Toleransi Larva Dan Nyamuk Dewasa Aedes

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Demam Berdarah Dengue
Penyakit Demam Berdarah atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ialah
penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di
seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari
1000 meter di atas permukaan air laut. Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan
penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue
yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Data di
bagian anak RSCM menunjukkan pasien DBD sering menunjukkan gejala batuk,
pilek, muntah, mual, maupun diare (WHO dan Depkes 2003). Gejala pada penyakit
demam berdarah diawali dengan :
a. demam tinggi yang mendadak 2 sampai dengan 7 hari (38 °C- 40 °C).
b. manifestasi pendarahan, dengan bentuk : uji tourniquet
positif puspura,
pendarahan, konjungtiva, epitaksis, melena, dan sebagainya
c. Hepatomegali (pembesaran hati).
d. Syok, tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang, tekanan sistolik
sampai 80 mmHg atau lebih rendah.
e. Trombositopeni, pada hari ke 3 - 7 ditemukan penurunan trombosit sampai
100.000 /mm³.
f.
Hemokonsentrasi, meningkatnya nilai Hematokrit.
g. Gejala-gejala klinik lainnya yang dapat menyertai: anoreksia, lemah, mual,
muntah, sakit perut, diare kejang dan sakit kepala.
h. Pendarahan pada hidung dan gusi.
Rasa sakit pada otot dan persendian, timbul bintik-bintik merah pada kulit
akibat pecahnya pembuluh darah. Masa inkubasi terjadi selama 4-6 hari. Masalah bisa
bertambah karena virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain
seperti flu atau tipus. Oleh karena itu diperlukan kejelian pemahaman tentang
perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan
3
klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap, diagnosis DBD serta
pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat membantu terutama bila gejala klinis
kurang memadai.
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang termasuk famili genus
Flavirus grup B arthropod borne viruses (arboviruses) dengan tipe DEN 1, DEN 2,
DEN 3 dan DEN 4 (Jawetz, 1982; Kettle et al, 1984).
Selama ini penyakit DBD
secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda, tergantung dari serotipe
virus dengue. Penyakit DBD menyebar di negara-negara Tropis dan Subtropis.
Penyakit DBD di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan
sekarang menyebar keseluruh propinsi di Indonesia.
Kejadian penyakit DBD semakin tahun semakin meningkat dengan
manifestasi klinis yang berbeda mulai dari yang ringan sampai berat. Manifestasi
klinis berat yang merupakan keadaan darurat dikenal dengan Dengue Hemorrhagic
Fever (DHF) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) (WHO, 1986). Manifestasi klinis
infeksi virus Dengue termasuk didalamnya Demam Berdarah Dengue sangat
bervariasi, mulai dari asimtomatik, demam ringan yang tidak spesifik, Demam
Dengue, Demam Berdarah Dengue, hingga yang paling berat yaitu Dengue Shock
Syndrome (DSS). Sampai saat ini mekanisme respons imun pada infeksi oleh virus
Dengue masih belum jelas karena
banyak faktor yang mempengaruhi kejadian
penyakit Demam Berdarah Dengue. Faktor-faktor tersebut diantaranya: inang (host),
lingkungan (environment) dan faktor virusnya sendiri. Faktor host adalah kerentanan
(susceptibility) dan respon imun. Faktor lingkungan (environment) adalah kondisi
geografi (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, musim);
kondisi demografi (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi
penduduk).
Biologi Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penyakit demam berdarah. Nyamuk
tersebut berwarna belang hitam putih, tersebar di daerah tropis tetapi berasal dari
Afrika. Nyamuk Aedes dapat dibedakan dari jenis nyamuk lainnya dengan melihat
4
ujung abdomen meruncing dan mempunyai sersi yang menonjol, lalu dibagian lateral
dada terdapat rambut postspiracular dan tidak mempunyai rambut spiracular
(Mattingly, 1969). Aedes yang berperan sebagai vektor penyakit semuanya tergolong
subgenus Stegomyia, dengan ciri-ciri tubuh berorak belang hitam putih pada toraks,
abdomen dan tungkai. Corak ini merupakan sisik yang menempel di luar tubuh
nyamuk. Corak putih pada dorsal dada Aedes aegypti berbentuk seperti siku yang
berhadapan (lyre-shape), sedangkan Aedes albopictus berbentuk lurus ditengahtengah punggung (median stripe).
Aedes aegypti merupakan
ordo Diptera dan termasuk famili Culicidae.
Aedes aegypti dewasa berukuran kecil dengan warna dasar hitam. Probosis bersisik
hitam, palpi pendek dengan ujung hitam bersisik putih perak. Oksiput bersisik lebar,
berwarna putih terletak memanjang. Femur bersisik putih pada permukaan posterior
dan setengah basal, anterior dan tengah bersisik memanjang. Tibia semuanya
berwarna hitam dan pada tibia belakang berlingkar putih pada segmen basal ke satu
sampai ke empat dan segmen ke lima berwarna putih. Sayap berukuran 2,5 – 3,0 mm,
bersisik hitam (Christophers, 1960).
