PENGANTAR Allhamdulillahi Robbil alamin, Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan buku ini. Kebijakan privatisasi tidak bisa dipisahkan dari kebijakan pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam operasionalnya BUMN menghadapi masalah yang cukup rumit. Di satu sisi harus mengemban misi menjadi organisasi yang profitable, namun di sisi lain juga mengemban misi sosial sebagai layanan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Buku ini ditulis dengan harapan dapat dijadikan penambahan literatur manajemen yang kajian detailnya dapat dikembangkan sendiri oleh para pengajar, mahasiswa, praktisi maupun untuk pertimbangan pengambilan keputusan bagi pemerintah. Buku ini akan membahas tentang Manajemen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan juga menjelaskan penemuan studi empirik efektivitas aset BUMN di Indonesia pasca privatisasi. Penulis menyadari buku ini masih banyak kekurangan, meskipun sudah kami mulai pada tahun 2009. Terimakasih ditujukan pula kepada anak anak tercinta Dea Aulia Widyaevan, Bryan Brama Ramadhana dan Demas Haryo Bismantoko yang telah memberi semangat motivasi menyelesaikan buku ini. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada teman-teman yang telah memberikan arahan arahan yang berarti untuk kesempurnaan buku ini Semoga buku ini dapat membantu memberikan pemahaman yang komprehensif bagi sivitas akademika, masyarakat dan semua pihak yang berkepentingan. Semarang, April 2011 Kesi Widjajanti 1 PENDAHULUAN Isu isu yang berhubungan dengan privatisasi secara makro telah banyak dibahas, namun masih terbatas yang membahas isu-isu privatisasi secara mikro yang berkaitan dengan strategi keuangan untuk meningkatkan kinerja. Pro dan kontra mengenai peran dan kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN ) menjadi wacana diskusi di berbagai pihak. Satu pihak menyatakan bahwa peran dan fungsi BUMN cenderung tidak efisien dalam mengelola sumberdaya, dan kurang efektif kinerjanya, sehingga kelompok ini berpendapat bahwa BUMN lebih baik diprivatisasi, agar lebih mampu memperbaiki kinerjanya di waktu mendatang. Namun kelompok ini menyadari bahwa kebanyakan BUMN pada saat ini belum memiliki daya jual yang optimal dan daya tarik terhadap pihak luar yang akan membelinya. Sehingga, sebelum diprivatisasi kinerja BUMN harus diperbaiki dulu. Pihak lain meragukan keberhasilan privatisasi BUMN, mengingat bahwa dengan privatisasi, penyelenggaraan fungsi sosial BUMN dalam memenuhi kepentingan umum dan peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi terabaikan, sehingga kebijakan privatisasi ini akan mengarah pada system, perkonomian kapitalis –liberal. Untuk meningkatkan kinerja BUMN , dalam arti mampu menjalankan fungsinya sebagai badan usaha yang menghasilkan laba dan sekaligus menyumbang pada peningkatan kesejahteraan umum , berbagai langkah telah ditempuh antara lain melakukan profitisasi, restrukturisasi, dan privatisasi. Restrukturisasi BUMN berkenaan dengan tatanan makro, yaitu perihal kebijakan politik BUMN, dan berkenaan dengan tatanan mikro, yaitu tentang strategi penataan ulang korporasi BUMN. Selanjutnya profitisasi adalah peningkatan laba atau profitisasi adalah sebagai langkah lanjut dari restrukturisasi. Sedangkan Privatisasi berkenaan dengan upaya untuk mengurangi peran negara yang berlebihan di sektor bisnis, khususnya dalam rangka menggerakkan dan memberdayakan perekonomian masyarakat. Privatisasi adalah untuk meningkatkan kinerja pemerintah dan menghemat biaya serta meningkatkan pelayanan pada masyarakat . Akan tetapi pasti terdapat privatisasi yang jelek atau tidak efisien . Menurut Joseph Stigliz, mantan Presiden Bank Dunia, mengartikan “privatisasi” adalah lawan dari “nasionalisasi”. Dalam Economics of Public Sector (1988), disampaikan bahwa proses konversi perusahaan swasta (private enterprise) menjadi perusahaan negara (public enterprise) disebut “nasionalisasi”, sementara proses pengkonversian perusahaan negara menjadi perusahaan swasta disebut sebagai ”privatisasi” Privatisasi pertama-tama bermakna sebuah transformasi yang lebih sempurna ke arah kapitalis. Gagasan privatisas berawal dari semakin pudarnya keyakinan di dalam pemikiran ekonomi sosialis bahwa pengelolaan ekonomi oleh negara akan menciptakan kesejahteraan. Alasan kedua privatisasi adalah karena pudarnya keyakinan terhadap teori negara kesejahteraan dengan premis dasarnya adalah bahwa menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan sebagian kegiatan ekonomi, apalagi yang strategis, kepada negara adalah sia- sia. Alasan ketiga adalah alasan yang mengatakan bahwa pemerintah harus fokus pada pekerjaan-pekerjaan pemerintahan saja, tidak usah mengurus halhal yang bukan core competence-nya (Peter Drucker, The New Realitties, 1986). Harapan dilakukannya privatisasi adalah untuk memperbaiki tata kelola perusahaan (governance). Good Corporate Governance yang menjunjung tinggi transparasi, akuntabilitas dan profesionalisme, dimungkinkan dapat terjadi pada kepemilikan baik berada di tangan swasta asing, swasta domestik atau ditangan pemerintah. Untuk mewujudkan harapan tersebut , diperlukan evaluasi kinerja BUMN yang telah di privatisasi. Evaluasi ini bertujuan untuk dapat memberi penjelasan sampai seberapa jauh peran privatisasi dalam upaya peningkatan kinerja BUMN.Privatisasi BUMN adalah sebuah keniscayaan untuk mendorong kenaikan efisiensi, sebagaimana dipahami dari aspek normatif-teoretis. Sedangkan dari aspek positif-empiris, juga diketahui bahwa privatisasi BUMN merupakan isu kritis yang rawan resistensi . 2 Strategi privatisasi membutuhkan pemikiran melalui sebuah rencana yang akan memobilisasikan koalisi didalam hubungannya dengan privatisasi untuk mengatasi oposisi yang diharapkan dari kelompok kepentingan. Menurut Porter (1996), ada hubungan antara strategi dan daya saing. Strategi melibatkan pilihan-pilihan yang sulit (trade-off) , dan berurusan dengan upaya untuk menjadi berbeda (to be different), dan sering berkaitan dengan yang harus dikerjakan (what to do). Strategi adalah lebih dari sekedar meningkatkan efisiensi. Para ahli menghadirkan diskusi sederatan luas tentang aspek teoretis maupun praktis tentang privatisasi. Pengalaman telah banyak membuktikan, bahwa sebagus apa pun sebuah kebijakan publik (taruhlah privatisasi masuk kualifikasi ini), hanya akan memberi hasil yang optimal bila diikuti dengan pemenuhan sejumlah prasyarat.Untuk menghadapi persaingan global yang terbuka di setiap negara, privatisasi menawarkan sebuah kesempatan penting untuk bergerak didalam arah baru. Kecenderungan akhir-akhir ini dimana para ahli mengeksplorasi tantangan privatisasi dengan berbagai dimensinya. Berdasarkan pandangan dari berbagai pihak, privatisasi tetap bisa diteruskan untuk mendorong perbaikan kualitas corporate governance, dengan prasyarat: (1) dilakukan pada sektor yang kompetitif (bukan natural monopoly); (2) dilakukan pada saat yang tepat, terutama dalam konteks harga; serta (3) sebisa mungkin dilakukan di pasar modal. Buku ini dimaksudkan untuk menjadi salah satu buku tentang strategi privatisasi yang menfokuskan pembahasan Kinerja BUMN dengan menampilkan suatu temuan efektivitas aset BUMN pasca privatisasi Indonesia. Buku ini disusun menjadi empat bagian yaitu Bagian I .Pengertian Privatisasi, Bab II membahas Motivasi Privatisasi, Bagian III membahas Penataan BUMN di Indonesiaa dan Bab IV. membahas Privatisasi BUMN di Indonesia, dan bab Studi Empirik dan Penutup 3 BAB I PENGERTIAN PRIVATISASI 1.1.Definisi Privatisasi Privatisasi memiliki berbagai definisi. Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli di bidang privatisasi dan institusi. Diantaranya adalah Savas (1987) mendifinisikan bahwa privatisasi adalah sebagai “the act of reducing the role of government, or increasing the role of private sector, in an activity or in the ownership of assets”. akan meningkatkan penyebaran kepemilikan baik kepada masyarakat umum, swasta asing maupun domestik. Hal itu dilakukan dengan maksud untuk akses pendanaan, pasar, teknologi, maupun peningkatan kapabilitas bersaing dalam pasar akibat penghapusan monopoli. Potensi perusahaan melakukan privatisasi adalah untuk mendapatkan peluang perluasan pasar. Dikemukakan oleh Savas bahwa dengan privatisasi selain mendapat peluang dalam segi finansial, juga mempunyai peluang pasar : “The privatization programmes of countries are shaped not only the outlook for government’s finances but also by market opportunities and constraints. The size of the public sector clearly determines the ultimate potential for privatization. Didukung oleh Ramanadham (1991) yang mendifinisikan privatisasi adalah sebagai “pemasaran” atau membawa perusahaan ke dalam disiplin pasar (marketization or bringing the enterprise under the disciplins of market). Sementara Indra Bastian (2002) dengan mengutip pendapat akademisi dan pakar privatisasi dari Inggris membuat kerangka serta menyimpulkan definisi dan pengertian privatisasi sebagaimana terangkum pada Tabel 1.1 berikut ini : 4 Tabel 1.1 : Definisi Privatisasi No 1 Nama Peacock (1930-an) Definisi Privatisasi, pada umumnya diartikan sebagai pemindahan kepemilikan industri dari pemerintah ke sektor swasta yang berimplikasi bahwa dominasi kepemilikan saham akan berpindah ke pemegang saham swasta : ‘....Privatisasi mencakup perubahan “dari dalam ke luar”, dimana terdapat kontrak pembelian dan jasa pemerintahan”. 2 Beesley dan Secara umum, “Privatisasi” diartikan sebagai Littlechild “pembentukan perusahaan”. Sedangkan, (1980-an) menurut Company Act, privatisasi diartikan sebagai penjualan yang berkelanjutan sekurangkurangnya sebesar 50% dari saham milik pemerintah ke pemegang saham swasta. Jadi ide privatisasi merupakan konsep pengembangan industri dengan meningkatkan peranan kekuatan pasar. 3 Dunleavy (1980-an) Privatisasi diartikan sebagai pemindahan permanen aktivitas produksi barang dan jasa yang dilakukan oleh perusahaan negara ke perusahaan swasta atau dalam bentuk organisasi non publik, seperti lembaga swadaya masyarakat 4 Clementi (1980-an) Terdapat empat batasan dalam kebijakan Pemerintahan Thatcher, tentang institusi perusahaan sektor publik secara keseluruhan, antara lain : 1. Pemindahan kepemilikan perusahaan sektor publik ke swasta 2. Liberalisasi aktivitas melalui kompetisi 3. Menghapus fungsi tertentu yang dilakukan oleh sektor publik secara bersamaan atau melakukan subkontrak kepada sektor swasta, sehingga dapat dilakukan dengan biaya yang lebih rendah 4. Mengurangi jasa sektor publik yang tidak mempunyai nilai manfaat 5 Pirie (1980-an) Ide privatisasi melibatkan pemindahan produksi barang dan jasa sektor publik ke sektor swasta. Pemindahan ini mengakibatkan perubahan manajemen perusahaan sektor publik ke mekanisme swasta. Privatisasi lebih merupakan 5 metode, bukan semata-mata kebijakan final. Sebuah metode regulasi yang memiliki kecenderungan untuk mengatur aktivitas ekonomi sesuai mekanisme pasar. 6 Posner (1980) 7 Kay dan Privatisasi adalah suatu terminologi yang Thompson mencakup perubahan hubungan antara (1970-an) pemerintah dengan sektor swasta. Perubahan yang paling penting adalah adanya “disnasionalisasi” penjualan kepemilikan publik, deregulasi terhadap pengenalan kompetisi ke status monopoli dan kontrak melalui franchise ke perusahaan swasta terhadap produksi barang dan jasa yang dibiayai oleh negara. 8 Shackleton (1970-an) ....sebuah perusahaan perdagangan, dapat beraktivitas dengan jalan membeli atau menjual barang dan jasa perusahaaan ke agen-agen ekonomi lainnya. Baik perusahaan sektor publik seperti British Stell, atau perusahaan sektor swasta seperti ICI mengusulkan bahwa perusahaan harus mengadaptasi dari satu kondisi ke kondisi lain dalam menyusun argumentasi untuk privatisasi. Mark One merupakan sebuah industri besar yang menyediakan pelayanan masyarakat secara berbeda dibanding mekanisme perusahaan publik pada umumnya yang biasanya supplier atau konsumen dominan, dan aktiva modal perusahaan ini mempunyai status hukum. Seperti perusahaan negara lainnya di Inggris, seperti Kantor Pos, British telecom, atau NCB, Mark One hendaknya segera dialihkan ke sektor sawta melalui program privatisasi. Berpindahnya pengelolaan perusahaan dari sektor publik ke swasta diasumsikan sebagai alat pengurangan jumlah pegawai negeri. Berbagai perkembangan di atas menunjukkan perkembangan implementasi kebijakan publik “privatisasi” dari waktu ke waktu. Penggunaan istilah “Privatisasi” sangatlah beragam. Ada beberapa istilah yang merefleksikan pemindahan kepemilikan. Kategori yang paling besar mencakup berbagai hal yang memberi arti bahwa sektor publik diekspos terhadap kekuatan pasar. Selaras dengan kategori ini, Shackleton secara khusus membicarakan dua tipikal ukuran, yaitu : 1. Terkait dengan industri yang telah 6 “dinasionalisasi” maupun perusahaan negara yang lain 2. Terkait dengan Konsep Negara Sejahtera dan Jasa yang disediakan oleh sektor publik. Dua tipikal ini semakin memperjelas tidak adanya konsensus umum tentang “definisi privatisasi. Sumber Indra Bastian, 2002 Definisi privatisasi juga diberikan oleh Bank Dunia. Lembaga keuangan internasional ini membedakan privatisasi dalam arti sempit dan privatisasi dalam arti luas. Privatisasi dalam arti sempit merupakan bentuk pembebasan perusahaan, tanah, dan aset-aset lain yang dikuasai negara. Privatisasi dalam arti luas di definisikan sebagai semua tindakan yang menggerakkan perusahaan atau suatu sistem perekonomian ke arah kepemilikan swasta, atau semua tindakan yang cenderung membuat perilaku perusahaan negara mirip seperti perusahaan swasta. Privatisasi bukan semata-mata berurusan dengan transfer of ownership perusahaan negara, tetapi juga mencakup restrukturisasi perusahaan yang berupaya memasukkan manajemen dan perilaku swasta ke dalam pengelolaan perusahaan negara. Sesuai dengan UU Nomor 19 Tahun 2003, definisi privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Sebagaimana didefinisikan dalam Master Plan BUMN tahun 2002-2006 (Master Plan) yang dikeluarkan oleh Kementrian BUMN, privatisasi didefinisikan sebagai penyerahan control efektif dari sebuah perseroan (BUMN) kepada manajer dan pemilik swasta dan biasanya terjadi apabila mayoritas saham perusahaan dialihkan kepemilikannya kepada swasta .Privatisasi mengandung makna sebagai berikut : 1. 2. 3. Perubahan peranan Pemerintah dari peran sebagai pemilik dan pelaksana menjadi regulator dan promotor dari kebijakan , serta penetapan sasaran baik nasional maupun sektoral. Para manajer selanjutnya akan bertanggung jawab kepada pemilik baru. Diharapkan pemilik baru akan mengejar pencapaian sasaran perusahaan dalam kerangka regulasi perdagangan, persaingan, keselamatan kerja dan peraturan lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah termasuk kewajiban pelayanan masyarakat. Pemilihan metode dan waktu privatisasi yang terbaik bagi Badan Usaha dan Negara mengacu kepada kondisi pasar dan kebijakan regulasi sektoral 1.2. Pro dan Kontra Kata private dalam privatisasi sering dipertentangkan dengan kata public, sehingga menimbulkan banyak miskonsepsi dan kontroversi. Kata private tersebut sering dianggap sebagai tindakan untuk meninggalkan kepentingan umum, membatasi akses public, suatu program asingisasi, denasionalisasi atau yang sejenisnya. Padahal sesungguhnya, kata private dan public harus dilihat sebagai suatu konsep multi-dimensi, sebagaimana ditulis Bozeman (1987 : 84-85) 7 “Organization can be viewed as more or less public and, at the same time, more or less private. It is public to the extent that it exerts or is constrained by political authority, and is private to the extent that it exerts or is constrained by economic authority. Any organization can be considered in terms of is authority mix. Authority mix is the proportions of economic and political authority influencing organization”. Penolakan awal terhadap Privatisasi didasarkan pada kesalahan asumsi yang merupakan anti pemerintah.Artikel pertama yang dipublikasikan Municeple Monopoli di 1971 di New York menekan penolakan tersebut bahwa privatisasi bukanlah ‘Publik” melawan “Swasta” tapi lebih bermakna pada penekanan “Monopoli” melawan “Kompetisi”, Asumsi lain yang salah adalah bahwa Privatisasi merupakan anti masyarakat dan tidak sejalan dengan program pemerintah , padahal masyarakat seharusnya terganggu oleh kinerja pelayanan publik. Terdapat perbedaan pengelolaan perusahaan dalam menangani ketidak efisienan perusahaan. Pada perusahaan swasta, untuk dapat meningkatkan efisiensi dilakukan dengan cara menciptakan suatu kondisi dengan tingkat persaingan yang semakin besar. Berbeda dengan pengelolaan di BUMN, untuk mengatasi berbagai masalah, biasanya dengan menggantungkan subsidi, dari pemerintah. Akhir-akhir ini masih terjadi perdebatan tentang isu privatisasi. Misalnya beberapa peneliti menyatakan bahwa, privatisasi hanya untuk menjual BUMN yang hasilnya akan digunakan untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sedangkan pendapat lainnya, beranggapan bahwa privatisasi selain untuk mencapai target pemenuhan APBN juga untuk meningkatkan efisiensi dalam upaya meningkatkan daya saing di pasar global. 1.3. Strategy dan Metode Privatisasi Tema penting lain yang sering diperdebatkan adalah soal strategi atau metode pelaksanaan privatisasi. Terkait dengan strategi privatisasi , Savas (1982) yang dikutip dalam Faisal Basri (2003) menawarkan empat cara tipikal pelaksanaan privatisasi yang dewasa ini sudah menjadi strategi konvensional. Empat cara tipikal itu adalah sistem kontrak (contract), waralaba (franchise), dana bantuan (grant) dan kupon (voucher) Sistem kontrak mewakili pelayanan publik yang diserahkan pemerintah kepada swasta di bawah perjanjian kontrak untuk jangka waktu tertentu. Dalam waralaba, pemerintah berfungsi sebagai penyusun pelayanan, sementara pihak swasta adalah pencipta (produser) layanan, dan konsumen membayar produser untuk layanan waralabanya. Sementara dengan pelayanan yang dikontrakkan konsumen membayar layanan pemerintah, buka membayar layanan produser. Bila memakai sistem grant, maka pemerintah memberikan subsidi kepada produser berupa modal dana bantuan langsung dan tidak jarang dalam bentuk status pembebasan pajak. Hal itu berbeda dengan voucher, dimana subsidi diberikan langsung kepada konsumen, sehingga mereka dapat bebas menentukan pilihan di pasar. Savas juga memaparkan strategi umum privatisasi mencakup pelepasan (divestment), deregulasi (deregulation, dan pendelegasian (delegation). Strategi pelepasan mencakup penjualan perusahaan-perusahaan negara (BUMN) kepada pembeli tertentu dan/atau penjualan saham 8 perusahaan melalui pasar modal. Pembelian perusahaan yang dimiliki negara dipraktikkan dengan beberapa cara, misalnya, pembelian lewat manajemen (manajemen mengambil-alih perusahaan), pembelian oleh pegawai (pegawai mengambil-alih perusahaan melalui opsi saham atau cara-cara lain yang dibuat), dan pembelian oleh konsumen atau pengguna (user) melalui, misalnya, badan koperasi. Pelepasan lain adalah dengan cara menjual aset-aset perusahaan. Strategi deregulasi dilakukan dengan skema pemerintah yang bertanggung jawab mengawasi operasionalisasi perusahaan yang diselenggarakan oleh swasta. Hal ini bisa dilaksanakan dengan sistem kontrak, franchise, leasing, grant, atau voucher. Sedangkan strategi delegasi, yang disebut oleh Chu Chang-hyun sebagai displacement, mencakup pengurangan pengaruh dan campur tangan pemerintah saat pasar sudah mulai berkembang dan bisa memenuhi kebutuhan sementara akan pelayanan. Organisasi swsata perlahan-lahan bisa memasok barang dan jasa berbasis pada kebutuhan pasar, karena secara bertahap pula agen pemerintah akan menarik diri dari berbagai proses penyediaan barang dan jasa. Privatisasi BUMN memiliki sejumlah strategi dan metode yang terus menerus mengalami perkembangan. Dalam pelaksanaannya, ada beberapa kategori strategi dan metode. Kategori pertama dimasukkan ke dalam kelompok privatisasi lewat pengalihan kepemilikan, privatisasi lewat pengalihan tim manajmen, dan privatisasi lewat penyempurnaan mekanisme internal/eksternal BUMN. Pengalihan kepemilikan BUMN sendiri dapat berupa pengalihan total, pengalihan parsial, atau likuidasi. Pengalihan total dan parsial dilakukan dengan public offering, baik lewat pasar saham maupu lewat penawaran langsung (direct private placement), atau negosiasi dengan pihak swasta. Sedangkan likuidasi dapat ditempuh apabila tidak ada swasta yang berminat, atau pengoperasian BUMN sudah tidak layak lagi ditinjau dari kemanfaatannya. Tentu saja ini memerlukan pertimbangan sangat matang, baik dari segi keuangan maupun dari segi nonprofit yang dunilai relevan Kategori kedua, privatisasi lewat pengalihan tim manajmen, antara lain dengan menyewa tim manajemen swasta untuk mengelola bagian otonom suatu BUMN yang menyediakan public goods. Sementara privatisasi kategori ketiga, privatisasi melalui penyempurnaan mekanisme internal/eksternal BUMN, mencakup soal deregulasi dan debirokratisasi. Beberapa negara di dunia pernah dan masih menjalankan privatisasi. Fenomena yang ada menunjukkan bahwa tidak ada metode tunggal dalam pelaksanaan privatisasi. Metode privatisasi yang dipilih terutama lebih mengacu pada siapa yang paling diuntungkan, meski idealnya semua pihak yang dilibatkan dalam privatisasi mendapat keuntungan yang sama . Semua strategi dan metode privatisasi mengarah pada terciptanya transisi yang berjalan lebih efektif, efisien, lembut dan tentu saja menguntungkan pihak-pihak yang terlibat dan bermanfaat bagi banyak orang. Strategi dan metode privatisasi memang semestinya didasarkan pada kondisi nasional dan lokalitas masing- masing negara. Pelaksanaan privatisasi memang berbeda, tergantung situasi dan kondisi perekonomian negara yang bersangkutan, disamping variabel lain yang juga mempunyai banyak pengaruh. Hasil akhir privatisasi yang diharapkan adalah untuk membuat organisasi menjadi kompetitif sehingga dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Selain itu hasil yang diharapkan adalah upaya untuk mewujudkan praktik good corporate governance yang dicirikan oleh keterbukaan (transparency), pertanggungjawaban publik (accountability), keadilan (fairness) dan responsibilitas (responsibility) dalam seluruh kinerja perusahaan negara. 