KEJAHATAN KESUSILAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Analisis Putusan Nomor 401/pid.B/2007/PN.Jak.Sel) Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh : Fitrotul Amalia HF 105045101486 PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH KONSENTRASI PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M KATA PENGANTAR Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya, yang istiqomah dalam menjalankan amanah-Nya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini, banyak mengalami kekurangan, kesulitan hambatan dan tantangan. Namun berkat bantuan, dorongan serta arahan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna memperoleh gelar Srtata Satu ( S1 ) Sarjana Syari’ah pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Karenanya dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis, baik langsung maupun tidak langsung, untuk itu penulis sampaikan terima kasih kepada yth: 1. Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum. 2. Dr. Asmawi. M. Ag., Ketua Program Studi Jinayah Siyasah, dan ibu Sri Hidayati, M. Ag, Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah. 3. Kepada Bu Sri Hidayati dan Bapak Nurul Irfan yang telah dengan sabar membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat terselasaikan. 4. Keluarga besar Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beserta segenap dosen, karyawan dan seluruh staff yang telah banyak membantu dan memberikan fasilitas bagi penulis. 5. Pegawai serta staff Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan dan mencari data serta dokumen yang penulis butuhkan untuk penyusunan skripsi. 6. Kepada Kedua Orang tua penulis, Papihku tersayang H. Khafidzoh Hasyim almarhum dan Mamihku tercinta HJ. Robeah almarhum, yang telah mendidik, mengasuh sejak kecil sampai dewasa serta mendo’akan penulis sajak kecil, hingga kini, mudah-mudahan amal beliau diterima disisi Nya, dan segala apa yang telah diberikan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Akan selalu ku ingat akan jasa-jasa mu. Sembah sujud Kepada Mu. Ilove you 7. Kepada seluruh kakak-kakakku yaitu Jenal Fudin HF, Nur Anisah HF, Fatkhul Inayah HF, Abdul Khalik, K Arbi, Mba Iis, yang senantiasa selalu mendidik dan menasehati, dan merekalah yang selalu memberiki motivasi, semangat, dukungan, dan selalu membantu dalam bentuk materil maupun formil, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas askripsi ini. serta do’anya selama ini, penulis ucapkan terima kasih yang mendalam. 8. Adik-adikku tercinta: Alim HF, Budi HF, dan keponakan-keponakanku yang lucu-lucu dan imut-imut Mizna, Adit (si tembem ) yang selalu mengganggu disaat penulis sedang mengerjakan skripsi, sehingga penulis mempunyai semangat dan motivasi yang tinggi. 9 Kepada Kekasihku Nur Akhmad yang selalu menyayangi dan memberiku semangat dan dorongan dalam penulisan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi, thanks for all to my darling. 10. Kepada Nita yang selalu menemani penulis, capek, ngantuk ia tetap temanin penulis, thanks ya nita…. Atas semua itu penulis hanya bisa mendo,akan semoga amal baik yang telah diberikan, diterima oleh Allah SWT. Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini bermanfaat. Amien Fitrotul Amalia. HF DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.................................................................................i PENGANTAR DAFTAR ISI .............................................................................................iv BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah............................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .....................................9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................9 D. Metode Penelitian ....................................................................10 E. Review Pustaka........................................................................12 F. Sistematika Penulisan ..............................................................19 BAB 11 TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAHATAN KESUSILAAN DAN PELECEHAN SEKSUAL A. Pengertian Kejahatan Kesusilaan ............................................21 B. Bentuk-bentuk Kejahatan Kesusilaan .....................................24 C. Pengertian dan Batas-batas Pelecehan Seksual......................32 BAB 111 PELECEHAN SEKSUAL DI TINJAU DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Pelecehan Seksual Dalam Hukum Islam ..................................38 1. Seksualitas Dalam Hukum Islam ............................................38 2. Hukum Pelecehan Seksual ....................................................44 3. Sanksi Terhadap Pelaku Pelecehan Seksual .........................47 B. Pelecehan Seksual Dalam Hukum Positif .................................53 1.Seks dan Kesusilaan Dalam Hukum Positif.............................53 2. Hukum Pelecehan Seksual ....................................................57 3. Sanksi Pelecehan Seksual .....................................................60 BAB 1V PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR 401/ pid. B/ 2007/ PN. Jak. Sel. A. Putusan Hakim .....................................................................68 1. Kronologis Peristiwa atau Kejadian .................................68 2. Tuntutan Jaksa.................................................................71 3. Putusan Hakim .................................................................73 B. Analisis Putusan Hakim.................................................... BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...........................................................................81 B. Saran-saran...........................................................................83 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 86 LAMPIRANLAMPIRAN-LAMPIRAN BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekerasan dalam beberapa tahun belakangan ini, telah menjadi masalah paling aktual dan sangat populer di tengah-tengah peradaban global. Ia telah memasuki berbagai wilayah komunitas: politik, ekonomi, sosial, budaya, seni, ideologi, pemikiran keagamaan, bahkan dalam wilayah sosial yang paling eksklusif yang bernama keluarga. Kekerasan justru semakin menjadi fenomena kehidupan yang tak terpisahkan. Kekerasan seksual mempunyai berbagai nama, tergantung situasi dan bentuk kekerasannya. Kekerasan seksual dapat dirujuk sebagai penyiksaan, penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan, pemerkosaan dan lain-lain. Tergantung dari situasinya. Dewasa ini kita menyaksikan dengan jelas munculnya berbagai peningkatan kriminalitas, kerusakan moral, perusakan lingkungan hidup, kemiskinan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual. Semuanya adalah bentuk kekerasan yang sesungguhnya merupakan dimensi lain dari pada manusia. Dalam kondisi yang mencekam seperti itu, sekarang banyak orang yang mencoba mencari paradigma alternatif bagi sistem sosial yang menolak kekerasan. Sudah saatnya disadari bahwa peranan agama dalam proses kehidupan modern menjadi sebuah tuntunan yang tak terelakkan.1 Manusia dilengkapi nafsu seks dan dengan nafsu seks itu pula manusia dapat mempertahankan keturunannya, oleh karena itu seks dianggap sesuatu yang mulia dan mempunyai nilai seksual. Menurut James Dever dalam bukunya Dictionary of psychology, berpendapat bahwa seks adalah suatu perbedaan yang mendasar yang berhubungan dengan reproduksi dalam satu jenis yang membagi jenis itu menjadi dua bagian yaitu jantan dan betina sesuai dengan sperma (jantan), dan sel telur (betina) yag direproduksi.2 Seksual adalah masalah yang tak pernah habis untuk dibincangkan. Bila unit kemanusiaan adalah sepasang laki-laki dan perempuan, maka seks merupakan kekuatan-kekuatan yang menarik, mereka satu sama lain menuju penyatuan.3 Kebutuhan seksual merupakan kebutuhan dasar pada diri manusia namun kebutuhankebutuhan yang bersifat naluri terkadang menjadikan manusia lepas kontrol. Manusia berlomba-lomba untuk merengguk semua kenikmatan 1 Syafiq Hasyim (ed ), Menakar “Harga” perempuan: Eksplorasi lanjut Atas Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam, (Bandung Mizan,1999 ), h.203-204 2 James Drever, Dictionary Of Psychology, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1998), Cet. Ke-2, h. 439 3 Hasan Hathaut, Revolusi Seksual, (Bandung : Mizan,1994 ), h.70 dunia, meskipun cara yang ditempuhnya sudah tidak lagi memperhatikan segi-segi moralitas yang ada dalam masyarakat.4 Seksual artinya berkenaan dengan perkara percampuran laki-laki dan perempuan.5 Dengan demikian kejahatan seksual berarti penyimpangan dalam seks yang dilakukan oleh laki- laki atau perempuan yang dapat dihukum. Menurut kamus Besar Indonesia pengertian pelecehan seksual adalah pelecehan yang merupakan bentuk pembendaan dari kata kerja melecehkan yang berarti menghinakan, memandang rendah, mengabaikan6. Pengertian pelecehan seksual adalah semua tindakan seksual atau kecenderungan bertindak seksual yang bersifat intimidasi non fisik (kata-kata, bahasa, gambar) atau fisik (gerakan kasat mata dengan memegang, menyentuh, meraba, mencium) yang dilakukan seorang lakilaki atau kelompoknya terhadap perempuan atau kelompoknya.7 4 Ayip Syafrudin, islam Dan pendidikan Seks Anak , (solo: pustaka Mantiq, 1991 ), Cet. Ke- 1,h.12 5 WJ.S. Poerwadarminto, Kamus umum bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), h. 6 Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal 245 h. 387 Tak jarang pula didengar diskursus bahwa kebanyakan pria di masa tertentu setuju atau bahkan meyakini bahwa perempuan adalah makhluk yang “inferior” dan tidak setara dengan kaum pria. Perempuan telah dibatasi fungsinya dengan alasan masalah biologisnya, sedang di lain pihak, pria dianggap sebagai makhluk tuhan yang “superior” dan lebih penting dibandingkan dengan perempuan, yang mewarisi kepemimpinan, jabatan, dan memiliki kapasitas besar untuk melakukan tugas yang tidak biasa dilakukan perempuan. Akibatnya laki-laki dianggap lebih manusia, bebas menikmati pilihan yang tersedia untuk ambil bagian dalam pergerakan, pekerjaan, dan di dalam bidang sosial, politik dan ekonomi berdasarkan individualitasnya sebagai manusia, motivasi yang diberikan dan kesempatan yang tersedia.8 Kekerasan terhadap perempuan memang merupakan tindak penistaan dan pengebirian harkat kemanusiaan, akan tetapi ada di antara manusia ini yang menganggap itu sebagai konsekuensi logis kehidupan ini, yakni perempuan dianggap pantas untuk dikorbankan untuk diperlakukan sebagai objek pemuas kepentingan laki-laki dengan cara apapun juga, termasuk membolehkan tindak kekerasan. Konstruksi sosial yang membedakan manusia berdasarkan gender (seks), menjadi tidak menghargai kemampuan manusia secara pribadi. 7 Daldjoemi, “Perempuan, sudah dilecehkan masih dituduh meniming-iming” , Kompas, 21 November 1994 8 Charles Kruzman (ed ) wacana islam liberal : pemikiran islam kokontomporer tentang isu – isu Global, (jakarta :Paramadina, 2001 ), Cet . Ke-1, h. 193-194 Laki- laki yang secara pribadi tidak mampu menjadi pencari nafkah utama keluarganya akan dilecehkan oleh masyarakat, bahkan oleh istri dan anak-anaknya. Demikian pula perempuan yang tidak dapat melaksanakan tugas domestik (sehari-hari ) akan dinilai salah, berproses menjadi pelecehan lanjut, yang kemudian menjadi bentuk kejahatan. Konstruksi sosial gender melahirkan berbagai macam bentuk kekerasan seks seperti pelecehan seksual , pemerkosaan, dan incest. Dalam program seri loka karya kesehatan dan kekerasan terhadap perempuan, yang diadakan di jakarta tahun 1998, pelecehan seksual atau seksual harassment diartikan sebagai perbuatan yang memaksa seseorang terlibat dalam suatu hubungan seksual atau menempatkanya sebagai obyek perhatian seksual yang tidak diinginkanya. Pada dasarnya perbuatan itu dirasakan atau dipahami sebagai perlakuan yang merendahkan pihak yang dilecehkan sebagai manusia.9 Dari uraian di atas dapatlah dikatakan bahwa, meskipun telah dibuat beberapa kaidah hidup dan peraturan hukum yang berlaku, akan selalu tetap ada pelanggaran yang terjadi. Kekerasan seksual dapat mencakup berbagai tindakan kejahatan seperti pemerkosaan, perbudakan, pelacuran paksa, kehamilan paksa, dan sterilisasi paksa. Kekerasan seksual digunakan sebagai cara 9 YLKI dan The Ford Fondation, Program Seri Loka Karya Kesehatan dan Kekerasan terhadap Perempuan, (Jakarta YKLI dan The Ford Foundation, 1998) h.16 menerapkan kekuasaan dan dominasi terhadap korban. Mayoritas korbanya adalah perempuan dan anak-anak.10 Kejahatan seksual berarti penyimpangan atau penyalahgunaan dalam seks yang dilakukan leh laki-laki dan perempuan yang dapat dihukum, dalam hukum pidana disebut dengan delik susila. H.Oemar Seno Adji menyebutkan bahwa kata- kata delik susila mengingatkan kita kepada delik-delik seksual seperti perzinaan, pelacuran, homo seksual, atau delik-delik yang menurut istilah lauis B.Schwartz adalah sex related seperti aportus abscenity dan lain- lain.11 Kejahatan pelecehan seksual selalu terjadi sejak manusia ada, fenomena ini tidak terlepas dari sifat alamiah manusia yang selalu ingin mencari kepuasan, apalagi nafsu seks merupakan naluri mendasar manusia. Di samping seks mempunyai nilai mulia dan suci, seks juga mampu merendahkan dan menghancurkan martabat manusia seperti pelacuran, perzinaan, pelecehan seksual dan yang lebih kasar dan kejam adalah perkosaan. Hal ini karena manusia diberikan hiasan nafsu terhadap seks dan materi. Sebagaimana Firman Allah :(Q.S.Ali Imran/ 3 : 14 ) 10 Galuh Wandita dkk, Hukum pidana Internasional dan perempuan : Komnas Perempuan , (Jakarta) 11 Oemar seno Adji , Hukum acara pidana dalam perspeksi, (Jakarta : Erlangga, 1981), Cet.Ke-3 , h.3 زُ"َ ِ!سِ ُ اََاتِ َِ اَءِ وَاََِْ وَاََِِْ اَََُْْ ِة َُع%َ َ&ََِمِ وَاْ)َْثِ ذ+َْﻥ-ِْ وَا.ََُِْ ا/َْ0ِْ وَا.1ِ2ْهَِ وَا4َِ ا ( : /ان9 بِ )ال6َُْ ُُْ ا7َ8ِْ9 ُ:!ﻥَْ وَا8اْ)ََةِ ا Artinya : Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas , perak, kuda pilihan , binatang-binatang ternak Dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia di sisi Allah tempat kembali yang baik (surga ). (Q.S. Ali Imran/ 3: 14) Berpijak pada kenyataan ini ditambah merosotnya akhlak memungkinkan terjadinya kekerasan di mana pihak perempuan selalu menjadi korban. Padahal dalam pemikiran Islam sendiri diwarnai interpretasi yang berpihak pada laki-laki dengan menemukan pembenaran dari hal yang disebut sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna. Hal itu dibungkus dengan ungkapan agama sebagaimana yang digariskan Kitab suci. Ayat 34 surat An-Nisa biasanya dikutip dengan menunjukkan supremasi laki-laki atau perempuan: ٍ ْ+َ ﺏDَ!َ9 ْEَُ1ْ+َُ ﺏ:!َ ا/1َF َِ اَءِ ﺏDَ!َ9 ََاُنG َُلHا B ََِِْ ﺏIْ!ِ ٌَتKِFَ ٌَت%َِﻥG ُِ)َتLَF ْEَُِِا ِْ أََْا2ْوَﺏَِ أَﻥ OِF ُُُوهPُْهُ وَاهKِ+َF ُُنَ ﻥُُزَهFَ0َ ﺕOُِ وَا!ﺕ:!َ اNِ2َ َ:!َ!َِْ ﺱَِ!ً إِن ا9 ُاIََْ!َ ﺕF ْEُUَْ+ََِنْ أVَF ُِ وَاﺽِْﺏُهXِHَ1َْا ( : / آًَِا )اءZِ!