BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap kegiatan dan langkah manusia selalu dihadapkan dengan berbagai kemungkinan, baik positif maupun negatif. Ada kalanya beruntung dan ada kalanya mengalami kerugian. Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap kegiatan manusia itu selalu mengandung suatu keadaan yang tidak pasti yang menimbulkan rasa tidak aman terhadap setiap kemungkinan menderita atau kerugian yang disebut dengan risiko, seperti kecelakaan, kematian, dan gangguan kesehatan. Pada hakikatnya, kehidupan dan kegiatan manusia mengandung berbagai hal yang menunjukkan sifat tidak abadi yang merupakan sifat alami yang tidak dapat dipastikan. Manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan yang berakal, selalu berusaha untuk menghindari risiko yang membuatnya merasa tidak aman. Menurut James L. Athearn, risiko merupakan aspek utama dalam kehidupan manusia pada umumnya dan merupakan faktor penting dalam asuransi. Risiko merupakan kemungkinan penyimpangan harapan yang tidak menguntungkan yaitu ketidakpastian suatu peristiwa yang tidak diinginkan.1 Dalam ilmu asuransi, risiko dapat dibedakan dalam beberapa arti yang intinya kemungkinan terjadinya kerugian, yaitu :2 1. Risiko dalam arti benda yang menjadi obyek bahaya. 1 Sri Redjeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 58. 2 H. Gunanto, Asuransi Kebakaran Indonesia, (Jakarta: Tirta Pustaka, 1984), hlm. 11-12. 1 2. Risiko dalam arti orang yang menjadi sasaran pertanggungan. 3. Risiko dalam arti bahaya. Pengertian risiko diberi batasan sebagai kemungkinan terjadinya suatu keuntungan yang semula diharapkan tidak tercapai karena kejadian di luar kuasa manusia, misalnya bencana alam seperti banjir dan gempa bumi, kesalahan sendiri, atau perbuatan manusia.3 Salah satu cara penanganan risiko yang lazim dilakukan adalah dengan mengalihkannya kepada pihak lain yang bersedia untuk menerimanya. Peralihannya dapat dilakukan dengan suatu perjanjian yaitu perjanjian asuransi atau pertanggungan. Yang mana tertanggung adalah individu atau perorangan, kelompok orang atau suatu institusi bahkan masyarakat luas. Sedangkan yang menjadi penanggung adalah perusahaan asuransi sebagai lembaga atau institusi yang berbentuk badan hukum yang menerima peralihan risiko dari pihak lain. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan akan rasa aman kepada masyarakat. Berkaitan hal tersebut, Emmy Pangaribuan Simanjuntak merumuskan tujuan pertama-tama asuransi adalah mengalihkan risiko yang ditimbulkan peristiwa-peristiwa yang tidak dapat diharapkan terjadinya itu kepada orang lain yang mengambil risiko itu untuk mengganti kerugian.4 Kebutuhan akan jasa perasuransian makin dirasakan baik oleh perorangan maupun dunia usaha di Indonesia. Asuransi merupakan sarana finansial dalam tata 3 Ibid, hlm. 13. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan (Pokok-Pokok Pertanggungan Kerugian, Kebakaran, dan Jiwa), (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1990), hlm. 5. 4 2 kehidupan rumah tangga baik dalam menghadapi risiko yang mendasar seperti risiko kematian, atau dalam menghadapi risiko atas harta benda yang dimiliki. Demikian pula dunia usaha dalam menjalankan kegiatannya menghadapi berbagai risiko yang mungkin dapat mengganggu kesinambungan usahanya. Walaupun banyak metode untuk menangani risiko namun asuransi merupakan metode yang paling banyak dipakai. Asuransi menjanjikan perlindungan kepada pihak tertanggung terhadap risiko yang dihadapi perorangan maupun risiko yang dihadapi perusahaan. Disamping itu, usaha perasuransian sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai peranan penting jika ditinjau dari kegiatan perlindungan risiko, yakni perusahaan asuransi menghimpun dana masyarakat dari penerimaan premi. Pembangunan ekonomi memerlukan dukungan dana investasi dalam jumlah yang memadai. Pelaksanaannya harus berdasarkan pada kemampuan sendiri. Untuk itu diperlukan usaha pengerahan dana masyarakat. Dengan peranan asuransi tersebut, dalam perkembangan pembangunan ekonomi yang semakin meningkat, maka semakin terasa kebutuhan akan hadirnya industri perasuransian yang kuat dan dapat diandalkan. Keberadaan asuransi sebenarnya telah dikenal lama di dalam peradaban manusia. Pada masyarakat primitif, masyarakat hidup dengan jarak yang berdekatan dengan keluarga dan suku mereka masing-masing. Kebutuhan dan keperluan mereka terlindungi sepenuhnya dengan adanya kerjasama dan gotong royong antara satu sama lainnya. Karena itulah mengapa pada dasarnya mereka tidak memerlukan asuransi. Seiring dengan berubahnya gaya hidup masyarakat 3 dari pedesaan menuju perkotaan, para individu tersebut mulai berhadapan dengan banyaknya bahaya dan risiko tanpa ada perlindungan sesamanya dari keluarga dan suku masing-masing. Hal tersebut mendorong masyarakat untuk mencari sebuah solusi yang dapat mengamankan hidup dan barang-barang mereka dari adanya risiko yang tak terduga.5 Dari berbagai sumber, diketahui bahwa sejarah awal asuransi sebelum memasuki abad pertengahan dapat dibagi dalam beberapa periode yaitu masa Babylonia, Yunani, dan Romawi.6 Seorang ahli asuransi dari Inggris yang bernama Clayton