9 1.4. Proses Privatisasi Beberapa faktor yang mendukung efektifitas dan keberhasilan privatisasi : (1) (2) (3) (4) ekonomi yang secara komparatif (a comparatively strong economy). sektor swasta yang bergairah (a viable private sector). pendekatan privatisasi yang lazim ( a common approach to privatization). faktor- faktor hukum dan kelembagaan yang baik (favorable legal and istitutional factors). Selain itu keberhasilan Privatisasi ditentukan oleh proses yang mengiringinya. Berkaitan dengan definisi privatisasi sebagai transfer sebuah fungsi aktivitas, atau organisasi dari publik untuk sektor swasta “Proses privatisasi” menjalankan sejumlah bentuk. Dalam divestasi lengkap, aset yang dimiliki publik ini mungkin seluruhnya ditransfer melalui penjualan kepada individu atau perusahaan swasta setelah pemerintah tidak lagi menanggung kewajiban untuk operasi aset itu. Hal ini merupakan bentuk privatisasi yang paling bebas dan tidak dikehendaki, namun seringkali sulit untuk dipenuhi. Di dalam proses privatisasi BUMN (State-Owned Enterprises), “pemerintah” bukan satu-satunya pihak yang terkait (privatization stakeholders). Menurut Ernst & Young terdapat juga pihak lain yang mempunyai kaitan dengan privatisasi yaitu : pegawai pemerintah; manajer dan pekerja. Masing masing pihak yang mempunyai kepentingan (stakeholders) dengan privatisasi itu mempunyai interest yang berbeda. Pemerintah pusat dan pegawai lokal berkepentingan untuk mengurangi defisit anggaran pendapatan dan belanja negara. Melalui penjualan saham perusahaan negara diharapkan mendapatkan pemasukan keuangan yang akan mengurangi defisit tersebut. Manajemen dan para pekerja BUMN mempunyai kepentingan dalam privatisasi berupa kesempatan untuk mendapatkan saham (distribution of ownership) perusahaan yang dijual kepada mereka dengan cara khusus, misalnya dengan harga diskon atau mendapatkan voucher yang dapat ditukarkan dengan saham privatisasi Sebagai alternatif, dalam divestasi sebagian negara mempertahankan kepemilikan parsial aset divestasi dengan menjual sebagian untuk para pembeli individu baik secara langsung maupun dengan alat sebuah flotation saham publik. Proporsi divestasi mungkin meninggalkan pemerintah baik oleh saham mayoritas atau minoritas, namun efek praktis harus menempatkan operasi terbaru perusahaan atau pelayanan ditangan para manajer swasta; pemerintah tetap menjadi pemegang saham dengan representasi pada dewan. Divestasi parsial, atau kepemilkan bersama, membuat masalah khusus yang akan dibicarakan kemudian. Privatisasi sebagai salah satu bentuk dari restrukturisasi BUMN merupakan suatu fenomena global terutama pada dekade terakhir ini. Privatisasi menjadi fokus perhatian dnia ketika pada tahun 1979 pemerintahan Konservatif Margaret Thatcher mengubah perekonomian Inggris yang sedang dalam kesulitan keuangan dengan menjual perusahaan negara yang bergerak dalam sektor industri, komunikasi dan sektor jasa lainnya. Upaya privatisasi telah menyebar seluruh Eropa Barat, khusunya Perancis, dan yang paling gencar di Inggris Raya (United Kingdom). Privatisasi berkenaan dengan upaya untuk mengurangi peran negara yang berlebihan di sektor bisnis, khususnya dalam rangka menggerakkan dan memberdayakan perekonomian masyarakat. 10 1.5. Makna Privatisasi Mengacu pada beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa privatisasi memiliki makna yang luas dan kompleks, lebih dari sekedar pengurangan peran pemerintah atau peningkatan peran swasta dalam sektor ekonomi. Setiap bentuk tindakan yang mengubah pola relasi pemerintah dan sektor swasta dalam hubungannya dengan pengelolaan perusahaan negara merupakan hal-hal yang dicakup dalam privatisasi. Demikian pula upaya untuk memasukkan semangat dan unsur-unsur bisnis swasta ke dalam perusahaan negara merupakan bagian penting dari privatisasi. Dengan kata lain, privatisasi merupakan tindakan untuk mengubah manajemen dan performance perusahaan negara, baik melalui pengalihan kepemilikan kepada sektor swasta maupun melalui cara lain, yang membuat sistem manajerial menjadi lebih efektif dan semakin efisien. Faisal H.Basri (2003) dengan bukunya Privatisasi Versus Neo-Sosialisme Indonesia mengemukakan bahwa Teori dan konsep privatisasi sebagai salah satu bentuk restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara terus menerus berkembang sesuai dengan konteksnya. Alasan, tujuan, strategi, metode, dan sebagainya disesuaikan dengan kepentingan dan realitas perekonomian suatu negara. Masalah privatisasi memang complicated, sama seperti yang pernah dikemukakan Keith Hartley dan Attiat F. Ott bahwa”....privatization is an appealing simple phrase which conceals major complexities...” (privatisasi merupakan istilah sederhana yang mengandung beragam persoalan). Namun bukan berarti tidak bisa dijelaskan secara sistematik. Privatisasi memiliki makna yang berbeda sesuai dengan tekanan dan konteksnya, namun ada “benang merah” yang menyatukan definisi privatisasi. Benang merah itu adalah “penguatan peran sektor swasta dan pengurangan peran pemerintah dalam urusan ekonomi dan bisnis”. Pengertian privatisasi dalam arti luas diberikan oleh J.A.Kay dan D.J. Thomson sebagai “...means of changing relationship between the government and the private sector” (privatisasi merupakan cara mengubah hubungan antara pemerintah dan sektor swasta). Ini berarti privatisasi tidak semata- mata berurusan dengan soal pengalihan kepemilikan badan- badan usaha milik negara, melainkan juga mencakup deregulasi, debirokratisasi, dan sebagainya. Istilah privatisasi versi Ramanadham (1991) tampak berkaitan erat dengan konsep good corporate governance yang menjadi tujuan strategis dari pelaksanaan program privatisasi BUMN. Privatisasi yang mengarahkan pemasaran BUMN ke dalam disiplin pasar berarti badan usaha ini dapat terkena mekanisme pendisiplinan market for corporate control, memiliki jalan bagi disiplin persaingan produk, pasar modal, dan membebaskan perusahaan/top management dari tekanan langsung pihak-pihak vested interest. Diharapkan melalui privatisasi tersedia insentif untuk meningkatkan efisiensi produktif BUMN dan mengurangi rintangan yang mengahambat terselenggaranya efisiensi dan produktifitas perusahaan. Sedangkan Kikeri ,Nellis dan Shirley (1994:242) mengartikan privatisasi sebagai “the transfer of majority ownership of SOEs to the private sector by the sale of ongoing concerns or of assets following liquidation”. Pendapat tentang konsep privatisasi telah dikemukakan oleh beberapa penulis dengan pandangan yang berbeda diantaranya : privatisasi dipandang sebagai memperkuat peranan pasar dengan mengurangi intervensi negara (Milne, 1991). 11 Secara umum arti dari phenomena privatisasi mengacu pada perubahan kepemilikan dan perubahan perubahan lainnya yg terjadi di dalamnya termasuk perubahan dalam sistem pengendalian dan tata kelolanya (Ramammurti, 1992 ; Zahra, 2000). Sehingga beberapa metode yang dipakai di privatisasi dasar perbedaannya dapat dijelaskan pada antara pemindahan kepemilikan negara ke investor swasta . . Jika merujuk pengalaman banyak negara, maka akan terlihat privatisasi tidak hanya terbatas pada pengurangan peran pemerintah dan peningkatan peran sektor swasta dalam urusan ekonomi. Privatisasi lebih dari sekadar penjualan perusahaan –perusahaan negara yang tidak sehat dengan harga tertentu. Bahkan privatisasi dapat didefinisikan sebagai pemindahan atau penjualan semua aset, organisasi, fungsi, atau aktivitas perusahaan negara kepada sektor swasta. Sebagai tambahan, istilah privatisasi juga mencakup joint venture antara negara dan swasta, konsensi, sewa –menyewa, kontrak manajemen, dan beberapa instrumen khusus seperti perjanjian BOOT (build-own operate and transfer). Privatisasi juga dapat diartikan sebagai kebijakan yang diterapkan pemerintah dengan memberi berbagai fasilitas yang memudahkan pihak swasta dalam mengambil alih perusahaanperusahaan milik negara. Dengan kata lain privatisasi berkaitan erat dengan pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada pihak swasta untuk mengelola sektor sektor perkonomian. Hal ini juga berhubungan langsung dengan fenomena global, di mana sistem ekonomi yang terpusat pada negara (state centered economic system) di transformasikan menjadi suatu sistem ekonomi yang berpusat pada mekanisme pasar bebas (free market economic system). 12 BAB II Motivasi Privatisasi 2.1 Mengapa Privatisasi? Perlunya privatisasi karena terdapat ketidakpuasan akan kinerja BUMN. Sebagaimana dikemukakan Savas (1987) diagnosisnya adalah tercermin pada rendahnya indikator kinerja perusahaan pemerintah (BUMN) serta rendahnya pelayanan pemerintah. Symptom inilah yang mengarah adanya permintaan dilakukan privatisasi atau pembenahan BUMN. Karakteristik perusahaan yang potensi akan diprivatisasi adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. inefficiency, overstaffing, and low productivity poor quality of goods and services continuing losses and rising debt of for-profit government enterprises lack of managerial skills or sufficient managerial autority Unresponsiveness to the public Under maintenance of facilities and equipment Insufficient funds for needed capital investment Excessive vertical integration Absolute practices or products, and little marketing capability Multiple and conflicting goals Misguided and irrelevant agency missions Underutilized and underperforming assets Illegal practices Corruption Mengapa privatisasi tetap diperlukan? Dari sisi BUMN, privatisasi bisa menjadi sebuah “jendela kesempatan” (a window of opportunity) untuk memperbaiki masalah hubungan antara pemilik (principal) dan pengelola (agent). Pengelola BUMN selama ini dihadapkan pada posisi yang tidak jelas, kepada siapa mereka mesti bertanggung jawab? Pemilik BUMN yang sesungguhnya adalah rakyat. Namun, bagaimana mekanisme pertanggungjawaban direksi kepada rakyat? Hubungan yang serba tanggung dan canggung antara pemilik dan pengelola perusahaan inilah yang kemudian diangkat sebagai isu utama principal-agent theory (misalnya oleh Jensen dan Meckling, 1976). Dalam kasus BUMN, persoalan ini menjadi mendesak, karena pengelola dirasa kurang mendapat insentif untuk menunjukkan kinerja terbaik. Inilah esensi teori X-efficiency yang dikemukakan oleh Leibenstein (1966, 1976). Insentif yang bisa menggairahkan pengelola BUMN untuk bekerja keras adalah melalui mekanisme pasar modal. Ketika saham BUMN beredar di sana, maka semakin banyak pihak 13 (stakeholders dan shareholders) yang akan mengawasi. Berdasarkan wacana ini, maka privatisasi BUMN pun menemukan argumentasinya. Mengapa aktivitas Privatisasi meningkat? Jawabannya adalah 1. Cost savings 2. Greater political support for privatization 3. More flexibility and less red tape 4. Faster implementation 5. Lack of state personal and expertise 6. Increased innovation 7. Higher quality service 2.2 Tujuan dari program Privatisasi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Reduce the cost of government Generate revenues, both by selling assets and then by collecting taxes from them Reduce government debt, for instance, through debt equity swaps Supply infrastructure or other facilities that government cannot otherwise provide Bring in specialized skills needed for technologically advanced activities Initiate or expand a service quickly Lessen government interference and direct presence in the economy Reduce the role of government in society (build or strengthen civil society) Accelerate economic development Decentralize the economy and broaden the ownership of economic assets Show commitment to economic liberalization and increase business confidence Promote the development of capital markets (by creating and selling shares) Attract new foreign an domestic investment and encourage return of flight capital Satisfy foreign lenders (including international bodies such as the World Bank) Improve living standards Gain popular support (by getting rid of malfunctioning bureacracies) Rewar political allies Weaken political opponnets (for example, labor unions) Berdasarkan UU No. 19/2003 tentang BUMN maksud dan tujuan Privatisasi adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Memperluas kepemilikan masyarakat atas BUMN/Persero Meningkatkan efisiensi dan produktifitas perusahaan Menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat Menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif Menciptakan persero yang berdaya saing dan berorientasi global Menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar 14 2.3 Motif Privatisasi Motivasi perusahaan melakukan privatisasi karena mempunyai motif tertentu. Secara umum motif tersebut adalah peningkatan kinerja, penyebaran kepemilikan,efisiensi, penerapan good corporate government, dan meningkatkan daya saing. Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: 2.3.1 Peningkatan Kinerja Negara maju maupun berkembang akhir akhir ini secara siknifikan ada kecenderungan mengarah pada strategi privatisasi BUMN. Salah satu aspek yang paling penting mengapa pemerintah menjual kepemilikan mereka ke investor swasta adalah karena harapannya ingin “meningkatkan kinerja” perusahaan. Pemerintah melakukan privatisasi karena berdasarkan kekecewaannya terhadap kinerja BUMN, (Megginson, Nash & Van Randenborgh, 1994;403). BUMN sebagai salah satu lembaga perekonomian yang berperan penting dalam system ekonomi Indonesia, merupakan perwujudan fungsi Negara dalam memajukan kesejahteraan umum. Berkaitan dengan hal tersebut, BUMN harus memiliki kinerja yang sehat agar mampu melaksanakan fungsi gandanya. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 tahun 2001 tentang Tim Kebijakan Privatisasi BUMN disebutkan bahwa : Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan kebijakan Pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja BUMN yang meliputi perbaikan struktur permodalan, peningkatan profesionalisme dan efisiensi usaha, perubahan budaya perusahaan, perluasan partisipasi masyarakat dalam kepemilikan saham BUMN serta penciptaan nilai tambah perusahaan melalui penerapan prinsip good corporate governance yang didasarkan pada transparansi, akuntabilitas, dan kemandirian. Privatisasi BUMN dilakukan dengan tujuan meningkatkan kinerja, nilai tambah perusahaan, good governance, dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan saham persero (Ruru B. Kementrian BUMN, 2003). Peningkatan kinerja BUMN dapat dilakukan melalui privatisasi dalam berbagai bentuk . Kebijakan privatisasi meliputi kebijakan dalam bentuk menjual asset dan memasukkan manajemen swasta. Bagi BUMN yang masih dianggap penting dimiliki (seluruh atau sebagian) oleh Negara , bentuk yang dapat diterapkan adalah pemindahan pengelolaan (manajemen) swasta ke dalam BUMN. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan membuka kesempatan luas secara terbuka bagi para manajer untuk bekerja pada BUMN berdasarkan kompetisi yang sehat. Bagi BUMN yang dianggap tidak mengemban misi tertentu maka bentuk privatisasi yang dapat diterapkan adalah dengan cara menjual asset BUMN tersebut ke masyarakat dengan berbagai cara seperti , initial public offering (IPO), strategic partner dan tender offer. Untuk meningkatkan kinerja BUMN , dalam arti mampu menjalankan fungsinya sebagai badan usaha yang menghasilkan laba dan sekaligus menyumbang pada peningkatan kesejahteraan umum , berbagai langkah telah ditempuh antara lain melakukan profitisasi, restrukturisasi, privatisasi, rekapitalisasi, merger, likuidasi dan penataan manajemen Terdapat temuan dari 15 studi privatisasi yang diteliti (Megginson dan Netter ,2001) menunjukkan bahwa setelah privatisasi perusahaan tersebut kinerjanya lebih baik. Kinerja 15 perusahaan pada umumnya diukur dari profitabilitas atau (harga – cost margin), dan struktur pasar dengan indeks konsentrasi (Sleuwaegen & Dehandschuffer1986). Kinerja digunakan sebagai konstruk untuk mengukur dampak dari sebuah strategi privatisasi perusahaan. Didukung oleh penelitian Andrew& Dowling (1998) , Megginson et al (1994), bahwa privatisasi dapat meningkatkan kinerja keuangan perusahaan . Demikian juga Qian Sun and Wilson H.S.Tong (2002), melakukan comprehensive study privatisasi yang pertama di Malaysia, untuk membandingkan kinerja financial dan operating dari sample 24 perusahaan sebelum dan sesudah privatisasi selama periode 1983 – 1997. Dari 24 perusahaan yang diprivatisasi via public listing pada Malaysian exchange sebagai “shares issued to privatize “ companies (SIP),terdapat temuan yang menunjukkan perusahaan yang privatisasi menjadi lebih profitable, menaikkan capital investment spending dan menaikkan labor productivity, serta subsidi yang diterima lebih sedikit( Megginson and Netter ,1998) . 2.3.2 Penyebaran Kepemilikan Motif privatisasi lebih menitikberatkan pada pertimbangan penyebaran kepemilikan. Pandangan tentang “kebaikan privatisasi” tersebut dikembangkan dari konsep kepemilikan, oleh argumentasi Joseph Schumpeter seorang Ahli ekonomi dari Austria : “The evil of monopoly which concerned the neoclassical economists was viewed as irrelevant because such power was short-lived given the technological innovation inherent in the economy . The possibility then of achieving monopoly power by the introduction of new products was misplaced as this only provided an incentive to innovate, with existing monopoly profits generating a pool of funds to finance innovation. Consequently , the lack of incentives for innovation and efficiency under public ownership means that from Schumpeter’s viewpoint public sector privatizations is both necessary and sufficient for the realization of significant economic benefits Sebagaimana diungkapkan (Megginson Nash & Van Rendenborgh, 1994 ; Qian Sun & Wilson H.S, 2002; Tong, Boubakri & Cosset, 1998 dan D”Souza & Megginson, 1999) bahwa perusahaaan melakukan privatisasi sebagian besar adalah dalam rangka memperoleh manfaat dari pelebaran kepemilikan saham (large shareholder) . Dampak struktur kepemilikan terhadap kinerja telah diteliti oleh peneliti Tatiana Andreyeva, yang memberikan bukti untuk kinerja perusahaan Ukraine dapat diperbaiki dengan ownership. Setiap metoda privatisasi ada trade off antara pencapaian social equity dan tujuan efisiensi ekonomi. Penelitian Berle and Means menunjukkan adanya dampak dari penyebaran susunan struktur kepemilikan pada kinerja perusahaan. Banyak Penelitian terdahulu yang menekankan adanya dampak privatisasi dari sisi tipe & konsentrasi kepemilkan berpengaruh pada kinerja perusahaan. Prediksi bahwa BUMN pasca privatisasi akan lebih baik kinerjanya ,dibandingkan sebelum privatisasi. Hal ini bisa dikaitkan dengan hasil yang dilakukan peneliti Schwodiauer (2000) di study Ukrainian, Akimova yang menunjukkan bahwa konsentrasi kepemilikan outside mempunyai pengaruh positip yang siknifikan pada kinerja perusahaan. Hasil ini didukung dengan penemuan bahwa kehadiran lembaga investor dan para direktur mempunyai pengaruh yang positip pada kinerja perusahaan. Frydman et al (1999) 16 menganalisis 218 sampel dari perusahaan manufaktur yang ukurannya sedang di Czech Republic, Hungary and Poland, dan memandang bahwa hanya kepemilikan “outsider “ yang dapat mengakibatkan efficiency . 2.3.3 Efisiensi Motif efisiensi didasari oleh sebuah kepercayaan bahwa perusahan “Swasta” lebih efisien dibandingkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ada beberapa bukti empiris tentang hal tersebut. Di Amerika Serikat, biaya produksi perusahaan Negara 40% lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan swasta, sementara di Jerman perbedaannya mencapai 50 %. Di Indonesia sendiri, perbedaan itu mencapai angka 29% hingga 50% (Riphat, 2000). Studi di banyak Negara secara universal menyimpulkan bahwa efisiensi perusahaan swasta lebih baik daripada BUMN. Dalam kasus Indonesia , I Ketut Mardjana (1995) juga menyimpulkan hal yang sama. Perusahaan –perusahaan swasta di bidang transportasi (bus) di Jakarta dan perhotelan bintang lima di Nusa Dua, Bali, terbukti mengungguli BUMN yang bergerak di bidang yang sama. Strategi Privatisasi dilakukan berawal dari gagasan Savas (2000) yang telah mendalami Privatisasi selama 30 th , mulai di New York 1969, ketika itu Walikota New York meminta Savas untuk mengamati dan menjelaskan apa yang harus dilakukan supaya tidak terjadi lagi politik yang tidak karu-karuan yang terjadi pada saat itu. Terjadi ketidak efisienan di perbagai dinas, banyak cofee break, kerjanya hanya setengah hari. Penasaran bagaimana agensi (manager) menghadapi masalah tersebut, kemudian Savas membandingkan dinas swasta dan pemerintah. Ternyata yang swasta lebih efektif hampir tiga kali (3X) lipat dari yang dinas pemerintah. Dari situ Savas menyarankan walikota untuk menyewa kontraktor swasta mengelola 3 dari 63 dinas kebersihan di seluruh kota Kecamatan, dan membandingkan kerja mereka. Akan tetapi sebelum ide Savas itu terlaksana, terjadilah pergantian kekuasaan di kota New York, dari Walikota yang sebelumnya mendukung ide tersebut berganti ke Walikota yang sama sekali tidak menggubris ide tersebut. Karena tidak mendapat perhatian pada saat itu, Savas melakukan riset sendirian. Beberapa bulan kemudian, berdasarkan riset dan pengalaman yang dimiliki Savas, ia menjadi seorang advocate tentang privatisasi. Tidak lama, perhatian pemerintah kembali menuju ke Savas, dan selanjutnya Savas ditunjuk sebagai assisten sekretaris departmen pemukiman dan urban development Amerika oleh Ronald Reagan. Dan merubah hal-hal yang tidak efisien melalui privatisasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Savas (1995) : “One important objective of privatization and perhaps the aim ideological motive has been to reduse the extent of the state’s economic theory. The economic argument for private ownership rests on the idea that the pursuit of profit by the owners of capital will result in “greater efficiency”, owing to their closer attention to consumer demand, technological change and lower production cost. “More efficient “production means that society benefits as a whole as it frees other resources to produce more goods. In contrast, supporters of this view contend, public ownership is seen as lacking incentives and is regarded as having a poor record with respect to consumer demands, innovation and efficiency. In general privatization has “improved economic efficiency”. 17 Pendapat ini didukung oleh (Uhlenbruck & Decastro, 1998) dan (Meyer & Zucker, 1989) karena ketidakefisienan yang kronis pada BUMN, maka privatisasi dapat dipertimbangkan sebagai strategi untuk meningkatkan efisiensi perusahaan. Sebagian besar penelitian penelitian terdahulu mengenai privatisasi menekankan pada bidang ekonomi dan keuangan, yang menentukan bahwa keberhasilan privatisasi diukur dari efisiensi (Megginsson et al, 1994). 2.3.4 Governance (Tata Kelola Perusahaan) Privatisasi memungkinkan penerapan good corporate governace (GCG) dengan lebih baik dan konsisten di lingkungan BUMN, yang pada gilirannya menumbuhkan keyakinan investor terhadap BUMN. Kenyataan menunjukkan bahwa berbagai Persero yang telah di privatisasi dapat menjamin adanya transparansi dan akuntabilitas. Mengapa? Karena perusahaan-perusahaan go public tunduk pada berbagai regulasi pasar modal yang mewajibkan adanya disclosure dan transparency pada emiten di pasar modal. Privatisasi merupakan langkah startegik yang terbukti mampu meningkatkan kinerja BUMN. Namun berbagai langkah strategik ini membutuhkan pondasi yang kuat. Pondasi ini mencakup penerapan prinsip-prinsip GCG secara serius dan konsisiten.Oleh karena itu , privatisasi dilakukan dalah dalam rangka implementasi GCG. Kerangka kerja corporate governance yang diimplementasikan secara efektif akan mampu menjamin bahwa manajemen bertanggung jawab penuh atas kinerja BUMN dan pemegang saham sebagai pemilik dpat memantau manajemen secara efektif serta dapat melindungi kepentingan para stakeholder lainnya. Termotivasi oleh Shleifer dan Vishny (1997) dan La Porta , Lopez de Dilanes , Shleifer and Vishny (1998, 1999, 2000) , banyak penelitian yang menguji beberapa variabel yang berhubungan pada mekanisme corporate governance. Hal ini dilakukan untuk mencari penjelasan “explanation” yang berkaitan dengan perubahan kinerja. Mekanisme governance yang efektif dapat memecahkan beberapa masalah masalah agency. Mekanisme ini dikelompokkan kedalam dua kategori yaitu : mekanisme control internal (organization based) dan mekanisme control eksternal (market based) (Boyd, 1994 ; Rediker & Seth,1995 ; Wals & Seward ). Mekanisme internal dan eksternal governance dapat di subsitusi satu dengan yang lain yang dapat memecahkan masalah masalah agency (Rediker & Seth,1995; Wals & Seward, 1990.) Hal inilah yang merupakan implikasi yang penting pada privatisasi . Berdasarkan penelitian mereka ditunjukkan bahwa privatisasi di Negara berkembang terjadi mekanisme internal dan eksternal yang “lemah’ . Hal ini karena perusahaan yang baru diprivatisasi di negara berkembang , mekanisme tata kelolanya dan pelaksanaan property right nya tidak efektif , sehingga akan menimbulkan masalah masalah agency yang unik. Sebalikannya privatisasi di Negara maju akan terjadi mekanisme internal dan eksternal yang “kuat”. Sebagaimana telah sering dikemukakan oleh para pakar manajemen bahwa corporate governance merupakan proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dan urusan-urusan perusahaan dalam rangka meningkatkan kemakmuran bisnis dan 18 akuntabilitas perusahaan dengan tujuan utama untuk mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan stakeholder yang lain. Corporate governance menekankan pentingnya pemenuhan tanggung jawab perusahaan sebagai entitas bisnis dalam masyarakat kepada seluruh stakeholder. Terselenggaranya sebuah good corporate governance harus dilandasi oleh transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), dan tanggung jawab (responsibility). Sudah selayaknya semua pihak memahami bahwa tanpa adanya satu langkah konkret dari jajaran manajemen masing-masing BUMN untuk mengimplementasikan corporate governance, tentu tidak akan ada jaminan bahwa suatu perusahaan akan dikelola dengan memperhatikan kepentingan seluruh “stakeholder” secara optimal. Setelah privatisasi, diharapkan BUMN dapat menerapkan good corporate governance sehingga dapat mewujudkan sistem manajemen BUMN yang bersih, mandiri serta bertanggung jawab. 