DAMPAK INVESTASI, BELANJA PEMERINTAH DAN ANGKATAN KERJA TERHADAP KINERJA EKONOMI DI KOTA BOGOR ALMASRIL SEMBIRING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Investasi, Belanja Pemerintah dan Angkatan Kerja terhadap Kinerja Ekonomi di Kota Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 Almasril Sembiring NIM. H152090051 RINGKASAN ALMASRIL SEMBIRING. Dampak Investasi, Belanja Pemerintah dan Angkatan Kerja terhadap Kinerja Ekonomi di Kota Bogor. Dibawah bimbingan EKA INTAN KUMALA PUTRI dan BAMBANG JUANDA. Peranan pemerintah daerah di Indonesia dapat dianggap sangat dominan sejak digulirkannya era otonomi daerah pada tahun 2001. Sebagai implikasi dari pemberian kewenangan yang semakin luas kepada daerah, daerah dituntut untuk dapat secara mandiri melaksanakan pembangunan, baik dari sisi perencanaan maupun pelaksanaannya sesuai prinsip-prinsip otonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi tidak bisa lepas dari peran pengeluaran pemerintah di sektor layanan publik. Pengeluaran pemerintah daerah diukur dari total belanja rutin dan belanja pembangunan yang dialokasikan dalam anggaran daerah. Sementara itu belanja pemerintah daerah tergantung pada penerimaan daerah yang meliputi transfer dan pendapatan asli daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tentang peranan dana transfer dan pendapatan daerah dalam anggaran dan belanja serta menganalisis besarnya dampak investasi, belanja pemerintah dan angkatan kerja terhadap kinerja ekonomi di kota Bogor. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif dan regresi linier berganda dan diduga dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Untuk menganalisis kinerja ekonomi digunakan data sekunder dengan periode tahun 1990 sampai dengan 2011. Untuk kemandirian penerimaan daerah digunakan data sekunder dengan periode tahun 2001 sampai dengan tahun 2011. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa rasio tranfer (DAU dan DAK) terhadap total penerimaan daerah menunjukkan negative slope , dan rasio pendapatan daerah (PAD dan DBH) terhadap total penerimaan daerah menunjukkan positive slope sehingga dapat dikatakan Kota Bogor mandiri dalam penerimaan daerah walaupun masih tergantung ke pemerintah pusat. Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa DAU dan PAD berpengaruh signifikan terhadap total belanja daerah (TBD) dan respon total belanja daerah (TBD) lebih besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD) daripada dana transfer (DAU). Penelitian juga menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi kota Bogor (PDRB) dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh investasi daerah tahun sebelumnya (INVt-1 ), belanja bidang infrastruktur (BBI), belanja bidang pendidikan tiga tahun sebelumnya (BBPt-3 ), dan total angkatan kerja (TK). Upah minimum kota (UMK) berpengaruh signifikan secara negatif terhadap investasi daerah (INV) di kota Bogor. Upah minimum kota (UMK), belanja bidang kesehatan (BBK) dan investasi daerah tahun sebelumnya (INVt-1 ) berpengaruh signifikan positif terhadap indeks pembangunan manusia (IPM). Kata kunci: angkatan kerja, belanja pemerintah daerah, indeks pembangunan manusia, investasi, pertumbuhan ekonomi. SUMMARY ALMASRIL SEMBIRING. The Impact of Total Investment, Local Goverment Expenditure and Work Labour on Economic Growth in Bogor City. Under direction of EKA INTAN KUMALA PUTRI and BAMBANG JUANDA. The role of local governments in Indonesia can be considered very dominant since the era of regional autonomy in 2001. As the implications of granting authority ' s broader to local governments, the required to independently executing development, both the planning or implementation is based on the principles of regional autonomy. Economic growth cannot be separated from the role of government spending in the public services. Local government spending is measured from the total routine expenditure and development spending allocated in the budget area. Meanwhile, local government expenditures depends on regional income which includes the transfer and revenue. This study was aimed at describing between General allocation fund and Regionally Original Income which one has more influence on the regions’ spending, and analyze the magnitude of the impact of investment, local government expenditures and labor force against economic performance in Bogor city. The method used is descriptive analysis and multiple linear regression and is suspected by the method of Ordinary Least Square (OLS). To analyze the economic performance used secondary data from 1990 through 2011. To analyze the independence of local governments used secondary data from 2001 through 2011. Identification results showed that the transfer ratio (General and Special allocation fund) to total local revenues showed a negative slope, and the ratio of local revenue (Local Revenue and Revenue-sharing) of the total revenues showed a positive slope so it can be said to be Independently in revenues for Bogor city, although still dependent to the central government. The results also show that General allocation fund and Regionally Original Income significant effect on total expenditures, and the response of total regional expenditures to greater Regionally Original Income rather than transfer of funds (General allocation fund), so it can be said that the present Bogor City more self-reliant in the reception. Research also shows that economic growth is positively and significantly influenced by investment the previous year (INVt-1 ), infrastructure spending, education spending three years earlier, and the total labor force. City minimum wage significant negative effect on investment (INV) in Bogor City. But the city minimum wage, health expenditures and investment the previous year (INVt-1 ) positive significant effect on the human development index. Keywords: economic growth, Human Development Index, goverment expenditure, work labour. investment, local © Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB DAMPAK INVESTASI, BELANJA PEMERINTAH DAN ANGKATAN KERJA TERHADAP KINERJA EKONOMI DI KOTA BOGOR ALMASRIL SEMBIRING Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Ma’mun Sarma, MS MEc (Ketua Program Studi Magister Pembangunan Daerah, SPS - IPB) Jud\ll Penelitian Nama NRP Program Studi Dampak Investasi, Belanja Pemerintah dan Angkatan Kerja terhadap Kinerja Ekonomi di Kota Bogor Almasril Sembiring H152090051 Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Disetujui oleh Kornisi Pembimbing ~. Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS Anggota Dr Ir E Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof Dr Ir Bambang J uanda, MS Tanggal Ujian: 16 Juli 2013 Tanggal Lulus: 3 0 AU G'LD 3 Judul Penelitian : Nama NRP Program Studi : : : Dampak Investasi, Belanja Pemerintah dan Angkatan Kerja terhadap Kinerja Ekonomi di Kota Bogor Almasril Sembiring H152090051 Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, MSi Ketua Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: 16 Juli 2013 Tanggal Lulus: PRAKATA Puji dan syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah kinerja ekonomi, dengan judul Dampak Investasi, Belanja Pemerintah dan Angkatan Kerja terhadap Kinerja Ekonomi di Kota Bogor. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan, arahan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang mendalam kepada Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MSi selaku ketua komisi pembimbing dan Prof.Dr.Ir.Bambang Juanda, MS. selaku anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan berbagai masukan dan arahan yang sangat konstruktif bagi penyempurnaan tesis ini. Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS, MEc sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan tesis ini. Dr. Ir. Setia Hadi, MS, sebagai penguji luar komisi mewakili Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan yang telah memberikan masukan dan saran perbaikan untuk tesis ini. Dr. Ir. Ernan Rustiadi M.Agr, yang telah berusaha mengarahkan penulis di awal penulisan tesis supaya lebih fokus dan terstruktural. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Undang dari BPS Kota Bogor dan Bapak Nanang dari Sek.Ekonomi Pemerintah Kota Bogor yang banyak memfasilitasi selama pengumpulan data. Buat Alex, Enirawan, Untung, Firman, Endang, Puji, Adam, Wawanudin, Tabrani, Dede, Luh Putu, Isnina, Linda dan seluruh teman-teman angkatan 2010 PWD yang telah banyak mendorong dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan karya tulis ini penulis mengucapkan banyak terima kasih. Ucapan terima kasih dan rasa rasa cinta kepada Ida Zubaedah, istri yang begitu banyak membantu khususnya atas pengertian dan kesabarannya mendampingi penulis dalam penyelesain tesis ini, begitu juga atas pengertian, kesabaran dan kasih sayang ananda M.Rizqi APS. Ucapan terima kasih dan rasa hormat yang mendalam kepada ayahanda Jamaludin Sembiring (Alm) dan ibunda Ukur Malem Br Ginting (Almh), Bapak H.A.Muthalib Sembiring SH dan ibu Hj. Sempat Muli Br Tarigan, Bapak H.Fachrudin dan Ibu Hj.Nurifah (Mertua), Dr Rasidin K. Sitepu, MSi dan Veralianta S. MSi , serta keluarga besar di Medan dan Pemalang, yang telah memberikan doa, motivasi, dukungan, perhatian, dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2013 Almasril Sembiring DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN x xi xi 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian 1 1 7 8 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah Peranan Belanja Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Peranan Investasi Swasta terhadap Pertumbuhan Ekonomi Peranan Angkatan Kerja terhadap Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi Regional Teori Pertumbuhan Ekonomi Mazhab Historimus Teori Pertumbuhan Ekonomi Mazhab Analitis Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran Teoritis Hipotesis 9 9 9 14 16 17 19 19 25 30 32 3 METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan Data Teknik Analisis Definisi operasional variable 35 35 35 35 39 4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR Administrasi dan Geografis Kota Bogor Kependudukan Perekonomian Daerah Sosial dan Budaya Infrastruktur 40 40 40 43 47 51 5 PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Deskripsi Penerimaan dan Belanja Pemkot Bogor Model Belanja Pemkot Bogor Model Kinerja Ekonomi Kota Bogor Indeks Pembangunan Manusia 53 53 60 69 74 6 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran 78 78 78 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP 79 83 97 DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Realisasi pendapatan Kota Bogor tahun 2009 - 2011 Realisasi belanja Kota Bogor tahun 2009 - 2011 PDRB perkapita kota di PKN Bodebek atas dasar harga berlaku, tahun 2008-2011 (rupiah) Penelitian-penelitian terdahulu Tujuan dan alat analisis yang digunakan Jumlah penduduk Kota Bogor menurut kecamatan dan jenis kelamin Jumlah penduduk 15 tahun keatas menurut jenis kegiatan utama Kota Bogor tahun 2009-2011 Jumlah penduduk 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan usaha dan jenis kelamin Kota Bogor tahun 2011 Produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Bogor menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2006-2011 Laju pertumbuhan PDRB Kota Bogor menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2006-2011 Jumlah puskesmas, puskesmas pembantu dan puskesmas keliling menurut kecamatan di Kota Bogor tahun 2009 IPM Kota Bogor per kecamatan dan komponennya tahun 2010 Perkembangan kemiskinan Kota Bogor tahun 2004-2010 Banyak keluarga menurut kecamatan dan klassifikasi keluarga di Kota Bogor tahun 2010 Hasil pendugaan parameter beberapa persamaan total belanja daerah (TBD) Hasil pendugaan parameter persamaan belanja rutin daerah (BRD) Hasil pendugaan parameter persamaan belanja modal daerah (BMD) Hasil pendugaan parameter persamaan belanja bidang pendidikan (TBD) Hasil pendugaan parameter persamaan belanja bidang kesehatan (BBK) Hasil pendugaan parameter persamaan belanja bidang infrastruktur (BBI) Hasil pendugaan parameter persamaan investasi daerah Hasil pendugaan parameter persamaan penyerapan tenaga kerja (PTK) Hasil pendugaan parameter persamaan produk domestik regional bruto (PDRB) Hasil pendugaan parameter persamaan indeks pembangunan manusia (IPM) 2 3 5 28 34 41 42 43 44 46 48 48 50 51 60 62 63 65 66 68 69 71 72 74 DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Perkembangan belanja Pemkot Bogor bidang pendidikan dan kesehatan tahun 1990-2011 Efek kenaikan pengeluaran pemerintah Bagan kerangka pemikiran teoritis Tren jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2010 Laju pertumbuhan penduduk Kota Bogor tahun 2000-2010 Perkembangan UHH di Kota Bogor tahun 2005-2008 Perkembangan DAU, PAD, DBH dan DAK tahun 2001-2011 Persentase jumlah DAU dan DAK terhadap total penerimaan daerah Persentase jumlah DAU terhadap total penerimaan daerah Persentase jumlah PAD dan DBH terhadap total penerimaan daerah Persentase jumlah PAD terhadap total penerimaan daerah Perkembangan TBD, BRD dan BMD tahun 1990-2011 Perbandingan persentase BRD dan BMD di Kota Bogor tahun 1990 sampai dengan tahun 2011. 7 14 31 41 42 47 53 54 55 55 56 58 58 DAFTAR LAMPIRAN 1 2 Data Pendukung Pendugaan Parameter Model 83 85 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia mulai menempuh suatu babak baru dalam kehidupan masyarakatnya dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Implikasi dari kebijakan otonomi daerah tersebut adalah daerah memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan kepentingan pemerintah daerahnya masing-masing. Dalam pelaksanaanya, kebijakan otonomi daerah didukung pula oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Undang-Undang ini menegaskan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, pemerintah pusat akan mentransferkan dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Dana perimbangan tersebut terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagian daerah dari bagi hasil pajak pusat (DBH). Disamping dana perimbangan tersebut, pemerintah daerah juga memiliki sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), pinjaman daerah, maupun lain-lain penerimaan daerah yang sah. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar-pemerintahan dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum diseluruh daerah (Simanjuntak dalam Sidik et al, 2002). Adanya transfer dana ini bagi pemerintah daerah merupakan sumber pendanaan dalam melaksanakan kewenangannya, sedangkan kekurangan pendanaan diharapkan dapat digali melalui sumber pendanaan sendiri. Namun, kenyataannya, transfer dari pemerintah pusat merupakan sumber dana utama pemerintah daerah untuk membiayai operasi utamanya sehari-hari atau belanja daerah, yang oleh pemerintah daerah dilaporkan di perhitungan APBD. Indonesia, pada dekade 1990-an, persentase ini mencapai 72 persen pengeluaran propinsi dan 86 persen pengeluaran kabupaten/kota. Amerika Serikat, persentase transfer dari seluruh pendapatan mencapai 50 persen untuk pemerintah federal dan 60 persen untuk pemerintah daerah (Fisher, 1996). Khusus di negara bagian Wisconsin di AS, sebesar 47 persen pendapatan pemerintah daerah berasal dari transfer pemerintah pusat (Deller et al, 2002). Di negara-negara lain, persentase transfer atas pengeluaran pemerintah daerah adalah 85 persen di Afrika Selatan, 67 persen sampai dengan 95 persen di Nigeria, dan 70 persen sampai dengan 90 persen di Meksiko. Adanya transfer dana dari pusat untuk pemerintah daerah merupakan sumber pendanaan dalam melaksanakan kewenangannya, sedangkan kekurangan pendanaan diharapkan dapat digali melalui sumber pendanaan sendiri (PAD). Kemampuan penerimaan keuangan pemerintah daerah (kota) relatif terbatas (lemah), sedangkan pengeluaran keuangan untuk membiayai pembangunan pada masa yang akan datang meningkat, oleh karena itu sumber-sumber pendapatan daerah harus dikelola dengan efektif dan efisien. Pendapatan dan pengeluaran keuangan daerah dikelola dalam anggaran yang berbasis kinerja. Selama ini 2 dalam penentuan besarnya anggaran untuk setiap kegiatan digunakan pendekatan inkremental, didasarkan pada perubahan satu atau lebih variabel yang bersifat umum, seperti tingkat inflasi, sedangkan analisis yang mendalam mengenai struktur, komponen dan tingkat biaya optimal untuk setiap kegiatan belum pernah dilakukan. Lamanya perencanaan ini pada akhirnya akan memunculkan kemungkinan under financing atau over financing, hal ini akan mempengaruhi tingkat efisiensi dan efektifitas unit kerja pemerintah daerah. Dalam situasi seperti ini banyak kebijakan publik yang dijalankan secara tidak efisien dan kurang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan publik. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bogor pada hakikatnya merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di Kota Bogor. Keadilan anggaran adalah salah satu misi utama yang diemban pemerintah kota dalam melakukan berbagai kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan anggaran daerah. Pelayanan umum akan meningkat dan kesempatan kerja akan makin bertambah apabila fungsi alokasi dan distribusi dalam pengelolaan anggaran telah dilakukan dengan benar, baik melalui alokasi belanja maupun mekanisme perpajakan serta retribusi yang adil dan transparan. Kenyataannya, transfer dana dari Pempus merupakan sumber dana utama Pemda untuk membiayai belanja daerah. Dilain pihak belanja pemerintah daerah didominasi oleh belanja rutin (belanja tidak langsung ditambah dengan belanja langsung pegawai ) relatif dibandingkan dengan belanja modal sebagaimana ditunjukan oleh Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Realisasi pendapatan Kota Bogor tahun 2009 – 2011 APBD 2009 (Rp) APBD 2010 (Rp) Pajak Daerah Retribusi Daerah 56,027,944,313.00 36,491,852,284.00 66,504,761,353.00 34,681,146,445.00 122,900,000,000.00 34,670,595,911.00 Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan 11,773,311,932.00 15,137,968,088.00 13,359,865,000.00 Lain-lain Pendapatan Asli Daerah 11,628,552,298.00 11,164,213,945.00 11,022,574,582.00 115,921,660,827.00 127,488,089,831.00 181,953,035,493 Bagi Hasil Pajak / Bagi Hasil Bukan Pajak 130,310,453,989.00 148,687,621,387.00 97,847,944,306 Dana Alokasi Umum 439,246,348,000.00 426,093,607,000.00 473,156,910,000 UR A IA N JUMLAH PENDAPATAN ASLI DAERAH DANA PERIMBANGAN Dana Alokasi Khusus APBD 2011 (Rp) 21,019,000,000.00 9,756,700,000.00 11,366,600,000 JUMLAH DANA PERIMBANGAN 590,575,801,989.00 584,537,928,387.00 582,371,454,306 JUMLAH LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH JUMLAH PENDAPATAN DAERAH 121,527,326,141.00 180,173,427,147 200,374,725,200 828,024,788,957.00 892,199,445,365 964,699,214,999 Sumber: Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Bogor, 2012. 3 Berdasarkan data series kurun waktu 2009-2011 (Tabel 1), secara keseluruhan pendapatan daerah mengalami peningkatan dengan persentase kenaikan berfluktuatif. Secara persentase dan nominal hanya kelompok komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang secara konsisten mengalami kenaikan. Dari tabel ini menunjukkan bahwa jumlah belanja tak langsung relatif lebih besar dibandingkan jumlah belanja langsung. Belanja tidak langsung dipergunakan untuk belanja rutin termasuk didalamnya gaji pegawai negri di Kota Bogor. Dari tabel juga terlihat bahwa APBD Kota Bogor kecenderungan defisit setiap tahun. Perubahan-perubahan dalam penerimaan, pengeluaran dan asumsi yang digunakan diperbaiki pada APBDP. Tabel 2. Realisasi Belanja Kota Bogor Tahun 2009-2011 APBD 2010 (Rp) APBD 2011 (Rp) 357,368,859,024 18,971,000,000 467,833,382,206. 15,825,365,924. 59,802,094,705 88,100,168,167 521,744,732,314.00 1,244,494,845.00 27,885,445,000.00 1,437,035,600.00 58,152,948,380.00 13,232,500,000 12,132,500,000. 935,731,977.00 1,788,637,300 2782968160 4,500,000,000.00 451,163,091,029 586,674,384,457 615,900,388,116.00 43,515,147,268. 45,943,819,584 63,681,886,190 Belanja Barang dan Jasa 173,749,148,757 158,124,717,210 179,882,045,321 Belanja Modal 108,449,608,948 165,939,883,691 177,357,968,575 325,713,904,973 370,008,420,485 JUMLAH BELANJA LANGSUNG 776,876,996,002 956,682,804,942 JUMLAH BELANJA DAERAH Sumber: Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Bogor, 2012. 4 20,921,900,086 NO II. 2.1. 2.1.1 2.1.5 2.1.6 2.1.7 2.1.8 2.2. 2.2.1 . 2.2.2 . 2.2.3 . U RAI AN BELANJA DAERAH BELANJA TIDAK LANGSUNG Belanja Pegawai Belanja Bunga Belanja Hibah Belanja Subsidi Belanja Bantuan Sosial Belanja bagi Hasil kepada Prop/Kab/Kota / Pemdes Belanja Bantuan Keuangan kepada Propinsi/Kab./Kota dan Pemdes Belanja Tidak Terduga JUMLAH BELANJA TIDAK LANGSUNG BELANJA LANGSUNG Belanja Pegawai APBD 2009 (Rp) 1,036,822,288,202 Oates dalam Halim (2002) menyatakan bahwa ketika respon (belanja) daerah lebih besar terhadap transfer daripada pendapatannya sendiri, maka disebut flypaper effect. Abdul Halim dan Sukriy Abdullah pernah melakukan pengujian adanya flypaper effects pada belanja daerah pemerintah kabupaten/kota di Pulau 4 Jawa dan Bali pada tahun 2001. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa flypaper effect terjadi pada DAUt-1 terhadap Belanja Daerah tahun berjalan. Namun hasil penelitian tersebut tidak dapat digeneralisasikan untuk seluruh wilayah Indonesia. Karena menurut Halim (2002) pemerintah kabupaten/kota di Jawa-Bali memiliki kemampuan keuangan berbeda dengan pemerintah kabupaten/ kota di luar Jawa-Bali. Menanggapi hal tersebut, Mutiara Maimunah melakukan penelitian yang sama pada pemerintah kabupaten/kota di Pulau Sumatra pada tahun 2003 dan 2004. Hasil yang diperoleh konsisten dengan penelitian Halim yaitu DAUt-1 memiliki pengaruh lebih besar dari pada PADt-1 terhadap belanja daerah tahun berjalan. Namun ketika diuji pengaruh DAUt dan PADt secara bersama-sama terhadap belanja daerah t, hasilnya PAD tidak signifikan dan DAU berpengaruh terhadap belanja daerah. Salah satu tolak ukur penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi adalah besaran belanja daerah bersama-sama dengan investasi swasta dan angkatan kerja di Kota Bogor yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang menggambarkan suatu dampak nyata dari kebijakan pembangunan yang dilaksanakan. Pertumbuhan ekonomi tidak bisa lepas dari peran pengeluaran pemerintah di sektor layanan publik. Pengeluaran pemerintah daerah diukur dari total belanja rutin dan belanja pembangunan yang dialokasikan dalam anggaran daerah. Belanja pembangunan yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian adalah belanja pembangunan infrastruktur, dan yang berpengaruh terhadap sumberdaya manusia adalah biaya pembangunan sektor pendidikan dan kesehatan. Semakin besar pengeluaran pemerintah daerah yang produktif maka semakin memperbesar tingkat perekonomian suatu daerah (Wibisono, 2003). Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Menurut Djojohadikusumo (1994) dalam pertumbuhan ekonomi biasanya ditelaah proses produksi yang melibatkan sejumlah jenis produk dengan menggunakan sarana dan prasarana produksi, sedangkan Schumpeter dalam Boediono (1999) berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi adalah sebagai peningkatan output masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya faktor produksi yang dipergunakan dalam proses produksi tanpa ada perubahan cara-cara atau teknologi itu sendiri. Indikator pertumbuhan ekonomi tidak hanya mengukur tingkat pertumbuhan output dalam suatu perekonomian, namun sesungguhnya juga memberikan indikasi tentang sejauh mana aktivitas perekonomomian yang terjadi pada suatu periode tertentu telah menghasilkan pendapatan bagi masyarakat. Pertumbuhan ekonomi dalam sistem pemerintahan daerah biasanya di indikasikan dengan meningkatnya produksi barang dan jasa yang diukur melalui Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Nilai PDRB kota-kota Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Bodebek berdasarkan atas harga konstan 2000 tahun 2010 terbesar dimiliki oleh Kota Bekasi dengan nilai sebesar 15.476.101 juta rupiah, kemudian Kota Depok dengan nilai 6.519.326,22 juta rupiah dan Kota Bogor dengan nilai sebesar 4.782.307,18 juta rupiah (BPS Jawa Barat, 2011). Pembangunan ekonomi adalah usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup suatu wilayah yang seringkali diukur dengan tinggi rendahnya PDRB per kapita. Tabel 3 menunjukkan bahwa besaran PDRB per kapita seluruh kota di Bodebek 5 masih dibawah rata-rata Jawa Barat. PDRB per kapita terbesar di PKN Bodebek adalah Kota Bekasi, kemudian disusul oleh Kota Bogor dan Kota Depok. Tabel 3 PDRB perkapita kota di PKN Bodebek atas dasar harga berlaku, tahun 2008 – 2011 Tahun No. Kota 2008 2009 2010 2011 1 Kota Bekasi 13.473.852 13.894.462 15.280.958 17.051.881 2 Kota Bogor 11.089.020 12.788.558 14.635.801 16.009.371 3 Kota Depok 7.806.703 8.399.622 9.286.210 10.121.734 Jawa Barat 14.359.911 15.542.360 17.155.084 18.803.261 Sumber: BPS Jawa Barat Tahun 2012 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator komposit tunggal yang digunakan untuk mengukur pencapaian pembangunan manusia yang telah dilakukan di suatu wilayah. Walaupun tidak dapat mengukur semua dimensi dari pembangunan manusia, namun mampu mengukur semua dimensi pokok pembangunan manusia yang dinilai mencerminkan status kemampuan dasar penduduk. Ketiga kemampuan dasar itu adalah umur panjang dan sehat yang diukur melalui angka harapan hidup waktu lahir, berpengetahuan dan berketerampilan yang diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, serta akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup layak yang diukur dengan pengeluaran konsumsi. Pada tahun 2011 nilai IPM untuk Kota Bogor dengan indeks 76,08, Kota Bekasi dengan indeks 76,72 dan Kota Depok dengan indeks 79,49. Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan IPM Kota Bogor pada periode studi mengalami fluktuasi dan berada di bawah PDRB kabupaten/kota lain di PKN Bodebek, nilai PDRB per kapita Kota Bogor juga berada dibawah rata-rata Jawa Barat, ini merupakan masalah yang menarik untuk dikaji mengingat sumber daya alam, prasarana penunjang relatif sama dibanding kota lain, bahkan letak Kota Bogor berada di tengah dinilai memiliki arti strategis tersendiri. Menurut Todaro dan Smith (2006) ada tiga faktor atau komponen utama yang berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi suatu daerah, ketiganya adalah akumulasi modal, pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi. Akumulasi modal (capital accumulation) meliputi semua jenis investasi baru baik yang dilakukan oleh pemerintah ataupun swasta yang ditanamkan dengan bentuk tanah, peralatan fisik, dan modal sumber daya. Akumulasi modal akan terjadi apabila sebagian dari pendapatan ditabungkan (diinvestasikan) kembali dengan tujuan untuk memperbesar output atau pendapatan di kemudian hari. Akumulasi modal yang dilakukan oleh pemerintah menggambarkan seberapa besar peran pemerintah dalam sistem perekonomian suatu daerah. Nilai investasi PMDN dan PMA di Kota Bogor sangat fluktuatif sepanjang tahun. Untuk tahun 2010 nilai realisasi seluruh investasi PMA dan PMDN di Kota Bogor mencapai 1.002,665 milyar rupiah atau 104,61persen dari target RPJMD Kota Bogor tahun 2010 sebesar 958,471 milyar rupiah. Pencapaian tersebut antara lain dipengaruhi oleh program Peningkatan Promosi dan Kerjasama 6 Investasi. Hal ini disebabkan oleh realisasi investasi 22 perusahaan dari 47 perusahaan yang tercatat di Kota Bogor berdasarkan persetujuan BKPM, yang terdiri dari 39 perusahaan PMA dan 8 perusahaan PMDN. Surat persetujuan penanaman modal yang dikeluarkan selama tahun 2010 tersebut merupakan akibat dari perluasan dan peningkatan kapasitas produksi perusahaan yang sudah beroperasi di Kota Bogor (Pemerintah Kota Bogor, 2011). Jumlah realisasi PMDN pada tahun 2010 sebesar 389,435 milyar rupiah atau mengalami kenaikan sebesar 3.317,99 persen dari realisasi PMDN tahun 2009 sebesar 10,2 milyar rupiah. Faktor lain yang berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi adalah sumber daya manusia yang ada di suatu wilayah. Penduduk yang bertambah dari waktu ke waktu dapat menjadi pendorong maupun penghambat kepada pertumbuhan ekonomi. Penduduk yang bertambah akan memperbesar jumlah tenaga kerja, dan penambahan tersebut memungkinkan suatu daerah untuk menambah produksi. Namun di sisi lain, akibat buruk dari pertambahan penduduk kepada pertumbuhan ekonomi dihadapi oleh masyarakat yang tingkat pertumbuhan ekonominya masih rendah. Hal ini berarti bahwa kelebihan jumlah penduduk tidak seimbang dengan faktor produksi lain yang tersedia dimana penambahan penggunaan tenaga kerja tidak akan menimbulkan penambahan dalam tingkat produksi. Tingkat partisipasi angkatan kerja di Kota Bogor tahun 2010 mencapai 84,33 persen dari 716.428 jumlah penduduk angkatan kerja tahun 2010. Angka ini meningkat dari tingkat partisipasi tahun 2009 yang mencapai 55,83 persen dari 363.622 jumlah penduduk angkatan kerja tahun 2009. Pencari kerja yang ditempatkan di tahun 2010 mencapai 27,44 persen dari 4.631 pencari kerja yang berhasil ditempatkan pada tahun 2010. Angka ini meningkat dari capaian tahun 2009 yang mencapai 7,27 persen dari 1.321 pencari kerja yang berhasil ditempatkan tahun 2009. Tingkat pengangguran terbuka di tahun 2010 mencapai 2,36 persen dari 716.428 jumlah penduduk angkatan kerja. Angka ini meningkat dari capaian tahun 2009 yang mencapai 4,99 persen dari 363.622 jumlah penduduk angkatan kerja tahun 2009 (BPS Kota Bogor, 2011). Modal manusia dalam terminologi ekonomi sering digunakan untuk untuk bidang pendidikan, kesehatan dan berbagai kapasitas manusia lainnya yang ketika bertambah dapat meningkatkan produktivitas. Pendidikan memainkan peran kunci dalam hal kemampuan suatu perekonomian untuk mengadopsi teknologi modern dan dalam membangun kapasitasnya bagi pembangunan dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Kesuksesan dalam pendidikan bergantung juga pada kecukupan kesehatan. Disamping itu kesehatan merupakan prasayarat bagi peningkatan produktivitas. Dengan demikian kesehatan dan pendidikan dapat juga dilihat sebagai komponen vital dalam pertumbuhan dan pembangunan sebagai input bagi fungsi produksi agregat (Todaro, 2002). Untuk mengetahui perkembangan belanja bidang pendidikan dan kesehatan di Kota Bogor dari tahun 1990-2011 dapat dilihat pada Gambar 1. 