dampak investasi, belanja pemerintah dan

advertisement
DAMPAK INVESTASI, BELANJA PEMERINTAH DAN
ANGKATAN KERJA TERHADAP KINERJA EKONOMI
DI KOTA BOGOR
ALMASRIL SEMBIRING
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Investasi, Belanja
Pemerintah dan Angkatan Kerja terhadap Kinerja Ekonomi di Kota Bogor adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Almasril Sembiring
NIM. H152090051
RINGKASAN
ALMASRIL SEMBIRING. Dampak Investasi, Belanja Pemerintah dan
Angkatan Kerja terhadap Kinerja Ekonomi di Kota Bogor. Dibawah
bimbingan EKA INTAN KUMALA PUTRI dan BAMBANG JUANDA.
Peranan pemerintah daerah di Indonesia dapat dianggap sangat dominan
sejak digulirkannya era otonomi daerah pada tahun 2001. Sebagai implikasi dari
pemberian kewenangan yang semakin luas kepada daerah, daerah dituntut untuk
dapat secara mandiri melaksanakan pembangunan, baik dari sisi perencanaan
maupun pelaksanaannya sesuai prinsip-prinsip otonomi daerah.
Pertumbuhan
ekonomi tidak bisa lepas dari peran pengeluaran pemerintah di sektor layanan
publik. Pengeluaran pemerintah daerah diukur dari total belanja rutin dan belanja
pembangunan yang dialokasikan dalam anggaran daerah. Sementara itu belanja
pemerintah daerah tergantung pada penerimaan daerah yang meliputi transfer dan
pendapatan asli daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tentang
peranan dana transfer dan pendapatan daerah dalam anggaran dan belanja serta
menganalisis besarnya dampak investasi, belanja pemerintah dan angkatan kerja
terhadap kinerja ekonomi di kota Bogor. Metode yang digunakan adalah analisis
deskriptif dan regresi linier berganda dan diduga dengan metode Ordinary Least
Square (OLS). Untuk menganalisis kinerja ekonomi digunakan data sekunder
dengan periode tahun 1990 sampai dengan 2011. Untuk kemandirian penerimaan
daerah digunakan data sekunder dengan periode tahun 2001 sampai dengan tahun
2011.
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa rasio tranfer (DAU dan DAK)
terhadap total penerimaan daerah menunjukkan negative slope , dan rasio
pendapatan daerah (PAD dan DBH) terhadap total penerimaan daerah
menunjukkan positive slope sehingga dapat dikatakan Kota Bogor mandiri dalam
penerimaan daerah walaupun masih tergantung ke pemerintah pusat. Hasil
penelitian ini juga menunjukan bahwa DAU dan PAD berpengaruh signifikan
terhadap total belanja daerah (TBD) dan respon total belanja daerah (TBD) lebih
besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD) daripada dana transfer (DAU).
Penelitian juga menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi kota Bogor
(PDRB) dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh investasi daerah tahun
sebelumnya (INVt-1 ), belanja bidang infrastruktur (BBI), belanja bidang
pendidikan tiga tahun sebelumnya (BBPt-3 ), dan total angkatan kerja (TK). Upah
minimum kota (UMK) berpengaruh signifikan secara negatif terhadap investasi
daerah (INV) di kota Bogor. Upah minimum kota (UMK), belanja bidang
kesehatan (BBK) dan investasi daerah tahun sebelumnya (INVt-1 ) berpengaruh
signifikan positif terhadap indeks pembangunan manusia (IPM).
Kata kunci: angkatan kerja, belanja pemerintah daerah, indeks pembangunan
manusia, investasi, pertumbuhan ekonomi.
SUMMARY
ALMASRIL SEMBIRING. The Impact of Total Investment, Local Goverment
Expenditure and Work Labour on Economic Growth in Bogor City. Under
direction of EKA INTAN KUMALA PUTRI and BAMBANG JUANDA.
The role of local governments in Indonesia can be considered very dominant
since the era of regional autonomy in 2001. As the implications of granting
authority ' s broader to local governments, the required to independently executing
development, both the planning or implementation is based on the principles of
regional autonomy. Economic growth cannot be separated from the role of
government spending in the public services. Local government spending is
measured from the total routine expenditure and development spending allocated
in the budget area. Meanwhile, local government expenditures depends on
regional income which includes the transfer and revenue. This study was aimed at
describing between General allocation fund and Regionally Original Income
which one has more influence on the regions’ spending, and analyze the
magnitude of the impact of investment, local government expenditures and labor
force against economic performance in Bogor city. The method used is
descriptive analysis and multiple linear regression and is suspected by the method
of Ordinary Least Square (OLS). To analyze the economic performance used
secondary data from 1990 through 2011. To analyze the independence of local
governments used secondary data from 2001 through 2011.
Identification results showed that the transfer ratio (General and Special
allocation fund) to total local revenues showed a negative slope, and the ratio of
local revenue (Local Revenue and Revenue-sharing) of the total revenues showed
a positive slope so it can be said to be Independently in revenues for Bogor city,
although still dependent to the central government. The results also show that
General allocation fund and Regionally Original Income significant effect on
total expenditures, and the response of total regional expenditures to greater
Regionally Original Income rather than transfer of funds (General allocation
fund), so it can be said that the present Bogor City more self-reliant in the
reception.
Research also shows that economic growth is positively and significantly
influenced by investment the previous year (INVt-1 ), infrastructure spending,
education spending three years earlier, and the total labor force. City minimum
wage significant negative effect on investment (INV) in Bogor City. But the city
minimum wage, health expenditures and investment the previous year (INVt-1 )
positive significant effect on the human development index.
Keywords: economic growth, Human Development Index,
goverment expenditure, work labour.
investment, local
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DAMPAK INVESTASI, BELANJA PEMERINTAH DAN
ANGKATAN KERJA TERHADAP KINERJA EKONOMI
DI KOTA BOGOR
ALMASRIL SEMBIRING
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr Ir Ma’mun Sarma, MS MEc
(Ketua Program Studi Magister Pembangunan Daerah, SPS - IPB)
Jud\ll Penelitian
Nama
NRP
Program Studi
Dampak Investasi, Belanja Pemerintah dan Angkatan
Kerja terhadap Kinerja Ekonomi di Kota Bogor
Almasril Sembiring
H152090051
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Disetujui oleh Kornisi Pembimbing ~.
Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
Anggota
Dr Ir E
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof Dr Ir Bambang J uanda, MS
Tanggal Ujian: 16 Juli 2013
Tanggal Lulus:
3 0 AU G'LD 3
Judul Penelitian
:
Nama
NRP
Program Studi
:
:
:
Dampak Investasi, Belanja Pemerintah dan Angkatan
Kerja terhadap Kinerja Ekonomi di Kota Bogor
Almasril Sembiring
H152090051
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, MSi
Ketua
Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 16 Juli 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah kinerja ekonomi, dengan judul Dampak
Investasi, Belanja Pemerintah dan Angkatan Kerja terhadap Kinerja Ekonomi di
Kota Bogor.
Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan, arahan dan
dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima
kasih dan rasa hormat yang mendalam kepada Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri,
MSi selaku ketua komisi pembimbing dan Prof.Dr.Ir.Bambang Juanda, MS.
selaku anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan berbagai masukan
dan arahan yang sangat konstruktif bagi penyempurnaan tesis ini.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS, MEc sebagai penguji luar
komisi yang telah memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan tesis ini. Dr. Ir. Setia Hadi, MS, sebagai penguji luar komisi
mewakili Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan yang
telah memberikan masukan dan saran perbaikan untuk tesis ini. Dr. Ir. Ernan
Rustiadi M.Agr, yang telah berusaha mengarahkan penulis di awal penulisan tesis
supaya lebih fokus dan terstruktural.
Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak Undang dari BPS Kota Bogor dan Bapak Nanang dari
Sek.Ekonomi Pemerintah Kota Bogor yang banyak memfasilitasi selama
pengumpulan data.
Buat Alex, Enirawan, Untung, Firman, Endang, Puji, Adam, Wawanudin,
Tabrani, Dede, Luh Putu, Isnina, Linda dan seluruh teman-teman angkatan 2010
PWD yang telah banyak mendorong dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan
karya tulis ini penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Ucapan terima kasih dan rasa rasa cinta kepada Ida Zubaedah, istri yang
begitu banyak membantu khususnya atas pengertian dan kesabarannya
mendampingi penulis dalam penyelesain tesis ini, begitu juga atas pengertian,
kesabaran dan kasih sayang ananda M.Rizqi APS.
Ucapan terima kasih dan rasa hormat yang mendalam kepada ayahanda
Jamaludin Sembiring (Alm) dan ibunda Ukur Malem Br Ginting (Almh), Bapak
H.A.Muthalib Sembiring SH dan ibu Hj. Sempat Muli Br Tarigan, Bapak
H.Fachrudin dan Ibu Hj.Nurifah (Mertua), Dr Rasidin K. Sitepu, MSi dan
Veralianta S. MSi , serta keluarga besar di Medan dan Pemalang, yang telah
memberikan doa, motivasi, dukungan, perhatian, dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor,
Juli 2013
Almasril Sembiring
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
x
xi
xi
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1
1
7
8
2
TINJAUAN PUSTAKA
Pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah
Peranan Belanja Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Peranan Investasi Swasta terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Peranan Angkatan Kerja terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan Ekonomi Regional
Teori Pertumbuhan Ekonomi Mazhab Historimus
Teori Pertumbuhan Ekonomi Mazhab Analitis
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran Teoritis
Hipotesis
9
9
9
14
16
17
19
19
25
30
32
3
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Teknik Analisis
Definisi operasional variable
35
35
35
35
39
4
GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR
Administrasi dan Geografis Kota Bogor
Kependudukan
Perekonomian Daerah
Sosial dan Budaya
Infrastruktur
40
40
40
43
47
51
5
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Deskripsi Penerimaan dan Belanja Pemkot Bogor
Model Belanja Pemkot Bogor
Model Kinerja Ekonomi Kota Bogor
Indeks Pembangunan Manusia
53
53
60
69
74
6
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
78
78
78
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
79
83
97
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Realisasi pendapatan Kota Bogor tahun 2009 - 2011
Realisasi belanja Kota Bogor tahun 2009 - 2011
PDRB perkapita kota di PKN Bodebek atas dasar harga berlaku,
tahun 2008-2011 (rupiah)
Penelitian-penelitian terdahulu
Tujuan dan alat analisis yang digunakan
Jumlah penduduk Kota Bogor menurut kecamatan dan jenis kelamin
Jumlah penduduk 15 tahun keatas menurut jenis kegiatan utama
Kota Bogor tahun 2009-2011
Jumlah penduduk 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan
usaha dan jenis kelamin Kota Bogor tahun 2011
Produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Bogor menurut
lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2006-2011
Laju pertumbuhan PDRB Kota Bogor menurut lapangan usaha
atas dasar harga berlaku tahun 2006-2011
Jumlah puskesmas, puskesmas pembantu dan puskesmas keliling
menurut kecamatan di Kota Bogor tahun 2009
IPM Kota Bogor per kecamatan dan komponennya tahun 2010
Perkembangan kemiskinan Kota Bogor tahun 2004-2010
Banyak keluarga menurut kecamatan dan klassifikasi keluarga
di Kota Bogor tahun 2010
Hasil pendugaan parameter beberapa persamaan total belanja daerah
(TBD)
Hasil pendugaan parameter persamaan belanja rutin daerah (BRD)
Hasil pendugaan parameter persamaan belanja modal daerah (BMD)
Hasil pendugaan parameter persamaan belanja bidang pendidikan
(TBD)
Hasil pendugaan parameter persamaan belanja bidang kesehatan
(BBK)
Hasil pendugaan parameter persamaan belanja bidang infrastruktur
(BBI)
Hasil pendugaan parameter persamaan investasi daerah
Hasil pendugaan parameter persamaan penyerapan tenaga kerja
(PTK)
Hasil pendugaan parameter persamaan produk domestik regional
bruto (PDRB)
Hasil pendugaan parameter persamaan indeks pembangunan
manusia (IPM)
2
3
5
28
34
41
42
43
44
46
48
48
50
51
60
62
63
65
66
68
69
71
72
74
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Perkembangan belanja Pemkot Bogor bidang pendidikan dan
kesehatan tahun 1990-2011
Efek kenaikan pengeluaran pemerintah
Bagan kerangka pemikiran teoritis
Tren jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2010
Laju pertumbuhan penduduk Kota Bogor tahun 2000-2010
Perkembangan UHH di Kota Bogor tahun 2005-2008
Perkembangan DAU, PAD, DBH dan DAK tahun 2001-2011
Persentase jumlah DAU dan DAK terhadap total penerimaan
daerah
Persentase jumlah DAU terhadap total penerimaan daerah
Persentase jumlah PAD dan DBH terhadap total penerimaan
daerah
Persentase jumlah PAD terhadap total penerimaan daerah
Perkembangan TBD, BRD dan BMD tahun 1990-2011
Perbandingan persentase BRD dan BMD di Kota Bogor tahun
1990 sampai dengan tahun 2011.
7
14
31
41
42
47
53
54
55
55
56
58
58
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
Data Pendukung
Pendugaan Parameter Model
83
85
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia mulai menempuh suatu babak baru dalam kehidupan
masyarakatnya dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, sebagaimana
dimuat dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Implikasi dari kebijakan otonomi daerah tersebut adalah daerah memiliki
kewenangan dan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan
kepentingan pemerintah daerahnya masing-masing.
Dalam pelaksanaanya,
kebijakan otonomi daerah didukung pula oleh perimbangan keuangan antara pusat
dan daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Undang-Undang ini
menegaskan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah,
pemerintah pusat akan mentransferkan dana perimbangan kepada pemerintah
daerah. Dana perimbangan tersebut terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU),
Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagian daerah dari bagi hasil pajak pusat
(DBH). Disamping dana perimbangan tersebut, pemerintah daerah juga memiliki
sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), pinjaman
daerah, maupun lain-lain penerimaan daerah yang sah. Kebijakan penggunaan
semua dana tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. Tujuan dari transfer
ini adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar-pemerintahan dan
menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum diseluruh daerah
(Simanjuntak dalam Sidik et al, 2002).
Adanya transfer dana ini bagi pemerintah daerah merupakan sumber
pendanaan dalam melaksanakan kewenangannya, sedangkan kekurangan
pendanaan diharapkan dapat digali melalui sumber pendanaan sendiri. Namun,
kenyataannya, transfer dari pemerintah pusat merupakan sumber dana utama
pemerintah daerah untuk membiayai operasi utamanya sehari-hari atau belanja
daerah, yang oleh pemerintah daerah dilaporkan di perhitungan APBD.
Indonesia, pada dekade 1990-an, persentase ini mencapai 72 persen pengeluaran
propinsi dan 86 persen pengeluaran kabupaten/kota. Amerika Serikat, persentase
transfer dari seluruh pendapatan mencapai 50 persen untuk pemerintah federal dan
60 persen untuk pemerintah daerah (Fisher, 1996). Khusus di negara bagian
Wisconsin di AS, sebesar 47 persen pendapatan pemerintah daerah berasal dari
transfer pemerintah pusat (Deller et al, 2002). Di negara-negara lain, persentase
transfer atas pengeluaran pemerintah daerah adalah 85 persen di Afrika Selatan,
67 persen sampai dengan 95 persen di Nigeria, dan 70 persen sampai dengan 90
persen di Meksiko. Adanya transfer dana dari pusat untuk pemerintah daerah
merupakan sumber pendanaan dalam melaksanakan kewenangannya, sedangkan
kekurangan pendanaan diharapkan dapat digali melalui sumber pendanaan sendiri
(PAD).
Kemampuan penerimaan keuangan pemerintah daerah (kota) relatif terbatas
(lemah), sedangkan pengeluaran keuangan untuk membiayai pembangunan pada
masa yang akan datang meningkat, oleh karena itu sumber-sumber pendapatan
daerah harus dikelola dengan efektif dan efisien. Pendapatan dan pengeluaran
keuangan daerah dikelola dalam anggaran yang berbasis kinerja.
Selama ini
2
dalam penentuan besarnya anggaran untuk setiap kegiatan digunakan pendekatan
inkremental, didasarkan pada perubahan satu atau lebih variabel yang bersifat
umum, seperti tingkat inflasi, sedangkan analisis yang mendalam mengenai
struktur, komponen dan tingkat biaya optimal untuk setiap kegiatan belum pernah
dilakukan.
Lamanya perencanaan ini pada akhirnya akan memunculkan
kemungkinan under financing atau over financing, hal ini akan mempengaruhi
tingkat efisiensi dan efektifitas unit kerja pemerintah daerah. Dalam situasi
seperti ini banyak kebijakan publik yang dijalankan secara tidak efisien dan
kurang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan publik.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bogor pada
hakikatnya merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat
untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di Kota
Bogor.
Keadilan anggaran adalah salah satu misi utama yang diemban
pemerintah kota dalam melakukan berbagai kebijakan, khususnya yang berkaitan
dengan pengelolaan anggaran daerah. Pelayanan umum akan meningkat dan
kesempatan kerja akan makin bertambah apabila fungsi alokasi dan distribusi
dalam pengelolaan anggaran telah dilakukan dengan benar, baik melalui alokasi
belanja maupun mekanisme perpajakan serta retribusi yang adil dan transparan.
Kenyataannya, transfer dana dari Pempus merupakan sumber dana utama Pemda
untuk membiayai belanja daerah.
Dilain pihak belanja pemerintah daerah
didominasi oleh belanja rutin (belanja tidak langsung ditambah dengan belanja
langsung pegawai ) relatif dibandingkan dengan belanja modal sebagaimana
ditunjukan oleh Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Realisasi pendapatan Kota Bogor tahun 2009 – 2011
APBD 2009
(Rp)
APBD 2010
(Rp)
Pajak Daerah
Retribusi Daerah
56,027,944,313.00
36,491,852,284.00
66,504,761,353.00
34,681,146,445.00
122,900,000,000.00
34,670,595,911.00
Hasil Pengelolaan Kekayaan
Daerah yang dipisahkan
11,773,311,932.00
15,137,968,088.00
13,359,865,000.00
Lain-lain Pendapatan Asli
Daerah
11,628,552,298.00
11,164,213,945.00
11,022,574,582.00
115,921,660,827.00
127,488,089,831.00
181,953,035,493
Bagi Hasil Pajak / Bagi Hasil
Bukan Pajak
130,310,453,989.00
148,687,621,387.00
97,847,944,306
Dana Alokasi Umum
439,246,348,000.00
426,093,607,000.00
473,156,910,000
UR A IA N
JUMLAH PENDAPATAN
ASLI DAERAH
DANA PERIMBANGAN
Dana Alokasi Khusus
APBD 2011
(Rp)
21,019,000,000.00
9,756,700,000.00
11,366,600,000
JUMLAH DANA
PERIMBANGAN
590,575,801,989.00
584,537,928,387.00
582,371,454,306
JUMLAH LAIN-LAIN
PENDAPATAN DAERAH
YANG SAH
JUMLAH PENDAPATAN
DAERAH
121,527,326,141.00
180,173,427,147
200,374,725,200
828,024,788,957.00
892,199,445,365
964,699,214,999
Sumber: Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Bogor, 2012.
3
Berdasarkan data series kurun waktu 2009-2011 (Tabel 1), secara keseluruhan
pendapatan daerah mengalami peningkatan dengan persentase kenaikan
berfluktuatif. Secara persentase dan nominal hanya kelompok komponen
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang secara konsisten mengalami kenaikan. Dari
tabel ini menunjukkan bahwa jumlah belanja tak langsung relatif lebih besar
dibandingkan jumlah belanja langsung. Belanja tidak langsung dipergunakan
untuk belanja rutin termasuk didalamnya gaji pegawai negri di Kota Bogor. Dari
tabel juga terlihat bahwa APBD Kota Bogor kecenderungan defisit setiap tahun.
Perubahan-perubahan dalam penerimaan, pengeluaran dan asumsi yang digunakan
diperbaiki pada APBDP.
Tabel 2. Realisasi Belanja Kota Bogor Tahun 2009-2011
APBD 2010
(Rp)
APBD 2011
(Rp)
357,368,859,024
18,971,000,000
467,833,382,206.
15,825,365,924.
59,802,094,705
88,100,168,167
521,744,732,314.00
1,244,494,845.00
27,885,445,000.00
1,437,035,600.00
58,152,948,380.00
13,232,500,000
12,132,500,000.
935,731,977.00
1,788,637,300
2782968160
4,500,000,000.00
451,163,091,029
586,674,384,457
615,900,388,116.00
43,515,147,268.
45,943,819,584
63,681,886,190
Belanja Barang dan Jasa
173,749,148,757
158,124,717,210
179,882,045,321
Belanja Modal
108,449,608,948
165,939,883,691
177,357,968,575
325,713,904,973
370,008,420,485
JUMLAH BELANJA
LANGSUNG
776,876,996,002
956,682,804,942
JUMLAH BELANJA
DAERAH
Sumber: Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Bogor, 2012.
4 20,921,900,086
NO
II.
2.1.
2.1.1
2.1.5
2.1.6
2.1.7
2.1.8
2.2.
2.2.1
.
2.2.2
.
2.2.3
.
U RAI AN
BELANJA DAERAH
BELANJA TIDAK
LANGSUNG
Belanja Pegawai
Belanja Bunga
Belanja Hibah
Belanja Subsidi
Belanja Bantuan Sosial
Belanja bagi Hasil kepada
Prop/Kab/Kota / Pemdes
Belanja Bantuan Keuangan
kepada Propinsi/Kab./Kota
dan Pemdes
Belanja Tidak Terduga
JUMLAH BELANJA TIDAK
LANGSUNG
BELANJA LANGSUNG
Belanja Pegawai
APBD 2009
(Rp)
1,036,822,288,202
Oates dalam Halim (2002) menyatakan bahwa ketika respon (belanja)
daerah lebih besar terhadap transfer daripada pendapatannya sendiri, maka disebut
flypaper effect. Abdul Halim dan Sukriy Abdullah pernah melakukan pengujian
adanya flypaper effects pada belanja daerah pemerintah kabupaten/kota di Pulau
4
Jawa dan Bali pada tahun 2001. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
flypaper effect terjadi pada DAUt-1 terhadap Belanja Daerah tahun berjalan.
Namun hasil penelitian tersebut tidak dapat digeneralisasikan untuk seluruh
wilayah Indonesia. Karena menurut Halim (2002) pemerintah kabupaten/kota di
Jawa-Bali memiliki kemampuan keuangan berbeda dengan pemerintah kabupaten/
kota di luar Jawa-Bali. Menanggapi hal tersebut, Mutiara Maimunah melakukan
penelitian yang sama pada pemerintah kabupaten/kota di Pulau Sumatra pada
tahun 2003 dan 2004. Hasil yang diperoleh konsisten dengan penelitian Halim
yaitu DAUt-1 memiliki pengaruh lebih besar dari pada PADt-1 terhadap belanja
daerah tahun berjalan. Namun ketika diuji pengaruh DAUt dan PADt secara
bersama-sama terhadap belanja daerah t, hasilnya PAD tidak signifikan dan DAU
berpengaruh terhadap belanja daerah.
Salah satu tolak ukur penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan
ekonomi adalah besaran belanja daerah bersama-sama dengan investasi swasta
dan angkatan kerja di Kota Bogor yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi
yang menggambarkan suatu dampak nyata dari kebijakan pembangunan yang
dilaksanakan.
Pertumbuhan ekonomi tidak bisa lepas dari peran pengeluaran
pemerintah di sektor layanan publik. Pengeluaran pemerintah daerah diukur dari
total belanja rutin dan belanja pembangunan yang dialokasikan dalam anggaran
daerah. Belanja pembangunan yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian
adalah belanja pembangunan infrastruktur, dan yang berpengaruh terhadap
sumberdaya manusia adalah biaya pembangunan sektor pendidikan dan
kesehatan. Semakin besar pengeluaran pemerintah daerah yang produktif maka
semakin memperbesar tingkat perekonomian suatu daerah (Wibisono, 2003).
Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan proses peningkatan produksi
barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Menurut Djojohadikusumo
(1994) dalam pertumbuhan ekonomi biasanya ditelaah proses produksi yang
melibatkan sejumlah jenis produk dengan menggunakan sarana dan prasarana
produksi, sedangkan Schumpeter dalam Boediono (1999) berpendapat bahwa
pertumbuhan ekonomi adalah sebagai peningkatan output masyarakat yang
disebabkan oleh semakin banyaknya faktor produksi yang dipergunakan dalam
proses produksi tanpa ada perubahan cara-cara atau teknologi itu sendiri. Indikator
pertumbuhan ekonomi tidak hanya mengukur tingkat pertumbuhan output dalam
suatu perekonomian, namun sesungguhnya juga memberikan indikasi tentang
sejauh mana aktivitas perekonomomian yang terjadi pada suatu periode tertentu
telah menghasilkan pendapatan bagi masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi dalam sistem pemerintahan daerah biasanya di
indikasikan dengan meningkatnya produksi barang dan jasa yang diukur melalui
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Nilai PDRB kota-kota Pusat Kegiatan
Nasional (PKN) Bodebek berdasarkan atas harga konstan 2000 tahun 2010
terbesar dimiliki oleh Kota Bekasi dengan nilai sebesar 15.476.101 juta rupiah,
kemudian Kota Depok dengan nilai 6.519.326,22 juta rupiah dan Kota Bogor
dengan nilai sebesar 4.782.307,18 juta rupiah (BPS Jawa Barat, 2011).
Pembangunan ekonomi adalah usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup
suatu wilayah yang seringkali diukur dengan tinggi rendahnya PDRB per kapita.
Tabel 3 menunjukkan bahwa besaran PDRB per kapita seluruh kota di Bodebek
5
masih dibawah rata-rata Jawa Barat. PDRB per kapita terbesar di PKN Bodebek
adalah Kota Bekasi, kemudian disusul oleh Kota Bogor dan Kota Depok.
Tabel 3 PDRB perkapita kota di PKN Bodebek atas dasar harga berlaku, tahun
2008 – 2011
Tahun
No. Kota
2008
2009
2010
2011
1
Kota Bekasi
13.473.852
13.894.462 15.280.958
17.051.881
2
Kota Bogor
11.089.020
12.788.558 14.635.801
16.009.371
3
Kota Depok
7.806.703
8.399.622
9.286.210
10.121.734
Jawa Barat
14.359.911
15.542.360 17.155.084
18.803.261
Sumber: BPS Jawa Barat Tahun 2012
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator komposit
tunggal yang digunakan untuk mengukur pencapaian pembangunan manusia yang
telah dilakukan di suatu wilayah. Walaupun tidak dapat mengukur semua dimensi
dari pembangunan manusia, namun mampu mengukur semua dimensi pokok
pembangunan manusia yang dinilai mencerminkan status kemampuan dasar
penduduk. Ketiga kemampuan dasar itu adalah umur panjang dan sehat yang
diukur melalui angka harapan hidup waktu lahir, berpengetahuan dan
berketerampilan yang diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama
sekolah, serta akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai
standar hidup layak yang diukur dengan pengeluaran konsumsi. Pada tahun 2011
nilai IPM untuk Kota Bogor dengan indeks 76,08, Kota Bekasi dengan indeks
76,72 dan Kota Depok dengan indeks 79,49.
Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan IPM Kota Bogor pada
periode studi mengalami fluktuasi dan berada di bawah PDRB kabupaten/kota
lain di PKN Bodebek, nilai PDRB per kapita Kota Bogor juga berada dibawah
rata-rata Jawa Barat,
ini merupakan masalah yang menarik untuk dikaji
mengingat sumber daya alam, prasarana penunjang relatif sama dibanding kota
lain, bahkan letak Kota Bogor berada di tengah dinilai memiliki arti strategis
tersendiri.
Menurut Todaro dan Smith (2006) ada tiga faktor atau komponen utama
yang berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi suatu daerah, ketiganya adalah
akumulasi modal, pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi. Akumulasi
modal (capital accumulation) meliputi semua jenis investasi baru baik yang
dilakukan oleh pemerintah ataupun swasta yang ditanamkan dengan bentuk tanah,
peralatan fisik, dan modal sumber daya. Akumulasi modal akan terjadi apabila
sebagian dari pendapatan ditabungkan (diinvestasikan) kembali dengan tujuan
untuk memperbesar output atau pendapatan di kemudian hari. Akumulasi modal
yang dilakukan oleh pemerintah menggambarkan seberapa besar peran
pemerintah dalam sistem perekonomian suatu daerah.
Nilai investasi PMDN dan PMA di Kota Bogor sangat fluktuatif sepanjang
tahun. Untuk tahun 2010 nilai realisasi seluruh investasi PMA dan PMDN di Kota
Bogor mencapai 1.002,665 milyar rupiah atau 104,61persen dari target RPJMD
Kota Bogor tahun 2010 sebesar 958,471 milyar rupiah. Pencapaian tersebut
antara lain dipengaruhi oleh program Peningkatan Promosi dan Kerjasama
6
Investasi. Hal ini disebabkan oleh realisasi investasi 22 perusahaan dari 47
perusahaan yang tercatat di Kota Bogor berdasarkan persetujuan BKPM, yang
terdiri dari 39 perusahaan PMA dan 8 perusahaan PMDN. Surat persetujuan
penanaman modal yang dikeluarkan selama tahun 2010 tersebut merupakan akibat
dari perluasan dan peningkatan kapasitas produksi perusahaan yang sudah
beroperasi di Kota Bogor (Pemerintah Kota Bogor, 2011). Jumlah realisasi
PMDN pada tahun 2010 sebesar 389,435 milyar rupiah atau mengalami kenaikan
sebesar 3.317,99 persen dari realisasi PMDN tahun 2009 sebesar 10,2 milyar
rupiah.
Faktor lain yang berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi adalah sumber
daya manusia yang ada di suatu wilayah. Penduduk yang bertambah dari waktu ke
waktu dapat menjadi pendorong maupun penghambat kepada pertumbuhan
ekonomi. Penduduk yang bertambah akan memperbesar jumlah tenaga kerja, dan
penambahan tersebut memungkinkan suatu daerah untuk menambah produksi.
Namun di sisi lain, akibat buruk dari pertambahan penduduk kepada pertumbuhan
ekonomi dihadapi oleh masyarakat yang tingkat pertumbuhan ekonominya masih
rendah. Hal ini berarti bahwa kelebihan jumlah penduduk tidak seimbang dengan
faktor produksi lain yang tersedia dimana penambahan penggunaan tenaga kerja
tidak akan menimbulkan penambahan dalam tingkat produksi.
Tingkat partisipasi angkatan kerja di Kota Bogor tahun 2010 mencapai
84,33 persen dari 716.428 jumlah penduduk angkatan kerja tahun 2010. Angka ini
meningkat dari tingkat partisipasi tahun 2009 yang mencapai 55,83 persen dari
363.622 jumlah penduduk angkatan kerja tahun 2009. Pencari kerja yang
ditempatkan di tahun 2010 mencapai 27,44 persen dari 4.631 pencari kerja yang
berhasil ditempatkan pada tahun 2010. Angka ini meningkat dari capaian tahun
2009 yang mencapai 7,27 persen dari 1.321 pencari kerja yang berhasil
ditempatkan tahun 2009. Tingkat pengangguran terbuka di tahun 2010 mencapai
2,36 persen dari 716.428 jumlah penduduk angkatan kerja. Angka ini meningkat
dari capaian tahun 2009 yang mencapai 4,99 persen dari 363.622 jumlah
penduduk angkatan kerja tahun 2009 (BPS Kota Bogor, 2011).
Modal manusia dalam terminologi ekonomi sering digunakan untuk untuk
bidang pendidikan, kesehatan dan berbagai kapasitas manusia lainnya yang ketika
bertambah dapat meningkatkan produktivitas. Pendidikan memainkan peran kunci
dalam hal kemampuan suatu perekonomian untuk mengadopsi teknologi modern
dan dalam membangun kapasitasnya bagi pembangunan dan pertumbuhan yang
berkelanjutan. Kesuksesan dalam pendidikan bergantung juga pada kecukupan
kesehatan. Disamping itu kesehatan merupakan prasayarat bagi peningkatan
produktivitas. Dengan demikian kesehatan dan pendidikan dapat juga dilihat
sebagai komponen vital dalam pertumbuhan dan pembangunan sebagai input bagi
fungsi produksi agregat (Todaro, 2002). Untuk mengetahui perkembangan belanja
bidang pendidikan dan kesehatan di Kota Bogor dari tahun 1990-2011 dapat
dilihat pada Gambar 1.
