INTEGRASI SOSIAL & KONFLIK HORIZONTAL Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 1 Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) 2 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal Dr. Yoserizal, MS INTEGRASI SOSIAL & KONFLIK HORIZONTAL Studi pada Masyarakat Kabupaten Rokan Hilir Penerbit Alaf Riau Pekanbaru 2017 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 3 INTEGRASI SOSIAL & KONFLIK HORIZONTAL Penulis: Dr. Yoserizal, MS Editor: Zulkarnaini, S.Sos, M.Si Sampul: Syamsul Witra Foto cover: www.eurhonet.eu Layout: Arnain'99 Cetakan I: Januari 2017 Penerbit ALAF RIAU Jl. Pattimura No. 9 Pekanbaru, Telp. (0761) 7724831 E-mail: [email protected] ISBN 978-979-3497-59-9 4 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal PRAKATA PENULIS Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, penulis panjatkan atas semua anugerah kehidupan, lindungan dan bimbingan-Nya dalam menyelesaikannya buku ini. Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, yang telah memberikan keteladanan hidup bagi seluruh umat manusia. Sejak Tahun 1946 terjadi enam kali pertikaian antara anggota kelompok komunitas di Kabupaten Rokan Hilir, yaitu tiga kali antara anggota komunitas Melayu dengan anggota komunitas Cina (Tionghoa) yang terjadi pada beberapa kawasan di Kabupaten Rokan Hilir, yaitu di Kota Bagan Siapi-Api dan Bagan Batu, dua kali antara komunitas Melayu dengan komunitas Batak yang terjadi di Kota Bagan Siapi-Api dan Bagan Batu. Sementara terjadi satu kali antara anggota komunitas Melayu dengan anggota komunitas Bugis yang berlangsung di Bagan Siapi-Api. Atas hal yang demikian, maka perlu mengidentifikasi bentukbentuk konflik horizontal yang pernah terjadi dan memahami / Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 5 memetakan potensi konflik yang berpeluang timbul kembali dalam masyarakat di Kabupaten Rokan Hilir serta mempelajari faktor-faktor penyebab timbulnya gejala konflik horizontal tersebut. Upaya tersebut diharapkan dapat menjadi rujukan bagi terjalinnya wahana komunikasi antar etnis di Kabupaten Rokan Hilir dalam pergaulan sosial yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu dapat pula terumuskannya bahanbahan yang dapat dijadikan sebagai usulan untuk penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Rokan Hilir tentang Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Demikianlah sekilas alasan pentingnya buku ini diterbitkan. Lebih dari itu, kehadiran buku ini salah satunya bertujuan untuk memenuhi keterbatasan buku kajian tentang konflik dan integrasi sosial yang diperlukan mahasiswa S1 dan S2 di jurusan Sosiologi. Pada akhirnya, kepada semua pihak yang membantu kami dalam menyelesaikan tulisan ini mendapatkan balasan yang mulia dari Allah SWT. Kami memohon maaf yang sebesarbesarnya atas segala hal yang kurang berkenan terkait dengan buku ini. Semoga buku ini dapat menjadi sumbangan bagi ilmu pengetahuan, memberikan manfaat kepada siapa saja yang membacanya. Amin. Pekanbaru, Desember 2016 Penulis 6 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal DAFTAR ISI PRAKATA PENULIS ........................................................ DAFTAR ISI ...................................................................... 5 7 BAB I PENDAHULUAN .............................................. 11 BAB II DEMOGRAFI DAN SOSIAL EKONOMI DAERAH ....................... 17 2.1 Demografi ...................................................... 17 2.2 Sosial Ekonomi ............................................... 19 BAB III KONSEPTUALISASI KONFLIK .................... 3.1 Strukturalisme Konflik .................................... 3.2 Munculnya Konflik dalam Masyarakat ............ 3.3 Pengendalian Konflik ...................................... BAB IV FAKTOR-FAKTOR PEMICU PERTIKAIAN KOMUNITAS .......................... 4.1 Faktor Sosial Budaya ..................................... 4.2 Faktor Sosial Ekonomi ................................... 4.3 Faktor Sosial Politik, Pemerintahan, dan Otonomi Daerah ................ 25 25 31 36 43 43 51 65 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 7 BAB V POTENSI INTEGRASI SOSIAL ..................... 5.1 Integrasi Sosial Budaya ................................... 1. Asosiasi Inter-komunal dan Cross-cutting Loyalities ............................. 2. Revitalisasi Melalui Pemberdayaan Kelompok 3. Proses Peleburan Budaya ............................ 5.2 Integrasi Sosial Ekonomi ................................. 1. Faktor Hubungan Ekonomi ......................... 2. Memperluas Lapangan Kerja ...................... 3. Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Komunitas Lokal ........................... 5.3 Integrasi Sosial Politik, Pemerintahan, dan Otonomi Daerah ................ 77 77 78 78 79 81 82 84 85 87 BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU ......................... 103 BAB VII PENUTUP .......................................................... 113 7.1 Kesimpulan .................................................... 113 7.2 Saran ............................................................. 115 DAFTAR PUSTAKA ......................................................... 117 8 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal Bab I Pendahuluan Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 9 10 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal BAB I PENDAHULUAN Persatuan dan kesatuan bangsa masih akan mendapatkan berbagai tantangan baru dalam proses globalisasi dewasa ini. Seiring dengan itu, masalah keamanan dan ketertiban umum (social order) juga dihadapkan pada tatangan tersendiri pada era reformasi dan demokratisasi yang kini tengah dihadapi Indonesia. Bidang pertahanan keamanan juga masih memerlukan tingkat sense of crisis yang tinggi serta menuntut sikap dan komitmen bersama yang kuat segenap komponen bangsa untuk mengelolanya. Masalah separatisme, walaupun sudah melampaui masa-masa krisis terberatnya, jelas masih menjadi persoalan yang menghambat upaya pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa. Penyelesaian konflik sosial dan pemulihan ketertiban umum juga masih terlalu dini, yang masih perlu dipelihara momentumnya dan dilanjutkan dengan proses rekonsiliasi sosial politik yang sungguh-sungguh antar berbagai kelompok yang terlibat dalam konflik perbedaan pandangan sosial politik, golongan dan etnis, serta perbedaan keyakinan agama. Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini bangsa Indonesia baik Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 11 di pusat maupun di daerah mengalami perubahan sosial yang sangat cepat. Gejala perubahan sosial yang terjadi tidak saja dalam artian positif (regressive), tapi juga dalam bentuk negatif (degressive), seperti meningkatnya masalah-masalah sosial yang mengakibatkan rusaknya tatanan nilai-nilai sosial dan budaya yang dijunjung tinggi seperti kriminalitas, patologi sosial lainnya yang tidak terkendali, aksi-aksi protes massa, konflik horizontal dan berbagai konflik fisik antar etnis dan kelompok dalam masyarakat. Karena lamanya terjadi kerusuhankerusuhan di daerah-daerah konflik seperti di Aceh, Banyuwangi, Kupang, Ambon, Poso, Sampit, Batam, Bagan Siapiapi dan lain-lain telah mengakibatkan kadar nurani dan rasa cinta kasih terhadap sesama sebagian besar masyarakat menurun drastis. Hal ini sering menimbulkan perubahan-perubahan di luar kebiasaan-kebiasaan bangsa yang beradab. Pada saat ini, harus diakui bahwa masyarakat secara umum belum seluruhnya mampu menggunakan hak-haknya, melaksanakan kewajiban serta tanggung jawab sosialnya masingmasing secara bi-jaksana dan dengan tingkat toleransi sosial yang tinggi, sehingga tidak jarang sekelompok orang tertentu melakukan hal-hal yang bersifat anarkis dalam mengekspresikan aspirasinya sebagai warga negara. Sering pula terjadi perselisihan antar individu berkembang dan meluas menjadi konflik antar etnis, antar golongan, bahkan antar penganut agama yang mengakibatkan kerusakan berbagai fasilitas umum dan jatuhnya banyak korban jiwa yang tidak berdosa. Tak terkecuali di Riau, gejolak berupa kerusuhan-kerusuhan sosial pernah melanda masyarakat di beberapa daerah yang mengarah pada konflik antar etnis, antara lain di Bagan Siapi-api, Duri, Selat Panjang, Tembilahan, Pekanbaru, Pasir Pengarayan, Pelalawan, Batam, Rengat dan lain-lain. Akibatnya banyak menelan korban jiwa dan harta benda sebagai ekspresi kebrutalan 12 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal kelompok-kelompok tertentu yang dilakukan atas dasar stereotype ethnic dan prejudice, maupun adanya pandangan dan kepentingan yang berbeda dalam hubungan sosial antar etnik. Perampokan harta benda milik masyarakat Desa Tolan Baru, pengrusakan dan pembakaran rumah warga desa oleh karyawan PT. Torganda dan PT. Torus Ganda pada tanggal 18 Maret 1999, kemudian dibalas mahasiswa dengan pembakaran dan pengrusakan harta benda milik PT. Torganda Property di Pasir Putih Pekanbaru merupakan tindakan atau perbuatan kekerasan yang tidak sesuai dengan peradaban bangsa. Demikian pula bentrok fisik yang terjadi antara karyawan PT. RAPP dengan warga Desa Kotobaru Kecamatan Singingi Rengat. Konflik antar kelompok etnik Melayu dengan Batak, Minang dengan Batak, Melayu dengan Minang di Duri dan Selat Panjang Kabupaten Bengkalis juga telah menimbulkan kerugian harta benda dan korban nyawa di kedua belah pihak. Khusus di Rokan Hilir (Bagan Siapi-api) sebagai salah satu kabupaten pemekaran di Propinsi Riau, dalam catatan sejarah pernah dilanda perang fisik pembasmian antar etnis. Masyarakat Bagan Siapi-api bersifat heterogen, sama halnya dengan daerahdaerah lainnya di Propinsi Riau (Melayu, China, Batak, Jawa, Minang dan lain-lain). Latar belakang perbedaan etnis ini setiap saat dapat meledak menjadi konflik antar kelompok etnis karena mengandung benih-benih perbedaan sosial yang tajam antar kelompok dan golongan. Secara geografis, wilayah Rokan Hilir terbuka bagi migran dari daerah lain. Lancarnya arus transportasi melalui jalur darat yang dikenal sebagai jalur timur Sumatera menghubungkan Sumatera Utara, Aceh, Jambi, Sumatera Barat dan Pulau Jawa melalui Kabupaten Rokan Hilir ini telah meningkatkan arus penduduk pendatang yang mengadu nasib ke kota-kota di wilayah ini, seperti Bagan Batu, Ujung Tanjung, Bagan Siapi-api, Kubu, Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 13 Panipahan dan sebagainya. Bahkan memungkinkan para pelarian dari daerah lain berpindah ke daerah ini dan masuk menjadi karyawan perkebunan di pedalaman yang kadang kala dijadikan sebagai tempat persembunyiannya. Apabila petugas pemerintah desa setempat tidak selektif terhadap kelompok pendatang demikian, dapat mencuatkan konflik sosial yang mendalam, gejala etnosentrisme, egoisme, fanatikisme, daerah-isme dan ismeisme lainnya akan mudah berkembang dan sulit dikendalikan bahkan dapat menghambat pembangunan daerah. Buktinya, masih segar dalam ingatan kita bahwa Bagan Siapi-api dilanda konflik antar kelompok masyarakat akibat rencana program pembangunan Ibukota Kabupaten di Ujung Tanjung. Sebelum itu, Kantor Dinas Kehutanan di Kota Bagan Siapi-api diporakporandakan massa buruh galangan kapal yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah bidang kehutanan yang melarang peredaran kayu ilegal dan dianggap menghancurkan sumber mata pencahariannya. Dalam rangka mengantisipasi gejala konflik horizontal di Kabupaten Rokan Hilir yang setiap saat dapat mengancam integrasi bangsa dan dapat menghambat kelancaran pelaksanaan pembangunan era otonomi daerah, maka langkah awal yang perlu dilakukan sebelum mengambil kebijakan program persatuan dan kesatuan bangsa perlu diadakan studi tentang integrasi sosial dan konflik horizontal yang selama ini belum pernah dilakukan. Tujuan dari studi ini adalah: pertama, mengkaji faktor-faktor apa saja yang dapat memperarat integrasi sosial antar etnis di di Rokan Hilir, seklaigus dapat meredakan konflik horizontal yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat. Kedua, merumuskan model kebijakan program pembangunan di bidang Persatuan dan Kesatuan Bangsa sebagai bagian dari pembangunan bidang sosial politik di Kabupaten Rokan Hilir dalam era otonomi daerah. 14 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal Bab II Demografi dan Sosial Ekonomi Daerah Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 15 16 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal BAB II DEMOGRAFI DAN SOSIAL EKONOMI DAERAH 2.1. Demografi Studi konflik horozontal dilakukan pada dua lokasi, yakni Kecamatan Bangko dan Kecamatan Bagan Sinembah yang berada pada wilayah Kabupaten Rokan Hilir. Kedua kecamatan ini mempunyai jumlah penduduk yang cukup besar bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya yang berada di wilayah Kabupaten Rokan Hilir. Perbandingan jumlah penduduk antar kecamatan yang berada dalam wilayah Kabupaten Rokan Hilir (dari 12 Kecamatan), dimana Kecamatan Bagan Sinembah jumlah penduduknya sebesar 24,4 % dari jumlah penduduk Kabupaten Rokan Hilir, sedangkan kecamatan Bangko sebesar 16,9 %. Kecamatan Bagan Sinembah merupakan kecamatan yang terpadat penduduknya dan ikuti dengan Kecamatan Bangko. Jumlah penduduk pada dua wilayah studi sebanyak 182.163 jiwa atau 41,3 % dari jumlah penduduk di Kabupaten Rokan Hilir. Perbandingan penduduk menurut jenis kelamin (sex ratio) memperlihatkan dimana, pada kedua kecamatan studi sex rationya adalah 1,0 yang artinya jumlah penduduk laki-laki dan Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 17 penduduk perempuan hampir sama. Banyaknya jumlah penduduk belum bisa menggambarkan tingkat kepadatan penduduk pada suatu wilayah. Jumlah penduduk yang besar belum tentu mempunyai tingkat kepadatan yang tinggi pula. Kabupaten Rokan Hilir dengan jumlah penduduk pada tahun 2004 sebanyak 440.894 jiwa dan dengan luas wilayah 8.881 Km2 maka kepadatan penduduknya adalah 50 jiwa/Km2 Kepadatan penduduk di dua lokasi studi jauh lebih besar bila dibandingkan dengan tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Rokan Hilir. Tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan Bangko 1,5 kali lipat dari pada tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Rokan Hilir, sedangkan Kecamatan Bagan Sinembah jauh lebih besar yakitu 2,5 kali dari tingkat kepadatan penduduk Kabupaten. Tingginya tingkat kepadatan penduduk dapat menimbulkan berbagai masalah sosial, seperti kemiskinan, pemukiman yang kumuh, kekurangan air bersih serta dapat menimbulkan berbagai konflik-konflik sosial lainnya. Kecamatan Bangko dengan jumlah penduduk 74.735 jiwa yang terdiri dari 14.148 Kepala Keluarga. Secara rata-rata setiap rumah tangga akan memiliki anggota keluarga sebesar 5,3 jiwa/KK. Selanjutnya pada Kecamatan Bagan Sinembah rata-rata jumlah jiwa dalam rumah tangga adalah 4,4 jiwa/KK. Sejak tahun 2001 hingga tahun 2004 pertambahan penduduk Kabupaten Rokan Hilir sebanyak 74.010 jiwa, yang secara rata-rata persentase pertumbuhan penduduk Kabupaten Rokan Hilir setiap tahunnya adalah 6,7 % pertahun. Persentase pertumbuhan penduduk ini cukup besar dan hal ini salah satunya disebabkan oleh tingkat perkembangan daerah itu sendiri. Tingkat pertumbuhan pada kedua kecamatan studi sedikit berbeda dimana pada kecamatan studi pada tahun-tahun tertentu 18 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal mengalami tingkat pertumbuhan yang minus. Misalnya antara tahun 2002 dan tahun 2003 di Kecamatan Bangko persentase pertumbuhannya hanya 0,30 % sedangkan di Kecamatan Bagan Sinembah persentase pertumbuhan penduduk mengalami angka minus yaitu -0,37 %. Selanjutnya antara tahun 2003 dan tahun 2004 Kecamatan Bangko persentase pertumbuhan penduduk 2,73 % dan di Kecamatan Bagan Sinembah persentase pertumbuhan penduduk mencapai 4,41 %. Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi setempat pada masa itu, misalnya banyaknya penduduk di daerah tersebut yang pindah ke daerah lain untuk melanjutkan pendidikan atau untuk mencari kehidupan ke daerah lain, sehingga tingkat pertumbuhan penduduk akan menjadi minus. 2.2. Sosial Ekonomi Kondisi sosial masyarakat di wilayah studi dapat dijelaskan dengan melihat tingkat kesejahteraan masyarakat. Salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat adalah banyaknya keluarga prasejahtera, sejahtera I, II, III dan III+ di wilayah studi. Pada Tahun 2003 jumlah keluarga prasejahtera di Kabupaten Rokan Hilir sebesar 9.275 KK (9,6 %) dan keluarga ssejahtera I sebanyak 17.529 KK (18,2 %). Tingkat kesejahteraan masyarakat di Kecamatan Studi bila dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Rokan Hilir, dapat dinyatakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di kecamatan studi masih lebih baik. Hal ini terbukti dengan persentase keluarga prasejahtera pada kecamatan studi jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan persentase keluarga prasejahtera di tingkat kabupaten. Persentase keluarga prasejahtera di Kecamatan Bangko Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 19 jauh dibawah persentase keluarga prasejahtera di tingkat kabupaten yaitu sebesar 3,4 % dan di Kecamatan Bagan Sinembah 3,2 % sedangkan Kabupaten Rokan Hilir persentase keluarga prasejahtera sebesar 9,6 %. Hal ini memberikan gambaran bahwa ke dua kecamatan studi tingkat kesejahteraannya cukup baik bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya yang berada dalam wilayah Kabupaten Rokan Hilir. Masyarakat yang berada pada tingkat Sejahtera I di Kecamatan bangko persentasenya cukup besar yaitu 16,2 %, hampir mendekati persentase masyarakat sejahtera I Kabupaten Rokan Hilir (18,3 %). Sedangkan masyarakat sejahtera I di Kecamatan Bagan Sinembah masih jauh berada di bawah angka persentase sejahtera I Kabupaten Rokan Hilir yaitu hanya sebesar 7,8 %. Masyarakat yang berada pada kelompok prasejahtera dan sejahtera I masih dapat digolongkan kepada kriteria masyarakat miskin. Kondisi sosial masyarakat, disamping dapat di lihat dari tingkat kesejahteraan dapat pula di lihat dari sisi pendidikan. Jumlah sarana dan prasarana pendidikan formal yang tersedia sangat mempengaruhi tingkat pendidikan masyarakat. Banyaknya sekolah baik negeri maupun swasta mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga ke tingkat sekolah lanjutan atas pada kecamatan studi. Demikian pula jumlah murid yang bersekolah serta jumlah guru yang mengajar untuk masing-masing kecamatan sangat bervariasi. Dengan membandingkan antara kedua kecamatan studi dapat dilihat adanya kesenjangan pada tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Pada tingkat Taman Kanak-Kanak hingga ke jenjang pendidikan SLTP Kecamatan Bagan Sinembah jumlah sekolah yang tersedia lebih banyak bila dibandingkan dengan sekolah yang terdapat di Kecamatan Bangko. Pada tingkat SLTA justru di Kecamatan Bangko jumlah sekolahnya 20 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal lebih banyak bila dibandingkan dengan sekolah tingkat SLTA yang berada di Kecamatan Bagan Sinembah. Gejala yang sama juga terlihat pada banyaknya murid yang bersekolah, dimana pada tingkat Taman Kanak-Kanak hingga ke tingkat SLTP jumlah murid di Kecamatan Bagan Sinembah lebih banyak dari jumlah murid yang terdapat di Kecamatan Bangko, namun pada tingkat SLTA jumlah murid Kecamatan Bangko yang lebih banyak dari murid yang berada di Kecamatan Bagan Sinembah. Demikian pula yang berlaku untuk jumlah guru yang mengajar Hal di atas dapat dijelaskan dengan dua kemungkinan. Pertama, di Kecamatan Bagan Sinembah siswa yang telah menamatkan pendidikannya pada tingkat SLTP tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih (SLTA) kemungkinan. Kedua, siswa yang telah tamat SLTP sebahagian besar melanjutkan studinya ke luar daerah. Salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas pendidikan adalah dengan melihat rasio antara guru dan murid. Rasio murid dan guru di kedua Kecamatan studi mulai dari jenjang pendidikan Taman Kanak-Kanak hingga ke Tingkat SLTA sangat bervaariasi. Secara umum di Kecamatan Bangko rasio seorang guru dengan muridnya berkisar antara 5 - 41. Pada tingkat SLTP rasio guru dan murid adalah 1 : 5 paada SLTP swasta ini menjelaskan bahwa jumlah guru SLTP swasta di kecamatan ini cukup banyak, sedangkan pada SLTA Negeri rasionya 1 : 41 artinya guru SLTA negeri sangat sedikit jumlahnya. Berbeda halnya dengan Kecamatan Bagan Sinembah dimana rasio guru dan murid yang tertinggi yaitu pada sekolah dasar negeri yaitu 1 : 68 sedangkan pada SLTP swasta rasio guru dan murid 1 : 8. Kesehatan masyarakat merupakan salah satu Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 21 indikator yang penting untuk melihat kondisi masyarakat. Ukuran yang dapat digunakan ialah tersedianya sarana dan prasarana kesehatan di daerah tersebut. Kecamatan Bangko sarana kesehatan yang tersedia seperti rumah sakit, Puskesmas dan Puskesmas Pembantu yang masing-masingnya terdapat sebanyak satu buah. Sama halnya dengan Kecamatan Bangko, di Kecamatan Bagan Sinembah juga terdapat sarana kesehatan yang sama hanya saja di kecamatan ini terdapat 2 buah rumah sakit Jumlah tenaga medis yang tersedia pada kedua kecamatan studi jumlahnya belum memadai apabila dilihat dari jumlah penduduk. Kecamatan Bangko jumlah