PERAN FILSAFAT ISLAM DI DALAM KONSTRUKSI (PEMBENTUKAN)

advertisement
PERAN FILSAFAT ISLAM DI DALAM
KONSTRUKSI (PEMBENTUKAN) HUKUM DI INDONESIA.
Oleh: PATAWARI
Abstrak
Indonesia has Idiology, namely Pancasila. As the first princip, Ketuhanan Yang
Maha Esa is source of law to the law formation in Indonesia. Yet, pancasila sometimes
is ignored or underistemated in the creation of lwa formation in Indonesia. Whareas, the
content of pancasila’s value is very general and complete which is capable to absorb all
importances etnic, religion, culture, and all cultural in Indonesia.
For law formatting in Indonesia, is hint or reference to the Islam philosophy which
is to sign for three aspects, namely; value of god, humanity, and realm (nature), that is
situation where the law will be implemented. The end, it more be good, that the law is
formed based on the Islam philosophy which value as general it is based on the
pancasila’s value to acheve the human life balance.
Negara Indoenesia mempunyai ideology pancasila sebagaimana pada sila pertama “KeTuhanan
Yang Maha Esa” adalah sumber hukum dalam pembentukan hukum di Indonesia. Namun pancasila
tidak jarang diabaikan di dalam perumusan pembentukan hukum di Indonesia. Padahal muatan nilai
pancasila sangatlah general yang mampu menyerap segala kepentingan suku, bangsa utamanya agama.
Bahwa dalam pembentukan hukum di Indonesia adalah megacu pada filsafat Islam yang
menekankan pada 3 (tiga) aspek yaitu: nilai keTuhanan, kemanusiaan dan, alam (situasi dimana
hukum akan diberlakukan). sebaiknya hukum dibentuk berdasarkan filsafat Islam yang secara
general nilainya termaktub pada nilai-nilai pancasila demi mencapai keseimbangan kehidupan
manusia.
Kata Kunci; Filsafat Islam, Pembentukan Hukum
Pengantar
Diskurusus tentang manusia, paling tidak melekat dua entitas yang dimiliki,
yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu maka
paling tidak ia berdiri sendiri yang bertanggung jawab pada sang pencipta (Allah SWT.),
sedangkan sebagai makhluk sosoial maka segala sesuatu yang ada pada dirinya akan selalu
terikut akan pertanggung jawaban terhadap individu lain.
Manusia sebagai makhluk sosial, maka ia senantiasa berinteraksi dengan
individu lain. Sebagaimana di pahami hubungan/interaksi manusia yaitu: interaksi
individu dengan individu, individu dengan sosial, sosial dengan individu dan sosial

Dosen
Fakultas
[email protected].
Hukum
universitas
Indonesia
Timur
Makassar.
dengan sosial. sebagaimana dimaksudkan oleh Aristoteles bahwa manusia itu adalah
“zoon Politicon” manusia itu makhluk sosial yang tidak lepas dari bentuan dan
pertolongan dari individu lain.
Islam menjustifikasi manusia sebagai makhluk yang melakukan hubungan secara
sosial sebagaimana firman Allah dalam al-qur’an yang artinya bahwa “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13). Ayat
tersebut memberikan penekanan bahwa pentingnya manusia hidup untuk saling kenal
mengenal, dan maksud dari pada itu adalah untuk memberikan satu sama lain yang
bermanfaat, bukan dengan maksud saling merusak satu sama lainnya. Sebab, jika
dimaksudkan saling merusak maka tidak mengikuti makna dari ketakwaan sebagaimana
di maksdkan dalam ayat tersebut.
Mencermati era globalisasi sekarang ini maka bukan hanya empat interkasi,
namun interaksi antara individu dengan Negara, negera dengan Negara, bahkan sampai
pada interaksi sosial (koorporasi) dengan Negara lain. Maka, nilai-nilai dalam interkasi itu
adalah di masukkan nilai Islam sehingga ketakwaan dapat di capai sebagaimana di
anjurkan dalam Islam. Lebih jauh lagi bahwa, hubungan interaksi dengan inividu atau
kelompok lain adalah tujuannya karena ibadah semata sehingga mewujudkan manusia
sebagai insan kamil (manusia sempurna) sebagai ciptaan Allah SWT. Bahwa manusia
adalah makhluk yang paling sempurna diantara semua makluk yang pernah di ciptakanNya, termasuk adalah manusia lebih di atas derajatnya dari pada Jin dan Malaikat.