2.3.5 Peningkatan Daya Saing Motivasi lain dari privatisasi adalah adanya harapan dapat meningkatkan daya saing perusahaan. Perusahaan yang telah di privatisasi dalam mengambil keputusan apapun akan melibatkan stakeholder. Masyarakat adalah sebagai salah satu stakeholder yang penting dalam kesuksesan implementasi suatu strategi. Parisipasi masyarakat luas berpengaruh besar pada pengembangan daya saing pasar serta sekaligus meningkatkan kualitas barang dan jasa perusahaan yang diprivatisasi. Selain penciptaan nilai perusahaan melalui biaya rendah, peningkatan kualitas serta efisiensi operasional, perusahaan setelah privatisasi juga akan dapat menimbulkan berbagai perubahan munculnya aktivitas baru, misalnya : perubahan sumberdaya perusahaan khususnya sumber daya manusia (Cuncha & Cooper,1995); perubahan struktur dan kultur perusahaan (Johnson dan Loveman, 1995); perubahan insentif manajer (Wright, Hoskisson, Busenitz, & Dial, 2000); perubahan stimulasi pembelajaran organisasional (Doh, 2000); akuisisi skil baru (Zahra, 2000); dan perubahan mainset baru organisasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Smit (1999) bahwa privatisasi perusahaan BUMN oleh swasta asing akan menciptakan lingkungan bisnis baru (Hitt, 2000); proses peniruan (Zahra, 2000); kegiatan percobaan percobaan sebagai transisi dari proses peniruan ke proses inovasi (Kim,1997); dan transfer teknologi (Filatotchev, 1999). Product differentiation merupakan stratejik bisnis yang diharapkan dapat memelihara dan mempertahankan keunggulan kompetitif. Menurut Kornai (1992) perusahaan BUMN mempunyai produk pasar yang kecil dan soft budget constrains. Sementara Wright et al (1998) mengemukakan bahwa sebagian besar BUMN mempunyai cadangan keuangan yang sangat kecil, dan peneliti Cragg dan Dyck (1999) menyebutkan bahwa para manajer BUMN mempunyai keterbatasan kebijakan dalam melakukan implementasi perubahan strategi. Namun, setelah privatisasi perusahaan BUMN beserta manajemennya sebagai subjek kekuatan pasar. Sehubungan dengan itu, manajer menjadi bertanggung jawab pada pemegang saham dan mendorong para manajer untuk menerapkan strategi yang dapat meningkatkan kekayaan pemegang saham (Zahra, 2000). 19 Manajer diasumsikan dapat melakukan reorganisasi modal, tenaga kerja, penjualan dan unit pemasaran, melakukan implementasi sistem akuntansi dan sistem pengendalian yang baru, menentukan strategi produk baru, mengembangkan dan melakukan implementasi program investasi yang baru ( Sachs dan Lipton, 1990). Menurut Zahra (1996) hasil reputasi dan kompensasi manajer akan berhubungan dengan kinerja perusahaan. Oleh karena itu, manajer akan berupaya memformulasikan dan melakukan implementasi strategi yang dapat meningkatkan nilai perusahaan. Setelah privatisasi akan terjadi suatu rangkaian baru yang bersifat dinamik, terutama manajer senior mulai merencanakan dan mengembangkan strategi strategi berdasarkan analisis analisis kondisi industri dan pasar. Para Manajer juga mempunyai kebijakan tersendiri untuk menetapkan kembali tujuan organisasinya yang merefleksikan tujuan pemegang saham utama. (Yarrow,1986). Selanjutnya, mereka mempunyai kebijakan tersendiri dalam hubungannya dengan alokasi sumber daya dan tujuan perusahaan. Kebijaksanaan kapabilitas melalui manajer adalah sebagai bagian yang penting untuk mencapai tujuan perusahaan jangka panjang. Keputusan alokasi sumberdaya sebaiknya merefleksikan realitas pasar yang disesuaikan dengan tindakan tindakan stratejik yang berpeluang besar dalam meningkatkan keuntungan perusahaan. Setelah melakukan privatisasi perusahaan akan memperbaiki kebijaksanaan alokasi sumberdaya dan kapabilitas sesuai tujuan perusahaan. Peneliti Zahra berasumsi bahwa manajer mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk mengembangkan dan melakukan implementasi startegi-strategi yang berorientasi pasar. Perusahaan BUMN yang diprivatisasi memungkinkan untuk meningkatkan posisi kompetitif melalui perencanaan perencanaan secara desentralistik yang berorientasi pada pasar dan pelanggan. Oleh karena itu, perilaku manajer di perusahaan BUMN akan berbeda pada perusahaan BUMN privatisasi. Esensi dari privatisasi sebagai sumber keunggulan daya saing tidak hanya valuable akan tetapi juga mempunyai karakteristik rarely dan costly to imitate (Bharadwaj & Varadarajan, 1993, Barney,2002). Perusahaan setelah di privatisasi bernilai (valuable) jika potensi ekononomis dapat dieksploitasi sebagai cost advantage dan costly to duplicate. Transfer kompetensi merupakan costly to duplicate. Sumber daya intangible biasanya lebih mahal untuk ditiru dibandingkan sumber daya tangible. Sebagaimana Barkema dan Vermeulen (1998) mengemukakan bahwa intangible resource seperti spesifik knowledge tentang pasar/produk akan memberikan keuntungan kompetitif lebih besar dibandingkan tangible resource. Perusahaan BUMN setelah di privatisasi akan memperoleh tambahan sumberdaya intangible yang biasanya terlalu mahal untuk ditiru perusahaan lain seperti : brand, reputation, trademarks , cooperative relationship dan network . Sebagaimana dikemukakan Barney, 1991 bahwa sumber daya yang dikembangkan secara internal akan mempunyai kapasitas yang sulit ditiru pesaing dan berhubungan dengan peningkatan kinerja perusahaan. Perusahaan privatisasi BUMN berupaya melakukan ekspansi di pasar internasional untuk memanfaatkan keuntungan sumber daya dan kapabilitas yang ada dalam pasar baru. Disamping itu juga untuk mengembangkan sumber daya dan kapabilitas baru dalam pasar asing. Secara kritikal bahwa sumber daya dan kapabilitas yang dikembangkan memungkinkan menghasilkan suatu keuntungan dalam pasar baru. Oleh karena itu perusahaan hendaknya me re-apply sumber daya the 20 VRIO framework ketika masuk pasar baru. Sebagaimana yang dilakukan oleh perusahaan yang masuk pasar baru, dimana proses pembelajaran dalam merubah mindset penting bagi kesuksesan perusahaan. Sumber daya dan kapabilitas apa yang memenuhi kriteria VRIO dalam pasar baru serta apa yang dapat perusahaan pelajari dari partner dalam pasar baru merupakan efek stratejik transformasi organisasional. Perusahaan privatisasi memungkinkan sebagai sumber keunggulan daya saing karena dapat mengeksploitasi sinergi diantara unit bisnis untuk mencapai keunggulan yang berbeda dengan pesaing. Potensi ekonomis dapat diperoleh melalui hubungan network dari adanya sharing activities & penghematan joint cost yang akan menghasilkan cost advantage sebagai sumber kompetitif yang dapat meningkatkan pertumbuhan perusahaan. Potensi lainnya dapat diperoleh dari transfer kompetensi melalui technological leadership untuk membangun complementary aset sehingga menghasilkan differentiation advantage, sebagai sumber keunggulan daya saing (Barney 2002). Perusahaan privatisasi BUMN diasumsikan akan berada pada kondisi pasar baru yang lebih kompetitif, dan untuk dapat mengambil keuntungan dari peluang pasar baru tersebut perusahaan harus melakukan transformasi untuk memperbaiki sumber daya perusahaan yang ada untuk penciptaan keunggulan daya saing. Perusahaan harus dapat mengelola sumber daya untuk menciptakan nilai agar posisi kompetitifnya meningkat. Peningkatan kapabilitas pemasaran dan pengembangan produk baru akan tercipta dengan adanya privatisasi. Demikian juga peningkatan reputasi akan terwujud dengan adanya brand- brand baru yang diperoleh dari partnership. Hal ini bermakna bahwa dampak positif dari privatisasi akan menghasilkan pencapaian keunggulan daya saing BUMN. Dengan demikian akan terjadi perubahan dalam pengaturan sumberdaya BUMN secara keseluruhan yang mencakup sumberdaya tidak berwujud (skill manager) dan juga sumberdaya berujud (keuangan) (Hall 1992). Hal ini didukung oleh teori resource-advantage oleh Conner (1991) dan Hunt/Morgan (1996). Perusahaan yang baru di privatisasi di Eropa Tengah Timur mengalami kesulitan untuk bersaing dalam teknologi produk dengan perusahaan dari negara negara maju. Hal ini disebabkan karena mereka ‘tidak mempunyai kapabilitas “untuk mengembangkan secara efektif dalam menawarkan produk baru dan canggih dalam kuantitas dan kualitas yang cukup untuk bersaing dengan perusahan dari negara lain. Oleh karena itu perusahaan harus mempunyai banyak akal dalam mengelola sumberdaya untuk bersaing dengan perusahaan asing yang masuk (Peng ,2000). 2.3.6 Peningkatan Kapabilitas Pembelajaran dan Inovasi Privatisasi memungkinkan untuk terjadinya proses pembelajaran secara lebih efektif yang akan berdampak pada percepatan inovasi. Perusahaan yang mempunyai tingkat kapabilitas pembelajaran yang tinggi akan memudahkan untuk mengembangkan sumberdaya untuk menciptakan keunggulan daya saing. Sebagaimana dikemukakan (Nelson dan Winter, 1982,) bahwa perusahaan yang di privatisasi akan memberi peluang terjadinya pembelajaran dan selanjutnya dapat berinovasi. Privatisasi akan membuat organisasi tidak kaku dalam kebiasaan kebiasaannya dan tidak membatasi kemampuan perusahaan untuk mengembangkan kapabilitas baru di aktivitas 21 bisnis yang berbeda secara nyata dari aktivitas yang sebelumnya telah ada di BUMN. Kogut dan Zander,(2000);Krueger, (1995) berpendapat, meskipun akses pasar ditingkatkan, namun perusahaan juga perlu mempelajari hal hal yang berkaitan dengan pelanggan untuk memperbaiki produk yang telah ada. Dengan memperluas penjualan, dan memperbaiki produk diharapkan dapat mempertinggi kapasitas organisasi untuk mempelajari dan selanjutnya mengembangkan kemampuannya. Dengan privatisasi diharapkan ada “transfer knowledge”, merubah sumberdaya berorientasi pada pasar sehingga dapat meningkatkan posisi yang lebih kompetitif. Oleh karena itu “pengambilalihan sistem managerial dan teknologi “merupakan sumberdaya penting dalam “transformasi” perusahaan dan hal ini merupakan esensi dari privatisasi BUMN. Privatisasi biasanya disertai dengan meningkatnya aktivitas pelatihan dan pengembangan .Sumberdaya perusahaan yang tak berujud (intangible resource) seperti skill manager dan karyawan perlu ditingkatkan sebagai sumberdaya yang dapat mendukung pencapaian peningkatan daya saing dan kinerja. Variabel peningkatan “pelatihan “merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan dalam daya saing perusahaan. Hal ini didukung oleh penelitian perusahaan di Poland, Hungary dan Czech Republic yang membangun kekuatan pengembangan skill teknikal dari karyawan untuk dapat menumbuhkan bisnis mereka. (Business Week 1997). Penelitian Klaus Uhlenbruck (2000), menunjukkan bahwa perusahaan yang baru di privatisasi di Eropa Tengah Timur (CEE) memberikan rekomendasi pada bagaimana manajer perusahaan privatisasi dapat mengelola sumberdaya mereka dengan lebih baik. Khususnya, perusahaan dapat meningkatkan kemampuan pembelajaran mereka dengan pencarian aktivitas untuk mendapatkan informasi produk dan pasar (May et al, 2000) . Demikian juga perusahaan perlu untuk menyesuaikan struktur dan proses organisasional untuk lebih efisien dalam memproses informasi. Manaer perlu untuk investasi usaha- usaha yang siqnifikan untuk mengintegrasikan sumberdaya dalam mencapai konsistensi internal dan strategic flexibility yang perlu untuk mendapatkan keuntungan dari peluang peluang yang ada. Privatisasi berkaitan dengan penambahan , pemindahan dan pertukaran sumberdaya . Pemerintah dan investor mencari suatu “strategic fit” melalui integrasi sumberdaya antara perusahaan investor, pemerintah dan perusahaan milik Negara (Uhlenbruck & De Castro,1998). Investor seharusnya memutuskan bagaimana yang terbaik untuk mendorong transfer sumberdaya kearah pembentukan transformasi entrepreneurial dari perusahaan milik Negara dan bagaimana caranya untuk dapat memperluas pasar. Menurut Zahra, 2000 terdapat dua kunci hasil entrepreneurial dari privatisasi yaitu ; innovation dan new ventures. Inovasi sebagai penciptaan barang dan jasa,meliputi perbaikan mutu dan perluasan produk yang ada (incremental innovation), dan juga termasuk pengembangan produk baru secara radikal. Hasil entrepreneurial dari privatisasi adalah inovasi proses atau pengenalan metode baru dalam memproduksi barang dan jasa. Inovasi proses diperlukan untuk menggabungkan teknologi asing di dalam industri domestik sehingga dapat membuat sistim pabrik baru yang efisien. Oleh karena itu inovasi proses memberikan kontribusi untuk efisiensi operasional dalam meningkatkan produktifitas pada perusahaan yang di privatisasi. Sedangkan New ventures berkaitan dengan penciptaan bisnis baru 22 Perusahaan yang baru di privatisasi pada umumnya mempunyai keperluan yang kritis untuk modal keuangan , teknikal dan kapabilitas managerial (Klaus Uhlenbruck, 2000). Hal ini didukung pendapat Zahra, (2000) berdasarkan penelitian di Eropa Tengah dan Timur (Central dan Eastern Europe /CEE) ,manager yang hanya mempunyai pengalaman kerja di BUMN , tidak mungkin efektif dalam mengelola perusahaan yang berorientasi pasar. Hal ini disebabkan karena , keterbatasan keahlihan manajerial dalam mengembangkan sumberdayanya di perusahaan privatisasi. Manajemen yang efektif penting bagi perusahaan untuk mengembangkan sumberdaya baru dan “strategic flexibility “ perusahaan .(Hitt et al, 1998; Penrose, 1959; Teece et al ,1997). Integrasi dari “sumberdaya baru “ dan “ sumberdaya lama “ untuk memanfaatkan peluang pasar , memerlukan keahlihan general manajemen , namun secara umum keahliahan general manajemen di BUMN di Eropa timur dan Tengah terbatas (Pearce,1991; Puffer et al, 1994). Oleh karena manajer yang sebelumnya hanya berpengalaman BUMN seyogyanya ditingkatkan pengetahuan dan kapabilitasnya melalui pelatihan pelatihan manajemen. Dengan program program pelatihan ini dapat membantu para manajer dalam meningkatkan pengetahuan mereka yang selanjutnya diharapkan dapat berinovasi untuk mendapatkan keuntungan peluang yang ada. 23 BAB III PENATAAN BUMN 3.1 Landasan BUMN Berdasarkan pasal 33 UUD 1945, perekonomian Indonesia tersusun atas 3 pilar utama yaitu : 1) Koperasi, 2) Badan Usaha Milik Negara atau BUMN dan 3) Swasta. Yang termasuk pilar “Koperasi” adalah perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Sementara yang tergolong sebagai pilar “BUMN” adalah meliputi a) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat orang banyak dikuasai oleh negara, serta b) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Adapun yang tergolong pilar “Swasta” adalah perkonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Perusahaan Negara telah lama dikenal di Indonesia sejak sebelum proklamasi kemerdekaan. Pada masa pemerintahan Belanda terdapat perusahaan Kereta Api, Timah, Pegadaian dan lainnya. Setelah proklamasi kemerdekaan beberapa BUMN di dirikan oleh pemerintah . Pada waktu perjuangan pengembalian Irian Barat pada tahun 1957, pemerintah “menasionalisasi” beberapa perusahaan milik Belanda. Jumlah perusahaan negara menjadi semakin meningkat karena pada akhir tahun 1950-an Presiden Soekarno, dalam konsep ekonomi terpimpin di mana Perusahaan Negara sebagai sarana utama untuk meningkatkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional Pengertian yang sering digunakan yang dimaksud Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan [Pasal 1 Angka 1]. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, hanya dikenal 2 bentuk BUMN yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perusahaan Umum (Perum) [Pasal 9]. Sementara itu BUMN didirikan dengan maksud dan tujuan [Pasal 2 ayat (1)] : a. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; b. mengejar keuntungan; c. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; d. menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; e. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. 24 3.2 Visi dan Misi BUMN Berdasarkan Master plan BUMN tahun 2002 -2006 ditegaskan bahwa ada tiga fungsi dari Kementrian Negara BUMN : Pertama, perumusan kebijakan pemerintah di bidang pembinaan BUMN yang meliputi kegiatan pengendalian, peningkatan efisiensi, restrukturisasi dan privatisasi BUMN. Kedua, pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan, analisis dan evaluasi di bidang pembinaan BUMN. Dan, ketiga, penyampaian laporan hasil, saran dan pertimbangan di bidang tugas serta fungsinya kepada Presiden. Berkaitan dengan pembinaan BUMN, visi yang dikembangkan adalah menjadikan BUMN sebagai pelaku utama (champion) yang kompetitif di industrinya. Adapun misi BUMN adalah sebagai berikut : 1. Reformasi BUMN sesuai dengan amanat Konstitusi dan Perundang-Undangan yang berlaku 2. Memfokuskan restrukturisasi BUMN secara Sektoral & Korporasi (Organisasi, Legal, Operasional, & Financial) 3. Mencari synergi antar BUMN dan memperbaiki Private-Public Partnership untuk meningkatkan nilai 4. Memaksimalkan nilai perusahaan melalui peningkatan efisiensi & produktifitas BUMN 5. Peningkatan daya saing BUMN di dalam dan luar negeri Sebagai suatu organisasi, misi BUMN memang ideal sekali. Namun demikian, di lapangan, beberapa misi tersebut seringkali kurang berjalan selaras. Bahkan di dalam mengantisipasi tantangan pasar global tidak tertutup kemungkinan timbul berbagai kerancuan visi dan persepsi sehingga akhirnya menyulitkan penentuan langkah-langkah strategis BUMN secara efektif dan efisien. Pada dasarnya BUMN memang rentan lantaran berbagai misi yang diembannya, sehingga wajar jika sering terjadi konflik kepentingan antar stakeholder. Tuntutan pemerintah terhadap keberadaan BUMN sebagai agent of development serta misi lain terkadang mengurangi fokus perhatian BUMN sebagai business entity yang harus mengejar target keuangan. Sebaliknya bisa menjadi peluang terjadinya penyimpangan yang bernuansa KKN. Diharapkan jajaraan manajemen dapat menjabarkan misi tersebut, sehingga tidak akan terjadi perbenturan kepentingan. Walaupun masing-masing BUMN punya permasalahan yang spesifik, akan tetapi pada umumnya jajaran manajemen BUMN memiliki tantangan yang sama, yaitu belum terpadunya persepsi atau visi masing-masing pimpinan terhadap misi dan sasaran perusahaan. Dari sudut perencanaan organisasi, seringkali tampak bahwa desain organisasi perusahaan terbentuk dalam struktur yang berlapis-lapis dan cenderung bersifat hirarkis. Dari sisi lain, penyusunan organisasi di BUMN terkesan kurang didasarkan pada hasil analisis tugas serta perilaku organisasi melainkan lebih mengesankan kebijakan sektorat. Akibat dari kondisi di atas adalah semakin kaburnya tugas dan tanggung jawab dari masing masing unit kerja sehingga dapat menimbulkan kesan organisasi perusahaan yang kurang tertib. Sementara itu mengingat bahwa organisasi BUMN pada umumnya heterogen, maka tentunya 25 diperlukan suatu corporate strategy yang transparan sehingga perencanaan dan penyusunan organisasi tidak akan menyimpang dari sasaran perusahaan. Seiiring dengan tuntutan dunia global yang sarat persaingan, maka seluruh jajaran manajemen BUMN semakin dituntut profesional. Untuk menguji profesionalisme dan optimal kinerja jajaran manajemen BUMN secara keseluruhan, maka selain membuat parameter yang jelas dari misi yang diemban BUMN, setidaknya perlu dipertimbangkan, adanya peningkatan professionalisme dan otonomi kepada jajaran manajemen BUMN. Tentu saja, tidak mudah mengoptimalkan kinerja BUMN, karena diperlukan kesiapan-kesiapan. Untuk itu dirancang reformasi BUMN dengan visi yang di bawa adalah bagaimana membangun BUMN yang berdaya saing dan berkelas global. Pembangunan BUMN merupakan bagian dari pembangunan ekonomi nasional. BUMN Indonesia mengemban misi yang amat strategis dalam pembangunan nasional. Kita dituntut untuk mampu memberikan kontribusi optimal bagi pembangunan perekonomian nasional, diantaranya melalui deviden dan pajak. Konsep strategis BUMN disusun atas dasar program strategis pembangunan ekonomi Pemerintah Indonesia. Sebagaimana dikemukakan Sugiarto (2002) bahwa program strategis Pemerintah Indonesia dipaparkan sebagai berikut : a. Di bidang pertanian adalah (1) Peningkatan produksi beras dua juta ton, dan (2) Revitalisasi sawit, karet, coklat, dan jagung b. Di bidang pertahanan adalah peningkatan industry strategis nasional di bidang pertahanan. c. Di bidang energy dan sumber daya mineral adalah (1) Peningkatan produksi migas (2) Pembangunan PLTU 10.000 MW, dan (3) Pengurangan subsidi BBM dengan teknologi dan investasi d. Di bidang industry adalah (1) Peningkatan kinerja industry dalam negeri, (2) Pembangunan industry listrik skala menengah 2.000 MW/tahun e. Di bidang tenaga kerja dan transmigrasi adalah penataan masalah perburuhan yang kondusif melalui system asuransi f. Di bidang pekerjaan umum adalah (1) Pembangunan jalan tol Trans Jawa (2) Pembangunan jalan-jalan di luar Jawa, dan (3)Pembangunan prasarana pengairan skala menengah 26 g. Di bidang perhubungan adalah penyelesaian pembagunan bandara, pelabuhan, dan jaringan kereta api yang vital h. Di bidang kelautan dan perikanan adalah peningkatan produksi perikanan sebesar 20% i. Di bidang perumahan rakyat adalah pembangunan rumah susun 1.000 unit tower dalam 5 tahun j. Di bidang perdagangan adalah peningkatan ekspor 20% per tahun k. Di bidang kebudayaan dan pariwisata adalah peningkatan wisatawan mancanegara menjadi 7 juta per tahun l. Di bidang penertiban aparatur Negara adalah Peningkatan peringkat Indonesia dalam “Doing Bussiness” m. Di bidang BUMN adalah (a) Peningkatan kinerja BUMN dan (b) Divestasi BUMN kecil dan tidak strategis n. Di bidang koperasi dan UMKM adalah Peningkatan kredit perbankan untuk UKM melalui sistem jaminan untuk kredit kecil 3.3 Permasalahan di Kementrian BUMN Permasalahan di BUMN dewasa ini memang sangat complicated sehingga jajaran manajemen seringkali mengalami “disorientasi permasalahan”. Banyak yang menyoroti permasalahan yang ada di tubuh Kementrian BUMN, yang selama ini menjadi objek perbincangan di seminar. Menneg BUMN diharapkan bisa mencerminkan kriteria sebagai the best CEO for the firm, dan seluruh jajaran manajemen BUMN tentunya juga dituntut hal yang sama. Selain perlu memahami teori ekonomi makro dan mikro, juga harus memiliki pengalaman dan wawasan luas di sektor finansial serta pasar modal sebagai fondasi dalam mengelola operasi perusahaan. Selama ini, bentuk organisasi Kementerian BUMN telah berubah beberapa kali misalnya dari (Ditjen PBUMN => Kementerian Negara BUMN => Ditjen BUMN => Kementerian Negara BUMN). Perubahan bentuk organisasi ini dilakukan sebagai akibat perubahan dari kebijakan pemerintahan. Dampak dari perubahan bentuk organisasi yang terlalu sering tersebut akan mempengaruhi : 27 1) Produktivitas dan kualitas kerja turun karena fokus perhatian lebih kepada perubahan organisasi 2) Disorientasi visi, misi, & perumusan strategi manajemen BUMN dalam pengembangan BUMN pejabat kementerian maupun 3) Career planning dan regenerasi SDM terampil terabaikan 4) Capacity building dalam SDM, Sistim Prosedur dan Peraturan terabaikan. 