7
Belanja Pemkot Bogor (Rupiah)
Rp400.000.000.000
Variable
Belanja Kesehatan (Ks)
Belanja Pendidik an (Pd)
Rp300.000.000.000
Rp200.000.000.000
Rp100.000.000.000
Rp0
1990
1995
2000
2005
Tahun
2010
Gambar 1. Perkembangan Belanja Pemkot Bogor Bidang Pendidikan
dan Kesehatan Tahun 1990 – 2011
Sumber: BPS dan Bappeda Kota Bogor Tahun 2012
Gambar 1 memperlihatkan bahwa belanja pendidikan dan kesehatan sangat
fluktuatif. Belanja pendidikan mulai tumbuh setelah tahun 1999, dimana hal ini
sangat dipengaruhi oleh muncul suatu paradigma baru yaitu pembangunan yang
terpusat pada manusia (human centered development) yang dikembangkan oleh
United Nation Development Programe (UNDP). Melihat fenomena dari Kota
Bogor yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi relatif lamban yang berakibat
pada relatif rendahnya PDRB dibandingkan dengan wilayah lainnya di Bodebek,
penulis merasa tertarik untuk mengkaji sejauh mana pengaruh investasi, angkatan
kerja, dan belanja pemerintah terhadap kinerja ekonomi di Kota Bogor.
Rumusan Masalah
Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, terdapat berbagai faktor yang
mempengaruhi output suatu wilayah, yaitu total investasi, belanja pemerintah, dan
penyerapan tenaga kerja. Total investasi sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan
investasi dan penyusutan, belanja pemerintah daerah sangat dipengaruhi oleh
penerimaan daerah sementara penyerapan tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh
jumlah angkatan kerja, investasi daerah dan pengeluaran belanja pemerintah.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi Kota
Bogor relatif tumbuh di bawah angka pertumbuhan ekonomi kota-kota di
Bodebek.
Beberapa faktor yang nampaknya berpengaruh besar terhadap
pertumbuhan ekonomi Kota Bogor adalah faktor investasi, angkatan kerja dan
belanja pemerintah.
Total investasi dan angkatan kerja terampil sangat berpengaruh terhadap
jumlah output.
Tambahan investasi yang banyak tidak selalu menyebabkan
dimulainya proses perkembangan ekonomi, malahan kadang-kadang tambahan
8
investasi yang sedikit saja sudah dapat menyebabkan tumbuhnya perekonomian
dengan cepat.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa investasi itu lebih
merupakan hasil daripada merupakan sebab perkembangan ekonomi. Atau dengan
perkataan lain kemajuan perekonomian selalu menambah jumlah investasi,
sedangkan kenaikan dalam jumlah investasi belum tentu menyebabkan majunya
perekonomian.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian yang
dikemukakan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah peranan DAU, DAK, PAD dan DBH dalam penerimaan
pemerintah daerah di Kota Bogor?
2. Sejauhmana DAU, DAK, PAD dan DBH berpengaruh dalam belanja
pemerintah daerah di Kota Bogor?
3. Sejauhmana investasi, belanja pemerintah dan angkatan kerja berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Bogor?
4. Sejauhmana belanja pemerintah bidang pendidikan, bidang kesehatan dan
upah minimum kota berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia di
Kota Bogor?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah :
1.
Mengidentifikasi tentang peranan DAU, DAK, PAD dan DBH dalam
penerimaan pemerintah daerah di Kota Bogor.
2.
Mengukur dan menganalisis peranan DAU, DAK, PAD dan DBH terhadap
belanja pemerintah daerah di Kota Bogor?
3.
Mengukur dan menganalisis besarnya dampak investasi, belanja pemerintah
dan angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Bogor.
4.
Mengukur dan menganalisis besarnya dampak investasi, belanja pemerintah
dan upah minimum kota terhadap indeks pembangunan manusia di Kota
Bogor.
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1.
Secara akademis, diharapkan sebagai bahan informasi dan dapat dijadikan
referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya tentang pengaruh belanja
pendidikan, belanja kesehatan, total investasi dan angkatan kerja terhadap
pertumbuhan ekonomi di Kota Bogor.
2.
Secara praktis, diharapkan sebagai bahan pertimbangan bagi pembuat
kebijakan khususnya Pemerintah Kota Bogor dalam menentukan arah dan
strategi pembangunan di masa mendatang.
30
2
TINJAUAN PUSTAKA
Pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah
Literatur ekonomi dan keuangan daerah mendiskusikan secara luas sejak
akhir dekade 1950-an tentang hubungan pendapatan dan belanja daerah. Berbagai
hipotesis mengenai hubungan tersebut diuji secara empiris (Chang dan Ho, 2002).
Sebagian studi menyatakan bahwa pendapatan mempengaruhi belanja, sementara
sebagian lainya menyatakan bahwa belanjalah yang mempengaruhi pendapatan
(Aziz, 2000; dan Doi, 1998). Sementara studi tentang pengaruh transfer atau
grants dari pemerintah pusat terhadap keputusan pengeluaran atau belanja
Pemerintah daerah sudah berjalan lebih dari 30 tahun (Gamkhar dan Oates, 1996).
Secara teoritis, respon tersebut akan mempunyai efek distributif dan alokatif yang
tidak berbeda dengan sumber pendanaan lain, misalnya pendapatan pajak daerah
(Bradford dan Oates, 1971).
Namun, dalam studi empiris hal tersebut tidak selalu terjadi. Artinya,
stimulus terhadap pengeluaran daerah yang ditimbulkan oleh transfer atau grants
tersebut sering lebih besar dibandingkan dengan stimulus dari pendapatan (pajak)
daerah sendiri (flypaper effect). Holzt-eakin et al (1985) menyatakan bahwa
terdapat keterkaitan sangat erat antara transfer dari Pempus dengan belanja
Pemerintah daerah. Studi Legrenzi dan Milas (2001), menggunakan sampel
municipalities di Italia, menemukan bukti empiris bahwa dalam jangka panjang
transfer berpengaruh terhadap belanja daerah. Secara spesifik mereka menegaskan
bahwa variabel-variabel kebijakan Pemda dalam jangka pendek disesuaikan
(adjusted) dengan transfer yang diterima, sehingga memungkinkan terjadinya
respon yang non-linier dan asimetrik.
Gamkhar dan Oates (1996) menganalisa respon Pemda terhadap perubahan
jumlah transfer dari pemerintah federal di Amerika Serikat untuk tahun 19531991. Mereka menyatakan bahwa pengurangan jumlah transfer (cuts in federal
grants) menyebabkan penurunan dalam pengeluaran daerah. Holzt-Eakin et al
(1994) menganalisis model maximazing under uncertainty of intertemporal utility
funcion dengan menggunakan data runtun waktu selama tahun 1934-1991 untuk
mengetahui seberapa jauh pengeluaran daerah dapat dirasionalkan melalui suatu
model, dimana keputusan-keputusan didasarkan pada ketersediaan sumberdaya
secara permanen, bukan ketersediaan yang sifatnya temporer.
Mereka
menemukan bahwa semua current spending ditentukan oleh current resources.
Studi Holzt-Eakin et al (1985) menemukan bahwa grants tahun lalu dapat
memprediksi belanja tahun ini, namun sebaliknya, belanja tahun lalu tidak dapat
memprediksi pendapatan tahun berjalan.
Peranan Belanja Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Ada beberapa pertanyaan yang sering didiskusikan mengenai peranan sektor
publik dalam perekonomian. Pertanyaan tersebut berkaitan dengan mengapa
peranan sektor publik diperlukan dan apa peranan sektor publik dalam sistem
perekonomian. Menurut Musgrave (1989) ada beberapa premis yang diterima
10
secara umum dalam masyarakat bahwa, 1) komposisi output yang ada seharusnya
berada dalam garis yang sesuai dengan preferensi konsumsi individu dalam
masyarakat, 2) preferensi tersebut digunakan untuk didesentralisasikan dalam
membuat keputusan mengapa seluruh perekonomian tidak dipegang oleh swasta.
Sebuah perekonomian yang ideal, kompetitif sempurna dimana pengaturan
alokasi sumberdaya berasal dari pertukaran sukarela antara barang dan uang pada
harga pasar akan menghasilkan kuantitas maksimum barang dan jasa dari berbagai
sumber daya yang tersedia dalam perekonomian tersebut. Kenyataan yang ada,
pasar tidak selalu hadir dalam wujudnya yang ideal. Perekonomian pasar
seringkali terlilit polusi dan monopoli seiring dengan melonjaknya inflasi atau
pengangguran dan pada prakteknya pula bahwa distribusi pendapatan dalam
masyarakat Laissez-faire sangat tidak merata. Untuk mengatasi kelemahan
tersebut pemerintah mempunyai peranan penting dalam perekonomian.
Menurut Adam Smith dalam Mangkoesubroto (1998), mengemukakan
bahwa dalam perekonomian kapitalis, setiap individu yang paling tahu apa yang
paling baik bagi dirinya, sehingga dia akan melaksanakan apa yang dianggap
terbaik bagi dirinya sendiri. Setiap individu akan melaksanaskan aktivitas yang
harmonis seakan-akan diatur oleh invisible hand. Karena itu perekonomian dapat
berkembang maksimum. Sehingga Adam Smith mengatakan bahwa peran
pemerintah hanya terbatas pada pelaksanaan kegiatan yang tidak dilaksanakan
oleh pihak swasta, yaitu melaksanakan peradilan, pertahanan/keamanan, dan
pekerjaan umum. Sedangkan menurut Samuelson (1997) secara garis besar
pemerintah mempunyai tiga fungsi utama, yakni meningkatkan efisiensi,
menciptakan keadilan dan melaksanakan kebijakan stabilisasi Pemerintah yang
baik harus senantiasa berusaha menghindari dan memperbaiki kegagalan pasar
demi tercapainya efisiensi. Pemerintah juga harus memperjuangkan pemerataan
melalui program perpajakan dan redistribusi pendapatan untuk kelompok atau
golongan masyarakat tertentu. Pemerintah harus menggunakan perangkat
perpajakan, pembelanjaan dan peraturan moneter untuk menggapai stabilitas dan
pertumbuhan ekonomi, mengurangi laju inflasi dan pengangguran serta memacu
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Menurut Jones (1996) peran pemerintah dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu secara langsung dan secara tak langsung. Pengendalian secara langsung
diantaranya adalah masalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Sementara
pengendalian secara tak langsung diantaranya berhubungan dengan masalah
tingkat inflasi, tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran serta nilai
tukar.
Menurut Hyman dan David (1996); dalam sistem ekonomi negara campuran
(mixed economy) pemerintah hanya menyediakan jumlah barang dan jasa tertentu
yang tidak dapat disediakan oleh swasta serta mengatur alokasi perorangan.
Menurut Mangkoesubroto (1998), barang publik adalah beberapa jenis barang
yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, akan tetapi tidak seorangpun yang
bersedia menghasilkannya atau mungkin dihasilkan oleh pihak swasta akan tetapi
dalam jumlah yang terbatas. Barang publik mempunyai ciri-ciri : 1) tidak bersaing
(non rival in consumption) yaitu konsumsi dari seseorang tidak menyebabkan
menurunnya kemanfaatan oleh individu lainnya; 2) tidak dapat dikecualikan (non
excludability), artinya tidak seorangpun konsumen dapat dilarang dalam
memanfaatkannya. Barang dan jasa yang diproduksi pemerintah tersedia dalam
11
rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang/jasa yang relatif murah
karena harganya ditentukan rendah oleh pemerintah (subsidi), Reksohadiprodjo
(2001).
Pada sistem perekonomian campuran, pemerintah berpartisipasi dalam pasar
sebagai pembeli barang dan jasa. Pemerintah membeli input dari rumah tangga
dan mendapatkan hak kepemilikan dari sumber produktif (modal dan tanah).
Pemerintah menggunakan input untuk menghasilkan barang dan jasa yang tidak
dijual kepada sektor rumah tangga dan perusahaan, tetapi disediakan melalui
distribusi tanpa melalui pasar. Namun demikian pemerintah juga memiliki dan
menjalankan perusahaan, seperti jasa pelayanan pos, kereta api dan lainlain.Untuk membayar barang dan jasa yang dipergunakannya, pemerintah
mendapatkan pemasukan dari perusahaan dan rumah tangga, seperti hasil
pembayaran pajak, retribusi, royalti dan fee. Pemerintah menggunakan sumber
daya yang produktif untuk menghasilkan barang dan jasa termasuk pertahanan,
jalan, sekolah dan jasa-jasa lainnya.
Pengeluaran pemerintah merupakan seperangkat produk yang dihasilkan
yang memuat pilihan atau keputusan yang dibuat oleh pemerintah untuk
menyediakan barang-barang publik dan pelayanan kepada masyarakat. Total
pengeluaran pemerintah merupakan penjumlahan keseluruhan dari keputusan
anggaran pada masing-masing tingkatan pemerintahan (Pusat-Prop-Kab/Kota).
Pada masing-masing tingkatan dalam pemerintah ini dapat mempunyai keputusan
akhir proses pembuatan yang berbeda, dan hanya beberapa hal pemerintah yang
dibawahnya dapat dipengaruhi oleh pemerintahan yang lebih tinggi (Lee et al,
1998). RAPBD di Indonesia, pengeluaran pemerintah dapat dibedakan menjadi
dua yaitu :
1. Pengeluaran pembangunan dimaksudkan sebagai pengeluaran yang bersifat
menambah kapital (investasi) masyarakat dalam bentuk proyek-proyek
prasarana dasar dan sarana fisik.
2. Pengeluaran rutin secara umum diarahkan untuk menunjang kelancaran
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan meliputi belanja pegawai,
barang, perjalanan dinas, pemeliharaan, belanja rutin dan lain-lain seperti
belanja pensiun dan subsidi.
Pengeluaran pemerintah dapat dipandang sebagai pembelanjaan otonomi,
karena pendapatan nasional bukan merupakan faktor penting yang dapat
mempengaruhi keputusan pemerintah untuk menentukan anggaran belanjanya.
Faktor yang menentukan pengeluaran pemerintah adalah 1) pajak yang diharapkan
akan diterima, 2) pertimbangan-pertimbangan politik; dan 3) persoalan-persoalan
ekonomi yang sedang dihadapi (Sadono, 2000).
Dalam keadaan keseimbangan pada perekonomian tertutup, maka
Y=C+I+G
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.1)
Dimana :
C + I + G = C + S + T atau I + G = S + T
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.2)
Apabila dimisalkan sistem pajak adalah tetap, maka pendapatan nasional dapat
ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut :
Y=C+I+G
12
Y = a + b Yd + Io + Go
Y = a + b (Y – To) + Io + Go
Y – bY = a – bTo + Io + Go
Y (1-b) = a – bTo + Io + Go
Y=
( a – bTo + Io + Go)
Terjadinya perubahan pembelanjaan agregat, baik yang berasal dari
pengurangan pajak, kenaikan ekspor atau penurunan impor akan mampu
mengakibatkan perubahan keseimbangan dalam perekonomian dan perubahan
dalam pendapatan nasional. Apabila pertambahan pengeluaran pemerintah sebesar
ΔG, maka kenaikan pendapatan nasional sebesar :
Y1 =
(a – bTo + Io + Go + ΔG)
ΔY = Y1 – Yo =
. ΔG . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.3)
sedangkan multiplier (α) dari perubahan tersebut adalah sebesar :
α = ΔY/ΔG =
. . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.4)
Dengan demikian hal ini memberikan gambaran bahwa semakin meningkatnya
pendapatan daerah, karena peningkatan agregat demand akan mendorong
kenaikan investasi dan akhirnya akan menyebabkan kenaikan produksi (Gambar
2). Dalam model pertumbuhan endogen, di katakan bahwa hasil investasi justru
akan semakin tinggi bila produksi agregat di suatu negara semakin besar dengan
mengasumsikan bahwa investasi swasta dan publik (pemerintah) di bidang
sumber daya atau modal manusia dapat menciptakan ekonomi eksternal (eksternal
positif) dan memacu peningkatan produktivitas yang mampu mengimbangi
kecenderungan alamiah penurunan skala hasil.
Meskipun tekhnologi tetap diakui
memainkan peranan yang sangat penting, namun model pertumbuhan endogen
menyatakan bahwa faktor tekhnologi tersebut tidak perlu ditonjolkan untuk
menjelaskan proses terciptanya pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Implikasi
yang menarik dari teori ini adalah mampu menjelaskan potensi keuntungan dari
investasi komplementer (complementary investment) dalam modal, atau sumber
daya manusia, sarana prasarana, infrastruktur atau kegiatan penelitian.
Mengingat investasi komplementer akan menghasilkan manfaat personal
maupun sosial, maka pemerintah berpeluang untuk memperbaiki efisiensi alokasi
sumberdaya domestik dengan cara menyediakan berbagai macam barang publik
(sarana infrastruktur) atau aktif mendorong investasi swasta dalam industri padat
tekhnologi dimana sumber daya manusia diakumulasikan. Dengan demikian,
model ini menganjurkan keikutsertaan pemerintah secara aktif dalam pengelolaan
investasi baik langsung maupun tidak langsung.
Menurut Mangkoesubroto (1998) Pengeluaran pemerintah mencerminkan
kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan
13
untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut.
Pengeluaran
Agregat
E1
E0
Δ
Y0
Gambar 2
Y1
Pendapatan Nasional
Efek kenaikan pengeluaran pemerintah
Sumber: Sukirno ( 2000)
Pengeluaran pemerintah dalam arti riil dapat dipakai sebagai indikator
besarnya kegiatan pemerintah yang dibiayai oleh pengeluaran pemerintah itu.
Semakin besar dan banyak kegiatan pemerintah, semakin besar pula pengeluaran
pemerintah yang bersangkutan. Proporsi pengeluaran pemerintah terhadap
penghasilan nasional (GNP) adalah suatu ukuran terhadap kegiatan pemerintah
dalam suatu perekonomian. Teori makro mengenai pengeluaran pemerintah dapat
digolongkan dalam tiga golongan yaitu :
a.
Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah.
Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan
perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap pembangunan ekonomi.
Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah
terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan
prasarana. Pada tahap menengah investasi pemerintah tetap diperlukan untuk
menghindari terjadinya kegagalan pasar yang disebabkan oleh investasi swasta
yang sudah semakin besar pula. Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, aktivitas
pemerintah beralih pada bentuk pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas-aktivitas
sosial.
14
b.
Hukum Wagner
Hukum Wagner menyatakan bahwa dalam suatu perekonomian, apabila
pendapatan perkapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan
meningkat. Menurut Wagner (dalam Mangkoesubroto, 1998) mengapa peranan
pemerintah semakin besar, disebabkan karena pemerintah harus mengatur
hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi
kebudayaan dan sebagainya. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum
tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang
publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan teori organis mengenai
pemerintah (organic theory of the state), yang menganggap pemerintah sebagai
individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. Hukum
Wagner dapat diformulasikan sebagai berikut :
PkPP1/PPK1 < PkPP2/PPK2 < . . . . P kPPn/PPKn
. . . . . . . . .(2.5)
Keterangan :
PkPP : Pengeluaran pemerintah per kapita
PPK : Pendapatan per kapita, yaitu GDP/jumlah penduduk
1,2..n : Jangka waktu (tahun).
c.
Teori Peacock dan Wiseman
Teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa
berusaha untuk memperbesar pengeluaran, sedangkan masyarakat tidak suka
membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah
tersebut. Menurutnya, masyarakat mempunyai tingkat toleransi pajak, yaitu
tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang
dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Dalam
memahami berbagai pengaturan pendanaan bagi pemerintah regional (daerah),
maka kita harus mengetahui keragaman fungsi yang dibebankannya dimana
fungsi- fungsi tersebut dapat digolongkan menjadi 5 (lima) kelompok yaitu :
1. Fungsi penyediaan pelayanan yang berorientasi kepada lingkungan dan
kemasyarakatan.
2. Fungsi pengaturan yaitu merumuskan dan menegakkan peraturan
perundang-undangan.
3. Fungsi pembangunan yaitu keterlibatan langsung maupun tidak langsung
dalam bentuk-bentuk kegiatan ekonomi dan penyediaan prasarana.
4. Fungsi perwakilan yaitu menyatakan pendapat daerah diluar bidang
tanggung jawab eksekutif.
5. Fungsi koordinasi yaitu melaksanakan koordinasi dan perencanaan investasi
dan tataguna tanah regional (daerah) (Davey KJ, 1988)
Peranan Investasi Swasta terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Investasi menurut Sukirno (2000) adalah pengeluaran-pengeluaran untuk
membeli barang-barang modal dan peralatan-peralatan produksi dengan tujuan
untuk mengganti dan terutama menambah barang-barang modal dalam
perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksi barang dan jasa dimasa
yang akan datang. Investasi ini memiliki 3 (tiga) peran : 1) merupakan salah satu
15
pengeluaran agregat, dimana peningkatan investasi akan meningkatkan
permintaan agregat dan pendapatan nasional. 2) Pertambahan barang modal
sebagai akibat investasi akan menambah kapasitas produksi di masa depan dan
perkembangan ini menstimulir pertambahan produksi nasional dan kesempatan
kerja. 3) Investasi selalu diikuti oleh perkembangan tekhnologi, sehingga akan
memberikan kenaikan produktivitas dan pendapatan perkapita masyarakat.
Investasi merupakan salah satu faktor yang krusial bagi kelangsungan
proses pembangunan atau pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pembangunan
ekonomi melibatkan kegiatan-kegiatan produksi di semua sektor ekonomi. Untuk
keperluan tersebut maka dibangun pabrik-pabrik, perkantoran, alat-alat produksi
dan infrastruktur yang dibiayai melalui investasi baik berasal dari pemerintah
maupun swasta. Korelasi positif antara investasi dengan pertumbuhan ekonomi
diuraikan secara sederhana namun jelas di dalam model pertumbuhan ekonomi
Harrod-Domar.
Teori Harord Domar (dikemukakan oleh Evsey Domar dan R.F. Harrod)
mengemukakan model pertumbuhan ekonomi yang merupakan pengembangan
dari teori keynes. Teori tersebut menitikberatkan pada peranan tabungan dan
investasi yang sangat menentukan dalam pertumbuhan ekonomi daerah (Rustiadi,
et al. 2009). Beberapa asumsi yang digunakan dalam teori ini adalah bahwa : 1)
perekonomian dalam keadaan pengerjaan penuh (full employment) dan barangbarang modal yang ada di masyarakat digunakan secara penuh. 2) Dalam
perekonomian terdiri dari dua sektor, yaitu sektor rumah tangga dan perusahaan,
berarti sektor pemerintah dan perdagangan luar negeri tidak ada. 3) Besarnya
tabungan masyarakat adalah proporsional dengan besarnya pendapatan nasional,
berarti fungsi tabungan dimulai dari titik original (nol). 4) Kecenderungan untuk
menabung (marginal propensity to save = MPS) besarnya tetap, demikian juga
rasio antara modal dan output (Capital Output Ratio) dan ratio penambahan
modal-output (Incremental Capital Output Ratio). Dalam Teori Harrod-Domar
investasi dan the incremental output ratio (ICOR) merupakan dua variabel
fundamental (Tambunan, 2001). Investasi dimaksud adalah investasi netto, yaitu
perubahan/penambahan stok barang modal, atau :
It = ΔKt
It = Kt – Kt-1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.6)
ICOR adalah kebalikan dari rasio pertumbuhan output terhadap pertumbuhan
investasi, yang pada intinya menunjukkan hubungan antara penambahan stok
barang modal dan pertumbuhan output, atau melihat seberapa besar peningkatan
investasi yang diperlukan untuk mendapatkan laju pertumbuhan ekonomi
(Tambunan, 2001).
Argumen utama dari hasil studi tersebut adalah bahwa investasi menambah
pertumbuhan ekonomi tertentu yang telah ditentukan sebelumnya. Hubungan
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
Y = y.K
1/y = K.Y
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.7)
Keterangan :
Y
= rasio output – kapital
1/y
= rasio kapital-output (COR)
16
ICOR = (ΔK/Y) / (ΔY/Y) atau ICOR = ΔK/ ΔY
Beberapa studi kuantitatif yang dilakukan menemukan korelasi positif dan
signifikan antara investasi dengan pertumbuhan ekonomi (Tambunan, 2001).
Argumen utama dari hasil studi tersebut adalah bahwa investasi menambah
jumlah stok kapital per pekerja oleh karenanya menaikkan produktivitas. Teori ini
memiliki kelemahan yaitu kecenderungan menabung dan ratio pertambahan
modal-output dalam kenyataannya selalu berubah dalam jangka panjang demikian
pula proporsi penggunaan tenaga kerja dan modal tidak konstan, harga selalu
berubah dan suku bunga dapat berubah dan selanjutnya akan mempengaruhi
investasi.
Meningkatkan output dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas,
melalui penambahan investasi guna memperbaharui tekhnologi yang digunakan
dan / atau investasi guna meningkatkan kemampuan SDM (human capital).
Dengan demikian akan meningkat rasio kapital – tenaga kerjanya. Dengan
meningkatnya rasio antara kapital – tenaga kerja secara konsisten diharapkan akan
meningkatkan PDRB (Pancawati, 2000).
Investasi swasta atau PMDN bruto merupakan komponen dari perbelanjaan
agregat yang sifatnya tidak stabil, dan menjadi salah satu sumber penting dari
konjungtur dalam perekonomian. Besarnya investasi perusahaan dapat
diterangkan dalam analisis hubungannya dengan tingkat suku bunga, apabila suku
bunga rendah lebih banyak investasi yang akan dilakukan, dan sebaliknya
kenaikan suku bunga akan menyebabkan pengurangan dalam jumlah investasi
(Sukirno, 2000). Selanjutnya dikatakan bahwa kegiatan investasi memungkinkan
suatu masyarakat terus menerus meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesempatan
kerja, meningkatkan pendapatan nasional dan kemakmuran masyarakat.
Salah satu bentuk upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk
mendorong pertumbuhan investasi swasta adalah dengan mengusahakan keadaan
yang kondusif dan menarik bagi berkembangnya industri dalam negeri dan
masuknya investasi asing. Dengan dikeluarkannya UU PMA dan PMDN pada
tahun 1966 memberikan persyaratan menarik, dan telah membuka kemungkinan
bagi pertumbuhan sektor industri dengan landasan yang luas (Mc Cawley, 1982).
Sejalan dengan semakin meningkatnya investasi yang berasal swasta baik
investasi dengan fasilitas PMDN maupun non fasilitas, diharapkan dapat
meningkatkan PDRB Kota Bogor dari tahun ke tahun.
Peranan Angkatan Kerja terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk berumur 10 tahun atau lebih
yang bekerja, mencari pekerjaan, dan sedang melakukan kegiatan lain, seperti
sekolah maupun mengurus rumah tangga dan penerima pendapatan (Simanjuntak,
1985).
Sedangkan angkatan kerja merupakan bagian dari tenaga kerja yang
sesungguhnya terlibat atau berusaha untuk terlibat dalam kegiatan produktif yaitu
memperoleh hasil produksi barang dan jasa. Angkatan kerja terdiri dari golongan
yang bekerja dan golongan yang menganggur atau mencari pekerjaan. Dalam
17
model sederhana tentang pertumbuhan ekonomi, pada umumnya pengertian
tenaga kerja diartikan sebagai angkatan kerja yang bersifat homogen.
Menurut Lewis, angkatan kerja yang homogen dan tidak terampil dianggap
bisa bergerak dan beralih dari sektor tradisional ke sektor modern secara lancar
dan dalam jumlah tidak terbatas. Dalam keadaan demikian, peranan tenaga kerja
mengandung sifat elastisitas yang tinggi. Meningkatnya permintaan atas tenaga
kerja (dari sektor tradisional) bersumber pada ekspansi kegiatan sektor modern.
Dengan demikian salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi adalah tenaga kerja.
Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor dinamika dalam
perkembangan ekonomi jangka panjang bersamaan dengan ilmu pengetahuan,
tekhnologi, sumber daya alam dan kapasitas produksi. Pertumbuhan penduduk
dan tenaga kerja dianggap sebagai faktor positif dalam merangsang pertumbuhan
ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang besar dapat berarti menambah jumlah tenaga
produktif. Dengan meningkatnya produktivitas tenaga kerja diharapkan akan
meningkatkan produksi, yang berarti akan meningkatkan pula PDRB.
Menurut Nicholson (1991) bahwa suatu fungsi produksi pada suatu barang
atau jasa tertentu (q) adalah q = f (K,L) dimana K merupakan modal dan L adalah
tenaga kerja memperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang / jasa yang dapat
diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara K dan L, maka
apabila salah satu masukan ditambah satu unit tambahan dan masukan
lainnyadianggap tetap akan menyebabkan tambahan keluaran yang dapat
diproduksi. Tambahan keluaran yang diproduksi inilah yang disebut dengan
produk fisik marginal (marginal physical product). Selanjutnya dikatakan bahwa
apabila jumlah tenaga kerja ditambah terus menerus sedang faktor produksi lain
dipertahankan konstan, maka pada awalnya akan menunjukan peningkatan output,
namun pada suatu tingkat tertentu akan memperlihatkan penurunan output serta
setelah mencapai tingkat keluaran maksimum setiap penambahan tenaga kerja
akan mengurangi keluaran.
Menurut Todaro dan Smith (2006), pertumbuhan penduduk dan angkatan
kerja secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu
pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti ukuran pasar
domestiknya lebih besar. Meskipun demikian, hal tersebut masih dipertanyakan,
apakah benar laju pertumbuhan penduduk yang cepat benar-benar akan
memberikan dampak positif atau negatif dari pertumbuhan ekonominya.
Selanjutnya dikatakan bahwa pengaruh positif atau negatif dari pertumbuhan
penduduk tergantung kemampuan sistem perekonomian daerah tersebut dalam
menyerap dan secara produktif memanfaatkan pertambahan tenaga kerja tersebut.
Kemampuan tersebut dipengaruhi oleh tenaga kerja dan akumulasi modal, dan
tersedianya input dan faktor produksi penunjang, seperti kecakapan manajerial
dan administrasi.
Jumlah angkatan kerja yang bekerja merupakan gambaran kondisi dari
lapangan kerja yang tersedia. Semakin bertambah besar lapangan kerja yang
tersedia, maka akan menyebabkan semakin meningkatnya total produksi di suatu
daerah.
18
Pertumbuhan Ekonomi Regional (Daerah)
Menurut Sukirno (2000) pertumbuhan ekonomi merupakan suatu perubahan
tingkat kegiatan ekonomi yang berlangsung dari tahun ke tahun. Untuk
mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi harus dibandingkan dengan pendapatan
nasional berbagai tahun yang dihitung berdasarkan atas harga konstan. Jadi
perubahan dalam nilai pendapatan hanya semata-mata disebabkan oleh suatu
perubahan dalam suatu tingkat kegiatan ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi
suatu daerah dapat dihitung melalui indikator perkembangan PDRB dari tahun ke
tahun. Suatu perekonomian dikatakan baik apabila tingkat kegiatan ekonomi masa
sekarang lebih tinggi daripada yang dicapai pada masa sebelumnya. Lebih lanjut
diterangkan dua konsep pertumbuhan ekonomi, yaitu :
1. Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan pendapatan
nasional riil. Perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang apabila
terjadi pertumbuhan output riil. Output riil suatu perekonomian bisa juga
tetap konstan atau mengalami penurunan. Perubahan ekonomi meliputi
pertumbuhan, statis ataupun penurunan, dimana pertumbuhan adalah
perubahan yang bersifat positif sedangkan penurunan merupakan perubahan
negatif.
2. Pertumbuhan ekonomi terjadi apabila ada kenaikan output perkapita dalam
hal ini pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup yang
diukur dengan output total riil perkapita. Oleh karena itu pertumbuhan
ekonomi terjadi apabila tingkat kenaikan output total riil lebih besar
daripada tingkat pertambahan penduduk, sebaliknya terjadi penurunan taraf
hidup aktual bila laju kenaikan jumlah penduduk lebih cepat daripada laju
pertambahan output total riil.
Pertumbuhan tidak muncul di berbagai daerah pada waktu yang sama,
pertumbuhan hanya terjadi di beberapa tempat yang disebut pusat pertumbuhan
dengan intensitas yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi daerah merupakan suatu
proses pemerintah daerah dan masyarakatnya dalam mengelola sumberdaya yang
ada untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan
kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999).
Saat ini tidak ada satupun teori yang mampu menjelaskan pembangunan
ekonomi daerah secara komprehensif, namun beberapa teori yang secara parsial
dapat membantu untuk memahami arti penting pembangunan ekonomi daerah.
Pada hakekatnya inti dari teori ekonomi regional tersebut berkisar pada metode
dalam menganalisis perekonomian suatu daerah dan teori-teori yang membahas
tentang faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi daerah (regional).
Pengertian pertumbuhan ekonomi berbeda dengan pembangunan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi bersangkut paut dengan proses peningkatan produksi
barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat, sementara pembangunan
mengandung arti yang lebih luas. Proses pembangunan mencakup perubahan pada
komposisi produksi, perubahan pada pola penggunaan (alokasi) sumber daya
produksi diantara sektor-sektor kegiatan ekonomi, perubahan pada pola distribusi
kekayaan dan pendapatan diantara berbagai golongan pelaku ekonomi, perubahan
pada kerangka kelembagaan dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh
(Djojohadikusuma, 1994).
