BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian Kriminologi Kriminologi sebagai salah satu cabang dari ilmu pengetahuan sosial, sebenarnya masih tergolong sebagai ilmu pengetahuan yang baru. Berbeda dengan hukum pidana yang muncul begitu manusia bermasyarakat, kriminologi baru berkembang pada tahun 1850 bersama-sama dengan ilmu sosiologi, antropologi, psikologi serta ilmu yang mempelajari gejala/tingkah laku manusia dalam masyarakat.30 Meskipun tergolong sebagai ilmu yang masih muda, perkembangan ilmu kriminologi tampak begitu pesat, hal ini tidak lain karena konsekuensi logis dari berkembangnya pula berbagai bentuk kejahatan dalam masyarakat. Perkembangan kejahatan bukanlah suatu hal yang asing, oleh karena sejarah kehidupan manusia sejak awal diciptakan telah terbukti mengenal kejahatan. Apalagi pada saat seperti sekarang ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi justru memberi peluang yang lebih besar bagi berkembangnya berbagai bentuk kejahatan. Atas dasar itulah maka kriminologi dalam pengaktualisasian dirinya berupaya mencari jalan untuk mengantisipasi segala bentuk kejahatan serta gejala-gejalanya. Suatu pendapat klasik menyatakan, bahwa kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang meneliti delinkuensi dan kejahatan, sebagai suatu gejala sosial. Jadi ruang lingkupnya adalah proses terjadinya hukum (pidana)/menganalisa kondisi- 30 Topo Santoso dan Eva Achjani, op.cit, h. 3. 29 30 kondisi di mana hukum pidana berlaku, penyimpangan terhadap hukum atas pelanggarannya/sebab-sebab terjadinya kejahatan, dan reaksi terhadap pelanggaranpelanggaran tersebut/upaya penanggulangan terhadap kejahatan.31 Secara etimologi, kriminologi berasal dari kata crime artinya kejahatan dan logos artinya ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu kriminologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan atau penjahat.32 Selain itu, salah satu buku tentang kriminologi yang berjudul Criminology: A Sociological Introduction (Kriminologi: Suatu Pengantar Sosiologi) menyebutkan, Criminology has many meanings but at its widest and most commonly accepted it is taken to be the scientific understanding of crime and criminals.33 Apabila diterjemahkan memiliki arti, kriminologi memiliki banyak arti tapi yang terluas dan paling diterima secara umum, diambil untuk menjadi pemahaman ilmiah dari kejahatan dan penjahat. Dalam membahas tentang definisi kriminologi belum terdapat keseragaman/kesatuan pendapat dari pakar kriminologi, berhubung masing-masing memberikan definisi dengan sudut pandang yang berbeda. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis akan mencoba mengemukakan beberapa pendapat para sarjana/ ahli hukum mengenai pengertian kriminologi, antara lain sebagai berikut: Soejono D. memberikan pengertian tentang kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab akibat, perbaikan dan cara pencegahan 31 Soerjono Soekanto, Hengkie Liklikuwata dan Mulyana W. Kusumah, loc.cit. Ibid, h. 9. 33 Paul Iganski et.al., 2004, Criminology: A Sociological Introduction, Routledge, London, h. 32 3. 31 kejahatan sebagai gejala manusia dengan menghimpun sumbangan-sumbangan dari berbagai cabang ilmu pengetahuan.34 Barda Nawawi Arief menghendaki bahwa kriminologi bergabung dengan hukum pidana sebagai ilmu bantuannya, agar bersama-sama menangani hasil penelitian kebijakan kriminal, sehingga memungkinkan memberikan petunjuk tepat terhadap penanganan hukum pidana dan pelaksanaannya, yang semuanya ditunjuk untuk melindungi warga negara yang baik dari kejahatan.35 Berdasarkan pengertian kriminologi tersebut di atas, maka obyek kajian kriminologi ditekankan pada gejala kejahatan seluas-luasnya dalam artian mempelajari kejahatan dan penjahat, usaha-usaha pencegahan penanggulangan kajahatan serta perlakuan terhadap penjahat. Sedang subjek kriminologi adalah anggota dan kelompok masyarakat secara keseluruhan sebagai suatu kelompok sosial yang memiliki gejala-gejala sosial sebagai suatu sistem yang termasuk di dalarnnya gejala kejahatan yang tidak terpisahkan. Sehingga berdasarkan pengertian kriminologi di atas juga dapat ditarik suatu pandangan bahwa kriminologi bukanlah ilmu yang berdiri sendiri akan tetapi berada di samping ilmu-ilmu lain. Di dalam mempelajari kriminologi secara garis besar dikenal adanya beberapa teori yaitu: 1. Teori Kriminologi Dari Perspektif Biologis dan Psikologis Teori ini pada dasarnya menjelaskan bahwa kejahatan ditimbulkan dari diri seseorang dilihat dari ciri-ciri fisik maupun diturunkan oleh nenek 34 R. Soesilo, 1985, Kriminologi Pengetahuan Tentang Sebab-Sebab Kejahatan, Politea, Bogor, h. 3. 