konflik horizontal

advertisement
INTEGRASI SOSIAL
&
KONFLIK HORIZONTAL
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
1
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi
izin untuk itu dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu
ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah)
2
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
Dr. Yoserizal, MS
INTEGRASI SOSIAL
& KONFLIK HORIZONTAL
Studi pada Masyarakat Kabupaten Rokan Hilir
Penerbit Alaf Riau
Pekanbaru
2017
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
3
INTEGRASI SOSIAL
& KONFLIK HORIZONTAL
Penulis:
Dr. Yoserizal, MS
Editor:
Zulkarnaini, S.Sos, M.Si
Sampul:
Syamsul Witra
Foto cover:
www.eurhonet.eu
Layout:
Arnain'99
Cetakan I:
Januari 2017
Penerbit
ALAF RIAU
Jl. Pattimura No. 9 Pekanbaru, Telp. (0761) 7724831
E-mail: [email protected]
ISBN 978-979-3497-59-9
4
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
PRAKATA PENULIS
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, penulis
panjatkan atas semua anugerah kehidupan, lindungan dan bimbingan-Nya dalam menyelesaikannya buku ini. Shalawat serta
salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW beserta keluarganya, yang telah memberikan
keteladanan hidup bagi seluruh umat manusia.
Sejak Tahun 1946 terjadi enam kali pertikaian antara anggota kelompok komunitas di Kabupaten Rokan Hilir, yaitu tiga
kali antara anggota komunitas Melayu dengan anggota komunitas Cina (Tionghoa) yang terjadi pada beberapa kawasan
di Kabupaten Rokan Hilir, yaitu di Kota Bagan Siapi-Api dan
Bagan Batu, dua kali antara komunitas Melayu dengan komunitas Batak yang terjadi di Kota Bagan Siapi-Api dan Bagan
Batu. Sementara terjadi satu kali antara anggota komunitas Melayu dengan anggota komunitas Bugis yang berlangsung di Bagan Siapi-Api.
Atas hal yang demikian, maka perlu mengidentifikasi bentukbentuk konflik horizontal yang pernah terjadi dan memahami /
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
5
memetakan potensi konflik yang berpeluang timbul kembali
dalam masyarakat di Kabupaten Rokan Hilir serta mempelajari
faktor-faktor penyebab timbulnya gejala konflik horizontal
tersebut. Upaya tersebut diharapkan dapat menjadi rujukan bagi
terjalinnya wahana komunikasi antar etnis di Kabupaten Rokan
Hilir dalam pergaulan sosial yang menjunjung tinggi persatuan
dan kesatuan bangsa. Selain itu dapat pula terumuskannya bahanbahan yang dapat dijadikan sebagai usulan untuk penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Rokan Hilir tentang
Persatuan dan Kesatuan Bangsa.
Demikianlah sekilas alasan pentingnya buku ini diterbitkan. Lebih dari itu, kehadiran buku ini salah satunya bertujuan
untuk memenuhi keterbatasan buku kajian tentang konflik dan
integrasi sosial yang diperlukan mahasiswa S1 dan S2 di jurusan Sosiologi.
Pada akhirnya, kepada semua pihak yang membantu kami
dalam menyelesaikan tulisan ini mendapatkan balasan yang
mulia dari Allah SWT. Kami memohon maaf yang sebesarbesarnya atas segala hal yang kurang berkenan terkait dengan
buku ini. Semoga buku ini dapat menjadi sumbangan bagi ilmu
pengetahuan, memberikan manfaat kepada siapa saja yang
membacanya. Amin.
Pekanbaru, Desember 2016
Penulis
6
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
DAFTAR ISI
PRAKATA PENULIS ........................................................
DAFTAR ISI ......................................................................
5
7
BAB I PENDAHULUAN .............................................. 11
BAB II DEMOGRAFI DAN
SOSIAL EKONOMI DAERAH ....................... 17
2.1 Demografi ...................................................... 17
2.2 Sosial Ekonomi ............................................... 19
BAB III KONSEPTUALISASI KONFLIK ....................
3.1 Strukturalisme Konflik ....................................
3.2 Munculnya Konflik dalam Masyarakat ............
3.3 Pengendalian Konflik ......................................
BAB IV FAKTOR-FAKTOR PEMICU
PERTIKAIAN KOMUNITAS ..........................
4.1 Faktor Sosial Budaya .....................................
4.2 Faktor Sosial Ekonomi ...................................
4.3 Faktor Sosial Politik,
Pemerintahan, dan Otonomi Daerah ................
25
25
31
36
43
43
51
65
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
7
BAB V
POTENSI INTEGRASI SOSIAL .....................
5.1 Integrasi Sosial Budaya ...................................
1. Asosiasi Inter-komunal dan
Cross-cutting Loyalities .............................
2. Revitalisasi Melalui Pemberdayaan Kelompok
3. Proses Peleburan Budaya ............................
5.2 Integrasi Sosial Ekonomi .................................
1. Faktor Hubungan Ekonomi .........................
2. Memperluas Lapangan Kerja ......................
3. Percepatan Pertumbuhan
Ekonomi Komunitas Lokal ...........................
5.3 Integrasi Sosial Politik,
Pemerintahan, dan Otonomi Daerah ................
77
77
78
78
79
81
82
84
85
87
BAB VI KONFLIK HORIZONTAL
DAN FAKTOR PEMERSATU ......................... 103
BAB VII PENUTUP .......................................................... 113
7.1 Kesimpulan .................................................... 113
7.2 Saran ............................................................. 115
DAFTAR PUSTAKA ......................................................... 117
8
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
Bab I
Pendahuluan
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
9
10
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
BAB I
PENDAHULUAN
Persatuan dan kesatuan bangsa masih akan mendapatkan
berbagai tantangan baru dalam proses globalisasi dewasa ini.
Seiring dengan itu, masalah keamanan dan ketertiban umum
(social order) juga dihadapkan pada tatangan tersendiri pada
era reformasi dan demokratisasi yang kini tengah dihadapi Indonesia. Bidang pertahanan keamanan juga masih memerlukan
tingkat sense of crisis yang tinggi serta menuntut sikap dan
komitmen bersama yang kuat segenap komponen bangsa untuk
mengelolanya. Masalah separatisme, walaupun sudah melampaui masa-masa krisis terberatnya, jelas masih menjadi persoalan
yang menghambat upaya pemantapan persatuan dan kesatuan
bangsa. Penyelesaian konflik sosial dan pemulihan ketertiban
umum juga masih terlalu dini, yang masih perlu dipelihara
momentumnya dan dilanjutkan dengan proses rekonsiliasi
sosial politik yang sungguh-sungguh antar berbagai kelompok
yang terlibat dalam konflik perbedaan pandangan sosial politik,
golongan dan etnis, serta perbedaan keyakinan agama.
Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini bangsa Indonesia baik
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
11
di pusat maupun di daerah mengalami perubahan sosial yang
sangat cepat. Gejala perubahan sosial yang terjadi tidak saja
dalam artian positif (regressive), tapi juga dalam bentuk negatif (degressive), seperti meningkatnya masalah-masalah
sosial yang mengakibatkan rusaknya tatanan nilai-nilai sosial
dan budaya yang dijunjung tinggi seperti kriminalitas, patologi
sosial lainnya yang tidak terkendali, aksi-aksi protes massa,
konflik horizontal dan berbagai konflik fisik antar etnis dan
kelompok dalam masyarakat. Karena lamanya terjadi kerusuhankerusuhan di daerah-daerah konflik seperti di Aceh, Banyuwangi, Kupang, Ambon, Poso, Sampit, Batam, Bagan Siapiapi dan lain-lain telah mengakibatkan kadar nurani dan rasa cinta
kasih terhadap sesama sebagian besar masyarakat menurun
drastis. Hal ini sering menimbulkan perubahan-perubahan di luar
kebiasaan-kebiasaan bangsa yang beradab.
Pada saat ini, harus diakui bahwa masyarakat secara umum
belum seluruhnya mampu menggunakan hak-haknya, melaksanakan kewajiban serta tanggung jawab sosialnya masingmasing secara bi-jaksana dan dengan tingkat toleransi sosial
yang tinggi, sehingga tidak jarang sekelompok orang tertentu
melakukan hal-hal yang bersifat anarkis dalam mengekspresikan aspirasinya sebagai warga negara. Sering pula terjadi perselisihan antar individu berkembang dan meluas menjadi konflik antar etnis, antar golongan, bahkan antar penganut agama
yang mengakibatkan kerusakan berbagai fasilitas umum dan
jatuhnya banyak korban jiwa yang tidak berdosa.
Tak terkecuali di Riau, gejolak berupa kerusuhan-kerusuhan
sosial pernah melanda masyarakat di beberapa daerah yang mengarah pada konflik antar etnis, antara lain di Bagan Siapi-api,
Duri, Selat Panjang, Tembilahan, Pekanbaru, Pasir Pengarayan,
Pelalawan, Batam, Rengat dan lain-lain. Akibatnya banyak menelan korban jiwa dan harta benda sebagai ekspresi kebrutalan
12
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
kelompok-kelompok tertentu yang dilakukan atas dasar stereotype ethnic dan prejudice, maupun adanya pandangan dan
kepentingan yang berbeda dalam hubungan sosial antar etnik.
Perampokan harta benda milik masyarakat Desa Tolan Baru,
pengrusakan dan pembakaran rumah warga desa oleh karyawan
PT. Torganda dan PT. Torus Ganda pada tanggal 18 Maret 1999,
kemudian dibalas mahasiswa dengan pembakaran dan pengrusakan harta benda milik PT. Torganda Property di Pasir
Putih Pekanbaru merupakan tindakan atau perbuatan kekerasan
yang tidak sesuai dengan peradaban bangsa. Demikian pula
bentrok fisik yang terjadi antara karyawan PT. RAPP dengan
warga Desa Kotobaru Kecamatan Singingi Rengat. Konflik
antar kelompok etnik Melayu dengan Batak, Minang dengan
Batak, Melayu dengan Minang di Duri dan Selat Panjang Kabupaten Bengkalis juga telah menimbulkan kerugian harta benda
dan korban nyawa di kedua belah pihak.
Khusus di Rokan Hilir (Bagan Siapi-api) sebagai salah satu
kabupaten pemekaran di Propinsi Riau, dalam catatan sejarah
pernah dilanda perang fisik pembasmian antar etnis. Masyarakat
Bagan Siapi-api bersifat heterogen, sama halnya dengan daerahdaerah lainnya di Propinsi Riau (Melayu, China, Batak, Jawa,
Minang dan lain-lain). Latar belakang perbedaan etnis ini setiap
saat dapat meledak menjadi konflik antar kelompok etnis karena
mengandung benih-benih perbedaan sosial yang tajam antar
kelompok dan golongan.
Secara geografis, wilayah Rokan Hilir terbuka bagi migran
dari daerah lain. Lancarnya arus transportasi melalui jalur darat
yang dikenal sebagai jalur timur Sumatera menghubungkan Sumatera Utara, Aceh, Jambi, Sumatera Barat dan Pulau Jawa
melalui Kabupaten Rokan Hilir ini telah meningkatkan arus
penduduk pendatang yang mengadu nasib ke kota-kota di wilayah
ini, seperti Bagan Batu, Ujung Tanjung, Bagan Siapi-api, Kubu,
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
13
Panipahan dan sebagainya. Bahkan memungkinkan para pelarian
dari daerah lain berpindah ke daerah ini dan masuk menjadi
karyawan perkebunan di pedalaman yang kadang kala dijadikan
sebagai tempat persembunyiannya. Apabila petugas pemerintah
desa setempat tidak selektif terhadap kelompok pendatang demikian, dapat mencuatkan konflik sosial yang mendalam, gejala
etnosentrisme, egoisme, fanatikisme, daerah-isme dan ismeisme lainnya akan mudah berkembang dan sulit dikendalikan
bahkan dapat menghambat pembangunan daerah. Buktinya,
masih segar dalam ingatan kita bahwa Bagan Siapi-api dilanda
konflik antar kelompok masyarakat akibat rencana program
pembangunan Ibukota Kabupaten di Ujung Tanjung. Sebelum
itu, Kantor Dinas Kehutanan di Kota Bagan Siapi-api diporakporandakan massa buruh galangan kapal yang tidak setuju
dengan kebijakan pemerintah bidang kehutanan yang melarang
peredaran kayu ilegal dan dianggap menghancurkan sumber mata pencahariannya.
Dalam rangka mengantisipasi gejala konflik horizontal di
Kabupaten Rokan Hilir yang setiap saat dapat mengancam integrasi bangsa dan dapat menghambat kelancaran pelaksanaan
pembangunan era otonomi daerah, maka langkah awal yang
perlu dilakukan sebelum mengambil kebijakan program persatuan dan kesatuan bangsa perlu diadakan studi tentang integrasi sosial dan konflik horizontal yang selama ini belum pernah
dilakukan. Tujuan dari studi ini adalah: pertama, mengkaji
faktor-faktor apa saja yang dapat memperarat integrasi sosial
antar etnis di di Rokan Hilir, seklaigus dapat meredakan konflik
horizontal yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat.
Kedua, merumuskan model kebijakan program pembangunan
di bidang Persatuan dan Kesatuan Bangsa sebagai bagian dari
pembangunan bidang sosial politik di Kabupaten Rokan Hilir
dalam era otonomi daerah.
14
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
Bab II
Demografi dan
Sosial Ekonomi Daerah
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
15
16
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
BAB II
DEMOGRAFI DAN
SOSIAL EKONOMI DAERAH
2.1. Demografi
Studi konflik horozontal dilakukan pada dua lokasi, yakni
Kecamatan Bangko dan Kecamatan Bagan Sinembah yang berada pada wilayah Kabupaten Rokan Hilir. Kedua kecamatan ini
mempunyai jumlah penduduk yang cukup besar bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya yang berada di wilayah Kabupaten
Rokan Hilir. Perbandingan jumlah penduduk antar kecamatan
yang berada dalam wilayah Kabupaten Rokan Hilir (dari 12
Kecamatan), dimana Kecamatan Bagan Sinembah jumlah penduduknya sebesar 24,4 % dari jumlah penduduk Kabupaten
Rokan Hilir, sedangkan kecamatan Bangko sebesar 16,9 %.
Kecamatan Bagan Sinembah merupakan kecamatan yang
terpadat penduduknya dan ikuti dengan Kecamatan Bangko.
Jumlah penduduk pada dua wilayah studi sebanyak 182.163
jiwa atau 41,3 % dari jumlah penduduk di Kabupaten Rokan
Hilir. Perbandingan penduduk menurut jenis kelamin (sex
ratio) memperlihatkan dimana, pada kedua kecamatan studi sex
rationya adalah 1,0 yang artinya jumlah penduduk laki-laki dan
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
17
penduduk perempuan hampir sama.
Banyaknya jumlah penduduk belum bisa menggambarkan
tingkat kepadatan penduduk pada suatu wilayah. Jumlah penduduk yang besar belum tentu mempunyai tingkat kepadatan
yang tinggi pula. Kabupaten Rokan Hilir dengan jumlah penduduk pada tahun 2004 sebanyak 440.894 jiwa dan dengan luas
wilayah 8.881 Km2 maka kepadatan penduduknya adalah 50
jiwa/Km2
Kepadatan penduduk di dua lokasi studi jauh lebih besar
bila dibandingkan dengan tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Rokan Hilir. Tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan
Bangko 1,5 kali lipat dari pada tingkat kepadatan penduduk
Kabupaten Rokan Hilir, sedangkan Kecamatan Bagan Sinembah jauh lebih besar yakitu 2,5 kali dari tingkat kepadatan
penduduk Kabupaten. Tingginya tingkat kepadatan penduduk
dapat menimbulkan berbagai masalah sosial, seperti kemiskinan, pemukiman yang kumuh, kekurangan air bersih serta
dapat menimbulkan berbagai konflik-konflik sosial lainnya.
Kecamatan Bangko dengan jumlah penduduk 74.735 jiwa
yang terdiri dari 14.148 Kepala Keluarga. Secara rata-rata
setiap rumah tangga akan memiliki anggota keluarga sebesar
5,3 jiwa/KK. Selanjutnya pada Kecamatan Bagan Sinembah
rata-rata jumlah jiwa dalam rumah tangga adalah 4,4 jiwa/KK.
Sejak tahun 2001 hingga tahun 2004 pertambahan penduduk Kabupaten Rokan Hilir sebanyak 74.010 jiwa, yang
secara rata-rata persentase pertumbuhan penduduk Kabupaten
Rokan Hilir setiap tahunnya adalah 6,7 % pertahun. Persentase
pertumbuhan penduduk ini cukup besar dan hal ini salah satunya
disebabkan oleh tingkat perkembangan daerah itu sendiri.
Tingkat pertumbuhan pada kedua kecamatan studi sedikit
berbeda dimana pada kecamatan studi pada tahun-tahun tertentu
18
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
mengalami tingkat pertumbuhan yang minus. Misalnya antara
tahun 2002 dan tahun 2003 di Kecamatan Bangko persentase
pertumbuhannya hanya 0,30 % sedangkan di Kecamatan Bagan
Sinembah persentase pertumbuhan penduduk mengalami angka
minus yaitu -0,37 %. Selanjutnya antara tahun 2003 dan tahun
2004 Kecamatan Bangko persentase pertumbuhan penduduk 2,73 % dan di Kecamatan Bagan Sinembah persentase pertumbuhan penduduk mencapai 4,41 %. Hal ini tentu saja
berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi setempat pada
masa itu, misalnya banyaknya penduduk di daerah tersebut yang
pindah ke daerah lain untuk melanjutkan pendidikan atau untuk
mencari kehidupan ke daerah lain, sehingga tingkat pertumbuhan penduduk akan menjadi minus.
2.2. Sosial Ekonomi
Kondisi sosial masyarakat di wilayah studi dapat dijelaskan
dengan melihat tingkat kesejahteraan masyarakat. Salah satu
ukuran yang dapat digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat adalah banyaknya keluarga prasejahtera,
sejahtera I, II, III dan III+ di wilayah studi.
Pada Tahun 2003 jumlah keluarga prasejahtera di Kabupaten Rokan Hilir sebesar 9.275 KK (9,6 %) dan keluarga
ssejahtera I sebanyak 17.529 KK (18,2 %). Tingkat kesejahteraan masyarakat di Kecamatan Studi bila dibandingkan dengan
tingkat kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Rokan Hilir,
dapat dinyatakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di
kecamatan studi masih lebih baik. Hal ini terbukti dengan persentase keluarga prasejahtera pada kecamatan studi jauh lebih
kecil bila dibandingkan dengan persentase keluarga prasejahtera
di tingkat kabupaten.
Persentase keluarga prasejahtera di Kecamatan Bangko
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
19
jauh dibawah persentase keluarga prasejahtera di tingkat kabupaten yaitu sebesar 3,4 % dan di Kecamatan Bagan Sinembah
3,2 % sedangkan Kabupaten Rokan Hilir persentase keluarga
prasejahtera sebesar 9,6 %. Hal ini memberikan gambaran bahwa ke dua kecamatan studi tingkat kesejahteraannya cukup baik
bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya yang berada dalam
wilayah Kabupaten Rokan Hilir.
Masyarakat yang berada pada tingkat Sejahtera I di Kecamatan bangko persentasenya cukup besar yaitu 16,2 %, hampir
mendekati persentase masyarakat sejahtera I Kabupaten Rokan
Hilir (18,3 %). Sedangkan masyarakat sejahtera I di Kecamatan
Bagan Sinembah masih jauh berada di bawah angka persentase
sejahtera I Kabupaten Rokan Hilir yaitu hanya sebesar 7,8 %.
Masyarakat yang berada pada kelompok prasejahtera dan sejahtera I masih dapat digolongkan kepada kriteria masyarakat
miskin.
Kondisi sosial masyarakat, disamping dapat di lihat dari
tingkat kesejahteraan dapat pula di lihat dari sisi pendidikan.
Jumlah sarana dan prasarana pendidikan formal yang tersedia
sangat mempengaruhi tingkat pendidikan masyarakat. Banyaknya sekolah baik negeri maupun swasta mulai dari tingkat Taman
Kanak-Kanak hingga ke tingkat sekolah lanjutan atas pada
kecamatan studi. Demikian pula jumlah murid yang bersekolah
serta jumlah guru yang mengajar untuk masing-masing kecamatan sangat bervariasi.
Dengan membandingkan antara kedua kecamatan studi
dapat dilihat adanya kesenjangan pada tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Pada tingkat Taman Kanak-Kanak
hingga ke jenjang pendidikan SLTP Kecamatan Bagan Sinembah
jumlah sekolah yang tersedia lebih banyak bila dibandingkan
dengan sekolah yang terdapat di Kecamatan Bangko. Pada
tingkat SLTA justru di Kecamatan Bangko jumlah sekolahnya
20
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
lebih banyak bila dibandingkan dengan sekolah tingkat SLTA
yang berada di Kecamatan Bagan Sinembah.
Gejala yang sama juga terlihat pada banyaknya murid yang
bersekolah, dimana pada tingkat Taman Kanak-Kanak hingga
ke tingkat SLTP jumlah murid di Kecamatan Bagan Sinembah
lebih banyak dari jumlah murid yang terdapat di Kecamatan
Bangko, namun pada tingkat SLTA jumlah murid Kecamatan
Bangko yang lebih banyak dari murid yang berada di Kecamatan
Bagan Sinembah. Demikian pula yang berlaku untuk jumlah
guru yang mengajar
Hal di atas dapat dijelaskan dengan dua kemungkinan.
Pertama, di Kecamatan Bagan Sinembah siswa yang telah
menamatkan pendidikannya pada tingkat SLTP tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih (SLTA) kemungkinan.
Kedua, siswa yang telah tamat SLTP sebahagian besar melanjutkan studinya ke luar daerah.
Salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan
kualitas pendidikan adalah dengan melihat rasio antara guru
dan murid. Rasio murid dan guru di kedua Kecamatan studi
mulai dari jenjang pendidikan Taman Kanak-Kanak hingga ke
Tingkat SLTA sangat bervaariasi.
Secara umum di Kecamatan Bangko rasio seorang guru
dengan muridnya berkisar antara 5 - 41. Pada tingkat SLTP rasio
guru dan murid adalah 1 : 5 paada SLTP swasta ini menjelaskan
bahwa jumlah guru SLTP swasta di kecamatan ini cukup banyak,
sedangkan pada SLTA Negeri rasionya 1 : 41 artinya guru SLTA
negeri sangat sedikit jumlahnya.
Berbeda halnya dengan Kecamatan Bagan Sinembah
dimana rasio guru dan murid yang tertinggi yaitu pada sekolah
dasar negeri yaitu 1 : 68 sedangkan pada SLTP swasta rasio guru
dan murid 1 : 8. Kesehatan masyarakat merupakan salah satu
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
21
indikator yang penting untuk melihat kondisi masyarakat. Ukuran yang dapat digunakan ialah tersedianya sarana dan prasarana
kesehatan di daerah tersebut.
Kecamatan Bangko sarana kesehatan yang tersedia seperti
rumah sakit, Puskesmas dan Puskesmas Pembantu yang
masing-masingnya terdapat sebanyak satu buah. Sama halnya
dengan Kecamatan Bangko, di Kecamatan Bagan Sinembah
juga terdapat sarana kesehatan yang sama hanya saja di kecamatan ini terdapat 2 buah rumah sakit
Jumlah tenaga medis yang tersedia pada kedua kecamatan
studi jumlahnya belum memadai apabila dilihat dari jumlah
penduduk. Kecamatan Bangko jumlah perawat cukup besar,
sedangkan dokter dan bidan masih terbatas jumlahnya. Sedangkan pada Kecamatan Bagan Sinembah jumlah bidan lebih banyak, sedangkan jumlah dokter hanya sebanyak 3 orang.