19
Namun demikian pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ciri pokok
dalam proses pembangunan, hal ini diperlukan berhubungan dengan kenyataan
adanya pertambahan penduduk. Bertambahnya penduduk dengan sendirinya
menambah kebutuhan akan pangan, sandang, pemukiman, pendidikan dan
pelayanan kesehatan. Adanya keterkaitan yang erat antara pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi, ditunjukan pula dalam sejarah munculnya teori-teori
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Teori Pertumbuhan Ekonomi Mazhab Historimus
Mazhab Historimus melihat pembangunan ekonomi berdasarkan suatupola
pendekatan yang berpangkal pada perspektif sejarah. Metode kajian dalam
mazhab ini bersifat induktif empiris dimana fenomena ekonomi adalah
perkembangan menyeluruh dan dalam tahap tertentu dalam perjalanan sejarah.
a.
Teori Friedrich List
Teori ini menyatakan bahwa sistem liberalisme yang laissez-faire dapat
menjamin alokasi sumber daya secara optimal dimana perkembangan suatu
perekonomian tergantung pada peran pemerintah, organisasi swasta dan
lingkungan kebudayaan. Perkembangan ekonomi akan terjadi jika dalam
masyarakat ada kebebasan dalam organisasi politik dan kebebasan perorangan.
Negara dan pemerintah harus melindungi kepentingan golongan lemah diantara
masyarakat.
b.
Teori Walt Whitman Rostow
Menurut Rostow, proses pembangunan ekonomi bisa dibedakan ke dalam 5
tahap yaitu masyarakat tradisional (the traditional society), pra syarat untuk
tinggal landas (the preconditions for take off), tinggal landas (the take-off) ,
menuju kedewasaan (the drive to maturity) dan masa konsumsi tinggi (the age of
high mass-consumption). Rostow berpendapat bahwa yang menjadi dasar
perbedaan tahap pembangunan ekonomi tersebut adalah karakteristik perubahan
keadaan ekonomi, sosial dan politik yang terjadi di masyarakat.
Teori Pertumbuhan Ekonomi Mazhab Analitis
Teori yang tergabung dalam mazhab ini berusaha mengungkapkan proses
pertumbuhan ekonomi secara logis dan konsisten, tetapi sering bersifat abstrak
dan kurang menekankan kepada spek empiris (histories).
a.
Teori Pertumbuhan Klasik
Ahli-ahli ekonomi yang tergabung dalam kelompok ini adalah Thomas
Robert Malthus, Adam Smith dan David Ricardo. Terdapat empat faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu jumlah penduduk, jumlah stok
barang modal, luas tanah, kekayaan alam dan teknologi yang digunakan (Sukirno,
2000).
20
Adam Smith menyatakan bahwa mekanisme pasar akan menciptakan suatu
suasana
yang mengakibatkan perekonomian berfungsi secara efisien.
Perkembangan pasar juga akan menaikan pendapatan nasional dan pertumbuhan
penduduk dari masa ke masa yang terjadi bersama-sama dengan kenaikan
pendapatan nasional, akan memperluas pasar dan menciptakan tabungan yang
lebih banyak (Sukirno, 2000).
Sedangkan Malthus dan Ricardo berpendapat bahwa proses pertumbuhan
ekonomi pada akhirnya akan kembali ke tingkat subsisten. Pada mulanya ketika
jumlah penduduk/tenaga kerja relatif sedikit dibandingkan dengan faktor produksi
lain, maka pertambahan penduduk/tenaga kerja akan meningkatkan taraf
kemakmuran masyarakat. Akan tetapi apabila jumlah penduduk/tenaga kerja
berlebihan dibandingkan dengan factor produksi lain, maka pertambahan
penduduk/tenaga kerja akan menurunkan produksi per kapita dan taraf
kemakmuran masyarakat (Sukirno, 2000).
Menurut Ricardo faktor produksi tanah (sumberdaya alam) tidak bisa
bertambah sehingga akhirnya menjadi factor pembatas dalam proses pertumbuhan
suatu masyarakat. Peranan akumulasi modal dan kemajuan tekhnologi cenderung
meningkatkan produktivitas tenaga kerja, artinya bisa memperlambat bekerjanya
the law of diminishing return yang pada gilirannya akan memperlambat pula
penurunan tingkat hidup ke arah tingkat hidup minimal (Arsyad, 1999).
b.
Teori Pertumbuhan Neo Klasik (Solow-Swan)
Kuznets mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka
panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak
jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya, kemampuan ini tumbuh
sesuai dengan kemajuan tekhnologi, dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis
yang diperlukannya (Jhingan, 1999). Definisi ini memiliki tiga komponen : 1)
pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya secara terus
menerus persediaan barang, 2) tekhnologi maju merupakan faktor dalam
pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam
menyediakan aneka barang kepada penduduk, 3) penggunaan tekhnologi secara
luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan
ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan secara tepat.
Menurut Solow dan Swan, bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung kepada
pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja dan
akumulasi modal) serta tingkat kemajuan tekhnologi. Dengan kata lain, sampai
dimana perekonomian akan berkembang bergantung pertambahan penduduk,
akumulasi modal dan kemajuan tekhnologi (Arsyad, 1999). Selanjutnya menurut
teori ini, rasio modal-output (capital-output ratio = COR) bisa berubah (bersifat
dinamis), untuk menciptakan sejumlah output tertentu, bisa digunakan jumlah
modal yang berbeda-beda dengan bantuan tenaga kerja yang jumlahnya berbedabeda pula sesuai dengan yang dibutuhkan. Model Solow mendasarkan pada fungsi
produksi Cobb-Douglas yaitu :
Q = A.Kα. L β
...................................
(2.8)
Dimana Q adalah output, A adalah tekhnologi, K adalah modal fisik, L adalah
tenaga kerja, α dan β adalah proporsi (share) input. Model Solow dapat
21
menunjukan arah pertumbuhan keadaan mantap serta situasi pertumbuhan jangka
panjang yang ditentukan oleh peranan tenaga kerja dan kemajuan tekhnologi yang
semakin luas. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa model pertumbuhan
Solow menunjukan bagaimana pertumbuhan dalam capital stock, pertumbuhan
tenaga kerja dan perkembangan tekhnologi mempengaruhi tingkat output. Untuk
menjelaskan teori pertumbuhan Solow maka pertama akan dianalisis bagaimana
peranan stok modal dalam pertumbuhan ekonomi dengan asumsi tanpa adanya
perkembangan. Apabila dimisalkan suatu proses pertumbuhan ekonomi dalam
keadaan dimana tekhnologi tidak berkembang, maka tingkat pertumbuhan yang
telah dicapai hanya karena adanya perubahan jumlah modal (K) dan jumlah tenaga
kerja (L). Hubungan kedua faktor tersebut dengan pertumbuhan ekonomi dapat
dinyatakan sebagai fungsi produksi :
Y = f (K,L)
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.9)
Dimana Y adalah tingkat pendapatan nasional, K adalah jumlah stok modal dan L
adalah jumlah tenaga kerja. Jika jumlah modal naik sebesar ΔK unit, jumlah
output akan meningkat sebesar marginal product of capital (MPK) dikalikan
dengan ΔK, dimana :
MPK = f (K + 1, L) – f (K,L)
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.10)
Jika tenaga kerja meningkat sebesar ΔL unit, maka jumlah output akan meningkat
sebesar marginal product of labour (MPL) dikalikan ΔL, dimana:
MPL = f (K,L +1) – f (K,L)
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.11)
Perubahan ini akan lebih realistis apabila kedua faktor produksi ini berubah, yaitu
terjadi perubahan modal sebesar ΔK serta terjadi perubahan jumlah tenaga kerja
sebesar ΔL. Kita dapat membagi perubahan ini dalam dua sumber penggunaan
marginal products dari dua input :
ΔY = (MPK x ΔK) + (MPL x ΔL)
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.12)
Dalam kurung pertama adalah perubahan output yang dihasilkan dari perubahan
kapital, dan dalam kurung yang kedua adalah perubahan output yang disebabkan
oleh adanya perubahan tenaga kerja. Untuk mempermudah interprestasi dan
penerapan, maka persamaan kemudian diubah menjadi :
ΔY/Y = (MPK x K/Y) ΔK/K + (MPL x L/Y) ΔL/L
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.13)
Dimana ΔY/Y adalah laju pertumbuhan output, MPK x K adalah total return to
capital, (MPK x K/Y) adalah share dari modal pada output, ΔK/K adalah tingkat
pertumbuhan dari modal, MPL x L adalah total kompensasi yang diterima oleh
tenaga kerja, (MPL x L/Y) adalah share dari tenaga kerja pada output, dan ΔL/L
adalah tingkat pertumbuhan dari tenaga kerja. Dengan asumsi bahwa fungsi
produksi dalam keadaan skala hasil tetap, maka teorema Euler menyatakan bahwa
22
kedua share tersebut apabila dijumlahkan akan sama dengan 1 (satu) (Mankiw,
2000). Persamaan ini kemudian dapat ditulis :
ΔY/Y = α ΔK/K + (1 – α) ΔL/L
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.14)
Dimana α adalah share dari modal dan (1 – α) adalah share dari tenaga kerja.
Telah dikemukakan bahwa pembahasan di atas diasumsikan tidak mengalami
perubahan tekhnologi, tetapi dalam praktiknya akan selalu terjadi perkembangan
dari tekhnologi. Oleh karenanya akan dimasukkan perubahan tekhnologi dalam
fungsi produksi menjadi :
Y = A f (K,L) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.15)
Dimana A adalah tingkat tekhnologi pada saat sekarang atau yang disebut sebagai
total factor productivity. Sekararang output meningkat bukan hanya karena
adanya peningkatan dari modal dan tenagta kerja, tetapi juga karena adanya
kenaikan dari total factor productivity. Dengan memasukkan total factor
productivity pada persamaan (2.18), maka akan menjadi :
ΔY/Y = α ΔK/K + (1 – α) ΔL/L + ΔA/A
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.16)
Dimana ΔA/A adalah pertumbuhan dari total factor productivity atau juga sering
disebut sebagai Solow residual (Mankiw, 2000). Karena pertumbuhan total factor
productivity tidak bisa dilihat secara langsung, maka diukur secara tidak langsung
dihitung dengan cara :
ΔA/A = ΔY/Y – α ΔK/K – (1 – α) ΔL/L
. . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.17 )
Total factor productivity dapat berubah dengan beberapa alasan. Perubahan
sering dikaitkan dengan kenaikan pengetahuan pada metode produksi. Solow
residual sering juga digunakan untuk mengukur perkembangan tekhnologi.
Faktor-faktor produksi seperti pendidikan, regulasi pemerintah dapat
mempengaruhi total factor productivity. Sebagai contoh, jika pengeluaran
pemerintah meningkat maka akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan, para
pekerja akan menjadi lebih produktif , dan output juga akan meningkat, yang
mengimplikasikan total factor productivity yang lebih besar (Mankiw, 2000).
c.
Teori Pertumbuhan Keynesian (Harrod-Domar)
Harrod Domar menganalisis tentang syarat-syarat yang diperlukan agar
perekonomian bisa tumbuh dan berkembang dalam jangka panjang dengan
mantap (steady growth). Menurut Harrod Domar investasi memberikan peranan
kunci dalam prosers pertumbuhan yang disebabkan karena :
1. Investasi dapat menciptakan pendapatan yang merupakan dampak dari
penawaran.
2. Investasi dapat memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara
meningkatkan stock modal yang merupakan dampak dari penawaran.
23
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.18)
Dengan demikian :
...................................
(2.19)
Dari persamaan model di atas Harrod Domar mencoba menjelaskan bahwa
tambahan modal dalam suatu periode t menjadi sumber dasar bagi bertambahnya
hasil produksi di periode tertentu (t + 1). Investasi pada saat ini meningkatkan
kemampuan produksi dan menambah pendapatan di masa datang.
d.
Teori Pertumbuhan Schumpeter
Menurut Schumpeter, faktor utama yang menyebabkan perkembangan
ekonomi adalah proses inovasi yang dilakukan oleh para innovator dengan
inovasi-inovasinya. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai peningkatan output
masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah faktor produksi
yang digunakan dalam proses produksi masyarakat tanpa adanya perubahan
tekhnologi produksi itu sendiri. Sedangkan pembangunan ekonomi adalah
kenaikan output yang disebabkan oleh inovasi yang dilakukan oleh para
innovator.
e.
Teori Penyebab Kumulatif (Cumulative Causation Theory)
Teori ini pada awalnya dikemukakan oleh Myrdal (1957) yang mengkritik
teori neoklasik mengenai konsep pertumbuhan yang stabil. Myrdal menyatakan
bahwa perbedaan tingkat kemajuan pembangunan ekonomi antar daerah
selamanya akan menimbulkan adanya “backwash effect” yang mendominasi
“spread effect” dan proses pertumbuhan ekonomi regional merupakan proses
yang tidak equilibrium. Perbedaan utama dari teori neoklasik dan myrdal adalah
yang pertama menggunakan constant return to scale dan yang kedua
menggunakan increasing return to sacale. Perbedaan tingkat pertumbuhan antar
wilayah mungkin akan menjadi sangat besar jika increasing return to scale effect
berlangsung terus.
Menurut Kaldor (1970) prinsip-prinsip dari penyebab kumulatif adalah
penyederhanaan dari increasing return to scale di perusahaan. Increasing return
to scale ini membantu memperkaya sementara dan mencegah meluasnya daerah
miskin. Kekuatan pasar menyebabkan adanya pengelompokan aktivitas dengan
increasing return to scale di area perekonomian tertentu. Hal ini menimbulkan
adanya eksternalitas atau internalitas di pusat aglomerasi. Keunggulan yang
terbatas dari suatu daerah terbelakang (backward region), seperti tenaga kerja
yang murah, tidak mencukupi untuk bersaing dengan aglomerasi ekonomis.
f.
Model Pertumbuhan Agregat
Glasson (1997) menyatakan bahwa teori pertumbuhan regional jangka
panjang harus memperhitungkan faktor-faktor yang dianalisis jangka pendek yang
24
diasumsikan konstan, seperti penduduk, upah, harga teknologi dan distribusi
pendapatan. Mobilitas faktor-faktor terutama tenaga kerja dan modal harus
menjadi pertimbangan yang sangat penting. Pada umumnya orang sependapat
bahwa pertumbuhan regional dapat terjadi sebagai akibat dari penentu-penentu
endogen atau eksogen, yakni faktor-faktor yang terdapat pada daerah yang
bersangkutan ataupun faktor-faktor di luar daerah atau kombinasi dari keduanya.
Faktor-faktor penentu penting dari dalam daerah meliputi distribusi faktor-faktor
produksi seperti tanah, tenaga kerja dan modal. Sedangkan salah satu faktor
penentu dari luar daerah yang penting adalah tingkat permintaan dari daerah lain
terhadap komoditi yang dihasilkan oleh daerah tersebut.
Suatu pendekatan yang lebih baru untuk menjelaskan faktor penentu
endogen dari pertumbuhan ekonomi regional adalah melalui penggunaan model
ekonomi makro. Model ini berorientasi pada segi penawaran dan berusaha
menjelaskan output regional menurut faktor-faktor regional tertentu yang
masingmasing dapat dianalisa secara sendiri-sendiri (Glasson, 1997) dan dapat
dituliskan sebagai berikut :
On = fn (K, L, Q, Tr, T, So)
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.20)
Keterangan :
On : Output potensial dari daerah n
K : Modal (Kapital)
L : Tenaga Kerja
Q : Tanah
Tr : Sumber daya pengangkutan
T : Tekhnologi
So : Sistem Sosial Politik
Apabila dirumuskan menurut faktor-faktor yang lebih penting dan lebih mudah
dikuantitaskan, maka rumus mengenai persamaan pertumbuhan sebagai berikut :
On = a n k n + (1-an) ln + tn . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.21)
Keterangan :
O, k, l, t
:
tingkat pertumbuhan output, modal, tenaga kerja dan tekhnologi.
a
:
bagian pendapatan yang diperoleh modal (yakni produk
marginal dari modal).
g.
Teori Basis Ekspor
Teori pertumbuhan regional berbasis ekspor menerangkan bahwa beberapa
aktifitas di suatu daerah adalah basis dalam arti bahwa pertumbuhannya
menimbulkan dan menentukan pembangunan menyeluruh daerah itu, sedangkan
aktivitas lain (non basis) merupakan konsekuensi dari pembangunan menyeluruh
tersebut. Menurut teori ini, semua pembangunan regional ditentukan oleh sektor
basis sedangkan sektor non basis yang mencakup sektor-sektor pendukung
melayani sektor basis tersebut (Hoover, 1984 dalam Soepono, 2001). Selanjutnya
di katakan bahwa perekonomian lokal harus menambah aliran uang masuk agar
dapat tumbuh dan satu satunya cara yang efektif adalah menambah ekspor.
Konsep kunci dari teori ini adalah bahwa kegiatan ekspor merupakan mesin
pertumbuhan. Pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor dengan
demikian ditentukan oleh permintaan eksternal. Untuk menentukan dan mengukur
suatu basis, maka satuan ukuran yang dipilih dapat berupa pendapatan daerah,
employment (kesempatan kerja), nilai tambah, output, penjualan kotor dan
25
sebagainya. Sedangkan pendekatan yang digunakan untuk menentukan sektor
basis ada dua, yaitu pendekatan langsung dan tidak langsung. Pendekatan
langsung dilakukan dengan cara mengukur aliran komoditi dan uang, serta
melakukan survai tentang perekonomian lokal. Sedangkan pendekatan tidak
langsung meliputi pendekatan asumsi, LQ dan persyaratan minimum.
Pada pendekatan asumsi, maka sektor basis di suatu daerah diasumsikan,
sedangkan sektor lainnya diasumsikan non basis. Dalam metode ini memiliki
kelemahan karena dalam penentuan asumsi dapat salah. Metode LQ yang sangat
populer serta penggunaannya berkelanjutan dari pengganda basis ekonomi.
Pendekatan dengan analisis LQ memiliki beberapa kekurangan (Soepono,
2001), yaitu :
1. Mengasumsikan adanya permintaan yang seragam/sama, padahal penduduk
memiliki selera yang berbeda.
2. Asumsi produktivitas adalah sama antar daerah. Masalah product mix
(produk dari merk yang satu diekspor, sedang produk yang sama dengan
merk lain diimpor).
3. Ketidakmampuan menerangkan keterkaitan antar industri.
4. Metode LQ bergantung pada tingkat agregat data.
Penelitian Terdahulu
Kim (1997), dalam penelitiannya tentang kasus pertumbuhan ekonomi di
Korea Selatan, menyebutkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi di suatu daerah
(ΔY) merupakan fungsi dari laju pertumbuhan angkatan kerja (ΔL), rasio investasi
swasta terhadap PDRB (Ip/Y); rasio investasi pemerintah daerah terhadap PDRB
(Ig/Y); rasio pengeluaran konsumsi pemerintah terhadap PDRB (G/Y); dan rasio
penerimaan pemerintah daerah yang berasal dari pajak daerah dan penerimaan
non pajak terhadap PDRB (R/Y) :
ΔY = f (ΔL, Ip/Y, Ig/Y, (G/Y) ΔG, R/Y)
Dinyatakan dalam model :
ΔY = ß0 + ßk (Ip/Y) + ß1 * ΔL + γx ( Ig/Y ) + γg (G/Y) ΔG + θ (R/Y)
+ θ D80 + μ
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.22)
D 80 merupakan variabel dummy tahun 1980 karena Korea tercatat mengalami
pertumbuhan ekonomi yang negatif disebabkan kekacauan ekonomi dan politik.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa pajak daerah mempunyai pengaruh
negatif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sementara angkatan
kerja, investasi dan konsumsi pemerintah daerah mempunyai pengaruh positif
yang signifikan, sedangkan disparitas pendapatan antar daerah lebih disebabkan
oleh sektor swasta (investasi swasta).
Hamid (1999), dalam penelitiannya tentang peranan pemerintah dalam
pembangunan ekonomi di beberapa negara dengan menggunakan analisa kualitatif
menyatakan bahwa peranan pemerintah dalam suatu perekonomian adalah mutlak.
Untuk mendukung peran tersebut, maka perlu tersedia kelembagaan yang kuat
guna melengkapi dan mengontrol jalannya lembaga pemerintah tersebut. Untuk
26
mendukung perekonomian suatu negara BUMN masih diperlukan untuk
melengkapi sektor swasta. Namun dalam penelitian ini tidak mampu menunjukan
atau mengukur seberapa besar peran pemerintah dalam perekonomian di suatu
negara.
Muljono (1999), dalam penelitiannya tentang pengaruh dana pembangunan
APBD tingkat I terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah dengan
menggunakan model pertumbuhan ekonomi pendekatan fungsi produksi Cobb
Douglas yang dirumuskan sebagai berikut :
PDRB = β0 + β1 Ig + β2 Is + β3 L + β4 Ig t-1 + β5 Is t-1
+ β6 L t-1 + μ
. . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2.23)
Hasil penelitian menunjukan bahwa dana pembangunan APBD tingkat I Jawa
Tengah keberadaannya sangat penting dan pengaruhnya sangat besar terhadap
pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah dibandingkan dengan pengaruh investasi
swasta.
Rahayu (2000), dalam penelitiannya tentang pertumbuhan ekonomi di
Indonesia, menyebutkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi di suatu daerah (ΔY)
merupakan fungsi dari laju pertumbuhan angkatan kerja (ΔL), rasio investasi
swasta PMA dan PMDN yang disetujui terhadap PDRB (IP), rasio investasi
pemerintah daerah terhadap PDRB (IG), rasio pengeluaran/konsumsi pemerintah
(belanja rutin) daerah terhadap PDRB ((G/Y) ΔG) dan rasio penerimaan
pemerintah daerah yang berasal dari pajak daerah dan penerimaan non pajak
terhadap PDRB (R/Y), dengan persamaan fungsi sebagai berikut :
ΔY = f (ΔL, IP/Y, IG/Y, (G/Y) ΔG, R/Y)
......... ...........
Model :
ΔY = ß0+ß1*ΔL+ ßk (Ip/Y)+γx ( Ig/Y )+γg (G/Y)ΔG+θ(R/Y)+ μ . . . . . .
(2.24)
(2.25)
Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa investasi swasta dan
laju pertumbuhan angkatan kerja tidak memberikan dampak yang signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi regional, tanpa memasukkan hasil migas ternyata
investasi pemerintah daerah mempunyai efek yang negatif, sedangkan penerimaan
pemerintah dari sektor pajak daerah dan non pajak memberikan efek positif yang
signifikan.
Hadiono (2001), dalam penelitiannya tentang pertumbuhan ekonomi di
propinsi Jawa Tengah menggunakan data polling sampel populasi kab/kota di
Jateng selama tahun 1994-1998 menyebutkan bahwa output suatu daerah (PDRB)
merupakan fungsi dari investasi pemerintah, penyerapan tenaga kerja dan sarana
angkutan umum. Seluruh variabel berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah.
PDRB = f (TK, INV, AKT) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.26)
Model :
L PDRB = ß0 + ß1 LT Kit + ß2 L INV it + ß3 L AKT it + v
. . . . . . . . . . . .(2.27)
27
Keterangan
INV
TK
AKT
:
:
:
:
Investasi pemerintah
Angkatan Kerja
Sarana Angkutan Umum
Atmaja (2001), menganalisis pengaruh investasi swasta, investasi sektor
publik yang meliputi investasi pemerintah, konsumsi pemerintah, penerimaan
pemerintah dari sektor pajak/non pajak serta pertumbuhan penduduk terhadap
tingkat pertumbuhan perekonomian kabupaten dan kota di Bali. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa investasi swasta memegang peranan yang sangat dominan di
Propinsi Bali, terlihat dari signifikansinya melebihi investasi pemerintah. Hal ini
menunjukkan dalam suatu perekonomian diharapkan peranan pemerintah semakin
berkurang hanya sebagai fasilitator dan peranan masyarakat swasta semakin
meningkat.
Hendrik (2009) dalam penelitiannya tentang pengaruh kapasitas fiskal
terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Dairi menunjukkan bahwa variabel
independen yaitu Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (DBH), Dana Alokasi Umum
(DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan PDRBt-1 mampu menjelaskan variasi
perkembangan PDRB sebesar 95,4%, sedangkan sisanya sebesar 4,6% dijelaskan
oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model estimasi. Berdasarkan uji
t-statistik (hitung) diketahui bahwa ada 3 variabel yang mempengaruhi secara
signifikan terhadap PDRB di Kabupaten Dairi, ketiga variabel tersebut yaitu
PDRBt-1 prob sebesar 0,0001 < 0,05, kemudian Bagi Hasil Pajak dan Bukan
Pajak pada prob 0,042 < 0,05, dan PAD sebesar 0,074 < 0,10. Sedangkan variabel
Dana Alokasi Umum (DAU) tidak signifikan mempengaruhi PDRB di kabupaten
Dairi. Berdasarkan nilai F-statistik (hitung) sebesar 119,20 yang signifikan pada
tingkat keyakinan 95% (α = 5%), ini menunjukkan bahwa secara bersama-sama
(serempak) yaitu variabel Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BH), Dana Alokasi
Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan PDRBt-1 mampu
mempengaruhi secara signifikan variabel PDRB di Kabupaten Dairi.
Andrea (2009), dalam penelitiannya tentang “Hubungan Antara DAU,
Belanja Modal Dan Kualitas Pembangunan Manusia” menunjukkan bahwa DAU
berpengaruh positif terhadap belanja modal, Belanja Modal berpengaruh terhadap
Kualitas Pembangunan Manusia.
Maiharyanti ( 2010), dalam penelitiannya tentang “ Pengaruh Pendapatan
Daerah Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Dan Belanja Modal sebagai
Variabel Intervening pada Pemerintah Kabupaten dan Kota di Nanggroe Aceh
Darussalam “. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan DAU, DAK,
PAD berpengaruh signifikan terhadap belanja modal, hasil koefisien jalur DAU
tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap Belanja Modal sedangkan
PAD berpengaruh secara parsial, Belanja Modal berpengaruh secara parsial
terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Model analisis data yang digunakan
adalah Path Analisis Model Trimming.
Beberapa penelitian sebelumnya yang dijadikan sebagai pedoman untuk
melakukan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.
28
Tabel 4. Ringkasan Penelitian Terdahulu
No
Peneliti
Judul
1
Kim Sung Tai
(1997)
The Rule of Local
Public Sectors in
Regional Growth in
Korea
2
Siti Aisyah T.
Rahayu (2000)
3
Arief Hadiono
(2001)
4
Yon
Hendrik
( 2009 )
Peranan Sektor
Publik Lokal
Terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi Regiaonal
di Indonesia
Faktor-faktor yang
Mempengaruhi
Pertumbuhan
Ekonomi di Propinsi
Jawa Tengah
Analisis Pengaruh
Kapasitas Fiskal
Terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi Kabupaten
Dairi
Variabel
Terikat
Pertumbuhan
ekonomi
Pertumbuhan
ekonomi
Bebas
Angkatan kerja, rasio investasi
swasta, rasio investasi Pemerintah
Daerah, rasio konsumsi pemerintah,
rasio penerimaan pemerintah daerah
terhadap PDRB
Angkatan kerja, rasio investasi
swasta, rasio konsumsi pemerintah,
rasio penerimaan pemerintah daerah
terhadap PDRB.
Alat
Analisis
OLS
OLS
Hasil Penelitian
Pajak daerah (penerimaan pemerintah daerah)
mempunyai pengaruh negatif yang signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi. Angkatan kerja,
investasi dan konsumsi pemerintah daerah
mempunyai pengaruh positif yang signifikan.
Investasi swasta dan laju pertumbuhan angkatan
kerja tidak memberikan dampak yang signifikan.
Penerimaan pemerintah dari sektor pajak daerah dan
non-pajak memberikan efek positif yang signifikan.
Pertumbuhan
ekonomi
daerah
(PDRB)
Investasi Pemerintah, Tenaga kerja,
Sarana angkutan umum.
OLS
Investasi pemerintah, penyerapan tenaga kerja dan
sarana angkutan umum seluruhnya berpengaruh
positif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Pertumbuhan
Ekonomi
(PDRB)
Bagi hasil Pajak dan Bukan Pajak,
Dana Alokasi Umum, Pendapatan
Asli Daerah, PDRBt-1.
OLS
Secara bersama-sama (serempak) yaitu variabel Bagi
Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BH), Dana Alokasi Umum
(DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan PDRBt-1
mampu mempengaruhi secara signifikan
pertumbuhan ekonomi ( PDRB) di Kabupaten Dairi
29
No
Peneliti
Judul
5
Fhino
Andrea
(2009)
Hubungan Antara Dana
Alokasi Umum, Belanja
Modal Dan Kualitas
Pembangunan Manusia
6
Eva
Maiharyanti
( 2010 )
Pengaruh Pendapatan
Daerah Terhadap
Indeks Pembangunan
Manusia Dan Belanja
Modal sebagai Variabel
Intervening Pada
Pemerintah Kabupaten /
Kota di Aceh Nanggroe
Darussalam
Variabel
Terikat
Indeks
Pembangunan
Manusia
Indeks
Pembangunan
Manusia
Bebas
Alat
Analisis
Hasil Penelitian
DAU,
Belanja Modal,
Regresi
sederhana
DAU berpengaruh positif terhadap belanja Modal,
Belanja Modal berpengaruh terhadap Indeks
Pembangunan Manusia
Variabel Independen :
Pendapatan Daerah
( PAD,DAU,DAK)
Variabel Intervening
Belanja Modal.
Path
analisis,
model
Triming
Secara simultan Pendapatan Daerah berbengaruh
terhadap Belanja Modal, Secara parsial DAU
tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal
sedangkan PAD berpengaruh secara parsial, Belanja
Modal berpengaruh terhadap Indeks Pembanguan
Manusia.
30
Kebaruan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian baru di Kota Bogor yang belum pernah
dilakukan sebelumnya.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu
adalah fokus tujuan penelitian yang meliputi perkembangan menuju kemandirian
wilayah (dalam bidang anggaran dan pendapatan), pertumbuhan ekonomi dan
indeks pembangunan manusia yang mana pada penelitian sebelumnya hanya salah
satu saja dari tujuan tersebut. Penggunaan variabel-variabel dalam penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya relatif sama yaitu penerimaan pemerintah,
pengeluaran pemerintah, investasi dan angkatan kerja.
Kerangka Pemikiran Teoritis
Berdasarkan telaah pustaka, beberapa hal dapat dilakukan sebagai dasar
bagi peneliti dalam membantu melakukan pengkajian mengenai kebijakan
pemerintah khususnya pengeluaran pemerintah dengan ruang lingkup pemerintah
daerah. Bahwa sebagaimana dalam kontek negara, peran pemerintah daerah
sangat diperlukan dalam kerangka mengatasi masalah-masalah yang tidak dapat
dihadapi oleh pasar yaitu dalam hal penyediaan barang-barang publik. Pemerintah
daerah dituntut dapat berperan aktif dalam upaya meningkatkan pertumbuhan
ekonomi daerah guna tercapainya kesejahteraan masyarakat. Pendekatan pada
upaya peningkatan pertumbuhan bukanlah semata-mata menentukan pertumbuhan
sebagai satu-satunya tujuan pembangunan daerah, namun pertumbuhan
merupakan salah satu ciri pokok terjadinya proses pembangunan.
Penelitian ini mendasarkan pada model pertumbuhan Neo Klasik yang
mempergunakan fungsi dasar dari fungsi produksi Cobb-Douglas, dengan
mempertimbangkan kemampuannya untuk menunjukkan hubungan perimbangan
antara hasil produksi di satu pihak dan di lain pihak suatu kombinasi berbagai
rupa sarana produksi (faktor produksi) yang digunakan dalam proses produksi.
Dengan kata lain fungsi produksi mengungkapkan berapa banyak hasil produksi
yang diperoleh dengan menggunakan suatu kombinasi tertentu perihal sejumlah
sarana produksi.
Y = A.K α. L β
...................................
(2.28)
Berdasarkan uraian di atas maka kajian dalam penelitian yang mengambil
kasus di Kota Bogor dengan variabel-variabelnya Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) Kota Bogor yang dipengaruhi oleh belanja pendidikan (BBP),
belanja kesehatan (BBK), investasi (INV) dan penyerapan tenaga kerja (PTK).
Untuk penentuan besarnya pengaruh belanja pemerintah terhadap pertumbuhan
ekonomi di Kota Bogor, dapat dibangun suatu fungsi berdasar pendekatan Kim
(1997) sebagai berikut :
PDRBt = f (INV ,BBP,BBK, PTK ) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
(2.29)
31
Dari persamaan (2.31) dan (2.32), maka diperoleh
Y = A INVα1 BBP α2 BBK α3 PTK α4
Keterangan:
K
P
H
PTK
A
α1,α2,α3,α4,
= Persediaan modal (capital stock)
= Belanja pendidikan
= Belanja kesehatan
= Penyerapan tenaga kerja
= Konstanta
= koefisien
Nilai investasi (INV), belanja pendidikan, belanja kesehatan, jumlah
angkatan kerja terdidik dan angkatan kerja tidak terdidik di kota Bogor selama
periode pengamatan 1990-2011 dijadikan variabel-variabel bebas yang secara
parsial atau bersama-sama diduga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Kota
Bogor. Skema hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan variabel-variabel
yang mempengaruhinya dapat dijelaskan pada gambar 6.