َ9 َآَن Artinya : kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. ”. (Q.S. An-Nisa/ 4: 34 ) Meskipun demikian Al-Qur’an sesungguhnya menyinggung perempuan sebagai mitra laki-laki, sebagai orang yang sama-sama bertanggung jawab setara atas perbuatannya di depan Tuhan, yang digambarkan dengan hubungan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan sebagai sepasang pakaian yang saling melengkapi, bukan sebagai subjek dan objek.12 Tentang pelecehan seksual ini sangat luas, meliputi : main mata, siulan, nakal, komentar yang berkonotasi seks, humor porno, cubitan, colekan, tepukan, atau sentuhan di bagian tubuh tertentu atau isyarat yang bersifat seksual, ajakan berkencan dengan iming-iming atau ancaman, ajakan melakukan hubungan seksual sampai dengan perkosaan.13 Pelecehan juga dapat berupa komentar atau perlakuan negatif yang berdasar pada gender, sebab pada dasarnya pelecehan seksual merupakan pelecehan gender, yaitu pelecehan yang didasarkan atas gender. Palecehan seksual dalam hukum Islam telah diatur secara jelas. Namun dapat dlihat dari pengertian pelecehan seksual maka tindakan 12 Syed Mahmuddun Nasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya , (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991 ), h.494 13 seksual http: // www pancaran anugrah. Org / index. Rofie.multiply. journal / item 5 / pelecehan tersebut dapat dimasukkan dalam kategori perzinaan dengan paksaan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman berat.14 Paksaan di sini secara bahasa berarti membawa seseorang kepada yang tidak disukainya secara memaksa. Sedangkan menurut istilah fuqaha, berarti mendorong orang lain untuk berbuat sesuatu yang tidak disukainya dan tidak ada pilihan baginya untuk perbuatan tersebut.15 Dengan latar belakang permasalahan di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian secara mendalam dan menuliskanya dalam bentuk skripsi dengan judul: “PELECEHAN PELECEHAN SEKSUAL SEBAGAI KEJAHATAN KESUSILAAN KESUSILAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF. (Analisis putusan Nomor 401 / Pid.B / 2007 / PN.Jak.Sel.) B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berhubung judul skripsi sangat luas dan agar pembahasan skripsi ini terarah, maka penulis membatasi permasalahannya hanya berkisar pada pembahasan masalah terpenting bagi segi normatif. kemudian penulis merumuskan permasalahan utama dalam skripsi ini, sebagai berikut: 14 Suparman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, ( Yogyakarta: PKBI, 1997 ), h. 80 15 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu Al- Islamy Wa Adillatuhu, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1984), Juz v, h. 386 1. Bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum positif tentang kejahatan pelecehan seksual ? 2. Apa sanksi yang harus dikenakan bagi pelaku tindak pidana pelecehan seksual menurut hukum Islam dan hukum positif? 3. Bagaimana putusan Hakim pengadilan Negeri (PN) jakarta selatan No.401/PID.B/2007/PN.Jak.Sel tentang sanksi kejahatan seksual atau kesusilaan (perkosaan dan perzinaan)? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penulis meneliti hal ini untuk mencapai beberapa tujuan. Tujuan tersebut adalah: 1. Untuk mengetahui perspektif hukum Islam dan hukum positif tentang kejahatan pelecehan seksual. 2. Untuk mengetahi bagaimana sanksi yang dikenakan bagi pelaku tindak pidana pelecehan seksual menurut hukum Islam dan hukum positif. 3. Untuk mengetahui putusan hakim pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.401/pid.B/2007/PN.Jak.Sel. tentang sanksi kejahatan seksual atau kesusilaan (perkosaan dan perzinaan). Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Secara Akademis Secara akademis, manfaat dari penulisan ini adalah : a. Menambah referensi akademis dalam wacana sanksi pidana bagi pelaku pelecehan seksual menurut hukum Islam dan hukum positif. b. Mendapatkan pengetahuan atau pemikiran tentang gejala terjadinya pelecehan seksual. 2. Secara Praktis : 1. Dengan adanya ketentuan hukum dan sanksi yang berat, sanksi pidana bagi pelaku pelecehan seksual, penindasan dan kekerasan terhadap perempuan akan diminimalisir. 2. Memperoleh pengetahuan tentang hukum pelecehan seksual, sehingga masyarakat dan mahasiswa akan lebih hati-hati dalam melakukan suatu tindakan. D. Metode Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah pelaku kejahatan pelecehan seksual atau orang-orang yang melakukan aksi kejahatan pelecehan seksual. Jenis penelitian ini berbentuk penelitian deskripsi kualitatif . 1. Sumber Data Penulisan skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang mengacu pada literatur-literatur dan referensi yang berkenaan dan berhubungan dengan judul skripsi ini. Untuk mengaktualisasikan data dimaksud, penulis juga melakukan penelitian Lapangan (field Reseach ) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data dari lapangan yang ada relevensinya dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini yaitu sebuah contoh kasus yang perkaranya telah memiliki kekuatan hukum tetap dan diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Adapun sumber data berupa bahan hukum yang digunakan penulis gunakan adalah: a. Sumber data bahan primer, yaitu berupa kitab Al-Qur’an sebagai rujukan utama hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum pidana (KUHP) sebagai rujukan hukum positif b. Sumber data bahan hukum sekunder yaitu berupa makalahmakalah, artikel, serta kitab-kitab atau buku-buku lain yang mendukung penulisan skripsi ini 2. Teknik Pengumpulan Data Instrumen yang digunakan dalam peneliti ini adalah : Kajian pustaka penelaahan dan (liberary Research) yaitu dengan melakukan mempelajari buku-buku, artikel, jurnal, makalah- makalah sejenis, seminar, meneliti dan mempelajari dokumen dan data-data yang diperoleh dari karya-karya atau literatur dan referensi yang berhubungan dengan skripsi ini, dan putusan pengadilan. 3. Tekhnik Analisis Data Dalam tahap ini penulis menggunakan teknik analisis kualitatif, di mana penulis berusaha menganalisis berbagai pemikiran dan kesimpulan yang harus konsisten dalam literatur-literatur tersebut. Dalam hal ini data yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah berkas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang akan ditinjau lebih jauh untuk mendapatkan hasil yang akurat dan obyektif. Adapun mengenai teknik penulisan skripsi yang digunakan merujuk pada buku pedoman yang disusun oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. E. Review Pustaka Dari beberapa literatur buku yang ada penulis telaah terdapat beberapa karya tulis berupa skripsi dan buku-buku yang dijadikan acuan awal oleh penulis yaitu sebagai berikut: Dalam skripsi yang telah ada terdapat hasil penelitian yang ditulis oleh mahasiswa fakultas syariah dan Hukum yaitu: 1. Judul: Tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh anak (Analisis putusan No: 516/ pid. B/2008/PN Jak Sel) Penulis: Maira Hendrawati Nim: 104043201369 Pembahasan dalam skripsi ini bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa (AA) terhadap korban (OS) adalah memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin korban dengan menggunakan obat tidur yang menyebabkan korban menjadi pingsan. Sebagai perbuatan ini dinamakan perkosaan untuk bersetubuh dan terdakwa harus dikenakan pasal-pasal perkosaan untuk bersetubuh (bukan lagi pasal pencabulan). Akan tetapi jaksa justru menuntut terdakwa dengan pasal 82 uu perlindungan anak (tentang pencabul terhadap anak). Dan dilihat dari Fiqhiyah kasus ini merupakan.sehingga di kenai hukuman had zina ghoiru mukhsan, yaitu 100 kali hukuman cambuk, hukuman pengasingan serta ganti rugi atau mahar materil yang diberikan kepada korban. 2. Judul: Hak-hak asasi korban tindak pidana perkosaan dalam perspektif hukum pidana Islam dan viktimologi. Penulis: Anita Navita Nuryanti Nim: 103045128134 Pembahasan skripi ini adalah yang dimaksud dengan korban adalah orang-orang yang mendesak fisik mental dan sosial akibat dari tindakan kriminal seseorang dan yang termasuk korban disini dari korban perorangan maupun kelamin perkosaan adalah suatu tindakan untuk melakukan hubungan seksual kepada seseorang secara maksa bahkan dalam bentuk kekerasan dari seseorang lakilaki untuk melampiaskan nafsu seksualnya yang dilakukan diluar pernikahan. Viktimologi adalah ilmu yang mempelajari tentang korban. 3. Judul: Pendampingan LBH terhadap korban kasus perkosaan (Studi atas peran LBH Apik Jakarta) Penulis: Nur ilmy Aulia Nim: 101043222071 Skripsi ini menjelaskan bahwa pandangan hukum positif kejahatan perkosaan termasuk kejahatan paksaan dengan kekerasan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan. Untuk melakukan nafsu seksualnya yang dilakukan di luar keinginan perempuan tersebut. Dan pandangan hukum Islam bahwa hukum Islam menganjurkannya untuk tidak menindas dorongan seks. Melainkan dianjurkan untuk dipenuhi dengan cara yang halal dan Islam mengakui bahwa kebutuhan seks manusia adalah naluri alamiah yang harus di pelihara bukan di tindas. Dan upaya yang dilakukan LBH Apik Jakarta dalam mendampingi korban untuk mendaptkan keadilan dengan memberikan pelayanan hukum dan memberikan pembelaan hukum selama mendampingi korban. Bahwa Islam pun melegitimasikan LBH sehingga institusi sosial yang dalam usahanya semaksimal mungkin berupaya menciptakan keadilan bagi masyarakat yang membutukan khususnya bagi kaum miskin dan buta hukum. 4. Tindak pidana mengenai kesopanan yang ditulis oleh Adami Chazawi, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005 Dalam buku ini dijelaskan tentang kejahatan kesusilaan dalam persetubuhan yaitu kejahatan yang dimaksudkan pada pasal-pasal tertentu yakni pada pasal 284 (perzinaan) pasal 285 (perkosaan bersetubuh) pasal 286 (bersetubuh dengan perempuan bukan istrinya yang dalam keadaan pingsan). Ketidakberdayaan itulah orang yang menerima kekerasan terpaksa menerima segala sesuatu yang akan diperbut oleh dirinya (walaupun bertentangan dengan kehendaknya). oleh karena itu perkosaan adalah tindak pidana material dan bukan tindak pidana formal walaupun dirumuskan juga perbuatan yang dilarang dalam pasal 285 yakni memaksa. Dijelaskan juga bersetubuh dengan perempuan bukan istrinya yang keadaan pingsan kejahatan kesusilaan dalam hal persetubuhan yang dimaksud ini dirumuskan dalam pasal 286. 5. Delik-delik khusus tindak pidana-tindak pidana melanggar normanorma kesusilaan dan norma-norma kepatutan, ditulis oleh P.A.F. Lamintang, Penerbit Mandar Maju Cetakan 1, Th 1990 Dalam buku ini dijelaskan bahwa tindak pidana yang melanggar norma-norma kesusilaan adalah tindak pidana perzinaan, tindak pidana perzinaan atau overspel yang dimaksudkan dalam pasal 284 ayat (1) KUHP itu merupakan suatu opzettleijk delict atau suatu tindak pidana yang harus dilakukan dengan sengaja. itu berarti bahwa unsur kesengajaan tersebut harus terbukti ada pada diri pelaku, agar ia dapat dinyatakan terbukti telah memenuhi unsur kesengajaan dalam melakukan salah satu tindak pidana perzinaan. menurut Mr Modderman itulah perzinaan itu kemudian telah dicantumkan sebaai salah satu kejahatan terhadap kesusilaan di dalam wetboek van strafrech yang sedang dibentuk16. tindak pidana perkosaan, yang diatur dalam pasal 285 KUHP itu ternyata hanya mempunyai unsur-unsur objektif, masing-masing yakni: a.Barang siapa b.Dengan kekerasan atau c.Dengan ancaman akan memakai kekerasan d.Memaksa e.Seorang wanita f.Mengadakan hubungan kelamin di luar perkawinan g.Dengan dirinya. Walaupun di dalam rumusanya, undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelakau dalam melakukan perbuatan yang dilarang dalam pasal 285 KUHP, kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana perkosaan pada pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja tindak pidana mengadakan hubungan kelamin dengan wanita yang sedang berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, oleh karena tindak pidana tersebut merupakan suatu opzettalijk delict dengan sendirinya untuk dapat menyatakan dalam seorang terdakwa terbukti mempunyai kesengajaan dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya baik penuntut umum maupun hakim harus dapat membuktikan bahwa unsur kesengajaan tersebut pada diri terdakwa. tindak pidana dengan kekerasan atau dengan ancaman akan memakai kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau untuk membiarkan dilakukanya tindakan-tindakan melanggar kesusilaan, tindak pidana kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya tindakantindakan melanggar kesusilaan diatur dalam pasal 289 KUHP, untuk dapat menyatakan seorang terdakwa itu terbukti melakukan tindak pidana pada pasal 289 KUHP, baik penuntut umum maupun hakim dapat melakukan tentang adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk memakai kekerasan atau akan memakai ancaman kekerasan, tentang adanya kehendak atau maksud, tentang adanya pengetahuan terdakwa bahwa yang ia paksakan itu ialah agar orang yang dipaksa melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya melanggar kesusilaan baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain. 6. Pidana Islam di Indonesia ditulis oleh Muhammad AminSuma dkk. Penerbit Pustaka Firdauus Cetakan 1, Juni 2001 Jakarta. Buku ini menulis tentang tindak pidana kesusilaan dalam hukum Islam, Islam menentukan dengan sangat sederhana bahwa kejahatan kesusilaan merupakan kejahatan yang sangat peka, sehingga kalau memang terbukti dan diajukan dimuka hakim, hukumanya tegas dan jelas. Karena menyangkut harkat dan harga diri serta kehormatan manusia. dan banyak ayat yang menyangkut kejahatan kesusilaan ini. yang patut untuk jadi perhatian di antaranya ayat in: janganlah dekati zina sungguh itu adalah kekejian dan seburuk-buruk jalan (Q.S. Al-Isra 17: 32). 7. Pornografi pornoaksi ditinjau dari hukum Islam yang ditulis oleh Neng Djubaedah. Penerbit Prenada Media, Cetakan ke 2, Desember 2004. Dalam buku ini ditulis akibat tindak pidana pornografi, tindak pidana perzinaan tindak pidan perkosaan, dalam tindak pidana perzinaan dan tindak pidana perkosaan, sedangkan menurut Islam zina adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh orang laki-laki dan orang perempuan yang yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah dengan cara memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan tanpa keraguan (syubhat) untuk mencapai kenikmatan tertentu. Dan menurut hukum Islam orang yang berhak melakukan pengaduan perbuatan zina adalah setiap orang yang dapat membuktikan tindak pidana perzinaan tersebut. Dalam buku tersebut juga tidak dibahas mengenai kejahatan kesusilaan dalam kajian hukum positif, dengan demikian buku tersebut berbeda dengan skripsi yang akan penulis lakukan. 