pentingnya melatih keterampilan berpikir kritis dalam pembelajaran

advertisement
PENTINGNYA MELATIH KETERAMPILAN BERPIKIR
KRITIS DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SD
Lambertus*)
Abstract: There are many people who think that critical thinking is something difficult to do and
is intended to those who study at college or those who study philosophy and for those who possess
high IQ (genius). This view makes people do not give much attention toward critical thinking. In
formal education especially at elementary level, critical thinking is not given much attention,
whereas through this formal education, critical thinking skills can be developed. Mathematics is
one of the subjects which is potential in developing critical thinking skills. This is due to the fact
of the characteristic of mathematics itself; besides, mathematics can be understood through critical
thinking, and critical thinking can be trained through learning mathematics. This article is aimed to
reveal the importance of training critical thinking skill in mathematics learning at early ages
(elementary school). In addition, this article also discusses how to learn it.
Keywords: critical thinking skills, mathematical learning
Pelajaran matematika dipandang sebagai bagian
ilmu-ilmu dasar yang berkembang pesat baik isi
maupun aplikasinya. Sehingga pengajaran matematika di sekolah merupakan prioritas dalam
pembangunan pendidikan. Dalam Kurikilum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 dinyatakan bahwa mata pelajaran matematika perlu
diberikan kepada semua peserta didik mulai dari
sekolah dasar untuk membekali peserta didik
dengan kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan
bekerja sama. Kompetensi tersebut diperlukan
agar peserta didik dapat memiliki kemampuan
memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan
informasi untuk bertahan hidup pada keadaan
yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif
(Panduan Lengkap KTSP 2006).
John Dewey menganjurkan agar sekolah
mengajarkan cara berpikir yang benar pada
siswanya. Menurut Ruggiero (Johnson, 2007),
berpikir merupakan segala aktivitas mental yang
membantu merumuskan atau memecahkan masalah, membuat keputusan, memenuhi keinginan
untuk memahami, sebuah pencarian jawaban,
dan sebuah pencapaian makna. Pada jenjang pendidikan dasar, siswa (anak-anak) harus melakukan langkah-langkah kecil dahulu sebelum akhirnya terampil berpikir dalam tingkatan yang lebih
tinggi. Salah satu hal yang paling menakjubkan
dari anak-anak adalah keterbukaan mereka pada
informasi baru dan kemauan mereka untuk berubah. Apabila anak-anak diberi kesempatan
untuk menggunakan pemikiran dalam tingkatan
yang lebih tinggi di setiap tingkat kelas, maka
mereka akan terbiasa membedakan antara kebenaran dan ketidakbenaran, penampilan dan
kenyataan, fakta dan opini, pengetahuan dan keyakinan. Secara alami, mereka akan membangun
argumen dengan menggunakan bukti yang dapat
dipercaya dan logika yang masuk akal. Dengan
demikian, berarti kemampuan berpikir anak
mulai berkembang karena anak mulai terbiasa
membangun hubungan imajinatif antara hal-hal
yang berbeda, melihat kemungkinan-kemungkinan tak terduga, dan berpikir dengan cara baru
mengenai masalah-masalah yang sudah lazim.
Menggunakan keahlian berpikir dalam
tingkatan yang lebih tinggi (berpikir tingkat
tinggi) dalam konteks yang benar mengajarkan
kepada siswa ’kebiasaan berpikir mendalam,
kebiasaan menjalani hidup dengan pendekatan
yang cerdas, seimbang, dan dapat dipertanggung
jawabkan (Ziser dalam Johnson, 2007). Dalam
pem-belajaran matematika, soal non rutin atau
tugas-tugas yang berhubungan dengan dunia
nyata dan terkait dengan hal-hal yang dialami
siswa, sedikit demi sedikit akan membangkitkan
kebiasaannya berpikir dengan baik dan melatih
imajinasi.