menyatakan bahwa ide dari asuransi dimulai dari peradaban masyarakat Babylonia yang ditelusuri keberadaannya sejak 3000 tahun sebelum Masehi. Pada saat itu dikenal kode Hammurabi yang memberikan kekuatan hukum bahwa masyarakat Babylonia zaman dahulu melakukan kontrak komersial yang melibatkan transaksi uang, dimana pada saat itu masyarakat meminjamkan uang mereka kepada pedagang untuk jumlah bunga tertentu. Bentuk transaksi ini kemudian dikenal dunia dengan nama Contract of Bottomry. Terdapat kesepakatan bahwa dalam pembayaran sejumlah bunga, sang peminjam harus dilindungi dari segala kewajiban terhadap kejadian yang tak terduga dan tak disengaja yang terjadi pada saat berniaga. Pembayaran bunga di kontrak bottomry memiliki kesamaan dengan premi pada asuransi saat ini, dimana sang pedagang memiliki status sebagai peserta, dan yang memberi pinjaman berstatus sebagai penanggung yang 5 Mohd. Ma’sum Billah, Applied Takaful and Modern Insurance (Law and Practice), (Selangor: Sweet and Maxwell Asia, 2007), hlm. 12-13. 6 A. Junaedy Ganie, Hukum Asuransi Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 32. 4 memiliki kewajiban melindungi peminjam dari segala kewajiban yang timbul dari kejadian yang tidak terduga dalam rangka membayar bunga.7 Ajaran masyarakat Babylonia tersebut kemudian menyebar dan diadopsi pula oleh masyarakat Phoenician, Yunani, Romawi, hingga India. Pada masa pemerintahan Alexander the Great di Yunani, sebagai upaya untuk mengumpulkan dana, pemerintah memberikan jaminan untuk menangkap setiap budak yang melarikan diri atau memberikan penggantian atas harga beli budak yang hilang dengan imbalan pembayaran sejumlah uang. Perjanjian pemberian manfaat tersebut, pada dasarnya sama dengan perjanjian asuransi umum dan imbalan uang yang dibayar oleh peserta dapat disebut premi asuransi. Pada masa tersebut, terdapat pula suatu bentuk penjaminan oleh pemerintah yang meminjam uang kepada umum dengan imbalan pemberian bunga setiap bulan sampai pemilik uang wafat dan menyediakan biaya penguburan bagi pemilik uang. Bentuk penjaminan ini merupakan bentuk asuransi jiwa yang pertama walaupun sebagaimana halnya dengan penjaminan terhadap kehilangan budak, perjanjian ini timbul dari inisiatif pemerintah untuk mengumpulkan dana.8 Masyarakat Romawi yang mengkhususkan diri pada asuransi tanah menyempurnakan lagi bentuk Bottomry tersebut dengan cara membatasi bentukbentuk kerugian bagi para pemberi pinjaman, tetapi memberikan juga perlindungan bagi peminjam dari segala kewajiban. Prinsip yang dianut masyarakat Roma ini meyakinkan para ahli doktrin inilah yang berubah menjadi bentuk asuransi konvensional yang dipraktekkan saat ini. Perjalanan asuransi 7 8 Mohd Ma’sum Billah, loc.cit. A. Junaedy Ganie, op. cit., hlm. 32-33. 5 selanjutnya terjadi di Italia yang mengembangkan asuransi laut, terus menjalar di seluruh bagian negeri Eropa, hingga sampai pada pertengahan abad ke-15, di London, Inggris menjadi pusat asuransi internasional dengan didirikannya Royal Exchange. Disini kemudian terbentuklah empat kelas utama dari asuransi yang kita kenal sekarang, yaitu asuransi laut, asuransi kebakaran, asuransi jiwa, dan asuransi kecelakaan. Perusahaan asuransi terbesar hingga kini pun terletak di Inggris yang bernama Lloyd’s of London. Di Amerika Serikat, perusahaan asuransi pertama kali berdiri pada tahun 1752, dan menyusul Uni Soviet yang menasionalisasi bisnis asuransi pada tahun 1917 sedangkan pendirian asuransi di Cina dimulai pada tahun 1919 dengan pendirian perusahaan asuransi yang bernama American Insurance Group.9 Kegiatan asuransi masuk ke Indonesia mengikuti keberhasilan bangsa Belanda dalam usaha perkebunan dan perdagangan di negara jajahannya. Pada awalnya, kegiatan asuransi terbatas untuk melindungi kepentingan Belanda, Inggris dan bangsa Eropa lainnya yang melakukan perdagangan dan usaha perkebunan di Indonesia, terutama untuk asuransi pengangkutan dan kebakaran.10 Sejarah mencatat bahwa asuransi dimulai lebih dari dua ratus tahun yang lalu ketika CIGNA insurance mencatat pertanggungan pengiriman barang senilai USD 4000 dari Philadelphia, Amerika Serikat ke Batavia pada bulan Januari 1793. Sejarah mencatat Semarang Sea berdiri pada tahun 1816 diikuti oleh Java Sea, Arjoeno, Veritas dan Mercurius. 9 Mohd Ma’sum Billah, op.cit., hlm. 15. A. Junaedy Ganie, op.cit., hlm. 35. 10 6 Asuransi jiwa nasional pertama adalah PT. Asuransi Jiwasraya (Persero). Berawal dari tujuan mulia untuk memberikan pemahaman serta mendidik dan menyadarkan masyarakat tentang arti penting perencanaan masa depan yang baik, pada tanggal 31 Desember 1859 Jiwasraya didirikan dengan nama NV Neiderlandsch Indiesche Levensverzekering en Lijfrente Maatschappij (NILLMIJ) van 1859 atau dapat diartikan sebagai “Perusahaan Asuransi Jiwa dan Jaminan Hari Tua Hindia Belanda” oleh pemuka masyarakat Belanda di Batavia. Sebagai perusahaan asuransi jiwa yang pertama kali berdiri di Indonesia, NILLMIJ mewujudkan tujuan mulianya dengan memberikan kepastian masa depan sekaligus mendidik masyarakat untuk secara terencana mempersiapkan masa depan kehidupannya. Dalam mengelola himpunan dana milik nasabah, Manajemen