5) Demotivasi kerja diseluruh lapisan SDM Kementerian. 6) Kurangnya perhatian Kementerian terhadap pengembangan dan pengawasan BUMN yang semestinya Selain itu permasalahan lainnya yang muncul adalah struktur organisasi dan Sumber Daya Manusia “kurang efektif “mendukung penanganan permasalahan di BUMN dan kurang mampu meningkatkan kinerja. Kemungkinan faktor-faktor penyebab lainnya diantaranya adalah lemahnya leadership dan lemahnya peran pembinaan serta pengawasan mengakibatkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) hanya sekedar semboyan dan mendorong maraknya penyimpangan di BUMN. Permasalahan timbul dimungkinkan karena Kebijakan yang dilakukan cenderung kurang menguntungkan BUMN, contoh : 1) Privatisasi, lebih diutamakan untuk menutup APBN 2) Sinergi antar BUMN tidak dilaksanakan, malah terjadi persaingan antar BUMN yang saling merugikan (Kimia Farma Vs Indo Farma, atau persaingan antar BUMN Konstruksi) 3) Kuatnya intervensi birokrasi dan politisi yang merugikan BUMN Mencermati permasalahan yang ada, sudah saatnya BUMN dibenahi secara keseluruhan. Beberapa kondisi manajerial dan kinerja BUMN patut dicermati, termasuk kredibilitas dan kapabilitas board of director maupun komisaris di BUMN yang menghadapi tekanan berbagai pihak. 3.4 Daya Saing BUMN Walaupun masih banyak pihak yang sangsi atas kemampuan BUMN dalam menembus pasar global, pemerintah tampak telah berketetapan untuk mewujudkan manajemen BUMN yang sehat dan profesional. Keberadaan BUMN memang punya daya tarik tersendiri untuk suatu perdebatan. Di satu sisi berbagai pihak suka mencontohkan BUMN sebagai entitas bisnis yang sulit memperoleh laba. Namun tak kurang pula ahli yang mengutarakan added value yang dimiliki BUMN. Tantangan bisnis BUMN menghadapi pasar global , akan diperlukan kesamaan visi dan persepsi jajaran manajemen BUMN untuk mengubah paradigma yang selama ini menjadi citra organisasi BUMN. Jika selama ini BUMN identik dengan penonjolan comparative advantage yang semata-mata mengandalkan modal dasar yang murah. Maka untuk visi ke depan, perlu paradigma baru yang 28 mengarah pada penekanan competitive advantage melalui pengembangan profesionalisme manajemennya. Sebagai pemegang saham mayoritas, sudah tentu pemerintah memiliki wewenang terhadap gerak langkah BUMN dalam taraf corporate level, namun untuk aspek operasional yang seringkali memerlukan kecermatan dan kecepatan mengambil keputusan seyogianya diberikan “otonomi” atau empowerment pada jajaran manajemen BUMN terkait. Apabila suatu BUMN telah mendapatkan kepercayaan dan empowerment untuk pengelolaan usahanya, maka langkah pertama yang harus dirumuskan adalah sasaran perusahaan, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Dari perjalanan beberapa BUMN selama ini, tersirat adanya kelemahan dalam menentukan arah dan sasaran perusahaan, sehingga mengakibatkan lemahnya proses perencanaan strategis (strategic planning) di BUMN. Fenomena yang ada menunjukkan bahwa daya saing sebagian BUMN rendah akibat dari beberapa faktor diantaranya : a) Fasilitas produksi yang tua dan tidak efisien b) sistim manajemen & teknologi yang sederhana dan c) overstaffing sumberdaya manusia berkemampuan rendah, namun understaffing sumberdaya manusia yang terampil dengan kompetensi tinggi. Untuk dapat mengoptimalkan peran dari BUMN agar mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang makin terbuka dan kompetitif, BUMN perlu menumbuhkan profesionalisme antara lain melalui pengurusan dan pengawasannya. Penerapan sistem pengurusan dan pengawasan BUMN harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip efisiensi dan prinsip-prinsip tata-kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Hal ini untuk mengatasi masalah agar BUMN dapat dipimpin oleh Direksi yang profesional, kompeten, jujur, dan diangkat karena factor keahlihan di bidangnya dan bukan kepentingan politik atau lobby. Direksi diharapkan dapat memperlakukan BUMN sebagai perusahaan korporasi , yang dapat menguntungkan BUMN . Jika BUMN ingin memiliki keunggulan kompetitif, sehingga mampu bersaing dengan badan usaha swasta nasional maupun trans-nasional, perlu adanya “pembenahan yang terintegrasi”. Untuk mengatasi masalah keterbatasan pendanaan untuk pengembangan usaha, akibat ketidakmampuan keuangan Pemerintah, khususnya pada BUMN yang bermasalah keuangan, Pemerintah menetapkan PP No.55 tahun 190 tentang Perusahaan Perseroan (PERSERO) yang menjual sahamnya kepada masyarakat melalui pasar modal. Inti peraturan pemerintah ini memberikan otonomi yang luas kepada BUMN yang go public untuk meningkatkan kemandirian dan kemampuan BUMN sebagai pelaku ekonomi yang memberikan perubahan yang mendasar dalam pengelolaan BUMN. Profesionalisme jajaran manajemen BUMN tidak bisa ditawar-tawar lagi. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia agar bisa kompeten (competence) telah menjadi suatu tantangan di dalam mengantisipasi customer satisfaction. Selain competency, diperlukan pula connection yang merupakan kemampuan manajemen melakukan networking. Pembentukan jaringan, kemitraan, atau aliansi, merupakan salah satu strategi manajerial untuk menghadapi persaingan. 29 Dari segi sistem, sudah saatnya manajemen BUMN melakukan reorientasi proses manajemen sebagaimana diidentifikasikan oleh Rosabeth Moss Kanter (1989) dalam istilah “5F” yaitu membuat usaha menjadi lebih focus (jelas sasarannya), fast moving (gerak cepat), flexible (lincah), friendly (ramah terhadap mitra) dan free (bebas dari pengaruh birokrasi) 3.5 Strategi Reposisi BUMN Beberapa strategi yang dlakukan dalam rangka mereposisi BUMN diantaranya adalah mengacu pada Francis Gouilart dan James N. Kelly, yang menasihatkan bahwa untuk men-transformasikan organisasi diperlukan empat langkah : 1) reframing corporate direction, 2) restructuring the company, 3) revitalizing the enterprise, dan 4) renewing people. Sementara Tanri Abeng (2003) memperkenalkan skenario untuk melakukan transformasi BUMN,yaitu: 1) restrukturisasi (penataan ulang), 2) profitisasi (peningkatan laba yang signifikan sebagai langkah lanjut dari restrukturisasi dan 3) privatisasi/pelepasan kepemilikan dari negara ke publik. Skenario ini direspon pada awal program kerja Kementrian BUMN di bawah Kabinet Indonesia Bersatu, dan telah disampaikan dalam “Roadmap BUMN” yang mengagendakan perlunya perubahan di BUMN. Strategi yang digariskan dan sudah menjadi roadmap adalah restrukturisasi, profitisasi, dan privatisasi. Privatisasi adalah resultan dari profitisasi yang optimal. Peningkatan efisiensi dan efektifitas BUMN telah menjadi fokus perhatian pemerintah sehingga dalam keputusan Menteri Keuangan No. 740/KMK.00/1989 tanggal 28 Juni 1989 disebutkan bahwa peningkatan efisiensi dan produktivitas BUMN dapat dilakukan melalui resrukturisasi Secara teoritis restrukturisasi BUMN adalah pembenahan BUMN yang menyangkut struktur, organisasi, aspek hukum, komposisi kepemilikan, aset, dan intern manajemen yang pada dasarnya mempunyai tujuan untuk membentuk BUMN menjadi pelaku ekonomi yang efisien, efektif, produktif, dan dikelola secara profesional bisnis sehingga mampu mendapatkan keuntungan. 30 Restrukturisasi berkenaan dengan penataan ulang manajemen dan struktur organisasi. Restrukturisasi BUMN berkenaan dengan tatanan makro, yaitu berkenaan dengan strategi penataan ulang korporasi BUMN. Pelaksanaan arah kebijakan restrukturisasi BUMN ditujukan untuk meningkatkan efisiensi usaha dan nilai kompetitif BUMN, baik yang berbentuk Perum, maupun Persero. Restrukturisasi dilakukan dengan memperhatikan dan tetap menjamin: (1) tingkat pelayanan, (2)kemampuan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan, (3) tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Program restrukturisasi BUMN bertujuan untuk meningkatkan keuntungan, kesehatan, dan kualitas pelayanan perusahaan negara. Sasaran program ini adalah meningkatnya efisiensi usaha dan daya saing BUMN serta terwujudnya kemitraan yang kuat antara BUMN dengan usaha-usaha lainnya 3.6 Pembinaan dan Pengembangan BUMN Kementerian Negara BUMN akan mengambil langkah-langkah kebijakan dalam rangka pembinaan dan pengembangan BUMN antara lain : 1. Penyelesaian proses restrukturisasi BUMN terutama dalam rangka mendorong sinergi dan melakukan konsolidasi BUMN, transformasi bisnis dan kelanjutan rencana regrouping BUMN; 2. Identifikasi aliansi strategis dan pengembangan usaha BUMN yang diutamakan pada BUMN yang berbasis sumber daya alam (resource based) ; 3. Penyelarasan secara optimal kebijakan internal dan industrial serta pasar tempat BUMN beroperasi dan mengimplementasikan linkages programme antar-BUMN; 4. Membangun BUMN yang tangguh dan “berdaya saing tinggi” dalam persaingan global melalui kegiatan revitalisasi BUMN; 5. Konsolidasi per sektor sesuai dengan kajian konsultan yang independen serta memisahkan fungsi komersial dan public service obligation/PSO; 6. Penyempurnaan sistem pembinaan BUMN yang antara lain meliputi dalam rangka pemberian reward and punishment, penerapan Key Performance Indicators (KPI), penyempurnaan sistem remunerasi yang mengarah kepada market, dan penyempurnaan penilaian tingkat kesehatan BUMN khususnya untuk BUMN Jasa Keuangan; 7. Peningkatan upaya pemahaman masyarakat dan daerah terhadap keberadaan fungsi dan program BUMN; 8. Peningkatan profitisasi BUMN untuk mendukung peningkatan penerimaan APBN dari BUMN; 9. Pengelolaan database BUMN secara baik melalui sistem informasi manajemen yang terintegrasi; 10. Peningkatan implementasi program Good Corporate Governance (GCG) dan manajemen resiko secara baik di BUMN maupun di Kementerian Negara BUMN; 11. Peningkatan implementasi program PKBL sebagai wujud Corporate Social Responsibility (CSR) 31 Penataan BUMN ke depan diarahkan untuk memperoleh jumlah BUMN yang paling efisien sehingga dapat memberikan kontribusi yang paling optimal baik bagi Negara maupun masyarakat luas. Jumlah BUMN yang paling efisien akan diperoleh dengan cara melakukan kebijakan yang terdiri dari: (1) stand alone, (2) merjer/konsolidasi, (3) holding, (4) divestasi, dan (5) likuidasi Adapun jenis pemetaan BUMN dan tujuannya dapat dijelaskan pada tabel berikut ini: Tabel 3. 1 .Pemetaan BUMN Jenis Pemetaan Tujuan • 1. 2. 3. Pemetaan mengenai perlu tidaknya kepemilikan Negara secara mayoritas Pemetaan BUMN PSO dan Non-PSO Pemetaan BUMN berdasarkan jenis kebijakan yang akan diterapkan • Konsentrasi pada BUMN yang benar-benar harus dimiliki oleh Negara; Orientasi restrukturisasi dan kebijakan privatisasi BUMN. Penetapan kebijakan pembinaan yang jelas dan terarah. Menyusun perencanaan tindakan yang didasari oleh kondisi sektoral, kinerja perusahaan, potensi penciptaan nilai dan potensi sinergi antar BUMN. Sumber ; Kementrian BUMN 2006 Privatisasi memainkan peranan dalam mengarahkan perlebaran kepemilikan swasta. Namun hal ini tergantung pada karakteristik dari suatu perusahaan. Karakteristik Utama penentuan Kepemilikan Negara pada BUMN harus dimiliki Negara secara mayoritas jika terdapat satu atau lebih dari karakteristik dibawah ini: • UU Mengharuskan Dimiliki oleh Negara • Mengemban Public Service Obligation(PSO) yang Signifikan • Terkait erat dengan Keamanan Negara 32 • Melakukan Konservasi Alam/Budaya • Berbasis Sumber Daya Alam • Penting bagi stabilitas ekonomi Jika BUMN tidak memiliki karakteristik diatas tidak harus dimiliki negara secara mayoritas. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel dibawah ini Tabel 3.2. Kepemilikan Negara pada BUMN Terbuka dan Perusahaan Minoritas BUMN Terbuka Nama BUMN % Kepemilikan Negara PT TelekomunikasiIndonesia Tbk 51,19% PT Bank Mandiri Tbk 70,00% PT Bank Negara Indonesia Tbk 99,12% PT Bank Rakyat Indonesia Tbk 59,50% PT Perusahaan Gas Negara Tbk PT Semen Gresik Tbk Nama BUMN % Kepemilikan Negara PT TB Bukit Asam Tbk 69,24% PT Aneka TambangTbk 65,00% PT Timah Tbk 65,00% PT Adhi Karya Tbk 51,00% 61,00% PT Kimia Farma Tbk 90,03% 51,01% PT Indofarma Tbk 80,20% Kepemilikan Minoritas Nama Perusahaan PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung % Kepemilikan Negara Nama Perusahaan % Kepemilikan Negara 50,00% PT Asean Bintulu Fertilizer 13,00% PT Surabaya Industrial Estate Rungkut 50,00% PT Asean CopperProduct 13,00% PT Kertas Padalarang 48,54% PT Socfindo 10,00% PT Asuransi Kredit Indonesia 45,00% PT Intirub 9,99% PT Indonesia Asahan Aluminium 41,12% PT Freeport Indonesia 9,36% PT Semen Kupang 38,48% PT Dirgantara Indonesia 7,10% PT Atmindo 36,56% PT Prasadha Pamunah Limbah Industri 5,00% PT Bank Bukopin 21,72% PT Rekayasa Industri 4,97% PT Bahana PUI 17,78% PT Kertas Blabak 1,64% PT Indosat Tbk 15,00% PT Jakarta International Hotel Development 1,33% PT Kertas Basuki Rahmat 1,29% Ministry of SOE’s 1 Sumber : Kementrian BUMN 2006 33 Tabel 5.2 menunjukkan kepemilikan negara pada BUMN Terbuka ada 12 perusahaan dengan prosentase kepemilikan rata-rata diatas 50%. Sementara kepemilikan minoritas dari 19 perusahaan rata rata prosentase kepemilikan dibawah 50% (kepemilikan minoritas). 3.7 Perkembangan Kinerja BUMN Pokok-pokok kinerja Keuangan BUMN meliputi pertumbuhan aset, perkembangan utang, ekuitas, laba dan kerugian BUMN. Pertumbuhan aset BUMN selama periode 2001-2005 mengalami peningkatan. Misal tahun 2001 total aset BUMN sebesar Rp 809.563 M yang meningkat menjadi Rp 1.308.893 M pada tahun 2005. Peningkatan aset disebabkan beberapa sebab, diantaranya peningkatan bisnis dan suntikan dana segar pemerintah. Selama periode 2001-2005 jumlah utang BUMN cenderung meningkat. Hal ini disebabkan oleh peningkatan bidang usaha yang dimasuki BUMN, sehingga utang jangka panjang dan utang jangka pendek yang terus meningkat selama periode tersebut. Sementara Ekuitas BUMN di Indonesia selama periode 2001-2005 cenderung meningkat. Tahun 2004 ekuitas BUMN meningkat tajam sebesar Rp.406.004 M dibandingkan tahun sebelumnya Rp 278.579 M. Peningkatan ekuitas BUMN selama periode tersebut diikuti dengan meningkatnya laba. Pada tahun 2001 laba BUMN sebesar Rp 18.676 M , dan tahun 2005 naik menjadi Rp 42.349 M. Namun selama periode tersebut kerugian BUMN berfluktuasi naik turun. Pada tahun 2002 kerugian meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, tetapi pada tahun 2004 kerugian menurun dibandingkan tahun 2003. Hal ini disebabkan karena meningkatnya efisiensi operasinya. Untuk lengkapnya dapat dilihat tabel dibawah ini: Tabel 3.3. Pokok-Pokok Kinerja Keuangan BUMN ,2001-2005 34 Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia Uraian • Jumlah BUMN 2001 2002 2003 2004*) 2005**) 150 158 157 158 139 • Total Asset (Rp M) 809.563 932.977 980.017 1.196.654 1.308.893 • Total Utang (Rp M) 678.506 664.084 696.735 783.141 876.499 • Total Ekuitas (Rp M) 129.074 265.782 278.579 406.004 423.496 • Total Laba BUMN (Rp M) 18.676 25.526 21.369 44.155 42.349 • Total Kerugian BUMN (Rp M) (2.222) (9.466) (8.681) (5.353) (6.477) Keterangan: *) Pada tahun 2004, jumlah BUMN mencapai 158 BUMN. Dari jumlah tersebut, BUMN yang menyerahkan laporan keuangan sebanyak 140 BUMN. Sedangkan dari 140 BUMN yang menyerahkan laporan keuangan diketahui bahwa sebanyak 112 BUMN mencetak laba dan sebanyak 28 BUMN mengalami kerugian. **) Pada tahun 2004, jumlah BUMN mencapai 139 BUMN. Dari jumlah tersebut, BUMN yang menyerahkan laporan keuangan sebanyak 134 BUMN. Sedangkan dari 134 BUMN yang menyerahkan laporan keuangan diketahui sebanyak 103 BUMN mencetak laba dan yang merugi sebanyak 31 BUMN. Sumber : Kementrian BUMN 2006 Perkembangan jumlah BUMN di Indonesia selama periode 2001-2005 , tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Pengurangan jumlah BUMN yang cukup berarti terjadi pada tahun 2005. Pada tahun 2005 jumlah BUMN sebanyak 139 perusahaan atau ada pengurangan 19 perusahaan dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebanyak 158 perusahaan. Pengurangan jumlah BUMN ini karena ada sebanyak 13 BUMN Perjan rumah sakit berubah menjadi Badan Layanan Umum (BLU) dan pengelolaannya kembali ke Departemen Kesehatan. Perjan RRI dan TVRI menjadi BLU dan dikembalikan ke Departemen Komunikasi & Informasi. Empat BUMN perikanan yaitu Tirta Raya Mina, Perikani, Usaha Mina, dan Perikanan Samudera Besar merger pada Oktober 2005. Sedangkan satu BUMN lagi yaitu PT. Asean Aceh Fertilizer (AAF) dilikuidasi pada akhir 2005. Kondisi BUMN dengan figur keuangan terbesar dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel : 3.4 BUMN dengan Figur Keuangan Terbesar 35 1 PT BANK MANDIRI Tbk 3 PT PERTAMINA 7 8 9 10 PT BRI Tbk PT TELKOM Tbk PT JAMSOSTEK PT BTN PT PUSRI PT TASPEN 11 PT BULOG 13 PT KRAKATAU STEEL 14 PT JASA MARGA 15 PT BEI 16 PT SEMEN GRESIK Tbk 17 PT ANTAM Tbk 18 PT AP I 19 PT PELINDO II 20 PT KAI 21 PT AP II 22 PT BA Tbk 12 PT PGN Tbk 22 besar 6 PT BNI Tbk 20 besar 5 15 besar 4 PT PLN 10 besar 2 1 Aset 2 Ekuitas 3 Penjualan 4 Laba Bersih Ministry of SOE’s 10 Sumber : Kementrian BUMN 2006 Dari total 139 BUMN, terdapat 22 BUMN yang memiliki setidaknya 3 figur keuangan terbesar dari 4 figur keuangan yang berupa (1) aset, (2)Ekuitas, (3) penjualan dan (4) laba bersih sebagaimana tabel dibawah ini : Tabel 3.5. Figur Keuangan Pokok dari 22 BUMN Terbesar 2005 36 No Nama BUMN TotalAktiva TotalEkuitas Penjualan LRbersih Juta rupiah 1 PT Bank Mandiri, Tbk 263,383,348.00 23,214,722.00 24,634,199.00 603,369 2 PT PLN 220,842,734.62 139,753,678.84 76,543,324.27 (4,920,594) 3 PT Pertamina (Tahunan) 196,755,265.00 122,656,805.00 315,484,637.00 16,456,842 4 PT BNI Tbk 147,812,206.00 11,894,914.00 15,204,636.00 1,414,739 5 PT BRI Tbk 122,775,579.00 13,352,982.00 18,519,200.00 3,808,587 6 PT TELKOM Tbk 62,171,044.00 23,292,401.00 41,807,184.00 7,993,566 7 PT JAMSOSTEK 38,814,398.90 1,880,352.25 5,030,308.44 629,623 8 PT Bank Tabungan Negara 29,083,149.00 1,480,885.00 3,244,674.00 436,698 9 PT Pupuk Sriwidjaja 19,873,156.42 8,221,801.18 15,688,511.05 848,699 17,381,376.20 1,025,249.31 3,471,471.88 381,762 10 PT Taspen 11 Perum Bulog (Progn) 14,405,067.00 6,673,132.00 10,620,792.00 15,552 12 PT PGN Tbk 12,574,760.56 4,198,300.71 5,433,739.71 862,013 13 PT Krakatau Steel (KS) 10,689,077.00 5,211,656.00 11,632,509.00 236,995 9,715,807.12 1,967,691.59 1,923,859.75 293,137 14 PT Jasa Marga 15 PT BEI 7,535,121.58 3,837,169.00 600,050.00 200,511 16 PT Semen Gresik, Tbk 7,296,963.64 4,487,178.40 7,532,208.19 1,022,568 17 PT ANTAM Tbk 6,402,714.13 3,029,642.90 3,287,268.83 841,936 18 PT AP I 4,724,944.38 4,325,394.83 1,214,836.52 334,864 702,189 19 PT PELINDO II 4,467,058.43 3,329,002.28 1,784,683.53 20 PT Kereta Api Indonesia (KAI) 4,260,568.67 3,094,862.48 2,616,533.84 6,908 21 PT Angkasa Pura II (AP II) 3,889,344.53 3,550,770.61 1,710,379.35 441,952 2,052,660.00 2,998,686.00 467,060 22 PT Tambang Batubara Bukit Asam JUMLAH 22 BUMN 1,207,693,374.18 392,531,251.38 570,983,692.37 33,078,977 2006 Sumber : Kementrian BUMN Berdasarkan data pada Tabe 5.5 , tampak bahwa dari 22 BUMN terbesar tahun 2005 dengan total asset Rp. 1,207,693,374.18 juta, sebanyak 5 BUMN masing-masing mempunyai total asset di atas Rp. 100.000 miliar, sebanyak 8 BUMN masing-masing mempunyai total asset antara Rp. 10.000 s.d Rp.1 00.000 miliar sebanyak 4 BUMN masing-masing mempunyai total asset antara Rp. 5.000 miliar s.d Rp. 10.000 miliar, dan sebanyak 5 BUMN masing-masing mempunyai total asset antara Rp. 1.000 miliar s.d Rp. 5.000 miliar. Laba bersih BUMN secara keseluruhan selama periode 2001-2005 berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat. Setiap tahun BUMN membukukan laba bersih. Laba BUMN menjadi salah satu sumber permodalan bagi BUMN untuk meningkatkan investasinya dan penerimaan bagi negara (APBN) melalui pos Bagian Pemerintah dari Laba BUMN. Perolehan Laba Bersih BUMN selama tahun 2005 mengalami penurunan sebesar Rp1,9 triliun dibandingkan tahun 2004. Penuranan Laba Bersih BUMN ini antara lain disebabkan oleh penurunan laba BUMN Perbankan sebesar Rp6 triliun dibandingkan tahun 2004, namun dapat ditekan melalui peningkatan laba BUMN non Perbankan secara signifikan sebesar Rp4,2 triliun. Untuk secara lebih rinci dapat ditunjukkan pada tabel dibawah ini Gambar 3.1 : Perkembangan Laba Bersih BUMN 2001-2005 37 Sumber : Kementrian BUMN 2006 BUMN yang meraih laba pada tahun 2004 sebanyak 112 BUMN, sedangkan BUMN yang meraih laba pada tahun 2005 sebanyak 103 BUMN. Tingginya NPL Bank BUMN dan rendahnya kemampuan Bank BUMN dalam menyalurkan kredit menyebabkan laba Bank BUMN mengalami penurunan dratis. Penurunan laba Bank BUMN ini menjadi kontributor terbesar bagi pencapaian laba BUMN secara keseluruhan. Penurunan Laba Bank BUMN di tahun 2005 ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya : (1) Adanya Peraturan Bank Indonesia mengenai uniform classification policy tentang kualitas aktiva produktif yang berdampak pada peningkatan non performing loan (NPL) Bank BUMN secara signifikan (2) Sementara aturan tentang penyelesaian NPL yang ada belum memungkinkan bank BUMN melakukan hair cut secara langsung. (3) Peninggalan kredit-kredit di tahun-tahun sebelumnya yang kemudian bermasalah di tahun 2005. (4) Kondisi Perekonomian belum sesuai yang diharapkan. Perkembangan laba bersih Bank BUMN dapat dilihat pada gambar berikut ini : 38 Gambar 3.2. Perkembangan Laba Bersih BUMN Perbankan ,2001-2005 Sumber : Kementrian BUMN 2006 Sementara kinerja BUMN Non-Perbankan menunjukkan kinerja yang sangat baik pada tiga tahun terakhir. Bila pada tahun 2003, laba BUMN non-perbankan hanya sebesar Rp13,0 triliun, maka pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp31,6 triliun dan meningkat lagi menjadi Rp35,9 triliun pada tahun 2005. Peningkatan Laba Bersih BUMN Bukan Bank secara signifikan ini menunjukkan bahwa telah terjadi perbaikan internal (internal improvement) baik yang dilakukan oleh manajemen perusahaan maupun arahan dari Kementerian BUMN melalui kebijakan sinergi BUMN. Peningkatan laba BUMN non-Perbankan ini menjadi kontributor terpenting bagi laba BUMN secara keseluruhan di tengah menurunnya laba BUMN Perbankan. Secara piktografis dapat dilihat pada gambar 5.3 dibawah ini : 39 Gambar 3.3. Perkembangan Laba Bersih BUMN Non Perbankan,2001-2005 Sumber : Kementrian BUMN 2006 Kontribusi BUMN ,secara ekonomi juga dapat diukur oleh besarnya pengeluaran perusahaan melalui beban operasional (operating expenses) dan pengeluaran modal (capital expenditures). Setiap tahun, besarnya operating expenses dan capital expenditures BUMN terus mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2001 besarnya operating expenses baru sebesar Rp189 triliun, pada tahun 2005 mencapai Rp586 triliun atau mengalami peningkatan per tahun rata-rata sebesar Rp99 triliun. Jika pada Jika pada tahun 2001 besarnya capital expenditures baru sebesar Rp19,9 triliun, maka