Keterampilan berpikir kritis perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika, sesuai
dengan tujuan pendidikan matematika sekolah
yang memberi penekanan pada penataan nalar
anak serta pembentukan pribadi anak (Soedjadi,
*) Lambertus adalah dosen Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unhalu, Kendari
136
137 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 2, MARET 2009
1995). Materi matematika dan keterampilan berpikir kritis merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan, karena materi matematika dipahami
melalui berpikir kritis, dan berpikir kritis dilatih
melalui belajar matematika. Namun kenyataannya, pelaksanaan pembelajaran matematika di
sekolah cenderung kurang memperhatikan keterampilan berpikir kritis. Sebagian kalangan
menganggap berpikir ktitis hanya diperuntukkan
kelompok tertentu saja, yaitu mereka yang belajar filsafat dan yang memiliki IQ tinggi
(genius). Permasalahan yang muncul adalah:
Apakah keterampilan berpikir kritis dalam
pembelajaran matematika dapat dilatih/diajarkan
di SD? Bagaimana pembelajarannya?
Berfikir Kritis
Kata kritis berasal dari bahasa Yunani
yaitu kritikos dan kriterion (Paul, Elder, &
Bartell, 1995; dalam Suriadi, 2006). Kata kritikos
berarti ‘pertimbangan’ sedangkan kriterion
mengandung makna ‘ukuran baku’ atau
‘standar’. Sehingga secara etimologi, kata ’kritis’
mengandung makna ‘pertimbangan yang didasarkan pada suatu ukuran baku atau standar’.
Dengan demikian secara etimologi berpikir kritis
mengandung makna suatu kegiatan mental yang
dilakukan seseorang untuk dapat memberi pertimbangan dengan menggunakan ukuran atau
standar tertentu.
Terdapat beberapa definisi tentang berpikir
kritis yang dikemukakan para ahli, di antaranya
Chaffee (Suriadi, 2006) mendefinisikan berpikir
kritis adalah berpikir untuk menyelidiki secara
sistematis proses berpikir itu sendiri. Maksudnya, tidak hanya memikirkan dengan sengaja,
tetapi juga meneliti bagaimana kita dan orang
lain menggunakan bukti dan logika. Lebih lanjut,
Chaffee mengatakan bahwa hanya berpikir kritis,
berpikir secara terorganisasi mengenai proses
berpikir diri sendiri dan proses berpikir orang
lain yang akan membekali anak untuk sebaik
mungkin menghadapi informasi yang mereka
dengar dan baca, kejadian yang mereka alami,
dan keputusan yang mereka buat setiap hari. Hal
ini berarti dengan berpikir kritis memungkinkan
anak menganalisis pemikiran sendiri untuk memastikan bahwa ia telah menemukan pilihan dan
menarik kesimpulan cerdas.
Norris (Fowler, 1996) mendefinisikan berpikir kritis sebagai pengambilan keputusan
secara rasional apa yang diyakini dan dikerjakan.
Sedang menurut Ennis (2000), berpikir kritis
adalah berpikir rasional dan reflektif yang difokuskan pada apa yang diyakini dan dikerjakan.
Rasional berarti memiliki keyakinan dan
pandangan yang didukung oleh bukti standar,
aktual, cukup, dan relevan. Sedang reflektif berarti mempertimbangkan secara aktif, tekun dan
hati-hati segala alternatif sebelum mengambil
keputusan. Proses pengambilan keputusan tersebut, menurut Moore dan Parker (Fowler, 1996)
hendaknya dilakukan secara hati-hati dan tidak
tergesa-gesa. Ini berarti berpikir kritis menuntut
penggunaan berbagai strategi untuk dapat menghasilkan suatu keputusan sebagai dasar pengambilan tindakan atau keyakinan.
Definisi berpikir kritis di atas paling sedikit memuat tiga hal. Pertama, berpikir kritis
merupakan proses pemecahan masalah dalam
suatu konteks interaksi dengan diri sendiri, dunia
orang lain dan atau lingkungannya. Kedua, berpikir kritis merupakan proses penalaran reflektif
berdasarkan informasi dan kesimpulan yang
telah diterima sebelumnya yang hasilnya terwujud dalam penarikan kesimpulan. Ketiga, berpikir kritis berakhir pada keputusan apa yang
diyakini dan dikerjakan.