NILLMIJ van 1859 memegang teguh kepercayaan dengan melaksanakan perhitungan atas hak nasabah secara teliti, transparan dan mengutamakan kepentingan pemegang polis. Mengikuti perkembangan di dalam negeri dan berbekal komitmen dalam menjaga kepercayaan nasabah perusahaan telah mengantar NILLMIJ menembus pasar masyarakat Indonesia pada awal abad 20. Bersamaan dengan penetrasi pasar nasional pada saat itu, NILLMIJ membuka lapangan pekerjaan dan menjadikan masyarakat Indonesia sebagai agen yang memiliki pengetahuan dan pemahaman akan kebutuhan masyarakat lokal tentang pentingnya asuransi. Seiring dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda oleh Pemerintah Indonesia, pada tanggal 17 Desember 1960, NILLMIJ diambil alih 7 oleh Pemerintah Republik Indonesia dan diubah namanya menjadi PN Pertanggungan Djiwa Sedjahtera. Perkembangan situasi pada saat itu turut memberikan kontribusi bagi perubahan PN Pertanggungan Djiwa Sedjahtera yang pada 1 Januari 1966 dileburkan dengan Perusahaan Negara Asuransi Djiwa Eka Sedjahtera menjadi Perusahaan Negara Asuransi Djiwasraja berdasarkan PP nomor 40 Tahun 1965. Setelah melewati beberapa proses peleburan dan perubahan nama, pada tanggal 23 Maret 1973 Perusahaan Negara Asuransi Djiwasraja berubah status menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Jiwasraya yang selanjutnya disebut dengan Jiwasraya, yang didirikan berdasarkan Akta Notaris Muhamad Ali Nomor 12 tertanggal 23 Maret 1973 dan yang telah beberapa kali diubah, serta terakhir berdasarkan Akta Notaris Netty Maria Machdar, SH Nomor 155 tanggal 29 Agustus 2008. Pendirian perusahaan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1972 tentang Pengalihan bentuk Perusahaan Negara Asuransi Jiwasraya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dengan Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1972 nomor 48 dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia tanggal 28 Februari 1973 nomor KEP84/MK/IV/2/1973 tentang Penetapan Modal Perusahaan Perseroan PT. Asuransi Jiwasraya. PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) adalah murni milik Pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan Akta Notaris Mohamad Ali, SH yang telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia nomor 584 Tambahan Berita Negara Republik Indonesia tanggal 16 Agustus 1973 nomor 66/1973. 8 Di tengah persaingan pasar asuransi Indonesia, Jiwasraya semakin mampu meningkatkan usaha dengan tetap memberikan kualitas pelayanan yang semakin mengutamakan dan berorientasi kepada optimalisasi kepuasan dari para pemegang polis sebagai mitra kerjanya. Layaknya pepatah “tak lekang terkena panas, tak lapuk terkena hujan”, Jiwasraya masih mampu membuktikan keunggulan kerjanya, memegang komitmen untuk terus mengembangkan kualitas produk dan pelayananannya, serta mempertahankan eksistensinya selama hampir 1,5 abad di pasar asuransi nasional. Sebagai Badan Usaha Milik Negara bidang asuransi jiwa yang tidak memiliki hak monopoli, Jiwasraya telah melakukan perubahan mendasar pada tahun 2003. Jiwasraya tidak hanya merubah logo yang sudah menjadi citra perusahaan selama puluhan tahun, tapi juga meluncurkan nilai-nilai perusahaan (corporates values) yang menjadi budaya kerja baru bagi insan perusahaan, yaitu integritas, kompetensi, orientasi pelanggan dan orientasi bisnis. Budaya kerja baru tersebut dihadirkan agar Jiwasraya menjadi perusahaan yang dapat secara konsisten terus berkembang di tengah persaingan industri asuransi yang semakin kompetitif. Saat ini, keberadaan asuransi hadir sebagai lembaga keuangan bukan bank yang bergerak dalam bidang pertanggungan bukanlah merupakan suatu hal yang baru. Asuransi merupakan salah satu produk jasa keuangan yang berkembang di Indonesia seiring dengan timbulnya perekonomian nasional. Asuransi sudah mulai dirasakan banyak manfaatnya baik bagi perorangan, kelompok masyarakat, maupun dunia usaha. Pertumbuhan dan perkembangan usaha asuransi ini 9 didukung dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan perlunya persiapan menghadapi risiko di masa yang akan datang. Hal ini merupakan akibat telah terpenuhinya berbagai macam kebutuhan pokok mereka, sehingga mereka akan mengutamakan keselamatan diri, keluarga, serta harta benda mereka yang bermuara pada asuransi. Berbagai macam produk dari asuransi yang dipasarkan, mulai dari asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi pendidikan dan lain sebagainya. Fungsi utama dari asuransi adalah sebagai mekanisme untuk mengalihkan risiko (risk transfer mechanism) yaitu mengalihkan risiko dari satu pihak (tertanggung) kepada pihak lain (penanggung). Pengalihan risiko ini tidak berarti menghilangkan kemungkinan ketidakberuntungan (misfortune) melainkan pihak penanggung menyediakan pengamanan finansial (financial security) serta ketenangan (peace of mind) bagi tertanggung. Sebagai imbalannya, tertanggung membayarkan premi dalam jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan potensi kerugian yang mungkin dideritanya. Begitu pula dalam asuransi jiwa yang dipertanggungkan adalah kematian. Kematian tersebut mengakibatkan hilangnya pendapatan seseorang atas suatu keluarga tertentu. Risiko yang mungkin timbul dalam asuransi jiwa terletak pada unsur waktu, karena sulit untuk mengetahui kapan seseorang meninggal dunia. Untuk memperkecil risiko tersebut maka diadakan pertanggungan jiwa. 10 Menurut Purwosutjipto, yang dimaksud pertanggungan jiwa adalah :11 “Perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung dimana penutup asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan memberi uang premi kepada penanggung, sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dari meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjikan mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang yang ditunjuk oleh penutup asuransi sebagai penikmatnya.” Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menyatakan bahwa : “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.” Sedangkan menurut ketentuan Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) bahwa : “Asuransi atau Pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan diderita karena suatu peristiwa yang tak tertentu.” Dari definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa asuransi adalah suatu perjanjian dimana penanggung menerima premi dan mengikatkan dirinya terhadap tertanggung untuk menanggung kerugian karena kehilangan atau ketiadaan keuntungan yang mungkin timbul karena peristiwa yang tidak pasti. Dari 11 H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, jilid 6, cet. 4., (Jakarta: Djambatan, 1996), hlm. 10. 11 pengertian Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) itu dapat disimpulkan adanya 3 (tiga) unsur dalam asuransi, yaitu :12 1. Pihak tertanggung yang mempunyai kewajiban membayar uang premi kepada pihak penanggung sekaligus atau dengan berangsur-angsur. 2. Pihak penanggung mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada pihak tertanggung, sekaligus atau berangsur-angsur apabila maksud unsur ke-3 berhasil. 3. Suatu kejadian yang semula belum jelas akan terjadi. Pada mulanya jenis asuransi yang sangat populer dikalangan masyarakat Indonesia adalah asuransi kerugian. Asuransi jiwa saat itu kurang berkembang di Indonesia, disebabkan masyarakat masih banyak belum mengetahui dan memahami tentang asuransi jiwa dan manfaat apa yang dapat diperoleh dari asuransi jiwa tersebut. Rendahnya tingkat pendapatan perkapita masyarakat Indonesia, mengakibatkan tidak semua kalangan bisa membeli asuransi jiwa. Perkembangan asuransi sendiri sangat berkaitan dengan tingkat pendapatan masyarakat. Makin tinggi pendapatan per kapita makin mampu masyarakat memiliki rasa kekayaan dan makin dibutuhkan pula keselamatan dari ancaman bahaya, sekaligus membuat usaha asuransi berkembang dengan berbagai produk yang ditawarkan ke masyarakat yang meliputi asuransi jiwa, asuransi kerugian dan asuransi sosial.13 Namun tidak menyurutkan para pengusaha asuransi jiwa untuk maju dalam dunia 12 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Hukum Asuransi Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), hlm. 1-2. 13 Abdulkadir Muhammad, Asuransi Dalam Perspektif Syariah, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 4. 12 usahanya. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya perusahaan asuransi yang bergerak dalam bidang asuransi jiwa. Salah satu perusahaan asuransi yang bergerak di bidang asuransi jiwa yang ada di Indonesia adalah PT. Asuransi Jiwasraya (Persero). Suatu perjanjian asuransi harus dibuat secara tertulis dalam suatu akte yang dinamakan polis. Hal ini diatur dalam Pasal 255 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Dalam perjanjian asuransi ini akan mengikat kedua pihak penanggung dan tertanggung, dengan hak dan kewajiban yang dituangkan dalam suatu polis asuransi. Isi perjanjian umumnya disusun oleh perusahaan asuransi menjadi sesuatu yang baku atau standar. Isi perjanjian asuransi disamping memuat bahasa-bahasa hukum, juga sangat teknis dan spesifik, dimana pada umumnya sangat sulit untuk memahami isi polis asuransi. Jangankan pihak tertanggung banyak pelaku dalam perusahaan perasuransian juga kurang memahami isi perjanjian. Menurut ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), setiap perjanjian harus dilandasi oleh itikad baik para pihak yang mengadakan perjanjian. Hal demikian berlaku pula pada perjanjian asuransi. Perjanjian asuransi mempunyai sifat-sifat khusus dibandingkan dengan jenis-jenis perjanjian lain yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) diartikan bahwa tertanggung harus menyadari bahwa pihaknya mempunyai kewajiban untuk keterangan yang sebenar-benarnya, sejujur-jujurnya dan selengkap-lengkapnya mengenai keadaan obyek yang diasuransikan. 