pada tahun 2005 telah mencapai Rp46,43 triliun atau mengalami peningkatan per tahun rata-rata sebesar Rp6,6 triliun. Tingginya kontribusi BUMN melalui operating expenses dan capital expenditures menunjukkan bahwa BUMN telah memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi masyarakat dan investasi. Perkembangan secara piktografis dapat dilaihat pada gambar dibawah ini : 40 Gambar 3.5. Perkembangan Operating Expenses dan Capital Expenditures yang dikeluarkan BUMN,2001-2005 Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia Perkembangan Operating Expenses BUMN Tahun 2001-2005 Rp. Triliun 50 45 Perkembangan Capital Expenditures BUMN Tahun 2001-2005 40 35 30.53 30 25 46.43 39.1 24.25 19.9 20 15 10 5 Sumber : Kementrian BUMN 2006 Selain kontribusi BUMN melalui operating expenses dan capital expenditures BUMN telah memainkan peranan yang signifikan dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Peranan ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Peranan BUMN dalam perekonomian sangat mendominasi sejak awal berdirinya Negara Kesatuan RI hingga era 1970-an. Namun, seiring dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan peran swasta (termasuk usaha kecil, menengah, dan koperasi), maka sejak awal 1980-an, proporsi peranan BUMN dalam perekonomian secara perlahan mulai menurun. Perkembangan sektor swasta telah berjalan dan mendapatkan momentumnya karena dominasi kontribusi pendapatan usaha BUMN terhadap PDB mengalami penurunan dari sekitar 70% pada tahun 1970 dan menjadi sekitar 24% pada saat ini.Dalam lima tahun terakhir ini, kontribusi pendapatan usaha BUMN terhadap PDB melalui pendapatan usahanya mengalami peningkatan yang signifikan, yaitu dari 13% pada tahun 2001 menjadi 24% pada tahun 2005. Seperti dapat ditunjukkan pada gambar berikut ini : 41 Gambar 3.6. Perkembangan Omset/Pendapatan Usaha BUMN ,2001-2005 Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia 10 Sumber Kemetrian BUMN 2006 3.8 Revitalisasi BUMN Rugi Berbagai fenomena telah mengisyaratkan bahwa sebagian BUMN memang masih merugi, dan langkah menuju perbaikan juga masih berjalan di tempat, sehingga dengan melihat fenomena itu, barangkali memang tidak ada salahnya jika seluruh masyarakat mencoba memahami, apa sebenarnya yang terjadi di balik berbagai masalah yang menyangkut BUMN tersebut. Sampai saat ini, jumlah BUMN yang mengalami kerugian masih cukup banyak. Dari data di atas, 10 besar BUMN yang mengalami kerugian terbesar menyumbang kurang lebih 95% dari total kerugian BUMN. Hal ini menunjukan bahwa kerugian BUMN terpusat pada ke-10 BUMN tersebut sehingga upaya revitalisasi terhadap BUMN tersebut sangat penting untuk dijalankan. Tabel 3.7. Sepuluh (10) BUMN dengan Rugi Terbesar 2005 42 No Nama BUMN Laba Bersih 1 PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (4,920,594) 2 PT Garuda Indonesia (GIA) (560,609) 3 PT Merpati Nusantara Airline (MNA) (313,000) 4 PT Danareksa (182,339) 5 PT Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) (127,822) 6 PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (74,869) 7 PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) (68,325) 8 PT Pengerukan Indonesia (RUKINDO) (52,207) Juta rupiah 9 10 */ (51,409) PT Pos Indonesia (POSINDO) PT Inhutani I (31,733) Jumlah Kerugian 10 BUMN 6.382.907 Jumlah Kerugian BUMN Rugi 6.622.046 % kerugian 10 BUMN terhadap total kerugian BUMN 96.39% Catatan: */ = Prognosa Ministry of SOE’s 13 Sumber Kementrian BUMN 2006 Dari data pada tabel 5.6 diatas, tampak bahwa dari 139 BUMN, sebanyak 10 BUMN rugi dengan total kerugian Rp. 6.382.907. PT. Perusahan Listrik Negara (PLN) merupakan BUMN yang memberikan kontribusi rugi paling besar yaitu Rp.4.4,920,594 juta (77%), dan yang kedua adalah PT Garuda Indonesi (GIA) memberikan kontribusi rugi Rp 4,920,594 juta (8.8%) Penyebab kerugian BUMN pada dasarnya adalah karena beberapa aspek pokok yaitu : (1) Operasional yang tidak efisien; (2) Daya saing yang rendah; (3) Aset yang sudah tidak produktif; (4) Beban utang yang tinggi, Selain ke empat faktor penyebab kerugian tersebut, beberapa penyebab lainnya diantaranya adalah bahwa BUMN sudah tidak mempunyai kemampuan untuk mengembangkan usahanya karena keterbatasan modal kerja sehingga kerugian yang dialami terus bertambah besar dari tahun ke tahun. Namun upaya revitalisasi BUMN rugi akan diarahkan pada penyelesaian keempat permasalahan pokok tersebut. Salah satu langkah yang telah ditempuh untuk mengatasi kekurangan modal kerja adalah melalui penambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) pada BUMN. Penambahan PMN tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan secara tepat oleh BUMN sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi upaya penyehatan BUMN yang bersangkutan. 43 Pada tahun 2006 , Pemerintah telah berkomitmen untuk memberikan tambahan PMN pada beberapa BUMN dengan nilai Rp 1.955 M yaitu : • • • • • • • • • • • • PT Kertas Kraft Aceh PT Merpati Nusantara Airlines PT Garuda Indonesia PT Kertas Leces PT Kereta Api PT Pusri (PT Pupuk Iskandar Muda) PT Kliring Berjangka Indonesia PT Perikanan Nusantara PT Dirgantara Indonesia Perum PPD PT Semen Kupang dan PT Sang Hyang Seri 3.9 Membangun Good Corporate Governance di BUMN Kajian yang telah dilakukan oleh International Corporate Governance, Core Principles and Best Practice, Private Sektor Development Departemen, The World Bank Groups (1998) menunjukkan bahwa lemahnya implementasi corporate governance merupakan pemicu krisis yang melanda Asia sejak pertengahan 1997. Kelemahan tersebut terlihat dari minimnya pelaporan kinerja keuangan dan kewajiban kewajiban kredit perusahaan. Kurangnya pengawasan terhadap aktivitas manajemen oleh komisaris dan auditor serta kurangnya insentif eksternal untuk mendorong terciptanya efisiensi di perusahaan atas dasar persaingan (competitiveness). Fenomena di Indonesia mengisyaratkan bahwa penerapan corporate governance di BUMN belum melembaga. Barangkali hal ini disebabkan karena masih ada komisaris BUMN yang diangkat pemerintah sebagai wakil pemegang saham. Hal ini mengakibatkan BUMN tidak dapat menunjukkan fungsinya sebagai pengawas dan penasehat jalannya perusahaan. Lemahnya peranan board of commissioner maupun board of director, tentunya adalah motivasi dan produktivitas dari seluruh jajaran manajemen di bawahnya akan ikut terganggu, sehingga berbagai inisiatif ataupun kreativitas dalam pengelolaan organisasi akan cenderung stagnan. Membangun GCG barangkali bisa kita analogikan dengan penciptaan visi. Untuk membangun GCG tidak mungkin hanya dengan retorika atau slogan semata-mata.Untuk mencapai kinerja yang optimal, BUMN memang perlu menerapkan corporate governnace yang baik, dan ketetapan itu barangkali bisa diawali dengan penegasan ulang fungsi, wewenang dan tanggung jawab direksi, komisaris beserta seluruh jajaran manajemen dan komponen perusahaan lainnya. Kejelasan mengenai fungsi, wewenang dan tanggung jawab, diharapkan akan tercipta suatu struktur perusahaan yang sehat, manajemen yang solid serta kinerja yang terukur. Melalui fondasi semacam ini, maka good corporate governance akan lebih mudah diimplementasikan, dalam moril dan etika bisnis seluruh komponen organisasi perusahaan. Dalam kondisi perekonomian yang belum pulih, di mana tumpuan harapan pemerintah pada BUMN masih cukup besar, maka tidak ada alasan lain kecuali membangun sebuah sistem dan 44 struktur BUMN yang mendukung terciptanya perusahaan berkelas dunia dan kompetitif di pasar global. Efisiensi berkeadilan merupakan landasan etika good corporate governance yang amat menekankan transparansi, ketika negara atau pemerintah melakukan upaya=upaya pengalihan aset produktif. Program kerja yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara BUMN dalam rangka penerapan GCG di BUMN terdiri dari: (1) Sosialisasi, yaitu memberikan pemahaman dan pengenalan mengenai penerapan GCG di BUMN dengan tujuan mempersiapkan BUMN dalam rangka pelaksanaan dan penerapan GCG. (2) Assessment, yaitu mengindentifikasikan pelaksanaan GCG di BUMN dengan tujuan mengevaluasi pelaksanaan dan penerapan GCG di BUMN. (3) Review, yaitu mengevaluasi pelaksanaan GCG di BUMN dengan tujuan untuk memberikan gambaran kepada publik pelaksanaan dan penerapan GCG di BUMN. Secara ringkas dapat dilihat pada tabel 3.8 dibawah ini Tabel 3.8 Program kerja Penerapan Good Corporate Governance (GCG) di BUMN No Kegiatan 2004 2005 Jum lah Keterangan 1 Sosialisasi 55 57 112 Sisa 46 BUMN (termasuk minoritas) dilakukan 2006 2 Assessment 43 38 81 Proses penyelesaian 3 Review 24 25 49 Proses penyelesaian Sumber : Kementrian BUMN 2006 45 BAB IV PRIVATISASI BUMN 4.1 Kebijakan Privatisasi Pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undangundang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, berdampak terhadap peningkatan semangat otonomi daerah berupa keinginan beberapa Pemerintah Daerah untuk ikut serta dalam pengelolaan, kepemilikan atau bagian pendapatan dari Badan Usaha yang beroperasi di wilayahnya. Menghadapi tuntutan atau aspirasi beberapa Pemerintah Daerah tersebut, Pemerintah selaku Pemegang Saham BUMN pada prinsipnya menerapkan “kebijaksanaan korporasi" yang lazim berlaku yaitu penentuan pengelolaan atau manajemen perusahaan dan pembagian pendapatan hanya dapat dilakukan berdasarkan skema kepemilikan saham. Dengan kata lain, keterlibatan pihak-pihak lain, termasuk Pemerintah Daerah dalam mengelola Badan Usaha melalui wakil-wakilnya dalam manajemen/Direksi dan pembagian pendapatan atau laba Badan Usaha dimungkinkan apabila pihakpihak tersebut memiliki sebagian saham pada Badan Usaha yang bersangkutan. Reformasi Pengelolaan Badan Usaha dimaksudkan untuk merubah paradigma para pengelola Badan Usaha agar berperilaku lebih terbuka, tanggap terhadap perubahan dan menyadari perlunya proses pembelajaran. Strategi reformasi bisnis Badan Usaha dilakukan melalui 4 (empat) kegiatan yaitu : a) Reformasi Budaya meliputi penanaman budaya kerja keras, rasa malu, peduli dan memiliki rasa ingin tahu, berkeinginan untuk maju, tidak berperilaku otoriter, memiliki rasa syukur dan keterbukaan dalam pengelolaan Badan Usaha. b) Reformasi Manajemen meliputi peningkatan kinerja dengan berbasis pada sistem manajemen modern, penerapan sistem reward and punishment serta peningkatan profesionalisme manajemen. c) Reformasi Strategi meliputi peningkatan nilai perusahaan, fokus pada usaha pokok atau core business, peningkatan pendapatan dan market share (untuk unit bisnis driving market) dan cost leadership (untuk unit bisnis market driven). d) Reformasi Pengelolaan Usaha meliputi penyederhanaan organisasi dan struktur usaha sejenis, penciptaan struktur organisasi yang flat tetapi efektif atau kaya fungsi dan hemat struktur. Kebijakan privatisasi diletakkan dalam konteks pemulihan kehidupan ekonomi secara nasional dan upaya menyehatkan perusahaan-perusahaan milik negara. Titik berat kebijakan berkaitan erat dengan upaya mewujudkan good corporate governance pada konteks etika bisnis. Dengan melakukan privatisasi, selain memunculkan perilaku yang sadar biaya, juga menumbuhkan pengawasan publik (public scrutiny), terutama bagi perusahaan yang menjual saham lewat pasar modal. Pasar modal menempatkan prinsip disclosure dan fairness sebagai persyaratan utama bagi perusahaan publik, sehingga privatisasi melalui pasar modal diharapkan dapat mendorong penyelenggaraan praktik good corporate governance. Sebagai Badan Usaha, BUMN mempunyai stake holder yang lebih banyak dibandingkan Badan Usaha lainnya. Kepentingan dan harapan setiap stakeholder seringkali berbeda-beda bahkan ada yang bertolak belakang. Kondisi semacam ini menyebabkan setiap kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah selaku Pemegang Saham BUMN seringkali tidak efektif, bahkan ditentang oleh stake holder yang lain, misalnya yang menyangkut program privatisasi BUMN. Mengingat privatisasi BUMN merupakan salah satu program penting 46 yang perlu didukung oleh seluruh stakeholder, penyamaan visi dan persepsi tentang privatisasi merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan kebijakan privatisasi BUMN. Penyamaan visi dan persepsi tersebut akan dicapai melalui pelaksanaan program sosialisasi privatisasi. Terdapat 5 (lima) kebijakan yang diterapkan pada Badan Usaha yaitu: 1) Peningkatan Shareholder Value Kebijaksanaan peningkatan nilai perusahaan ditujukan untuk memenuhi keinginan para stakeholder terutama Pemegang Saham. Ada 3 (tiga) ukuran nilai yang digunakan yaitu tingkat pengembalian modal (Return On Capital Employed), Earning Before Tax and Depreciation (EBITDA) dan Deviden. Peningkatan ketiga ukuran nilai tersebut diupayakan melalui peningkatan pendapatan usaha dan atau penurunan biaya melalui cost cutting dan cost reduction. 2) Efektif Manajemen. Memberikan kewenangan yang lebih luas kepada manajemen Badan Usaha serta secara bertahap mengurangi campur tangan Pemerintah. Dengan kebijakan tersebut diharapkan manajemen dapat lebih luwes dan aktif dalam mengelola bisnis Badan Usaha serta tidak hanya melaporkan rencana kerja maupun hasil kinerjanya kepada Pemegang Saham saja, namun juga disosialisasikan kepada seluruh unit termasuk karyawan Badan Usaha yang bersangkutan. Dengan kebijakan tersebut diharapkan agar setiap keputusan, baik yang diambil oleh Pemegang Saham maupun manajemen dapat dipahami dan didukung oleh karyawan, sehingga karyawan turut bertanggung jawab terhadap kemajuan perusahaan. 3) Peningkatan Operasi, Pelayanan dan Pendapatan Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada manajemen untuk meningkatkan operasi, pelayanan dan pendapatan (revenue, service and operation enhancement) baik melalui pengembangan strategi lini bisnis yang telah ada maupun diversifikasi usaha dengan cara kerjasama antara sesama Badan Usaha maupun dengan Koperasi/UKM serta pihak swasta. Hal ini dimaksudkan agar manajemen mempunyai fleksibilitas dan kemandirian dalam pengelolaan bisnis perusahaan. 4) Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Sistem pengadaan barang dan jasa (procurement system) oleh Badan Usaha merupakan salah satu proses yang perlu disempurnakan. Kebijakan yang akan diambil adalah menerapkan sistem pengadaan barang dan jasa Badan Usaha melalui e-procurement, sehingga transparansi proses penentuan vendor atau supplier dapat dilakukan secara terbuka sehingga dapat meminimalkan biaya transaksi. 5) Restrukturisasi dan Privatisasi a) Restrukturisasi Sebagaimana mandat yang diberikan oleh MPR, pemerintah berkewajiban untuk menyehatkan Badan Usaha, terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan umum. Upaya penyehatan Badan Usaha ini dapat dilaksanakan melalui restrukturisasi agar perusahaan dapat beroperasi secara lebih efisien, transparan dan profesional sehingga Badan Usaha-Badan Usaha ini dapat memberikan produk/layanan terbaik dengan harga yang kompetitif kepada konsumen, serta memberikan deviden dan pajak kepada negara. Sebelum melaksanakan restrukturisasi, pemerintah akan mempertimbangkan biaya dan manfaat dari restrukturisasi tersebut. Restrukturisasi dapat meliputi : a.1. Restrukturisasi sektor usaha, terutama ditujukan kepada sektor-sektor yang mendapat proteksi di masa lalu atau terdapat monopoli alamiah. Restrukturisasi sektoral dimaksudkan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, sehingga terjadi kompetisi yang sehat, efisiensi dan 47 pelayanan yang optimal. Restrukturisasi tersebut dipusatkan pada pembenahan regulasi, terutama di bidang infrastruktur, antara lain sektor telekomunikasi, listrik, jalan tol dan pupuk. a.2. Restrukturisasi perusahaan, dengan tiga kategori : a.2.1. peningkatan intensitas persaingan usaha, terutama di sektor–sektor di mana terdapat monopoli baik yang diregulasi maupun alamiah. a.2.2 a.2.3 peningkatan hubungan antara perusahaan dengan pemerintah, termasuk penerapan prinsip-prinsip good corporate governance dan restrukturisasi kewajiban layanan publik. restrukturisasi internal. Sebuah perusahaan/sektor industri dapat direstrukturisasi sebelum diprivatisasi apabila : 1)Perusahaan/sektor industri yang bersangkutan memiliki potensi untuk membentuk keuntungan kompetitif yang berkesinambungan, seperti industri telekomunikasi dan energi. 2) Perusahaan sedang dan berpotensi untuk menjadi perusahaan yang penting di dalam sektor strategis dalam ekonomi nasional. 3)Perusahaan/sektor industri berada dalam situasi krisis yang memerlukan tindakan segera dari pemerintah setelah menilai bahwa tindakan tersebut tidak dapat ditangani oleh investor baru. Kemungkinan untuk menambah nilai secara signifikan. Sebelum dilakukan privatisasi, Pemerintah melakukan restrukturissi untuk penyehatan BUMN. Hal ini dilakukan bagi beberapa BUMN terutama yang tengah dipersiapkan untuk privatisasi , yang termasuk dalam kriteria : a. Pemilikan saham Pemerintah minoritas. b. Bergerak dalam bidang usaha yang kompetitif. c. Menghasilkan produk dengan basis teknologi yang cepat usang. Salah satu tujuan yang ingin dicapai melalui privatisasi adalah memberikan kontribusi finansial kepada negara dan Badan Usaha, mempercepat penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance, membuka akses ke pasar internasional dan alih teknologi serta transfer best practice kepada Badan Usaha. Arah kebijakan privatisasi diklasifikasikan berdasarkan 3 (tiga) jenis sruktur industri yaitu : (1) untuk Badan Usaha yang industrinya kompetitif dilakukan Initial Public Offering (IPO) atau strategic sales, (2) untuk Badan Usaha yang industrinya sudah sunset dilakukan divestasi dan (3) untuk Badan Usaha yang usahanya bersifat natural resources base tetap dipertahankan sebagai Badan Usaha. Kriteria-kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi Badan Usaha yang termasuk dalam kelompok privatisasi jalur cepat (fast track privatization) dan privatisasi jangka menengah (medium term privatization) adalah dengan mengetahui : (1) Apakah Badan Usaha tersebut mempunyai peran yang penting dalam menyediakan barang dan jasa publik atau bergerak di bidang pertahanan dan keamanan atau memiliki aset yang strategis (2) Apakah Badan Usaha tersebut bergerak di sektor yang telah kompetitif, atau pemerintah berperan sebagai pemegang saham minoritas (3) Apakah Badan Usaha memiliki kewajiban menyediakan layanan publik (PSOs) 48 Kandidat yang paling tepat untuk segera diprivatisasi fast track privatization adalah bagi Badan Usaha yang memiliki ukuran kecil sampai sedang dengan karakteristik bisnisnya sudah kompetitif namun sunset. Sementara medium term privatization adalah bagi Badan Usaha-Badan Usaha di luar sektor yang kompetitif , dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk diprivatisasi. Sebagai contoh, restrukturisasi terhadap Badan Usaha yang diwajibkan memberikan layanan publik harus dilakukan melalui komersialisasi layanan tersebut dan menentukan subsidi yang harus disediakan oleh Pemerintah. Segera setelah restrukturisasi tersebut dilaksanakan, maka privatisasi dapat dilaksanakan. Untuk jangka waktu tertentu, Pemerintah mendapat mandat melalui GBHN untuk sementara waktu mempertahankan Badan Usaha-Badan Usaha yang bergerak di dalam bidang infrastruktur publik, industri pertahananan dan keamanan serta yang mengelola aset strategis. Kajian-kajian untuk mengidentifikasi langkah-langkah pengaturan yang diperlukan untuk memprivatisasi perusahaanperusahaan tersebut masih menjadi topik yang menarik. 4.2 Paradigma Privatisasi BUMN Paradigma pengelolaan BUMN mengalami pergeseran dari waktu ke waktu, seiring dengan perubahan kebutuhan, tuntutan, dan kondisi obyektif pada masing-masing era.Fenomena ini menarik, karena bisa menandai adanya pergeseran cara pandang terhadap keberadaan dan pengelolaan BUMN. Pergeseran paradigma dan reposisi privatisasi BUMN mengacu ke kebijakan yang ada. Di zaman Presiden Soeharto, untuk pertama kalinya BUMN menjalani program privatisasi, atau dijual sebagian sahamnya di pasar modal, yang dimulai dengan divestasi saham Semen Gresik di bursa lokal pada Juli 1991. Di era ini pula tercatat sejarah masuknya BUMN ke pasar modal internasional melalui dual listing, yakni di luar negeri (New York dan London) serta dalam negeri (Jakarta dan Surabaya). Selanjutnya menyusul dua BUMN Telekomunikasi yaitu 1) PT.Indosat (Oktober 1994) dan 2)PT. Telkom (November 1995). Kemudian diikuti perusahaan Antam (Aneka Tambang) go public di Indonesia dan Australia (1997). Sebagaimana diungkapkan pada Studi A. Tony Prasetiantono (2005) , bahwa penjualan saham Telkom di New York dan London mengalami rintangan yang cukup terjal. Selain karena faktor waktu (timing) yang kurang tepat, juga karena pada tahun itu ada 19 perusahaan Telekomunikasi kelas dunia yang juga menjual sahamnya, termasuk Deutsche Telekom, Telstra dan Telefonica. Di era Presiden Habibie, ketika keuangan negara sedang terganggu, program privatisasi menuai kontroversi hebat tatkala pemerintah menjual 14 persen saham Semen Gresik kepada investor strategis Cemex (Meksiko), pada September 1998. Selanjutnya, kontroversi juga berulang ketika pemerintahan Presiden Megawati menjual 42 persen saham Indosat kepada investor strategis STT (Singapore Technologies Telemedia), pada akhir tahun 2002. Pada periode ini (1998-2003), paradigma privatisasi lebih dimaknai sebagai upaya untuk mendapatkan dana untuk membantu APBN, yang sedang tertekan berat. Selanjutnya paradigma bergeser. Setelah sempat jeda dari hiruk pikuk privatisasi BUMN di sepanjang tahun 2005, pada tahun 2006 Kantor Menteri Negara BUMN kembali mencantumkan privatisasi sebagai salah satu agendanya. Namun, jika tahun 2005 program privatisasi ditargetkan menghasilkan Rp3,5 triliun untuk membantu penerimaan pemerintah tetapi realisasinya diputuskan menjadi nihil, maka tahun 2006 hanya ditargetkan Rp1 triliun, yang kemudian direvisi lagi menjadi Rp3 triliun. Sebaliknya, target penerimaan negara dari dividen BUMN melonjak luar biasa menjadi Rp 23,2 triliun dari posisi realisasi Rp12,7 triliun pada 2005 (Tempo, 30 Januari 2006). Paradigma badan usaha milik negara (BUMN) mengalami perubahan dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di masa krisis perekonomian, BUMN diarahkan untuk diprivatisasi, atau sahamnya dijual kepada swasta baik dengan strategi IPO (initial public offering) melalui bursa saham maupun strategi private placement kepada investor strategis agar hasilnya dapat membantu pemerintah mengurangi beban defisit anggaran (budget deficit). Paradigma ini pada 49 dasarnya sejalan dengan resep generik yang ditawarkan oleh IMF, Bank Dunia dan para ekonom Amerika Serikat yang merekomendasikan Washington Consensus (Williamson, 1994). Pelajaran terpenting dari kasus-kasus ini adalah, privatisasi dengan metode strategic partner kepada investor asing amat rawan menyulut resistensi, karena sulitnya menjamin transparansi dalam prosesnya, serta adanya semangat nasionalisme (nationalist sentiment) dari sebagian masyarakat. Sebaliknya, privatisasi melalui metode IPO di bursa efek, nyaris tidak menghadapi resistensi, sebagaimana diikhtisarkan pada studi A. Tony Prasetiantono (2005) pada Tabel 4.1 dibawah ini Tabel 4.1 Privatisasi BUMN Terpenting di Indonesia, 1991–2003 PT Semen Gresik, Tbk Tahu n Privat isasi 1991 PT Indosat, Tbk 1995 IPO, internasional Tak kontroversi ada PT Telkom, Tbk 1995 IPO, internasional Tak kontroversi ada PT Timah, Tbk 1995 IPO Tak kontroversi ada PT Bank BNI, Tbk 1996 IPO Tak kontroversi ada PT Antam, Tbk 1997 IPO, internasional Tak kontroversi ada PT Semen Gresik, Tbk 1998 Strategic sale (Cemex) Kontroversial Nama BUMN PT Indosat, Tbk 2002 Metode Hasil IPO Tak kontroversi ada Strategic sale (STT, cucu perusahaan Temasek, Kontroversial BUMN Singapura) IPO Kelebihan permintaan (Oversubscribed) 2003 PT Bank Mandiri, Tbk PT Bank BRI, Tbk 2003 IPO Oversubscribed PT Perusahaan Gas Negara (PGN), Tbk 2003 IPO Oversubscribed Sumber: A. Tony Prasetiantono, The Political Economy of Privatization of State-owned Enterprises in Indonesia (unpublished Ph.D. dissertation, Australian National University, Canberra, 2005). 