Gambar 3
Bagan Kerangka Pemikiran Teoritis
Gambar 3 memperlihatkan bahwa secara tidak langsung pendidikan
memainkan peran kunci dalam hal kemampuan suatu perekonomian untuk
mengadopsi teknologi modern dan dalam membangun kapasitasnya bagi
pembangunan dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Kesuksesan dalam
pendidikan bergantung juga pada kecukupan kesehatan. Disamping itu kesehatan
32
merupakan prasayarat bagi peningkatan produktivitas. Dengan demikian
kesehatan dan pendidikan dapat juga dilihat sebagai komponen vital dalam
pertumbuhan dan pembangunan sebagai input bagi fungsi produksi agregat.
Total investasi merupakan faktor penting untuk pertumbuhan ekonomi.
Total investasi sangat dipengaruhi oleh investasi dan depresiasi. Pertumbuhan
ekonomi sangat ditentukan oleh kemampuan swasta atau masyarakat dalam
penyerapan modal. Pada umumnya, keterbatasan kapasitas untuk menyerap modal
di suatu wilayah disebabkan karena kurangnya teknologi dan tenaga kerja
terampil.
Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor dinamika dalam
perkembangan ekonomi jangka penjang bersamaan dengan ilmu pengetahuan, dan
sumber daya alam. Pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja terutama tenaga kerja
terdidik dianggap sebagai faktor positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi.
Jumlah tenaga kerja yang besar dapat berarti menambah jumlah tenaga produktif.
Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik hipotesis berkaitan dengan
penelitian dampak investasi, belanja pemerintah dan angkatan kerja terhadap
pertumbuhan ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia sebagai berikut :
H1:
H1:
Investasi, belanja pemerintah dan angkatan kerja berpengaruh positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Bogor.
Belanja pemerintah bidang pendidikan, bidang kesehatan
dan upah
minimum kota berpengaruh positif terhadap indeks pembangunan manusia
di Kota Bogor.
3
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan studi empiris terhadap pengaruh faktor
pengeluaran pemerintah (belanja pendidikan dan belanja kesehatan), investasi,
angkatan kerja terdidik dan angkatan kerja tidak terdidik terhadap pertumbuhan
ekonomi di Kota Bogor.
Jenis dan Sumber Data
Penelitian dilakukan di Pemerintah Kota Bogor dengan menggunakan data
sekunder runtun waktu (time series) tahunan dari tahun 1990 – 2011 yang
ditunjang dengan studi kepustakaan. Data yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Produk Domestik Regional Bruto dari tahun 1990 sampai dengan 2011
(variabel dependen).
2. Belanja pendidikan Pemkot Bogor dari tahun 1990 sampai dengan 2011
(Variabel independen).
3. Belanja kesehatan Pemkot Bogor dari tahun 1990 sampai dengan 2011
(Variabel independen).
4. Total Investasi di Kota Bogor dari tahun 1990 sampai dengan 2011
(Variabel independen).
5. Angkatan kerja berdasarkan tingkat pendidikan di Kota Bogor dari tahun
1990 sampai dengan 2011(Variabel independen).
6. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemkot Bogor
dari tahun 1990 sampai dengan 2011.
7. Indeks Pembangunan Manusia di Kota Bogor dari tahun 1990-2011.
Metode pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara pencatatan data yang bersumber
dari publikasi yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Koordinasi Penanaman
Modal Daerah (BKPMD), Bank Indonesia (BI) dan terbitan resmi pemerintah
maupun dengan cara studi pustaka dari literatur dan jurnal-jurnal yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian.
Seluruh data yang dikumpulkan adalah data
runtun waktu dari tahun 1990-2011, kecuali dana perimbangan yaitu data runtun
waktu tahun 2001-2011.
Teknik Analisis
Deskripsi tentang pola perkembangan ekonomi, Indeks Pembangunan
Manusia (IPM), pendapatan daerah,belanja bidang pendidikan, belanja bidang
kesehatan, belanja bidang infrastruktur, investasi dan angkatan kerja tahun 1990
sampai dengan 2011, yang meliputi proporsi dan pertumbuhan untuk tiap-tiap
jenis peubah. Analisis tersebut diharapkan mendapatkan gambaran mengenai
34
konsistensi serta kesinambungan kebijakan pengeluaran pemerintah sebagai salah
satu instrumen kebijakan pemerintah dari tahun ke tahun. Juga dilihat peran dana
alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), pendapatan asli daerah (PAD)
dan dana bagi hasil mulai tahun 2001 sampai dengan 2011.
Menguji peranan dana transfer dan Pendapatan Asli Daerah terhadap
Belanja Daerah, alat analisis statistik yang digunakan adalah multiple regression
(Juanda, 2009). Regresi berganda digunakan untuk memprediksi apakah DAU,
DAK dan PAD tersebut mempengaruhi jumlah belanja daerah tahun berjalan.
Demikian juga untuk menganalisis hubungan atau pengaruh antara variabel
dependen (pertumbuhan ekonomi dan IPM) dengan variabel independen (belanja
pemerintah, investasi dan angkatan kerja) serta untuk mengetahui besaran dan
arah dari hubungan variabel tersebut digunakan analisis regresi berganda seperti
yang terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Tujuan dan analisis yang digunakan
No
Tujuan Penelitian
Analisis
Pengamatan
Sumber Data
1
Menganalisis peranan DAU,
DAK, PAD dan DBH terhadap
penerimaan daerah kota
Bogor.
Deskriptif
Rasio jumlah DAU
dan DAK; PAD dan
DBH terhadap
penerimaan daerah.
Dokumen Realisasi
APBD
2
Mengukur dan menganalisis
peranan DAU, DAK, PAD dan
DBH terhadap belanja daerah
kota Bogor.
Regresi
linear
(OLS)
Besaran F hitung
dikonsultasikan
dengan F-tabel.
Besaran t-hitung
dikonsultasikan
dengan t-tabel.
Dokumen Realisasi
APBD,
APBD menurut
fungsi dan urusan,
3
Mengukur dan menganalisis
besarnya dampak belanja
pendidikan, belanja kesehatan,
investasi, angkatan kerja, upah
minimum kota terhadap
kinerja ekonomi di kota
Bogor.
Regresi
linear
(OLS)
Besaran F hitung
dikonsultasikan
dengan F-tabel.
Dokumen Realisasi
APBD,
Statistik Kota Bogor,
Besaran t-hitung
dikonsultasikan
dengan t-tabel.
APBD menurut
fungsi dan urusan,
BKPMD
Mengukur dan menganalisis
besarnya dampak belanja
pendidikan, belanja kesehatan,
upah minimum kota terhadap
Indeks Pembangunan Manusia
di kota Bogor.
Regresi
Linier
(OLS)
Besaran F hitung
dikonsultasikan
dengan F-tabel.
Dokumen Realisasi
APBD,
Statistik Kota Bogor,
Besaran t-hitung
dikonsultasikan
dengan t-tabel.
APBD menurut
fungsi dan urusan,
BKPMD
4
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
kuantitatif induktif, yaitu tekhnik analisis yang dapat digunakan untuk menaksir
parameter. Analisis data dilakukan dengan menguji secara statistik terhadap
variabel-variabel yang telah dikumpulkan dengan menggunakan bantuan
perangkat lunak (Minitab dan Excel).
35
Menganalisis hubungan atau pengaruh antara variabel independen dengan
variabel dependen serta untuk mengetahui besaran dan arah dari hubungan
variabel tersebut digunakan analisis regresi. Sedangkan analisis korelasi
digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat atau derajat keeratan antara
variabel yang ada. Model adalah ringkasan teori yang dinyatakan dalam formulasi
matematika. Untuk mencapai tujuan dimaksud digunakan model ekonometrika,
yang merupakan pola khusus dari model matematika mencakup juga variabel
pengganggu (error term) (Juanda, 2009). Analisis regresi yang digunakan adalah
regresi berganda dengan metode kuadrat terkecil (Method of Ordinary Least
Square) OLS. Metode ini diyakini mempunyai sifat-sifat yang dapat diunggulkan
yaitu secara teknis sangat akurat, mudah dalam menginterprestasikan
perhitungannya serta sebagai alat estimasi linier dan unbiased terbaik (Juanda,
2009). Menghitung elastisitas dari variabel tergantung terhadap variabel bebas
dilakukan secara manual. Apabila model persamaan berbentuk linier maka
elastisitas dihitung dari perkalian koefisien regresi variabel bebas dengan rata-rata
variabel bebas dan dibagikan terhadap rata-rata variabel tergantung ( β*Ẍ/á¿©).
Apabila model persamaan linier-log, maka elastisitas dihitung dari koefisien
regresi variabel bebas dibagikan terhadap rata-rata variabel tergantung ( β/á¿©).
Secara umum model yang digunakan terbagi ke dalam tiga kelompok
persamaan yaitu kelompok persamaan pengeluaran daerah, kelompok kinerja
ekonomi dan kelompok Indeks Pembangunan Manusia.
a.
Belanja Daerah
Total Belanja Daerah
TBD
= a1 + a2 PAD + a3 DAU + μ 1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.1)
Belanja Rutin Daerah
BRD
= b1 + b2 PAD + b3 DAUt-1 + μ2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.2)
Belanja Modal Daerah
BMD = c1 + c2 PAD + c3 DBH + c4 DAK+ c5 BRD + μ3 . . . . .(3.3)
Belanja Pembangunan Bidang Pendidikan
BBP
= d1 + d2 PAD+d3 DBH+d4 DAK+d5 DAU+ μ4 . . . . . . . . . . .(3.4)
Belanja Pembangunan Bidang Kesehatan
BBK
= e1 +e2 PAD+e3 DAU+e4 DAK+e5 DBH + μ5
. . . . . . . . . . (3.5)
Belanja Pembangunan Bidang Infrastruktur
BBI= f1 +f2 PAD+f3 DBH+f4 DAK+f5 DAU + f6 BRDt-1 + μ6 . . . . . .(3.6)
b.
Kinerja Ekonomi
Investasi Daerah
L_INV = g1 + g2 L_PDRB + g3 L_UMK + g4 L_PADt-1 + μ7 . . . . (3.7)
Penyerapan Tenaga Kerja
PTK= h1 +h2 UMK+h3 TK+h4 INV+ h5 PTK t-1 + DOTD + μ8 . . . . . . (3.8)
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
L_PDRB = i1 + i2 L_BBI+ i3 L_INVt-1 + i4 L_BBPt-3 + i5 L_TK+ μ 9 . (3.9)
c.
Indeks Pembangunan Manusia
IPM = j1 + j2 L_BBK + j3 L_BBI+ j4 L_UMK+ j5 L_INVt-1 + j6 L_BBP
+ μ10
. . . . . . . . . . . .. .. . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.10)
36
Keterangan variabel dalam model:
BBI : Belanja pembangunan bidang infrastruktur (juta/tahun)
BBK : Belanja pembangunan bidang kesehatan (juta/tahun)
BBP : Belanja pembangunan bidang pendidikan (juta/tahun)
BMD : Belanja modal daerah (juta/tahun)
BRD : Belanja rutin daerah (juta/tahun)
DAU : Dana alokasi umum (juta/tahun)
DAK : Dana alokasi khusus (juta/tahun)
DBH : Dana bagi hasil (juta/tahun)
DOTD : Dummy otonomi daerah (tahun 1990-2000=0, tahun 2001-2011=1)
DKE : Dummy krisis ekonomi (tahun 1990-1997=0, tahun 1998-2011=1)
INV : Investasi daerah (juta/tahun)
IPM : Indeks pembangunan manusia
PAD : Pendapatan asli daerah (juta/tahun)
PDRB : Produk domestik regional bruto (juta/tahun)
PTK : Penyerapan tenaga kerja atau angkatan kerja yang bekerja (orang)
TK
: Total angkatan kerja (orang)
UMK : Upah minimum kota
Sebelum dilakukan pembahasan, maka perlu dilakukan beberapa langkah
penyesuaian data (konversi tahun dasar PDRB) dan uji keeratan hubungan antar
variabel dependen dengan variabel independen serta Uji model (statistik dan
asumsi klasik) terhadap model yang digunakan.
Uji Model
Sebelum digunakan untuk pengujian hipotesis, maka model yang dihasilkan
melalui regresi dilakukan pengujian untuk mendapatkan “best fit model”.
Realibilitas parameter yang diestimasi dapat dilihat melalui tiga kriteria :
1. Kriteria ekonomi, yang ditetapkan berdasarkan teori ekonomi yang ada.
2. Kriteria statistik, yang meliputi uji signifikansi parameter secara individual
(uji t), simultan (uji F), uji R square dan uji tanda koefisien yang dihasilkan
(uji orde I).
3. Ketiadaan penyimpangan terhadap asumsi-asumsi klasik, yang meliputi uji
Linearitas, uji autokorelasi, uji multikolinearitas dan uji heterokesdatisitas
(Uji Orde II).
Untuk model-model yang telah melewati uji signifikansi dan uji asumsi klasik
baru dapat dipergunakan untuk uji hipotesis. Penjelasan dari uji yang dimaksud di
atas adalah sebagai berikut:
a.
Uji Signifikansi (Pengujian secara statistik orde I)
Uji t
Uji statistik t digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen. Perhitungan t (t-statistik) merupakan
suatu perhitungan untuk mencari signifikansi variabel independen terhadap
variabel dependen. Nilai dari t- statistik yang telah diketahui, kemudian
dibandingkan dengan nilai t-tabel dengan menggunakan dua arah pada derajat
kepercayaan tertentu. Variabel independen dikatakan signifikan terhadap variabel
37
dependen apabila nilai t-statistik variabel independen terletak di dalam daerah
kritis atau dengan kata lain bahwa nilai t-statistik lebih besar dari nilai t-tabel, hal
ini berarti terdapat pengaruh yang cukup berarti dari variabel independen terhadap
variabel dependen. Begitu sebaliknya apabila nilai t-statistik lebih kecil dari nilai
t-tabel, maka dapat dikatakan tidak terdapat pengaruh yang berarti (Juanda,
2009b).
Uji F
Uji F pada dasarnya digunakan untuk menunjukkan pengaruh (signifikan)
variabel independen yang dimasukkan dalam model secara bersama-sama
(simultan) terhadap variabel tak bebas. Nilai F statistik dapat dihitung dengan
melihat nilai dari F tabel. Nilai F statistik dikatakan signifikan apabila nilainya
terletak di dalam daerah kritis. Nilai F statistik dihitung dengan formula sebagai
berikut :
F= MSS dari ESS/MSS dari RSS= {R2/ k-1 }:{(1-R2) / n-k} . . . . . . . . . . . .(3.10)
Mengikuti distribusi F dengan derajat kebebasan K-1 dan n-1.
Keterangan:
n
= jumlah observasi
MSS = jumlah kuadrat yang dijelaskan
RSS = rata-rata jumlah kuadrat
K
= jumlah parameter (termasuk intersep)
ESS = jumlah kuadrat residual
R2
= koefisien determinan
Perhitungan R2 (koefisien determinan)
Koefisien determinan di gunakan untuk mengukur seberapa jauh
kemampuan suatu model dalam menerangkan variabel dependen atau dengan kata
lain untuk mengukur tingkat hubungan antara variabel dependen dengan semua
variabel independen secara bersama-sama. Menghitung determinasi (R2) dapat
menggunakan formula sebagai berikut :
R2 = ESS/ TSS= 1 - [ R2 /k-1 : (1-R2 ) / n-k]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(3.11)
Persamaan di atas menunjukan proporsi total jumlah kuadrat (TSS) yang
diterangkan oleh variabel bebas dalam model. Sedangkan sisanya dijelaskan oleh
variabel independen lain yang belum/tidak dimasukkan dalam model. Nilai
koefisien determinan antara 0 dan 1. Nilai koefisien determinan yang mendekati 0
(nol) berarti kemampuan semua variabel independen dalam menjelaskan variabel
dependen amat terbatas. Nilai koefisien determinan yang mendekati 1 (satu)
berarti variabel-variabel independen hampir memberikan informasi yang
dijelaskan untuk mempredikasi variasi variabel dependen. Kelemahan mendasar
penggunaan koefisien determinan adalah bias terhadap jumlah variabel
independen yang dimasukkan kedalam model. Setiap penambahan satu variabel
independen pasti akan meningkatkan koefisien determinan, tidak peduli apakah
variabel independen tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel
dependen.
38
b.
Pengujian secara Ekonometrik (Orde II)
Pengujian secara Ekonometrik biasanya disebut juga dengan Uji Asumsi
Klasik yang terdiri dari :
Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ,
variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Ada dua cara untuk
mendeteksi apakah residul berdistribusi normal atau tidak dengan analisis grafis
dan uji statistik (Juanda, 2009).
Dalam penelitian ini, uji statistik yang digunakan untuk menguji normalitas
residual adalah uji statistik non-parametrik Kolmogorov-Smirnov (KS). Uji K-S
dilakukan dengan membuat hipotesis :
H0 : Data residual berdistribusi normal
HA : Data residual tidak berdistribusi normal.
Ketentuan yang digunakan berdasarkan Kolmogorov-Smirnov Test (K-S) adalah
sebagai berikut :
a. Jika Probabilitas (Asymp.sig) < 0,05 , maka data berdistribusi tidak normal.
b. Jika Probabilitas (Asymp.sig) > 0,05 , maka data berdistribusi normal.
Uji Heterokedasitas
Heterokedasitas adalah suatu kondisi tidak terpenuhinya asumsi
homokedasitas. Di dalam regresi linear berganda, salah satu asumsi yang harus
dipenuhi agar taksiran parameter dalam model tersebut bersifat BLUE
(Best,Linear, Unbiased dan ewstimator) adalah var (μi) =σ2 yang mempunyai
variasi yang sama (homokedasitas). Pada kasus lain dimana μi tidak konstan
disebut heterokedasitas. Untuk mendeteksi keberadaan heterokedasitas dapat
dilakukan melalui Park test (Uji Park). Uji ini terdapat 2 (dua) tahapan yaitu
pertama melaksanakan regresi OLS dengan tidak memandang persoalan
heterokedasitas dan didapatkan nilai ei, kedua melalui regresi sebagai berikut :
Ln ei2 = α + β Ln Xi + vi
Jika nilai β signifikan secara statistik, maka data terdapat heterokedasitas, jika
tidak signifikan maka asumsi homokedasitas dapat diterima.
Uji Autokorelasi
Autokorelasi merupakan korelasi antara anggota serangkaian observasi yang
diurutkan menurut waktu (seperti data time series) atau ruang (seperti data cross
section). Uji yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya autokorelasi yaitu uji
Durbin Watson (DW). Uji Durbin Watson dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut (Gujarati, 1995):
1. Melakukan regresi model lengkap untuk mendapatkan nilai residual
2. Hitung d (Durbin Watson statistik) dengan rumus:
d = Σ (en – en-1 )2 / Σ e2 n ..... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.12)
Hasil rumus tersebut (nilai d statistik) kemudian dibandingkan dengan nilai d
tabel Durbin Watson. Di dalam tabel dimuat 2 nilai, yaitu nilai batas atas (du) dan
39
nilai batas bawah (dl) untuk berbagai nilai n dan k. Di dalam model tidak terdapat
autokorelasi jika nilai d statistik pada taraf signifikan ( α ) 5 persen terletak di
dalam daerah penerimaan.
Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas berarti adanya hubungan linear yang sempurna atau pasti
diantara beberapa atau semua variabel independen dalam model regresi. Pada
kasus multikolinearitas yang serius, koefisien regresi tidak lagi menunjukan
pengaruh murni dari variabel bebas dalam model.
Metode yang digunakan dalam uji multikolinearitas ini adalah metode Klein
dan kesepakatan Gujarati terhadap nilai korelasi antar variabel, yaitu dengan
perbandingan antara R2 penyesuaian Adjusted R2 hasil regresi antar variabel
bebas. Kemungkinan adanya multikolinearitas apabila Adjusted R2 model uji
variabel bebas dari Adjusted R2 model utama.
Indikasi lain terdapat gejala multikolinaritas adalah dengan menggunakan
correlation matrics, dimana apabila correlation matrics lebih besar daripada 0,8
berarti terdapat gejala multikolinearitas, dan sebaliknya.
Definisi operasional variabel
Variabel yang dianalisis meliputi variabel-variabel yang dipilih dengan
pengertian dasar atau konsep operasional sebagai berikut.
1. Pertumbuhan Ekonomi (PDRB), variabel dependen. Yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah jumlah produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh
berbagai unit produksi dalam suatu daerah dalam jangka waktu tertentu.
Pertumbuhan ekonomi Kota Bogor digambarkan dalam PDRB atas dasar
harga konstan 2000 karena data ini menunjukkan pertumbuhan riil daerah.
2. Belanja Pendidikan (BBP). variabel independen. Yang dimaksud belanja
pendidikan dalam penelitian ini adalah besarnya realisasi pengeluaran
menurut fungsi yaitu sektor pendidikan yang didanai dan tercantum dalam
APBD Kota Bogor, dinyatakan dalam satuan nilai juta rupiah.
3. Belanja kesehatan (BBK), Variabel Independen. Yang dimaksud belanja
pendidikan dalam penelitian ini adalah besarnya realisasi pengeluaran
menurut fungsi yaitu sektor kesehatan yang didanai dan tercantum dalam
APBD Kota Bogor dinyatakan dalam satuan nilai juta rupiah.
4. Total investasi (INV), variabel independen. Total investasi dalam penelitian
ini adalah besarnya realisasi seluruh investasi penanaman modal
(Swasta,BUMN/BUMD,Asing) yang telah mendapat SPT (Surat Persetujuan
Tetap) di Kota Bogor ,ditambah dengan ketersediaan modal tahun
sebelumnnya dikurangi dengan penyusutan modal tahun sebelumnya,
dinyatakan dalam satuan nilai juta rupiah.
5. Total angkatan kerja (TK). Yang dimaksud total angkatan kerja dalam
penelitian ini adalah jumlah penduduk usia produktif kerja yang berumur 15
tahun ke atas, dinyatakan dalam satuan orang.
6. Total penyerapan tenaga kerja (PTK).
Yang dimaksud dengan total
penyerapan tenaga kerja adalah jumlah penyerapan tenaga kerja dari seluruh
sektor ekonomi di kota Bogor, dinyatakan dalam satuan orang.
4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR
Administrasi dan Geografis Kota Bogor
Luas wilayah Kota Bogor tercatat 11.850 Ha atau 0,27% dari luas
propinsi Jawa Barat. Kota Bogor ini terdiri dari 6 Kecamatan, yaitu Kecamatan
Bogor Selatan, Bogor Utara, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Tengah dan Tanah
Sareal, yang meliputi 68 Kelurahan. Kota Bogor terletak diantara 106 480 BT dan
6 360 LS serta mempunyai ketinggian rata rata minimal 190 meter, maksimal 350
meter, kemiringan lereng antara 0-3%, 4-15%, 16-30% dan diatas 40% dengan
jarak dari Ibu Kota kurang lebih 60 Km, dikelilingi Gunung Salak, Gunung
Pangrango dan Gunung Gede.
Kota Bogor dikenal dengan sebutan Kota Hujan karena memiliki curah
hujan yang tinggi yaitu berkisar 3.500 – 4.000 milimeter pertahunnya. Sebagai
salah satu bagian dari propinsi Jawa Barat, Kota Bogor merupakan penyangga Ibu
Kota Negara yang memiliki Asset Wisata Ilmiah yang bersifat Internasional
(Kebun Raya). Pusat Kota Bogor terletak 100 Km disebelah Selatan dari
Pelabuhan Sunda Kelapa yang pada jaman dahulu kala merupakan pelabuhan
terpenting bagi Negara Pakuan Pajajaran yang pusatnya sekitar BatuTulis di
Selatan Kota Bogor.
Kota Bogor yang disebut sebagai Kota Hujan dialiri beberapa sungai yang
permukaan airnya jauh dibawah permukaan Kota, yaitu Sungai Ciliwung,
Cisadane, Cipakancilan, Cidepit, Ciparigi, dan Cibalok, maka boleh dikatakan
secara umum Kota Bogor aman dari bahaya banjir.
Kependudukan
Kondisi Penduduk
Jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2011 hasil sensus BPS tercatat sebanyak
967.398 jiwa, yang terdiri dari 493.761 jiwa penduduk laki-laki dan 473.637 jiwa
penduduk perempuan. Dengan luas wilayah Kota Bogor sekitar 118,50 kilo meter
persegi yang didiami oleh 967.398 orang maka rata-rata tingkat kepadatan
penduduk Kota Bogor adalah sebanyak 8.164 orang per kilo meter persegi. Kota
Bogor merupakan kota penyangga dari Kota Jakarta dengan tingkat kepadatan
penduduk Kota Bogor cukup tinggi, ciri–ciri daerah perkotaan adalah kepadatan
penduduk per kilometer persegi sangat tinggi diatas 5.000 jiwa/km2, untuk Kota
Bogor rata-rata per kilometer ditempati sebanyak 8.164 jiwa penduduk.
Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kecamatan
Bogor Tengah yakni sebanyak 12.564 orang per kilo meter persegi sedangkan
yang paling rendah adalah Kecamatan Bogor Selatan yakni sebanyak 5.983 orang
per kilometer persegi. Gambaran lebih jelas mengenai penduduk Kota Bogor
menurut kecamatan dan jenis kelamin pada tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 6.
41
Tabel 6.
Jumlah penduduk Kota Bogor menurut kecamatan dan jenis kelamin
tahun 2011
Kecamatan
Bogor Selatan
Bogor Timur
Bogor Utara
Bogor Tengah
Bogor Barat
Tanah Sareal
Jumlah
Laki-Laki
95.003
49.135
88.754
51.743
109.446
99.680
493.761
Perempuan
89.333
47.482
84.978
50.402
105.380
96.062
473.637
Jumlah
184.336
96.617
173.732
102.145
214.826
195.742
967.398
Sex Ratio
106
103
104
103
104
104
104
Sumber : BPS Kota Bogor Tahun 2012
Penduduk Kota Bogor terus bertambah dari waktu ke waktu. Pada tahun
1961, ketika sensus penduduk pertama setelah Indonesia merdeka, jumlah
penduduk Kota Bogor sebanyak 154,1 ribu jiwa. Pada tahun 1971 penduduk
Kota Bogor sebanyak 195,9 ribu jiwa, tahun 1980 sebanyak 246,9 ribu jiwa,
tahun 1990 sebanyak 271,7 ribu jiwa, tahun 2000 sebanyak 750,8 ribu jiwa, dan
pada tahun 2010 sebanyak 949,1 ribu jiwa. Kenaikan yang cukup tinggi dalam
kurun waktu 1990–2000 disebabkan wilayah Kota Bogor bertambah 46 kelurahan
dari Kabupaten Bogor berdasarkan PP No. 2/1995. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 4.
Gambar 4. Tren jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2010
Sumber: BPS Kota Bogor Tahun 2012
Laju pertumbuhan penduduk Kota Bogor per tahun selama sepuluh tahun
terakhir yakni dari tahun 2000-2010 sebesar 2,38 persen. Laju pertumbuhan
penduduk Kecamatan Tanah Sareal adalah yang tertinggi dibandingkan
kecamatan-kecamatan lain di Kota Bogor yakni sebesar 3,43 persen, sedangkan
yang terendah adalah Kecamatan Bogor Tengah yakni sebesar 1,15 persen.
Kecamatan Bogor Barat walaupun menempati urutan pertama dari jumlah
penduduk namun laju pertumbuhan penduduknya menempati urutan ketiga yakni
sebesar 2,39 persen seperti yang terlihat pada Gambar 5.
42
Gambar 5. Laju pertumbuhan penduduk Kota Bogor tahun 2000-2010
Sumber: BPS Kota Bogor Tahun 2012
Ketenagakerjaan
Penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 15 tahun
dan lebih dapat digolongkan sebagai angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.
Proporsi penduduk yang tergolong "angkatan kerja" adalah mereka yang aktif
dalam kegiatan ekonomi. Keterlibatan penduduk dalam kegiatan ekonomi diukur
dengan porsi penduduk yang masuk dalam pasar kerja yakni yang bekerja atau
mencari pekerjaan. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) merupakan
ukuran yang menggambarkan jumlah angkatan kerja untuk setiap 100 tenaga
kerja.
Penduduk usia kerja pada tahun 2011 di Kota Bogor sebanyak 704.431
jiwa yang terdirir dari 436.206 jiwa merupakan angkatan kerja dan 268.225 jiwa
bukan angkatan kerja. Komposisi dari 436.206 angkatan kerja adalah 391.221
jiwa penduduk yang bekerja dan 44.985 jiwa merupakan pengangguran terbuka.
Sementara untuk penduduk yang tergolong bukan angkatan kerja sebagian besar
adalah mengurus rumah tangga, masih bersekolah dan yang lainnya sebanyak
268.225 jiwa. Gambaran jumlah penduduk 15 tahun keatas menurut jenis kegiatan
utama di kota Bogor tahun 2009-2011 dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7.
Jumlah penduduk 15 tahun keatas menurut jenis kegiatan utama di
Kota Bogor tahun 2009-2011
Jenis Kegiatan Utama
I. Angkatan Kerja
Bekerja
Pengangguran
II. Bukan Angkatan Kerja
Sekolah, Mengurus Rumah Tangga dan
Lainnya
Jumlah
Tingkat Partsipasi Angkatan Kerta
(TPAK)(%)
Tingkat Pengangguran (%)
Sumber : BPS Kota Bogor Tahun 2012
2009
476.126
385.488
90.638
316.876
Tahun
2010
418.742
346.727
72.015
220.004
2011
436.206
391.221
44.985
268.225
793.002
638.746
704.431
60,04
65,56
61,92
19,04
17,20
10,31
43
Berdasarkan data pada Table 7 perkembangan tingkat partisipasi angkatan
kerja (TPAK) tiga tahun terakhir dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011
terjadi fluktuasi nilai TPAK, untuk tahun 2009 sebesar 60,04%, kemudian
meningkat menjadi 65,56% pada tahun 2010 dan terjadi penurunan pada tahun
2011 menjadi 61,92%. Namun, untuk tingkat pengangguran dalam tiga tahun
terakhir terjadi penurunan yakni pada tahun 2009 sebesar 19,04%, turun menjadi
17,20% pada tahun 2010 dan menjadi 10,31% di tahun 2011. Hal ini menujukkan
tingkat pengangguran semakin berkurang merupakan kesempatan kerja
memberikan gambaran besarnya tingkat penyerapan pasar kerja. Gambaran
jumlah pekerja berdasarkan lapangan usaha dan jenis kelamin Kota Bogor tahun
2011 disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8
Jumlah penduduk 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan
usaha dan jenis kelamin Kota Bogor tahun 2011
Lapangan Usaha
Pertanian, Kehutanan, Perikanan dan
Perburuan
Industri Pengolahan
Perdaganganan Rumah Makan dan Hotel
Jasa Kemasyarakatan
Lainnya
Jumlah
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
4.703
-
4.703
38.706
62.729
67.117
86.491
259.746
22.151
50.045
46.580
12.699
131.475
60.857
112.774
113.967
99.190
391.221
Sumber : BPS Kota Bogor Tahun 2012
Berdasarkan data pada Tabel 8 jumlah pekerja terbesar bekerja disektor jasa
kemasyarakatan sebanyak 113.967 orang terdiri dari 67.117 laki-laki dan 46.117
perempuan. Sektor kedua terbesar dari sektor perdagangan rumah makan dan hotel
sebanyak 112.774 terdiri dari 62.729 laki-laki dan 50.045 perempuan. Sedangkan
sektor terkecil dari pertanian, kehutanan, perikanan dan perburuan sebanyak 4.703
orang yang terdiri hanya dari laki-laki
Perekonomian Daerah
Pertumbuhan Ekonomi
Perkembangan perekonomian Kota Bogor dalam kurun waktu enam tahun
terlihat cukup pesat perkembangannya. Pada tahun 2006 tercatat nilai PDRB atas
dasar harga berlaku sebesar Rp. 7,257 miliar, dalam kurun enam tahun nilai
PDRB mencapai Rp. 15,487 miliar (BPS Kota Bogor, 2012). Perkembangan laju
pertumbuhan ekonomi Kota Bogor dari tahun 2006 sampai 2010 menunjukan
angka pertumbuhan yang fluktuatif dan tumbuh positif, pertumbuhan ekonomi
tahun 2006-2010 memiliki laju pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 5 persen.
Sektor yang memiliki kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi adalah
sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri pengolahan, sektor
transportasi dan komunikasi, dan sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan.
Berikut laju pertumbuhan PDRB Kota Bogor menurut lapangan usaha atas dasar
harga berlaku tahun 2006 - 2010 dapat lihat pada Tabel 9.