Ennis dan Morris (Nitko, 1996) menyatakan bahwa dalam berpikir kritis terdapat dua
komponen, yaitu kemampuan penguasaan pengetahuan dan disposisi. Komponen kemampuan
penguasaan pengetahuan dalam berpikir kritis
sering disebut sebagai keterampilan berpikir
kritis. Sedangkan komponen disposisi disebut sebagai disposisi berpikir kritis. Istilah keterampilan berpikir kritis mengacu pada kemampuan
khusus yang diperoleh melalui pengalaman atau
latihan untuk melakukan tugas tertentu secara
baik, dan mengacu pada sesuatu yang ada dalam
individu. Keterampilan berpikir kritis inipun menekankan pada kinerja aktual dalam melaksanakan tugas serta kualitas kinerjanya. Dengan
demikian, istilah keterampilan dipahami sebagai
kemampuan yang ada dalam diri (innerability)
dan sebagai sesuatu operasi yang dapat diidentifikasi.
Ennis dan Norris (Nitko, 1996) membagi
kompenen kemampuan penguasaan pengetahuan
menjadi lima keterampilan, yang selanjutnya disebut keterampilan berpikir kritis, yaitu:
(1) Klarifikasi elementer (elementary clarification), meliputi: memfokuskan pertanyaan,
menganalisis argumen, bertanya dan men-
138 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 2, MARET 2009
jawab pertanyaan yang membutuhkan penjelasan atau tantangan.
(2) Dukungan dasar (basic support), meliputi:
mempertimbangkan kredibilitas sumber dan
melakukan pertimbangan observasi.
(3) Penarikan kesimpulan (inference), meliputi:
melakukan dan mempertimbangkan deduksi,
melakukan dan mempertimbangkan induksi,
melakukan dan mempertimbangkan nilai keputusan.
(4) Klarifikasi lanjut (advanced clarification),
meliputi: mengidentifikasi istilah dan mempertimbangkan definisi, dan mengidentifikasi
asumsi.
(5) Strategi dan taktik (strategies and tactics),
meliputi: menentukan suatu tindakan, berinteraksi dengan orang lain.
Garnison, Anderson, dan Archer (2001)
membagi empat keterampilan berpikir kritis,
yaitu: (1) Trigger event (cepat tanggap terhadap
peristiwa), yaitu mengidentifi-kasi atau mengenali suatu isu, masalah, dilema dari pengalaman
seseorang, yang diucapkan instruktur, atau siswa
lain, (2) Exploration (eksplorasi), memikirkan
ide personal dan sosial dalam rangka membuat
persiapan keputusan, (3) Integration (integrasi),
yaitu mengkonstruksi maksud/arti dari gagasan,
dan mengintegrasikan informasi relevan yang
telah ditetapkan pada tahap sebelumnya, dan (4)
Resolution (mengusulkan), yaitu mengusulkan
solusi secara hipotetis, atau menerapkan solusi
secara langsung kepada isu, dilema, atau masalah
serta menguji gagasan dan hipotesis.
Facione (Suriadi, 2006) menjelaskan
bahwa masih ada beberapa rumusan keterampilan dalam berpikir kritis yang dikemukakan oleh
para ahli, walaupun menggunakan istilah berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang dan
fokus perhatian yang dianutnya, namun banyak
memiliki kesamaan makna. Oleh karena itu para
ahli memiliki konsensus mengenai keterampilan
berpikir kritis. Dalam konsensusnya disebutkan
bahwa ada enam keterampilan dalam berpikir
kritis yang dianggap sebagai pusat atau inti
berpikir kritis, yakni interpretasi, analisis, evaluasi, penarikan kesimpulan, eksplanasi dan
pengaturan diri.
Disposisi sering dianggap sebagai sikap
(Giancarlo, Facione, 1995) atau motivasi
(Thisman & Andrade, 1999). Disposisi adalah
kecendrungan atau kebiasaan untuk berpikir
dalam cara dan kondisi tertentu. Seseorang yang
memiliki disposisi berpikir kritis akan cenderung
berpikir kritis ketika ada situasi atau kondisi
yang menghadirkan stimulus untuk berpikir
kritis. Disposisi berpikir kritis merupakan sifat
yang melekat pada diri seseorang yang berpikir
kritis. Contoh: menunjukkan sikap positif jika
diperhadapkan dengan persoalan yang berhubungan dengan matematika.