Derajar manusia yang lebih tinggi dari pada makhluk lain tidak di maksudkan
tanpa sebab atau konsekuensi logis, artinya bahwa jika manusia itu hidup dengan
keimanan dan ketakwaan maka ia menjadi insan yang kamil (sempurna) dan derajanyta
lebih tinggi. Namun, jika manusia tersebut melakukan tindakan kerusakan di muka bumi
maka ia akan menjadi makhluk yang lebih rendah dan lebih hina dari pada binatang.
Adalah konsekuensi sebagai manusia yang sudah menjadi sunnatullah untuk menerima
deraja yang lebih tinggi dengan tanggung jawab yang tinggi pula.
Dari hubungan interkasi tersebut, maka di tengah-tengahnya akan terjalin
hubungan hak dan kewajiban yang masing-masing akan pertanggungjawabkan (secara
hukum). Pertangggunagjawaban bukan hanya terlahir dari sebuah hubungannya kepada
Tuhan yang dirinya sebagai hamba yang harus mengikuti aturannya, namun juga adalah
pertanggungjawaban yang terlahir akibat adanya perbuatannya yang mereka harus
memepertanggungjawabkannya, adalah kosenkuensi sebagai manusia yang atau sebagai
makhluk sosial.
Pada perkembangan sejarah hubungan Negara dengan masayarakat (sosial) pada
awal mulanya dimana Negara tidak di benarkan ikut campur urusan ekonomi masyarakat,
namun pada perjalanan keNegaraan maka Negara harus ikut campur dalam urusan
ekonomi masyarakat. Adanya keikutsertaan Negara dalam urusan ekonomi, maka
Negara paling tidak menjadi katalisator, mediator, antara kepentingan masyarakat dengan
masyarakat lain atau bahkan pada kepentinan masyarakat dengan Negara lain.
Maka tugas dan tanggungjawab Negara adalah menciptakan regulasi dalam
mengatur hubungan interksi segala aktifitas manusia baik secara Individu maupun secara
sosial sampai pada hubungannya dengan negara lain. Dalam hubungan interaksi
tersebut, masing-masing melekat adanya hak dan kewajiban, maka Negara (pemerintah)
sebagai katalisator paling tidak diberi otoritas dalam menentukan regulasi yang mengatur
hak dan kewajiban masyarakat tersebut.
Negara sebagai tugas regulator tentu tidak hanya mengacu pada Pancasila
sebagai dasar Negara dan atau dasar ideologi namun demikian, lebih dari itu dengan
Negara mencoba menggali nilai-nilai filsafat yang dikandung dari pada ideologi yang
Pancasila tersebut.
Bahwa pada dasanya salah satu tugas dari pada filsafat adalah mencari
kebenaran, salah satu komponen kebenaran selain kebenaran, koherensi, kebenaran
korespondensi, dan kebenaran paragmatis. Maka komponen kebenaran agama juga
merupakan suatu komponen yang beberapa ahli membenarkan akan adanya kebenaran
agama1
Pembentukan Hukum, dimana dipahami hukum sebagai bagian instrumen
untuk megatur masyarakat, maka tentunya hukum juga tidak ansich mengacu terhadap
pancasila, akan tetapi, juga lebih dari pada itu bagaimana hukum dibentuk atas dasar nilai
filsafat Islam dan ilmu pengetahuan yang lebih mendalam (hakiki).
Salah satu dasar yang tepat di dalam pembentukan hukum di Indonesia adalah
kebenaran Islam. Secara ilmu pengetahuan, kebenaran Islam adalah masuk dalam
ketegori kebenaran yang tidak bisa di sebandingkan dengan kebenaran ilmu apapun.
Konteks ke-Indonesiaan, secara kuantitas masyarakat Indonesia didominasi
oleh masayarakat yang berlatar belakang Agama Islam, maka tentunya peluang untuk
menerapkan nilai-nilai Islam di dalam proses pembentukan perundang-undnagan
sangatlah di mungkinkan, adalah tergantung dari pada pemahaman ddan keyakinan
akankebenaran agama yang hendak di manifestasikan di dalam setiap perundangundangan.
Dari pengantar tersebut di atas, maka penulis mencoba merumuskan
pertanyaan sebagai batasan di dalam pengajian ini, yaitu bagaimankah peran filsafat Islam di
dalam pembentukan hukum di Indonesia ?.
Pembahasan
1. Pengertian filsafat
Pengertian Filsafat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah
1)
Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada,
sebab, asal, dan hukumnya, 2) Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan
atau juga berarti ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan epistemologi.
