BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG Berita mengenai kekerasan, terutama kekerasan terhadap perempuan (KtP) seakan sudah menjadi bagian sehari-hari yang dapat diketahui melalui media massa. Laporan penelitian terbaru yang dilakukan oleh WHO menyatakan bahwa kekerasan perempuan bersifat meluas dan merasuk, menembus wilayah yang berbeda-beda dan semua tingkat pendapatan dalam masyarakat. Penelitian tersebut menemukan bahwa satu dari tiga perempuan di dunia akan mengalami kekerasan fisik atau seksual dalam hidupnya oleh seseorang yang ia kenal, bisa suami, pacar, anggota keluarga atau teman. WHO menyebut KtP itu merupakan masalah kesehatan global dengan tingkat epidemi (WHO, 2013 dalam Schlein, 2013). Selain itu dalam laporan penelitian juga dipaparkan bahwa dari keseluruhan wilayah jangkauan WHO, wilayah Asia Tenggara memiliki presentase tingkat KtP yang paling tinggi yaitu 37,7%, disusul oleh wilayah Mediteranian Timur sebesar 37% dan wilayah Afrika sebesar 36,6% (WHO, 2013). Data wilayah Asia Tenggara tersebut dikumpulkan dari Bangladesh, TimorLeste, India, Myanmar, Sri Lanka, dan Thailand. Meskipun Indonesia tidak termasuk dalam proses pengumpulan data kekerasan wilayah Asia Tenggara yang dilakukan oleh WHO, namun bukan berarti bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kekerasan yang rendah. Sebuah survei global yang dilakukan oleh Thomson Reuters Foundation pada tahun 2012 memaparkan bahwa Indonesia merupakan negara terburuk ketiga untuk perempuan setelah India dan Arab Saudi dari total 63 negara yang disurvei. Hal tersebut dikarenakan hampir setiap hari ada perempuan yang menjadi korban kekerasan. Tindak pemerkosaan adalah bentuk kasus kekerasan yang paling sering terjadi selain pelecehan seksual, penyiksaan dan eksploitasi seksual, serta perdagangan seks (Baldwin, 2012). 1 Pemaparan Indonesia sebagai negara terburuk untuk perempuan pada tahun 2012 didukung juga dengan data nasional yang dihimpun oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Komnas Perempuan mencatat, pada tahun 2011 ada 119.107 kasus KtP (Komnas Perempuan, 2012). Jumlah tersebut meningkat pada tahun 2012 menjadi 216.156 kasus (Komnas Perempuan, 2013). Pada 2013, kasus kekerasan kembali meningkat menjadi 279.688 kasus (Komnas Perempuan, 2014). Dalam kurun waktu tiga tahun telah terjadi peningkatan tajam pada jumlah kasus KtP. Kenaikan jumlah kasus ini tidak hanya terjadi pada tiga tahun terakhir, sebelumnya Komnas Perempuan merekam kenaikan yang sama terjadi sejak tahun 2002 (Alfiyah, 2014). Berdasarkan jumlah tersebut, dapat terlihat bahwa ada peningkatan yang cukup besar pada jumlah kasus KtP. Jumlah kasus kekerasan yang terjadi pada tahun 2012 meningkat tajam sekitar 80% dari tahun 2011, pada tahun 2013 meningkat sebesar +30% dari tahun 2012, dan jika diakumulasi dari tahun 2011-2013 telah terjadi peningkatan jumlah kasus kekerasan sebesar 135%. Figur 1. Jumlah kasus KtP tahun 2001-2013 (Komnas Perempuan, 2014). Lebih lanjut menurut data CATAHU Komnas Perempuan tahun 2013 (2014), dari total 279.688 kasus yang terhimpun, sebanyak 263.285 kasus atau 94% data tersebut bersumber dari data kasus yang ditangani oleh 2 Pengadilan Agama (PA), dan sisanya sebanyak 16.403 kasus atau 6% data yang lain berasal dari data kasus yang ditangani oleh lembaga-lembaga mitra pengada layanan yang merespon dengan mengembalikan formulir pendataan. Kemudian dari 263.285 data kasus yang diambil dari PA, keseluruhannya tercatat sebagai kekerasan yang terjadi di ranah personal, sedangkan dari 16.403 kasus yang masuk dari lembaga mitra pengada layanan, kekerasan yang terjadi di ranah personal tercatat ada 