perawat cukup besar, sedangkan dokter dan bidan masih terbatas jumlahnya. Sedangkan pada Kecamatan Bagan Sinembah jumlah bidan lebih banyak, sedangkan jumlah dokter hanya sebanyak 3 orang. Agama merupakan kepercayaan yang dianut oleh seseorang yang di ikuti dengan kegiatan-kegiatan ritualnya. Pada wilayah studi terlihat adanya keragaman agama yang dianut masyarakat seperti terdapatnya penduduk yang menganut agama Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Kong Fu Cu. Keragaman agama yang dianut dapat dilihat dari ketersediaannya rumah ibadah untuk melakukan kegiatan ritual keagamaan tersebut. Sebahagian besar penduduk di wilayah studi adalah beragama Islam, yang diikuti dengan agama Kristen. Di Kecamatan Bangko terdapat Mesjid/Surau, Gereja, Vihara dan Kelenteng dan tidak terdapat Pura. Sebaliknya pada Kecamatan Bagan Sinembah terdapat Mesjid/Surau, Gereja, Vihara dan Pura, tidak terdapat Kelenteng di kecamatan ini. 22 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal Bab III Konseptualisasi Konflik Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 23 24 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal BAB III KONSEPTUALISASI KONFLIK 3.1. Strukturalisme Konflik Konflik berasal dari kata kerja configere yang artinya adalah saling memukul. Sementara konsep conflict dalam bahasa Inggris berarti suatu perkelahian, peperangan, atau perjuangan yang berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Konsep ini memberikan penegasan bahwa sebuah konflik terjadi karna adanya interaksi fisik antara dua pihak atau lebih. Dengan demikian konflik adalahinteraksi sosial yang menyangkut hubungan antara individu (Pruitt, 2004). Konflik antara kelompok merupakan wujud dari interaksi sosial, yang dapat terjadi pada komunitas manapun, yang sumbernya adalah perbedaan kepentingan. Seorang pemikir sosiologi, Talcott Parsons menyebut bahwa tidak ada satupun sistem sosial yang terintegrasi secara equilibrium, karena selalu ada kemungkinan yang terjadi hal sebagai berikut : 1) ketidaksesuaian dalam prioritas bagi nilainilai yang berbeda ; 2) interpretasi yang saling bertentangan mengenai nilai-nilai bersama ; 3) konflik peranan ; 4) motivasi ambivalen atau negatif ; 5) ketegangan antara kebutuhan Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 25 individu dan peranan yang ditentukan secara budaya; dan 6) harapan individu yang tidak tetap. Konflik sosial merupakan gejala ketegangan yang harus diatasi oleh sistem untuk mempertahankan keseimbangan untuk kepentingan individu. Hubungan antara individu yang mengalami ketegangan secara konsisten tunduk pada persyaratan sistem keseluruhan untuk mempertahankan keseimbangan dan stabilitas sosialnya (Ritzer, 2000). Menurut pemikiran Marx bahwa hubungan kepentingan antara kelompok dominan yang kuat dan memiliki power dengan kelompok subordinat yang lemah dan tidak memiliki power. Marx mendeskripsikan tingkat inequality didalam distribusi sumberdaya langka, menentukan konflik kepentingan antara kelompok yang menguasai power dengan yang tidak memilikinya. Proposisi-proposisi penting yang perlu diperhatikan adalah hal-hal sebagai berikut (Wirawan, 2012): 1. Semakin tidak merata distribusi sumberdaya langka dalam suatu sistem, semakin besar konflik kepentingan antara segmen dominan (kelompok kuat) dan segmen subordinat (kelompok lemah) dalam sistem tersebut. 2. Semakin menyadari segmen subordinat akan kepentingan kolektif, semakin besar kemungkinan mereka mempertanyakan keabsahan distribusi sumber yang tidak merata. a. Perubahan sosial yang diciptakan oleh segmen dominan semakin mengacaukan hubungan yang ada di antara para subordinat, maka semakin besar kemungkinannya segmen subordinat menyadari kepentingan kolektif mereka. b. Semakin praktik-praktik segmen dominan menimbulkan disposisi keterasingan di antara segmen subordinat, maka semakin besar kemungkinan kelompok lemah tersebut menyadari kepentingan kolektif mereka. 26 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal c. Semakin segmen subordinat dapat saling berkomunikasi mengenai keluhan-keluhan mereka, maka semakin besar kemungkinan kelompok lemah tersebut menyadari kepentingan kolektif mereka. 1) Semakin konsentrasi anggota dari pada kelompok subordinat bersifat spasial, maka semakin besar kemungkinan mereka akan menyampaikan (berkomunikasi tentang) keluhan-keluhan mereka. 2) Semakin kelompok subordinat memiliki akses kepada media pendidikan, semakin beraneka-ragam cara komunikasi mereka, maka semakin besar kemungkinan menyampaikan (berkomunikasi tentang) keluhan-keluhan mereka. d. Semakin segmen subordinat dapat mengembangkan kesatuan sistem keyakinan, maka semakin besar kemungkinan mereka menjadi sadar kepada kepentingan kolektif mereka yang sesungguhnya. 1) Semakin besar kemampuan untuk mendapatkan (to recruit) juru bicara ideologis, maka semakin besar kemungkinan berlakunya penyatuan ideology mereka 2) Semakin kecil kemampuan kelompok dominan mengatur proses sosialisasi dan jaringan komunikasi di dalam suatu sistem, maka semakin besar kemungkinan berlakunya penyatuan ideologis pada kelompok subordinat 3. Semakin segmen subordinat dalam suatu sistem menyadari kepentingan kolektif mereka, semakin kuat mereka mempertanyakan keabsahan (legitimacy) distribusi sumber-daya langka, maka semakin besar kemungkinan mereka mengorganisir untuk memulai konflik terbuka dengan segmen dominan. a. Semakin besar kemerosotan (deprivation) kelompok subordinat bergerak dari dasar absolut ke dasar relative, maka semakin besar kemungkinan mereka menyusun dan memulai konflik Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 27 b. Semakin kelompok dominan kehilangan kemampuan untuk menyatakan kepentingan kolektif mereka, semakin besar kemungkinan kelompok subordinat menyusun dan memulai konflik c. Semakin besar kemampuan kelompok subordinat mengembangkan struktur kepemimpinan, semakin besar kemungkinan mereka menyusun dan memulai konflik 4. Semakin segmen subordinat disatukan oleh keyakinan bersama dan semakin berkembang struktur kepemimpinan politik mereka, maka segmen dominan dan segmen-segmen yang dikuasai dalam sistem tersebut akan mengalami polarisasi. 5. Semakin besar polarisasi antara segmen dominan dengan segmen yang dikuasai, maka akan semakin keras konflik yang berlaku. 6. Semakin keras suatu konflik, maka semakin besar perubahan struktur sebuah sistem dan redistribusi sumberdaya langka. Menurut Margaret M. Poloma, penjelasan struktural terhadap fenomena konflik sosial merujuk kepada perspektif konflik Ralf Dahrendorf yang lebih mementingkan elemen-elemen struktur sosial sebagai dasar terciptanya konflik sosial. Konflik didasari oleh susunan struktural tertentu, yang selalu cenderung melahirkan susunan struktural sebagaimana yang sudah ada. Dengan demikian Dahrendorf menghubungkan konflik dengan struktur sosial tertentu, dan bukan menganggapnya berhubungan dengan variabel-variabel psikologis (sifat-sifat agresif) atau variabel historis deskriptif dan variabel kebetulan (Poloma, 2003) Selanjutnya Ralf Dahrendorf menegaskan bahwa pendekatan konflik berpangkal pada asumsi dasar sebagai berikut: 1. Setiap masyarakat sentiasa berada dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir atau dengan kata lain perubahan 28 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal sosial merupakan gejala yang melekat pada setiap masyarakat. Masyarakat merupakan suatu proses sosial dan memiliki sifat yang dinamis, dimana keadaan masyarakat selalu berubah sesuai dengan fenomena-fenomena yang berlaku di dalam masyarakat tersebut dalam waktu yang terus berterusan. 2. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik didalam dirinya atau dengan kata lain konflik ialah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat, salah satu yang dapat mempengaruhi perubahan ditengah-tengah masyarakat adalah konflik di masyarakat tersebut. 3. Setiap unsur di dalam masyarakat memberikan sumbangan bagi berlakunya disintegrasi dan perubahan sosial. 4. Setiap masyarakat terintegrasi diatasi penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang. Rafl Dahrendorf melihat kelompok-kelompok yang bertentangan sebagai kelompok yang lahir dari kepentingan-kepentingan bersama para individu yang mampu berorganisasi. Pada asosiasi yang ditandai oleh pertentangan, terdapat ketegangan antara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk pada struktur itu. Secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah dianalisis jika dilihat sebagai pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan. Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai-nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasaannya, sementara kepentingan-kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubunganhubungan sosial yang terkandung di dalamnya. Setiap kelompok atau sistem sosial terbagi ke dalam berbagai kepentingan, yakni : kepentingan orang-orang yang menguasai kepemilikan Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 29 material, dan orang-orang yang tidak menguasainya (institusi ekonomi), dan kepentingan mereka yang memiliki dominasi otoritatif dan mereka yang harus tunduk pada penggunaan otoritas tersebut. Setiap perbezaan kepentingan menempatkan anggota masyarakat pada posisi dominan dan subordinat (Poloma, 2003). Berbagai fenomena konflik memiliki intensitasnya masingmasing. Sumber-sumber konflik tertentu menghasilkan konflik dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan konflik yang dihasilkan oleh sumber konflik yang lain. Intensitas, merujuk pada pengeluaran energi dan keterlibatan kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik. Dua variabel utama yang mempengaruhi intensitas adalah tingkat kemiripan (konsistensi) konflik di pelbagai asosiasi yang berbeda serta tingkat mobilitas. Tingkat konsistensi yang tinggi bermakna, para anggota dari kelompok konflik saling berkonfrontasi dalam berbagai hubungan asosiasional. Hal ini berlaku kerana orang yang dominan pada satu asosiasi, juga dominan dalam asosiasi yang lain, sedangkan yang subordinat pada satu asosiasi juga demikian pada asosiasi yang lain. Selain itu, kesempatan untuk konflik yang luas dan mendalam akan semakin besar kalau tak satupun dari asosiasi yang terlibat mampu menyediakan peluang untuk mobilitas keatas. Semakin besar konsistensi antara persebaran penghargaan ekonomis, status sosial atau prestise, dan sebagainya, dengan persebaran otoritas, maka semakin besar pula intensitas konflik kelas (Poloma, 2003). Berlainan dengan intensitas konflik, maka kekerasan atau violence merujuk pada alat yang digunakan oleh pihak yang saling bertentangan untuk mengejar kepentingan. Tingkat kekerasan boleh sangat bervariasi, mulai dari negosiasi yang penuh ketenangan sampai pada kekerasan terbuka, termasuk serangan fisik atas manusia dan miliknya. Tingkat deprivasi sosio 30 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal ekonomis daripada mereka yang berada dalam posisi subordinat, merupakan faktor yang dapat membawa impak pada munculnya konflik yang keras. George Simmel dalam Wirawan (2012), sehubungan dengan konflik sosial, mengembangkan tiga perangkat proposisi tentang intensitas konflik bagi pihak yang terlibat dan fungsi konflik bagi sistem keseluruhan, dalam rangkaian proposisi tentang intensitas konflik. Simmel mengemukakan bahwa semakin tinggi derajat keterlibatan emosional pihak yang terlibat dalam suatu konflik, maka semakin kuat kecenderungan untuk mengarah pada kekerasan. Dalam konteks ini ada korelasi positif antara solidaritas antar anggota dalam suatu kelompok dengan derajat keterlibatan emosional. Demikian pula ada korelasi positif antara harmoni awal (pervious harmony) antara anggota kelompok yang bertikai dengan derajat keterlibatan emosional mereka. Selanjutnya, semakin suatu konflik dianggap telah merintangi pencapaian tujuan dan kepentingan individu oleh para anggota kelompok yang bertikai, maka konflik itu cenderung menjadi kekerasan. 3.2. Munculnya Konflik dalam Masyarakat Johan Galtung mengatakan bahwa konflik dapat dilihat sebagai sebuah segitiga, dengan kontradiksi (Contradiction = C), sikap (Attitude = A), perilaku (Behaviour = B) pada puncak-puncaknya. Kontradiksi merujuk pada dasar situasi konflik, termasuk “ketidakcocokan tujuan” yang ada atau dirasakan oleh pihak-pihak yang bertikai, yang disebabkan oleh “ketidakcocokan antara nilai sosial dan struktur sosial”. Kontradiksi ditentukan oleh pihak-pihak yang bertikai, hubungan mereka, dan benturan kepentingan inheren di antara mereka (Liliweri, 2009). Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 31 Sikap adalah persepsi pihak-pihak yang berkonflik dan kesalahan persepsi antara mereka dan dalam diri mereka sendiri, dan merupakan persepsi tentang isu-isu tertentu yang berkaitan dengan kelompok lain. Dalam konflik dan kekerasan, pihakpihak yang bertikai cenderung mengembangkan stereotip yang merendahkan satu sama lain. Sikap ini sering dipengaruhi oleh emosi seperti takut, marah, kepahitan, atau kebencian. Sikap tersebut termasuk elemen emotif (perasaan), kognitif (keyakinan) dan konatif (kehendak). Perilaku yang merupakan kerjasama atau pemaksaan, gerak tangan atau tubuh yang menunjukkan persahabatan atau permusuhan. Perilaku konflik dengan kekerasan dicirikan oleh ancaman, pemaksaan, dan serangan yang merusak. Berbagai bentuk kontradiksi adalah munculnya situasi yang melibatkan masalah sikap dan perilaku sebagai suatu proses. Dalam hal ini kontradiksi diciptakan oleh unsur persepsi dan gerak kelompok yang terlibat, yang hidup dalam persekitaran sosial. Secara sederhana, sikap melahirkan perilaku, kemudian melahirkan kontradiksi atau situasi. Sebaliknya, situasi boleh melahirkan sikap dan perilaku. Konsep mengenai situasi kontradiksi yang didahului oleh sikap dan perilaku ini digambarkan pada skema segitiga ABC Galtung (lihat Gambar 3.1). Galtung berpendapat bahwa tiga komponen harus muncul dalam sebuah konflik total. Struktur konflik tanpa sikap atau perilaku konfliktual merupakan sebuah konflik laten. Galtung melihat konflik sebagai proses dinamis, dimana struktur, sikap, dan perilaku secara konstan berubah dan saling mempengaruhi. Ketika konflik muncul, kepentingan pihak-pihak yang bertikai masuk ke dalam konflik atau hubungan dimana mereka berada. Kemudian pihak-pihak yang bertikai mengorganisasi diri di sekitar struktur ini untuk mengejar kepentingan mereka. Mereka mengembangkan sikap yang membahayakan dan perilaku 32 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal konfliktual, sehingga formasi konflik mulai tumbuh dan berkembang. Contradiction (kontradiksi) Attitude Behaviour (Sikap) (Perilaku) Gambar 3.1 Segitiga ABC Galtung Konflik bisa meluas, memunculkan konflik sekunder pada pihak-pihak utama, atau pihak-pihak yang terseret ke da-lamnya. Hal ini akan merepotkan tugas menyelesaikan konflik intinya, dan pada akhirnya penyelesaian konflik harus melibat-kan segenap perubahan dinamis, yang melibatkan penurunan perilaku konflik, perubahan sikap, dan transformasi hubungan atau kepentingan yang berbenturan, yang berada dalam inti struktur konflik (Liliweri, 2009). Pembahasan tentang konflik selalu mengarah pada upaya penyelesaiannya serta analisis mengenai sumber-sumber penyebab munculnya konflik tersebut. Salah satu penjelasan tentang sumber konflik yang diajukan oleh para pemerhati konflik ialah, adanya kelangkaan sumber daya untuk pemenuhan keinginan dan kebutuhan hidup individu dan masyarakat. kondisi ini akan membuat banyak pihak merasa tidak puas atas ketidakadilan distribusi sumber daya tersebut, dan ketika berlaku ketidakpuasan, maka akan terjadi konflik (Liliweri, 2009). Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 33 Berkenaan dengan kelangkaan sumber pemenuhan kebutuhan hidup, maka setidaknya terdapat tiga faktor yang menjadi sumber konflik antara dua pihak, yaitu kepentingan (interest), kekuasaan (power), dan hak (right), dimana : 1. Kepentingan sebagai obyek keperluan dan keinginan yang menjadi sumber konflik. Kedua pihak mempunyai keperluan dan keinginan yang sama terhadap obyek yang disengketakan, misalnya barang, uang, jasa layanan, dan lain-lain 2. Kekuasaan sebagai obyek keperluan dan keinginan yang menjadi sumber konflik. Kedua pihak mempunyai keperluan dan keinginan yang sama untuk memperoleh status dan peranan sehingga memiliki kewenangan yang dominan 3. Hak sebagai obyek keperluan dan keinginan yang menjadi sumber konflik. Kedua pihak mempunyai keperluan dan keinginan yang sama untuk memperoleh tuntutannya, kerana masing-masing merasa bahwa tuntutan itu berkaitan dengan hak dan tanggungjawabnya. Bentuk solusi konflik yang bisa ditawarkan adalah dengan memenuhi kepentingan semua pihak. Tetapi penyelesaian ini hanya menghentikan konflik untuk sementara waktu. Apabila sumber daya yang diperebutkan telah habis, maka situasi konflik akan muncul kembali. Cara yang lain, yaitu menyerahkan kekuasaan atau hak kepada salah satu pihak merupakan solusi konflik yang tidak berdampak kepada integrasi sosial. Cara ini adalah sebuah bentuk penyelesaian yang bersifat zero-sum solution, dan akan diikuti oleh penyalahgunaan wewenang dan hak oleh pihak dominan, yang kemudian akan menimbulkan konflik yang baru. Oleh kerana itu, konflik sosial seringkali memiliki sifat berulang sesudah beberapa tahun mereda. Konflik sedemikian adalah karena sumber konflik yang sebenarnya sulit 34 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal terungkap, dan konflik tidak dapat diselesaikan dengan sepenuhnya. Selalu masih tersisa perbedaan-perbedaan yang akan memicu konflik pada masa-masa mendatang. Tiga dimensi yang dipetakan oleh Johan Galtung tentang kekerasan, yaitu kekerasan struktural, kekerasan kultural, dan kekerasan langsung. Kekerasan langsung seringkali didasarkan atas penggunaan kekuatan sumberdaya (resource power). Kekuatan sumberdaya boleh dibagi menjadi kekuatan punitive yaitu kekuatan yang menghancurkan. Kemudian, kekuatan ideologis, kekuatan remuneratif yang cenderung menciptakan kekerasan budaya. Galtung mendefinisikan kekerasan budaya sebagai aspek budaya, yaitu ruang simbolik keberadaan manusia seperti agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu empirik dan ilmu formal (logika, matematika), yang dapat dipakai untuk melegitimasi kekerasan langsung atau kekerasan struktural. Sedangkan kekerasan struktural tercipta dari penggunaan kekuasaan struktural atau penggunaan otoritas (wewenang) untuk menciptakan sebuah kebijakan. tabel tipologi kekerasan yang disebutkan oleh Galtung (Galtung 1990). Tabel 3.1. Tipologi Kekerasan Galtung Survival needs Well-being needs Identity needs Freedom needs Kekerasan langsung Killing Maiming, siege, misery, sanction Desocialization Repression resocialization detention second citizen expulsion Kekerasan struktural exploitation exploitation Penetration segmentation Marginalization fragmentation Sumber : Johan Galtung (1990). Kekuatan sumberdaya dan kekuasaan struktural saling memperkuat. Galtung mengungkapkan bahwa kekerasan struktural, Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 35 kultural, dan langsung dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan dasar. Kebutuhan-kebutuhan dasar ini adalah kelestarian dan keberlangsungan hidup (survival needs), kesejahteraan (wellbeing needs), kebebasan (freedom needs), dan identitas (identity needs). Jika empat kebutuhan dasar ini mengalami tekanan atau kekerasan dari kekuasaan personal dan struktural, maka konflik kekerasan akan muncul (Galtung 1990) 3.3. Pengendalian Konflik Kunci untuk solusi konflik secara damai adalah dengan mengembangkan lembaga-lembaga demokrasi yang stabil dan menghormati hak asasi manusia (Anwar, 2005). Katup penyelamat (savety-valve) merupakan salah satu mekanisme khusus yang dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial, membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, dan membersihkan suasana dalam kelompok yang sedang kacau. Sebagaimana yang dikatakan oleh Lewis A. Coser melihat katup penyelamat itu sebagai jalan keluar yang dapat meredakan permusuhan antara dua pihak yang berlawanan. Lewat katup penyelamat (savetyvalve) permusuhan dihambat dan diungkapkan dengan cara-cara yang tidak mengancam atau merusakkan solidaritas. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu : mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu, menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakanledakan destruktif (Poloma, 2003). Paling tidak terdapat tiga macam bentuk pengendalian konflik, yakni : 1) Konsiliasi, iaitu pengendalian konflik yang dilakukan dengan melalui lembaga-lembaga tertentu yang 36 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal memungkinkan diskusi dan pengambilan keputusan yang adil di antara pihak-pihak bertikai ; 2) Mediasi, iaitu pengendalian yang dilakukan apabila kedua-dua pihak yang berkonflik sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai mediator ;3) Arbritasi, iaitu pengendalian yang dilakukan apabila kedua-dua belah pihak yang berkonflik sepakat untuk menerima atau terpaksa menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusankeputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik (Dahrendorf, 1986). Ketiga mekanisme pengendalian konflik ini banyak digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan pelbagai konflik sosial yang berlaku. Sebagaimana yang diketengahkan oleh Kerr sebelumnya, mengenai konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi, berikut ini terdapat beberapa bentuk akomodasi lainnya. Akomodasi, ialah keadaan yang merupakan hasil dari interaksi yang bersifat damai (Summer dalam Narwoko, 2010). Akomodasi sebagai proses sosial berlangsung dalam beberapa bentuk, masing-masing dapat disebutkan dan dijelaskan sebagai berikut: 1. Pemaksaan (coercion) proses akomodasi yang berlangsung melalui cara paksaan sepihak dan yang dilakukan dengan mengancam sanksi. 