8.. Hukum pidana Islam ditulis oleh Ahmad Muslich, Penerbit Sinar Grafika Offset Cetakan 1, Jakarta Maret 2005. Dalam buku ini disebutkan bahwa kejahatan kesusilaan adalah perzinaan, syariat Islam melarang zina karena zina itu banyak bahayanya, baik terhadap akhlak dan agama, jasmani atau badan di samping terhadap masyarakat dan keluarga bahaya terhadap agama dan akhlak dari perbuatan zina sudah cukup jelas. seseorang yang melakukan perbuatan zina, pada waktu itu ia merasa gembira dan senang, sementara dipihak lain perbuatanya itu menimbulkan kemarahan kutukan Tuhan, karena Tuhan melarangnya dan menghukum pelakunya. Dijelaskan lagi bahwa unsur-unsur jarimah zina menurut para ulama itu ada dua yang pertama persetubuhan yang diharamkan, kedua adanya kesengajaan atau niat yang melawan hukum. Dari berbagai karya tulis, penulis melihat masih adanya kekurangan sehingga dapat menjadi bahan penelitian dalam penulisan skripsi ini. Kekurangan-kekurangan dalam penulis tersebut adalah tidak adanya pembahasan mengenai kajian hukum Islam dan Hukum positif. Hal inilah yang menjadi alasan penulis untuk meneliti lebih jauh mengenai kajian hukum Islam dan hukum positif terhadap kejahatan pelecehan seksual sebagai kejahatan kesusilaan dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif. F. Sistematika Penulisan BAB I Berisi tentang pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan. dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penulisan, review pustaka, dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan umum tentang kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual yang terdiri dari pengertian pelecehan seksual, bentukbentuk kejahatan kesusilaan, dan pengertian batas- batas pelecehan seksual. BAB III Pelecehan seksual ditinjau dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif. Seksualitas dalam kontaks islam terdiri dari hukum pelecehan seksual, sanksi terhadap pelaku pelecehan seksual. Dan seksualitas dalam hukum positif yang terdiri dari seksualitas dalam konteks positif, hukum pelecehan seksual, sanksi terhadap pelaku pelecehan seksual. BAB IV Analisis putusan pengadilan Negeri jakarta selatan No.401/pid.B/2007/PN.Jak.Sel. yaitu putusan hakim yang terdiri dari kronologis peristiwa atau kejadian, tuntutan jaksa, putusan hakim. Dan analisis putusan hakim menurut hukum Islam dan hukum positif. BAB V Merupakan penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAHATAN KESUSILAA KESUSILAAN DAN PELECEHAN SEKSUAL A. Pengertian Kejahatan Kesusilaan Problem yang dihadapi manusia datang silih berganti. Tidak pernah kenal titik nadir. Manusia dililit oleh masalah yang diproduksinya sendiri. Problem ini menjadikanya sebagai makhluk yang kehilangan arah dan tujuan. Ia punya ambisi, keinginan dan tuntutan yang dibalut nafsu, tetapi karena hasrat berlebihan, gagal dikendalikan dan dididik, ini mengakibatkan masalah yang dihadapinya makin banyak dan beragam. Kejahatan kesusilaan dapat dikatakan sebagai tindak pidana yang bersifat universal, karena hampir semua negara mengenalnya dan mengaturnya dalam ketentuan hukum masing- masing. Hanya saja mengenai macam dan kriteria atau konsepsi mengenai nilai kesusilaan yang dilanggar dapat berbeda. Pada dasarnya tindak pidana kesusilaan dipengaruhi oleh pandangan, nilai-nilai sosial, dan norma agama yang berlaku di dalam masyarakat yang dibatasi oleh tempat dan waktu. Suatu perbuatan di daerah atau negara tertentu dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana kesusilaan, tetapi di daerah atau negara lain tidak. Atau mungkin juga dapat terjadi bahwa perbuatan tertentu sekarang diklasifikasikan sebagai tindak pidana kesusilaan, sebaliknya di kemudian hari tidak demikian. Kejahatan kesusilaan terbagi menjadi dua istilah, susila dan kesusilaan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia kata susila artinya baik budi bahasanya, adat-istiadat yang baik, sopan santun, tertib dan beradab. Sedangkan kesusilaan artinya perihal susila yang berkaitan dengan adab dan sopan santun.17 Menurut Suparman Marzuki bahwa setiap delik itu pada hakikatnya merupakan delik kesusilaan, karena semua bentuk larangan dengan sanksi hukum pidana pada hakikatnya melambangkan bentuk perlindungan terhadap sistem nilai kesusilaan atau moralitas tertentu yang ada di dalam masyarakat.18 Menurut Sudrajat Bassar, kesusilaan adalah mengenai adat kebiasaan yang lebih baik dalam perhubungan antara berbagai anggota 17 Departemen pendidikan dan kebudayaan, kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 1998), Cet. Ke-1, h.874 18 Suparman Marzuki, Pelecehan Seksual,( Yogyakarta: FH UI, 1995) h. 75 masyarakat, tetapi khusus yang sedikit banyak mengenai kelamin ( seks ) seorang manusia.19 Sedangkan Loebby Loqman membagi delik kesusilaan menjadi dua bagian, yaitu delik kesusilaan dalam arti sempit dan delik kesusilaan dalam arti luas. Beliau berpendapat bahwa; delik kesusilaan dalam arti sempit yaitu perbuatan yang berhubungan dengan seks yang sudah merupakan istilah sosiologis, artinya masyarakat telah mengenal kesusilaan perbuatan yang berhubungan dengan seks. Misalnya pelacuran, homoseksual, lesbian dan lain-lain. Sedangkan kesusilaan dalam arti luas tidak hanya meliputi kesusilaan dalam arti sempit, tetapi juga perbuatan- perbuatan yang tidak ada hubunganya dengan seks.20 Lain halnya delik yang diatur dalam pasal 281 KUHP baru dapat dikatakan melakukan tindak pidana kesusilaan apabila perbuatan tersebut dilakukan di muka orang lain. Dengan kata lain apabila perbuatan itu dilakukan dalam kamar atau di dalam rumah di mana tidak ada orang lain yang melihat berarti tidak ada tindak pidana kesusilaan. Lain dari pada yang diatur dalam pasal 281 ke-2 KUHP meskipun perbuatan itu dilakukan di muka orang lain tidak dapat dikatakan melakukan tindak pidana menurut pasal 281 19 Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, ( Bandung, CV. Remaja Karya, 1986), Cet. Ke-2, h. 161 20 Loebby Loqman, Delik kesusilaan, makalah lokakarya BPHN, 1995. ke-2 KUHP kecuali keberadaan orang lain di mukanya itu bertentangan dengan kehendaknya. Apabila kita amati pasal 281 KUHP tersebut, bahwa perbuatan itu dikatakan melanggar tindak pidana kesusilaan jika ada orang tidak menghendaki atas perbuatan itu. Jadi, tindak pidana tersebut ada apabila penilaian dari luar diri pelaku yang tidak menghendaki atas perbuatan itu. Untuk itu yang perlu dibuktikan: apakah betul bahwa perbuatan yang ia lakukan itu orang lain dapat melihatnya21. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, kejahatan terhadap kesusilaan adalah sebagai bentuk pelanggaran atau kejahatan terhadap nilai-nilai susila, mengenai adat kebiasaan yang baik, sopan-santun atau perbuatan yang berhubungan dengan seks. Namun bentuk kejahatan kesusilaan sifatnya masih relatif, tergantung yang menerima atau korban yang dirugikan apakah keberadaanya bertentangan dengan kehendaknya atau tidak. B. BentukBentuk-bentuk Kejahatan Kesusilaan 1. Pornografi dan Pornoaksi 21 Suharto RM, Hukum Pidana Materiil; Unsur- Unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan, Jakarta: Sinar Grafika, 1996), cet. Ke-1, h. 97- 98 Dalam Webster Dictionary dijelaskan bahwa kata pornografi terdiri dari dua kata asal, yaitu porno dan grafi. Porno berasal dari bahasa yunani yaitu porno dan grafi.Porne artinya pelacur, sedangkan grafi berasal kata graphein artinya ungkapan (expretion), jadi secara harfiah pornografi berarti suatu ungkapan tentang pelacur.22 Dengan demikian pornografi berarti: a. Suatu ungkapan dalam bentuk cerita-cerita tentang pelacur atau prostitusi. b. Suatu pengungkapan dalam bentuk tulisan atau likisan tentang kehidupan erotis, dengan tujuan untuk menimbulkan rangsangan seks kepada pembaca atau yang melihatnya. Berdasarkan definisi di atas maka pornografi itu terdapat dalam tulisan-tulisan, likisan-likisan, fotografi, film, seni pahat, syair, bahkan dalam bentuk ucapan-ucapan, sedangkan dalam kamus Inggris-Indonesia, Pornografi dirumuskan dengan “karangan, tulisan atau gambar yang cabul/ porno”.23 Menurut Wirdjono Prodjodikoro menyatakan pornografi berasal dari kata pornos, berarti melanggar kesusilaan atau cabul dan grafi yang berarti tulisan, dan kini juga meliputi gambar atau 22 The Lexicon Webster International Dictionary of The English Language, The English Language, The English Language Institute of America, INC, London, 1978, h. 178 23 439 John M. Echol, Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia 1984), h. barang pada umumnya yang berisi atau menggambarkan suatu yang menyinggung rasa susila dari orang yang membaca atau melihatnya. Kinipun unsur ketelanjangan ada perana terbanyak dan disamping kini dapat disebutkan peluk-pelukan, dan cium-ciuman yang berdaya menimbulkan nafsu birahi antara pria dan wanita.24 Menurut Neng Jubaedah; Strip-tease yang dilakukan langsung atau tanpa melalui media komunikasi saat ini dapat disebut pornoaksi. Apabila strip-tease itu ditampilkan dimedia komunikasi, maka strip-tease dapat dikategorikan pornografi.25 Dari beberapa definisi diatas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pornografi aadalah suatu ungkapan, tindakan, perbuatan, apakah berupa bacaan, tulisan, gambar, foto, film, syair, nyanyian, ukiran, pertunjukan, timgkah laku, model-model, gaya-gaya, goyangan erotis yang bersifat cabu atau mesum yang menimbulkan nafsu birahi manusia Lain halnya dengan ajaran Islam yang secara jelas memberi aturan-aturan dalam pergaulan social masyarakat seperti sopan 24 Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak pidana Tertentu di Indonesia, ( Jakarta: Eresco, 1969), h. 108 25 Neng Jubaedah, Pornografi dan Pornoaksi di tinjau dari Hukum Islam, (Bogor: Kencana, 2003), Cet. Ke1, h. 131 santun, etika berpakaian dan memandang seseorang dalam berinteraksi dan bergaul. Pornografi bisa berupa benda-benda mati, bisa juga berupa benda hidup. Yang berupa berupa benda mati misalnya buku-buku atau majalah, gambar-gambar cabul/porno, tulisan, foto, syair, nyanyian, ukiran,yang bersifat cabul/mesum. Sedangka yang hidup seperti tarian telanjang, goyangan penyanyi yang erotis, juga film porno atau blue, karena gambarnya hidup sehingga bisa diidentikan dengan pornoaksi. Sejalan dengan itu, Islam melarang tingkah laku genit yang merangsang nafsu seksual, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an .Q.S. An-Nur ayat 31 sebagai berikut: ☺"#$ ,-./0123 & %&'(')*+ ;< , 789:" %&(⌧5)*6 * E<F , 7*B*C+D =>?@1A:+ *I)J&KL) H 87G *87 OPQ*: ,-. ☺+MN =>?@1A:+ ;< H ,TU::9 E<F , 7*B*C+D 3 VW7B:A 3 VW7Y*2Z 3 VW7[:2 Z*2Z 3 VW7Y\G123 3 VW7[:2 Z\G123 I_9*2 3 ,7]^%F I_9*2 3 VW7]^%F 3 ,7^8%3 &aQ#* * 3 ,7Y/` 3 , 7:8☺+3 Pefg3 J1⌧d =>bAcB k8.l % h*21ij =>?p m)5no 3 OPQ*: H:87&(*+ ;< H Z/rG q^i1*: ,7#:91if2 *I)J&K\s *Ib5)+Z6 * %qQ#:L Ht2 O ,7B*C+D *v+3 PQeF 2Zax#8 =w: ☺) =w #)5 Artinya : Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. Dengan jelas, sedangkan adanya larangan membuka aurat tidak boleh diperlihatkan dan tidak boleh melihat aurat orang lain. Secara otomatis hal tersebut adalah bagian tubuh yang dapat membangkitkan nafsu seks. 2. Perzinaan Secara etimologis zina berarti persetubuhan yang diharamkan. Sedangkan secara terminologis zina berarti setiap persetubuhan antara pria dan wanita melalui faraj (vagina atau anus) yang antara keduanya tidak ada ikatan tali perkawinan yang sah serta tidak ada unsur syubhat.26 Contoh persetubuhan yang did ala unsure syubhat adalah seseorang yang bersetubuh dengan wanita di kamar tidurnya yang dikira istrinya, tetapi ternyata orang lain. Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa kontak sosial diluar nikah antara pria dan wanita baik melalui vagina maupun anus, disebut zina. Disamping itu para pengikut mazhab Syafi’i menambahkan bahwa homoseksual juga dikategorikan dengan zian sebab anus itu juga termasuk dalam term faraj.27 Pendapat ini dibantah oleh pengikut madzab Hanafi yang menyatakan bahwa zina terbatas pada persetubuhan antara laki-laki dan wanita (yang bukan suami istri yang sah) yang dilakukan melalui qubul (vagina). 26 Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa,I al-Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam, (t. tp: Dar al- Fikr, t. th) Jilid 11, h. 8 27 Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’I al-Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam, (t. tp: Dar al FIKR, T.TH), JILID 11, H.8 Karena itu, homo seks dan kontak seksual pranikah antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri, yang tidak melalui vagina seperti melalui anus (anal seks) atau oral mulut(oral seks), juga tidak bisa disebut zina. 3. Perkosaan Perkosaan dan perzinaan dalam hukum Islam sama-sama kejahatan seksual. Akan tetapi perkosaan bukanlah perzinaan biasa, namun dalam perkosaan terdapat unsure pemmaksaan si pelaku terhadap korbannya.Mengingat prinsip itu banyak merugikan pihak wanita semisal masih ada yang mensahkan pemukulan terhadap isterinya bila iamembangkang dalam pelayanan seksual.28 Maka pasal 285 KUHP menyebutkan “barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang wanita bersetubuh dengan laki-laki di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dngan pidana penjara paling lama 12 tahun. Menutup kemungkinan diadakannya ancaman pidana terhadap perkosaan yang terjadi di dalam rumah, dilakukan dalam bentuk perkosaan.29 Oleh Karena itu, seorang yang melakukan perzinaan dengan dalih terpaksa karena keadaan ekonomi lemah, lingkungan, psikis 28 Eko Orasetyo dan Suparman Marzuki, Peremuan Dalam Wacsna Perkosaan, (Yogyakarta: PKBI, 1997), H.93 29 Ade Latifa, “ Tindakan Kekerasan Suami Terhadap Isteri” makalah 1998 dan sebagainya adalah alasan yang tidak dapat dipertanggung jawab secara moral serta agama dan juga melanggar hukum serta undang-undang. Berbeda kalau dengan keadaan dipaksa atau diancam dalam melakukan hubungan seksual (diperkosa). Maka selain unsur penyalahgunaan seks, didalamnya terdapat unsur kekerasan yang pelakunya akan mendapat sanksi zina, sedangkan korban perkosaan tidak dikenai sanksi. 4. Masturbasi dan onani Yang dimaksud dengan Masturbasi ialah: Mencari kepuasan seksual dengan memainkan alat kelamin atau meraba-raba (mengelus-elus) daerah erotik sndiri, istilah ini lazimnya digunakan terhadap perempuan, sedang onani adalah mencari kepuasan seksual dengan memainkan alat kelamin sendiri pada pria. Dalam istilah fiqh masturbasi disebut dengan: “ al-musahaqah”30 . اdan onani disebut denganistilah: “al-istimnai bil yadi” 8ءﺏ%ا[ﺱ baik masturbasi maupun onani, keduanya memang tidak digolongkan pada perbuaan zina, akan tetapi termasuk ke dalam penyalahgunaan seks dan dipandang seagai hal yan maksiat dan perbuatan yang tercela. 5. Liwath (homo sexual dan lesbian) lesbian 30 Aji Abdul Gofar, dan Ibrahim, Giliran Anak lelaki, editor 111, (27 Februari 1990), h. 66 Liwath adalah cara perumusan nafsu seksual dengan sesama mereka yang berkelamin sejenis, misalnya laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan. Homo sexual adalah istilah yang dipakai atau digunakan untuk kaum lelaki, dan pelakunya bisa disebut dengan “gues” selain disebabkan oleh sosialisasi yang salah sejak kanak-kanak. Pelaku ini secara biologis diakibatkan oleh kelebihan sekrasi estragen (hormone seks wanita) pada pria. Sedang lesbian diistilahkan dengan hubungan seksual antara dua/ lebih wanita.31 Masalah homo sexual terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu: Surat Asy-Syu’ara: 165-166) % *y*)zD *y"f3 {m *Ib☺Q#8) 12Za *}Q#8~ * *y|i⌧L O qZa9^)D3 &r qZa=2i ) =w * d1 1qB]3 1*2 (١٦٦–١٦٥ Artinya: Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, an kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas".( Asy-Syu’ara: 165-166) 31 M. Thalib, Pergaulan Bebas Prositusi dan Wanita, (Yogyakarta: PD. Hidayat, 1986), cet. Pertama, h.39 6. Besttiality Bestiality adalah melakukan hubungan seks dengan binatang atau melampiaskan dorongan seksualnya terhadap binatang ternak/ binatang piaraan.32 Melakukan atau melampiaskan nafsu seksualnya terhadap binatang, di Indinesia, memang jarang terjadi, naman demikian pernah ditemukan dan sempat diberitakan dalam majalah “Editor” dengan sasaran seekor ayam.33 Masalah Bestiality, Islam menggolongkan sebagai perbuatan yang maksiat, dan termasuk juga kedalam perbuatan kejahatan seksual, sebab perbuatan menyetubuhi binatang jelas merupakan tindakan abnormal dan kotor.34 Dalam salah satu hadits bahkan ditegaskan, bahwa hukuman pelaku Bestiality adalah dibunuh, hal ini sesuai dengan hadits berikut: : ( ) 32 Departemen RI, Al-Qur,an dan Terjemahannya, Terjemahan: Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Quran , (Jakarta: PT. Bumi Restu, 1997), cet. Ke-1, h. 385 33 34 Ibid, h. 129 “ Kamus Pelaku Seksual Menyimpang”, (Jakarta: Suara Karya Minggu), Minggu kedua Januari 1990 Artinya: Dari Abdullah bin Umar dan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, Sesungguhnya Rasulullah saw., berkata: Barang siapa yang melakukan (Bestiality) terhadap binatang, maka bunuhlah pelakunya beserta binatangnya”.(Hadits Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Turmudzi). Islam memandang Bestiality sebagai perbuatan yang keji dan dosa, karena itu sepantasnya sebagai perbuatan yang keji dan dosa karena itu sepantasnya mendapat hukuman berat. C. Pengertian dan BatasBatas-Batas Pelecehan Seksual Kejahatan kesusilaan atau moral offenses dan pelecehan atau seksual harassment merupakan bentuk pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja masalah hukum nasional suatu negara melainkan sudah merupakan dua masalah hukum negara di dunia atau masalah global. Istilah pelecehan seksual digunakan untuk menunjukkan suatu perilaku tertentu dalam masyarakat yang tidak hanya bermakna teknis atau objektif semata melainkan juga mengandung makna gugatan di dalamnya. Pelecehan seksual berasal dari dua kata, pelecehan dan seksual. Sedangkan kata seks menurut etimologi mengandung arti jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan. Seks juga merupakan dorongan kuat bagi laki-laki dan perempuan untuk mengadakan hubungan kelamin.35 Kata seks juga diartikan sebagai suatu yang berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. 36 James Drever dalam bukunya “ Dictionary of Psychology” berpendapat bahwa seks adalah suatu perbedaan yang mendasar yang berhubungan dengan reproduksi dalam satu jenis yang membagi jenis itu menjadi dua bagian yaitu jantan dan betina sesuai dengan sperma (Jantan), dan sel telur (Betina) yang direproduksi.37 Pendapat ini lebih menitik beratkan pada hubungan antara lakilaki dan perempuan. Untuk memperluas pendapat tersebut James Drever menambahkan dalam teori Psycho analisanya bahwa seks mencakup fenomena yang mempunyai sikap langsung pada reproduksi dengan anggapan bahwa kenikmatan berasal dari susunan yang sama.38 Jadi pelecehan seksual (seksual harassment) yaitu komentarkomentar verbal atau isyarat, tanpa diminta, yang sengaja atau berulang-ulang, atau hubungan fisik yang bersifat seksual bukan suka sama suka. 35 Ainur Rochim, Sumbangsih Umat Islam Menanggulangi Kejahatan Seksual di Indonesia, (Jakarta, Proyek pembinaan kemahasiswaan Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag. RI, 1985, Cet, Ke 1, h. 5 36 Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia h. 797 37 James Drever, Dictionary Of Psychology, ( Jakarta: PT Bina Aksara, 1988), Cet. Ke-2, h. 439 38 Ibid, h. 439 Pengertian pelecehan seksual banyak diberikan orang dalam berbagai konteks kalimat. Namun dari semua pengertian itu dapat dipahami bahwa pelecehan seksual mengacu pada perbuatan yang oleh korbanya (dirasa tidak menyenangkan, karena perbuatan tersebut bersifat intimidasi, menghinakan atau tidak menghargai dengan membuat seorang sebagai obyek pelampiasan seksual. Dari beberapa pengertian tersebut pelecehan seksual harus dijabarkan dengan melihat akibat yang dirasakan si penerima pelecehan. Karena perilaku yang sama mungkin dilihat sebagai pelecehan seksual oleh seorang perempuan, mungkin tidak oleh perempuan lain. Pelecehan seksual dalam hukum Islam tidak diatur secara jelas. Namun dapat dilihat dari pengertian pelecehan seksual maka tindakan tersebut dapat dimasukkan dalam kategori tindak pidana dengan paksaan (7 ﺏ [ آ اD ) اyang pelakunya dapat dikenakan hukuman berat.39 Pengertian ( 7 ﺏ [ آ اD ا ) ialah setiap persetubuhan yang dilakukan oleh orang laki-laki terhadap seorang perempuan ( tidak mustahil sebaliknya) yang dilakukan dengan cara paksa dan kekerasan. 39 Suparman Marzuki, Pelecehan Seksual, (Yogyakarta: FH UI, 1995), h. 80 Paksaan di sini secara bahasa berarti membawa seseorang kepada yang tidak disukainya secara memaksa. Sedangkan menurut istilah fuqoha’ berarti mendorong orang lain untuk berbuat sesuatu yang tidak disukainya dan tidak ada pilihan lagi baginya untuk perbuatan tersebut.40 Untuk memahami konsep pelecehan seksual lebih lanjut ada baiknya diperhatikan tentang ”apa dan siapa” yang dilecehkan secara seksual. Menurut Beauvais membaginya dalam 4 (empat) kelompok yaitu: laki-laki melecehkan wanita, wanita melecehkan laki-laki, heteroseksual melecehkan homoseksual dan homoseksual, melecehkan heteroseksual.41 Dengan demikian anggapan sebagian orang tentang pelecehan seksual hanya terjadi terhadap wanita ditepis oleh Beauvais. Sementara seperti yang dikutip oleh Khaeruddin menyatakan bahwa istilah pelecehan seksual pun bisa terjadi pada laki-laki.42 Namun yang sering terjadi korban pelecehan seksual cenderung kaum perempuan, seperti pelecehan seksual yang terjadi pada remaja. 40 Wahbah Az-Zuhaili, Al- Fiqhu Al- Islamy Wa Adillatuhu, ( Damaskus : Dar al- Fikr, 1984), Juz V, h. 386 41 Khaeruddin, Pelecehan Seksual terhadap Isteri, (Yogyakarta: Pusat penelitian Kependudukan UGM, 1999), Cet. Ke-1 h. 3 42 Ibid, h. 3 Adapun jenis-jenis yang dapat diartikan sebagai pelecehan seksual adalah gerakan fisik, misalnya cubitan, tindakan intimidasi atau memalukan, (siulan, tindakan tak senonoh seperti merangkul dan meraba, memegang pinggul, menampar pantat, rayuan seks. Tingkah laku yang berupa ucapan seperti pernyataan-pernyataan yang didasarkan sebagai penghinaan lelucon yang bersifat menghina, bahasa yang bersifat mengancam dan cabul, rayuan seks verbal; yang menyinggung perasaan seperti gambar-gambar porno, lukisan-likisan grafis. Sedangkan pelecehan seksual yang menjurus ke pelanggaran kejahatan seksual (berat) dapat berupa perkosaan dan sebagainya. Dari segi bentuk perbuatan pelecehan seksual hanya mengarah kepada perilaku yang seksual, yang dirasa oleh korban, tetapi tidak sampai pada bentuk kekerasan, sedangkan kejahatan seksual bisa berupa tindakan kekerasan seksual yang sifatnya memaksa seperti pencabulan, pemerkosaan, atau penganiayaan seksual lainya. Walaupun antara pelecehan seksual dengan kejahatan seksual secara konseptual dapat dibedakan, namun dalam prakteknya kedua jenis perbuatan tersebut sulit untuk dibedakan, karena keduanya pada suatu garis kontinum. Dapat diketahui bahwa sebuah pelecehan seksual dapat berlangsung menjadi proses kejahatan seksual serta penindasan dan kekerasan terhadap perempuan baik fisik maupun non fisik yang antara keduanya sama-sama tidak menyenangkan. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari kualitas perbuatan pelaku yang berdampak bagi korban. Sebuah pelecehan kekerasan. seksual Tindakan ini jelas hanya tidak sekedar sampai pada perlakuan merendahkan, bersifat intimidasi yang mengarah kepada seksual. Sedangkan kejahatan seksual telah jelas sampai pada perbuatan seksual yang memberi dampak pada pelakuan fisik, seperti luka pada bagian alat vital atau bagian tubuh lainya akibat pemukulan karena pelaku memaksa korban untuk menuruti hasrat seksualnya dan pengalaman traumatis bagi korban. Sedangkan ajaran Islam telah jelas memberi aturan-aturan dalam pergaulan sosial masyarakat seperti sopan-santun, etika berpakaian, dan memandang seseorang dalam berinteraksi atau bergaul. Dengan demikian pelecehan seksual merupakan bentuk perbuatan yang bermoral rendah, karena moral merupakan tata kelakuan seseorang dalam berinteraksi dan bergaul. Dalam ajaran Islam jangankan mencium atau memegang anggota badan seorang perempuan, melihat dengan menimbulkan syahwat saja tidak boleh, karena dikhawatirkan dapat menimbulkan dan mendekati zina. BAB III PELECEHAN SEKSUAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Pelecehan Seksual Dalam Hukum Islam 1. Seksualitas Dalam Hukum Islam Hukum disusun, dibuat dan disahkan tentu saja ada tujuannya bagi kehidupan umat manusia di muka bumi ini, baik hukum itu berasal dari Allah SWT maupun produk manusia sendiri. Dengan tujuan ini, maka akan ada suatu atau beberapa pencapaian (idealitas) yang didambakan manusia selaku subjek dan objek pemberlakuan hukum. Jikalau hawa nafsu manusia yang tidak diatur dapat menimbulkan equilibrium dalam masyarakat, tentulah harus ada peraturan-peraturan yang membawa hawa manusia itu suatu perkembangan yang tidak akan membahayakan masyarakat. Sehingga tiap-tiap manusia mempunyai jiwa yang tidak lagi akan menindas manusia lain dalam memuaskan hawa nafsunya ( Abdoerrau’uf 1970 : 38).43 Pandangan Abdoerra’uf itu menunjukkan, bahwa hukum Islam bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi manusia. Ketentuanketntuan normatifnya, jika ditegakkan dapat mencegah nafsu buruk manusia yang cenderung dapat merugikan dan merusak harkat kemanusiaan. Hubungan antar manusia menjadi harmonis, tidak diwarnai oleh perilaku yang menempatkan sesama manusia sebagai objek pemuas kepentingan diri sendiri dan kelompok. Manusia yang satu dapat tercegah untuk melakukan tindak penganiayaan, kekerasan dan kekejian pada manusia lainya. Islam memandang kehendak dan hasrat seksual sebagai realitas dan bagian integral kehidupan manusia yang universal (Q.S. Ali-Imran/ 3: 14). Bahkan dalam Islam hasrat seksual itu tidak sekedar dipandang sebagai daya biologis yang mekanistis. Namun juga merupakan konstribusi pencapaian prestasi ilahiah metafisis. Karena itu, pemenuhan hasrat seksual dari proses paling awal hingga produksinya merupakan bagian integral dari ibadah. Dalam sistem Islam moralitas seks termasuk urusan Syariat (hukum Islam),44 kocokan seksual antara suami dan isteri lebih 43 Abdoerrau’uf, Seksualitas dalam Hukum Islam, (Jakarta: Bina Ilmu 1970), h. 38 berarti daripada mencari kepuasan. Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan bahwa seks salah satu amal shaleh dalam Islam. Bahkan beliau melarang umatnya beribadah terus menerus dan tidak memenuhi kebutuhan seksualnya. Satu-satunya sarana yang memperoleh legitimasi Islam untuk menyalurkan kebutuhan seksual tersebut adalah melalui lembaga perkawinan. Hal ini berarti bahwa seseorang hanya diperkenankan memenuhi kebutuhan seksualnya dengan suami atau istrinya yang sah. Firman Allah Qs. Al- Mu’minun/ 23 : 5-6: 1q*I?p m *y(58 1q79:(5 3 1q79^)D3 PQ*: E<F 1qT 8☺+3 &aQ#* * ) m =>b#* J1⌧d 1qT " (6-5 : Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteriisteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.” (Q.S. AL-Mukminun 23: 5-6) Kendatipun ayat di atas mengatakan bahwa seksual itu baru dibenarkan setelah seseorang laki-laki dan perempuan berstatus resmi sebagai suami isteri, namun dalam kenyataan empirik, tidak semua orang mentaati jalan atau ketentuan hukum yang diperintah 44 Sayyid Muhammad Ridhwi, Perkawinan, Moral dan Seks dalam Islam, (Jakarta: Lentera, 1994), h. 18 oleh Islam itu sendiri. Ada sementara orang-orang yang lebih suka menyalurkan dan memuaskan nafsu seksualnya kepada selain isteri (WTS, kekasih) atau suaminya yang sah, yang secara teologis disebut zina. Menurut Murthadla Muthahari asumsi seperti yang dilontarkan oleh para pendukung konsep seks bebas, sangat menyesatkan dan didasarkan pada asumsi yang palsu, sebab pemuasan sepenuhnya atas seluruh manusia, tegas Muthahari adalah mustahil. Orang-orang yang memberikan konsep/resep pemuasan nafsu tanpa kekangan, tak lagi bisa membedakan sifat manusia dan sifat hewan.45 Lagi pula lanjut Muthahari pemuasan tanpa kekangan atas seksualitas manusia seperti yang telah disarankan oleh para pendukung konsep seks bebas itu, bukannya menjadikan frustasi dan ketegangan psikologis menjadi berkurang, sebaliknya malah cenderung makin meningkat. Timbulnya berbagai bentuk kejahatan, kecemasan, kegelisahan, pesimisme dan kecemburuan adalah sebagian dari contoh-contohnya. Dalam suatu perkawinan yang paling mendominasi adalah kebutuhan seks, sehingga seseorang apabila keinginan seksnya merasa terhalang tidak ada penyaluran, karena istri sudah tua 45 Murthadla Muthahari, Etika Seksual Dalam Islam. (terj), oleh M. Hashem dari Ethies In Islam and In the Western Word, (Jakarta: Lentera, 1993), h. 79-80 (monopous) atau isteri mempunyai penyakit. Maka timbul emosional sekalipun keyakinan dalam agamanya kuat. Demi memenuhi kebutuhan seksualnya maka Islam memberi jalan keluar dengan memperbolehkan berpoligami, sebagaimana firman Allah: E<3 Z)5% yF Oi*[L) PI HZo)F qZa % * H a]" O_\9* Z/rG %r y" H 8*2|i 8Q# HZ@ E<3 B)5% &aQ#* * 3 \8@Q^" 8A^ O 1qZa:G8☺+3 ) .m HZ: E<3 P\3 ( aO Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S : An-Nisa/ 4:3) Dari kutipan di atas, Islam mengajari pengikutnya untuk tidak menindas dorongan seks, melainkan memenuhinya, tetapi dengan cara yang bertanggung jawab. Islam mengikuti kebutuhan seks manusia sebagai bagian naluri alami yang harus dipelihara, bukan ditindas. Islam membahas seksualitas secara luas yang tidak ditemukan dalam ajaran agama lain: a. Islam membedakan antara cinta dan seks sebagai nafsu Cinta kasih adalah mawaddah dan warahmah, sedangkan seks adalah kekuatan naluri yang disebut nafsu, syahwat. Dalam perkawianan kedua hal ini menyatu, hingga keduanya memberikan nikmat yang tertinggi bagi manusia. b. Islam menjelaskan keinginan pertama dan utama buat laki-laki adalah perempuan. c. Islam menjelaskan bahwa nafsu seks harus dididik, dipimpin supaya ia membawa kebahagiaan. Namun dibalik itu semua nafsu seks merupakan suatu problema yang paling pelik bagi manusia. Nafsu seks dapat menjerumuskan manusia ke lembah kemaksiatan dan kejahatan, seperti perzinaan, pelacuran, pemerkosaan, perampokan dan sebagainya. Dalam Alquran, juga menceritakan tentang beberapa kasus yang menunjukan bahwa seks bisa menjadi sumber malapetaka umat manusia. Nafsu seks mempunyai potensi besar untuk mencelakakan manusia, karena itu Islam menyarankan penyaluran seks itu dengan melangsungkan perkawinan agar sesuai dengan tujuan ibadah kepada Allah. Maka sesuai dengan fitrah manusia menyalurkan naluri seks, bukan merupakan kenikmatan biologis semata, tetapi ada tujuan lain yang harus dicapai: a) Menjalin kasih sayang antara pria dan wanita Inilah yang terkandung dalam firman Allah surat Ar-Rum/ 30: 21 yang berbunyi: y3 5[*+Z & 1qZa(5]3 &r 2Za *}Q#8~ Ht:Za*B$ ☯^)D3 q(*2 ;889 87)F PI yF O ^h8☺&i \ U1F$ *+8 8A^ (٢١:٣٠ : )*y:pa⌧5*[*+ Artinya: “ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S: Ar-Rum/30:21) b) Mendirikan keluarga dalam rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga dan bertanggung jawab atas bawahannya. c) Demi kesinambungan eksistensi manusia dalam memperbanyak keturunan serta kehidupan rumah tangga. Hal ini adalah sunah dan fitrah kehidupan yang ditetapkan Allah. d) Untuk mendapatkan kenikmatan jasamani dan rohani bagi manusia.46 Tampak jelas betapa luasnya Islam membahas permasalahan seks. Bahkan menurut pandangan Islam, hubungan seks antar suami isteri bukan hanya untuk mencari kenikmatan semata, tetapi memiliki fungsi luhur yaitu sebagai upaya regenerasi, pelestarian spesies manusia. Karena memiliki fungsi luhur, maka Allah menciptakan manusia berpasang-pasang (laki-laki dan perempuan) supaya tidak terasa membosankan. 