1
Sekalipun demikian istilah kebenaran agama seolah menajadi Istilah yang toleran dengan menggunakan
kata “kebenaran agama”. Yang menurut penulis perlu ada ketegasan bahwa kebenaran itu adalah
kebenaran Islam (wahyu), sebab ketika dikatakan sebagai kebenaran agama maka tentu banyak agamaagama dan dianggap sama, dan yang paling bisa di uji berdasarkan komponen kebenaran korespondensi,
koherensi, dan pragmatis adalah kebenaran Islam.
Pakar Filsafat kenamaan Plato (427 - 347 SM) mendefinisikan filsafat adalah
ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli, Kemudian menurut
Aristoteles (382 - 322 SM) mengartikan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
meliputi kebenaran, dan berisikan di dalamnya ilmu; metafisika, logika, retorika, etika,
ekonomi, politik, dan estetika.
Secara Umum, Pengertian Filsafat adalah Ilmu pengetahuan yang ingin
mencapai hakikat kebenaran yang asli dengan ciri-ciri pemikirannya yang 1) rasional,
metodis, sistematis, koheren, integral, 2) tentang makro dan mikro kosmos 3) baik
yang bersifat inderawi maupun non inderawi.
Hakikat kebenaran yang dicari dari berfilsafat adalah kebenaran akan hakikat
hidup dan kehidupan, bukan hanya dalam teori tetapi juga praktek. Sedangkan tugas
filsafat menurut Jujun yaitu .... menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan2
Menurut Immanual Kant bahwa filsafat adalah ilmu dasar segala pengetahuan
yang mencakup di dalamnya empat persoalan:
1. Apa hak yang dapat kita pahami ( dijawab oleh metafisika)
2. Apa hak yang boleh kita kerjakan (di jawab oleh etika dan norma)
3. Sampai dimanakah pengharapan kita (dijawab oleh agama)
4. Apakah yang dinamakan manusia ( dijawab oleh antropologi)3
Dari beberapa pandangan tersebut penulis mencoba menyimpulkan bahwa
filsafat itu merupakan induk ilmu dengan menggunakan metode ilmiah yang
seanantiasa mencari kebenaran yang sesungguhnya. Pada pendekatan metodologi
adalah berdasarkan pada pengkajian masing-masing ilmu seperti ilmu fisika, agama,
biologi, antoropologi dan lain sebagainya. Dalam proses menemukan makna
kebenaran yang sesungguhnya, pengkajian kebenaran sangat ditentukan oleh cara
pandang dan fikiran manusia4.
Maka dimungkinkan, oleh karena perbedaan situasi dan cara pandang manusia
yang berbeda-beda maka kebenaran tersebut akan subyektif. Maka ilmu yang
diperoleh filsafat adalah tentunya akan seantiasa subyektif pula. Sebab memang,
filsafat hanya pada “mencari” dengan metode, atau “kecintaan” kepada suatu
kebenaran dimana filsafat tidak mempu menemukan hakikat yang sesunggunnya dari
sesuatu itu.
Kemudian berkenaan dengan Filsafat Hukum Menurut Gustaff Radbruch
adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar. Sedangkan menurut
Langmeyer: Filsafat Hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum,
Anthoni D’Amato mengistilahkan dengan Jurisprudence atau filsafat hukum yang
acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dan pengertian hukum secara
abstrak, Kemudian Bruce D. Fischer mendefinisikan Jurisprudence adalah suatu
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Cet.XVI,
2003
3 Amsal bakhtiar. 2004 filsafat ilmu, Raja Grafindo Persada, Jakarta hlm 8
4 Itulah sehingga penulis kerap mengatakan di berbagai forum-forum diskusi baik formal maupun non
formal bahwa indikator peradaban itu tidak di tentukan oleh seberapa banyak teknologi yang diciptakan,
namun peradaban ditentukan oleh paradigm masyarakat.
2
studi tentang filsafat hukum. Kata ini berasal dari bahasa Latin yang berarti
kebijaksanaan (prudence) berkenaan dengan hukum (juris) sehingga secara tata
bahasa berarti studi tentang filsafat hukum.5
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Filsafat hukum merupakan cabang
filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum.
Dengan perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara
filosofis, jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara
mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut dengan hakikat. 6
Penulis mecoba merefleksikan beberapa pandangan tentang filsafat hukum yaitu
mengkaji dan mencari kebenaran hakiki hukum terhadap hubunganya dengan nilai
keTuhanan, manusia dan alam sekitarnya.