2. Kompromi (compromise) proses akomodasi yang berlangsung dalam bentuk usaha pendekatan oleh kedua belah pihak yang sadar menghendaki akomodasi, kedua belah pihak bersedia mengurangi tuntutan masing-masing sehingga dapat diperoleh kata sepakat mengenai titik tengah penyelesaian. 3. Pengguna jasa perantara (mediation) suatu usaha kompromi yang dilakukan sendiri secara langsung, melainkan dilakukan dengan bantuan pihak ketiga, dan tidak memihak, mencuba mempertemukan dan mendamaikan pihak-pihak yang Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 37 4. 5. 6. 7. 38 bersengketa atas dasar itikat kompromi kedua belah pihak. Pengguna jasa penengah (arbitrate) suatu usaha penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga. Seperti halnya dengan perantara, penengah ini juga dipilih oleh kedua belah pihak yang bertikai. Tetapi perantara itu sekedar mempertemukan kehendak kompromistis keduadua pihak, penengah ini menyelesaikan sengketa dengan membuat keputusan-keputusan penyelesaian atas dasar ketentuan-ketentuan yang ada. Peradilan (adjudication) suatu usaha penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh pihak ketiga yang memang mempunyai authoriti untuk menyelesaikan konflik. Pengadilan (hakim) tidaklah dipilih oleh pihak-pihak yang bertikai seperti apa yang berlaku pada proses akomodasi melalui penengah. Akan tetapi, seperti halnya para penengah, para pengadilan (adjudication, khusus hakim) itu selalu menggunakan aturanaturan tertentu sebagai standar penyelesaian sengketa. Toleration, suatu bentuk akomodasi yang berlangsung tanpa manifestasi persetujuan formal macam apapun. Pertentangan berlaku kerana individu-individu bersedia menerima perbezaan-perbezaan yang ada sebagai suatu kenyataan, dan dengan kerelaan membiarkan perbezaan itu, serta menghindari diri dari pertelingkahan-pertelingkahan yang mungkin timbul. Stalemat, adalah suatu bentuk akomodasi, dimana pihakpihak yang bertentangan tiba pada suatu posisi “maju tidak boleh dan mundur tidak boleh”. Stalemate adalah suatu situasi kemacetan yang stabil, sehingga beberapa pihak mengatakan bahwa stalemate bukanlah proses akomodasi melainkan resultant suatu proses akomodasi Integrasi Sosial & Konflik Horizontal Beberapa cara lain yang digunakan dalam usaha mengendalikan konflik, dinyatakan oleh Moore Christopher (Susan, 2009). Bentuk-bentuk pengendalian dan proses pengurusan konflik yang dimaksud iaitu: a. Avoidance adalah pihak-pihak berkonflik saling menghindari dan mengharap konflik boleh terselesaikan dengan sendirinya. b. Informan problem solving adalah pihak-pihak yang berkonflik setuju dengan pemecahan masalah yang diperoleh secara informal. c. Negotiation ketika konflik masih terus berlanjut, maka para pihak berkonflik perlu melakukan negosiasi. Artinya mencari jalan keluar dan pemecahan masalah secara formal. Hasil dari negosiasi bersifat prosedural yang meningkat semua pihak yang terlibat dalam negosiasi. d. Mediation adalah munculnya pihak ketiga yang diterima oleh kedua pihak kerana dipandang boleh membantu parah pihak berkonflik dalam penyelesaian konflik secara damai. e. Executive dispute resolution approach iaitu kemunculan pihak lain yang memberi suatu bentuk penyelesaian konflik. f. Arbitration suatu proses tanpa paksaan dari para pihak berkonflik untuk mencari pihak ketiga dipandang netral atau imparsial. g. Judicial approach berlakunya intervensi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga berwenang dalam memberi kepastian hukum. Langkah-langkah penyelesaian konflik dan pertikaian sosial mana yang sesuai tentunya sangat bergantung kepada sumber konflik, pencetus konflik, keterlibatan pihak-pihak yang Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 39 berkonflik serta tingkat intensitas konflik. Faktor pencetus konflik dan pertikaian kerapkali bukan merupakan sumber konflik yang sebenarnya. Pencetus konflik ialah suatu tindakan atau kejadian yang langsung mencetuskan pertikaian antara kedua-dua pihak. Sedangkan sumber konflik merupakan akar permasalahan yang harus ditarik jauh ke belakang secara historis, yang akan memberikan penjelasan secara substansi mengenai asal-muasal kebencian antara pihak-pihak yang bertikai. Pengendalian atau penyelesaian konflik yang hanya berasas kepada faktor pencetus konflik, tidak akan menghasilkan sebuah solusi yang menyeluruh dan mendalam, namun mungkin hanya akan meredam pertikaian atau kekerasan pada masa yang singkat sahaja, dan tidak lama kemudian akan muncul pertikaian yang serupa, bahkan mungkin dengan intensitas yang lebih kuat. Oleh itu, beberapa konflik yang berlaku tidak dapat benar-benar dihapuskan, dan akan berulang pada bilangan masa tertentu. Sumber setiap pertikaian ialah kebencian yang tersimpan. Apabila kebencian kepada pihak yang berkuasa tidak mampu diungkapkan, maka akan berlaku transfer of hate, iaitu kebencian yang dialihkan kepada pihak lain yang mewakili kepentingan lawan yang berkuasa tersebut. Pada keadaan seperti ini tentu konflik dan pertikaian menjadi fenomena yang sangat sukar untuk diselesaikan, terutama untuk mendapatkan sumber konfliknya, kerana sebenarnya pada setiap pertikaian memiliki nilai pembenarannya sendiri. 40 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal Bab IV Faktor Pemicu Pertikaian Komunitas Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 41 42 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal BAB IV FAKTOR PEMICU PERTIKAIAN KOMUNITAS 4.1. Faktor Sosial Budaya Konflik atau pertentangan antar kelompok atau komunitas merupakan bentuk dari interaksi sosial yang bisa terjadi pada masyarakat manapun. Berbagai perbedaan kepentingan saling berbenturan sehingga menciptakan konflik dalam berbagai tingkatannya. Masyarakat Bagan Siapiapi merupakan masyarakat yang multikultural, yakni masyarakat yang terdiri dari beragam komunitas dari berbagai aspek. Secara demografis terdapat beberapa kelompok etnis penduduk kota, yang secara kuantitas didominasi oleh warga Cina atau Tionghoa dengan jumlah sebesar 40%. Penduduk tempatan atau Melayu sebanyak 30%, selanjutnya sejumlah 30% terdiri dari etnis Jawa, Batak, Minang, dan Bugis. Melihat susunan tersebut, maka dapat dipahami bahwa akses ekonomi kota dikuasai oleh warga Cina, mulai dari sektor perdagangan skala besar dan menengah sampai ke perikanan atau yang bermatapercaharian sebagai nelayan miskin. Sementara komunitas yang lain tersebar di semua lapangan pekerjaan, Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 43 termasuk sektor politik. Demikian juga mengenai pengelompokan tempat tinggal, sesuai dengan sektor pekerjaan yang dikuasai, maka wilayah perkotaan didominasi oleh komunitas Cina, sementara terdapat kantong-kantong kemiskinan yang didominasi oleh komunitas Jawa dan Melayu, dengan sejumlah kecil komunitas Cina juga. Kebanyakan diantara mereka ini bekerja sebagai petani dan nelayan. Bersumber dari wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat dari berbagai komunitas berhasil diidentifikasikan sejumlah konflik atau pertikaian yang pernah terjadi. Secara sosiologis masyarakat daerah penelitian dapat dikelompokkan sebagai penduduk asli atau tempatan, yaitu komunitas Melayu, dan pendatang yang terdiri dari Cina, Jawa, Minang, Bugis, dan Batak. Apabila dilakukan identifikasi atas konflik yang terjadi antara warga tempatan dengan pendatang, maka paling banyak terjadi adalah pertikaian antara komunitas Melayu dengan Batak, dan Melayu dengan Cina. Sementara pertikaian antara komunitas Melayu dengan Bugis hanya terjadi 1 (satu) kali pada sekitar tahun 1965, Melayu dengan Minang terjadi 1 (satu) kali yang merupakan dampak dari kasus PRRI, dan Melayu dengan Jawa tidak pernah terjadi. Karakter konflik yang pernah terjadi dapat diamati dari penyebab atau pemicu semua pertikaian tersebut. Hampir semua konflik dipicu oleh tindakan kriminal atau premanisme yang melibatkan pemuda-pemuda dari komunitas yang berbeda. Walaupun demikian tetap bisa diidentifikasi adanya potensipotensi konflik yang terpendam atau laten diantara mereka. Beberapa potensi konflik yang berhasil diungkap, antara lain yang muncul diantara komunitas Melayu dengan Batak adalah perbedaan agama. Sedangkan konflik antara komunitas Melayu dengan Cina, menyimpan latar belakang historis yang cukup panjang dan sarat pula dengan muatan politis. 44 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal Temuan ini sesuai dengan pernyataan para analis konflik yang menyatakan bahwa sejumlah kasus pertikaian antar etnis lebih berupa tindak pidana lintas-etnis, dan bukan merupakan kekerasan antar etnis. Kekerasan antar etnis adalah tindakan kolektif yang dilakukan secara relatif terorganisir untuk menghukum sebagian dan atau seluruh anggota etnis darimana si pelaku tindak pidana berasal. Dalam kekerasan etnis, biasanya hanya satu pihak yang relatif terorganisasi, yakni pihak mayoritas, apakah secara kualitas atau kuantitas, dan yang bertindak sebagai pihak penyerang. Namun demikian, tetap dibutuhkan beberapa kondisi yang bisa merubah tindak pidana lintas-etnis menjadi kekerasan etnis, sehingga tidak semua tindak pidana lintas-etnis serta merta menjadi kekerasan antar etnis, sebagaimana konflik antar komunitas yang terjadi di daerah penelitian. Beberapa keadaan yang disebutkan oleh para ahli sebagai pendorong tindak kriminal lintas-etnis meluas menjadi kekerasan etnis adalah : 1. Terjadinya mekanisme spiral equilibria, yakni akumulasi reaksi berantai dari para korban yang tidak bersalah di masa lalu. Dari pengalaman kekerasan etnis, jika terjadi kembali tindak pidana lintas-etnis akan menciptakan kekerasan etnis berikutnya yang lebih besar, demikian berkembang seterusnya secara spiral. 2. Mekanisme penggalangan serta mobilisasi kelompok sejak awal pertikaian terjadi. Jika pihak yang berselisih bertindak sebagai kelompok sejak awal, maka akan memberikan pesan yang mengundang agar pihak lawan bertindak serupa. Berkaitan dengan mekanisme spiral equilibria, reaksi yang berlebihan terhadap akumulasi tindak pidana lintas-etnis tidak datang begitu saja, namun terjadi karena adanya mobilisasi sosial. Maka satu hal dapat ditekankan disini bahwa Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 45 mengapa kekerasan etnis tidak selalu terjadi dalam situasi konflik sekalipun, adalah karena adanya fakta betapa sulitnya mekanisme penggalangan solidaritas kelompok. Tekanantekanan yang dirasakan bersama secara sosial, ekonomi, maupun politik, merupakan sarana untuk menciptakan solidaritas kolektif ini. 3. Kekerasan etnis bukan sekedar konsekuensi kumulatif dari berbagai tindak pidana lintas-etnis, melainkan juga akibat dari muatan pesan yang terkandung dalam tindakan kriminal tersebut. Dalam hal ini pesan yang mampu memunculkan gejala kekerasan adalah apabila melibatkan nilai-nilai yang mendasar, misalnya simbol-simbol keagamaan, etnis, kedaerahan dan lain sebagainya. 4. Kekerasan etnis ditandai dengan profil aktor-aktor masyarakat yang terlibat di dalamnya. Dalam situasi normal, warga sipil (non militer) menerapkan kontrol sosial, bertindak mencegah terjadinya kekerasan. Tetapi, dalam situasi kekerasan etnik, konflik adalah milik bersama, dan aliansi diantara para anggota masyarakat memberikan efek destruksi yang lebih besar. Sehingga dapat ditekankan, bahwa semakin banyak warga sipil yang terlibat, semakin besar kecenderungan tindak pidana lintas-etnis berubah menjadi kekerasan antar etnis. Wawancara mendalam dengan beberapa tokoh masyarakat berhasil mengantar pada identifikasi konflik yang pernah terjadi. Pertikaian antara komunitas Melayu dengan Batak yang terjadi pada tahun 2002, diawali oleh pertikaian antar pemuda di sebuah kedai kopi, yang berujung pada tewasnya seorang pemuda Melayu. Peristiwa ini lalu menjadi besar dan digeneralisir dengan melibatkan identitas kelompok etnis. Selama 2 (dua) minggu kondisi tidak aman, timbul ancaman-ancaman yang di- 46 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal arahkan pada komunitas Batak. Akan tetapi konflik ini tidak berlarut-larut dan segera diselesaikan dengan damai oleh para tokoh masyarakat dengan bantuan aparat keamanan. Merujuk pada penjelasan tentang karakteristik munculnya kekerasan etnis, pertikaian antara komunitas Melayu dengan Batak termasuk pada tindak pidana lintas-etnis. Tidak ditemukan adanya aspek historis berkaitan dengan pengalaman kekerasan diantara kedua etnis tersebut sebelumnya, mobilisasi kelompok mungkin memang terjadi tetapi tidak sampai muncul penggalangan solidaritas sosial yang melibatkan semua lapisan anggota masyarakat termasuk warga sipil. Hal ini terbukti dari tindakan para tokoh dan aparat keamanan yang segera bisa mendamaikan keadaan. Perbedaan diantara kedua komunitas ini yang kiranya dapat mengakibatkan perbenturan yang cukup mendasar adalah perbedaan agama, yang walaupun menjadi media identitas etnis dan digunakan sebagai sarana ancaman, tidak juga meningkatkan intensitas konflik menjadi kekerasan antar agama. Akan tetapi dengan potensi konflik seperti ini para tokoh masyarakatpun hingga saat ini tetap waspada terhadap segala kemungkinan yang bisa terjadi, terutama jika dipicu oleh tindak-tindak pidana tertentu. Pertikaian lainnya yang berskala lebih besar adalah yang terjadi antara komunitas Melayu dengan komunitas Cina, tepatnya sekitar bulan oktober/november tahun 1998. Awal dari pertikaian massal ini adalah perselisihan antar pemuda Melayu dengan Cina yang berakhir dengan adanya korban luka parah di pihak Melayu. Hasil wawancara dengan beberapa tokoh adat mengemukakan adanya elite politik yang memanfaatkan keadaan ini seiring dengan insiden 1998 di Jakarta. Berbagai isu yang kurang bertanggungjawab lalu memperkeruh suasana, misalnya dengan menyebar berita bahwa korban dibawa ke rumah sakit di Pekanbaru dan meninggal dunia sebelum tiba di tujuan. Akibatnya terjadi situasi yang sangat rawan, yaitu penIntegrasi Sosial & Konflik Horizontal 47 jarahan dan pembakaran rumah-rumah, dimana komunitas Melayu bertindak sebagai penyerang dan komunitas Cina sebagai korban. Kemudian ditengah kerusuhan, muncul hasutanhasutan bahwa orang Cina akan mengadakan pembalasan. Situasi baru dapat ditenangkan kembali ketika para tokoh adat berkomunikasi, dan diadakan upacara potong kerbau sebagai simbol perdamaian dan kemakmuran bersama. Deskripsi konflik yang terjadi menunjukkan bahwa pertikaian tersebut adalah sebuah kekerasan etnis berskala kecil, yang sebelumnya didahului oleh tindak pidana lintas-etnis. Sesuai hasil wawancara mendalam, beberapa faktor yang signifikan menciptakan situasi kekerasan etnis dapat disebutkan, yaitu : 1.Faktor historis dan spiral equilibria Secara historis, pengalaman terjadinya kekerasan etnis pada masa lalu, diikuti dengan berbagai bentuk stereotype diantara kedua etnis merupakan kekuatan yang sangat besar untuk membangkitkan tindakan kolektif. Sekelompok nelayan Cina mulai masuk ke wilayah ini pada tahun 1882, dan mendarat di Kubu. Lalu keyakinan mereka kepada petunjuk pekong menuntun mereka agar berlabuh di Bagan Siapiapi, suatu wilayah yang akan memberi keberuntungan pada mereka secara turuntemurun. Agar kebersamaan tetap terpelihara untuk membangun wilayah baru, mereka membakar tongkang yang mereka gunakan, sehingga tidak satu orangpun dapat berlayar kembali ke tempat asal. Berdasarkan riwayat yang mereka percayai ini, maka orangorang Cina merasa telah ‘membuka’ serta ‘membangun’ wilayah ini, dan ritual serta upacara pembakaran tongkang (menggunakan model kertas) mereka jalankan setiap tahun untuk memperingati jasa para leluhur. Ketika itu komunitas Cina menyebar 48 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal ke seluruh pelosok wilayah, bahkan sampai ke pedesaan, menguasai dan mengendalikan sistem ekonomi, sementara penduduk tempatan yang terdiri dari Melayu dan Jawa tinggal di hutan-hutan. Orang Jawa sudah tinggal di wilayah ini sejak masa penjajahan Hindia Belanda, yaitu para pekerja Deli yang melarikan diri. Latar belakang sejarah seperti ini mengembangkan stereotype diantara keduanya. Orang Melayu beranggapan “orang Cina telah menginjak kepala nenek moyang dan kakekkakek kita”, dan sebutan ‘wanang’ untuk orang Melayu dan Jawa, yang artinya ‘orang hutan’, sementara ‘tenang’ untuk orang Cina, yang artinya ‘orang kota’. Sedangkan orang Cina beranggapan bahwa penduduk tempatan selalu iri pada keberhasilan orang-orang Cina disini dan itu diungkapkan dengan membakar dan menjarah rumah mereka tanpa sebab yang jelas. Pada tahun 1946, satu tahun setelah kemerdekaan, terjadi pula perebutan wilayah antara komunitas pendatang (Cina) dengan komunitas Melayu. Melayu disini sebenarnya adalah gabungan dari beberapa kelompok etnis yang menganggap dirinya sebagai bangsa Indonesia. Tetapi, bagaimanapun juga, karena pertikaian fisik ini disemangati oleh perjuangan untuk mempertahankan wilayah dari penjajahan bangsa lain, maka peristiwa ini lebih membekas bagi komunitas Melayu, sebagai penduduk asli wilayah ini, daripada bagi orang-orang Jawa misalnya. Pertikaian ketika itu bisa disebut sebagai perang kemerdekaan dan perebutan wilayah, dan pihak Cina banyak mendapat bantuan tentara dan persenjataan dari Malaysia. Berbeda dengan pertikaian sejenis yang banyak terjadi di beberapa daerah lainnya, yang biasanya diakhiri dengan kemenangan dan dominasi oleh satu pihak, dan penolakan serta pengusiran terhadap pihak yang lain, pertikaian yang mengakibatkan jatuhnya ratusan korban dari kedua belah pihak ini, berakhir dengan damai. Kedua komunitas lalu tetap hidup berdampingan Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 49 dalam satu wilayah, dengan segregasi spasial yang berubah, yakni sebagian besar dari komunitas Cina mengelompok di pusat kota, sedangkan komunitas Melayu menyebar ke seluruh wilayah. Berkaitan dengan mekanisme spiral, ternyata tidak terlalu bekerja dalam konflik antar komunitas Cina dengan Melayu disini, karena tidak tampak terjadinya akumulasi reaksi berantai dari kedua pihak. 2. Penggalangan solidaritas kelompok dan profil aktor Solidaritas kelompok dapat diciptakan oleh kesamaankesamaan nasib dan tekanan yang dialami ketika berhadapan dengan kelompok lain. Dari informasi yang diperoleh di lapangan disebutkan bahwa terdapat kecemburuan sosial terhadap keberhasilan ekonomi warga Cina, yang merebak di kalangan tertentu. Selain itu, seiring terjadinya insiden ‘anti cina’ di ibukota negara, maka muatan politis menjadi kekuatan pendorong yang dalam sekejap mampu memobilisasi massa serta menciptakan sebuah solidaritas kolektif yang sangat kuat. Dengan demikian, walaupun semula pertikaian yang terjadi adalah merupakan tindak pidana lintas-etnis, solidaritas kelompok yang bermuatan politis mampu menghasut dan menyatukan hampir seluruh lapisan untuk bergerak dengan satu tujuan. Konflik menjadi luas karena telah terjadi penghancuran serta pembakaran rumah-rumah warga Cina. Akan tetapi tidak berlarut-larut dan menjadi kekerasan etnis yang sangat intens karena tidak menyentuh nilai-nilai mendasar atau perusakan rumah ibadah. Sehingga banyak pendapat yang menyatakan, konflik pada saat itu hanyalah pertikaian atau tindak pidana lintas-etnis, yang ditimbulkan oleh beberapa faktor yang saling menguatkan, serta mendorong mekanisme munculnya sebuah solidaritas kelompok. Kekerasan etnis mungkin memang ter- 50 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal jadi, karena beberapa faktor yang berpotensi menciptakannya sudah mulai bekerja, antara lain adanya benih-benih kebencian dan stereotype, latar belakang historis diantara mereka, diperkuat lagi oleh ketimpangan sosial ekonomi, dan yang paling penting diiringi oleh iklim politis yang terjadi pada saat itu. Tetapi, karena keterlibatan nilai-nilai yang mendasar juga tidak ditemukan, sehingga solidaritas kelompok juga tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakat, serta tidak mengorganisir kekuatan yang dibutuhkan, maka kekerasan tidak berlangsung lama, dan segera muncul tokoh-tokoh masyarakat yang mengusahakan perdamaian. Kesimpulan yang berkaitan dengan potensi konflik yang ditemukan di wilayah penelitian adalah : 1. Dimensi sosial-ekonomi, termasuk disini aspek historis dan efek spiral yang diciptakan, ketimpangan dan kesenjangan ekonomi antar komunitas, 2. Dimensi budaya, termasuk disini keterlibatan perbedaan nilai dan orientasi hidup antar komunitas, antara lain ekslusivitas yang disertai segregasi spasial dan sosial (pengelompokan secara spasial dan sosial), primordialisme pada masing-masing komunitas. Potensi konflik ini merupakan benih-benih kebencian antar komunitas, yang berpotensi untuk menggalang sebuah solidaritas keompok yang cukup kuat, dan untuk mengorganisir sebuah konflik berskala tidak pidana lintas-etnis menjadi sebuah tindak kekerasan antar etnis dengan intensitas yang tinggi. 