13 Keberhasilan underwriting (seleksi risiko) dalam sebuah lembaga asuransi jiwa ditentukan oleh banyak hal, baik dari calon tertanggung atau dari pihak perusahaan asuransi sendiri. Sebelum perjanjian asuransi diterbitkan dalam bentuk polis, agen asuransi sebagai wakil dari lembaga asuransi akan melakukan wawancara terlebih dahulu dengan calon tertanggung mengenai kegiatan dan kesehatan tertanggung terutama dalam dua tahun terakhir. Sementara calon tertanggung harus menyampaikan semua fakta yang diketahuinya secara jujur tentang dirinya.14 Keterangan secara jujur sangat penting bagi lembaga asuransi karena dari keterangan tersebut, akan dapat dianalisis risiko calon tertanggung sehingga dapat ditentukan besar premi yang harus dibayar. Keterangan secara jujur dari tertanggung merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum perjanjian asuransi dibuat secara kongkrit dalam bentuk polis. Yang dikenal dengan principle of utmost good faith merupakan prinsip itikad baik atau prinsip kejujuran yang sempurna, yakni setiap tertanggung berkewajiban memberitahukan secara jelas dan teliti mengenai segala fakta penting yang berkaitan dengan obyek yang diasuransikan serta tidak mengambil untung dari asuransi. Perjanjian asuransi yang telah disepakati kedua pihak merupakan perbuatan hukum (das sein) yang mana kedua pihak harus mematuhi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian asuransi tersebut (das sollen). Salah satu bentuk pelanggaran terhadap prinsip itikad baik ini adalah menyembunyikan fakta tentang kesehatan diri tertanggung dengan cara 14 Bronto Hartono, “Prinsip Utmost Good Faith Dalam Pelaksanaan Perjanjian Asuransi Jiwa PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) di Regional Office Semarang, Tesis Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2005. 14 menyampaikan informasi secara tidak jujur. Pelanggaran tersebut dapat menyebabkan persoalan hukum dikemudian hari terhadap perjanjian yang telah dibuat antara tertanggung dengan lembaga asuransi sebagai penanggung. Terutama jika terjadi klaim asuransi (jiwa) dari tertanggung, keluarga atau ahli warisnya.15 Penanggung menyatakan bahwa tertanggung tidak melaksanakan itikad baik sehingga klaim asuransi yang diajukan ditolak oleh perusahaan asuransi. Seperti kasus seorang tertanggung yang bernama Efiza yang melakukan perjanjian asuransi jiwa dengan penanggung PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) Cabang Padang, dengan masa asuransi 10 tahun. Pada bulan kedua tertanggung Efiza meninggal dunia. Ahli waris tertanggung Efiza mengajukan klaim kepada PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) Cabang Padang. Dari hasil klarifikasi dan investigasi penanggung, ternyata diketahui bahwa sebelum melakukan perjanjian asuransi jiwa dengan penanggung, tertanggung Efiza telah menderita penyakit kanker payudara. Hal tersebut diketahui dari keterangan dokter yang menerangkan bahwa tertanggung Efiza dinyatakan menderita penyakit kanker payudara stadium IV. Penyakit ini tidak disampaikan oleh tertanggung Efiza kepada PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) melalui agen, sebagaimana diharuskan dalam pengisian Surat Keterangan Kesehatan yang telah ditandatangani oleh calon tertanggung. Surat Keterangan Kesehatan tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian asuransi jiwa yang ditandatangani oleh tertanggung 15 Ibid., hlm. 4. 15 sehingga perjanjian yang diajukan oleh tertanggung dinyatakan cacat hukum oleh penanggung. Lebih lanjut dikatakan oleh pihak penanggung, bahwa penolakan pembayaran klaim asuransi jiwa itu terjadi karena terdapat unsur ketiadaan itikad baik (bad faith). Selain dari sisi tertanggung, tidak dibayarnya uang asuransi juga dapat disebabkan karena kesalahan yang ditimbulkan oleh pihak perusahaan asuransi. Misalnya ketidakjujuran agen asuransi dalam menjelaskan dan menerangkan produk asuransi jiwanya. Sebagai contoh, saat bertemu dengan calon tertanggung, agen asuransi mengatakan bahwa perusahaan asuransi akan membayar uang pertanggungan asuransi jiwa bila kematian disebabkan penyakit kritis, termasuk jika risiko tersebut terjadi di tahun pertama padahal umumnya tidak demikian. Tidak semua perusahaan asuransi mempunyai kebijakan yang sama. Jadi, apa yang dilihat dan dibaca calon tertanggung dalam polis asuransi tersebut, itulah yang harus dijadikan rujukan, bukan dari apa yang dikatakan agen asuransi. Umumnya perusahaan asuransi memberikan semacam jaminan uang kembali jika ternyata calon tertanggung tidak puas terhadap Pasal-Pasal yang tertera dalam polis. Maka calon tertanggung juga bisa mengembalikan polisnya dan meminta uang yang telah dibayar oleh perusahaan asuransi. Dalam hal ini tentu saja selama pengembalian polis itu berada dalam batas jangka waktu tertentu, ditetapkan oleh perusahaan asuransi. Tetapi tidak semua agen asuransi tidak bisa dipercayai. Semua kembali kepada kepribadian agen dan karakternya masing-masing. 16 Untuk membuktikan apakah presentasi yang diberikan agen asuransi jiwa tersebut itu benar, calon tertanggung harus mencocokkan dengan polis asuransi yang diterbitkan. Bila sama, berarti agen asuransi jujur dan bisa dipercaya. Bila tidak, calon tertanggung dapat melaporkan kepada perusahaan asuransinya. Dalam prakteknya, ada juga perusahaan asuransi yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang perasuransian. Padahal tertanggung telah memenuhi semua persyaratan yang diminta, jujur dalam mengisi surat permohonan, rajin membayar premi, mengirimkan pengajuan klaim masih dalam jangka waktu yang ditentukan, tetapi ketika terjadi klaim pelaksanaan pembayaran klaim masih belum dilaksanakan oleh pihak perusahaan dengan berbagai alasan sehingga pihak pemegang polis merasa dirugikan. Berdasarkan deskripsi tersebut di atas, semakin jelas bahwa prinsip utmost good faith mempunyai peran yang amat penting dalam perjanjian asuransi, atas dasar itu penulis tertarik untuk membahas masalah tentang “PELANGGARAN PRINSIP ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN ASURANSI PADA P.T. ASURANSI JIWASRAYA (PERSERO) CABANG PADANG.” B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apa saja yang mendasari terjadinya pelanggaran prinsip itikad baik (utmost good faith) dalam perjanjian asuransi jiwa. 2. Bagaimana penyelesaian dan akibat hukum terhadap pelanggaran prinsip itikad baik (utmost good faith) dalam perjanjian asuransi. 