2. Filsafat Islam
Istilah “filsafat Islam” menuai banyak kontoversi (perbedaan), dikarenakan
munculnya penganut filsafat Islam namun ia tidak beragama Islam, dilain sisi
menggunaka “filsafat Arab” akan tetapi banyak para filusuf yang bukan orang berasal
dari Negara Arab.
Sedangkan Al-Ihwani menyebutkan beberapa istilah alternatif yang pernah di
kemukakan pada ahli , seperti “filsafat Negara-Negara Islam” atau “filsafat di dunia
Islam” 7
Bahwasanya filsafat Islam pada perkembangannya sangat menekankan pada
pada masalah –masalah mendasar manusia seperti Tuhan, alam dan manusia. 8
Menurut penulis bahwa Petama, penyebutan filsafat Islam tidaklah keliru oleh
karena pada dasarnya filsafat adalah “mencari” suatu kebenaran hakiki atau nilai.
Bahwasanya, salah satu komponen kebenaran adalah kebenaran Islam. Maka,
linearnya tentu sangat tepat menggunakan istilah filsafat Islam. Sekalipun beberapa
ahli tidak berasal dari agama Islam, adalah tidak menjadi subtansi persoalan. Sebab
filsafat, bukan melihat eksistensi filosofnya akan tetapi esensi (nilai) dari pada
pandangannya.
Memang, Nilai filsafat dapat di pengaruhi oleh sudut pandang dari pada
filosofnhya. Namun tidak selalu dipengaruhi oleh latar belakang ideologi filosofnya.
Karena kebenaran pada dirinya adalah tentu dimiliki dalam memberikan pandangan
yang rasional dan obyektif.
Kedua, filsafat Islam yang mengkaji tiga Hal yaitu; Tuhan, Alam, dan manusia.
Pada kenyataan hidup dan kehidupan manusia memang demikian. Tidak ada lagi
pengkajian di dalam kehidupan manusia yang terlepas dari ketiga obyek pengkajian
tersebut.
Hubunganya dengan tiga komponen kebenaran dengan penekanan filsafat
Islam adalah sangat terkait, yaitu
Slide Muchsin, yang di sampaikan pada mahasiswa Pascasarjana Program Magister Hukum Untag
(Universitas 17 Agustus) Surabaya angkatan ke 18 tanggal 11 November 2007.
6 Ibid
7 Sukarno Aburaera. 2008. Filsafat Hukum. Bayumedia Publising, jatim hllm 86
8 Ibid hlm, 89
5
Pertama, komponen kebenaran korespondensi, dimaksudkan bahwa kebanaran
adalah kesesuaian antara pernyataan dan kenyataan adalah terkait dengan pengkajian
terhadap alam.
Kedua, korespondensi dimaksudkan bahwa kebanaran adalah suatu pernyataan
didukung oleh adanya pernayataan sebelumnya. adalah sangat terkait dengan logika
(manusia)
Ketiga, kebenaran pragmatis dimaksudkan kebanaran itu ketika ada manfaatnya
terhadap manusia. Maka kebenaran ini sangat terkai dengan Tuhan dimana Tuhan
tidak menciptakan, mengadakan, dan melahirkan sesuatu dengan sia-sia. Sekalipun
potensi manusia untuk berbuat yang sia-sia namun Tuhan senantiasa menghendaki
adanya perbuatan manusia yang bermanfaat9 bagi dirinya, orang lain dan lingkungan
sekitarnya.
3. Pembentukan Hukum di Indonesia
Sebagaimana diungkap di atas refleksi penulis terhadap filsafat hukum filsafat
hukum adalah mengkaji tentag kebenaran hakiki dari pada hukum hubunganya
dengan nilai keTuhanan, manusia dan alam sekitarnya.
Maka dengan demikian di dalam pembentukan dari pada hukum sebagai
instrumen kehidupan manusia, maka hukum harus senantiasa mengacu pada 3 (tiga)
aspek pertama, aspek nilai keTuhanan bahwa pembentukan hukum di Indonesia aspek
nilai keTuhanna tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan hukum itu sendiri dalam
mengatur kehidupan manusia. 10
Kedua, bawah pembentukan perundang-undangan adalah harus dilihat aspek
hirarkhi perundang-undangan dan hubungannya dengan masyarakat setempat. Hal
ini dimaksudkan sebagai aspek alam atau sistuasi masayarakat.