4.2. Faktor Sosial Ekonomi Ada banyak faktor yang memicu konflik horizontal, salah satunya adalah faktor ekonomi, terutama muncul dalam bentuk kesenjangan kesejahteraan atau dalam bahasa Karl Mrx kesenIntegrasi Sosial & Konflik Horizontal 51 jangan penguasaan faktor produksi dimana sekelompok kecil orang menguasai sebagian besar faktor produksi sementara mayoritas masyarakat hanya menguasai sebagian kecil faktor produksi. Dalam bagian ini akan diungkap serinci mungkin tentang factor ekonomi sebagai faktor pemicu konflik di Bagan Siapi-api dan Bagan Batu Kabupaten Rokan Hilir. Dalam pengungkapan ini dicoba sejauh mungkin mengungkap latar belakang keterkaitan factor ekonomi sebagai akar pemicu konflik. Konflik horizontal yang pernah terjadi di Kabupaten Rokan Hilir, khususnya kota Bagan Siapi-api tergolong sangat rumit dan luas baik dilihat dari jenis konflik maupun akar konflik (faktor penyebab konflik). Jika dilihat dari jenisnya, konflik di daerah ini dapat dikategorikan konflik etnis karena melibatkan entis tertentu yang berhadapan dengan etnis lain. Uniknya konflik yang terjadi di Bagan Siapi-api mendudukkan etnis Melayu sebagai pusat konflik berhadapan dengan etnis lain, meskipun kejadiannya tidak dalam waktu bersamaan. Sepanjang sejarah konflik yang terjadi di Kota Bagan Siapiapi tercatat seluruhnya melibatkan etnis Melayu yang berhadapan dengan etnis Minang (1955), Cina (1998), dan Batak (2002). Sementara konflik yang terjadi pada tahun 1946 yang dapat dikatakan pemicu konflik pertama di Bagan Siapi-api mendudukkan komunitas Cina sebagai pusat konflik berhadapan dengan hampir semua etnis atau komunitas yang ada. Secara sederhana dapat dikatakan konflik saat itu adalah pertentangan antara komunitas non pribumi berhadapan dengan komunitas pribumi. Jika dilihat dari sumber konflik, tercatat ada beberapa faktor yang memicu terjadinya konflik tersebut, antara lain faktor politik (konflik 1946), faktor budaya (konflik 1955), dan faktor ekonomi (1998). Di daerah Bagan Batu, sebuah daerah (kota) yang baru berkembang, konflik yang pernah terjadi (sejak 1992 hingga 52 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 2006) didominasi oleh factor ekonomi. Meskipun di daerah ini pernah terjadi konflik yang dipicu oleh factor budaya yang melibatkan etnis Melayu dan Batak, dan agama yang melibatkan komunitas Musim dan Budha, namun kedua konflik itu tidak dominan dan tidak berkembang luas. Berdasarkan kondisi yang dipaparkan di atas, maka bahasan dalam bab ini akan dititik beratkan pada analisis faktor ekonomi sebagai akar konflik yang terjadi di kedua wilayah, yaitu Bagan Siapi-api dan Bagan Batu. Faktor ekonomi merupakan salah satu pemicu konflik yang sangat potensial. Hal ini tidak saja untuk kasus konflik yang terjad di Kabupaten Rokan Hilir, melainkan juga kasuskasus lain di Indonesia seperti Konflik Ambon. Untuk kasus Bagan Siapi-api, faktor kesenjangan ekonomi memberi kontribusi cukup signifikan terhadap terjadinya konflik antara komunitas Cina dan Melayu tahun 1998. Untuk melihat secara lebih jernih akar konflik tersebut harus dilakukan penelaahan jauh kebelakang, karena sebenarnya kerusuhan tahun 1998 itu tidak lain hanyalah ledakan dari akumulasi akar konflik yang sudah berlangsung sekian lama. Disini penjajakan akan dimulai dari sekitar tahun 1882, karena tahun ini dapat dianggap sebagai titik awal perkembangan daerah Bagan Siapi-api. Penetapan tahun ini sebagai titik awal telaah juga hanya didasarkan pada informasi dari tokoh masyarakat Cina bernama Andang Wijaya karena tidak ada catatan resmi yang dapat dijadikan dasar. Berdasarkan informasi dari tokoh ini, pada sekitar tahun 1882 itu mendarat sekelompok etnis Cina dengan menggunakan perahu di satu daerah yang saat ini dikenal dengan Kecamatan Kubu, yang letaknya berdekatan dengan Bagan Siapi-api. Kelompok orang perahu ini berlayar dari salah satu wilayah di Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 53 Thailan yang pada awalnya berjumlah tiga perahu, namun karena gangguan alam dan kelemahan navigasi maka yang sampai ke Kubu hanya satu perahu yang berisi 18 orang. Dari 18 orang ini terdiri dari 17 orang suku Ang dan satu orang suku Kho. Kedatangan mereka ke Kubu ini lebih dipengaruhi oleh usur mitos yang bersumber dari Toape Khong (batung dewa agung) yang mereka bawa darai daratan Cina. Salah seorang dari orang perahu ini bermimpi ditemui oleh Dewa Agung, yang memesankan kepadanya bahwa mereka hanya boleh mendarat untuk bermukim ditempat yang bercahaya. Lalu mereka melihat isyarat mimpi itu di daerah Kubu, maka mereka memutuskan berhenti di situ. Namun beberapa waktu kemudian mereka melihat di tempat lain yang cahayanya lebih terang lagi dan mereka memutuskan pindah ke daerah baru tersebut yang saat ini di kenal dengan kota Bagan Siapi-api. Menurut kesaksian dari Andang Wijaya bahwa daerah Kota Bagan Siapi-api waktu itu belum berpenghuni, kelompok orang perahu inilah yang pertama membuka wilayah tersebut yang kemudian berkembang menjadi kota Bagan Siapi-api. Keterangan sejarah yang berbau mitos ini tidak cukup kuat untuk menjadi argument rasional dalam menjawab pertanyaan mengapa kelompok manusia perahu itu memilih menetap di Bagan Siapi-api. Argumen ekonomi kelihatan lebih rasional memperjelas masalah ini. Berdasarkan penjelasan dari hampir semua sumber informasi dan bukti sejarah ekonomi Bagan Siapi-api bahwa daerah ini merupakan penghasil ikan terbear saat itu. Faktor inilah yang menjadi daya tarik terkuat, karena terbukti pada perkembangan selanjutnya Bagan Siapi-api merupakan penghasil ikan terbesar di Indonesia dan pengusahapengusaha ikan dari kota kecil ini sangat berpengaruh hingga ke Pulau Jawa. 54 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal Dampak ekonomi perikanan ini sangat luas dalam kehidupan perekonomian masyarakat Bagan Siapi-api dan sekitarnya. Paling tidak terdapat tiga bentuk perkembangan ekonomi yang disebabkan perkembangan sector perikanan ini. Pertama adalah terbukanya daerah ini dengan dunia luar terutama Malaysia dan Singapura yang merupakan dua pusat perdagangan penting di Asia. Produksi perikanan Bagan Siapi-api hingga era 70-an masih menjadi komoditas ekspor penting di Riau yang mempertemukan jalur bisnis internasional Riau-MalaysiaSingapura beriringsn dengan produksi perikanan dari daerah Kepulauan Riau. Pembeli produk perikanan Bagan Siapi-api sebenarnya sangat luas meliputi hampir seluruh Negara industri di Asia seperti Jepang dan Hongkong, namun jalur ekspornya tetap dikuasai oleh Singapura dan sebagian kecil Malaysia. Kedua, berkembangnya sector-sektor perekonomian lainnya seperti retail dan perdagangan secara umum. Sektor ini berkembang seiring dengan perkembangan kota Bagan Siapiapi dan pertumbuhan penduduk baik yang bermukim di lingkungan kota maupun desa-desa sekitarnya. Sektor yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari ini perkembangannya linier dengan kebutuhan penduduk, artinya semakin bertambah penduduk kebutuhan akan semakin meningkat sehingga tuntutan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari juga meningkat. Ketiga, berkembangnya industri perkapalan (kapal kayu) sebagai pendukung ekonomi perikanan. Industri perkapalan ini berkembang dipengaruhi secara langsung oleh dua hal, yaitu kebutuhan armada penangkapan ikan dan ketersediaan bahan baku berupa hutan subur yang menyediakan kayu bermutu untuk bahan baku kapal. Hingga era 80-an di sekitar Bagan Siapiapi masih terdapat hutan yang menyediakan bahan baku yang dibutuhkan untuk industri perkapalan. Namun pada era 90-an Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 55 hutan di sekitar Bagan Siapi-api habis akibat eksploitasi besarbesaran oleh jaringan kapitalisme global. Akibatnya industri perkapalan ini akhirnya ditutup karena kesulitan bahan baku disamping akibat faktor politik, yaitu kebijakan pemerintah daerah yang tidak secara tegas terhadap izin perdagangan kayu. Perkembangan ekonomi ini telah menjadikan bagan Siapiapi sebagai daerah yang memiliki daya tarik ekonomi tersendiri sehingga mengundang berbagai komunitas luar datang ke kota kecil ini. Meskipun jumlah pendatang ini tidak terlalu besar namun cukup membangun komposisi heterogenitas kota Bagan Siapi-api. Hingga akhir tahun 2006 estimasi komposisi heterogenitas penduduk Bagan-Siapi-api terdiri dari Cina menduduki urutan pertama terbanyak, diikuti oleh Melayu, Jawa, Minang, Batak, dan lain-lain. Yang sangat menarik dari perkembangan ini adalah seluruh sector ekonomi di atas didominasi oleh komunitas Cina. Ini sangat berpengaruh pada tingkat kesejahteraan dan pola pemukiman masyarakat Bagan Siapi-api dan sekitarnya. Tingkat kesejahteraan umumnya masyarakat Cina lebih tinggi dari masyarakat komunitas lainnya, dan mereka umumnya bermukim di daerah kota dan berperan penting dalam mengendalikan pusatpusat perekonomian. Komunitas lainnya lebih banyak bermukim di daerah pedesaan dan pinggiran kota dengan mata pencarian utamanya adalah buruh dan petani. Lebih menarik lagi adalah setelah terpilihnya Anas Makmun sebagai Bupati Rokan Hilir pada awal 2006 ekspansi bisnis komunitas Cina memasuki wilayah baru yang selama ini relatif belum mereka kuasai, yaitu proyek-proyek yang didanai oleh APBD. Menurut informasi dari Marjaharudin seorang tokoh dari masyarakat Sulawesi di Bagan Siapi-api kebijakan Anas Makmun saat ini cukup kondusif terhadap kepentingan bisnis 56 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal komunitas Cina di sektor pemerintah baik yang bersekala besar maupun kecil. Informasi ini sesuai dengan informasi dari Acheng tokoh cina dari Bagan Batu. Hal ini menimbulkan suasana persaingan yang semakin ketat dan sulit bagi komunitas pribumi yang selama ini mendominasi sector ini, karena itu kebijakan Anas ini mulai mendapat sorotan dari masyarakat luas. Kondisi serupa juga terjadi di Bagan Batu. Di daerah ini komunitas Cina relative tetap mendominasi sektor-sektor perdagangan sementara sektor perkebunan dikuasai oleh pengusaha besar (kelompok kapitalis) yang berasal dari luar Rokan Hilir. Masyarakat lokal pribumi rata-rata hanya menguasai lahan kurang dari 10 hektar per keluarga. Ketimpangan penguasaan sector ekonomi ini nampaknya sangat penting untuk dijadikan salah satu pertimbangan untuk menganalisis akar dari konflik yang pernah terjadi di Bagan Siapi-api dan sekitarnya. Konflik 1998 di Bagan Siapi-api yang melibatkan komunitas Melayu dan komunitas Cina merupakan konflik yang kuat diperkirakan bersumber dari factor ekonomi. Jelasnya konflik tersebut merupakan bentuk pelampiasan kecemburuan social masyarakat Melayu terhadap ketimpangan penguasaan factor ekonomi yang relative didominasi komunitas Cina. Konflik seperti ini dengan mudah dapat terjadi ketika pihak yang “kalah dalam persaingan ekonomi” tidak memiliki kesempatan atau tidak mampu melihat dan memanfaatkan peluang dan kesempatan untuk ikut menjadi bagian yang menguasai perekonomian. Untuk memahami konflik ini dari perspeketif ekonomi harus dilihat posisi ekonomi dari kedua komunitas tersebut. Posisi ekonomi komunitas Cina relatif sudah cukup tergambarkan pada paparan di atas, sementara posisi ekonomi masyarakat Melayu relatif belum tergambarkan secara khusus. Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 57 Masyarakat Melayu mengklaim diri sebagai komunitas asli dari daerah Rokan Hilir umumnya dan desa-desa di sekitar Bagan Siapi-api khususnya, dan klaim ini dibenarkan oleh banyak pihak berdasarkan sejarah penyebaran komunitas dan budaya Melayu yang merentang sepanjang pesisir Pulau Sumatera, Kalimantan, hingga ke Afrika. Jauh sebelum kedatangan komunitas Cina pada tahun 1882 ke wilayah Sumatera dan membuka daerah kosong yang kemudian dikenal dengan kota Bagan Siapi-api, disekitar daerah ini telah terdapat banyak desa-desa yang dihuni oleh komunitas Melayu. Secara tradisional komunitas ini mengelola ekonomi sector pertanian dan perikanan (nelayan) yang seluruhnya dikelola secara tradisional. Sebagaimana umumnya masyarakat tradisional di Indonesia dalam mengelola ekonomi adalah bersifat sub sisten yaitu mengelola ekonomi hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga tidak untuk orientasi pasar. Pada kondisi masyarakat dengan model pengelolaan ekonomi seperti ini tingkat kesejahteraan masyarakat terebut tidak dapat diharapkan meningkat secara memadai. Kondisi inilah yang dialami oleh masyarakat Melayu di sekitar Bagan Siapi-api. Interaksi komunitas Melayu sebagai masyarakat local dengan komunitas Cina khususnya sebagai pendatang tidak menyebabkan perubahan pola pengelolaan sumber ekonomi melalui pengembangan teknologi sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Cina yang secara simultan melakukan perbaikan teknologi penangkapan ikan. Hal ini terbukti dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat Cina dari cara penangkapan ikan dengan menggunakan teknologi sederhana (jaring tradisional dan perahu tanpa mesin) ke teknologi menengah (jaring dan perahu dengan mesin tempel), dan selanjutnya mesinisasi dalam teknologi penangkapan (kapal mesin dan pukat harimau/trawl). 58 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal Selanjutnya pada masa orde baru terjadi interaksi yang labih luas antara komunitas Melayu dengan komunitas lainnya terutama komunitas Jawa yang datang ke Rokan Hilir melalui program transmigrasi yang dibiayai pemerintah. Program transmigrasi ini disamping menambah pola heterogenitas penduduk Rokan Hilir juga memberi sentuhan teknologi baru di bidang pengelolaan sumber ekonomi, terutama disektor pertanian yaitu dengan dikenalkannya teknologi perkebunan sawit. Disamping itu transmigrasi dari Jawa ini juga memperkenalkan teknologi pengolahan lahan untuk tanaman pangan terutama padi sawah dan padi ladang. Namun faktor-faktor ekonomi tersebut tidak memberikan perubahan signifikan pada komunitas Melayu. Meskipun mereka juga dilibatkan dalam program-program tersebut melalui pola transmigrasi lokal, namun ketertarikan komunitas Melayu terhadap teknologi dan kultur baru dalam pengolahan sumberdaya ekonomi tidak begitu besar sehingga penguasaan mereka terhadap faktor-faktor produksi sangat terbatas. Konsep penguasaan faktor produksi disini sangat berbeda dengan konsep kesejahteraan, meskipun keduanya ada keterkaitan. Yang dimaksud dengan penguasaan faktor produksi disini lebih pada makna penguasaan lahan dan teknologi yang mendukung proses produksi sehingga mampu menggerakkan produktifitas. Sementara kesejahteraan disini lebih ditekankan maknanya pada kemampuan memenuhi kebutuhan konsumtif. Secara teoritis penguasaan faktor produksi akan berbanding lurus (linier) dengan kesejahteraan, karena itu ketertinggalan relative komunitas Melayu dalam penguasaan faktor produksi ini menjadikan kondisi kesejahteraan mereka relatif tertinggal dibanding dengan komunitas Cina khususnya. Namun ketika dibandingkan dengan komunitas pribumi lainnya seperti Jawa, Batak, dan Minang, tidak terjadi ketimpangan kesejahteraan Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 59 yang berarti. Namun yang sangat penting untuk dicatat di sini adalah “ketertinggalan relative” komunitas Melayu dalam penguasaan faktor produksi berupa lahan dan teknologi pengolahan sumber daya akan menjadi penyebab ketergantungan komunitas ini terhadap investasi pihak lain. Dalam kedudukan seperti ini komunitas Melayu hanya akan terserap sebagai buruh dalam sebuah proses investasi, sehingga kesejahteraannya akan sangat tergantung pada kelancaran dan keberlanjutan investasi ini. Keadaan inilah yang dialami oleh komunitas Melayu di Bagan Siapi-api dalam menghadapi perkembangan ekonomi local. Ketika investasi di sektor perikanan berkembang baik (industri penangkapan ikan dan perkapalan) banyak yang dapat menikmati “kesejahteraan terbatas” sebagai buruh. Namun ketika investasi disektor ini menurun maka kelompok buruh ini tidak mudah mencari pekerjaan lain sebagai pengganti, sementara mereka tidak menguasai faktor produksi lainnya. Pola ketergantungan seperti inilah yang sangat kuat mendorong kecemburuan sosial terhadap kelompok lain. Ketergantungan ekonomi ini, meskipun posisinya adalah variabel penentu, sebenarnya lebih berperan sebagai factor laten dalam sebuah proses konflik. Faktor ini memerlukan variable lain sebagai perantara yang kemunculannya sangat situasional. Biasanya semakin dekat variable antara ini dengan kondisi emosional suatu komunitas akan semakin besar peluangnya memicu konflik. Dalam kasus kerusuhan 1998 di bagan Siapiapi, factor ketokohan atau meminjam bahasa pemerintah “actor intelektual” merupakan variable antara yang menjadi pemicunya. Aktor intelektual inilah yang telah berhasil membangkitkan emosi kecemburuan social komunitas Melayu terhadap komunitas Cina. Momentum yang dimanfaatkan oleh actor intelektual ini adalah perkelahian antar remaja yaitu antara seorang anak laki-laki dari komunitas Cina dengan seorang anak laki60 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal laki dari komunitas Melayu. Kebetulan anak Melayu ini mengalami cedera akibat perkelahian itu sehingga kondisi ini memberi peluang untuk memperbesar isu. Tokoh “intelektual” masuk melalui titik ini dengan cara mengisukan bahwa cedera yang dialami oleh anak Melayu tersebut sangat parah dan kelengkapan medis di Bagan Siapi-api (yang ketika itu masih berstatus puskesmas pembantu) tidak mampu menangani kasus ini. Skenario selanjutnya adalah membawa korban ke Pekanbaru untuk mendapat perawatan yang memadai. Setelah korban dibawa ke Pekanbaru, scenario berikutnya dijalankan yaitu dengan mengisukan bahwa korban telah meninggal diperjalanan menuju Pekanbaru dengan menggunakan kata-kata yang bernilai provokatif sara yaitu “Cina membunuh Melayu”. Isu inilah yang kemudian dihembuskan dengan cepat dan meluas, sehingga terjadi pembakaran toko-toko milik komunitas Cina. Menurut informasi dari sumber komunitas Cina (Andang Wijaya), ketika terjadi kerusuhan banyak masyarakat yang melakukan penjarahan, dan kelihatannya penjarahan ini direncana karena tokotoko yang dibakar itu sudah dikosongkan terlebih dulu. Barangbarang jarahan tersebut dibawa melalui jalan laut dengan menggunakan perahu yang telah dipersiapkan. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa demikian mudah masyarakat (khususnya komunitas Melayu) terpancing emosi sehingga melakukan pembakaran kota hanya dengan isu “Cina membunuh Melayu”? Sebenarnya emosi semacam ini tidak mudah untuk mengalami ledakan dalam radius yang luas tanpa ada factor “laten konflik yang potensial”. Berdasarkan analisis ekonomi di atas dapat diyakini bahwa kesenjangan dalam penguasaan factor produksi atau kesenjangan dalam kesejahteraan ekonomi menjadi salah satu akar masalah, sehingga kasus yang sangat pribadi antara dua remaja yang bertikai dapat dengan mudah diangkat ketingkat konflik komunitas. Kecemburuan Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 61 social akibat dari perbedaan kesejahteraan ini sudah terakumulasi sekian lama. Komunitas Melayu melihat bahwa minoritas Cina memiliki kesejahteraan yang lebih tinggi, mudah mencari pekerjaan, dan tidak ada yang menganggur, sementara masyarakat dari komunitas Melayu melihat dirinya berada pada keadaan yang sebaliknya. Kecemburuan sosial ini kemudian bergesekan dengan pemicunya yang bisa muncul dalam berbagai bentuk termasuk pertikaian pribadi sebagaimana yang terjadi pada tahun 1998 tersebut. Konflik di Bagan Batu memiliki kehususan tersendiri ketika diukur dari perspektif konflik horizontal, karena yang terlibat adalah perorangan disatu pihak berhadapan dengan kelompok masyarakat dipihak lain. Orang perorangan itu jika dilihat status sosialnya adalah anggota masyarakat biasa (pensiunan militer) yang memiliki modal cukup kuat (kapitalis) namun tidak tampil dalam bentuk badan hukum (perusahaan) melainkan sebagai individu. Dengan finansial yang besar dan jaringan relasi yang cukup luas dia berhasil menggerakkan tenaga pendukung (tenaga sewaan) yang dimasyarakat dikenal dengan istilah “preman”. Kelompok preman sewaan inilah yang digerakkan oleh tokoh perorangan tersebut untuk menteror masyarakat. Kasus ini dikenal dengan kasus “Ampaian Rotan”. Kasusnya bermula pada tahun 1992 sekelompok preman sewaan menteror masyarakat kelompok petani sawit di daerah yang bernama Ampaian Rotan. Kelompok preman yang mengatas namakan Timbang Sianipar mengklaim bahwa lahan yang digarap masyarakat di daerah Ampaian Rotan itu adalah milik Timbang Sianipar dan memerintahkan masyarakat untuk meninggalkan lahannya. Masyarakat menolak mematuhi perintah itu karena merasa telah membeli lahan tersebut secara resmi dan mereka memiliki surat-surat resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Namun ternyata Timbang Sianipar juga memiliki 62 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal surat-surat resmi. Kasus ini sebelum dibawa ke pengadilan telah sempat menimbulkan kekerasan fisik Konflik Ampaian Rotan ini mirip dengan konflik kelas karena membenturkan kepentingan antara seorang pemilik modal (kapitalis) dengan masyarakat. Dalam konflik ini kedua kelompok menunjukkan karakter khusus yang cukup menarik. Pihak Timbang Sianipar tampil sebagai pemilik modal yang didalam melakukan proses investasinya dengan menggunakan tekanan (repressiveness), sebuah pola pendekatan yang sering ditampilkan oleh kelompok militer di beberapa Negara berkembang termasuk Indonesia terutama pada masa Orde Baru. Timbang Sianipar sebagai pensiunanan militer berperan sebagai pemilik modal yang melakukan tekanan pada masyarakat tampil mengatas namakan pribadi tidak perusahaan (badan hokum formal). Hal ini sangat berbeda dengan umumnya kelompok kapitalis yang selalu tampil sebagai pemilik perusahaan. Dinegaranegara berkembang seperti negara-negara Asia Tenggara, militer atau pensiunan militer tampil sebagai kapitalis adalah hal yang biasa. Yoshihara Kunio dalam bukunya The Rise of Ersatz Capitalism in South-East Asia menamakan kelompok militer atau pensiunan militer yang terjun ke dunia bisnis dengan military capitalism. Dalam praktek bisnisnya kelompok ini tidak tertutup menggunakan pendekatan-pendekatan kekuatan dan tekanan baik fisik maupun non fisik, tujuannya adalah untuk memenangkan persaingan dengan lebih mudah. Lazimnya military capitalism ini tampil sebagai perusahaan tidak atas nama individu seperti halnya Timbang Sianipar. Dipihak lain, kelompok masyarakat petani yang berhadapan dengan Timbang Sianipar bukanlah kelompok buruh, melainkan berstatus pemilik lahan (faktor produksi) yang Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 63 disengketakan. Hal inilah yang membedakan konflik ini dengan konflik horizontal lainnya terutama kasus-kasus konflik di Bagan Siapi-api yang jelas membenturkan kelompok-kelompok komunitas tertentu. Konflik Ampaian Rotan bukan konflik komunitas karena kelompok masyarakat petani yang terlibat terdiri dari berbagai komunitas (etnis). Dia juga bukan konflik kelas karena kedua pihak yang terlibat adalah sama-sama pemilik modal. Namun konflik ini juga tidak termasuk konflik structural karena Timbang Sianipar bukan representasi dari Negara. Konflik lain yang juga laten di Bagan batu adalah konflik antara masyarakat dengan perusahaan-perusahaan perkebunan. Akar konflik tetap berpusat pada factor ekonomi yaitu perebutan lahan. Konflik ini cukup banyak terjadi dan merupakan jenis konflik yang dominan di Bagan Batu sementara penyelesaiannya juga belum bisa dianggap final karena salah satu pihak terutama kelompok masyarakat belum bisa memahami secara hukum status lahan yang diperebutkan. Kelihatannya konflik perebutan lahan di Bagan Batu relative mudah dipicu melalui isu-isu sederhana seperti isu penyerobotan lahan oleh sebuah perusahaan. Konflik lain yang kelihatan dari luar adalah bernuansa sara terjadi pada tahun 2002 di Bagan Batu antara komunitas Budis (Budha) yang mayoritas Cina dengan komunitas Melayu sebagai komunitas Islam. Konflik ini dari luar kelihatan sebagai bentuk penolakan sekelompok orang Melayu Muslim terhadap kehadiran sebuah Vihara sebagai rumah ibadah kelompok Budha. Isu yang dibangkitkan untuk menyulut konflik adalah masyarakat Cina merupakan kelompok orang pendatang yang ingin menguasai daerah orang Melayu dan upacara peribadatan kelompok Budha banyak menyediakan makanan-makanan yang diharamkan orang Islam terutama daging babi. Isu ini meresah64 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal kan sebagian masyarakat sehingga terjadi penyerangan dan perusakan terhadap Vihara tersebut. Meskipun konflik ini dapat diselesaikan dengan tindakan cepat dari aparat pemerintah, namun potensi konfliknya masih tersimpan baik yang memungkinkan pada saat lain muncul kembali. Konflik ini harus ditelusuri dari para pihak yang terlibat konflik. Kelompok Melayu yang terlibat konflik adalah kelompok orang yang selama ini merasa termarjinalisasi dalam proses persaingan ekonomi yaitu relative tidak berhasil dalam penguasaan lahan perkebunan dan lapangan pekerjaan. Isu yang dihembuskan adalah isu yang sangat bernuansa ekonomis yaitu “penguasaan daerah” yang bermakna “penguasaan factor produksi”. Isu ini diperkuat dengan kenyataan bahwa kelompok Cina merupakan komunitas yang menguasai perekonomian cukup baik. Berdasarkan kondisi ini maka konflik yang terjadi relative lebih mudah untuk difahami bersumber dari factor ekonomi. 4.3. Faktor Sosial Politik, Pemerintahan, dan Otonomi Daerah Faktor–factor yang menyebabkan terjadinya pertikaian antara kelompok komunitas, terutama komunitas Melayu dengan komunitas yang lain, - Cina, Batak, Sulawesi, yang telah terjadi sebanyak 6 kali, antara lain adalah faktor social budaya yang merupakan factor pemicu, sedangkan faktor ekonomi dan politik merupakan faktor akar masalah. Tulisan ini diharapkan dapat mengungkapkan dan menggambarkan pertikaian yang terjadi di Rokan Hilir dan faktor–faktor khas yang mempengaruhi terjadinya pertikaian tersebut. Sejumlah konflik menonjol yang terjadi di Kabupaten Rokan Hilir merupakan konflik yang kemudian berkembang menjadi kekerasan. Konflik yang berwujud perbedaan pendapat antara Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 65 pihak-pihak yang terkait merupakan kondisi alamiah dan bahkan merupakan ciri perkembangan, perubahan dan kemajuan masyarakat. Namun, apabila konflik-konflik alamiah yang ada pada masyarakat tidak dapat dikendalikan dan berubah menjadi kekerasan, maka masyarakat akan mengalami kemunduran bahkan hancurnya peradaban. Konflik merupakan sebuah fenomena yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi. Dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian dan dimensi keduanya adalah dimensi bentuk. Hal yang pertama memiliki dua ujung yakni terjadinya perpecahan dan tindak kekerasan yang melahirkan disintegrasi, sementara pada ujung lainnya terjadi konsolidasi setelah perbedaan-perbedaan dapat ditemukan solusinya. Oleh karena itu, konflik perlu diantisipasi sedemikian rupa agar ujung pertama yang dapat memicu terjadinya tindak kekerasan dan kerugian dapat dihindari. Beradasrkan uraian di atas, kita dapat menangkap makna bahwa konflik dan kekerasan adalah berbeda. Perbedaan tersebut terletak pada bentuk dan cara penyelesaian. Konflik terjadi tanpa kekerasan dan dapat menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Konflik akan melahirkan harmonisasi setelah tercapainya sebuah kesepakatan di atas perbedaan–perbedaan yang ada. Beberapa penyebab timbulnya konflik adalah kesenjangan sosial, kemakmuran tidak merata, akses dan kekuasaan yang tidak seimbang. Beberapa sebab terjadinya konflik sebagaimana disebut di atas bilamana melahirkan tindakan diskriminasi, pengangguran, penindasan dan tindak kejahatan lainnya, maka ia tidak dapat lagi disebut sebagai konflik melainkan kekerasan. Jadi, konflik tidak selamanya mengandung kekerasan, tetapi dalam kekerasan sudah pasti terdapat konflik (Fisher dkk, 2000:4). 66 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal Secara lebih tegas, Fisher dkk mendefenisikan konflik sebagai hubungan yang tidak cocok antara dua pihak atau lebih, termasuk dalam cara mencapai sasaran/tujuan mereka, sementara kekerasan didefenisikan sebagai sebuah tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistim yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan dan atau menghalangi seseorang atau kelompok orang untuk meraih potensinya secara penuh. Kekerasan menurut Ibrahim dkk (2000:4) memiliki tiga dimensi dimana dua dimensi diantaranya tidak tampak dan hanya satu sisi saja yang merupakan kekerasan tampak. Dua kekerasan yang tidak tampak tersebut adalah 1. sumber kekerasan yang berupa nilai, 2. kekerasan struktur yang meliputi sistim, kontek dan struktur, dua bentuk kekerasan ini merupakan kekerasan melembaga dan memberi kontribusi luar biasa pada bentuk dan intensitas kekerasan tampak. Sejak 1946 telah terjadi 6 kali pertikaian antar anggota kelompok komunitas di Rokan Hilir (Riau) yaitu 3 kali antara anggota komunitas melayu dengan anggota komunitas cina (yang disebut dengan tionghoa) yang terjadi pada beberapa kawasan di kabupaten Rokan Hilir yaitu di Bagan Siapiapi dan Bagan Batu, 2 kali antara anggota komunitas melayu dengan anggota komunitas Batak yang terjadi di kota Bagan Siapiapi dan Bagan Batu. Sementara, terjadi 1 kali antara anggota komunitas Melayu dengan anggota komunitas Bugis yang berlangsung di Bagan Siapiapi. Dibanding dengan pertikaian–pertikaian sebelumnya, pertikaian yang terjadi pada tahun 1998 antara anggota komunitas Melayu dan anggota komunitas Cina tidak sampai menelan korban jiwa, namun ratusan rumah anggota komunitas Cina musnah terbakar dengan kerugian harta benda bernilai milyaran rupiah. Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 67 Dari 6 kali pertikaian tersebut, 3 kali diantaranya terjadi antara dua komunitas Melayu dengan Cina, 2 kali di Bagan Siapiapi dan sekali di Bagan Batu. Sementara 2 kali pertikaian terjadi antara komunitas Melayu dengan komunitas Batak, sekali di Bagan Siapiapi dan sekali di Bagan Batu. Satu pertikaian lagi terjadi antara komunitas Melayu dengan komunitas Bugis/Sulawesi. Dari 6 kali pertikaian tersebut semuanya melibatkan komunitas Melayu. Pertikaian terbesar dan menelan korban yang cukup banyak, pertama terjadi pada tahun 1946 antara komunitas Melayu beserta sejumlah komunitas yang lain seperti Jawa dan lain-lainnya dengan komunitas Cina. Korban jiwa berjumlah ratusan dari kedua belah pihak. Pertikaian ini terjadi di Kota Bagan-siapiapi dan dipicu oleh ulah sekelompok komunitas Cina yang tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Mereka mengibarkan bendera Kuomintang (Cina Nasionalis), kemudian diturunkan paksa oleh masyarakat komunitas Melayu dan lain-lainnya. Peristiwa itu berkembang mejadi pertikaian yang memakan korban ratusan jiwa dari kedua belah pihak. Peristiwa ini, sedikit banyak, telah mempengaruhi hubungan yang tidak kondusif antara komunitas Melayu dengan komunitas Cina sampai sekarang. Kedua, terjadi pada tahun 1998 antara komunitas Melayu dengan komunitas Cina. Pertikaian ini tidak memakan korban jiwa, tetapi ratusan rumah komunitas Cina dibakar dengan kerugian harta benda berjumlah milyaran rupiah. Pertikaian ini terjadi di Kota Bagan-siapiapi dan dipicu oleh terjadinya perkelahian antara dua pemuda Melayu dan Cina di area sekitar pelabuhan. Orang Melayu yang terlibat perkelahian mengalami luka serius, kemudian dibawa ke rumah sakit di Pekanbaru dan diisukan meninggal dunia. Isu itu cukup keras, dan mendorong emosi komunitas Melayu yang kemudian melakukan perusakan dan pembakaran. 68 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal Kedua pertikaian besar di atas telah menelan kerugian harta benda dan korrban nyawa yang tidak kecil, yang menimbulkan kepedihan mendalam, ketakutan, trauma dan dendam yang latent. Bahkan kebencian mendalam kedua belah pihak yang tidak mudah dihapuskan dapat memicu pertikaian sewaktuwaktu bila terdapat pemicu yang cukup bagi mereka untuk mengulangi konflik. Faktor politik yang dibahas pada bagian ini berkenaan dengan pemerintahan dan otonomi daerah. Ketidakjelasan otonomi di daerah, dibanding dengan daerah lain seperti antara lain Sumatra Barat, Jawa Barat, apalagi Yogyakarta, merupakan masalah yang berkepanjangan dan ini antara lain disebabkan oleh tidak hanya kekhawatiran pemerintah pusat akan kehilangan penghasilan sangat berarti dari kebebasan yang diberikannya kepada daerah Riau, termasuk Rokan Hilir, yang cukup kaya dan potensial dalam segi SDA, tetapi juga oleh sangat kurangnya, kalau boleh disebut, tidak adanya perhatian diberikan pemerintah pusat kepada daerah ini. Hal kedua ini merupakan akibat dari fakta bahwa ada kesan tidak banyak orang Riau, termasuk Rokan Hilir, yang berada di Jakarta yang bersedia menjadi pelobi–pelobi “ulung” untuk memperjuangkan kepentingan Riau, termasuk Rokan Hilir, di Pemerintah Pusat. Ketidakjelasan dan keengganan pemerintah pusat memberikan otonomi daerah yang luas dan riil kepada daerah sampai dengan keluarnya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 menimbulkan konsekuensi logis bagi daerah ini sebagai berikut: 1. Hubungan pusat dan daerah dilaksanakan sangat sentralistis. 2. Pejabat–pejabat yang akan menduduki jabatan teras dan strategis dikirim atau didrop dari atau oleh pemerintah pusat. 3. Timbulnya dan meningkatnya kemiskinan struktural. Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 69 Sampai dengan keluarnya dua UU di atas, ada kesan desentralisasi masih belum sepenuhnya dilaksanakan dan sentralisme untuk hal–hal yang sebenarnya tidak lagi perlu dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dalam era otonomi daerah (Otda), seperti misalnya antara lain urusan kehutanan, perdagangan lintas batas, urusan pos lintas batas dan urusan Tenaga Kerja indonesia (TKI), masih tetap dipraktekkan. Hal ini tentu saja merugikan daerah, khususnya masyarakat pedalaman yang bermukim tidak jauh dari kawasan perbatasan. Konsekuensi pertama ini merupakan perwujudan keengganan Pemerintah Pusat menyerahkan otda, khususnya kepada daerah–daerah yang tidak memiliki putra–putra terbaik mereka di Departemen atau Instansi Pusat. Dalam era reformasi, otonomi daerah sebenaranya merupakan kesempatan emas khsusunya bagi rakyat di daerah yang kaya akan SDA untuk memperoleh kesejahteraan secara maksimal. Tetapi kesempatan emas seperti itu belum juga terealisasikan, karena kedua UU tersebut mengandung sejumlah distorsi yang melahirkan perbedaan filosofi dasar mengenai otonomi daerah itu sendiri. Perbedan filosofi tersebut melahirkan paling tidak dua cara pandang alternatif terhadap otonomi daerah, yaitu : a. Otonomi Daerah sebagai otonomi masyarakat daerah dan bukan hanya sekedar otonomi Pemda, b. Otonomi Daerah sebagai hak daerah yang sudah ada secara tradisional pada masyarakat setempat, dan bukan sebagai hal baru yang merupakan belas kasihan pusat dan kewajiban daerah. Konsekuensi logis dari cara pandang pertama adalah bahwa kebijakan otonomi daerah harusnya ditujukan pada pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat setempat di daerah, dan bukan hanya otonomi daerah Pemda sehingga hanya dinikmati oleh para elit politik daerah di jajaran Pemda, Kepala Daerah dengan segala aparaturnya maupun di DPRD. Kon70 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal sekuensi logis dari cara pandang kedua adalah bahwa otonomi daerah sebagai hak tradisional masyarakat tidak dapat dicabut oleh Pempus. Kewenangan Pusat hanya terbatas pada penyerahan dan pengaturan wewenang yang sudah ada pada daerah melalui berbagai kebijakan yang disepakati oleh kedua belah pihak. Bagaimana kenyataan otonomi daerah dan pelaksanaannya di Riau, termasuk di Rokan Hilir? Dari segi pelaksananan otonomi daerah saja, sebenarnya telah terjadi konflik antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal ini Pemda dan masyarakatnya selama Republik Indonesia berjalan, khususnya dalam 3 dekade pemerintahan Orba. Salah satu faktor utama yang menimbulkan pertikaian memprihatinkan di Rokan Hilir adalah ketidaksesuaian atau pertikaian pusat–daerah mengenai hak-hak otonomi masyarakat daerah dan hak–hak tradisional masyarakat daerah yang keduanya merupakan hak asasi mereka. Konflik ini menjalar sampai ke bawah. Konsekuensi lebih lanjut dari perbedaan tersebut adalah jangankan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat daerah dilaksanakan dan diprioritaskan, bahkan hakhak tradisional mereka di daerah dikesampingkan oleh pemerintah pusat dan pemda. Eksekutif menjadi lebih dominan dari pada legislatif pada era Orba, sebaliknya legislatif mendominasi eksekutif pada era reformasi dan pusat masih mendominasi daerah. Dominasi pemerintah pusat terhadap daerah dan masyarakatnya lebih tampak jelas terhadap daerah–daerah yang sabar, lembut, menjadi “anak baik”, tidak pernah berkeinginan berontak, dan tidak memiliki wakil di kabinet seperti Riau, termasuk Rokan Hilir. Puncak dari ketidak-pedulian dan dominasi pusat terhadap hak–hak masyarakat daerah dapat dilihat paling tidak dari dua hal: pertama, pejabat yang duduk pada jabatan teras strategis, seperti Gubernur, Bupati, Kepala Dinas Propinsi dan Kepala Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 71 Dinas Kabupaten, sebelum UU No. : 22/1999 diundangkan, dikirim dan ditetapkan dari pusat. Putera Daerah yang menjadi pejabat penting, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten, khususnya kabupaten Rokan Hilir, sangat sedikit. Bahkan kabupaten Rokan Hilir yang merupakan kabupaten baru, pemekaran dari kabupaten Kampar dan kabupaten Bengkalis, terjadi konflik tajam antara pemerintah pusat dan masyarakat mengenai tempat kedudukan Ibu Kota Kabupaten. Kondisi konflik ini dapat memicu konflik-konflik horizontal baru di masa yang akan datang. Kedua, hancurnya SDA dan lingkungan sebagai akibat dari kurangnya komitmen dan rasa memiliki dari para pejabat yang didrop dari pusat itu, kedua hal negatif yang merupakan wujud dari ketidak pedulian pusat sangat menyakiti hati masyarakat, khususnya masyarakat setempat dimana lingkungan ini hancur. Pejabat penting, seperti gubernur, bupati dan para pejabat teras dan strategis lainnya, sebagian besar sudah dikuasai oleh kalangan sendiri, putera daerah, namun mereka belum menampakkan komitmen dan kompetensinya dalam membela kepentingan masyarakat. Hal ini tetap merupakan akar konflik laten yang dapat timbul sewaktu-waktu di masa mendatang. Sentralisme yang berlebihan dapat pula menimbulkan kemiskinan strukturl bagi daerah dimana sentralisme itu dipraktekkan. Walaupun Riau, termasuk Rokan Hilir, tergolong daerah yang cukup kaya dibandingkan dengan daerah lain seperti Sulawesi Tenggara, NTT, tetapi pada tahun 1990-an daerah ini pernah menduduki peringkat tinggi sebagai penduduk miskin. Di samping itu Riau, khususnya Rokan Hilir, juga memiliki peringkat pendidikan yang cukup memprihatinkan. Mayoritas penduduknya berpendidikan sekolah dasar. Kondisi kemiskinan ekonomi dan keterpurukan pendidikan ini merupakan dampak dari tidak adanya otonomi daerah yaitu ketidak72 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal berdayaan pemerintah daerah dan masyarakatnya dalam memanfaatkan dan mengelola SDA maupun mengola keuangan daerah. Ini terbukti Riau menyetor penghasilan daerah yang bersumber dari SDA ke pusat cukup signifikan secara nasional, tetapi setelah dikembalikan lagi ke daerah dan menerima dalam bentuk APBD, Riau menerima dalam jumlah yang sangat sedikit. Rendahnya APBD yang diterima dari pusat dibanding dengan penghasilan dari daerah sendiri, menimbulkan kesulitan besar bagi masyarakt kecil, khususnya masyarakat yang berdomisili di kawasan pedalaman dan perhuluan jauh dari kotakota besar. Kondisi ini dirasakan langsung oleh anggota komunitas Melayu di kawasan pedalaman, bahkan pinggiran kota, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan dan keresahan kepada pemerintah pusat. Berbeda dengan anggota komunitas Melayu, anggota komunitas Cina, yang sebagian besar tinggal di kota, hampir tidak merasakan hantaman sebagai akibat dari ketiadaan otonomi daerah, maupun dari krisis ekonomi dan politik, karena mereka adalah pekerja keras, pedagang yang trampil, dan hemat. Dalam krisis ekonomi dan politik taraf ekonomi mereka tetap mengalami peningkatan, walaupun secara perlahan-lahan tapi pasti. Dari segi politik, anggota komunitas Cina pada umumnya memiliki afiliasi politik yang relatif konsisten, dalam arti selalu berusaha memilih partai-partai politik yang berkuasa, seperti Golkar, PDIP atau Demokrat. Pilihan semacam ini dianggap oleh sejumlah tokoh komunitas Melayu sebagai penghalang dan ancaman terhadap ambisi mereka maupun keinginan mereka untuk mendorong tokoh Melayu untuk untuk lebih leluasa dalam kekuasaan, bahkan pada pilkada langsung pertama di Rokan Hilir, komunitas Cina termasuk yang menang. Perubahan daya kepengikutan pada masyarakat Melayu Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 73 dari tokoh adat ke elit politik dan ketergantungan mereka terhadap elit politik mereka, ditambah dengan kepentingan maupun ambisi politik jangka pendek dari para elit politk tersebut mendorong timbulnya pembenturan dengan anggota komunitas Cina yang dianggap dalam jangka panjang merupakan penghalang dalam perebutan peluang politik dan ekonomi. Ketakutan dan trauma komunitas Cina akibat konflik pada tahun 1998 dapat berdampak pada lebih solidnya komunitas Melayu untuk upaya mendominasi lembaga-lembaga politik, baik di eksekutif maupun di legislatif. Hal ini juga dapat memiliki arti yang signifikan yang mampu memperlancar strategi politik jangka panjang mereka. 74 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal Bab V Potensi Integrasi Sosial Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 75 76 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal BAB V POTENSI INTEGRASI SOSIAL 5.1. Integrasi Sosial Budaya Masyarakat multikultural yang memiliki potensi konflik, harus memperhatikan aspek-aspek penting yang merupakan faktor pemersatu dari keberagaman yang ada. Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam mengupayakan sebuah penyelesaian konflik, untuk mencapai sebuah kesepakatan kembali diantara pihak yang berkonflik, juga merupakan kekuatan yang harus dipelihara agar konflik antar komunitas dapat dihindari. Konflik yang pernah terjadi di wilayah penelitian baru dapat diselesaikan melalui koordinasi dengan tokoh-tokoh masyarakat. Tindakan koordinasi seperti ini menghasilkan kesepakatan-kesepakatan tertentu sebagaimana yang dilakukan ketika terjadi konflik antara komunitas Cina dengan Melayu pada tahun 1998. Koordinasi yang baik antara lembaga adat dengan aparat keamanan sangat dibutuhkan dalam situasi pertikaian yang sudah mengarah pada kekerasan etnis. Tampak disini bahwa peran para tokoh lembaga adat tersebut sangat menentukan di dalam menyelesaikan kasus-kasus pertikaian Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 77 antar etnis, bahkan ketika negara tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengendalikan konflik. Memahami karakter konflik yang pernah terjadi dan semua potensi konflik yang dimiliki oleh masyarakat di wilayah penelitian, serta berdasarkan penggalian informasi di lapangan, maka dapat dikemukakan beberapa kondisi sosial dan budaya yang merupakan potensi untuk berkembangnya integrasi sosial yang lebih baik. Potensi integrasi yang dimaksud adalah : 1. Asosiasi inter-komunal dan cross-cutting loyalities Adanya kebersamaan dalam lapangan kerja serta organisasiorganisasi tertentu akan memunculkan loyalitas bersama dan berlakunya nilai-nilai lintas-etnis yang ditaati bersama. Semakin banyak lapangan kerja yang beranggotakan orang-orang dari berbagai komunitas, akan menciptakan loyalitas bersama diantara mereka. Selain itu, adanya tenaga kerja Cina yang bekerja pada orang Melayu, atau sebaliknya penduduk tempatan yang bekerja pada orang Cina, dapat mengeliminir loyalitas tunggal mereka pada nilai-nilai primordialisme. Mekanisme penciptaan cross-cutting loyalities melalui berbagai asosiasi inter-komunal akan memberi kontribusi pada meluasnya standar nilai yang bersifat universal. Pendidikan dan pekerjaan menjadi sarana yang efektif untuk tujuan ini, dan berfungsi sebagai filter atau alat penyaring untuk setiap hasutan yang mungkin bisa memperkeruh keadaan. Hal ini juga menjadi jawaban bahwa stereotype antar komunitas yang ditemukan di daerah penelitian tidak meluas ke seluruh lapisan masyarakat, dan kekerasan antar etnis yang pernah terjadi tidak berkepanjangan menjadi konflik yang intens. 2. Revitalisasi melalui pemberdayaan kelompok Menurut informasi dari para tokoh masyarakat, lembaga 78 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal adat pada komunitas atau kelompok etnis yang bersangkutan, sangat membantu upaya penyelesaian konflik yang pernah terjadi. Setiap komunitas di wilayah penelitian memiliki asosiasi atau ikatan keluarga yang menghimpun seluruh warga komunitas, dan berperan sebagai sarana komunikasi antar warga maupun antar komunitas. Keterbatasan dana mengakibatkan sebagian besar asosiasi seperti ini tidak bisa mengadakan pertemuan rutin untuk mengadakan sosialisasi kepada anggota. Kecuali kelompok mayoritas, yakni Melayu dan Cina, komunitas lainnya bahkan sudah lama tidak mendata ulang jumlah anggota atau menjalankan kegiatan-kegiatan kelompok. Lembaga-lembaga ini baru nyata berperan ketika terjadi pertikaian antar kelompok atau komunitas, dan lebih dahulu bertindak sebelum aparat keamanan menjalankan tugasnya. Sesuai dengan fungsinya sebagai sarana revitalisasi, khususnya pada masyarakat multikultural dan memiliki riwayat terjadinya kekerasan etnis, seharusnya asosiasi-asosiasi ini bisa lebih aktif memberdayakan kelompok yang lemah, serta mengadakan sosialisasi nilai-nilai yang berorientasi pada integrasi sosial. Apabila lembaga adat memiliki kewenangan yang memadai, maka pendekatan kekeluargaan untuk menyelesaikan kasus pertikaian, dan penerapan sanksi internal (in-group policing equilibria) terhadap anggota yang membuat keributan dapat dilakukan. Harapan ini diungkapkan oleh hampir semua tokoh adat di wilayah penelitian. 3. Proses peleburan budaya Amalgamasi atau perkawinan campur antar kelompok etnis banyak sekali terjadi. Hal ini akan menciptakan cross-cutting culture dan cross-cutting value yang sangat potensial memberikan kontribusi pada upaya integrasi sosial. Khusus ber- Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 79 kaitan dengan komunitas Cina, ternyata diperoleh jawaban bahwa amalgamasi dengan komunitas Cina terjadi secara tidak langsung. Tidak semua warga Cina di wilayah penelitian hidup sejahtera dan menguasai akses ekonomi yang besar. Banyak diantaranya yang hidup dalam kondisi sangat kekurangan, tidak memiliki mata pencaharian atau bekerja sebagai nelayan miskin. Mereka yang hidup di dalam keterbatasan ini seringkali menyerahkan anak-anaknya yang masih bayi kepada temanteman Melayunya, atau siapa saja yang bersedia menerima, untuk menjadi anak pungut. Sehingga banyak anak-anak warga Cina yang dibesarkan dalam keluarga Melayu atau komunitas lain. Tentunya ketika anak ini tumbuh dewasa, mereka menjadi bagian dari keluarga Melayu dan membentuk keluarga dengan warga Melayu. Maka disini terjadi amalgamasi yang tidak langsung tersebut. Untuk melengkapi potensi integrasi sosial dalam masyarakat di wilayah penelitian ini, maka sesuai dengan identifikasi masalah konflik dan integrasi yang pernah terjadi, dicoba dikemukakan beberapa tindakan yang kiranya akan mengarah pada terciptanya integrasi yang lebih baik. Pertama, menciptakan lapangan pekerjaan adalah langkah penting yang diharapkan oleh semua tokoh yang diwawancarai. Distribusi kesempatan bekerja dan berusaha yang adil dan merata untuk semua kelompok etnis dan komunitas akan memberikan dampak yang sangat positif bagi terwujudnya integrasi sosial. Apabila semua lapisan dari semua kelompok tidak merasakan adanya ketimpangan dan kesenjangan secara sosial dan ekonomi, maka pertikaian-pertikaian yang terjadi antar pemuda juga akan sangat berkurang. Seiring dengan penciptaan lapangan pekerjaan, harapan yang muncul juga adalah pembangunan yang lebih merata di seluruh wilayah kabupaten, dan tidak hanya terpusat di wilayah perkotaan. Hal ini juga berdampak pada pe80 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal merataan distribusi penguasaan akses ekonomi untuk seluruh anggota masyarakat. Kedua, mengadakan komunikasi yang rutin antar organisasi adat yang ada, baik komunikasi horisontal diantara mereka, maupun komunikasi dengan pihak pemerintah didalam jajaran struktural daerah. Tentunya komunikasi seperti ini akan menciptakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya integrasi sosial, baik di daerah maupun di tingkat nasional 5.2. Integrasi Sosial Ekonomi Faktor ekonomi dalam sebuah tatanan sosial memainkan peran ganda. Faktor ini di satu sisi dapat berperan sebagai pemicu konflik, namun sebaliknya di sisi lain dapat berperan sebagai faktor pemersatu (integrasi sosial). Kasus-kasus yang berkembang baik di Bagan Siapi-api maupun di Bagan Batu mencerminkan indikasi bahwa peluang integrasi sosial melalui faktor ekonomi sangat terbuka. Dalam bagian ini akan diungkap peluang-peluang integrasi sosial dengan menggunakan analisis faktor ekonomi sebagai faktor perekat. Berdasarkan analisis ekonomi paling tidak terdapat tiga peluang untuk membangun integrasi sosial antar komunitas yang berbeda di Kabupaten Rokan Hilir. Pertama adalah hubungan ekonomi dalam bentuk hubungan tradisional “buruhmajikan”. Kedua, peningkatan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh dengan memperluas lapangan kerja. Ketiga percepatan pertumbuhan ekonomi terhadap penduduk local (pribumi) secara khusus (diskriminasi positif) yang dalam teori negara lebih dikenal dengan penguatan sektor publik. Faktor pertama bisa terbangun secara kultural dari lapis bawah (dari masyarakat sendiri) meskipun secara umum akan terkait juga secara tidak langsung dengan kebijakan pemerintah, sementara faktor kedua dan ketiga memerlukan intervensi pemerintah secara langsung. Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 81 1. Faktor hubungan ekonomi Hubungan ekonomi yang dimaksud disini adalah hubungan yang terbangun dengan sendirinya berdasarkan kebutuhan ekonomi antara dua pihak, yaitu kelompok pemilik modal yang menginvestasikan modalnya sehingga terbuka lapangan kerja yang membutuhkan tenaga kerja, dan kelompok masyarakat yang membutuhkan pekerjaan. Kedua kelompok akan dipertemukan dengan kepentingan yang sama yaitu kepentingan ekonomi meskipun dalam sekala yang berbeda. Yang terpenting dalam proses ini kedua kelompok bias menyatu. Hubungan seperti ini telah lama terbangun dengan cukup baik antara pemilik modal dari komunitas Cina dengan komunitas lainnya termasuk komunitas Melayu terutama sekali di dua sektor perikanan, yaitu bidang industri penangkapan dan industri perkapalan. Pola hubungan seperti ini bisa berjalan secara alami, namun tetap sangat ditentukan oleh iklim investasi. Ketika iklim investasi cukup sehat maka kecenderungan investasi akan meningkat, sehingga peluang kerja semakin terbuka dan pada gilirannya integrasi sosial bisa terbangun secara perlahanlahan. Pemerintah di dalam pola hubungan seperti ini sebenarnya tetap memainkan peran penting terutama dalam menumbuhkan iklim investasi yang sehat. Salah satu faktor penting dalam iklim investasi adalah jaminan kepastian hukum. Faktor kepastian hukum inilah yang akan memberi indikasi masalah-masalah lain yang lebih luas seperti kejelasan prosedural dan keamanan. Dalam skala yang lebih luas investasi juga akan berkaitan dengan pelayanan dan infrastruktur, namun untuk investasi disektor perkebunan dan perikanan kondisi daerah Rokan Hilir masih dinilai layak dan mampu menanganinya. Yang menjadi masalah mendasar adalah kepastian hukum. 82 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal Masalah jaminan kepastian hukum inilah menurut Andang Wijaya yang banyak dikeluhkan oleh komunitas Cina terutama untuk investasi dibidang industri perkapalan. Menurut Andang Wijaya persoalan pajak yang ditetapkan pemerintah tidak ada masalah bagi komunitas Cina, mereka tetap siap mentaati peraturan pajak. Yang menjadi masalah utama adalah kepastian hukum terutama dalam hal perizinan. Para investor dari komunitas Cina di Bagan Siapi-api ini tidak memperoleh kejelasan pasti siapa yang berwenang memberi izin pemasokan kayu sebagai bahan baku industri perkapalan dan bagaimana prosedurnya. Karena seringkali proses pemasokan bahan baku ini menghadapi kendala dari pihak aparat keamanan karena dianggap kayu illegal. Akibatnya bahan baku sulit diperoleh dan akhirnya industri perkapalan ini ditutup. Kasus serupa juga terjadi disektor perkebunan terutama di Bagan Batu. Investasi juga banyak mengalami gangguan akibat tidak ada kepastian hukum yang berkaitan dengan status lahan. Hak kepemilikan lahan yang tumpang tindih sering terjadi sehingga pada akhirnya merugikan kedua pihak baik investor maupun masyarakat. Yang perlu diwaspadai dalam upaya mendorong investsi ini adalah ketika investor lebih didominasi oleh satu komunitas tertentu saja terutama komunitas Cina. Dari sudut pandang komunitas, hal ini tetap bisa memicu munculnya kecemburuan social terutama dikalangan tokoh-tokoh komunitas lain yang merasa pribumi dan terlebih lagi yang merasa penduduk asli. Pada kedudukan demikian suatu saat ketika terjadi benturan kepentingan antara buruh dan majikan isunya akan mudah diangkat menjadi isu konflik komunitas (konflik etnis). Karena itu peluang dan kemampuan investasi komunitas local harus didorong sehingga memiliki kedudukan berimbang dengan Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 83 komunitas Cina (masalah ini akan dibahas lebih mendalam pada bagian berikut). 2. Memperluas lapangan kerja Investasi adalah cara yang sangat efektif untuk memperluas lapangan kerja. Investasi dapat bersumber dari dua sektor, yaitu sektor pemerintah (government sector) dan sektor swasta (privat sector). Dalam bagian ini bahasan akan lebih dititikberatkan pada sector pemerintah. Pemerintah daerah memiliki kewenangan mengelola anggaran pembangunan melalui APBD. Memang sangat dirasakan di berbagai daerah otonom di Indonesia prosentase alokasi APBD ini sangat tergantung pada niat baik pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif). Prinsipnya alokasi APBD secara rasional meletakkan prosentase anggaran belanja pembangunan lebih besar dari pada anggaran belanja rutin. Dengan alokasi anggaran belanja pembangunan inilah pemerintah sebenarnya dapat membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi masyarakat. Ada dua hal yang bisa dilakukan pemerintah dalam investasi sector pemerintah melalui anggaran APBD ini. Pertama, melibatkan rekanan-rekanan lokal untuk mengelola proyek APBD dengan ukuran baku mutu dan profesionalisme yang semakin bisa dipertangggungjawabkan. Ketika sebuah proyek yang kekhususannya tidak bisa ditangani oleh rekanan local baru dibuka persaingan untuk rekanan dari luar. Kedua, memberikan prioritas bagi masyarakat tempatan untuk direkrut sebagai tenaga kerja (buruh) dalam setiap proyek yang didanai oleh APBD. Kedua hal ini sangat penting untuk diperhatikan oleh Pemerintah Rokan Hilir dalam rangka memperkecil jurang pemisah ekonomi dari berbagai komunitas (etnis) yang ada di Rokan Hilir umumnya, dan di Bagan Siapi-api dan bagan Batu pada 84 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal khusunya. Dengan begitu factor ekonomi dapat dijadikan solusi efektif untuk memperkuat integrasi sosial dan memperkecil peluang konflik antar komunitas. 3. Percepatan pertumbuhan ekonomi komunitas lokal Upaya ini bisa dilakukan melalui program pembangunan yang berorientasi pada penguatan sector public dengan alokasi pembiayaannya diambil dari APBD. Pemerintah dapat melakukan program land reform (pengaturan penggunaan lahan), dan pembinaan masyarakat ekonomi lemah melalui proyek pendampingan. Program land reform dijalankan tidak saja untuk memberikan status legal bagi masyarakat pemilik lahan melainkan juga menertibkan izin-izin pengelolaan lahan yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan perkebunan dan perusahaan pengelola hutan. Lahan-lahan milik perusahaan pengelola hutan yang sudah tidak produktif lagi, terutama yang tidak dikonversi menjadi lahan perkebunan atau lahan HTI izinnya segera ditinjau ulang. Artinya bila pengelolaan lahan tidak sesuai lagi dengan izin yang diberikan maka izinnya segera dicabut. Lahan-lahan kosong yang masih tersisa, baik berupa lahan yang telah ditinggalkan oleh perusahaan pengelolanya (karena habis izin atau sudah tidak produktif lagi) maupun hutan yang belum diolah pendataan dan statusnya harus segera dipertegas, yaitu penanganannya diambil alih oleh Negara melalui pemerintah Kabupaten. Langkah selanjutnya ditetapkan daerah yang masih layak untuk hutan lindung dikeluarkan perdanya dan lahan yang bias dikonversi untuk perkebunan dicetak menjadi kebun-kebun baru. Dalam pengelolaan kebun ini dapat dilibatkan tiga pihak yaitu pemerintah, swasta dan rakyat. Pemerintah berperan sebagai stake holder pertama dengan tugas mencetak kebun Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 85 baru dan menjualnya kepada rakyat secara cicilan. Rakyat dilibatkan dalam proses pengolahan lahan dan sekaligus berstatus sebagai pembeli. Dari keterlibatan rakyat dalam proyek pembukaan kebun itu mereka mendapat penghasilan sebagai pekerja. Setelah kebun jadi dijual kembali kepada mereka yang pembayarannya diambil dari hasil kebun. Pihak swasta dilibatkan sebagai investor yang menyediakan pabrik pengolah dan menampung hasil kebun kemudian mengolah dan memasarkannya. Pemerintah memperoleh keuntungan dari cicilan penjualan kebun, pajak dari pabrik pengolahan, dan pajak penjualan hasil olahan. Pihak swasta memperoleh keuntungan dari proses pengolahan dan penjualan hasil kebun. Sementara rakyat memperoleh keuntungan sebagai pekerja dan sekaligus sebagai pemilik kebun yang dibelinya dari pemerintah secara cicilan. Pada masa yang telah ditetapkan dimana pemerintah telah memperoleh kembali seluruh anggaran sesuai dengan yang dikeluarkan maka kebun itu sera penuh dapat diserahkan kepada rakyat. Program ini dapat dilakukan secara bertahap. Program pendampingan dapat dilakukan dengan cara mengalokasikan pinjaman lunak yang diiringi pelatihan manajemen usaha kepada rakyat. Masyarakat tidak hanya diberi bantuan pinjaman modal usaha tetapi juga dibimbing dalam menjalankan usaha. Tujuannya agar pinjaman modal usaha tersebut dapat berlangsung efektif yang dapat dibuktikan dengan berjalannya usaha yang dirancang dan dibina itu dengan baik. Dengan demikian pengembalian dari pinjaman modal usaha itu tidak akan macet. Kedua program di atas bukan masalah mudah namun bukan sesuatu yang mustahil. Dengan kesungguhan niat dari pemerintah dan disertai perencanaan yang matang program tersebut 86 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal cukup meyakinkan untuk berhasil, karena peluang ini cukup besar bisa dilakukan di Roakan Hilir. Keberhasilan program ini akan menjadi salah satu factor mempercepat pertumbuhan ekonomi rakyat sehingga memperkecil jurang perbedaan kesejahteraan ekonomi antar komunitas yang ada di Roakn Hilir terutama antara komunitas Cina dan Melayu. Peningkatan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi akan berdampak pada hilangnya kecemburuan social yang pada akhirnya akan dapat meredam peluang-peluang konflik horizontal. Dengan demikian faktor ekonomi juga sangat potensial untuk menjadi factor integrasi sosial yang mampu meredam secara permanent akar konflik laten yang selama ini tertanam antar komunitas terutama antara komunitas Melayu dan Cina. 5.3. Integrasi Sosial Politik, Pemerintahan, dan Otonomi Daerah Faktor sosial politik, pemerintahan dan otonomi daerah memiliki peran yang vital dalam mencegah terjadinya konflik yang mengarah kepada kekerasan, maupun penyelesaian terhadap kekerasan-kekerasan akibat dari konflik. Faktor social politik, pemerintahan dan otonomi daerah pada dasarnya adalah satu kesatuan lembaga politik yang salah satu fungsi dan peranannya adalah mencegah dan menyelesaikan konflik pada masyarakat. Dalam satu sisi, politik adalah upaya dan proses dalam suatu masyarakat untuk merubah konflik menjadi harmoni. Konflik merupakan kondisi yang tak terhindarkan dalam masyarakat, sehingga fungsi dan peran tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pertikaian antara kelompok komunitas, terutama komunitas Melayu dengan komunitas yang lain, Cina, Batak, Sulawesi, yang telah Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 87 terjadi sebanyak 6 kali, antara lain adalah factor social budaya yang merupakan factor pemicu, sedangkan faktor ekonomi dan politik merupakan faktor akar masalah. Namun demikian peran factor social politik, pemerintahan dan otonomi daerah dalam penyelesaian konflik adalah hal yang vital. Tulisan ini diharapkan dapat mengungkapkan dan menggambarkan peran tersebut dalam penyelesaian pertikaian yang terjadi di Rokan Hilir. Sejumlah konflik menonjol yang terjadi di kabupaten Rokan Hilir merupakan konflik yang kemudian berkembang menjadi kekerasan. Konflik yang berwujud perbedaan pendapat antara pihak-pihak yang terkait merupakan kondisi alamiah dan bahkan merupakan ciri perkembangan, perubahan dan kemajuan masyarakat. Namun, apabila konflik-konflik alamiah yang ada pada masyarakat tidak dapat dikendalikan dan berubah menjadi kekerasan, maka masyarakat akan mengalami kemunduran bahkan hancurnya peradaban. Dalam kondisi demikian peran social politik, pemerintahan dan otonomi daerah adalah vital. Konflik merupakan sebuah fenomena yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi. Dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian dan dimensi keduanya adalah dimensi bentuk. Hal yang pertama memiliki dua ujung yakni terjadinya perpecahan dan tindak kekerasan yang melahirkan disintegrasi, sementara pada ujung lainnya terjadi konsolidasi setelah perbedaan–perbedaan dapat ditemukan solusinya. Oleh karena itu, konflik perlu diantisipasi sedemikian rupa agar ujung pertama yang dapat memicu terjadinya tindak kekerasan dan kerugian dapat dihindari. Untuk dapat mencegah dan menghindari konflik yang berupa kekerasan diperlukan pelembagaan konflik dan sekaligus pencegah konflik dan penyelesai konflik. Dalam lembaga ini seluruh masalah yang berpotensi menimbulkan konflik maupun kekerasan dapat dikendalikan ke arah yang menuju harmonisasi. 