Gambar 1. Nyamuk Aedes aegypti
Aedes aegypti bersifat antropofilik (senang sekali kepada manusia) dan hanya
nyamuk betina yang menggigit. Nyamuk betina biasanya menggigit di dalam rumah,
5
kadang-kadang di luar rumah dan di tempat yang agak gelap. Pada malam hari
nyamuk beristirahat dalam rumah pada benda-benda yang digantung, seperti pakaian,
pada dinding rumah dan sebagainya. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan menggigit
berulang (multiple bitters), yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dan
dalam waktu singkat. Hal ini disebabkan karena nyamuk Aedes aegypti
sangat
sensitif dan mudah terganggu. Keadaan ini sangat membantu Aedes aegypti dalam
memindahkan virus dengue ke bebarapa orang sekaligus.
Telur Aedes aegypti berwarna hitam seperti sarang tawon, diletakkan satu
demi satu di permukaan atau sedikit di bawah permukaan air dalam jarak 2,5 cm dari
dinding tempat perindukan. Telur tahan sampai berbulan-bulan pada suhu –2oC
sampai 42oC. Dalam keadaan tanpa air (kering) telur mampu bertahan sampai dengan
6 bulan. Namun bila kelembaban terlampau rendah, maka telur akan menetas dalam
4 hari. Dalam keadaan optimal telur akan menetas menjadi larva setelah dua hari
terendam air. Larva nyamuk akan tubuh menjadi pupa nyamuk setelah 6 – 8 hari.
Kepala larva berkembang baik dengan sepasang antena dan mata majemuk
serta sikat mulut yang menonjol. Abdomen larva terdiri atas 9 ruas yang jelas dan
ruas terakhir dilengkapi dengan tabung udara (sifon) berbentuk silinder. Tahap larva
adalah tahap makan. Perbedaan antara kedua jenis larva nyamuk Aedes hanya dapat
dilihat dibawah mikroskop dengan melihat bentuk pekten sifon dan comb pada ruas
terakhir abdomen (Christophers, 1960).
Pupa nyamuk berbentuk seperti koma, kepala dan dada bersatu dilengkapi
dengan terompet pernafasan. Tahap pupa adalah tahap tidak makan. Pupa nyamuk
masih dapat aktif bergerak di dalam air dan setelah 1-2 hari akan memunculkan
nyamuk Aedes aegypti
baru. Secara ringkas maka perkembangan telur sampai
dengan nyamuk dewasa berlangsung sekurang-kurangnya 9 hari. Nyamuk setelah
muncul dari
pupa akan mencari pasangan kemudian mengadakan perkawinan.
Setelah perkawinan inilah nyamuk siap mencari darah untuk perkembangan telurnya.
Nyamuk betina dewasa yang mulai menghisap darah manusia kemudian 3 hari
sesudahnya sanggup bertelur sampai dengan 100 butir dengan ukuran 0,7 mm per
butir.
Dua puluh empat jam kemudian nyamuk mulai menghisap darah lagi,
6
selanjutnya kembali bertelur. Walaupun nyamuk betina berumur kira-kira 10 hari,
waktu tersebut cukup untuk untuk berkembang biak dan selanjutnya menyebarkan
virus ke manusia. Pada saat nyamuk menghisap darah manusia yang kebetulan
menderita demam dengue, virus dengue turut masuk ke dalam tubuh nyamuk. Virus
yang dihisap masuk ke dalam saluran pencernaan kemudian sampai di hemosul dan
kelenjar ludah. Virus memerlukan waktu 8 – 11 hari untuk dapat berkembang biak
baik secara propagatif agar dapat menjadi infektif (masa tunas ekstrinsik). Kemudian
nyamuk akan tetap infektif selama hidupnya. Nyamuk betina dapat terbang sejauh 2
kilometer, tetapi kemampuan normalnya adalah kira-kira 50 meter (Horsfall, 1955;
Dit Jen. PPM &PLP, 1990). Virus dengue dapat ditularkan secara transovarial dari
nyamuk betina Aedes aegypti melalui telur hingga keturunannya (Rosen et al, 1983).
Infeksi virus dengue melalui vektor nyamuk Aedes aegypti ditunjukkan pada
Gambar 2.