2. Hukum Pelecehan Seksual Hukum Islam dapat dijadikan alternatif untuk menjawab atau memberikan solusi terhadap masalah penyimpangan moral dan tindak kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat. Ada pendekatan yang bersifat moral dan ada pula pendekatan represif yuridis yang ditawarkan untuk menghadapi persoalan tersebut. 46 Fathi Yakan, Islam dan seks (terj), oleh Syafril Halim dari Al-Islam Wa Al-Jins, (Jakarta: CV. Firdaus, 1991), h. 2-25 Menyangkut masalah pelecehan seksual dalam hukum Islam tidak terdapat aturan dan ketentuan yang jelas mengenai hukum, sanksi secara terperinci, karena dalam al-Quran dan Hadis istilah pelecehan seksual tidak ditemukan. Pelaku pelecehan seksual hukuman yang dijatuhkan merupakan balasan yang setimpal atau diharapkan pelaku dapat menebus dosa-dosa yang dilakukan terhadap korban. Pelaku dikenakan hukuman yang cukup berat yang dapat membuatnya menjadi jera atau agar di kemudian hari tidak mengulangi lagi perbuatan jahatnya. Ada tuntunan untuk mengantarkan manusia pada pintu taubat, yakni dimensi spiritualitas yang dilalui manusia dalam membersihkan dirinya dari perbuatan-perbuatan dosa, tercela, menodai agama dan merugikan orang lain. Pelaku diberikan sanksi yang tidak sebatas meringankan bebanya di dunia, namun juga diorentasikan untuk meringankan beban yang harus dipertanggungjawaban di akhirat kelak. Hukuman yang cukup berat dijatuhkan kepada pelaku itu diharapkan menjadi suatu proses pendidikan kesadaran perilaku dari kecenderngan berbuat jahat. Hukuman itu menjadi prevensi (pencegahan) agar anggota masyarakat yang hendak berbuat jahat tidak tidak meneruskan aksi kejahatanya. Jika pelaku kejahatan kekerasan seksual mendapat sanksi hukum sebagaimana yang digariskan dalam syari’at Islam, maka sangat mungkin anggota masyarakat yang bermaksud melakukan perbuatan sejenis dapat dicegahnya sejak dini. Namun demikian walaupun tidak ditemukan istilah pelecehan seksual, bukan berarti manusia berbuat seenaknya sendiri tanpa adanya rasa malu dan batas-batas etika serta moral dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam ajaran agama Islam telah jelas memberi aturan dalam pergaulan hidup bermasyarakat seperti bersopan santun, ketika berpakaian dan memandang seseorang dalam berinteraksi atau bergaul. Dengan demikian, pelecehan seksual, merupakan bentuk perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan yang bermoral rendah. Karena syari’at Islam lebih menekankan pada segi akhlaq/moral yang menjadi tolok ukur seseorang dalam menilai perilaku dan perbuatanya, sehingga tidak menyalahi aturan dan kebiasaan yang ada di dalam masyarakat, apa yang patut dan apa yang tidak patut dilakukan.47 Larangan memperlihatkan kehidupan erotis dan aurat dalam Islam dimaksudkan untuk mencegah adanya rangsangan nafsu seksual terhadap orang yang melihatnya, yang mungkin akan menimbulkan fitnah dan perbuatan-perbuatan mesum. 47 Lihat Istilah Moral dan Dialektika Hukum dan Moral, karangan Gunawan Setiardjo, h.90 Hubungan seksual (zina) itu, baik dilakukan atas dasar suka sama suka maupun dengan paksaan adalah perbuatan haram hukumnya. Keharaman tersebut menurut Muhammad Ali al- Shabuni, yang didasarkan pada Q.S. An-Nur ayat 3 berbunyi sebagai berikut: E<F ⌧a*+ ;< P h⌧zJ&: 3 ^h]8D 87 a*+ ;< hL] O J&: 3 ky8D E<F PQ*: 8A^ *.l: (٣:٢٤/ ) .m *Ib ☺) Artinya:Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (QS. An-Nur 24/ : 3) Sedangkan kejahatan seksual yang sudah sampai taraf zina dan bukti-buktinya cukup, Islam telah memberi aturan-aturan yang jelas mengenai had zina. Bagi pezina muhsan (laki-laki dan perempuan yang telah menikah) berzina, maka hukumanya adalah di cambuk seratus kali dan di rajam sampai mati. Sedangkan pezina ghoiru muhsan (laki-laki dan perempuan yang belum pernah atau tidak berstatus sebagai suami atau isteri yang belum menikah) maka hukumanya dicambuk seratus kali dan diasingkan selam satu tahun. 3. Sanksi terhadap pelaku pelecehan seksual Pelecehan seksual merupakan tindakan yang merugikan dan tidak menyenangkan bagi korban. Dalam hukum Islam perbuatan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat, baik anggota badan maupun jiwa, harta, benda, keamanan, nama baik perasaan ataupun hal-hal yang harus dipelihara dan yang dijunjung tinggi keberadaanya dapat dikatakan sebagai perbuatan perbuatan jarimah. Menyangkut tindak pelecehan seksual dalam hukum Islam tidak terdapat aturan dan ketentuan yang jelas mengenai sanksi hukumnya secara terperinci, karena baik dalam al-Qur’an maupun Hadis istilah pelecehan seksual belum dtemukan. Dalam syariat Islam perbuatan yang belum terdapat ketentuan hukum yang jelas terperinci, maka ketentuan hukum tersebut menjadi masalah ijtihad para ulama atau ulil amri yang akan menghasilkan ketentuan hukum terhadap permasalahan yang dihadapi, dengan mengacu pada ketentuan al-Qur’an dan al-Hadis, produk hukum tersebut berbentuk jarimah ta’zir, yaitu jenis hukuman yang tidak ditentukan oleh alQur’an dan al-Hadis, diberlakukan kepada orang yang berbuat maksiat atau melakukan jenis pidana tertentu yang tidak ada sanksi had atau kafaratnya, baik yang berkaitan dengan hak Allah seperti makan disiang hari dibulan ramadan tanpa uzur, meninggalkan salat, membuat kerusakan di bumi, tidak taat pada pemerintah, melempar najis di tengah jalan umum, dan perampokan, pencurian, maupun yang berkaitan dengan hak manusia seperti menyetubuhi istri melalui dubur, menyogok hakim, menghina, atau melecehkan oranglain. Adapun contoh kasus lain dalam jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak adalah percobaan perzinaan atau perkosaan dan perbuatan yang mendekati zina, seperti mencium, meraba-raba buah dada atau alat kemaluan, menonton VCD atau gambar porno, goyangan penyanyi dangdut yang menggunakan pakaian rok mini dan sejenisnya. Meskipun dilakukan dengan tidak ada paksaan karena hukum Islam tidak memandangnya sebagai pelanggaran terhadap hak masyarakat. Jelasnya bukan delik aduan, melainkan delik biasa.48 Dengan demikian hukuman bagi pelaku pelecehan seksual akan diserahkan kepada seorang hakim atau ulil amri yang berhak untuk memutus perkara tersebut. Apabila tindakan pelecehan seksual telah berlangsung menjadi sebuah hubungan seksual (zina) yang tentunya di luar pernikahan yang sah, maka akan dikenakan hukuman had karena perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan zina. 48 H. Ahmad Djazuli, Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), cet ke-3, h. 181 Dalam syariat Islam hukuman zina dan perkosaan itu dibedakan menjadi tiga macam, yakni hukuman dera (dicambuk), pengasingan dan rajam (dilempar dengan batu sampai mati). Baik pezina muhsan (laki-laki atau perempuan yang telah menikah) berzina, maka hukumanya adalah dirajam sampai mati. Sedangkan bagi pezina yang ghoiru muhsan (laki-laki atau perempuan yang belum menikah) maka hukumanya adala dicambuk 100 (seratus) kali dan diasingkan selama 1 (satu) tahun. Allah SWT berfirman Q.S. An-Nur ayat 2-3: P hL] A@Q^ Zz H(&9" H \*"89 hH 8☺Tr 8☺TU 2ZzL~"f ;< yF mI? PI h""3i 2 *y: ZZz H .%B8 1L) 8☺TU⌧L*: &@hT&¡) %r h⌧5Y ¢m *Ib ☺) E<F ⌧a*+ ;< P h⌧zJ&: 3 ^h]8D 87 a*+ ;< hL] O J&: 3 ky8D E<F PQ*: 8A^ *.l: (2-3 / ) .m *Ib ☺) Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiaptiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (2) Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oranorang yang mukmin. (3) (Q.S. An-Nur/24: 2-3) Selain hukuman yang telah disebutkan dalam al-Qur’an di atas, dalam sebuah Hadis Rasulullah SAW juga dijelaskan tentang sanksi zina: :9 eل رﺱل اG : لG :9 e اD رﺽgLدة ﺏ ا9 9 و .i 8!H k ﺏk ا,. ﺱO2 وﻥ.i 8!H U ﺏU ا: E!وﺱ 49 .(E! 7 )رواEHوا Artinya: ”(Bila yang berzina itu) wanita perawan dengan pria jejaka, maka didera seratus kali dan di asingkan selama 1 tahun, (Bila yang berzina itu) wanita dengan pria yang telah menikah maka hukumanya adalah di cambuk seratus kali dan dirajam”. (H.R. Muslim). Adapun hukuman pengasingan ( isolasi ) dari tempat tinggalnya bagi pelaku zina para ulama berbeda pendapat yaitu: 49 11, h. 48 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Indnesia: Daar Ilhya al-Kutub al- Arabiyyah, t. th.), jilid a. Menurut Imam Ahmad bahwa rasanya hukuman dera seratus kali belum cuku hingga perlu ditambah dengan internir atau pengasingan selama setahun. b. Menurut Imam Abu Hanifah bahwa tidak mesti harus diasingkan (isolasi), soal hukuman pengasingan terserah pertimbangan hakim yang memutuskan. c. Menurut Imam Malik bahwa yang dikenakan hukuman pengasingan hanya laki-laki saja, sedangkan bagi wanita tidak diperlukan. Dalam hal ini pada kasus perkosaan tentunya bagi wanita tidak ada sanksi apa-apa. d. Menurut Imam Syafi’I, al-Qurtubi, Atha’, Thawus dan Khulafur rasyidin mereka menyatakan bahwa perlu didera dan diisolasikan bagi pezina yang bukan muhsan.50 Keterangan yang demikian itu bagi berlaku bagi orang yang merdeka, sementara bagi orang yang sama-sama berstatus budak atau hamba sahaya, maka pelakunya tetap dikenakan hukuman had atasnya sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya. Dalam hal hukuman Satria Efendi berpendapat bahwa hukuman pemerkosaan pun berbeda dengan perzinaan. Jika sanksi zina adalah had (dera atau rajam), untuk pemerkosaan sanksinya 50 Asyhari Abd. Ghafar, pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil, (Jakarta: Grafindo Utama, 1987), h. 28-29 adalah had disertai dengan hukuman tambahan (ta’zir) yang ditentukan majlis hakim51. Akan tetapi korban pemerkosaan tidak dibebankan sanksi karena dia dipaksa. Menurut jumhur ulama (Maliki, Syafi’I dan Hambali), baik laki-laki, maupun perempuan, tidak dikenakan sanksi apa-apa. Argumentasi naqli yang diajukan jumhur adalah Q.S. AlBaqarah ayat 173 sebagai berikut: :q()LQ#* *8 8☺£]F *¤ h*[)8☺) * +.G¥) %q H J1* 2 -g3 )*2 J1⌧d Zo&{ 8☺" O )LQ#*: %q)F ¦⌧" A*: ;< i ⌦i(5⌧d p yF (173 2 : / ) {©.m Artinya: Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. AlBaqarah/ 2 : 173) 51 Menyeret Pemerkosa ke Rumah Jagal, h. 71 Akan tetapi, menurut mazhab hanafi, laki-laki yang dipaksa berzina, mesti dijatuhi hukuman had, sebab laki-laki itu ada kemungkinan untuk menghindarkan diri dari hal tersebut. Karena itu, bila tidak mengelak, berarti ia merestui dirinya diperkosa, dan ini berarti tidak ada paksaan.52 Terhadap perempuan korban perkosaan diceritakan dalam sebuah riwayat, bahwa khalifah Umar r.a. pernah menjatuhkan hukuman dera terhadap seorang hamba sahaya milik beliau yang telah menzinai seorang anak perempuan dengan memaksanya, sehingga hilang keperawanannya, maka khalifah Umar menderanya sampai 50 (lima puluh kali), kemudian mengasingkanya sampai 1 (satu) tahun dan beliau tidak mendera anak perempuan itu karena ia dipaksa.53 Hukuman rajam juga berlaku terhadap laki-laki yang sudah beristri memperkosa wanita dengan dilempari batu sampai mati, adapun wanita yang diperkosa tidak dihad dan tidak berdosa, sebab dia tidak berdaya dan tidak dapat dipersalahkan, karena kejahatan itu berlangsung bukan atas keinginannya. 52 Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abi Bakar al-Suyuthi, al-jami’ al-Saghir, (Beirut: Dar alFikr, t.th), juz 11, h.13 53 Fauzan al-Anshari dan Abdurrahman Madjri menurut Sigman Freud, Hukuman Bagi Pezina dan Penuduhnya, (Jakarta: Khoirul Bayan, 2002), cet ke-1, h. 13 Itulah konsep hukum Islam dalam memberikan sanksi hukuman terhadap pelaku zina dan perkosaan baik yang dilakukan oleh laki-laki yang sudah beristri ataupun belum, yang begitu tegas dan ketat sekali, sehingga hal ini akan membuat seseorang berfikir seribu kali untuk melakukan zina (perkosaan), karena mengingat sanksi yang dijatuhkanya sangat mengerikan. Hukuman/sanksi seperti ini juga diberlakukan pada perempuan, kecuali perempuan yang diperkosa. B. Pelecehan Seksual Dalam Hukum Positif 1. Seks dan Kesusilaan Dalam Hukum Positif Kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual berbasis pada pandangan masyarakat tentang hubungan seks. Oleh karenanya formulasi delik atau kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual serta bentuk ancaman pidananya dalam kitab hukum pidana secara substansial berbeda dan sangat tergantung pada pandangan masyarakat. Sigmun Freud (1956-1939) yang disebut bapak psico analisa: berpendapat bahwa manusia hidup didorong oleh naluri yaitu naluri makan untuk mempertahankan hidup dan naluri seksual untuk mempertahankan keturunan dan kehidupan kebersamaan. Bahkan naluri seks sering lebih menonjol, sehingga seluruh aktifitas manusia nyaris digerakakkan oleh naluri seks dan hal ini biasa disebut dengan pansexualisme. Dan dengan teori “libido sexualismenya”, Sigmund Freud menyatakan, bahkan dengan dorongan seks merupakan pondasi bagi perkembangan personality (kepribadian) manusia.54 Kendati demikian, para pendukung kebebasan seksual, seperti Freud, pembatasan manusia. justru dan berusaha mencampakkan larangan-larangan Pembatasan dan larangan moral itu dalam tegas pembatasanseksualitas Freud telah menyebabkan banyak penderitaan pada manusia dan menimbulkan gangguan emosi, termasuk ketentuan-ketentuan dan obsesi-obsesi bawah sadar.55 Lebih lanjut Freud menyatakan bahwa seseorang tidak berarti tanpa memenuhi kepuasan seks. Semua norma agama, moral,nilai-nilai masyarakat dan adat kebiasaan adalah aturanaturan palsu yang menghancurkan swemangat manusia dan merupakan penindasan tanpa alasan.56 54 Humaidi Tatapangrasa, Seks Dalam Islam, (Surabaya : Bina Ilmu, 1980), h. 21 55 Murthada Muthahari, Etika Seksual Dalam Islam. (terj), oleh M. Hashem dari Ethies In Islam and In the Western Word, (Jakarta: Lentera, 1993), h.24 56 Fathi Yakan, Islam dan Seks (terj), Oleh Syafril Halim dari Al-Islam Wa Al-Jins, (Jakarta: CV. Firdaus, 1991), h. 16 Oleh karena itu, semua kepentingan manusia utamanya menyangkut pemenuhan gairah seksual, harus dibiarkan bebas untuk memperoleh kepuasan. Hal ini dianggap akan mampu melenyapkan deprifasi, prustasi dan ketidakpuasan manusia dalam proses pemuasan nafsunya. Secara umum ada dua pandangan tentang seksual. Pertama, seksual dipandang sebagai suatu perbuatan yang kotor dan menjijikan yang seharusnya dijauhi orang. Kedua, seksual merupakan perbuatan yang alamiah dan merupakan tuntutan yang manusiawi. Cara pandang pertama memandang seks rendah, kotor dan menjadi karakteristik orang yang berdosa, sekalipun dengan istri yang sah. Pemenuhan tuntutan seksual dapat menimbulkan konsekuensi yang buruk dalam kehidupan seseorang. Cara pandang kedua, nafsu seksual betapapun kecilnya tidak dipandang sebagai sesuatu yang jahat dan menimbulkan konsekuensi yang buruk. Oeh karenanya pemenuhan nafsu seksual merupakan tuntutan manusiawi.57 Cara pandang yang kedua ini melahirkan pandangan bahwa pemenuhan nafsu seksual dapat dilakukan secara bebas (kebebasan seks), karena apabila dikekang akan menimbulkan efek-efek yang negatif dalam kehidupan manusia. 