1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pimpinan

advertisement
BAB I
PENGANTAR
1.1 Latar Belakang
Pimpinan perseroan dalam melakukan kewajiban pengurusan perseroan harus
mengambil keputusan bisnis walaupun berisiko. Keputusan yang diambil dapat saja
menimbulkan kerugian bagi perseroan baik yang sifatnya tidak disengaja atau
sengaja untuk kepentingan keuntungan sepihak. Kerugian yang tidak disengaja bisa
diakibatkan oleh sesuatu yang sifatnya di luar kendali pimpinan perusahaan seperti
krisis ekonomi dan lain-lain. Di sisi lain kerugian yang dialami oleh perusahaan bisa
saja diakibatkan oleh kelalaian, keteledoran atau yang sifatnya sengaja untuk
mengambil keuntungan sepihak. Hal ini terbukti setelah banyak terjadi skandal
korporasi seperti Enron, Worldcom, Pharmalat dan lain-lain.
Ruky (2010: 20) pimpinan suatu perusahaan khususnya yang berbentuk
Perseroan (perusahaan dalam bentuk Perseroan Terbatas, PT), dalam hal ini Dewan
Direktur; baik eksekutif maupun Non Eksekutif (Amerika Serikat) atau Dewan
Komisaris dan Direksi (Indonesia), adalah orang yang melalui rapat umum
pemegang saham (RUPS) memperoleh kepercayaan dari para pemilik perseroan atau
pemegang saham untuk menjalankan pengurusan perseroan bagi kepentingan
perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan didirikannya perseroan. Dalam
menjalankan tugasnya sebagai pimpinan perseroan, pimpinan perseroan diberikan
hak dan kewenangan untuk menjalankan pengurusan perseroan. Oleh karena itu,
mempunyai kewajiban menjalankan pengurusan perseroan sesuai dengan yang
diamanatkan.
1
2
Mengacu kepada sistem hukum yang berlaku di Amerika Serikat (AS),
kewajiban yang harus dijalankan oleh pimpinan perseroan untuk melakukan
pengurusan perseroan, adalah suatu kewajiban yang termasuk dalam kewajiban
fidusia (fidusia duty). Fiduciary adalah orang yang dipilih atau ditunjuk untuk suatu
posisi yang terkait dengan kepercayaan (position of trust), di mana tugasnya adalah
bertindak untuk dan atas nama orang lain, yang memberi kepercayaan, bukan atas
nama dirinya (Ruky, 2010: 21). Kewajiban yang bersifat fidusia mencerminkan
hubungan legal suatu kepercayaan antara 2 pihak atau lebih, umumnya relasi tersebut
dinamakan dengan fiduciary atau trustee dengan principal atau beneficiary.
Pimpinan perseroan adalah orang yang mendapat kepercayaan (fiduciary) dari
pemegang saham melalui RUPS untuk mengelola atau mengurus perseroan atas
nama para pemilik atau pemegang saham perseroan (beneficiary). Hubungan
kepercayaan atau hubungan fidusia (fiducia relationship) dalam mengurus perseroan
dan hubungan fidusia menghasilkan kewajiban fidusia (fiduciary duty), yaitu
kewajiban yang harus dilakukan orang yang menerima tugas dari orang lain
berdasarkan kepercayaan untuk melaksanakan tugas tersebut demi kepentingan
terbaik pemberi tugas atau pemberi kepercayaan (Ruky, 2010: 21).
Apabila orang melakukan suatu tindakan untuk dan atas nama orang lain dalam
suatu hubungan fidusia, hukum melarang fiduciary untuk melakukan suatu tindakan
yang bertentangan dengan kepentingan beneficiary, atau memanfaatkannya untuk
keuntungan pribadi. Beneficiary berhak mendapat usaha terbaik dari fiduciary yang
harus mengkaji dengan seluruh keahlian dan kecerdasan dan dilakukan dengan hatihati saat bertindak untuk dan atas nama beneficiary (Ruky, 2010: 21).
Menurut McDonald (2006), merumuskan kewajiban pimpinan perusahaan
sebagai berikut (lihat Ruky, 2010: 22).
