ringan, dalam hal ini pelaku
hanya dikenakan hukuman beberapa tahun saja atau denda yang
relatif ringan, tidak ada hukuman mati. Sedangkaan sanksi yang
terlalu ringan dalam hukum positif, menyebabkan tujuan pemidanaan
tidak maksimal, karena tidak mencerminkan penderitaan korban.
Pelaku cenderung untuk mengulangi perbuatannya.
B.
SaranSaran-Saran
Dengan
menitik
beratkan
pada
bagian
komparatif
dan
pembahasan tentang kejahatan pelecehan seksual sebagai kejahatan
kesusilaaan dalam pandangan hukum Islam dan hukum positif (Analisis
Putusan Nomor 401/pid. B/2007/PN.Jak.Sel), disini penulis
ingin
mengemukakan beberapa saran antara lain:
1.
Selama ini hukum yang dipakai di Indonesia mengacu kepada
KUHP yang notabennya adalah warisan dari kolonoial Belanda,
karena adalah hal yang wajar bila sebagai bangsa yang merdeka
dan sebagai mayoritas warga Negara Indonesia yang beragama
Islam, selayaknya untuk memulai dan menerapkan ajaran-ajaran
Islam secara kaffah termasuk di dalamnya soal hukum kejahatan
pelecehan seksual.
2.
Mengenai ketentuan hukum dan sanksi dalam kejahatan seksual
belum ada peraturan yang jelas, sehingga perlua adanya suatu
upaya untuk mengatasi maraknya kejahatan pelecehan seksual.
Hukum yang ada dalam KUHP di Indonesia mengenai perbuatan
pelecehan seksual belum terdapat ketentuan hukum sendiri,
karena pengaturannya masih tercakup dalam tindakan kejahatan
dan pelanggaran kesusilaan. Sehingga antara pelecehan seksual
dengan kejahatan seksual yang bentuknya berbeda-beda masih
tercakup dalam pasal-pasal yang sama. Oleh karena itu upaya
pembaharuan hukum pidana perlu dilakukan.
3.
Dalam kejahatan dan pelanggaran kesusilaan, pelecehan seksual
seharusnya KUHP yang sekarang perlu direvisi dan pemberatan
sanksi bagi pelaku kejahatn pelecehan seksual.
4.
Melihat semakin maraknya tindak kejahatn baik kejahatan seksual
maupun kejahatan yang lain di Indonesia, maka pemerintah dan
aparat berwenang,
tokoh
masyarakat,
ulama harus
berani
bertindak tegas terhadap pelaku kejahatan kesusilaan, pelecehan
seksual dan kejahatan lainnya yang mengganggu kehidupan
masyarakat.
5.
Keputusan hakim mengenai kasus perkosaan dan perzinaan yang
selama ini terjadi belum mendapatkan rasa keadilan karena pasal
yang dipergunakan masih sangat ringan, untuk itu negara
berkewajiban
untuk
mengamandemen
perkosaan tidak terjadi lagi.
pasal
tersebut
agar
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur;an al-Karim
KUHP, kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Hasyim, Syafiq Hasyim, Menakar Harga perempuan: Eksplorasi lanjut Atas Hak
Reproduksi Perempuan dalam Islam, Bandung Mizan,1999
Drever, James, Dictionary Of Psychology, Jakarta: PT Bina Aksara, 1998, Cet. Ke-2
Hathaut, Hasan, Revolusi Seksual, Bandung : Mizan,1994
Syafrudin, Ayip, islam Dan pendidikan Seks Anak , solo: pustaka Mantiq,
1991, Cet. Ke-1
WJ.S. Poerwadarminto, Kamus umum bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1983, h. h. 387
Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal 245
Daldjoemi, “Perempuan, sudah dilecehkan masih dituduh meniming-iming” ,
Kompas, 21 November 1994
Kruzman, Charles, wacana islam liberal : pemikiran islam kokontomporer
tentang isu – isu Global, jakarta :Paramadina, 2001, Cet . Ke-1
YLKI dan The Ford Fondation, Program Seri Loka Karya Kesehatan dan Kekerasan
terhadap Perempuan, Jakarta YKLI dan The Ford Foundation, 1998
Galuh Wandita dkk, Hukum pidana Internasional dan perempuan : Komnas
Perempuan (Jakarta)
Seno adji, Oemar , Hukum acara pidana dalam perspeksi, Jakarta : Erlangga,
1981, Cet.Ke-3
Nasir, Syed Mahmuddun, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : Remaja
Rosdakarya, 1991
http: // www pancaran anugrah. Org / index. Rofie.multiply. journal / item 5 /
pelecehan seksual
Marzuki, Suparman, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, Yogyakarta: PKBI,
1997
Az-Zuhaili, Wahbah , Al-Fiqhu Al- Islamy Wa Adillatuhu, Damaskus : Dar alFikr, 1984, Juz v
Departemen pendidikan dan kebudayaan, kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai pustaka, 1998, Cet. Ke-1
Marzuki, Suparman, Pelecehan Seksual, Yogyakarta: FH UI, 1995
Bassar, Sudrajat, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, Bandung, CV.
Remaja Karya, 1986, Cet. Ke-2
Loebby Loqman, Delik kesusilaan, makalah lokakarya BPHN, 1995.