50 Kini di era Kabinet Indonesia Bersatu, paradigma ini kembali mengalami pergeseran. Privatisasi tetap dianggap penting untuk mendorong tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), tetapi harus dilakukan secara perlahan-lahan. Jika iklim investasi sedang tidak memungkinkan sebagaimana pengalaman tahun 2005, privatisasi tidak usah dipaksakan. Paradigma baru dalam melakukan privatisasi BUMN, dimana sebelumnya hasil privatisasi BUMN seluruhnya digunakan untuk membiayai defisit APBN, sejak tahun 2007 sebagian hasil privatisasi BUMN dikembalikan untuk program penyehatan BUMN. Konsep privatisasi neto direncanakan untuk diterapkan dalam system APBN sejak APBN 2007. 4.3 Pelaksanaan Privatisasi BUMN Pada masa lalu, sering terjadi salah paham terhadap privatiasasi yang digambarkan sebagai suatu bentuk penjualan aset bangsa dan negara kepada pihak lain terutama masyarakat asing. Hal ini disebabkan masih belum tersosialisasikannya privatisasi dan seluk beluknya secara luas kepada seluruh masyarakat. Di lain pihak belum adanya peraturan yang secara khusus (selain UU Nomor 19 Tahun 2003) mengatur tentang privatisasi BUMN membuat pelaksanaan privatisasi masih belum memiliki arah yang jelas. Dengan telah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan, proses privatisasi BUMN telah memiliki standar baku yang harus diterapkan sehingga pelaksanaan privatisasi BUMN diharapkan akan lebih terarah. Pada masa yang akan datang, privatisasi BUMN akan lebih diarahkan pada penerbitan saham baru guna memperkuat struktur permodalan perusahaan sehingga memberikan keleluasaan yang lebih bagi perusahaan untuk melakukan ekspansi usaha. Kondisi yang terbaik adalah semua pihak yang terlibat dapat memahami proses privatisasi dari tahap awal sampai dengan tahap terakhir. Meskipun langkah-langkah untuk melaksanakan privatisasi telah disusun oleh pemerintah, namun demikian privatisasi bukanlah suatu proses yang sederhana, tetapi merupakan suatu proses yang cukup kompleks. Untuk privatisasi, ada tiga elemen penting yang harus dicemati. Pertama , timing. Karena timing akan mempengaruhi pricing, sebagi elemen kedua. Ketiga ,adalah target size, atau besaran yang hendak kita capai dalam privatisasi. Initial Public Offering (IPO) adalah upaya untuk mendapatkan best price, dimana tolok ukurnya adalah benhmarking. Pemerintah telah melakukan privatisasi BUMN sejak tahun 1991. Perlu digarisbawahi bahwa kebijakan privatisasi bukan sekedar merupakan pengalihan aset negara kepada swasta semata dan juga tidak sekedar menutup defisit APBN. Akan tetapi, lebih dari itu, privatisasi BUMN merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya program reformasi BUMN untuk mencapai kinerja yang lebih baik. Privatisasi BUMN juga diarahkan sebagai instrumen pemerataan kesejahteraan rakyat melalui kepemilikan saham di BUMN. Mengingat begitu pentingnya peranan privatisasi BUMN, maka kesuksesan program tersebut harus mendapat prioritas utama. Sehubungan dengan itu, kebijakan privatisasi BUMN dilakukan secara hati-hati dengan tetap mengedepankan kepentingan masyarakat dan berpegang pada prinsip-prinsip kompetitif, transparan, auditable, dan dilakukan dengan mempertimbangkan size, timing, dan price yang tepat agar diperoleh hasil yang optimal. Ada beberapa cara yang bisa ditempuh dalam melakukan privatisasi, seperti menawarkan saham ke publik (initial public offering/IPO), penjualan kepada mitra strategis (strategic sale), dan pembelian oleh manajemen dan pegawai (employee management buy out/EMBO). Untuk perusahaan negara yang masih dimiliki 100% sahamnya oleh pemerintah, pelepasan dapat dilakukan de-ngan melepaskan sebagian (1%-49%), menjual sebagian saham beserta kontrol 51 manajemen (1%-49%) dan mayoritas kursi dewan direksi/komisaris, menjual mayoritas tetapi memiliki blocking share (51%-65%), menjual mayoritas (66%-99%) tetapi memiliki golden share, dan menjual seluruhnya (100%). Tujuan privatisasi jelas yakni memperluas kepemilikan masyarakat atas perusahaan negara, meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan, menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang kuat, membuat struktur industri yang sehat dan kompetitif, menciptakan perusahaan yang berdaya saing dan berorientasi global, dan menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar. Yang juga perlu diperhatikan dalam pelepasan aset negara adalah strategi divestasi. Strategi divestasi tersebut dilakukan dengan cara, pertama, mapping aset negara yang akan didivestasi dengan memperhatikan filosofi dari penguasaan aset negara. Kedua, menentukan mekanisme dan waktu pelepasan aset sesuai dengan mapping aset dan kebutuhan pemerintah. Ketiga, melakukan restrukturisasi atas aset yang belum siap dijual sebelum didivestasi untuk mendapatkan nilai yang optimal. Di Indonesia, pada dasarnya kegiatan privatisasi menyangkut dua hal : divestasi dan non divestasi. Privatisasi dalam bentuk divestasi ditandai dengan pemindahtanganan pemilikan pemerintah sebagian atau keseluruhan, kepada swasta. Aplikasinya dapat dilakukan dengan go publik melalui pasar modal atau private placement dengan menempatkan secara langsung saham BUMN kepada strategic investor atau perusahaan swasta lainnya. Sementara privatisasi yang lain adalah non divestasi, dimana pada dasarnya tidak disertai dengan pengalihan aset atau saham pemerintah kepada swasta tetapi lebih merupakan suatu pembenahan internal organization, baik melalui pembenahan langsung manajemen BUMN yang bersangkutan atau melalui pembenahan lingkungan kerja BUMN. Privatisasi bentuk ini sering disebut dengan privatisasi manajemen atau korporatisasi (Ruru B, 1998). Menurut Kementrian BUMN, pelaksanaan privatisasi di Indonesia secara umum meliputi empat metode privatisasi sebagai berikut : A. Public Offering Initial Public Offering (IPO) merupakan penjualan saham perusahaan melalui pasar modal. Penjualan saham BUMN melalui IPO dinilai memiliki beberapa kelebihan. Di antaranya, terjaganya transparansi dalam transaksi serta cenderung lebih mampu menghindari konsentrasi kepemilikan saham pada investor tertentu sehingga metode ini dapat memperlebar jangkauan kepemilikan. Namun, metode ini juga mempunyai kelemahan karena metode ini tidak mudah diimplikasikan karena mempertimbangkan kondisi market share di Indonesia, terutama berkaitan dengan daya serap pasar modal. Apalagi pasar modal tidak mampu menyerap jumlah saham yang ditawarkan, harga yang diperoleh rendah. Sebagian besar dari BUMN di Indonesia di privatisasi dengan cara ini, antara lain, PT. Semen Gresik Tbk (1991, PT. Indosat.Tbk (1994), PT Telkom,Tbk (1995), PT Tambang Timah Tbk (1995), PT. BNI Tbk (1996), PT Aneka Tambang Tbk (1997), PT. Kimia Farma Tbk (2001), PT. Indofarma Tbk (2001), PT.Tambang Batubara Bukit Asam Tbk (2002) , PT Bank Mandiri (2003),PT.BRI (2003) dan PT PGN (2003), dan PT.Adhi Karya (2004). Privatisasi melalui pasar modal memang paling trnsparan. Namun privatisasi melalui pasar modal tidak selalu menguntungkan dibandingkan melalui private placement atau mitra strategis. Privatisasi melalui pasar modal hanya memberikan injeksi kapital kepada perusahaan, tidak lebih. Sementara privatsasi melalui mitra strategis selain memberikan injeksi juga membawa kapital,teknologi, management competence, akses pasar dan akses modal, dan jaringan bisnis global. B.Private sales 52 Metode ini dibagi dalam 2 kelompok, yang meliputi metode pertama, adalah metode Trade sales atau disebut juga metode Strategic sales (SS) dan metode kedua adalah metode private placement. Metode Strategic Sales/ Trade Sales merupakan penjualan saham kepada mitra strategis yang operasinya sama, dengan alasan alasan tertentu. Umumnya, alasan yang digunakan pemerintah adalah harga yang ditawarkan investor biasanya lebih tinggi daripada harga pasar. Selain itu, adanya komitmen investor (dalam bentuk kontrak tertulis) untuk mengembangkan perusahaan, baik dari sisi alih teknologi, perluasan jaringan pemasaran, maupun pendanaan untuk investasi. Namun, berdasarkan hasil studi dari berbagai negara, menunjukkan bahwa privatisasi dengan metode partner strategis ini akan menimbulkan resistensi dan kepentingan (vested interests) di dalam dan luar perusahaan . Resistensi akan menjadi lebih besar lagi ketika sebagian besar partner strategis yang membeli saham BUMN adalah investor asing. Kelemahan, metode strategic sales dianggap kurang transparan dalam proses seleksi investor dan tidak memberikan kesempatan bagi masyarakat luas untuk membeli saham. Pemerintah beberapa waktu lalu , lebih mengutamakan pola mitra stategis dibandingkan dengan penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) dalam melakukan privatisasi . BUMN yang dijual dengan cara tersebut, antara lain, PT. Semen Gresik Tbk (1998), PT. Pelindo II & III (1999),PT Socfindo (2001), PT WNI (2002), dan PT Indosat (2002), dan PT. Indocement TBK (2003). Metode kedua, adalah metode private placement untuk kelompok yang berasal dari investor institusi, investor kelompok individual atau dari konsorsium. BUMN yang di privatisasi dengan cara private placement adalah PT. Telkom Tbk (1999 ; 2001, 2002), PT. Indosat (2002), PT. Bank Mandiri Tbk (2004). C. Management buy-out Employee and management buy out (EMBO) merupakan penjualan saham kepada karyawan dan manajemen perusahaan dimana metode ini memberikan kesempatan kepada manajer dan karyawan untuk memiliki saham perusahaan , sehingga dapat mengawasi aset aset perusahaan. Tujuan penjualan saham BUMN dengan cara ini, antara lain, memberikan nilai tambah bagi perusahaan dengan pengoptimalan kemampuan sumber daya manusia serta loyalitas karyawan. Program tersebut umumnya diterapkan untuk perusahaan perusahaan yang peran SDMnya tinggi. Perusahaan yang melakukan program EMBO pada pada awal 2004, yaitu perusahaan kontraktor PT Pembangunan Perumahan dan PT Adhi Karya D. Concession Metode ini meliputi Joint Operations, dimana sektor swasta memberikan kontrak kerja untuk mengambil alih langkah langkah perusahaan. Privatisasi yang sering dilakukan di Indonesia adalah dengan metode 1, 2, dan 3. Sedangkan metode 4 (Concession, masih dalam kajian) Di Indonesia, privatisasi BUMN signifikan terjadi di awal dekade 1990an, misalnya privatisasi terhadap beberapa persero yaitu PT Semen Gresik Tbk, PT INDOSAT Tbk, PT Tambang Timah Tbk, PT TELKOM Tbk, BNI dan PT Aneka Tambang Tbk. Pada tabel 4.2 dibawah ini ditunjukkan bahwa pada periode perusahaan yang diprivatisasi dengan komposisi : 1991-2004 terdapat 28 1. 46 % (13 BUMN) menggunakan metode IPO 2. 29 % (8 BUMN) menggunakan metode Strategic Sales 53 3. 18 % (5 BUMN) menggunakan metode Placement 4. 7 % (2 BUMN) dengan metode EMBO (Employ Manajemen Buy Out). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel dibawah ini TABEL 4.2 : Privatisasi BUMN di Indonesia tahun 1991-2004 Tahun BUMN 1991 PT. Semen SMG Gresik Tbk R 1994 PT INDOSAT Tbk ISAT PT. Tambang Timah Tbk TINS 1995 1996 1997 1998 1999 PT. Telkom TLK Tbk M PT BNI Tbk PT Aneka Tambang Tbk PT. Semen Gresik Tbk PT Pelindo II PT Pelindo III PT Telkom Tbk PT.Kimia Farma Tbk 2001 PT. Indofarma Tbk PT. Socfindo PT.Telkom Tbk 2002 Kode BBNI % Yang Dijual Sektor Industri 27* Dasar & Kimia 8 Sektor Infrastruktur, 10* utilitas & 25 transportasi Industri Sektor pertambangan 25 10* Sektor Infrastruktur, 10* utilitas & 13 transportasi Sektor 25* Keuangan ANT M Sektor pertambangan SMG R Sektor Industri 14 Dasar & Kimia 35* INAF PT Indosat ISAT Tbk IPO IPO IPO IPO IPO SS SS 51*** * SS Sektor Industri Barang 9,2* Konsumsi Sektor Industri Barang 19,8* Konsumsi 30 TLK M IPO 49*** 9,62 KAEF Met ode Sektor Infrastruktur, 11,9 utilitas & transportasi Sektor 8,06 Infrastruktur, 41,94 Place ment IPO IPO SS Place ment Place ment 54 PT Telkom TLK Tbk M PT Tambang Batubara PTBA Bukit Asam Tbk PT WNI PT Bank BMRI Mandiri Tbk PT. Indocemen INTP t TP Tbk 2003 PT BRI Tbk BBRI PT PGN Tbk PGA S PT Pembangun an Perumahan PT Adhi ADHI Karya 2004 PT Bank BMRI Mandiri Tbk PT Tambang Batubara PTBA Bukit Asam Tbk utilitas & transportasi Sektor Infrastruktur, 3,1 utilitas & transportasi Sektor pertambangan Sektor Keuangam Sektor Pertambangan Place ment 15 1,26* IPO 41,99 SS 20 IPO Sektor Industri 16,67 Dasar & Kimia Sektor Keuangan Sektor Infrastruktur, utilitas & transportasi Sektor Properti & Real Estate dan Konstruksi Bangunan Sektor Properti & Real Estate dan Konstruksi Bangunan Sektor Keuangan SS SS 30 15* IPO 20 19* IPO 49 EMB O 24,5 24,5* EMB O IPO 10 Place ment 12,5 SO Sumber : Kementrian BUMN Keterangan : * : Dari saham baru ** : Termasuk dana rekap Bank *** : Saham yang dijual adalah saham PT JICT, anak perusahaan PT PelindoII **** : Saham yang dijual adalah saham PT TPS, anak perusahaan PT Pelindo III SS : Strategic Sales IPO : Initial Public Offering 55 P : Placement EMBO : Employee Management Buy Out Tabel diatas menunjukkan bahwa IPO/ Initial Public Offering menjadi metode dominan yang dipilih pemerintah dalam melakukan privatisasi. Hal ini dilakukan karena keuntungan privatisasi melalui pasar modal adalah sifat transparansi dan meratanya kesempatan semua pihak untuk ikut memiliki saham BUMN, termasuk investor internasional. Hasil Program privatisasi yang sudah berjalan sejauh ini menunjukkan hasil. Dari laporan keuangan BUMN dari beberapa periode terlihat ada perbaikan kinerja dalam hal pendapatan (sales), laba, maupun ekuitas. Jumlah perusahaan negara yang sehat juga meningkat dari tahun ke tahun. Kontribusi BUMN terhadap APBN juga meningkat dalam hal pembayaran pajak, dividen, proceeds privatisasi, dan pengembalian rekening dana investasi (RDI). Selain itu privatisasi mempunyai tujuan memberikan pelayanan yang lebih baik dan menciptakan struktur industri yang lebih sehat. Pada tabel 4.3 ditunjukkan pada periode 2003 jumlah BUMN yang telah diprivatisasi terutama yang mayoritas sahamnya dikuasai swasta dibandingkan dengan kondisi sebelum privatisasi, umumnya labanya menjadi lebih baik dan ditinjau dari rata rata beberapa indikator kesehatan perusahaan mengalami perubahan seperti PT. TELKOM Tbk, PT. Bank BNI Tbk , PT. Bank Mandiri Tbk, PT Pelindo II, dan PT. Gas Negara Tbk. TABEL 4.3. BUMN DENGAN LABA TERBESAR 2003 Laba Bersih (Rp) 1 Telkom Tbk 6,1 triliun 2 Bank Mandiri Tbk 4,6 miliar 3 Pertamina *) 1,1 miliar 4 Bank BRI Tbk 2,5 miliar 5 Bank BNI Tbk 829,1 miliar 6 Pupuk Sriwidjaya 747.401 miliar 7 Jamsostek 535.2 miliar 8 Perusahaan Gas 519.4miliar Negara Tbk 9 Pelabuhan Indonesia 496.5 miliar II 10 ASKES 313.1 miliar Total Laba 10 BUMN 17.7 triliun Total Laba Seluruh BUMN 25.6 triliun Sumber Kementrian BUMN No Nama BUMN Presentase Rugi 58,5% 6,8% 6,3% 2,5% 2,13% 1,9% 1,8% 1,6% 1,5% 1,3% 84,4% 100% Ket *) Prognosa Walaupun banyak BUMN pasca privatisasi yang meningkat labanya, namun ada juga BUMN pasca privatisasi mengalami kerugian. Sebagaimana ditunjukkan pada tabel 4.4 dibawah ini : TABEL 4.4 .BUMN DENGAN RUGI TERBESAR 2003 No Nama BUMN 1 2 PLN Perusahaan Indonesia PELNI PANN Multi Finance 3 4 Rugi Bersih (Rp) (3.5 triliun) Perdagangan (418.2 miliar) (382,4 miliar) (152.2 miliar) Presentase Rugi 58,5% 6,8% 6,3% 2,5% 56 5 Indofarma Tbk 6 Industri Sandang Nusantara 7 Kertas Kraft Aceh 8 PTPN II 9 Inhutani I 10 RS Cipto Mangunkusumo*) Total Rugi 10 BUMN Total Rugi Seluruh BUMN Sumber Kementrian BUMN (129.6 miliar) (114.7 miliar) (108.4 miliar) (96.2 miliar) (90.9 miliar) (81.2 miliar) (5.1 triliun) (6,1 triliun) 2,13% 1,9% 1,8% 1,6% 1,5% 1,3% 84,4% 100% Ket *) Prognosa Tabel diatas menunjukkan BUMN dengan rugi terbesar pada tahun 2003 sejumlah 10 BUMN dengan total kerugian Rp 5.1 triliun atau 84,4% dari total rugi seluruh BUMN. Kerugian terbesar adalah PT PLN (58%) , sedangkan BUMN yang diprivatisasi, namun mengalami kerugian adalah PT. Indofarma Tbk Dari fenomena privatisasi BUMN di Indonesia yang telah ditunjukkan pada tabel di atas dapat disimpulkan beberapa perusahaan memperoleh keuntungan sedangkan beberapa lainnya mengalami kerugian. Oleh karena itu perlu diteliti faktor faktor apa yang menyebabkan perusahaan yang di privatisasi dapat menciptakan nilai dan tidak menciptakan nilai. 57 STUDI EMPIRIK EFEKTIVITAS ASET BUMN PASCA PRIVATISASI Pendahuluan Peningkatan kinerja keuangan perusahaan merupakan salah satu motivasi perusahaan melakukan privatisasi. Kondisi BUMN pada era tahun 1990-an menunjukkan bahwa nilai aset yang dimiliki BUMN peningkatannya tidak diikuti dengan peningkatan laba yang berarti, bahkan pada tahun 1991 dan 1992 menurun . Menurut Baswir (1998), kenyataan itu menunjukkan bahwa perbandingan kondisi kesehatan BUMN lebih banyak ditempuh dengan cara mengucurkan dana segar kepada masing-masing BUMN tersebut. Daya saing BUMN di Indonesia di tingkat regional mengalami penurunan (Djalil S, 2007). Dikemukakan bahwa kemampuan bersaing merosot karena rendahnya kemampuan sumberdaya manusia. Kenyataan itu tentu amat memprihatinkan. Terlebih kebanyakan BUMN sebagai lembaga usaha, kiprahnya sudah sangat lama. Bahkan, sejumlah BUMN sudah berkibar sejak zaman penjajahan Belanda. Setiap BUMN memiliki sejarah panjang dalam perjalanan perusahaannya. Memperhatikan kondisi BUMN yang seperti itu dan realitas ekonomi global yang bersifat kompetitif, pemerintah telah berupaya untuk membenahi BUMN untuk meningkatkan kinerjanya. Berkenaan dengan maksud tersebut pemerintah telah melakukan reformasi BUMN dalam bentuk privatisasi. Fenomena privatisasi BUMN di Indonesia memperlihatkan bahwa beberapa perusahaan setelah melakukan privatisasi menunjukkan adanya perbedaan hasil. Fenomena ini mendorong penulis untuk meneliti efektivitas aset perusahaan BUMN yang melakukan privatisasi. Perumusan Masalah Merujuk pada fenomena bisnis yang ada di Indonesia perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana efektivitas aset perusahaan BUMN yang melakukan privatisasi ? 58 Tujuan Penelitian Bertitik tolak kepada permasalahan yang dihadapi maka tujuan dalam penelitain ini adalah untuk menguji efektivitas aset melalui perbandingan antara tingkat penjualan dengan aset perusahaan sebelum dan sesudah privatisasi. Manfaat Penelitian 1. Memberi sumbangan terhadap pengembangan ilmu dan pengetahuan dalam mengevaluasi analisis rasio privatisasi. 2. Dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan tentang tingkat efektivitas aset privatisasi BUMN di Indonesia Perkembangan Penelitian Terdahulu Terdapat temuan yang menunjukkan perusahaan yang melakukan privatisasi akan menjadi lebih profitable, dapat menaikkan capital investment spending, juga dapat menaikkan labor productivity, dan akan menerima subsidi yang lebih sedikit( Megginson and Netter ,1998) . Sementara terdapat hasil temuan yang berbeda “tidak adanya dampak privatisasi dalam meningkatkan kinerja ”(Megginson and Netter ,1998). Hal ini didukung oleh peneliti Konings (1997) dengan sample 334 perusahaan di Romania, Bulgaria and Hungary mengungkapkan bahwa “Tidak ada perbedaan yang signifikan pada laju pertumbuhan perusahaan swasta dan perusahaan negara yang diprivatisasi . Hasil yang sama di Russia, oleh Earle and Eastrin (1997) menemukan bahwa “tidak ada perbedaan secara siknifikan kinerja antara perusahaan di perusahaan milik negara dengan perusahaan swasta. Djankov (1999) menunjukkan juga bahwa tidak ada perbedaan yang siknifikan di aktivitas restrukturisasi antara perusahaan milik negara dan perusahaan yang telah diprivatisasi dalam hal ini samplenya adalah 6 negara. Sedangkan Anderson dan Murrel (2000) meneliti beberapa kasus privatisasi di Mongolia menemukan bahwa kinerja perusahaan negara lebih baik dibandingkan perusahaan yang diprivatisasi. Disebutkan bahwa kepemilikan negara biasanya dihubungkan dengan produktivitas yang tinggi secara sinifikan dibandingkan kepemilikan swasta. 