Perkins, Jay, dan Tishman (Suriadi, 2006)
mengajukan konsep disposisi berpikir kritis yang
disebut konsep berpikir kritis tigaan (triadic
disposition). Ketiga unsur disposisi tigaan berpikir kritis tersebut adalah kepekaan (sensitivitas), kecenderungan (inklinasi), dan kemampuan. Kepekaan adalah ketajaman perhatian seseorang pada kesempatan untuk berpikir kritis.
Kecenderungan adalah dorongan yang dirasakan
oleh seseorang untuk melakukan suatu tingkah
laku tertentu untuk menggunakan berpikir kritis.
Sedangkan kemampuan adalah keterampilanketerampilan yang diperlukan untuk melakukan
berpikir kritis.
Orang yang memiliki disposisi berpikir
kritis adalah orang yang sensitif terhadap momen
berpikir kritis, merasa terdorong untuk berpikir
kritis, dan memiliki kemampuan dasar untuk
berpikir kritis. Walaupun dimasukkan unsur kemampuan dalam konsep disposisinya, Perkins
(Suriadi, 2006) menyebutkan bahwa pada kenyataannya yang digunakan dalam disposisi berpikir kritis hanya unsur kecenderungan dan
kepekaan saja. Sedang unsur kemampuan hanya
menjadi petunjuk bahwa orang yang memiliki
disposisi berpikir kritis harus pula memiliki
kemampuan (keterampilan kognitif). Oleh sebab
itu, pemikir kritis yang baik selalu berusaha
untuk melengkapi diri dengan disposisi berpikir
kritis, tidak hanya keterampilan kognitif saja.
Berpikir kritis dalam setiap disiplin ilmu berbeda-beda. Poedjadi (1999) menyatakan bahwa
agar dapat melaksanakan berpikir kritis dalam
disiplin ilmu tertentu, harus terlebih dahulu menguasai terminologi, konsep-konsep, dan metodologi ilmu tersebut.
Berpikir Kritis dalam Matematika
Matematika sebagai suatu disiplin ilmu
memiliki karakteristik yang berbeda dengan
disiplin ilmu lainnya. Matematika mempelajari
tentang pola, struktur, keteraturan yang terorganisasi, yang dimulai dari unsur-unsur yang
tidak terdefinisikan kemudian ke unsur-unsur
139 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 2, MARET 2009
yang terdefinisikan, terus ke aksioma atau
postulat sampai ke dalil-dalil atau teorema.
Komponen-komponen matematika ini membentuk suatu sistem yang saling berhubungan dan
terorganisir dengan baik. Menurut Suriasumantri
(1998), dalam matematika kebenaran dibuktikan
dengan jalan memeriksa konsistensi suatu
konsep dengan konsep-konsep sebelumnya yang
telah dianggap benar. Kebenaran matematika
tidak tergantung pada pembuktian secara empiris
melainkan pada pembuktian secara deduktif.
Berpikir deduktif dipergunakan untuk menentukan agar kerangka pemikiran itu koheren
dan logis. Matematika yang logis itu dapat
menentukan pengetahuan baru dari pengetahuan
sebelumnya yang sudah diketahui. Dalam
penalaran deduktif, kesimpulan yang ditarik merupakan akibat logis dari alasan-alasan yang
bersifat umum menjadi bersifat husus. Penerapan
cara berpikir deduktif ini akan menghasilkan
teorema-teorema. Teorema-teorema inilah yang
selanjutnya dipergunakan untuk menyelesaikan
masalah-masalah baik dalam matematika itu
sendiri maupun ilmu-ilmu yang lain.
Mengingat karakteristik matematika yang
tidak sama dengan disiplin ilmu-ilmu lain, maka
berpikir kritis dalam matematika tentunya harus
sesuai dengan konsep dan metodologi matematika. Glazer (Ibrahim, 2007) menyatakan berpikir
kritis dalam matematika adalah keterampilan
kognitif dan disposisi untuk menggabungkan
pengetahuan, penalaran, serta strategi kognitif
dalam membuat generalisasi, membuktikan, dan
mengevaluasi situasi matematik yang tidak dikenali dengan cara replektif. Selanjutnya Glazer
menyebutkan syarat-syarat untuk berpikir kritis
dalam matematika.
