EFEKTIFITAS RIMPANG JERINGAU (Acorus

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pengaruh lingkungan dalam menimbulkan penyakit pada manusia telah lama
disadari. Bahkan telah lama pula disinyalir, bahwa peran lingkungan dalam
meningkatkan derajat kesehatan sangat besar. Sebagaimana dikemukakan Blum
(1974) dalam planning for health, development and application of social change
theory, bahwa faktor lingkungan berperan sangat besar dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Sebaliknya, kondisi kesehatan masyarakat yang buruk,
termasuk timbulnya berbagai penyakit menular, andil faktor lingkungan sangat besar.
Faktor perilaku, pelayanan masyarakat dan keturunan, memiliki kontribusi yang lebih
kecil dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Memang tidak selalu
lingkungan sebagai penyebab, melainkan juga sebagai penunjang, media transmisi
maupun memperberat penyakit yang telah ada (Anies, 2006).
Keadaan lingkungan yang kurang bersih dapat merupakan tempat yang sangat
baik untuk berkembangbiaknya berbagai vektor penyakit. Vektor penyakit ini
diantaranya adalah serangga (Nurcahyo, 1996).
Insecta (serangga) merupakan kelas terpenting dari artropoda karena selain
dapat menimbulkan banyak penyakit serangga juga dapat menularkan berbagai
macam
penyakit menular yang penting, baik dengan bertindak sebagai vektor
maupun sebagai tuan rumah. Peranan serangga yang terpenting dalam bidang
kesehatan adalah sebagai vektor penyebaran penyakit.
Universitas Sumatera Utara
Kelompok serangga yang dapat berperan sebagai penyebar penyakit antara
lain : nyamuk, lalat, kecoa, pinjal dan lain–lain. Serangga yang dianggap cukup besar
peranannya dalam bidang kesehatan masyarakat adalah nyamuk (Soedarto, 1989).
Vektor penyakit yang sampai saat ini sering menimbulkan masalah kesehatan
khususnya di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes aegypti
merupakan serangga yang banyak terdapat di daerah perumahan dan dapat bertindak
sebagai vektor penyakit demam berdarah dengue (DBD) (Depkes RI, 2004).
Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang
mengandung virus dengue dalam tubuhnya. Nyamuk ini mendapat virus dengue pada
waktu menghisap darah dan disimpan dalam darahnya. Jika nyamuk ini menggigit
orang lain, maka virus dengue akan berkembang biak dalam tubuh orang itu selama
4 sampai 7 hari sehingga dapat menjadi sumber penularan. Dalam waktu satu minggu
setelah digigit nyamuk tersebut, orang tersebut akan dapat menderita penyakit demam
berdarah dengue yang dapat menimbulkan kematian.
Demam berdarah dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Jumlah kasus yang dilaporkan
cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas (Depkes RI, 2005).
Data kasus demam berdarah dengue di Indonesia tahun 2008 dari bulan
Januari hingga April mencapai 62.157 kasus dan jumlah penderita yang meninggal
sebanyak 482 orang. Di kota-kota besar seperti DKI Jakarta tahun 2008 dari bulan
Januari hingga April juga, mencapai 12.256 kasus dan jumlah penderita yang
meninggal sebanyak 11 orang, di Surabaya terdapat 10.508 kasus dan jumlah
penderita yang meninggal sebanyak 106 orang, di Sumatera Utara terdapat 879 kasus
Universitas Sumatera Utara
dan penderita yang meninggal sebanyak 3 orang (termasuk di kota Medan sebanyak
621 kasus dengan 3 orang penderita meninggal) (Dinkes Provinsi Sumatera Utara,
2008).
Dalam mengatasi penyakit demam berdarah salah satunya dengan cara kimia
yaitu dengan insektisida sintetis. Penggunaan insektisida sintetis ini pada kurun
waktu 40 tahun terakhir semakin meningkat baik dari kualitasnya maupun
kuantitasnya. Hal ini disebabkan insektisida sintetis tersebut mudah digunakan, lebih
efektif dan dari segi ekonomi lebih menguntungkan (Yoshida Dalam Nursal, 2005).
Penggunaan zat kimia sebagai insektisida untuk mengendalikan serangga
pertama kali dilakukan pada tahun 1942. Zat kimia yang digunakan seperti : DDT
(Dichloro Diphenyl Trichloroethane), metal karbamat, organophospor serta zat kimia
lain sehingga mengakibatkan menurunnya populasi serangga pengganggu secara
drastis (Azwar, 1995).
Pada saat ini, sebagai akibat dari penggunaan insektisida yang kurang
bertanggung jawab, maka timbul masalah baru yakni terjadinya resistensi pada
serangga tersebut dan muncul pula sebagai akibat sampingan lainnya, yakni dengan
ikut matinya binatang lain yang terkena (Azwar, 1995). Dilain pihak dengan
penggunaan insektisida yang kurang bijaksana (khususnya yang bersifat sintetis)
sering merugikan terhadap lingkungan, termasuk pencemaran air, bahan pangan dan
dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia secara langsung atau dalam
jangka waktu yang panjang. Bahaya insektisida sintetis dapat menimbulkan kanker,
gangguan saraf dan reproduksi dan keracunan pada umumnya (Kusnaedi, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Untuk menghindari dampak negatif tersebut, maka perlu dikembangkan cara –
cara baru dalam pengendalian serangga yang aman dan efektif. Pengendalian
serangga dengan pemanfaatan tanaman yang mengandung zat pestisidik sebagai
insektisida hayati, diperkirakan mempunyai prospek dimasa yang akan datang
(Kardinan, 1999).