Artinya bawah hukum tidak selalu di diberlakukan secara general, makanya ada
Undang undang yang bersifat nasional dan ada peraturan daerah (perda) yang bersifat
lokal. Pada pembentukan hukum maka obyek yang hendak diatur harus
memperhatikan wilayah keberlakuannya11
Ketiga, adalah aspek manusia (rasional) artinya bawah hukum harus didekatkan
pada pendekatan rasionalitas. Dimana masyarakat secara umum menerima akan
peraturan tersebut oleh karena memang sesuai dengan peraturan dan perbuatan yang
dilakukan oleh manusia baik secara individu maupun secara kelompok. 12
Dan berbuat baik merupakan kodrat manusia, dan segala perbuatan manusia tersebut yang baik dan
brmanfaat merupakan ibadah.
10 Itulah sehingga pancasila di katakan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Dimana Pancasila
memuat nilai ketuhanan yaitu :Ketuhanan yang maha esa:
11 Undang-undang pornografi dan poro aksi diyakini dan terbukti tidak dapat diberlakukan secara nasional.
oleh karena sistuasi masyarakat, masih banyak yang tidak menghendaki adanya peraturan tersebut oleh
faktor alam dan kultur. seperti daerah papua, dan sekitarnya.
12 Seperti halnya dengan putusan Hakim yang memenjara Koruptor Triliunan dengan kuruman penjara 5
Tahun, sedangkan pencuri ubi dengan di penjara 1 tahun. Tentu hal tersebut baginya tidak adil (tidak
rasional)
9
Maka dengan demikian pembentukan hukum hingga pada pelaksanaannya.
Tidak hanya dilakukan dengan berdasar pada semata kepentingan kelompok tertentu,
aka tetapi harus mengacu pada nilai keTuhanan, kemanusiaan dan siatuasi
alam/lingkungan di mana hukum tersebut akan diberlakukan.
Pembentukan hukum pada aspek keTuhanan kerap menajdi persoalan dasar
dari pada kalangan regulator (pembuat undnag-undang) yang duduk di lembaga
legislative. Sebagaimana menurut Al-Bahy 13 bahwa tidak sedikit kalangan pemikir
modernis muslim yang terpengaruh oleh orang-orang barat dalam seluruh pandangan
hidupnya. Tidak sedikit pemikir modernis muslim mengikuti persepsi barat
menyangkut agama. Mereka mencoba mereduksi ajaran Islam menjadi agama belaka.
….sesungguhnya salah satu dari tema dati beberapa tema – tema pembahasan
pemikiran Islam kontemporer. Anggapan bahwa Islam adalah agama belaka, bukan
Negara, merupakan salah satu hasil pemikiran mereka.
Pandangan al-Bahy tidak menjustifikasi sebagai kekeliruan para anggota
legislatife di dalam pembuatan hukum itu diakibatkan kegagalan para pemikir Islam
sehingga para politisi kerap membedakan antara Islam dan Negara. Namun pada
prinsipnya kekuatan moral yang di dasarkan pada nilai-nilai kepercayaan para anggota
legislative untuk memanivestasikan nilai Islam di dalam pembuatan perundangundangan.
Ada kalangan yang memiliki pikiran yang mencoba memisahkan antara agama
dan Negara, sehingga implementasinya pada pembuatan peraturan perundang
undangan tidak memasukkan nilai-nilai Islam di dalamnya. Seperti halnya pandangan
Syaikh Ali Abd. Raziq yang memiliki pandangan bahwa:
a. Islam hanyalah agama saja, bukan Negara
b. Kepemimpinan nabi masih dibatasi oleh masa kerasulan. Setelah masa periode
kenabian tidak ada nabi lagi
c. Isla hanya meyerukan untuk membangun kesatuan yang bersifat keagamaan di
antara sesame orang-orang Islam, bukan kesatuan Negara atau pemerintahan
atau ikatan politis.
Pandangan Syaikh Ali Abd. Raziq tersebut tidak mencerminkan nilai-nilai Islam
mengajarkan tentang kepemimpinan. Bahwa para masa kerasulan (nabi)
sesungguhnya bukan hanya mengajarkan tentang hubungan hamba kepada Tuhan
namun juga mengajarkan antara hamba dengan hamba lain sebagaimana dalam (QS.
Al-Hujurat: 13) yang menekankan adanya hubungan timbal balik dengan manusia
lain baik laki-laki dan perempuan, suku-suku, bangsa-bangsa. Selain dari pada itu,
juga hubungan antara hamba (manusia) dengan makhluk dan lingkungan lainnya.