17 C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendasari terjadinya pelanggaran prinsip itikad baik (utmost good faith) dalam perjanjian asuransi jiwa. 2. Untuk mengetahui penyelesaian dan akibat hukum terhadap pelanggaran prinsip itikad baik (utmost good faith). D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian mengenai Pelanggaran Prinsip Itikad Baik (utmost good faith) Dalam Perjanjian Asuransi antara lain dapat ditinjau dari dua segi, yaitu : 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu perspektif baru dalam pengkajian terhadap Pelanggaran Prinsip Itikad Baik (utmost good faith) dalam Perjanjian Asuransi. b. Untuk lebih memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi penulis baik di bidang hukum pada umumnya, maupun di bidang hukum keperdataan dan asuransi pada khususnya. c. Dapat menambah perbendaharaan literatur yang ada mengenai perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai Pelanggaran Prinsip Itikad Baik (utmost good faith) Dalam Perjanjian Asuransi. 2. Manfaat Praktis a. Dapat memberikan masukan kepada semua pihak yang terkait dengan masalah asuransi khususnya calon tertanggung dan lembaga asuransi 18 mengenai pentingnya prinsip itikad baik (utmost good faith), khususnya informasi mengenai kesehatan tertanggung. b. Memberikan informasi kepada para peneliti untuk bahan penelitian lanjutan atau bagi yang memerlukan. c. Bagi masyarakat penelitian ini dapat memberikan suatu pemahaman dan pengetahuan terhadap pentingnya prinsip itikad baik (utmost good faith) dalam perjanjian asuransi. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan latar belakang diatas yang mengkaji persoalan tentang Pelanggaran Prinsip Itikad Baik Dalam Perjanjian Asuransi Pada P.T. Asuransi Jiwasraya (Persero) Cabang Padang maka penulis tertarik untuk menelitinya. Adapun penelitian yang bertemakan tentang prinsip itikad baik yaitu tesis yang ditulis oleh Bronto Hartono, Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang tahun 2005 dengan judul : Prinsip Utmost Good Faith dalam Pelaksanaan Perjanjian Asuransi Jiwa PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) di Regional Office Semarang. Akan tetapi dalam perumusan masalah terdapat perbedaan antara penulis dengan penulis sebelumnya. Pada penelitian Bronto Hartono rumusan masalah yang diangkat adalah : 1. Apakah cacat (kesehatan) tersembunyi merupakan pelanggaran prinsip utmost good faith. 19 2. Bagaimana akibat hukum klaim asuransi, apabila terdapat cacat (kesehatan) tersembunyi dalam perjanjian asuransi jiwa, jika dihubungkan dengan prinsip utmost good faith. 3. Bagaimana penyelesaian sengketa klaim asuransi dalam perjanjian asuransi jiwa yang diketahui terdapat cacat (kesehatan) tersembunyi. Pada penelitian ini, penulis melakukan penelitian mengenai faktor-faktor apa saja yang mendasari terjadinya pelanggaran prinsip itikad baik dalam perjanjian asuransi jiwa, bagaimana penyelesaian dan akibat hukum terhadap pelanggaran prinsip itikad baik dalam perjanjian asuransi. Perbedaan lainnya dari penelitian yang sebelumnya adalah penulis sebelumnya melakukan penelitian pada PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) Regional Office Semarang, sedangkan penulis sekarang melakukan penelitian pada PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) Cabang Padang. Persamaan dari penelitian ini adalah sama-sama mengenai prinsip itikad baik dalam perjanjian asuransi jiwa. F. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual 1. Kerangka Teoritis a. Teori Itikad Baik Itikad baik dalam suatu perjanjian terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang menyatakan persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Akan tetapi dalam Pasal tersebut tidak disebutkan secara eksplisit apa yang dimaksud dengan “itikad baik”. Akibatnya akan ditemui 20 kesulitan dalam menafsirkan itikad baik itu sendiri. Itikad baik merupakan suatu pengertian yang abstrak yang berhubungan dengan apa yang ada dalam alam pikiran manusia. Menurut James Gordley, sebagaimana dikutip oleh Ridwan Khairandy, memang dalam kenyataannya sangat sulit untuk mendefinisikan itikad baik.16 Dalam praktek pelaksanaan perjanjian sering ditafsirkan sebagai hal yang berhubungan dengan kepatuhan dan kepantasan dalam melaksanakan suatu kontrak. Penerapan prinsip itikad baik dalam kontrak bisnis, haruslah sangat diperhatikan terutama pada saat melakukan perjanjian pra kontrak atau negosiasi, karena itikad baik baru diakui pada saat perjanjian sudah memenuhi syarat sahnya perjanjian atau setelah negosiasi dilakukan. Perjanjian asuransi terbentuk secara kongkrit jika dibuat dalam bentuk polis. Prinsip itikad baik menjadi salah satu instrument hukum untuk membatasi kebebasan berkontrak dan kekuatan mengikatnya perjanjian. Itikad baik dapat dilihat dari pengertian subyektif yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Itikad baik dalam pengertian obyektif adalah pelaksanaan suatu perjanjian harus 16 Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. 