57 Suparman Marzuki, Pelecehan Seksual, (Yogyakarta:FH UI, 1995) h. 98 Cara pandang lain mengenai pemenuhan seks yang dianggap baik dan manusia yang tidak ditafsirkan secara bebas tanpa batas. Kebebasan tanpa batas dinilai telah menyimpang dari naluri manusia dan kemanusiaannya. Kebahagiaan individu tidaklah terletak pada upaya memaksimalkan kesenangan di bidang seksualitas. Bentuk perlindungan hukum pidana terhadap pandangan seksual merupakan cerminan dari pandangan sosial tentang seks. Dalam masyarakat yang menganut seks bebas, hukum pidana dirumuskan sebagai upaya untuk melindungi nilai kebebasan yang dianggap penting dan diutamakan. Pelanggaran di bidang seksual dalam hukum pidana pada hakekatnya merupakan pelanggaran terhadap hak-hak individual atau kebebasan individual yang merupakan nilai dasar yang hendak ditegakkan melalui saran hukum (pidana). Sehingga reaksi sosial berupa ancaman sanksi pidana terhadap pelaku akan semakin, berat apabila tindakan tersebut melanggar hak-hak individu seseorang, bukan berbasis pada pelanggaran terhadap nilai kesucian seks. Sebagaimana tertulis dalam KUHP yang mencerminkan pandangan tersebut di atas, tercantum pasal 281 dan pasal 284 sebagaimana yang akan dibahas dalam bab ini mengenai sanksi hukum. 2. Hukum Pelecehan Seksual Pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia belum terdapat ketentuan hukum yang jelas. Namun perlu dicatat bahwa hukum itu hanya merupakan salah satu kaidah sosial atau norma yang ada dalam masyarakat. Menurut Sudikno Mertokusumo, kaidah sosial merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku pelecehan atau sikap yang seyogyanya dilakukan.58 Pandangan tersebut jelas bersumber dari masyarakat, sehingga suatu perbuatan seperti pelecehan seksual dianggap sebagai tindakan yang perlu dipidana jika aspirasi dan persepsi dari masyarakat menganggapnya demikian. Dari sisi walaupun ketentuan hukum belum ada secara jelas mengatur masalah pelecehan seksual, hal ini sebetulnya telah diatur dalam norma sosial lainya. Norma-norma sosial tentang pelecehan seksual perlu ditingkatkan menjadi hukum formal (pidana). Hal ini berarti menyangkut masalah kriminalisasi, yaitu perbuatan yang semula dipandang bukan sebagai tindak pidana, karena perbuatan tersebut dianggap merugikan dan menggangu. Pelecehan seksual dalam KUHP tidak ditemukan, tetapi bukan berarti tidak ada aturannya sama sekali. Masih terdapat pasal-pasal 58 Sudikno Mertokusumo, Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Pelecehan Seksual, (Yogyakarta: Foundation Dengan Penelitian Kependudukan UGM,1999), Cet. Ke-1, h. 1 dalam KUHP mengenai ketentuan hukum. masalah pelecehan seksual.59 Peraturan hukum pidana mengenai pelecehan seksual dimasukkan pada tindak kejahatan kesusilaan (Bab X1V, Buku ke-2) dan pelanggaran kesusilaan (Bab V1, Buku ke-3), seperti pemaksaan yang tidak menyenangkan, perbuatan cabul, perzinaan, perkosaan dan penganiayaan. Namun hal tersebut tidak dapat begitu saja disamakan dengan konteks pelecehan seksual yang berkembang saat ini.60 Begitu pula bila pasal-pasal dalam bab yang telah disebutkan satu- persatu maka akan sulit untuk menerapkan pasal tersebut pada perbuatan pelecehan seksual. Berdasarkan uraian tersebut dalam satu tindakan pelecehan seksual mengandung unsur: a. Adanya suatu tindakan. b. Perasaan yang tidak nyaman atau tidak mengenakan atas perbuatan pelaku. c. Belum ada ketetapan hukum yang jelas sesuai dengan pengertian pelecehan seksual yang berkembang saat ini. 59 Ibid. 60 Ibid, h. 12 d. Timbul perasaan untuk mengadakan hubungan intim atau persetubuhan. Di samping itu peraturan-peraturan dalam KUHP di Indonesia tidak mengenal istilah kekerasan terhadap perempuan. Bahkan dalam rancangan Undang-Undang KUHP, istilah kekerasan tidak digunakan. Namun terdapat pasal-pasal dalam KUHP, yang paling tidak memungkinkan perempuan yang menjadi korban kekerasan mangadukan perkaranya kepada polisi. Pasal-pasal tersebut, yang dapat dicari hubunganya dengan masalah kekerasan terhadap perempuan adalah “kejahatan kesusilaan” (Bab X1V, Buku ke-2, pasal 281-297, (Bab V1, Buku ke-3 Pasal 351-356).61 Dari segi bentuk perbuatan pelecehan seksual dapat berlangsung menjadi proses sebuah kejahatan seksual, antara keduanya sama-sama tidak menyenangkan. Perbuatan tersebut dapat dilihat dari kualitas perbuatan pelaku yang berdampak bagi korban. Sebuah pelecehan seksual belum tentu sampai pada perlakuan kekerasan. Tindakan ini hanya sekedar merendahkan, mengolok-olok, menggoda yang mengarah kepada seksual. Sedangkan kejahatan seksual jelas-jelas sebagai perbuatan yang memberi dampak pelakuan fisik, intimidasi dengan pemukulan, karena pelaku memaksa korban untuk menuruti hasrat seksualnya. 61 Sulistiyowati Irianto, Kekerasan Terhadap Perempuan dan Hukum Pidana, (Jurnal Umum, Edisi 10 Februari-April 1999) Bila pemaksaan pelecehan hubungan seksual seksual berlangsung maka menjadi dikenakan sebuah hukuman pemerkosaan yang sesuai dengan pasal-pasal yang disebutkan Dalam kaitan ini zina dan perkosaan dalam hukum positif (KUHP) dimasukkan dalam kejahatan kesusilaan dan pelanggaran kesusilaan. Di samping sanksinya ringan, zina dan perkosaan itu dianggap sebagai delik aduan. Artinya para pelakunya baru bisa diadili bila telah ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Pengaturan hukum pidana pelecehan seksual dirumuskan sebagai perbuatan terlarang, yang pada hakekatnya memberi cap jahat terhadap perbuatan pelecehan seksual, secara formal sesuai dengan peraturan-peraturan yang dilandasi dengan realitas sosial dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Pengaturan hukum pidana yang berlaku belum memadai. Oleh karena itu upaya pembaharuan hukum pidana termasuk mengenai pelecehan seksual perlu dilakukan.62 Penetapan perilaku seksual dalam perundang-undangan sebagai kebijakan hukum pidana sangat penting dalam tahap formulasi yang akan mendasari penetapan dan pelaksanaanya. Formulasi 62 tersebut menyangkut perbuatan apa saja yang Supanto, Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Pelecehan Seksual, (Yogyakarta: Foundation Dengan penelitian Kependudukan UGM, 1999), Cet. Ke-1, h. 2 seharusnya dijadikan tindak pidana pelecehan seksual dan sanksi apa yang selayaknya dikenakan bagi pelaku. Penentuan ini merupakan proses pencelaan terhadap suatu produk perundangundangan. Oleh karena itu, aspek nilai-nilai budaya masyarakat, serta pandangan masyarakat mengenai tindak pelecehan seksual perlu diakomodasikan dalam ketentuan-ketentuan hukum formal. 3. Sanksi Pelecehan Seksual Hukum dibuat dan diberlakukan sebagai perlindungan kepada setiap orang agar dapat memberikan rasa aman dari semua perbuatan yang dapat mengganggu dan mengancamnya. Adanya sanksi dalam hukum, diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada setiap manusia dari berbagai gangguan tersebut. Pelecehan seksual merupakan salah satu perbuatan yang dirasa mengganggu dan merugikan, sehingga ketentuan hukum dan sanksinya harus benar-benar ditegakkan. Dalam KUHP, pelecehan seksual tidak dimasukkan secara kongkrit, namun dari definisi dan penjelasan dalam KUHP pelecehan seksual dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Di mana pelecehan merupakan tindakan yang melanggar norma hukum. Tindakan yang melanggar norma hukum, dirumuskan oleh Wirdjono Prodjodikoro, sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum dan bertentangan dengan hak orang lain tanpa hak.63 Adapun tindakan-tindakan pelecehan seksual tersebut dilakukan dengan cara sengaja, unsur kesengajaan di dalam KUHP sangat diperhatikan. Sedangkan sanksi yang diberikan pada pelakunya beragam, yaitu dengan hukuman penjara atau denda. Dari berbagai sanksi yang dikenakan memang cukup ringan, hal ini karena tindak pidana pelecehan seksual hanya dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Tetapi apakah rasa keadilan akan dapat dirasakan oleh korban? Dalam KUHP dijelaskan bahwa seseorang atau sekelompok orang yang melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan dapat dihukum walaupun dalam bentuk ringan, contoh di atas dapat dimasukkan dalam ketentuan pasal-pasal dalam KUHP.64 Yang dimaksud melanggar kesusilaan adalah suatu perbuatan yang dapat menimbulkan kehendak untuk bersetubuh, baik meliputi kata-kata maupun perbuatan yang mengenai seks. Atau bisa diartikan sebagai perbuatan yang melanggar perasaan malu 63 Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, ( Jakarta: PT. Eresco, 1980), cet. Ke-3, h. 2 64 Lihat Pasal 281 KUHP Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:ke-1. barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan; ke-2. barang siapa dengan sengaja dan di muka orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya melanggar kesusilaan seksual. Jadi bersifat cabul dan tidak senonoh karena perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang melecehkan unsur delik pasal 281 KUHP. Ke-1: Barang siapa 1. Dengan sengaja 2.Melanggar kesusilaan Ke-2: Barang siapa 1. Dengan sengaja di muka orang lain 2. Bertentangan dengan kehendaknya 3. Melanggar kesusilaan Bahwa delik yang diatur dalam pasal 281 KUHP tersebut dapat dikatakan melakukan tindak pidana kesusilaan apabila, perbuatan tersebut dilakukan di muka orang lain, dengan kata lain dikatakan melanggar jika da penilaian dari luar diri pelaku tidak menghendaki atas perbuatan itu. Lain dari pada yang diatur dalam pasal 281 ke-2 KUHP, meskipun perbuatan itu dilakukan di muka orang lain, tidak dapat dikatakan melakukan tindak pidana menurut pasal 281 ke-2 KUHP, kecuali keberadaan orang lain di mukanya itu bertentangan dengan kehendaknya Pasal 282 KUHP65 Pasal 283 KUHP. 66 Pasal 284 KUHP. 67 Pasal 285 KUHP. Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar 65 Lihat KUHP: (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan dan menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda, yang telah diketahiunya isinya dan yang melanggar kesusilaan, atau barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjikkan, atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan , gambaran, atau benda tersebut, memasukannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri atau mempunyai dalam persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkanya sebagai bisa didapat, diancam dengan pidanapenjara paling lama satu tahun enam bulan atau denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.(2) Barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum,membikinnya memasukannya ke dalam negeri, meneruskan,mengeluarkannya dari negeri, atau mempunyi dalam persediaan, ataupun barangsiapa, secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa dimintai, menawarkannya sebagai bisa didapat, diancam, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga, bahwa tulisan, gambaran atau benda itumelanggar kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah (3) Kalau yang bersalah,melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertam, sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah 66 Lihat KUHP: (1) Diancam dengan penjara paling lam sembilan bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah, barang siapa menawarkan, memberikan, untuk terus menerus untuk sementara waktu menerahkan atau memperlihatkan, tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat mencegah atau menggugurkan kehamilan, kepada seorang yang belum cukup umur, dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran,benda, atau alat itu telah diketahuinya. (2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siap membacakan isi tulisan yang melanggar melanggar kesusilaan di muka orang yang belum cukup umur termasuk dalam ayat yang lalu, jika isi tadi telah diketahuinya. (3) Diancam dengan pidana paling lama tiga bulan atau denda paling banyaksembilan ribu rupiah, barang siap menawarkan memberikan untuk terusmaupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan, tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkanhamil kepada seseorangyang belum cukup umur dimaksud dalamayat pertama, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga, bawa tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan atau alat itu adalah untuk menggugurkan kehamilan. 67 Lihat KUHP: Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: yaitu seorang pria telah kawin yang melakukan gendak (overspel), bahwa diketahuinya pasal 27 BW berlaku baginya. perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan penjara paling lama dua belas tahun. Unsur pemberatan pidana dalam pasal tersebut ialah: Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita yang bukan isterinya untuk bersetubuh. Bahwa perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga orang tidak dapat mengelakkan yang akhirnya kehendak yang dimaksud pelaku dapat mengelakkan yang akhirnya kehendak yang dimaksud pelaku dapat terlaksana, seperti yang diatur dalam pasal 89 KUHP. Bahwa delik ini yang perlu dibuktikan ialah: a. Bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan bagaimana yang dilakukan pelaku sehingga persetubuhan dapat terlaksana. b. Kekerasan atau ancaman kekerasan harus ada hubunganya langsung dengan persetubuhan yang dilakukan pelaku. c. Bahwa persetubuhan tersebut tidak dikehendaki oleh korban. d. Korban adalah bukan isterinya. Pasal 286 KUHP. KUHP 68 68 (1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pasal 287 KUHP. 69 Pasal 288 KUHP 70 Pasal 289 KUHP. KUHP 71 Pasal 290 KUHP. 72 Pasal 291 KUHP. 73 69 (1) Barang siap bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinyaatau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya sembilan tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurny wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294 70 (1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan. (2) Jika perbuatan mengakibatkan lika-luka berat, dijatuhkan hukuman pidana penjara paling lama delapan tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun 71 Barang siap dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. 72 Diancam dengan pidana penjara paling lama tujih tahun (1) barang siapa dengan seorang padahal diketahuibhwa seorang itu pingsan atau tidak berdaya, (2) dan melakukan perbuatan cabul denagan seorang padahal umurnya belum lima belas tahun, bahwa belum mampu kawin .