35 Barda Nawawi Arief, 1991, Upaya Non Penal dalam Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Semarang, h. 10. 32 moyang manusia atau dengan kata lain seseorang melakukan kejahatan karena mendapatkan gen dari orang tuanya. Salah satu sarjana yang mencetuskan teori kejahatan dari ciri-ciri fisik adalah Lambrosso mengklasifikasikan penjahat ke dalam empat golongan (Teori Born Criminal) yaitu: a. b. c. d. Born Criminal yaitu orang berdasarkan pada doktrin atavisme tersebut di atas; Insane Criminal yaitu orang-orang yang tergolong ke dalam kelompok idiot; Occasional Criminal atau Criminaloid yaitu pelaku kejahatan berdasarkan pengalaman yang terus menerus sehingga mempengaruhi pribadinya; Criminals of Passion yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakan karena marah, cinta atau karena kehormatan.”36 Contoh teori dari psikologi kriminal yaitu teori personality characteristics (sifat-sifat kepribadian). Empat alur penelitian psikologi yang berbeda telah menguji hubungan antara kepribadian dengan kejahatan. Pertama, melihat pada perbedaan-perbedaan antara struktur kepribadian dari penjahat dan bukan penjahat; kedua, memprediksi tingkah laku; ketiga, menguji tingkatan di mana dinamika-dinamika kepribadian normal beroprasi dalam diri penjahat; dan keempat, mencoba menghitung perbedaan-perbedaan individual antara tipe-tipe dan kelompok-kelompok pelaku kejahatan.37 2. Teori Kriminologi Dari Perspektif Sosiologis Berbeda dengan teori yang tersebut di atas, teori kriminologi dari perspektif sosiologis mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka 36 37 Topo Santoso dan Eva Achjani, 2012, Kriminologi, Rajawali Pers, Jakarta, h. 24. Ibid, h. 49. 33 kejahatan di dalam lingkungan sosial. Adapun teori yang menjelaskan kejahatan dari faktor sosiologis, yaitu: a. Anomie Theory : Emile Durkheim Durkheim meyakini bahwa jika sebuah masyarakat sederhana berkembang menuju satu masyarakat yang modern dan kota maka kedekatan (intimacy) yang dibutuhkan untuk melanjutkan satu set normanorma umum akan merosot. Kelompok-kelompok menjadi terpisahpisah, dan dalam ketiadaan satu set aturan-aturan umum, tindakantindakan dan harapan-harapan orang di satu sektor mungkin bertentangan dengan tindakan dan harapan orang lain. Dengan tidak dapat diprediksinya perilaku, sistem tersebut secara bertahap akan runtuh, dan masyarakat itu berada dalam kondisi anomalie.38 Teori ini pada dasarnya menjelaskan bahwa perbuatan manusia (terutama perbuatan salah manusia) terjadi karena perubahan mendadak (sudden change). Perubahan mendadak ini dapat mengakibatkan terjadinya gaya hidup baru yang tidak dikenal, sehingga aturan-aturan yang pernah membimbing tingkah laku tidak lagi dipegang. Seperti misalnya perubahan ekonomi yang terjadi secara tiba-tiba. Apabila perubahan ekonomi merosot maka akan menimbulkan depresi hebat terhadap masyarakat, sehingga mengakibatkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti depresi, bunuh diri, dan sebagainya. Begitu pula 38 Ibid, h. 58. 34 sebaliknya apabila perubahan ekonomi menuju kemakmuran tidak terduga, maka akan merubah gaya hidup seseorang menjadi berlebihan. 3. Teori Kriminologi Dari Perspektif Kontrol Sosial / Social Control Travis Hirschi sebagai penganut teori kontrol sosial beranggapan bahwa individu di masyarakat mempunyai kecendrungan yang sama kemungkinannya, apakah ia menjadi baik ataupun malah sebaliknya menjadi jahat. Perbuatan baik ataupun jahat yang ia lakukan sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan masyarakat tempat ia tinggal. Selain itu, perilaku menyimpang merupakan konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk mengendalikan dirinya agar tidak melanggar norma-norma yang ada. Menurut Travis Hirschi, terdapat empat elemen ikatan sosial (social bonds) dalam setiap masyarakat yang dapat membentuk ikatan sosial antara individu dan masyarakat, yaitu: 1. 2. Attachment (Keterikatan/Kasih Sayang) Attachment merupakan kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain. Kalau attachment ini sudah terbentuk, maka orang tersebut akan peka terhadap pikiran, perasaan dan kehendak orang lain. Attachment diartikan secara bebas dengan keterikatan/kasih sayang, ikatan pertama yaitu keterikatan dengan orang tua, keterikatan dengan sekolah (guru) dan dengan teman sebaya. Commitment (Komitmen/Tanggung Jawab) Commitment adalah keterikatan seseorang pada subsistem konvensional seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan sebagainya. Segala kegiatan yang dilakukan seseorang seperti sekolah, pekerjaan, kegiatan dalam organisasi, akan mendatangkan manfaat bagi orang tersebut seperti misalnya berupa harta benda, reputasi, masa depan, dan sebagainya. Commitment diartikan secara bebas dengan komitmen/tanggung jawab yang kuat terhadap aturan dan kesadaran akan pentingnya masa depan. Bentuk komitmen ini, antara lain berupa kesadaran bahwa masa depannya akan suram apabila ia melakukan tindakan menyimpang. 35 3. 4. Involvement (Keterlibatan) Involvement merupakan aktivitas seseorang dalam subsistem. Jika seseorang berperan aktif dalam organisasi maka kecil kemungkinan untuk melakukan penyimpangan, atau dengan kata lain apabila orang aktif di segala kegiatan maka ia akan menghabiskan waktu dan tenaganya dalam kegiatan tersebut. Sehingga, ia tidak sempat lagi memikirkan halhal yang bertentangan dengan hukum. Dengan demikian segala aktivitas yang bermanfaat akan mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Belief (Keyakinan) Belief merupakan aspek moral yang terdapat dalam ikatan sosial dan tentunya berbeda dengan ketiga aspek di atas. Belief merupakan kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral yang ada. Kepercayaan seseorang terhadap norma-norma yang ada menimbulkan kepatuhan terhadap norma tersebut. Kepatuhan terhadap norma tersebut tentunya akan mengurangi hasrat untuk melanggar. Tetapi, apabila orang tidak mematuhi norma-norma maka lebih besar kemungkinan melakukan pelanggaran.39 Berdasarkan pemaparan tentang teori kriminologi di atas, maka teori kontrol sosial paling tepat di dalam menjawab persoalan kenakalan remaja, karena di dalam teori ini memfokuskan diri pada strategi-strategi yang mengatur tingkah laku manusia dan membawanya kepada ketaatan terhadap aturan-aturan masyarakat ataupun aturan hukum, baik itu dengan melakukan kontrol internal maupun kontrol eksternal serta memberikan sosialisasi kepada remaja sehingga diharapkan remaja taat terhadap hukum. 2.2 Pengertian Tindak Pidana Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pidana berarti hukuman kejahatan tentang pembunuhan, perampokan, korupsi dan lain sebagainya. Pidana juga berarti hukuman. Dengan demikian, kata mempidana berarti menuntut berdasarkan hukum 39 Indah Sri Utari, loc.cit. 36 pidana, menghukum seseorang karena melakukan tindak pidana. Dipidana berarti dituntut berdasarkan hukum pidana, dihukum berdasarkan hukum pidana, sehingga terpidana berarti orang yang dikenai hukuman. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.40 Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Moeljatno yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.41 Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini Bambang Poernomo berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap 40 Kartonegoro, tanpa tahun terbit, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, h. 62. 41 Moeljatno, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, h. 54. 37 apabila tersusun sebagai berikut, bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 42 Adapun perumusan tersebut yang mengandung kalimat “Aturan hukum pidana” dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, Bambang Poernomo juga berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan pidana yang dinyatakan hanya menunjukan sifat perbuatan terlarang dengan diancam pidana.43 Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang melanggar aturanaturan hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan terhadap orang tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi haruslah diingat bahwa aturan larangan dan ancaman, mempunyai hubungan yang erat, oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga mempunyai hubungan yang erat pula. 42 43 Bambang Poernomo, 1992, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 130. Ibid. 38 Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas, asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).44 Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan. Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggung jawab atas segala bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang mengaturnya.45 44 45 H.A. Zainal Abidin Farid, op.cit, h. 130. Kartonegoro, op.cit, h. 156. 39 Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan.46 Seorang ahli hukum yaitu Simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :47 1. Diancam dengan pidana oleh hukum 2. Bertentangan dengan hukum 3. Dilakukan oleh orang yang bersalah 4. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya. Menurut Moeljatno, terdapat 5 unsur perbuatan pidana, yaitu :48 1. Kelakuan dan akibat, 2. Ihwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, 46 P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum PidanaIndonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 193. 47 Andi Hamzah, 2004, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, h. 88. 48 Moeljatno, op.cit, h. 38. 40 3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana, 4. Unsur melawan hukum yang objektif, 5. Unsur melawan hukum yang subjektif. 2.3 Mengenai Narkotika 2.3.1 Pengertian dan Jenis Narkotika Istilah narkotika berasal dari bahasa Yunani yakni “narke” yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.49 Istilah narkotika yang dipergunakan di sini bukanlah pada bidang farmasi, melainkan sama artinya dengan drug, yaitu sejenis zat yang bila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu mempengaruhi kesadaran, memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia, serta dapat menimbulkan halusinasi.50 Pengertian Narkotika menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan menurunnya atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini. Selanjutnya mengenai penggolongan Narkotika di atur dalam Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu: 49 50 Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany, dan Amir Muhsin,, loc.cit. Soedjono Dirdjosisworo II, loc.cit. 41 a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Adapun yang termasuk narkotika golongan I adalah sebagai berikut: 1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya. 2. Opium merah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya. 3. Opium masak terdiri dari: 1. Candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan. 2. Jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain. 3. Jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing. 4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylon termasuk buah dan bijinya. Selengkapnya mengenai jenis-jenis narkotika golongan I akan dijelaskan di dalam lampiran. b. Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi yang tinggi mengakibatkan ketergantungan. Adapun yang termasuk narkotika golongan II adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4-difenilheptana Alfameprodina : Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina Alfametadol : alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol Alfaprodina : alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina 42 Selengkapnya mengenai jenis-jenis narkotika golongan II akan dijelaskan di dalam lampiran. c. Narkotika Golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan ilmu pengembangan pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Adapun yang termasuk narkotika golongan II adalah sebagai berikut: 1. Asetildihidrokodeina 2. Dekstropropoksifena : α-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-2butanol propionat 3. Dihidrokodeina Selengkapnya mengenai jenis-jenis narkotika golongan III akan dijelaskan di dalam lampiran. 2.3.2 Penyalahgunaan Narkotika Narkotika dalam dunia kesehatan bertujuan untuk pengobatan dan kepentingan manusia seperti operasi pembedahan, menghilangkan rasa sakit, perawatan stres dan depresi. Di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menyatakan bahwa narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan untuk pengadaan, impor, ekspor, peredaran dan penggunaannya diatur oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Kesehatan. Sehingga penggunaan narkotika selain yang disebutkan pada Pasal 7 di atas, mempunyai konsekuensi akibat yuridis yaitu penyalahgunaan narkotika dan akan memperoleh pidana / ancaman pidana sesuai yang diatur dalam undang-undang tersebut. 43 Pengertian penyalahgunaan narkotika dijelaskan di dalam Pasal 1 Angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dimana Penyalahgunaan adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Sumber lain memberikan penjelasan mengenai penyalahgunaan narkotika yaitu, dilakukan secara terus-menerus, sekali-sekali, secara berkelebihan, serta dilakukan tidak menurut petunjuk dokter.51 Selanjutnya dalam Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika, memberikan pengertian mengenai peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, tindak pidana narkotika adalah tindak pidana penyalahgunaan narkotika tanpa hak atau melawan hukum selain yang ditentukan dalam undang-undang. 2.3.3 Sanksi Bagi Penyalahguna Narkotika Bentuk sanksi bagi penyalahguna narkotika di atur dalam Bab XV Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu, pada Pasal 111 ayat 1 dan 2, Pasal 112 ayat 1 dan 2, Pasal 113 ayat 1 dan 2, Pasal 114 ayat 1 dan 2, Pasal 115 ayat 1 dan 2, Pasal 116 ayat 1 dan 2, Pasal 117 ayat 1 dan 2, Pasal 122 ayat 1 dan 2. (Selengkapnya mengenai sanksi bagi penyalahguna narkotika akan dijelaskan di dalam lampiran) 51 Djoko Prakoso, loc.cit. 44 Berdasarkan pada uraian tentang bentuk-bentuk penyalahgunaan narkotika sebagaimana yang di atur Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, maka tindak pidana penyalahgunaan narkotika dapat dikelompokan sebagai berikut : a. Penguasaan Narkotika. b. Produksi Narkotika. c. Jual-beli Narkotika. d. Pengangkutan dan transito Narkotika. e. Penyalahgunaan Narkotika. 2.4 Mengenai Remaja Dalam kajian ilmu hukum tidak dikenal adanya istilah remaja sehingga tidak ditemukan pengaturan yang jelas mengenai remaja. Namun demikian jika kita cermati dengan seksama, istilah remaja termasuk dalam kategori golongan anak yang telah mendapat pengaturan dalam berbagai peraturan perundang-undangan meskipun pengertian anak itu sendiri tidak ada keseragaman mengenai batasan usia anak didalam menentukan batasan ukuran kedewasaan. Secara etimologi remaja dalam bahasa latin yaitu adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik. Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua.52 52 Hurlock,E,B, 1998, Perkembangan Anak (Alih Bahasa oleh Soedjarmo & Istiwidayanti, Erlangga, Jakarta, h. 9. 45 Menurut Hurlock, masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ketahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku dan juga penuh dengan masalah-masalah. Oleh karenanya remaja sangat rentan sekali mengalami masalah psikososial yakni masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial.53 Menurut World Health Organization (WHO), mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual, ada tiga krieria yaitu biologis, psikologik, dan sosial ekonomi, dengan batasan usia antara 10-20 tahun, yang secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut: 1. 2. 3. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanakkanak menjadi dewasa. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.54 Menurut Zakiah drajat, masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria, dimana masa remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan psikisnya.55 Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat dikatakan bahwasanya remaja bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang. Sehingga remaja sering mengalami 53 Ibid, h. 11. Sarwono, S.W., 2002, Psikologi Remaja Edisi Enam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 4. 55 Gatot Supramono, loc.cit. 54 46 masa kegoncangan karena banyaknya perubahan yang terjadi dan tidak stabilnya emosi yang kadang-kadang menyebabkan timbulnya sikap dan tindakan yang oleh orang dinilai sebagai perbuatan nakal. 2.5 Dampak Negatif Penyalahgunaan Narkotika Kejahatan narkotika merupakan “most serious crime” di Indonesia, sehingga dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar/dampak negatif bagi kehidupan sosial, ekonomi dan nilai-nilai budaya bangsa, serta keamanan hidup umat manusia.56 Berdasarkan pada hasil wawancara penulis dengan Bapak Choiril A S, Kepala Urusan Administrasi dan Ketatausahaan (Kaurmintu) dan Bapak Ketut Budiana, Bintara Administrasi (Bamin) Sat Res Narkotika Kabupaten Buleleng pada tanggal 19 Januari 2016, adapun dampak negatif penyalahgunaan narkotika yaitu: a. Dampak Narkotika Terhadap Fisik dan Kesehatan: Penyalahgunaan narkoba akan berdampak pada gangguan kesehatan yang bersifat kompleks, diantaranya : 1. Gangguan pada sistem saraf (neurologis), seperti: Kejang-kejang, imajinasi, dan halusinasi. 2. Gangguan pada jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler). 3. Gangguan pada kulit (dermatologis). 4. Gangguan pada paru-paru (pulmoner). 5. Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, suhu tubuh meningkat, pengecilan hati dan insomnia. 56 Soedjono Dirdjosisworo I, loc.cit. 47 6. Gangguan terhadap kesehatan reproduksi yaitu gangguan pada endokrin, seperti: penurunan fungsi hormon reproduksi (estrogen, progesteron, testosteron), serta gangguan fungsi seksual. 7. Gangguan terhadap kesehatan reproduksi pada remaja perempuan antara lain perubahan periode menstruasi, ketidakteraturan menstruasi, dan amenorhoe (tidak haid). 8. Bagi pengguna narkoba melalui jarum suntik, khususnya pemakaian jarum suntik secara bergantian, resikonya adalah tertular penyakit seperti hepatitis B, C, dan HIV. 9. Bahaya narkoba bisa berakibat fatal ketika terjadi over dosis yaitu konsumsi narkoba melebihi kemampuan tubuh untuk menerimanya. Over dosis bisa menyebabkan kematian. Penyalahgunaan narkoba akan berdampak pada gangguan fisik yang bersifat kompleks, diantaranya : 1. Berat badannya akan turun secara drastis. 2. Matanya akan terlihat cekung dan merah. 3. Mukanya pucat. 4. Bibirnya menjadi kehitam-hitaman. 5. Tangannya dipenuhi bintik-bintik merah bagi pengguna narkotika jarum suntik. 6. Buang air besar dan kecil kurang lancar. 7. Sembelit atau sakit perut tanpa alasan yang jelas. 48 b. Dampak Narkotika Terhadap Psikologis: 1. Merubah sikap dan perilaku secara drastis, karena gangguan persepsi daya pikir, kreasi dan emosi sehingga perilaku menjadi menyimpang dan tidak mampu hidup secara wajar. c. 2. Kerja lamban dan ceroboh, sering tegang dan gelisah. 3. Hilang rasa percaya diri, apatis, pengkhayal, penuh curiga. 4. Agitatif, menjadi ganas dan tingkah laku yang brutal. 5. Sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan. 6. Cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan bunuh diri. 7. Emosinya tidak stabil. 8. Biasanya takut dengan air. Dampak Narkotika Terhadap Lingkungan Sosial: Dampak narkotika terhadap diri sendiri : 1. Merubah kepribadian secara drastis, pemurung, pemarah dan tidak takut dengan siapapun. 2. Gangguan mental. 3. Anti-sosial. 4. Timbul sikap masa bodoh, lupa sekolah (membolos). 5. Semangat belajar dan bekerja menurun bahkan dapat seperti orang gila. 6. Pendidikan menjadi terganggu dan masa depan suram. 7. Tidak ragu melakukan seks bebas karena lupa dengan norma-norma. 8. Tidak segan-segan menyiksa diri untuk menghilangkan rasa nyeri atau menghilangkan sifat ketergantungan obat bius. 49 9. Pemalas bahkan hidup santai. 10. Dikucilkan oleh lingkungan. Dampak narkotika terhadap keluarga: 1. Tidak segan-segan untuk mencuri uang ataupun menjual barang-barang yang ada di rumah untuk membeli narkoba. 2. Tidak menghargai harta milik, seperti memakai kendaraan sembrono, hingga rusak bahkan sampai hancur. 3. Merepotkan dan menjadi beban keluarga. 4. Mengecewakan harapan keluarga, keluarga merasa malu di masyarakat. Dampak narkotika terhadap masyarakat: 1. Berbuat tidak senonoh (jahil/tidak sopan) terhadap orang lain. 2. Tidak segan mengambil milik tetangga untuk membeli narkoba. 3. Menganggu ketertiban umum seperti menganggu lalulintas. 4. Menimbulkan bahaya bagi ketentraman dan keselamatan umum, misalnya tidak menyesal bila melakukan kesalahan. d. Dampak Narkotika Terhadap Ekonomi: 1. Secara mikro, Penyalahgunaan narkoba menghabiskan biaya besar yang membebani keluarga yang bersangkutan. 2. Secara makro, menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi bangsa dan negara, seperti rendahnya mutu atau hancurnya generasi penerus bangsa.