3
1.
The Duty Of Care (Kewajiban Mengelola Perusahaan Dengan Seksama).
2.
The Duty Of Loyalty
(Kewajiban Bertindak Untuk Sebesar-besarnya
Kepentingan Perusahaan).
3.
Duty to Act in Good Faith (Kewajiban Bertindak Berdasarkan Itikad Baik).
4.
Duty of Disclosure or Candor (Kewajiban Menerapkan Prinsip Keterbukaan).
Di Indonesia sendiri usaha untuk melindungi hak-hak pemegang saham telah
diatur oleh pemerintah melalui Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (UUPT) menjamin hak pemegang saham untuk memperoleh
ganti rugi yang diakibatkan oleh tindakan pimpinan perusahaan, sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 61 “Setiap pemegang saham (yang dirugikan) berhak
mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke Pengadilan Negeri apabila dirugikan
karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan sebagai akibat
keputusan RUPS, Direksi dan atau Dewan Komisaris”.
Melihat penjelasan di atas tampak bahwa tanggung jawab pimpinan
perusahaan sangat berat terkait dengan kewajibannya sebagai pimpinan perusahaan
dalam menjalankan usaha yang diamanatkan pemegang saham pada dirinya sesuai
dengan konsep tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance). Hal
ini berguna untuk mengantisipasi dan menghindari kemungkinan adanya itikad tidak
baik dari pimpinan perusahaan dalam menjalankan usahanya, agar tujuan perusahaan
tercapai yaitu memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi pemegang saham.
Kasus skandal korporasi yang melibatkan antara pimpinan perusahaan dengan
pemegang saham telah banyak terjadi di berbagai negara, diantaranya yang terkenal
adalah peristiwa yang terjadi di Amerika Serikat yaitu kasus Smith v. Van Gorkum
tahun 1985 di Pengadilan Tinggi Negara Bagian Delaware. Dalam kasus itu
Pengadilan Tinggi Delaware telah mengabulkan tuntutan pemegang saham Trans
4
Union Corporation (Trans Union) terhadap Dewan Direktur Trans Union (DDTU)
cq Ketua Dewan Direktur Jerome van Gorkum yang telah menyetujui penjualan
Trans Union yang dianggap tanpa melalui kajian mendalam. Pengadilan menetapkan
bahwa DDTU telah melanggar kewajiban yang melekat dengan tugasnya sebagai
Dewan Direktur (fiduciary duties). Pengadilan berpendapat bahwa DDTU telah
menyetujui suatu transaksi korporasi yang tidak dihasilkan dari pertimbangan bisnis
dengan informasi yang cukup, karenanya merger kemudian dibatalkan dan harus
mulai kembali proses dari awal. Dalam memutuskan bahwa DDTU tidak
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam mengambil keputusan, Pengadilan
memberikan bobot yang signifikan terhadap kenyataan bahwa DDTU tidak
menyajikan pendapat kewajaran dari ahli penilaian (valuation expert) tentang harga
yang telah diterima untuk transaksi tersebut. Pengadilan menyatakan bahwa DDTU
sebenarnya dapat menghindari tanggung jawab pribadi (personal liability) apabila
mmperoleh pendapat atau nasehat dari ahli independen tentang nilai perusahaan.
Dalam kasus ini bukan harganya yang dipermasalahkan oleh Pengadilan, tetapi
karena tidak ada bukti yang bersifat independen yang menyatakan bahwa harga
transaksi adalah wajar. Dari kasus ini dapat diambil kesimpulan bahwa untuk
menghindari kritik atas keputusan menyetujui rencana transaksi korporasi yang dapat
berujung pada pembatalan transaksi tersebut, pimpinan perusahaan dan penilai
independen harus menjamin bahwa mereka menjalani proses kajian yang dapat
dipercaya atas rencana transaksi korporasi yang dilakukan. Untuk melindungi
pimpinan perusahaan dari kemungkinan tuntutan dikemudian hari, maka ada baiknya
untuk dipertimbangkan adanya kajian dari pihak independen seperti halnya pendapat
kewajaran.
5
Kasus lainnya adalah kasus M dan F Worlwide (MFW) yang terjadi di
Amerika Serikat. Ronald Parelman adalah jutawan pemegang saham mayoritas
MFW, produsen terbesar di AS dalam locorice and other flavouring contracts, dan
Panavision, produsen film dan peralatan editing film canggih terkenal di AS. Pada
bulan April 2001, MFW membeli kepemilikan mayoritas Parelman sebesar 83 persen
pada Panavision dengan harga US$128 juta, atau US$17,5 per lembar saham, yang
menunjukkan premium sebesar 400 persen atau 4 kali harga pasar yang berlaku saat
itu atau sekitar 13 kali EBITDA. Houlihan Lokey, penasihat keuangan terbanyak
dalam memberikan pendapat kewajaran untuk transaksi kelas menengah, melakukan
valuasi dan keluar dengan nilai dalam kisaran $9.1 sampai $20.5 per lembar saham.
Pada saat transaksi, kondisi keuangan Panavision dalam keadaan ‘bleeding’. Pada
tahun 2000, EBIT sebesar US$30.8 juta, dengan kewajiban pembayaran bunga
sebesar US$48.6 juta, dengan hutang berbunga sebesar kurang lebih US$500 juta.
Sementara kondisi keuangan MFW dalam kondisi yang sehat dan menguntungkan.
Para pemegang saham minoritas MFW memprotes akuisisi ini karena terlalu mahal
dan menyatakan hanya 1 (satu) orang yang diuntungkan dengan akuisisi ini yakni
Ronald Parelman. Selanjutnya para pemegang saham minoritas MFW melakukan
tuntutan (class action lawsuit) melawan Dewan Direktur (DD) cq Ronald Parelman
ke Pengadilan Negara Bagian Delaware. Di depan Pengadilan para pemegang saham
minoritas MFW berargumen bahwa: (1) transaksi tidak wajar bagi MFW dan
pemegang sahamnya; (2) menimbulkan penghamburan sumber daya perusahaan dan
mismanagement; serta (3) menunjukkan pelanggaran atas kewajiban fidusia baik
duty of care. duty of loyalty maupun duty to act in a good faith, meskipun DD
membentuk komite independen untuk menganalisa transaksi dan menggunakan
penasihat keuangan untuk memberikan pendapat kewajaran. Pemegang saham
6
minoritas meyakinkan Pengadilan, bahwa DD dan penasihat keuangan menetapkan
nilai lebih tinggi untuk perusahaan target (target acquisition), dan penasihat
keuangan kurang atau bahkan tidak melakukan uji tuntas atas proyeksi yang
disajikan oleh manajemen. Setelah transaksi diputuskan, harga saham MFW turun
sebesar 50 persen, mencerminkan ketidakpercayaan pemegang saham atas transaksi
ini. Keputusan Pengadilan Class action MFW diselesaikan di depan Pengadilan di
mana Parelman setuju untuk tidak meneruskan atau membatalkan akuisisi tersebut.
Pengadilan mengkritik keras Dewan Direktur MFW dan penasihat keuangan
Houlihan Lokey atas kesimpulan yang dicapai dan opini yang diterbitkan dan
disampaikan kepada MFW. Dalam kasus ini memberikan kesimpulan bahwa
keputusan untuk melakukan transaksi korporasi, apalagi yang bersifat strategis, tidak
dapat diputuskan begitu mudah hanya karena memiliki kewenangan sebagai
pemegang saham mayoritas (super voting right), tetapi harus benar-benar
berdasarkan pertimbangan bisnis rasional karena bisa berdampak merugikan pada
pemegang saham minoritas. Dalam hal ini penilai independen harus lebih jeli dalam
melakukan uji tuntas dan lebih teliti dalam analisis untuk sampai pada kesimpulan
dan memberikan pendapat tentang kewajaran transaksi tersebut, sehingga tidak
menimbulkan kerugian bagi pemegang saham minoritas.
Sementara di Indonesia kasus yang terkenal adalah kasus PT Bumi Resources
Tbk. (BUMI) mengakuisisi 3 (tiga) perusahaan tambang yang dianggap oleh banyak
kalangan transaksinya dianggap “bermasalah”. Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) menegaskan agar terhadap transaksi akuisisi
tersebut dilakukan penilaian ulang dan diberikan pendapat kewajaran. Kasus ini
mempelihatkan bagaimana Otoritas Pasar Modal di Indonesia melakukan
‘enforcement’ dengan memerintahkan agar transaksi yang dilakukan oleh PT Bumi
7
Resources Tbk (BUMI) ini harus disertai dengan pendapat kewajaran untuk
mendapat persetujuan resmi dari Bapepam-LK.
Latar belakang kasus adalah ketika PT Bumi Resources Tbk (BUMI)
melakukan transaksi korporasi dengan mengakuisisi 3 (tiga) perusahaan tambang
yaitu PT Dharma Henwa Tbk (DEWA), PT Fajar Bumi Sakti (FBS) dan Pendopo
Coal Limited (PCL). Ketika transaksi dilaporkan, Otoritas Pasar Modal menganggap
bahwa harga yang ditetapkan dalam transaksi terlalu mahal dan kondisi pasar modal
saat itu juga sedang ‘bearish’ karena dampak dari krisis keuangan di AS.
Berdasarkan kondisi itu, Bapepam-LK menginginkan adanya penilaian ulang oleh
pihak independen penilai usaha yang ditunjuk oleh Bapepam-LK. Kemudian
pimpinan Bursa Efek Indonesia memerintahkan kepada asosiasi penilai MAPPI cq
Dewan Penilai untuk melakukan kaji ulang penilaian (valuation review) atas hasil
penilaian yang dilakukan oleh penilai yang ditunjuk oleh BUMI dan sekaligus
dilakukan penyusunan pendapat kewajaran bukan hanya penilaian ulang, hal ini
untuk mengetahui apakah transaksi yang dilakukan dari sudut pandang keuangan,
wajar bagi pemegang saham. Dari hasil proses penyusunan pendapat kewajaran yang
dilakukan oleh Tim Independen yang ditunjuk oleh Dewan Penilai MAPPI, diperoleh
Nilai Pasar Wajar atas DEWA, PCL dan FBS, yang ternyata berbeda dari Nilai Pasar
Wajar yang dihasilkan oleh penilai yang ditunjuk oleh BUMI. Selanjutnya
berdasarkan hasil analisis kewajaran atas transaksi, Tim Independen menyatakan
bahwa transaksi DEWA dan PCL adalah wajar bagi kepentingan pemegang saham.
Untuk FBS, harga pembelian dianggap lebih tinggi dibandingkan dengan Nilai Pasar
Wajar-nya, sehingga transaksi FBS dianggap tidak wajar bagi pemegang saham
BUMI. Otoritas Pasar Modal menerima kajian yang dilakukan oleh Dewan Penilai
MAPPI dan pendapat kewajaran yang disusun Tim Penilai Independen yang ditunjuk
8
Dewan Penilai MAPPI, dan meminta BUMI untuk melakukan penyesuaian sesuai
dengan hasil penilaian ini. BUMI kemudian menyesuaikan transaksi akuisisi FBS
dengan hasil penilaian ini, sehingga pemegang saham BUMI terhindar dari kerugian
yang ditimbulkan dari transaksi akuisisi ini. Dari kasus ini sangat dirasakan
pentingnya pendapat kewajaran dari pihak independen untuk melindungi pemegang
saham minoritas dari kemungkinan kerugian yang ditimbulkan dari transaksi
korporasi.
Menilik pada kasus tersebut di atas, tanggung jawab pimpinan perusahaan
sangat berat sehingga harus bersedia menghadapi tuntutan atau gugatan dari
pemegang saham jika dirasakan ada sesuatu yang tidak sesuai dengan yang
diharapkan pemegang saham, sehingga tidak menutup kemungkinan banyak orang
yang tidak mau untuk menerima amanat dari pemegang saham dalam menjalankan
suatu perusahaan sebagai pimpinan perusahaan mengingat besarnya tanggung jawab
dan risiko yang dipikulnya.
Namun besarnya tanggung jawab dan risiko yang dipikul oleh pimpinan
perusahaan tidak serta merta menjadi sesuatu yang harus ditakuti oleh pimpinan
perusahaan, karena selama pimpinan perusahaan telah menjalankan kewajibannya
sesuai dengan tata kelola pengurusan perusahaan yang baik. Di Amerika Serikat
pimpinan perusahaan dilindungi oleh doktrin Business Jugdment Rule (BJR). Doktrin
BJR merupakan prinsip dalam hukum perusahaan di Amerika Serikat yang
melindungi direksi serta para pimpinan perusahaan (executive officers) dengan
memberikan pembebasan dari tuntutan atau kewajiban terhadap perusahaan atau
pemilik perusahaan atas kerugian yang terjadi sebagai akibat keputusan pimpinan
perusahaan yang merugikan perusahaan, terutama dalam suatu transaksi korporasi.
Pembebasan ini diberikan apabila transaksi korporasi tersebut dilakukan dengan
9
itikad baik, jujur, hati-hati, untuk kepentingan terbaik perseroan, dan diputuskan
setelah memperoleh informasi yang cukup.
BJR adalah anggapan awal (presumption) tentang pekerjaan yang dilakukan
oleh pimpinan perusahaan (Direksi dan Eksekutif), yang melindungi pimpinan
perusahaan dari kewajiban pribadi (personal liability) serta menyekat atau
mengisolasi direksi dan eksekutif dari tuntutan hukum. BJR menganggap bahwa
dalam mengelola perusahaan (dalam mengambil keputusan), pimpinan perusahaan
dianggap telah melaksanakan kewajibannya sebagaimana seharusnya yaitu
berdasarkan itikad baik (good faith); investigasi
yang cukup
(sufficient
investigation); alasan yang dapat diterima (acceptable reason); dan telah mengambil
keputusan berdasarkan informasi yang lengkap (well informed basis) sesuai dengan
keahlian yang mereka miliki masing-masing. Doktrin BJR memberikan perlindungan
kepada pimpinan perusahaan dalam mereka mengelola perusahaan.
Di Indonesia doktrin BJR telah di atur dalam UUPT pasal 97 ayat 5 butir (b)
yang menyatakan bahwa anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
kerugian sebagaimana dimaksud pada pasal 97 ayat 3 yang berbunyi “Setiap anggota
Direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang
bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud ayat (2)”, apabila dapat membuktikan.
1.
Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya.
2.
Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
3.
Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung
atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian.
4.
Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul dan berlanjutnya kerugian
tersebut.
10
Bagi perseroan yang terdaftar di pasar modal kewajiban pimpinan perusahaan untuk
melaksanakan kewajiban fidusia lebih dipertegas. Ketentuan duty of disclosure,
prinsip keterbukaan informasi, dan transaksi benturan kepentingan ditegaskan dalam
UUPM dan berbagai Ketentuan Ketua Bapepam, sedangkan tentang transaksi
material dan benturan kepentingan diatur dalam Ketentuan Ketua Bapepam.
Ketentuan mengenai kewajiban pimpinan perusahaan yang menyangkut fakta
atau transaksi benturan kepentingan diatur dalam pasal 82 dan Peraturan Bapepam
No. IX.E.1, sementara tentang fakta dan transaksi material dalam pasal 86 dan
Peraturan Bapepam IX.E.2. Peraturan IX.E.1 dan IX.E.2 menegaskan tentang
perlunya pernyataan pihak independen atas kelayakan harga dan kewajaran transaksi
benturan kepentingan dan material.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, pemimpin perusahaan mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab fidusia. Oleh karena itu, BJR melindungi pemimpin
perusahaan dari kewajiban pribadi atas kerugian dari suatu transaksi yang diputuskan
pemimpin perusahaan, sepanjang keputusan itu dilakukan atas dasar informasi yang
lengkap, itikad baik, dan tidak ada benturan kepentingan.
Ditinjau dari sudut pandang prosedur (dalam proses pengambilan keputusan),
pendapat kewajaran merupakan bukti bahwa pemimpin perusahaan telah mencari
nasehat profesional menyangkut aspek keuangan dari rencana transaksi korporasi.
Dari sudut pandang legal pendapat kewajaran memberikan bukti bahwa pemimpin
perusahaan telah mengumpulkan berbagai informasi yang terkait dengan transaksi
dan telah melakukan evaluasi berdasarkan pertimbangan bisnis yang rasional (Ruky,
2010: 34).
Dari pemaparan di atas jelas bahwa pendapat kewajaran yang diberikan pihak
independen, membantu pemimpin perusahaan untuk menunjukkan bahwa mereka
11
telah menggunakan reasonable business judgment atau telah melaksanakan exercised
due care dalam proses mengambil keputusan atau persetujuan atas transaksi
korporasi yang dilaksanakan. Sehubungan dengan kewajiban pimpinan perusahaan
untuk mendapatkan pendapat dari pihak independen atas kelayakan harga dan
kewajaran transaksi afiliasi dan benturan kepentingan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bapepam IX.E.1., maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian
mengenai kewajaran transaksi korporasi terhadap transaksi korporasi yang dilakukan
oleh PT Bank ICB Bumiputera, Tbk atau ICBB terkait perpanjangan penyewaan
gedung milik PT The Nomad Office Indonesia atau NOI karena ICBB dan NOI
merupakan perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan afiliasi dan transaksi
yang terjadi di antara kedua perusahaan tersebut di atas merupakan transaksi afiliasi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bapepam IX.E.1., sehingga atas transaksi
tersebut diperlukan pendapat kewajaran dari pihak independen.
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian ini berfokus pada transaksi korporasi yang dilakukan oleh ICBB dan
NOI yang merupakan perusahaan terafiliasi. Dari transaksi ICBB dan NOI timbul
pertanyaan apakah transaksi yang dilakukan kedua perusahaan terafiliasi tersebut
ditinjau dari segi ekonomis dan keuangan adalah wajar bagi ICBB dan pemegang
saham minoritas ICBB.
1.3 Kesalian Penelitian
Penelitian empiris mengenai kewajaran atas transaksi korporasi di luar negeri
telah banyak dilakukan, tetapi di dalam negeri selama ini penulis belum
menemukannya. Penelitian yang masih terkait dengan kewajiban pimpinan
perusahaan dalam menjalankan perusahaan dengan prinsip tata kelola perusahaan
12
yang baik dan benar good corporate governance dan Business Judgment Rule yang
mencakup di dalamnya adalah prinsip keterbukaan informasi dan kewajaran transaksi
telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya diantaranya adalah sebagai berikut.
Orchard (2006) melakukan penelitian mengenai doktrin hukum Business
Judgment Rule (BJR) dari sudut pandang hukum di Indonesia. Penelitiannya
menunjukkan bahwa doktrin hukum BJR di Amerika Serikat telah diadopsi oleh
hukum di Indonesia yang terkandung dalam pasal 85 ayat 1 Undang-Undang No. 1
tahun 1995. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa BJR bisa melindungi
pimpinan perusahaan selama pimpinan perusahaan tersebut dalam mengambil
keputusan tersebut tidak mengandung kepentingan pribadi, diputuskan berdasarkan
informasi yang mereka dipercaya, oleh keadaan yang tepat dan secara rasional serta
keputusan tersebut adalah yang terbaik untuk perusahaan, artinya tidak ada unsurunsur kecurangan (fraud), benturan kepentingan (conflict of interest), perbuatan
melawan hukum (illegality), ataupun ada konsep kesalahan yang disengaja (gross
negligence).
Kusmono (2008) melakukan penelitian mengenai tanggung jawab direksi
perseroan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dari hasil penelitiannya
menyimpulkan
bahwa
tanggung jawab direksi
perseroan BUMN
apabila
perusahaannya mengalami kerugian yang diakibatkan oleh keputusan bisnis yang
diambil maka direksi dapat melakukan pembelaan hukum melalui doktrin Business
Judgment Rule yang dengan tegas diakomodasi dalam pasal 97 ayat (5) UndangUndang Perseroan Terbatas (UUPT) No. 40 tahun 2007 selama direksi telah
menjalankan perusahaan dengan melaksanakan Good Corporate Governance (GCG),
13
beritikad baik (good faith), penuh kehati-hatian (duty of care), dan penuh tanggung
jawab (duty of loyalty).
Harahap (2008) dalam penelitian menyimpulkan bahwa ketentuan tanggung
jawab direksi yang ada pada UUPT No.40 tahun 2007 menyatakan bahwa dalam hal
terjadinya kepailitan perusahaan, direksi pada prinsipnya tidak bertanggung jawab
selama direksi telah menjalankan perusahaan dengan melaksanakan asas fiduciary
duty, direksi hanya diminta pertanggungjawabannya apabila terjadi karena kesalahan
atau kelalaian dalam pengelolaan perseroan.
Cain dan Denis (2010) melakukan penelitian mengenai penggunaan pendapat
kewajaran pada perusahaan di Amerika Serikat yang melakukan merger dan akuisisi
pada tahun 1998 sampai dengan 2005. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa
penggunaan pendapat kewajaran pada aksi merger dan akuisisi perusahaan dapat
memberikan informasi tambahan (incremental information) pada pasar yang
sebelumnya tidak terpublikasikan, serta memberikan informasi yang berguna kepada
dewan direksi dan investor. Dengan adanya pendapat kewajaran yang diumumkan ke
pasar pada aksi merger dan akuisisi memberikan informasi yang berguna bagi pasar
dan akan menentukan reaksi pada harga saham perusahaan bersangkutan.
Duff dan Phelps (2009) telah melakukan penelitian dengan melakukan survey
terhadap 50 dewan direksi di Amerika Serikat dan Eropa selama kuartal ke empat
tahun 2008 mengenai pendapat kewajaran. Hasil survei menunjukkan bahwa
motivasi perusahaan dalam menyediakan pendapat kewajaran dari pihak independen
dalam transaksi merger dan akuisisi adalah sebanyak 64 persen responden di
Amerika Serikat pendapat kewajaran dibuat untuk melindungi dewan direksi dari
14
tuntutan hukum pemegang saham jika terjadi kasus yang merugikan perusahaan,
sementara di Eropa sebanyak 48 persen yang berpendapat sama seperti di atas.
Sementara sebanyak 72 persen responden di Amerika berpendapat bahwa pendapat
kewajaran dibuat untuk memenuhi kewajiban fidusia pimpinan perusahaan,
sementara di Eropa sebesar 33 persen responden yang berpendapat untuk memenuhi
kewajiban fidusia pimpinan perusahaan.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan penelitian
PT Bank ICB Bumiputera Tbk, atau ICBB dan PT The Nomad Office
Indonesia atau NOI adalah dua perusahaan yang terafiliasi. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui apakah transaksi korporasi yang dilakukan ICBB dan NOI
ditinjau dari segi ekonomis dan keuangan adalah wajar bagi ICBB dan pemegang
saham minoritas ICBB.
1.4.2 Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut:
1. sebagai bahan acuan bagi ICBB dan pemegang saham minoritas ICBB dalam
menentukan apakah transaksi korporasi tersebut wajar bagi ICBB dan pemegang
saham minoritas ICBB;
2. sebagai alternatif bahan pertimbangan bagi ICBB dan pemegang saham
minoritas ICBB dalam menentukan transaksi korporasi yang serupa di masa
mendatang.
15
1.5 Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun menjadi empat bab. Bab I: Pengantar, berisi uraian
mengenai latar belakang, rumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II: Tinjauan Pustaka dan Alat
Analisis, berisi uraian tentang tinjauan pustaka, landasan teori, dan alat analisis. Bab
III: Analisis Data, berisi uraian tentang data dan sumber data, hasil analisis dan
pembahasan. Bab IV: Simpulan dan Saran serta keterbatasan penelitian.
Download