Secara umum, insektisida nabati (hayati) diartikan sebagai suatu pestisida
yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Insektisida nabati relatif mudah dibuat
dengan kemampuan dan pengetahuan terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami /
nabati maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam
sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak
peliharaan karena residunya mudah hilang. Insektisida nabati bersifat “pukul dan lari”
(hit and run), yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh serangga pada waktu itu
dan setelah serangga terbunuh, maka residunya akan cepat menghilang di alam
(Kardinan, 2004).
Berbagai penelitian telah dilakukan terhadap tumbuhan yang mengandung
bahan aktif tertentu yang dapat mengendalikan nyamuk Aedes aegypti. Tambunan
(2007) dengan menggunakan hasil ekstrak daun tembakau (Nikotiana tabacum) 2%
yang disemprotkan pada nyamuk Aedes aegypti dewasa dan diamati selama 30 menit
dengan interval waktu 5 menit menunjukkan total jumlah nyamuk yang mati
sebanyak 80 ekor (100%). Penelitian lainnya oleh Simanjuntak (2006) terhadap hasil
maserasi bunga krisan, pada konsentrasi 0,4% dapat membunuh nyamuk Aedes
aegypti sebanyak 100% yang dilihat dari 5 kotak pengamatan yang masing - masing
berisi 20 ekor nyamuk.
Universitas Sumatera Utara
Insektisida hayati lainnya adalah tanaman jeringau (Acorus calamus L).
Rimpang jeringau mengandung minyak atsiri yang digunakan sebagai insektisida
untuk mengendalikan beberapa serangga pengganggu di sekitar kita (Kardinan,
2004).
Jeringau (Acorus calamus L) adalah tanaman yang mengandung bahan kimia
aktif pada bagian rimpang baik dalam bentuk tepung ataupun minyak yang dikenal
sebagai minyak atsiri. Tumbuhan ini mudah tumbuh dan dikembangbiakkan serta
tidak beracun bagi manusia, karena secara tradisional banyak digunakan sebagai obat
sakit perut dan penyakit kulit, serta dipercaya dapat mengusir pengaruh roh jahat
terutama untuk bayi dan balita (Rismunandar, 1988).
Hasil penelitian tentang pemanfaatan minyak atsiri rimpang jeringau terhadap
kecoa dilakukan oleh Onasis (2001). Hasilnya menunjukkan bahwa dosis minyak
atsiri 15 ml/50ml pelarut Etanol 96% yang disemprotkan pada jarak 10 cm dari kecoa
menunjukkan kematian kecoa 30% pada 1 jam pertama, bertambah menjadi 75%
pada jam kedua dan menjadi 100% pada jam ketiga.
Begitu juga dengan hasil penelitian oleh Hidayatulfathi, dkk (2003)
menunjukkan bahwa ekstrak rimpang jeringau dalam bentuk lilin padat efektif
mengendalikan nyamuk Aedes aegypti pada konsentrasi 6,21 mg/cm² menunjukkan
kematian 56% pada jam pertama, 76% pada jam kedua dan 96% pada jam ketiga.
Berdasarkan hal tersebut di atas penulis tertarik untuk meneliti efektifitas
rimpang jeringau (Acorus calamus L) dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti.
Universitas Sumatera Utara
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan penelitian adalah
bagaimana pengaruh destilat minyak rimpang jeringau dalam membunuh nyamuk
Aedes aegypti.
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui efektifitas minyak rimpang jeringau terhadap kematian nyamuk
Aedes aegypti.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui kematian nyamuk Aedes aegypti setelah diberi perlakuan
(disemprot) dengan etanol 70% tanpa campuran minyak rimpang jeringau
(Acorus calamus L) (sebagai kontrol), diamati selama 30 menit dengan
interval waktu setiap 5 menit.
2. Untuk mengetahui kematian nyamuk Aedes aegypti setelah diberi perlakuan
(disemprot) dengan minyak rimpang jeringau pada konsentrasi 6%, diamati
selama 30 menit dengan interval waktu setiap 5 menit.
3. Untuk mengetahui kematian nyamuk Aedes aegypti setelah diberi perlakuan
(disemprot) dengan minyak rimpang jeringau pada konsentrasi 12%, diamati
selama 30 menit dengan interval waktu setiap 5 menit.
4. Untuk mengetahui kematian nyamuk Aedes aegypti setelah diberi perlakuan
(disemprot) dengan minyak rimpang jeringau pada konsentrasi 18%, diamati
selama 30 menit dengan interval waktu setiap 5 menit.
Universitas Sumatera Utara
5. Untuk mengetahui kematian nyamuk Aedes aegypti setelah diberi perlakuan
(disemprot) dengan minyak rimpang jeringau pada konsentrasi 24%, diamati
selama 30 menit dengan interval waktu setiap 5 menit.
6. Untuk mengetahui kematian nyamuk Aedes aegypti setelah diberi perlakuan
(disemprot) dengan minyak rimpang jeringau pada konsentrasi 30%, diamati
selama 30 menit dengan interval waktu setiap 5 menit.
7. Untuk mengetahui perbedaan tingkat kematian nyamuk Aedes aegypti dengan
berbagai perlakuan konsentrasi minyak rimpang jeringau.
8. Untuk mengetahui konsentrasi paling efektif dari minyak rimpang jeringau
untuk membunuh nyamuk Aedes aegypti.
1.4.
Manfaat Penelitian
1) Sebagai bahan masukan kepada masyarakat dalam memanfaatkan insektisida
nabati yang aman dan mudah didapat dalam upaya pengendalian nyamuk
Aedes aegypti
2) Sebagai tambahan wawasan dan pengetahuan mahasiswa khususnya
mahasiswa kesehatan lingkungan tentang insektisida nabati yang berasal dari
rimpang jeringau.
Universitas Sumatera Utara
Download