Pada hubungan antara hamba dengan Tuhannya sebagai akibat dan atau
konsekuensi kehambaan yang harus mengabdi dan beribadah kepada Allah SWT.
Artinya bahwa menjadi keniscayaan manusia lahir untuk beribadah kepada Allah
SWT. kedua, bahwa hubungan hamba dan hamba lainnya adalah sebagai manifestasi
daripada habluminannas, yanga mana secara kodrati bahwa manusia adalah makhluk
yang tidak bisa hidup tanpa dorongan dan bantuan orang lain. Hal ini dikamsudkan
13
Muhammad al-bahy Al-Islam fil Waqi’ al-Idiolo-ji hal 155
oleh Aristoteles bahwa manusia adalah zoon poloticon manusia adalah makhluk politik
atau makhluk sosial.
Ketiga, hubungan antara manusia dengan makhluk dan lingkungannya
dimaksudkan bahwa manusia tanpa alam (lingkungan) yang memadai maka barang
tentu manusia itu akan terancam kehidupannya, sebagai contoh jika manusia
mendiami suatu daerah yang tidak cukup akan sumber daya alam untuk
mengihidupinya maka lambat laun manusia tersebut akan terncam kehidupannya.
Sehingga, manusia harus melestasikan alam sekitarnya, dan manusia tidak boleh
melakukan kesewenang-wenangan terhadap alam sekitarnya.
Pada kontek ke-Indonesiaan sebagai Negara yang berlandaskan pada filsafat
pancasila sebagai dasar ideologi, maka pemerintah dan rakyat bukan hanya
menjadikan pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Namun, pancasila
menjadikan sumber dari segala aktifitas kebernegaraan. Sebab pancasila adalah
ideologi yang paling sempurna diantara semua ideologi Negara yang ada di dunia.
Beberapa alasan pancasila di katakan sebagai dasar Negara yang paling
sempurna dalam kontek ke-Indonesia-an, bahwa :
Pertama, Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, pada sila ini memaksudkan bahwa
Indonesia sebagai Negara yang memiliki banyak agama yang memberikan kontribusi
di dalam proses kemerdekaan sehingga agama di jadikan sebagai dasar bernegara
Indonesia. Dari hal itu sehingga Indonesia dikatakan sebagai Negara beragama,
bukan Negara agama. Bedanya! jika Negara beragama maka banyak agama yang
diakui, seperti; Islam, Kristen, hindu, budha, konghuchu,. Sedangkan jika dikatakan
sebagai Negara agama seperti halnya dengan Negara Arab, Brunai, Iran, mesir, hanya
mengakui satu agama yang resmi di dalam Negara tersebut yakni agama Islam.
Kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, bawah Indonesia sebagai Negara
yang menghargai dan menjunjung tinggi nila-nilai budaya adat istiadat yang ada di
tengah-tengah masyarakat sebelum lahirnya Negara Indonesia secara de jure (hukum).
Dalam hal ini adalah Negara Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi akan adanya
nilai-nilai kemanusiaa, nilai keadilan antara diantara individu-individu, dan nilai
beradab yang seyogyanya menjadi dasar di dalam berbangsa dan bernegara.
Ketiga, persatuan Indonesia, bahwa Indonesia bukanlah Negara kerajaan,
Indonesia adalah Negara re=kembali public=publik atau masyarakat artinya kembali
kemasyarakat, bukan kembali ke raja yang absolute. Inilah menjadi dasar utama
sehingga Indonesia dikatakan sebagai Negara demokrasi Negara yang berdasarkan
pada kehendak rakyat, yakni dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan. adalah Negara yang menjunjung tinggi adanya proses
musyawarah untuk mufakat, dan membenarkan adanya sistem perwakilan di dalam
pemerintahan. Dalilnya bawah Negara Indonesia yang begitu banyak etnis, agama,
suku, bangsa, daerah yang luas, sehingga untuk mengefektifkan jalannya
pemerintahan maka tentu di haruskan adanya sistem perwakilan yang duduk di
pemerintahan yang diberi tugas, regulasi, burgeting dan partisipasi.
Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia artinya bahwa Negara
Indonesia menghendaki adanya keadilan bukan hanya keadilan antar individu
sebagaimana pada sila ke-2 pancasila, namun keadilah yang lebih luas baik antar
kelompok, daerah, Provinsi, Kabupaten. Di mana pemerintahan pusat seharusnya
menerapkan keadilan sosial di seluruh wilayah dari Sabang sampai Marauke.