(3) Barang siapa membujuk seorang yang sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau umurnya tidak jelasyang bersangkutan belum di kawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh diluar perkawinan. 73 (1) Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287,289, dan 290 mengakibatkan lika berat, dijatuhkan pidana penjara penjara paling lama lima belas tahun. (2) Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286,, 287, dan 290 itu mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pasal 292 KUHP. 74 Pasal 293 KUHP. 75 Pasal 294 294 KUHP. 76 Pasal 294 jika dibandingkan dengan pasal 289 dia atas membuka peluang bagi suatu interpretasi: “ Bila hendak melakukan pencabulan pilihlah korban dengan kriteria: anak perempuan di bawah umur dan memilikihubungan kerabatdengan pelaku atau berada di bawah tanggung jawab pelaku, karena ancaman hukuman lebih ringan dari pada bila dilakukan terhadap perempuan dewasa”. 74 Orang yang belum cukup umur, yang melakukan perbuatan cabuldengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam pidana penjara paling lama lima belas tahun. 75 (1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatansengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belumkedewasaannya itu diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu. (3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan. 76 (1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinyaanak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum cukup umur, atau dengan orang yang belum cukup umur yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjaganya, diserahkan kepadanyayang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling tujuh tahun. (2) Diancam dengan pidana yang sama: Ke-1: Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang-orang yang karena jabatan adalah bawahannya atau dengan orang yang penjaganya dipercayakan atau diserahkan kepadanya.. Ke2. Seorang pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas, atau pesuruh dalam penjara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit ingatan, atau lembaga sosial yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukan ke dalamnya. Lagi-lagi hukum tidak melindungi perempuan, khususnya anak perempuan, dan tindakan perkosaan. Pasal 295 KUHP. 77 Seperti juga pelecehan seksual, peraturan-peraturan dalam KUHP di Indonesia tidak mengenal istilah kekerasan terhadap perempuan. Namun terdapat pasal-pasal dalam KUHP, yang paling tidak memungkinkan perempuan yang menjadi korban kekerasan mengadukan perkaranya ke polisi. Pasal-pasal tersebut, yang dicari hubungannya dengan kekerasan terhadap perempuan (penganiayaan) adalah:pasal 351, 356. 77 (1)Diancam: Ke-1. dengan penjara paling lama lima lima tahun, barang siapa dengan sengajamenghubumngkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum cukup umur, atau oleh orang yang belum cukup umur yang pemeliharaany, pendidikan atau penjagaanya, diserahkan kepadanya, ataupun aleh bujangny atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain. Ke2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas, yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain. (2) Jika yang bersalah, melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga. BAB 1V PUTUSAN PENGADILAN NEGERI (PN) JAKARTA SELATAN TENTANG PELECEHAN SEKSUAL SEBAGAI KEJAHATAN KESUSILAAN NO 401/ PID.B/2007/PN.JAK. SEL A. Putusan Hakim 1. Kronologis Peristiwa atau Kejadian a. Bahwa ia terdakwa Subaidi, pada hari jum’at tanggal 18 November 2005 sekitar jam 13.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan November 2005, bertempat di jalan Gedung Hijau V1 BC.12 RT. 07/ 017, Kel. Pondok Pinang, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, telah melakukan perbuatan kekerasan seksual.78 b. Bahwa terdakwa dan saksi Rosmawati (wanita berumur 31 tahun), sama-sama bekerja asebagai pembantu rumah tangga di rumah saksi Ir.Nonviani yang terletak di jalan Gedung Hijau V1 BC. 12 RT. 78 Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Tentang kejahatan seksual No. 401/PID.B/2007/PN. JAKSEL, h. 5. 07 / 017, Kel. Pondok Pinang, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta selatan, dan keduanya menetap di rumah majikannya tersebut.79 c. Bahwa pada hari Jum’at tanggal 18 November 2005 sekitar jam 13.00 WIB, ketika majikan sedang pergi dan saksi Rosmawati sedang tidur siang dikamarnya, Terdakwa kemudian masuk ke dalam kamar saksi Rosmawati yang saat itu tidak terkunci, selanjutnya setelah masuk Terdakwa mengunci pintu kamar dari dalam, lalu Terdakwa membuka baju dan celananya sendiri hingga telanjang bulat, selanjutnya Terdakwa mendekati saksi Rosmawati dan langsung mencekik leher saksi Rosmawati dengan kedua belah tangannya, karena kaget maka saksi Rosmawati menjadi terbangun, lalu Terdakwa buru-buru menyuruh saksi Rosmawati untuk diam, tapi saksi Rosmawati yang mengetahui Terdakwa akan berbuat jahat kemudian berusaha memberi perlawanan dengan berontak, selanjutnya Terdakwa terus mencekik dan mengancam akan memukul saksi Rosmawati dengan tangan kananya jika melawan. d. Karena takut, maka saksi Rosmawati kemudian hanya bisa diam ketika Terdakwa membuka kaos, BH, celana panjang dan celana dalam miliknya selanjutnya Terdakwa membuka kedua belah kaki saksi Rosmawati (dikangkangkan), lalu Terdakwa menindih badan saksi Rosmawati sementara kedua tangannya memegang ke dua 79 Ibid., h.5. tangan saksi Rosmawati kesamping kanan dan kiri, kemudian alat kemaluan Terdakwa (penis) yang sudah dalam keadaan tegang dimasukkan dengan paksa ke dalam alat kemaluan (vagina) saksi rosmawati dengan cara menggerakkan pantatnya naik turun berkali-kali hingga Terdakwa merasakan nikmat dan mengeluarkan cairan spermanya didalam alat kemaluan (vagina) saksi Rosmawati. e. Bahwa setelah melakukan perbuatan tersebut, Terdakwa menyuruh saksi Rosmawati untuk tidak menceritakan kejadian tersebut kepada orang lain dengan cara menempelkan jari telunjuk tangan kanannya kearah bibir, dan juga akan memukul dengan cara memperagakan tangannya, selanjutnya Terdakwa kembali memakai pakainnya lalu pergi meninggalkan kamar saksi Rosmawati, sedangkan saksi Rosmawati yang tidak menghendaki perbuatan Terdakwa tersebut hanya bisa merasakan sakit dan perih di alat kemaluannya. f. Bahwa akibat kekerasan seksual yang di lakukan Terdakwa, maka saksi Rosmawati selanjutnya hamil dan sekarang telah melahirkan seorang bayi berjenis kelamin laki-laki. g. Berdasarkan hasil visum Et Repertum No. 2896/ 1/ PKT/ V11/ 06 tanggal 22 juli 2006 dari RSUP Ciptomangunkusumo yang dibuat oleh Dokter Rika Susanti selaku Dokter pemeriksa dan diketahui oleh Dokter Spesialis Forensik Dokter Dedi Afandi, disimpulkan bahwa pada pemeriksaan terhadap koraban perempuan yang mengaku berumur tiga puluh satu tahun (Rosmawati) ditemukan luka robekan lama pada selaput dara akibat gesekan benda tumpul yang melalui liang senggma (panetrasi). Dari hsil USG dari dokter bagian kebidanan didapatkan usia kehamilan 33 minggu, janin tunggal hidup. h. Selanjutnya berdasarkan hasil pemeriksaan Identifikasai DNA dari Lembaga Biologi molekuler EIJKMN tanggal 10 januari 2007 yang ditanda tangani oleh Dr. Hermawati Sudoyo, Ph. D selaku Ketua TIM Identifikasi DNA, disimpulkan bahwa: 1. Sampel SBD-AF (darah dalam tabung yang berasal dari terduga dari ayah) dan AGM-C (darah dalam tabung yang berasal dari anak) adalah individu berjenis kelamin laki-laki (X, Y) 2. Enam belas alel Loci marka SRT yang dianalisis dari SBD-AF (terduga ayah) cocok (matched) dengan alel paternal dari sampel AGM-C (anak). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa probabilitas SBD-AF sebagai ayah biologis dari sampel AGM-C Adalah 99,999 %. Oleh karena itu SBD-AF sebagai terduga ayah tidak dapat disingkirkan dari kemungkinan sebagai ayah biologis AGM-C 2. Tuntutan Jaksa Atas perbuatan Subaidi tersebut maka jaksa penuntut mendakwakan: Umum a. Menyatakan terdakwa Subaidi secara sah dan meyakinkan Terbukti bersalah melakukan tindak pidana dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, yang diatur dan diancam pidana dalam pasal 285 KUHP yang berbunyi: “ Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.80 b. Menjatuhkan pidana terhadap Subaidi dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun penjara dikurangi selama terdakwa menjalani masa tahanan sementara dan dengan perintah terdakwa tetap ditahan. c. Menyatakan barang bukti berupa : 1 buah kaos warna kuning, 1 buah celana jeans warna biru, 1 buah celana dalam warna biru dan 1 BH warna biru, dirampas untuk dimusnahkan. 3. Putusan Hakim Dalam Putusan Pengadialn Negeri Jakarta Selatan yang dibacakan pada dan diserahkan pada tanggal 06 juni 2007 dengan No. 401/ PID. B/ 2007 terdakwa atas nama Subaidi , Umur/ tanggal lahir 30 80 Lihat pasal 285 KUHP tahun, Jenis kelamin: Laki-laki, Kebangsaan Indonesia, Agama: Islam, Pekerjaan:Pembantu Rumah Tangga , Tempat Tinggal: Gg. Pelangi Rt. 010/ 01 Kel. Kalibata, Kec. Pancoran, Jakarta Selatan atau Vila Nusa Indah Blok RR 6 No. 58 Kel. Bojong Kulur , Kec. Gunung Putri, Bogor, benar telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindakan pidana “kejahatan seksual”. Hal tersebut dikatakan ketua majlis hakim, Fransisca , dalam pembacaan vonis terhadap Subaidi di pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Dia mengatakan, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Bab XIV KUHP tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Terdakwa terbukti melakukan kejahatan seksual dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawianan, sehingga divonis selama 6 (enam) tahun penjara dikurangi selama terdakwa menjalani masa tahanan sementara dan dengan perintah terdakwa tetap ditahan. Melihat dari pertimbangan hakim hal-hal yang memberatkan bahwa perbuatan terdakwa mengakibatkan saksi Rosmawati mengalami tekanan mental yang amat hebat karena hamil dan melahirkan anak tanpa ada bapaknya, terdakwa tidak mengakui terus terang perbuatannya dan selalu berbelit-belit dalam memberikan keterangan dipersidangan, tidak terlihat ada tanda penyesalan dalam diri terdakwa. Sedangkan hal yang meringankan adalah terdakwa belum pernah dihukum. Akhirnya hakim menyatakan bahwa: a). Terdakwa Subaidi telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 285 KUHP dalam dakwaan kedua. b). Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan” , sebagaiman tersebut dala pasal 285 KUHP dalam dakwaan kedua. c) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 6 tahun penjara d) Menyatakan pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa dikurangi selama masa penahanan terdakwa. e) Menyatakan barang bukti berupa1 buah kaos warna kuning, 1 buah celana jeans warna biru, 1 buah celana dalam warna biru dan 1 BH warna biru, dirampas untuk dimusnahkan. f) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 2000,(dua ribu rupiah) g) Memerintahkan terdakwa tetap ditahan.81 81 Putusan No.401/PID.b/2007/PN JAK,SEL, h.12. B. Analisis Putusan Hakim Hakim 1. Analisa Putusan Hakim menurut KUHP Dalam putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas perkara No: 401/PID/.B/2007/PN.JAK.SEL. tentang kejahatan kesusilaan dengan terdakwa Subaidi belum sesuai dengan amanat Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Dalam putusan tersebut terdakwa hanya dijatuhi hukuman selama 6 tahun penjara, seharusnya dihukum dengan 12 tahun penjara. padahal dalam perkara tersebut terdakwa telah terbukti secara menyakinkan melakukan perbuatan kejahatan kesusilaan (Bab XIV) KUHP tentang kejahatan terhadap kesusilaan yaitu (pasal 285 KUHP) 82. Tetapi ada hal-hal yang memperingan atas putusan terhadap tindak pidana yaitu terdakwa belum pernah dihukum. 2. Analisa Putusan Hakim menurut Hukum Islam Hukum Islam menegaskan bahwa, kehormatan manusia merupakan suatu hal yang prinsip dan mahkota yang harus dilindungi 82 Pasal 285 yang rumusannya ” barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun” serta dipelihara dari segala bentuk ancaman maupun gangguan yang akan merendahkan atau melanggar nilai-nilai kemanusiaanya. Dalam kajian hukum Islam kejahatan seksual dikategorikan sebagai kejahatan kesusilaan, maka hukum Islam membagi berbagai bentuk-bentuk kejahatan seperti: 1. Perzinaan Secara etimologis zina itu berarti " ا)مD"ا , atau persetubuhan antara pria dan wanita melalui faraj (vagina) yang antara keduanya tidak ada ikatan tali perkawinanyang sah serta tidak ada unsur syubhat.83 Contoh persetubuhan yang di dalamnya terdapat unsur syubhat adalah seseorang yang bersetubuh dengan wanita yang berada di kamar tidurnya yang dikira istrinya, tetapi ternyata orang lain. Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa kontak sosial di luar nikah antara pria dan wanita, baik melalui vagina maupun anus, disebut zina. Di samping itu para pengikut madzhab Syafi’i menambahkan bahwa homoseksual (yang biasanya melakukan kontak seksual melalui anus) juga dikategorikan sebagai zina sebab anus itu juga termasuk dalam termasuk dalam term faraj.84 83 .Muhammad Ali al-Sahabuni, Rawa’a al-Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam, (t. tp: Daral- Fikr, t. th), Jilid 11, h. 8 84 Ibid., h. 43 Pendapat ini dibantah oleh pengikut madzhab Hanafi yang menyatakan bahwa zina itu hanya terbatas pada persetubuhan antara laki-laki dan wanita (yang bukan suami isteri yang sah) yang dilakukan melalui qubul (vagina).85 Karena itu, homoseks dan kontak seksual pranikah antara laki-laki dan wanita yang bukan suami istri, yang tidak melalui vagina seperti melalui anus (anal seks) atau mulut (oral seks), juga tidak bisa disebut zina. Dalam masalah zina yang merupakan bagian dari kejahatan kesusilaan Sayyid Sabiq mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: “Zina itu terang merupakan perbuatan yang menimbulkan kerusakan besar”. Dilihat secara ilmiah zina adalah salah satu di antara sebab dominant yang mengakibatkan kerusakan dan kehancuran peradaban, menularkan penyakit yang berbahaya, mendorong orang untuk terus menerus hidup membujang serta praktek hidup bersama tanpa nikah (kumpul kebo). Dengan demikian zina merupakan sebab utama dari pada kemelaratan, pencabulan dan pelacuran.86 85 86 . Ibid., h.44 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut : Dar al-Fikr, 1981), cet. Ke-3, h. 427 Adapun definisi zina dalam hukum Islam adalah hubungan seksual yang dilakukan antara laki-laki dan wanita yang keduanya tanpa ikatan perkawinan yang sah. Dasar keharaman zina dalam syariat Islam adalah firman Allah SWT: 1q*I?p m *y(58 1q79:(5 3 1q79^)D3 PQ*: E<F 1qT 8☺+3 &aQ#* * =>b#* J1⌧d 1qT " O_⌧1*[12 8☺" m 8Aª£fgf" 8A^ Zi ©m *y 8) :qArtinya: Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteriisteri mereka atau budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. (Q.S. Al-Mu’minun/23 : 5-7) Bahkan tidak hanya zinanya yang haram, mendekatipun haram sebagaimana difirman Allah SWT: H P\.l H2*)F ;< Z8­ h*¬" *y⌧z «£]F .¢m ⌧L8­ Artinya:. “ Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk..” (Q.S. Al-Isra / 17:32) Disamping itu Rasulullah SAW bersabda: :!9 e اD! ﺹeل رﺱل اG : :9 e اDس رﺽ9 إﺏ9 r !ن ﺏأة0" sF وام ا[ﺥe ﺏu" آن:E!وﺱ .