11.719 kasus atau 71% (Gambar 2). Kasus kekerasan dalam ranah personal berarti pelakunya adalah orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami), maupun relasi intim (pacaran) dengan korban (Komnas Perempuan, 2014). Figur 2. Data KtP menurut ranah pada tahun 2013 (Komnas Perempuan, 2014) Dalam ranah personal (RP), dari 11.719 kasus yang terhimpun, dapat dipilah bentuk kekerasan dan jenis kekerasan seperti dapat dilihat dalam Gambar 3 dan Gambar 4. Bentuk-bentuk kekerasan dalam ranah personal yang terdata pada tahun 2013 yaitu: kekerasan terhadap isteri (KTI) 7.548 kasus, kekerasan dalam pacaran (KDP) 2.507 kasus, kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) 844 kasus, kekerasan dari mantan suami (KMS) 80 kasus, kekerasan mantan pacar (KMP) 50 kasus, dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (PRT) 23 kasus (Komnas Perempuan, 2014). Dari data tersebut dapat terlihat bahwa KtP di ranah personal tidak hanya terjadi 3 pada pasangan yang telah menikah, KtP juga terjadi pada pasangan yang belum menikah atau masih berpacaran. Dapat dilihat bahwa dari 11.719 kasus, 21% kasus terebut merupakan kasus KDP dan 1% merupakan kasus KMP. Angka tersebut lebih tinggi dari tahun 2012 yaitu 1.085 kasus KDP dan 26 kasus KMP (Komnas Perempuan, 2013). Figur 3. Bentuk KtP dalam ranah personal tahun 2013 (Komnas Perempuan, 2014) Sedangkan untuk jenis kekerasan yang terjadi dalam ranah personal selama tahun 2013, kekerasan fisik menempati urutan pertama dengan 4.631 kasus, disusul dengan kekerasan seksual 2.955 kasus, kekerasan psikis 3.344, dan kekerasan ekonomi dengan 749 kasus. Meskipun di urutan kedua, laporan kasus kekerasan seksual pada tahun 2013 jauh lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2012 yang hanya 1.416 kasus (Komnas Perempuan, 2014). 4 Figur 4. Jenis KtP dalam ranah personal tahun 2013 (Komnas Perempuan, 2014) Melihat tingginya angka KtP pada tahun 2013, Komnas Perempuan (2014) dalam laporan catatan tahunannya mengatakan bahwa angka tersebut merupakan fenomena gunung es. Jadi, masih sangat banyak perempuan korban yang belum mampu dan belum berani menceritakan pengalaman kekerasannya, apalagi berani mendatangi lembaga pengada layanan untuk meminta pertolongan. Keengganan dan ketidakmampuan ini lebih banyak disebabkan oleh stigma yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan korban kekerasan justru dianggap sebagai pihak yang bersalah, ‘perempuan penggoda’ atau tidak mempunyai akhlak yang baik dan oleh karenanya sudah sepantasnya mendapat tindakan kekerasan. Namun Komnas Perempuan juga dapat mengemukakan pemikiran positif bahwa meningkatnya laporan KtP seperti kekerasan seksual pada tahun 2013 tersebut dapat berarti sudah cukup banyak perempuan korban yang mulai berani untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialamainya (Komnas Perempuan, 2014). Dari sekian banyak kasus KtP, kasus kekerasan dalam pacaran dapat dijadikan suatu perhatian yang menarik. Pengertian dari kekerasan dalam pacaran (KDP) atau sering juga disebut dating violence menurut Annisa (2012) adalah tindak kekerasan terhadap pasangan yang belum terikat pernikahan yang mencakupi kekerasn fisik, psikologi dan ekonomi yang 5 bentuknya dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi, dan kekerasan seksual. Berbeda dengan tindak KDRT, tindak KDP sulit dibuktikan dan dibawa ke ranah hukum. Jikapun bisa diproses hukum, pidana yang dikenakan tergolong ringan. Pada kasus kekerasan dalam berpacaran yang menimpa remaja di bawah umur, pelaku tindak kekerasan umumnya mendapat pidana lima tahun penjara. Sementara jika korban juga berusia dewasa, maka pelaku umumnya hanya