Belum
terinfeksi
Manusia
Manusia sebagai
inang dan sumber
terinfeksi
Infeksi pada
vektor
Nyamuk
Aedes aegypti
Nyamuk
Aedes aegypti
Inkubasi
ekstrinsik
Infeksi pada vektor
Manusia
Transmisi
vektor
Infeksi pada manusia
Inkubasi intrinsik
Gambar 2. Infeksi virus dengue melalui vektor nyamuk Aedes aegypti
(Mullen, 2002)
7
Berdasarkan Gambar 2, maka komponen pada siklus transmisi adalah :
-
Inang vertebrata mengembangkan tingkat infeksi yang merupakan infeksi
kepada vektor
-
Inang antropoda atau vektor mampu melakukan transmisi
-
Satu atau lebih inang vertebrata terinfeksi setelah digigit vektor
Untuk dapat memberantas nyamuk Aedes aegypti secara efektif terdapat 3 perilaku
nyamuk yang perlu diketahui, yaitu: perilaku mencari darah, istirahat dan
berkembang biak. Perilaku mencari darah dilakukan pada saat setelah kawin dimana
nyamuk betina memerlukan darah untuk bertelur. Nyamuk betina menghisap darah
manusia setiap 2 – 3 hari sekali dan pada pagi hari sampai dengan sore, lebih disukai
pada jam 08.00 – 12.00 dan 15.00 – 17.00. Untuk memperoleh darah yang cukup
nyamuk betina lebih sering menggigit lebih dari 1 orang. Perilaku istirahat nyamuk
Aedes aegypti
adalah setelah kenyang menghisap darah, nyamuk betina perlu
beristirahat 2 – 3 hari untuk mematangkan telurnya. Tempat istirahat yang paling
disukai adalah tempat-tempat yang lembab, dan kurang terang seperti kamar mandi,
WC, dapur; di dalam rumah seperti baju yang digantung, kelambu dan tirai, di luar
rumah seperti pada tanaman hias di halaman rumah.
Keberadaan Aedes aegypti yang mula-mula ditemukan di Ujung Pandang pada
tahun 1860 oleh Walker (Christophers, 1960) kemudian menyebar luas dan
ditemukan di Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara dan Irian
Jaya. Penyebaran Aedes aegypti yang kosmopolit dan menjangkau daerah yang sangat
luas erat kaitannya dengan perkembangan sistem transportasi. Penyebaran spesies
nyamuk ini di Indonesia bermula dari kota-kota pelabuhan ke kota-kota di pedalaman
termasuk ke desa-desa, diakibatkan oleh transportasi yang mengangkut tempat-tempat
penampungan air hujan seperti drum, kaleng, ban bekas, dan benda-benda lainnya
yang mengandung larva Aedes aegypti. Penyebaran populasi Aedes aegypti juga erat
kaitannya dengan perkembangan pemukiman penduduk akibat didirikannya rumahrumah baru yang dilengkapi dengan sarana pengadaan air untuk keperluan seharihari.
8
Perilaku berkembang biak nyamuk Aedes aegypti
adalah bertelur dan
berkembang biak di tempat penampungan air yang bersih, yaitu: tempat penampung
air untuk keperluan sehari-hari sepeti bak mandi, tempayan, drum air, bak menara air
yang tidak tertutup; wadah yang berisi air bersih atau air hujan seperti: tempat minum
burung, vas bunga, ban bekas, potongan bambu yang dapat menampung air, talang
rumah, ketiak daun-daun tebal, lubang pohon, kaleng, botol dan barang
bekas
lainnya.
Pengendalian Nyamuk Demam Berdarah
Lingkungan pemukiman manusia yang umumnya berupa suatu kompleks
bangunan tempat tinggal berikut berbagai fasilitas yang berhubungan dengan
berbagai hajat hidupnya, termasuk juga jalan, selokan, berikut tanaman pekarangan
dan hewan-hewan peliharaan merupakan suatu ekosistem tersendiri yang unik.
Lingkungan tersebut
dibangun dan diciptakan terutama untuk kepentingan
kenyamanan hidup manusia, tetapi pada kenyataannya banyak mahluk hidup lainnya
ikut memanfaatkan kondisi itu sebagai habitat, tempat istirahat dan tempat mencari
makan.
Permasalahan hama pemukiman
termasuk nyamuk Aedes aegypti timbul
sebagai resultante dari faktor-faktor (Rabb, 1972):
1. Tingkat bahaya, kerugian atau gangguan yang mungkin ditimbulkan oleh
hama tersebut.
2. Tingkat populasi hama di lingkungan pemukiman.
3. Tingkat toleransi pemukim terhadap keberadaan hama lingkungannya
Di dalam ekosistem, populasi suatu jenis hama untuk jangka panjang ada
pada tingkat keseimbangan, sesuai dengan komponen-komponen biotik maupun
abiotik yang membentuk ekosistem. Namun untuk jangka waktu pendek, sebenarnya
tingkat populasi tersebut berfluktuasi tergantung pada faktor-faktor lingkungan yang
mengendalikannya. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi dua macam
menurut keefektifan kerjanya, yaitu:
9
(1) faktor yang terpengaruh oleh kepadatan populasi serangga atau density
dependent factors,
(2) faktor yang tidak terpengaruh oleh kepadatan populasi hama atau density
independent factors.
Faktor-faktor pengendali yang terpengaruh oleh kepadatan adalah terutama
makanan dan musuh-musuh di alam (predator, parasit, patogen). Faktor-faktor
pengendali yang tidak terpengaruh oleh kepadatan adalah komponen-komponen
cuaca terutama suhu, kelembaban serta berbagai faktor fisik habitat tersebut. Dalam
konsep pengendalian hama perlu terlebih dahulu ditanamkan paham bahwa suatu
populasi hama tidak mungkin dapat diberantas habis, kecuali dalam suatu lokasi yang
amat terbatas dan benar-benar terisolasi dari populasi lainnya. Selama lapangan atau
areal merupakan lingkungan yang mempunyai hubungan bebas secara fisik, biologis
serta sosial ekonomis dengan lingkungan sekitarnya, maka harus dilakukan
pendekatan pengendalian populasi. Pendekatan ini hanya menekan populasi hama
sampai ketingkat yang tidak membahayakan, tidak merugikan atau tidak merupakan
gangguan pada manusia.