Berdasarkan pada penjelasana dari pada nilai-nilai pancasila di atas,
sesungguhnya dalam proses pembuatan perundang undangan maka sebaiknya dibuat
berdasarkan pada nilai-nilai agama, nilai kemanusiaa, keadilan, persatuan, kerakyatan,
dan keadilan sosial. maka, anggota alegislatif acuan di dalam membuat perancangan
perundang undangan adalah tidak mengacu pada pemahaman demokrasi dan
pemikiran bangsa barat dan atau pada Negara-negara maju semata. Sebab,
sesungguhnya jiwa bangsa (volgheis) Indonesia adalah ada pada pancasila itu sendiri,
yang sama sekali tidak bertentangan dengan agama, budaya dan bahkan lebih kaya
akan nilai-nilai di banding dengan Negara lain yang ada di dunia.
Memanifestasikan nilai pancasila di dalam proses perancangan perundang
undangan maka bekal para anggota legislative atau para calon anggota legislatif harus
dimiliki pemahaman nilai-nilai ke-pancasila-an.
Tanpa pemahaman dan bekal nilai-nilai pancasila, maka Negara akan jiwanya
(volgheis) dan tentu akan menjadi ancaman desintegrasi dan ancaman akan intervensi
dari Negara-negara luar yang secara politik akan menguasai negara Indonesia baik
penguasaan sumber daya manusia maupun penguasaan sumber daya alam.
Maka pada akhirnya antara agama dan Negara sama sekali tidak dapat
dipisahkan sebagai bagian yang saling bersimbiosis mutualisme, mediumnya adalah
politik. Agama tanpa Negara maka agama akan kehilangan eksistensinya,
sebagaimana tugas Negara untuk menggunakan kekuatannya di dalam
mempertahankan nilai –nilai agama yang dianut oleh masyarakat. Sedangkan Negara
tanpa agama maka ia akan kehilangan orientasi, dan Negara tersebut cenderung
untuk pragmatis dan individualis hingga menganggap bahwa Negara yang paling baik
dan benar adalah negaranya sendiri dengan mengabaikan eksistensi Negara lain.
Sesungguhnya, tanpa sadar bahwa Negaranya sendiri mempunyai ketergantungan
dengan Negara lain untuk mempertahankan eksistensi dan kedaulatannya .
4. Politik Islam
Agama dan politik dua hal yang integral, sebagaimana di kemukakan oleh Plato
bahwa Negara adalah kesatuan organis yang terjalin antara satu organ dengan organ
lain dalam rangka mempertahankan hidup dan menjaga kelangsungannya.
Pengelolaan Negara tidak hanya untuk kepentingan sesaat akan tetapi
mempertimbangkan aspek kelangsungan kehidupan manusia. Sedangkan di dalam
Negara itu sendiri terdiri atas beberapa entitas yang tidak bisa dipisahkan dalam
masyarakat baik berdiri sebagai individu maupun sebagai kelompok. Dalam
masyarakat ada nilai-nilai yang musti harus dilindungi oleh masyarakat lain dalam
politik, seperti; agama (keyakinan), adat istiadat, budaya, sehingga dalam politik
seharusnya menjaga nilai –nilai tersebut guna tidak terjadinya disintegrasi bangsa.
Sesungguhnya, politk itu adalah untuk kepentingan bersama atau untuk
kepentingan hajat hidup orang banyak, politik bukanlah untuk kepentingan pribadi
atau golongan. Demikian pemahaman politik sehingga tentu mencermati hal
tersebut, maka politik sangat bersinergi dengan Islam sebagai agama Rahmatan Lil
Alamiien. Agama Islam mementingkan kepentingan sosial namun bukan ansich agama
sosialisme, Islam juga mementingkan hak-hak individu manusia namuan ia bukan
ansich agama individualisme. sebab menurut penulis bahwa Islam adalah agama
keseimbangan sebagai manifestasi dari rahmatan lil alamien. Logikanya bahwa,
seandainya bukan agama keseimbangan maka barang tentu tidak menjadi rahmat bagi
semua alam, dan akibatnya Islam akan sedikit diterima permukaan bumi ini.