88 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal Pemerintah berdasarkan kewenangannya, terutama setelah terbitnya UU otonomi daerah, berkewajiban melakukan antisipasi dengan kebijakan-kebijakan yang dapat mencegah timbulnya penyebab konflik dan kekerasan. Dari hal di atas terdapat makna bahwa konflik dan kekerasan adalah berbeda. Perbedaan tersebut terletak pada bentuk dan cara penyelesaian. Konflik terjadi tanpa kekerasan dan dapat menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Konflik akan melahirkan harmonisasi setelah tercapainya sebuah kesepakatan di atas perbedaan–perbedaan yang ada. Beberapa penyebab timbulnya konflik adalah kesenjangan sosial, kemakmuran tidak merata, akses dan kekuasaan yang tidak seimbang. Pemerintah perlu membuat kebijakan, dengan melibatkan seluruh stake holders, yang dapat mencegah terjadinya kesenjangan social, menjamin pemerataan, dan penciptaan akses yang berimbang untuk seluruh masyarakat. Beberapa sebab terjadinya konflik sebagaimana disebut di atas bilamana melahirkan tindakan diskriminasi, pengangguran, penindasan dan tindak kejahatan lainnya, maka ia tidak dapat lagi disebut sebagai konflik melainkan kekerasan. Jadi, konflik tidak selamanya mengandung kekerasan, tetapi dalam kekerasan sudah pasti terdapat konflik (Fisher dkk, 2000:4). Secara lebih tegas, Fisher dkk mendefenisikan konflik sebagai hubungan yang tidak cocok antara dua pihak atau lebih, termasuk dalam cara mencapai sasaran/tujuan mereka, sementara kekerasan didefenisikan sebagai sebuah tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistim yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan dan atau menghalangi seseorang atau kelompok orang untuk meraih potensinya secara penuh. Kekerasan Ibrahim dkk (2000:4) memiliki tiga dimensi dimana dua dimensi diantaranya tidak tampak dan hanya satu Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 89 sisi saja yang merupakan kekerasan tampak. Dua kekerasan yang tidak tampak tersebut adalah 1. sumber kekerasan yang berupa nilai, 2. kekerasan struktur yang meliputi sistim, kontek dan struktur, dua bentuk kekerasan ini merupakan kekerasan melembaga dan memberi kontribusi luar biasa pada bentuk dan intensitas kekerasan tampak. Dapat dikemukakan bahwa setidaknya ada 3 kelompok teori yang berusaha menjawab pertanyaan : mengapa tindak pidana lintas etnik berupa penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan satu kelompok etnik terhadap kelompok etnik lainnya, menghasilkan kekerasan etnik. Teori pertama yang diajukan oleh Fearon dan Laitin (1996), bahwa ada dua mekanisme yang berperan besar untuk itu. Pertama, adalah spirual equilibria. Ketika satu tindak pidana lintas etnik terjadi, awalnya hal ini memang mengundnag kelompok etnik korban melakukan hukuman secara indiskriminatif terhadap seluruh anggota etnik pelaku. Hal ini dimungkinkan karena kelompok etnik, yang anggotanya menjadi korban tidak mengenal pelaku. Tanpa atau dengan perlawanan kelompok pelaku, kekerasan etnik memang terjadi. Dan dengan pengalaman kekerasan etnik tersebut, seiring waktu, ketika kembali terjadi tindak pidana lintas etnik, kedua kelompok etnik yang terlibt berusaha menahan diri. Bila penghukuman masal semacam ini terus dilakukan, maka sebagai akibat akumulasi reaksi berantai dari para korban yang tidak berslah di masa lalu, kekerasan etnik berikutnya akan lebih besar, dan bila masih terus terjadi akan menjadi jauh lebih besar lagi, demikian seterusnya berkembang secara spiral. Mekanisme kedua adalah in-grup policing equilibria. Menyadari bahwa tindak pidana lintas etnik senantiasa terjadi, suatu masyarakat yang bersifat multi etnik, kemudian membuat 90 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal kesepakatan bahwa yang berhak melakukan penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana lintas etnik adalah hanya kelompok etnik di mana pelaku menjadi anggotanya. Karena kelompok inilah yang dianggap paling mengetahui identitas pelaku. Dengan cara ini kelompok etnik yang anggotanya menjadi korban tidak lagi terdorong untuk menerapkan sanksi hukuman secara tidak pandang bulu. Sebagai akibatnya, kekerasan etnik dapat dihindarkan. Teori selanjutnya diajukan oleh Gould (1999). Menurutnya, dalam suatu masyarakat senantisa terjadi tindak pembunuhan, namun yang menarik tidak semua pembunuhan merangsang terjadinya tindakan balasan secara kolektif dari pihak kelompok korban. Penelusurannya di Corsica menunjukkan bahwa kekerasan kolektif baru akan terjadi bila tindak pembunuhan memenuhi tiga syarat berikut: Pertama, satu pihak yang berselisih bertindak sebagai kelompok sejak awal. Tindakan ini memberikan pesan yang mengundang agar kelompok yang anggotanya menjadi korban untuk bertindak serupa. Kedua, masih berkaitan erat dengan itu bahwa kegagalan satu kelompok untuk meyakinkan lawannya untuk mengundurkan diri. Adakalanya pembunuhan sejak awal dikesankan memang dilakukan oleh kelompok dengan harapan mereka dapat menyakinkan kelompok yang anggotanya menjadi korban bahwa pihak pertama merupakan kelompok yang solid dan lebih kuat. Karena itu pihak kedua harus memperhitungkan resikonya bila mereka ingin melakukan pembalasan secara kolektif. Bila kelompok yang disebut terakhir ini dapat diyakinkan maka kekerasan kolektif jelas tidak akan terjadi. Dan syarat ketiga, tuntutan situai krisis di mana satu pihak tidak memiliki pilihan lain kecuali melawan secara kolektif. Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 91 Lebih jauh, Gould juga mengatakan bahwa ketiga syarat yang mengubah tindak pembunuhan individual menjadi kolektif itu akan berlaku efektif dalam situasi berikut ini : 1) ketidak mampuan negara dalam menyelesaikan perselisihan; 2) adanya pakta pertahanan bersama di antara berbagai kelompok; 3) keberlakuan norma loyalitas kelompok, serta 4) adanya reputasi sebagai kelompok yang memiliki solidaritas tinggi. Mengingat hal itu, tidaklah heran bila Gould tiba pada kesimpulan bahwa kekerasan kolektif merupakan insiden yang jarang terjadi. Satu aspek yang paling ditekankannya adalah fakta betapa sulitnya mekanisme dalam suatu kelompok untuk menggalang solidaritas. Ketika dihadapkan pada biaya, imbalan dan resiko yang mungkin terjadi, tidak semua anggota terdorong untuk terlibat dalam kekerasan koletif. Teori ketiga diajukan oleh Varshney (2000). Tindak pidana lintas etnik dapat terjadi setiap saat. Namun menurut pengamatannya di wilayah perkotaan India kekerasan etnik hanya terjadi di kota-kota tertentu, tetapi tidak terjadi di kota-kota lainnya. Di wilayah yang banyak memiliki asosiasi intra-komunal (eksklusivisme menurut etnik dan agama), gosip dan desas desus mendorong terjadinya mobilisasi masa untuk merusak dan membunuh. Sedangkan di wilayah yang banyak memiliki asosiasi inter-komunal (bersifat inklusif dan cross-cutting) kecenderungan semacam itu tidak ada. Berbagai asosiasi mulai dari klub hobi hingga partai politik bahu menbahu mematikan berita yang tidak benar, membangun komunikasi dan menjalankan perdamaian. Terlepas dari perbedaan penjelasan ketiga teori di atas, ada beberapa kesamaan yang menyolok. Pertama, ketiganya memberi penekanan bahwa kekerasan etnik adalah hanya satu fase ekstrim dari kehidupan hubungan antara etnik yang dido- 92 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal minasi oleh perdamaian etnik. Kedua, ketiganya memberikan penekanan pada peran masyarakat dalam membina perdamaian etnik, kalau tidak dapat dikatakan mengabaikan peran Negara sama sekali. Dan ketiga, teori-teori tersebut mengasumsikan bekerjanya prinsip rasionalisme dalam cara berpikir para anggota kelompok etnik. Karena itu menarik kiranya untuk mengidentifikasi keberlakuan teori tersebut dalam kasus konflik-konflik antar kelompok komunitas di Rokan Hilir. Sejak 1946 telah terjadi 6 kali pertikaian antar anggota kelompok komunitas di Rokan Hilir (Riau), yaitu 3 kali antara anggota komunitas Melayu dengan anggota komunitas Cina (yang disebut dengan Tionghoa) yang terjadi pada beberapa kawasan di kabupaten Rokan Hilir yaitu di Bagan Siapiapi dan Bagan Batu, 2 kali antara anggota komunitas melayu dengan anggota komunitas Batak yang terjadi di kota Bagan Siapiapi dan Bagan Batu. Sementara, terjadi 1 kali antara anggota komunitas melayu dengan anggota komunitas bugis yang berlangsung di Bagan Siapiapi. Dibanding dengan pertikaian–pertikaian sebelumnya, pertikaian yang terjadi pada tahun 1998 antara anggota komunitas melayu dan anggota komunitas Cina tidak sampai menelan korban jiwa, namun ratusan rumah anggota komunitas Cina musnah terbakar dengan kerugian harta benda bernilai milyaran rupiah. Dari 6 kali pertikaian tersebut, 3 kali diantaranya terjadi antara dua komunitas Melayu dengan Cina, 2 kali di Bagan Siapi-api dan sekali di Bagan Batu. Sementara 2 kali pertikaian terjadi antara komunitas melayu dengan komunitas Batak, sekali di Bagan Siapiapi dan sekali di Bagan Batu. Satu pertikaian lagi terjadi antara komunitas Melayu dengan komunitas Bugis/Sulawesi. Dari 6 kali pertikaian tersebut semuanya melibatkan komunitas melayu. Pertikaian terbesar dan menelan Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 93 korban yang cukup banyak, pertama terjadi pada tahun 1946 antara komunitas Melayu beserta sejumlah komunitas yang lain seperti Jawa dan lain-lainnya dengan komunitas Cina. Korban jiwa berjumlah ratusan dari kedua belah pihak. Pertikaian ini terjadi di kota Bagan-siapiapi dan dipicu oleh ulah sekelompok komunitas Cina yang tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Mereka mengibarkan bendera Kuomintang (Cina Nasionalis), kemudian diturunkan paksa oleh masyarakat komunitas Melayu dan lain-lainnya. Peristiwa itu berkembang mejadi pertikaian yang memakan korban ratusan jiwa dari kedua belah pihak. Peristiwa ini, sedikit banyak, telah mempengaruhi hubungan yang tidak kondusif antara komunitas Melayu dengan komunitas Cina sampai sekarang. Kedua, terjadi pada tahun 1998 antara komunitas melayu dengan komunitas cina. Pertikaian ini tidak memakan korban jiwa, tetapi ratusan rumah komunitas cina dibakar dengan kerugian harta benda berjumlah milyaran rupiah. Pertikaian ini terjadi di kota Bagan-siapiapi dan dipicu oleh terjadinya perkelahian antara dua pemuda Melayu dan Cina di area sekitar pelabuhan. Orang Melayu yang terlibat perkelahian mengalami luka serius, kemudian dibawa ke rumah sakit di Pekanbaru dan diisukan meninggal dunia. Isu itu cukup keras, dan mendorong emosi komunitas Melayu yang kemudian melakukan perusakan dan pembakaran. Penyelesaian pertikaian yang terjadi senantiasa terkesan terjadi keterlambatan peran pemerintah. Pemerintah terkesan tidak melakukan upaya-upaya antisipatif dalam mencegah terjadinya konflik antar komunitas. Setelah terjadi pertikaian barulah melangkah untuk menangani, dan selalu terkesan lamban, akibatnya kekerasan yang seharusnya dapat dicegah, terjadi. Untuk melakukan antisipasi dalam upaya maksimal mencegah dan mengendalikan konflik di masa-masa mendatang, peme94 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal rintah perlu meningkatkan perannya dalam mengkondisikan masyarakat untuk itu. Terbentuknya organisasi-organisasi terbuka, seperti pengembangan hobi, ketrampilan dan sebagainya, perlu digalakkan. Sementara pembentukan forum-forum komunikasi antar organisasi eksklusif, seperti organisasi keagamaan, etnis dan sebagainya, perlu diupayakan dan efektifkan. Forum-forum tersebut dapat menjadi lembaga-lembaga yang mengatur dan mengendalikan konflik yang berakar pada masalah yang kompleks. Kedua pertikaian besar di atas telah menelan kerugian harta benda dan korrban nyawa yang tidak kecil, yang menimbulkan kepedihan mendalam, ketakutan, trauma dan dendam yang laten. Bahkan kebencian mendalam kedua belah pihak yang tidak mudah dihapuskan dapat memicu pertikaian sewaktu-waktu bila terdapat pemicu yang cukup bagi mereka untuk mengulangi konflik. Faktor politik yang dibahas pada bagian ini berkenaan dengan pemerintahan dan otonomi daerah. Ketidakjelasan otonomi di daerah, dibanding dengan daerah lain seperti antara lain Sumatra Barat, Jawa Barat, apalagi Yogyakarta, meruoakan masalah yang berkepanjangan dan ini antara lain disebabkan oleh tidak hanya kekhawatiran pemerintah pusat akan kehilangan penghasilan sangat berarti dari kebebasan yang diberikannya kepada daerah Riau, termasuk Rokan Hilir, yang cukup kaya dan potensial dalam segi SDA, tetapi juga oleh sangat kurangnya, kalau boleh disebut, tidak adanya perhatian diberikan pemerintah pusat kepada daerah ini. Hal kedua ini merupakan akibat dari fakta bahwa ada kesan tidak banyak orang Riau, termasuk Rokan Hilir, yang berada di Jakarta yang bersedia menjadi pelobipelobi “ulung” untuk memperjuangkan kepentingan Riau, termasuk Rokan Hilir, di Pemerintah Pusat. Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 95 Ketidakjelasan dan keengganan Pemerintah pusat memberikan otonomi daerah yang luas dan riil kepada daerah sampai dengan keluarnya UU No. : 22/1999 dan UU No. : 25/1999 menimbulkan konsekuensi logis bagi daerah ini sebagai berikut: 1. Hubungan pusat dan daerah dilaksanakan sangat sentralistis. 2. Pejabat–pejabat yang akan menduduki jabatan teras dan strategis dikirim atau didrop dari atau oleh pemerintah pusat. 3. Timbulnya dan meningkatnya kemiskinan struktural. Sampai dengan keluarnya dua UU di atas, ada kesan desentralisasi masih belum sepenuhnya dilaksanakan dan sentralisme untuk hal–hal yang sebenarnya tidak lagi perlu dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dalam era otonomi daerah (Otda), seperti misalnya antara lain urusan kehutanan, perdagangan lintas batas, urusan pos lintas batas dan urusan Tenaga Kerja indonesia (TKI), masih tetap dpraktekkan. Hal ini tentu saja merugikan daerah, khususnya masyarakat pedalaman yang bermukim tidak jauh dari kawasan perbatasan. Konsekuensi pertama ini merupakan perwujudan keengganan Pemerintah Pusat menyerahkan otda, khususnya kepada daerah– daerah yang tidak memiliki putra–putra terbaik mereka di Departemen atau Instansi Pusat. Dalam era reformasi, otonomi daerah sebenarnya merupakan kesempatan emas khsusunya bagi rakyat di daerah yang kaya akan SDA untuk memperoleh kesejahteraan secara maksimal. Tetapi kesempatan emas seperti itu belum juga terealisasikan, karena kedua UU tersebut mengandung sejumlah distorsi yang melahirkan perbedaan filosofi dasar mengenai otonomi daerah itu sendiri. Perbedan filosofi tersebut melahirkan paling tidak dua cara pandang alternatif terhadap otonomi daerah, yaitu : a. Otonomi Daerah sebagai otonomi masyarakat daerah dan bukan hanya sekedar otonomi Pemda 96 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal B. Otonomi Daerah sebagai hak daerah yang sudah ada secara tradisional pada masyarakat setempat, dan bukan sebagai hal baru yang merupakan belas kasihan pusat dan kewajiban daerah. Konsekuensi logis dari cara pandang pertama adalah bahwa kebijakan otonomi daerah harusnya ditujukan pada pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat setempat di daerah, dan bukan hanya otonomi daerah Pemda sehingga hanya dinikmati oleh para elit politik daerah di jajaran Pemda, Kepala Daerah dengan segala aparaturnya maupun di DPRD. Kosekuensi logis dari cara pandang kedua adalah bahwa otonomi daerah sebagai hak tradisional masyarakat tidak dapat dicabut oleh Pempus. Kewenangan Pusat hanya terbatas pada penyerahan dan pengaturan wewenang yang sudah ada pada daerah melalui berbagai kebijakan yang disepakati oleh kedua belah pihak. Bagaimana kenyataan otonomi daerah dan pelaksanaannya di Riau, termasuk di Rokan Hilir? Dari segi pelaksananan otonomi daerah saja, sebenarnya telah terjadi konflik antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal ini Pemda dan masyarakatnya selama Republik Indonesia berjalan, khususnya dalam 3 dekade pemerintahan Orba. Salah satu faktor utama yang menimbulkan pertikaian memprihatinkan di Rokan Hilir adalah ketidak sesuaian atau pertikaian pusat–daerah mengenai hak–hak otonomi masyarakat daerah dan hak–hak tradisional masyarakat daerah yang keduanya merupakan hak asasi mereka. Konflik ini menjalar sampai ke bawah. Konsekuensi lebih lanjut dari perbedaan tersebut adalah jangankan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat daerah dilaksanakan dan diprioritaskan, bahkan hak-hak tradisional mereka di daerah dikesampingkan oleh pemerintah pusat dan pemda. Eksekutif menjadi lebih dominan dari pada legislatif pada era Orba, sebaliknya legislatif mendominasi eksekutif pada era reformasi dan pusat masih Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 97 mendominasi daerah. Dominasi pemerintah pusat terhadap daerah dan masyarakatnya lebih tampak jelas terhadap daerah– daerah yang sabar, lembut, menjadi “anak baik”, tidak pernah berkeinginan berontak, dan tidak memiliki wakil di kabinet seperti Riau, termasuk Rokan Hilir. Puncak dari ketidak-pedulian dan dominasi pusat terhadap hak–hak masyarakat daerah dapat dilihat paling tidak dari dua hal: pertama, pejabat yang duduk pada jabatan teras strategis, seperti Gubernur, Bupati, Kepala Dinas Propinsi dan Kepala Dinas Kabupaten, sebelum UU No. : 22/1999 diundangkan, dikirim dan ditetapkan dari pusat. Putera Daerah yang menjadi pejabat penting, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten, khususnya kabupaten Rokan Hilir, sangat sedikit. Bahkan kabupaten Rokan Hilir yang merupakan kabupaten baru, pemekaran dari kabupaten Kampar dan kabupaten Bengkalis, terjadi konflik tajam antara pemerintah pusat dan masyarakat mengenai tempat kedudukan Ibu Kota Kabupaten. Kondisi konflik ini dapat memicu konflik-konflik horizontal baru di masa yang akan datang. Kedua, hancurnya SDA dan lingkungan sebagai akibat dari kurangnya komitmen dan rasa memiliki dari para pejabat yang didrop dari pusat itu, kedua hal negatif yang merupakan wujud dari ketidak pedulian pusat sangat menyakiti hati masyarakat, khususnya masyarakat setempat dimana lingkungan ini hancur. Pejabat penting, seperti gubernur, bupati dan para pejabat teras dan strategis lainnya, sebagian besar sudah dikuasai oleh kalangan sendiri, putera daerah, namun mereka belum menampakkan komitmen dan kompetensinya dalam membela kepentingan masyarakat. Hal ini tetap merupakan akar konflik laten yang dapat timbul sewaktu-waktu di masa mendatang. Sentralisme yang berlebihan dapat pula menimbulkan 98 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal kemiskinan strukturl bagi daerah dimana sentralisme itu dipraktekkan. Walaupun Riau, termasuk Rokan Hilir, tergolong daerah yang cukup kaya dibandingkan dengan daerah lain seperti Sulawesi Tenggara, NTT, tetapi pada tahun 1990-an daerah ini pernah menduduki peringkat tinggi sebagai penduduk miskin. Di samping itu Riau, khususnya Rokan Hilir, juga memiliki peringkat pendidikan yang cukup memprihatinkan. Mayoritas penduduknya berpendidikan sekolah dasar. Kondisi kemiskinan ekonomi dan keterpurukan pendidikan ini merupakan dampak dari tidak adanya otonomi daerah yaitu ketidakberdayaan pemerintah daerah dan masyarakatnya dalam memanfaatkan dan mengelola SDA maupun mengola keuangan daerah. Ini terbukti Riau menyetor penghasilan daerah yang bersumber dari SDA ke pusat cukup signifikan secara nasional, tetapi setelah dikembalikan lagi ke daerah dan menerima dalam bentuk APBD, Riau menerima dalam jumlah yang sangat sedikit. Rendahnya APBD yang diterima dari pusat dibanding dengan penghasilan dari daerah sendiri, menimbulkan kesulitan besar bagi masyarakt kecil, khususnya masyarakat yang berdomisili di kawasan pedalaman dan perhuluan jauh dari kota– kota besar. Kondisi ini dirasakan langsung oleh anggota komunitas melayu di kawasan pedalaman, bahkan pinggiran kota, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan dan keresahan kepada pemerintah pusat. Berbeda dengan anggota komunitas Melayu, anggota komunitas Cina, yang sebagian besar tinggal di kota, hampir tidak merasakan hantaman sebagai akibat dari ketiadaan otonomi daerah, maupun dari krisis ekonomi dan politik, karena mereka adalah pekerja keras, pedagang yang trampil, dan hemat. Dalam krisis ekonomi dan politik taraf ekonomi mereka tetap mengalami peningkatan, walaupun secara perlahan-lahan Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 99 tapi pasti. Dari segi politik, anggota komunitas cina pada umumnya memiliki afiliasi politik yang relatif konsisten, dalam arti selalu berusaha memilih partai-partai politik yang berkuasa, seperti Golkar, PDIP atau Demokrat. Pilihan semacam ini dianggap oleh sejumlah tokoh komunitas Melayu sebagai penghalang dan ancaman terhadap ambisi mereka maupun keinginan mereka untuk mendorong tokoh melayu untuk untuk lebih leluasa dalam kekuasaan, bahkan pada pilkada langsung pertama di Rokan Hilir, komunitas cina termasuk yang menang. Perubahan daya kepengikutan pada masyarakat melayu dari tokoh adat ke elit politik dan ketergantungan mereka terhadap elit politik mereka, ditambah dengan kepentingan maupun ambisi politik jangka pendek dari para elit politk tersebut mendorong timbulnya pembenturan dengan anggota komunitas cina yang dianggap dalam jangka panjang merupakan penghalang dalam perebutan peluang politik dan ekonomi. Ketakutan dan trauma komunitas cina akibat konflik pada tahun 1998 dapat berdampak pada lebih solidnya komunitas melayu untuk upaya mendominasi lembaga-lembaga politik, baik di eksekutif maupun di legislatif. Hal ini juga dapat memiliki arti yang signifikan yang mampu memperlancar strategi politik jangka panjang mereka. 