Menurut Metcalf (1982), dengan mempelajari sifat-sifat nyamuk, biologi dan
perilakunya di alam yang sedemikian kompleks, strategi pengendalian nyamuk Aedes
aegypti dapat dirancang.
Secara umum pengendalian nyamuk dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu pengendalian non kimiawi dan kimiawi. Pengendalian non
kimiawi pada dasarnya adalah berbagai upaya untuk membuat keadaan lingkungan
menjadi tidak sesuai lagi bagi perkembangan nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian
ini salah satunya adalah dengan modifikasi lingkungan secara permanen agar tempat
perindukan nyamuk tidak tersedia. Kegiatan ini di Indonesia dikenal sebagai
Pengendalian Sarang Nyamuk 3M yang berarti menutup, menguras dan menimbun
berbagai tempat yang menjadi sarang nyamuk.
Pengendalian nyamuk secara kimiawi dilakukan menggunakan insektisida.
Insektisida dan cara-cara aplikasinya yang banyak digunakan di Indonesia adalah
larvasida, berbagai repelan dan insektisida yang digunakan dalam bentuk semprot dan
lainnya.
10
Menurut Rabb (1972), penggunaan insektisida dilakukan hanya bila
diperlukan saja dengan mempertimbangkan efek samping insektisida. Bagi ekosistem
permukiman yang utama harus dipertimbangkan adalah: (1) kemungkinan keracunan
langsung
pada
para
pemukim
maupun
makhluk
bukan
sasaran
lainnya,
(2) kemungkinan pencemaran berbagai medium berkaitan dengan kepentingan
aktivitas makhluk hidup lainnya, (3) kemungkinan timbul resistensi pada populasi
hama serangga sasaran setelah beberapa generasi. Dalam hal alternatif pestisida yang
dipilih, maka masih ada satu persoalan lagi yang krusial yaitu bagaimana cara
aplikasinya. Cara aplikasi yang akan dipilih harus efektif, efesien, murah, mudah,
diterima dikalangan masyarakat dan tidak merusak lingkungan.
Toksikologi Insektisida
Interaksi kimiawi toksik dengan sistem biologi berhubungan dengan dosis.
Toksisitas pada suatu organisme selalu dinyatakan dalam istilah LD50 (lethal dose)
yang berarti jumlah racun per unit berat organisme yang dibutuhkan untuk
membunuh 50% populasi
percobaan. Satuan dari LD50 dinyatakan dalam mg
insektisida per Kg berat organisme. Pada kondisi bahan kimia/insektisida digunakan
untuk serangga, maka LD50 dinyatakan dalam mikrogram insektisida per serangga
(μ g/serangga).
Konsentrasi bahan kimia yang digunakan secara eksternal yang dapat
membunuh 50% hewan dinamakan LC50 (lethal concentration). Nilai ini digunakan
ketika dosis yang pasti pada serangga tidak dapat ditentukan. Istilah LT50 (lethal
time) merepresentasikan waktu yang dibutuhkan sehingga menyebabkan kematian
50% hewan percobaan pada dosis atau konsentrasi tertentu (Perry et al, 1998).
Metode ini digunakan ketika jumlah hewan percobaan terbatas dan sering digunakan
pada pengujian lapangan dimana sulit mengumpulkan jumlah serangga yang cukup
untuk suatu pengujian. Pada kasus tertentu digunakan nilai KD50 (knockdown dose)
dan KT50 ( knockdown time).
Terdapat beberapa cara untuk melakukan pengujian pada serangga dan
metode yang paling banyak digunakan adalah aplikasi topical, dimana insektisida
11
dilarutkan dalam pelarut yang relatif tidak toksik seperti aseton dan larutan yang
dihasilkan diteteskan pada permukaan tubuh serangga (Perry et al, 1998).
Ketika pengetahuan tentang jumlah pasti insektisida dalam tubuh serangga
diperlukan, maka metode injeksi dapat digunakan. Metode ini mengunakan jarum
suntik yang sangat halus terbuat baja tahan karat 20 – 30 gauge (diameter 0,41 atau
0,3mm). Dibutuhkan gelas kecil untuk wadah insektisida yang akan disuntikkan
dengan ukuran diameter 0,1 – 0.16 mm. Insektisida umumnya dilarutkan dalam
propilen glikol atau minyak kacang tanah dan injeksi dilakukan intraperitoneal (ke
dalam lubang tubuh). Metode pencelupan digunakan ketika aplikasi topical
dipandang tidak praktis untuk dilaksanakan. Sebagai contoh pekerjaan pengujian
menggunakan serangga-serangga seperti larva, telur, laba-laba merah dan sebagainya.