Suharto R,M, Hukum Pidana Materiil; Unsur- Unsur Obyektif Sebagai Dasar
Dakwaan, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, cet. Ke-1
The Lexicon Webster International Dictionary of The English Language, The English
Language, The English Language Institute of America, INC, London, 1978
John M. Echol, Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia Jakarta: Gramedia
1984
Prodjodikono, Wirdjono, Tindak-Tindak pidana Tertentu di Indonesia, Jakarta:
Eresco, 1969
Jubaedah, Neng, Pornografi dan Pornoaksi di tinjau dari Hukum Islam, Bogor:
Kencana, 2003, Cet. Ke1
Shabuni, Muhammad Ali , al, Rawa,I al-Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam, t. tp: Dar
al- Fikr, t. th Jilid 11
Prasetyo, Eko dan Marzuki,Suparman, Peremuan Dalam Wacsna Perkosaan,
Yogyakarta: PKBI, 1997
Latifa, Ade, “ Tindakan Kekerasan Suami Terhadap Isteri”Makalah 1998
Abdul Gofar, Aji, dan Ibrahim, Giliran Anak lelaki, editor 111, 27 Februari
1990
Thalib,M. Pergaulan Bebas Prositusi dan Wanita, Yogyakarta: PD. Hidayat, 1986,
cet.1
Departemen RI, Al-Qur,an dan Terjemahannya, Terjemahan: Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Al-Quran , Jakarta: PT. Bumi Restu, 1997, cet. Ke-1
Kamus Pelaku Seksual Menyimpang, Jakarta: Suara Karya Minggu, Minggu
kedua Januari 1990
Rochim, Ainur , Sumbangsih Umat Islam Menanggulangi Kejahatan Seksual di
Indonesia, Jakarta, Proyek pembinaan kemahasiswaan Dirjen Kelembagaan Agama
Islam Depag. RI, 1985, Cet, Ke 1
Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Drever, James, Dictionary Of Psychology, Jakarta: PT Bina Aksara, 1988, Cet. Ke-2
Khaeruddin, Pelecehan Seksual terhadap Isteri, Yogyakarta: Pusat penelitian
Kependudukan UGM, 1999, Cet. Ke-1
Abdoerrau’uf, Seksualitas dalam Hukum Islam, Jakarta: Bina Ilmu 1970
Ridhwi, Sayyid Muhammad, Perkawinan, Moral dan Seks dalam Islam,
Jakarta: Lentera, 1994
Murhahari, Murthadla , Etika Seksual Dalam Islam. (terj), oleh M. Hashem dari
Ethies In Islam and In the Western Word, Jakarta: Lentera, 1993
Yakan, Fathi, Islam dan seks (terj), oleh Syafril Halim dari Al-Islam Wa Al-Jins,
Jakarta: CV. Firdaus, 1991
Lihat Istilah Moral dan Dialektika Hukum dan Moral, karangan Gunawan
Setiardjo
Djazuli, H. Ahmad , Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam
Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, cet ke-3
Muslim,Imam, Muslim,Shahih Indnesia: Daar Ilhya al-Kutub al- Arabiyyah, t. th.,
jilid 11
Abd. Ghafar, Asyari, pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah
Hamil, Jakarta: Grafindo Utama, 1987
Menyeret Pemerkosa ke Rumah Jagal
Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abi Bakar al-Suyuthi, al-jami’ al-Saghir, Beirut: Dar
al-Fikr, t.th, juz 11
Al- Anshari, Fauzan dan Madjri,Abdurrahman menurut Sigman Freud,
Hukuman Bagi Pezina dan Penuduhnya, Jakarta: Khoirul Bayan, 2002, cet
ke-1
Tatapangrasa,Humaidi, Seks Dalam Islam, Surabaya : Bina Ilmu, 1980
Muthahari, Murthada, Etika Seksual Dalam Islam. (terj), oleh M. Hashem dari Ethies
In Islam and In the Western Word, (Jakarta: Lentera, 1993
Yakan, Fathi, Islam dan Seks (terj), Oleh Syafril Halim dari Al-Islam Wa Al-Jins,
Jakarta: CV. Firdaus, 1991
Mertokusumo, Sudikno , Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Pelecehan Seksual,
Yogyakarta: Foundation Dengan Penelitian Kependudukan UGM,1999, Cet. Ke-1
Irianto, Sulistiyowati , Kekerasan Terhadap Perempuan dan Hukum Pidana,
Jurnal Umum, Edisi 10 Februari-April 1999
Supanto, Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Pelecehan Seksual,
Yogyakarta: Foundation Dengan penelitian Kependudukan UGM, 1999, Cet.
Ke-1
Prodjodikoro, Wirdjono , Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Jakarta: PT.
Eresco, 1980, cet. Ke-3
Putusan No.401/PID.b/2007/PN JAK,SEL, h.12.
.Muhammad Ali al-Sahabuni, Rawa’a al-Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam, t. tp: DaralFikr, t. th, Jilid 11
Sabiq,Sayyid, Fiqh Sunnah, Beirut : Dar al-Fikr, 1981, cet. Ke-3
Menyeret Pemerkosa Ke Rumah Jagal , UMMAT, 4 September 1995
Harian Umum Kompas, 1 Agustus 1995
Prasetyo, Eko dan Marzuki, Suparman, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan,
Yogyakarta: PKBI, 1997
Ade, Latifa, Tindakan Kekerasan Suami Terhadap Isteri” makalah 1998
Download