44
Tabel 9
Kode
Sektor
(1)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Laju pertumbuhan PDRB Kota Bogor menurut lapangan usaha atas
dasar harga berlaku tahun 2006 - 2011
Lapangan Usaha
(2)
Pertanian
a. Tanaman Bahan Makanan
b. Tanaman Perkebunan
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
d. Perikanan
Pertambangan Dan Penggalian
a. Penggalian
Industri Pengolahan*
a. Industri Non Migas
1.Makanan, Minuman dan
Tembakau
2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas Kaki
3. Brg. Kayu & Hasil Hutan
Lainnya
4. Kertas dan Barang Cetakan
5. Pupuk, Kimia & Brg dari Karet
6. Semen & Brg. Galian Bukan
Logam
7. Logam Dasar Besi dan Baja
8. Alat Angkutan, Mesin &
Peralatannya
9. Barang Lainnya
Listrik, Gas, Dan Air Bersih
a. Listrik
b. Gas Kota
c. Air Bersih
Bangunan
Perdagangan, Hotel, Dan
Restoran
a. Perdagangan Besar dan Eceran
b. Hotel
c. Restoran
Pengangkutan Dan Komunikasi
a. Pengangkutan
7.a.1 Angkutan Rel
7.a.2 Angkutan Jalan Raya
7.a.3 Jasa Penunjang Angkutan
b. Komunikasi
1. Pos dan Telekomunikasi
2. Jasa Penunjang Komunikasi
Keuangan, Persewaan, & Jasa
Persh.
a. Bank
b. Lembaga Keuangan selain Bank
c. Jasa Penunjang Keuangan
d. Sewa Bangunan
e. Jasa Perusahaan
Jasa-Jasa
a. Pemerintahan Umum
b. Swasta
9.b.1 Sosial Kemasyarakatan
9.b.2 Hiburan dan Rekreasi
Perorangan dan Rumah
9.b.3 Tangga
PDRB
Sumber: BPS Kota Bogor, 2012
2006
2007
2008
2009
2010
2011**
(8)
(3)
7.44
9.92
3.24
2.62
4.30
7.87
7.87
19.83
19.83
(4)
7.82
10.24
4.12
2.89
4.36
7.89
7.89
20.66
20.66
(5)
7.84
10.12
4.13
2.91
4.38
7.90
7.90
19.89
19.89
(6)
7.83
9.93
4.14
2.96
4.44
7.91
7.91
20.18
20.18
(7)
7.95
9.94
4.16
3.03
4.57
8.02
8.02
19.72
19.72
15.84
20.84
15.96
21.88
15.98
20.75
15.97
21.07
15.91
20.34
6.20
0.00
23.65
3.57
0.00
24.25
6.29
0.00
22.97
6.30
0.00
23.02
6.32
0.00
22.99
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
14.01
15.24
12.60
12.90
13.28
0.00
0.00
14.24
15.30
12.98
13.32
13.59
0.00
0.00
14.34
15.33
13.17
13.34
13.61
0.00
0.00
14.37
15.35
13.19
13.37
13.65
0.00
0.00
14.74
15.47
14.05
13.43
13.87
14.81
13.58
21.89
22.58
27.25
29.42
12.40
30.86
13.47
19.29
19.29
-
15.24
13.96
22.23
22.74
28.02
29.78
12.52
31.04
13.73
21.01
21.01
-
15.11
13.71
22.26
22.75
28.18
29.84
12.35
30.93
13.76
21.08
21.08
-
14.50
12.86
22.29
22.78
28.46
30.06
12.37
31.02
13.80
21.10
21.10
-
15.46
13.88
22.31
22.82
25.57
26.48
12.38
27.13
13.82
21.11
21.11
-
17.97
17.19
27.19
17.37
13.36
10.01
15.01
7.81
7.53
8.26
18.35
17.28
27.34
18.58
17.48
27.32
18.80
17.57
27.36
20.18
18.78
28.54
17.79
13.55
10.32
15.31
7.98
7.77
8.43
17.80
13.53
10.44
15.35
7.99
7.79
8.45
17.83
13.54
10.64
15.38
8.10
8.02
8.48
18.96
14.77
10.87
15.63
8.14
8.07
8.52
8.05
17.21
8.14
17.92
8.13
17.90
8.15
17.98
8.18
18.19
45
Struktur Perekonomian
Perekonomian Kota Bogor tahun 2011 didominasi oleh tiga sektor utama,
yaitu sektor perdagangan hotel dan restoran, industri pengolahan, dan sektor
pengangkutan dan komunikasi.
Kontribusi sektor
perdagangan, hotel dan
restoran menyumbang sebesar 36,65 persen terhadap pembentukan PDRB Kota
Bogor, selanjutnya diikuti sektor industri pengolahan sebesar 26,85 persen, dan
sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 15,29 persen.
Sektor lainnya yang menyumbang cukup besar adalah sektor keuangan,
real estate dan jasa perusahaan sebesar 10,14 persen, sektor kontruksi sebesar 5,29
persen. Sementara kontribusi sektor paling kecil adalah sektor pertanian dan
sektor Listrik, Gas dan Air memberikan kontribusi masing-masing sebesar 0,18
persen dan 2,00 persen terhadap pembentukan PDRB wilayah.
PDRB Perkapita
Perkembangan nilai PDRB perkapita Kota Bogor dalam lima tahun
terakhir (2006-2010) menunjukan peningkatan PDRB perkapita untuk setiap
tahunnya, dengan rata-rata peningkatan sebesar 11,33 persen per tahun. PDRB
perkapita atas dasar harga berlaku pada tahun 2006 sebesar Rp. 8.256 ribu per
jiwa dan perkembangan nilai PDRB perkapita hingga akhir tahun 2010 mencapai
sebesar Rp. 14.870 ribu per jiwa.
Namun apabila dibandingkan dengan rata-rata PDRB perkapita kabupatenkota di Provinsi Jawa Barat, PDRB Kota Bogor termasuk rendah, dimana rata-rata
PDRB perkapita Kabupaten-kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2010 mencapai
sebesar Rp. 15.005 ribu per jiwa.
Inflasi
Perkembangan harga konsumen tercermin dari Indeks Harga Konsumen
(IHK) yang dikelompokkan menurut kelompok pengeluaran. Pengelompokkan ini
terdiri dari kelompok bahan makanan, makanan jadi, perumahan, sandang,
kesehatan, pendidikan dan tranportasi. IHK ini akan menentukan laju inflasi yang
akan mencerminkan kondisi perekonomian Kota Bogor.
Tingkat inflasi di Kota Bogor selama lima tahun terakhir (2006-2010) secra
umum mengalami kenaikan, besarnya inflasi tahun 2006 tehadap PDRB sebesar
10,42 persen, sedangkan di tahun 2010 mencapai 11,40 persen. Berdasarkan Tabel
3.4. sektor yang memiliki nilai inflasi terbesar adalah sektor Pengangkutan dan
Komunikasi serta Sektor Industri pengolahan masing-masing nilai inflasi di tahun
2010 sebesar 16,88 persen dan 12,53 persen. Sedangkan sector yang memiliki
nilai inflasi terrendah adalah sektorPertambangan sebesar 3,12 persen (tabel 10).
46
Tabel 10
Kode
Sektor
(1)
1.
2.
3.
Inflasi Kota Bogor menurut lapangan usaha tahun 2006 – 2010
Lapangan Usaha
(2)
PERTANIAN
a. Tanaman Bahan Makanan
b. Tanaman Perkebunan
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
d. Kehutanan
e. Perikanan
PERTAMBANGAN DAN
PENGGALIAN
a. Minyak dan Gas Bumi
b. Pertambangan non Migas
c. Penggalian
INDUSTRI PENGOLAHAN
a. Industri Migas
3.a.1 Pengilangan
3.a.2 Gas Alam Cair
b. Industri Non Migas
1.Makanan, Minuman dan
Tembakau
2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas Kaki
3. Brg. Kayu & Hasil Hutan Lainnya
2006
(3)
6.59
13.60
7.02
5.06
2.82
-
5.
6.
7.
9. Barang Lainnya
LISTRIK, GAS, Dan AIR BERSIH
a. Listrik
b. Gas Kota
c. Air Bersih
BANGUNAN
PERDAGANGAN, HOTEL, DAN
RESTORAN
a. Perdagangan Besar dan Eceran
b. Hotel
c. Restoran
PENGANGKUTAN DAN
KOMUNIKASI
a. Pengangkutan
7.a.1 Angkutan Rel
7.a.2 Angkutan Jalan Raya
7.a.3 Angkutan Laut
Angkutan Sungai dan
7.a.4 Penyebrangan
7.a.5 Angkutan Udara
7.a.6 Jasa Penunjang Angkutan
b. Komunikasi
1. Pos dan Telekomunikasi
2. Jasa Penunjang Komunikasi
(4)
7.82
6.35
1.26
-0.32
2.97
-
(5)
4.52
6.28
1.23
-0.33
2.97
6.00
-
5.91
13.39
6.00
20.66
13.46
5.91
12.76
12.76
14.74
13.50
2.55
14.75
13.63
-0.35
0.00
0.00
14.76
12.63
2.29
0.
14.76
15.11
0.00
0.00
00
0.00
0.00
00
0.00
0.00
00
0.00
6.90
10.09
3.90
4.03
8.90
0.00
7.00
10.06
4.21
4.18
9.14
00
7.87
5.89
14.57
19.20
2009
(6)
4.50
6.11
1.22
-0.30
3.02
-
6.63
2010
(7)
4.58
6.09
1.20
-0.26
3.12
-
6.38
6.63
13.01
13.01
6.38
12.53
12.53
14.74
12.97
2.27
7.03
10.06
4.37
4.20
9.15
0.00
7.01
10.06
4.37
4.21
9.17
14.67
12.30
2.28
0.
00
13
.90
0.
00
0.
00
0.
00
0.
00
7.29
10.13
5.12
4.23
9.36
9.03
7.24
14.79
19.13
9.44
7.68
14.79
19.12
8.97
7.02
14.77
19.12
9.98
8.11
14.70
19.14
19.05
23.32
9.82
24.55
-
19.58
23.60
9.78
24.68
-
19.60
23.65
9.60
24.55
-
19.73
23.83
9.61
24.61
-
16.88
20.37
9.60
20.86
-
-
-
-
-
-
7. Logam Dasar Besi dan Baja
8. Alat Angkutan, Mesin &
Peralatannya
4.
2008
5.98
6.62
4. Kertas dan Barang Cetakan
5. Pupuk, Kimia & Brg dari Karet
6. Semen & Brg. Galian Bukan
Logam
5.98
2007
-
8.56
6.83
6.83
-
8.61
8.21
8.21
00
0.00
12.9
8
14.24
0.
0.00
0.
0.00
0.
0.
8.76
8.25
8.25
0.00
8.74
8.24
8.24
8.69
8.20
8.20
47
Kode
Sektor
(1)
8.
9.
Lapangan Usaha
(2)
KEUANGAN, PERSEWAAN, &JASA
PERSH.
a. Bank
b. Lembaga Keuangan selain Bank
c. Jasa Penunjang Keuangan
d. Sewa Bangunan
e. Jasa Perusahaan
JASA-JASA
a. Pemerintahan Umum
1. Adm. Pemerintahan &
Pertahanan
2. Jasa Pemerintahan Lainnya
b. Swasta
9.b.1 Sosial Kemasyarakatan
9.b.2 Hiburan dan Rekreasi
9.b.3 Perorangan dan Rumah
Tangga
2006
2007
2008
2009
2010
(3)
10.42
(4)
10.37
(5)
10.37
(6)
10.36
(7)
11.40
16.54
14.40
4.78
6.63
4.52
8.87
15.88
13.54
5.90
6.65
4.87
9.58
16.04
13.51
5.88
6.62
4.96
9.59
16.07
13.53
5.90
6.60
5.12
9.58
17.16
14.56
6.89
7.71
5.19
9.73
-
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO
8.87
2.58
3.55
4.86
-
9.58
2.66
3.71
4.82
-
9.59
2.64
3.74
4.81
-
9.58
2.73
3.89
4.79
-
9.73
2.60
3.87
4.76
1.64
1.68
1.65
1.64
1.60
10.55
11.14
11.24
11.29
11.43
Sumber : BPS Kota Bogor Tahun 2012
Sosial dan Budaya
Kesehatan
Dilihat dari segi kesehatan, Umur Harapan Hidup (UHH) Kota Bogor
tergolong tinggi dan berada di atas rata-rata UHH nasional. Dalam waktu empat
tahun terakhir (2005-2008) UHH kota Bogor menunjukan tren meningkat dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2008 tercatat UHH Kota Bogor sebesar 68,68 tahun,
meningkat dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar 68,59 tahun.
Gambar 6. Perkembangan UHH di Kota Bogor Tahun 2005-2008
Sumber: Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS, diolah
48
Kondisi ini menunjukan
tersedia secara memadai dan
mengakses sarana kesehatan
pembantu dan tenaga kesehatan
Tabel 11.
tingkat pelayanan kesehatan di Kota Bogor relatif
sebagian masyarakat kecil rata-rata sudah bisa
dengan mudah seperti pukesmas, puskesmas
relatif memadai.
Jumlah puskesmas, puskesmas pembantu dan puskesmas keliling
menurut desa di Kota Bogor tahun 2011
Kecamatan
Bogor Selatan
Bogor Timur
Bogor Utara
Bogor Tengah
Bogor Barat
Tanah Sareal
Jumlah
Puskesmas
RRI
Jumlah TT
Puskesmas
4
2
3
5
5
5
24
10
8
4
6
7
13
48
Jumlah
Puskesmas
Pembantu
6
4
5
5
3
4
27
Jumlah
Puskesmas
Keliling
2
1
3
Sumber : BPS Kota Bogor 2012
Terdapat 9 rumah sakit di kota Bogor sampai dengan tahun 2011 dengan
jumlah tempat tidur 1.399 buah. Jumlah puskesmas RRI sebanyak 24, puskesmas
pembantu sebanyak 27 dan 3 puskesmas keliling, Semua puskesmas yang ada
merupakan puskesmas pelaksana program pemerintah. Data jumlah puskesmas,
puskesmas pembantu dan puskesmas keliling menurut desa di Kota Bogor tahun
2011 dapat dilihat pada Tabel 11.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator komposit yang
digunakan untuk mengukur pencapaian pembangunan manusia yang telah
dilakukan di suatu wilayah. Pencapaian pembangunan manusia diukur dari
peningkatan sumber daya manusia yang diwujudkan melalui peningkatan kualitas
hidup, baik dan aspek fisik (kesehatan), intelektualitas (pendidikan), kesejahterean
ekonomi (daya beli), serta aspek moralitas (iman dan takwa).
Tabel 12. IPM Kota Bogor per kecamatan dan komponennya tahun 2011
Kecamatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
AHH
Bogor Selatan
66.04
Bogor Timur
69.31
Bogor Utara
68.88
Bogor Tengah
66.34
Bogor Barat
69.99
Tanah Sareal
68.13
Kota Bogor
68.87
Sumber: BPS Kota Bogor, 2012
AMH
98.47
98.61
98.94
99.71
99.14
98.67
98.77
RLS
8.67
9.87
10.1
10.53
10.21
9.68
9.79
PPP
626,114.13
649,880.87
652,346.60
651,913.90
645,335.84
650,821.99
647,890.00
IPM
71.60
75.40
75.83
75.41
75.80
75.44
75.75
Peringkat
IPM
6
3
1
5
2
4
Tinggi rendahnya IPM disuatu wilayah sangat dipengaruhi oleh
komponen-komponen pembentuknya, yaitu Angka Harapan Hidup (AHH), Angka
49
Melek Huruf (AMH), Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan Purchasing Power
Parity (PPP), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 12.
Tingginya IPM pada kecamatan Bogor Utara lebih disebabkan oleh
tingginya semua komponen pembentuk IPM, yaitu AHH, AMH, RLS, dan PPP,
walaupun nilainya bukan yang tertinggi dibanding kecamatan lainnya. Namun
tidak demikian dengan Kecamatan Bogor Selatan, rendahnya IPM kecamatan
Bogor Selatan disebabkan karena memang semua komponen pendukung IPM di
Bogor Selatan mempunyai nilai yang terendah dibanding kecamatan lainnya.
Diperlukan program pembangunan yang terpadu di wilayah ini agar dapat
meningkatkan komponen kesenatan, pendidikan dan daya beli di wilayah ini
sehingga IPM dapat meningkat.
Komponen IPM yang menonjol pada Kecamatan Bogor Utara adalah
tingginya komponen daya beli penduduknya dibandingkan dengan kecamatan
lain. Banyak terdapatnya industri dan banyaknya penduduk yang memang sudah
mempunyai pendapatan tinggi mempengaruhi tingginya komponen daya beli
penduduk di wilayah tersebut.
Angka Harapan Hidup (AHH) tertinggi berada di Kecamatan Bogor
Barat 69,99, sedangkan AHH terendah 68,04 di Kecamatan Bogor Selatan.
Fasilitas kesehatan yang cukup di Kecamatan Bogor Barat dan kesadaran
masyarakatnya dengan menjalani pola hidup sehat serta lingkungan perumahan
dan penyediaan air bersih yang baik memungkinkan Angka Harapan Hidup
penduduk di kecamatan ini mencapai 69,99 tahun.
Angka Melek Huruf adalah indikator yang menggambarkan mutu sumber
daya manusia yang diukur dalam aspek pendidikan, yaitu dilihat dari kemampuan
membaca dan menulis. Angka Melek Huruf per kecamatan di Kota Bogor dapat
dilihat pada Tabel 12.
Pada tahun 2011, kemampuan penduduk Kota Bogor dalam hal membaca
dan menulis sudah sangat baik karena sekitar 98,77 dari 100 penduduk usia 10
tahun ke Indeks Pembangunan Manusia Kota Bogor Tahun Anggaran 2011 atas di
Kota Bogor sudah dapat membaca dan menulis dengan Angka Melek Huruf di
seluruh Kecamatan di Kota Bogor sudah mencapai lebih dari 98 persen. Letak
yang strategis di pusat Kota Bogor dan banyaknya fasilitas sekolah di Kecamatan
Bogor Tengah mendukung terwujudnya penduduk yang dapat membaca dan
menulis lebih tinggi dari penduduk di wilayah Kecamatan lainnya. Pada tahun
2011 Kecamatan Bogor Tengah tercatat menduduki peringkat pertama di Kota
Bogor yang mempunyai AMH tertinggi, karena 99,71 persen penduduk di
Kecamatan Bogor Tengah yang berusia 10 tahun ke atas dapat membaca dan
menulis.
Kecamatan Bogor Tengah selain tertinggi dalam AMH di Kota Bogor
ternyata juga merupakan Kecamatan yang tertinggi dalam hal komponen
pendidikan yang lain, yaitu Rata-rata Lama Sekolah (RLS). RLS adalah indikator
yang menunjukkan berapa tahun rata-rata penduduk menempuh pendidikan
formalnya.
Tabel 12 memperlihatkan bahwa rata-rata lama sekolah penduduk di
Kecamatan Bogor Tengah pada tahun 2011 mencapai 10,53 tahun, yang artinya
rata-rata penduduk Kecamatan Bogor Tengah sudah mengenyam pendidikan
sampai dengan kelas 2 SLTA, sedikit berbeda dengan Bogor Utara, dan Bogor
Timur, kemudian disusul dengan Kecamatan Bogor Barat, Tanah Sareal dan
50
terakhir Kecamatan Bogor Selatan yaitu 8,67 tahun (rata-rata penduduknya
mengenyam pendidikan tidak sampai lulus SLTP).
Komponen terakhir dari IPM adalah Purchasing Power Parity (PPP) atau
kemampuan daya beli masyarakat yang diukur berdasarkan konsumsi per kapita
riil. Indeks Pembangunan Manusia Kota Bogor Tahun Anggaran 2011. PPP
adalah suatu alat ukur yang menggambarkan tingkat keberdayaan masyarakat di
dalam memenuhi kebutuhan hidup sesuai dengan konsumsi riilnya,
tanpa memperhatikan asal atau sumber penerimaannya, apakah itu berupa
pemberian atau hasil pendapatannya. Oleh karena itu, PPP merupakan alat ukur
yang dianggap lebih mewakili tingkat kesejahteraan penduduk sesuai dengan
pola, kebiasaan dan kemampuan untuk dapat mengakses terhadap setiap
tingkatan kebutuhan berdasarkan kemampuannya.
Nilai PPP per kecamatan sangat bervariasi setiap tahunnya. Nilai PPP
yang terendah dibandingkan dengan kecamatan lain di Kota Bogor tahun 2011
adalah Kecamatan Bogor Selatan yakni sebesar Rp. 626.114, sedangkan nilai PPP
tertinggi di tahun 2011 adalah Kecamatan Bogor Utara dengan nilai PPP sebesar
Rp. 652,346.60,- per kapita per tahun.
Kemiskinan
Perkembangan kemiskinan Kota Bogor dalam waktu lima tahun terakhir
(2006-2010) menunjukkan kecenderungan fluktuatif dari tahun ke tahun.
Pada
tahun 2011 jumlah penduduk miskin mencapai 90,2 ribu jiwa lebih rendah
dibandingkan terhadap tahun sebelumnya, hal ini ditunjukan juga oleh persentase
kemiskinan Kota Bogor
fluktuatif dari tahun ke tahun dengan persentase
kemiskinan tahun 2011 tercatat sebesar 9,47 persen. Kondisi kemiskinan Kota
Bogor dibandingkan terhadap kondisi kemiskinan Kabupaten-Kota lainnya di
Provinsi Jawa Barat masih tergolong rendah. Berikut data perkembangan
kemiskinan Kota Bogor tahun 2005-2011 dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13.
Perkembangan kemiskinan di Kota Bogor tahun 2005-2011
Tahun
Jumlah
Penduduk
Miskin (000)
Persentase
Penduduk
Miskin (%)
2005
2006
67.7
79.3
7.85
8.31
168.111
169.570
2007
89.2
9.64
185.185
2008
2009
91.4
97.7
9.47
9.72
200.888
223.218
2010
91.7
9.47
256.414
2011
90.2
8.82
278.530
Garis Kemiskinan
(Rp/kap/bulan)
Sumber: BPS Kota Bogor, 2012
Kemiskinan merupakan kondisi sosial yang muncul akibat dari
perkembangan situasi dan kondisi makro sosial ekonomi secara menyeluruh.
Begitu banyak faktor penyebab munculnya kemiskinan mulai dari terputusnya
51
hubungan kerja seorang kepala keluarga, sampai datangnya penyakit berat yang
berkepanjangan, atau datangnya bencana secara tiba-tiba.
Tabel 14.
Banyak keluarga menurut kecamatan dan klasifikasi keluarga di Kota
Bogor tahun 2011
Pra Sejahtera
Kecamatan
Bogor Selatan
Jmlah
Klg
Jumlah
Jiwa
Sejahtera I
Jumlah
Klg
Jumlah
Jiwa
Sjhtera
II
Sjhtra
III
Sjhtra
III
Plus
3,759
13,69
8,575
32,884
18,406
11,174
2,717
963
3,397
5,178
18,049
9,044
5,791
1,982
Bogor Utara
1,597
5,961
5,08
19,891
16,054
10,537
5,33
Bogor Tengah
1,635
4,851
5,675
23,31
9,659
5,73
1,154
640
1,852
12,181
52,303
22,192
15,09
4,107
1,805
5,378
7,341
27,295
24,754
9,915
4,653
Jumlah
10,399
35,129
Sumber : BPS Kota Bogor 2012
44,03
173,732
100,109
58,237
19,943
Bogor Timur
Bogor Barat
Tanah Sareal
Berdasarkan data pada Tabel 13 Kota Bogor tidak terlepas dari permasalah
kemiskinan, walaupun tiga tahun terakhir jumlah penduduk miskin Kota Bogor
mengalami penurunan pada tahun 2009 sebanyak 97.700 orang atau 9,72% dari
total penduduk menjadi 91.710 orang atau 8,82% dari total penduduk pada tahun
2010 dan menjadi 90.200 orang atau 9,47% dari total penduduk pada tahun 2011,
dengan garis kemiskinan tahun 2009 sebesar Rp 223.218,- tahun 2010 menjadi Rp
256.414,- dan tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi Rp 278.530,-. Adapun
gambaran jumlah keluarga dan klasifikasi keluarga berdasarkan kecamatan di
Kota Bogor tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 14.
Infrastruktur
Transportasi
Transportasi menuju ke Bandar Udara Sukarno-Hatta dan Pelabuhan
Tanjung Priok sangat mudah hal ini dikarenakan adanya jalan tol yang
menghubungkan antara Kota Bogor dengan ketiga tempat penting tersebut diatas.
Kondisi panjang jalan negara 30.199 km, yang teridir dari 17.633 km dalam
kondisi baik sekali dan Kondisi baik; 10.150 km dalam kondisi sedang; dan 2.416
km dalam kondisi buruk. Panjang jalan provinsi 26.759 km, yang terdiri dari
10.596 km dalam kondisi baik sekali dan kondisi baik; 8.388 km dalam kondisi
sedang; dan 7.775 km dalam kondisi buruk. Kondisi jalan kota sepanjang
564.193 km yang terdiri dari 129.573 km kondisi baik sekali dan kondisi baik;
284.648 km dalam kondisi sedang, dan kondisi buruk 73.878 km.
Pembangunan Terminal Angkutan Barang akan dibangun di Kelurahan
Tanah Baru Kecamatan Bogor Utara dengan nilai proyek Rp. 20 milyar. Prospek
proyek adalah terbangunnya sarana dan prasarana pergudangan, tempat bongkar
52
muat dan distribusi barang. Peluang pasar adalah kendaraan angkutan barang
khususnya dengan MST diatas 8 ton, truk gandengan dan kereta tempelan.
Seiring dengan perkembangan pertambahan penduduk dan semakin
giatnya kegiatan ekonomi, maka penataan jaringan trayek angkutan umum
menjadi penting, yaitu dengan menghadirkan sarana angkutan umum yang layak,
terjangkau dan dapat mengurangi tingkat kepadatan lalu lintas. Pemerintah Kota
Bogor merencanakan untuk mengoperasikan bus berukuran ¾ sebagai angkutan
masal, dengan trayek Ciawi-Cibuluh dan Bubulak-Soleh Iskandar-Baranangsiang.
Biaya yang dibutuhkan untuk itu adalah Rp. 25 Milyar. Pembangunan gedung
parkir didasarkan pada kebutuhan yang mendesak akan areal perparkiran yang
dapat menampung banyak mobil disamping untuk mengurangi tingkat kemacetan
akibat parkir yang tidak terorganisir disekitar kawasan perdagangan Jl. Surya
Kencana, gedung parkir tersebut direncanakan akan dibangun di Jl. Surya
Kencana dan Jl. Otista dengan biaya sebesar Rp. 1,25 Milyar. Hal ini merupakan
peluang yang menarik untuk ditawarkan mengingat besarnya pendapatan yang
diperoleh dari bisnis perparkiran.
Permukiman
Kawasan perdagangan dan jasa Bubulak, direncanakan akan berdiri di
sepanjang Jalan R1 dan kawasan wisata Cifor di atas lahan seluas ± 7 Ha dengan
nilai investasi ± 12,5 milyar. Peluang investasi Kawasan Terpadu TULLAK
(Sentul Selatan dan Bubulak) ini sedang dalam proses perencanaan. Kawasan
terpadu TULLAK ini adalah kawasan terpadu linier dengan pola mengikuti garis
alur rencana jaringan jalan dari pintu tol Sentul Selatan (R2), jalan raya Baru
Kemang (R0) dan batas jalan raya Sindangbarang (R1) dengan luasan 1.425 Ha.
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, dan semakin mahalnya
harga lahan untuk dapat dijangkau oleh penduduk berpenghasilan rendah, maka
dibutuhkan suatu bentuk perumahan yang terpadu dan berdiri di atas lahan yang
tidak terlalu luas. Oleh sebab itu dibangunlah Rusunawa (Rumah Susun Sewa)
guna menjawab segala permasalahan di atas. Rusunawa di Kota Bogor akan
berlokasi di Kelurahan Menteng Bogor Barat. Rusunawa tahap I seluas 0,6405 Ha
dibangun oleh Departemen Kimpraswil dengan perkiraan biaya sebesar Rp. 10,2
Milyar, sedangkan rusunawa tahap II seluas 0,35 Ha dan tahap III seluas 0,6 Ha
diperuntukan untuk investor swasta dengan perkiraan biaya sebesar Rp 8,6 milyar
untuk tahap II dan Rp. 10,9 milyar untuk tahap III.
Air Bersih
Pembangunan reservoir zone 6 kota batu dengan kapasitas 200 m3/.
Produk/jasa yang akan dihasilkan adalah optimalisasi kapasitas air bersih dengan
perkiraan investasi ± 3,5 milyar. Pengadaan dan pemasangan pipa steel diameter
1000 mm. Produk jasa yang dihasilkan optimalisasi kapasitas air bersih. Peluang
pasar penambahan cakupan pelayanan. Lokasi dari Ciherang ke Dekeng. Modal
investasi Rp.14.605 milyar atau ± Rp.14,7 milyar. Pengadaan dan penggantian
meteran air untuk meningkatkan keakuratan bacaan meteran air dengan Modal
investasi Rp. 9.075.000.000. Proyek peningkatan jumlah pelanggan/Modal
investasi Rp. 20.895.000.000.
5
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Deskripsi Penerimaan dan Belanja Pemkot Bogor
a.
Penerimaan Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pasal 1 angka 13,
pendapatan daerah merupakan hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun terkait.
Pendapatan Daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005
tentang Dana Perimbangan dikelompokkan atas: a) PAD, yaitu pendapatan yang
diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. PAD pada umumnya terdiri dari pajak daerah,
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan serta lain-lain PAD
yang Sah; b) Dana Perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari dana
penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan
kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah. Dana perimbangan terdiri
dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus; c) Lain-lain
pendapatan daerah yang sah meliputi hibah, dana darurat, DBH pajak dari
provinsi kepada kabupaten/kota, dana penyesuaian dan otsus, serta bantuan
keuangan dari provinsi atau dari pemda lainnya.
Berdasarkan data series kurun waktu 2001-2011, secara keseluruhan
pendapatan daerah mengalami peningkatan dengan persentase kenaikan
berfluktuatif. Secara persentase dan nominal hanya kelompok komponen
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang secara konsisten mengalami kenaikan,
begitu juga dengan kelompok dana alokasi umum (DAU) yang menunjukkan
kecenderungan peningkatan baik secara nominal dan persentase kontribusi
terhadap pendapatan daerah, seperti terlihat pada Gambar 7 berikut ini :
500000
Variable
PA D(juta)
DA U(juta)
DA K
DBH
400000
Juta
300000
200000
100000
0
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
Gambar 7. Perkembangan DAU, PAD, DBH dan DAK tahun 2001-2011
Sumber: Pemerintah Kota Bogor, diolah
Gambar 7 memperlihatkan bahwa peranan DAU dalam penerimaan
Pemerintah Kota Bogor masih dominan, sehingga peran transfer pemerintah pusat
masih
tinggi terhadap penerimaan pemerintah daerah. Walaupun demikian
perkembangan PAD sudah menunjukkan laju pertumbuhan yang konstan sehingga
diharapkan akan mengambil peranan yang lebih besar di masa yang akan datang.
Gambaran kemandirian penerimaan pemerintah daerah dapat dilihat dengan
melakukan perbandingan jumlah DAU dan DAK terhadap total penerimaan
pemerintah kota Bogor seperti yang diperlihatkan pada Gambar 8.
Persen (DAU+DAK)
80
70
60
50
40
2000
2002
2004
2006
Tahun
2008
2010
2012
Gambar 8. Persentase jumlah DAU dan DAK terhadap total penerimaan daerah
Sumber: Pemerintah Kota Bogor, diolah
Gambar 8 memperlihatkan bahwa periode tahun 2001-2007 peranan DAU dan
DAK menurun dalam total penerimaan daerah walaupun pola distribusinya sangat
fluktuatif. Periode tahun 2008-2011 peranan DAU dan DAK dalam total
penerimaan daerah semakin menurun. Pada tahun 2001 kontribusi DAU dan
DAK dalam penerimaan daeran sebesar 69 persen, dan pada tahun 2011 sebesar
57 persen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kota Bogor secara perlahan
telah mampu mengurangi tingkat ketergantungannya kepada pemerintah pusat
menuju pada kemandirian wilayah. Berdasarkan rasio DAU terhadap total
penerimaan daerah juga menunjukkan pola yang sama, seperti yang terlihat pada
Gambar 9.
80
Persen DAU
70
60
50
40
2000
2002
2004
2006
Tahun
2008
2010
2012
Gambar 9. Persentase jumlah DAU terhadap total penerimaan daerah
Sumber: Pemerintah Kota Bogor, diolah
Dari gambar 9 terlihat bahwa kontribusi DAU terhadap total penerimaan
daerah secara perlahan menurun dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2011. Pola
ini terlihat dari garis regresi yang mempunyai kemiringan negatif (slope negatif).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kota Bogor menuju pada kemandirian
penerimaan.