Agama merupakan kepercayaan yang dianut oleh seseorang yang di ikuti dengan kegiatan-kegiatan ritualnya. Pada
wilayah studi terlihat adanya keragaman agama yang dianut
masyarakat seperti terdapatnya penduduk yang menganut agama
Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Kong Fu Cu. Keragaman agama yang dianut dapat dilihat dari ketersediaannya rumah ibadah
untuk melakukan kegiatan ritual keagamaan tersebut.
Sebahagian besar penduduk di wilayah studi adalah beragama Islam, yang diikuti dengan agama Kristen. Di Kecamatan
Bangko terdapat Mesjid/Surau, Gereja, Vihara dan Kelenteng
dan tidak terdapat Pura. Sebaliknya pada Kecamatan Bagan
Sinembah terdapat Mesjid/Surau, Gereja, Vihara dan Pura, tidak
terdapat Kelenteng di kecamatan ini.
22
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
Bab III
Konseptualisasi Konflik
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
23
24
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
BAB III
KONSEPTUALISASI KONFLIK
3.1. Strukturalisme Konflik
Konflik berasal dari kata kerja configere yang artinya adalah saling memukul. Sementara konsep conflict dalam bahasa
Inggris berarti suatu perkelahian, peperangan, atau perjuangan
yang berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Konsep
ini memberikan penegasan bahwa sebuah konflik terjadi karna
adanya interaksi fisik antara dua pihak atau lebih. Dengan demikian konflik adalahinteraksi sosial yang menyangkut hubungan
antara individu (Pruitt, 2004). Konflik antara kelompok merupakan wujud dari interaksi sosial, yang dapat terjadi pada komunitas manapun, yang sumbernya adalah perbedaan kepentingan.
Seorang pemikir sosiologi, Talcott Parsons menyebut
bahwa tidak ada satupun sistem sosial yang terintegrasi secara
equilibrium, karena selalu ada kemungkinan yang terjadi hal
sebagai berikut : 1) ketidaksesuaian dalam prioritas bagi nilainilai yang berbeda ; 2) interpretasi yang saling bertentangan
mengenai nilai-nilai bersama ; 3) konflik peranan ; 4) motivasi
ambivalen atau negatif ; 5) ketegangan antara kebutuhan
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
25
individu dan peranan yang ditentukan secara budaya; dan 6)
harapan individu yang tidak tetap.
Konflik sosial merupakan gejala ketegangan yang harus
diatasi oleh sistem untuk mempertahankan keseimbangan untuk
kepentingan individu. Hubungan antara individu yang mengalami ketegangan secara konsisten tunduk pada persyaratan
sistem keseluruhan untuk mempertahankan keseimbangan dan
stabilitas sosialnya (Ritzer, 2000).
Menurut pemikiran Marx bahwa hubungan kepentingan
antara kelompok dominan yang kuat dan memiliki power dengan kelompok subordinat yang lemah dan tidak memiliki
power. Marx mendeskripsikan tingkat inequality didalam
distribusi sumberdaya langka, menentukan konflik kepentingan
antara kelompok yang menguasai power dengan yang tidak
memilikinya. Proposisi-proposisi penting yang perlu diperhatikan adalah hal-hal sebagai berikut (Wirawan, 2012):
1. Semakin tidak merata distribusi sumberdaya langka dalam
suatu sistem, semakin besar konflik kepentingan antara
segmen dominan (kelompok kuat) dan segmen subordinat
(kelompok lemah) dalam sistem tersebut.
2. Semakin menyadari segmen subordinat akan kepentingan
kolektif, semakin besar kemungkinan mereka mempertanyakan keabsahan distribusi sumber yang tidak merata.
a. Perubahan sosial yang diciptakan oleh segmen dominan
semakin mengacaukan hubungan yang ada di antara para
subordinat, maka semakin besar kemungkinannya segmen
subordinat menyadari kepentingan kolektif mereka.
b. Semakin praktik-praktik segmen dominan menimbulkan
disposisi keterasingan di antara segmen subordinat, maka
semakin besar kemungkinan kelompok lemah tersebut
menyadari kepentingan kolektif mereka.
26
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
c. Semakin segmen subordinat dapat saling berkomunikasi
mengenai keluhan-keluhan mereka, maka semakin besar
kemungkinan kelompok lemah tersebut menyadari kepentingan
kolektif mereka.
1) Semakin konsentrasi anggota dari pada kelompok subordinat bersifat spasial, maka semakin besar kemungkinan
mereka akan menyampaikan (berkomunikasi tentang)
keluhan-keluhan mereka.
2) Semakin kelompok subordinat memiliki akses kepada
media pendidikan, semakin beraneka-ragam cara komunikasi mereka, maka semakin besar kemungkinan menyampaikan (berkomunikasi tentang) keluhan-keluhan
mereka.
d. Semakin segmen subordinat dapat mengembangkan kesatuan
sistem keyakinan, maka semakin besar kemungkinan mereka
menjadi sadar kepada kepentingan kolektif mereka yang
sesungguhnya.
1) Semakin besar kemampuan untuk mendapatkan (to
recruit) juru bicara ideologis, maka semakin besar
kemungkinan berlakunya penyatuan ideology mereka
2) Semakin kecil kemampuan kelompok dominan mengatur
proses sosialisasi dan jaringan komunikasi di dalam suatu
sistem, maka semakin besar kemungkinan berlakunya
penyatuan ideologis pada kelompok subordinat
3. Semakin segmen subordinat dalam suatu sistem menyadari
kepentingan kolektif mereka, semakin kuat mereka mempertanyakan keabsahan (legitimacy) distribusi sumber-daya
langka, maka semakin besar kemungkinan mereka mengorganisir untuk memulai konflik terbuka dengan segmen
dominan.
a. Semakin besar kemerosotan (deprivation) kelompok subordinat bergerak dari dasar absolut ke dasar relative, maka semakin besar kemungkinan mereka menyusun dan memulai konflik
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
27
b. Semakin kelompok dominan kehilangan kemampuan untuk
menyatakan kepentingan kolektif mereka, semakin besar kemungkinan kelompok subordinat menyusun dan memulai konflik
c. Semakin besar kemampuan kelompok subordinat mengembangkan struktur kepemimpinan, semakin besar kemungkinan
mereka menyusun dan memulai konflik
4. Semakin segmen subordinat disatukan oleh keyakinan bersama dan semakin berkembang struktur kepemimpinan politik mereka, maka segmen dominan dan segmen-segmen
yang dikuasai dalam sistem tersebut akan mengalami polarisasi.
5. Semakin besar polarisasi antara segmen dominan dengan
segmen yang dikuasai, maka akan semakin keras konflik
yang berlaku.
6. Semakin keras suatu konflik, maka semakin besar perubahan
struktur sebuah sistem dan redistribusi sumberdaya langka.
Menurut Margaret M. Poloma, penjelasan struktural terhadap fenomena konflik sosial merujuk kepada perspektif konflik Ralf Dahrendorf yang lebih mementingkan elemen-elemen
struktur sosial sebagai dasar terciptanya konflik sosial. Konflik
didasari oleh susunan struktural tertentu, yang selalu cenderung
melahirkan susunan struktural sebagaimana yang sudah ada.
Dengan demikian Dahrendorf menghubungkan konflik dengan
struktur sosial tertentu, dan bukan menganggapnya berhubungan
dengan variabel-variabel psikologis (sifat-sifat agresif) atau
variabel historis deskriptif dan variabel kebetulan (Poloma, 2003)
Selanjutnya Ralf Dahrendorf menegaskan bahwa pendekatan konflik berpangkal pada asumsi dasar sebagai berikut:
1. Setiap masyarakat sentiasa berada dalam proses perubahan
yang tidak pernah berakhir atau dengan kata lain perubahan
28
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
sosial merupakan gejala yang melekat pada setiap masyarakat. Masyarakat merupakan suatu proses sosial dan memiliki sifat yang dinamis, dimana keadaan masyarakat selalu
berubah sesuai dengan fenomena-fenomena yang berlaku
di dalam masyarakat tersebut dalam waktu yang terus berterusan.
2. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik didalam
dirinya atau dengan kata lain konflik ialah merupakan gejala
yang melekat di dalam setiap masyarakat, salah satu yang
dapat mempengaruhi perubahan ditengah-tengah masyarakat
adalah konflik di masyarakat tersebut.
3. Setiap unsur di dalam masyarakat memberikan sumbangan
bagi berlakunya disintegrasi dan perubahan sosial.
4. Setiap masyarakat terintegrasi diatasi penguasaan atau
dominasi oleh sejumlah orang.
Rafl Dahrendorf melihat kelompok-kelompok yang bertentangan sebagai kelompok yang lahir dari kepentingan-kepentingan bersama para individu yang mampu berorganisasi.
Pada asosiasi yang ditandai oleh pertentangan, terdapat ketegangan antara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan
yang tunduk pada struktur itu. Secara empiris, pertentangan
kelompok mungkin paling mudah dianalisis jika dilihat sebagai
pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan. Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa
merupakan nilai-nilai yang merupakan ideologi keabsahan
kekuasaannya, sementara kepentingan-kepentingan kelompok
bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubunganhubungan sosial yang terkandung di dalamnya. Setiap kelompok
atau sistem sosial terbagi ke dalam berbagai kepentingan, yakni
: kepentingan orang-orang yang menguasai kepemilikan
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
29
material, dan orang-orang yang tidak menguasainya (institusi
ekonomi), dan kepentingan mereka yang memiliki dominasi
otoritatif dan mereka yang harus tunduk pada penggunaan
otoritas tersebut. Setiap perbezaan kepentingan menempatkan
anggota masyarakat pada posisi dominan dan subordinat
(Poloma, 2003).
Berbagai fenomena konflik memiliki intensitasnya masingmasing. Sumber-sumber konflik tertentu menghasilkan konflik
dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan konflik
yang dihasilkan oleh sumber konflik yang lain. Intensitas,
merujuk pada pengeluaran energi dan keterlibatan kepentingan
dari pihak-pihak yang berkonflik. Dua variabel utama yang
mempengaruhi intensitas adalah tingkat kemiripan (konsistensi) konflik di pelbagai asosiasi yang berbeda serta tingkat
mobilitas. Tingkat konsistensi yang tinggi bermakna, para anggota dari kelompok konflik saling berkonfrontasi dalam berbagai hubungan asosiasional. Hal ini berlaku kerana orang yang
dominan pada satu asosiasi, juga dominan dalam asosiasi yang
lain, sedangkan yang subordinat pada satu asosiasi juga demikian pada asosiasi yang lain. Selain itu, kesempatan untuk
konflik yang luas dan mendalam akan semakin besar kalau tak
satupun dari asosiasi yang terlibat mampu menyediakan peluang
untuk mobilitas keatas. Semakin besar konsistensi antara persebaran penghargaan ekonomis, status sosial atau prestise, dan
sebagainya, dengan persebaran otoritas, maka semakin besar
pula intensitas konflik kelas (Poloma, 2003).
Berlainan dengan intensitas konflik, maka kekerasan atau
violence merujuk pada alat yang digunakan oleh pihak yang
saling bertentangan untuk mengejar kepentingan. Tingkat kekerasan boleh sangat bervariasi, mulai dari negosiasi yang penuh
ketenangan sampai pada kekerasan terbuka, termasuk serangan
fisik atas manusia dan miliknya. Tingkat deprivasi sosio
30
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
ekonomis daripada mereka yang berada dalam posisi subordinat, merupakan faktor yang dapat membawa impak pada
munculnya konflik yang keras.
George Simmel dalam Wirawan (2012), sehubungan dengan konflik sosial, mengembangkan tiga perangkat proposisi
tentang intensitas konflik bagi pihak yang terlibat dan fungsi
konflik bagi sistem keseluruhan, dalam rangkaian proposisi
tentang intensitas konflik. Simmel mengemukakan bahwa semakin tinggi derajat keterlibatan emosional pihak yang terlibat
dalam suatu konflik, maka semakin kuat kecenderungan untuk
mengarah pada kekerasan. Dalam konteks ini ada korelasi positif antara solidaritas antar anggota dalam suatu kelompok
dengan derajat keterlibatan emosional. Demikian pula ada
korelasi positif antara harmoni awal (pervious harmony) antara
anggota kelompok yang bertikai dengan derajat keterlibatan
emosional mereka. Selanjutnya, semakin suatu konflik dianggap
telah merintangi pencapaian tujuan dan kepentingan individu
oleh para anggota kelompok yang bertikai, maka konflik itu
cenderung menjadi kekerasan.
3.2. Munculnya Konflik dalam Masyarakat
Johan Galtung mengatakan bahwa konflik dapat dilihat
sebagai sebuah segitiga, dengan kontradiksi (Contradiction =
C), sikap (Attitude = A), perilaku (Behaviour = B) pada
puncak-puncaknya. Kontradiksi merujuk pada dasar situasi
konflik, termasuk “ketidakcocokan tujuan” yang ada atau
dirasakan oleh pihak-pihak yang bertikai, yang disebabkan oleh
“ketidakcocokan antara nilai sosial dan struktur sosial”. Kontradiksi ditentukan oleh pihak-pihak yang bertikai, hubungan
mereka, dan benturan kepentingan inheren di antara mereka
(Liliweri, 2009).
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
31
Sikap adalah persepsi pihak-pihak yang berkonflik dan
kesalahan persepsi antara mereka dan dalam diri mereka sendiri,
dan merupakan persepsi tentang isu-isu tertentu yang berkaitan
dengan kelompok lain. Dalam konflik dan kekerasan, pihakpihak yang bertikai cenderung mengembangkan stereotip yang
merendahkan satu sama lain. Sikap ini sering dipengaruhi oleh
emosi seperti takut, marah, kepahitan, atau kebencian. Sikap
tersebut termasuk elemen emotif (perasaan), kognitif (keyakinan)
dan konatif (kehendak). Perilaku yang merupakan kerjasama
atau pemaksaan, gerak tangan atau tubuh yang menunjukkan
persahabatan atau permusuhan. Perilaku konflik dengan kekerasan dicirikan oleh ancaman, pemaksaan, dan serangan yang
merusak.
Berbagai bentuk kontradiksi adalah munculnya situasi
yang melibatkan masalah sikap dan perilaku sebagai suatu
proses. Dalam hal ini kontradiksi diciptakan oleh unsur persepsi dan gerak kelompok yang terlibat, yang hidup dalam persekitaran sosial. Secara sederhana, sikap melahirkan perilaku,
kemudian melahirkan kontradiksi atau situasi. Sebaliknya,
situasi boleh melahirkan sikap dan perilaku. Konsep mengenai
situasi kontradiksi yang didahului oleh sikap dan perilaku ini
digambarkan pada skema segitiga ABC Galtung (lihat Gambar
3.1). Galtung berpendapat bahwa tiga komponen harus muncul
dalam sebuah konflik total. Struktur konflik tanpa sikap atau
perilaku konfliktual merupakan sebuah konflik laten. Galtung
melihat konflik sebagai proses dinamis, dimana struktur, sikap,
dan perilaku secara konstan berubah dan saling mempengaruhi.
Ketika konflik muncul, kepentingan pihak-pihak yang bertikai
masuk ke dalam konflik atau hubungan dimana mereka berada.
Kemudian pihak-pihak yang bertikai mengorganisasi diri di
sekitar struktur ini untuk mengejar kepentingan mereka. Mereka
mengembangkan sikap yang membahayakan dan perilaku
32
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
konfliktual, sehingga formasi konflik mulai tumbuh dan
berkembang.
Contradiction
(kontradiksi)
Attitude
Behaviour
(Sikap)
(Perilaku)
Gambar 3.1 Segitiga ABC Galtung
Konflik bisa meluas, memunculkan konflik sekunder pada
pihak-pihak utama, atau pihak-pihak yang terseret ke da-lamnya.
Hal ini akan merepotkan tugas menyelesaikan konflik intinya,
dan pada akhirnya penyelesaian konflik harus melibat-kan
segenap perubahan dinamis, yang melibatkan penurunan perilaku konflik, perubahan sikap, dan transformasi hubungan atau
kepentingan yang berbenturan, yang berada dalam inti struktur
konflik (Liliweri, 2009).
Pembahasan tentang konflik selalu mengarah pada upaya
penyelesaiannya serta analisis mengenai sumber-sumber penyebab munculnya konflik tersebut. Salah satu penjelasan
tentang sumber konflik yang diajukan oleh para pemerhati
konflik ialah, adanya kelangkaan sumber daya untuk pemenuhan
keinginan dan kebutuhan hidup individu dan masyarakat. kondisi
ini akan membuat banyak pihak merasa tidak puas atas ketidakadilan distribusi sumber daya tersebut, dan ketika berlaku ketidakpuasan, maka akan terjadi konflik (Liliweri, 2009).
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
33
Berkenaan dengan kelangkaan sumber pemenuhan kebutuhan hidup, maka setidaknya terdapat tiga faktor yang menjadi
sumber konflik antara dua pihak, yaitu kepentingan (interest),
kekuasaan (power), dan hak (right), dimana :
1. Kepentingan sebagai obyek keperluan dan keinginan yang
menjadi sumber konflik. Kedua pihak mempunyai keperluan dan keinginan yang sama terhadap obyek yang disengketakan, misalnya barang, uang, jasa layanan, dan lain-lain
2. Kekuasaan sebagai obyek keperluan dan keinginan yang
menjadi sumber konflik. Kedua pihak mempunyai keperluan dan keinginan yang sama untuk memperoleh status dan
peranan sehingga memiliki kewenangan yang dominan
3. Hak sebagai obyek keperluan dan keinginan yang menjadi
sumber konflik. Kedua pihak mempunyai keperluan dan
keinginan yang sama untuk memperoleh tuntutannya, kerana
masing-masing merasa bahwa tuntutan itu berkaitan dengan
hak dan tanggungjawabnya.
Bentuk solusi konflik yang bisa ditawarkan adalah dengan
memenuhi kepentingan semua pihak. Tetapi penyelesaian ini
hanya menghentikan konflik untuk sementara waktu. Apabila
sumber daya yang diperebutkan telah habis, maka situasi konflik
akan muncul kembali. Cara yang lain, yaitu menyerahkan
kekuasaan atau hak kepada salah satu pihak merupakan solusi
konflik yang tidak berdampak kepada integrasi sosial. Cara ini
adalah sebuah bentuk penyelesaian yang bersifat zero-sum
solution, dan akan diikuti oleh penyalahgunaan wewenang dan
hak oleh pihak dominan, yang kemudian akan menimbulkan
konflik yang baru. Oleh kerana itu, konflik sosial seringkali memiliki sifat berulang sesudah beberapa tahun mereda. Konflik
sedemikian adalah karena sumber konflik yang sebenarnya sulit
34
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
terungkap, dan konflik tidak dapat diselesaikan dengan sepenuhnya. Selalu masih tersisa perbedaan-perbedaan yang akan
memicu konflik pada masa-masa mendatang.
Tiga dimensi yang dipetakan oleh Johan Galtung tentang
kekerasan, yaitu kekerasan struktural, kekerasan kultural, dan
kekerasan langsung. Kekerasan langsung seringkali didasarkan
atas penggunaan kekuatan sumberdaya (resource power).
Kekuatan sumberdaya boleh dibagi menjadi kekuatan punitive
yaitu kekuatan yang menghancurkan. Kemudian, kekuatan
ideologis, kekuatan remuneratif yang cenderung menciptakan
kekerasan budaya. Galtung mendefinisikan kekerasan budaya
sebagai aspek budaya, yaitu ruang simbolik keberadaan manusia
seperti agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu empirik dan
ilmu formal (logika, matematika), yang dapat dipakai untuk
melegitimasi kekerasan langsung atau kekerasan struktural.
Sedangkan kekerasan struktural tercipta dari penggunaan kekuasaan struktural atau penggunaan otoritas (wewenang) untuk
menciptakan sebuah kebijakan. tabel tipologi kekerasan yang
disebutkan oleh Galtung (Galtung 1990).
Tabel 3.1. Tipologi Kekerasan Galtung
Survival
needs
Well-being
needs
Identity needs Freedom
needs
Kekerasan
langsung
Killing
Maiming,
siege, misery,
sanction
Desocialization Repression
resocialization detention
second citizen expulsion
Kekerasan
struktural
exploitation
exploitation
Penetration
segmentation
Marginalization
fragmentation
Sumber : Johan Galtung (1990).
Kekuatan sumberdaya dan kekuasaan struktural saling memperkuat. Galtung mengungkapkan bahwa kekerasan struktural,
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
35
kultural, dan langsung dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan
dasar. Kebutuhan-kebutuhan dasar ini adalah kelestarian dan
keberlangsungan hidup (survival needs), kesejahteraan (wellbeing needs), kebebasan (freedom needs), dan identitas
(identity needs). Jika empat kebutuhan dasar ini mengalami
tekanan atau kekerasan dari kekuasaan personal dan struktural,
maka konflik kekerasan akan muncul (Galtung 1990)
3.3. Pengendalian Konflik
Kunci untuk solusi konflik secara damai adalah dengan
mengembangkan lembaga-lembaga demokrasi yang stabil dan
menghormati hak asasi manusia (Anwar, 2005). Katup penyelamat (savety-valve) merupakan salah satu mekanisme khusus
yang dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial, membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, dan membersihkan
suasana dalam kelompok yang sedang kacau. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Lewis A. Coser melihat katup penyelamat itu
sebagai jalan keluar yang dapat meredakan permusuhan antara
dua pihak yang berlawanan. Lewat katup penyelamat (savetyvalve) permusuhan dihambat dan diungkapkan dengan cara-cara
yang tidak mengancam atau merusakkan solidaritas. Tetapi
penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem
sosial maupun bagi individu : mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang
sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri
individu, menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakanledakan destruktif (Poloma, 2003).
Paling tidak terdapat tiga macam bentuk pengendalian
konflik, yakni : 1) Konsiliasi, iaitu pengendalian konflik yang
dilakukan dengan melalui lembaga-lembaga tertentu yang
36
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
memungkinkan diskusi dan pengambilan keputusan yang adil
di antara pihak-pihak bertikai ; 2) Mediasi, iaitu pengendalian
yang dilakukan apabila kedua-dua pihak yang berkonflik sepakat
untuk menunjuk pihak ketiga sebagai mediator ;3) Arbritasi,
iaitu pengendalian yang dilakukan apabila kedua-dua belah pihak
yang berkonflik sepakat untuk menerima atau terpaksa menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusankeputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik (Dahrendorf,
1986). Ketiga mekanisme pengendalian konflik ini banyak
digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan pelbagai konflik sosial yang berlaku.
Sebagaimana yang diketengahkan oleh Kerr sebelumnya,
mengenai konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi, berikut ini terdapat
beberapa bentuk akomodasi lainnya. Akomodasi, ialah keadaan
yang merupakan hasil dari interaksi yang bersifat damai (Summer
dalam Narwoko, 2010). Akomodasi sebagai proses sosial berlangsung dalam beberapa bentuk, masing-masing dapat disebutkan dan dijelaskan sebagai berikut:
1. Pemaksaan (coercion) proses akomodasi yang berlangsung
melalui cara paksaan sepihak dan yang dilakukan dengan
mengancam sanksi.