59 Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kinerja perusahaan swasta lebih baik dibanding perusahaan sejenis milik pemerintah, dan program privatisasi di sejumlah Negara menunjukkan hasil yang cukup memuaskan (Megginson dan Netter, 2001; Kikeri, Nellis dan Shirley, 1994) . Meski demikian cukup banyak didapati kasus-kasus pengecualian seperti efisiensi yang tinggi dari perusahaan-perusahaan baja di Korea Selatan dan Taiwan, perusahaan listrik di Perancis , maskapai penerbangan di Ethiopia, sejumlah perusahaan Negara di Singapura, perusahaan pupuk di Indonesia (Kikeri, Nellis dan Shirley, 1994: 242-243, Vickers dan Yarrow , 1991).Setelah melakukan analisis mendalam tentang tarik menarik (trade-offs) antara kepemilikan pemerintah dan swasta terhadap tingkat efisiensi , Laffont dan Tirole (dalam Megginson dan Netter , 2001 : 328 ) mencatat , “ theory alone is thus unlikely to be conclusive in this respect”. Sejumlah peneliti lain menunjukkan bahwa faktor persaingan pasar lebih menentukan kinerja dibandingkan dengan faktor kepemilikan (Vickers dan Yarrow, 1991). Studi di banyak Negara secara universal menyimpulkan bahwa efisiensi perusahaan swasta lebih baik daripada BUMN. Dalam kasus Indonesia , peneliti I Ketut Mardjana (1995) juga menyimpulkan hal yang sama bahwa perusahaan –perusahaan swasta di bidang transportasi (bus) di Jakarta dan perhotelan bintang lima di Nusa Dua, Bali, terbukti mengungguli BUMN yang bergerak di bidang yang sama. Beberapa penelitian empirik mendukung perdebatan pendapat tentang privatisasi bahwa kepemilikan insider (kepemilikan manajerial) dapat efektif dalam hubungannya karena kuatnya governance (Gibbs, 1993; Morck et al, 1988; Zahra,1996). Menurut Jensen ,1986; Oswald & Jahera,1991; Phan & Hill,1995 kepemilikan insider dapat efisien karena adanya eksternal governance yang kuat dan karena adanya mekanisme debt yang efektif. Adanya dampak struktur kepemilikan terhadap company governance dan performanc telah ditemukan oleh peneliti Tatiana Andreyeva, yang memberikan bukti untuk kinerja perusahaan Ukraine dapat diperbaiki dengan ownership. Dikemukakan bahwa setiap metoda privatisasi ada trade off antara pencapaian social equity dan tujuan efisiensi ekonomi. Hasil penelitian yang berbeda oleh Berle and Means menunjukkan adanya dampak negatif dari penyebaran susunan struktur kepemilikan terhadap kinerja perusahaan. Pernyataan yang relevan pada peningkatan efisiensi perusahaan , dalam hal ini merupakan kemampuan untuk menciptakan efektivitas ekonomi dari corporate governance. Banyak Penelitian terdahulu yang hanya menekankan pada dampak tipe & konsentrasi kepemilkan pada kinerja perusahaan di Negara maju, namun masih sedikit yang dilakukan di negara berkembang. Perusahaan yang baru di privatisasi pada umumnya mempunyai keperluan yang kritis untuk modal keuangan , teknikal dan kapabilitas managerial (Klaus Uhlenbruck, 2000). Hal ini didukung pendapat Zahra, (2000) berdasarkan penelitian di Eropa Tengah dan Timur (Central dan Eastern Europe /CEE), bahwa manager yang hanya mempunyai pengalaman kerja di perusahaan pemerintah (SOEs), tidak mungkin efektif dalam mengelola perusahaan yang berorientasi pasar. Hal ini disebabkan karena , keterbatasan keahlihan manajerial dalam mengembangkan sumberdayanya di perusahaan privatisasi BUMN. 60 Manajemen yang efektif penting bagi perusahaan untuk mengembangkan sumberdaya baru dan “strategic flexibility “ perusahaan. (Hitt et al, 1998; Penrose, 1959; Teece et al ,1997). Integrasi dari “sumberdaya baru “ dan “ sumberdaya lama “ untuk memanfaatkan peluang pasar, memerlukan keahlihan general manajemen, namun secara umum keahliahan general manajemen di perusahaan pemerintah terbatas. (Pearce,1991; Puffer et al, 1994). Oleh karena manajer yang sebelumnya hanya berpengalaman di BUMN seyogyanya ditingkatkan pengetahuan dan kapabilitasnya melalui pelatihan pelatihan manajemen. Dengan program program pelatihan ini dapat membantu para manajer dalam meningkatkan pengetahuan mereka. Peneliti terdahulu lebih menekankan pada dampak privatisasi pada penciptaaan kemakmuran , dengan analisis makro dengan menggunakan teori keuangan (Miller,1995 ;Rammamurti,1992). Sedangkan pada penelitian Fahy J/Hooley G/Beracs J/Fontara K/Gabrijan V tentang dampak privatisasi di Eropa Tengah lebih menekankan pada peningkatan efisiensi dalam hal ini keuntungan penghematan biaya, namun tidak dijelaskan proses kegiatan kegiatan yang menyebabkan terjadinya penurunan biaya. Hanya dijelaskan bahwa perbedaan privatisasi melalui investor asing lebih mempengaruhi pada transfer tangible resource sedangkan privatisasi melalui investor domestik mempengaruhi transfer intangible resource. Jadi disini belum dibahas dampak privatisasi dalam memainkan peranannya dalam meningkatkan daya saingnya yang tercermin dalam mengoptimalkan aset yang ada. Oleh karena itu penulis ingin mencari kontribusi pada pemahaman peranan privatisasi dalam mengoptimalkan aset perusahaan yang mempunyai nilai daya saing yang tinggi. Perubahan perubahan ini diperlukan untuk peningkatan kinerja perusahaan. Hal ini bermakna bahwa privatisasi mempunyai potensi untuk meningkatkan kinerja. Sementara hasil yang sama dilakukan peneliti Schwodiauer (2000) di study Ukrainian, Akimova dan juga menunjukkan bahwa konsentrasi kepemilikan outside mempunyai pengaruh positif yang siknifikan pada performance perusahaan. Didukung oleh penelitian Andrew& Dowling (1998) , Megginson et al (1994), bahwa privatisasi dapat meningkatkan kinerja keuangan perusahaan . Demikian juga Qian Sun and Wilson H.S.Tong (2002), melakukan comprehensive study privatisasi yang pertama di Malaysia., untuk membandingkan kinerja financial dan operating dari sampel 24 perusahaan sebelum dan sesudah privatisasi selama periode 1983 – 1997. Dari 24 perusahaan yang diprivatisasi via public listing pada Malaysian exchange sebagai “shares issued to privatize“ companies (SIP). Ukuran peningkatan privatisasi termasuk profitability, output level, dividend payout dan penurunan leverage. Mereka juga mengobservasi hubungan antara ownership dan corporate governance seperti perubahan kinerja. Mereka menemukan hasil bahwa, sesudah privatisasi, SIP firm dan dividend payout meningkat. Sedangkan leveragenya terjadi pengurangan secara signifikan. Termotivasi oleh Shleifer dan Vishny (1997) dan La Porta, Lopez de Dilanes, Shleifer and Vishny (1998, 1999, 2000), mereka juga menguji beberapa variabel yang berhubungan pada mekanisme corporate governance, mencari penjelasan “explanation” observasi perubahan kinerja. Hasilnya ditemukan bahwa kehadiran lembaga investor dan para direktur mempunyai pengaruh 61 yang positif pada kinerja perusahaan. Frydman et al (1999) menganalisis 218 sampel dari perusahaan manufaktur yang ukurannya sedang di Czech Republic, Hungary and Poland, dan memandang bahwa hanya kepemilikan “outsider “ yang dapat mengakibatkan efficiency. Frydman 1997 ; Meggison 1994, Pohl 1997, Lopez de Silane and la Porta, Szyrmer 1998, juga melakukan penelitian empiric tentang privatisasi SOEs (State Owned Enterprise). Di Ukraine, konsentrasi insider dalam kepemilikan perusahaan mempunyai kinerja yang paling baik. Berdasarkan penelitian terdahulu terdapat berbagai hasil temuan tentang hubungan privatisasi dan kinerja , sebagaimana disajikan pada tabel berikut ini : TABEL 1 STUDI EMPIRIK HUBUNGAN PRIVATISASI DAN KINERJA Author Akimova and Schwodiauer (2000) Hub antara Privatisasi dan Kinerja Non significant positive Remarkable Comments Performance is improved by concentrated outsider ownership. Competition also matters for performance Boubakri and Cosset (1998) Significant Positive Samples from 79 firm in 21 developing countries D’Souza and Megginson (1999) Significant positive 85 companies from 13 developing and 15 industrialized countries Eckel, Eckel and Singal (1997) Fyydman Positive After British Airways, stock prices of U.S rivals and air fair fell down Differences in cost performance come from politization of state ownership Significant positive Megginson, Nash, Netter, and Schwartz (2000) Parker (1999)` Positive Parker and Hartley (1991) Not Clear No Sampel 33 countries during 19811991 Privatization had to impact on technical efficiency Privatizaton does not guarantee improved performance Sedangkan untuk memahami konsep yang dapat menjelaskan peranan privatisasi terhadap kinerja dapat ditunjukkan pada tabel berikut ini 62 Tabel 2. Konsep Privatisasi Konsep Optimalisasi Aset Kompetitif Penulis Jones & Mygind,2000 Megginson, Nash and Van Randenborg h (1994) Doh.J 2000 Fahy,2000 Keterangan Privatisasi dapat meningkatkan efisiensi. Privatisasi mengarah ke efisiensi ketika terjadi transfer control dari pemerintah ke swasta. Privatisasi dapat meningkatkan kompetitif perusahaaan Privatisasi merupakan strategi dalam meraih keunggulan bersaing perusahaan secara berkelanjutan METODE Penelitian Kuantitatif Jenis penelitian ini bersifat penelitian deskriptif. Penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu untuk memberikan penjelasan fenomena empiris tentang efektivitas aset BUMN yang telah diprivatisasi di Indonesia. Penelitian deskriptif penting dilakukan untuk mengarahkan berbagai kebijakan manajemen yang berkaitan dengan pengambilan keputusan. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi pada penelitian ini meliputi seluruh perusahaan BUMN yang di privatisasi di Indonesia. Metode pemilihan sampel yang digunakan dengan purposive sampling. Sampel penelitian haruslah memenuhi dua kriteria, yaitu pertama, BUMN yang diteliti merupakan perusahaan dengan ukuran aset besar, kedua BUMN yang akan diteliti harus memiliki informasi keuangan paling tidak untuk dua tahun sebelum privatisasi dan dua tahun setelah privatisasi. Jumlah sampel penelitian adalah 5 perusahaan, yakni perusahaan PT. Semen Gresik, PT.Telkom, PT. Indosat, PT. Tambang Timah dan PT. Aneka Tambang 63 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang bersumber dari laporan keuangan perusahaan, profil dan prospektus perusahaan serta data pendukung dari Kementrian BUMN Indonesia, dan Biro Pusat Statistik . Pengumpulan data Proses penelitian ini diawali dengan kegiatan penelitian pendahuluan yang dilakukan dengan studi literatur untuk mencari justifikasi permasalahan penelitian. Justifikasi permasalahan penelitian dapat dilakukan dengan melakukan studi literatur di perpustakaan ataupun melakukan analisis terhadap data sekunder. Dalam studi awal telah dilakukan peninjauan lapangan untuk memperoleh data sekunder yang dapat dipakai sebagai referensi dukungan penjelasan kondisi perusahaan. Teknik Analisis Data Sebelum menganalisis efektifitas aset BUMN dengan analisis rasio keuangan, dilakukan analisis statistik deskriptif gambaran umum BUMN yang telah di privatisasi di Indonesia. Untuk menganalisis efektivitas aset privatisasi BUMN di Indonesia, penelitian ini menggunakan metode sebagaimana yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yaitu metode Megginson, Nash dan Randenforgh (1994).Penilaian perusahaan dimulai dari perhitungan nilai rasio keuangan berdasar laporan keuangan per Desember dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah melakukan privatisasi . Periode analisis meliputi tahun-tahun sebelum dan sesudah privatisasi. Tahap berikutnya adalah menentukan mean dengan cara menjumlah hasil perhitungan rasio dan membagi dengan jumlah tahun yang diteliti. Untuk mengukur efektivitas aset perusahaan dalam penelitian ini menggunakan indikatorindikator rasio aset dalam kontribusinya terhadap penjualan (Sales/Total Asset, Sales/Fixed Assets, dan Sales/Current Assets). Berdasarkan data indikator-indikator dua tahun sebelum privatisasi dan dua tahun setelah privatisasi, didapatkan rata-rata sebelum dan setelah privatisasi masing masing indikator untuk tiap BUMN. Dengan menggunakan uji statistik Z non-parametrik Wilcoxon peringkat-bertanda (nonparametric Wilcoxon signed-rank test) diperoleh signifikansi selisih rata-rata indikator BUMN setelah dan sebelum privatisasi (apakah terdapat perbedaan yang sesungguhnya antara sebelum dan sesudah privatisasi dengan melihat besarnya perbedaan & arah perbedaan). 64 Hasil Dan Pembahasan Profil Perusahaan Privatisasi BUMN dilakukan sejak tahun 1991 dan sebagian besar BUMN yang diprivatisasi merupakan perusahan yang berukuran besar dan sudah beroperasi lama. Selain sektornya berbeda beda, juga sebagian besar mempunyai banyak anak perusahaan dengan kultur yang sangat beragam. Disamping waktu yang berbeda-beda dalam melakukan privatisasi, ada beberapa perusahaan BUMN yang diprivatisasi lebih dari satu kali karena pemerintah melepas kepemilikannya melalui beberapa tahap. Pelaksanaan privatisasi dapat diidentifiaksi dalam beberpapa tahap diantaranya : Tahap 1 : 1991-1997. Tahap ini dimulai dengan tiga kebijakan utana : • • • Penjualan perusahaan industri milik negara seperti PT. Semen Gresik, PT Indosat, PT Telkom,PT Tambang Timah, PT BNI dan PT Aneka Tambang; Penggunaan model penjualan saham lewat pasar modal (IPO) Pelaksanaan penjualan saham yang dilaksanakan oleh departemen keuangan sebagai departemen pembina BUMN Tahap 2 : 1997-1999 Periode ini merupakan pelaksanaan privatisasi yang ditandai dengan : • • Penjualan beberpa BUMN strategis melalui private placement, seperti penjualan Terminal Peti kemas, anak perusahaan PT Pelabuhan Indonesia I, PT Pelabuhan Indonesia II, PT Pelabuhan Indonesia III, dan PT Semen Gresik. Penjulan saham lewat prosedur selling block atas PT Telkom Pada tahap ini pemerintah berhasil menjual 4 BUMN yaitu PT Semen Gresik, PT Pelindo II, PT Pelindo III, dan PT Telkom Tahap 3 : 1999-Sekarang Tahap ini ditandai dengan adanya pergantian pemerintah dari kabinet reformasi ke kabinet Persatuan nasional. Menurut Anwari (2000) , kabinet ini belum benar benar serius membelokkan tujuan privatisasi ke arah efisiensi aset-aset BUMN, optimalisasi peran sumber daya manusia, dan belum berhasil melakukan transformasi kepemimpinan BUMN dengan mangacu pada landasan baru perekonomian masyarakat serta belum juga mampu menjadikan BUMN sebagai lokomotif pemanfaatan seluruh sumber daya ekonomi domestik. 65 Analisis Rasio Keuangan Analisis ini dilakukan untuk pembahasan yang lebih menekankan pada aspek evaluasi. Alat yang digunakan adalah rasio keuangan. Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh jawaban mengenai efektivitas aset BUMN yang di privatisasi, apakah efektivitasnya semakin baik atau semakin buruk. Untuk memperoleh jawaban tersebut maka dilakukan perhitungan rasio berdasar kriteria-kriteria yang ingin dicapai. Proses pemilihan rasio-rasio dalam penelitian ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Megginson, Nash, dan Randenborgh (1994) Hasil perhitungan rasio keuangan BUMN ditunjukkan pada tabel berikut ini : Tabel 3 Perkembangan Rasio Efektivitas Aset BUMN Sebelum dan Sesudah Privatisasi S/TA Sebelum Privatisasi Sesudah Privatisasi BUMN Th 2 (t-2) 65 100 33,3 Th 1 (t+1) 19 52 29 Th 2 (t+2) 23 43 30 Ratarata 21 47,5 29,5 72 60 66 52 46,4 Ratarata 49 98,5 33,7 5 85,6 89,7 87,6 5 57 50 53,5 64,4 8 Sebelum Privatisasi 49,2 42,6 4 Sesudah Privatisasi SGRE Th 2 (t-2) 142 Th 1 (t-1) 196 Th 1 (t+1) 153 ISAT TLKM TIMH 285 55,3 362 265 48,1 315 SGRE ISAT TLKM TIMH ANTM Ratarata S/FA BUMN ANTM Ratarata S/CA Th 1 (t-1) 33 97 34,2 Ratarata 169 275 51,7 338, 8 72 66 69 180, 7 Sebelum Privatisasi Th 2 (t+2) 202 Ratarata 177, 5 204 158 181 37 36 36,5 232 187 209, 5 100 88 94 139, 7 Sesudah Privatisasi Selisih Rt2 stlh-sblm (28) (51) (4,25) (21,65) (21,84) Selisih Rt2 stlhsblm 8,5 (94) (15,2) (129,3) 25 (41) Selisih Rt2 stlhsblm 66 BUMN Th 2 (t-2) Tn 1 (t-1) Ratarata Th1 (t+1) Th 2 (t+2) Ratarata SGRE 176 41 43 105 74 (34.5) ISAT 213 234 90 105 97,5 (126) TLKM 207 228 219 263 241 22,95 TIMH 140 139 127 118 362 296 144 127 122, 5 135, 5 134, 1 (17,25) ANTM 108, 5 223, 5 218, 5 139, 75 329 Rata203, rata 85 Sumber : Data yang diolah (193,5) (69,75) Dari hasil analisis efektivitas aset diperoleh perbandingan dan perubahan rata-rata untuk rasio Sales/Total Asset (S/TA), Sales/Fixed Asset (S/FA) dan Sales /Current Asset (S/CA) untuk periode 2 tahun sebelum dan 2 tahun sesudah privatisasi (IPO). Hasil perbandingan rasio S/TA untuk 2 tahun sebelum dan sesudah IPO terlihat adanya penurunan rasio hampir untuk semua BUMN. Penurunan yang paling besar terjadi pada PT Indosat (51%) . Hasil analisis rasio S/FA menunjukkan hasil yang hampir sama dengan rasio S/TA kecuali pada PT Aneka Tambang yang mengalami kenaikan sebesar (25%) dan PT Semen Gresik sebesar (8.5%).Rasio S/CA menunjukkan kenaikan pada PT Telkom (22.95%), sedangkan lainnya mengalami penurunan. Hasil analisis rasio tersebut menunjukkan bahwa adanya penurunan efektivitas penggunaan aset dalam kontribusinya terhadap penjualan perusahaan yang dilakukan manajemen pada PT Indosat, PT. Tambang Timah. Sebaliknya ada hasil yang lain yang dialami oleh PT. Aneka Tambang PT. Semen Gresik. menunjukkan adanya peningkatan efektivitas penggunaan aset tetap dalam kontribusinya terhadap penjualan. Uji Statistik Z Wilcoxon Hasil perhitungan rasio keuangan yang dipakai untuk mengukur efektivitas aset BUMN, diuji dengan menggunakan uji statistika Z non-parametrik Wilcoxon peringkat-bertanda (non parametric Wilcoxon signed-rank test). Dari ketiga indikator hanya sales per total asset (S/TA) yang menurun secara signifikan setelah privatisasi. Sedangkan indikator sales/fixed asset dan sales/current asset terlihat menurun tapi tidak signifikan. Perhitungan rasio keuangan dengan sampel lima BUMN, baik sebelum maupun sesudah privatisasi disajikan dalam tabel berikut ini: 67 Tabel 4. Perubahan Indikator Efektivitas Aset BUMN Indonesia Pasca Privatisasi Indikator Jmlh Sampel Rata2 Sblm Priv Efektivitas S/TA 5 64,48 S/FA 5 180,7 S/CA 5 203,85 Sumber : Data yang di olah Rata2 Stelah Privatis asi 42,64 139,7 134,1 Selisih Rata2 stlh-sblm Uji Stat Z Wilcox on (21,84) (41) (69,75) -2.023* -0.944 -1.483 Perhitungan hasil analisis perubahan efektivitas berdasar rasio S/TA,S/FA dan S/CA , menunjukkan penurunan setelah privatisasi. Efektivitas aset perusahaan sangat dipengaruhi oleh kemampuan perusahaan dalam memperoleh penjualan dengan memanfaatkan aset seoptimal mungkin. Meskipun aset perusahaan semakin meningkat, tetapi jika kemampuan perusahaan untuk menghasilkan penjualan terus menurun, maka perusahaan tidak akan dapat mencapai efektivitas yang tinggi. Penemuan ini mendukung penelitian Meginson dkk, 1994 yang mengemukakan bahwa privatisasi akan berdampak pada penurunan efektifitas aset. Hasil ini bermakna bahwa bahwa aset BUMN masih banyak yang belum berkontribusi pada peningkatan laba sehingga tidak memilki kemampuan untuk berkompetisi pada persaingan bisnis dalam pasar domestik maupun global. Kompetisi pada dunia bisnis dalam era globalisasi menuntut BUMN agar dikelola efektif untuk meningkatkan kemampuan bersaing. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan pengelolaan sebagian besar BUMN tidak efektif sehingga mengalami kerugian, diantaranya banyak manajer yang hanya berorientasi dalam memperbesar aset, namun tidak diimbangi pimikiran kontribusinya pada peningkatan penjualan, hal ini dapat dilihat pada tabel 2 bahwa indikator efektivitas aset yang menurun setelah privatisasi dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas aset yang diukur dengan Sales/Total Aktiva setelah privatisasi menurun secara signifikan. Oleh karena itu diperlukan pembenahan BUMN agar dapat memberdayakan aset perusahaan sebagai sumber keunggulan dalam peningkatan posisi kompetitifnya. Keefektifan manajemen dalam meningkatkan kinerja ditentukan keunggulan daya saing. Sejalan dengan konsep yang dikemukakan Porter (1985) tentang hubungan kinerja perusahaan dan keunggulan daya saing. Demikian juga pandangan yang sama oleh peneliti Teece, Pisano, dan Shuen (1997) dan Rindova dan Kotha’s (2001) menemukan bahwa untuk memperoleh keunggulan daya saing faktor yang paling menentukan adalah efektivitas pengelolan aset strategis. 68 Hubungan daya saing dan kinerja, mendukung konsep yang dikemukakan Bharadwaj Sundar G, Varadarajan P Rajan dan Fahy John, (1993) yang menyatakan bahwa keunggulan daya saing perusahaan dapat diharapkan untuk meningkatkan kinerja. Sementara Fahy (2000) menemukan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara peningkatan kinerja perusahaan yang baru di privatisasi. Penelitian Andrews dan Dowling (1998) menemukan bahwa perusahaan privatisasi BUMN yang memperhatikan sumber daya ke arah peningkatan kompetitif memungkinkan kinerjanya menjadi lebih baik dibandingkan yang tidak melakukan perbaikan posisi kompetitifnya. Simpulan Secara keseluruhan dari lima BUMN yang diteliti yaitu (PT. Semen Gresik, PT Telkom, PT Indosat, PT Timah dan PT Antam) memiliki efektifitas aset yang kurang baik pasca privatisasi, dengan perincian sebagai berikut : Sales/Total Asset , Sales/Fixed Asset dan Sales/Current Asset menurun. Satu-satunya indikator efektivitas yang menurun secara signifikan pasca privatisasi adalah pada penurunan sales per total asset secara signifikan.Walaupun privatisasi meningkatkan jumlah asset yang ada namun belum mampu mendorong peningkatan penjualannya . Hasil penelitian ini memberikan penjelasan bahwa dengan melakukan privatisasi, pengelolaan aset perusahaan belum efektif dalam menghasilkan keuntungan. Ini berarti bahwa privatisasi belum mampu memacu kemampuan perusahaan dalam memperoleh penjualan dengan biaya serendah-rendahnya. Privatisasi belum mampu meningkatkan daya saing manajemen yang berkaitan dengan efektivitas aset. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dengan dilakukannya privatisasi, akan merubah misi perusahaan ke arah orientasi pasar. BUMN akan menjadi perusahaan baru, yang dituntut untuk dapat bersaing di lingkungan kompetitif. Dengan demikian perusahaan akan selalu berupaya meningkatkan pelayanan pelanggan dengan cara melakukan inovasi baru yang memerlukan investasi besar yang konsekuensinya biaya ini harus ditanggung oleh pelanggan. Perusahaan mengeluarkan biaya operasi yang sangat tinggi, baik yang berkaitan dengan pembelanjaan perusahaan maupun yang berkaitan dengan pengeluaran untuk investasi jangka panjang. Biaya yang dikeluarkan perusahaan khususnya digunakan untuk membiayai proyek pengembangan bisnis dan untuk diversifikasi usaha. Berkaitan dengan jumlah dana yang diinvestasikan untuk perluasan kapasitas produksi, pengembangan dan penyempurnaan infrastruktur, pembenahan jaringan pemasaran, dimana dalam jangka pendek belum dapat menghasilkan manfaat maupun keuntungan bagi pelanggan, karena mereka masih menanggung cost to customer yang sangat tinggi. Dalam jangka pendek, privatisasi belum mampu meningkatkan daya saing manajmen, atau dengan kata lain belum mampu meningkatkan efektivitas aset dalam menghasilkan penjualan dan keuntungan, tetapi dalam jangka panjang diharapkan mampu meningkatkan efektivitas aset. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan perbaikan internal manajemen terutama harus menjaga dan menata kembali efektivitas operasinya, khususnya pemanfaatan dan optimalisasi aset 69 yang masih menganggur, dan harus segera dilakukan pemanfaatan asetnya untuk mendukung operasional agar bermanfaat yang pada akhirnya dapat memperbaiki kinerja keuangan perusahaan . Hasil penelitian ini mendukung penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa setelah privatisasi, dalam jangka pendek perusahaan belum mampu meningkat kan efektivitas asetnya (Megginson, Nash dan Randenforgh ,1994). Privatisasi yang berkaitan dengan perluasan kepemilikan kepada publik justru mempengaruhi efektivitas manajemen. Hasil ini dapat membantu memberi penjelasan secara lebih baik tentang bagaimana kinerja keuangan perusahaan BUMN yang melakukan privatisasi.. Daya saing perusahaan privatisasi BUMN di Indonesia yang secara umum nilainya cenderung turun ditandai belum adanya kemampuan perusahaan dalam mengoptimalkan aset perusahaan, dimana rasio (S/TA, S/FA dan S/CA) cenderung menurun setelah privatisasi. Oleh karena itu BUMN privatisasi perlu melakukan perubahan dengan meningkatkan daya saing yang berdasar pengoptimalan aset agar dapat memberi peluang dalam memperbaiki posisi kompetitifnya, sehingga dapat meningkatkan kinerja keungan perusahaan secara berkelanjutan. 