dikenakan pasal perbuatan tidak menyenangkan. Hukuman yang dikenakan tidak sampai dua tahun. Korban yang berusia dewasa dianggap melakukan suka sama suka dan sadar, sehingga kerap sangat dilecehkan oleh kepolisian (Annisa, 2012). Hal tersebut dapat terlihat dari laporan tahunan LBH APIK sepanjang 2012 yang menerima 30 laporan kasus KDP. Kasus itu mulai dari tindakan inkar janji hingga korban ditinggal menikah, namun hanya empat orang pelaku yang diproses hukum (Nurifah, 2013). Dampak dari KDP terhadap korban perempuan sangat banyak meliputi dampak fisik dan juga psikis. Marcelina (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa dampak psikologis yang terjadi pada korban kekerasan seksual adalah kecemasan, rasa bersalah, kekaburan identitas, kesedihan dan depresi, serta rasa malu. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Ayu, Hakimi & Elli Nur Hayati (2012) menemukan bahwa korban yang mengalami kekerasan dalam pacaran merasa takut dan menangis, susah tidur, membenci laki-laki, tidak percaya pada laki-laki, ada rasa curiga terhadap laki-laki yang ingin mendekat, dan keterpaksaan untuk melakukan hubungan seksual. Untuk kasus kekerasan seksual (pemakasaan hubungan seksual) implikasi bisa menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan yang berujung pada tindakan aborsi yang tidak aman. Aborsi dilakukan karena kehamilan dianggap menyebabkan masalah sosial seperti dikeluarkan sekolah, dikucilkan oleh masyarakat dan teman, serta harus menjadi orang tua tunggal jika pasangan tidak mau bertanggung jawab (Annisa, 2012). Kekerasan dalam pacaran terbukti memiliki potensi untuk menimbulkan stress karena membahayakan kesejahteraan korban 6 kekerasan dan juga masih sulit untuk dibawa ke ranah hukum. Namun terdapat individu yang memilih untuk tetap mempertahankan hubungan dengan pasangannya meskipun mengalami KDP. Hal ini terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh Nataza (2014) dimana subyek penelitiannya merupakan korban kekerasan dalam pacaran yang memilih untuk tetap mempertahankan hubungan dengan pacarnya dan menggunakan strategi coping agar dapat mengalihkan perhatian subyek dari masalahnya. Selain itu, Azizah & Syaiful (2014) dalam penelitiannya menemukan beberapa alasan subyek tetap bertahan dalam hubungan dengan pasangannya meskipun mengalami KDP yaitu: subyek takut kehilangan pasangannya, subyek yakin bahwa suatu saat perilaku pasangannya akan berubah, dan yang terakhir, subyek memiliki rasa percaya diri bahwa dirinya dibutuhkan oleh pasangannya. Sejauh penelusuran, beberapa penelitian terdahulu yang pernah dilakukan hanya baru membahas mengenai kebertahanan perempuan korban KDRT. Penelitian tersebut mengkaji kebertahanan perempuan korban KDRT dengan menggunakan teori fenomenologi dari Alfred Schutz dan menemukan bahwa motif istri mempertahankan keutuhan keluarganya meskipun sering mengalami tindak kekerasan dari suami dikarenakan adanya pertimbangan anak, pertimbangan keutuhan keluarga secara luas, pertimbangan keberlanjutan hidup (ekonomi), serta adanya motif balas dendam. (Atmaja & Handoyo, 2014). Hal tersebut berbeda situasinya dengan kasus KDP, dimana pasangan belum terikat dalam hubungan pernikahan. Korban masih bisa untuk memutuskan hubungan dengan pasangannya tanpa harus melalui jalur hukum (perceraian), tetapi malahan memilih untuk tetap mempertahankan hubungan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kebertahanan perempuan korban KDP. Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu yaitu penelitian ini membahas mengenai kebertahanan perempuan korban KDP dengan menggunakan kajian psikoanalisa. Dalam teori psikoanalisa Freud terdapat struktur dan mekanisme pertahanan diri 7 (ego). Freud mengungkapkan tiga model struktur kepribadian, yaitu id, ego, dan superego. Id didefinisikan sebagai sistem kepribadian asli yang dibawa manusia sejak lahir. Ego merupakan eksekutif atau pelaksana dari kepribadian id. Sementara itu, superego merupakan kekuatan moral dan etik dari kepribadian yang beroperasi memakai prinsip idealistik sebagai lawan dari prinsip kepuasan id dan prinsip realistik dari ego (Fanani, 2008). Sehubungan dengan hal itu, mekanisme pertahanan diri dalam psikoanalisa merupakan strategi yang digunakan individu untuk bertahan melawan kecemasan moral yang timbul akibat adanya konflik antara id dan superego. Salah satu contoh kecemasan moral yang dapat dialami oleh korban KDP adalah kecemasan akan kehilangan pasangan dan tidak akan ada orang lain yang mau untuk menjalin hubungan dengannya. Kecemasan memberikan peringatan kepada individu bahwa ego sedang dalam ancaman dan oleh karena itu apabila tidak ada tindakan maka ego akan terbuang secara keseluruhan (Andri, 2007). Ada berbagai cara ego melindungi dan mempertahankan dirinya, salah satunya dengan melakukan mekanisme pertahanan diri. Freud mengemukakan ada beberapa jenis mekanisme pertahanan diri yaitu, represi (repession), pembentukan reaksi (reaction formation), proyeksi (projection), penempelan yang keliru (displacement), rasionalisasi (rasionalitation), supresi (supresion), sublimasi (sublimation), kompensasi (compensation), dan regresi (regression) (Fanani, 2008). Berdasarkan hal tersebut peneliti melakukan penelitian terhadap korban KDP yang lebih memilih untuk bertahan dengan menganalisa tindakannya berdasarkan teori psikoanalisa Freud, terkhusus mekanisme pertahanan diri. Penelitian ini mengkaji tentang fenomena kekerasan dalam pacaran yaitu kekerasan yang dilakukan oleh pasangan laki-laki terhadap perempuan yang belum ada ikatan pernikahan. Kajian psikoanalisa digunakan dalam penelitian ini dengan fokus permasalahan yakni mencari latar belakang dari penyebab terjadinya KDP dan memahaminya, serta berusaha memahami bentuk mekanisme pertahanan diri korban untuk mempertahankan hubungan dengan pasangannya, serta bagaimana kondisi 8 perempuan korban KDP setelah memutuskan untuk tetap bertahan dengan pasangannya. Fokus penelitian ini ada pada daerah Jawa Tengah, yaitu kota Salatiga. Menurut laporan CATAHU Komnas Perempuan tahun 2011 (Komnas Perempuan, 2012), Jawa Tengah merupakan wilayah dengan tingkat KtP paling tinggi, yaitu sebesar 25.268 kasus, diikuti dengan Jawa Timur dan Jawa Barat (Gambar 5). Selain itu, menurut laporan tahunan BP3AKB Wilayah Jateng, pada tahun 2013 kota Semarang menempati urutan pertama kasus KtP dengan jumlah 83 kasus yang terdata (BP3AKB Jateng, 2013). Jumlah tersebut meningkat sebesar 34% dibanding jumah tahun 2012 lalu sebesar 62 kasus (BP3AKB Jateng, 2012). Dalam laporan tahunan BP3AKB Jateng juga terlihat bahwa angka kasus KtP di kota Salatiga pada tahun 2014 sejumlah 22 kasus, jumlah tersebut meningkat tajam dibanding tahun 2013 yang hanya 8 kasus (BP3AKB Jateng, 2013 & 2014). Berdasarkan hal tersebut peneliti memilih kota Salatiga untuk dijadikan lokasi penelitian. Figur 5. Jumlah KtP menurut provinsi pada tahun 2011 (Komnas Perempuan, 2012) 9 B. RUMUSAN MASALAH 1. Apakah latar belakang penyebab terjadinya kekerasan dalam pacaran? 2. Bagaimana mekanisme pertahanan diri pada perempuan korban KDP berdasarkan pendekatan psikoanalisa? C. TUJUAN PENELITIAN 1. Mengidentifikasi latar belakang penyebab terjadinya kekerasan dalam pacaran. 2. Menjelaskan mekanisme pertahanan diri pada perempuan korban KDP berdasarkan pendekatan psikoanalisa. 10