Pengujian menggunakan metode kontak atau residu dengan cara insektisida
dilarutkan dalam pelarut yang mudah menguap (volatile) kemudian dimasukkan pada
kontainer gelas. Pelarut yang mengandung insektisida tersebut akan menguap dan
ditampung dalam kontainer yang diputar-putarkan sehingga menghasilkan lapisan
residu pada dinding gelas. Alternatif lain insektisida ditempatkan pada kertas saring,
panel kayu atau jenis material bangunan lainnya dan dibiarkan mengering sebelum
dipajankan pada serangga percobaan. Deposit residu insektisida tersebut dinyatakan
sebagai miligram ramuan aktif per meter persegi ( mg atau g AI/m2).
Insektisida Organofosfat
Menurut Foley (2005), fungsi sistem syaraf adalah memediasi komunikasi
antara sel syaraf dengan sel-sel lain dalam suatu organisme. Komunikasi diawali
dengan melepaskan senyawa kimia yang dinamakan neurotransmiter dari pre sinap
ke sel-sel syaraf. Neurotransmiter berdifusi sepanjang sinap diantara sel-sel syaraf
dan sel-sel pengontak (postsynaptic) dan berikatan pada protein reseptor di dalam
membran sel. Ikatan tersebut menstimulasi perubahan saluran ion dalam membran
yang difasilitasi oleh ion-ion spesifik (Na+, K+, Ca2+ atau Cl-) yang mengalir
disepanjang membran bagian bawah dari gradien konsentrasinya masuk atau keluar
dari sel. Gradien konsentrasi ini dapat memicu maupun menghambat tergantung pada
12
perubahan muatan ion di bagian dalam sel. Pada keadaan absennya neurotransmitor
muatan di luar sel menjadi negatif. Pemicuan neurotransmiter oleh sel terjadi melalui
aliran ion Na+ dan dilipatgandakan melalui pembukaan tegangan listrik sensitif pada
saluran Na+ disepanjang akson sel-sel syaraf. Aliran ini membukakan tegangan listrik
sensitif saluran Ca2+ pada ujung sel syaraf. Aliran Ca2+ selanjutnya menstimulasi
perbedaan neurotransmiter berikutnya yang menghasilkan kontraksi otot. Inhibisi
neurotransmiter pada sel disebabkan oleh aliran ion K+ atau ion Cl- yang
menghasilkan suatu sel lebih resisten dalam mendepolarisasikan aliran Ca2+.
Asetillkolin adalah suatu neurotransmiter yang menstimulasi pembukaan
saluran Na+ and K+. Asetillkolin
memberikan sinyal pada sinap yang diakhiri
melalui suatu enzim asetilkolinesterase (AChE) yang berfungsi mengkatalisis reaksi
hidrolisis asetilkolin menjadi kolin tidak aktif dan asetat seperti ditunjukkan pada
reaksi berikut:
AChE
(CH3)NCH2CH2OCOCH3
(CH3)3NCH2CH2OH + CH3CO2H
Asetilkolin
kolin
asam asetat
Enzim AChE merupakan kelompok serin esterase yang mengandung sisi
aktif serin (Ser), histidin (His) dan residu asam amino glutamat (Glu) yang bersamasama mengkatalisis reaksi hidrolisis asetilkolin.
Ikatan H antara gugus Glu
karboksilat dan N-1 pada histidin meningkatkan kemampuan N-3 His untuk bertindak
sebagai basa yang menghilangkan H dari gugus hidroksil Ser. Hal ini yang
menyebabkan oksigen pada Ser merupakan nukleofilik dan mampu menyerang gugus
karbonil dari asetilkolin.
Reseptor neurotransmiter dan transmisi impul pada celah sinap ditunjukkan
pada Gambar 3 dan 4.
13
Gambar 3. Reseptor neurotransmiter dan saluran ion (Foley, 2005)
Gambar 4. Transmisi impuls pada celah sinaps (Shankland dan Frazier,
1985 dalam Gunandini 2002)
Organofosfat bekerja dengan cara menghambat enzim AChE, sehingga
enzim ini tidak dapat menghidrolisis ACh. Senyawa organofosfat secara luas telah
digunakan menggantikan insektisida organoklorin. Senyawaan ini merupakan ester
atau derifat amida dari asam fosfat dan merupakan zat toksik untuk serangga maupun
vertebrata melalui inhibisi enzim kolinesterase.
ENZIM –OH
+
enzim kolinesterase
Z-P-(O)(OR)2
Æ ENZIM-O-P(O) (OR)2 + ZH
senyawa organofosfat
enzim terinhibisi
14
Senyawaan organofosfat diproduksi pada suhu tinggi (150 – 200oC) sehingga pada
umumnya mengandung isomer atau produk samping yang menyebabkan bau tidak
enak (Perry et al, 1998).