(8 ا7 ان )رواkن ﺙF ذا )م+ Artinya: Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka ia tidak berkhalwat dengan seseorang perempuan tanpa disertai muhrimnya, karena yang ketiganya ialah syaitan. (HR.Akhmad) 2. Perkosaan Perkosaan dan perzinaan dalam hukum Islam sama-sama kejahatan seksual. Akan tetapi perkosaan bukanlah perzinaan biasa, namun dalam perkosaan terdapat unsure pemaksaan si pelaku terhadap korbannya. Menurut Dr. Satria Efendi, dalam bahasa Arab pun istilah perkosaan bukanlah zina tapi ( ا. ) ك%ا[ ﻥ ) ءYaitu rampasan kehormatan wanita.87 Menurut Prof. H. Loebby Loqman, Guru Besar FH UI, perkosaan adalah persetubuhan diluar pernikahan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Disamping itu juga disebut perbuatan perkosaan bila terjadi persetubuhan dengan paksaan psikis yang memang tidak dikendaki wanita tersebut.88 Karena itu, 87 “ Menyeret Pemerkosa Ke Rumah Jagal ” , UMMAT, (4 September 1995 ), h. 71 88 Harian Umum Kompas, (1 Agustus 1995 ), h. 8 seorang isteri tidak bisa secara hukum mengajukan kasus “maritel rape“ yakni bahwa ia telah diperkosa oleh suaminya. Prinsip seperti ini tidak dikenal dalam Islam dan KUHP, sebab dalam hukum Islam perkosaan dimasukkan dalam kategori zina bi al- ikrah, yakni kontak seksual yang dilakukan oleh pria dan wanita yang bukan suami isteri yang sah yang dilakukan dengan paksaan atau ancaman. Mengingat prinsip itu banyak merugikan pihak wanita semisal masih ada suami yang mensahkan pemukulan terhadap isterinya bila ia membangkang dalam pelayanan seksual.89 Maka pasal 285 KUHP menyebutkan “ barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang wanita bersetubuh dengan laki-laki di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. Menutup kemungkinan diadakannya ancaman pidana terhadap perkosaan yang terjadi dalam perkawinan (marital rape), padahal dalam kenyataannya kekerasan yang dialami oleh perempuan banyak terjadi di dalam rumah, dilakukn oleh anggota 89 Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, (Yogyakarta: PKBI, 1997), H. 93 keluarga, terutama suami, termasuk yang dilakukan dalam bentuk perkosaan.90 Oleh karena itu, seorang yang melakukan perzinaan dengan dalih terpaksa karena keadaan ekonomi lemah, lingkungan, psikis dan sebagainya adalah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral serta agama dan juga melanggar hukum serta undang-undang. Berbeda kalau dengan keadaan dipaksa atau diancam dalam melakukan hubungan seksual (diperkosa). Maka selain unsur penyalahgunaan seks, didalamnya terdapat unsur penyalahgunaan seks, didalamnya terdapat unsur kekerasan yang pelakunya akan mendapat sanksi zina, sedangkan korban perkosaan tidak dikenai sanksi. Jadi perzinaan dan perkosaan itu berbeda, perzinaan itu dilakukan antara laki-laki dan wanita yang keduanya tanpa ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan suka sama suka, sedangkan perkosaan yaitu perbuatan yang terjadi dengan paksaan si pelaku terhadap korbannya. Menurt analisa penulis bahwa Hukum positif menurut saya kurang relevan sekali, karena dari si korban tersebut mengalami trauma yang sangat berat, bahwa si korban merasa sangat dirugikan, dan hukumannya saja hanya di penjara dan membayar 90 Ade Latifa,” Tindakan Kekerasan Suami Terhadap Isteri”, makalah 1998 denda, jadi tidak sebanding dengan perbuatannya tersebut. Sedangkan menurut hukum Islam hukuman bagi perkosaan sanksinya adalah had disertai dengan hukuman tambahan (ta’zir yang di tentukan oleh hakim). Maka disini menurut saya hukuman yang pantas untuk korban perkosaan adalah hukum Islam karena hukum Islam adalah hukuman yang sangat adil, tegas dan jelas, karena menyangkut harga diri serta kehormatan manusia. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah penulis menguraikan tentang kejahatan pelecehan seksual menurut hukum Islam dan hukum positif yang bersumber pada al-Qur’an dan KUHP, dan analisis putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No 401/PID.B/2007/PN.JAK.SEL. maka sebagai akhir dari pembahasan ini dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut: 1. Islam memandang bahwa hasrat seksual merupakan bagian integral dari ibadah. Hubungan suami dan istri bukan hanya untuk mencari kenikmatan biologis semata, melainkan memiliki fungsi luhur. Namun demikian Islam tidak membenarkan bila gairah seksual tersebut dipenuhi dengan cara bebas dan membabi buta, tanpa menghiraukan norma-norma agama dan norma susila. Semua ini apabila dilakukan maka melanggar hukum Allah. Sedangkan menurut hukum positif pelecehan seksual atau sexual harassment adalah perbuatan yang oleh korbannya dirasa tidak menyenangkan karena perbuatan tersebut mengintimidasi, menghinakan tidak menghargai, merendahkan, dengan membuat seseorang sebagai objek pelampiaskan seksual atau pelecehan seksual dapat diartikan sebagai perbuatan yang menyangkut masalah seks. 2. Dalam hukum Islam pelecehan seksual yang ringan seperti perbuatan yang mendekati zina; mencium, meraba-raba, memegang baik fisik maupun non fisik yang sifatnya merendahkan, menghinakan seseorang sebagai obyek pelampiasan seksual telah berlangsung menjadi sebuah hubungan seksual (zina) yang tentunya diluar pernikahan yang sah, maka akan dikenakan hukuman had. Ketentuan mengenai zina dan perkosaan adalah: Bagi pezina muhsan (laki-laki dan perempuan yang telah menikah) berzina, maka hukumannya adalah dirajam sampai mati, sedangkan bagi pezina ghoiru muhsan (laki-laki dan perempuan yang belum menikah), maka hukumannya didera seratus kali jilid dan diasingkan selama satu tahun, serta terhadap korban perkosaan tidak dikenai sanksi karena dipaksa. Dalam KUHP istilah pelecehan seksual dapat dikategorikan sebagai kejahatn terhadap kesusilaan (bab XIV, buku ke-2) dan pelanggaran kesusilaan ( bab VI, buku ke-3), dimana pelecehan seksual merupakan tindakan yang melanggar norma hukum dan hak orang lain. Dari berbagai sanksi yang dikenakan memang cukup ringan, yaitu dengan hukuman penjara. 3. Bahwa dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta selatan No.401/PID/.B/2007/PN.JAK.SEL. Tim Majelis Hakim menjatuhkan vonis kepada Subaidi dengan hukuman enam (6) tahun penjara. Dari putusan pengadilan tersebut maka jika ditinjau dari hukum Islam maka hukuman bagi terdakwa belumlah sesuai dengan kaidah hukum yang ada pada hukum Islam. Sanksi kejahatan pelecehan seksual (perzinaan) dalam hukum Islam pelaku dikenakan had zina, dirajam sampai mati (pezina muhsan), sedangkan (pezina ghoiru muhsan ) dikenakan hukuman cambuk 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Sanksi dalam hukum positif yaitu terdapat dalam delik kejahatan terhadap kesusilaan bab X1V, sangat ringan, dalam hal ini pelaku hanya dikenakan hukuman beberapa tahun saja atau denda yang relatif ringan, tidak ada hukuman mati. Sedangkaan sanksi yang terlalu ringan dalam hukum positif, menyebabkan tujuan pemidanaan tidak maksimal, karena tidak mencerminkan penderitaan korban. Pelaku cenderung untuk mengulangi perbuatannya. B. SaranSaran-Saran Dengan menitik beratkan pada bagian komparatif dan pembahasan tentang kejahatan pelecehan seksual sebagai kejahatan kesusilaaan dalam pandangan hukum Islam dan hukum positif (Analisis Putusan Nomor 401/pid. B/2007/PN.Jak.Sel), disini penulis ingin mengemukakan beberapa saran antara lain: 1. Selama ini hukum yang dipakai di Indonesia mengacu kepada KUHP yang notabennya adalah warisan dari kolonoial Belanda, karena adalah hal yang wajar bila sebagai bangsa yang merdeka dan sebagai mayoritas warga Negara Indonesia yang beragama Islam, selayaknya untuk memulai dan menerapkan ajaran-ajaran Islam secara kaffah termasuk di dalamnya soal hukum kejahatan pelecehan seksual. 2. Mengenai ketentuan hukum dan sanksi dalam kejahatan seksual belum ada peraturan yang jelas, sehingga perlua adanya suatu upaya untuk mengatasi maraknya kejahatan pelecehan seksual. Hukum yang ada dalam KUHP di Indonesia mengenai perbuatan pelecehan seksual belum terdapat ketentuan hukum sendiri, karena pengaturannya masih tercakup dalam tindakan kejahatan dan pelanggaran kesusilaan. Sehingga antara pelecehan seksual dengan kejahatan seksual yang bentuknya berbeda-beda masih tercakup dalam pasal-pasal yang sama. Oleh karena itu upaya pembaharuan hukum pidana perlu dilakukan. 3. Dalam kejahatan dan pelanggaran kesusilaan, pelecehan seksual seharusnya KUHP yang sekarang perlu direvisi dan pemberatan sanksi bagi pelaku kejahatn pelecehan seksual. 4. Melihat semakin maraknya tindak kejahatn baik kejahatan seksual maupun kejahatan yang lain di Indonesia, maka pemerintah dan aparat berwenang, tokoh masyarakat, ulama harus berani bertindak tegas terhadap pelaku kejahatan kesusilaan, pelecehan seksual dan kejahatan lainnya yang mengganggu kehidupan masyarakat. 5. Keputusan hakim mengenai kasus perkosaan dan perzinaan yang selama ini terjadi belum mendapatkan rasa keadilan karena pasal yang dipergunakan masih sangat ringan, untuk itu negara berkewajiban untuk mengamandemen perkosaan tidak terjadi lagi. pasal tersebut agar DAFTAR PUSTAKA Al-Qur;an al-Karim KUHP, kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hasyim, Syafiq Hasyim, Menakar Harga perempuan: Eksplorasi lanjut Atas Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam, Bandung Mizan,1999 Drever, James, Dictionary Of Psychology, Jakarta: PT Bina Aksara, 1998, Cet. Ke-2 Hathaut, Hasan, Revolusi Seksual, Bandung : Mizan,1994 Syafrudin, Ayip, islam Dan pendidikan Seks Anak , solo: pustaka Mantiq, 1991, Cet. Ke-1 WJ.S. Poerwadarminto, Kamus umum bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1983, h. h. 387 Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal 245 Daldjoemi, “Perempuan, sudah dilecehkan masih dituduh meniming-iming” , Kompas, 21 November 1994 Kruzman, Charles, wacana islam liberal : pemikiran islam kokontomporer tentang isu – isu Global, jakarta :Paramadina, 2001, Cet . Ke-1 YLKI dan The Ford Fondation, Program Seri Loka Karya Kesehatan dan Kekerasan terhadap Perempuan, Jakarta YKLI dan The Ford Foundation, 1998 Galuh Wandita dkk, Hukum pidana Internasional dan perempuan : Komnas Perempuan (Jakarta) Seno adji, Oemar , Hukum acara pidana dalam perspeksi, Jakarta : Erlangga, 1981, Cet.Ke-3 Nasir, Syed Mahmuddun, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991 http: // www pancaran anugrah. Org / index. Rofie.multiply. journal / item 5 / pelecehan seksual Marzuki, Suparman, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, Yogyakarta: PKBI, 1997 Az-Zuhaili, Wahbah , Al-Fiqhu Al- Islamy Wa Adillatuhu, Damaskus : Dar alFikr, 1984, Juz v Departemen pendidikan dan kebudayaan, kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai pustaka, 1998, Cet. Ke-1 Marzuki, Suparman, Pelecehan Seksual, Yogyakarta: FH UI, 1995 Bassar, Sudrajat, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, Bandung, CV. Remaja Karya, 1986, Cet. Ke-2 Loebby Loqman, Delik kesusilaan, makalah lokakarya BPHN, 1995. Suharto R,M, Hukum Pidana Materiil; Unsur- Unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, cet. Ke-1 The Lexicon Webster International Dictionary of The English Language, The English Language, The English Language Institute of America, INC, London, 1978 John M. Echol, Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia Jakarta: Gramedia 1984 Prodjodikono, Wirdjono, Tindak-Tindak pidana Tertentu di Indonesia, Jakarta: Eresco, 1969 Jubaedah, Neng, Pornografi dan Pornoaksi di tinjau dari Hukum Islam, Bogor: Kencana, 2003, Cet. Ke1 Shabuni, Muhammad Ali , al, Rawa,I al-Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam, t. tp: Dar al- Fikr, t. th Jilid 11 Prasetyo, Eko dan Marzuki,Suparman, Peremuan Dalam Wacsna Perkosaan, Yogyakarta: PKBI, 1997 Latifa, Ade, “ Tindakan Kekerasan Suami Terhadap Isteri”Makalah 1998 Abdul Gofar, Aji, dan Ibrahim, Giliran Anak lelaki, editor 111, 27 Februari 1990 Thalib,M. Pergaulan Bebas Prositusi dan Wanita, Yogyakarta: PD. Hidayat, 1986, cet.1 Departemen RI, Al-Qur,an dan Terjemahannya, Terjemahan: Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Quran , Jakarta: PT. Bumi Restu, 1997, cet. Ke-1 Kamus Pelaku Seksual Menyimpang, Jakarta: Suara Karya Minggu, Minggu kedua Januari 1990 Rochim, Ainur , Sumbangsih Umat Islam Menanggulangi Kejahatan Seksual di Indonesia, Jakarta, Proyek pembinaan kemahasiswaan Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag. RI, 1985, Cet, Ke 1 Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Drever, James, Dictionary Of Psychology, Jakarta: PT Bina Aksara, 1988, Cet. Ke-2 Khaeruddin, Pelecehan Seksual terhadap Isteri, Yogyakarta: Pusat penelitian Kependudukan UGM, 1999, Cet. Ke-1 Abdoerrau’uf, Seksualitas dalam Hukum Islam, Jakarta: Bina Ilmu 1970 Ridhwi, Sayyid Muhammad, Perkawinan, Moral dan Seks dalam Islam, Jakarta: Lentera, 1994 Murhahari, Murthadla , Etika Seksual Dalam Islam. (terj), oleh M. Hashem dari Ethies In Islam and In the Western Word, Jakarta: Lentera, 1993 Yakan, Fathi, Islam dan seks (terj), oleh Syafril Halim dari Al-Islam Wa Al-Jins, Jakarta: CV. Firdaus, 1991 Lihat Istilah Moral dan Dialektika Hukum dan Moral, karangan Gunawan Setiardjo Djazuli, H. Ahmad , Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, cet ke-3 Muslim,Imam, Muslim,Shahih Indnesia: Daar Ilhya al-Kutub al- Arabiyyah, t. th., jilid 11 Abd. Ghafar, Asyari, pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil, Jakarta: Grafindo Utama, 1987 Menyeret Pemerkosa ke Rumah Jagal Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abi Bakar al-Suyuthi, al-jami’ al-Saghir, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, juz 11 Al- Anshari, Fauzan dan Madjri,Abdurrahman menurut Sigman Freud, Hukuman Bagi Pezina dan Penuduhnya, Jakarta: Khoirul Bayan, 2002, cet ke-1 Tatapangrasa,Humaidi, Seks Dalam Islam, Surabaya : Bina Ilmu, 1980 Muthahari, Murthada, Etika Seksual Dalam Islam. (terj), oleh M. Hashem dari Ethies In Islam and In the Western Word, (Jakarta: Lentera, 1993 Yakan, Fathi, Islam dan Seks (terj), Oleh Syafril Halim dari Al-Islam Wa Al-Jins, Jakarta: CV. Firdaus, 1991 Mertokusumo, Sudikno , Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Pelecehan Seksual, Yogyakarta: Foundation Dengan Penelitian Kependudukan UGM,1999, Cet. Ke-1 Irianto, Sulistiyowati , Kekerasan Terhadap Perempuan dan Hukum Pidana, Jurnal Umum, Edisi 10 Februari-April 1999 Supanto, Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Pelecehan Seksual, Yogyakarta: Foundation Dengan penelitian Kependudukan UGM, 1999, Cet. Ke-1 Prodjodikoro, Wirdjono , Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Jakarta: PT. Eresco, 1980, cet. Ke-3 Putusan No.401/PID.b/2007/PN JAK,SEL, h.12. .Muhammad Ali al-Sahabuni, Rawa’a al-Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam, t. tp: DaralFikr, t. th, Jilid 11 Sabiq,Sayyid, Fiqh Sunnah, Beirut : Dar al-Fikr, 1981, cet. Ke-3 Menyeret Pemerkosa Ke Rumah Jagal , UMMAT, 4 September 1995 Harian Umum Kompas, 1 Agustus 1995 Prasetyo, Eko dan Marzuki, Suparman, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, Yogyakarta: PKBI, 1997 Ade, Latifa, Tindakan Kekerasan Suami Terhadap Isteri” makalah 1998