Melihat perkembangan kemandirian penerimaan pemerintah daerah dapat
juga dilakukan dengan membandingkan jumlah PAD dan DBH terhadap total
penerimaan pemerintah kota Bogor seperti yang diperlihatkan pada Gambar 10.
Persen (PAD+DBH)
60
50
40
30
20
2000
2002
2004
2006
Tahun
2008
2010
2012
Gambar 10. Persentase jumlah PAD dan DBH terhadap total penerimaan daerah
Sumber: Pemerintah Kota Bogor, diolah
Dari gambar 10 terlihat bahwa pada tahun 2001 kontribusi PAD dan DBH dalam
total penerimaan daerah sebesar 30 persen, dan pada tahun 2011 meningkat
menjadi 42 persen. Dengan demikian kemandirian kota Bogor dalam pembiayaan
pembangun sudah meningkat. Kondisi ini tergambar dari garis regresi yang
mempunyai kemiringan positif (slope positif).
30
Persen PAD
25
20
15
10
5
2000
2002
2004
2006
Tahun
2008
2010
2012
Gambar 11. Persentase jumlah PAD terhadap total penerimaan daerah
Sumber: Pemerintah Kota Bogor, diolah
Gambar 11 memperlihatkan bahwa
persentase jumlah PAD terhadap total
penerimaan daerah juga menunjukkan pola yang sama dengan garis regresi yang
mempunyai slope positif yang lebih besar. Ini menunjukkan bahwa pemerintah
kota Bogor telah berupaya mengoptimalkan PAD sebagai salah satu sumber
penerimaan utama, sehingga dapat dikatakan kota Bogor menuju ke arah
kemandirian penerimaan wilayah.
Dari berbagai komponen pendapatan daerah (RKPD, 2012), sumber utama
penerimaan daerah yang berpotensi besar adalah pajak restoran,
yang
menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Namun disisi lain terdapat
penerimaan yang tetap atau terjadi penurunan salah satunya yaitu pada pajak
reklame dan retribusi IMB, penurunan penerimaan dari pajak reklame akibat
dilarangnya pemasangan reklame rokok sedangkan untuk retribusi IMB akibat
adanya pembatasan ruang untuk komersil sehubungan dengan Undang-undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang yang mengharuskan RTH 30 persen.
Hal ini dapat digunakan sebagai tanda bahwa perlu dilakukan segera upaya-upaya
terobosan untuk mencari sumber-sumber alternative pendapatan lainnya yang
memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi sumber penerimaan daerah,
sehingga mengurangi ketergantungan terhadap penerimaan dari pajak daerah yang
bersifat “limitative”. Untuk itu Pemerintah Kota Bogor perlu menggali potensi
pendapatan dari pajak hiburan.
Dari tahun ke tahun penerimaan dari pajak daerah menunjukkan tren
meningkat. Hal ini, antara lain disebabkan adanya potensi komponen dana bagi
hasil pajak bersumber dari Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan (BPHTB)
yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota. Dan dengan ditetapkannya UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
sehingga terjadi pelimpahan kewenangan pemungutan pajak dari Provinsi ke
Kabupaten / Kota, yaitu untuk Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Pajak Air Tanah, dimana setiap pengambilan dan atau pemanfaatan air tanah
dikenakan pajak sebesar 20persen dan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dimana dikenakan pajak
sebesar 5 persen.
Untuk tahun 2011 (RKPD, 2012), angka pendapatan daerah mencapai Rp.
1.074.657.410.403.00,
dibandingkan target tahun 2011 sebesar Rp.
964.699.214.999, maka terdapat peningkatan pendapatan daerah sebesar
Rp.
109.958.195.404,00 . Pendapatan daerah tahun 2012 telah dipengaruhi oleh
peningkatan penerimaan dari sektor pajak yang mengalami kenaikan tarif sesuai
dengan Undang-Undang 28 Tahun 2009 dan pajak dari BPHTB yang telah dialihkelolakan kepada Kabupaten/Kota.
b.
Belanja Daerah
Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan kota yang terdiri dari urusan wajib,
urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bidang tertentu yang dapat
dilaksanakan bersama, termasuk penanganan 4 program prioritas Kota Bogor
yaitu: Transportasi, Kebersihan, Pedagang Kaki Lima dan Kemiskinan. Belanja
daerah menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 merupakan semua
kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam
periode tahun anggaran yang bersangkutan. Pada dasarnya terdapat dua jenis
belanja menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, sebagaimana diubah dengan
Permendagri Nomor 21 Tahun 2011, yaitu belanja tidak langsung dan belanja
langsung.
Belanja tidak langsung merupakan belanja yang tidak memiliki keterkaitan
secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang meliputi belanja
pegawai, belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan
keuangan, dan belanja tidak terduga. Belanja langsung merupakan belanja yang
memiliki keterkaitan secara langsung dengan program dan kegiatan yang meliputi
belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal.
Berdasarkan data series kurun waktu 1990-2011, secara keseluruhan total
belanja daerah mengalami peningkatan, dimana laju pertumbuhan relatif lebih
besar setelah tahun 2001 atau awal pelaksanaan otonomi daerah. Demikian juga
untuk belanja rutin dan belanja modal, dimana pertumbuhan relatif lebih besar
setelah pelaksanaan otonomi daerah, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 12.
Dari gambar 12 terlihat bahwa setelah tahun 2001 (otonomi daerah), besaran
nilai belanja rutin daerah lebih tinggi dari belanja modal daerah dengan laju
pertumbuhan yang relatif konstan.
Variable
BRD
BMD
TBD
1200000
Juta rupiah
1000000
800000
600000
400000
200000
0
90 91 92 93 94 95 9 6 97 9 8 99 0 0 01 02 03 04 05 06 07 08 0 9 10 1 1
19 19 19 19 19 1 9 19 1 9 19 1 9 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 2 0 20
Tahun
Gambar 12. Perkembangan TBD, BRD dan BMD tahun 1990 – 2011
Sumber: Pemerintah Kota Bogor, diolah
Persentase pebandingan antara belanja rutin dan belanja modal di kota
Bogor dalam periode penelitian dapat dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama
adalah sebelum krisis moneter (1990-1996). Fase kedua adalah pada saat krisis
moneter (1997-2000) dan fase ketiga adalah setelah otonomi daerah. (2001-2011)
seperti yang terlihat di Gambar 13.
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
BMD
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
BRD
Masa Krisi
Moneter
Masa Otonomi Daerah
Gambar 13. Perbandingan persentase BRD dan BMD di Kota Bogor
tahun 1990 sampai dengan tahun 2011
Sumber: Pemerintah Kota Bogor, diolah
Pada fase sebelum krisis moteter yaitu tahun 1991 sampai dengan tahun
1995 perbandingan antara belanja modal dengan belanja rutin relatif hampir sama
dengan selisih 10 persen hingga 15 persen, seperti yang terlihat di Gambar 13.
Dari gambar 13 terlihat bahwa besaran persentase belanja rutin daerah (BRD)
pada tahun 1991 sebesar 56 persen dari total belanja daerah , dan belanja modal
daerah (BMD) sebesar 44 persen dimana selesihnya hanya sebesar 12 persen.
Demikian juga pada tahun 1995, besar belanja rutin daerah (BRD) sebesar 55
persen dan belanja modal daerah (BMD) sebesar 45 persen dimana selisihnya
hanya 10 persen. Pada tahun 1996 belanja rutin daerah (BRD) sebesar 46 persen,
dan belanja modal daerah (BMD) sebesar 54 persen dimana selisihnya sekitar 9
persen.
Pada fase krisis moneter tahun 1997-1998 persentase perbandingan antara
belanja modal daerah (BMD) dengan belanja rutin daerah (BRD) relatif sedikit
lebih besar BMD. Pada tahun 1997, besar belanja rutin daerah (BRD) sebesar 42
persen dari total belanja daerah dan belanja modal daerah (BMD) sebesar 58
persen. Pada tahun 1998, besar belanja modal daerah (BMD) sebesar 49 persen
dan belanja rutin daerah (BRD) sebesar 51 persen. Kebijakan perencanaan dan
pembiayaan pembangunan pada fase sebelum krisis moneter dan pada fase krisis
moneter masih dilakukan oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah hanya
sebagai pelaksana saja. Besarnya nilai belanja modal (BMD) pada fase krisis
moneter adalah akibat kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat untuk
menjaga stabilitas ekonomi dengan meningkatkan belanja pemerintah.
Fase otonomi daerah yaitu tahun 2001 sampai dengan tahun 2011
perbandingan antara belanja modal dengan belanja rutin relatif sangat besar
dengan selisih 30 persen hingga 50 persen, seperti yang terlihat di Gambar 13.
Pada tahun 2001, besar belanja rutin daerah (BRD) sebesar 78 persen dari total
belanja daerah dan belanja modal daerah (BMD) sebesar 22 persen. Pada tahun
2011, besar belanja modal daerah (BMD) sebesar 33 persen dari total belanja
daerah dan belanja rutin daerah (BRD) sebesar 67 persen. Kebijakan perencanaan
dan pembiayaan pembangunan pada fase otonomi daerah dilakukan oleh
pemerintah kota Bogor, dan pemerintah pusat hanya sebagai penyeimbang
keuangan sampai kota Bogor menjadi lebih mandiri. Besarnya nilai belanja rutin
daerah (BRD) pada awal fase otonomi daerah adalah akibat ketidak siapan sumber
daya manusia di Pemkot Bogor dalam menyusun RAPBD melalui pola
penganggaran yang berbasis kinerja dengan pendekatan program pembangunan
yang disertai system pelaporan yang lebih akuntabel. Pada akhir tahun 2011
belanja daerah disusun dengan pendekatan anggaran kinerja yang berorientasi
pada pencapaian hasil dari input yang direncanakan dengan memperhatikan
prestasi kerja setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam pelaksanaan
tugas, pokok dan fungsinya. Ini bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas
perencanan anggaran serta menjamin efektivitas dan efisiensi penggunaan
anggaran dalam belanja program/kegiatan. Kebijakan belanja daerah tahun 2012
tetap diarahkan untuk mendukung pencapaian target IPM 80,73 pada tahun 2014.
Perencanaan anggaran yang konsisten dan fokus, diproyeksikan pencapaian IPM
80,73 perlu diarahkan untuk memperkuat bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi,
infrastruktur, dan suprastruktur melalui belanja modal.
Model Belanja Pemkot Bogor
Hasil estimasi model utama persamaan linier berganda mengalami beberapa
kali perubahan. Perubahan-perubahan model persamaan regresi berganda terjadi
akibat besarnya nilai multikolinieritas dan autokorelasi.
Secara ekonometri,
output yang dihasilkan dari seluruh persamaan regresi cukup baik dengan
tingginya nilai R-Sq dan signifikannya efek kumulatif dari semua variabel (F
statistik yang besar). Sebahagian besar prediktor mempunyai nilai VIF (Variance
Inflation Factor) yang kurang dari 10, ini menandakan bahwa tidak terjadi adanya
gejala multikolinearitas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi
tersebut tidak terdapat problem multikolinieritas. Pelanggaran asumsi OLS tidak
terjadi pada autokorelasi, walaupun nilai DW berada di interval 1,8 sampai
dengan 2,1.
Berdasarkan metode grafik melalui pola sisaan ternyata gagal
menerima
adanya
heteroskedastisitas
sehingga
model
menerima
homoskedastisitas.
Berdasarkan
seluruh
informasi dari multikolinieritas,
autokorelasi dan heteroskedastisitas dapat disimpulkan bahwa seluruh model
dalam penelitian ini relatif cukup baik.
Setelah melalui beberapa kali pengujian model untuk mendapatkan model
yang terbaik, maka estimasi model utama persemaan linier berganda adalah
sebagai berikut:
a.
Total Belanja Daerah (TBD)
Hasil pendugaan parameter total belanja daerah (TBD) dipengaruhi oleh
dana alokasi umum (DAU) dan pendapatan asli daerah (PAD). Hasil estimasi
total belanja daerah ditampilkan pada Tabel 15
Tabel 15.
Hasil pendugaan parameter beberapa persamaan total belanja daerah
(TBD)
Penduga
Koefisien
Std.Eror
t-hitung
Sig.(P)
Elastisitas
Hasil Persamaan Regresi dengan Variabel PAD dan DAU
Konstanta
-33283
61511
-0,54
0,603
PAD
2,5070
0,7033
3,56 *
0,007
0,40
DAU
1,1899
0,3455
3,44 *
0,009
0,66
R-Sq = 0,962
F-hit = 102,25 *
DW = 2,19811
Hasil Persamaan Regresi dengan Variabel PAD t-1 dan DAUt-1
Konstanta
40957
31445
1,30
0,229
PADt-1
6,930
1,078
6,43 *
0,000
0,86
DAUt-1
0,1330
0,3052
0,44
0,674
0,07
R-Sq = 0,979
F-hit = 186,29 *
DW = 1,51041
Hasil Persamaan Regresi dengan Variabel PAD dan DAUt-1
Konstanta
55912
40860
1,37
0,208
PAD
2,7885
0,6004
4,64 *
0,002
0,44
DAUt-1
0,9492
0,2599
3,65 *
0,006
0,47
R-Sq = 0,965
F-hit = 110,14 *
DW = 2,00761
* Nyata pada taraf uji 5 persen
TBD = - 33283 + 2,51 PAD + 1,19 DAU
.....................................
TBD = 40957 + 6,93 PADt-1 + 0,133 DAUt-1 .....................................
TBD = 55912 + 2,79 PAD
+ 0,949 DAUt-1 .....................................
5.1
5.2
5.3
Perhitungan nilai R Square untuk ketiga model diperoleh nilai lebih besar
dari 0,960 yang berarti 96 persen total belanja daerah (TBD) kota Bogor dapat
dijelaskan oleh kedua variabel independen (PAD dan DAU) di atas, sedangkan
sisanya yaitu 4 persen dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di luar model.
Hasil pengujian diperoleh nilai F hitung dari kedua variabel independen
(DAU dan PAD) secara serentak lebih besar dari 100 dengan tingkat signifikan
sebesar 0. Ini berarti hipotesis alternatif tidak dapat ditolak. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa DAU dan PAD secara
bersama-sama memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap total belanja
daerah (TBD) diterima.
Hasil pengujian model (persamaan 5.1), nilai t-hitung untuk PAD pada taraf
nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 3,56 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,007.
Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk PAD lebih kecil
daripada taraf nyatanya (0,007 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara
individual PAD memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap belanja total
daerah. Meskipun demikian, respon perubahan TBD terhadap perubahan PAD
adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,40. Artinya bahwa peningkatan
pendapatan asli daerah (PAD) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan
meningkatkan TBD sebesar 0,40 persen.
Nilai t-hitung untuk DAU pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 3,44
sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,009. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa
nilai P value untuk DAU lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,009 < 0,05).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual DAU memiliki pengaruh
positif yang signifikan terhadap total belanja daerah. Meskipun demikian, respon
perubahan TBD terhadap perubahan DAU adalah inelastis dengan koefisien
elastisitas 0,66. Artinya bahwa peningkatan transfer (DAU) sebesar satu persen,
ceteris paribus, hanya akan meningkatkan TBD sebesar 0,66 persen.
Hasil pengujian model (persamaan 5.3), nilai t-hitung untuk PAD pada taraf
nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 4,64 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,002.
Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk PAD lebih kecil
daripada taraf nyatanya (0,002 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara
individual PAD memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap total belanja
daerah (TBD). Meskipun demikian, respon perubahan TBD terhadap perubahan
PAD adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,44.
Artinya bahwa
peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar satu persen, ceteris paribus,
hanya akan meningkatkan TBD sebesar 0,44 persen.
Nilai t-hitung untuk DAUt-1 pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 3,65
sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,006. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa
nilai P value untuk DAUt-1 lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,006 < 0,05).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual DAUt-1 memiliki pengaruh
positif yang signifikan terhadap total belanja daerah. Meskipun demikian, respon
perubahan TBD terhadap perubahan DAUt-1 adalah inelastis dengan koefisien
elastisitas 0,47. Artinya bahwa peningkatan transfer (DAUt-1 ) sebesar satu
persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan TBD sebesar 0,47 persen.
Hasil pengujian model (persamaan 5.2), nilai t-hitung untuk PADt-1 pada
taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 6,43 sedangkan P Value t hitungnya yaitu
0,000. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk PAD lebih kecil
daripada taraf nyatanya (0,000 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara
individual PAD memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap total belanja
daerah (TBD). Meskipun demikian, respon perubahan TBD terhadap perubahan
Artinya bahwa
PADt-1 adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,86.
peningkatan pendapatan asli daerah tahun sebelumnya (PADt-1 ) sebesar satu
persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan total belanja daerah (TBD)
tahun berjalan sebesar 0,86 persen.
Nilai t-hitung untuk DAUt-1 pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 0,44
sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,674. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa
nilai P value untuk DAUt-1 lebih besar daripada taraf nyatanya (0,674 < 0,05).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual DAUt-1 tidak memiliki
pengaruh yang signifikan pada selang kepercayaan 95 persen terhadap total
belanja daerah (TBD) . Secara ekonomi, respon perubahan TBD terhadap
perubahan DAUt-1 juga inelastis dengan koefisien elastisitas 0,66. Artinya bahwa
peningkatan transfer (DAUt-1 ) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan
meningkatkan TBD sebesar 0,66 persen.
Berdasarkan seluruh informasi tingkat selang kepercayaan (signifikan, nilai
P) di atas terlihat bahwa respon total belanja daerah (TBD) lebih besar terhadap
pendapatan asli daerah (PAD) daripada dana transfer (DAU), sehingga dapat
dikatakan bahwa kota Bogor sekarang ini lebih mandiri dalam penerimaan
daerah. Kondisi ini sangat berbeda dengan awal pelaksanaan otonomi daerah
(tahun 2001-2004) dimana respon belanja daerah lebih besar terhadap transfer
daripada pendapatan asli daerah (PAD) dan dana bagi hasil (DBH).
b.
Belanja Rutin Daerah (BRD)
Hasil pendugaan parameter belanja rutin daerah (BRD) dipengaruhi oleh
DAU tahun sebelumnya dan PAD tahun berjalan. Hasil estimasi belanja rutin
daerah ditampilkan pada Tabel 16.
Tabel 16. Hasil pendugaan parameter persamaan belanja rutin daerah (BRD)
Penduga
Koefisien
Std.Eror
t-hitung
Sig.(P)
Elastisitas
Konstanta
96536
29327
3,29
0,011
DAUt-1
0,5968
0,1865
3,20*
0,013
0,41
PAD
1,6466
0,4309
3,82*
0,005
0,36
R-Sq = 0,952
F statistik = 78,82*
Prob.= 0,000
Durbin-Watson statistic = 2,10370
* Nyata pada taraf uji 5 persen .
BRD = 96536 + 1,65 PAD + 0,597 DAU
t-1
...................................
5.4
Perhitungan nilai R Square diperoleh nilai sebesar 0,952 yang berarti 95,2
persen belanja rutin daerah (BRD) kota Bogor dapat dijelaskan oleh kedua
variabel independen di atas, sedangkan sisanya yaitu 4,8 persen dijelaskan oleh
sebab-sebab yang lain di luar model. Dari hasil pengujian diperoleh nilai F hitung
dari kedua variabel independen (DAUt-1 dan PAD) secara serentak adalah 78,82
dengan tingkat signifikan sebesar 0. Ini berarti hipotesis alternatif tidak dapat
ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa
DAUt-1 dan PAD secara bersama-sama memiliki pengaruh positif yang signifikan
terhadap belanja rutin daerah (BRD) diterima.
Hasil analisa diketahui bahwa nilai t hitung untuk PAD pada taraf nyata 5
persen (α = 0,05) yaitu 3,82 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,005. Dari nilai
tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk PAD lebih kecil daripada taraf
nyatanya (0,005 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual
PAD memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap belanja rutin daerah.
Meskipun demikian, respon perubahan BRD terhadap perubahan PAD adalah
inelastis dengan koefisien elastisitas 0,36.
Artinya bahwa peningkatan
pendapatan asli daerah (PAD) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan
meningkatkan BRD sebesar 0,36 persen.
Nilai t hitung untuk DAU(t-1) pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 3,20
sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,013. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa
nilai P value untuk DAU(t-1) lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,013<0,05).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual DAU(t-1) juga memiliki
pengaruh positif yang signifikan terhadap belanja rutin daerah.
Meskipun
demikian, respon perubahan BRD terhadap perubahan DAU(t-1) adalah inelastis
dengan koefisien elastisitas 0,41. Artinya bahwa peningkatan dana alokasi umum
tahun sebelumnya (DAUt-1 ) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan
meningkatkan BRD sebesar 0,41 persen.
c.
Belanja Modal Daerah (BMD)
Hasil pendugaan parameter belanja modal daerah (BMD) dipengaruhi oleh
PAD tahun berjalan, DBH tahun berjalan dan BRD. Hasil estimasi
belanja
modal daerah ditampilkan pada tabel 17.
Dari perhitungan nilai R Square
diperoleh nilai sebesar 0,977 yang berarti 97,7 persen belanja moda daerah
(BMD) kota Bogor dapat dijelaskan oleh ketiga variabel independen di atas,
sedangkan sisanya yaitu 2,3 persen dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di luar
model.
Tabel 17. Hasil pendugaan parameter persamaan belanja modal daerah
Penduga
Koefisien
Std.Eror
t-hitung
Sig.(P)
Konstanta
-70251
23946
-2,93
0,026
PAD
1,9608
0,4508
4,35*
0,005
DAK
-2,867
2,608
-1,10
0,314
BRD
-0,6416
0,2539
-2,53*
0,045
DBH
3,7815
0,9571
3,95*
0,008
R-Sq = 0,977
F statistik = 64,78*
Prob.= 0,000
Durbin-Watson statistic = 1,80641
* Nyata pada taraf uji 5 persen.
(BMD)
Elastisitas
1,14
(0,06)
(1,69)
0,83
BMD = - 70251+ 1,96 PAD - 2,87 DAK - 0,642 BRD + 3,78 DBH
........... 5.5
Hasil pengujian diperoleh nilai F hitung dari seluruh variabel independen
secara serentak adalah 64,78 dengan tingkat signifikan sebesar 0. Ini berarti
hipotesis alternatif tidak dapat ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
hipotesis yang menyatakan bahwa PAD, DAK, BRD dan DBH secara bersamasama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap belanja modal daerah diterima.
Hasil analisa uji t diketahui nilai t hitung untuk PAD pada taraf nyata 5
persen (α = 0,05) yaitu 4,35 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,005. Dari nilai
tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk PAD lebih kecil daripada taraf
nyatanya (0,005<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual
PAD juga memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap belanja modal
daerah. Secara ekonomi, respon perubahan BMD terhadap perubahan PAD
adalah elastis dengan koefisien elastisitas 1,14.
Artinya bahwa peningkatan
pendapatan asli daerah (PAD) sebesar satu persen, ceteris paribus, akan
meningkatkan belanja modal daerah (BMD) sebesar 1,14 persen.
Nilai t hitung untuk DBH pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 3,95
sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,008. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa
nilai P value untuk PAD lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,008 < 0,05).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual DBH memiliki pengaruh
positif yang signifikan terhadap belanja modal daerah. Meskipun demikian,
respon perubahan BMD terhadap perubahan DBH adalah inelastis dengan
koefisien elastisitas 0,83. Artinya bahwa peningkatan dana bagi hasil (DBH)
sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan BMD sebesar 0,83
persen.
Nilai t hitung untuk BRD pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu negatif
2,53 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,045. Dari nilai tersebut dapat dilihat
bahwa nilai P value untuk BRD lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,045 < 0,05).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual BRD memiliki pengaruh
negatif yang signifikan terhadap belanja modal daerah. Secara ekonomi, respon
perubahan BMD terhadap perubahan BRD adalah elastis dengan koefisien
elastisitas negatif 1,69. Artinya bahwa peningkatan belanja rutin daerah (BRD)
sebesar satu persen, ceteris paribus, akan menurunkan belanja modal daerah
(BMD) sebesar 1,69 persen.
Dana alokasi khusus (DAK) tidak berpengaruh nyata terhadap belanja
modal daerah (BMD), meskipun demikian dari segi ekonomi masih memberikan
pengaruh yang nagatif bagi peningkatan belanja modal daerah dan responnya
inelastis.
d.
Belanja Pembangunan Bidang Pendidikan (BBP)
Hasil pendugaan parameter belanja bidang pendidikan (BBP) dipengaruhi
oleh PAD, DBH, DAU dan DAK tahun berjalan. Hasil estimasi belanja bidang
pendidikan ditampilkan pada Tabel 18.
Dari perhitungan nilai R Square diperoleh nilai sebesar 0,98 yang berarti 98
persen belanja bidang pendidikan (BBP)
kota Bogor dapat dijelaskan oleh
keempat variabel independen di atas, sedangkan sisanya yaitu dua persen
dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di luar model.
Tabel 18.
Hasil pendugaan parameter persamaan belanja bidang
(BBP)
Penduga
Koefisien
Std.Eror
t-hitung
Sig.(P)
Konstanta
-63781
29074
-2,19
0,071
PAD
1,2974
0,3028
4,28*
0,005
DAK
1,862
2,420
0,77
0,471
DBH
1,6298
0,6197
2,63*
0,039
DAU
-0,1667
0,2706
-0,62
0,561
R-Sq = 0,98
F statistik = 72,74*
Prob.= 0,000
Durbin-Watson statistic = 2,0337
pendidikan
Elastisitas
0,74
0,11
0,91
(0,33)
* Nyata pada taraf uji 5 persen.
BBP = - 63781+ 1,30 PAD +1,86 DAK + 1,63 DBH - 0,167 DAU ............ 5.6
Hasil pengujian diperoleh nilai F hitung dari keempat variabel independen
(PAD, DBH, DAU dan DAK) secara serentak adalah 72,74 dengan tingkat
signifikan sebesar 0. Ini berarti hipotesis alternatif tidak dapat ditolak. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa PAD, DBH, DAU
dan DAK secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
belanja bidang pendidikan diterima.
Hasil analisa secara parsial diketahui nilai t hitung untuk PAD pada taraf
nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 4,28 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,005.
Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk PAD lebih kecil
daripada taraf nyatanya (0,005 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara
individual PAD memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap belanja
bidang pendidikan. Meskipun demikian, respon BBP inelastis terhadap perubahan
PAD dengan koefisien elastisitas 0,74. Artinya bahwa peningkatan PAD sebesar
satu persen, ceteris paribus, hanya mampu menaikkan belanja bidang pendidikan
(BBP) sebesar 0,74 persen.
Nilai t hitung untuk DBH pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 2,63
sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,039. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa
nilai P value untuk DBH lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,039<0,05).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual DBH juga memiliki
pengaruh positif yang signifikan terhadap belanja bidang pendidikan. Meskipun
demikian, respon perubahan BBP terhadap perubahan DBH adalah inelastis
dengan koefisien elastisitas 0,91. Artinya bahwa peningkatan dana bagi hasil
(DBH) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan belanja
bidang pendidikan (BBP) sebesar 0,91 persen.
Dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) secara statistik
pada selang kepercayaan 95 persen tidak berpengaruh nyata pada belanja bidang
pendidikan (BBP).
Pemerintah Kota Bogor (RKPD, 2012) dalam menentukan belanja
pembangunan bidang pendidikan berdasarkan jumlah total belanja daerah, dimana
jumlah total belanja daerah ditentukan oleh penerimaan daerah. Penerimaan
daerah meliputi PAD, DAU, DAK, DBH dan pendapatan lainnya yang syah.
Alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar 20 persen dari total belanja daerah
setiap tahun tidak termasuk alokasi anggaran untuk kegiatan yang belum selesai
tahun sebelumnya (multi years), dalam rangka peningkatan indeks pendidikan
meliputi Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah (AMH dan RLS),
sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Tetapi target yang ditetapkan sebesar 20 persen dari total belanja daerah
belum tercapai sepenuhnya.
e.
Belanja Pembangunan Bidang Kesehatan (BBK)
Hasil pendugaan parameter belanja bidang kesehatan (BBK) dipengaruhi
oleh PAD, DBH, DAU dan DAK tahun berjalan. Hasil estimasi belanja bidang
pendidikan ditampilkan pada Tabel 19.
Dari perhitungan nilai R Square diperoleh nilai sebesar 0,996 yang berarti
99,6 persen belanja bidang kesehatan (BBK) kota Bogor dapat dijelaskan oleh
keempat variabel independen di atas, sedangkan sisanya yaitu 0,4 persen
dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di luar model.
Tabel 19. Hasil pendugaan parameter persamaan belanja bidang kesehatan (BBK)
Penduga
Koefisien
Std.Eror
t-hitung
Sig.(P)
Elastisitas
Konstanta
-16902
2094
-8,07
0,000
PAD
0,08136
0,02181
3,73*
0,010
0,27
DAK
-0,4661
0,1743
-2,67*
0,037
(0,16)
DBH
0,4066
0,04462
9,11*
0,000
1,35
DAU
0,01428
0,01948
0,73
0,491
0,16
R-Sq = 0,996
F statistik = 342,50*
Prob.= 0,000
Durbin-Watson statistic = 1,98942
* Nyata pada taraf uji 5 persen.
BBK = - 16902+0,0814 PAD - 0,466 DAK+ 0,407 DBH+ 0,0143 DAU ........ 5.7
Hasil pengujian diperoleh nilai F hitung dari keempat variabel independen
(PAD, DBH, DAU dan DAK) secara serentak adalah 342,50 dengan tingkat
signifikan sebesar 0. Ini berarti hipotesis alternatif tidak dapat ditolak. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa PAD, DBH, DAU
dan DAK secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
belanja bidang kesehatan diterima.
Hasil analisa uji-t diketahui nilai t hitung untuk PAD pada taraf nyata 5
persen (α = 0,05) yaitu 3,73 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,010. Dari nilai
tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk PAD lebih kecil daripada taraf
nyatanya (0,01 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual
PAD memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap belanja bidang
kesehatan. Meskipun demikian, respon perubahan BBK terhadap perubahan PAD
adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,27. Artinya bahwa peningkatan
pendapatan asli daerah (PAD) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan
meningkatkan belanja bidang kesehatan (BBK) sebesar 0,27 persen.
Nilai t hitung untuk DBH pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 9,11
sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,000. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa
nilai P value untuk DBH lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,000<0,05).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual DBH juga memiliki
pengaruh positif yang signifikan terhadap belanja bidang kesehatan pada taraf
kepercayaan 95 persen.
Secara ekonomi, respon perubahan BBK terhadap
perubahan DBH adalah elastis dengan koefisien elastisitas 1,35. Artinya bahwa
peningkatan dana bagi hasil (DBH) sebesar satu persen, ceteris paribus, akan
meningkatkan belanja bidang kesehatan (BBK) sebesar 1,35 persen.
Nilai t hitung untuk DAK pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu negatif
2,67 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,037. Dari nilai tersebut dapat dilihat
bahwa nilai P value untuk DAK lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,037<0,05).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual DAK juga memiliki
pengaruh negatif yang signifikan terhadap belanja bidang kesehatan pada taraf
kepercayaan 95 persen. Meskipun demikian, respon perubahan BBK terhadap
perubahan DAK adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,16. Artinya bahwa
peningkatan dana alokasi khusus (DAK) sebesar satu persen, ceteris paribus,
hanya akan menurunkan belanja bidang kesehatan (BBK) sebesar 0,16 persen.
Dana alokasi umum (DAU) tidak berpengaruh nyata terhadap belanja
bidang kesehatan (BBK), meskipun demikian dari segi ekonomi masih
memberikan pengaruh yang positif bagi peningkatan belanja bidang kesehatan
dan responnya inelastis.
Payung hukum untuk menetukan belanja bidang kesehatan adalah 10
persen dari total belanja daerah sesuai UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan guna peningkatan kualitas dan aksesibilitas pelayanan dasar kesehatan
dalam rangka peningkatan indeks kesehatan masyarakat, terutama untuk keluarga
miskin serta kesehatan ibu dan anak. Tetapi target yang ditetapkan sebesar 10
persen dari total belanja daerah belum tercapai.
f.
Belanja Pembangunan Bidang Infrastruktur (BBI)
Hasil pendugaan parameter belanja bidang infrastruktur (BBI) dipengaruhi
oleh PAD,DBH, DAU, DAK dan BRD tahun sebelumnya. Hasil estimasi
belanja bidang infrastruktur ditampilkan pada Tabel 20.
Nilai R Square diperoleh sebesar 0,981 yang berarti 98,1 persen belanja
bidang infrastruktur (BBI) kota Bogor dapat dijelaskan oleh kelima variabel
independen di atas, sedangkan sisanya yaitu 1,9 persen dijelaskan oleh sebabsebab yang lain di luar model.