70 PENUTUP Perusahaan milik negara atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memainkan peran yang terus tumbuh berkembang dalam ekonomi negara-negara yang sedang berkembang. Dalam berbagai kasus, manajemen yang tidak berpengalaman dalam mengoperasikan bisnis cenderung tidak efisien sehingga tidak dapat memberikan kontribusi yang paling optimal baik bagi Negara maupun masyarakat luas. Untuk mendorong manajer –manajer BUMN agar beroperasi lebih efisien, pembenahan manajemen perlu dilakukan. Pengaturan manajemen adalah sebagai salah satu cara dalam rangka peningkatan efisiensi BUMN. Bentuk pengaturan manajemen yang dapat diterapkan adalah memberikan kontrol manajemen dan fungsi pengoperasian untuk menghasilkan operasi yang efektif dan menguntungkan. Diharapkan dengan adanya pengaturan manajemen melalui strategi privatisasi, yang melibatkan manajemen di tangan swasta akan terjadi peningkatan daya saing perusahaan melalui perluasan akses pendanaan, transfer teknologi manajemen modern dan pengetahuan metode produksi. Permasalahan BUMN akan dapat teratasi jika pengaturan manajemen dapat berjalan secara efektif. Permasalahan produktivitas dan kuslitas kerja dimungkinkan akan bisa ditingkatkan dengan adanya perubahan manajemen. Strategi privatisasi sebagai langkah dalam proses pemindahan kepemilikan dengan mengarahkan peningkatan peran sektor swasta untuk mengelola BUMN, sementara negara (pemerintah) sebagai fasilitator dan regulator yang memiliki kecenderungan untuk mengatur aktivitas ekonomi sesuai mekanisme pasar. Strategi privatisasi dilakukan dalam konteks pengelolaan BUMN karena beberapa alasan, antara lain efisiensi yang terkait usaha yang berhubungan dengan pengurangan beban pemerintah, perluasan kepemilikan aset perusahaan, akses pendanaan, pasar, teknologi, maupun peningkatan kapabilitas bersaing dalam pasar. Strategi dan metode privatisasi BUMN terus menerus mengalami perkembangan, dengan berbagai cara dalam penerapannya. Sementara tidak ada definisi privatisasi yang ditetapkan secara universal. Meski privatisasi tidak selalu melibatkan program transfer kepemillikan, dalam banyak hal, program privatisasi mengandung unsur transfer kepemilikan Proporsi kepemilikan bersama pemerintah-swasta mencirikan peran sektor swasta dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi privatisasi dalam meningkatkan kinerja apakah perusahaan akan dioperasikan pada jalur menuju orientasi profit atau tidak. Kepemilikan bersama, menempatkan tingkat kekuasaan pembuatan keputusan yang mempengaruhi perubahan-perubahan manajemen yang berhubungan dalam otonom para manajer dalam operasionalisasi BUMN. Otonomi tersebut biasanya meliputi kontrol pengoperasian efektif terhadap perusahaan. Manajemen dan manajer mempunyai komitmen sesuai tujuan utama untuk membentuk landasan kokoh dalam menerapkan prinsip-prinsip efisiensi dan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) . Pengaturan manajemen sering dianggap sebagai salah satu faktor yang krusial dalam mencapai tujuan perusahaan. Perubahan manajemen yang lebih memperhatikan insentif berdasarkan kinerja dapat menstimulus pengembangan ide ide yang inovatif untuk menunjukkan kinerja terbaik. Insentif yang bisa menggairahkan pengelola BUMN untuk bekerja keras adalah melalui mekanisme pasar modal. Ketika saham BUMN beredar di sana, maka semakin banyak pihak (stakeholders dan shareholders) yang akan mengawasi. Pemerintah sebagai 71 stakeholder mempunyai peranan yang besar dalam mengatur perusahaan negara untuk mengatasi perekonomian dan perbenturan kepentingan (interest) dalam penyediaan pelayanan publik Berpindahnya pengelolaan perusahaan dari sektor publik ke swasta diasumsikan sebagai salah satu cara untuk menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif. Strategi privatisasi dapat menjadi starting point bagi pengembangan perusahaan yang lebih inovatif dalam menciptakan persero yang berdaya saing dan berorientasi global Peningkatan daya saing BUMN melalui peningkatan efisiensi fasilitas produksi,efektivitas aset dan peningkatan kompetensi sumberdaya manusia diharapkan dapat memperbaiki posisi kompetitif BUMN yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerjanya. Profesionalisme dalam hal pengurusan dan pengawasan sangat diperlukan untuk mewujudkan BUMN yang memiliki keunggulan kompetitif, sehingga mampu bersaing dengan badan usaha swasta nasional maupun trans-nasional. Pelaksanaan strategi privatisasi tidak selalu berjalan mulus. Dalam realisasinya, ada berbagai macam hal hambatan yang merintanginya. Agar privatisasi dapat berhasil , dengan cara mengurangi rintangan terhadap adanya perubahan manajemen, seyogyanya kondisi keuangan dan sosial dimana privatisasi terjadi harus dipertimbangkan pada setiap tahap strategi. Perencanaan awal merupakan cara untuk mengatasi rintangan yang mengganggu tindakan tindakan yang memungkinkan menghambat tujuan utama dari privatisasi Adanya perencanaan yang baik merupakan kunci sukses bagi manajer dibidang apapun. Analisis keuangan suatu perusahaan dapat dijadikan alat untuk merencanakan usaha. Privatisasi merupakan suatu proses yang cukup kompleks, oleh karena itu keberhasilan perencanaan strategis untuk dapat diimplementasikan di lapangan perlu mempertimbangkan konsekuensi institusional. Pro dan kontra terhadap rencana penerapan kebijakan privatisasi memungkinkan adanya konflik yang harus disikapi dengan manajemen konflik yang dikelola secara tepat. Harapan yang terlampau cepat pada keberhasilan strategi privatisasi sering mengesampingkan faktor strategis dalam perwujudan good corporate governance di lingkungan BUMN. Struktur organisasi yang efektif dan penguatan peran pembinaan serta pengawasan diharapkan akan berdampak pada perbaikan kinerja. Walau tidak semua masalah yang ada di BUMN dapat diatasi dengan memperbaiki manajemen melalui strategi privatisasi namun manajemen efektif dapat membuat organisasi menjadi kompetitif sehingga dapat meningkatkan kinerja perusahaan. 72 DAFTAR PUSTAKA Abeng, T. 2003. “Badan Usaha Milik Negara: Privatisasi, Tantangan dan Harapan”. Konggres XV Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Batu Malang Alchian, A. and Demsetz, H. 1973, The Property Rights Paradigm, Journal of Economics History, 33, pp. 16-27. Bacelius Ruru,2002, “Privatisasi BUMN: Antara Kepentingan Pemerintah dan Publik”. Kementrian BUMN Indonesia Banaluddin, I. “The Performanse of Privatized SOEs In Malaysia” School Of Management Universiti Sains Malaysia Bastian Indra. 2002. ”Privatisasi di Indonesia”. Teori dan Implementasi. PPA-FE-UGM-Salemba Empat Baysinger,B.D.,Kosnik,R.D.,TurkmT.A. 1991. Effects of Board and Ownership Sturucture on Corporate R&D Strategy. Academy of Management Journal, Vol. 34. No. 1. 205-214. Beugre, C. D. “Post Privatization Performance of State Owned Enterprises In Emerging Economies”. A Transformational Leadership Framework Boardman, A., Eckel, C., and Vining, A. 1986, The advantages and disadvantages of mixed enterprises, Reseach in International Business and International Relations, Vol. 1, pp 221244. Boardman, A., and Vining, A. 1989, Ownership and performance in competitive environments: A comparison of the performance of private, mixed, and state-owned enterprises, Journal of Law and Economics, Vol. 31, pp. 1-33. Boubakri, N. 2001. “Liberalization ,Corporate Governance and the Performance of Newly Privatized Firms” 3rd Annual Fin,Mkt .Dev.Conference. Hong Kong Boycke , Maxim, Andrei Shleifer , and Rovert W. Vishny .1993, A theory of privatization, Working paper, Harvard University Brian McBeth, 1996, Privatization A Strategic Report , Published by Euromoney Publications in Association with Goldman Sachs, Printed in England by Clifford Press Ltd, Coventry Cho Chang-hyun, Privatization and Local Government Reform, “ dalam Occasional Papers and 73 Cook dan Kickpatrick (1988), Privatization in Less-Developed Countries: An Over-View. In P.Cook and C.KIckpatrick, editors, Privatization in Less Developed Countries,3-44, New York: St Martin’s Press. Cornelli, F., and David D.Li. 1997. “Large shareholders, private benefits of control, and optimal schemes of privatization” The Rand Journal of Economic. Cragg, M. I., & Dyck, I. I. 1999. Management control and privatization in the United Kingdom. Rand Journal of Economics, 30. 3-16. Cragg, M. I., & Dyck, I. I. 2000. Executive pay and UK privatization: The demise of “one country,two systems” Journal of Business Research. 47 3-16. D’Souza, J and Megginson, W. L. 1999. “The Financialsand Operating Performance of Privatized Firms during the 1990” The Journal of Finance Vol LIV No4. D’Souza, J. “Determinants of Performance Improvements in Privatized Firms : The Role of Restructuring and Corporate Governance”. AFA 2001 New Orleans D’Souza, J., & Megginson, W. L. 1999. The financial and operating performance of privatized firms during the 1990s. journal of Finance. 54: 1397-1438. Das, T. K., and Elango, B. 1995. ‘Managing Strategic Flexibility: Key to effective performance’. Journal of General Management, 20(3), 60-75. Debahis Pal & Mark D.White. 1998. “Mixed Oligopoly, Privatization, and Strategic Trade Policy”. Southern Economic Journal . 65 (2), 264-281 DeCastro J dan Uhlenbruck N (1993), The Privaization Process In Developing Countries: A Strategic Model from the Perspective of the Acquiring Firm, paper presented at the Academy of Management Annual Meeting, Atlanta. Georgia DeCastro, J., & Uhlenbruck, N. 1997. Characteristics of privatization: Evidence from developed, lessdeveloped, and former communist countries. Journal of International Business Studies, 28: 123-143. Demetra Smith Nihtingales, Nancy M. Pindus. 2003. “Privatization of Public Social Services”. A Background Paper, Urban Institute , De Silanes, F L. 1996. “Determinants of Privatization Prices”. National Bureau of Economic Research (NBER) Working Paper No. W5494, Dharwadkar Ravi, George G, Brandes P 2000. “Privatization in Emerging Economies”. An Agency Theory Perspective. Academy of Management Review,. Dieter Bos. “Privatization And Restucturing An Incomplete-Contract Approach” Journal of Financial Management And Analysis 74 Djankov, S. 1999. “Ownership structure and enterprise restructuring in six newly independent states. Comparative Economic Studies. 41(1):75-95 Djankov, S., and Pohl, G. 1998.’The restructuring of large firms in the Slovak Republic’. Economic Of Transition, 6, 1, 67-85. Ehrlich, I., Gallais-Hamonno, G., Liu, Z., and Lutter, R. 1994. Productivity growth and firm ownership: An analytical and empericaal investigation, The Journal of Political Eiser, J. R., Steven D., Reicher, and Podpadec, T. J. 1996, “Attitudes to Privatization of UK Public Utilities : Anticipating Industrial Practice and Environmental Effects”. Journal of Consumer Policy 19 : 193-208, Kluwer Academic Publishers, Printed in the Nertherlan’s Emmanuel S. Savas , Privatizing the Public Sector (Chatham, N.Y: Chatham House Publishers, 1982) Ericson, R. E. 1998. ‘Restructuring in transition: Conception and measurement’. Comparative Econoic Studies, 40, 2, 103-8. Errunza, Vihang R., And Mazumdar, Sumon C. 2000. “Privatization : A Theoretical Framwork”. JEL Classification :G38 Current Version. Estrin, S., and Rosevear, A. 2003. “Ownership Changes and Corporate Governance in Ukraine 19951999.” Problems and Perspectives of Management Fahy J,Hooley G, Beracs J, Fonfara K, & Gabrijan V. 2003. “Privatisation and Sustainable Competitive Advantage in the Emerging Economies of Central Europe”. Management International Review. Faisal H. Basri,2003, Privatisasi Versus Neo-Sosialisme Indonesia, pustaka LP3ES Indonesia Fama.E.F 1980 .“Agency Problem and the Theory of the Firm”. Journal of Political Economy,88 ;288307 Filatotchev, I., Wright, M., Buck, T., 7 dymonia, N. 1999a. Exporting and restructuring in privatized firms from Russia,Ukraine, and Belarus. Journal of Business Venturing, 22: 1013-1037. Frydman,R.,Gray,C.,Hessel,M.,Rapaczynski,A. 1997. Private Ownership And Corporate Performance: Some Lesson From Transition Economies. J E L Classification. George, G., and Prabhu,G. N. 2000, Developmental Financial Institutions As Catalysts Of Enterpreneurship In Emerging Economies, Academy Of Management Review, Vol. 25(3), No. 620-629. Ghozali, I dan Castellan J, 2002. Statistik Non-Parametrik, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Indonesia. Giovanni De Fraja. 1991. “Efficiency and Privatisation in Imperfectly Competitive Industries”. The Journal of Industrial Economics, Volume XXXIX , 75 Gursoy, G., and Aydogan, K. 1998. “Equity Ownership Structure, Risk-Taking and Performance: An Empirical Investigation in Turkish Companies. Faculty of Business Administration, Bilkent University, Ankara,Turkey. Hanke, Steve, 1987, Privatization and Development, California: ICS Haskel, J., & Sanchis, A. 1995. “Privatization And X-Inefficiency : A Bargaining Approach”. The Journal of Industrial Economic. Volume XLIII. Havrylyshyn dan MeGettigan (2000), Privatization in Transition Countries, Post Soviet Affair 16 pp 257-86 Hitt, M. A., Hamson, J. S., & Ireland, R. D. In press b. Creating value through mergers and acquisitions: A complete guide to successful M&As. New York: Oxford University Press. Hitt, M. A., Ireland. R. D., & Hoskisson, R. E. 1999a. Strategic Management: Competitiveness and Globalization (3rd ed.). Cincinati: South-Western Publishing. Hoskisson, R. E., Hitt, M. A., & Hill, C. W. L. 1993. Managerial incentives and investement in R&D in Large multiproduct firms. Organization Science, 4: 325-341. Hoskisson, R. E., Eden, L., Lau, C. M., and Wrigth, M. 2000. ‘Strategy in emerging economies’. Academy of Management Journal, 43, 249-267 Hutchinson (1991) ,Efficiency Gains Through Privatization of UK Industries. In A.F,Ott and K.Hartley, editors, Privatization and Economic Efficiency,87-107, Hants, U.K. Edward Elgar Jensen , M.C., and W.H. Mecling .1976. ‘ Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Cost and Ownership Structure.” Journal of Financial Economics, 3 ; 305-360 Johnson, G., Smith, S., and Colding, B. 2000. “Microprocess of Institutional Change in the Context of Privatization. Academy of Management Review, Vol. 25, No. 3, pp. 572-580. Jones, Leroy P., 1991. ‘Selling state-owned enterprises: a cost-benefit approach’, in Ramamurti and Vernon (eds): 29–53. Kantor Menteri Negara Pendayagunaan BUMN. 1998. “Master Plan Reformai BUMN”. Jakarta. Ken I.Kim, Anna Yelkina. 2003. “Privatization in Russia : Its Past , Present , and Future”. Sam Advanced Management Journal. Kikeri, S, J. Nellis dan M. Shirley .1994, ”Privatization : Lessons from Market Economies”, The World Bank Research Observer, Vol. 9,No.2, July, pp.241-72 Kogut, B. 1996. ‘Direct investment, experimentation, and corporate governance in transition economies’. In Frydman, R., Gray, C. W., and Rapaczynski, A. (Eds.), Corporate Governance in Central Europe and Russia, Vol. 1, London and Budapest: Central European University Press, 293-32. 76 Lavelle, J. P. PhD., & Krumwiede, D. W.Ph.D.,and Sheu, C.Ph.D. 2000. “A Privatization Model For Government Outsourcing”. Production and management Journal ,Second Quarter , Leibenstein, Harvey, 1966. ‘Allocative vs. X-efficiency’, American Economic Review, 56(3): 392–415. Lopez-de Silanes, Florencio, 1997 “ Determinants of Privatization Prices, Quart J. Econ 112, pp,9651025 Lopez-de Silanes, Florencio; Andrei Shleifer, and R.W Vishny 1997 “Privatization in the United States, Rand J Econ 28, pp 447-71 Makhija, M .2003. ”Comparing the Resource-Based and Market-Based Views of the Firm : Empirical Evidence from Czech Privatization”,Strategic Management Jurnal, Vol24,pp433-451 Mandel, B.R 2002, ”The Privatization of Everything”, New Politics, Vol.9, No.1, Summer. Marber, Peter, N. Alleviating Motion Sickness: Transportation Privatization Trends in Developing Countries, Journal of International Affairs, Winter 1997, 50, no ,2 Mardjana, I. K. 1995. “Ownership or Managemnet Problems? Case Study Of Three Indonesian State Enterprises”. Bulletin Indonesian Economic Studies Vol 31 No 1, pp 73-107 Marwah, M .Diah. 2003. ”Restrukturisasi BUMN Di Indonesia : Privatisasi atau Korporatisasi ?”. Literata Lintas Media, Mc Donald, K. R. (1993) Why Privatization is not Enough, Harvard Business Review, 71 (31), 49 -59 Megginson, William L., 2003 and 2004. Database of the worldwide’s privatization, University of Oklahoma, unpublished. Megginson, W., Nash, R., Netter, J., and Schwartz, A. 2000, The long run return to investor in share issue privatization, Financial Management, pp. 67-77. Megginson, W. L, Robert C. Nash, and Matthias Van Randenborgh . 1994 .The Financial and Operating Performance of Newly Privatized Firms : An International Empirical Analysis”. The Journal of Finance. Vol XLIX No.2. Megginson, W. L dan Netter Jeffry M, 2001, “From State to Market : A Survey of Empirical Studies on Privatization, Jurnal of Economic Literature Vol XXXIX (June 2001) pp.321-389 Megginson.W.L. 2000. Privatization (effect and management of sale of state owned enterprise). URL. http://www.findarticles.com. Spring, Meyer, K. E., Moller, I. B. 1998. Managing deep restructuring: Danish experiences in Eastern Germany. European Management Journal, 16, 4, 411-21. Meyer, K. E. 2004. “Stakeholder Influence and Radical Change : A Coordination Game Perspective”. Asia Pacific Journal of Management. 21,235-253, Milne, RS 1991, “Changing Direction of Research on Privatization in the ASEAN States: An Overview”, The Indonesian Quarterly, Vol XIX, No.4, pp. 344-362 77 Mok Henry M.K and Chau Sandy S.M. 2003. “Corporate Performance of Mixed Enterprises”. Journal of Busines Finance & Accounting, Munari, F. 2002. “The effects of privatization on corporate R & D units; evidence from Italy and France”. R &D Management. 32.3. Napier, N.K. (1989), Merger and Acquisitions, Human Resources and Outcomes : A Review and Suggested Typology, Journal of Management Studies, 26,271-289 Neillis, J. (1998). Time to Rethink Privatization in Transition Economies?. Discussion paper No. 38 Whasington, D. C. International Finance Cooperation. Nellis, John, and Sunita Kikeri , 1998, Public enterprise reform: Privatization and the World Bank , World Development, 659-672 Odgen, S., & Watson, R. 1999. Corporate performance and stakeholder Management: Balancing shareholder and costumer interest in U. K. privatized water industry. Academy Mangement Journal, 42: 526-538. O’Neill H M, Rondinelli and Wattanakul T. 2004. “Ownership and its Impact on Coping with Financial Crisis : Differences in State,-Mixed-, and Privately-Owned Enterprises in Thailand” Asia Pasific Journal of Management, 21,49-74 O’Neill, H., Rondinelli, D. and Wattanakul, T. 2000, Privatization and Organization Change: an exploratory study of defferences among stae-,mexed-,and privately-owned enterprises in Thailand, paper presented at the Annual Academy of Management Conference in Toronto. Osborne,D, dan T..Gaebler .1995, Reinventing Government (Mewirausahakan Birokrasi) Jakarta : PPM Osborne,David., dan Plastrik, Peter. 2004. Memangkas Birokrasi. PPM. Jakarta. Ozkaya, M., & Askari, H. 1999. Management of newly privatized companies: Its importance and how little we know. World Development. 27: 1097-1114. Owens, M, P. 1999. ”Bangkit dari Krisis Ekonomi : Restrukturasi, Privatisasi, dan Transparansi”. Seminar Tahunan Ekonomi ISEI Jaya. USIS ke -11 , Park, H 1998. “A Selective Privatization Model : A Valuable Lesson From Eastern European Countries, Multinational Business Review/Spring” . Parker dan Hartley (1991), Do Changes in Organizational Status Affect Financial Performance? Strategic Management Journal 12,631-641 Peltzman, Sam, Pricing, 1971, Pricing in Public and private Enterprises : Electric Utilities in the United States, Journal of Law and Economics , 14, April, 109-147 Poortvliet, William G., and Laine, Thomas P. 1997. “Privatization Reform of Social Security Pension Plans as a Global Trend Part II: Social Security Reform”. Journal of the American Society of Clu & ChFC . 78 Porter, Michael E. 1985 “Competitive Strategy “ Creating and Sustaining Superior Performance, The Free Press,New York Porter, Michael E. 1990. “The Competitive Advantage of Nation” New York The Free Press Pouder, R. W. 1996. Privatizing Services in Local Government: An Empirical Assessment of Efficiency and Institutional Explanations. PAQ , Spring 1996. Prager, J. 1997, Banking Privatization: how compelling is the case? Chapter 3 in How does privatization work? Edited by Anthony Bennet. Prahlad K. Basu. 1994. “Demystifying Privatization in Developing Countries” International Journal of Public Sector Management. Vol 7 No 3, , pp 44-55 Qian Sun and Wilson H.S.Tong. 2002. “Malaysia Privatization : A Comprehensive Study”. Financial Management, Ramadhan K.H, Sugiarta Sriwibawa dan Abrar Yusra, 1994 “ Dari Monopoli menuju Kompetisi” Grasindo, PT Gramedia Widiasarana Indonesia , Jakarta Ramamurti, Ravi. 1992. “Why are developing countries privatizing ?”. Journal of International Business Studies. Second Quarter Ramamurti, Ravi. 2000. “A Multilevel Model Of Privatization In Emerging Economies” Academy of Management Review, Vol.25.No.3.525-550 Ram Mohan, T. T. 2002. Public And Private Ownership And Privatization In India. Doctor Of Philosophy. Departemen Of Economics. New York University. Robert Worcerter,Mori,London. 1994. “Public opinion and privatization : lessons from the British experience”. European Business Journal, Rondinelli, D. A. (1994), Privatization and Economic Reform in Central Europe : Experience of the Early Transition. In D.A Rondinelli, editor, Privatization and Economic Reform in Central Europe : The Changing Business Climate, 1-40, Westport,Conn : Quorum Books Rosario Faraci. 2001. “The Governance Of Privatized Firms : A Theoretical Framework To Explore Environmental And Organizational Determinants Of Privatization And Restructuring”. Department Of Management & Business Economics Faculty of Economics Corso Italia Rune Stenbacka & Mihkel M. Tombak. 1995. “Time-Based Competition And The Privatization of Services” The Journal of Industrial Economics, Volume XLIII. Sappington, D, and Singlitz, J. 1987, Privatization, Information and Incentives, Journal of Policy Analysis and Management, Vol. 6, pp. 567-582. Savas, E.S. 2000. “Privatization And Public-Private Partnerships” Clatham House Publishers Seven Bridges Press. LLc New York London, Schumpeter, J. A. 1934. The Theory of Economic Development, Harvard University Press, Boston, MA. 79 Schumpeter , Joseph .A. 2002, “The Economy As A Whole Seventh Chapter of The Theory of Economic Development” Industry and Innovation,Vol 9. No.1/2,93-145, April/Agustus 2002 Shafik, N. 1996. Selling privatizatization politically. Columbia Journal of World Business, 31(4), 21-29. Shleifer, A. 1998, State versus private ownership, Harvard University. Starr, P. 1988 .”The Meaning of Privatization”, Yale Law and Policy Review 6, pp.6-41 Stiglitz, J .1988. Economics of the Public Sector, New York: W.W. Northon. Sugiharto, 2007, Peran Strategis BUMN,PT Gramedia Jakarta Suhud, M. 2002. “Privatization: A Review on the Power Sector Restructuring in Indonesia”. INFID, Jakarta Supraktikno, H. 2003. “Privatisasi BUMN : How Far Can We Go ?” Makalah Seminar Nasional ISEI, Batu, Malang Targitti F (1992), The Privatization of Industry with Particular Regard to Economies in Transition, In F, Targetti, editor, Privatization In Europe : West and East Experiences, 1-29, Brookfield, VT : Dartmouth Publishing Company The World Bank Group –Documents & Reports ,2001. “The Determinants of Enterprise Restructuring in transition : an assessment evidence”. Thomas W.Waelde & Abba Kolo. “Renegotiating Previous Government, Privatization Deals : The 1997 U.K. Windfall Tax on Utilities and International Law, Tunc, H. 2005. Privatization in Asia and Latin America Studies in Comparative International Development,Winter 2005 Vol. 39 No. 4 pp. 58-86 Venkatraman, N. 1989. “The concept of fit in strategy research: toward verbal and statiscal correspondence”, Academy of Management Review, Vol. 14 No. 3, pp. 423-44. Vickers, J dan G.Yarrow ,1991, “Economic Perspectives on Privatization”, Journal of Economic Perspectives, Vol5,No.2,Spring.pp. 111-132 , Vickers, J., & Yarrow, G. 1998. Privatization: An economic analysis. Cambrige, MA: MIT Press. Wattanakul, T. 2002. Privatization And Firm Performance: The effect Of Private Ownership And Competition On The Post-Privatization Performance Of FormelyState-Owned Enterprises. Doctor Of Pilosophy. University Of North Carolina. Wei Z, Varela O, D’Souza Juliet, dan Hasan Kabir H, 2003 ”The Financial and operating Performance of China’s Newly Privatized Firms, Financial Management Summer 2003 pages 107-126 Welfens, P. J. J. 1992. Foreign investment in the East European transition. Management International Review, 32:199-218. 80 Wiryawan, N, J., dan Wiryawan, Z. Z. 2003. “Program Privatisasi Di Indonesia Dilihat Dari Pengalaman Privatisasi Di Beberapa Negara lain” Usahawan No.03 Th XXXII Maret 2003 Wortzel, H.V dan L.H. Wortzel .1989. “Privatization:Not the Only Answer”, World Development, Vol.17 No.5, pp.633-641 itley dan Czaban, 1998 Cari Wright, Mike, Hoskisson R E, Busenitz L W and Dial J. 2000. “Entrepreneurial Growth Through Privatization : The Upside of Management Buyouts” Academy of Management Review. Vol 25.No.3,591-601 Wright, M., Hoskisson, R. E., Filatotchev, I., and Buck, T. 1998. ‘Revitalizing privatized Rissian entreprises’. Academy of Management Executive, 12, 2, 74-5. Yarrow, G. 1986. Privatization in theory and practic. Economic Policy, 2: 324-377. Yarrow, G. 1989, Does ownership matter?, Chapter 4 in Privatization & Competition: A market prospectus edited by Cento Veljanovski IEA, London. Zahra, S. A. 1996. Governance, ownership, and corporate entrepreneurship: The moderating impact of industry technological opportunities. Academy of Management Journal, Vol. 39 No. 6, pp1713-1735. 81 82