(1) Adanya situasi yang tidak dikenal atau akrab
sehingga seorang individu tidak dapat secara
langsung mengenali konsep matematika atau
mengetahui bagaimana menentukan solusi
suatu masalah.
(2) Menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya, penalaran matematika dan strategi
kognitif.
(3) Menghasilkan generalisasi, pembuktian dan
evaluasi.
(4) Berpikir reflektif yang melibatkan pengkomunikasian suatu solusi, rasionalisasi
argumen, penentuan cara lain untuk menjelaskan suatu konsep atau memecahkan
suatu masalah, dan pengembangan studi lebih
lanjut.
Berpikir kritis dalam belajar matematika
merupakan suatu proses kognitif atau tindakan
mental dalam usaha memperoleh pengetahuan
matematika berdasarkan penalaran matematik.
Penalaran matematik (Sumarmo, 2005) meliputi
menarik kesimpulan logis; memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat,
dan hubungan; memperkirakan jawaban dan
proses solusi; menggunakan pola dan hubungan
untuk menganalisis situasi matematik; menarik
analogi dan generalisasi; menyusun dan menguji
konjektur; memberikan lawan contoh (counter
example); mengikuti aturan inferensi; memeriksa
validitas argumen; menyusun argumen yang
valid; menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung dan menggunakan induksi
matematik. Kemampuan seperti ini dapat mengembangkan kemampuan intelektual siswa,
yang selanjutnya dapat digunakan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi masa
kini, dan juga memungkinkan untuk mengatasi
ketidak pastian di masa depan.
Dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis, dibutuhkan strategi-trategi tertentu.
Fisher (Launch Pad, 2001) mengurai-kan tiga
jenis strategi berpikir kritis yang saling
bergantung (1) Strategi afektif adalah
kemampuan untuk berpikir bebas dari yang lain.
Ini termasuk mengambil pandangan orang lain;
(2) Kemampuan makro adalah kemampuan
untuk memanfaatkan, dan mempunyai pemahaman mekanis atau ketrampilan lain yang sedang
digunakan untuk sebarang tugas, dan (3)
Keterampilan mikro adalah menekankan belajar
bagaimana cara untuk bertanya, kapan untuk
bertanya, apa yang akan ditanyakan ; dan belajar
bagaimana cara memberi alasan, kapan untuk
memberikan alasan, apa metoda yang digunakan.
Selanjutnya Fisher menekankan pada indikator keterampilan berpikir kritis yang penting
meliputi: (1) mengatakan kebenaran pertanyaan/
pernyataan; (2) menganalisis pertanyaan/pernyataan; (3) berpikir logis; (4) mengurutkan,
misalnya secara temporal, secara logis, secara
sebab-akibat; (5) mengklasifikasi, misalnya
gagasan-gagasan, objek-objek; (6) memutuskan,
misalnya apakah cukup bukti; (7) memprediksi
(termasuk membenarkan prediksi); (8) berteori;
dan (9) memahami orang lain dan dirinya.
140 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 2, MARET 2009
Pentingnya Melatih Keterampilan Berpikir
Kritis di SD
Matematika adalah salah satu ilmu yang
diajarkan di setiap jenjang pendidikan, bahkan di
SD diajarkan sejak di kelas satu, merupakan ilmu
dasar yang banyak digunakan dalam kehidupan
sehari-hari, didalam ilmu-ilmu lain (terutama
sains dan teknologi), dan sebagai prasyarat untuk
studi lanjut. Dalam GBPP dinyatakan bahwa
salah satu tujuan pembelajaran matematika pada
jenjang pendidikan dasar adalah pengembangan
pola pikir praktis, logis, kritis, dan jujur dengan
berorientasi pada penerapan matematika dalam
menyelesaikan masalah (Puskur, 2002). Hal ini
mengindikasikan bahwa keterampilan berpikir
kritis dalam pembelajaran matematika harus
dikembangkan mulai dari tingkat pendidikan
dasar. Pengembangan keterampilan berpikir
kritis dalam pembelajaran matematika sangat
dimungkinkan, karena materi matematika dan
keterampilan berpikir kritis merupakan dua hal
yang tidak dapat dipisahkan. Materi matematika
dipahami melalui berpikir kritis, dan berpikir
kritis dilatih melalui belajar matematika.