Secara kebijakan dan kekuasaan, dalam pengelolaan Negara sesungguhnya
nilai-nilai Islam dapat di manifestasikan di dalam setiap proses pembentukan
perundang undangan. Dalilnya bahwa secara kuantitas (kekuatan politik) di Indonesia
80-90 % anggota legislative adalah berlatar belakang agama Islam. Sehingga
kebijakan eksekutif akan labih dapat mewarnai adanya nilai hukum Islam di
dalamnya. Hal ini hanya bisa dilaksanakan jika para anggota paham akan
sesungguhnya ajaran agama; sebagai firman Allah bahwa;
“apakah mereka menghendaki hukum jahiliyah. Adakah hukum yang lebih baik
daripada hukum Allah bagi orang-orang yang beriman” (Al-maidah:51)
Pada ayat tersebut memang mejustifikasi bagi orang yang beriman untuk bisa
menerapkan nilai-nilai agama di dalam politik. kendala yang terberat di hadapai
bawah potensi sumber daya manusia yang duduk di lembaga pembuat regulasi itu
yang justru tidak memahami pentinganya nilai Islam di dalam proses pemerintahan.
Pada (al-maidah: 51) tersebut mengisyaratkan bahwa orang-orang yang tidak
beriman seringkali menyangkal kebijakan hukum Allah. Mereka cenderung subyektif,
dengan menutupi pandangan mereka dan mengikuti pandangan-pandangan yang
justru jauh dari nilai-nilai Islam. Sehingga, mereka “dibutakan” dengan tidak mampu
memberdakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Nilai-nilai Islam tidaklah menjadi benturan dengan nilai agama lain sebab
dasarnya sangat jelas di dalam Pancasila yakni keTuhanan yang maha esa menjadi
dasar utama pembentukan hukum, yang mana membenarkan nilai agama lain masuk
di dalam proses pembuatan perundang undangan adalah tergantung dari pada
kekuatan politik para anggota legislative. Sekalipun secara kuantitas didominasi oleh
anggota legislative yang berlatar belakang Islam, bukan berarti bahwa ia tidak
menerima realitas agama lain. Sebab Islam sangat menganjurkan untuk tetap belaku
adil kepada siapapun termasuk agama lain.
Agama lain tidaklah menjadi momok untuk di terapaknnya nilai Islam, sebab
Islam tentu tidak mendiskreditkan agama lain namun tetap sejalan berdasarkan pada
keparcayaan masing-masing ummatnya.
Sebagai penekanan dari pada landasan politik Islam sebagaimana firman Allah
yang artinya bahwa:
“hendaknya kamu memutuskan perkara diantara mereka berdasarkan ketentuan yang
telah diturunkan Allah; janganlah kamu mengikuti kecenderungan subyektifitas mereka;
berhati-hatilah kamu dari mereka, jangan sampai mereka mempengaruhi agar kamu
menyimpang dari ketentuan yang telah diturunkan Allah kepadamu” (Al-maidah 49)
Kebanyakan masyarakat merasa dan mengetahui, atau bahkan meyakini, bahwa
hubungan antara agama dan politik dalam Islam sudah sangat jelas. Yaitu bahwa
antara keduanya terkait erat secara tidak terpisahkan, sekalipun dalam segi
pendekatan teknis dan praktis dapat dibedakan. Agama adalah wewenang shahib alsyari'ah (pemilik syari'ah), yaitu Rasulullah, melalui wahyu atau berita suci yang
diterimanya dari Allah s.w.t. Sedangkan masalah politik adalah bidang wewenang
kemanusiaan, khususnya sepanjang menyangkut masalah-masalah teknis struktural
dan prosedural14.
Penutup
1. Kesimpulaan
Bahwa dalam pembentukan hukum di Indonesia adalah megacu pada nilai
Islam yaitu: nilai keTuhanan, kemanusiaan dan, alam (situasi dimana hukum akan
diberlakukan). Selain dari pada itu juga adalah adanya nilai keadilan sebagai
manifestasi daripada keadilan yang menjadi nilai dasar dari pada Islam dalam kontek
perumusan dan mebuatan perundang- undangan. Pembentukan hukum paling tidak
mengacu pada nilai-nilai pancasila. Pancalia bukan hanya sumber dari segala sumber
hukum namu nilai-pancasila sadalah sumber kebijaka, dan sumber aktifitas
pemerintahan dan warga masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Amsal bakhtiar. 2004 filsafat ilmu, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta Cet.XVI, 2003
Sukarno Aburaera dkk 2008 filsafat hukum. Baumedia publising. Jatim
Muhammad al-bahy Al-Islam fil Waqi’ al-Idiolo-ji
Nurcholish Madjid Islam dan Politik Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/PolitikN.html diakses pada 11 Januari 2004.
14
Download