Hasil pengujian diperoleh nilai F hitung dari kelima variabel independen
(PAD, DBH, DAU, DAK dan BRDt-1 ) secara serentak adalah 51,20 dengan
tingkat signifikan sebesar 0. Ini berarti hipotesis alternatif tidak dapat ditolak.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa PAD,
DBH, DAU, DAK dan BRDt-1 secara bersama-sama memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap belanja bidang infrastruktur diterima.
Tabel 20.
Hasil pendugaan parameter persamaan belanja bidang infrastruktur
(BBI)
Penduga
Koefisien
Std.Eror
t-hitung
Sig.(P)
Elastisitas
Konstanta
-8878
30873
-2,88
0,035
PAD
1,9774
0,3582
5,52*
0,003
1,56
DBH
3,2405
0,6484
5,00 *
0,004
2,55
DAU
-0,2470
0,3277
-0,75
0,485
DAK
0,601
2,587
0,23
0,825
BRDt-1
-0,5458
0,1947
-2,80*
0,038
(1,65)
R-Sq = 0,981
F statistik = 51,20*
Prob.= 0,000
Durbin-Watson statistic = 2,1739
* Nyata pada taraf uji 5 persen.
BBI = - 88780 + 1,98 PAD + 3,24 DBH - 0,247 DAU + 0,60 DAK
- 0,546 BRDt-1
.........................................................................
5.8
Hasil analisa secara parsial diketahui nilai t hitung untuk PAD pada taraf
nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 5,52 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,003.
Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk PAD lebih kecil
daripada taraf nyatanya (0,003 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara
individual PAD memiliki pengaruh yang signifikan terhadap belanja bidang
infrastruktur.
Secara ekonomi terlihat bahwa respon BBI elastis terhadap
perubahan PAD dengan koefisien elastisitas 1,56. Artinya bahwa peningkatan
PAD sebesar satu persen, ceteris paribus, mampu menaikan belanja bidang
infrastruktur (BBI) sebesar 1,56 persen.
Nilai t hitung untuk DBH pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 5,00
sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,004. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa
nilai P value untuk DBH lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,004<0,05).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual DBH juga memiliki
pengaruh positif yang signifikan terhadap belanja bidang infrastruktur. Meskipun
demikian, respon perubahan BBI terhadap perubahan DBH adalah elastis dengan
koefisien elastisitas 2,55. Artinya bahwa peningkatan dana bagi hasil (DBH)
sebesar satu persen, ceteris paribus,
akan meningkatkan belanja bidang
infrastruktur (BBI) sebesar 2,55 persen.
Nilai t hitung untuk BRDt-1 pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu negatif
2,80 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,038. Dari nilai tersebut dapat dilihat
bahwa nilai P value untuk BRDt-1 lebih kecil daripada taraf nyatanya
(0,038<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual BRDt-1 juga
memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap belanja bidang infrastruktur.
Secara ekonomi, respon perubahan BBI terhadap perubahan BRDt-1 adalah elastis
dengan koefisien elastisitas negatif 1,65. Artinya bahwa peningkatan belanja rutin
daerah tahun sebelumnya (BRDt-1 ) sebesar satu persen, ceteris paribus, akan
menurunkan belanja bidang infrastruktur (BBI) tahun berjalan sebesar 1,65
persen.
Hasil pendugaan diketahui bahwa dana alokasi umum (DAU) dan dana
alokasi khusus (DAK) secara statistik dengan selang kepercayaan 95 persen tidak
berpengaruh nyata terhadap belanja bidang infrastruktur (BBI).
Model Kinerja Ekonomi Kota Bogor
Hasil estimasi model utama persamaan linier berganda mengalami beberapa
kali perubahan.
Perubahan-perubahan model kinerja ekonomi terjadi akibat
besarnya nilai multikolinieritas dan autokorelasi. Setelah melalui beberapa kali
pengujian model untuk mendapatkan model yang terbaik, maka estimasi model
utama persemaan linier berganda adalah sebagai berikut:
a.
Investasi Daerah (INV)
Hasil pendugaan parameter logaritma investasi daerah (L_INV) dipengaruhi
oleh L_PDRB tahun berjalan dan logaritma upah minimum kota (L_UMK) tahun
berjalan. Hasil estimasi investasi daerah ditampilkan pada Tabel 21.
Tabel 21. Hasil pendugaan parameter persamaan investasi
Penduga
Koefisien
Std.Eror
t-hitung
Konstanta
-8,545
1,053
-8,11
L_PDRB
2,5877
0,1928
13,42*
L_UMK
-0,12103
0,05638
-2,15 *
L_PADt-1
-0,35264
0,06740
-5,23*
R-Sq = 0,983
F statistik = 351,89*
Prob.= 0,000
Durbin-Watson statistic = 1,96248
daerah (INV)
Sig.(P)
Elastisitas
0,000
0,000
2,58
0,046
(0,12)
0,000
(0,35)
* Nyata pada taraf uji 5 persen.
L_INV = - 8,54+ 2,59 L_PDRB - 0,121 L_UMK - 0,353 L_PADt-1 ............. 5.9
Koefisien determinasi digunakan untuk menguji goodness-fit dari model
regresi yang dapat lihat dari nilai R Square. Untuk mengetahui tingkat
perkembangan investasi daerah (INV) di kota Bogor yang disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain yaitu PDRB, upah minimum kota (UMK) dan PAD
tahun sebelumnya dapat dilihat melalui besarnya koefisien determinasi.
Dari
perhitungan nilai R Square adalah 0,983. Hal ini berarti 98,3 persen investasi
(INV) kota Bogor dapat dijelaskan oleh ketiga variabel independen di atas,
sedangkan sisanya yaitu 1,7 persen dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di luar
model.
Hasil pengujian diperoleh nilai F hitung dari ketiga variabel independen
(L_PDRB, L_UMK dan L_PADt-1 ) secara serentak adalah 351,89 dengan tingkat
signifikan sebesar 0. Ini berarti hipotesis alternatif tidak dapat ditolak. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa PDRB, UMK dan
PADt-1 secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
investasi daerah diterima.
Pengujian hipotesa kedua dilakukan dengan uji t. Uji t dilakukan dengan
membandingkan P Value t hitung yang dihasilkan oleh masing-masing variabel
independen dalam persamaan regresi dengan derajat signifikansinya (α) yaitu
0,05. Kriteria yang digunakan untuk menarik kesimpulan hipotesa diatas yaitu jika
PValue t hitung < α (α = 0,05) maka Ho ditolak. Dari hasil analisa diketahui nilai
t hitung untuk PDRB pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 13,42 sedangkan P
Value t hitungnya yaitu 0,000. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value
untuk PDRB lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,000 < 0,05). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa secara individual PDRB memiliki pengaruh positif yang
signifikan terhadap investasi daerah. Secara ekonomi terlihat bahwa respon INV
elastis terhadap perubahan PDRB dengan koefisien elastisitas 2,5877, artinya
bahwa peningkatan PDRB sebesar satu persen, ceteris paribus, mampu menaikan
investasi daerah (INV) sebesar 2,58 persen.
Nilai t hitung untuk UMK pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu
negatif 2,15 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,046. Dari nilai tersebut dapat
dilihat bahwa nilai P value untuk UMK lebih kecil daripada taraf nyatanya
(0,046<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual UMK juga
memiliki pengaruh negatif yang signifikan (sign negatif) terhadap investasi
daerah. Artinya, setiap kenaikan upah minimum kota Bogor akan mengakibatkan
penurunan investasi daerah. Meskipun demikian, respon perubahan INV terhadap
perubahan UMK adalah inelastis dengan koefisien elastisitas negatif 0,12.
Artinya bahwa peningkatan upah minimum kota (UMK) sebesar satu persen,
ceteris paribus, hanya akan menurunkan INV sebesar 0,12 persen.
Nilai t hitung untuk PADt-1 pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu negatif
5,23 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,000. Dari nilai tersebut dapat dilihat
bahwa nilai P value untuk UMK lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,000<0,05).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual PADt-1 juga memiliki
pengaruh negatif yang signifikan (sign negatif) terhadap investasi daerah.
Artinya, setiap kenaikan upah minimum kota Bogor akan mengakibatkan
penurunan investasi daerah. Meskipun demikian, respon perubahan INV terhadap
perubahan PADt-1 adalah inelastis dengan koefisien elastisitas negatif 0,35.
Artinya bahwa peningkatan upah minimum kota (UMK) sebesar satu persen,
ceteris paribus, hanya akan menurunkan INV sebesar 0,35 persen.
b.
Penyerapan Tenaga Kerja (PTK)
Hasil pendugaan parameter penyerapan tenaga kerja (PTK) dipengaruhi
oleh UMK, angkatan kerja (TK), investasi daerah (INV) tahun berjalan dan
penyerapan tenaga kerja tahun sebelumnya (PTK t-1 ).
Estimasi model utama
persemaan linier berganda dapat dilihat pada Tabel 22.
Dari perhitungan nilai R Square diperoleh nilai sebesar 0,998 yang berarti
kelima variabel independen (UMK, TK, INV, PTK t-1 , DOTD) di atas, sedangkan
sisanya yaitu 0,2 persen dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di luar model.
Tabel 22. Hasil pendugaan parameter persamaan penyerapan tenaga kerja (PTK)
Penduga
Koefisien
Std.Eror
t-hitung
Sig.(P)
Elastisitas
Konstanta
-12225
5373
-2,28
0,037
UMK
-0,11907
0,04824
-2,47 *
0,025
(0,32)
TK
0,79989
0,08471
9,44 *
0,000
0,96
INV
0,020379
0,008321
PTK t-1
0,3675
0,1199
DOTD
-17365
9098
R-Sq = 0,998
F statistik = 3018,06*
Prob.= 0,000
Durbin-Watson statistic = 2,020964
2,45*
3,06*
-1,91
0,026
0,007
0,074
0,10
0,33
* Nyata pada taraf uji 5 persen.
PTK = - 12225 - 0,119 UMK + 0,800 TK + 0,0204 INV + 0,368 PTK t-1
- 17365 DOTD
......................................................................... 5.10
Hasil pengujian diperoleh nilai F hitung dari kelima variabel independen
secara serentak adalah 3018,06 dengan tingkat signifikan sebesar 0. Ini berarti
hipotesis alternatif tidak dapat ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
hipotesis yang menyatakan bahwa UMK, TK, INV, PTK t-1 dan DOTD secara
bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan tenaga
kerja diterima.
Hasil analisa diketahui nilai t hitung untuk UMK pada taraf nyata 5 persen
(α = 0,05) yaitu negatif 2,47 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,025. Dari nilai
tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk UMK lebih kecil daripada taraf
nyatanya (0,025 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual
UMK memiliki pengaruh negatif yang signifikan (sign negatif) terhadap
penyerapan tenaga kerja. Artinya adalah setiap kenaikan UMK akan
mengakibatkan penurunan penyerapan tenaga kerja. Meskipun demikian, respon
perubahan PTK terhadap perubahan UMK adalah inelastis dengan koefisien
elastisitas negatif 0,32. Artinya bahwa peningkatan upah minimum kota (UMK)
sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan menurunkan PTK sebesar 0,32
persen.
Nilai t hitung untuk total angkatan kerja (TK) pada taraf nyata 5 persen (α =
0,05) yaitu 9,44 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,000. Dari nilai tersebut
dapat dilihat bahwa nilai P value untuk TK lebih kecil daripada taraf nyatanya
(0,000<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual TK juga
memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja.
Secara ekonomi terlihat bahwa respon PTK inelastis terhadap perubahan TK
dengan koefisien elastisitas 0,96. Artinya bahwa peningkatan total angkatan kerja
(TK) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya mampu menaikan penyerapan
tenaga kerja (PTK) sebesar 0,96 persen.
Nilai t hitung untuk investasi daerah (INV) pada taraf nyata 5 persen (α =
0,05) yaitu 2,45 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,026. Dari nilai tersebut
dapat dilihat bahwa nilai P value untuk INV lebih kecil daripada taraf nyatanya
(0,026<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual INV juga
memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja.
Artinya adalah semakin tinggi tingkat investasi daerah akan meningkatkan
penyerapan tenaga kerja. Meskipun demikian, respon perubahan PTK terhadap
perubahan INV adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,10. Artinya bahwa
peningkatan investasi daerah (INV) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya
akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja (PTK) sebesar 0,10 persen.
Nilai t hitung untuk penyerapan tenaga kerja tahun sebelumnya (PTK t-1 )
pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 3,06 sedangkan P Value t hitungnya
yaitu 0,007. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk PTK t-1
lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,007<0,05). Sehingga dapat disimpulkan
bahwa penyerapan tenaga kerja tahun sebelumnya (PTK t-1 ) memiliki pengaruh
positif yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja tahun berjalan. Artinya
adalah apabila tinggi tingkat penyerapan tenaga kerja tahun sebelumnya (PTK t-1 )
maka akan tinggi juga penyerapan tenaga kerja tahun berjalan (PTK). Meskipun
demikian, respon perubahan PTK terhadap perubahan PTK t-1 adalah inelastis.
Artinya bahwa selisih peningkatan penyerapan tenaga kerja tahun sebelumnya
(PTK t-1 ) dengan penyerapan tenaga kerja tahun berjalan (PTK) meningkat sebesar
0,33 persen dengan asumsi variabel lainnya tidak berubah (ceteris paribus).
Hasil pendugaan parameter juga menunjukkan bahwa penyerapan tenaga
kerja sebelum dan sesudah otonomi daerah secara statistik tidak berbeda nyata
pada tingkat signifikan 95 persen.
c.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Hasil pendugaan parameter Logaritma Produk Domestik Regional Bruto
(L_PDRB) dipengaruhi oleh logaritma investasi daerah tahun sebelumnya
(L_INVt-1 ), logaritma belanja bidang infrastruktur (L_BBI), logaritma belanja
bidang pendidikan tiga tahun sebelumnya (L_BBP t-3 ) dan logaritma total angkatan
kerja (L_TK). Model yang dipergunakan mengikuti model fungsi produksi.
Hasil estimasi produk domestik regional bruto ditampilkan pada Tabel 23.
Dari tabel tersebut perhitungan nilai R Square diperoleh nilai sebesar 0,987 yang
berarti 98,7 persen L_PDRB kota Bogor dapat dijelaskan oleh keempat variabel
independen (L_INVt-1 , L_BBI, L_BPPt-3 dan L_TK) di atas, sedangkan sisanya
yaitu 1,3 persen dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di luar model.
Tabel 23. Hasil pendugaan parameter persamaan produk domestik regional bruto
(PDRB)
Penduga
Koefisien
Std.Eror
t-hitung
Sig.(P)
Elastisitas
Konstanta
4,6873
0,4001
11,71
0,000
L_INVt-1
0,18275
0,06609
2,77**
0,013
0,18
L_BBI
0,05929
0,02149
2,76**
0,013
0,06
L_BBPt-3
0,04611
0,01352
3,41**
0,003
0,05
L_TK
0,05353
0,02729
1,96*
0,066
0,05
R-Sq = 0,987
F statistik = 327,79 *
Prob.= 0,000
Durbin-Watson statistic = 2,07520
** Nyata pada taraf uji 5 persen. * Nyata pada taraf uji 10 persen
L_PDRB = 4,69 + 0,183 L_INVt-1 + 0,0593 L_BBI + 0,0461 L_BBPt-3
+ 0,0535 L_TK .......................................................................... 5.11
Hasil pengujian diperoleh nilai F hitung dari keempat variabel independen
secara serentak adalah 327,79 dengan tingkat signifikan sebesar 0. Ini berarti
hipotesis alternatif tidak dapat ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
hipotesis yang menyatakan bahwa L_INV, L_BBI, L_BBPt-3 dan L_TK secara
bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produk domestik
regional bruto diterima.
Hasil analisa secara parsial diketahui nilai t hitung untuk L_INVt-1 pada
taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 2,77 sedangkan P Value t hitungnya yaitu
0,013. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk L_INVt-1 lebih
kecil daripada taraf nyatanya (0,013 < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
secara individual L_INVt-1 memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap
L_PDRB. Artinya adalah setiap kenaikan investasi tahun sebelumnya akan
mengakibatkan peningkatan PDRB tahun berjalan. Meskipun demikian, respon
perubahan PDRB tahun berjalan terhadap perubahan investasi tahun sebelumnya
(INVt-1 ) adalah inelastis dengan koefisien elastisitas sebesar 0,18. Artinya bahwa
peningkatan investasi daerah tahun sebelumnya (INVt-1 ) sebesar satu persen,
ceteris paribus, hanya akan meningkatkan PDRB tahun berjalan sebesar 0,18
persen.
Nilai t hitung untuk logaritma belanja bidang infrastruktur (L_BBI) pada
taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 2,76 sedangkan P Value t hitungnya yaitu
0,013. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk L_BBI lebih
kecil daripada taraf nyatanya (0,013<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
secara individual BBI juga memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap
peningkatan PDRB.
Pertumbuhan belanja bidang infrastruktur (BBI) merupakan usaha
pemerintah daerah dalam meningkatkan pelayanan publik, yang berpengaruh
positif terhadap kenaikan PDRB namun secara ekonomi masih bersifat inelastis
dengan koefisien elastisitas 0,06. Artinya bahwa kenaikan belanja bidang
infrastruktur satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan PDRB
sebesar 0,06 persen.
Nilai t hitung untuk logaritma belanja bidang pendidikan tiga tahun
sebelumnya (L_BBPt-3 ) pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 3,41 sedangkan
P Value t hitungnya yaitu 0,003. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P
value untuk L_BBPt-3 lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,003<0,05). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa secara individual BBPt-3 juga memiliki pengaruh positif
yang signifikan terhadap peningkatan PDRB. Kondisi ini menunjukkan bahwa
belanja bidang pendidikan bersifat “long run” yang artinya manfaat dapat dilihat
dalam jangka panjang. Meskipun demikian, respon perubahan PDRB tahun
berjalan terhadap perubahan belanja bidang pendidikan tiga tahun sebelumnya
(BBPt-3 ) adalah inelastis dengan koefisien elastisitas sebesar 0,05. Artinya bahwa
peningkatan belanja bidang pendidikan tiga tahun sebelumnya (BBPt-3 ) sebesar
satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan PDRB tahun berjalan
sebesar 0,05 persen.
Belanja pemerintah daerah akan mempengaruhi perekonomian (PDRB),
alasannya adalah bahwa, menurut fungsi konsumsi, pendapatan yang lebih tinggi
menyebabkan konsumsi yang lebih tinggi. Ketika kenaikan dalam pembelian
pemerintah meningkatkan pendapatan, ia juga meningkatkan konsumsi, yang
selanjutnya meningkatkan pendapatan, yang kemudian meningkatkan konsumsi
dan seterusnya sehingga menimbulkan efek berantai. Besarnya nilai pengganda
dari belanja bidang infrastruktur adalah 1,06. Artinya adalah kenaikan belanja
pemerintah bidang infrastruktur sebesar satu juta rupiah akan meningkatkan
pendapatan keseimbangan sebesar 1.060.000 rupiah. Nilai pengganda untuk
belanja bidang pendidikan adalah 1,048. Artinya adalah kenaikan belanja bidang
pendidikan sebesar satu juta rupiah akan meningkatkan pendapatan keseimbangan
sebesar 1.048.000 rupiah.
Investasi daerah juga mempengaruhi perekonomian secara simultan. Ketika
kenaikan dalan investasi daerah meningkatkan produksi, ia juga meningkatkan
pendapatan, yang kemudian meningkatkan investasi dan seterusnya sehingga
menimbulkan efek berantai. Besarnya nilai pengganda dari investasi daerah
adalah 1,224. Artinya adalah kenaikan investasi daerah sebesar satu juta rupiah
akan meningkatkan pendapatan keseimbangan 1.224.000 rupiah. Nilai pengganda
investasi daerah yang relatif lebih besar dibandingkan dengan belanja bidang
pendidikan dan infrastruktur menunjukkan bahwa untuk memacu kinerja ekonomi
di Kota Bogor perlu untuk meningkatkan investasi daerah.
Nilai t hitung untuk logaritma total angkatan kerja (L_TK) pada taraf nyata
10persen (α = 0,10) yaitu 1,96 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,066. Dari
nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk L_TK lebih kecil daripada
taraf nyatanya (0,066<0,10). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual
TK juga memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap PDRB. Artinya
adalah semakin tinggi total angkatan kerja (TK) akan meningkatkan PDRB.
Meskipun demikian, respon perubahan PDRB terhadap perubahan total angkatan
kerja (TK) adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,05. Artinya bahwa
peningkatan total angkatan kerja (TK) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya
akan meningkatkan PDRB sebesar 0,05 persen.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Hasil estimasi model utama persamaan linier berganda mengalami beberapa
kali perubahan.
Perubahan-perubahan model indeks pembangunan manusia
(IPM) terjadi akibat besarnya nilai multikolinieritas dan autokorelasi. Setelah
melalui beberapa kali pengujian model untuk mendapatkan model yang terbaik,
maka estimasi model utama persemaan linier berganda adalah sebagai berikut:
L_IPM = 1,37 + 0,0020 L_BBP + 0,0161 L_BBK - 0,0113 L_BBI + 0,0289
L_INVt-1 + 0,0503 L_UMK
................................................. 5.12
Koefisien determinasi digunakan untuk menguji goodness-fit dari model regresi
yang dapat lihat dari nilai R Square. Untuk mengetahui tingkat perkembangan
IPM di kota Bogor yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu belanja bidang
pendidikan (BBP), belanja bidang kesehatan (BBK), belanja bidang infrastruktur
(BBI), investasi tahun sebelumnya dan upah minimum kota (UMK) dapat dilihat
melalui besarnya koefisien determinasi.
Hasil estimasi indeks pembangunan
manusia (IPM) ditampilkan pada Tabel 24.
Tabel 24. Hasil pendugaan parameter indeks pembangunan manusia (IPM)
Penduga
Koefisien
Std.Eror
t-hitung
Sig.(P)
Elastisitas
Konstanta
1,37494
0,04505
30,52
0,000
L_BBP
0,002004
0,002130
0,94
0,361
0,002
L_BBK
0,016129
0,002744
5,88 *
0,000
0,016
L_BBI
-0,011260
0,002672
L_INVt-1
0,028874
0,006968
L_UMK
0,050277
0,003982
R-Sq = 0,987
F statistik = 1006,98*
Prob.= 0,000
Durbin-Watson statistic = 2,01465
-4,21 *
4,14 *
12,63*
0,001
0,001
0,000
-0,011
0,029
0,050
* Nyata pada taraf uji 5 persen.
Tabel diatas menunjukkan perhitungan nilai R Square adalah 0,987. Hal ini
berarti 98,7 persen IPM kota Bogor dapat dijelaskan oleh kelima variabel
independen di atas, sedangkan sisanya yaitu 1,3 persen dijelaskan oleh sebabsebab yang lain di luar model.
Hasil pengujian diperoleh nilai F hitung dari kelima variabel independen
(L_BBP, L_BBK, L_BBI, L_INVt-1 dan L_UMK) secara serentak adalah 1006,98
dengan tingkat signifikan sebesar 0. Ini berarti hipotesis alternatif tidak dapat
ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa
BBP, BBK, BBI, INVt-1 dan UMK secara bersama-sama memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap indeks pembangunan manusia diterima.
Pengujian hipotesa kedua dilakukan dengan uji t. Uji t dilakukan dengan
membandingkan P Value t hitung yang dihasilkan oleh masing-masing variabel
independen dalam persamaan regresi dengan derajat signifikansinya (α) yaitu
0,05. Kriteria yang digunakan untuk menarik kesimpulan hipotesa diatas yaitu jika
PValue t hitung < α (α = 0,05) maka Ho ditolak. Dari hasil analisa diketahui nilai
t hitung untuk L_BBK pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 5,88 sedangkan P
Value t hitungnya yaitu 0,000. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value
untuk L_BBK lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,000 < 0,05). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa secara individual BBK memiliki pengaruh positif yang
signifikan
terhadap IPM. Artinya adalah setiap kenaikan belanja bidang
kesehatan (BBK) akan mengakibatkan peningkatan IPM. Meskipun demikian,
respon perubahan IPM terhadap perubahan belanja bidang kesehatan (BBK)
adalah inelastis dengan koefisien elastisitas 0,016. Artinya bahwa peningkatan
belanja bidang kesehatan sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan
meningkatkan IPM sebesar 0,016 persen.
Nilai t hitung untuk logaritma belanja bidang infrastruktur (L_BBI) pada
taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu negatif 4,21 sedangkan P Value t hitungnya
yaitu 0,001. Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk L_BBI
lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,001<0,05). Sehingga dapat disimpulkan
bahwa secara individual BBI juga memiliki pengaruh negatif yang signifikan
terhadap peningkatan IPM. Meskipun demikian, respon perubahan IPM terhadap
perubahan belanja bidang infrastruktur (BBI) adalah inelastis dengan koefisien
elastisitas negatif 0,011. Artinya bahwa peningkatan belanja bidang infrastruktur
(BBI) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan menurunkan IPM sebesar
0,011 persen.
Nilai t hitung untuk L_INVt-1 pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu
4,14 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,001. Dari nilai tersebut dapat dilihat
bahwa nilai P value untuk L_INVt-1 lebih kecil daripada taraf nyatanya (0,001 <
0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara individual L_INVt-1 memiliki
pengaruh positif yang signifikan terhadap L_IPM. Artinya adalah setiap kenaikan
investasi tahun sebelumnya akan mengakibatkan peningkatan IPM tahun berjalan.
Meskipun demikian, respon perubahan IPM tahun berjalan terhadap perubahan
investasi tahun sebelumnya (INVt-1 ) adalah inelastis dengan koefisien elastisitas
sebesar 0,029. Artinya bahwa peningkatan investasi daerah tahun sebelumnya
(INVt-1 ) sebesar satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan IPM tahun
berjalan sebesar 0,029 persen.
Nilai t hitung untuk logaritma upah minimum kota (L_UMK) pada taraf
nyata 5 persen (α = 0,05) yaitu 12,63 sedangkan P Value t hitungnya yaitu 0,000.
Dari nilai tersebut dapat dilihat bahwa nilai P value untuk L_UMK lebih kecil
daripada taraf nyatanya (0,000<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara
individual UMK juga memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap IPM.
Artinya adalah semakin tinggi nilai upah minimum kota (UMK) akan
meningkatkan IPM.
Meskipun demikian, respon perubahan IPM terhadap
perubahan upah minimum kota (UMK) adalah inelastis dengan koefisien
elastisitas 0,05. Artinya bahwa peningkatan upah minimum kota (UMK) sebesar
satu persen, ceteris paribus, hanya akan meningkatkan IPM sebesar 0,05 persen.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator komposit
tunggal yang digunakan untuk mengukur pencapaian pembangunan manusia yang
telah dilakukan di suatu wilayah. Walaupun tidak dapat mengukur semua dimensi
dari pembangunan manusia, namun mampu mengukur semua dimensi pokok
pembangunan manusia yang dinilai mencerminkan status kemampuan dasar
penduduk. Ketiga kemampuan dasar itu adalah umur panjang dan sehat yang
diukur melalui angka harapan hidup waktu lahir, berpengetahuan dan
berketerampilan yang diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama
sekolah, serta akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai
standar hidup layak yang diukur dengan pengeluaran konsumsi. Pemerintah Kota
Bogor menempatkan pembangunan manusia sebagai salah satu pusat perhatian
dalam pembangunan daerah, yang direfleksikan dengan keterkaitan dan
keterpaduan pembangunan yang mengarah kepada upaya pencapaian IPM Kota
Bogor dengan tiga komponen utama yaitu Indeks Pendidikan, Kesehatan dan
Indeks Daya Beli.
Secara umum indikator peluang hidup dapat diukur menggunakan Angka
Harapan Hidup waktu lahir (e0 ) yang dihitung dengan metode tidak langsung
(biasanya metode Brass atau varian Trussel). Data dasar yang digunakan untuk
menghitung metode tidak langsung adalah „rata-rata anak lahir hidup” dan “ratarata anak masih hidup”. Komponen pengetahuan diukur dari kombinasi angka
melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Angka Melek Huruf diolah dari variabel
kemampuan baca-tulis. Rata-rata lama sekolah dihitung dengan menggunakan dua
variabel dasar dalam kuesioner KOR-Susenas, yaitu kelas tertinggi yang pernah
/sedang diduduki dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Komponen standar
hidup layak diukur dengan rata-rata konsumsi riil per kapita yang telah
disesuaikan dengan metode Atkinson.
Komponen penyusun IPM dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor,
sehingga indikator utama dalam IPM merupakan outcome. Karena outcome tidak
terjadi dalam jangka pendek, akan tetapi merupakan hasil dari suatu proses, maka
yang menjadi ukuran pencapaian IPM adalah indikator output. Apabila outputnya
menunjukkan arah positif, maka kita perkirakan outcome (indikator IPM) juga
akan meningkat.
Belanja bidang pendidikan (BBP) secara statistik tidak berpengaruh nyata
terhadap indeks pembangunan manusia (IPM), meskipun demikian dari segi
ekonomi masih memberikan pengaruh yang positif bagi peningkatan indeks
pembangunan manusia walaupun responnya inelastis dengan koefisien elastisitas
0,002. Kondisi infrastruktur pendidikan di Kota Bogor relatif sudah baik sejak
tahun 2000 sehingga belanja bidang pendidikan sulit untuk mengangkat nilai IPM
karena sudah berada di level yang tinggi. Menurut BPS Kota Bogor ( 2012)
pembangunan bidang pendidikan mampu meningkatkan Angka Partisipasi Murni
(APM) SD Sederajat pada tahun 2010 mencapai 99,28persen meningkat
6,59persen dibanding tahun 2009 sebesar 92,69 persen dan melebihi target
RPJMD sebesar 94persen. APM SMP Sederajat
mencapai 74,27persen
meningkat sebesar 2,31persen dibanding tahun 2009 sebesar 71,95 persen,
melebihi target RPJMD sebesar 74persen. APM SMA Sederajat mencapai
83,09persen meningkat sebesar 3,09persen dibanding tahun 2009 sebesar
70persen, melebihi target RPJMD sebesar 73persen. Adapun Angka Putus
Sekolah (APS) SD sederajat sebesar 0,05 persen, belum dapat ditekan sesuai
target RPJMD 0,03persen, Angka Putus Sekolah (APS) SMP sederajat sebesar
0,13persen, belum dapat ditekan sesuai target RPJMD 0,07persen., Angka Putus
Sekolah (APS) SMA sederajat sebesar 0,36persen, melebihi target RPJMD
0,80persen., Angka Kelulusan SD sederajat sebesar 97,84persen, belum dapat
tercapai sesuai target RPJMD 100persen, Angka Kelulusan SMP sederajat sebesar
99,54persen, melebihi target RPJMD sebesar 99persen., Angka Kelulusan SMA
sederajat sebesar 100persen, melebihi target RPJMD sebesar 99persen. dan guru
yang telah memiliki sertifikat pendidik mencapai 4.127 guru meningkat dari tahun
2009 yaitu 3.226. Hal ini menunjukan bahwa 40persen guru Kota Bogor telah
tersertifikasi.
Jumlah sarana pendidikan SD sederajat sebanyak 341 unit,
SMP/sederajat sebanyak 146 unit, dan jumlah sarana SMA/SMK/MA sederajat
sebanyak 126 unit, sedangkan jumlah tenaga pengajar /Guru SD sederajat
sebanyak 4.867, Guru SMP sederajat sebanyak 3.473, dan jumlah guru
SMA/SMK/MA sederajat sebanyak 4.084 orang.
Menurut kajian SNSE kota Bogor tahun 2011 (Bapeda, 2012), kondisi
ketenagakerjaan di Kota Bogor tahun 2011 menunjukkan fenomena hampir sama
dengan kondisi tahun 2008, dimana terdapat perbedaan yang cukup besar antara
pendapatan karyawan di sektor jasa swasta, bangunan dengan sektor lain di Kota
Bogor. Berdasarkan rasio surplus usaha dan upah, pendapatan tenaga kerja di
sektor jasa swasta relatif lebih besar dibandingkan dengan pendapatan tenaga
kerja di sektor-sektor lainnya. Untuk mempersempit kesenjagan tersebut,
sebaiknya pemerintah memberikan kebijakan yang memihak terhadap
kesejahteraan karyawan, contohnya keterampilan tenaga kerja ditingkatkan
melalui pelatihan-pelatihan sehingga produktivitas tenaga kerja di Kota Bogor
akan meningkat. Hal tersebut pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan
mereka.
6
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1.
2.
3.
4.
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa rasio tranfer (DAU dan DAK)
terhadap total penerimaan daerah menunjukkan negative slope , dan rasio
pendapatan daerah (PAD dan DBH) terhadap total penerimaan daerah
menunjukkan positive slope sehingga dapat dikatakan kota Bogor mandiri
dalam penerimaan daerah walaupun masih tergantung ke pemerintah pusat.