100 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal Bab VI Konflik Horizontal dan Faktor Pemersatu Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 101 102 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian dan dimenasi keduanya adalah bentuk. Hal yang disebut pertama memiliki dua ujung yakni terjadinya perpecahan dan tindak kekerasan yang melahirkan disintegrasi, sementara pada ujung lainnya terjadi konsolidasi setelah perbedaan-perbedaan dapat dikemukakan solusinya. Oleh karena itu, konflik perlu diantisipasi sedemikian rupa agar ujung pertama yang dapat memicu terjadinya tindak kekerasan dan kerugian dapat dihindari. Berikut ini dikemukakan jawaban dari diskusi tentang faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap konflik antar komunitas. Selain itu bab ini mencoba mengungkap apakah pluralisme kultural pada dasarnya merupakan faktor pemersatu dan penyeimbang, atau sebaliknya sebagai faktor pemecahbelah kesatuan. Pertanyaan selanjutnya yang dikemukakan adalah sejauh mana pembentukan identitas akan berfungsi sebagai faktor pemersatu atau sebaliknya. Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 103 Beberapa kajian tentang konflik antar komunitas etnis yang pernah ada menunjukkan bahwa kegelisahan, pertikaian, konflik, dan perpecahan, bukan dihasilkan oleh pluralisme kultural, etnis dan geografis, melainkan lebih merupakan konsekuensi dari perbedaan-perbedaan dalam kepentingan politik dan ekonomi, serta persaingan yang tidak adil. Setiap komunitas etnis memiliki tradisi, nilai-nilai serta mekanisme yang spesifik dalam mengatasi berbagai ketidaksepakatan yang timbul diantara mereka. Pluralisme kultural sebagai hasil dari keragaman etnis dan kepercayaan, tidak dengan sendirinya menghasilkan konflik dan pertentangan, serta disintegrasi, akan tetapi juga menciptakan integrasi dan menguatkan kerjasama dan kesatuan. Menurut para analis konflik terdapat enam faktor pemicu dan akar permasalahan yang menghasilkan konflik antar etnis yaitu : perbedaan kultural, persaingan yang tidak adil, kriminalitas dan premanisme, kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang tidak memperhatikan kepentingan lokal, struktur sosialekonomi dan persaingan yang tidak adil, ketidakmampuan dan kelemahan aparat hukum. Dengan demikian maka menjadi sebuah catatan bahwa perbedaan-perbedaan fisik, identitas etnis, nilai-nilai budaya dan orientasi yang muncul, tidak akan serta-merta menciptakan konflik diantara kelompok atau komunitas etnis. Dalam konsep tentang stratifikasi sosial dijelaskan bahwa berbagai ketidaksamaan kesempatan (‘inequality’) dalam masyarakat dapat menimbulkan konflik. Perspektif konflik menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan kepentingan sangat potensial untuk menciptakan konflik sosial dan politik, dan bahwa intensitas konflik bukan disebabkan oleh perbedaanperbedaan kultural, akan tetapi lebih diakibatkan oleh masalahmasalah yang bersifat struktural. Penjabaran fenomena konflik di Bagan Siapiapi sangat mendukung pemahaman ini. Terbukti 104 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal dari jawaban yang diperoleh dari semua informan bahwa pertikaian dapat dihindari apabila kesempatan bekerja dan berusaha terdistribusi secara merata pada semua warga masyarakat. Seiring dengan penjelasan ini, tindakan anomi sosial akan muncul apabila sekelompok orang tidak mampu mendapatkan dan menguasai akses atau sarana pemenuhan kebutuhan. Fasilitas dan kesempatan untuk mencapai tujuan dalam semua aspeknya, tidak pernah cukup tersedia untuk seluruh anggota masyarakat. Kondisi ini salah satunya akan menghasilkan perilaku ‘rebellion’ atau memberontak, yang maknanya adalah menggunakan cara-cara yang tidak biasa, termasuk kekerasan, untuk mencapai tujuannya. Perilaku-perilaku seperti ini tentunya akan menimbulkan konflik ketika berhadapan dengan kelompok yang lebih menguasai akses ekonomi atau politik. Komunitas etnis yang merasa tidak mendapat kesempatan yang sama dengan komunitas yang dominan, akan melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai dominan, yang kemudian memunculkan kondisi anomi sosial. Pada komunitas yang terdiri dari beragam etnis harus dikembangkan pemahaman yang sama tentang multikulturalisme, yakni sebuah paham yang memandang kelompokkelompok etnis yang ada sebagai sebuah kesatuan budaya yang utuh dan memiliki kesamaan derajat. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui perbedaan sosio-kultural dan kesamaan derajat, baik secara individual maupun kultural. Disini tersirat sebuah sikap menghargai setiap ekspresi individu anggota kelompok etnis, baik secara sosial, budaya, maupun politis. Sehingga tidak akan terjadi berbagai tindak pemerasan dan kekerasan sosio-kultural, oleh satu kelompok atau komunitas etnis terhadap kelompok atau komunitas etnis yang lain. Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 105 Pemahaman warga masyarakat tentang multikulturalisme, akan memandang kelompok-kelompok etnis yang berbeda itu sebagai bagian atau sub-sub sistem yang aktif , yang memiliki kesamaan hak untuk mengekspresikan diri secara individual, sosial, kultural, maupun politis. Ekspresi kolektif yang berdasarkan pada multikulturalisme ini, diharapkan tidak akan tergelincir pada primordialisme yang berlebihan, dan tetap dapat menjadi bagian yang sangat signifikan dalam upaya mencapai keberhasilan pembangunan nasional yang berorientasi global. Dalam sebuah pola interaksi antar etnis, seringkali tanpa disadari terjadi proses penguatan identitas kelompok. Prosesproses yang sering terjadi antara lain adalah purifikasi dan revitalisasi. Purifikasi merupakan proses identifikasi kelompok yang dilakukan oleh suatu kelompok etnis, ras, atau keagamaan tertentu, dengan cara menjaga kemurnian serta keaslian nilainilai dan karakteristik yang dimilikinya. Proses ini sangat penting untuk menghindari penyimpangan dan perusakan-perusakan nilai kultural oleh nilai-nilai lain dari luar komunitas etnis, ras, ataupun keagamaan tertentu, dengan mengupayakan sebuah loyalitas tunggal dari anggota komunitas. Beberapa tindakan purifikasi yaitu antara lain, meyakini prinsip endogami dan menentang kawin campur, pemutusan hubungan dan isolasi kelompok, serta bersikap eksklusif. Tindakan purifikasi seperti ini dapat mengakibatkan perpecahan diantara kelompok-kelompok masyarakat, dan bahkan dalam beberapa kasus terjadi pelanggaran hak azazi manusia untuk hidup dalam kesederajatan, sebagaimana yang dialami oleh etnis Yahudi pada masa Nazi, ataupun warga kulit hitam di Amerika Serikat dan belahan dunia lainnya. Loyalitas dan solidaritas tunggal sedemikian (berlawanan dengan cross-cutting loyalities atau cross-cutting affiliation) akan mudah sekali mem106 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal bangkitkan konflik dengan komunitas etnis lainnya, terutama ketika aspek-aspek lainnya ikut berperan. Purifikasi mungkin masih diperlukan, tetapi terutama hanya berkaitan dengan nilai-nilai moral yang mutlak, seperti misalnya agama. Nilai-nilai seperti ini, karena bersifat absolut dengan penganutan dan kepercayaan yang total, maka harus selalu dijaga kemurniaannya. Tindakan-tindakan purifikasi seperti ini, akan mampu menjamin nilai-nilai agama tersebut tidak akan tercemar oleh nilai-nilai luar yang mungkin akan merusaknya. Hal ini juga yang membuat konflik-konflik antar kelompok agama menjadi lebih intens. Selain karena fanatisme dan sentimen keagamaan yang tinggi ketika berhadapan dengan kelompok agama lain, konflik antar kelompok agama juga dapat dipicu oleh tindakan purifikasi yang berlebihan. Sedangkan yang menyangkut kelompok etnis atau ras, purifikasi sebaiknya tidak dilakukan. Khusus untuk kelompok etnis Melayu yang hidup di beberapa wilayah di Indonesia, purifikasi memang pernah dijalankan pada masa lalu, akan tetapi terbatas pada pemeliharaan tradisi serta purifikasi yang berkaitan dengan agama islam, yang disebut sebagai ‘ethno-religio identification’, yakni identifikasi etnis yang berdampingan dengan identifikasi religius. Berbeda dengan purifikasi yang membutuhkan banyak diskusi untuk menjelaskannya, revitalisasi bermakna penguatan kembali identitas sebuah kelompok dalam berhadapan dengan kelompok lain, atau munculnya kesadaran etnik atas reaksi logis terhadap realitas sosial, merupakan suatu proses yang lebih mudah diterima. Berdampingan dengan revivalisasi, yakni sebuah kesadaran etnis yang muncul dari penguatan-penguatan internal kelompok oleh proses sosialisasi, revitalisasi menjadi sebuah proses yang sangat diperlukan oleh kelompok-keIntegrasi Sosial & Konflik Horizontal 107 lompok etnis, ras, dan religi, untuk mendapatkan pengakuan yang layak dari kelompok-kelompok lain. Bentuk-bentuk kongkrit dari revitalisasi ini antara lain, munculnya lembaga-lembaga adat, sosialisasi hukum-hukum adat, masuknya konsep putera daerah pada sistem politik nasional. Proses revitalisasi sedemikian ini memberikan warna tersendiri pada dinamika sosial dan politik masyarakat multikultural. Selain dampak positif yang diharapkan, tentunya muncul pula dampak negatifnya, seperti pemanfaatan hukumhukum adat oleh oknum-oknum yang mengutamakan kepentingan kelompok, serta menimbulkan pertikaian etnis horisontal dan vertikal. Fenomena negatif ini diakibatkan timbulnya revitalisasi bersamaan dengan tampilnya kesadaran etnis lainnya, atau ketidakseimbangan kekuatan sistem politik yang berjalan, atau juga karena tidak adanya kemampuan dan kualitas yang mendasari munculnya kesadaran etnis tersebut. Revitalisasi, yang dalam hal ini berkaitan dengan reaksi kelompok etnis terhadap realitas sosial yang dihadapi, merupakan proses yang perlu dijalankan oleh beberapa kelompok etnis tertentu. Hendaknya yang perlu diperhatikan disini adalah, semangat yang melatarbelakangi proses revitalisasi. Semangat yang harus ditumbuhkan bukan hanya semata-mata mengunggulkan identitas kelompok, tetapi lebih pada pengakuan terhadap kesamaan hak dan kesetaraan derajat antar kelompok etnis yang ada. Untuk mendapatkan pengakuan, sebagaimana konsep ‘achieved status’ dalam sosiologi, maka kualitas diri harus pula memenuhi ekspektasi dari totalitas sistem. Dengan demikian, maka sebuah komunitas etnis yang merasa perlu melakukan revitalisasi, haruslah memperhatikan variabel-variabel penting yang akan berpengaruh pada tujuan positif dari proses ini. Pembahasan mengenai konflik antar dua kelompok masya108 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal rakat, sangat tergantung pada perspektif yang kita gunakan. Ketika perspektif radikal mengedepan, konsep-konsep tentang ketimpangan, ketidaksamaan, dan perbedaan kepentingan akan menjadi pokok bahasan, sementara apabila perspektif fungsional yang digunakan, maka perbenturan budaya nilai dan peradaban yang mungkin akan lebih diperhatikan. Analisis sebuah fenomena konflik dihadapkan pada tuntutan untuk mengajukan bentuk pemecahan masalah (‘problem solving’). Dengan demikian pertanyaan yang muncul bukanlah perspektif mana yang benar untuk menganalisis masalah, tetapi perspektif manakah yang dapat menghasilkan sebuah bentuk penyelesaian konflik. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap intensitas (kedalaman) dan frekuensi (kekerapan) konflik yang terjadi. Konflik menjadi lebih intens ketika melibatkan perbedaan nilainilai atau orientasi hidup yang mendasar, atau ketika diperkuat oleh berbagai bentuk ketidaksamaan, kesenjangan serta ketimpangan. Sebaliknya, selain adanya kesetaraan hak dan kesempatan, konflik dapat dihindari oleh munculnya loyalitas bersama antar komunitas dibidang sosial, budaya, ekonomi maupun politik, yakni dengan adanya kesamaan organisasi maupun lapangan kerja. Faktor-faktor positif seperti ini merupakan salah satu karakteristik sosial masyarakat perkotaan, dimana muncul asosiasi-asosiasi serta komunitas-komunitas yang bersifat lintas budaya. Konflik yang berkepanjangan memang hanya dapat dipahami dari perspektif radikal. Walaupun perspektif ini tidak pernah secara khusus memperhatikan etnisitas, akan tetapi sebagian besar konflik sosial yang terjadi, baik didalam agama maupun etnis, diakibatkan adanya dominasi suatu kelompok atas kelompok lainnya. Dominasi ini dapat terwujud dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, ataupun budaya. Dari Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 109 pemahaman adanya dominasi kelompok ini, bentuk penyelesaian yang bisa dipertimbangkan adalah dengan menekan sekecil mungkin ketimpangan-ketimpangan yang terjadi, dan menyediakan wadah atau sarana interaksi antar berbagai komunitas. 110 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal Bab VII Penutup Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 111 112 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal BAB VII PENUTUP 7.1. Kesimpulan 1. Secara demografis terdapat beberapa kelompok etnis penduduk kota, yang secara kuantitas didominasi oleh warga Cina atau Tionghoa dengan persentasenya sebesar lebih kurang 40 %. Penduduk tempatan atau Etnis Melayu persentasenya sebesar 30 % dan sisanya sebanyak 30 % terdiri dari etnis Jawa, Batak, Minang, dan Bugis (Sulawesi). 2. Potendi konflik yang ditemukan di wilayah penelitian adalah berkaitan dengan : a. Dimensi sosial ekonomi, termasuk disini aspek historis dan efek spiral yang diciptakan, ketimpangan dan kesenjangan ekonomi antar komunitas. b. Dimensi budaya, termasuk disini keterlibatan perbedaan nilai dan orientasi hidup antar komunitas, antara lain eklusivitas yang disertai segregasi spasial dan sosial (pengelompokan secara spasial dan sosial), primordialisme pada masing-masing komunitas. Potensi konflik ini me- Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 113 rupakan benih-benih kebencian antar komunitas, yang berpotensi untuk menggalang sebuah solidaritas kelompok yang cukup kuat, dan untuk mengorganisir sebuah konflik berskala tindak pidana, lintas-etnis menjadi sebuah tindak kekerasan antar etnis dengan intensitas yang tinggi. 3. Faktor ekonomi merupakan salah satu pemicu konflik yang sangat potensial. Hal ini tidak saja untuk kasus konflik yang terjadi di Kabupaten Rokan Hilir, melainkan juga kasuskasus lain di Indonesia. Untuk kasus Bagan Siapi-Api, faktor kesenjangan ekonomi memberikan konstribusi yang cukup signifikan terhadap terjadinya konflik antara komunitas Cina dan Melayu pada Tahun 1998. Untuk melihat secara lebih jernih akar konflik tersebut harus dilakukan penelahaan jauh kebelakang, karena sebenarnya kerusuhan Tahun 1998 itu tidak lain hanyalah ledakan dari akumulasi akar konflik yang sudah berlangung sekian lama. 4. Sejak Tahun 1946 terjadi enam kali pertikaian antara anggota kelompok komunitas di Kabupaten Rokan Hilir, yaitu tiga kali antara anggota komunitas Melayu dengan anggota komunitas Cina (Tionghoa) yang terjadi pada beberapa kawasan di Kabupaten Rokan Hilir, yaitu di Kota Bagan Siapi-Api dan Bagan Batu, dua kali antara komunitas Melayu dengan komunitas Batak yang terjadi di kota Bagan Siapi-Api dan Bagan Batu. Sementara terjadi satu kali antara anggota komunitas Melayu dengan anggota komunitas Bugis yang berlangsung di Bagan Siapi-Api. 5. Salah satu faktor utama yang menimbulkan pertikaian yang memprihatinkan di Kabupaten Rokan Hilir adalah ketidaksesuaian atau pertikaian pusat-daerah mengenai hak-hak otonomi masyarakat daerah dan hak-hak tradisional masyarakat daerah yang keduanya merupakan hak asasi mereka, 114 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal konflik ini menjalar sampai ke bawah. Konsekuensi lebih lanjut dari perbedaan tersebut adalah jangankan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat daerah dilaksanakan dan diprioritaskan, bahkan hak-hak tradisional mereka di daerah dikesampingkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 7.2. Rekomendasi 1. Perluasan lapangan pekerjaan adalah langkah penting yang diharapkan oleh semua tokoh yang diwawancarai. Distribusi kesempatan kerja dan berusaha yang adil dan merata untuk semua kelompok etnis dan komunitas akan memberikan dampak yang sangat positif bagi terwujudnya integrasi sosial. Apabila semua lapisan dari semua kelompok tidak merasakan aadanya ketimpangan dan kesenjangan secara ssosial dan ekonomi, maka pertikaian-pertikaian yang terjadi antar pemuda juga akan sangat berkurang. Seiring dengan penciptaan lapangan pekerjaan, harapan yang muncul juga adalah pembangunan yang lebih merata di seluruh wilayah kabupaten, dan tidak hanya terpusat di wilayah perkotaan. Hal ini juga berdampak pada pemerataan distribusi penguasaan akses ekonomi untuk seluruh anggota masyarakat. 2. Mengadakan komunikasi yang rutin antar organisasi adat yang ada, baik komunikasi horizontal diantara mereka, maupun komunikasi dengan pihak pemerintah di dalam jajaran struktural daerah. Tentunya komunikasi seperti ini akan menciptakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya integrasi sosial, baik di daerah maupun di tingkat pusat. 3. Berdasarkan analisis ekonomi paling tidak terdapat tiga peluang untuk membangun integrasi sosial antar komunitas yang berada di Kabupaten Rokan Hilir. Pertama adalah Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 115 hubungan ekonomi dalam bentuk hubungan tradisional “buruh-majikan”. Kedua peningkatan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh dengan memperluas lapangan kerja. Ketiga percepatan pertumbuhan ekonomi terhadap penduduk lokal (pribumi) secara khusus (diskriminasi positif) yang dalam teori negara lebih dikenal dengan penguatan sektor publik. Faktor pertama bisa terbangun secara kultural dari lapis bawah (dari masyarakat sendiri) meskipun secara umum akan terkait juga secara tidak langsung dengan kebijakan pemerintah, sementara faktor kedua dan ketiga memerlukan intervensi pemerintah secara langsung. 116 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal DAFTAR PUSTAKA Anwar, Dewi Fortuna, "Konflik Kekerasan Internal" dalam Jurnal Hak Asasi Manusia Dignitas, Vol.III/No. 1 Tahun 2005 Bogdan, Robert C & Biklen, Sari Knopp. 1982. Qualitative Research for Education: an Introduction to Theory and Method. Boston: Allyn & Bacan, Inc Bourdieu P. 1977. Outline of a Theory of Practice. Cambridge: Cambirdge University Press Blumer, Herbert. 1969. Symbolic Interactionism: Perspective and Method. Englewood Cliffs. N.J: Prentoice Hall Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative & Quantitative Approachs. London: Sage Publications Dahrendorf, Ralf, 1986. Konflik dan Konflik Kelas dalam Masyarakat Industri. Jakarta: Rajawali Pers Fearon, James D & Latin, David. 2000. Violence and The Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 117 Social Construction of Etnich Identity, In International Organization 54 Autum, IO Foundation and The Massachhusetts Institute of Technology. Foucault, M., 1980. Power/Knowledge. New York: Tantheon Galtung, Johan, Dietrich Fischer, 1990. Pioneer of Peace Research, Berlin: Heidelberg Gould, Roger V. 1999. Collective Violence and Group Solidarity: Evidence From A Feuding Society. In American Sociological Review Vol. 64, June 1999. Hamilton, Peter (edt.). 1990. Talcott Parsons dan Pemikirannya. Yogyakarta: Tiara Wacana Ismail, Nawari. 2011. Konflik Umat Beragama dan Budaya Lokal. Bandung: Lubuk Agung Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik. Jakarta: Gramedia Kamanto Sunarto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Liliweri, Alo, 2009. Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Loekman Sutrisno. 2003. Konflik Sosial, Yogyakarta: Tojion Press Mead, George Herbert. 1934. Mind, Self and Society. Chicago: University of Chicago Press Narwoko, Dwi dan Bagong Suyanto. 2010. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group 118 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal Piotr Setompka. 2004. Sosiologi dan Perubahan Sosial, Jakarta: Predana Poloma, Margaret M., 2003. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers Pruitt, Dean G.., Jeffrey Z. Rubin. 2004. Social Conflict: Escalation, Stalemate, and Settlement, New York: McGraw-Hill Ritzer, George, 2000. Sociological Theory, New York: McGraw-Hill __________, 2004. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Raja Grafindo Persada Ritzer, George & Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media Simon Fisher, 2000. Working with Conflict: Skill and Strategis for Action, St Martin Press Setyadi, Elly M., Kolip, Usman. 2011. Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Praktik, dan Pemecahannya. Jakarta: Prenada Media Group Susan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Syarif Ibrahim Alqadri, 2003. Pola Pertikaian di Kalimantan Barat: Faktor-faktor yang Mempengaruhinya dan Peranan Media Massa. ___________ ____ , 2003, Otonomi dan Multikulturalisme, Makalah Seminar Nasional “Pendidikan Multikulturalisme dan Revitalisasi Hukum Adat” Diselenggarakan oleh Asisten Deputi Urusan Pemikiran Kolektif Bangsa, Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 119 Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI, Jakarta 18 – 20 Desember 2003 Varshney, Ashutosh. 2009. Konflik Etnis dan Peran Masyarakat Sipil. Jakarta: Balitbang Agama __________ 2002. The Local Roots of India Riots. Far Eastern Economic Review (March 21- th) Working with Conflict: Skills and Strategies for Action Weber, Max. 1961. Sosial Anction and The Types. dalam Talcott Parsons et.al. Theories of Society. New York: The Free Press Wirawan, Ida Bagus, 2012. Teori-Teori Sosial, Jakarta: Prenada Media Yoshihara, Kunio. 1988. The Rise of Ersatz Capitalism in South-East Asia. Singapore: Oxford University Press. 120 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal