ISIS dan Kontrol Dernokrasi

advertisement
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
Pusat Dokumentasi dan Jaringan Informasi Hokum Nasional
n.May .Jen. Sutoyo -Cililitan- Jakarta Timur
Somber :..f. PEMEV-11\UAN
Subjek :
~f/t3U /-£ AGU~rtA· ::20t'/
/J'/J'
\ Hari/Tgl:
N eGAt?~ /Jk.Jt M --
Hlm/Kol :
Bidang:
ft/1
/t· '/.
o/
ISIS dan Kontrol Dernokrasi
JERRY SAMBUAGA
asalah The Islamic State
in Iraq and Syria (ISIS)
yang diperkirakan sudah
menyebar ke Indonesia menjadi keprihatinan berbagai pihak.
Organisasi teror yang mengatasnamakan agama ini punya rekam jejak yang mengerikan meskipun usia
mereka terhitung masih sangat
muda. Mereka tak kenai kompromi
dalam menggunakan pendekatan
kekerasan untuk mencapai apa
yang mereka sebut sebagai kekhalifahan Islam. Dalam usia yang relatif baru tersebut diperkirakan sudah
2.000-3.000 orang yang menjadi
korban kebrutalan mereka. Selain
korban manusia, ISIS juga meledakkan berbagai situs yang mereka
anggap sebagai sarang atau sarana
kesyirikan seperti Masjid Nabi
Yunus di Mosul, patung-patung
berusia 3.000 tahun dan bahkan berene ana untuk menghancurkan
Kabah di Mekah Arab Saudi.
Bagi Indonesia, sikap terhadap
ISIS adalah jelas, yaitu melarang
paham tersebut karena bertentangan dengan ideologi negara. Hal ini
sudah diumumkan oleh Presiden
SB Y dan Menkopolhukam
bersama Menkumham. Namun,
M
sikap teg.as belum diambil.
Beberapa bahkan dianggap lambat. Sebagai contoh, Menkominfo
yang sangat cepat dan tanggap menutup Iaman atau situs yang dianggap menyebarkan pornografi, justru sampai saat ini belum menutup
situs propaganda ISIS yang jelasjelas menyimpan potensi yang lebih besar.
Pengibaran bendera dan lambang-lambang ISIS juga tidak segera dilarang. Ini sangat berbeda dengan sikap terhadap OPM dan
GAM. Penulis berpendapat bahwa
tindakan nyata yang kalau perlu keras harus diambil pemerintah sesegem mungkin untuk menghilangkan
paham ISIS dari bumi Indonesia.
Apalagi diprediksikan jumlah mereka yang bersimpati terhadap ISIS di
Indonesia ribuan orang.
Kontrol Demokrasi
Menjadi pertanyaan kemudian
adalah apakah masyarakat Indonesia
punya ketahanan yang cukup untuk
berhadapan dengan ideologi dan gerakan ISIS? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus kern bali menganalisis demokrasi yang kita sepakati
menjadi sistem kehidupan politik
dan sosial di Indonesia sejak
Reformasi 1998. Apakah demokrasi
mampu membentuk ketahanan sosial yang cukup dalam kondisi seperti
sekarang ini?
Setidaknya ada dua peristiwa
yang bisa kita rujuk untuk mengetahui lebih lanjut rentetan pertanyaan
ini. Pertama adalah potensi kekerasan sektarian, terutama berkaitan dengan agama; dan kedua adalah kampanye pilpres yang baru saja lewat.
Tren kekerasan berbasis isu primordial terutama isu agama akhir-akhir
ini kurang menggembirakan.
Beberapa isu utama yang menjadi
penyebab di antaranya perbedaan
paham. peraturan pendirian rumah
ibadah, dan isu-isu yang_sebenarnya
tidak langsung berkaitan seperti perebutan sumber ekonomi atau tindak pidana individual.
Penyelesaian yang diambil
oleh negara sering tidak berdasarkan kaidah-kaidah legal maupun
filosofi dasar bangsa yang memadai. Kasus GKI Yasmin misalnya,
sampai saat ini tidak selesai karena
pemerintah tidak konsisten dengan
prinsip-prinsip dasar sebagai negara ber-Bhinneka Tunggal Ika
dan berdasarkan hukum. Kasus
lain yang juga tak pernah selesai
adalah kasus Ahmadiyah. Syiah.
dan organisasi-organisasi massa
berbasis agama yang bersifat anarkis. Dalam beberapa hal, negara
justru menunjukkan kekalahannya
ketika berhadapan dengan kelompok-kelompok yang tidak mematuhi prinsip keberagaman bangsa.
Di lain pihak, propaganda primordialistis juga makin merebak
secara terbuka. Hal ini dengan mudah kita saksikan dalam kampanye
pilpres beberapa waktu yang lalu.
Isu-isu sektarian dalam kampanye
pilpres bisa jadi merupakan gejala
dari sikap primordial sebagian kalangan atau justru bisa juga merupakan wujud dari 'penyakit' bangsa
ini. Skala kampanye yang direproduksi secara masif oleh publik menunjukkan bahwa potensi keretakan bangsa sedemikian mengkhawatirkan akhir-akhir ini. Tokoh-tokoh
masyarakat dan agama banyak
yang tidak lagi bisa diharapkan
menjadi sarana pemersatu bangsa
karena justru merekalah yang secara aktif memproduksi dan menyebarkan isu-isu sektarian.
Sebagian lain turut menyebarkan keresahan tanpa mekanisme
check and recheck terhadap sumber rujukan yang mereka pakai.
Hal ini diperparah oleh media
yang justru nampak membuat suasana makin panas. Beruntung kita
mempunvai tie:a unsur utama ke-
Sambungan
Sumber:
Hariffgl:
.
-
Hlm/Kol:
~
kuatan sosial yang mampu menjadi penyeimbang terhadap isu agama tersebut: pertama, kekuatan
kelompok agama moderat, kedua,
kelas menengah rasional yang aktif dan ketiga media yang pro terhadap keberagaman.
Kelompok agama yang moderat termasuk yang aktif dalam
membangun suasana kondusif dengan memberikan pemahaman
yang baik mengenai agama sekaligus menciptakan suasana yang sejuk dan mendamaikan kepada masyarakat. Kelompok kelas menengah yang aktif juga turut menyumbang kontribusi penting terutama pada akhir masa kampanye
sehingga isu agama menjadi berkurang signifikansinya dalam
membelah masyarakat meskipun
tentu tetap berbahaya. Hal ini ditunjukkan dengan aksi-aksi untuk
mendahului membuat parodi, sarkasme, dan sat.ire dalam isu agama
dan sosial. Kampanye keberagaman oleh media utama secara terus
menerus juga sangat membantu
dalam kondisi tersebut karena di
media altematif isu kontra keberagaman sudah sedemikian mengkhawatirkan.
Berkaca dari dua peristiwa tersebut; potensi kekerasan sektarian
dan kampanye pilpres, maka bisa
diambil kesimpulan bahwa potensi
penggunaan isu-isu agama untuk
kepentingan kelompok masih sangat besar di Indonesia. Secara teoritis, isu-isu agama yang terus
menerus dimanfaatkan untuk kepentingan politis akan makin
memperbesar jumlah kelompok
radikal dalam is u ini. Dalam kondisi se_nWi se_kar~ra-kondisi
terhadap dukungan terhadap ISIS
sudah terbentuk. Apalagi, kelompok-kelompok sejenis sejak dulu
banyak terdapat di Indonesia dan
pemerintah tak segera mengambil
tindakan tegas untuk membubarkan atau melarangnya.
Kontrol terhadap hal ini sekali
lagi bertumpu pada ketiga kelompok yang selama ini aktif mengkontra isu sektarian seperti pada saat
pilpres: kelompok agama moderat,
kelas menengah rasional yang aktif.
dan media yang pro-keberagaman.
Dengan pendekatan yang persuasif
dan simpatik, tentu akan memberikan kontrol yang baik terhadap demokrasi, berhubung penggunaan
pendekatan kekerasan akan tidak
efektif untuk merebut simpati rakyat. Namun yang harus diingat
penggunaan kekerasan justru sering
efektif untuk merebut kekuatan politik. Dalam konteks ISIS, mereka
sepertinya tidak peduli dengan Jegitimasi sosial dari publik. Dalam beberapa hal mereka justru memaksakan prinsipnya dengan sangat keras, bahkan kalau perlu dengan
pembantaian.
Oleh karena itu, sekali lagi kita
butuh ketegasan pemerintah dan
negara. Indonesia adalah negara
demokrasi yang ber-Bhinneka
Tunggal Ika. Kesadaran sosial sudah terbentuk dan dijaga oleh komunitas-komunitas sosial.
Sekarang bagaimana negara bertindak, apakah turut mendukung
atau justru kontraproduktif. lnilah
yang harus disikapi dengan jelas
dan tegas oleh pemerintahan
Presiden SBY di akhir masajabatannya.
PE:\ULIS ADALAH KOLUMNIS
SUARA PEMKARL!A!\.
/
Download