Secara empiris penelitian ini juga membuktikan bahwa besarnya total
belanja daerah (TBD) dipengaruhi oleh jumlah dana alokasi umum (DAU)
dan pendapatan daerah. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa bahwa
respon total belanja daerah (TBD) lebih besar terhadap pendapatan asli
daerah (PAD) daripada dana transfer (DAU), sehingga dapat dikatakan
bahwa kota Bogor sekarang ini lebih mandiri dalam penerimaan daerah.
Pertumbuhan ekonomi kota Bogor dipengaruhi secara positif dan signifikan
oleh investasi daerah tahun sebelumnya (INVt-1 ), belanja bidang
infrastruktur (BBI), belanja bidang pendidikan tiga tahun sebelumnya
(BBPt-3 ) dan total angkatan kerja (TK). Penelitian ini juga menunjukkan
bahwa upah minimum kota (UMK) berpengaruh signifikan secara negatif
terhadap investasi daerah (INV) di kota Bogor.
Upah minimum kota (UMK), belanja bidang kesehatan (BBK), dan
investasi tahun sebelumnya (INVt-1 ) berpengaruh signifikan positif terhadap
indeks pembangunan manusia (IPM).
Saran
1.
2.
3.
4.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang memerlukan perbaikan
dan pengembangan dalam studi-studi selanjutnya, karena belum mencakup
aspek-aspek lain yang mungkin merupakan faktor penting, misalnya aspek
kelembagaan, kebijakan publik, politik, manajemen keuangan, dan aspek
gaya kepemimpinan di pemerintah kota Bogor.
Disarankan memperbaiki hubungan atau interaksi Pemkot dengan pelaku
usaha, ikut serta dalam perencanaan program pengembangan usaha, dan
meningkatkan kapasitas dan integritas Walikota.
Disarankan pemkot Bogor harus memperbesar persentase belanja modal
terhadap total belanja daerah. Sejalan dengan meningkatnya investasi dan
belanja modal akan bertambah lapangan kerja baru, sehingga penyerapan
tenaga kerja akan meningkat.
Disarankan pemkot bogor untuk meningkatkan pelatihan buat tenaga kerja
baik lewat peningkatan belanja bidang pendidikan maupun mengajak swasta
untuk terlibat dalam pendidikan melalui program CSR-nya. Dengan adanya
pendidikan dan pelatihan ini akan meningkatkan ketrampilan tenaga kerja
yang pada akhirnya proses peningkatan upah minimum kota tidak ditentang
oleh pengusaha.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sukriy dan Halim. 2003. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah
Studi Kasus Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali. Simposium Nasional
Akuntansi VI. Yogyakarta, Hal 1140-1159.
Andrea, F. 2009. Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal dan
Kualitas Pembangunan Manusia. Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara. Medan.
Arief, H. 2001. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi di
Propinsi Jawa Tengah, Tesis S2 MEP UGM. Yogyakarta (Tidak
dipublikasikan).
Arsyad, L. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah.
Yogyakarta, BPFE-UGM.
Aschauer, D.A. 1989. Public Investment and Productivity Growth in The Group
of Seven. Economic Perspective, Vol 13.
Atmaja, I.B.R.S. 2001, Peranan Investasi Swasta, Investasi Sektor publik dan
Pertumbuhan Penduduk Terhadap Pertumbuhan GDP di Indonesia,
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 15, No.2.
BPS Provinsi Banten. 2011. Indikator Perekonomian Provinsi Banten. 20082011. Serang.
BPS DKI Jakarta. 2011. Indikator Perekonomian Jakarta. Jakarta.
BPS Provinsi Jawa Barat. 2011. Indikator Perekonomian Provinsi Jawa Barat.
Bandung.
BPS Kota Bogor. 2011. Kota Bogor Dalam Angka 2007-2010. Kota Bogor.
Bird, Richard M and Varllancourt, Francouis. 1998. Fiscal Decentralization in
Developing Countries. Cambridge University Press, UK
Boediono, 1999. Teori Pertumbuhan Ekonomis seri sinopsis, Edisi Pertama.
Cetakan keenam, BPFE. Yogyakarta.
Davey, K.J. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah Praktek-Praktek
Internasional dan Relevansinya bagi Dunia Ketiga, terjemahan. UIPress.
Deller, Steven, Craig, M. dan Victor, L. 2002. Winconsin local government, state
shared revenues and the illusive flypaper effect. University of
Winconsin-Madison, Working Paper.
Djojohadikusuma, S. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Dasar Teori
Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. LP3ES. Jakarta.
Fischer and Ronald, C. 1996. State and Local Public Finance. Chicago: Irwin.
Glasson, J. 1997. An Introduction to Regional Planning. London Hutchinson
Educational.
Gujarati, D. 1999. Essential of Econometrics, McGraw-Hill.Inc. Second Edition,
London.
Halim, A. 2002. Seri Akuntansi Sektor Publik-Akuntansi Keuangan Daerah.
Salemba Empat. Jakarta.
80
Hamid, E.S. 1999. Peran dan Intervensi Pemerintah dalam Perekonomian.
Ekonomi dan Keuangan Indonesia Vol. XLXV No. 8
Herlambang, T., Sugiarto, Bastoro dan Said, K. 2001. Ekonomi Makro ; Teori
Analisis dan Kebijakan. Gramedia, Jakarta.
Hendrik, Y. 2009. Analisis Pengaruh Kapasitas Fiskal Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Kabupaten Dairi. Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Medan.
Hyman, David, N. 1996. Public Finance : A Contemporary Aplication of Theory
to Policy, The Dryden Press, Harcourt Brace College, Publisher.
Imam, G. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Insukindro, Mardiasmo, Widayat
W., Wihana K.J., Purwanto, Halim, A.,
Suprihanto, J., Purnomo, B. 1994. Peranan Pengelolaan Keuangan
Daerah dalam Usaha Peningkatan PAD. Laporan hasil penelitian
KKD, FE-UGM, Yogyakarta.
Ira, S. 1996. Pengaruh Penggunaan Variabel Demografi dalam Model
Pertumbuhan Ekonomi : Kasus 25 Propinsi di Indonesia, 1983-1992,
Ekonomi Keuangan Indonesia, Vol. XLIX No.2.
Jhingan, M.L. 1999. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, diterjemahkan
oleh D.Guritno, Edisi ke Tujuh. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Jones, B.M. 1996. Local Government Financial Management. Hertfordshire :
ICSA Publishing.
Juanda, B. 2009. Ekonometrika, Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press, Bogor.
------------- . 2009 b. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis. IPB Press, Bogor.
Kaldor, N. 1970. The Case for Regional Policies. Scotitish Journal of Political
Economy, No. 17.
Kim, S.T. 1997. The Role of Local Public Sectors in Regional Growth in Korea.
Asian Economic Journal, Vol. 11 No. 21, 155-168.
Kuncoro, M. 1997. Ekonomi Pembangunan : Teori, Masalah dan Kebijakan.
YKPN, Yogyakarta.
Kuznet, S. 1955. Economic Growth and Inequalities. American Economic
Review.
Lee, Robert, D. and Ronald, W.J. 1998. Public Budgeting System 6th Edition. AN
Asper Publication Gaithering, Maryland.
Lewis, J.W. 1969. The Social Limits of Political Charge dalam Modernization by
Design. CH. Morse, e.a, Cornell University Press.
Maiharyanti, E. 2010. Pengaruh Pendapatan Daerah Terhadap Indeks
Pembangunan Manusia dan Belanja Modal Sebagai Variabel
Intervening Pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh Nanggroe
Darussalam. Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.
Maimunah, M. 2006. Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah pada
Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. Simposium Nasional Akuntansi
IX. Padang.
81
Mangkoesoebroto dan Guritno. 1998. Ekonomi Publik, BPFE, Edisi 3,
Yogyakarta.
Mankiw, N.G. 2000, Macroeconomics. Fourth Edition. Worth Publisher Inc, New
York.
Mc Cawley, Peter, Booth dan Anne. 1982. Ekonomi Orde Baru, Jakarta LP3ES
Mc Kee, D., Dean, Robert. D., Leahly dan William, H. 1970. Regional Economics
: Theory and Practice. New York, PP 93-103
Miller, Stephen, M. dan Frank, R.S. 1997. Fiscal Structure and Economic Growth
at the State and Local Level, Public Finance Review, Vol. 25 No. 3,
213-237.
Mulyono, 1999. Pengaruh Dana Pembangunan APBD tingkat I terhadap
Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Tengah, Tesis S2 MEP UGM
Yogyakarta (Tidak di publikasikan).
Musgrave, Richard, A. dan Peggy, B.M. 1989. Public Finance in Theory and
Practice, Mc Graw-Hill.
Myrdal, G. 1957. Economic Theory and Underdevelopment Regions, London.
Nicholson, W. 1994. Teori Ekonomi Mikro Prinsip Dasar dan
Pengembangannya. Rajawali Pers, Jakarta.
Nopirin, 1999. Pengantar Ilmu Ekonomi Makro & Mikro. BPFE, Yogyakarta.
Nurmanaf, A.R. 1999. Kesenjangan Pengeluaran Pembangunan antar Wilayah dan
Propinsi di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Vol
XLVII, Nomor 4, 58-62.
Pancawati, N. 2000. Pengaruh Rasio Kapital Tenaga Kerja, Tingkat Pendidikan,
Stok Kapital dan Pertumbuhan Penduduk Terhadap Pertumbuhan
GDP di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 15,No.
2.
Prasetyo, S. 2001. Teori Pertumbuhan Berbasis Ekonomi (Ekspor) : Posisi dan
Sumbangannya Bagi Perbendaharaan Alat-alat Analisis Regional,
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 16, No.1.
Reksoprayitno dan Soediyono, 1997. Ekonomi Makro : Pengantar Analisis
Pendapatan Nasional, Edisi Kelima, Cetakan Ketiga, Liberty,
Yogyakarta.
Republik Indonesia, 2004. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah.
Republik Indonesia, 2004. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Rustiadi, E., Saefulhakim, S. dan Panuju, D.R. 2009. Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah, Crestpent Press dan Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Samuelson, P.A. dan Nordhaus, W.D. 1996. Makro Ekonomi, Edisi keempatbelas,
alih bahasa Haris Munandar dkk. Erlangga, Jakarta.
Sidik, Machfud, B., Mahi, R., Simanjuntak, R. dan Brodjonegoro, B. 2002.
Dana Alokasi Umum – Konsep, Hambatan dan prospek di Era
Otonomi Daerah. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Simandjuntak, D.J., Isman, S. 1985. Persoalan Pokok Sehubungan dengan
Hutang Luar Negeri Indonesia, Seminar di UAJ Yogyakarta.
82
Singgih, S. 2000. SPSS Mengolah Data Statistik Secara Profesional, Elex Media
Komputindo.
Siti, A.T.R. 2000. Peranan Sektor Publik Lokal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Regional di Indonesia, Tesis MEP UGM Yogyakarta (Tidak
dipublikasikan).
Sukanto, R. 2001. Kemampuan Aparatur Daerah :Kunci Utama, Prisma No.12.
Sukirno, S. 2000. Makroekonomi Modern, PT. Raja Grafindo, Jakarta.
-------------- 2007. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar
Kebijakan, Kencana Prenada Media Group, Edisi 2, Jakarta.
Tambunan, T.H, 2001, Perekonomian Indonesia, Teori dan Temuan Empiris.
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Todaro, M.P. dan Smith S.C. 2006. Pembangunan Ekonomi (jilid 1), terjemahan,
cetakan kesembilan, Penerbit Erlangga, Jakarta.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Februari 1966 di Perbulan, Kabupaten Karo,
Provinsi Sumatera Utara, putera ketiga dari lima bersaudara dari ayahanda bernama
Jamaludin Sembiring (Alm) dan ibunda bernama Ukur Malem Br. Ginting (Almh).
Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Medan pada tahun 1985 dan meneruskan studi
pada program studi ilmu tanah, jurusan budidaya pertanian, Fakultas Pertanian
Universitas Syiah Kuala melalui program penyelusuran minat dan kemampuan
(PMDK). Skripsi berjudul “Pengaruh Penanaman dan Pembenaman Tanaman Pentup
Tanah (Cover crops) terhadap Perubahan Kesuburan Tanah” merupakan karya akhir
penulis dan lulus pada tahun 1990. Pada tahun 2009 penulis mendapat kesempatan
belajar di Program studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan,
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Karir penulis dimulai di Universitas Syiah Kuala sewaktu kuliah di tingkat akhir
dengan menjadi surveyor dan analis tanah untuk lokasi pengembangan perkebunan dan
transmigrasi sebelum kemudian berkarir di PT. Almasentra Konsulindo (Jakarta)
sebagai kunsultan junior dalam bidang evaluasi lahan pada tahun 1993.
Mulai awal tahun 2013 penulis bekerja di PT. Multi Kreasi Mandiri (MCM)
sebagai tenaga ahli dan juga memulai kegiatan sebagai wirausahawan khususnya pada
bidang perdagangan. Sejak tahun 2009 ikut mengabdikan diri sebagai pengajar paruh
waktu di Program Diploma Institut Pertanian Bogor. Sebuah artikel yang berjudul
“Pembangunan Kota Bogor Berbasis Semangat Kemandirian” akan diterbitkan pada
Jurnal Sosiohumaniora. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S2
penulis.
Lampiran 1 Data Pendukung
Tahun
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
TPD (juta) DAU(juta)
10176,80
0,00
13998,88
0,00
18957,10
0,00
22504,52
0,00
25990,17
0,00
33264,03
0,00
49143,92
0,00
69156,66
0,00
73211,39
0,00
78524,43
0,00
91810,92
0,00
232806,15 145936,04
268719,10 165870,00
342018,08 197420,00
384595,66 205937,15
421439,92 214806,00
536012,12 302515,00
635463,45 359576,51
718083,40 397366,56
837416,44 439246,35
899450,96 426093,61
1141638,16 472888,33
DAK
PAD(juta)
0,00
6551,71
0,00
9210,08
0,00
9631,79
0,00
10754,31
0,00
12676,15
0,00
17322,22
0,00
21480,23
0,00
23600,78
0,00
20978,47
0,00
17311,69
0,00
20165,72
0,00
26787,46
0,00
31173,87
4100,00
41454,15
5500,00
50644,04
4000,00
66707,30
7620,00
69300,01
7587,70
79819,17
14056,00
97768,14
21019,00 125313,31
9756,70 134739,60
8524,95 230449,65
DBH
455,38
544,68
672,65
1412,12
2229,70
2845,94
3126,79
5772,58
7405,61
10613,87
13622,75
36097,20
45118,73
52924,29
65318,61
70303,87
80483,18
90235,98
108784,00
130310,45
148687,62
120803,37
TBD (juta)
9828,26
13487,75
18087,88
20841,34
24976,12
31844,64
44591,19
62453,07
67696,41
73604,10
85625,66
206249,48
268267,90
343987,82
328228,76
360829,40
468762,39
527386,52
673652,88
776877,00
956682,80
1074576,51
BRD(juta)
7619,33
7520,39
9598,59
11103,30
14921,71
17632,61
20642,15
26024,55
34316,73
53094,53
63991,07
160436,21
197555,85
220878,61
312094,31
318388,70
390875,26
455485,21
434992,68
494678,24
632618,20
718876,77
BMD (juta) BBP (juta) BBK (juta)
2208,93
1048,33
251,30
5967,36
2422,69
403,11
8489,29
2007,49
365,19
9738,04
1884,29
378,44
10054,41
1419,06
366,53
14212,03
1204,86
552,88
23949,04
1400,08
978,31
36428,52
2518,64
812,61
33379,67
3234,24
1012,28
20509,57
4736,99
992,67
21634,59
4755,01
1436,34
45813,27
9067,94
1880,00
70712,05
14318,48
4704,80
123109,22
15179,73
7161,31
16134,44 105064,33 20173,69
42440,69 115499,62 22177,40
77887,13 150048,42 28811,21
71901,31 132599,27 15870,68
238660,20 208541,18 35279,58
282198,76 267033,95 41747,96
324064,60 294666,79 55340,62
355699,75 369428,20 53666,25
BBI (juta)
1810,84
2727,74
3280,74
2720,18
3325,11
4574,38
5866,92
10382,32
6223,71
5519,57
6351,09
10097,70
15072,84
17366,63
37214,98
40911,28
53148,85
41456,41
148338,20
243527,55
293803,54
302453,72
Lampiran 1 Lanjutan
Tahun
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
PDRB (Juta)
2.001.433,12
2.108.309,64
2.204.448,56
2.319.520,78
2.460.779,59
2.613.840,08
2.770.931,87
2.912.526,49
2.452.347,31
2.534.010,47
2.671.607,24
2.823.430,21
2.986.837,37
3.168.185,54
3.361.438,93
3.567.230,91
3.782.273,71
4.012.743,17
4.252.821,78
4.508.705,07
4.785.434,36
5.081.482,69
INV (Juta)
UMK (Rp)
560.401,27
200.000
674.659,09
225.000
727.468,03
236.500
765.441,86
248.500
836.665,06
268.500
862.567,23
292.500
969.826,16
320.000
902.883,21
352.000
564.039,88
387.000
684.182,83
542.000
748.050,03
606.000
818.794,76
612.500
925.919,58
618.500
982.137,52
625.000
1.075.660,46
657.700
1.105.841,58
690.500
1.134.682,11
725.000
1.284.077,82
789.500
1.445.959,41
828.500
1.532.959,72
893.400
1.674.902,03
971.200
1.930.963,42 1.060.000
POP
254.967
263.301
264.492
265.681
266.994
266.273
275.696
285.114
656.628
668.379
743.478
760.329
789.423
820.707
831.571
855.085
879.138
905.132
942.204
946.204
969.486
987.315
TK
89554
93005
96587
100309
104172
108185
131975
160996
196400
239588
292274
301913
311786
319182
328690
337134
345751
354601
363622
411577
418742
436206
PTK
76121
79984
80167
84259
86460
89794
106741
128877
155156
182086
236157
244217
252547
258700
280504
283193
286973
292546
294098
333213
346718
362050
NPTK L_PDRB
L_INV
L_BMD
L_UMK
13433 6,3013411 5,7484991 3,344182
5,30103
13021 6,3239344 5,8290844 3,775782 5,352183
16420
6,3433 5,8618139 3,928871 5,373831
16050 6,3653983 5,8839122 3,988472 5,395326
17712 6,3910727 5,9225516 4,002357 5,428944
18391
6,417279
5,935793 4,152656 5,466126
25234 6,4426258 5,9866939 4,379288
5,50515
32119 6,4642699 5,9556316 4,561441 5,546543
41244
6,389582 5,7513098 4,523482 5,587711
57502 6,4038084 5,8351722 4,311956 5,733999
56117 6,4267726 5,8739306 4,335149 5,782473
57696 6,4507771 5,9131751 4,660991 5,787106
59239 6,4752116 5,9665733 4,849493
5,79134
60482 6,5008106 5,9921723 5,090291
5,79588
48186 6,5265252 6,0316752 4,207754 5,818028
53941 6,5523312 6,0436929 4,627782 5,839164
58778
6,577753 6,0548742 4,891466 5,860338
62055 6,6034414 6,1085913 4,856737 5,897352
69524 6,6286772 6,1601561
5,37778 5,918293
78364 6,6540518 6,1855307 5,450555 5,951046
72024 6,6799214 6,2239894 5,510632 5,987309
74156 6,7059905
6,285774 5,551084 6,025306
IPM
65,27
65,75
66,23
66,71
67,20
67,70
68,19
68,69
69,19
69,70
70,42
71,14
71,90
72,90
74,00
74,30
74,57
74,73
75,16
75,46
75,75
76,08
85
Lampiran 2. Pendugaan Parameter Model
Regression Analysis: TBD versus PAD(juta); DAU(juta)
The regression equation is
TBD = - 33283 + 2,51 PAD(juta) + 1,19 DAU(juta)
Predictor
Constant
PAD(juta)
DAU(juta)
Coef
-33283
2,5070
1,1899
S = 62836,5
SE Coef
61511
0,7033
0,3455
R-Sq = 96,2%
T
-0,54
3,56
3,44
P
0,603
0,007
0,009
VIF
4,428
4,428
R-Sq(adj) = 95,3%
Analysis of Variance
Source
Regression
Residual Error
Total
DF
2
8
10
SS
8,07426E+11
31587373488
8,39014E+11
MS
4,03713E+11
3948421686
F
102,25
P
0,000
Durbin-Watson statistic = 2,19811
Residuals vs Fits for TBD
Versus Fits
(response is TBD)
150000
Residual
100000
50000
0
-50000
0
00
0
20
0
00
0
30
0
00
0
40
0
00
0
50
0
00
0
60
0
00
0
70
0
00
0
80
Fitted Value
0
0
0
00
00
00
0
0
0
0
0
90
10
11
86
Regression Analysis: TBD versus PAD(t-1); DAU (t-1)
The regression equation is
TBD = 40957 + 6,93 PAD(t-1) + 0,133 DAU (t-1)
Predictor
Constant
PAD(t-1)
DAU (t-1)
Coef
40957
6,930
0,1330
S = 46952,2
SE Coef
31445
1,078
0,3052
R-Sq = 97,9%
T
1,30
6,43
0,44
P
0,229
0,000
0,674
VIF
7,973
7,973
R-Sq(adj) = 97,4%
Analysis of Variance
Source
Regression
Residual Error
Total
DF
2
8
10
SS
8,21378E+11
17636091872
8,39014E+11
MS
4,10689E+11
2204511484
F
186,29
P
0,000
Durbin-Watson statistic = 1,15041
Residuals vs Fits for TBD
Versus Fits
(response is TBD)
75000
50000
Residual
25000
0
-25000
-50000
200000
300000
400000
500000
600000
700000
Fitted Value
800000
900000
1000000
1100000
87
Regression Analysis: TBD versus PAD(juta); DAU (t-1)
The regression equation is
TBD = 55912 + 2,79 PAD(juta) + 0,949 DAU (t-1)
Predictor
Constant
PAD(juta)
DAU (t-1)
Coef
55912
2,7885
0,9492
S = 60624,9
SE Coef
40860
0,6004
0,2599
R-Sq = 96,5%
T
1,37
4,64
3,65
P
0,208
0,002
0,006
VIF
3,467
3,467
R-Sq(adj) = 95,6%
Analysis of Variance
Source
Regression
Residual Error
Total
DF
2
8
10
SS
8,09611E+11
29403073642
8,39014E+11
MS
4,04805E+11
3675384205
F
110,14
P
0,000
Durbin-Watson statistic = 2,00761
Residuals vs Fits for TBD
Versus Fits
(response is TBD)
100000
Residual
50000
0
-50000
-100000
0
200000
400000
600000
Fitted Value
800000
1000000
1200000
88
Regression Analysis: BRD versus PAD(juta); DAU (t-1)
The regression equation is
BRD = 96536 + 1,65 PAD(juta) + 0,597 DAU (t-1)
Predictor
Constant
PAD(juta)
DAU (t-1)
Coef
96536
1,6466
0,5968
S = 43513,8
SE Coef
29327
0,4309
0,1865
R-Sq = 95,2%
T
3,29
3,82
3,20
P
0,011
0,005
0,013
VIF
3,467
3,467
R-Sq(adj) = 94,0%
Analysis of Variance
Source
Regression
Residual Error
Total
DF
2
8
10
SS
2,98481E+11
15147615167
3,13628E+11
MS
1,49240E+11
1893451896
F
78,82
P
0,000
Durbin-Watson statistic = 2,10370
Residuals vs Fits for BRD
Versus Fits
(response is BRD)
50000
Residual
25000
0
-25000
-50000
100000
200000
300000
400000
500000
Fitted Value
600000
Regression Analysis: BMD versus PAD(juta); DAK; BRD; DBH
700000
800000
89
The regression equation is
BMD = - 70251 + 1,96 PAD(juta) - 2,87 DAK - 0,642 BRD + 3,78 DBH
Predictor
Constant
PAD(juta)
DAK
BRD
DBH
Coef
-70251
1,9608
-2,867
-0,6416
3,7815
S = 23908,9
SE Coef
23946
0,4508
2,608
0,2539
0,9571
R-Sq = 97,7%
T
-2,93
4,35
-1,10
-2,53
3,95
P
0,026
0,005
0,314
0,045
0,008
VIF
12,568
4,428
35,375
21,797
R-Sq(adj) = 96,2%
Analysis of Variance
Source
Regression
Residual Error
Total
DF
4
6
10
SS
1,48117E+11
3429818233
1,51547E+11
MS
37029348711
571636372
F
64,78
P
0,000
Durbin-Watson statistic = 1,80641
Residuals vs Fits for BMD
Versus Fits
(response is BMD)
30000
20000
Residual
10000
0
-10000
-20000
-30000
-40000
0
100000
200000
Fitted Value
300000
400000
90
Regression Analysis: BBP versus PAD(juta); DAK; DBH; DAU(juta)
The regression equation is
BBP = - 63781 + 1,30 PAD(juta) + 1,86 DAK + 1,63 DBH - 0,167 DAU(juta)
Predictor
Constant
PAD(juta)
DAK
DBH
DAU(juta)
Coef
-63781
1,2974
1,862
1,6298
-0,1667
S = 22177,9
SE Coef
29074
0,3028
2,420
0,6197
0,2706
R-Sq = 98,0%
T
-2,19
4,28
0,77
2,63
-0,62
P
0,071
0,005
0,471
0,039
0,561
VIF
6,593
4,433
10,619
21,804
R-Sq(adj) = 96,6%
Analysis of Variance
Source
Regression
Residual Error
Total
DF
4
6
10
SS
1,43120E+11
2951156525
1,46071E+11
MS
35780067558
491859421
F
72,74
P
0,000
Durbin-Watson statistic = 2,0337
Residuals vs Fits for BBP
Versus Fits
(response is BBP)
30000
20000
Residual
10000
0
-10000
-20000
-30000
-40000
0
100000
200000
Fitted Value
300000
400000
91
Regression Analysis: BBK versus PAD(juta); DAK; DBH; DAU(juta)
The regression equation is
BBK = - 16902 + 0,0814 PAD(juta) - 0,466 DAK + 0,407 DBH + 0,0143 DAU(juta)
Predictor
Constant
PAD(juta)
DAK
DBH
DAU(juta)
Coef
-16902
0,08136
-0,4661
0,40660
0,01428
S = 1597,05
SE Coef
2094
0,02181
0,1743
0,04462
0,01948
R-Sq = 99,6%
T
-8,07
3,73
-2,67
9,11
0,73
P
0,000
0,010
0,037
0,000
0,491
VIF
6,593
4,433
10,619
21,804
R-Sq(adj) = 99,3%
Analysis of Variance
Source
Regression
Residual Error
Total
DF
4
6
10
SS
3494259595
15303366
3509562962
MS
873564899
2550561
F
342,50
P
0,000
Durbin-Watson statistic = 1,98942
Residuals vs Fits for BBK
Versus Fits
(response is BBK)
2000
Residual
1000
0
-1000
-2000
0
10000
20000
30000
Fitted Value
40000
50000
60000
92
Regression Analysis: BBI versus PAD(juta); DBH; DAU(juta); DAK; BRDt-1
The regression equation is
BBI = - 88780 + 1,98 PAD(juta) + 3,24 DBH - 0,247 DAU(juta) + 0,60 DAK
- 0,546 BRDt-1
Predictor
Constant
PAD(juta)
DBH
DAU(juta)
DAK
BRDt-1
Coef
-88780
1,9774
3,2405
-0,2470
0,601
-0,5458
S = 22801,0
SE Coef
30873
0,3582
0,6484
0,3277
2,587
0,1947
R-Sq = 98,1%
T
-2,88
5,52
5,00
-0,75
0,23
-2,80
P
0,035
0,003
0,004
0,485
0,825
0,038
VIF
8,726
10,998
30,265
4,790
20,297
R-Sq(adj) = 96,2%
Analysis of Variance
Source
Regression
Residual Error
Total
DF
5
5
10
SS
1,33092E+11
2599430083
1,35691E+11
MS
26618392666
519886017
F
51,20
P
0,000
Durbin-Watson statistic = 2,17397
Residuals vs Fits for BBI
Versus Fits
(response is BBI)
30000
Residual
20000
10000
0
-10000
-20000
0
50000
100000
150000
200000
Fitted Value
250000
300000
93
Regression Analysis: L_INV versus L_PDRB; L_UMK; L_PADt-1
The regression equation is
L_INV = - 8,54 + 2,59 L_PDRB - 0,121 L_UMK - 0,353 L_PADt-1
Predictor
Constant
L_PDRB
L_UMK
L_PADt-1
Coef
-8,545
2,5877
-0,12103
-0,35264
S = 0,0205038
SE Coef
1,053
0,1928
0,05638
0,06740
R-Sq = 98,3%
T
-8,11
13,42
-2,15
-5,23
P
0,000
0,000
0,046
0,000
VIF
26,098
8,384
37,655
R-Sq(adj) = 98,0%
Analysis of Variance
Source
Regression
Residual Error
Total
DF
3
18
21
SS
0,44381
0,00757
0,45137
MS
0,14794
0,00042
F
351,89
P
0,000
Durbin-Watson statistic = 1,96248
Residuals vs Fits for L_INV
Versus Fits
(response is L_INV)
0,04
0,03
Residual
0,02
0,01
0,00
-0,01
-0,02
-0,03
-0,04
5,7
5,8
5,9
6,0
Fitted Value
6,1
6,2
6,3
94
Regression Analysis: PTK versus UMK; TK; INV; PTK(t-1); DOTD
The regression equation is
PTK = - 12225 - 0,119 UMK + 0,800 TK + 0,0204 INV + 0,368 PTK(t-1) - 17365
DOTD
Predictor
Constant
UMK
TK
INV
PTK(t-1)
DOTD
Coef
-12225
-0,11907
0,79989
0,020379
0,3675
-17365
S = 3738,39
SE Coef
5373
0,04824
0,08471
0,008321
0,1199
9098
R-Sq = 99,9%
T
-2,28
-2,47
9,44
2,45
3,06
-1,91
P
0,037
0,025
0,000
0,026
0,007
0,074
VIF
21,639
19,988
13,846
27,485
32,579
R-Sq(adj) = 99,9%
Analysis of Variance
Source
Regression
Residual Error
Total
DF
5
16
21
SS
2,10895E+11
223608974
2,11119E+11
MS
42179061506
13975561
F
3018,06
P
0,000
Durbin-Watson statistic = 2,020964
Residuals vs Fits for PTK
Versus Fits
(response is PTK)
10000
7500
Residual
5000
2500
0
-2500
-5000
100000
150000
200000
250000
Fitted Value
300000
350000
95
Regression Analysis: L_PDRB versus L_INVt-1; L_BBI; L_BBPt-3; L_TK
The regression equation is
L_PDRB = 4,69 + 0,183 L_INVt-1 + 0,0593 L_BBI + 0,0461 L_BBPt -3 + 0,0535
L_TK
Predictor
Constant
L_INVt-1
L_BBI
L_BBPt-3
L_TK
Coef
4,6873
0,18275
0,05929
0,04611
0,05353
S = 0,0149070
SE Coef
0,4001
0,06609
0,02149
0,01352
0,02729
T
11,71
2,77
2,76
3,41
1,96
R-Sq = 98,7%
P
0,000
0,013
0,013
0,003
0,066
VIF
8,542
21,663
13,363
4,441
R-Sq(adj) = 98,4%
Analysis of Variance
Source
Regression
Residual Error
Total
DF
4
17
21
SS
0,291366
0,003778
0,295144
MS
0,072841
0,000222
F
327,79
P
0,000
Durbin-Watson statistic = 2,07520
Residuals vs Fits for L_PDRB
Versus Fits
(response is L_PDRB)
0,03
0,02
Residual
0,01
0,00
-0,01
-0,02
-0,03
-0,04
6,3
6,4
6,5
Fitted Value
6,6
6,7
96
Regression Analysis: L_IPM versus L_BBP; L_BBK; L_BBI; L_INVt-1; L_UMK
The regression equation is
L_IPM = 1,37 + 0,00200 L_BBP + 0,0161 L_BBK - 0,0113 L_BBI + 0,0289 L_INVt-1
+ 0,0503 L_UMK
Predictor
Constant
L_BBP
L_BBK
L_BBI
L_INVt-1
L_UMK
Coef
1,37494
0,002004
0,016129
-0,011260
0,028874
0,050277
S = 0,00144993
SE Coef
0,04505
0,002130
0,002744
0,002672
0,006968
0,003982
R-Sq = 98,7%
T
30,52
0,94
5,88
-4,21
4,14
12,63
P
0,000
0,361
0,000
0,001
0,001
0,000
VIF
19,470
13,020
15,411
10,038
8,362
R-Sq(adj) = 98,6%
Analysis of Variance
Source
Regression
Residual Error
Total
DF
5
16
21
SS
0,0105849
0,0000336
0,0106185
MS
0,0021170
0,0000021
F
1006,98
P
0,000
Durbin-Watson statistic = 2,01465
Residuals vs Fits for L_IPM
Versus Fits
(response is L_IPM)
0,002
Residual
0,001
0,000
-0,001
-0,002
1,81
1,82
1,83
1,84
1,85
1,86
Fitted Value
1,87
1,88
1,89
Download