2. Kompromi (compromise) proses akomodasi yang berlangsung dalam bentuk usaha pendekatan oleh kedua belah pihak
yang sadar menghendaki akomodasi, kedua belah pihak
bersedia mengurangi tuntutan masing-masing sehingga
dapat diperoleh kata sepakat mengenai titik tengah penyelesaian.
3. Pengguna jasa perantara (mediation) suatu usaha kompromi
yang dilakukan sendiri secara langsung, melainkan dilakukan
dengan bantuan pihak ketiga, dan tidak memihak, mencuba
mempertemukan dan mendamaikan pihak-pihak yang
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
37
4.
5.
6.
7.
38
bersengketa atas dasar itikat kompromi kedua belah pihak.
Pengguna jasa penengah (arbitrate) suatu usaha penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga.
Seperti halnya dengan perantara, penengah ini juga dipilih
oleh kedua belah pihak yang bertikai. Tetapi perantara itu
sekedar mempertemukan kehendak kompromistis keduadua pihak, penengah ini menyelesaikan sengketa dengan
membuat keputusan-keputusan penyelesaian atas dasar
ketentuan-ketentuan yang ada.
Peradilan (adjudication) suatu usaha penyelesaian sengketa
yang dilakukan oleh pihak ketiga yang memang mempunyai
authoriti untuk menyelesaikan konflik. Pengadilan (hakim)
tidaklah dipilih oleh pihak-pihak yang bertikai seperti apa
yang berlaku pada proses akomodasi melalui penengah.
Akan tetapi, seperti halnya para penengah, para pengadilan
(adjudication, khusus hakim) itu selalu menggunakan aturanaturan tertentu sebagai standar penyelesaian sengketa.
Toleration, suatu bentuk akomodasi yang berlangsung tanpa
manifestasi persetujuan formal macam apapun. Pertentangan berlaku kerana individu-individu bersedia menerima
perbezaan-perbezaan yang ada sebagai suatu kenyataan, dan
dengan kerelaan membiarkan perbezaan itu, serta menghindari diri dari pertelingkahan-pertelingkahan yang mungkin timbul.
Stalemat, adalah suatu bentuk akomodasi, dimana pihakpihak yang bertentangan tiba pada suatu posisi “maju tidak
boleh dan mundur tidak boleh”. Stalemate adalah suatu
situasi kemacetan yang stabil, sehingga beberapa pihak mengatakan bahwa stalemate bukanlah proses akomodasi
melainkan resultant suatu proses akomodasi
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
Beberapa cara lain yang digunakan dalam usaha mengendalikan konflik, dinyatakan oleh Moore Christopher (Susan,
2009). Bentuk-bentuk pengendalian dan proses pengurusan
konflik yang dimaksud iaitu:
a. Avoidance adalah pihak-pihak berkonflik saling menghindari dan mengharap konflik boleh terselesaikan dengan
sendirinya.
b. Informan problem solving adalah pihak-pihak yang berkonflik setuju dengan pemecahan masalah yang diperoleh
secara informal.
c. Negotiation ketika konflik masih terus berlanjut, maka para
pihak berkonflik perlu melakukan negosiasi. Artinya mencari jalan keluar dan pemecahan masalah secara formal.
Hasil dari negosiasi bersifat prosedural yang meningkat
semua pihak yang terlibat dalam negosiasi.
d. Mediation adalah munculnya pihak ketiga yang diterima
oleh kedua pihak kerana dipandang boleh membantu parah
pihak berkonflik dalam penyelesaian konflik secara damai.
e. Executive dispute resolution approach iaitu kemunculan
pihak lain yang memberi suatu bentuk penyelesaian konflik.
f. Arbitration suatu proses tanpa paksaan dari para pihak
berkonflik untuk mencari pihak ketiga dipandang netral atau
imparsial.
g. Judicial approach berlakunya intervensi yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga berwenang dalam memberi kepastian
hukum.
Langkah-langkah penyelesaian konflik dan pertikaian sosial mana yang sesuai tentunya sangat bergantung kepada sumber konflik, pencetus konflik, keterlibatan pihak-pihak yang
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
39
berkonflik serta tingkat intensitas konflik. Faktor pencetus
konflik dan pertikaian kerapkali bukan merupakan sumber
konflik yang sebenarnya. Pencetus konflik ialah suatu tindakan
atau kejadian yang langsung mencetuskan pertikaian antara
kedua-dua pihak. Sedangkan sumber konflik merupakan akar
permasalahan yang harus ditarik jauh ke belakang secara historis, yang akan memberikan penjelasan secara substansi mengenai asal-muasal kebencian antara pihak-pihak yang bertikai.
Pengendalian atau penyelesaian konflik yang hanya
berasas kepada faktor pencetus konflik, tidak akan menghasilkan sebuah solusi yang menyeluruh dan mendalam, namun
mungkin hanya akan meredam pertikaian atau kekerasan pada
masa yang singkat sahaja, dan tidak lama kemudian akan muncul
pertikaian yang serupa, bahkan mungkin dengan intensitas yang
lebih kuat. Oleh itu, beberapa konflik yang berlaku tidak dapat
benar-benar dihapuskan, dan akan berulang pada bilangan masa
tertentu. Sumber setiap pertikaian ialah kebencian yang tersimpan. Apabila kebencian kepada pihak yang berkuasa tidak
mampu diungkapkan, maka akan berlaku transfer of hate, iaitu
kebencian yang dialihkan kepada pihak lain yang mewakili
kepentingan lawan yang berkuasa tersebut. Pada keadaan
seperti ini tentu konflik dan pertikaian menjadi fenomena yang
sangat sukar untuk diselesaikan, terutama untuk mendapatkan
sumber konfliknya, kerana sebenarnya pada setiap pertikaian
memiliki nilai pembenarannya sendiri.
40
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
Bab IV
Faktor Pemicu
Pertikaian Komunitas
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
41
42
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
BAB IV
FAKTOR PEMICU
PERTIKAIAN KOMUNITAS
4.1. Faktor Sosial Budaya
Konflik atau pertentangan antar kelompok atau komunitas
merupakan bentuk dari interaksi sosial yang bisa terjadi pada
masyarakat manapun. Berbagai perbedaan kepentingan saling
berbenturan sehingga menciptakan konflik dalam berbagai
tingkatannya. Masyarakat Bagan Siapiapi merupakan masyarakat yang multikultural, yakni masyarakat yang terdiri dari
beragam komunitas dari berbagai aspek. Secara demografis
terdapat beberapa kelompok etnis penduduk kota, yang secara
kuantitas didominasi oleh warga Cina atau Tionghoa dengan
jumlah sebesar 40%. Penduduk tempatan atau Melayu sebanyak 30%, selanjutnya sejumlah 30% terdiri dari etnis Jawa,
Batak, Minang, dan Bugis.
Melihat susunan tersebut, maka dapat dipahami bahwa
akses ekonomi kota dikuasai oleh warga Cina, mulai dari sektor
perdagangan skala besar dan menengah sampai ke perikanan
atau yang bermatapercaharian sebagai nelayan miskin. Sementara komunitas yang lain tersebar di semua lapangan pekerjaan,
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
43
termasuk sektor politik. Demikian juga mengenai pengelompokan tempat tinggal, sesuai dengan sektor pekerjaan yang dikuasai, maka wilayah perkotaan didominasi oleh komunitas Cina,
sementara terdapat kantong-kantong kemiskinan yang didominasi oleh komunitas Jawa dan Melayu, dengan sejumlah kecil
komunitas Cina juga. Kebanyakan diantara mereka ini bekerja
sebagai petani dan nelayan.
Bersumber dari wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat dari berbagai komunitas berhasil diidentifikasikan sejumlah konflik atau pertikaian yang pernah terjadi. Secara
sosiologis masyarakat daerah penelitian dapat dikelompokkan
sebagai penduduk asli atau tempatan, yaitu komunitas Melayu,
dan pendatang yang terdiri dari Cina, Jawa, Minang, Bugis, dan
Batak. Apabila dilakukan identifikasi atas konflik yang terjadi
antara warga tempatan dengan pendatang, maka paling banyak
terjadi adalah pertikaian antara komunitas Melayu dengan
Batak, dan Melayu dengan Cina. Sementara pertikaian antara
komunitas Melayu dengan Bugis hanya terjadi 1 (satu) kali
pada sekitar tahun 1965, Melayu dengan Minang terjadi 1 (satu)
kali yang merupakan dampak dari kasus PRRI, dan Melayu
dengan Jawa tidak pernah terjadi.
Karakter konflik yang pernah terjadi dapat diamati dari
penyebab atau pemicu semua pertikaian tersebut. Hampir
semua konflik dipicu oleh tindakan kriminal atau premanisme
yang melibatkan pemuda-pemuda dari komunitas yang berbeda.
Walaupun demikian tetap bisa diidentifikasi adanya potensipotensi konflik yang terpendam atau laten diantara mereka.
Beberapa potensi konflik yang berhasil diungkap, antara lain
yang muncul diantara komunitas Melayu dengan Batak adalah
perbedaan agama. Sedangkan konflik antara komunitas Melayu
dengan Cina, menyimpan latar belakang historis yang cukup
panjang dan sarat pula dengan muatan politis.
44
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
Temuan ini sesuai dengan pernyataan para analis konflik
yang menyatakan bahwa sejumlah kasus pertikaian antar etnis
lebih berupa tindak pidana lintas-etnis, dan bukan merupakan
kekerasan antar etnis. Kekerasan antar etnis adalah tindakan
kolektif yang dilakukan secara relatif terorganisir untuk menghukum sebagian dan atau seluruh anggota etnis darimana si
pelaku tindak pidana berasal. Dalam kekerasan etnis, biasanya
hanya satu pihak yang relatif terorganisasi, yakni pihak mayoritas, apakah secara kualitas atau kuantitas, dan yang bertindak
sebagai pihak penyerang. Namun demikian, tetap dibutuhkan
beberapa kondisi yang bisa merubah tindak pidana lintas-etnis
menjadi kekerasan etnis, sehingga tidak semua tindak pidana
lintas-etnis serta merta menjadi kekerasan antar etnis, sebagaimana konflik antar komunitas yang terjadi di daerah penelitian.
Beberapa keadaan yang disebutkan oleh para ahli sebagai
pendorong tindak kriminal lintas-etnis meluas menjadi kekerasan etnis adalah :
1. Terjadinya mekanisme spiral equilibria, yakni akumulasi
reaksi berantai dari para korban yang tidak bersalah di masa
lalu. Dari pengalaman kekerasan etnis, jika terjadi kembali
tindak pidana lintas-etnis akan menciptakan kekerasan etnis
berikutnya yang lebih besar, demikian berkembang seterusnya secara spiral.
2. Mekanisme penggalangan serta mobilisasi kelompok sejak
awal pertikaian terjadi. Jika pihak yang berselisih bertindak
sebagai kelompok sejak awal, maka akan memberikan pesan
yang mengundang agar pihak lawan bertindak serupa. Berkaitan dengan mekanisme spiral equilibria, reaksi yang
berlebihan terhadap akumulasi tindak pidana lintas-etnis
tidak datang begitu saja, namun terjadi karena adanya mobilisasi sosial. Maka satu hal dapat ditekankan disini bahwa
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
45
mengapa kekerasan etnis tidak selalu terjadi dalam situasi
konflik sekalipun, adalah karena adanya fakta betapa sulitnya
mekanisme penggalangan solidaritas kelompok. Tekanantekanan yang dirasakan bersama secara sosial, ekonomi,
maupun politik, merupakan sarana untuk menciptakan solidaritas kolektif ini.
3. Kekerasan etnis bukan sekedar konsekuensi kumulatif dari
berbagai tindak pidana lintas-etnis, melainkan juga akibat
dari muatan pesan yang terkandung dalam tindakan kriminal
tersebut. Dalam hal ini pesan yang mampu memunculkan
gejala kekerasan adalah apabila melibatkan nilai-nilai yang
mendasar, misalnya simbol-simbol keagamaan, etnis, kedaerahan dan lain sebagainya.
4. Kekerasan etnis ditandai dengan profil aktor-aktor masyarakat yang terlibat di dalamnya. Dalam situasi normal, warga
sipil (non militer) menerapkan kontrol sosial, bertindak
mencegah terjadinya kekerasan. Tetapi, dalam situasi kekerasan etnik, konflik adalah milik bersama, dan aliansi diantara para anggota masyarakat memberikan efek destruksi
yang lebih besar. Sehingga dapat ditekankan, bahwa semakin
banyak warga sipil yang terlibat, semakin besar kecenderungan tindak pidana lintas-etnis berubah menjadi kekerasan
antar etnis.
Wawancara mendalam dengan beberapa tokoh masyarakat
berhasil mengantar pada identifikasi konflik yang pernah terjadi.
Pertikaian antara komunitas Melayu dengan Batak yang terjadi
pada tahun 2002, diawali oleh pertikaian antar pemuda di sebuah
kedai kopi, yang berujung pada tewasnya seorang pemuda
Melayu. Peristiwa ini lalu menjadi besar dan digeneralisir dengan melibatkan identitas kelompok etnis. Selama 2 (dua) minggu kondisi tidak aman, timbul ancaman-ancaman yang di-
46
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
arahkan pada komunitas Batak. Akan tetapi konflik ini tidak
berlarut-larut dan segera diselesaikan dengan damai oleh para
tokoh masyarakat dengan bantuan aparat keamanan.
Merujuk pada penjelasan tentang karakteristik munculnya
kekerasan etnis, pertikaian antara komunitas Melayu dengan
Batak termasuk pada tindak pidana lintas-etnis. Tidak ditemukan
adanya aspek historis berkaitan dengan pengalaman kekerasan
diantara kedua etnis tersebut sebelumnya, mobilisasi kelompok
mungkin memang terjadi tetapi tidak sampai muncul penggalangan solidaritas sosial yang melibatkan semua lapisan anggota
masyarakat termasuk warga sipil. Hal ini terbukti dari tindakan
para tokoh dan aparat keamanan yang segera bisa mendamaikan
keadaan. Perbedaan diantara kedua komunitas ini yang kiranya
dapat mengakibatkan perbenturan yang cukup mendasar adalah
perbedaan agama, yang walaupun menjadi media identitas etnis
dan digunakan sebagai sarana ancaman, tidak juga meningkatkan
intensitas konflik menjadi kekerasan antar agama. Akan tetapi
dengan potensi konflik seperti ini para tokoh masyarakatpun
hingga saat ini tetap waspada terhadap segala kemungkinan yang
bisa terjadi, terutama jika dipicu oleh tindak-tindak pidana tertentu.
Pertikaian lainnya yang berskala lebih besar adalah yang
terjadi antara komunitas Melayu dengan komunitas Cina, tepatnya sekitar bulan oktober/november tahun 1998. Awal dari
pertikaian massal ini adalah perselisihan antar pemuda Melayu
dengan Cina yang berakhir dengan adanya korban luka parah di
pihak Melayu. Hasil wawancara dengan beberapa tokoh adat
mengemukakan adanya elite politik yang memanfaatkan keadaan ini seiring dengan insiden 1998 di Jakarta. Berbagai isu
yang kurang bertanggungjawab lalu memperkeruh suasana,
misalnya dengan menyebar berita bahwa korban dibawa ke rumah sakit di Pekanbaru dan meninggal dunia sebelum tiba di
tujuan. Akibatnya terjadi situasi yang sangat rawan, yaitu penIntegrasi Sosial & Konflik Horizontal
47
jarahan dan pembakaran rumah-rumah, dimana komunitas
Melayu bertindak sebagai penyerang dan komunitas Cina sebagai korban. Kemudian ditengah kerusuhan, muncul hasutanhasutan bahwa orang Cina akan mengadakan pembalasan.
Situasi baru dapat ditenangkan kembali ketika para tokoh adat
berkomunikasi, dan diadakan upacara potong kerbau sebagai
simbol perdamaian dan kemakmuran bersama.
Deskripsi konflik yang terjadi menunjukkan bahwa pertikaian tersebut adalah sebuah kekerasan etnis berskala kecil,
yang sebelumnya didahului oleh tindak pidana lintas-etnis.
Sesuai hasil wawancara mendalam, beberapa faktor yang signifikan menciptakan situasi kekerasan etnis dapat disebutkan,
yaitu :
1.Faktor historis dan spiral equilibria
Secara historis, pengalaman terjadinya kekerasan etnis
pada masa lalu, diikuti dengan berbagai bentuk stereotype diantara kedua etnis merupakan kekuatan yang sangat besar untuk
membangkitkan tindakan kolektif. Sekelompok nelayan Cina
mulai masuk ke wilayah ini pada tahun 1882, dan mendarat di
Kubu. Lalu keyakinan mereka kepada petunjuk pekong menuntun mereka agar berlabuh di Bagan Siapiapi, suatu wilayah
yang akan memberi keberuntungan pada mereka secara turuntemurun. Agar kebersamaan tetap terpelihara untuk membangun
wilayah baru, mereka membakar tongkang yang mereka gunakan,
sehingga tidak satu orangpun dapat berlayar kembali ke tempat
asal.
Berdasarkan riwayat yang mereka percayai ini, maka orangorang Cina merasa telah ‘membuka’ serta ‘membangun’ wilayah
ini, dan ritual serta upacara pembakaran tongkang (menggunakan model kertas) mereka jalankan setiap tahun untuk memperingati jasa para leluhur. Ketika itu komunitas Cina menyebar
48
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
ke seluruh pelosok wilayah, bahkan sampai ke pedesaan, menguasai dan mengendalikan sistem ekonomi, sementara penduduk tempatan yang terdiri dari Melayu dan Jawa tinggal di
hutan-hutan. Orang Jawa sudah tinggal di wilayah ini sejak masa
penjajahan Hindia Belanda, yaitu para pekerja Deli yang melarikan diri. Latar belakang sejarah seperti ini mengembangkan
stereotype diantara keduanya. Orang Melayu beranggapan
“orang Cina telah menginjak kepala nenek moyang dan kakekkakek kita”, dan sebutan ‘wanang’ untuk orang Melayu dan Jawa,
yang artinya ‘orang hutan’, sementara ‘tenang’ untuk orang Cina,
yang artinya ‘orang kota’.
Sedangkan orang Cina beranggapan bahwa penduduk tempatan selalu iri pada keberhasilan orang-orang Cina disini dan
itu diungkapkan dengan membakar dan menjarah rumah mereka
tanpa sebab yang jelas. Pada tahun 1946, satu tahun setelah
kemerdekaan, terjadi pula perebutan wilayah antara komunitas
pendatang (Cina) dengan komunitas Melayu. Melayu disini sebenarnya adalah gabungan dari beberapa kelompok etnis yang
menganggap dirinya sebagai bangsa Indonesia. Tetapi, bagaimanapun juga, karena pertikaian fisik ini disemangati oleh perjuangan untuk mempertahankan wilayah dari penjajahan bangsa
lain, maka peristiwa ini lebih membekas bagi komunitas Melayu,
sebagai penduduk asli wilayah ini, daripada bagi orang-orang
Jawa misalnya. Pertikaian ketika itu bisa disebut sebagai perang
kemerdekaan dan perebutan wilayah, dan pihak Cina banyak
mendapat bantuan tentara dan persenjataan dari Malaysia.
Berbeda dengan pertikaian sejenis yang banyak terjadi di
beberapa daerah lainnya, yang biasanya diakhiri dengan kemenangan dan dominasi oleh satu pihak, dan penolakan serta pengusiran terhadap pihak yang lain, pertikaian yang mengakibatkan jatuhnya ratusan korban dari kedua belah pihak ini, berakhir
dengan damai. Kedua komunitas lalu tetap hidup berdampingan
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
49
dalam satu wilayah, dengan segregasi spasial yang berubah,
yakni sebagian besar dari komunitas Cina mengelompok di
pusat kota, sedangkan komunitas Melayu menyebar ke seluruh
wilayah. Berkaitan dengan mekanisme spiral, ternyata tidak
terlalu bekerja dalam konflik antar komunitas Cina dengan
Melayu disini, karena tidak tampak terjadinya akumulasi reaksi
berantai dari kedua pihak.
2. Penggalangan solidaritas kelompok dan profil aktor
Solidaritas kelompok dapat diciptakan oleh kesamaankesamaan nasib dan tekanan yang dialami ketika berhadapan
dengan kelompok lain. Dari informasi yang diperoleh di lapangan disebutkan bahwa terdapat kecemburuan sosial terhadap
keberhasilan ekonomi warga Cina, yang merebak di kalangan
tertentu. Selain itu, seiring terjadinya insiden ‘anti cina’ di ibukota negara, maka muatan politis menjadi kekuatan pendorong
yang dalam sekejap mampu memobilisasi massa serta menciptakan sebuah solidaritas kolektif yang sangat kuat. Dengan
demikian, walaupun semula pertikaian yang terjadi adalah
merupakan tindak pidana lintas-etnis, solidaritas kelompok
yang bermuatan politis mampu menghasut dan menyatukan
hampir seluruh lapisan untuk bergerak dengan satu tujuan.
Konflik menjadi luas karena telah terjadi penghancuran
serta pembakaran rumah-rumah warga Cina. Akan tetapi tidak
berlarut-larut dan menjadi kekerasan etnis yang sangat intens
karena tidak menyentuh nilai-nilai mendasar atau perusakan
rumah ibadah. Sehingga banyak pendapat yang menyatakan,
konflik pada saat itu hanyalah pertikaian atau tindak pidana
lintas-etnis, yang ditimbulkan oleh beberapa faktor yang saling
menguatkan, serta mendorong mekanisme munculnya sebuah
solidaritas kelompok. Kekerasan etnis mungkin memang ter-
50
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
jadi, karena beberapa faktor yang berpotensi menciptakannya
sudah mulai bekerja, antara lain adanya benih-benih kebencian
dan stereotype, latar belakang historis diantara mereka, diperkuat lagi oleh ketimpangan sosial ekonomi, dan yang paling
penting diiringi oleh iklim politis yang terjadi pada saat itu.
Tetapi, karena keterlibatan nilai-nilai yang mendasar juga tidak
ditemukan, sehingga solidaritas kelompok juga tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakat, serta tidak mengorganisir
kekuatan yang dibutuhkan, maka kekerasan tidak berlangsung
lama, dan segera muncul tokoh-tokoh masyarakat yang mengusahakan perdamaian.
Kesimpulan yang berkaitan dengan potensi konflik yang
ditemukan di wilayah penelitian adalah :
1. Dimensi sosial-ekonomi, termasuk disini aspek historis dan
efek spiral yang diciptakan, ketimpangan dan kesenjangan
ekonomi antar komunitas,
2. Dimensi budaya, termasuk disini keterlibatan perbedaan
nilai dan orientasi hidup antar komunitas, antara lain ekslusivitas yang disertai segregasi spasial dan sosial (pengelompokan secara spasial dan sosial), primordialisme pada
masing-masing komunitas.
Potensi konflik ini merupakan benih-benih kebencian antar komunitas, yang berpotensi untuk menggalang sebuah solidaritas keompok yang cukup kuat, dan untuk mengorganisir
sebuah konflik berskala tidak pidana lintas-etnis menjadi sebuah
tindak kekerasan antar etnis dengan intensitas yang tinggi.