Gejala peracunan pada serangga mengikuti pola umum dari peracunan syaraf,
misalnya keresahan, hyperexiability, gemetaran, kejang, lumpuh dan mati. Untuk
mengetahui mekanisme aksi toksik senyawaan organofosfat adalah interaksi enzim
asetilkoline dengan asetilkolinesterase (AChE). Pertama-tama AChE menghasilkan
kompleks E-OH –ACh (Asetilkolin – Enzim) yang merupakan intermediasi antara
enzim dengan substrat
kompleks tersebut bersifat reversibel yang membentuk
asetilase AChE. Selanjutnya asetyl AChE dihidrolisis kembali menghasilkan AChE
(Perry et al, 1998).
Reaksi tersebut sangat cepat sehingga tidak terjadi akumulasi
asetilkolin sepanjang sinap atau pada sambungan neuromuscular.
Bagian kolin
kemudian dihilangkan dan asam asetat berkombinasi lagi (dengan pertolongan enzim
lain) membentuk asetilkoline dan siklus berulang.
Insektisida organofosfat yang diaplikasikan pada serangga bereaksi dengan
AChE
pada kondisi yang sama. Tahap pertama enzim membentuk kompleks
reversibel dengan senyawa organofosfat, kemudian kompleks tersebut putus
menghasilkan organofosfat dan enzim yang terinhibisi (enzim fosforilate). Inhibisi
tersebut menghasilkan fosforilat yang eksistensinya cukup sama dengan tahapan
terakhir. Selanjutnya terjadi hidrolisis dan AChE dibebaskan dengan sebuah residu
fosfat (sebagai dimetil asam fosfat).
Tahapan hidrolisis tersebut sangat lambat
dibandingkan dengan kondisi normal substrat asetilkolin sehingga enzim tidak dapat
berfungsi secara efektif dengan peningkatan asetilkolin yang masuk ke sinap sebagai
hasil dari aktivasi syaraf. Mekanisme reaksi inhibisi tersebut ditunjukkan pada
Gambar 5.
15
A
B
Gambar 5. Reaksi enzim asetilkolinesterase
A: Dalam keadaan normal
B: Terinhibisi oleh senyawaan organofosfat
16
Insektisida Malation
Malation termasuk ke dalam golongan insektisida organofosfat, untuk pertama
kalinya organofosfat dibuat di Jerman pada tahun 1934 oleh Schrader. Penggunaan
malation di Amerika Serkat sejak tahun 1950 Insektisida ini termasuk jenis yang
aman terhadap mamalia dengan nilai LD50 oral akut 900 - 5800 mg/kg berat badan
mempunyai tekanan uap 1,25 x 10-4 mm Hg pada suhu 20oC. Malation berwujud cair,
tidak berwarna dengan titik didih 156 - 157oC, insektisida ini larut dalam hampir
semua pelarut organik dan sedikit larut dalam air. Malation memiliki gugus karboksil
yang menyebabkan insektisida ini mudah terhidrolisis dalam tubuh mamalia
(Matsumura, 1989).
Malation merupakan insektisida organofosfat yang telah digunakan sejak
tahun 1950 di Amerika Serikat. Pemakaian malation sebagai insektisida di Amerika
Serikat mencapai 30 juta pound per tahun. Malation mulai digunakan di Indonesia
sejak tahun 1972 menggunakan metode pengasapan (fogging) (Suroso, 1992 dan
Hoedojo. 1993).
Malation [O,O-dimethyl dithiophosphate of diethyl mercaptosuccinate]
adalah insektisida yang digunakan untuk berbagai tanaman sayuran, buah dan lainlain. Rumus empirik melathion adalah C10H19O6PS2 dengan berat molekul 330,4
(Cox, 2003). Rumus bangun malation ditunjukkan pada Gambar 6
Gambar 6. Rumus bangun malation
17
Malation membunuh serangga sebab di dalam tubuh serangga malation
diubah menjadi malaoxon yang menghambat enzim asetilkolinesterase.
Gambar 7. Rumus bangun malaoxon
Pada tahun 2000 malation diduga sebagai bahan karsinogenik tetapi tidak
cukup berdampak karsinogenik terhadap manusia (Cox, 2003). Toksisitas malation
dibagi menjadi 4 jenis sesuai dengan dosisnya dan ditunjukkan pada Tabel. 1.
Tabel 1. Empat kriteria toksisitas malation berdasarkan nilai LD50
Jalur masuk ke
dalam tubuh
Toksisitas kuat
Toksisitas
sedang
Toksisitas
rendah
Oral (mulut)
LD50
Kurang dari 50 50 - 500
mg/Kg
mg/Kg
500 - 5000
mg/Kg
Dermal (kulit)
LD50
Kurang dari
200 mg/Kg
200 - 2000
mg/Kg
2000 - 5000
mg/Kg
Inhalasi
(pernafasan)
LD50
Kurang dari
0.05 mg/l
0,05 – 0,5 mg/l 0,5 – 2,0 mg/l
Toksisitas
sangat rendah
Lebih besar
dari 5000
mg/Kg
Lebih besar
dari 5000
mg/Kg
Lebih besar
dari 2,0
mg/Kg
Insektisida Temefos
Temefos dikenal dengan nama dagang abate dan merupakan satu-satunya
larvasida yang digunakan dalam pengendalian demam berdarah di Indonesia sehingga
18
penggunaannya biasa disebut dengan abatisasi. Temefos mempunyai rumus molekul
C16H20O6P2S3 dan rumus bangun ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Rumus bangun temefos
Temefos merupakan golongan insektisida organofosfat dengan nama dagang
abate dan nama kimia phosphorothioic acid, O,O'-(thiodi-4,1-phenylene) bis (O,O'dimethyl) phosphorothioate atau Phosphoric acid, O,O'-(thiodi,1,4-phenylene)
O,O,O',O'-tetramethyl ester. Rumus kimia insektisida ini adalah C16H20O6P2S3 dan
mempunyai berat molekul 446,46 dan kelarutannya pada suhu 26oC sebesar 30 g/l.