Pembelajaran matematika di tingkat pendidikan dasar saat ini cenderung kurang melatih
keterampilan berpikir kritis. Padahal sebaiknya
pembelajaran matematika di SD mulai melatih
keterampilan berpikir kritis. Melatih keterampilan berpikir kritis pada siswa SD sangat
dimungkinkan, karena siswa SD telah memiliki
pengalaman dan pengetahuan dasar, walaupun
dalam jumlah yang terbatas. Selain itu dalam
proses pembelajaran guru dapat pula menciptakan konflik kognitif, agar dapat merangsang
siswa untuk berpikir. Melatih keterampilan
berpikir pada siswa, bertujuan agar secara perlahan siswa merasa terdorong untuk berpikir
kritis. Bila dorongan untuk berpikir kritis ini
terus menerus diciptakan, maka secara perlahan
pula akan terbentuk kemampuan dasar berpikir
kritis. Setelah memiliki kemampuan dasar
berpikir kritis, siswa akan sensitif terhadap
momen berpikir kritis. Dengan demikian siswa
telah memiliki disposisi berpikir kritis.
Sudah saatnya kita mengubah pandangan
masyarakat yang mengatakan bahwa berpikir
kritis hanya ada di dalam mata kuliah filsafat dan
retorika di perguruan tinggi. Dan bahwa berpikir
kritis adalah sesuatu yang sulit dan esoteris yang
hanya bisa dilakukan oleh mereka yang
memiliki IQ tinggi (genius). Padahal, berpikir
kritis dapat dilakukan oleh setiap orang dan
bukan merupakan sesuatu yang sulit. Salah satu
contoh: saat guru mengatakan bahwa nilai π =
22/7, mungkin siswa enggan menerima penjelasan yang sederhana itu. Mereka bertanya
pada guru, mengapa nilai π = 22/7? Mereka ini
adalah pemikir kritis. Menyikapi situasi seperti
ini, guru harus tanggap dan memberi kesempatan
seluas-luasnya kepada siswa untuk bertanya,
memberi argumen, diskusi dengan teman agar
mereka dapat menilai pendapat teman, menerima
atau menolak pendapat temannya. Karena situasi
seperti inilah yang diharapkan dapat mengembangkan potensi berpikir kritis dalam diri siswa.
Setiap orang dapat belajar untuk berpikir
kritis karena otak manusia secara konstan berusaha memahami pengalaman. Pencariannya
yang terus menerus akan makna, otak dengan
tangkas menghubungkan ide abstrak dengan
konteksnya di dunia nyata. Dalam matematika,
pemberian soal-soal tidak rutin atau tugas-tugas
yang berhubungan dengan dunia nyata dan
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, akan
membantu siswa melihat makna dari yang dipelajarinya karena ia dapat menghubungkan
informasi yang diterima dengan pengetahuan dan
pengalaman yang telah dimilikinya. Untuk siswa
SD, soal atau tugas yang diberikan harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan kognitif
anak.
Untuk meningkatkan keterampilan berpikir
kritis, dapat dilatih secara terus menerus. Karena
hanya dengan latihan, dapat membuat keterampilan berpikir kritis menjadi suatu kebiasaan.
Berpikir kritis merupakan sebuah kebiasaan
berpikir yang seharusnya ditanamkan sejak usia
dini. Dan setiap orang memiliki kemampuan
untuk menjadi pemikir kritis yang handal.
Berpikir kritis dapat membantu seseorang
memahami bagaimana ia menandang dirinya
sendiri, bagaimana ia memandang dunia, dan
bagaimana ia berhubungan dengan orang lain,
membantu meneliti prilaku diri sendiri, dan menilai diri sendiri. Berpikir kritis memungkinkan
seseorang menganalisis pemikiran sendiri untuk
memastikan bahwa ia telah menentukan pilihan
dan menarik kesimpulan cerdas. Sedangkan
orang yang tidak berpikir kritis, ia tidak dapat
memutuskan untuk dirinya sendiri apa yang
harus dipikirkan, apa yang harus dipercaya, dan
bagaimana harus bertindak. Karena gagal
berpikir mandiri, maka ia akan meniru orang
141 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 2, MARET 2009
lain, mengadopsi keyakinan dan menerima
kesimpulan orang lain dengan pasif. Contoh
dalam pembelajaran matematika, misalnya bagi
yang baru belajar perkalian mereka dapat menjawab dengan benar 3 x 4=12. Tetapi bila ditanya, mengapa 3 x 4 = 12? Mereka menjawab
itu sesuai tabel perkalian. Ini mungkin akibat dari
pembelajaran yang menyuruh anak menghapal
perkalian, sehingga mereka menjawab secara
otomatis, karena sudah dihafal.
Matematika adalah ilmu dasar yang dapat
membantu pengembangan ilmu-ilmu lain.
Sedangkan pengembangan keterampilan berpikir
kritis dapat pula dilakukan melalui pembelajaran
yang memberikan pemahaman epistemologis.
Pemahaman epistemologis adalah pemahaman
mengenai cara-cara mengembangkan pengetahuan. Dengan cara ini siswa diberi kesempatan
untuk melakukan eksplorasi dan memberikan
argumen dalam memperoleh suatu pengetahuan
yang objektif dan logis. Sehingga siswa dapat
menggunakan kemampuan intelektualnya seperti
analisis, evaluasi dan refleksi. Hal ini berarti
kemampuan intelektualnya dalam berpikir kritis
digunakan dalam pembelajaran yang memberikan pengalaman epistemologi.
Pembelajaran Berpikir Kritis
Proses pembelajaran matematika yang berpusat pada siswa, tampaknya berpotensi melatih
dan mengembangan keterampilan berpikir kritis.
Pada proses pembelajaran matematika yang
berpusat pada siswa, siswa aktif mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri berdasarkan pengalaman
dan pengetahuan yang telah dimiliki, atas
bimbingan dan bantuan orang dewasa (guru).
Guru memberikan kebebasan berpikir dan keleluasaan bertindak kepada siswa dalam memahami pengetahuan dan memecahkan masalah.
Peran guru mengalami perubahan, tidak lagi
sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada
para siswanya, tetapi harus mampu menjadi
mediator dan fasilitator. Hadi (2005) menjabarkan fungsi mediator dan fasilitator dalam beberapa tugas sebagai berikut: (1) Menyediakan
pengalaman belajar yang memungkinkan siswa
bertanggung jawab dalam membuat rancangan,
proses, dan penelitian. (2) Menyediakan atau
memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang
keinginan siswa dan membantu mereka untuk
mengekspresikan
gagasan-gagasannya
dan
mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. (3) Me-
nyediakan sarana yang merangsang siswa
berpikir secara produktif. Ini dapat dilakukan
dengan cara menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar
siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru
perlu menyediakan penga-laman konflik. (4)
Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan
apakah pemikiran siswa jalan atau tidak. Dalam
hal ini guru perlu menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku
untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Dan guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.
Pembelajaran yang berpusat pada siswa
memungkinkan terjadinya diskusi. Diskusi merupakan salah satu cara yang efektif dalam
melatih dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis, karena: (1) melalui diskusi, siswa
berbagi pendapat, berpikir perspektif, dan mendapat pengalaman; (2) melalui diskusi siswa
dapat mempertimbangkan, menolak atau menerima pendapatnya sendiri maupun pendapat
siswa lain agar sesuai dengan jawaban atau
pendapat kelompok; dan (3) melalui diskusi pula,
siswa dapat melakukan penyesuaian atau
mengurangi hambatan-hambatan antara dirinya
dengan siswa lain sehingga ia bebas berpikir dan
bertindak. Interaksi antara sesama siswa, siswa
dan guru yang dilakukan dalam diskusi inilah
yang sangat berpengaruh terhadap tumbuh dan
berkembangnya disposisi berpikir kritis siswa.
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan
beberapa hal berikut.
Berpikir kritis adalah potensi yang dimiliki
oleh setiap orang, dapat di ukur, dilatih, dan
dikembangkan.
Bila berpikir kritis dilatih terus menerus,
maka dapat menjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan ini akan menjadi sikap dasar, dan
pada akhirnya terbentuk disposisi berpikir
kritis.