4.2. Faktor Sosial Ekonomi
Ada banyak faktor yang memicu konflik horizontal, salah
satunya adalah faktor ekonomi, terutama muncul dalam bentuk
kesenjangan kesejahteraan atau dalam bahasa Karl Mrx kesenIntegrasi Sosial & Konflik Horizontal
51
jangan penguasaan faktor produksi dimana sekelompok kecil
orang menguasai sebagian besar faktor produksi sementara
mayoritas masyarakat hanya menguasai sebagian kecil faktor
produksi. Dalam bagian ini akan diungkap serinci mungkin
tentang factor ekonomi sebagai faktor pemicu konflik di Bagan
Siapi-api dan Bagan Batu Kabupaten Rokan Hilir. Dalam pengungkapan ini dicoba sejauh mungkin mengungkap latar belakang keterkaitan factor ekonomi sebagai akar pemicu konflik.
Konflik horizontal yang pernah terjadi di Kabupaten Rokan Hilir, khususnya kota Bagan Siapi-api tergolong sangat
rumit dan luas baik dilihat dari jenis konflik maupun akar konflik (faktor penyebab konflik). Jika dilihat dari jenisnya, konflik di daerah ini dapat dikategorikan konflik etnis karena melibatkan entis tertentu yang berhadapan dengan etnis lain.
Uniknya konflik yang terjadi di Bagan Siapi-api mendudukkan
etnis Melayu sebagai pusat konflik berhadapan dengan etnis
lain, meskipun kejadiannya tidak dalam waktu bersamaan.
Sepanjang sejarah konflik yang terjadi di Kota Bagan Siapiapi tercatat seluruhnya melibatkan etnis Melayu yang berhadapan dengan etnis Minang (1955), Cina (1998), dan Batak
(2002). Sementara konflik yang terjadi pada tahun 1946 yang
dapat dikatakan pemicu konflik pertama di Bagan Siapi-api
mendudukkan komunitas Cina sebagai pusat konflik berhadapan
dengan hampir semua etnis atau komunitas yang ada.
Secara sederhana dapat dikatakan konflik saat itu adalah
pertentangan antara komunitas non pribumi berhadapan dengan
komunitas pribumi. Jika dilihat dari sumber konflik, tercatat
ada beberapa faktor yang memicu terjadinya konflik tersebut,
antara lain faktor politik (konflik 1946), faktor budaya (konflik
1955), dan faktor ekonomi (1998).
Di daerah Bagan Batu, sebuah daerah (kota) yang baru
berkembang, konflik yang pernah terjadi (sejak 1992 hingga
52
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
2006) didominasi oleh factor ekonomi. Meskipun di daerah
ini pernah terjadi konflik yang dipicu oleh factor budaya yang
melibatkan etnis Melayu dan Batak, dan agama yang melibatkan
komunitas Musim dan Budha, namun kedua konflik itu tidak
dominan dan tidak berkembang luas.
Berdasarkan kondisi yang dipaparkan di atas, maka bahasan
dalam bab ini akan dititik beratkan pada analisis faktor ekonomi
sebagai akar konflik yang terjadi di kedua wilayah, yaitu Bagan
Siapi-api dan Bagan Batu.
Faktor ekonomi merupakan salah satu pemicu konflik
yang sangat potensial. Hal ini tidak saja untuk kasus konflik
yang terjad di Kabupaten Rokan Hilir, melainkan juga kasuskasus lain di Indonesia seperti Konflik Ambon. Untuk kasus
Bagan Siapi-api, faktor kesenjangan ekonomi memberi kontribusi cukup signifikan terhadap terjadinya konflik antara
komunitas Cina dan Melayu tahun 1998. Untuk melihat secara
lebih jernih akar konflik tersebut harus dilakukan penelaahan
jauh kebelakang, karena sebenarnya kerusuhan tahun 1998 itu
tidak lain hanyalah ledakan dari akumulasi akar konflik yang
sudah berlangsung sekian lama.
Disini penjajakan akan dimulai dari sekitar tahun 1882,
karena tahun ini dapat dianggap sebagai titik awal perkembangan daerah Bagan Siapi-api. Penetapan tahun ini sebagai
titik awal telaah juga hanya didasarkan pada informasi dari
tokoh masyarakat Cina bernama Andang Wijaya karena tidak
ada catatan resmi yang dapat dijadikan dasar.
Berdasarkan informasi dari tokoh ini, pada sekitar tahun
1882 itu mendarat sekelompok etnis Cina dengan menggunakan
perahu di satu daerah yang saat ini dikenal dengan Kecamatan
Kubu, yang letaknya berdekatan dengan Bagan Siapi-api. Kelompok orang perahu ini berlayar dari salah satu wilayah di
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
53
Thailan yang pada awalnya berjumlah tiga perahu, namun karena
gangguan alam dan kelemahan navigasi maka yang sampai ke
Kubu hanya satu perahu yang berisi 18 orang. Dari 18 orang
ini terdiri dari 17 orang suku Ang dan satu orang suku Kho.
Kedatangan mereka ke Kubu ini lebih dipengaruhi oleh usur
mitos yang bersumber dari Toape Khong (batung dewa agung)
yang mereka bawa darai daratan Cina. Salah seorang dari orang
perahu ini bermimpi ditemui oleh Dewa Agung, yang
memesankan kepadanya bahwa mereka hanya boleh mendarat
untuk bermukim ditempat yang bercahaya. Lalu mereka melihat
isyarat mimpi itu di daerah Kubu, maka mereka memutuskan
berhenti di situ. Namun beberapa waktu kemudian mereka melihat di tempat lain yang cahayanya lebih terang lagi dan mereka
memutuskan pindah ke daerah baru tersebut yang saat ini di
kenal dengan kota Bagan Siapi-api. Menurut kesaksian dari
Andang Wijaya bahwa daerah Kota Bagan Siapi-api waktu itu
belum berpenghuni, kelompok orang perahu inilah yang pertama membuka wilayah tersebut yang kemudian berkembang
menjadi kota Bagan Siapi-api.
Keterangan sejarah yang berbau mitos ini tidak cukup kuat
untuk menjadi argument rasional dalam menjawab pertanyaan
mengapa kelompok manusia perahu itu memilih menetap di
Bagan Siapi-api. Argumen ekonomi kelihatan lebih rasional
memperjelas masalah ini. Berdasarkan penjelasan dari hampir
semua sumber informasi dan bukti sejarah ekonomi Bagan
Siapi-api bahwa daerah ini merupakan penghasil ikan terbear
saat itu. Faktor inilah yang menjadi daya tarik terkuat, karena
terbukti pada perkembangan selanjutnya Bagan Siapi-api
merupakan penghasil ikan terbesar di Indonesia dan pengusahapengusaha ikan dari kota kecil ini sangat berpengaruh hingga
ke Pulau Jawa.
54
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
Dampak ekonomi perikanan ini sangat luas dalam kehidupan perekonomian masyarakat Bagan Siapi-api dan sekitarnya. Paling tidak terdapat tiga bentuk perkembangan ekonomi
yang disebabkan perkembangan sector perikanan ini. Pertama
adalah terbukanya daerah ini dengan dunia luar terutama
Malaysia dan Singapura yang merupakan dua pusat perdagangan
penting di Asia. Produksi perikanan Bagan Siapi-api hingga era
70-an masih menjadi komoditas ekspor penting di Riau yang
mempertemukan jalur bisnis internasional Riau-MalaysiaSingapura beriringsn dengan produksi perikanan dari daerah
Kepulauan Riau. Pembeli produk perikanan Bagan Siapi-api
sebenarnya sangat luas meliputi hampir seluruh Negara industri
di Asia seperti Jepang dan Hongkong, namun jalur ekspornya
tetap dikuasai oleh Singapura dan sebagian kecil Malaysia.
Kedua, berkembangnya sector-sektor perekonomian lainnya seperti retail dan perdagangan secara umum. Sektor ini
berkembang seiring dengan perkembangan kota Bagan Siapiapi dan pertumbuhan penduduk baik yang bermukim di lingkungan kota maupun desa-desa sekitarnya. Sektor yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari ini perkembangannya linier dengan kebutuhan penduduk, artinya semakin
bertambah penduduk kebutuhan akan semakin meningkat
sehingga tuntutan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari juga
meningkat. Ketiga, berkembangnya industri perkapalan (kapal
kayu) sebagai pendukung ekonomi perikanan. Industri perkapalan ini berkembang dipengaruhi secara langsung oleh dua
hal, yaitu kebutuhan armada penangkapan ikan dan ketersediaan
bahan baku berupa hutan subur yang menyediakan kayu bermutu
untuk bahan baku kapal. Hingga era 80-an di sekitar Bagan Siapiapi masih terdapat hutan yang menyediakan bahan baku yang
dibutuhkan untuk industri perkapalan. Namun pada era 90-an
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
55
hutan di sekitar Bagan Siapi-api habis akibat eksploitasi besarbesaran oleh jaringan kapitalisme global. Akibatnya industri
perkapalan ini akhirnya ditutup karena kesulitan bahan baku
disamping akibat faktor politik, yaitu kebijakan pemerintah
daerah yang tidak secara tegas terhadap izin perdagangan kayu.
Perkembangan ekonomi ini telah menjadikan bagan Siapiapi sebagai daerah yang memiliki daya tarik ekonomi tersendiri
sehingga mengundang berbagai komunitas luar datang ke kota
kecil ini. Meskipun jumlah pendatang ini tidak terlalu besar
namun cukup membangun komposisi heterogenitas kota Bagan
Siapi-api. Hingga akhir tahun 2006 estimasi komposisi
heterogenitas penduduk Bagan-Siapi-api terdiri dari Cina menduduki urutan pertama terbanyak, diikuti oleh Melayu, Jawa,
Minang, Batak, dan lain-lain.
Yang sangat menarik dari perkembangan ini adalah seluruh
sector ekonomi di atas didominasi oleh komunitas Cina. Ini
sangat berpengaruh pada tingkat kesejahteraan dan pola pemukiman masyarakat Bagan Siapi-api dan sekitarnya. Tingkat
kesejahteraan umumnya masyarakat Cina lebih tinggi dari masyarakat komunitas lainnya, dan mereka umumnya bermukim
di daerah kota dan berperan penting dalam mengendalikan pusatpusat perekonomian. Komunitas lainnya lebih banyak bermukim di daerah pedesaan dan pinggiran kota dengan mata pencarian utamanya adalah buruh dan petani.
Lebih menarik lagi adalah setelah terpilihnya Anas Makmun
sebagai Bupati Rokan Hilir pada awal 2006 ekspansi bisnis
komunitas Cina memasuki wilayah baru yang selama ini relatif
belum mereka kuasai, yaitu proyek-proyek yang didanai oleh
APBD. Menurut informasi dari Marjaharudin seorang tokoh
dari masyarakat Sulawesi di Bagan Siapi-api kebijakan Anas
Makmun saat ini cukup kondusif terhadap kepentingan bisnis
56
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
komunitas Cina di sektor pemerintah baik yang bersekala besar
maupun kecil. Informasi ini sesuai dengan informasi dari Acheng
tokoh cina dari Bagan Batu. Hal ini menimbulkan suasana persaingan yang semakin ketat dan sulit bagi komunitas pribumi
yang selama ini mendominasi sector ini, karena itu kebijakan
Anas ini mulai mendapat sorotan dari masyarakat luas.
Kondisi serupa juga terjadi di Bagan Batu. Di daerah ini
komunitas Cina relative tetap mendominasi sektor-sektor perdagangan sementara sektor perkebunan dikuasai oleh pengusaha
besar (kelompok kapitalis) yang berasal dari luar Rokan Hilir.
Masyarakat lokal pribumi rata-rata hanya menguasai lahan kurang dari 10 hektar per keluarga.
Ketimpangan penguasaan sector ekonomi ini nampaknya
sangat penting untuk dijadikan salah satu pertimbangan untuk
menganalisis akar dari konflik yang pernah terjadi di Bagan
Siapi-api dan sekitarnya. Konflik 1998 di Bagan Siapi-api yang
melibatkan komunitas Melayu dan komunitas Cina merupakan
konflik yang kuat diperkirakan bersumber dari factor ekonomi.
Jelasnya konflik tersebut merupakan bentuk pelampiasan kecemburuan social masyarakat Melayu terhadap ketimpangan
penguasaan factor ekonomi yang relative didominasi komunitas Cina. Konflik seperti ini dengan mudah dapat terjadi ketika
pihak yang “kalah dalam persaingan ekonomi” tidak memiliki
kesempatan atau tidak mampu melihat dan memanfaatkan
peluang dan kesempatan untuk ikut menjadi bagian yang
menguasai perekonomian. Untuk memahami konflik ini dari
perspeketif ekonomi harus dilihat posisi ekonomi dari kedua
komunitas tersebut.
Posisi ekonomi komunitas Cina relatif sudah cukup tergambarkan pada paparan di atas, sementara posisi ekonomi
masyarakat Melayu relatif belum tergambarkan secara khusus.
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
57
Masyarakat Melayu mengklaim diri sebagai komunitas asli dari
daerah Rokan Hilir umumnya dan desa-desa di sekitar Bagan
Siapi-api khususnya, dan klaim ini dibenarkan oleh banyak pihak
berdasarkan sejarah penyebaran komunitas dan budaya Melayu
yang merentang sepanjang pesisir Pulau Sumatera, Kalimantan,
hingga ke Afrika. Jauh sebelum kedatangan komunitas Cina
pada tahun 1882 ke wilayah Sumatera dan membuka daerah
kosong yang kemudian dikenal dengan kota Bagan Siapi-api,
disekitar daerah ini telah terdapat banyak desa-desa yang dihuni
oleh komunitas Melayu. Secara tradisional komunitas ini mengelola ekonomi sector pertanian dan perikanan (nelayan) yang
seluruhnya dikelola secara tradisional. Sebagaimana umumnya
masyarakat tradisional di Indonesia dalam mengelola ekonomi
adalah bersifat sub sisten yaitu mengelola ekonomi hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga tidak untuk orientasi
pasar. Pada kondisi masyarakat dengan model pengelolaan
ekonomi seperti ini tingkat kesejahteraan masyarakat terebut
tidak dapat diharapkan meningkat secara memadai. Kondisi
inilah yang dialami oleh masyarakat Melayu di sekitar Bagan
Siapi-api.
Interaksi komunitas Melayu sebagai masyarakat local dengan komunitas Cina khususnya sebagai pendatang tidak menyebabkan perubahan pola pengelolaan sumber ekonomi
melalui pengembangan teknologi sebagaimana yang dilakukan
oleh masyarakat Cina yang secara simultan melakukan
perbaikan teknologi penangkapan ikan. Hal ini terbukti dengan
perubahan yang terjadi pada masyarakat Cina dari cara penangkapan ikan dengan menggunakan teknologi sederhana
(jaring tradisional dan perahu tanpa mesin) ke teknologi menengah (jaring dan perahu dengan mesin tempel), dan selanjutnya mesinisasi dalam teknologi penangkapan (kapal mesin dan
pukat harimau/trawl).
58
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
Selanjutnya pada masa orde baru terjadi interaksi yang
labih luas antara komunitas Melayu dengan komunitas lainnya
terutama komunitas Jawa yang datang ke Rokan Hilir melalui
program transmigrasi yang dibiayai pemerintah. Program
transmigrasi ini disamping menambah pola heterogenitas
penduduk Rokan Hilir juga memberi sentuhan teknologi baru
di bidang pengelolaan sumber ekonomi, terutama disektor
pertanian yaitu dengan dikenalkannya teknologi perkebunan
sawit. Disamping itu transmigrasi dari Jawa ini juga memperkenalkan teknologi pengolahan lahan untuk tanaman pangan
terutama padi sawah dan padi ladang. Namun faktor-faktor
ekonomi tersebut tidak memberikan perubahan signifikan pada
komunitas Melayu. Meskipun mereka juga dilibatkan dalam
program-program tersebut melalui pola transmigrasi lokal,
namun ketertarikan komunitas Melayu terhadap teknologi dan
kultur baru dalam pengolahan sumberdaya ekonomi tidak begitu
besar sehingga penguasaan mereka terhadap faktor-faktor
produksi sangat terbatas.
Konsep penguasaan faktor produksi disini sangat berbeda
dengan konsep kesejahteraan, meskipun keduanya ada keterkaitan. Yang dimaksud dengan penguasaan faktor produksi
disini lebih pada makna penguasaan lahan dan teknologi yang
mendukung proses produksi sehingga mampu menggerakkan
produktifitas. Sementara kesejahteraan disini lebih ditekankan
maknanya pada kemampuan memenuhi kebutuhan konsumtif.
Secara teoritis penguasaan faktor produksi akan berbanding
lurus (linier) dengan kesejahteraan, karena itu ketertinggalan
relative komunitas Melayu dalam penguasaan faktor produksi
ini menjadikan kondisi kesejahteraan mereka relatif tertinggal
dibanding dengan komunitas Cina khususnya. Namun ketika
dibandingkan dengan komunitas pribumi lainnya seperti Jawa,
Batak, dan Minang, tidak terjadi ketimpangan kesejahteraan
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
59
yang berarti. Namun yang sangat penting untuk dicatat di sini
adalah “ketertinggalan relative” komunitas Melayu dalam
penguasaan faktor produksi berupa lahan dan teknologi pengolahan sumber daya akan menjadi penyebab ketergantungan
komunitas ini terhadap investasi pihak lain. Dalam kedudukan
seperti ini komunitas Melayu hanya akan terserap sebagai buruh
dalam sebuah proses investasi, sehingga kesejahteraannya akan
sangat tergantung pada kelancaran dan keberlanjutan investasi
ini. Keadaan inilah yang dialami oleh komunitas Melayu di
Bagan Siapi-api dalam menghadapi perkembangan ekonomi
local. Ketika investasi di sektor perikanan berkembang baik
(industri penangkapan ikan dan perkapalan) banyak yang dapat
menikmati “kesejahteraan terbatas” sebagai buruh. Namun
ketika investasi disektor ini menurun maka kelompok buruh
ini tidak mudah mencari pekerjaan lain sebagai pengganti, sementara mereka tidak menguasai faktor produksi lainnya. Pola
ketergantungan seperti inilah yang sangat kuat mendorong kecemburuan sosial terhadap kelompok lain.
Ketergantungan ekonomi ini, meskipun posisinya adalah
variabel penentu, sebenarnya lebih berperan sebagai factor laten
dalam sebuah proses konflik. Faktor ini memerlukan variable
lain sebagai perantara yang kemunculannya sangat situasional.
Biasanya semakin dekat variable antara ini dengan kondisi
emosional suatu komunitas akan semakin besar peluangnya
memicu konflik. Dalam kasus kerusuhan 1998 di bagan Siapiapi, factor ketokohan atau meminjam bahasa pemerintah “actor
intelektual” merupakan variable antara yang menjadi pemicunya. Aktor intelektual inilah yang telah berhasil membangkitkan
emosi kecemburuan social komunitas Melayu terhadap komunitas Cina. Momentum yang dimanfaatkan oleh actor intelektual ini adalah perkelahian antar remaja yaitu antara seorang
anak laki-laki dari komunitas Cina dengan seorang anak laki60
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
laki dari komunitas Melayu. Kebetulan anak Melayu ini
mengalami cedera akibat perkelahian itu sehingga kondisi ini
memberi peluang untuk memperbesar isu. Tokoh “intelektual”
masuk melalui titik ini dengan cara mengisukan bahwa cedera
yang dialami oleh anak Melayu tersebut sangat parah dan
kelengkapan medis di Bagan Siapi-api (yang ketika itu masih
berstatus puskesmas pembantu) tidak mampu menangani kasus
ini. Skenario selanjutnya adalah membawa korban ke Pekanbaru
untuk mendapat perawatan yang memadai. Setelah korban
dibawa ke Pekanbaru, scenario berikutnya dijalankan yaitu
dengan mengisukan bahwa korban telah meninggal diperjalanan
menuju Pekanbaru dengan menggunakan kata-kata yang bernilai
provokatif sara yaitu “Cina membunuh Melayu”. Isu inilah yang
kemudian dihembuskan dengan cepat dan meluas, sehingga
terjadi pembakaran toko-toko milik komunitas Cina. Menurut
informasi dari sumber komunitas Cina (Andang Wijaya), ketika
terjadi kerusuhan banyak masyarakat yang melakukan penjarahan, dan kelihatannya penjarahan ini direncana karena tokotoko yang dibakar itu sudah dikosongkan terlebih dulu. Barangbarang jarahan tersebut dibawa melalui jalan laut dengan menggunakan perahu yang telah dipersiapkan.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa demikian mudah
masyarakat (khususnya komunitas Melayu) terpancing emosi
sehingga melakukan pembakaran kota hanya dengan isu “Cina
membunuh Melayu”? Sebenarnya emosi semacam ini tidak
mudah untuk mengalami ledakan dalam radius yang luas tanpa
ada factor “laten konflik yang potensial”. Berdasarkan analisis
ekonomi di atas dapat diyakini bahwa kesenjangan dalam penguasaan factor produksi atau kesenjangan dalam kesejahteraan
ekonomi menjadi salah satu akar masalah, sehingga kasus yang
sangat pribadi antara dua remaja yang bertikai dapat dengan
mudah diangkat ketingkat konflik komunitas. Kecemburuan
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
61
social akibat dari perbedaan kesejahteraan ini sudah terakumulasi sekian lama. Komunitas Melayu melihat bahwa minoritas
Cina memiliki kesejahteraan yang lebih tinggi, mudah mencari
pekerjaan, dan tidak ada yang menganggur, sementara masyarakat dari komunitas Melayu melihat dirinya berada pada keadaan yang sebaliknya. Kecemburuan sosial ini kemudian bergesekan dengan pemicunya yang bisa muncul dalam berbagai
bentuk termasuk pertikaian pribadi sebagaimana yang terjadi
pada tahun 1998 tersebut.
Konflik di Bagan Batu memiliki kehususan tersendiri
ketika diukur dari perspektif konflik horizontal, karena yang
terlibat adalah perorangan disatu pihak berhadapan dengan
kelompok masyarakat dipihak lain. Orang perorangan itu jika
dilihat status sosialnya adalah anggota masyarakat biasa (pensiunan militer) yang memiliki modal cukup kuat (kapitalis)
namun tidak tampil dalam bentuk badan hukum (perusahaan)
melainkan sebagai individu. Dengan finansial yang besar dan
jaringan relasi yang cukup luas dia berhasil menggerakkan tenaga pendukung (tenaga sewaan) yang dimasyarakat dikenal
dengan istilah “preman”. Kelompok preman sewaan inilah yang
digerakkan oleh tokoh perorangan tersebut untuk menteror
masyarakat. Kasus ini dikenal dengan kasus “Ampaian Rotan”.
Kasusnya bermula pada tahun 1992 sekelompok preman
sewaan menteror masyarakat kelompok petani sawit di daerah
yang bernama Ampaian Rotan. Kelompok preman yang mengatas namakan Timbang Sianipar mengklaim bahwa lahan yang
digarap masyarakat di daerah Ampaian Rotan itu adalah milik
Timbang Sianipar dan memerintahkan masyarakat untuk meninggalkan lahannya. Masyarakat menolak mematuhi perintah
itu karena merasa telah membeli lahan tersebut secara resmi
dan mereka memiliki surat-surat resmi yang dikeluarkan oleh
Pemerintah. Namun ternyata Timbang Sianipar juga memiliki
62
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
surat-surat resmi. Kasus ini sebelum dibawa ke pengadilan telah
sempat menimbulkan kekerasan fisik
Konflik Ampaian Rotan ini mirip dengan konflik kelas
karena membenturkan kepentingan antara seorang pemilik
modal (kapitalis) dengan masyarakat. Dalam konflik ini kedua
kelompok menunjukkan karakter khusus yang cukup menarik.
Pihak Timbang Sianipar tampil sebagai pemilik modal yang
didalam melakukan proses investasinya dengan menggunakan
tekanan (repressiveness), sebuah pola pendekatan yang sering
ditampilkan oleh kelompok militer di beberapa Negara berkembang termasuk Indonesia terutama pada masa Orde Baru.
Timbang Sianipar sebagai pensiunanan militer berperan sebagai
pemilik modal yang melakukan tekanan pada masyarakat tampil
mengatas namakan pribadi tidak perusahaan (badan hokum
formal).
Hal ini sangat berbeda dengan umumnya kelompok kapitalis yang selalu tampil sebagai pemilik perusahaan. Dinegaranegara berkembang seperti negara-negara Asia Tenggara,
militer atau pensiunan militer tampil sebagai kapitalis adalah
hal yang biasa. Yoshihara Kunio dalam bukunya The Rise of
Ersatz Capitalism in South-East Asia menamakan kelompok
militer atau pensiunan militer yang terjun ke dunia bisnis
dengan military capitalism. Dalam praktek bisnisnya kelompok ini tidak tertutup menggunakan pendekatan-pendekatan
kekuatan dan tekanan baik fisik maupun non fisik, tujuannya
adalah untuk memenangkan persaingan dengan lebih mudah.
Lazimnya military capitalism ini tampil sebagai perusahaan
tidak atas nama individu seperti halnya Timbang Sianipar.
Dipihak lain, kelompok masyarakat petani yang berhadapan dengan Timbang Sianipar bukanlah kelompok buruh,
melainkan berstatus pemilik lahan (faktor produksi) yang
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
63
disengketakan. Hal inilah yang membedakan konflik ini dengan
konflik horizontal lainnya terutama kasus-kasus konflik di Bagan Siapi-api yang jelas membenturkan kelompok-kelompok
komunitas tertentu. Konflik Ampaian Rotan bukan konflik
komunitas karena kelompok masyarakat petani yang terlibat
terdiri dari berbagai komunitas (etnis). Dia juga bukan konflik
kelas karena kedua pihak yang terlibat adalah sama-sama
pemilik modal. Namun konflik ini juga tidak termasuk konflik
structural karena Timbang Sianipar bukan representasi dari
Negara.
Konflik lain yang juga laten di Bagan batu adalah konflik
antara masyarakat dengan perusahaan-perusahaan perkebunan.
Akar konflik tetap berpusat pada factor ekonomi yaitu perebutan lahan. Konflik ini cukup banyak terjadi dan merupakan
jenis konflik yang dominan di Bagan Batu sementara penyelesaiannya juga belum bisa dianggap final karena salah satu
pihak terutama kelompok masyarakat belum bisa memahami
secara hukum status lahan yang diperebutkan. Kelihatannya
konflik perebutan lahan di Bagan Batu relative mudah dipicu
melalui isu-isu sederhana seperti isu penyerobotan lahan oleh
sebuah perusahaan.
Konflik lain yang kelihatan dari luar adalah bernuansa
sara terjadi pada tahun 2002 di Bagan Batu antara komunitas
Budis (Budha) yang mayoritas Cina dengan komunitas Melayu
sebagai komunitas Islam. Konflik ini dari luar kelihatan sebagai
bentuk penolakan sekelompok orang Melayu Muslim terhadap
kehadiran sebuah Vihara sebagai rumah ibadah kelompok
Budha. Isu yang dibangkitkan untuk menyulut konflik adalah
masyarakat Cina merupakan kelompok orang pendatang yang
ingin menguasai daerah orang Melayu dan upacara peribadatan
kelompok Budha banyak menyediakan makanan-makanan yang
diharamkan orang Islam terutama daging babi. Isu ini meresah64
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
kan sebagian masyarakat sehingga terjadi penyerangan dan perusakan terhadap Vihara tersebut.
Meskipun konflik ini dapat diselesaikan dengan tindakan
cepat dari aparat pemerintah, namun potensi konfliknya masih
tersimpan baik yang memungkinkan pada saat lain muncul
kembali. Konflik ini harus ditelusuri dari para pihak yang
terlibat konflik. Kelompok Melayu yang terlibat konflik adalah
kelompok orang yang selama ini merasa termarjinalisasi dalam
proses persaingan ekonomi yaitu relative tidak berhasil dalam
penguasaan lahan perkebunan dan lapangan pekerjaan. Isu yang
dihembuskan adalah isu yang sangat bernuansa ekonomis yaitu
“penguasaan daerah” yang bermakna “penguasaan factor
produksi”. Isu ini diperkuat dengan kenyataan bahwa kelompok
Cina merupakan komunitas yang menguasai perekonomian
cukup baik. Berdasarkan kondisi ini maka konflik yang terjadi
relative lebih mudah untuk difahami bersumber dari factor
ekonomi.
4.3. Faktor Sosial Politik, Pemerintahan, dan Otonomi Daerah
Faktor–factor yang menyebabkan terjadinya pertikaian
antara kelompok komunitas, terutama komunitas Melayu dengan komunitas yang lain, - Cina, Batak, Sulawesi, yang telah
terjadi sebanyak 6 kali, antara lain adalah faktor social budaya
yang merupakan factor pemicu, sedangkan faktor ekonomi dan
politik merupakan faktor akar masalah. Tulisan ini diharapkan
dapat mengungkapkan dan menggambarkan pertikaian yang
terjadi di Rokan Hilir dan faktor–faktor khas yang mempengaruhi terjadinya pertikaian tersebut.
Sejumlah konflik menonjol yang terjadi di Kabupaten Rokan
Hilir merupakan konflik yang kemudian berkembang menjadi
kekerasan. Konflik yang berwujud perbedaan pendapat antara
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
65
pihak-pihak yang terkait merupakan kondisi alamiah dan bahkan
merupakan ciri perkembangan, perubahan dan kemajuan masyarakat. Namun, apabila konflik-konflik alamiah yang ada pada
masyarakat tidak dapat dikendalikan dan berubah menjadi kekerasan, maka masyarakat akan mengalami kemunduran bahkan
hancurnya peradaban.
Konflik merupakan sebuah fenomena yang tidak dapat
dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua
dimensi. Dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian dan
dimensi keduanya adalah dimensi bentuk. Hal yang pertama
memiliki dua ujung yakni terjadinya perpecahan dan tindak
kekerasan yang melahirkan disintegrasi, sementara pada ujung
lainnya terjadi konsolidasi setelah perbedaan-perbedaan dapat
ditemukan solusinya. Oleh karena itu, konflik perlu diantisipasi
sedemikian rupa agar ujung pertama yang dapat memicu
terjadinya tindak kekerasan dan kerugian dapat dihindari.
Beradasrkan uraian di atas, kita dapat menangkap makna
bahwa konflik dan kekerasan adalah berbeda. Perbedaan
tersebut terletak pada bentuk dan cara penyelesaian. Konflik
terjadi tanpa kekerasan dan dapat menghasilkan sesuatu yang
lebih baik. Konflik akan melahirkan harmonisasi setelah tercapainya sebuah kesepakatan di atas perbedaan–perbedaan yang
ada. Beberapa penyebab timbulnya konflik adalah kesenjangan
sosial, kemakmuran tidak merata, akses dan kekuasaan yang
tidak seimbang.
Beberapa sebab terjadinya konflik sebagaimana disebut
di atas bilamana melahirkan tindakan diskriminasi, pengangguran, penindasan dan tindak kejahatan lainnya, maka ia tidak
dapat lagi disebut sebagai konflik melainkan kekerasan. Jadi,
konflik tidak selamanya mengandung kekerasan, tetapi dalam
kekerasan sudah pasti terdapat konflik (Fisher dkk, 2000:4).
66
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
Secara lebih tegas, Fisher dkk mendefenisikan konflik sebagai
hubungan yang tidak cocok antara dua pihak atau lebih, termasuk dalam cara mencapai sasaran/tujuan mereka, sementara
kekerasan didefenisikan sebagai sebuah tindakan, perkataan,
sikap, berbagai struktur atau sistim yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan dan atau menghalangi seseorang atau kelompok orang untuk meraih potensinya secara penuh.
Kekerasan menurut Ibrahim dkk (2000:4) memiliki tiga
dimensi dimana dua dimensi diantaranya tidak tampak dan hanya
satu sisi saja yang merupakan kekerasan tampak. Dua kekerasan
yang tidak tampak tersebut adalah 1. sumber kekerasan yang
berupa nilai, 2. kekerasan struktur yang meliputi sistim, kontek
dan struktur, dua bentuk kekerasan ini merupakan kekerasan
melembaga dan memberi kontribusi luar biasa pada bentuk dan
intensitas kekerasan tampak.
Sejak 1946 telah terjadi 6 kali pertikaian antar anggota
kelompok komunitas di Rokan Hilir (Riau) yaitu 3 kali antara
anggota komunitas melayu dengan anggota komunitas cina
(yang disebut dengan tionghoa) yang terjadi pada beberapa
kawasan di kabupaten Rokan Hilir yaitu di Bagan Siapiapi dan
Bagan Batu, 2 kali antara anggota komunitas melayu dengan
anggota komunitas Batak yang terjadi di kota Bagan Siapiapi
dan Bagan Batu. Sementara, terjadi 1 kali antara anggota komunitas Melayu dengan anggota komunitas Bugis yang berlangsung di Bagan Siapiapi.
Dibanding dengan pertikaian–pertikaian sebelumnya,
pertikaian yang terjadi pada tahun 1998 antara anggota komunitas Melayu dan anggota komunitas Cina tidak sampai menelan
korban jiwa, namun ratusan rumah anggota komunitas Cina
musnah terbakar dengan kerugian harta benda bernilai milyaran
rupiah.
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
67
Dari 6 kali pertikaian tersebut, 3 kali diantaranya terjadi
antara dua komunitas Melayu dengan Cina, 2 kali di Bagan Siapiapi dan sekali di Bagan Batu. Sementara 2 kali pertikaian terjadi
antara komunitas Melayu dengan komunitas Batak, sekali di
Bagan Siapiapi dan sekali di Bagan Batu. Satu pertikaian lagi
terjadi antara komunitas Melayu dengan komunitas Bugis/Sulawesi. Dari 6 kali pertikaian tersebut semuanya melibatkan komunitas Melayu. Pertikaian terbesar dan menelan korban yang
cukup banyak, pertama terjadi pada tahun 1946 antara komunitas Melayu beserta sejumlah komunitas yang lain seperti Jawa
dan lain-lainnya dengan komunitas Cina. Korban jiwa berjumlah
ratusan dari kedua belah pihak.
Pertikaian ini terjadi di Kota Bagan-siapiapi dan dipicu
oleh ulah sekelompok komunitas Cina yang tidak mau mengakui
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Mereka mengibarkan
bendera Kuomintang (Cina Nasionalis), kemudian diturunkan
paksa oleh masyarakat komunitas Melayu dan lain-lainnya.
Peristiwa itu berkembang mejadi pertikaian yang memakan
korban ratusan jiwa dari kedua belah pihak. Peristiwa ini, sedikit
banyak, telah mempengaruhi hubungan yang tidak kondusif
antara komunitas Melayu dengan komunitas Cina sampai sekarang. Kedua, terjadi pada tahun 1998 antara komunitas Melayu
dengan komunitas Cina. Pertikaian ini tidak memakan korban
jiwa, tetapi ratusan rumah komunitas Cina dibakar dengan
kerugian harta benda berjumlah milyaran rupiah. Pertikaian ini
terjadi di Kota Bagan-siapiapi dan dipicu oleh terjadinya
perkelahian antara dua pemuda Melayu dan Cina di area sekitar
pelabuhan. Orang Melayu yang terlibat perkelahian mengalami
luka serius, kemudian dibawa ke rumah sakit di Pekanbaru dan
diisukan meninggal dunia. Isu itu cukup keras, dan mendorong
emosi komunitas Melayu yang kemudian melakukan perusakan
dan pembakaran.
68
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
Kedua pertikaian besar di atas telah menelan kerugian
harta benda dan korrban nyawa yang tidak kecil, yang menimbulkan kepedihan mendalam, ketakutan, trauma dan dendam
yang latent. Bahkan kebencian mendalam kedua belah pihak
yang tidak mudah dihapuskan dapat memicu pertikaian sewaktuwaktu bila terdapat pemicu yang cukup bagi mereka untuk mengulangi konflik.
Faktor politik yang dibahas pada bagian ini berkenaan dengan pemerintahan dan otonomi daerah. Ketidakjelasan
otonomi di daerah, dibanding dengan daerah lain seperti antara
lain Sumatra Barat, Jawa Barat, apalagi Yogyakarta, merupakan
masalah yang berkepanjangan dan ini antara lain disebabkan
oleh tidak hanya kekhawatiran pemerintah pusat akan kehilangan penghasilan sangat berarti dari kebebasan yang diberikannya kepada daerah Riau, termasuk Rokan Hilir, yang
cukup kaya dan potensial dalam segi SDA, tetapi juga oleh
sangat kurangnya, kalau boleh disebut, tidak adanya perhatian
diberikan pemerintah pusat kepada daerah ini. Hal kedua ini
merupakan akibat dari fakta bahwa ada kesan tidak banyak orang
Riau, termasuk Rokan Hilir, yang berada di Jakarta yang bersedia menjadi pelobi–pelobi “ulung” untuk memperjuangkan
kepentingan Riau, termasuk Rokan Hilir, di Pemerintah Pusat.
Ketidakjelasan dan keengganan pemerintah pusat memberikan otonomi daerah yang luas dan riil kepada daerah sampai
dengan keluarnya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 menimbulkan konsekuensi logis bagi daerah ini sebagai berikut:
1. Hubungan pusat dan daerah dilaksanakan sangat sentralistis.
2. Pejabat–pejabat yang akan menduduki jabatan teras dan
strategis dikirim atau didrop dari atau oleh pemerintah pusat.
3. Timbulnya dan meningkatnya kemiskinan struktural.
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
69
Sampai dengan keluarnya dua UU di atas, ada kesan
desentralisasi masih belum sepenuhnya dilaksanakan dan sentralisme untuk hal–hal yang sebenarnya tidak lagi perlu dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dalam era otonomi daerah
(Otda), seperti misalnya antara lain urusan kehutanan, perdagangan lintas batas, urusan pos lintas batas dan urusan Tenaga
Kerja indonesia (TKI), masih tetap dipraktekkan. Hal ini tentu
saja merugikan daerah, khususnya masyarakat pedalaman yang
bermukim tidak jauh dari kawasan perbatasan. Konsekuensi
pertama ini merupakan perwujudan keengganan Pemerintah
Pusat menyerahkan otda, khususnya kepada daerah–daerah yang
tidak memiliki putra–putra terbaik mereka di Departemen atau
Instansi Pusat.
Dalam era reformasi, otonomi daerah sebenaranya merupakan kesempatan emas khsusunya bagi rakyat di daerah yang
kaya akan SDA untuk memperoleh kesejahteraan secara maksimal. Tetapi kesempatan emas seperti itu belum juga terealisasikan, karena kedua UU tersebut mengandung sejumlah
distorsi yang melahirkan perbedaan filosofi dasar mengenai
otonomi daerah itu sendiri. Perbedan filosofi tersebut melahirkan paling tidak dua cara pandang alternatif terhadap otonomi daerah, yaitu : a. Otonomi Daerah sebagai otonomi masyarakat daerah dan bukan hanya sekedar otonomi Pemda, b.
Otonomi Daerah sebagai hak daerah yang sudah ada secara
tradisional pada masyarakat setempat, dan bukan sebagai hal
baru yang merupakan belas kasihan pusat dan kewajiban daerah.
Konsekuensi logis dari cara pandang pertama adalah
bahwa kebijakan otonomi daerah harusnya ditujukan pada pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat setempat di daerah,
dan bukan hanya otonomi daerah Pemda sehingga hanya
dinikmati oleh para elit politik daerah di jajaran Pemda, Kepala
Daerah dengan segala aparaturnya maupun di DPRD. Kon70
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
sekuensi logis dari cara pandang kedua adalah bahwa otonomi
daerah sebagai hak tradisional masyarakat tidak dapat dicabut
oleh Pempus. Kewenangan Pusat hanya terbatas pada penyerahan dan pengaturan wewenang yang sudah ada pada daerah
melalui berbagai kebijakan yang disepakati oleh kedua belah
pihak.
Bagaimana kenyataan otonomi daerah dan pelaksanaannya
di Riau, termasuk di Rokan Hilir? Dari segi pelaksananan otonomi daerah saja, sebenarnya telah terjadi konflik antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal ini Pemda dan masyarakatnya
selama Republik Indonesia berjalan, khususnya dalam 3 dekade
pemerintahan Orba. Salah satu faktor utama yang menimbulkan
pertikaian memprihatinkan di Rokan Hilir adalah ketidaksesuaian atau pertikaian pusat–daerah mengenai hak-hak otonomi
masyarakat daerah dan hak–hak tradisional masyarakat daerah
yang keduanya merupakan hak asasi mereka. Konflik ini menjalar sampai ke bawah. Konsekuensi lebih lanjut dari perbedaan
tersebut adalah jangankan pemberdayaan dan kesejahteraan
masyarakat daerah dilaksanakan dan diprioritaskan, bahkan hakhak tradisional mereka di daerah dikesampingkan oleh pemerintah pusat dan pemda. Eksekutif menjadi lebih dominan dari
pada legislatif pada era Orba, sebaliknya legislatif mendominasi eksekutif pada era reformasi dan pusat masih mendominasi daerah. Dominasi pemerintah pusat terhadap daerah dan
masyarakatnya lebih tampak jelas terhadap daerah–daerah yang
sabar, lembut, menjadi “anak baik”, tidak pernah berkeinginan
berontak, dan tidak memiliki wakil di kabinet seperti Riau, termasuk Rokan Hilir.
Puncak dari ketidak-pedulian dan dominasi pusat terhadap
hak–hak masyarakat daerah dapat dilihat paling tidak dari dua
hal: pertama, pejabat yang duduk pada jabatan teras strategis,
seperti Gubernur, Bupati, Kepala Dinas Propinsi dan Kepala
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
71
Dinas Kabupaten, sebelum UU No. : 22/1999 diundangkan,
dikirim dan ditetapkan dari pusat. Putera Daerah yang menjadi
pejabat penting, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat
kabupaten, khususnya kabupaten Rokan Hilir, sangat sedikit.
Bahkan kabupaten Rokan Hilir yang merupakan kabupaten baru,
pemekaran dari kabupaten Kampar dan kabupaten Bengkalis,
terjadi konflik tajam antara pemerintah pusat dan masyarakat
mengenai tempat kedudukan Ibu Kota Kabupaten. Kondisi
konflik ini dapat memicu konflik-konflik horizontal baru di
masa yang akan datang. Kedua, hancurnya SDA dan lingkungan
sebagai akibat dari kurangnya komitmen dan rasa memiliki dari
para pejabat yang didrop dari pusat itu, kedua hal negatif yang
merupakan wujud dari ketidak pedulian pusat sangat menyakiti
hati masyarakat, khususnya masyarakat setempat dimana
lingkungan ini hancur. Pejabat penting, seperti gubernur, bupati
dan para pejabat teras dan strategis lainnya, sebagian besar
sudah dikuasai oleh kalangan sendiri, putera daerah, namun
mereka belum menampakkan komitmen dan kompetensinya
dalam membela kepentingan masyarakat. Hal ini tetap merupakan
akar konflik laten yang dapat timbul sewaktu-waktu di masa
mendatang.
Sentralisme yang berlebihan dapat pula menimbulkan kemiskinan strukturl bagi daerah dimana sentralisme itu dipraktekkan. Walaupun Riau, termasuk Rokan Hilir, tergolong
daerah yang cukup kaya dibandingkan dengan daerah lain
seperti Sulawesi Tenggara, NTT, tetapi pada tahun 1990-an
daerah ini pernah menduduki peringkat tinggi sebagai penduduk
miskin. Di samping itu Riau, khususnya Rokan Hilir, juga memiliki peringkat pendidikan yang cukup memprihatinkan. Mayoritas penduduknya berpendidikan sekolah dasar. Kondisi
kemiskinan ekonomi dan keterpurukan pendidikan ini merupakan dampak dari tidak adanya otonomi daerah yaitu ketidak72
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
berdayaan pemerintah daerah dan masyarakatnya dalam memanfaatkan dan mengelola SDA maupun mengola keuangan
daerah. Ini terbukti Riau menyetor penghasilan daerah yang
bersumber dari SDA ke pusat cukup signifikan secara nasional,
tetapi setelah dikembalikan lagi ke daerah dan menerima dalam
bentuk APBD, Riau menerima dalam jumlah yang sangat sedikit.
Rendahnya APBD yang diterima dari pusat dibanding
dengan penghasilan dari daerah sendiri, menimbulkan kesulitan
besar bagi masyarakt kecil, khususnya masyarakat yang berdomisili di kawasan pedalaman dan perhuluan jauh dari kotakota besar. Kondisi ini dirasakan langsung oleh anggota komunitas Melayu di kawasan pedalaman, bahkan pinggiran kota,
yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan dan keresahan
kepada pemerintah pusat.
Berbeda dengan anggota komunitas Melayu, anggota
komunitas Cina, yang sebagian besar tinggal di kota, hampir
tidak merasakan hantaman sebagai akibat dari ketiadaan otonomi daerah, maupun dari krisis ekonomi dan politik, karena
mereka adalah pekerja keras, pedagang yang trampil, dan hemat.
Dalam krisis ekonomi dan politik taraf ekonomi mereka tetap
mengalami peningkatan, walaupun secara perlahan-lahan tapi
pasti. Dari segi politik, anggota komunitas Cina pada umumnya
memiliki afiliasi politik yang relatif konsisten, dalam arti selalu
berusaha memilih partai-partai politik yang berkuasa, seperti
Golkar, PDIP atau Demokrat. Pilihan semacam ini dianggap
oleh sejumlah tokoh komunitas Melayu sebagai penghalang dan
ancaman terhadap ambisi mereka maupun keinginan mereka
untuk mendorong tokoh Melayu untuk untuk lebih leluasa dalam
kekuasaan, bahkan pada pilkada langsung pertama di Rokan Hilir,
komunitas Cina termasuk yang menang.
Perubahan daya kepengikutan pada masyarakat Melayu
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
73
dari tokoh adat ke elit politik dan ketergantungan mereka terhadap elit politik mereka, ditambah dengan kepentingan maupun ambisi politik jangka pendek dari para elit politk tersebut
mendorong timbulnya pembenturan dengan anggota komunitas
Cina yang dianggap dalam jangka panjang merupakan penghalang dalam perebutan peluang politik dan ekonomi. Ketakutan dan trauma komunitas Cina akibat konflik pada tahun
1998 dapat berdampak pada lebih solidnya komunitas Melayu
untuk upaya mendominasi lembaga-lembaga politik, baik di
eksekutif maupun di legislatif. Hal ini juga dapat memiliki arti
yang signifikan yang mampu memperlancar strategi politik jangka panjang mereka.
74
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
Bab V
Potensi Integrasi Sosial
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
75
76
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
BAB V
POTENSI INTEGRASI SOSIAL
5.1. Integrasi Sosial Budaya
Masyarakat multikultural yang memiliki potensi konflik,
harus memperhatikan aspek-aspek penting yang merupakan
faktor pemersatu dari keberagaman yang ada. Tindakan-tindakan
yang dilakukan dalam mengupayakan sebuah penyelesaian
konflik, untuk mencapai sebuah kesepakatan kembali diantara
pihak yang berkonflik, juga merupakan kekuatan yang harus
dipelihara agar konflik antar komunitas dapat dihindari.
Konflik yang pernah terjadi di wilayah penelitian baru
dapat diselesaikan melalui koordinasi dengan tokoh-tokoh
masyarakat. Tindakan koordinasi seperti ini menghasilkan
kesepakatan-kesepakatan tertentu sebagaimana yang dilakukan
ketika terjadi konflik antara komunitas Cina dengan Melayu
pada tahun 1998. Koordinasi yang baik antara lembaga adat
dengan aparat keamanan sangat dibutuhkan dalam situasi pertikaian yang sudah mengarah pada kekerasan etnis. Tampak
disini bahwa peran para tokoh lembaga adat tersebut sangat
menentukan di dalam menyelesaikan kasus-kasus pertikaian
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
77
antar etnis, bahkan ketika negara tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengendalikan konflik.
Memahami karakter konflik yang pernah terjadi dan semua
potensi konflik yang dimiliki oleh masyarakat di wilayah penelitian, serta berdasarkan penggalian informasi di lapangan, maka
dapat dikemukakan beberapa kondisi sosial dan budaya yang
merupakan potensi untuk berkembangnya integrasi sosial yang
lebih baik. Potensi integrasi yang dimaksud adalah :
1. Asosiasi inter-komunal dan cross-cutting loyalities
Adanya kebersamaan dalam lapangan kerja serta organisasiorganisasi tertentu akan memunculkan loyalitas bersama dan
berlakunya nilai-nilai lintas-etnis yang ditaati bersama. Semakin banyak lapangan kerja yang beranggotakan orang-orang
dari berbagai komunitas, akan menciptakan loyalitas bersama
diantara mereka. Selain itu, adanya tenaga kerja Cina yang bekerja pada orang Melayu, atau sebaliknya penduduk tempatan
yang bekerja pada orang Cina, dapat mengeliminir loyalitas
tunggal mereka pada nilai-nilai primordialisme.
Mekanisme penciptaan cross-cutting loyalities melalui
berbagai asosiasi inter-komunal akan memberi kontribusi pada
meluasnya standar nilai yang bersifat universal. Pendidikan dan
pekerjaan menjadi sarana yang efektif untuk tujuan ini, dan berfungsi sebagai filter atau alat penyaring untuk setiap hasutan
yang mungkin bisa memperkeruh keadaan. Hal ini juga menjadi
jawaban bahwa stereotype antar komunitas yang ditemukan di
daerah penelitian tidak meluas ke seluruh lapisan masyarakat,
dan kekerasan antar etnis yang pernah terjadi tidak berkepanjangan menjadi konflik yang intens.
2. Revitalisasi melalui pemberdayaan kelompok
Menurut informasi dari para tokoh masyarakat, lembaga
78
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
adat pada komunitas atau kelompok etnis yang bersangkutan,
sangat membantu upaya penyelesaian konflik yang pernah
terjadi. Setiap komunitas di wilayah penelitian memiliki asosiasi atau ikatan keluarga yang menghimpun seluruh warga
komunitas, dan berperan sebagai sarana komunikasi antar warga
maupun antar komunitas. Keterbatasan dana mengakibatkan
sebagian besar asosiasi seperti ini tidak bisa mengadakan pertemuan rutin untuk mengadakan sosialisasi kepada anggota.
Kecuali kelompok mayoritas, yakni Melayu dan Cina,
komunitas lainnya bahkan sudah lama tidak mendata ulang
jumlah anggota atau menjalankan kegiatan-kegiatan kelompok.
Lembaga-lembaga ini baru nyata berperan ketika terjadi pertikaian antar kelompok atau komunitas, dan lebih dahulu
bertindak sebelum aparat keamanan menjalankan tugasnya.
Sesuai dengan fungsinya sebagai sarana revitalisasi, khususnya
pada masyarakat multikultural dan memiliki riwayat terjadinya
kekerasan etnis, seharusnya asosiasi-asosiasi ini bisa lebih
aktif memberdayakan kelompok yang lemah, serta mengadakan
sosialisasi nilai-nilai yang berorientasi pada integrasi sosial.
Apabila lembaga adat memiliki kewenangan yang memadai,
maka pendekatan kekeluargaan untuk menyelesaikan kasus
pertikaian, dan penerapan sanksi internal (in-group policing
equilibria) terhadap anggota yang membuat keributan dapat
dilakukan. Harapan ini diungkapkan oleh hampir semua tokoh
adat di wilayah penelitian.
3. Proses peleburan budaya
Amalgamasi atau perkawinan campur antar kelompok etnis
banyak sekali terjadi. Hal ini akan menciptakan cross-cutting
culture dan cross-cutting value yang sangat potensial memberikan kontribusi pada upaya integrasi sosial. Khusus ber-
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
79
kaitan dengan komunitas Cina, ternyata diperoleh jawaban
bahwa amalgamasi dengan komunitas Cina terjadi secara tidak
langsung. Tidak semua warga Cina di wilayah penelitian hidup
sejahtera dan menguasai akses ekonomi yang besar. Banyak
diantaranya yang hidup dalam kondisi sangat kekurangan, tidak
memiliki mata pencaharian atau bekerja sebagai nelayan miskin.
Mereka yang hidup di dalam keterbatasan ini seringkali
menyerahkan anak-anaknya yang masih bayi kepada temanteman Melayunya, atau siapa saja yang bersedia menerima,
untuk menjadi anak pungut. Sehingga banyak anak-anak warga
Cina yang dibesarkan dalam keluarga Melayu atau komunitas
lain. Tentunya ketika anak ini tumbuh dewasa, mereka menjadi
bagian dari keluarga Melayu dan membentuk keluarga dengan
warga Melayu. Maka disini terjadi amalgamasi yang tidak
langsung tersebut.
Untuk melengkapi potensi integrasi sosial dalam masyarakat di wilayah penelitian ini, maka sesuai dengan identifikasi
masalah konflik dan integrasi yang pernah terjadi, dicoba
dikemukakan beberapa tindakan yang kiranya akan mengarah
pada terciptanya integrasi yang lebih baik. Pertama, menciptakan lapangan pekerjaan adalah langkah penting yang
diharapkan oleh semua tokoh yang diwawancarai. Distribusi
kesempatan bekerja dan berusaha yang adil dan merata untuk
semua kelompok etnis dan komunitas akan memberikan
dampak yang sangat positif bagi terwujudnya integrasi sosial.
Apabila semua lapisan dari semua kelompok tidak merasakan
adanya ketimpangan dan kesenjangan secara sosial dan
ekonomi, maka pertikaian-pertikaian yang terjadi antar pemuda
juga akan sangat berkurang. Seiring dengan penciptaan lapangan
pekerjaan, harapan yang muncul juga adalah pembangunan yang
lebih merata di seluruh wilayah kabupaten, dan tidak hanya
terpusat di wilayah perkotaan. Hal ini juga berdampak pada pe80
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
merataan distribusi penguasaan akses ekonomi untuk seluruh
anggota masyarakat. Kedua, mengadakan komunikasi yang
rutin antar organisasi adat yang ada, baik komunikasi horisontal
diantara mereka, maupun komunikasi dengan pihak pemerintah
didalam jajaran struktural daerah. Tentunya komunikasi seperti
ini akan menciptakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya
integrasi sosial, baik di daerah maupun di tingkat nasional
5.2. Integrasi Sosial Ekonomi
Faktor ekonomi dalam sebuah tatanan sosial memainkan
peran ganda. Faktor ini di satu sisi dapat berperan sebagai pemicu konflik, namun sebaliknya di sisi lain dapat berperan sebagai faktor pemersatu (integrasi sosial). Kasus-kasus yang
berkembang baik di Bagan Siapi-api maupun di Bagan Batu
mencerminkan indikasi bahwa peluang integrasi sosial melalui
faktor ekonomi sangat terbuka. Dalam bagian ini akan diungkap
peluang-peluang integrasi sosial dengan menggunakan analisis
faktor ekonomi sebagai faktor perekat.
Berdasarkan analisis ekonomi paling tidak terdapat tiga
peluang untuk membangun integrasi sosial antar komunitas
yang berbeda di Kabupaten Rokan Hilir. Pertama adalah hubungan ekonomi dalam bentuk hubungan tradisional “buruhmajikan”. Kedua, peningkatan kesejahteraan masyarakat secara
menyeluruh dengan memperluas lapangan kerja. Ketiga percepatan pertumbuhan ekonomi terhadap penduduk local (pribumi) secara khusus (diskriminasi positif) yang dalam teori
negara lebih dikenal dengan penguatan sektor publik. Faktor
pertama bisa terbangun secara kultural dari lapis bawah (dari
masyarakat sendiri) meskipun secara umum akan terkait juga
secara tidak langsung dengan kebijakan pemerintah, sementara
faktor kedua dan ketiga memerlukan intervensi pemerintah
secara langsung.
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
81
1. Faktor hubungan ekonomi
Hubungan ekonomi yang dimaksud disini adalah hubungan
yang terbangun dengan sendirinya berdasarkan kebutuhan
ekonomi antara dua pihak, yaitu kelompok pemilik modal yang
menginvestasikan modalnya sehingga terbuka lapangan kerja
yang membutuhkan tenaga kerja, dan kelompok masyarakat
yang membutuhkan pekerjaan. Kedua kelompok akan dipertemukan dengan kepentingan yang sama yaitu kepentingan
ekonomi meskipun dalam sekala yang berbeda. Yang terpenting
dalam proses ini kedua kelompok bias menyatu. Hubungan
seperti ini telah lama terbangun dengan cukup baik antara
pemilik modal dari komunitas Cina dengan komunitas lainnya
termasuk komunitas Melayu terutama sekali di dua sektor perikanan, yaitu bidang industri penangkapan dan industri perkapalan.
Pola hubungan seperti ini bisa berjalan secara alami, namun
tetap sangat ditentukan oleh iklim investasi. Ketika iklim investasi cukup sehat maka kecenderungan investasi akan meningkat, sehingga peluang kerja semakin terbuka dan pada
gilirannya integrasi sosial bisa terbangun secara perlahanlahan. Pemerintah di dalam pola hubungan seperti ini sebenarnya tetap memainkan peran penting terutama dalam
menumbuhkan iklim investasi yang sehat. Salah satu faktor
penting dalam iklim investasi adalah jaminan kepastian hukum.
Faktor kepastian hukum inilah yang akan memberi indikasi
masalah-masalah lain yang lebih luas seperti kejelasan prosedural dan keamanan. Dalam skala yang lebih luas investasi juga
akan berkaitan dengan pelayanan dan infrastruktur, namun untuk
investasi disektor perkebunan dan perikanan kondisi daerah
Rokan Hilir masih dinilai layak dan mampu menanganinya.
Yang menjadi masalah mendasar adalah kepastian hukum.
82
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
Masalah jaminan kepastian hukum inilah menurut Andang
Wijaya yang banyak dikeluhkan oleh komunitas Cina terutama
untuk investasi dibidang industri perkapalan. Menurut Andang
Wijaya persoalan pajak yang ditetapkan pemerintah tidak ada
masalah bagi komunitas Cina, mereka tetap siap mentaati
peraturan pajak. Yang menjadi masalah utama adalah kepastian
hukum terutama dalam hal perizinan. Para investor dari komunitas Cina di Bagan Siapi-api ini tidak memperoleh kejelasan
pasti siapa yang berwenang memberi izin pemasokan kayu
sebagai bahan baku industri perkapalan dan bagaimana prosedurnya. Karena seringkali proses pemasokan bahan baku ini
menghadapi kendala dari pihak aparat keamanan karena dianggap kayu illegal. Akibatnya bahan baku sulit diperoleh dan
akhirnya industri perkapalan ini ditutup.
Kasus serupa juga terjadi disektor perkebunan terutama
di Bagan Batu. Investasi juga banyak mengalami gangguan
akibat tidak ada kepastian hukum yang berkaitan dengan status
lahan. Hak kepemilikan lahan yang tumpang tindih sering terjadi
sehingga pada akhirnya merugikan kedua pihak baik investor
maupun masyarakat.
Yang perlu diwaspadai dalam upaya mendorong investsi
ini adalah ketika investor lebih didominasi oleh satu komunitas
tertentu saja terutama komunitas Cina. Dari sudut pandang
komunitas, hal ini tetap bisa memicu munculnya kecemburuan
social terutama dikalangan tokoh-tokoh komunitas lain yang
merasa pribumi dan terlebih lagi yang merasa penduduk asli.
Pada kedudukan demikian suatu saat ketika terjadi benturan
kepentingan antara buruh dan majikan isunya akan mudah diangkat menjadi isu konflik komunitas (konflik etnis). Karena
itu peluang dan kemampuan investasi komunitas local harus
didorong sehingga memiliki kedudukan berimbang dengan
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
83
komunitas Cina (masalah ini akan dibahas lebih mendalam pada
bagian berikut).
2. Memperluas lapangan kerja
Investasi adalah cara yang sangat efektif untuk memperluas
lapangan kerja. Investasi dapat bersumber dari dua sektor, yaitu
sektor pemerintah (government sector) dan sektor swasta
(privat sector). Dalam bagian ini bahasan akan lebih dititikberatkan pada sector pemerintah.
Pemerintah daerah memiliki kewenangan mengelola anggaran pembangunan melalui APBD. Memang sangat dirasakan
di berbagai daerah otonom di Indonesia prosentase alokasi
APBD ini sangat tergantung pada niat baik pemerintah daerah
(eksekutif dan legislatif). Prinsipnya alokasi APBD secara
rasional meletakkan prosentase anggaran belanja pembangunan
lebih besar dari pada anggaran belanja rutin. Dengan alokasi
anggaran belanja pembangunan inilah pemerintah sebenarnya
dapat membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi masyarakat.
Ada dua hal yang bisa dilakukan pemerintah dalam investasi
sector pemerintah melalui anggaran APBD ini. Pertama, melibatkan rekanan-rekanan lokal untuk mengelola proyek APBD
dengan ukuran baku mutu dan profesionalisme yang semakin
bisa dipertangggungjawabkan. Ketika sebuah proyek yang kekhususannya tidak bisa ditangani oleh rekanan local baru dibuka
persaingan untuk rekanan dari luar. Kedua, memberikan prioritas bagi masyarakat tempatan untuk direkrut sebagai tenaga
kerja (buruh) dalam setiap proyek yang didanai oleh APBD.
Kedua hal ini sangat penting untuk diperhatikan oleh Pemerintah Rokan Hilir dalam rangka memperkecil jurang pemisah
ekonomi dari berbagai komunitas (etnis) yang ada di Rokan
Hilir umumnya, dan di Bagan Siapi-api dan bagan Batu pada
84
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
khusunya. Dengan begitu factor ekonomi dapat dijadikan solusi
efektif untuk memperkuat integrasi sosial dan memperkecil
peluang konflik antar komunitas.
3. Percepatan pertumbuhan ekonomi komunitas lokal
Upaya ini bisa dilakukan melalui program pembangunan
yang berorientasi pada penguatan sector public dengan alokasi
pembiayaannya diambil dari APBD. Pemerintah dapat melakukan program land reform (pengaturan penggunaan lahan), dan
pembinaan masyarakat ekonomi lemah melalui proyek pendampingan.
Program land reform dijalankan tidak saja untuk memberikan status legal bagi masyarakat pemilik lahan melainkan
juga menertibkan izin-izin pengelolaan lahan yang dimiliki oleh
perusahaan-perusahaan perkebunan dan perusahaan pengelola
hutan. Lahan-lahan milik perusahaan pengelola hutan yang sudah tidak produktif lagi, terutama yang tidak dikonversi menjadi
lahan perkebunan atau lahan HTI izinnya segera ditinjau ulang.
Artinya bila pengelolaan lahan tidak sesuai lagi dengan izin
yang diberikan maka izinnya segera dicabut. Lahan-lahan kosong
yang masih tersisa, baik berupa lahan yang telah ditinggalkan
oleh perusahaan pengelolanya (karena habis izin atau sudah
tidak produktif lagi) maupun hutan yang belum diolah pendataan
dan statusnya harus segera dipertegas, yaitu penanganannya
diambil alih oleh Negara melalui pemerintah Kabupaten. Langkah
selanjutnya ditetapkan daerah yang masih layak untuk hutan
lindung dikeluarkan perdanya dan lahan yang bias dikonversi
untuk perkebunan dicetak menjadi kebun-kebun baru.
Dalam pengelolaan kebun ini dapat dilibatkan tiga pihak
yaitu pemerintah, swasta dan rakyat. Pemerintah berperan
sebagai stake holder pertama dengan tugas mencetak kebun
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
85
baru dan menjualnya kepada rakyat secara cicilan. Rakyat
dilibatkan dalam proses pengolahan lahan dan sekaligus
berstatus sebagai pembeli. Dari keterlibatan rakyat dalam
proyek pembukaan kebun itu mereka mendapat penghasilan
sebagai pekerja. Setelah kebun jadi dijual kembali kepada
mereka yang pembayarannya diambil dari hasil kebun. Pihak
swasta dilibatkan sebagai investor yang menyediakan pabrik
pengolah dan menampung hasil kebun kemudian mengolah dan
memasarkannya.
Pemerintah memperoleh keuntungan dari cicilan penjualan
kebun, pajak dari pabrik pengolahan, dan pajak penjualan hasil
olahan. Pihak swasta memperoleh keuntungan dari proses
pengolahan dan penjualan hasil kebun. Sementara rakyat
memperoleh keuntungan sebagai pekerja dan sekaligus sebagai
pemilik kebun yang dibelinya dari pemerintah secara cicilan.
Pada masa yang telah ditetapkan dimana pemerintah telah
memperoleh kembali seluruh anggaran sesuai dengan yang
dikeluarkan maka kebun itu sera penuh dapat diserahkan kepada
rakyat. Program ini dapat dilakukan secara bertahap.
Program pendampingan dapat dilakukan dengan cara
mengalokasikan pinjaman lunak yang diiringi pelatihan manajemen usaha kepada rakyat. Masyarakat tidak hanya diberi
bantuan pinjaman modal usaha tetapi juga dibimbing dalam
menjalankan usaha. Tujuannya agar pinjaman modal usaha
tersebut dapat berlangsung efektif yang dapat dibuktikan dengan
berjalannya usaha yang dirancang dan dibina itu dengan baik.
Dengan demikian pengembalian dari pinjaman modal usaha itu
tidak akan macet.
Kedua program di atas bukan masalah mudah namun bukan
sesuatu yang mustahil. Dengan kesungguhan niat dari pemerintah dan disertai perencanaan yang matang program tersebut
86
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
cukup meyakinkan untuk berhasil, karena peluang ini cukup
besar bisa dilakukan di Roakan Hilir. Keberhasilan program
ini akan menjadi salah satu factor mempercepat pertumbuhan
ekonomi rakyat sehingga memperkecil jurang perbedaan
kesejahteraan ekonomi antar komunitas yang ada di Roakn
Hilir terutama antara komunitas Cina dan Melayu. Peningkatan
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi akan berdampak pada
hilangnya kecemburuan social yang pada akhirnya akan dapat
meredam peluang-peluang konflik horizontal. Dengan demikian faktor ekonomi juga sangat potensial untuk menjadi factor
integrasi sosial yang mampu meredam secara permanent akar
konflik laten yang selama ini tertanam antar komunitas terutama
antara komunitas Melayu dan Cina.
5.3. Integrasi Sosial Politik, Pemerintahan, dan Otonomi
Daerah
Faktor sosial politik, pemerintahan dan otonomi daerah
memiliki peran yang vital dalam mencegah terjadinya konflik
yang mengarah kepada kekerasan, maupun penyelesaian terhadap kekerasan-kekerasan akibat dari konflik. Faktor social
politik, pemerintahan dan otonomi daerah pada dasarnya adalah
satu kesatuan lembaga politik yang salah satu fungsi dan
peranannya adalah mencegah dan menyelesaikan konflik pada
masyarakat. Dalam satu sisi, politik adalah upaya dan proses
dalam suatu masyarakat untuk merubah konflik menjadi harmoni.
Konflik merupakan kondisi yang tak terhindarkan dalam masyarakat, sehingga fungsi dan peran tersebut merupakan sebuah
keniscayaan.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pertikaian
antara kelompok komunitas, terutama komunitas Melayu dengan komunitas yang lain, Cina, Batak, Sulawesi, yang telah
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
87
terjadi sebanyak 6 kali, antara lain adalah factor social budaya
yang merupakan factor pemicu, sedangkan faktor ekonomi dan
politik merupakan faktor akar masalah. Namun demikian peran
factor social politik, pemerintahan dan otonomi daerah dalam
penyelesaian konflik adalah hal yang vital. Tulisan ini diharapkan dapat mengungkapkan dan menggambarkan peran tersebut
dalam penyelesaian pertikaian yang terjadi di Rokan Hilir.
Sejumlah konflik menonjol yang terjadi di kabupaten Rokan Hilir merupakan konflik yang kemudian berkembang menjadi kekerasan. Konflik yang berwujud perbedaan pendapat
antara pihak-pihak yang terkait merupakan kondisi alamiah dan
bahkan merupakan ciri perkembangan, perubahan dan kemajuan
masyarakat. Namun, apabila konflik-konflik alamiah yang ada
pada masyarakat tidak dapat dikendalikan dan berubah menjadi
kekerasan, maka masyarakat akan mengalami kemunduran
bahkan hancurnya peradaban. Dalam kondisi demikian peran
social politik, pemerintahan dan otonomi daerah adalah vital.
Konflik merupakan sebuah fenomena yang tidak dapat
dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua
dimensi. Dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian dan
dimensi keduanya adalah dimensi bentuk. Hal yang pertama
memiliki dua ujung yakni terjadinya perpecahan dan tindak
kekerasan yang melahirkan disintegrasi, sementara pada ujung
lainnya terjadi konsolidasi setelah perbedaan–perbedaan dapat
ditemukan solusinya. Oleh karena itu, konflik perlu diantisipasi
sedemikian rupa agar ujung pertama yang dapat memicu
terjadinya tindak kekerasan dan kerugian dapat dihindari. Untuk
dapat mencegah dan menghindari konflik yang berupa kekerasan
diperlukan pelembagaan konflik dan sekaligus pencegah
konflik dan penyelesai konflik. Dalam lembaga ini seluruh masalah yang berpotensi menimbulkan konflik maupun kekerasan
dapat dikendalikan ke arah yang menuju harmonisasi.
88
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
Pemerintah berdasarkan kewenangannya, terutama setelah
terbitnya UU otonomi daerah, berkewajiban melakukan antisipasi dengan kebijakan-kebijakan yang dapat mencegah timbulnya penyebab konflik dan kekerasan. Dari hal di atas terdapat
makna bahwa konflik dan kekerasan adalah berbeda. Perbedaan
tersebut terletak pada bentuk dan cara penyelesaian. Konflik
terjadi tanpa kekerasan dan dapat menghasilkan sesuatu yang
lebih baik. Konflik akan melahirkan harmonisasi setelah tercapainya sebuah kesepakatan di atas perbedaan–perbedaan yang
ada. Beberapa penyebab timbulnya konflik adalah kesenjangan
sosial, kemakmuran tidak merata, akses dan kekuasaan yang
tidak seimbang. Pemerintah perlu membuat kebijakan, dengan
melibatkan seluruh stake holders, yang dapat mencegah terjadinya kesenjangan social, menjamin pemerataan, dan penciptaan akses yang berimbang untuk seluruh masyarakat.
Beberapa sebab terjadinya konflik sebagaimana disebut
di atas bilamana melahirkan tindakan diskriminasi, pengangguran, penindasan dan tindak kejahatan lainnya, maka ia tidak
dapat lagi disebut sebagai konflik melainkan kekerasan. Jadi,
konflik tidak selamanya mengandung kekerasan, tetapi dalam
kekerasan sudah pasti terdapat konflik (Fisher dkk, 2000:4).
Secara lebih tegas, Fisher dkk mendefenisikan konflik sebagai
hubungan yang tidak cocok antara dua pihak atau lebih, termasuk dalam cara mencapai sasaran/tujuan mereka, sementara
kekerasan didefenisikan sebagai sebuah tindakan, perkataan,
sikap, berbagai struktur atau sistim yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan dan atau
menghalangi seseorang atau kelompok orang untuk meraih
potensinya secara penuh.
Kekerasan Ibrahim dkk (2000:4) memiliki tiga dimensi
dimana dua dimensi diantaranya tidak tampak dan hanya satu
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
89
sisi saja yang merupakan kekerasan tampak. Dua kekerasan
yang tidak tampak tersebut adalah 1. sumber kekerasan yang
berupa nilai, 2. kekerasan struktur yang meliputi sistim, kontek
dan struktur, dua bentuk kekerasan ini merupakan kekerasan
melembaga dan memberi kontribusi luar biasa pada bentuk dan
intensitas kekerasan tampak.
Dapat dikemukakan bahwa setidaknya ada 3 kelompok
teori yang berusaha menjawab pertanyaan : mengapa tindak
pidana lintas etnik berupa penganiayaan dan pembunuhan yang
dilakukan satu kelompok etnik terhadap kelompok etnik lainnya, menghasilkan kekerasan etnik.
Teori pertama yang diajukan oleh Fearon dan Laitin
(1996), bahwa ada dua mekanisme yang berperan besar untuk
itu. Pertama, adalah spirual equilibria. Ketika satu tindak
pidana lintas etnik terjadi, awalnya hal ini memang mengundnag
kelompok etnik korban melakukan hukuman secara indiskriminatif terhadap seluruh anggota etnik pelaku. Hal ini dimungkinkan karena kelompok etnik, yang anggotanya menjadi
korban tidak mengenal pelaku. Tanpa atau dengan perlawanan
kelompok pelaku, kekerasan etnik memang terjadi. Dan dengan
pengalaman kekerasan etnik tersebut, seiring waktu, ketika
kembali terjadi tindak pidana lintas etnik, kedua kelompok etnik
yang terlibt berusaha menahan diri. Bila penghukuman masal
semacam ini terus dilakukan, maka sebagai akibat akumulasi
reaksi berantai dari para korban yang tidak berslah di masa lalu,
kekerasan etnik berikutnya akan lebih besar, dan bila masih terus terjadi akan menjadi jauh lebih besar lagi, demikian seterusnya berkembang secara spiral.
Mekanisme kedua adalah in-grup policing equilibria.
Menyadari bahwa tindak pidana lintas etnik senantiasa terjadi,
suatu masyarakat yang bersifat multi etnik, kemudian membuat
90
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
kesepakatan bahwa yang berhak melakukan penjatuhan sanksi
terhadap pelaku tindak pidana lintas etnik adalah hanya kelompok
etnik di mana pelaku menjadi anggotanya. Karena kelompok
inilah yang dianggap paling mengetahui identitas pelaku. Dengan cara ini kelompok etnik yang anggotanya menjadi korban
tidak lagi terdorong untuk menerapkan sanksi hukuman secara
tidak pandang bulu. Sebagai akibatnya, kekerasan etnik dapat
dihindarkan.
Teori selanjutnya diajukan oleh Gould (1999). Menurutnya,
dalam suatu masyarakat senantisa terjadi tindak pembunuhan,
namun yang menarik tidak semua pembunuhan merangsang
terjadinya tindakan balasan secara kolektif dari pihak kelompok
korban. Penelusurannya di Corsica menunjukkan bahwa kekerasan kolektif baru akan terjadi bila tindak pembunuhan memenuhi tiga syarat berikut:
Pertama, satu pihak yang berselisih bertindak sebagai kelompok sejak awal. Tindakan ini memberikan pesan yang mengundang agar kelompok yang anggotanya menjadi korban untuk
bertindak serupa.
Kedua, masih berkaitan erat dengan itu bahwa kegagalan
satu kelompok untuk meyakinkan lawannya untuk mengundurkan diri. Adakalanya pembunuhan sejak awal dikesankan memang dilakukan oleh kelompok dengan harapan mereka dapat
menyakinkan kelompok yang anggotanya menjadi korban bahwa
pihak pertama merupakan kelompok yang solid dan lebih kuat.
Karena itu pihak kedua harus memperhitungkan resikonya bila
mereka ingin melakukan pembalasan secara kolektif. Bila kelompok yang disebut terakhir ini dapat diyakinkan maka kekerasan kolektif jelas tidak akan terjadi.
Dan syarat ketiga, tuntutan situai krisis di mana satu pihak
tidak memiliki pilihan lain kecuali melawan secara kolektif.
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
91
Lebih jauh, Gould juga mengatakan bahwa ketiga syarat
yang mengubah tindak pembunuhan individual menjadi kolektif
itu akan berlaku efektif dalam situasi berikut ini : 1) ketidak
mampuan negara dalam menyelesaikan perselisihan; 2) adanya
pakta pertahanan bersama di antara berbagai kelompok; 3)
keberlakuan norma loyalitas kelompok, serta 4) adanya reputasi sebagai kelompok yang memiliki solidaritas tinggi. Mengingat hal itu, tidaklah heran bila Gould tiba pada kesimpulan
bahwa kekerasan kolektif merupakan insiden yang jarang
terjadi. Satu aspek yang paling ditekankannya adalah fakta betapa
sulitnya mekanisme dalam suatu kelompok untuk menggalang
solidaritas. Ketika dihadapkan pada biaya, imbalan dan resiko
yang mungkin terjadi, tidak semua anggota terdorong untuk
terlibat dalam kekerasan koletif.
Teori ketiga diajukan oleh Varshney (2000). Tindak pidana
lintas etnik dapat terjadi setiap saat. Namun menurut pengamatannya di wilayah perkotaan India kekerasan etnik hanya
terjadi di kota-kota tertentu, tetapi tidak terjadi di kota-kota
lainnya. Di wilayah yang banyak memiliki asosiasi intra-komunal (eksklusivisme menurut etnik dan agama), gosip dan
desas desus mendorong terjadinya mobilisasi masa untuk merusak
dan membunuh. Sedangkan di wilayah yang banyak memiliki
asosiasi inter-komunal (bersifat inklusif dan cross-cutting)
kecenderungan semacam itu tidak ada. Berbagai asosiasi mulai
dari klub hobi hingga partai politik bahu menbahu mematikan
berita yang tidak benar, membangun komunikasi dan menjalankan perdamaian.
Terlepas dari perbedaan penjelasan ketiga teori di atas,
ada beberapa kesamaan yang menyolok. Pertama, ketiganya
memberi penekanan bahwa kekerasan etnik adalah hanya satu
fase ekstrim dari kehidupan hubungan antara etnik yang dido-
92
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
minasi oleh perdamaian etnik. Kedua, ketiganya memberikan
penekanan pada peran masyarakat dalam membina perdamaian
etnik, kalau tidak dapat dikatakan mengabaikan peran Negara
sama sekali. Dan ketiga, teori-teori tersebut mengasumsikan
bekerjanya prinsip rasionalisme dalam cara berpikir para
anggota kelompok etnik. Karena itu menarik kiranya untuk
mengidentifikasi keberlakuan teori tersebut dalam kasus
konflik-konflik antar kelompok komunitas di Rokan Hilir.
Sejak 1946 telah terjadi 6 kali pertikaian antar anggota
kelompok komunitas di Rokan Hilir (Riau), yaitu 3 kali antara
anggota komunitas Melayu dengan anggota komunitas Cina
(yang disebut dengan Tionghoa) yang terjadi pada beberapa
kawasan di kabupaten Rokan Hilir yaitu di Bagan Siapiapi dan
Bagan Batu, 2 kali antara anggota komunitas melayu dengan
anggota komunitas Batak yang terjadi di kota Bagan Siapiapi
dan Bagan Batu. Sementara, terjadi 1 kali antara anggota komunitas melayu dengan anggota komunitas bugis yang berlangsung
di Bagan Siapiapi.
Dibanding dengan pertikaian–pertikaian sebelumnya, pertikaian yang terjadi pada tahun 1998 antara anggota komunitas
melayu dan anggota komunitas Cina tidak sampai menelan korban jiwa, namun ratusan rumah anggota komunitas Cina musnah
terbakar dengan kerugian harta benda bernilai milyaran rupiah.
Dari 6 kali pertikaian tersebut, 3 kali diantaranya terjadi
antara dua komunitas Melayu dengan Cina, 2 kali di Bagan
Siapi-api dan sekali di Bagan Batu. Sementara 2 kali pertikaian
terjadi antara komunitas melayu dengan komunitas Batak,
sekali di Bagan Siapiapi dan sekali di Bagan Batu. Satu pertikaian lagi terjadi antara komunitas Melayu dengan komunitas
Bugis/Sulawesi. Dari 6 kali pertikaian tersebut semuanya melibatkan komunitas melayu. Pertikaian terbesar dan menelan
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
93
korban yang cukup banyak, pertama terjadi pada tahun 1946
antara komunitas Melayu beserta sejumlah komunitas yang lain
seperti Jawa dan lain-lainnya dengan komunitas Cina. Korban
jiwa berjumlah ratusan dari kedua belah pihak. Pertikaian ini
terjadi di kota Bagan-siapiapi dan dipicu oleh ulah sekelompok
komunitas Cina yang tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Mereka mengibarkan bendera Kuomintang (Cina Nasionalis), kemudian diturunkan paksa oleh
masyarakat komunitas Melayu dan lain-lainnya.
Peristiwa itu berkembang mejadi pertikaian yang memakan
korban ratusan jiwa dari kedua belah pihak. Peristiwa ini, sedikit
banyak, telah mempengaruhi hubungan yang tidak kondusif antara komunitas Melayu dengan komunitas Cina sampai sekarang. Kedua, terjadi pada tahun 1998 antara komunitas melayu
dengan komunitas cina. Pertikaian ini tidak memakan korban
jiwa, tetapi ratusan rumah komunitas cina dibakar dengan kerugian harta benda berjumlah milyaran rupiah. Pertikaian ini
terjadi di kota Bagan-siapiapi dan dipicu oleh terjadinya perkelahian antara dua pemuda Melayu dan Cina di area sekitar
pelabuhan. Orang Melayu yang terlibat perkelahian mengalami
luka serius, kemudian dibawa ke rumah sakit di Pekanbaru dan
diisukan meninggal dunia. Isu itu cukup keras, dan mendorong
emosi komunitas Melayu yang kemudian melakukan perusakan
dan pembakaran.
Penyelesaian pertikaian yang terjadi senantiasa terkesan
terjadi keterlambatan peran pemerintah. Pemerintah terkesan
tidak melakukan upaya-upaya antisipatif dalam mencegah
terjadinya konflik antar komunitas. Setelah terjadi pertikaian
barulah melangkah untuk menangani, dan selalu terkesan lamban,
akibatnya kekerasan yang seharusnya dapat dicegah, terjadi.
Untuk melakukan antisipasi dalam upaya maksimal mencegah
dan mengendalikan konflik di masa-masa mendatang, peme94
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
rintah perlu meningkatkan perannya dalam mengkondisikan
masyarakat untuk itu. Terbentuknya organisasi-organisasi terbuka, seperti pengembangan hobi, ketrampilan dan sebagainya,
perlu digalakkan. Sementara pembentukan forum-forum komunikasi antar organisasi eksklusif, seperti organisasi keagamaan, etnis dan sebagainya, perlu diupayakan dan efektifkan. Forum-forum tersebut dapat menjadi lembaga-lembaga
yang mengatur dan mengendalikan konflik yang berakar pada
masalah yang kompleks.
Kedua pertikaian besar di atas telah menelan kerugian harta
benda dan korrban nyawa yang tidak kecil, yang menimbulkan
kepedihan mendalam, ketakutan, trauma dan dendam yang laten.
Bahkan kebencian mendalam kedua belah pihak yang tidak
mudah dihapuskan dapat memicu pertikaian sewaktu-waktu bila
terdapat pemicu yang cukup bagi mereka untuk mengulangi
konflik.
Faktor politik yang dibahas pada bagian ini berkenaan
dengan pemerintahan dan otonomi daerah. Ketidakjelasan
otonomi di daerah, dibanding dengan daerah lain seperti antara
lain Sumatra Barat, Jawa Barat, apalagi Yogyakarta, meruoakan
masalah yang berkepanjangan dan ini antara lain disebabkan
oleh tidak hanya kekhawatiran pemerintah pusat akan kehilangan penghasilan sangat berarti dari kebebasan yang diberikannya kepada daerah Riau, termasuk Rokan Hilir, yang cukup kaya
dan potensial dalam segi SDA, tetapi juga oleh sangat kurangnya,
kalau boleh disebut, tidak adanya perhatian diberikan pemerintah pusat kepada daerah ini. Hal kedua ini merupakan akibat
dari fakta bahwa ada kesan tidak banyak orang Riau, termasuk
Rokan Hilir, yang berada di Jakarta yang bersedia menjadi pelobipelobi “ulung” untuk memperjuangkan kepentingan Riau, termasuk Rokan Hilir, di Pemerintah Pusat.
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
95
Ketidakjelasan dan keengganan Pemerintah pusat memberikan otonomi daerah yang luas dan riil kepada daerah sampai
dengan keluarnya UU No. : 22/1999 dan UU No. : 25/1999
menimbulkan konsekuensi logis bagi daerah ini sebagai berikut:
1. Hubungan pusat dan daerah dilaksanakan sangat sentralistis.
2. Pejabat–pejabat yang akan menduduki jabatan teras dan
strategis dikirim atau didrop dari atau oleh pemerintah pusat.
3. Timbulnya dan meningkatnya kemiskinan struktural.
Sampai dengan keluarnya dua UU di atas, ada kesan
desentralisasi masih belum sepenuhnya dilaksanakan dan
sentralisme untuk hal–hal yang sebenarnya tidak lagi perlu
dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dalam era otonomi daerah
(Otda), seperti misalnya antara lain urusan kehutanan,
perdagangan lintas batas, urusan pos lintas batas dan urusan
Tenaga Kerja indonesia (TKI), masih tetap dpraktekkan. Hal
ini tentu saja merugikan daerah, khususnya masyarakat pedalaman yang bermukim tidak jauh dari kawasan perbatasan.
Konsekuensi pertama ini merupakan perwujudan keengganan
Pemerintah Pusat menyerahkan otda, khususnya kepada daerah–
daerah yang tidak memiliki putra–putra terbaik mereka di
Departemen atau Instansi Pusat.
Dalam era reformasi, otonomi daerah sebenarnya merupakan kesempatan emas khsusunya bagi rakyat di daerah yang
kaya akan SDA untuk memperoleh kesejahteraan secara
maksimal. Tetapi kesempatan emas seperti itu belum juga
terealisasikan, karena kedua UU tersebut mengandung sejumlah
distorsi yang melahirkan perbedaan filosofi dasar mengenai
otonomi daerah itu sendiri. Perbedan filosofi tersebut melahirkan paling tidak dua cara pandang alternatif terhadap otonomi daerah, yaitu : a. Otonomi Daerah sebagai otonomi
masyarakat daerah dan bukan hanya sekedar otonomi Pemda
96
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
B. Otonomi Daerah sebagai hak daerah yang sudah ada secara
tradisional pada masyarakat setempat, dan bukan sebagai hal
baru yang merupakan belas kasihan pusat dan kewajiban daerah.
Konsekuensi logis dari cara pandang pertama adalah
bahwa kebijakan otonomi daerah harusnya ditujukan pada
pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat setempat di
daerah, dan bukan hanya otonomi daerah Pemda sehingga hanya
dinikmati oleh para elit politik daerah di jajaran Pemda, Kepala
Daerah dengan segala aparaturnya maupun di DPRD. Kosekuensi logis dari cara pandang kedua adalah bahwa otonomi
daerah sebagai hak tradisional masyarakat tidak dapat dicabut
oleh Pempus. Kewenangan Pusat hanya terbatas pada penyerahan dan pengaturan wewenang yang sudah ada pada daerah
melalui berbagai kebijakan yang disepakati oleh kedua belah
pihak.
Bagaimana kenyataan otonomi daerah dan pelaksanaannya
di Riau, termasuk di Rokan Hilir? Dari segi pelaksananan otonomi daerah saja, sebenarnya telah terjadi konflik antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal ini Pemda dan masyarakatnya
selama Republik Indonesia berjalan, khususnya dalam 3 dekade
pemerintahan Orba. Salah satu faktor utama yang menimbulkan
pertikaian memprihatinkan di Rokan Hilir adalah ketidak
sesuaian atau pertikaian pusat–daerah mengenai hak–hak
otonomi masyarakat daerah dan hak–hak tradisional masyarakat
daerah yang keduanya merupakan hak asasi mereka. Konflik
ini menjalar sampai ke bawah. Konsekuensi lebih lanjut dari
perbedaan tersebut adalah jangankan pemberdayaan dan
kesejahteraan masyarakat daerah dilaksanakan dan diprioritaskan, bahkan hak-hak tradisional mereka di daerah dikesampingkan oleh pemerintah pusat dan pemda. Eksekutif menjadi lebih
dominan dari pada legislatif pada era Orba, sebaliknya legislatif
mendominasi eksekutif pada era reformasi dan pusat masih
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
97
mendominasi daerah. Dominasi pemerintah pusat terhadap
daerah dan masyarakatnya lebih tampak jelas terhadap daerah–
daerah yang sabar, lembut, menjadi “anak baik”, tidak pernah
berkeinginan berontak, dan tidak memiliki wakil di kabinet
seperti Riau, termasuk Rokan Hilir.
Puncak dari ketidak-pedulian dan dominasi pusat terhadap
hak–hak masyarakat daerah dapat dilihat paling tidak dari dua
hal: pertama, pejabat yang duduk pada jabatan teras strategis,
seperti Gubernur, Bupati, Kepala Dinas Propinsi dan Kepala
Dinas Kabupaten, sebelum UU No. : 22/1999 diundangkan,
dikirim dan ditetapkan dari pusat. Putera Daerah yang menjadi
pejabat penting, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat
kabupaten, khususnya kabupaten Rokan Hilir, sangat sedikit.
Bahkan kabupaten Rokan Hilir yang merupakan kabupaten baru,
pemekaran dari kabupaten Kampar dan kabupaten Bengkalis,
terjadi konflik tajam antara pemerintah pusat dan masyarakat
mengenai tempat kedudukan Ibu Kota Kabupaten.
Kondisi konflik ini dapat memicu konflik-konflik horizontal
baru di masa yang akan datang. Kedua, hancurnya SDA dan
lingkungan sebagai akibat dari kurangnya komitmen dan rasa
memiliki dari para pejabat yang didrop dari pusat itu, kedua
hal negatif yang merupakan wujud dari ketidak pedulian pusat
sangat menyakiti hati masyarakat, khususnya masyarakat
setempat dimana lingkungan ini hancur. Pejabat penting, seperti
gubernur, bupati dan para pejabat teras dan strategis lainnya,
sebagian besar sudah dikuasai oleh kalangan sendiri, putera
daerah, namun mereka belum menampakkan komitmen dan
kompetensinya dalam membela kepentingan masyarakat. Hal
ini tetap merupakan akar konflik laten yang dapat timbul sewaktu-waktu di masa mendatang.
Sentralisme yang berlebihan dapat pula menimbulkan
98
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
kemiskinan strukturl bagi daerah dimana sentralisme itu dipraktekkan. Walaupun Riau, termasuk Rokan Hilir, tergolong
daerah yang cukup kaya dibandingkan dengan daerah lain
seperti Sulawesi Tenggara, NTT, tetapi pada tahun 1990-an
daerah ini pernah menduduki peringkat tinggi sebagai penduduk
miskin. Di samping itu Riau, khususnya Rokan Hilir, juga
memiliki peringkat pendidikan yang cukup memprihatinkan.
Mayoritas penduduknya berpendidikan sekolah dasar. Kondisi
kemiskinan ekonomi dan keterpurukan pendidikan ini merupakan
dampak dari tidak adanya otonomi daerah yaitu ketidakberdayaan pemerintah daerah dan masyarakatnya dalam memanfaatkan dan mengelola SDA maupun mengola keuangan daerah.
Ini terbukti Riau menyetor penghasilan daerah yang bersumber
dari SDA ke pusat cukup signifikan secara nasional, tetapi setelah dikembalikan lagi ke daerah dan menerima dalam bentuk
APBD, Riau menerima dalam jumlah yang sangat sedikit.
Rendahnya APBD yang diterima dari pusat dibanding
dengan penghasilan dari daerah sendiri, menimbulkan kesulitan
besar bagi masyarakt kecil, khususnya masyarakat yang berdomisili di kawasan pedalaman dan perhuluan jauh dari kota–
kota besar. Kondisi ini dirasakan langsung oleh anggota komunitas melayu di kawasan pedalaman, bahkan pinggiran kota,
yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan dan keresahan
kepada pemerintah pusat.
Berbeda dengan anggota komunitas Melayu, anggota
komunitas Cina, yang sebagian besar tinggal di kota, hampir
tidak merasakan hantaman sebagai akibat dari ketiadaan
otonomi daerah, maupun dari krisis ekonomi dan politik, karena mereka adalah pekerja keras, pedagang yang trampil, dan
hemat. Dalam krisis ekonomi dan politik taraf ekonomi mereka
tetap mengalami peningkatan, walaupun secara perlahan-lahan
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
99
tapi pasti. Dari segi politik, anggota komunitas cina pada umumnya memiliki afiliasi politik yang relatif konsisten, dalam arti
selalu berusaha memilih partai-partai politik yang berkuasa,
seperti Golkar, PDIP atau Demokrat. Pilihan semacam ini dianggap oleh sejumlah tokoh komunitas Melayu sebagai penghalang dan ancaman terhadap ambisi mereka maupun keinginan
mereka untuk mendorong tokoh melayu untuk untuk lebih
leluasa dalam kekuasaan, bahkan pada pilkada langsung pertama
di Rokan Hilir, komunitas cina termasuk yang menang.
Perubahan daya kepengikutan pada masyarakat melayu dari
tokoh adat ke elit politik dan ketergantungan mereka terhadap
elit politik mereka, ditambah dengan kepentingan maupun
ambisi politik jangka pendek dari para elit politk tersebut mendorong timbulnya pembenturan dengan anggota komunitas cina
yang dianggap dalam jangka panjang merupakan penghalang
dalam perebutan peluang politik dan ekonomi. Ketakutan dan
trauma komunitas cina akibat konflik pada tahun 1998 dapat
berdampak pada lebih solidnya komunitas melayu untuk upaya
mendominasi lembaga-lembaga politik, baik di eksekutif maupun di legislatif. Hal ini juga dapat memiliki arti yang signifikan
yang mampu memperlancar strategi politik jangka panjang
mereka.
100 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
Bab VI
Konflik Horizontal
dan Faktor Pemersatu
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
101
102 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
BAB VI
KONFLIK HORIZONTAL
DAN FAKTOR PEMERSATU
Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat
dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua
dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian dan dimenasi
keduanya adalah bentuk. Hal yang disebut pertama memiliki
dua ujung yakni terjadinya perpecahan dan tindak kekerasan
yang melahirkan disintegrasi, sementara pada ujung lainnya
terjadi konsolidasi setelah perbedaan-perbedaan dapat dikemukakan solusinya. Oleh karena itu, konflik perlu diantisipasi sedemikian rupa agar ujung pertama yang dapat memicu
terjadinya tindak kekerasan dan kerugian dapat dihindari.
Berikut ini dikemukakan jawaban dari diskusi tentang
faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap konflik antar
komunitas. Selain itu bab ini mencoba mengungkap apakah
pluralisme kultural pada dasarnya merupakan faktor pemersatu
dan penyeimbang, atau sebaliknya sebagai faktor pemecahbelah
kesatuan. Pertanyaan selanjutnya yang dikemukakan adalah
sejauh mana pembentukan identitas akan berfungsi sebagai
faktor pemersatu atau sebaliknya.
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
103
Beberapa kajian tentang konflik antar komunitas etnis yang
pernah ada menunjukkan bahwa kegelisahan, pertikaian, konflik,
dan perpecahan, bukan dihasilkan oleh pluralisme kultural, etnis
dan geografis, melainkan lebih merupakan konsekuensi dari
perbedaan-perbedaan dalam kepentingan politik dan ekonomi,
serta persaingan yang tidak adil. Setiap komunitas etnis memiliki tradisi, nilai-nilai serta mekanisme yang spesifik dalam
mengatasi berbagai ketidaksepakatan yang timbul diantara
mereka. Pluralisme kultural sebagai hasil dari keragaman etnis
dan kepercayaan, tidak dengan sendirinya menghasilkan konflik
dan pertentangan, serta disintegrasi, akan tetapi juga menciptakan integrasi dan menguatkan kerjasama dan kesatuan.
Menurut para analis konflik terdapat enam faktor pemicu
dan akar permasalahan yang menghasilkan konflik antar etnis
yaitu : perbedaan kultural, persaingan yang tidak adil, kriminalitas dan premanisme, kebijakan-kebijakan pemerintah pusat
yang tidak memperhatikan kepentingan lokal, struktur sosialekonomi dan persaingan yang tidak adil, ketidakmampuan dan
kelemahan aparat hukum. Dengan demikian maka menjadi
sebuah catatan bahwa perbedaan-perbedaan fisik, identitas
etnis, nilai-nilai budaya dan orientasi yang muncul, tidak akan
serta-merta menciptakan konflik diantara kelompok atau komunitas etnis.
Dalam konsep tentang stratifikasi sosial dijelaskan bahwa
berbagai ketidaksamaan kesempatan (‘inequality’) dalam
masyarakat dapat menimbulkan konflik. Perspektif konflik
menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan kepentingan sangat
potensial untuk menciptakan konflik sosial dan politik, dan
bahwa intensitas konflik bukan disebabkan oleh perbedaanperbedaan kultural, akan tetapi lebih diakibatkan oleh masalahmasalah yang bersifat struktural. Penjabaran fenomena konflik
di Bagan Siapiapi sangat mendukung pemahaman ini. Terbukti
104 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
dari jawaban yang diperoleh dari semua informan bahwa
pertikaian dapat dihindari apabila kesempatan bekerja dan
berusaha terdistribusi secara merata pada semua warga masyarakat.
Seiring dengan penjelasan ini, tindakan anomi sosial akan
muncul apabila sekelompok orang tidak mampu mendapatkan
dan menguasai akses atau sarana pemenuhan kebutuhan.
Fasilitas dan kesempatan untuk mencapai tujuan dalam semua
aspeknya, tidak pernah cukup tersedia untuk seluruh anggota
masyarakat. Kondisi ini salah satunya akan menghasilkan
perilaku ‘rebellion’ atau memberontak, yang maknanya adalah
menggunakan cara-cara yang tidak biasa, termasuk kekerasan,
untuk mencapai tujuannya. Perilaku-perilaku seperti ini tentunya akan menimbulkan konflik ketika berhadapan dengan
kelompok yang lebih menguasai akses ekonomi atau politik.
Komunitas etnis yang merasa tidak mendapat kesempatan yang
sama dengan komunitas yang dominan, akan melakukan
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai
dominan, yang kemudian memunculkan kondisi anomi sosial.
Pada komunitas yang terdiri dari beragam etnis harus
dikembangkan pemahaman yang sama tentang multikulturalisme, yakni sebuah paham yang memandang kelompokkelompok etnis yang ada sebagai sebuah kesatuan budaya yang
utuh dan memiliki kesamaan derajat. Multikulturalisme adalah
sebuah ideologi yang mengakui perbedaan sosio-kultural dan
kesamaan derajat, baik secara individual maupun kultural.
Disini tersirat sebuah sikap menghargai setiap ekspresi individu
anggota kelompok etnis, baik secara sosial, budaya, maupun
politis. Sehingga tidak akan terjadi berbagai tindak pemerasan dan kekerasan sosio-kultural, oleh satu kelompok atau
komunitas etnis terhadap kelompok atau komunitas etnis
yang lain.
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
105
Pemahaman warga masyarakat tentang multikulturalisme,
akan memandang kelompok-kelompok etnis yang berbeda itu
sebagai bagian atau sub-sub sistem yang aktif , yang memiliki
kesamaan hak untuk mengekspresikan diri secara individual,
sosial, kultural, maupun politis. Ekspresi kolektif yang berdasarkan pada multikulturalisme ini, diharapkan tidak akan
tergelincir pada primordialisme yang berlebihan, dan tetap
dapat menjadi bagian yang sangat signifikan dalam upaya
mencapai keberhasilan pembangunan nasional yang berorientasi global.
Dalam sebuah pola interaksi antar etnis, seringkali tanpa
disadari terjadi proses penguatan identitas kelompok. Prosesproses yang sering terjadi antara lain adalah purifikasi dan
revitalisasi. Purifikasi merupakan proses identifikasi kelompok
yang dilakukan oleh suatu kelompok etnis, ras, atau keagamaan
tertentu, dengan cara menjaga kemurnian serta keaslian nilainilai dan karakteristik yang dimilikinya. Proses ini sangat penting untuk menghindari penyimpangan dan perusakan-perusakan nilai kultural oleh nilai-nilai lain dari luar komunitas
etnis, ras, ataupun keagamaan tertentu, dengan mengupayakan
sebuah loyalitas tunggal dari anggota komunitas.
Beberapa tindakan purifikasi yaitu antara lain, meyakini
prinsip endogami dan menentang kawin campur, pemutusan
hubungan dan isolasi kelompok, serta bersikap eksklusif. Tindakan purifikasi seperti ini dapat mengakibatkan perpecahan
diantara kelompok-kelompok masyarakat, dan bahkan dalam
beberapa kasus terjadi pelanggaran hak azazi manusia untuk
hidup dalam kesederajatan, sebagaimana yang dialami oleh etnis
Yahudi pada masa Nazi, ataupun warga kulit hitam di Amerika
Serikat dan belahan dunia lainnya. Loyalitas dan solidaritas
tunggal sedemikian (berlawanan dengan cross-cutting loyalities atau cross-cutting affiliation) akan mudah sekali mem106 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
bangkitkan konflik dengan komunitas etnis lainnya, terutama
ketika aspek-aspek lainnya ikut berperan.
Purifikasi mungkin masih diperlukan, tetapi terutama
hanya berkaitan dengan nilai-nilai moral yang mutlak, seperti
misalnya agama. Nilai-nilai seperti ini, karena bersifat absolut
dengan penganutan dan kepercayaan yang total, maka harus
selalu dijaga kemurniaannya. Tindakan-tindakan purifikasi
seperti ini, akan mampu menjamin nilai-nilai agama tersebut
tidak akan tercemar oleh nilai-nilai luar yang mungkin akan
merusaknya. Hal ini juga yang membuat konflik-konflik antar
kelompok agama menjadi lebih intens. Selain karena fanatisme
dan sentimen keagamaan yang tinggi ketika berhadapan dengan
kelompok agama lain, konflik antar kelompok agama juga dapat
dipicu oleh tindakan purifikasi yang berlebihan. Sedangkan yang
menyangkut kelompok etnis atau ras, purifikasi sebaiknya tidak
dilakukan.
Khusus untuk kelompok etnis Melayu yang hidup di
beberapa wilayah di Indonesia, purifikasi memang pernah
dijalankan pada masa lalu, akan tetapi terbatas pada pemeliharaan tradisi serta purifikasi yang berkaitan dengan agama
islam, yang disebut sebagai ‘ethno-religio identification’,
yakni identifikasi etnis yang berdampingan dengan identifikasi
religius.
Berbeda dengan purifikasi yang membutuhkan banyak
diskusi untuk menjelaskannya, revitalisasi bermakna penguatan
kembali identitas sebuah kelompok dalam berhadapan dengan
kelompok lain, atau munculnya kesadaran etnik atas reaksi logis
terhadap realitas sosial, merupakan suatu proses yang lebih
mudah diterima. Berdampingan dengan revivalisasi, yakni
sebuah kesadaran etnis yang muncul dari penguatan-penguatan
internal kelompok oleh proses sosialisasi, revitalisasi menjadi
sebuah proses yang sangat diperlukan oleh kelompok-keIntegrasi Sosial & Konflik Horizontal
107
lompok etnis, ras, dan religi, untuk mendapatkan pengakuan
yang layak dari kelompok-kelompok lain.
Bentuk-bentuk kongkrit dari revitalisasi ini antara lain,
munculnya lembaga-lembaga adat, sosialisasi hukum-hukum
adat, masuknya konsep putera daerah pada sistem politik
nasional. Proses revitalisasi sedemikian ini memberikan warna
tersendiri pada dinamika sosial dan politik masyarakat multikultural. Selain dampak positif yang diharapkan, tentunya
muncul pula dampak negatifnya, seperti pemanfaatan hukumhukum adat oleh oknum-oknum yang mengutamakan kepentingan kelompok, serta menimbulkan pertikaian etnis horisontal dan vertikal. Fenomena negatif ini diakibatkan timbulnya
revitalisasi bersamaan dengan tampilnya kesadaran etnis
lainnya, atau ketidakseimbangan kekuatan sistem politik yang
berjalan, atau juga karena tidak adanya kemampuan dan kualitas
yang mendasari munculnya kesadaran etnis tersebut.
Revitalisasi, yang dalam hal ini berkaitan dengan reaksi
kelompok etnis terhadap realitas sosial yang dihadapi, merupakan proses yang perlu dijalankan oleh beberapa kelompok
etnis tertentu. Hendaknya yang perlu diperhatikan disini adalah,
semangat yang melatarbelakangi proses revitalisasi. Semangat
yang harus ditumbuhkan bukan hanya semata-mata mengunggulkan identitas kelompok, tetapi lebih pada pengakuan
terhadap kesamaan hak dan kesetaraan derajat antar kelompok
etnis yang ada. Untuk mendapatkan pengakuan, sebagaimana
konsep ‘achieved status’ dalam sosiologi, maka kualitas diri
harus pula memenuhi ekspektasi dari totalitas sistem. Dengan
demikian, maka sebuah komunitas etnis yang merasa perlu melakukan revitalisasi, haruslah memperhatikan variabel-variabel
penting yang akan berpengaruh pada tujuan positif dari proses
ini.
Pembahasan mengenai konflik antar dua kelompok masya108 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
rakat, sangat tergantung pada perspektif yang kita gunakan.
Ketika perspektif radikal mengedepan, konsep-konsep tentang
ketimpangan, ketidaksamaan, dan perbedaan kepentingan akan
menjadi pokok bahasan, sementara apabila perspektif fungsional yang digunakan, maka perbenturan budaya nilai dan
peradaban yang mungkin akan lebih diperhatikan. Analisis
sebuah fenomena konflik dihadapkan pada tuntutan untuk
mengajukan bentuk pemecahan masalah (‘problem solving’).
Dengan demikian pertanyaan yang muncul bukanlah perspektif
mana yang benar untuk menganalisis masalah, tetapi perspektif
manakah yang dapat menghasilkan sebuah bentuk penyelesaian
konflik.
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap intensitas
(kedalaman) dan frekuensi (kekerapan) konflik yang terjadi.
Konflik menjadi lebih intens ketika melibatkan perbedaan nilainilai atau orientasi hidup yang mendasar, atau ketika diperkuat
oleh berbagai bentuk ketidaksamaan, kesenjangan serta
ketimpangan. Sebaliknya, selain adanya kesetaraan hak dan
kesempatan, konflik dapat dihindari oleh munculnya loyalitas
bersama antar komunitas dibidang sosial, budaya, ekonomi
maupun politik, yakni dengan adanya kesamaan organisasi
maupun lapangan kerja. Faktor-faktor positif seperti ini merupakan salah satu karakteristik sosial masyarakat perkotaan,
dimana muncul asosiasi-asosiasi serta komunitas-komunitas
yang bersifat lintas budaya.
Konflik yang berkepanjangan memang hanya dapat
dipahami dari perspektif radikal. Walaupun perspektif ini tidak
pernah secara khusus memperhatikan etnisitas, akan tetapi
sebagian besar konflik sosial yang terjadi, baik didalam agama
maupun etnis, diakibatkan adanya dominasi suatu kelompok
atas kelompok lainnya. Dominasi ini dapat terwujud dalam
kehidupan sosial, ekonomi, politik, ataupun budaya. Dari
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
109
pemahaman adanya dominasi kelompok ini, bentuk penyelesaian yang bisa dipertimbangkan adalah dengan menekan
sekecil mungkin ketimpangan-ketimpangan yang terjadi, dan
menyediakan wadah atau sarana interaksi antar berbagai
komunitas.
110 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
Bab VII
Penutup
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
111
112 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
BAB VII
PENUTUP
7.1. Kesimpulan
1. Secara demografis terdapat beberapa kelompok etnis penduduk kota, yang secara kuantitas didominasi oleh warga
Cina atau Tionghoa dengan persentasenya sebesar lebih
kurang 40 %. Penduduk tempatan atau Etnis Melayu persentasenya sebesar 30 % dan sisanya sebanyak 30 % terdiri
dari etnis Jawa, Batak, Minang, dan Bugis (Sulawesi).
2. Potendi konflik yang ditemukan di wilayah penelitian adalah
berkaitan dengan :
a. Dimensi sosial ekonomi, termasuk disini aspek historis
dan efek spiral yang diciptakan, ketimpangan dan kesenjangan ekonomi antar komunitas.
b. Dimensi budaya, termasuk disini keterlibatan perbedaan
nilai dan orientasi hidup antar komunitas, antara lain eklusivitas yang disertai segregasi spasial dan sosial (pengelompokan secara spasial dan sosial), primordialisme
pada masing-masing komunitas. Potensi konflik ini me-
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
113
rupakan benih-benih kebencian antar komunitas, yang
berpotensi untuk menggalang sebuah solidaritas kelompok yang cukup kuat, dan untuk mengorganisir sebuah
konflik berskala tindak pidana, lintas-etnis menjadi
sebuah tindak kekerasan antar etnis dengan intensitas yang
tinggi.
3. Faktor ekonomi merupakan salah satu pemicu konflik yang
sangat potensial. Hal ini tidak saja untuk kasus konflik yang
terjadi di Kabupaten Rokan Hilir, melainkan juga kasuskasus lain di Indonesia. Untuk kasus Bagan Siapi-Api, faktor
kesenjangan ekonomi memberikan konstribusi yang cukup
signifikan terhadap terjadinya konflik antara komunitas Cina
dan Melayu pada Tahun 1998. Untuk melihat secara lebih
jernih akar konflik tersebut harus dilakukan penelahaan jauh
kebelakang, karena sebenarnya kerusuhan Tahun 1998 itu
tidak lain hanyalah ledakan dari akumulasi akar konflik yang
sudah berlangung sekian lama.
4. Sejak Tahun 1946 terjadi enam kali pertikaian antara anggota
kelompok komunitas di Kabupaten Rokan Hilir, yaitu tiga
kali antara anggota komunitas Melayu dengan anggota komunitas Cina (Tionghoa) yang terjadi pada beberapa kawasan
di Kabupaten Rokan Hilir, yaitu di Kota Bagan Siapi-Api
dan Bagan Batu, dua kali antara komunitas Melayu dengan
komunitas Batak yang terjadi di kota Bagan Siapi-Api dan
Bagan Batu. Sementara terjadi satu kali antara anggota komunitas Melayu dengan anggota komunitas Bugis yang
berlangsung di Bagan Siapi-Api.
5. Salah satu faktor utama yang menimbulkan pertikaian yang
memprihatinkan di Kabupaten Rokan Hilir adalah ketidaksesuaian atau pertikaian pusat-daerah mengenai hak-hak
otonomi masyarakat daerah dan hak-hak tradisional masyarakat daerah yang keduanya merupakan hak asasi mereka,
114 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
konflik ini menjalar sampai ke bawah. Konsekuensi lebih
lanjut dari perbedaan tersebut adalah jangankan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat daerah dilaksanakan
dan diprioritaskan, bahkan hak-hak tradisional mereka di
daerah dikesampingkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
7.2. Rekomendasi
1. Perluasan lapangan pekerjaan adalah langkah penting yang
diharapkan oleh semua tokoh yang diwawancarai. Distribusi
kesempatan kerja dan berusaha yang adil dan merata untuk
semua kelompok etnis dan komunitas akan memberikan
dampak yang sangat positif bagi terwujudnya integrasi sosial.
Apabila semua lapisan dari semua kelompok tidak merasakan aadanya ketimpangan dan kesenjangan secara ssosial
dan ekonomi, maka pertikaian-pertikaian yang terjadi antar
pemuda juga akan sangat berkurang. Seiring dengan penciptaan lapangan pekerjaan, harapan yang muncul juga adalah
pembangunan yang lebih merata di seluruh wilayah kabupaten, dan tidak hanya terpusat di wilayah perkotaan. Hal
ini juga berdampak pada pemerataan distribusi penguasaan
akses ekonomi untuk seluruh anggota masyarakat.
2. Mengadakan komunikasi yang rutin antar organisasi adat
yang ada, baik komunikasi horizontal diantara mereka,
maupun komunikasi dengan pihak pemerintah di dalam
jajaran struktural daerah. Tentunya komunikasi seperti ini
akan menciptakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya
integrasi sosial, baik di daerah maupun di tingkat pusat.
3. Berdasarkan analisis ekonomi paling tidak terdapat tiga peluang untuk membangun integrasi sosial antar komunitas
yang berada di Kabupaten Rokan Hilir. Pertama adalah
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
115
hubungan ekonomi dalam bentuk hubungan tradisional
“buruh-majikan”. Kedua peningkatan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh dengan memperluas lapangan
kerja. Ketiga percepatan pertumbuhan ekonomi terhadap
penduduk lokal (pribumi) secara khusus (diskriminasi positif) yang dalam teori negara lebih dikenal dengan penguatan sektor publik. Faktor pertama bisa terbangun secara
kultural dari lapis bawah (dari masyarakat sendiri) meskipun
secara umum akan terkait juga secara tidak langsung dengan
kebijakan pemerintah, sementara faktor kedua dan ketiga
memerlukan intervensi pemerintah secara langsung.
116 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Dewi Fortuna, "Konflik Kekerasan Internal" dalam
Jurnal Hak Asasi Manusia Dignitas, Vol.III/No. 1
Tahun 2005
Bogdan, Robert C & Biklen, Sari Knopp. 1982. Qualitative
Research for Education: an Introduction to Theory and
Method. Boston: Allyn & Bacan, Inc
Bourdieu P. 1977. Outline of a Theory of Practice. Cambridge:
Cambirdge University Press
Blumer, Herbert. 1969. Symbolic Interactionism: Perspective
and Method. Englewood Cliffs. N.J: Prentoice Hall
Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative &
Quantitative Approachs. London: Sage Publications
Dahrendorf, Ralf, 1986. Konflik dan Konflik Kelas dalam
Masyarakat Industri. Jakarta: Rajawali Pers
Fearon, James D & Latin, David. 2000. Violence and The
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
117
Social Construction of Etnich Identity, In International
Organization 54 Autum, IO Foundation and The
Massachhusetts Institute of Technology.
Foucault, M., 1980. Power/Knowledge. New York: Tantheon
Galtung, Johan, Dietrich Fischer, 1990. Pioneer of Peace
Research, Berlin: Heidelberg
Gould, Roger V. 1999. Collective Violence and Group
Solidarity: Evidence From A Feuding Society. In
American Sociological Review Vol. 64, June 1999.
Hamilton, Peter (edt.). 1990. Talcott Parsons dan Pemikirannya.
Yogyakarta: Tiara Wacana
Ismail, Nawari. 2011. Konflik Umat Beragama dan Budaya
Lokal. Bandung: Lubuk Agung
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik. Jakarta:
Gramedia
Kamanto Sunarto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta:
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Liliweri, Alo, 2009. Dasar-Dasar Komunikasi Antar
Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Loekman Sutrisno. 2003. Konflik Sosial, Yogyakarta: Tojion
Press
Mead, George Herbert. 1934. Mind, Self and Society.
Chicago: University of Chicago Press
Narwoko, Dwi dan Bagong Suyanto. 2010. Sosiologi Teks
Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group
118 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
Piotr Setompka. 2004. Sosiologi dan Perubahan Sosial,
Jakarta: Predana
Poloma, Margaret M., 2003. Sosiologi Kontemporer, Jakarta:
Rajawali Pers
Pruitt, Dean G.., Jeffrey Z. Rubin. 2004. Social Conflict:
Escalation, Stalemate, and Settlement, New York:
McGraw-Hill
Ritzer, George, 2000. Sociological Theory, New York:
McGraw-Hill
__________, 2004. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Ritzer, George & Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi
Modern, Jakarta: Prenada Media
Simon Fisher, 2000. Working with Conflict: Skill and
Strategis for Action, St Martin Press
Setyadi, Elly M., Kolip, Usman. 2011. Sosiologi Pemahaman
Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Praktik,
dan Pemecahannya. Jakarta: Prenada Media Group
Susan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik
Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Syarif Ibrahim Alqadri, 2003. Pola Pertikaian di Kalimantan
Barat: Faktor-faktor yang Mempengaruhinya dan
Peranan Media Massa.
___________ ____ , 2003, Otonomi dan Multikulturalisme,
Makalah Seminar Nasional “Pendidikan Multikulturalisme
dan Revitalisasi Hukum Adat” Diselenggarakan oleh
Asisten Deputi Urusan Pemikiran Kolektif Bangsa,
Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
119
Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI, Jakarta 18 –
20 Desember 2003
Varshney, Ashutosh. 2009. Konflik Etnis dan Peran
Masyarakat Sipil. Jakarta: Balitbang Agama
__________ 2002. The Local Roots of India Riots. Far
Eastern Economic Review (March 21- th) Working with
Conflict: Skills and Strategies for Action
Weber, Max. 1961. Sosial Anction and The Types. dalam
Talcott Parsons et.al. Theories of Society. New York: The
Free Press
Wirawan, Ida Bagus, 2012. Teori-Teori Sosial, Jakarta: Prenada
Media
Yoshihara, Kunio. 1988. The Rise of Ersatz Capitalism in
South-East Asia. Singapore: Oxford University Press.
120 Integrasi Sosial & Konflik Horizontal
Download