Menurut US EPA (1999), temefos mempunyai toksisitas rendah sampai dengan
moderat akut dibandingkan dengan insektisida organofosfat lainnya.
Temefos
bersifat toksisitas moderat akut jika melalui jalur dermal atau oral dan bersifat
toksisitas rendah jika melalui jalur inhalasi. Data toksisitas temefos ditunjukkan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Data toksisitas temefos
Jenis Studi
Hasil
Akut oral (Tikus)
Akut dermal (Kelinci)
LD50= 444 mg/kg
LD50 = 1850 mg/kg (Jantan)
LD50 = 970 mg/kg (Betina)
Akut inhalasi
Iritasi primer pada mata
Iritasi primer pda kulit
Sensitivitas dermal
LC50 > 1,3 mg/L
Corneal opacity 72 jam
1,4
Bukan merupkan sensitizer
Katagori
Toksisitas
II
II
II
III
III
IV
19
Masalah Resistensi
Cekaman didefinisikan secara luas sebagai suatu perubahan lingkungan yang
mempengaruhi kesehatan organisme. Cekaman dapat disebabkan karena faktor fisik,
biotik dan senyawa kimia beracun.
Resistensi telah didefinisikan sebagai
perkembangan kemampuan suatu strain organisme untuk bertoleransi terhadap dosis
zat beracun yang dapat menyebabkan kematian pada kebanyakan individu dalam
spesies yang sama pada kondisi normal (Scott, 1995).
Resistensi dan toleransi sering digunakan secara bergantian dalam berbagai
pustaka untuk mendefinisikan satu dengan lainnya, walaupun toleransi digunakan
juga untuk menjelaskan pergeseran kerentanan yang terjadi dalam generasi tunggal
setelah terpajan. Dua istilah lain yang sering digunakan adalah resistensi silang
(cross-resistance) dan resistensi ganda (multiple resistance). Resistensi silang adalah
resistensi terhadap dua atau lebih insektisida yang mempunyai fungsi kerja yang
sama. Sebagai contoh resistensi silang dapat terjadi pada serangga terhadap
organofosfat dan karbamat karena kedua insektisida tersebut mempunyai target kerja
yang sama. Resistensi ganda mengacu pada resisten terhadap dua atau lebih golongan
pestisida dengan mekanisme kerja yang berbeda. Sebagai contoh adalah resistensi
serangga terhadap organofosfat dan piretroid.
Untuk menjelaskan bagaimana generasi induk dapat menghasilkan keturunan
yang resisten terhadap insektisida dapat dijelaskan sebagai berikut, pajanan
insektisida yang terus menerus akan membuat cekaman terhadap materi genetik
(misalnya DNA) sehingga menjadi berubah. Terdapat 3 jenis perubahan materi
genetik yang ditunjukkan pada Gambar 6 (Scott, 1995).
Perbanyakan
Ekspresi perubahan
Perubahan struktural
Gambar 6. Tiga jenis perubahan materi genetik yang menyebabkan resistensi
20
Perubahan yang pertama adalah suatu gen mengalami perbanyakan
(amplifikasi) sehingga menghasilkan lebih dari satu salinan gen. Jika suatu serangga
mempunyai 10 salinan gen detoksifikasi, maka akan menghasilkan produk
detoksifikasi 10 kali lebih besar dibandingkan serangga yang mempunyai satu buah
gen. Ekspresi gen juga menghasilkan perubahan resistensi. Pada kasus kedua ini
hanya ada satu salinan gen yang bermutasi tetapi produk mutasinya menghasilkan gen
pengatur yang lebih atau kurang dibandingkan gen induk. Sebagai contoh dalam
serangga rasio gen terhadap gen produk adalah 1:1, tetapi pada serangga yang resisten
rasio tersebut berubah. Gen dapat mengatur lebih untuk menghasilkan lebih banyak
produk sehingga rasio gen terhadap gen produk adalah 1:10 atau gen mengatur
kurang sehingga membuat rasionya menjadi lebih sedikit (misalnya 1: 0,1).
Perubahan gen yang ketiga yang menyebabkan serangga resisten adalah perubahan
struktural suatu gen yang menghasilkan perubahan-perubahan produk.
Sebagai
contoh nukleotida dalam daerah gen pengkode disubstitusi dengan nukleotida yang
berbeda sehingga asam amino yang berbeda akan dikodekan pada posisi tertentu.
Perubahan ini menyebabkan gen produk mempunyai tiga dimensi struktur yang
berbeda dan dapat menghasilkan sifat resisten dalam berbagai cara. Hal ini mungkin
dapat menyebabkan penurunan atau peningkatan kemampuan serangga dalam
memetabolisme insektisida.
Resisten
metabolik
senyawa
organofosfat
pada
serangga
umumnya
disebabkan oleh perbedaan secara kualitatif dan kuantitatif pada karboksilesterase.
Perbedaan
kuantitatif
merupakan
penyebab
utama
resistensi
pada
Culex
quinquefasciatus dan C. tritaeniorhynchus. Kenaikan tingkatan enzim disebabkan
oleh amplifikasi gen pada kedua spesies ini. Perubahan secara kualitatif, misalnya
mutasi dapat menyebabkan perbedaan esterase pada serangga tertentu. Mutasi enzim
ini mampu memetabolit insektisida lebih cepat dari pada enzim asalnya. Karunaratne
dan Hemingway (2001) dalam percobaan di Srilangka melaporkan bahwa resistensi
tingkat tinggi terhadap malation terjadi pada Culex quinquefasciatus dimana 78%
dapat selamat dari dosis malation yang dianjurkan oleh WHO. Tingkatan resistensi
malation pada Aedes subpictus adalah rendah atau sekitar 15%. Populasi Culex
21
gelidus, Aedes aegypti dan
Aedes albopictus terbukti tidak resisten pada dosis
malation yang dianjurkan oleh WHO.
Mekanisme resitensi insektisida mempunyai suatu dasar biokimia (Brogdon
dan McAllister, 1998). Terdapat dua bentuk biokimia sebagai sisi target resistensi
terhadap insektisida yang terjadi ketika insektisida tidak lagi berikatan dengan target
dan terjadi detoksifikasi oleh enzim-enzim seperti esterase, oksidase atau glutathion
S-transferase (GST) yang mencegah insektisida mencapai target tersebut.
Mekanisme perubahan sisi target
asam-asam amino yang merupakan pengikat
insektisida pada sisi-sisi aktifnya menyebabkan insektisida tersebut kurang atau
menjadi tidak efektif.
Penggunaan insektisida sejenis secara terus menerus akan menimbulkan
dampak yang merugikan yaitu munculnya galur serangga yang resisten. Resistensi
Aedes aegypti terhadap berbagai insektisida dapat menimbulkan
masalah pada
program pengendalian vektor dengue dan yellow fever. Studi awal pada dugaan
resistensi Aedes aegypti terhadap insektisida telah dilakukan di Puerto Rico, Brazil
dan negara-negara
Amerika lainnya. Berdasarkan hasil penelitian telah ditemukan
bukti resistensi Aedes aegypti terhadap insektisida organofosfat (Lima et al, 2003).
Untuk menghindari resistensi, pemerintah Srilangka menggunakan malation sebagai
insektisida utama untuk mengendalikan malaria menggantikan DDT dan selanjutnya
insektisida piretroid digunakan antara tahun 1995 dan 1997. Penggunaan malation
yang sangat ekstensif ini telah berkontribusi pada resistensi nyamuk vektor malaria
terhadap insektisida organofosfat (Karunaratne dan Hemingway, 2001).
Percobaan resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida dilakukan di
India menggunakan DDT, dieldrin, fenitrotion, propoksur, malation, deltametrin,
pemetrin dan lambdacihalotrin. Hasil percobaan menunjukkan bahwa nyamuk Aedes
aegypty telah resisten terhadap DDT dan dieldrin, toleran terhadap fenitrotion dan
proporsur dan tidak resisten terhadap malation, deltametrin, permetrin dan
lambdasihalotrin (Katyal et al, 2001)
22
Mekanisme Detoksifikasi
Menurut Brogdon dan Mc Allister (1998), enzim yang bertanggungjawab
terhadap detoksifikasi xenobiotic pada mahluk hidup diturunkan melalui sejumlah
besar multigen seperti enzim esterase, oksidase dan GST. Kemungkinan seluruh
mekanisme resistensi pada serangga merupakan tingkatan-tingkatan atau aktivitas
detoksifikasi enzim esterase yang menghidrolisis ester-ester sejumlah besar
insektisida. Enzim estarase tersebut termasuk 6 jenis protein termasuk jenis lipatan
enzim
α/β hidrolase. Pada Diptera, hal ini terjadi sebagai kelompok gen pada
kromosom yang sama. Kelompok gen dimodifikasi melalui perubahan suatu asam
amino tunggal dan mengubahnya secara khusus suatu ester menjadi hidrolisis
insektisida atau melalui penggandaan gen yang memperbesar resistensi insektisida.
Oksidase sitokrom P450 memetabolisme insektisida melalui mekanisme:
(a) hidroksilasi O-,S-, dan N-alkil,
(b) hidroksilasi dan epoksidasi alifatik,
(c) hidroksilasi armatik,
(d) oksidasi ester
(e) oksidasi nitrogen dan tioeter.
23
Download