Dalam pembelajaran matematika, keterampilan berpikir kritis hendaknya dilatih/diajarkan sejak SD. Hal ini cukup beralasan,
karena: (1) siswa SD sudah memiliki pengalaman dan pengetahuan dasar, walaupun
dalam jumlah terbatas; (2) dalam proses
pembelajaran di SD guru dapat menciptakan
142 FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 28, NOMOR 2, MARET 2009
konflik kognitif untuk merangsang berpikir
kritis.
Melatih keterampilan berpikir kritis dalam
pembelajaran matematika dapat dilakukan
dengan pembarian soal-soal tidak rutin atau
tugas-tugas yang berhubungan dengan dunia
nyata dan terkait dengan kehidupan seharihari, asalkan penyajiannya disesuaikan
dengan perkembangan kognitif anak.
Pembelajaran yang berpusat pada siswa
berpotensi untuk melatih dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis, karena siswa
diberi keleluasaan membangun pengetahuannya sendiri, berdiskusi dengan teman, bebas
mengajukan pendapat, dapat menerima atau
menolak pendapat teman, dan atas bimbingan
guru merumuskan kesimpulan.
DAFTAR RUJUKAN
Ennis, R.H. 2000. A Super-Steamlined
Conception of Critical Thinking. Tersedia:
http://www.ed.uine.edu/EPS/PESyearbook/92.does/ennis.htm
Fowler, G. 2004. Critical Thinking Across the
Curriculum
Project.
Tersedia:
http://www.kcmetro.cc.mo.us/longview/eta
c/definition.htm.
Garnison. D. R., Anderson, T. & Archer, W.
2001. Critical Thinking and Computer
Conferencing: A Model and Tool to Assess
Cognitive
Presence.
Tersedia:
http://communitiesofinquiry.com/documen
ts/ CogPres_Final.pdf
Hadi, Sutarto. 2005. Pendidikan Matematika
Realistik
dan
Implementasinya.
Banjarmasin.
Ibrahim. 2007. Pengembangan Kemempuan
Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMP
dalam Matematika melalui Pendekatan
Advokasi dengan Pengajaran Masalah
Open-Ended. Tesis pada PPs UPI. tidak
dipublikasikan
Johnson, E.B. 2007. Contextual Teaching &
Learning (terjemahan Ibnu Setiawan).
Bandung: MLC.
Kapel, D. E. & Dejnozka, E.L. 1991. American
Educator’s. Enllycopedia. New York:
Greenwood Press
Launch, Pad. 2001. Thinking Skill. Oxford:
Brookes University.
Nitko, A.J. 1996. Educational Assesment of
Student. Englewuood Cliffs: Merril
Norris, S.P. & Ennis, R. 1989. Evaluating
Critical Thinking ( dalam R. J. Schwartz
& D. N. Perkins (Eds), The Practitioners'
Guide to Teaching Thinking Series. Pacific
Grove, California: Midwest Publications.
Olson, I. 1996. The Arts Critical Thinking and
Reform: Classroom of the Future. The
High School. Journal. 79(2). 159-163.
Puskur. 2002. Kurikulum dan Hasil Belajar.
Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Matematika Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Balitbang. Diknas
Poedjiadi, A. 1999. Pengantar Filsafat Ilmu Bagi
Pendidik. Bandung: Yayasan Cendrawasih
Soedjadi, R. 1995. Pendidikan, Penalaran,
Konsturktifisme, Kreativitas sajian dalam
Pembelajaran Matematika. Makalah tidak
dipublikasikan.
Sumarmo, U. 2005. Pengembangan Berfikir
Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan
SMU serta Mahasiswa Strata Satu (S1)
Melalui
Berbagai
Pendekatan
Pembelajaran. Laporan Penelitian Hibah
Pascasarjana Tahun Ketiga. UPI Bandung.
Suriadi. 2006. Pembelajaran dengan Pendekatan
Discovery yang Menekankan Aspek Analogi Untuk Meningkatkan Pemahaman
Matematik dan Kemampuan Berpikir
Kritis Siswa SMA. Tesis pada PPs UPI.
Tidak dipublikasikan.
Suriasumantri, J.S. 1998. Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta: Sinar
Harapan.
Download