7 Belanja Pemkot Bogor (Rupiah) Rp400.000.000.000 Variable Belanja Kesehatan (Ks) Belanja Pendidik an (Pd) Rp300.000.000.000 Rp200.000.000.000 Rp100.000.000.000 Rp0 1990 1995 2000 2005 Tahun 2010 Gambar 1. Perkembangan Belanja Pemkot Bogor Bidang Pendidikan dan Kesehatan Tahun 1990 – 2011 Sumber: BPS dan Bappeda Kota Bogor Tahun 2012 Gambar 1 memperlihatkan bahwa belanja pendidikan dan kesehatan sangat fluktuatif. Belanja pendidikan mulai tumbuh setelah tahun 1999, dimana hal ini sangat dipengaruhi oleh muncul suatu paradigma baru yaitu pembangunan yang terpusat pada manusia (human centered development) yang dikembangkan oleh United Nation Development Programe (UNDP). Melihat fenomena dari Kota Bogor yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi relatif lamban yang berakibat pada relatif rendahnya PDRB dibandingkan dengan wilayah lainnya di Bodebek, penulis merasa tertarik untuk mengkaji sejauh mana pengaruh investasi, angkatan kerja, dan belanja pemerintah terhadap kinerja ekonomi di Kota Bogor. Rumusan Masalah Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi output suatu wilayah, yaitu total investasi, belanja pemerintah, dan penyerapan tenaga kerja. Total investasi sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan investasi dan penyusutan, belanja pemerintah daerah sangat dipengaruhi oleh penerimaan daerah sementara penyerapan tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh jumlah angkatan kerja, investasi daerah dan pengeluaran belanja pemerintah. Permasalahan dalam penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi Kota Bogor relatif tumbuh di bawah angka pertumbuhan ekonomi kota-kota di Bodebek. Beberapa faktor yang nampaknya berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Bogor adalah faktor investasi, angkatan kerja dan belanja pemerintah. Total investasi dan angkatan kerja terampil sangat berpengaruh terhadap jumlah output. Tambahan investasi yang banyak tidak selalu menyebabkan dimulainya proses perkembangan ekonomi, malahan kadang-kadang tambahan 8 investasi yang sedikit saja sudah dapat menyebabkan tumbuhnya perekonomian dengan cepat. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa investasi itu lebih merupakan hasil daripada merupakan sebab perkembangan ekonomi. Atau dengan perkataan lain kemajuan perekonomian selalu menambah jumlah investasi, sedangkan kenaikan dalam jumlah investasi belum tentu menyebabkan majunya perekonomian. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian yang dikemukakan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah peranan DAU, DAK, PAD dan DBH dalam penerimaan pemerintah daerah di Kota Bogor? 2. Sejauhmana DAU, DAK, PAD dan DBH berpengaruh dalam belanja pemerintah daerah di Kota Bogor? 3. Sejauhmana investasi, belanja pemerintah dan angkatan kerja berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Bogor? 4. Sejauhmana belanja pemerintah bidang pendidikan, bidang kesehatan dan upah minimum kota berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia di Kota Bogor? Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi tentang peranan DAU, DAK, PAD dan DBH dalam penerimaan pemerintah daerah di Kota Bogor. 2. Mengukur dan menganalisis peranan DAU, DAK, PAD dan DBH terhadap belanja pemerintah daerah di Kota Bogor? 3. Mengukur dan menganalisis besarnya dampak investasi, belanja pemerintah dan angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Bogor. 4. Mengukur dan menganalisis besarnya dampak investasi, belanja pemerintah dan upah minimum kota terhadap indeks pembangunan manusia di Kota Bogor. Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1. Secara akademis, diharapkan sebagai bahan informasi dan dapat dijadikan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya tentang pengaruh belanja pendidikan, belanja kesehatan, total investasi dan angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Bogor. 2. Secara praktis, diharapkan sebagai bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan khususnya Pemerintah Kota Bogor dalam menentukan arah dan strategi pembangunan di masa mendatang. 30 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah Literatur ekonomi dan keuangan daerah mendiskusikan secara luas sejak akhir dekade 1950-an tentang hubungan pendapatan dan belanja daerah. Berbagai hipotesis mengenai hubungan tersebut diuji secara empiris (Chang dan Ho, 2002). Sebagian studi menyatakan bahwa pendapatan mempengaruhi belanja, sementara sebagian lainya menyatakan bahwa belanjalah yang mempengaruhi pendapatan (Aziz, 2000; dan Doi, 1998). Sementara studi tentang pengaruh transfer atau grants dari pemerintah pusat terhadap keputusan pengeluaran atau belanja Pemerintah daerah sudah berjalan lebih dari 30 tahun (Gamkhar dan Oates, 1996). Secara teoritis, respon tersebut akan mempunyai efek distributif dan alokatif yang tidak berbeda dengan sumber pendanaan lain, misalnya pendapatan pajak daerah (Bradford dan Oates, 1971). Namun, dalam studi empiris hal tersebut tidak selalu terjadi. Artinya, stimulus terhadap pengeluaran daerah yang ditimbulkan oleh transfer atau grants tersebut sering lebih besar dibandingkan dengan stimulus dari pendapatan (pajak) daerah sendiri (flypaper effect). Holzt-eakin et al (1985) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat antara transfer dari Pempus dengan belanja Pemerintah daerah. Studi Legrenzi dan Milas (2001), menggunakan sampel municipalities di Italia, menemukan bukti empiris bahwa dalam jangka panjang transfer berpengaruh terhadap belanja daerah. Secara spesifik mereka menegaskan bahwa variabel-variabel kebijakan Pemda dalam jangka pendek disesuaikan (adjusted) dengan transfer yang diterima, sehingga memungkinkan terjadinya respon yang non-linier dan asimetrik. Gamkhar dan Oates (1996) menganalisa respon Pemda terhadap perubahan jumlah transfer dari pemerintah federal di Amerika Serikat untuk tahun 19531991. Mereka menyatakan bahwa pengurangan jumlah transfer (cuts in federal grants) menyebabkan penurunan dalam pengeluaran daerah. Holzt-Eakin et al (1994) menganalisis model maximazing under uncertainty of intertemporal utility funcion dengan menggunakan data runtun waktu selama tahun 1934-1991 untuk mengetahui seberapa jauh pengeluaran daerah dapat dirasionalkan melalui suatu model, dimana keputusan-keputusan didasarkan pada ketersediaan sumberdaya secara permanen, bukan ketersediaan yang sifatnya temporer. Mereka menemukan bahwa semua current spending ditentukan oleh current resources. Studi Holzt-Eakin et al (1985) menemukan bahwa grants tahun lalu dapat memprediksi belanja tahun ini, namun sebaliknya, belanja tahun lalu tidak dapat memprediksi pendapatan tahun berjalan. Peranan Belanja Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Ada beberapa pertanyaan yang sering didiskusikan mengenai peranan sektor publik dalam perekonomian. Pertanyaan tersebut berkaitan dengan mengapa peranan sektor publik diperlukan dan apa peranan sektor publik dalam sistem perekonomian. Menurut Musgrave (1989) ada beberapa premis yang diterima 10 secara umum dalam masyarakat bahwa, 1) komposisi output yang ada seharusnya berada dalam garis yang sesuai dengan preferensi konsumsi individu dalam masyarakat, 2) preferensi tersebut digunakan untuk didesentralisasikan dalam membuat keputusan mengapa seluruh perekonomian tidak dipegang oleh swasta. Sebuah perekonomian yang ideal, kompetitif sempurna dimana pengaturan alokasi sumberdaya berasal dari pertukaran sukarela antara barang dan uang pada harga pasar akan menghasilkan kuantitas maksimum barang dan jasa dari berbagai sumber daya yang tersedia dalam perekonomian tersebut. Kenyataan yang ada, pasar tidak selalu hadir dalam wujudnya yang ideal. Perekonomian pasar seringkali terlilit polusi dan monopoli seiring dengan melonjaknya inflasi atau pengangguran dan pada prakteknya pula bahwa distribusi pendapatan dalam masyarakat Laissez-faire sangat tidak merata. Untuk mengatasi kelemahan tersebut pemerintah mempunyai peranan penting dalam perekonomian. Menurut Adam Smith dalam Mangkoesubroto (1998), mengemukakan bahwa dalam perekonomian kapitalis, setiap individu yang paling tahu apa yang paling baik bagi dirinya, sehingga dia akan melaksanakan apa yang dianggap terbaik bagi dirinya sendiri. Setiap individu akan melaksanaskan aktivitas yang harmonis seakan-akan diatur oleh invisible hand. Karena itu perekonomian dapat berkembang maksimum. Sehingga Adam Smith mengatakan bahwa peran pemerintah hanya terbatas pada pelaksanaan kegiatan yang tidak dilaksanakan oleh pihak swasta, yaitu melaksanakan peradilan, pertahanan/keamanan, dan pekerjaan umum. Sedangkan menurut Samuelson (1997) secara garis besar pemerintah mempunyai tiga fungsi utama, yakni meningkatkan efisiensi, menciptakan keadilan dan melaksanakan kebijakan stabilisasi Pemerintah yang baik harus senantiasa berusaha menghindari dan memperbaiki kegagalan pasar demi tercapainya efisiensi. Pemerintah juga harus memperjuangkan pemerataan melalui program perpajakan dan redistribusi pendapatan untuk kelompok atau golongan masyarakat tertentu. Pemerintah harus menggunakan perangkat perpajakan, pembelanjaan dan peraturan moneter untuk menggapai stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, mengurangi laju inflasi dan pengangguran serta memacu pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Menurut Jones (1996) peran pemerintah dapat digolongkan menjadi dua, yaitu secara langsung dan secara tak langsung. Pengendalian secara langsung diantaranya adalah masalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Sementara pengendalian secara tak langsung diantaranya berhubungan dengan masalah tingkat inflasi, tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran serta nilai tukar. Menurut Hyman dan David (1996); dalam sistem ekonomi negara campuran (mixed economy) pemerintah hanya menyediakan jumlah barang dan jasa tertentu yang tidak dapat disediakan oleh swasta serta mengatur alokasi perorangan. Menurut Mangkoesubroto (1998), barang publik adalah beberapa jenis barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, akan tetapi tidak seorangpun yang bersedia menghasilkannya atau mungkin dihasilkan oleh pihak swasta akan tetapi dalam jumlah yang terbatas. Barang publik mempunyai ciri-ciri : 1) tidak bersaing (non rival in consumption) yaitu konsumsi dari seseorang tidak menyebabkan menurunnya kemanfaatan oleh individu lainnya; 2) tidak dapat dikecualikan (non excludability), artinya tidak seorangpun konsumen dapat dilarang dalam memanfaatkannya. Barang dan jasa yang diproduksi pemerintah tersedia dalam 11 rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang/jasa yang relatif murah karena harganya ditentukan rendah oleh pemerintah (subsidi), Reksohadiprodjo (2001). Pada sistem perekonomian campuran, pemerintah berpartisipasi dalam pasar sebagai pembeli barang dan jasa. Pemerintah membeli input dari rumah tangga dan mendapatkan hak kepemilikan dari sumber produktif (modal dan tanah). Pemerintah menggunakan input untuk menghasilkan barang dan jasa yang tidak dijual kepada sektor rumah tangga dan perusahaan, tetapi disediakan melalui distribusi tanpa melalui pasar. Namun demikian pemerintah juga memiliki dan menjalankan perusahaan, seperti jasa pelayanan pos, kereta api dan lainlain.Untuk membayar barang dan jasa yang dipergunakannya, pemerintah mendapatkan pemasukan dari perusahaan dan rumah tangga, seperti hasil pembayaran pajak, retribusi, royalti dan fee. Pemerintah menggunakan sumber daya yang produktif untuk menghasilkan barang dan jasa termasuk pertahanan, jalan, sekolah dan jasa-jasa lainnya. Pengeluaran pemerintah merupakan seperangkat produk yang dihasilkan yang memuat pilihan atau keputusan yang dibuat oleh pemerintah untuk menyediakan barang-barang publik dan pelayanan kepada masyarakat. Total pengeluaran pemerintah merupakan penjumlahan keseluruhan dari keputusan anggaran pada masing-masing tingkatan pemerintahan (Pusat-Prop-Kab/Kota). Pada masing-masing tingkatan dalam pemerintah ini dapat mempunyai keputusan akhir proses pembuatan yang berbeda, dan hanya beberapa hal pemerintah yang dibawahnya dapat dipengaruhi oleh pemerintahan yang lebih tinggi (Lee et al, 1998). RAPBD di Indonesia, pengeluaran pemerintah dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Pengeluaran pembangunan dimaksudkan sebagai pengeluaran yang bersifat menambah kapital (investasi) masyarakat dalam bentuk proyek-proyek prasarana dasar dan sarana fisik. 2. Pengeluaran rutin secara umum diarahkan untuk menunjang kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan meliputi belanja pegawai, barang, perjalanan dinas, pemeliharaan, belanja rutin dan lain-lain seperti belanja pensiun dan subsidi. Pengeluaran pemerintah dapat dipandang sebagai pembelanjaan otonomi, karena pendapatan nasional bukan merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi keputusan pemerintah untuk menentukan anggaran belanjanya. Faktor yang menentukan pengeluaran pemerintah adalah 1) pajak yang diharapkan akan diterima, 2) pertimbangan-pertimbangan politik; dan 3) persoalan-persoalan ekonomi yang sedang dihadapi (Sadono, 2000). Dalam keadaan keseimbangan pada perekonomian tertutup, maka Y=C+I+G . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.1) Dimana : C + I + G = C + S + T atau I + G = S + T . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.2) Apabila dimisalkan sistem pajak adalah tetap, maka pendapatan nasional dapat ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut : Y=C+I+G 12 Y = a + b Yd + Io + Go Y = a + b (Y – To) + Io + Go Y – bY = a – bTo + Io + Go Y (1-b) = a – bTo + Io + Go Y= ( a – bTo + Io + Go) Terjadinya perubahan pembelanjaan agregat, baik yang berasal dari pengurangan pajak, kenaikan ekspor atau penurunan impor akan mampu mengakibatkan perubahan keseimbangan dalam perekonomian dan perubahan dalam pendapatan nasional. Apabila pertambahan pengeluaran pemerintah sebesar ΔG, maka kenaikan pendapatan nasional sebesar : Y1 = (a – bTo + Io + Go + ΔG) ΔY = Y1 – Yo = . ΔG . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.3) sedangkan multiplier (α) dari perubahan tersebut adalah sebesar : α = ΔY/ΔG = . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.4) Dengan demikian hal ini memberikan gambaran bahwa semakin meningkatnya pendapatan daerah, karena peningkatan agregat demand akan mendorong kenaikan investasi dan akhirnya akan menyebabkan kenaikan produksi (Gambar 2). Dalam model pertumbuhan endogen, di katakan bahwa hasil investasi justru akan semakin tinggi bila produksi agregat di suatu negara semakin besar dengan mengasumsikan bahwa investasi swasta dan publik (pemerintah) di bidang sumber daya atau modal manusia dapat menciptakan ekonomi eksternal (eksternal positif) dan memacu peningkatan produktivitas yang mampu mengimbangi kecenderungan alamiah penurunan skala hasil. Meskipun tekhnologi tetap diakui memainkan peranan yang sangat penting, namun model pertumbuhan endogen menyatakan bahwa faktor tekhnologi tersebut tidak perlu ditonjolkan untuk menjelaskan proses terciptanya pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Implikasi yang menarik dari teori ini adalah mampu menjelaskan potensi keuntungan dari investasi komplementer (complementary investment) dalam modal, atau sumber daya manusia, sarana prasarana, infrastruktur atau kegiatan penelitian. Mengingat investasi komplementer akan menghasilkan manfaat personal maupun sosial, maka pemerintah berpeluang untuk memperbaiki efisiensi alokasi sumberdaya domestik dengan cara menyediakan berbagai macam barang publik (sarana infrastruktur) atau aktif mendorong investasi swasta dalam industri padat tekhnologi dimana sumber daya manusia diakumulasikan. Dengan demikian, model ini menganjurkan keikutsertaan pemerintah secara aktif dalam pengelolaan investasi baik langsung maupun tidak langsung. Menurut Mangkoesubroto (1998) Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan 13 untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Pengeluaran Agregat E1 E0 Δ Y0 Gambar 2 Y1 Pendapatan Nasional Efek kenaikan pengeluaran pemerintah Sumber: Sukirno ( 2000) Pengeluaran pemerintah dalam arti riil dapat dipakai sebagai indikator besarnya kegiatan pemerintah yang dibiayai oleh pengeluaran pemerintah itu. Semakin besar dan banyak kegiatan pemerintah, semakin besar pula pengeluaran pemerintah yang bersangkutan. Proporsi pengeluaran pemerintah terhadap penghasilan nasional (GNP) adalah suatu ukuran terhadap kegiatan pemerintah dalam suatu perekonomian. Teori makro mengenai pengeluaran pemerintah dapat digolongkan dalam tiga golongan yaitu : a. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah. Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap pembangunan ekonomi. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana. Pada tahap menengah investasi pemerintah tetap diperlukan untuk menghindari terjadinya kegagalan pasar yang disebabkan oleh investasi swasta yang sudah semakin besar pula. Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, aktivitas pemerintah beralih pada bentuk pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas-aktivitas sosial. 14 b. Hukum Wagner Hukum Wagner menyatakan bahwa dalam suatu perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Menurut Wagner (dalam Mangkoesubroto, 1998) mengapa peranan pemerintah semakin besar, disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi kebudayaan dan sebagainya. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state), yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. Hukum Wagner dapat diformulasikan sebagai berikut : PkPP1/PPK1 < PkPP2/PPK2 < . . . . P kPPn/PPKn . . . . . . . . .(2.5) Keterangan : PkPP : Pengeluaran pemerintah per kapita PPK : Pendapatan per kapita, yaitu GDP/jumlah penduduk 1,2..n : Jangka waktu (tahun). c. Teori Peacock dan Wiseman Teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran, sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah tersebut. Menurutnya, masyarakat mempunyai tingkat toleransi pajak, yaitu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Dalam memahami berbagai pengaturan pendanaan bagi pemerintah regional (daerah), maka kita harus mengetahui keragaman fungsi yang dibebankannya dimana fungsi- fungsi tersebut dapat digolongkan menjadi 5 (lima) kelompok yaitu : 1. Fungsi penyediaan pelayanan yang berorientasi kepada lingkungan dan kemasyarakatan. 2. Fungsi pengaturan yaitu merumuskan dan menegakkan peraturan perundang-undangan. 3. Fungsi pembangunan yaitu keterlibatan langsung maupun tidak langsung dalam bentuk-bentuk kegiatan ekonomi dan penyediaan prasarana. 4. Fungsi perwakilan yaitu menyatakan pendapat daerah diluar bidang tanggung jawab eksekutif. 5. Fungsi koordinasi yaitu melaksanakan koordinasi dan perencanaan investasi dan tataguna tanah regional (daerah) (Davey KJ, 1988) Peranan Investasi Swasta terhadap Pertumbuhan Ekonomi Investasi menurut Sukirno (2000) adalah pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dan peralatan-peralatan produksi dengan tujuan untuk mengganti dan terutama menambah barang-barang modal dalam perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksi barang dan jasa dimasa yang akan datang. Investasi ini memiliki 3 (tiga) peran : 1) merupakan salah satu 15 pengeluaran agregat, dimana peningkatan investasi akan meningkatkan permintaan agregat dan pendapatan nasional. 2) Pertambahan barang modal sebagai akibat investasi akan menambah kapasitas produksi di masa depan dan perkembangan ini menstimulir pertambahan produksi nasional dan kesempatan kerja. 3) Investasi selalu diikuti oleh perkembangan tekhnologi, sehingga akan memberikan kenaikan produktivitas dan pendapatan perkapita masyarakat. Investasi merupakan salah satu faktor yang krusial bagi kelangsungan proses pembangunan atau pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pembangunan ekonomi melibatkan kegiatan-kegiatan produksi di semua sektor ekonomi. Untuk keperluan tersebut maka dibangun pabrik-pabrik, perkantoran, alat-alat produksi dan infrastruktur yang dibiayai melalui investasi baik berasal dari pemerintah maupun swasta. Korelasi positif antara investasi dengan pertumbuhan ekonomi diuraikan secara sederhana namun jelas di dalam model pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar. Teori Harord Domar (dikemukakan oleh Evsey Domar dan R.F. Harrod) mengemukakan model pertumbuhan ekonomi yang merupakan pengembangan dari teori keynes. Teori tersebut menitikberatkan pada peranan tabungan dan investasi yang sangat menentukan dalam pertumbuhan ekonomi daerah (Rustiadi, et al. 2009). Beberapa asumsi yang digunakan dalam teori ini adalah bahwa : 1) perekonomian dalam keadaan pengerjaan penuh (full employment) dan barangbarang modal yang ada di masyarakat digunakan secara penuh. 2) Dalam perekonomian terdiri dari dua sektor, yaitu sektor rumah tangga dan perusahaan, berarti sektor pemerintah dan perdagangan luar negeri tidak ada. 3) Besarnya tabungan masyarakat adalah proporsional dengan besarnya pendapatan nasional, berarti fungsi tabungan dimulai dari titik original (nol). 4) Kecenderungan untuk menabung (marginal propensity to save = MPS) besarnya tetap, demikian juga rasio antara modal dan output (Capital Output Ratio) dan ratio penambahan modal-output (Incremental Capital Output Ratio). Dalam Teori Harrod-Domar investasi dan the incremental output ratio (ICOR) merupakan dua variabel fundamental (Tambunan, 2001). Investasi dimaksud adalah investasi netto, yaitu perubahan/penambahan stok barang modal, atau : It = ΔKt It = Kt – Kt-1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.6) ICOR adalah kebalikan dari rasio pertumbuhan output terhadap pertumbuhan investasi, yang pada intinya menunjukkan hubungan antara penambahan stok barang modal dan pertumbuhan output, atau melihat seberapa besar peningkatan investasi yang diperlukan untuk mendapatkan laju pertumbuhan ekonomi (Tambunan, 2001). Argumen utama dari hasil studi tersebut adalah bahwa investasi menambah pertumbuhan ekonomi tertentu yang telah ditentukan sebelumnya. Hubungan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Y = y.K 1/y = K.Y . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.7) Keterangan : Y = rasio output – kapital 1/y = rasio kapital-output (COR) 16 ICOR = (ΔK/Y) / (ΔY/Y) atau ICOR = ΔK/ ΔY Beberapa studi kuantitatif yang dilakukan menemukan korelasi positif dan signifikan antara investasi dengan pertumbuhan ekonomi (Tambunan, 2001). Argumen utama dari hasil studi tersebut adalah bahwa investasi menambah jumlah stok kapital per pekerja oleh karenanya menaikkan produktivitas. Teori ini memiliki kelemahan yaitu kecenderungan menabung dan ratio pertambahan modal-output dalam kenyataannya selalu berubah dalam jangka panjang demikian pula proporsi penggunaan tenaga kerja dan modal tidak konstan, harga selalu berubah dan suku bunga dapat berubah dan selanjutnya akan mempengaruhi investasi. Meningkatkan output dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas, melalui penambahan investasi guna memperbaharui tekhnologi yang digunakan dan / atau investasi guna meningkatkan kemampuan SDM (human capital). Dengan demikian akan meningkat rasio kapital – tenaga kerjanya. Dengan meningkatnya rasio antara kapital – tenaga kerja secara konsisten diharapkan akan meningkatkan PDRB (Pancawati, 2000). Investasi swasta atau PMDN bruto merupakan komponen dari perbelanjaan agregat yang sifatnya tidak stabil, dan menjadi salah satu sumber penting dari konjungtur dalam perekonomian. Besarnya investasi perusahaan dapat diterangkan dalam analisis hubungannya dengan tingkat suku bunga, apabila suku bunga rendah lebih banyak investasi yang akan dilakukan, dan sebaliknya kenaikan suku bunga akan menyebabkan pengurangan dalam jumlah investasi (Sukirno, 2000). Selanjutnya dikatakan bahwa kegiatan investasi memungkinkan suatu masyarakat terus menerus meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan nasional dan kemakmuran masyarakat. Salah satu bentuk upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendorong pertumbuhan investasi swasta adalah dengan mengusahakan keadaan yang kondusif dan menarik bagi berkembangnya industri dalam negeri dan masuknya investasi asing. Dengan dikeluarkannya UU PMA dan PMDN pada tahun 1966 memberikan persyaratan menarik, dan telah membuka kemungkinan bagi pertumbuhan sektor industri dengan landasan yang luas (Mc Cawley, 1982). Sejalan dengan semakin meningkatnya investasi yang berasal swasta baik investasi dengan fasilitas PMDN maupun non fasilitas, diharapkan dapat meningkatkan PDRB Kota Bogor dari tahun ke tahun. Peranan Angkatan Kerja terhadap Pertumbuhan Ekonomi Tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk berumur 10 tahun atau lebih yang bekerja, mencari pekerjaan, dan sedang melakukan kegiatan lain, seperti sekolah maupun mengurus rumah tangga dan penerima pendapatan (Simanjuntak, 1985). Sedangkan angkatan kerja merupakan bagian dari tenaga kerja yang sesungguhnya terlibat atau berusaha untuk terlibat dalam kegiatan produktif yaitu memperoleh hasil produksi barang dan jasa. Angkatan kerja terdiri dari golongan yang bekerja dan golongan yang menganggur atau mencari pekerjaan. Dalam 17 model sederhana tentang pertumbuhan ekonomi, pada umumnya pengertian tenaga kerja diartikan sebagai angkatan kerja yang bersifat homogen. Menurut Lewis, angkatan kerja yang homogen dan tidak terampil dianggap bisa bergerak dan beralih dari sektor tradisional ke sektor modern secara lancar dan dalam jumlah tidak terbatas. Dalam keadaan demikian, peranan tenaga kerja mengandung sifat elastisitas yang tinggi. Meningkatnya permintaan atas tenaga kerja (dari sektor tradisional) bersumber pada ekspansi kegiatan sektor modern. Dengan demikian salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi adalah tenaga kerja. Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor dinamika dalam perkembangan ekonomi jangka panjang bersamaan dengan ilmu pengetahuan, tekhnologi, sumber daya alam dan kapasitas produksi. Pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja dianggap sebagai faktor positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang besar dapat berarti menambah jumlah tenaga produktif. Dengan meningkatnya produktivitas tenaga kerja diharapkan akan meningkatkan produksi, yang berarti akan meningkatkan pula PDRB. Menurut Nicholson (1991) bahwa suatu fungsi produksi pada suatu barang atau jasa tertentu (q) adalah q = f (K,L) dimana K merupakan modal dan L adalah tenaga kerja memperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang / jasa yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara K dan L, maka apabila salah satu masukan ditambah satu unit tambahan dan masukan lainnyadianggap tetap akan menyebabkan tambahan keluaran yang dapat diproduksi. Tambahan keluaran yang diproduksi inilah yang disebut dengan produk fisik marginal (marginal physical product). Selanjutnya dikatakan bahwa apabila jumlah tenaga kerja ditambah terus menerus sedang faktor produksi lain dipertahankan konstan, maka pada awalnya akan menunjukan peningkatan output, namun pada suatu tingkat tertentu akan memperlihatkan penurunan output serta setelah mencapai tingkat keluaran maksimum setiap penambahan tenaga kerja akan mengurangi keluaran. Menurut Todaro dan Smith (2006), pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar. Meskipun demikian, hal tersebut masih dipertanyakan, apakah benar laju pertumbuhan penduduk yang cepat benar-benar akan memberikan dampak positif atau negatif dari pertumbuhan ekonominya. Selanjutnya dikatakan bahwa pengaruh positif atau negatif dari pertumbuhan penduduk tergantung kemampuan sistem perekonomian daerah tersebut dalam menyerap dan secara produktif memanfaatkan pertambahan tenaga kerja tersebut. Kemampuan tersebut dipengaruhi oleh tenaga kerja dan akumulasi modal, dan tersedianya input dan faktor produksi penunjang, seperti kecakapan manajerial dan administrasi. Jumlah angkatan kerja yang bekerja merupakan gambaran kondisi dari lapangan kerja yang tersedia. Semakin bertambah besar lapangan kerja yang tersedia, maka akan menyebabkan semakin meningkatnya total produksi di suatu daerah. 18 Pertumbuhan Ekonomi Regional (Daerah) Menurut Sukirno (2000) pertumbuhan ekonomi merupakan suatu perubahan tingkat kegiatan ekonomi yang berlangsung dari tahun ke tahun. Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi harus dibandingkan dengan pendapatan nasional berbagai tahun yang dihitung berdasarkan atas harga konstan. Jadi perubahan dalam nilai pendapatan hanya semata-mata disebabkan oleh suatu perubahan dalam suatu tingkat kegiatan ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dihitung melalui indikator perkembangan PDRB dari tahun ke tahun. Suatu perekonomian dikatakan baik apabila tingkat kegiatan ekonomi masa sekarang lebih tinggi daripada yang dicapai pada masa sebelumnya. Lebih lanjut diterangkan dua konsep pertumbuhan ekonomi, yaitu : 1. Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan pendapatan nasional riil. Perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang apabila terjadi pertumbuhan output riil. Output riil suatu perekonomian bisa juga tetap konstan atau mengalami penurunan. Perubahan ekonomi meliputi pertumbuhan, statis ataupun penurunan, dimana pertumbuhan adalah perubahan yang bersifat positif sedangkan penurunan merupakan perubahan negatif. 2. Pertumbuhan ekonomi terjadi apabila ada kenaikan output perkapita dalam hal ini pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup yang diukur dengan output total riil perkapita. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi terjadi apabila tingkat kenaikan output total riil lebih besar daripada tingkat pertambahan penduduk, sebaliknya terjadi penurunan taraf hidup aktual bila laju kenaikan jumlah penduduk lebih cepat daripada laju pertambahan output total riil. Pertumbuhan tidak muncul di berbagai daerah pada waktu yang sama, pertumbuhan hanya terjadi di beberapa tempat yang disebut pusat pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi daerah merupakan suatu proses pemerintah daerah dan masyarakatnya dalam mengelola sumberdaya yang ada untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999). Saat ini tidak ada satupun teori yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif, namun beberapa teori yang secara parsial dapat membantu untuk memahami arti penting pembangunan ekonomi daerah. Pada hakekatnya inti dari teori ekonomi regional tersebut berkisar pada metode dalam menganalisis perekonomian suatu daerah dan teori-teori yang membahas tentang faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi daerah (regional). Pengertian pertumbuhan ekonomi berbeda dengan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi bersangkut paut dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat, sementara pembangunan mengandung arti yang lebih luas. Proses pembangunan mencakup perubahan pada komposisi produksi, perubahan pada pola penggunaan (alokasi) sumber daya produksi diantara sektor-sektor kegiatan ekonomi, perubahan pada pola distribusi kekayaan dan pendapatan diantara berbagai golongan pelaku ekonomi, perubahan pada kerangka kelembagaan dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh (Djojohadikusuma, 1994). 19 Namun demikian pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ciri pokok dalam proses pembangunan, hal ini diperlukan berhubungan dengan kenyataan adanya pertambahan penduduk. Bertambahnya penduduk dengan sendirinya menambah kebutuhan akan pangan, sandang, pemukiman, pendidikan dan pelayanan kesehatan. Adanya keterkaitan yang erat antara pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, ditunjukan pula dalam sejarah munculnya teori-teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Teori Pertumbuhan Ekonomi Mazhab Historimus Mazhab Historimus melihat pembangunan ekonomi berdasarkan suatupola pendekatan yang berpangkal pada perspektif sejarah. Metode kajian dalam mazhab ini bersifat induktif empiris dimana fenomena ekonomi adalah perkembangan menyeluruh dan dalam tahap tertentu dalam perjalanan sejarah. a. Teori Friedrich List Teori ini menyatakan bahwa sistem liberalisme yang laissez-faire dapat menjamin alokasi sumber daya secara optimal dimana perkembangan suatu perekonomian tergantung pada peran pemerintah, organisasi swasta dan lingkungan kebudayaan. Perkembangan ekonomi akan terjadi jika dalam masyarakat ada kebebasan dalam organisasi politik dan kebebasan perorangan. Negara dan pemerintah harus melindungi kepentingan golongan lemah diantara masyarakat. b. Teori Walt Whitman Rostow Menurut Rostow, proses pembangunan ekonomi bisa dibedakan ke dalam 5 tahap yaitu masyarakat tradisional (the traditional society), pra syarat untuk tinggal landas (the preconditions for take off), tinggal landas (the take-off) , menuju kedewasaan (the drive to maturity) dan masa konsumsi tinggi (the age of high mass-consumption). Rostow berpendapat bahwa yang menjadi dasar perbedaan tahap pembangunan ekonomi tersebut adalah karakteristik perubahan keadaan ekonomi, sosial dan politik yang terjadi di masyarakat. Teori Pertumbuhan Ekonomi Mazhab Analitis Teori yang tergabung dalam mazhab ini berusaha mengungkapkan proses pertumbuhan ekonomi secara logis dan konsisten, tetapi sering bersifat abstrak dan kurang menekankan kepada spek empiris (histories). a. Teori Pertumbuhan Klasik Ahli-ahli ekonomi yang tergabung dalam kelompok ini adalah Thomas Robert Malthus, Adam Smith dan David Ricardo. Terdapat empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu jumlah penduduk, jumlah stok barang modal, luas tanah, kekayaan alam dan teknologi yang digunakan (Sukirno, 2000). 20 Adam Smith menyatakan bahwa mekanisme pasar akan menciptakan suatu suasana yang mengakibatkan perekonomian berfungsi secara efisien. Perkembangan pasar juga akan menaikan pendapatan nasional dan pertumbuhan penduduk dari masa ke masa yang terjadi bersama-sama dengan kenaikan pendapatan nasional, akan memperluas pasar dan menciptakan tabungan yang lebih banyak (Sukirno, 2000). Sedangkan Malthus dan Ricardo berpendapat bahwa proses pertumbuhan ekonomi pada akhirnya akan kembali ke tingkat subsisten. Pada mulanya ketika jumlah penduduk/tenaga kerja relatif sedikit dibandingkan dengan faktor produksi lain, maka pertambahan penduduk/tenaga kerja akan meningkatkan taraf kemakmuran masyarakat. Akan tetapi apabila jumlah penduduk/tenaga kerja berlebihan dibandingkan dengan factor produksi lain, maka pertambahan penduduk/tenaga kerja akan menurunkan produksi per kapita dan taraf kemakmuran masyarakat (Sukirno, 2000). Menurut Ricardo faktor produksi tanah (sumberdaya alam) tidak bisa bertambah sehingga akhirnya menjadi factor pembatas dalam proses pertumbuhan suatu masyarakat. Peranan akumulasi modal dan kemajuan tekhnologi cenderung meningkatkan produktivitas tenaga kerja, artinya bisa memperlambat bekerjanya the law of diminishing return yang pada gilirannya akan memperlambat pula penurunan tingkat hidup ke arah tingkat hidup minimal (Arsyad, 1999). b. Teori Pertumbuhan Neo Klasik (Solow-Swan) Kuznets mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya, kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan tekhnologi, dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya (Jhingan, 1999). Definisi ini memiliki tiga komponen : 1) pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya secara terus menerus persediaan barang, 2) tekhnologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam menyediakan aneka barang kepada penduduk, 3) penggunaan tekhnologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan secara tepat. Menurut Solow dan Swan, bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung kepada pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja dan akumulasi modal) serta tingkat kemajuan tekhnologi. Dengan kata lain, sampai dimana perekonomian akan berkembang bergantung pertambahan penduduk, akumulasi modal dan kemajuan tekhnologi (Arsyad, 1999). Selanjutnya menurut teori ini, rasio modal-output (capital-output ratio = COR) bisa berubah (bersifat dinamis), untuk menciptakan sejumlah output tertentu, bisa digunakan jumlah modal yang berbeda-beda dengan bantuan tenaga kerja yang jumlahnya berbedabeda pula sesuai dengan yang dibutuhkan. Model Solow mendasarkan pada fungsi produksi Cobb-Douglas yaitu : Q = A.Kα. L β ................................... (2.8) Dimana Q adalah output, A adalah tekhnologi, K adalah modal fisik, L adalah tenaga kerja, α dan β adalah proporsi (share) input. Model Solow dapat 21 menunjukan arah pertumbuhan keadaan mantap serta situasi pertumbuhan jangka panjang yang ditentukan oleh peranan tenaga kerja dan kemajuan tekhnologi yang semakin luas. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa model pertumbuhan Solow menunjukan bagaimana pertumbuhan dalam capital stock, pertumbuhan tenaga kerja dan perkembangan tekhnologi mempengaruhi tingkat output. Untuk menjelaskan teori pertumbuhan Solow maka pertama akan dianalisis bagaimana peranan stok modal dalam pertumbuhan ekonomi dengan asumsi tanpa adanya perkembangan. Apabila dimisalkan suatu proses pertumbuhan ekonomi dalam keadaan dimana tekhnologi tidak berkembang, maka tingkat pertumbuhan yang telah dicapai hanya karena adanya perubahan jumlah modal (K) dan jumlah tenaga kerja (L). Hubungan kedua faktor tersebut dengan pertumbuhan ekonomi dapat dinyatakan sebagai fungsi produksi : Y = f (K,L) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.9) Dimana Y adalah tingkat pendapatan nasional, K adalah jumlah stok modal dan L adalah jumlah tenaga kerja. Jika jumlah modal naik sebesar ΔK unit, jumlah output akan meningkat sebesar marginal product of capital (MPK) dikalikan dengan ΔK, dimana : MPK = f (K + 1, L) – f (K,L) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.10) Jika tenaga kerja meningkat sebesar ΔL unit, maka jumlah output akan meningkat sebesar marginal product of labour (MPL) dikalikan ΔL, dimana: MPL = f (K,L +1) – f (K,L) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.11) Perubahan ini akan lebih realistis apabila kedua faktor produksi ini berubah, yaitu terjadi perubahan modal sebesar ΔK serta terjadi perubahan jumlah tenaga kerja sebesar ΔL. Kita dapat membagi perubahan ini dalam dua sumber penggunaan marginal products dari dua input : ΔY = (MPK x ΔK) + (MPL x ΔL) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.12) Dalam kurung pertama adalah perubahan output yang dihasilkan dari perubahan kapital, dan dalam kurung yang kedua adalah perubahan output yang disebabkan oleh adanya perubahan tenaga kerja. Untuk mempermudah interprestasi dan penerapan, maka persamaan kemudian diubah menjadi : ΔY/Y = (MPK x K/Y) ΔK/K + (MPL x L/Y) ΔL/L . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.13) Dimana ΔY/Y adalah laju pertumbuhan output, MPK x K adalah total return to capital, (MPK x K/Y) adalah share dari modal pada output, ΔK/K adalah tingkat pertumbuhan dari modal, MPL x L adalah total kompensasi yang diterima oleh tenaga kerja, (MPL x L/Y) adalah share dari tenaga kerja pada output, dan ΔL/L adalah tingkat pertumbuhan dari tenaga kerja. Dengan asumsi bahwa fungsi produksi dalam keadaan skala hasil tetap, maka teorema Euler menyatakan bahwa 22 kedua share tersebut apabila dijumlahkan akan sama dengan 1 (satu) (Mankiw, 2000). Persamaan ini kemudian dapat ditulis : ΔY/Y = α ΔK/K + (1 – α) ΔL/L . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.14) Dimana α adalah share dari modal dan (1 – α) adalah share dari tenaga kerja. Telah dikemukakan bahwa pembahasan di atas diasumsikan tidak mengalami perubahan tekhnologi, tetapi dalam praktiknya akan selalu terjadi perkembangan dari tekhnologi. Oleh karenanya akan dimasukkan perubahan tekhnologi dalam fungsi produksi menjadi : Y = A f (K,L) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.15) Dimana A adalah tingkat tekhnologi pada saat sekarang atau yang disebut sebagai total factor productivity. Sekararang output meningkat bukan hanya karena adanya peningkatan dari modal dan tenagta kerja, tetapi juga karena adanya kenaikan dari total factor productivity. Dengan memasukkan total factor productivity pada persamaan (2.18), maka akan menjadi : ΔY/Y = α ΔK/K + (1 – α) ΔL/L + ΔA/A . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.16) Dimana ΔA/A adalah pertumbuhan dari total factor productivity atau juga sering disebut sebagai Solow residual (Mankiw, 2000). Karena pertumbuhan total factor productivity tidak bisa dilihat secara langsung, maka diukur secara tidak langsung dihitung dengan cara : ΔA/A = ΔY/Y – α ΔK/K – (1 – α) ΔL/L . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.17 ) Total factor productivity dapat berubah dengan beberapa alasan. Perubahan sering dikaitkan dengan kenaikan pengetahuan pada metode produksi. Solow residual sering juga digunakan untuk mengukur perkembangan tekhnologi. Faktor-faktor produksi seperti pendidikan, regulasi pemerintah dapat mempengaruhi total factor productivity. Sebagai contoh, jika pengeluaran pemerintah meningkat maka akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan, para pekerja akan menjadi lebih produktif , dan output juga akan meningkat, yang mengimplikasikan total factor productivity yang lebih besar (Mankiw, 2000). c. Teori Pertumbuhan Keynesian (Harrod-Domar) Harrod Domar menganalisis tentang syarat-syarat yang diperlukan agar perekonomian bisa tumbuh dan berkembang dalam jangka panjang dengan mantap (steady growth). Menurut Harrod Domar investasi memberikan peranan kunci dalam prosers pertumbuhan yang disebabkan karena : 1. Investasi dapat menciptakan pendapatan yang merupakan dampak dari penawaran. 2. Investasi dapat memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stock modal yang merupakan dampak dari penawaran. 23 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.18) Dengan demikian : ................................... (2.19) Dari persamaan model di atas Harrod Domar mencoba menjelaskan bahwa tambahan modal dalam suatu periode t menjadi sumber dasar bagi bertambahnya hasil produksi di periode tertentu (t + 1). Investasi pada saat ini meningkatkan kemampuan produksi dan menambah pendapatan di masa datang. d. Teori Pertumbuhan Schumpeter Menurut Schumpeter, faktor utama yang menyebabkan perkembangan ekonomi adalah proses inovasi yang dilakukan oleh para innovator dengan inovasi-inovasinya. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai peningkatan output masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi masyarakat tanpa adanya perubahan tekhnologi produksi itu sendiri. Sedangkan pembangunan ekonomi adalah kenaikan output yang disebabkan oleh inovasi yang dilakukan oleh para innovator. e. Teori Penyebab Kumulatif (Cumulative Causation Theory) Teori ini pada awalnya dikemukakan oleh Myrdal (1957) yang mengkritik teori neoklasik mengenai konsep pertumbuhan yang stabil. Myrdal menyatakan bahwa perbedaan tingkat kemajuan pembangunan ekonomi antar daerah selamanya akan menimbulkan adanya “backwash effect” yang mendominasi “spread effect” dan proses pertumbuhan ekonomi regional merupakan proses yang tidak equilibrium. Perbedaan utama dari teori neoklasik dan myrdal adalah yang pertama menggunakan constant return to scale dan yang kedua menggunakan increasing return to sacale. Perbedaan tingkat pertumbuhan antar wilayah mungkin akan menjadi sangat besar jika increasing return to scale effect berlangsung terus. Menurut Kaldor (1970) prinsip-prinsip dari penyebab kumulatif adalah penyederhanaan dari increasing return to scale di perusahaan. Increasing return to scale ini membantu memperkaya sementara dan mencegah meluasnya daerah miskin. Kekuatan pasar menyebabkan adanya pengelompokan aktivitas dengan increasing return to scale di area perekonomian tertentu. Hal ini menimbulkan adanya eksternalitas atau internalitas di pusat aglomerasi. Keunggulan yang terbatas dari suatu daerah terbelakang (backward region), seperti tenaga kerja yang murah, tidak mencukupi untuk bersaing dengan aglomerasi ekonomis. f. Model Pertumbuhan Agregat Glasson (1997) menyatakan bahwa teori pertumbuhan regional jangka panjang harus memperhitungkan faktor-faktor yang dianalisis jangka pendek yang 24 diasumsikan konstan, seperti penduduk, upah, harga teknologi dan distribusi pendapatan. Mobilitas faktor-faktor terutama tenaga kerja dan modal harus menjadi pertimbangan yang sangat penting. Pada umumnya orang sependapat bahwa pertumbuhan regional dapat terjadi sebagai akibat dari penentu-penentu endogen atau eksogen, yakni faktor-faktor yang terdapat pada daerah yang bersangkutan ataupun faktor-faktor di luar daerah atau kombinasi dari keduanya. Faktor-faktor penentu penting dari dalam daerah meliputi distribusi faktor-faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja dan modal. Sedangkan salah satu faktor penentu dari luar daerah yang penting adalah tingkat permintaan dari daerah lain terhadap komoditi yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Suatu pendekatan yang lebih baru untuk menjelaskan faktor penentu endogen dari pertumbuhan ekonomi regional adalah melalui penggunaan model ekonomi makro. Model ini berorientasi pada segi penawaran dan berusaha menjelaskan output regional menurut faktor-faktor regional tertentu yang masingmasing dapat dianalisa secara sendiri-sendiri (Glasson, 1997) dan dapat dituliskan sebagai berikut : On = fn (K, L, Q, Tr, T, So) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.20) Keterangan : On : Output potensial dari daerah n K : Modal (Kapital) L : Tenaga Kerja Q : Tanah Tr : Sumber daya pengangkutan T : Tekhnologi So : Sistem Sosial Politik Apabila dirumuskan menurut faktor-faktor yang lebih penting dan lebih mudah dikuantitaskan, maka rumus mengenai persamaan pertumbuhan sebagai berikut : On = a n k n + (1-an) ln + tn . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.21) Keterangan : O, k, l, t : tingkat pertumbuhan output, modal, tenaga kerja dan tekhnologi. a : bagian pendapatan yang diperoleh modal (yakni produk marginal dari modal). g. Teori Basis Ekspor Teori pertumbuhan regional berbasis ekspor menerangkan bahwa beberapa aktifitas di suatu daerah adalah basis dalam arti bahwa pertumbuhannya menimbulkan dan menentukan pembangunan menyeluruh daerah itu, sedangkan aktivitas lain (non basis) merupakan konsekuensi dari pembangunan menyeluruh tersebut. Menurut teori ini, semua pembangunan regional ditentukan oleh sektor basis sedangkan sektor non basis yang mencakup sektor-sektor pendukung melayani sektor basis tersebut (Hoover, 1984 dalam Soepono, 2001). Selanjutnya di katakan bahwa perekonomian lokal harus menambah aliran uang masuk agar dapat tumbuh dan satu satunya cara yang efektif adalah menambah ekspor. Konsep kunci dari teori ini adalah bahwa kegiatan ekspor merupakan mesin pertumbuhan. Pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor dengan demikian ditentukan oleh permintaan eksternal. Untuk menentukan dan mengukur suatu basis, maka satuan ukuran yang dipilih dapat berupa pendapatan daerah, employment (kesempatan kerja), nilai tambah, output, penjualan kotor dan 25 sebagainya. Sedangkan pendekatan yang digunakan untuk menentukan sektor basis ada dua, yaitu pendekatan langsung dan tidak langsung. Pendekatan langsung dilakukan dengan cara mengukur aliran komoditi dan uang, serta melakukan survai tentang perekonomian lokal. Sedangkan pendekatan tidak langsung meliputi pendekatan asumsi, LQ dan persyaratan minimum. Pada pendekatan asumsi, maka sektor basis di suatu daerah diasumsikan, sedangkan sektor lainnya diasumsikan non basis. Dalam metode ini memiliki kelemahan karena dalam penentuan asumsi dapat salah. Metode LQ yang sangat populer serta penggunaannya berkelanjutan dari pengganda basis ekonomi. Pendekatan dengan analisis LQ memiliki beberapa kekurangan (Soepono, 2001), yaitu : 1. Mengasumsikan adanya permintaan yang seragam/sama, padahal penduduk memiliki selera yang berbeda. 2. Asumsi produktivitas adalah sama antar daerah. Masalah product mix (produk dari merk yang satu diekspor, sedang produk yang sama dengan merk lain diimpor). 3. Ketidakmampuan menerangkan keterkaitan antar industri. 4. Metode LQ bergantung pada tingkat agregat data. Penelitian Terdahulu Kim (1997), dalam penelitiannya tentang kasus pertumbuhan ekonomi di Korea Selatan, menyebutkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi di suatu daerah (ΔY) merupakan fungsi dari laju pertumbuhan angkatan kerja (ΔL), rasio investasi swasta terhadap PDRB (Ip/Y); rasio investasi pemerintah daerah terhadap PDRB (Ig/Y); rasio pengeluaran konsumsi pemerintah terhadap PDRB (G/Y); dan rasio penerimaan pemerintah daerah yang berasal dari pajak daerah dan penerimaan non pajak terhadap PDRB (R/Y) : ΔY = f (ΔL, Ip/Y, Ig/Y, (G/Y) ΔG, R/Y) Dinyatakan dalam model : ΔY = ß0 + ßk (Ip/Y) + ß1 * ΔL + γx ( Ig/Y ) + γg (G/Y) ΔG + θ (R/Y) + θ D80 + μ . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.22) D 80 merupakan variabel dummy tahun 1980 karena Korea tercatat mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif disebabkan kekacauan ekonomi dan politik. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pajak daerah mempunyai pengaruh negatif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sementara angkatan kerja, investasi dan konsumsi pemerintah daerah mempunyai pengaruh positif yang signifikan, sedangkan disparitas pendapatan antar daerah lebih disebabkan oleh sektor swasta (investasi swasta). Hamid (1999), dalam penelitiannya tentang peranan pemerintah dalam pembangunan ekonomi di beberapa negara dengan menggunakan analisa kualitatif menyatakan bahwa peranan pemerintah dalam suatu perekonomian adalah mutlak. Untuk mendukung peran tersebut, maka perlu tersedia kelembagaan yang kuat guna melengkapi dan mengontrol jalannya lembaga pemerintah tersebut. Untuk 26 mendukung perekonomian suatu negara BUMN masih diperlukan untuk melengkapi sektor swasta. Namun dalam penelitian ini tidak mampu menunjukan atau mengukur seberapa besar peran pemerintah dalam perekonomian di suatu negara. Muljono (1999), dalam penelitiannya tentang pengaruh dana pembangunan APBD tingkat I terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah dengan menggunakan model pertumbuhan ekonomi pendekatan fungsi produksi Cobb Douglas yang dirumuskan sebagai berikut : PDRB = β0 + β1 Ig + β2 Is + β3 L + β4 Ig t-1 + β5 Is t-1 + β6 L t-1 + μ . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2.23) Hasil penelitian menunjukan bahwa dana pembangunan APBD tingkat I Jawa Tengah keberadaannya sangat penting dan pengaruhnya sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah dibandingkan dengan pengaruh investasi swasta. Rahayu (2000), dalam penelitiannya tentang pertumbuhan ekonomi di Indonesia, menyebutkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi di suatu daerah (ΔY) merupakan fungsi dari laju pertumbuhan angkatan kerja (ΔL), rasio investasi swasta PMA dan PMDN yang disetujui terhadap PDRB (IP), rasio investasi pemerintah daerah terhadap PDRB (IG), rasio pengeluaran/konsumsi pemerintah (belanja rutin) daerah terhadap PDRB ((G/Y) ΔG) dan rasio penerimaan pemerintah daerah yang berasal dari pajak daerah dan penerimaan non pajak terhadap PDRB (R/Y), dengan persamaan fungsi sebagai berikut : ΔY = f (ΔL, IP/Y, IG/Y, (G/Y) ΔG, R/Y) ......... ........... Model : ΔY = ß0+ß1*ΔL+ ßk (Ip/Y)+γx ( Ig/Y )+γg (G/Y)ΔG+θ(R/Y)+ μ . . . . . . (2.24) (2.25) Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa investasi swasta dan laju pertumbuhan angkatan kerja tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional, tanpa memasukkan hasil migas ternyata investasi pemerintah daerah mempunyai efek yang negatif, sedangkan penerimaan pemerintah dari sektor pajak daerah dan non pajak memberikan efek positif yang signifikan. Hadiono (2001), dalam penelitiannya tentang pertumbuhan ekonomi di propinsi Jawa Tengah menggunakan data polling sampel populasi kab/kota di Jateng selama tahun 1994-1998 menyebutkan bahwa output suatu daerah (PDRB) merupakan fungsi dari investasi pemerintah, penyerapan tenaga kerja dan sarana angkutan umum. Seluruh variabel berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. PDRB = f (TK, INV, AKT) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.26) Model : L PDRB = ß0 + ß1 LT Kit + ß2 L INV it + ß3 L AKT it + v . . . . . . . . . . . .(2.27) 27 Keterangan INV TK AKT : : : : Investasi pemerintah Angkatan Kerja Sarana Angkutan Umum Atmaja (2001), menganalisis pengaruh investasi swasta, investasi sektor publik yang meliputi investasi pemerintah, konsumsi pemerintah, penerimaan pemerintah dari sektor pajak/non pajak serta pertumbuhan penduduk terhadap tingkat pertumbuhan perekonomian kabupaten dan kota di Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi swasta memegang peranan yang sangat dominan di Propinsi Bali, terlihat dari signifikansinya melebihi investasi pemerintah. Hal ini menunjukkan dalam suatu perekonomian diharapkan peranan pemerintah semakin berkurang hanya sebagai fasilitator dan peranan masyarakat swasta semakin meningkat. Hendrik (2009) dalam penelitiannya tentang pengaruh kapasitas fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Dairi menunjukkan bahwa variabel independen yaitu Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan PDRBt-1 mampu menjelaskan variasi perkembangan PDRB sebesar 95,4%, sedangkan sisanya sebesar 4,6% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model estimasi. Berdasarkan uji t-statistik (hitung) diketahui bahwa ada 3 variabel yang mempengaruhi secara signifikan terhadap PDRB di Kabupaten Dairi, ketiga variabel tersebut yaitu PDRBt-1 prob sebesar 0,0001 < 0,05, kemudian Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak pada prob 0,042 < 0,05, dan PAD sebesar 0,074 < 0,10. Sedangkan variabel Dana Alokasi Umum (DAU) tidak signifikan mempengaruhi PDRB di kabupaten Dairi. Berdasarkan nilai F-statistik (hitung) sebesar 119,20 yang signifikan pada tingkat keyakinan 95% (α = 5%), ini menunjukkan bahwa secara bersama-sama (serempak) yaitu variabel Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BH), Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan PDRBt-1 mampu mempengaruhi secara signifikan variabel PDRB di Kabupaten Dairi. Andrea (2009), dalam penelitiannya tentang “Hubungan Antara DAU, Belanja Modal Dan Kualitas Pembangunan Manusia” menunjukkan bahwa DAU berpengaruh positif terhadap belanja modal, Belanja Modal berpengaruh terhadap Kualitas Pembangunan Manusia. Maiharyanti ( 2010), dalam penelitiannya tentang “ Pengaruh Pendapatan Daerah Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Dan Belanja Modal sebagai Variabel Intervening pada Pemerintah Kabupaten dan Kota di Nanggroe Aceh Darussalam “. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan DAU, DAK, PAD berpengaruh signifikan terhadap belanja modal, hasil koefisien jalur DAU tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap Belanja Modal sedangkan PAD berpengaruh secara parsial, Belanja Modal berpengaruh secara parsial terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Model analisis data yang digunakan adalah Path Analisis Model Trimming. Beberapa penelitian sebelumnya yang dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. 28 Tabel 4. Ringkasan Penelitian Terdahulu No Peneliti Judul 1 Kim Sung Tai (1997) The Rule of Local Public Sectors in Regional Growth in Korea 2 Siti Aisyah T. Rahayu (2000) 3 Arief Hadiono (2001) 4 Yon Hendrik ( 2009 ) Peranan Sektor Publik Lokal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regiaonal di Indonesia Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi di Propinsi Jawa Tengah Analisis Pengaruh Kapasitas Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Dairi Variabel Terikat Pertumbuhan ekonomi Pertumbuhan ekonomi Bebas Angkatan kerja, rasio investasi swasta, rasio investasi Pemerintah Daerah, rasio konsumsi pemerintah, rasio penerimaan pemerintah daerah terhadap PDRB Angkatan kerja, rasio investasi swasta, rasio konsumsi pemerintah, rasio penerimaan pemerintah daerah terhadap PDRB. Alat Analisis OLS OLS Hasil Penelitian Pajak daerah (penerimaan pemerintah daerah) mempunyai pengaruh negatif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Angkatan kerja, investasi dan konsumsi pemerintah daerah mempunyai pengaruh positif yang signifikan. Investasi swasta dan laju pertumbuhan angkatan kerja tidak memberikan dampak yang signifikan. Penerimaan pemerintah dari sektor pajak daerah dan non-pajak memberikan efek positif yang signifikan. Pertumbuhan ekonomi daerah (PDRB) Investasi Pemerintah, Tenaga kerja, Sarana angkutan umum. OLS Investasi pemerintah, penyerapan tenaga kerja dan sarana angkutan umum seluruhnya berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) Bagi hasil Pajak dan Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, PDRBt-1. OLS Secara bersama-sama (serempak) yaitu variabel Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BH), Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan PDRBt-1 mampu mempengaruhi secara signifikan pertumbuhan ekonomi ( PDRB) di Kabupaten Dairi 29 No Peneliti Judul 5 Fhino Andrea (2009) Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal Dan Kualitas Pembangunan Manusia 6 Eva Maiharyanti ( 2010 ) Pengaruh Pendapatan Daerah Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Dan Belanja Modal sebagai Variabel Intervening Pada Pemerintah Kabupaten / Kota di Aceh Nanggroe Darussalam Variabel Terikat Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia Bebas Alat Analisis Hasil Penelitian DAU, Belanja Modal, Regresi sederhana DAU berpengaruh positif terhadap belanja Modal, Belanja Modal berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia Variabel Independen : Pendapatan Daerah ( PAD,DAU,DAK) Variabel Intervening Belanja Modal. Path analisis, model Triming Secara simultan Pendapatan Daerah berbengaruh terhadap Belanja Modal, Secara parsial DAU tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal sedangkan PAD berpengaruh secara parsial, Belanja Modal berpengaruh terhadap Indeks Pembanguan Manusia. 30 Kebaruan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian baru di Kota Bogor yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah fokus tujuan penelitian yang meliputi perkembangan menuju kemandirian wilayah (dalam bidang anggaran dan pendapatan), pertumbuhan ekonomi dan indeks pembangunan manusia yang mana pada penelitian sebelumnya hanya salah satu saja dari tujuan tersebut. Penggunaan variabel-variabel dalam penelitian ini dengan penelitian sebelumnya relatif sama yaitu penerimaan pemerintah, pengeluaran pemerintah, investasi dan angkatan kerja. Kerangka Pemikiran Teoritis Berdasarkan telaah pustaka, beberapa hal dapat dilakukan sebagai dasar bagi peneliti dalam membantu melakukan pengkajian mengenai kebijakan pemerintah khususnya pengeluaran pemerintah dengan ruang lingkup pemerintah daerah. Bahwa sebagaimana dalam kontek negara, peran pemerintah daerah sangat diperlukan dalam kerangka mengatasi masalah-masalah yang tidak dapat dihadapi oleh pasar yaitu dalam hal penyediaan barang-barang publik. Pemerintah daerah dituntut dapat berperan aktif dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah guna tercapainya kesejahteraan masyarakat. Pendekatan pada upaya peningkatan pertumbuhan bukanlah semata-mata menentukan pertumbuhan sebagai satu-satunya tujuan pembangunan daerah, namun pertumbuhan merupakan salah satu ciri pokok terjadinya proses pembangunan. Penelitian ini mendasarkan pada model pertumbuhan Neo Klasik yang mempergunakan fungsi dasar dari fungsi produksi Cobb-Douglas, dengan mempertimbangkan kemampuannya untuk menunjukkan hubungan perimbangan antara hasil produksi di satu pihak dan di lain pihak suatu kombinasi berbagai rupa sarana produksi (faktor produksi) yang digunakan dalam proses produksi. Dengan kata lain fungsi produksi mengungkapkan berapa banyak hasil produksi yang diperoleh dengan menggunakan suatu kombinasi tertentu perihal sejumlah sarana produksi. Y = A.K α. L β ................................... (2.28) Berdasarkan uraian di atas maka kajian dalam penelitian yang mengambil kasus di Kota Bogor dengan variabel-variabelnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor yang dipengaruhi oleh belanja pendidikan (BBP), belanja kesehatan (BBK), investasi (INV) dan penyerapan tenaga kerja (PTK). Untuk penentuan besarnya pengaruh belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Bogor, dapat dibangun suatu fungsi berdasar pendekatan Kim (1997) sebagai berikut : PDRBt = f (INV ,BBP,BBK, PTK ) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.29) 31 Dari persamaan (2.31) dan (2.32), maka diperoleh Y = A INVα1 BBP α2 BBK α3 PTK α4 Keterangan: K P H PTK A α1,α2,α3,α4, = Persediaan modal (capital stock) = Belanja pendidikan = Belanja kesehatan = Penyerapan tenaga kerja = Konstanta = koefisien Nilai investasi (INV), belanja pendidikan, belanja kesehatan, jumlah angkatan kerja terdidik dan angkatan kerja tidak terdidik di kota Bogor selama periode pengamatan 1990-2011 dijadikan variabel-variabel bebas yang secara parsial atau bersama-sama diduga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Kota Bogor. Skema hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan variabel-variabel yang mempengaruhinya dapat dijelaskan pada gambar 6. Gambar 3 Bagan Kerangka Pemikiran Teoritis Gambar 3 memperlihatkan bahwa secara tidak langsung pendidikan memainkan peran kunci dalam hal kemampuan suatu perekonomian untuk mengadopsi teknologi modern dan dalam membangun kapasitasnya bagi pembangunan dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Kesuksesan dalam pendidikan bergantung juga pada kecukupan kesehatan. Disamping itu kesehatan 32 merupakan prasayarat bagi peningkatan produktivitas. Dengan demikian kesehatan dan pendidikan dapat juga dilihat sebagai komponen vital dalam pertumbuhan dan pembangunan sebagai input bagi fungsi produksi agregat. Total investasi merupakan faktor penting untuk pertumbuhan ekonomi. Total investasi sangat dipengaruhi oleh investasi dan depresiasi. Pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh kemampuan swasta atau masyarakat dalam penyerapan modal. Pada umumnya, keterbatasan kapasitas untuk menyerap modal di suatu wilayah disebabkan karena kurangnya teknologi dan tenaga kerja terampil. Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor dinamika dalam perkembangan ekonomi jangka penjang bersamaan dengan ilmu pengetahuan, dan sumber daya alam. Pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja terutama tenaga kerja terdidik dianggap sebagai faktor positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang besar dapat berarti menambah jumlah tenaga produktif. Hipotesis Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik hipotesis berkaitan dengan penelitian dampak investasi, belanja pemerintah dan angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia sebagai berikut : H1: H1: Investasi, belanja pemerintah dan angkatan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Bogor. Belanja pemerintah bidang pendidikan, bidang kesehatan dan upah minimum kota berpengaruh positif terhadap indeks pembangunan manusia di Kota Bogor. 3 METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan studi empiris terhadap pengaruh faktor pengeluaran pemerintah (belanja pendidikan dan belanja kesehatan), investasi, angkatan kerja terdidik dan angkatan kerja tidak terdidik terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Bogor. Jenis dan Sumber Data Penelitian dilakukan di Pemerintah Kota Bogor dengan menggunakan data sekunder runtun waktu (time series) tahunan dari tahun 1990 – 2011 yang ditunjang dengan studi kepustakaan. Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Produk Domestik Regional Bruto dari tahun 1990 sampai dengan 2011 (variabel dependen). 2. Belanja pendidikan Pemkot Bogor dari tahun 1990 sampai dengan 2011 (Variabel independen). 3. Belanja kesehatan Pemkot Bogor dari tahun 1990 sampai dengan 2011 (Variabel independen). 4. Total Investasi di Kota Bogor dari tahun 1990 sampai dengan 2011 (Variabel independen). 5. Angkatan kerja berdasarkan tingkat pendidikan di Kota Bogor dari tahun 1990 sampai dengan 2011(Variabel independen). 6. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemkot Bogor dari tahun 1990 sampai dengan 2011. 7. Indeks Pembangunan Manusia di Kota Bogor dari tahun 1990-2011. Metode pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan cara pencatatan data yang bersumber dari publikasi yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD), Bank Indonesia (BI) dan terbitan resmi pemerintah maupun dengan cara studi pustaka dari literatur dan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Seluruh data yang dikumpulkan adalah data runtun waktu dari tahun 1990-2011, kecuali dana perimbangan yaitu data runtun waktu tahun 2001-2011. Teknik Analisis Deskripsi tentang pola perkembangan ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pendapatan daerah,belanja bidang pendidikan, belanja bidang kesehatan, belanja bidang infrastruktur, investasi dan angkatan kerja tahun 1990 sampai dengan 2011, yang meliputi proporsi dan pertumbuhan untuk tiap-tiap jenis peubah. Analisis tersebut diharapkan mendapatkan gambaran mengenai 34 konsistensi serta kesinambungan kebijakan pengeluaran pemerintah sebagai salah satu instrumen kebijakan pemerintah dari tahun ke tahun. Juga dilihat peran dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), pendapatan asli daerah (PAD) dan dana bagi hasil mulai tahun 2001 sampai dengan 2011. Menguji peranan dana transfer dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah, alat analisis statistik yang digunakan adalah multiple regression (Juanda, 2009). Regresi berganda digunakan untuk memprediksi apakah DAU, DAK dan PAD tersebut mempengaruhi jumlah belanja daerah tahun berjalan. Demikian juga untuk menganalisis hubungan atau pengaruh antara variabel dependen (pertumbuhan ekonomi dan IPM) dengan variabel independen (belanja pemerintah, investasi dan angkatan kerja) serta untuk mengetahui besaran dan arah dari hubungan variabel tersebut digunakan analisis regresi berganda seperti yang terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Tujuan dan analisis yang digunakan No Tujuan Penelitian Analisis Pengamatan Sumber Data 1 Menganalisis peranan DAU, DAK, PAD dan DBH terhadap penerimaan daerah kota Bogor. Deskriptif Rasio jumlah DAU dan DAK; PAD dan DBH terhadap penerimaan daerah. Dokumen Realisasi APBD 2 Mengukur dan menganalisis peranan DAU, DAK, PAD dan DBH terhadap belanja daerah kota Bogor. Regresi linear (OLS) Besaran F hitung dikonsultasikan dengan F-tabel. Besaran t-hitung dikonsultasikan dengan t-tabel. Dokumen Realisasi APBD, APBD menurut fungsi dan urusan, 3 Mengukur dan menganalisis besarnya dampak belanja pendidikan, belanja kesehatan, investasi, angkatan kerja, upah minimum kota terhadap kinerja ekonomi di kota Bogor. Regresi linear (OLS) Besaran F hitung dikonsultasikan dengan F-tabel. Dokumen Realisasi APBD, Statistik Kota Bogor, Besaran t-hitung dikonsultasikan dengan t-tabel. APBD menurut fungsi dan urusan, BKPMD Mengukur dan menganalisis besarnya dampak belanja pendidikan, belanja kesehatan, upah minimum kota terhadap Indeks Pembangunan Manusia di kota Bogor. Regresi Linier (OLS) Besaran F hitung dikonsultasikan dengan F-tabel. Dokumen Realisasi APBD, Statistik Kota Bogor, Besaran t-hitung dikonsultasikan dengan t-tabel. APBD menurut fungsi dan urusan, BKPMD 4 Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kuantitatif induktif, yaitu tekhnik analisis yang dapat digunakan untuk menaksir parameter. Analisis data dilakukan dengan menguji secara statistik terhadap variabel-variabel yang telah dikumpulkan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak (Minitab dan Excel). 35 Menganalisis hubungan atau pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen serta untuk mengetahui besaran dan arah dari hubungan variabel tersebut digunakan analisis regresi. Sedangkan analisis korelasi digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat atau derajat keeratan antara variabel yang ada. Model adalah ringkasan teori yang dinyatakan dalam formulasi matematika. Untuk mencapai tujuan dimaksud digunakan model ekonometrika, yang merupakan pola khusus dari model matematika mencakup juga variabel pengganggu (error term) (Juanda, 2009). Analisis regresi yang digunakan adalah regresi berganda dengan metode kuadrat terkecil (Method of Ordinary Least Square) OLS. Metode ini diyakini mempunyai sifat-sifat yang dapat diunggulkan yaitu secara teknis sangat akurat, mudah dalam menginterprestasikan perhitungannya serta sebagai alat estimasi linier dan unbiased terbaik (Juanda, 2009). Menghitung elastisitas dari variabel tergantung terhadap variabel bebas dilakukan secara manual. Apabila model persamaan berbentuk linier maka elastisitas dihitung dari perkalian koefisien regresi variabel bebas dengan rata-rata variabel bebas dan dibagikan terhadap rata-rata variabel tergantung ( β*Ẍ/á¿©). Apabila model persamaan linier-log, maka elastisitas dihitung dari koefisien regresi variabel bebas dibagikan terhadap rata-rata variabel tergantung ( β/á¿©). Secara umum model yang digunakan terbagi ke dalam tiga kelompok persamaan yaitu kelompok persamaan pengeluaran daerah, kelompok kinerja ekonomi dan kelompok Indeks Pembangunan Manusia. a. Belanja Daerah Total Belanja Daerah TBD = a1 + a2 PAD + a3 DAU + μ 1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.1) Belanja Rutin Daerah BRD = b1 + b2 PAD + b3 DAUt-1 + μ2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.2) Belanja Modal Daerah BMD = c1 + c2 PAD + c3 DBH + c4 DAK+ c5 BRD + μ3 . . . . .(3.3) Belanja Pembangunan Bidang Pendidikan BBP = d1 + d2 PAD+d3 DBH+d4 DAK+d5 DAU+ μ4 . . . . . . . . . . .(3.4) Belanja Pembangunan Bidang Kesehatan BBK = e1 +e2 PAD+e3 DAU+e4 DAK+e5 DBH + μ5 . . . . . . . . . . (3.5) Belanja Pembangunan Bidang Infrastruktur BBI= f1 +f2 PAD+f3 DBH+f4 DAK+f5 DAU + f6 BRDt-1 + μ6 . . . . . .(3.6) b. Kinerja Ekonomi Investasi Daerah L_INV = g1 + g2 L_PDRB + g3 L_UMK + g4 L_PADt-1 + μ7 . . . . (3.7) Penyerapan Tenaga Kerja PTK= h1 +h2 UMK+h3 TK+h4 INV+ h5 PTK t-1 + DOTD + μ8 . . . . . . (3.8) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) L_PDRB = i1 + i2 L_BBI+ i3 L_INVt-1 + i4 L_BBPt-3 + i5 L_TK+ μ 9 . (3.9) c. Indeks Pembangunan Manusia IPM = j1 + j2 L_BBK + j3 L_BBI+ j4 L_UMK+ j5 L_INVt-1 + j6 L_BBP + μ10 . . . . . . . . . . . .. .. . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.10) 36 Keterangan variabel dalam model: BBI : Belanja pembangunan bidang infrastruktur (juta/tahun) BBK : Belanja pembangunan bidang kesehatan (juta/tahun) BBP : Belanja pembangunan bidang pendidikan (juta/tahun) BMD : Belanja modal daerah (juta/tahun) BRD : Belanja rutin daerah (juta/tahun) DAU : Dana alokasi umum (juta/tahun) DAK : Dana alokasi khusus (juta/tahun) DBH : Dana bagi hasil (juta/tahun) DOTD : Dummy otonomi daerah (tahun 1990-2000=0, tahun 2001-2011=1) DKE : Dummy krisis ekonomi (tahun 1990-1997=0, tahun 1998-2011=1) INV : Investasi daerah (juta/tahun) IPM : Indeks pembangunan manusia PAD : Pendapatan asli daerah (juta/tahun) PDRB : Produk domestik regional bruto (juta/tahun) PTK : Penyerapan tenaga kerja atau angkatan kerja yang bekerja (orang) TK : Total angkatan kerja (orang) UMK : Upah minimum kota Sebelum dilakukan pembahasan, maka perlu dilakukan beberapa langkah penyesuaian data (konversi tahun dasar PDRB) dan uji keeratan hubungan antar variabel dependen dengan variabel independen serta Uji model (statistik dan asumsi klasik) terhadap model yang digunakan. Uji Model Sebelum digunakan untuk pengujian hipotesis, maka model yang dihasilkan melalui regresi dilakukan pengujian untuk mendapatkan “best fit model”. Realibilitas parameter yang diestimasi dapat dilihat melalui tiga kriteria : 1. Kriteria ekonomi, yang ditetapkan berdasarkan teori ekonomi yang ada. 2. Kriteria statistik, yang meliputi uji signifikansi parameter secara individual (uji t), simultan (uji F), uji R square dan uji tanda koefisien yang dihasilkan (uji orde I). 3. Ketiadaan penyimpangan terhadap asumsi-asumsi klasik, yang meliputi uji Linearitas, uji autokorelasi, uji multikolinearitas dan uji heterokesdatisitas (Uji Orde II). Untuk model-model yang telah melewati uji signifikansi dan uji asumsi klasik baru dapat dipergunakan untuk uji hipotesis. Penjelasan dari uji yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut: a. Uji Signifikansi (Pengujian secara statistik orde I) Uji t Uji statistik t digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Perhitungan t (t-statistik) merupakan suatu perhitungan untuk mencari signifikansi variabel independen terhadap variabel dependen. Nilai dari t- statistik yang telah diketahui, kemudian dibandingkan dengan nilai t-tabel dengan menggunakan dua arah pada derajat kepercayaan tertentu. Variabel independen dikatakan signifikan terhadap variabel 37 dependen apabila nilai t-statistik variabel independen terletak di dalam daerah kritis atau dengan kata lain bahwa nilai t-statistik lebih besar dari nilai t-tabel, hal ini berarti terdapat pengaruh yang cukup berarti dari variabel independen terhadap variabel dependen. Begitu sebaliknya apabila nilai t-statistik lebih kecil dari nilai t-tabel, maka dapat dikatakan tidak terdapat pengaruh yang berarti (Juanda, 2009b). Uji F Uji F pada dasarnya digunakan untuk menunjukkan pengaruh (signifikan) variabel independen yang dimasukkan dalam model secara bersama-sama (simultan) terhadap variabel tak bebas. Nilai F statistik dapat dihitung dengan melihat nilai dari F tabel. Nilai F statistik dikatakan signifikan apabila nilainya terletak di dalam daerah kritis. Nilai F statistik dihitung dengan formula sebagai berikut : F= MSS dari ESS/MSS dari RSS= {R2/ k-1 }:{(1-R2) / n-k} . . . . . . . . . . . .(3.10) Mengikuti distribusi F dengan derajat kebebasan K-1 dan n-1. Keterangan: n = jumlah observasi MSS = jumlah kuadrat yang dijelaskan RSS = rata-rata jumlah kuadrat K = jumlah parameter (termasuk intersep) ESS = jumlah kuadrat residual R2 = koefisien determinan Perhitungan R2 (koefisien determinan) Koefisien determinan di gunakan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan suatu model dalam menerangkan variabel dependen atau dengan kata lain untuk mengukur tingkat hubungan antara variabel dependen dengan semua variabel independen secara bersama-sama. Menghitung determinasi (R2) dapat menggunakan formula sebagai berikut : R2 = ESS/ TSS= 1 - [ R2 /k-1 : (1-R2 ) / n-k] . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(3.11) Persamaan di atas menunjukan proporsi total jumlah kuadrat (TSS) yang diterangkan oleh variabel bebas dalam model. Sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel independen lain yang belum/tidak dimasukkan dalam model. Nilai koefisien determinan antara 0 dan 1. Nilai koefisien determinan yang mendekati 0 (nol) berarti kemampuan semua variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen amat terbatas. Nilai koefisien determinan yang mendekati 1 (satu) berarti variabel-variabel independen hampir memberikan informasi yang dijelaskan untuk mempredikasi variasi variabel dependen. Kelemahan mendasar penggunaan koefisien determinan adalah bias terhadap jumlah variabel independen yang dimasukkan kedalam model. Setiap penambahan satu variabel independen pasti akan meningkatkan koefisien determinan, tidak peduli apakah variabel independen tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. 38 b. Pengujian secara Ekonometrik (Orde II) Pengujian secara Ekonometrik biasanya disebut juga dengan Uji Asumsi Klasik yang terdiri dari : Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi , variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Ada dua cara untuk mendeteksi apakah residul berdistribusi normal atau tidak dengan analisis grafis dan uji statistik (Juanda, 2009). Dalam penelitian ini, uji statistik yang digunakan untuk menguji normalitas residual adalah uji statistik non-parametrik Kolmogorov-Smirnov (KS). Uji K-S dilakukan dengan membuat hipotesis : H0 : Data residual berdistribusi normal HA : Data residual tidak berdistribusi normal. Ketentuan yang digunakan berdasarkan Kolmogorov-Smirnov Test (K-S) adalah sebagai berikut : a. Jika Probabilitas (Asymp.sig) < 0,05 , maka data berdistribusi tidak normal. b. Jika Probabilitas (Asymp.sig) > 0,05 , maka data berdistribusi normal. Uji Heterokedasitas Heterokedasitas adalah suatu kondisi tidak terpenuhinya asumsi homokedasitas. Di dalam regresi linear berganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model tersebut bersifat BLUE (Best,Linear, Unbiased dan ewstimator) adalah var (μi) =σ2 yang mempunyai variasi yang sama (homokedasitas). Pada kasus lain dimana μi tidak konstan disebut heterokedasitas. Untuk mendeteksi keberadaan heterokedasitas dapat dilakukan melalui Park test (Uji Park). Uji ini terdapat 2 (dua) tahapan yaitu pertama melaksanakan regresi OLS dengan tidak memandang persoalan heterokedasitas dan didapatkan nilai ei, kedua melalui regresi sebagai berikut : Ln ei2 = α + β Ln Xi + vi Jika nilai β signifikan secara statistik, maka data terdapat heterokedasitas, jika tidak signifikan maka asumsi homokedasitas dapat diterima. Uji Autokorelasi Autokorelasi merupakan korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti data time series) atau ruang (seperti data cross section). Uji yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya autokorelasi yaitu uji Durbin Watson (DW). Uji Durbin Watson dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut (Gujarati, 1995): 1. Melakukan regresi model lengkap untuk mendapatkan nilai residual 2. Hitung d (Durbin Watson statistik) dengan rumus: d = Σ (en – en-1 )2 / Σ e2 n ..... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.12) Hasil rumus tersebut (nilai d statistik) kemudian dibandingkan dengan nilai d tabel Durbin Watson. Di dalam tabel dimuat 2 nilai, yaitu nilai batas atas (du) dan 39 nilai batas bawah (dl) untuk berbagai nilai n dan k. Di dalam model tidak terdapat autokorelasi jika nilai d statistik pada taraf signifikan ( α ) 5 persen terletak di dalam daerah penerimaan. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas berarti adanya hubungan linear yang sempurna atau pasti diantara beberapa atau semua variabel independen dalam model regresi. Pada kasus multikolinearitas yang serius, koefisien regresi tidak lagi menunjukan pengaruh murni dari variabel bebas dalam model. Metode yang digunakan dalam uji multikolinearitas ini adalah metode Klein dan kesepakatan Gujarati terhadap nilai korelasi antar variabel, yaitu dengan perbandingan antara R2 penyesuaian Adjusted R2 hasil regresi antar variabel bebas. Kemungkinan adanya multikolinearitas apabila Adjusted R2 model uji variabel bebas dari Adjusted R2 model utama. Indikasi lain terdapat gejala multikolinaritas adalah dengan menggunakan correlation matrics, dimana apabila correlation matrics lebih besar daripada 0,8 berarti terdapat gejala multikolinearitas, dan sebaliknya. Definisi operasional variabel Variabel yang dianalisis meliputi variabel-variabel yang dipilih dengan pengertian dasar atau konsep operasional sebagai berikut. 1. Pertumbuhan Ekonomi (PDRB), variabel dependen. Yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi dalam suatu daerah dalam jangka waktu tertentu. Pertumbuhan ekonomi Kota Bogor digambarkan dalam PDRB atas dasar harga konstan 2000 karena data ini menunjukkan pertumbuhan riil daerah. 2. Belanja Pendidikan (BBP). variabel independen. Yang dimaksud belanja pendidikan dalam penelitian ini adalah besarnya realisasi pengeluaran menurut fungsi yaitu sektor pendidikan yang didanai dan tercantum dalam APBD Kota Bogor, dinyatakan dalam satuan nilai juta rupiah. 3. Belanja kesehatan (BBK), Variabel Independen. Yang dimaksud belanja pendidikan dalam penelitian ini adalah besarnya realisasi pengeluaran menurut fungsi yaitu sektor kesehatan yang didanai dan tercantum dalam APBD Kota Bogor dinyatakan dalam satuan nilai juta rupiah. 4. Total investasi (INV), variabel independen. Total investasi dalam penelitian ini adalah besarnya realisasi seluruh investasi penanaman modal (Swasta,BUMN/BUMD,Asing) yang telah mendapat SPT (Surat Persetujuan Tetap) di Kota Bogor ,ditambah dengan ketersediaan modal tahun sebelumnnya dikurangi dengan penyusutan modal tahun sebelumnya, dinyatakan dalam satuan nilai juta rupiah. 5. Total angkatan kerja (TK). Yang dimaksud total angkatan kerja dalam penelitian ini adalah jumlah penduduk usia produktif kerja yang berumur 15 tahun ke atas, dinyatakan dalam satuan orang. 6. Total penyerapan tenaga kerja (PTK). Yang dimaksud dengan total penyerapan tenaga kerja adalah jumlah penyerapan tenaga kerja dari seluruh sektor ekonomi di kota Bogor, dinyatakan dalam satuan orang. 4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR Administrasi dan Geografis Kota Bogor Luas wilayah Kota Bogor tercatat 11.850 Ha atau 0,27% dari luas propinsi Jawa Barat. Kota Bogor ini terdiri dari 6 Kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor Selatan, Bogor Utara, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Tengah dan Tanah Sareal, yang meliputi 68 Kelurahan. Kota Bogor terletak diantara 106 480 BT dan 6 360 LS serta mempunyai ketinggian rata rata minimal 190 meter, maksimal 350 meter, kemiringan lereng antara 0-3%, 4-15%, 16-30% dan diatas 40% dengan jarak dari Ibu Kota kurang lebih 60 Km, dikelilingi Gunung Salak, Gunung Pangrango dan Gunung Gede. Kota Bogor dikenal dengan sebutan Kota Hujan karena memiliki curah hujan yang tinggi yaitu berkisar 3.500 – 4.000 milimeter pertahunnya. Sebagai salah satu bagian dari propinsi Jawa Barat, Kota Bogor merupakan penyangga Ibu Kota Negara yang memiliki Asset Wisata Ilmiah yang bersifat Internasional (Kebun Raya). Pusat Kota Bogor terletak 100 Km disebelah Selatan dari Pelabuhan Sunda Kelapa yang pada jaman dahulu kala merupakan pelabuhan terpenting bagi Negara Pakuan Pajajaran yang pusatnya sekitar BatuTulis di Selatan Kota Bogor. Kota Bogor yang disebut sebagai Kota Hujan dialiri beberapa sungai yang permukaan airnya jauh dibawah permukaan Kota, yaitu Sungai Ciliwung, Cisadane, Cipakancilan, Cidepit, Ciparigi, dan Cibalok, maka boleh dikatakan secara umum Kota Bogor aman dari bahaya banjir. Kependudukan Kondisi Penduduk Jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2011 hasil sensus BPS tercatat sebanyak 967.398 jiwa, yang terdiri dari 493.761 jiwa penduduk laki-laki dan 473.637 jiwa penduduk perempuan. Dengan luas wilayah Kota Bogor sekitar 118,50 kilo meter persegi yang didiami oleh 967.398 orang maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kota Bogor adalah sebanyak 8.164 orang per kilo meter persegi. Kota Bogor merupakan kota penyangga dari Kota Jakarta dengan tingkat kepadatan penduduk Kota Bogor cukup tinggi, ciri–ciri daerah perkotaan adalah kepadatan penduduk per kilometer persegi sangat tinggi diatas 5.000 jiwa/km2, untuk Kota Bogor rata-rata per kilometer ditempati sebanyak 8.164 jiwa penduduk. Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Bogor Tengah yakni sebanyak 12.564 orang per kilo meter persegi sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Bogor Selatan yakni sebanyak 5.983 orang per kilometer persegi. Gambaran lebih jelas mengenai penduduk Kota Bogor menurut kecamatan dan jenis kelamin pada tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 6. 41 Tabel 6. Jumlah penduduk Kota Bogor menurut kecamatan dan jenis kelamin tahun 2011 Kecamatan Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal Jumlah Laki-Laki 95.003 49.135 88.754 51.743 109.446 99.680 493.761 Perempuan 89.333 47.482 84.978 50.402 105.380 96.062 473.637 Jumlah 184.336 96.617 173.732 102.145 214.826 195.742 967.398 Sex Ratio 106 103 104 103 104 104 104 Sumber : BPS Kota Bogor Tahun 2012 Penduduk Kota Bogor terus bertambah dari waktu ke waktu. Pada tahun 1961, ketika sensus penduduk pertama setelah Indonesia merdeka, jumlah penduduk Kota Bogor sebanyak 154,1 ribu jiwa. Pada tahun 1971 penduduk Kota Bogor sebanyak 195,9 ribu jiwa, tahun 1980 sebanyak 246,9 ribu jiwa, tahun 1990 sebanyak 271,7 ribu jiwa, tahun 2000 sebanyak 750,8 ribu jiwa, dan pada tahun 2010 sebanyak 949,1 ribu jiwa. Kenaikan yang cukup tinggi dalam kurun waktu 1990–2000 disebabkan wilayah Kota Bogor bertambah 46 kelurahan dari Kabupaten Bogor berdasarkan PP No. 2/1995. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Tren jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2010 Sumber: BPS Kota Bogor Tahun 2012 Laju pertumbuhan penduduk Kota Bogor per tahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-2010 sebesar 2,38 persen. Laju pertumbuhan penduduk Kecamatan Tanah Sareal adalah yang tertinggi dibandingkan kecamatan-kecamatan lain di Kota Bogor yakni sebesar 3,43 persen, sedangkan yang terendah adalah Kecamatan Bogor Tengah yakni sebesar 1,15 persen. Kecamatan Bogor Barat walaupun menempati urutan pertama dari jumlah penduduk namun laju pertumbuhan penduduknya menempati urutan ketiga yakni sebesar 2,39 persen seperti yang terlihat pada Gambar 5. 42 Gambar 5. Laju pertumbuhan penduduk Kota Bogor tahun 2000-2010 Sumber: BPS Kota Bogor Tahun 2012 Ketenagakerjaan Penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 15 tahun dan lebih dapat digolongkan sebagai angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Proporsi penduduk yang tergolong "angkatan kerja" adalah mereka yang aktif dalam kegiatan ekonomi. Keterlibatan penduduk dalam kegiatan ekonomi diukur dengan porsi penduduk yang masuk dalam pasar kerja yakni yang bekerja atau mencari pekerjaan. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) merupakan ukuran yang menggambarkan jumlah angkatan kerja untuk setiap 100 tenaga kerja. Penduduk usia kerja pada tahun 2011 di Kota Bogor sebanyak 704.431 jiwa yang terdirir dari 436.206 jiwa merupakan angkatan kerja dan 268.225 jiwa bukan angkatan kerja. Komposisi dari 436.206 angkatan kerja adalah 391.221 jiwa penduduk yang bekerja dan 44.985 jiwa merupakan pengangguran terbuka. Sementara untuk penduduk yang tergolong bukan angkatan kerja sebagian besar adalah mengurus rumah tangga, masih bersekolah dan yang lainnya sebanyak 268.225 jiwa. Gambaran jumlah penduduk 15 tahun keatas menurut jenis kegiatan utama di kota Bogor tahun 2009-2011 dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah penduduk 15 tahun keatas menurut jenis kegiatan utama di Kota Bogor tahun 2009-2011 Jenis Kegiatan Utama I. Angkatan Kerja Bekerja Pengangguran II. Bukan Angkatan Kerja Sekolah, Mengurus Rumah Tangga dan Lainnya Jumlah Tingkat Partsipasi Angkatan Kerta (TPAK)(%) Tingkat Pengangguran (%) Sumber : BPS Kota Bogor Tahun 2012 2009 476.126 385.488 90.638 316.876 Tahun 2010 418.742 346.727 72.015 220.004 2011 436.206 391.221 44.985 268.225 793.002 638.746 704.431 60,04 65,56 61,92 19,04 17,20 10,31 43 Berdasarkan data pada Table 7 perkembangan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) tiga tahun terakhir dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 terjadi fluktuasi nilai TPAK, untuk tahun 2009 sebesar 60,04%, kemudian meningkat menjadi 65,56% pada tahun 2010 dan terjadi penurunan pada tahun 2011 menjadi 61,92%. Namun, untuk tingkat pengangguran dalam tiga tahun terakhir terjadi penurunan yakni pada tahun 2009 sebesar 19,04%, turun menjadi 17,20% pada tahun 2010 dan menjadi 10,31% di tahun 2011. Hal ini menujukkan tingkat pengangguran semakin berkurang merupakan kesempatan kerja memberikan gambaran besarnya tingkat penyerapan pasar kerja. Gambaran jumlah pekerja berdasarkan lapangan usaha dan jenis kelamin Kota Bogor tahun 2011 disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Jumlah penduduk 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan usaha dan jenis kelamin Kota Bogor tahun 2011 Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan, Perikanan dan Perburuan Industri Pengolahan Perdaganganan Rumah Makan dan Hotel Jasa Kemasyarakatan Lainnya Jumlah Laki-Laki Perempuan Jumlah 4.703 - 4.703 38.706 62.729 67.117 86.491 259.746 22.151 50.045 46.580 12.699 131.475 60.857 112.774 113.967 99.190 391.221 Sumber : BPS Kota Bogor Tahun 2012 Berdasarkan data pada Tabel 8 jumlah pekerja terbesar bekerja disektor jasa kemasyarakatan sebanyak 113.967 orang terdiri dari 67.117 laki-laki dan 46.117 perempuan. Sektor kedua terbesar dari sektor perdagangan rumah makan dan hotel sebanyak 112.774 terdiri dari 62.729 laki-laki dan 50.045 perempuan. Sedangkan sektor terkecil dari pertanian, kehutanan, perikanan dan perburuan sebanyak 4.703 orang yang terdiri hanya dari laki-laki Perekonomian Daerah Pertumbuhan Ekonomi Perkembangan perekonomian Kota Bogor dalam kurun waktu enam tahun terlihat cukup pesat perkembangannya. Pada tahun 2006 tercatat nilai PDRB atas dasar harga berlaku sebesar Rp. 7,257 miliar, dalam kurun enam tahun nilai PDRB mencapai Rp. 15,487 miliar (BPS Kota Bogor, 2012). Perkembangan laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor dari tahun 2006 sampai 2010 menunjukan angka pertumbuhan yang fluktuatif dan tumbuh positif, pertumbuhan ekonomi tahun 2006-2010 memiliki laju pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 5 persen. Sektor yang memiliki kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri pengolahan, sektor transportasi dan komunikasi, dan sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan. Berikut laju pertumbuhan PDRB Kota Bogor menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2006 - 2010 dapat lihat pada Tabel 9. 44 Tabel 9 Kode Sektor (1) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Laju pertumbuhan PDRB Kota Bogor menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2006 - 2011 Lapangan Usaha (2) Pertanian a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. Perikanan Pertambangan Dan Penggalian a. Penggalian Industri Pengolahan* a. Industri Non Migas 1.Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas Kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan Lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg dari Karet 6. Semen & Brg. Galian Bukan Logam 7. Logam Dasar Besi dan Baja 8. Alat Angkutan, Mesin & Peralatannya 9. Barang Lainnya Listrik, Gas, Dan Air Bersih a. Listrik b. Gas Kota c. Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, Dan Restoran a. Perdagangan Besar dan Eceran b. Hotel c. Restoran Pengangkutan Dan Komunikasi a. Pengangkutan 7.a.1 Angkutan Rel 7.a.2 Angkutan Jalan Raya 7.a.3 Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi Keuangan, Persewaan, & Jasa Persh. a. Bank b. Lembaga Keuangan selain Bank c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan e. Jasa Perusahaan Jasa-Jasa a. Pemerintahan Umum b. Swasta 9.b.1 Sosial Kemasyarakatan 9.b.2 Hiburan dan Rekreasi Perorangan dan Rumah 9.b.3 Tangga PDRB Sumber: BPS Kota Bogor, 2012 2006 2007 2008 2009 2010 2011** (8) (3) 7.44 9.92 3.24 2.62 4.30 7.87 7.87 19.83 19.83 (4) 7.82 10.24 4.12 2.89 4.36 7.89 7.89 20.66 20.66 (5) 7.84 10.12 4.13 2.91 4.38 7.90 7.90 19.89 19.89 (6) 7.83 9.93 4.14 2.96 4.44 7.91 7.91 20.18 20.18 (7) 7.95 9.94 4.16 3.03 4.57 8.02 8.02 19.72 19.72 15.84 20.84 15.96 21.88 15.98 20.75 15.97 21.07 15.91 20.34 6.20 0.00 23.65 3.57 0.00 24.25 6.29 0.00 22.97 6.30 0.00 23.02 6.32 0.00 22.99 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 14.01 15.24 12.60 12.90 13.28 0.00 0.00 14.24 15.30 12.98 13.32 13.59 0.00 0.00 14.34 15.33 13.17 13.34 13.61 0.00 0.00 14.37 15.35 13.19 13.37 13.65 0.00 0.00 14.74 15.47 14.05 13.43 13.87 14.81 13.58 21.89 22.58 27.25 29.42 12.40 30.86 13.47 19.29 19.29 - 15.24 13.96 22.23 22.74 28.02 29.78 12.52 31.04 13.73 21.01 21.01 - 15.11 13.71 22.26 22.75 28.18 29.84 12.35 30.93 13.76 21.08 21.08 - 14.50 12.86 22.29 22.78 28.46 30.06 12.37 31.02 13.80 21.10 21.10 - 15.46 13.88 22.31 22.82 25.57 26.48 12.38 27.13 13.82 21.11 21.11 - 17.97 17.19 27.19 17.37 13.36 10.01 15.01 7.81 7.53 8.26 18.35 17.28 27.34 18.58 17.48 27.32 18.80 17.57 27.36 20.18 18.78 28.54 17.79 13.55 10.32 15.31 7.98 7.77 8.43 17.80 13.53 10.44 15.35 7.99 7.79 8.45 17.83 13.54 10.64 15.38 8.10 8.02 8.48 18.96 14.77 10.87 15.63 8.14 8.07 8.52 8.05 17.21 8.14 17.92 8.13 17.90 8.15 17.98 8.18 18.19 45 Struktur Perekonomian Perekonomian Kota Bogor tahun 2011 didominasi oleh tiga sektor utama, yaitu sektor perdagangan hotel dan restoran, industri pengolahan, dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran menyumbang sebesar 36,65 persen terhadap pembentukan PDRB Kota Bogor, selanjutnya diikuti sektor industri pengolahan sebesar 26,85 persen, dan sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 15,29 persen. Sektor lainnya yang menyumbang cukup besar adalah sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan sebesar 10,14 persen, sektor kontruksi sebesar 5,29 persen. Sementara kontribusi sektor paling kecil adalah sektor pertanian dan sektor Listrik, Gas dan Air memberikan kontribusi masing-masing sebesar 0,18 persen dan 2,00 persen terhadap pembentukan PDRB wilayah. PDRB Perkapita Perkembangan nilai PDRB perkapita Kota Bogor dalam lima tahun terakhir (2006-2010) menunjukan peningkatan PDRB perkapita untuk setiap tahunnya, dengan rata-rata peningkatan sebesar 11,33 persen per tahun. PDRB perkapita atas dasar harga berlaku pada tahun 2006 sebesar Rp. 8.256 ribu per jiwa dan perkembangan nilai PDRB perkapita hingga akhir tahun 2010 mencapai sebesar Rp. 14.870 ribu per jiwa. Namun apabila dibandingkan dengan rata-rata PDRB perkapita kabupatenkota di Provinsi Jawa Barat, PDRB Kota Bogor termasuk rendah, dimana rata-rata PDRB perkapita Kabupaten-kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2010 mencapai sebesar Rp. 15.005 ribu per jiwa. Inflasi Perkembangan harga konsumen tercermin dari Indeks Harga Konsumen (IHK) yang dikelompokkan menurut kelompok pengeluaran. Pengelompokkan ini terdiri dari kelompok bahan makanan, makanan jadi, perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan dan tranportasi. IHK ini akan menentukan laju inflasi yang akan mencerminkan kondisi perekonomian Kota Bogor. Tingkat inflasi di Kota Bogor selama lima tahun terakhir (2006-2010) secra umum mengalami kenaikan, besarnya inflasi tahun 2006 tehadap PDRB sebesar 10,42 persen, sedangkan di tahun 2010 mencapai 11,40 persen. Berdasarkan Tabel 3.4. sektor yang memiliki nilai inflasi terbesar adalah sektor Pengangkutan dan Komunikasi serta Sektor Industri pengolahan masing-masing nilai inflasi di tahun 2010 sebesar 16,88 persen dan 12,53 persen. Sedangkan sector yang memiliki nilai inflasi terrendah adalah sektorPertambangan sebesar 3,12 persen (tabel 10). 46 Tabel 10 Kode Sektor (1) 1. 2. 3. Inflasi Kota Bogor menurut lapangan usaha tahun 2006 – 2010 Lapangan Usaha (2) PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan non Migas c. Penggalian INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 3.a.1 Pengilangan 3.a.2 Gas Alam Cair b. Industri Non Migas 1.Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas Kaki 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan Lainnya 2006 (3) 6.59 13.60 7.02 5.06 2.82 - 5. 6. 7. 9. Barang Lainnya LISTRIK, GAS, Dan AIR BERSIH a. Listrik b. Gas Kota c. Air Bersih BANGUNAN PERDAGANGAN, HOTEL, DAN RESTORAN a. Perdagangan Besar dan Eceran b. Hotel c. Restoran PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI a. Pengangkutan 7.a.1 Angkutan Rel 7.a.2 Angkutan Jalan Raya 7.a.3 Angkutan Laut Angkutan Sungai dan 7.a.4 Penyebrangan 7.a.5 Angkutan Udara 7.a.6 Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi (4) 7.82 6.35 1.26 -0.32 2.97 - (5) 4.52 6.28 1.23 -0.33 2.97 6.00 - 5.91 13.39 6.00 20.66 13.46 5.91 12.76 12.76 14.74 13.50 2.55 14.75 13.63 -0.35 0.00 0.00 14.76 12.63 2.29 0. 14.76 15.11 0.00 0.00 00 0.00 0.00 00 0.00 0.00 00 0.00 6.90 10.09 3.90 4.03 8.90 0.00 7.00 10.06 4.21 4.18 9.14 00 7.87 5.89 14.57 19.20 2009 (6) 4.50 6.11 1.22 -0.30 3.02 - 6.63 2010 (7) 4.58 6.09 1.20 -0.26 3.12 - 6.38 6.63 13.01 13.01 6.38 12.53 12.53 14.74 12.97 2.27 7.03 10.06 4.37 4.20 9.15 0.00 7.01 10.06 4.37 4.21 9.17 14.67 12.30 2.28 0. 00 13 .90 0. 00 0. 00 0. 00 0. 00 7.29 10.13 5.12 4.23 9.36 9.03 7.24 14.79 19.13 9.44 7.68 14.79 19.12 8.97 7.02 14.77 19.12 9.98 8.11 14.70 19.14 19.05 23.32 9.82 24.55 - 19.58 23.60 9.78 24.68 - 19.60 23.65 9.60 24.55 - 19.73 23.83 9.61 24.61 - 16.88 20.37 9.60 20.86 - - - - - - 7. Logam Dasar Besi dan Baja 8. Alat Angkutan, Mesin & Peralatannya 4. 2008 5.98 6.62 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia & Brg dari Karet 6. Semen & Brg. Galian Bukan Logam 5.98 2007 - 8.56 6.83 6.83 - 8.61 8.21 8.21 00 0.00 12.9 8 14.24 0. 0.00 0. 0.00 0. 0. 8.76 8.25 8.25 0.00 8.74 8.24 8.24 8.69 8.20 8.20 47 Kode Sektor (1) 8. 9. Lapangan Usaha (2) KEUANGAN, PERSEWAAN, &JASA PERSH. a. Bank b. Lembaga Keuangan selain Bank c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan e. Jasa Perusahaan JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Adm. Pemerintahan & Pertahanan 2. Jasa Pemerintahan Lainnya b. Swasta 9.b.1 Sosial Kemasyarakatan 9.b.2 Hiburan dan Rekreasi 9.b.3 Perorangan dan Rumah Tangga 2006 2007 2008 2009 2010 (3) 10.42 (4) 10.37 (5) 10.37 (6) 10.36 (7) 11.40 16.54 14.40 4.78 6.63 4.52 8.87 15.88 13.54 5.90 6.65 4.87 9.58 16.04 13.51 5.88 6.62 4.96 9.59 16.07 13.53 5.90 6.60 5.12 9.58 17.16 14.56 6.89 7.71 5.19 9.73 - PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 8.87 2.58 3.55 4.86 - 9.58 2.66 3.71 4.82 - 9.59 2.64 3.74 4.81 - 9.58 2.73 3.89 4.79 - 9.73 2.60 3.87 4.76 1.64 1.68 1.65 1.64 1.60 10.55 11.14 11.24 11.29 11.43 Sumber : BPS Kota Bogor Tahun 2012 Sosial dan Budaya Kesehatan Dilihat dari segi kesehatan, Umur Harapan Hidup (UHH) Kota Bogor tergolong tinggi dan berada di atas rata-rata UHH nasional. Dalam waktu empat tahun terakhir (2005-2008) UHH kota Bogor menunjukan tren meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 tercatat UHH Kota Bogor sebesar 68,68 tahun, meningkat dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar 68,59 tahun. Gambar 6. Perkembangan UHH di Kota Bogor Tahun 2005-2008 Sumber: Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS, diolah 48 Kondisi ini menunjukan tersedia secara memadai dan mengakses sarana kesehatan pembantu dan tenaga kesehatan Tabel 11. tingkat pelayanan kesehatan di Kota Bogor relatif sebagian masyarakat kecil rata-rata sudah bisa dengan mudah seperti pukesmas, puskesmas relatif memadai. Jumlah puskesmas, puskesmas pembantu dan puskesmas keliling menurut desa di Kota Bogor tahun 2011 Kecamatan Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal Jumlah Puskesmas RRI Jumlah TT Puskesmas 4 2 3 5 5 5 24 10 8 4 6 7 13 48 Jumlah Puskesmas Pembantu 6 4 5 5 3 4 27 Jumlah Puskesmas Keliling 2 1 3 Sumber : BPS Kota Bogor 2012 Terdapat 9 rumah sakit di kota Bogor sampai dengan tahun 2011 dengan jumlah tempat tidur 1.399 buah. Jumlah puskesmas RRI sebanyak 24, puskesmas pembantu sebanyak 27 dan 3 puskesmas keliling, Semua puskesmas yang ada merupakan puskesmas pelaksana program pemerintah. Data jumlah puskesmas, puskesmas pembantu dan puskesmas keliling menurut desa di Kota Bogor tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 11. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator komposit yang digunakan untuk mengukur pencapaian pembangunan manusia yang telah dilakukan di suatu wilayah. Pencapaian pembangunan manusia diukur dari peningkatan sumber daya manusia yang diwujudkan melalui peningkatan kualitas hidup, baik dan aspek fisik (kesehatan), intelektualitas (pendidikan), kesejahterean ekonomi (daya beli), serta aspek moralitas (iman dan takwa). Tabel 12. IPM Kota Bogor per kecamatan dan komponennya tahun 2011 Kecamatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. AHH Bogor Selatan 66.04 Bogor Timur 69.31 Bogor Utara 68.88 Bogor Tengah 66.34 Bogor Barat 69.99 Tanah Sareal 68.13 Kota Bogor 68.87 Sumber: BPS Kota Bogor, 2012 AMH 98.47 98.61 98.94 99.71 99.14 98.67 98.77 RLS 8.67 9.87 10.1 10.53 10.21 9.68 9.79 PPP 626,114.13 649,880.87 652,346.60 651,913.90 645,335.84 650,821.99 647,890.00 IPM 71.60 75.40 75.83 75.41 75.80 75.44 75.75 Peringkat IPM 6 3 1 5 2 4 Tinggi rendahnya IPM disuatu wilayah sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen pembentuknya, yaitu Angka Harapan Hidup (AHH), Angka 49 Melek Huruf (AMH), Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan Purchasing Power Parity (PPP), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 12. Tingginya IPM pada kecamatan Bogor Utara lebih disebabkan oleh tingginya semua komponen pembentuk IPM, yaitu AHH, AMH, RLS, dan PPP, walaupun nilainya bukan yang tertinggi dibanding kecamatan lainnya. Namun tidak demikian dengan Kecamatan Bogor Selatan, rendahnya IPM kecamatan Bogor Selatan disebabkan karena memang semua komponen pendukung IPM di Bogor Selatan mempunyai nilai yang terendah dibanding kecamatan lainnya. Diperlukan program pembangunan yang terpadu di wilayah ini agar dapat meningkatkan komponen kesenatan, pendidikan dan daya beli di wilayah ini sehingga IPM dapat meningkat. Komponen IPM yang menonjol pada Kecamatan Bogor Utara adalah tingginya komponen daya beli penduduknya dibandingkan dengan kecamatan lain. Banyak terdapatnya industri dan banyaknya penduduk yang memang sudah mempunyai pendapatan tinggi mempengaruhi tingginya komponen daya beli penduduk di wilayah tersebut. Angka Harapan Hidup (AHH) tertinggi berada di Kecamatan Bogor Barat 69,99, sedangkan AHH terendah 68,04 di Kecamatan Bogor Selatan. Fasilitas kesehatan yang cukup di Kecamatan Bogor Barat dan kesadaran masyarakatnya dengan menjalani pola hidup sehat serta lingkungan perumahan dan penyediaan air bersih yang baik memungkinkan Angka Harapan Hidup penduduk di kecamatan ini mencapai 69,99 tahun. Angka Melek Huruf adalah indikator yang menggambarkan mutu sumber daya manusia yang diukur dalam aspek pendidikan, yaitu dilihat dari kemampuan membaca dan menulis. Angka Melek Huruf per kecamatan di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 12. Pada tahun 2011, kemampuan penduduk Kota Bogor dalam hal membaca dan menulis sudah sangat baik karena sekitar 98,77 dari 100 penduduk usia 10 tahun ke Indeks Pembangunan Manusia Kota Bogor Tahun Anggaran 2011 atas di Kota Bogor sudah dapat membaca dan menulis dengan Angka Melek Huruf di seluruh Kecamatan di Kota Bogor sudah mencapai lebih dari 98 persen. Letak yang strategis di pusat Kota Bogor dan banyaknya fasilitas sekolah di Kecamatan Bogor Tengah mendukung terwujudnya penduduk yang dapat membaca dan menulis lebih tinggi dari penduduk di wilayah Kecamatan lainnya. Pada tahun 2011 Kecamatan Bogor Tengah tercatat menduduki peringkat pertama di Kota Bogor yang mempunyai AMH tertinggi, karena 99,71 persen penduduk di Kecamatan Bogor Tengah yang berusia 10 tahun ke atas dapat membaca dan menulis. Kecamatan Bogor Tengah selain tertinggi dalam AMH di Kota Bogor ternyata juga merupakan Kecamatan yang tertinggi dalam hal komponen pendidikan yang lain, yaitu Rata-rata Lama Sekolah (RLS). RLS adalah indikator yang menunjukkan berapa tahun rata-rata penduduk menempuh pendidikan formalnya. Tabel 12 memperlihatkan bahwa rata-rata lama sekolah penduduk di Kecamatan Bogor Tengah pada tahun 2011 mencapai 10,53 tahun, yang artinya rata-rata penduduk Kecamatan Bogor Tengah sudah mengenyam pendidikan sampai dengan kelas 2 SLTA, sedikit berbeda dengan Bogor Utara, dan Bogor Timur, kemudian disusul dengan Kecamatan Bogor Barat, Tanah Sareal dan 50 terakhir Kecamatan Bogor Selatan yaitu 8,67 tahun (rata-rata penduduknya mengenyam pendidikan tidak sampai lulus SLTP). Komponen terakhir dari IPM adalah Purchasing Power Parity (PPP) atau kemampuan daya beli masyarakat yang diukur berdasarkan konsumsi per kapita riil. Indeks Pembangunan Manusia Kota Bogor Tahun Anggaran 2011. PPP adalah suatu alat ukur yang menggambarkan tingkat keberdayaan masyarakat di dalam memenuhi kebutuhan hidup sesuai dengan konsumsi riilnya, tanpa memperhatikan asal atau sumber penerimaannya, apakah itu berupa pemberian atau hasil pendapatannya. Oleh karena itu, PPP merupakan alat ukur yang dianggap lebih mewakili tingkat kesejahteraan penduduk sesuai dengan pola, kebiasaan dan kemampuan untuk dapat mengakses terhadap setiap tingkatan kebutuhan berdasarkan kemampuannya. Nilai PPP per kecamatan sangat bervariasi setiap tahunnya. Nilai PPP yang terendah dibandingkan dengan kecamatan lain di Kota Bogor tahun 2011 adalah Kecamatan Bogor Selatan yakni sebesar Rp. 626.114, sedangkan nilai PPP tertinggi di tahun 2011 adalah Kecamatan Bogor Utara dengan nilai PPP sebesar Rp. 652,346.60,- per kapita per tahun. Kemiskinan Perkembangan kemiskinan Kota Bogor dalam waktu lima tahun terakhir (2006-2010) menunjukkan kecenderungan fluktuatif dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011 jumlah penduduk miskin mencapai 90,2 ribu jiwa lebih rendah dibandingkan terhadap tahun sebelumnya, hal ini ditunjukan juga oleh persentase kemiskinan Kota Bogor fluktuatif dari tahun ke tahun dengan persentase kemiskinan tahun 2011 tercatat sebesar 9,47 persen. Kondisi kemiskinan Kota Bogor dibandingkan terhadap kondisi kemiskinan Kabupaten-Kota lainnya di Provinsi Jawa Barat masih tergolong rendah. Berikut data perkembangan kemiskinan Kota Bogor tahun 2005-2011 dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Perkembangan kemiskinan di Kota Bogor tahun 2005-2011 Tahun Jumlah Penduduk Miskin (000) Persentase Penduduk Miskin (%) 2005 2006 67.7 79.3 7.85 8.31 168.111 169.570 2007 89.2 9.64 185.185 2008 2009 91.4 97.7 9.47 9.72 200.888 223.218 2010 91.7 9.47 256.414 2011 90.2 8.82 278.530 Garis Kemiskinan (Rp/kap/bulan) Sumber: BPS Kota Bogor, 2012 Kemiskinan merupakan kondisi sosial yang muncul akibat dari perkembangan situasi dan kondisi makro sosial ekonomi secara menyeluruh. Begitu banyak faktor penyebab munculnya kemiskinan mulai dari terputusnya 51 hubungan kerja seorang kepala keluarga, sampai datangnya penyakit berat yang berkepanjangan, atau datangnya bencana secara tiba-tiba. Tabel 14. Banyak keluarga menurut kecamatan dan klasifikasi keluarga di Kota Bogor tahun 2011 Pra Sejahtera Kecamatan Bogor Selatan Jmlah Klg Jumlah Jiwa Sejahtera I Jumlah Klg Jumlah Jiwa Sjhtera II Sjhtra III Sjhtra III Plus 3,759 13,69 8,575 32,884 18,406 11,174 2,717 963 3,397 5,178 18,049 9,044 5,791 1,982 Bogor Utara 1,597 5,961 5,08 19,891 16,054 10,537 5,33 Bogor Tengah 1,635 4,851 5,675 23,31 9,659 5,73 1,154 640 1,852 12,181 52,303 22,192 15,09 4,107 1,805 5,378 7,341 27,295 24,754 9,915 4,653 Jumlah 10,399 35,129 Sumber : BPS Kota Bogor 2012 44,03 173,732 100,109 58,237 19,943 Bogor Timur Bogor Barat Tanah Sareal Berdasarkan data pada Tabel 13 Kota Bogor tidak terlepas dari permasalah kemiskinan, walaupun tiga tahun terakhir jumlah penduduk miskin Kota Bogor mengalami penurunan pada tahun 2009 sebanyak 97.700 orang atau 9,72% dari total penduduk menjadi 91.710 orang atau 8,82% dari total penduduk pada tahun 2010 dan menjadi 90.200 orang atau 9,47% dari total penduduk pada tahun 2011, dengan garis kemiskinan tahun 2009 sebesar Rp 223.218,- tahun 2010 menjadi Rp 256.414,- dan tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi Rp 278.530,-. Adapun gambaran jumlah keluarga dan klasifikasi keluarga berdasarkan kecamatan di Kota Bogor tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 14. Infrastruktur Transportasi Transportasi menuju ke Bandar Udara Sukarno-Hatta dan Pelabuhan Tanjung Priok sangat mudah hal ini dikarenakan adanya jalan tol yang menghubungkan antara Kota Bogor dengan ketiga tempat penting tersebut diatas. Kondisi panjang jalan negara 30.199 km, yang teridir dari 17.633 km dalam kondisi baik sekali dan Kondisi baik; 10.150 km dalam kondisi sedang; dan 2.416 km dalam kondisi buruk. Panjang jalan provinsi 26.759 km, yang terdiri dari 10.596 km dalam kondisi baik sekali dan kondisi baik; 8.388 km dalam kondisi sedang; dan 7.775 km dalam kondisi buruk. Kondisi jalan kota sepanjang 564.193 km yang terdiri dari 129.573 km kondisi baik sekali dan kondisi baik; 284.648 km dalam kondisi sedang, dan kondisi buruk 73.878 km. Pembangunan Terminal Angkutan Barang akan dibangun di Kelurahan Tanah Baru Kecamatan Bogor Utara dengan nilai proyek Rp. 20 milyar. Prospek proyek adalah terbangunnya sarana dan prasarana pergudangan, tempat bongkar 52 muat dan distribusi barang. Peluang pasar adalah kendaraan angkutan barang khususnya dengan MST diatas 8 ton, truk gandengan dan kereta tempelan. Seiring dengan perkembangan pertambahan penduduk dan semakin giatnya kegiatan ekonomi, maka penataan jaringan trayek angkutan umum menjadi penting, yaitu dengan menghadirkan sarana angkutan umum yang layak, terjangkau dan dapat mengurangi tingkat kepadatan lalu lintas. Pemerintah Kota Bogor merencanakan untuk mengoperasikan bus berukuran ¾ sebagai angkutan masal, dengan trayek Ciawi-Cibuluh dan Bubulak-Soleh Iskandar-Baranangsiang. Biaya yang dibutuhkan untuk itu adalah Rp. 25 Milyar. Pembangunan gedung parkir didasarkan pada kebutuhan yang mendesak akan areal perparkiran yang dapat menampung banyak mobil disamping untuk mengurangi tingkat kemacetan akibat parkir yang tidak terorganisir disekitar kawasan perdagangan Jl. Surya Kencana, gedung parkir tersebut direncanakan akan dibangun di Jl. Surya Kencana dan Jl. Otista dengan biaya sebesar Rp. 1,25 Milyar. Hal ini merupakan peluang yang menarik untuk ditawarkan mengingat besarnya pendapatan yang diperoleh dari bisnis perparkiran. Permukiman Kawasan perdagangan dan jasa Bubulak, direncanakan akan berdiri di sepanjang Jalan R1 dan kawasan wisata Cifor di atas lahan seluas ± 7 Ha dengan nilai investasi ± 12,5 milyar. Peluang investasi Kawasan Terpadu TULLAK (Sentul Selatan dan Bubulak) ini sedang dalam proses perencanaan. Kawasan terpadu TULLAK ini adalah kawasan terpadu linier dengan pola mengikuti garis alur rencana jaringan jalan dari pintu tol Sentul Selatan (R2), jalan raya Baru Kemang (R0) dan batas jalan raya Sindangbarang (R1) dengan luasan 1.425 Ha. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, dan semakin mahalnya harga lahan untuk dapat dijangkau oleh penduduk berpenghasilan rendah, maka dibutuhkan suatu bentuk perumahan yang terpadu dan berdiri di atas lahan yang tidak terlalu luas. Oleh sebab itu dibangunlah Rusunawa (Rumah Susun Sewa) guna menjawab segala permasalahan di atas. Rusunawa di Kota Bogor akan berlokasi di Kelurahan Menteng Bogor Barat. Rusunawa tahap I seluas 0,6405 Ha dibangun oleh Departemen Kimpraswil dengan perkiraan biaya sebesar Rp. 10,2 Milyar, sedangkan rusunawa tahap II seluas 0,35 Ha dan tahap III seluas 0,6 Ha diperuntukan untuk investor swasta dengan perkiraan biaya sebesar Rp 8,6 milyar untuk tahap II dan Rp. 10,9 milyar untuk tahap III. Air Bersih Pembangunan reservoir zone 6 kota batu dengan kapasitas 200 m3/. Produk/jasa yang akan dihasilkan adalah optimalisasi kapasitas air bersih dengan perkiraan investasi ± 3,5 milyar. Pengadaan dan pemasangan pipa steel diameter 1000 mm. Produk jasa yang dihasilkan optimalisasi kapasitas air bersih. Peluang pasar penambahan cakupan pelayanan. Lokasi dari Ciherang ke Dekeng. Modal investasi Rp.14.605 milyar atau ± Rp.14,7 milyar. Pengadaan dan penggantian meteran air untuk meningkatkan keakuratan bacaan meteran air dengan Modal investasi Rp. 9.075.000.000. Proyek peningkatan jumlah pelanggan/Modal investasi Rp. 20.895.000.000. 5 PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Deskripsi Penerimaan dan Belanja Pemkot Bogor a. Penerimaan Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pasal 1 angka 13, pendapatan daerah merupakan hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun terkait. Pendapatan Daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan dikelompokkan atas: a) PAD, yaitu pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PAD pada umumnya terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan serta lain-lain PAD yang Sah; b) Dana Perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari dana penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah. Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus; c) Lain-lain pendapatan daerah yang sah meliputi hibah, dana darurat, DBH pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota, dana penyesuaian dan otsus, serta bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemda lainnya. Berdasarkan data series kurun waktu 2001-2011, secara keseluruhan pendapatan daerah mengalami peningkatan dengan persentase kenaikan berfluktuatif. Secara persentase dan nominal hanya kelompok komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang secara konsisten mengalami kenaikan, begitu juga dengan kelompok dana alokasi umum (DAU) yang menunjukkan kecenderungan peningkatan baik secara nominal dan persentase kontribusi terhadap pendapatan daerah, seperti terlihat pada Gambar 7 berikut ini : 500000 Variable PA D(juta) DA U(juta) DA K DBH 400000 Juta 300000 200000 100000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun Gambar 7. Perkembangan DAU, PAD, DBH dan DAK tahun 2001-2011 Sumber: Pemerintah Kota Bogor, diolah Gambar 7 memperlihatkan bahwa peranan DAU dalam penerimaan Pemerintah Kota Bogor masih dominan, sehingga peran transfer pemerintah pusat masih tinggi terhadap penerimaan pemerintah daerah. Walaupun demikian perkembangan PAD sudah menunjukkan laju pertumbuhan yang konstan sehingga diharapkan akan mengambil peranan yang lebih besar di masa yang akan datang. Gambaran kemandirian penerimaan pemerintah daerah dapat dilihat dengan melakukan perbandingan jumlah DAU dan DAK terhadap total penerimaan pemerintah kota Bogor seperti yang diperlihatkan pada Gambar 8. Persen (DAU+DAK) 80 70 60 50 40 2000 2002 2004 2006 Tahun 2008 2010 2012 Gambar 8. Persentase jumlah DAU dan DAK terhadap total penerimaan daerah Sumber: Pemerintah Kota Bogor, diolah Gambar 8 memperlihatkan bahwa periode tahun 2001-2007 peranan DAU dan DAK menurun dalam total penerimaan daerah walaupun pola distribusinya sangat fluktuatif. Periode tahun 2008-2011 peranan DAU dan DAK dalam total penerimaan daerah semakin menurun. Pada tahun 2001 kontribusi DAU dan DAK dalam penerimaan daeran sebesar 69 persen, dan pada tahun 2011 sebesar 57 persen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kota Bogor secara perlahan telah mampu mengurangi tingkat ketergantungannya kepada pemerintah pusat menuju pada kemandirian wilayah. Berdasarkan rasio DAU terhadap total penerimaan daerah juga menunjukkan pola yang sama, seperti yang terlihat pada Gambar 9. 80 Persen DAU 70 60 50 40 2000 2002 2004 2006 Tahun 2008 2010 2012 Gambar 9. Persentase jumlah DAU terhadap total penerimaan daerah Sumber: Pemerintah Kota Bogor, diolah Dari gambar 9 terlihat bahwa kontribusi DAU terhadap total penerimaan daerah secara perlahan menurun dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2011. Pola ini terlihat dari garis regresi yang mempunyai kemiringan negatif (slope negatif). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kota Bogor menuju pada kemandirian penerimaan. Melihat perkembangan kemandirian penerimaan pemerintah daerah dapat juga dilakukan dengan membandingkan jumlah PAD dan DBH terhadap total penerimaan pemerintah kota Bogor seperti yang diperlihatkan pada Gambar 10. Persen (PAD+DBH) 60 50 40 30 20 2000 2002 2004 2006 Tahun 2008 2010 2012 Gambar 10. Persentase jumlah PAD dan DBH terhadap total penerimaan daerah Sumber: Pemerintah Kota Bogor, diolah Dari gambar 10 terlihat bahwa pada tahun 2001 kontribusi PAD dan DBH dalam total penerimaan daerah sebesar 30 persen, dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 42 persen. Dengan demikian kemandirian kota Bogor dalam pembiayaan pembangun sudah meningkat. Kondisi ini tergambar dari garis regresi yang mempunyai kemiringan positif (slope positif). 30 Persen PAD 25 20 15 10 5 2000 2002 2004 2006 Tahun 2008 2010 2012 Gambar 11. Persentase jumlah PAD terhadap total penerimaan daerah Sumber: Pemerintah Kota Bogor, diolah Gambar 11 memperlihatkan bahwa persentase jumlah PAD terhadap total penerimaan daerah juga menunjukkan pola yang sama dengan garis regresi yang mempunyai slope positif yang lebih besar. Ini menunjukkan bahwa pemerintah kota Bogor telah berupaya mengoptimalkan PAD sebagai salah satu sumber penerimaan utama, sehingga dapat dikatakan kota Bogor menuju ke arah kemandirian penerimaan wilayah. Dari berbagai komponen pendapatan daerah (RKPD, 2012), sumber utama penerimaan daerah yang berpotensi besar adalah pajak restoran, yang menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Namun disisi lain terdapat penerimaan yang tetap atau terjadi penurunan salah satunya yaitu pada pajak reklame dan retribusi IMB, penurunan penerimaan dari pajak reklame akibat dilarangnya pemasangan reklame rokok sedangkan untuk retribusi IMB akibat adanya pembatasan ruang untuk komersil sehubungan dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang yang mengharuskan RTH 30 persen. Hal ini dapat digunakan sebagai tanda bahwa perlu dilakukan segera upaya-upaya terobosan untuk mencari sumber-sumber alternative pendapatan lainnya yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi sumber penerimaan daerah, sehingga mengurangi ketergantungan terhadap penerimaan dari pajak daerah yang bersifat “limitative”. Untuk itu Pemerintah Kota Bogor perlu menggali potensi pendapatan dari pajak hiburan. Dari tahun ke tahun penerimaan dari pajak daerah menunjukkan tren meningkat. Hal ini, antara lain disebabkan adanya potensi komponen dana bagi hasil pajak bersumber dari Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan (BPHTB) yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota. Dan dengan ditetapkannya UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sehingga terjadi pelimpahan kewenangan pemungutan pajak dari Provinsi ke Kabupaten / Kota, yaitu untuk Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Air Tanah, dimana setiap pengambilan dan atau pemanfaatan air tanah dikenakan pajak sebesar 20persen dan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dimana dikenakan pajak sebesar 5 persen. Untuk tahun 2011 (RKPD, 2012), angka pendapatan daerah mencapai Rp. 1.074.657.410.403.00, dibandingkan target tahun 2011 sebesar Rp. 964.699.214.999, maka terdapat peningkatan pendapatan daerah sebesar Rp. 109.958.195.404,00 . Pendapatan daerah tahun 2012 telah dipengaruhi oleh peningkatan penerimaan dari sektor pajak yang mengalami kenaikan tarif sesuai dengan Undang-Undang 28 Tahun 2009 dan pajak dari BPHTB yang telah dialihkelolakan kepada Kabupaten/Kota. b. Belanja Daerah Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama, termasuk penanganan 4 program prioritas Kota Bogor yaitu: Transportasi, Kebersihan, Pedagang Kaki Lima dan Kemiskinan. Belanja daerah menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 merupakan semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Pada dasarnya terdapat dua jenis belanja menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, sebagaimana diubah dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011, yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang tidak memiliki keterkaitan secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang meliputi belanja pegawai, belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga. Belanja langsung merupakan belanja yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan program dan kegiatan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal. Berdasarkan data series kurun waktu 1990-2011, secara keseluruhan total belanja daerah mengalami peningkatan, dimana laju pertumbuhan relatif lebih besar setelah tahun 2001 atau awal pelaksanaan otonomi daerah. Demikian juga untuk belanja rutin dan belanja modal, dimana pertumbuhan relatif lebih besar setelah pelaksanaan otonomi daerah, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 12. Dari gambar 12 terlihat bahwa setelah tahun 2001 (otonomi daerah), besaran nilai belanja rutin daerah lebih tinggi dari belanja modal daerah dengan laju pertumbuhan yang relatif konstan. Variable BRD BMD TBD 1200000 Juta rupiah 1000000 800000 600000 400000 200000 0 90 91 92 93 94 95 9 6 97 9 8 99 0 0 01 02 03 04 05 06 07 08 0 9 10 1 1 19 19 19 19 19 1 9 19 1 9 19 1 9 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 2 0 20 Tahun Gambar 12. Perkembangan TBD, BRD dan BMD tahun 1990 – 2011 Sumber: Pemerintah Kota Bogor, diolah Persentase pebandingan antara belanja rutin dan belanja modal di kota Bogor dalam periode penelitian dapat dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama adalah sebelum krisis moneter (1990-1996). Fase kedua adalah pada saat krisis moneter (1997-2000) dan fase ketiga adalah setelah otonomi daerah. (2001-2011) seperti yang terlihat di Gambar 13. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% BMD 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 BRD Masa Krisi Moneter Masa Otonomi Daerah Gambar 13. Perbandingan persentase BRD dan BMD di Kota Bogor tahun 1990 sampai dengan tahun 2011 Sumber: Pemerintah Kota Bogor, diolah Pada fase sebelum krisis moteter yaitu tahun 1991 sampai dengan tahun 1995 perbandingan antara belanja modal dengan belanja rutin relatif hampir sama dengan selisih 10 persen hingga 15 persen, seperti yang terlihat di Gambar 13. Dari gambar 13 terlihat bahwa besaran persentase belanja rutin daerah (BRD) pada tahun 1991 sebesar 56 persen dari total belanja daerah , dan belanja modal daerah (BMD) sebesar 44 persen dimana selesihnya hanya sebesar 12 persen. Demikian juga pada tahun 1995, besar belanja rutin daerah (BRD) sebesar 55 persen dan belanja modal daerah (BMD) sebesar 45 persen dimana selisihnya hanya 10 persen. Pada tahun 1996 belanja rutin daerah (BRD) sebesar 46 persen, dan belanja modal daerah (BMD) sebesar 54 persen dimana selisihnya sekitar 9 persen. Pada fase krisis moneter tahun 1997-1998 persentase perbandingan antara belanja modal daerah (BMD) dengan belanja rutin daerah (BRD) relatif sedikit lebih besar BMD. Pada tahun 1997, besar belanja rutin daerah (BRD) sebesar 42 persen dari total belanja daerah dan belanja modal daerah (BMD) sebesar 58 persen. Pada tahun 1998, besar belanja modal daerah (BMD) sebesar 49 persen dan belanja rutin daerah (BRD) sebesar 51 persen. Kebijakan perencanaan dan pembiayaan pembangunan pada fase sebelum krisis moneter dan pada fase krisis moneter masih dilakukan oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah hanya sebagai pelaksana saja. Besarnya nilai belanja modal (BMD) pada fase krisis moneter adalah akibat kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat untuk menjaga stabilitas ekonomi dengan meningkatkan belanja pemerintah. Fase otonomi daerah yaitu tahun 2001 sampai dengan tahun 2011 perbandingan antara belanja modal dengan belanja rutin relatif sangat besar dengan selisih 30 persen hingga 50 persen, seperti yang terlihat di Gambar 13. Pada tahun 2001, besar belanja rutin daerah (BRD) sebesar 78 persen dari total belanja daerah dan belanja modal daerah (BMD) sebesar 22 persen. Pada tahun 2011, besar belanja modal daerah (BMD) sebesar 33 persen dari total belanja daerah dan belanja rutin daerah (BRD) sebesar 67 persen. Kebijakan perencanaan dan pembiayaan pembangunan pada fase otonomi daerah dilakukan oleh pemerintah kota Bogor, dan pemerintah pusat hanya sebagai penyeimbang keuangan sampai kota Bogor menjadi lebih mandiri. Besarnya nilai belanja rutin daerah (BRD) pada awal fase otonomi daerah adalah akibat ketidak siapan sumber daya manusia di Pemkot Bogor dalam menyusun RAPBD melalui pola penganggaran yang berbasis kinerja dengan pendekatan program pembangunan yang disertai system pelaporan yang lebih akuntabel. Pada akhir tahun 2011 belanja daerah disusun dengan pendekatan anggaran kinerja yang berorientasi pada pencapaian hasil dari input yang direncanakan dengan memperhatikan prestasi kerja setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam pelaksanaan tugas, pokok dan fungsinya. Ini bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas perencanan anggaran serta menjamin efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran dalam belanja program/kegiatan. Kebijakan belanja daerah tahun 2012 tetap diarahkan untuk mendukung pencapaian target IPM 80,73 pada tahun 2014. Perencanaan anggaran yang konsisten dan fokus, diproyeksikan pencapaian IPM 80,73 perlu diarahkan untuk memperkuat bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, infrastruktur, dan suprastruktur melalui belanja modal. Model Belanja Pemkot Bogor Hasil estimasi model utama persamaan linier berganda mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan-perubahan model persamaan regresi berganda terjadi akibat besarnya nilai multikolinieritas dan autokorelasi. Secara ekonometri, output yang dihasilkan dari seluruh persamaan regresi cukup baik dengan tingginya nilai R-Sq dan signifikannya efek kumulatif dari semua variabel (F statistik yang besar). Sebahagian besar prediktor mempunyai nilai VIF (Variance Inflation Factor) yang kurang dari 10, ini menandakan bahwa tidak terjadi adanya gejala multikolinearitas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi tersebut tidak terdapat problem multikolinieritas. Pelanggaran asumsi OLS tidak terjadi pada autokorelasi, walaupun nilai DW berada di interval 1,8 sampai dengan 2,1. Berdasarkan metode grafik melalui pola sisaan ternyata gagal menerima adanya heteroskedastisitas sehingga model menerima homoskedastisitas. Berdasarkan seluruh informasi dari multikolinieritas, autokorelasi dan heteroskedastisitas dapat disimpulkan bahwa seluruh model dalam penelitian ini relatif cukup baik. Setelah melalui beberapa kali pengujian model untuk mendapatkan model yang terbaik, maka estimasi model utama persemaan linier berganda adalah sebagai berikut: a. Total Belanja Daerah (TBD) Hasil pendugaan parameter total belanja daerah (TBD) dipengaruhi oleh dana alokasi umum (DAU) dan pendapatan asli daerah (PAD). Hasil estimasi total belanja daerah ditampilkan pada Tabel 15 Tabel 15. Hasil pendugaan parameter beberapa persamaan total belanja daerah (TBD) Penduga Koefisien Std.Eror t-hitung Sig.(P) Elastisitas Hasil Persamaan Regresi dengan Variabel PAD dan DAU Konstanta -33283 61511 -0,54 0,603 PAD 2,5070 0,7033 3,56 * 0,007 0,40 DAU 1,1899 0,3455 3,44 * 0,009 0,66 R-Sq = 0,962 F-hit = 102,25 * DW = 2,19811 Hasil Persamaan Regresi dengan Variabel PAD t-1 dan DAUt-1 Konstanta 40957 31445 1,30 0,229 PADt-1 6,930 1,078 6,43 * 0,000 0,86 DAUt-1 0,1330 0,3052 0,44 0,674 0,07 R-Sq = 0,979 F-hit = 186,29 * DW = 1,51041 Hasil Persamaan Regresi dengan Variabel PAD dan DAUt-1 Konstanta 55912 40860 1,37 0,208 PAD 2,7885 0,6004 4,64 * 0,002 0,44 DAUt-1 0,9492 0,2599 3,65 * 0,006 0,47 R-Sq = 0,965 F-hit = 110,14 * DW = 2,00761 * Nyata pada taraf uji 5 persen TBD = - 33283 + 2,51 PAD + 1,19 DAU ..................................... TBD = 40957 + 6,93 PADt-1 + 0,133 DAUt-1 ..................................... TBD = 55912 + 2,79 PAD + 0,949 DAUt-1 ..................................... 5.1 5.2 5.3 Perhitungan nilai R Square untuk ketiga model diperoleh nilai lebih besar dari 0,960 yang berarti 96 persen total belanja daerah (TBD) kota Bogor dapat dijelaskan oleh kedua variabel independen (PAD dan DAU) di atas, sedangkan sisanya yaitu 4 persen dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di luar model. Hasil pengujian diperoleh nilai F hitung dari kedua variabel independen (DAU dan PAD) secara serentak lebih besar dari 100 dengan tingkat signifikan sebesar 0. Ini berarti hipotesis alternatif tidak dapat ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa DAU dan PAD secara bersama-sama memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap total belanja daerah (TBD) diterima. Hasil pengujian model (persamaan 5.1), nilai t-hitung untuk PAD pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 3,56 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,007. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk PAD lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,007 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual PAD memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap belanja total daerah. Meskipun demikian, respon perubahan TBD terhadap perubahan PAD adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,40. Artinya bahwa peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan TBD sebesar 0,40 persen. Nilai t-hitung untuk DAU pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 3,44 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,009. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk DAU lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,009 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual DAU memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap total belanja daerah. Meskipun demikian, respon perubahan TBD terhadap perubahan DAU adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,66. Artinya bahwa peningkatan transfer (DAU) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan TBD sebesar 0,66 persen. Hasil pengujian model (persamaan 5.3), nilai t-hitung untuk PAD pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 4,64 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,002. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk PAD lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,002 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual PAD memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap total belanja daerah (TBD). Meskipun demikian, respon perubahan TBD terhadap perubahan PAD adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,44. Artinya bahwa peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan TBD sebesar 0,44 persen. Nilai t-hitung untuk DAUt-1 pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 3,65 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,006. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk DAUt-1 lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,006 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual DAUt-1 memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap total belanja daerah. Meskipun demikian, respon perubahan TBD terhadap perubahan DAUt-1 adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,47. Artinya bahwa peningkatan transfer (DAUt-1 ) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan TBD sebesar 0,47 persen. Hasil pengujian model (persamaan 5.2), nilai t-hitung untuk PADt-1 pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 6,43 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,000. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk PAD lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,000 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual PAD memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap total belanja daerah (TBD). Meskipun demikian, respon perubahan TBD terhadap perubahan Artinya bahwa PADt-1 adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,86. peningkatan pendapatan asli daerah tahun sebelumnya (PADt-1 ) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan total belanja daerah (TBD) tahun berjalan sebesar 0,86 persen. Nilai t-hitung untuk DAUt-1 pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 0,44 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,674. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk DAUt-1 lebih besar daripada taraf nyatanya (0,674 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual DAUt-1 tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada selang kepercayaan 95 persen terhadap total belanja daerah (TBD) . Secara ekonomi, respon perubahan TBD terhadap perubahan DAUt-1 juga inelastis dengan koefisien elastisitas 0,66. Artinya bahwa peningkatan transfer (DAUt-1 ) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan TBD sebesar 0,66 persen. Berdasarkan seluruh informasi tingkat selang kepercayaan (signifikan, nilai P) di atas terlihat bahwa respon total belanja daerah (TBD) lebih besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD) daripada dana transfer (DAU), sehingga dapat dikatakan bahwa kota Bogor sekarang ini lebih mandiri dalam penerimaan daerah. Kondisi ini sangat berbeda dengan awal pelaksanaan otonomi daerah (tahun 2001-2004) dimana respon belanja daerah lebih besar terhadap transfer daripada pendapatan asli daerah (PAD) dan dana bagi hasil (DBH). b. Belanja Rutin Daerah (BRD) Hasil pendugaan parameter belanja rutin daerah (BRD) dipengaruhi oleh DAU tahun sebelumnya dan PAD tahun berjalan. Hasil estimasi belanja rutin daerah ditampilkan pada Tabel 16. Tabel 16. Hasil pendugaan parameter persamaan belanja rutin daerah (BRD) Penduga Koefisien Std.Eror t-hitung Sig.(P) Elastisitas Konstanta 96536 29327 3,29 0,011 DAUt-1 0,5968 0,1865 3,20* 0,013 0,41 PAD 1,6466 0,4309 3,82* 0,005 0,36 R-Sq = 0,952 F statistik = 78,82* Prob.= 0,000 Durbin-Watson statistic = 2,10370 * Nyata pada taraf uji 5 persen . BRD = 96536 + 1,65 PAD + 0,597 DAU t-1 ................................... 5.4 Perhitungan nilai R Square diperoleh nilai sebesar 0,952 yang berarti 95,2 persen belanja rutin daerah (BRD) kota Bogor dapat dijelaskan oleh kedua variabel independen di atas, sedangkan sisanya yaitu 4,8 persen dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di luar model. Dari hasil pengujian diperoleh nilai F hitung dari kedua variabel independen (DAUt-1 dan PAD) secara serentak adalah 78,82 dengan tingkat signifikan sebesar 0. Ini berarti hipotesis alternatif tidak dapat ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa DAUt-1 dan PAD secara bersama-sama memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap belanja rutin daerah (BRD) diterima. Hasil analisa diketahui bahwa nilai t hitung untuk PAD pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 3,82 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,005. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk PAD lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,005 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual PAD memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap belanja rutin daerah. Meskipun demikian, respon perubahan BRD terhadap perubahan PAD adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,36. Artinya bahwa peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan BRD sebesar 0,36 persen. Nilai t hitung untuk DAU(t-1) pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 3,20 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,013. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk DAU(t-1) lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,013<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual DAU(t-1) juga memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap belanja rutin daerah. Meskipun demikian, respon perubahan BRD terhadap perubahan DAU(t-1) adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,41. Artinya bahwa peningkatan dana alokasi umum tahun sebelumnya (DAUt-1 ) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan BRD sebesar 0,41 persen. c. Belanja Modal Daerah (BMD) Hasil pendugaan parameter belanja modal daerah (BMD) dipengaruhi oleh PAD tahun berjalan, DBH tahun berjalan dan BRD. Hasil estimasi belanja modal daerah ditampilkan pada tabel 17. Dari perhitungan nilai R Square diperoleh nilai sebesar 0,977 yang berarti 97,7 persen belanja moda daerah (BMD) kota Bogor dapat dijelaskan oleh ketiga variabel independen di atas, sedangkan sisanya yaitu 2,3 persen dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di luar model. Tabel 17. Hasil pendugaan parameter persamaan belanja modal daerah Penduga Koefisien Std.Eror t-hitung Sig.(P) Konstanta -70251 23946 -2,93 0,026 PAD 1,9608 0,4508 4,35* 0,005 DAK -2,867 2,608 -1,10 0,314 BRD -0,6416 0,2539 -2,53* 0,045 DBH 3,7815 0,9571 3,95* 0,008 R-Sq = 0,977 F statistik = 64,78* Prob.= 0,000 Durbin-Watson statistic = 1,80641 * Nyata pada taraf uji 5 persen. (BMD) Elastisitas 1,14 (0,06) (1,69) 0,83 BMD = - 70251+ 1,96 PAD - 2,87 DAK - 0,642 BRD + 3,78 DBH ........... 5.5 Hasil pengujian diperoleh nilai F hitung dari seluruh variabel independen secara serentak adalah 64,78 dengan tingkat signifikan sebesar 0. Ini berarti hipotesis alternatif tidak dapat ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa PAD, DAK, BRD dan DBH secara bersamasama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap belanja modal daerah diterima. Hasil analisa uji t diketahui nilai t hitung untuk PAD pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 4,35 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,005. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk PAD lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,005<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual PAD juga memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap belanja modal daerah. Secara ekonomi, respon perubahan BMD terhadap perubahan PAD adalah elastis dengan koefisien elastisitas 1,14. Artinya bahwa peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar satu persen, ceteris paribus, akan meningkatkan belanja modal daerah (BMD) sebesar 1,14 persen. Nilai t hitung untuk DBH pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 3,95 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,008. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk PAD lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,008 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual DBH memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap belanja modal daerah. Meskipun demikian, respon perubahan BMD terhadap perubahan DBH adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,83. Artinya bahwa peningkatan dana bagi hasil (DBH) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan BMD sebesar 0,83 persen. Nilai t hitung untuk BRD pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu negatif 2,53 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,045. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk BRD lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,045 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual BRD memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap belanja modal daerah. Secara ekonomi, respon perubahan BMD terhadap perubahan BRD adalah elastis dengan koefisien elastisitas negatif 1,69. Artinya bahwa peningkatan belanja rutin daerah (BRD) sebesar satu persen, ceteris paribus, akan menurunkan belanja modal daerah (BMD) sebesar 1,69 persen. Dana alokasi khusus (DAK) tidak berpengaruh nyata terhadap belanja modal daerah (BMD), meskipun demikian dari segi ekonomi masih memberikan pengaruh yang nagatif bagi peningkatan belanja modal daerah dan responnya inelastis. d. Belanja Pembangunan Bidang Pendidikan (BBP) Hasil pendugaan parameter belanja bidang pendidikan (BBP) dipengaruhi oleh PAD, DBH, DAU dan DAK tahun berjalan. Hasil estimasi belanja bidang pendidikan ditampilkan pada Tabel 18. Dari perhitungan nilai R Square diperoleh nilai sebesar 0,98 yang berarti 98 persen belanja bidang pendidikan (BBP) kota Bogor dapat dijelaskan oleh keempat variabel independen di atas, sedangkan sisanya yaitu dua persen dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di luar model. Tabel 18. Hasil pendugaan parameter persamaan belanja bidang (BBP) Penduga Koefisien Std.Eror t-hitung Sig.(P) Konstanta -63781 29074 -2,19 0,071 PAD 1,2974 0,3028 4,28* 0,005 DAK 1,862 2,420 0,77 0,471 DBH 1,6298 0,6197 2,63* 0,039 DAU -0,1667 0,2706 -0,62 0,561 R-Sq = 0,98 F statistik = 72,74* Prob.= 0,000 Durbin-Watson statistic = 2,0337 pendidikan Elastisitas 0,74 0,11 0,91 (0,33) * Nyata pada taraf uji 5 persen. BBP = - 63781+ 1,30 PAD +1,86 DAK + 1,63 DBH - 0,167 DAU ............ 5.6 Hasil pengujian diperoleh nilai F hitung dari keempat variabel independen (PAD, DBH, DAU dan DAK) secara serentak adalah 72,74 dengan tingkat signifikan sebesar 0. Ini berarti hipotesis alternatif tidak dapat ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa PAD, DBH, DAU dan DAK secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap belanja bidang pendidikan diterima. Hasil analisa secara parsial diketahui nilai t hitung untuk PAD pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 4,28 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,005. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk PAD lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,005 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual PAD memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap belanja bidang pendidikan. Meskipun demikian, respon BBP inelastis terhadap perubahan PAD dengan koefisien elastisitas 0,74. Artinya bahwa peningkatan PAD sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya mampu menaikkan belanja bidang pendidikan (BBP) sebesar 0,74 persen. Nilai t hitung untuk DBH pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 2,63 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,039. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk DBH lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,039<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual DBH juga memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap belanja bidang pendidikan. Meskipun demikian, respon perubahan BBP terhadap perubahan DBH adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,91. Artinya bahwa peningkatan dana bagi hasil (DBH) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan belanja bidang pendidikan (BBP) sebesar 0,91 persen. Dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) secara statistik pada selang kepercayaan 95 persen tidak berpengaruh nyata pada belanja bidang pendidikan (BBP). Pemerintah Kota Bogor (RKPD, 2012) dalam menentukan belanja pembangunan bidang pendidikan berdasarkan jumlah total belanja daerah, dimana jumlah total belanja daerah ditentukan oleh penerimaan daerah. Penerimaan daerah meliputi PAD, DAU, DAK, DBH dan pendapatan lainnya yang syah. Alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar 20 persen dari total belanja daerah setiap tahun tidak termasuk alokasi anggaran untuk kegiatan yang belum selesai tahun sebelumnya (multi years), dalam rangka peningkatan indeks pendidikan meliputi Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah (AMH dan RLS), sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tetapi target yang ditetapkan sebesar 20 persen dari total belanja daerah belum tercapai sepenuhnya. e. Belanja Pembangunan Bidang Kesehatan (BBK) Hasil pendugaan parameter belanja bidang kesehatan (BBK) dipengaruhi oleh PAD, DBH, DAU dan DAK tahun berjalan. Hasil estimasi belanja bidang pendidikan ditampilkan pada Tabel 19. Dari perhitungan nilai R Square diperoleh nilai sebesar 0,996 yang berarti 99,6 persen belanja bidang kesehatan (BBK) kota Bogor dapat dijelaskan oleh keempat variabel independen di atas, sedangkan sisanya yaitu 0,4 persen dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di luar model. Tabel 19. Hasil pendugaan parameter persamaan belanja bidang kesehatan (BBK) Penduga Koefisien Std.Eror t-hitung Sig.(P) Elastisitas Konstanta -16902 2094 -8,07 0,000 PAD 0,08136 0,02181 3,73* 0,010 0,27 DAK -0,4661 0,1743 -2,67* 0,037 (0,16) DBH 0,4066 0,04462 9,11* 0,000 1,35 DAU 0,01428 0,01948 0,73 0,491 0,16 R-Sq = 0,996 F statistik = 342,50* Prob.= 0,000 Durbin-Watson statistic = 1,98942 * Nyata pada taraf uji 5 persen. BBK = - 16902+0,0814 PAD - 0,466 DAK+ 0,407 DBH+ 0,0143 DAU ........ 5.7 Hasil pengujian diperoleh nilai F hitung dari keempat variabel independen (PAD, DBH, DAU dan DAK) secara serentak adalah 342,50 dengan tingkat signifikan sebesar 0. Ini berarti hipotesis alternatif tidak dapat ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa PAD, DBH, DAU dan DAK secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap belanja bidang kesehatan diterima. Hasil analisa uji-t diketahui nilai t hitung untuk PAD pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 3,73 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,010. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk PAD lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,01 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual PAD memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap belanja bidang kesehatan. Meskipun demikian, respon perubahan BBK terhadap perubahan PAD adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,27. Artinya bahwa peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan belanja bidang kesehatan (BBK) sebesar 0,27 persen. Nilai t hitung untuk DBH pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 9,11 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,000. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk DBH lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,000<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual DBH juga memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap belanja bidang kesehatan pada taraf kepercayaan 95 persen. Secara ekonomi, respon perubahan BBK terhadap perubahan DBH adalah elastis dengan koefisien elastisitas 1,35. Artinya bahwa peningkatan dana bagi hasil (DBH) sebesar satu persen, ceteris paribus, akan meningkatkan belanja bidang kesehatan (BBK) sebesar 1,35 persen. Nilai t hitung untuk DAK pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu negatif 2,67 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,037. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk DAK lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,037<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual DAK juga memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap belanja bidang kesehatan pada taraf kepercayaan 95 persen. Meskipun demikian, respon perubahan BBK terhadap perubahan DAK adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,16. Artinya bahwa peningkatan dana alokasi khusus (DAK) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan menurunkan belanja bidang kesehatan (BBK) sebesar 0,16 persen. Dana alokasi umum (DAU) tidak berpengaruh nyata terhadap belanja bidang kesehatan (BBK), meskipun demikian dari segi ekonomi masih memberikan pengaruh yang positif bagi peningkatan belanja bidang kesehatan dan responnya inelastis. Payung hukum untuk menetukan belanja bidang kesehatan adalah 10 persen dari total belanja daerah sesuai UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan guna peningkatan kualitas dan aksesibilitas pelayanan dasar kesehatan dalam rangka peningkatan indeks kesehatan masyarakat, terutama untuk keluarga miskin serta kesehatan ibu dan anak. Tetapi target yang ditetapkan sebesar 10 persen dari total belanja daerah belum tercapai. f. Belanja Pembangunan Bidang Infrastruktur (BBI) Hasil pendugaan parameter belanja bidang infrastruktur (BBI) dipengaruhi oleh PAD,DBH, DAU, DAK dan BRD tahun sebelumnya. Hasil estimasi belanja bidang infrastruktur ditampilkan pada Tabel 20. Nilai R Square diperoleh sebesar 0,981 yang berarti 98,1 persen belanja bidang infrastruktur (BBI) kota Bogor dapat dijelaskan oleh kelima variabel independen di atas, sedangkan sisanya yaitu 1,9 persen dijelaskan oleh sebabsebab yang lain di luar model. Hasil pengujian diperoleh nilai F hitung dari kelima variabel independen (PAD, DBH, DAU, DAK dan BRDt-1 ) secara serentak adalah 51,20 dengan tingkat signifikan sebesar 0. Ini berarti hipotesis alternatif tidak dapat ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa PAD, DBH, DAU, DAK dan BRDt-1 secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap belanja bidang infrastruktur diterima. Tabel 20. Hasil pendugaan parameter persamaan belanja bidang infrastruktur (BBI) Penduga Koefisien Std.Eror t-hitung Sig.(P) Elastisitas Konstanta -8878 30873 -2,88 0,035 PAD 1,9774 0,3582 5,52* 0,003 1,56 DBH 3,2405 0,6484 5,00 * 0,004 2,55 DAU -0,2470 0,3277 -0,75 0,485 DAK 0,601 2,587 0,23 0,825 BRDt-1 -0,5458 0,1947 -2,80* 0,038 (1,65) R-Sq = 0,981 F statistik = 51,20* Prob.= 0,000 Durbin-Watson statistic = 2,1739 * Nyata pada taraf uji 5 persen. BBI = - 88780 + 1,98 PAD + 3,24 DBH - 0,247 DAU + 0,60 DAK - 0,546 BRDt-1 ......................................................................... 5.8 Hasil analisa secara parsial diketahui nilai t hitung untuk PAD pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 5,52 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,003. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk PAD lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,003 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual PAD memiliki pengaruh yang signifikan terhadap belanja bidang infrastruktur. Secara ekonomi terlihat bahwa respon BBI elastis terhadap perubahan PAD dengan koefisien elastisitas 1,56. Artinya bahwa peningkatan PAD sebesar satu persen, ceteris paribus, mampu menaikan belanja bidang infrastruktur (BBI) sebesar 1,56 persen. Nilai t hitung untuk DBH pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 5,00 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,004. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk DBH lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,004<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual DBH juga memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap belanja bidang infrastruktur. Meskipun demikian, respon perubahan BBI terhadap perubahan DBH adalah elastis dengan koefisien elastisitas 2,55. Artinya bahwa peningkatan dana bagi hasil (DBH) sebesar satu persen, ceteris paribus, akan meningkatkan belanja bidang infrastruktur (BBI) sebesar 2,55 persen. Nilai t hitung untuk BRDt-1 pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu negatif 2,80 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,038. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk BRDt-1 lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,038<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual BRDt-1 juga memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap belanja bidang infrastruktur. Secara ekonomi, respon perubahan BBI terhadap perubahan BRDt-1 adalah elastis dengan koefisien elastisitas negatif 1,65. Artinya bahwa peningkatan belanja rutin daerah tahun sebelumnya (BRDt-1 ) sebesar satu persen, ceteris paribus, akan menurunkan belanja bidang infrastruktur (BBI) tahun berjalan sebesar 1,65 persen. Hasil pendugaan diketahui bahwa dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) secara statistik dengan selang kepercayaan 95 persen tidak berpengaruh nyata terhadap belanja bidang infrastruktur (BBI). Model Kinerja Ekonomi Kota Bogor Hasil estimasi model utama persamaan linier berganda mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan-perubahan model kinerja ekonomi terjadi akibat besarnya nilai multikolinieritas dan autokorelasi. Setelah melalui beberapa kali pengujian model untuk mendapatkan model yang terbaik, maka estimasi model utama persemaan linier berganda adalah sebagai berikut: a. Investasi Daerah (INV) Hasil pendugaan parameter logaritma investasi daerah (L_INV) dipengaruhi oleh L_PDRB tahun berjalan dan logaritma upah minimum kota (L_UMK) tahun berjalan. Hasil estimasi investasi daerah ditampilkan pada Tabel 21. Tabel 21. Hasil pendugaan parameter persamaan investasi Penduga Koefisien Std.Eror t-hitung Konstanta -8,545 1,053 -8,11 L_PDRB 2,5877 0,1928 13,42* L_UMK -0,12103 0,05638 -2,15 * L_PADt-1 -0,35264 0,06740 -5,23* R-Sq = 0,983 F statistik = 351,89* Prob.= 0,000 Durbin-Watson statistic = 1,96248 daerah (INV) Sig.(P) Elastisitas 0,000 0,000 2,58 0,046 (0,12) 0,000 (0,35) * Nyata pada taraf uji 5 persen. L_INV = - 8,54+ 2,59 L_PDRB - 0,121 L_UMK - 0,353 L_PADt-1 ............. 5.9 Koefisien determinasi digunakan untuk menguji goodness-fit dari model regresi yang dapat lihat dari nilai R Square. Untuk mengetahui tingkat perkembangan investasi daerah (INV) di kota Bogor yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yaitu PDRB, upah minimum kota (UMK) dan PAD tahun sebelumnya dapat dilihat melalui besarnya koefisien determinasi. Dari perhitungan nilai R Square adalah 0,983. Hal ini berarti 98,3 persen investasi (INV) kota Bogor dapat dijelaskan oleh ketiga variabel independen di atas, sedangkan sisanya yaitu 1,7 persen dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di luar model. Hasil pengujian diperoleh nilai F hitung dari ketiga variabel independen (L_PDRB, L_UMK dan L_PADt-1 ) secara serentak adalah 351,89 dengan tingkat signifikan sebesar 0. Ini berarti hipotesis alternatif tidak dapat ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa PDRB, UMK dan PADt-1 secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap investasi daerah diterima. Pengujian hipotesa kedua dilakukan dengan uji t. Uji t dilakukan dengan membandingkan P Value t hitung yang dihasilkan oleh masing-masing variabel independen dalam persamaan regresi dengan derajat signifikansinya (α) yaitu 0,05. Kriteria yang digunakan untuk menarik kesimpulan hipotesa diatas yaitu jika PValue t hitung < α (α = 0,05) maka Ho ditolak. Dari hasil analisa diketahui nilai t hitung untuk PDRB pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 13,42 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,000. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk PDRB lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,000 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual PDRB memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap investasi daerah. Secara ekonomi terlihat bahwa respon INV elastis terhadap perubahan PDRB dengan koefisien elastisitas 2,5877, artinya bahwa peningkatan PDRB sebesar satu persen, ceteris paribus, mampu menaikan investasi daerah (INV) sebesar 2,58 persen. Nilai t hitung untuk UMK pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu negatif 2,15 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,046. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk UMK lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,046<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual UMK juga memiliki pengaruh negatif yang signifikan (sign negatif) terhadap investasi daerah. Artinya, setiap kenaikan upah minimum kota Bogor akan mengakibatkan penurunan investasi daerah. Meskipun demikian, respon perubahan INV terhadap perubahan UMK adalah inelastis dengan koefisien elastisitas negatif 0,12. Artinya bahwa peningkatan upah minimum kota (UMK) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan menurunkan INV sebesar 0,12 persen. Nilai t hitung untuk PADt-1 pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu negatif 5,23 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,000. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk UMK lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,000<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual PADt-1 juga memiliki pengaruh negatif yang signifikan (sign negatif) terhadap investasi daerah. Artinya, setiap kenaikan upah minimum kota Bogor akan mengakibatkan penurunan investasi daerah. Meskipun demikian, respon perubahan INV terhadap perubahan PADt-1 adalah inelastis dengan koefisien elastisitas negatif 0,35. Artinya bahwa peningkatan upah minimum kota (UMK) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan menurunkan INV sebesar 0,35 persen. b. Penyerapan Tenaga Kerja (PTK) Hasil pendugaan parameter penyerapan tenaga kerja (PTK) dipengaruhi oleh UMK, angkatan kerja (TK), investasi daerah (INV) tahun berjalan dan penyerapan tenaga kerja tahun sebelumnya (PTK t-1 ). Estimasi model utama persemaan linier berganda dapat dilihat pada Tabel 22. Dari perhitungan nilai R Square diperoleh nilai sebesar 0,998 yang berarti kelima variabel independen (UMK, TK, INV, PTK t-1 , DOTD) di atas, sedangkan sisanya yaitu 0,2 persen dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di luar model. Tabel 22. Hasil pendugaan parameter persamaan penyerapan tenaga kerja (PTK) Penduga Koefisien Std.Eror t-hitung Sig.(P) Elastisitas Konstanta -12225 5373 -2,28 0,037 UMK -0,11907 0,04824 -2,47 * 0,025 (0,32) TK 0,79989 0,08471 9,44 * 0,000 0,96 INV 0,020379 0,008321 PTK t-1 0,3675 0,1199 DOTD -17365 9098 R-Sq = 0,998 F statistik = 3018,06* Prob.= 0,000 Durbin-Watson statistic = 2,020964 2,45* 3,06* -1,91 0,026 0,007 0,074 0,10 0,33 * Nyata pada taraf uji 5 persen. PTK = - 12225 - 0,119 UMK + 0,800 TK + 0,0204 INV + 0,368 PTK t-1 - 17365 DOTD ......................................................................... 5.10 Hasil pengujian diperoleh nilai F hitung dari kelima variabel independen secara serentak adalah 3018,06 dengan tingkat signifikan sebesar 0. Ini berarti hipotesis alternatif tidak dapat ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa UMK, TK, INV, PTK t-1 dan DOTD secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja diterima. Hasil analisa diketahui nilai t hitung untuk UMK pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu negatif 2,47 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,025. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk UMK lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,025 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual UMK memiliki pengaruh negatif yang signifikan (sign negatif) terhadap penyerapan tenaga kerja. Artinya adalah setiap kenaikan UMK akan mengakibatkan penurunan penyerapan tenaga kerja. Meskipun demikian, respon perubahan PTK terhadap perubahan UMK adalah inelastis dengan koefisien elastisitas negatif 0,32. Artinya bahwa peningkatan upah minimum kota (UMK) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan menurunkan PTK sebesar 0,32 persen. Nilai t hitung untuk total angkatan kerja (TK) pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 9,44 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,000. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk TK lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,000<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual TK juga memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Secara ekonomi terlihat bahwa respon PTK inelastis terhadap perubahan TK dengan koefisien elastisitas 0,96. Artinya bahwa peningkatan total angkatan kerja (TK) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya mampu menaikan penyerapan tenaga kerja (PTK) sebesar 0,96 persen. Nilai t hitung untuk investasi daerah (INV) pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 2,45 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,026. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk INV lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,026<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual INV juga memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Artinya adalah semakin tinggi tingkat investasi daerah akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Meskipun demikian, respon perubahan PTK terhadap perubahan INV adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,10. Artinya bahwa peningkatan investasi daerah (INV) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja (PTK) sebesar 0,10 persen. Nilai t hitung untuk penyerapan tenaga kerja tahun sebelumnya (PTK t-1 ) pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 3,06 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,007. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk PTK t-1 lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,007<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyerapan tenaga kerja tahun sebelumnya (PTK t-1 ) memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja tahun berjalan. Artinya adalah apabila tinggi tingkat penyerapan tenaga kerja tahun sebelumnya (PTK t-1 ) maka akan tinggi juga penyerapan tenaga kerja tahun berjalan (PTK). Meskipun demikian, respon perubahan PTK terhadap perubahan PTK t-1 adalah inelastis. Artinya bahwa selisih peningkatan penyerapan tenaga kerja tahun sebelumnya (PTK t-1 ) dengan penyerapan tenaga kerja tahun berjalan (PTK) meningkat sebesar 0,33 persen dengan asumsi variabel lainnya tidak berubah (ceteris paribus). Hasil pendugaan parameter juga menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja sebelum dan sesudah otonomi daerah secara statistik tidak berbeda nyata pada tingkat signifikan 95 persen. c. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hasil pendugaan parameter Logaritma Produk Domestik Regional Bruto (L_PDRB) dipengaruhi oleh logaritma investasi daerah tahun sebelumnya (L_INVt-1 ), logaritma belanja bidang infrastruktur (L_BBI), logaritma belanja bidang pendidikan tiga tahun sebelumnya (L_BBP t-3 ) dan logaritma total angkatan kerja (L_TK). Model yang dipergunakan mengikuti model fungsi produksi. Hasil estimasi produk domestik regional bruto ditampilkan pada Tabel 23. Dari tabel tersebut perhitungan nilai R Square diperoleh nilai sebesar 0,987 yang berarti 98,7 persen L_PDRB kota Bogor dapat dijelaskan oleh keempat variabel independen (L_INVt-1 , L_BBI, L_BPPt-3 dan L_TK) di atas, sedangkan sisanya yaitu 1,3 persen dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di luar model. Tabel 23. Hasil pendugaan parameter persamaan produk domestik regional bruto (PDRB) Penduga Koefisien Std.Eror t-hitung Sig.(P) Elastisitas Konstanta 4,6873 0,4001 11,71 0,000 L_INVt-1 0,18275 0,06609 2,77** 0,013 0,18 L_BBI 0,05929 0,02149 2,76** 0,013 0,06 L_BBPt-3 0,04611 0,01352 3,41** 0,003 0,05 L_TK 0,05353 0,02729 1,96* 0,066 0,05 R-Sq = 0,987 F statistik = 327,79 * Prob.= 0,000 Durbin-Watson statistic = 2,07520 ** Nyata pada taraf uji 5 persen. * Nyata pada taraf uji 10 persen L_PDRB = 4,69 + 0,183 L_INVt-1 + 0,0593 L_BBI + 0,0461 L_BBPt-3 + 0,0535 L_TK .......................................................................... 5.11 Hasil pengujian diperoleh nilai F hitung dari keempat variabel independen secara serentak adalah 327,79 dengan tingkat signifikan sebesar 0. Ini berarti hipotesis alternatif tidak dapat ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa L_INV, L_BBI, L_BBPt-3 dan L_TK secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produk domestik regional bruto diterima. Hasil analisa secara parsial diketahui nilai t hitung untuk L_INVt-1 pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 2,77 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,013. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk L_INVt-1 lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,013 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual L_INVt-1 memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap L_PDRB. Artinya adalah setiap kenaikan investasi tahun sebelumnya akan mengakibatkan peningkatan PDRB tahun berjalan. Meskipun demikian, respon perubahan PDRB tahun berjalan terhadap perubahan investasi tahun sebelumnya (INVt-1 ) adalah inelastis dengan koefisien elastisitas sebesar 0,18. Artinya bahwa peningkatan investasi daerah tahun sebelumnya (INVt-1 ) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan PDRB tahun berjalan sebesar 0,18 persen. Nilai t hitung untuk logaritma belanja bidang infrastruktur (L_BBI) pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 2,76 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,013. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk L_BBI lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,013<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual BBI juga memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap peningkatan PDRB. Pertumbuhan belanja bidang infrastruktur (BBI) merupakan usaha pemerintah daerah dalam meningkatkan pelayanan publik, yang berpengaruh positif terhadap kenaikan PDRB namun secara ekonomi masih bersifat inelastis dengan koefisien elastisitas 0,06. Artinya bahwa kenaikan belanja bidang infrastruktur satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan PDRB sebesar 0,06 persen. Nilai t hitung untuk logaritma belanja bidang pendidikan tiga tahun sebelumnya (L_BBPt-3 ) pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 3,41 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,003. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk L_BBPt-3 lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,003<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual BBPt-3 juga memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap peningkatan PDRB. Kondisi ini menunjukkan bahwa belanja bidang pendidikan bersifat “long run” yang artinya manfaat dapat dilihat dalam jangka panjang. Meskipun demikian, respon perubahan PDRB tahun berjalan terhadap perubahan belanja bidang pendidikan tiga tahun sebelumnya (BBPt-3 ) adalah inelastis dengan koefisien elastisitas sebesar 0,05. Artinya bahwa peningkatan belanja bidang pendidikan tiga tahun sebelumnya (BBPt-3 ) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan PDRB tahun berjalan sebesar 0,05 persen. Belanja pemerintah daerah akan mempengaruhi perekonomian (PDRB), alasannya adalah bahwa, menurut fungsi konsumsi, pendapatan yang lebih tinggi menyebabkan konsumsi yang lebih tinggi. Ketika kenaikan dalam pembelian pemerintah meningkatkan pendapatan, ia juga meningkatkan konsumsi, yang selanjutnya meningkatkan pendapatan, yang kemudian meningkatkan konsumsi dan seterusnya sehingga menimbulkan efek berantai. Besarnya nilai pengganda dari belanja bidang infrastruktur adalah 1,06. Artinya adalah kenaikan belanja pemerintah bidang infrastruktur sebesar satu juta rupiah akan meningkatkan pendapatan keseimbangan sebesar 1.060.000 rupiah. Nilai pengganda untuk belanja bidang pendidikan adalah 1,048. Artinya adalah kenaikan belanja bidang pendidikan sebesar satu juta rupiah akan meningkatkan pendapatan keseimbangan sebesar 1.048.000 rupiah. Investasi daerah juga mempengaruhi perekonomian secara simultan. Ketika kenaikan dalan investasi daerah meningkatkan produksi, ia juga meningkatkan pendapatan, yang kemudian meningkatkan investasi dan seterusnya sehingga menimbulkan efek berantai. Besarnya nilai pengganda dari investasi daerah adalah 1,224. Artinya adalah kenaikan investasi daerah sebesar satu juta rupiah akan meningkatkan pendapatan keseimbangan 1.224.000 rupiah. Nilai pengganda investasi daerah yang relatif lebih besar dibandingkan dengan belanja bidang pendidikan dan infrastruktur menunjukkan bahwa untuk memacu kinerja ekonomi di Kota Bogor perlu untuk meningkatkan investasi daerah. Nilai t hitung untuk logaritma total angkatan kerja (L_TK) pada taraf nyata 10persen (α = 0,10) yaitu 1,96 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,066. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk L_TK lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,066<0,10). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual TK juga memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap PDRB. Artinya adalah semakin tinggi total angkatan kerja (TK) akan meningkatkan PDRB. Meskipun demikian, respon perubahan PDRB terhadap perubahan total angkatan kerja (TK) adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,05. Artinya bahwa peningkatan total angkatan kerja (TK) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan PDRB sebesar 0,05 persen. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Hasil estimasi model utama persamaan linier berganda mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan-perubahan model indeks pembangunan manusia (IPM) terjadi akibat besarnya nilai multikolinieritas dan autokorelasi. Setelah melalui beberapa kali pengujian model untuk mendapatkan model yang terbaik, maka estimasi model utama persemaan linier berganda adalah sebagai berikut: L_IPM = 1,37 + 0,0020 L_BBP + 0,0161 L_BBK - 0,0113 L_BBI + 0,0289 L_INVt-1 + 0,0503 L_UMK ................................................. 5.12 Koefisien determinasi digunakan untuk menguji goodness-fit dari model regresi yang dapat lihat dari nilai R Square. Untuk mengetahui tingkat perkembangan IPM di kota Bogor yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu belanja bidang pendidikan (BBP), belanja bidang kesehatan (BBK), belanja bidang infrastruktur (BBI), investasi tahun sebelumnya dan upah minimum kota (UMK) dapat dilihat melalui besarnya koefisien determinasi. Hasil estimasi indeks pembangunan manusia (IPM) ditampilkan pada Tabel 24. Tabel 24. Hasil pendugaan parameter indeks pembangunan manusia (IPM) Penduga Koefisien Std.Eror t-hitung Sig.(P) Elastisitas Konstanta 1,37494 0,04505 30,52 0,000 L_BBP 0,002004 0,002130 0,94 0,361 0,002 L_BBK 0,016129 0,002744 5,88 * 0,000 0,016 L_BBI -0,011260 0,002672 L_INVt-1 0,028874 0,006968 L_UMK 0,050277 0,003982 R-Sq = 0,987 F statistik = 1006,98* Prob.= 0,000 Durbin-Watson statistic = 2,01465 -4,21 * 4,14 * 12,63* 0,001 0,001 0,000 -0,011 0,029 0,050 * Nyata pada taraf uji 5 persen. Tabel diatas menunjukkan perhitungan nilai R Square adalah 0,987. Hal ini berarti 98,7 persen IPM kota Bogor dapat dijelaskan oleh kelima variabel independen di atas, sedangkan sisanya yaitu 1,3 persen dijelaskan oleh sebabsebab yang lain di luar model. Hasil pengujian diperoleh nilai F hitung dari kelima variabel independen (L_BBP, L_BBK, L_BBI, L_INVt-1 dan L_UMK) secara serentak adalah 1006,98 dengan tingkat signifikan sebesar 0. Ini berarti hipotesis alternatif tidak dapat ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa BBP, BBK, BBI, INVt-1 dan UMK secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap indeks pembangunan manusia diterima. Pengujian hipotesa kedua dilakukan dengan uji t. Uji t dilakukan dengan membandingkan P Value t hitung yang dihasilkan oleh masing-masing variabel independen dalam persamaan regresi dengan derajat signifikansinya (α) yaitu 0,05. Kriteria yang digunakan untuk menarik kesimpulan hipotesa diatas yaitu jika PValue t hitung < α (α = 0,05) maka Ho ditolak. Dari hasil analisa diketahui nilai t hitung untuk L_BBK pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 5,88 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,000. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk L_BBK lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,000 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual BBK memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap IPM. Artinya adalah setiap kenaikan belanja bidang kesehatan (BBK) akan mengakibatkan peningkatan IPM. Meskipun demikian, respon perubahan IPM terhadap perubahan belanja bidang kesehatan (BBK) adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,016. Artinya bahwa peningkatan belanja bidang kesehatan sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan IPM sebesar 0,016 persen. Nilai t hitung untuk logaritma belanja bidang infrastruktur (L_BBI) pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu negatif 4,21 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,001. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk L_BBI lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,001<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual BBI juga memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap peningkatan IPM. Meskipun demikian, respon perubahan IPM terhadap perubahan belanja bidang infrastruktur (BBI) adalah inelastis dengan koefisien elastisitas negatif 0,011. Artinya bahwa peningkatan belanja bidang infrastruktur (BBI) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan menurunkan IPM sebesar 0,011 persen. Nilai t hitung untuk L_INVt-1 pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 4,14 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,001. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk L_INVt-1 lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,001 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual L_INVt-1 memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap L_IPM. Artinya adalah setiap kenaikan investasi tahun sebelumnya akan mengakibatkan peningkatan IPM tahun berjalan. Meskipun demikian, respon perubahan IPM tahun berjalan terhadap perubahan investasi tahun sebelumnya (INVt-1 ) adalah inelastis dengan koefisien elastisitas sebesar 0,029. Artinya bahwa peningkatan investasi daerah tahun sebelumnya (INVt-1 ) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan IPM tahun berjalan sebesar 0,029 persen. Nilai t hitung untuk logaritma upah minimum kota (L_UMK) pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 12,63 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,000. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk L_UMK lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,000<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual UMK juga memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap IPM. Artinya adalah semakin tinggi nilai upah minimum kota (UMK) akan meningkatkan IPM. Meskipun demikian, respon perubahan IPM terhadap perubahan upah minimum kota (UMK) adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,05. Artinya bahwa peningkatan upah minimum kota (UMK) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan IPM sebesar 0,05 persen. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator komposit tunggal yang digunakan untuk mengukur pencapaian pembangunan manusia yang telah dilakukan di suatu wilayah. Walaupun tidak dapat mengukur semua dimensi dari pembangunan manusia, namun mampu mengukur semua dimensi pokok pembangunan manusia yang dinilai mencerminkan status kemampuan dasar penduduk. Ketiga kemampuan dasar itu adalah umur panjang dan sehat yang diukur melalui angka harapan hidup waktu lahir, berpengetahuan dan berketerampilan yang diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, serta akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup layak yang diukur dengan pengeluaran konsumsi. Pemerintah Kota Bogor menempatkan pembangunan manusia sebagai salah satu pusat perhatian dalam pembangunan daerah, yang direfleksikan dengan keterkaitan dan keterpaduan pembangunan yang mengarah kepada upaya pencapaian IPM Kota Bogor dengan tiga komponen utama yaitu Indeks Pendidikan, Kesehatan dan Indeks Daya Beli. Secara umum indikator peluang hidup dapat diukur menggunakan Angka Harapan Hidup waktu lahir (e0 ) yang dihitung dengan metode tidak langsung (biasanya metode Brass atau varian Trussel). Data dasar yang digunakan untuk menghitung metode tidak langsung adalah „rata-rata anak lahir hidup” dan “ratarata anak masih hidup”. Komponen pengetahuan diukur dari kombinasi angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Angka Melek Huruf diolah dari variabel kemampuan baca-tulis. Rata-rata lama sekolah dihitung dengan menggunakan dua variabel dasar dalam kuesioner KOR-Susenas, yaitu kelas tertinggi yang pernah /sedang diduduki dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Komponen standar hidup layak diukur dengan rata-rata konsumsi riil per kapita yang telah disesuaikan dengan metode Atkinson. Komponen penyusun IPM dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, sehingga indikator utama dalam IPM merupakan outcome. Karena outcome tidak terjadi dalam jangka pendek, akan tetapi merupakan hasil dari suatu proses, maka yang menjadi ukuran pencapaian IPM adalah indikator output. Apabila outputnya menunjukkan arah positif, maka kita perkirakan outcome (indikator IPM) juga akan meningkat. Belanja bidang pendidikan (BBP) secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap indeks pembangunan manusia (IPM), meskipun demikian dari segi ekonomi masih memberikan pengaruh yang positif bagi peningkatan indeks pembangunan manusia walaupun responnya inelastis dengan koefisien elastisitas 0,002. Kondisi infrastruktur pendidikan di Kota Bogor relatif sudah baik sejak tahun 2000 sehingga belanja bidang pendidikan sulit untuk mengangkat nilai IPM karena sudah berada di level yang tinggi. Menurut BPS Kota Bogor ( 2012) pembangunan bidang pendidikan mampu meningkatkan Angka Partisipasi Murni (APM) SD Sederajat pada tahun 2010 mencapai 99,28persen meningkat 6,59persen dibanding tahun 2009 sebesar 92,69 persen dan melebihi target RPJMD sebesar 94persen. APM SMP Sederajat mencapai 74,27persen meningkat sebesar 2,31persen dibanding tahun 2009 sebesar 71,95 persen, melebihi target RPJMD sebesar 74persen. APM SMA Sederajat mencapai 83,09persen meningkat sebesar 3,09persen dibanding tahun 2009 sebesar 70persen, melebihi target RPJMD sebesar 73persen. Adapun Angka Putus Sekolah (APS) SD sederajat sebesar 0,05 persen, belum dapat ditekan sesuai target RPJMD 0,03persen, Angka Putus Sekolah (APS) SMP sederajat sebesar 0,13persen, belum dapat ditekan sesuai target RPJMD 0,07persen., Angka Putus Sekolah (APS) SMA sederajat sebesar 0,36persen, melebihi target RPJMD 0,80persen., Angka Kelulusan SD sederajat sebesar 97,84persen, belum dapat tercapai sesuai target RPJMD 100persen, Angka Kelulusan SMP sederajat sebesar 99,54persen, melebihi target RPJMD sebesar 99persen., Angka Kelulusan SMA sederajat sebesar 100persen, melebihi target RPJMD sebesar 99persen. dan guru yang telah memiliki sertifikat pendidik mencapai 4.127 guru meningkat dari tahun 2009 yaitu 3.226. Hal ini menunjukan bahwa 40persen guru Kota Bogor telah tersertifikasi. Jumlah sarana pendidikan SD sederajat sebanyak 341 unit, SMP/sederajat sebanyak 146 unit, dan jumlah sarana SMA/SMK/MA sederajat sebanyak 126 unit, sedangkan jumlah tenaga pengajar /Guru SD sederajat sebanyak 4.867, Guru SMP sederajat sebanyak 3.473, dan jumlah guru SMA/SMK/MA sederajat sebanyak 4.084 orang. Menurut kajian SNSE kota Bogor tahun 2011 (Bapeda, 2012), kondisi ketenagakerjaan di Kota Bogor tahun 2011 menunjukkan fenomena hampir sama dengan kondisi tahun 2008, dimana terdapat perbedaan yang cukup besar antara pendapatan karyawan di sektor jasa swasta, bangunan dengan sektor lain di Kota Bogor. Berdasarkan rasio surplus usaha dan upah, pendapatan tenaga kerja di sektor jasa swasta relatif lebih besar dibandingkan dengan pendapatan tenaga kerja di sektor-sektor lainnya. Untuk mempersempit kesenjagan tersebut, sebaiknya pemerintah memberikan kebijakan yang memihak terhadap kesejahteraan karyawan, contohnya keterampilan tenaga kerja ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan sehingga produktivitas tenaga kerja di Kota Bogor akan meningkat. Hal tersebut pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan mereka. 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. 2. 3. 4. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa rasio tranfer (DAU dan DAK) terhadap total penerimaan daerah menunjukkan negative slope , dan rasio pendapatan daerah (PAD dan DBH) terhadap total penerimaan daerah menunjukkan positive slope sehingga dapat dikatakan kota Bogor mandiri dalam penerimaan daerah walaupun masih tergantung ke pemerintah pusat. Secara empiris penelitian ini juga membuktikan bahwa besarnya total belanja daerah (TBD) dipengaruhi oleh jumlah dana alokasi umum (DAU) dan pendapatan daerah. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa bahwa respon total belanja daerah (TBD) lebih besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD) daripada dana transfer (DAU), sehingga dapat dikatakan bahwa kota Bogor sekarang ini lebih mandiri dalam penerimaan daerah. Pertumbuhan ekonomi kota Bogor dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh investasi daerah tahun sebelumnya (INVt-1 ), belanja bidang infrastruktur (BBI), belanja bidang pendidikan tiga tahun sebelumnya (BBPt-3 ) dan total angkatan kerja (TK). Penelitian ini juga menunjukkan bahwa upah minimum kota (UMK) berpengaruh signifikan secara negatif terhadap investasi daerah (INV) di kota Bogor. Upah minimum kota (UMK), belanja bidang kesehatan (BBK), dan investasi tahun sebelumnya (INVt-1 ) berpengaruh signifikan positif terhadap indeks pembangunan manusia (IPM). Saran 1. 2. 3. 4. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang memerlukan perbaikan dan pengembangan dalam studi-studi selanjutnya, karena belum mencakup aspek-aspek lain yang mungkin merupakan faktor penting, misalnya aspek kelembagaan, kebijakan publik, politik, manajemen keuangan, dan aspek gaya kepemimpinan di pemerintah kota Bogor. Disarankan memperbaiki hubungan atau interaksi Pemkot dengan pelaku usaha, ikut serta dalam perencanaan program pengembangan usaha, dan meningkatkan kapasitas dan integritas Walikota. Disarankan pemkot Bogor harus memperbesar persentase belanja modal terhadap total belanja daerah. Sejalan dengan meningkatnya investasi dan belanja modal akan bertambah lapangan kerja baru, sehingga penyerapan tenaga kerja akan meningkat. Disarankan pemkot bogor untuk meningkatkan pelatihan buat tenaga kerja baik lewat peningkatan belanja bidang pendidikan maupun mengajak swasta untuk terlibat dalam pendidikan melalui program CSR-nya. Dengan adanya pendidikan dan pelatihan ini akan meningkatkan ketrampilan tenaga kerja yang pada akhirnya proses peningkatan upah minimum kota tidak ditentang oleh pengusaha. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Sukriy dan Halim. 2003. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah Studi Kasus Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali. Simposium Nasional Akuntansi VI. Yogyakarta, Hal 1140-1159. Andrea, F. 2009. Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal dan Kualitas Pembangunan Manusia. Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. Arief, H. 2001. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi di Propinsi Jawa Tengah, Tesis S2 MEP UGM. Yogyakarta (Tidak dipublikasikan). Arsyad, L. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta, BPFE-UGM. Aschauer, D.A. 1989. Public Investment and Productivity Growth in The Group of Seven. Economic Perspective, Vol 13. Atmaja, I.B.R.S. 2001, Peranan Investasi Swasta, Investasi Sektor publik dan Pertumbuhan Penduduk Terhadap Pertumbuhan GDP di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 15, No.2. BPS Provinsi Banten. 2011. Indikator Perekonomian Provinsi Banten. 20082011. Serang. BPS DKI Jakarta. 2011. Indikator Perekonomian Jakarta. Jakarta. BPS Provinsi Jawa Barat. 2011. Indikator Perekonomian Provinsi Jawa Barat. Bandung. BPS Kota Bogor. 2011. Kota Bogor Dalam Angka 2007-2010. Kota Bogor. Bird, Richard M and Varllancourt, Francouis. 1998. Fiscal Decentralization in Developing Countries. Cambridge University Press, UK Boediono, 1999. Teori Pertumbuhan Ekonomis seri sinopsis, Edisi Pertama. Cetakan keenam, BPFE. Yogyakarta. Davey, K.J. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah Praktek-Praktek Internasional dan Relevansinya bagi Dunia Ketiga, terjemahan. UIPress. Deller, Steven, Craig, M. dan Victor, L. 2002. Winconsin local government, state shared revenues and the illusive flypaper effect. University of Winconsin-Madison, Working Paper. Djojohadikusuma, S. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. LP3ES. Jakarta. Fischer and Ronald, C. 1996. State and Local Public Finance. Chicago: Irwin. Glasson, J. 1997. An Introduction to Regional Planning. London Hutchinson Educational. Gujarati, D. 1999. Essential of Econometrics, McGraw-Hill.Inc. Second Edition, London. Halim, A. 2002. Seri Akuntansi Sektor Publik-Akuntansi Keuangan Daerah. Salemba Empat. Jakarta. 80 Hamid, E.S. 1999. Peran dan Intervensi Pemerintah dalam Perekonomian. Ekonomi dan Keuangan Indonesia Vol. XLXV No. 8 Herlambang, T., Sugiarto, Bastoro dan Said, K. 2001. Ekonomi Makro ; Teori Analisis dan Kebijakan. Gramedia, Jakarta. Hendrik, Y. 2009. Analisis Pengaruh Kapasitas Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Dairi. Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. Hyman, David, N. 1996. Public Finance : A Contemporary Aplication of Theory to Policy, The Dryden Press, Harcourt Brace College, Publisher. Imam, G. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Insukindro, Mardiasmo, Widayat W., Wihana K.J., Purwanto, Halim, A., Suprihanto, J., Purnomo, B. 1994. Peranan Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Usaha Peningkatan PAD. Laporan hasil penelitian KKD, FE-UGM, Yogyakarta. Ira, S. 1996. Pengaruh Penggunaan Variabel Demografi dalam Model Pertumbuhan Ekonomi : Kasus 25 Propinsi di Indonesia, 1983-1992, Ekonomi Keuangan Indonesia, Vol. XLIX No.2. Jhingan, M.L. 1999. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, diterjemahkan oleh D.Guritno, Edisi ke Tujuh. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Jones, B.M. 1996. Local Government Financial Management. Hertfordshire : ICSA Publishing. Juanda, B. 2009. Ekonometrika, Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press, Bogor. ------------- . 2009 b. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis. IPB Press, Bogor. Kaldor, N. 1970. The Case for Regional Policies. Scotitish Journal of Political Economy, No. 17. Kim, S.T. 1997. The Role of Local Public Sectors in Regional Growth in Korea. Asian Economic Journal, Vol. 11 No. 21, 155-168. Kuncoro, M. 1997. Ekonomi Pembangunan : Teori, Masalah dan Kebijakan. YKPN, Yogyakarta. Kuznet, S. 1955. Economic Growth and Inequalities. American Economic Review. Lee, Robert, D. and Ronald, W.J. 1998. Public Budgeting System 6th Edition. AN Asper Publication Gaithering, Maryland. Lewis, J.W. 1969. The Social Limits of Political Charge dalam Modernization by Design. CH. Morse, e.a, Cornell University Press. Maiharyanti, E. 2010. Pengaruh Pendapatan Daerah Terhadap Indeks Pembangunan Manusia dan Belanja Modal Sebagai Variabel Intervening Pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh Nanggroe Darussalam. Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. Maimunah, M. 2006. Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang. 81 Mangkoesoebroto dan Guritno. 1998. Ekonomi Publik, BPFE, Edisi 3, Yogyakarta. Mankiw, N.G. 2000, Macroeconomics. Fourth Edition. Worth Publisher Inc, New York. Mc Cawley, Peter, Booth dan Anne. 1982. Ekonomi Orde Baru, Jakarta LP3ES Mc Kee, D., Dean, Robert. D., Leahly dan William, H. 1970. Regional Economics : Theory and Practice. New York, PP 93-103 Miller, Stephen, M. dan Frank, R.S. 1997. Fiscal Structure and Economic Growth at the State and Local Level, Public Finance Review, Vol. 25 No. 3, 213-237. Mulyono, 1999. Pengaruh Dana Pembangunan APBD tingkat I terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Tengah, Tesis S2 MEP UGM Yogyakarta (Tidak di publikasikan). Musgrave, Richard, A. dan Peggy, B.M. 1989. Public Finance in Theory and Practice, Mc Graw-Hill. Myrdal, G. 1957. Economic Theory and Underdevelopment Regions, London. Nicholson, W. 1994. Teori Ekonomi Mikro Prinsip Dasar dan Pengembangannya. Rajawali Pers, Jakarta. Nopirin, 1999. Pengantar Ilmu Ekonomi Makro & Mikro. BPFE, Yogyakarta. Nurmanaf, A.R. 1999. Kesenjangan Pengeluaran Pembangunan antar Wilayah dan Propinsi di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Vol XLVII, Nomor 4, 58-62. Pancawati, N. 2000. Pengaruh Rasio Kapital Tenaga Kerja, Tingkat Pendidikan, Stok Kapital dan Pertumbuhan Penduduk Terhadap Pertumbuhan GDP di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 15,No. 2. Prasetyo, S. 2001. Teori Pertumbuhan Berbasis Ekonomi (Ekspor) : Posisi dan Sumbangannya Bagi Perbendaharaan Alat-alat Analisis Regional, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 16, No.1. Reksoprayitno dan Soediyono, 1997. Ekonomi Makro : Pengantar Analisis Pendapatan Nasional, Edisi Kelima, Cetakan Ketiga, Liberty, Yogyakarta. Republik Indonesia, 2004. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Republik Indonesia, 2004. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Rustiadi, E., Saefulhakim, S. dan Panuju, D.R. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Samuelson, P.A. dan Nordhaus, W.D. 1996. Makro Ekonomi, Edisi keempatbelas, alih bahasa Haris Munandar dkk. Erlangga, Jakarta. Sidik, Machfud, B., Mahi, R., Simanjuntak, R. dan Brodjonegoro, B. 2002. Dana Alokasi Umum – Konsep, Hambatan dan prospek di Era Otonomi Daerah. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Simandjuntak, D.J., Isman, S. 1985. Persoalan Pokok Sehubungan dengan Hutang Luar Negeri Indonesia, Seminar di UAJ Yogyakarta. 82 Singgih, S. 2000. SPSS Mengolah Data Statistik Secara Profesional, Elex Media Komputindo. Siti, A.T.R. 2000. Peranan Sektor Publik Lokal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia, Tesis MEP UGM Yogyakarta (Tidak dipublikasikan). Sukanto, R. 2001. Kemampuan Aparatur Daerah :Kunci Utama, Prisma No.12. Sukirno, S. 2000. Makroekonomi Modern, PT. Raja Grafindo, Jakarta. -------------- 2007. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan, Kencana Prenada Media Group, Edisi 2, Jakarta. Tambunan, T.H, 2001, Perekonomian Indonesia, Teori dan Temuan Empiris. Ghalia Indonesia, Jakarta. Todaro, M.P. dan Smith S.C. 2006. Pembangunan Ekonomi (jilid 1), terjemahan, cetakan kesembilan, Penerbit Erlangga, Jakarta. RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Februari 1966 di Perbulan, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara, putera ketiga dari lima bersaudara dari ayahanda bernama Jamaludin Sembiring (Alm) dan ibunda bernama Ukur Malem Br. Ginting (Almh). Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Medan pada tahun 1985 dan meneruskan studi pada program studi ilmu tanah, jurusan budidaya pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala melalui program penyelusuran minat dan kemampuan (PMDK). Skripsi berjudul “Pengaruh Penanaman dan Pembenaman Tanaman Pentup Tanah (Cover crops) terhadap Perubahan Kesuburan Tanah” merupakan karya akhir penulis dan lulus pada tahun 1990. Pada tahun 2009 penulis mendapat kesempatan belajar di Program studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Karir penulis dimulai di Universitas Syiah Kuala sewaktu kuliah di tingkat akhir dengan menjadi surveyor dan analis tanah untuk lokasi pengembangan perkebunan dan transmigrasi sebelum kemudian berkarir di PT. Almasentra Konsulindo (Jakarta) sebagai kunsultan junior dalam bidang evaluasi lahan pada tahun 1993. Mulai awal tahun 2013 penulis bekerja di PT. Multi Kreasi Mandiri (MCM) sebagai tenaga ahli dan juga memulai kegiatan sebagai wirausahawan khususnya pada bidang perdagangan. Sejak tahun 2009 ikut mengabdikan diri sebagai pengajar paruh waktu di Program Diploma Institut Pertanian Bogor. Sebuah artikel yang berjudul “Pembangunan Kota Bogor Berbasis Semangat Kemandirian” akan diterbitkan pada Jurnal Sosiohumaniora. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S2 penulis. Lampiran 1 Data Pendukung Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 TPD (juta) DAU(juta) 10176,80 0,00 13998,88 0,00 18957,10 0,00 22504,52 0,00 25990,17 0,00 33264,03 0,00 49143,92 0,00 69156,66 0,00 73211,39 0,00 78524,43 0,00 91810,92 0,00 232806,15 145936,04 268719,10 165870,00 342018,08 197420,00 384595,66 205937,15 421439,92 214806,00 536012,12 302515,00 635463,45 359576,51 718083,40 397366,56 837416,44 439246,35 899450,96 426093,61 1141638,16 472888,33 DAK PAD(juta) 0,00 6551,71 0,00 9210,08 0,00 9631,79 0,00 10754,31 0,00 12676,15 0,00 17322,22 0,00 21480,23 0,00 23600,78 0,00 20978,47 0,00 17311,69 0,00 20165,72 0,00 26787,46 0,00 31173,87 4100,00 41454,15 5500,00 50644,04 4000,00 66707,30 7620,00 69300,01 7587,70 79819,17 14056,00 97768,14 21019,00 125313,31 9756,70 134739,60 8524,95 230449,65 DBH 455,38 544,68 672,65 1412,12 2229,70 2845,94 3126,79 5772,58 7405,61 10613,87 13622,75 36097,20 45118,73 52924,29 65318,61 70303,87 80483,18 90235,98 108784,00 130310,45 148687,62 120803,37 TBD (juta) 9828,26 13487,75 18087,88 20841,34 24976,12 31844,64 44591,19 62453,07 67696,41 73604,10 85625,66 206249,48 268267,90 343987,82 328228,76 360829,40 468762,39 527386,52 673652,88 776877,00 956682,80 1074576,51 BRD(juta) 7619,33 7520,39 9598,59 11103,30 14921,71 17632,61 20642,15 26024,55 34316,73 53094,53 63991,07 160436,21 197555,85 220878,61 312094,31 318388,70 390875,26 455485,21 434992,68 494678,24 632618,20 718876,77 BMD (juta) BBP (juta) BBK (juta) 2208,93 1048,33 251,30 5967,36 2422,69 403,11 8489,29 2007,49 365,19 9738,04 1884,29 378,44 10054,41 1419,06 366,53 14212,03 1204,86 552,88 23949,04 1400,08 978,31 36428,52 2518,64 812,61 33379,67 3234,24 1012,28 20509,57 4736,99 992,67 21634,59 4755,01 1436,34 45813,27 9067,94 1880,00 70712,05 14318,48 4704,80 123109,22 15179,73 7161,31 16134,44 105064,33 20173,69 42440,69 115499,62 22177,40 77887,13 150048,42 28811,21 71901,31 132599,27 15870,68 238660,20 208541,18 35279,58 282198,76 267033,95 41747,96 324064,60 294666,79 55340,62 355699,75 369428,20 53666,25 BBI (juta) 1810,84 2727,74 3280,74 2720,18 3325,11 4574,38 5866,92 10382,32 6223,71 5519,57 6351,09 10097,70 15072,84 17366,63 37214,98 40911,28 53148,85 41456,41 148338,20 243527,55 293803,54 302453,72 Lampiran 1 Lanjutan Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 PDRB (Juta) 2.001.433,12 2.108.309,64 2.204.448,56 2.319.520,78 2.460.779,59 2.613.840,08 2.770.931,87 2.912.526,49 2.452.347,31 2.534.010,47 2.671.607,24 2.823.430,21 2.986.837,37 3.168.185,54 3.361.438,93 3.567.230,91 3.782.273,71 4.012.743,17 4.252.821,78 4.508.705,07 4.785.434,36 5.081.482,69 INV (Juta) UMK (Rp) 560.401,27 200.000 674.659,09 225.000 727.468,03 236.500 765.441,86 248.500 836.665,06 268.500 862.567,23 292.500 969.826,16 320.000 902.883,21 352.000 564.039,88 387.000 684.182,83 542.000 748.050,03 606.000 818.794,76 612.500 925.919,58 618.500 982.137,52 625.000 1.075.660,46 657.700 1.105.841,58 690.500 1.134.682,11 725.000 1.284.077,82 789.500 1.445.959,41 828.500 1.532.959,72 893.400 1.674.902,03 971.200 1.930.963,42 1.060.000 POP 254.967 263.301 264.492 265.681 266.994 266.273 275.696 285.114 656.628 668.379 743.478 760.329 789.423 820.707 831.571 855.085 879.138 905.132 942.204 946.204 969.486 987.315 TK 89554 93005 96587 100309 104172 108185 131975 160996 196400 239588 292274 301913 311786 319182 328690 337134 345751 354601 363622 411577 418742 436206 PTK 76121 79984 80167 84259 86460 89794 106741 128877 155156 182086 236157 244217 252547 258700 280504 283193 286973 292546 294098 333213 346718 362050 NPTK L_PDRB L_INV L_BMD L_UMK 13433 6,3013411 5,7484991 3,344182 5,30103 13021 6,3239344 5,8290844 3,775782 5,352183 16420 6,3433 5,8618139 3,928871 5,373831 16050 6,3653983 5,8839122 3,988472 5,395326 17712 6,3910727 5,9225516 4,002357 5,428944 18391 6,417279 5,935793 4,152656 5,466126 25234 6,4426258 5,9866939 4,379288 5,50515 32119 6,4642699 5,9556316 4,561441 5,546543 41244 6,389582 5,7513098 4,523482 5,587711 57502 6,4038084 5,8351722 4,311956 5,733999 56117 6,4267726 5,8739306 4,335149 5,782473 57696 6,4507771 5,9131751 4,660991 5,787106 59239 6,4752116 5,9665733 4,849493 5,79134 60482 6,5008106 5,9921723 5,090291 5,79588 48186 6,5265252 6,0316752 4,207754 5,818028 53941 6,5523312 6,0436929 4,627782 5,839164 58778 6,577753 6,0548742 4,891466 5,860338 62055 6,6034414 6,1085913 4,856737 5,897352 69524 6,6286772 6,1601561 5,37778 5,918293 78364 6,6540518 6,1855307 5,450555 5,951046 72024 6,6799214 6,2239894 5,510632 5,987309 74156 6,7059905 6,285774 5,551084 6,025306 IPM 65,27 65,75 66,23 66,71 67,20 67,70 68,19 68,69 69,19 69,70 70,42 71,14 71,90 72,90 74,00 74,30 74,57 74,73 75,16 75,46 75,75 76,08 85 Lampiran 2. Pendugaan Parameter Model Regression Analysis: TBD versus PAD(juta); DAU(juta) The regression equation is TBD = - 33283 + 2,51 PAD(juta) + 1,19 DAU(juta) Predictor Constant PAD(juta) DAU(juta) Coef -33283 2,5070 1,1899 S = 62836,5 SE Coef 61511 0,7033 0,3455 R-Sq = 96,2% T -0,54 3,56 3,44 P 0,603 0,007 0,009 VIF 4,428 4,428 R-Sq(adj) = 95,3% Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total DF 2 8 10 SS 8,07426E+11 31587373488 8,39014E+11 MS 4,03713E+11 3948421686 F 102,25 P 0,000 Durbin-Watson statistic = 2,19811 Residuals vs Fits for TBD Versus Fits (response is TBD) 150000 Residual 100000 50000 0 -50000 0 00 0 20 0 00 0 30 0 00 0 40 0 00 0 50 0 00 0 60 0 00 0 70 0 00 0 80 Fitted Value 0 0 0 00 00 00 0 0 0 0 0 90 10 11 86 Regression Analysis: TBD versus PAD(t-1); DAU (t-1) The regression equation is TBD = 40957 + 6,93 PAD(t-1) + 0,133 DAU (t-1) Predictor Constant PAD(t-1) DAU (t-1) Coef 40957 6,930 0,1330 S = 46952,2 SE Coef 31445 1,078 0,3052 R-Sq = 97,9% T 1,30 6,43 0,44 P 0,229 0,000 0,674 VIF 7,973 7,973 R-Sq(adj) = 97,4% Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total DF 2 8 10 SS 8,21378E+11 17636091872 8,39014E+11 MS 4,10689E+11 2204511484 F 186,29 P 0,000 Durbin-Watson statistic = 1,15041 Residuals vs Fits for TBD Versus Fits (response is TBD) 75000 50000 Residual 25000 0 -25000 -50000 200000 300000 400000 500000 600000 700000 Fitted Value 800000 900000 1000000 1100000 87 Regression Analysis: TBD versus PAD(juta); DAU (t-1) The regression equation is TBD = 55912 + 2,79 PAD(juta) + 0,949 DAU (t-1) Predictor Constant PAD(juta) DAU (t-1) Coef 55912 2,7885 0,9492 S = 60624,9 SE Coef 40860 0,6004 0,2599 R-Sq = 96,5% T 1,37 4,64 3,65 P 0,208 0,002 0,006 VIF 3,467 3,467 R-Sq(adj) = 95,6% Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total DF 2 8 10 SS 8,09611E+11 29403073642 8,39014E+11 MS 4,04805E+11 3675384205 F 110,14 P 0,000 Durbin-Watson statistic = 2,00761 Residuals vs Fits for TBD Versus Fits (response is TBD) 100000 Residual 50000 0 -50000 -100000 0 200000 400000 600000 Fitted Value 800000 1000000 1200000 88 Regression Analysis: BRD versus PAD(juta); DAU (t-1) The regression equation is BRD = 96536 + 1,65 PAD(juta) + 0,597 DAU (t-1) Predictor Constant PAD(juta) DAU (t-1) Coef 96536 1,6466 0,5968 S = 43513,8 SE Coef 29327 0,4309 0,1865 R-Sq = 95,2% T 3,29 3,82 3,20 P 0,011 0,005 0,013 VIF 3,467 3,467 R-Sq(adj) = 94,0% Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total DF 2 8 10 SS 2,98481E+11 15147615167 3,13628E+11 MS 1,49240E+11 1893451896 F 78,82 P 0,000 Durbin-Watson statistic = 2,10370 Residuals vs Fits for BRD Versus Fits (response is BRD) 50000 Residual 25000 0 -25000 -50000 100000 200000 300000 400000 500000 Fitted Value 600000 Regression Analysis: BMD versus PAD(juta); DAK; BRD; DBH 700000 800000 89 The regression equation is BMD = - 70251 + 1,96 PAD(juta) - 2,87 DAK - 0,642 BRD + 3,78 DBH Predictor Constant PAD(juta) DAK BRD DBH Coef -70251 1,9608 -2,867 -0,6416 3,7815 S = 23908,9 SE Coef 23946 0,4508 2,608 0,2539 0,9571 R-Sq = 97,7% T -2,93 4,35 -1,10 -2,53 3,95 P 0,026 0,005 0,314 0,045 0,008 VIF 12,568 4,428 35,375 21,797 R-Sq(adj) = 96,2% Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total DF 4 6 10 SS 1,48117E+11 3429818233 1,51547E+11 MS 37029348711 571636372 F 64,78 P 0,000 Durbin-Watson statistic = 1,80641 Residuals vs Fits for BMD Versus Fits (response is BMD) 30000 20000 Residual 10000 0 -10000 -20000 -30000 -40000 0 100000 200000 Fitted Value 300000 400000 90 Regression Analysis: BBP versus PAD(juta); DAK; DBH; DAU(juta) The regression equation is BBP = - 63781 + 1,30 PAD(juta) + 1,86 DAK + 1,63 DBH - 0,167 DAU(juta) Predictor Constant PAD(juta) DAK DBH DAU(juta) Coef -63781 1,2974 1,862 1,6298 -0,1667 S = 22177,9 SE Coef 29074 0,3028 2,420 0,6197 0,2706 R-Sq = 98,0% T -2,19 4,28 0,77 2,63 -0,62 P 0,071 0,005 0,471 0,039 0,561 VIF 6,593 4,433 10,619 21,804 R-Sq(adj) = 96,6% Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total DF 4 6 10 SS 1,43120E+11 2951156525 1,46071E+11 MS 35780067558 491859421 F 72,74 P 0,000 Durbin-Watson statistic = 2,0337 Residuals vs Fits for BBP Versus Fits (response is BBP) 30000 20000 Residual 10000 0 -10000 -20000 -30000 -40000 0 100000 200000 Fitted Value 300000 400000 91 Regression Analysis: BBK versus PAD(juta); DAK; DBH; DAU(juta) The regression equation is BBK = - 16902 + 0,0814 PAD(juta) - 0,466 DAK + 0,407 DBH + 0,0143 DAU(juta) Predictor Constant PAD(juta) DAK DBH DAU(juta) Coef -16902 0,08136 -0,4661 0,40660 0,01428 S = 1597,05 SE Coef 2094 0,02181 0,1743 0,04462 0,01948 R-Sq = 99,6% T -8,07 3,73 -2,67 9,11 0,73 P 0,000 0,010 0,037 0,000 0,491 VIF 6,593 4,433 10,619 21,804 R-Sq(adj) = 99,3% Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total DF 4 6 10 SS 3494259595 15303366 3509562962 MS 873564899 2550561 F 342,50 P 0,000 Durbin-Watson statistic = 1,98942 Residuals vs Fits for BBK Versus Fits (response is BBK) 2000 Residual 1000 0 -1000 -2000 0 10000 20000 30000 Fitted Value 40000 50000 60000 92 Regression Analysis: BBI versus PAD(juta); DBH; DAU(juta); DAK; BRDt-1 The regression equation is BBI = - 88780 + 1,98 PAD(juta) + 3,24 DBH - 0,247 DAU(juta) + 0,60 DAK - 0,546 BRDt-1 Predictor Constant PAD(juta) DBH DAU(juta) DAK BRDt-1 Coef -88780 1,9774 3,2405 -0,2470 0,601 -0,5458 S = 22801,0 SE Coef 30873 0,3582 0,6484 0,3277 2,587 0,1947 R-Sq = 98,1% T -2,88 5,52 5,00 -0,75 0,23 -2,80 P 0,035 0,003 0,004 0,485 0,825 0,038 VIF 8,726 10,998 30,265 4,790 20,297 R-Sq(adj) = 96,2% Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total DF 5 5 10 SS 1,33092E+11 2599430083 1,35691E+11 MS 26618392666 519886017 F 51,20 P 0,000 Durbin-Watson statistic = 2,17397 Residuals vs Fits for BBI Versus Fits (response is BBI) 30000 Residual 20000 10000 0 -10000 -20000 0 50000 100000 150000 200000 Fitted Value 250000 300000 93 Regression Analysis: L_INV versus L_PDRB; L_UMK; L_PADt-1 The regression equation is L_INV = - 8,54 + 2,59 L_PDRB - 0,121 L_UMK - 0,353 L_PADt-1 Predictor Constant L_PDRB L_UMK L_PADt-1 Coef -8,545 2,5877 -0,12103 -0,35264 S = 0,0205038 SE Coef 1,053 0,1928 0,05638 0,06740 R-Sq = 98,3% T -8,11 13,42 -2,15 -5,23 P 0,000 0,000 0,046 0,000 VIF 26,098 8,384 37,655 R-Sq(adj) = 98,0% Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total DF 3 18 21 SS 0,44381 0,00757 0,45137 MS 0,14794 0,00042 F 351,89 P 0,000 Durbin-Watson statistic = 1,96248 Residuals vs Fits for L_INV Versus Fits (response is L_INV) 0,04 0,03 Residual 0,02 0,01 0,00 -0,01 -0,02 -0,03 -0,04 5,7 5,8 5,9 6,0 Fitted Value 6,1 6,2 6,3 94 Regression Analysis: PTK versus UMK; TK; INV; PTK(t-1); DOTD The regression equation is PTK = - 12225 - 0,119 UMK + 0,800 TK + 0,0204 INV + 0,368 PTK(t-1) - 17365 DOTD Predictor Constant UMK TK INV PTK(t-1) DOTD Coef -12225 -0,11907 0,79989 0,020379 0,3675 -17365 S = 3738,39 SE Coef 5373 0,04824 0,08471 0,008321 0,1199 9098 R-Sq = 99,9% T -2,28 -2,47 9,44 2,45 3,06 -1,91 P 0,037 0,025 0,000 0,026 0,007 0,074 VIF 21,639 19,988 13,846 27,485 32,579 R-Sq(adj) = 99,9% Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total DF 5 16 21 SS 2,10895E+11 223608974 2,11119E+11 MS 42179061506 13975561 F 3018,06 P 0,000 Durbin-Watson statistic = 2,020964 Residuals vs Fits for PTK Versus Fits (response is PTK) 10000 7500 Residual 5000 2500 0 -2500 -5000 100000 150000 200000 250000 Fitted Value 300000 350000 95 Regression Analysis: L_PDRB versus L_INVt-1; L_BBI; L_BBPt-3; L_TK The regression equation is L_PDRB = 4,69 + 0,183 L_INVt-1 + 0,0593 L_BBI + 0,0461 L_BBPt -3 + 0,0535 L_TK Predictor Constant L_INVt-1 L_BBI L_BBPt-3 L_TK Coef 4,6873 0,18275 0,05929 0,04611 0,05353 S = 0,0149070 SE Coef 0,4001 0,06609 0,02149 0,01352 0,02729 T 11,71 2,77 2,76 3,41 1,96 R-Sq = 98,7% P 0,000 0,013 0,013 0,003 0,066 VIF 8,542 21,663 13,363 4,441 R-Sq(adj) = 98,4% Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total DF 4 17 21 SS 0,291366 0,003778 0,295144 MS 0,072841 0,000222 F 327,79 P 0,000 Durbin-Watson statistic = 2,07520 Residuals vs Fits for L_PDRB Versus Fits (response is L_PDRB) 0,03 0,02 Residual 0,01 0,00 -0,01 -0,02 -0,03 -0,04 6,3 6,4 6,5 Fitted Value 6,6 6,7 96 Regression Analysis: L_IPM versus L_BBP; L_BBK; L_BBI; L_INVt-1; L_UMK The regression equation is L_IPM = 1,37 + 0,00200 L_BBP + 0,0161 L_BBK - 0,0113 L_BBI + 0,0289 L_INVt-1 + 0,0503 L_UMK Predictor Constant L_BBP L_BBK L_BBI L_INVt-1 L_UMK Coef 1,37494 0,002004 0,016129 -0,011260 0,028874 0,050277 S = 0,00144993 SE Coef 0,04505 0,002130 0,002744 0,002672 0,006968 0,003982 R-Sq = 98,7% T 30,52 0,94 5,88 -4,21 4,14 12,63 P 0,000 0,361 0,000 0,001 0,001 0,000 VIF 19,470 13,020 15,411 10,038 8,362 R-Sq(adj) = 98,6% Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total DF 5 16 21 SS 0,0105849 0,0000336 0,0106185 MS 0,0021170 0,0000021 F 1006,98 P 0,000 Durbin-Watson statistic = 2,01465 Residuals vs Fits for L_IPM Versus Fits (response is L_IPM) 0,002 Residual 0,001 0,000 -0,001 -0,002 1,81 1,82 1,83 1,84 1,85 1,86 Fitted Value 1,87 1,88 1,89