129-130. 21 didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat yang tidak melanggar norma kepatutan dan keadilan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata.17 b. Teori Kepercayaan (Vertrouwens Theorie) Dalam teori kepercayaan ini berusaha untuk membentuk suatu perjanjian yang bergantung kepada kepercayaan atau pengharapan yang muncul oleh para pihak dan merupakan sebagai akibat dari pernyataan yang diungkapkan.18 Apabila teori ini dikaitkan dengan sektor asuransi, maka dapat dilihat perusahaan asuransi mempunyai kayakinan berupa kepercayaan, bahwa setiap perlindungan asuransi yang diberikan bermanfaat bagi tertanggung sesuai dengan preminya dan penanggung (perusahaan asuransi) percaya yang bersangkutan mampu untuk memenuhi semua kewajibannya. Dalam praktek pertanggungan asuransi merupakan perjanjian dengan unsur saling percaya antara penanggung dan tertanggung. Penanggung percaya bahwa tertanggung akan memberikan segala keterangan dengan baik dan benar. Di lain pihak tertanggung juga percaya bahwa kalau terjadi peristiwa penanggung akan membayar ganti rugi. Saling percaya merupakan asas dari kejujuran yang merupakan asas yang sangat penting dalam setiap perjanjian pertanggungan sehingga harus dipenuhi oleh para pihak yang mengadakan perjanjian untuk menghindari terjadinya kecurangan atau kejahatan asuransi. Tetapi jika 17 Blogmhariyanto.blogspot.com/2009/07 asas-asas-perjanjian.html Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di bidang Kenotariatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 76. 18 22 tertanggung melakukan moral hazard yaitu perilaku yang menimbulkan kerugian terhadap penanggung dengan melakukan kecurangan dan ketidakjujuran dalam hal pemberitahuan mengenai obyek yang diasuransikan, maka akan menemui kesulitan dan masalah saat melakukan pengajuan klaim asuransi. Begitu pula sebaliknya, jika pihak penanggung tidak memberikan keterangan yang jelas dan lengkap kepada tertanggung mengenai asuransi maka merupakan moral hazard dari penanggung kepada tertanggung yang menimbulkan ketidakpercayaan tertanggung terhadap penanggung (perusahaan asuransi) itu sendiri. 2. Kerangka Konseptual Untuk menghilangkan suatu keraguan dan kerancuan di dalam memahami pengertian judul yang dikemukakan, maka perlu adanya definisi dan beberapa konsep. Konsep yang penulis maksud antara lain : a. Pelanggaran Pelanggaran jika digunakan sebagai kata sifat, maka mempunyai arti suatu perbuatan. Sedangkan awalan “pe” dan “an” pada kata pelanggaran tersebut berarti proses, cara, perbuatan melanggar. b. Prinsip Prinsip jika digunakan sebagai kata benda, maka mempunyai arti asas, dasar (kebenaran yang menjadi dasar pokok berpikir, bertindak dan sebagainya). 23 c. Itikad Baik Itikad Baik merupakan prinsip kejujuran yang sempurna yakni suatu tindakan untuk mengungkapkan secara akurat dan lengkap, semua fakta material (material fact) mengenai sesuatu yang akan diasuransikan baik diminta maupun tidak. Artinya si penanggung harus dengan jujur menerangkan dengan jelas segala sesuatu tentang luasnya syarat dari asuransi dan si tertanggung juga harus memberikan keterangan yang jelas dan benar atas obyek atau kepentingan yang dipertanggungkan. Sudah menjadi kelaziman bahwa setiap perjanjian mewajibkan pelaksanaan secara adil, namun satu pihak tidak bertanggung jawab kepada pihak lain untuk memastikannya. Kewajiban demikian, ada pada masingmasing pihak untuk melakukannya secara jujur sesuai dengan persyaratan dalam perjanjian. d. Perjanjian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), perjanjian diatur dalam Buku Ketiga dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 tentang perikatan. Pasal-pasal tersebut tidak secara khusus mengatur mengenai perjanjian akan tetapi mengenai perikatan. Perjanjian yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menganut sistem terbuka, yang mengandung arti bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. 24 Pengertian perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) diatur dalam Pasal 1313 yaitu suatu pesetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan diri terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih. Menurut R. Subekti yang dimaksud perjanjian adalah :19 “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, yang dalam bentuknya perjanjian itu dapat dilakukan sebagai suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan secara lisan maupun tertulis.” Sedangkan Menurut Wirjono Prodjodikoro,20 “Perjanjian adalah sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.” Dari semua pengertian perjanjian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian harus ada para pihak yang berjanji dan sepakat untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menegaskan syarat sahnya suatu perjanjian yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal. 19 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1994), hlm. 1. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur, 1981), hlm. 11. 20 25 Syarat pertama dan kedua adalah syarat-syarat subjektif karena mengenai subjek yang mengadakan perjanjian. Syarat ketiga dan keempat adalah syarat objektif karena mengenai perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan tersebut. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan, tetapi jika syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void). Suatu perjanjian dapat dikatakan tidak sah diatur dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dikarenakan kekhilafan atau kekeliruan (dwaling), pemerasan atau paksaan (dwang), penipuan (bedrog). Unsur kekhilafan atau kekeliruan dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu kekhilafan mengenai orangnya dinamakan eror in persona dan kekhilafan mengenai barangnya dinamakan eror in substansia. Mengenai kekhilafan atau kekeliruan yang dibatalkan harus mengenai pokok perjanjian yaitu mengenai objek atau prestasi yang dikehendaki. Sedangkan kekhilafan atau kekeliruan mengenai orangnya tidak menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan. Hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Paksaan (dwang) terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman sedangkan mengenai pengertian penipuan (bedrog) ini terjadi apabila menggunakan perbuatan secara muslihat sehingga menimbulkan suatu gambaran yang tidak jelas dan benar mengenai suatu hal kepada pihak lain. 26 e. Asuransi Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.21 f. Perusahaan Asuransi Perusahaan Asuransi adalah organisasi berbadan hukum yang mengadakan usaha dengan cara yang teratur untuk mencari laba dalam bidang asuransi.22 G. Metode Penelitian 1. Tipe dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif artinya penelitian menerangkan, memaparkan, melaporkan secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan pelanggaran prinsip itikad baik serta akibat hukumnya terhadap tertanggung maupun lembaga asuransi dalam kaitannya dengan perjanjian asuransi yang telah 21 Indonesia, Undang-Undang tentang Usaha Perasuransian, Undang-Undang Nomor 2, Lembaran Negara Nomor 13 Tahun 1992, pasal. 1, angka 1. 22 Peter Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Pers, 1991), hlm. 1695. 27 dilakukannya. Sebagai penelitian hukum, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, yaitu suatu penelitian yang menggunakan bahan kepustakaan dan melihat peraturan yang berkaitan dengan Pelanggaran Prinsip Itikad Baik (utmost good faith) Dalam Perjanjian Asuransi Pada PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) Cabang Padang atau data-data sekunder sebagai data awalnya kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data lapangan.23 Penelitian ini mengkaji tentang Pelanggaran Prinsip Itikad Baik Dalam Perjanjian Asuransi pada PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) Cabang Padang dengan pendekatan konseptual yakni pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum guna menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. 2. Sumber dan Jenis Data A. Data Sekunder Merupakan suatu cara penelitian yang penulis lakukan dengan mempelajari buku-buku yang relevan dengan penelitian ini dan dapat diperoleh dengan penelitian kepustakaan (library research). 23 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004), hlm. 133. 28 Data sekunder ini diperoleh dari : 1. Bahan Hukum Primer Yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi individu atau masyarakat yang dapat membantu dalam penelitian seperti : a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). c. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHDagang). d. Peraturan lain yang berkaitan dengan asuransi. e. Dokumen perjanjian asuransi seperti formulir aplikasi, kwitansi premi, polis. 2. Bahan Hukum Sekunder Yaitu bahan-bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer bahkan yang dapat membantu dalam meneliti, menganalisa dan memahami bahan hukum primer seperti : a. Hasil-hasil Penelitian. b. Teori-teori hukum dan pendapat-pendapat sarjana melalui literatur yang dipakai.24 c. Disertasi, tesis, karya tulis dari kalangan hukum. d. Jurnal. e. Buku-buku tentang Hukum Perdata. f. Buku-buku tentang Hukum Perjanjian. 24 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1997), hlm. 116. 29 g. Buku-buku Penelitian Hukum. h. Buku-buku tentang Hukum Asuransi. 3. Bahan Hukum Tersier Yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi, petunjuk, penjelasan terhadap bahan-bahan hukum sekunder, antara lain : a. Kamus hukum dan ensiklopedia. b. Majalah, tabloid dan koran. c. Brosur yang relevan. B. Data Primer Merupakan data yang diperoleh secara langsung oleh penulis. Ini dapat dikumpulkan melalui penelitian lapangan (Field Research) langsung ke PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) Cabang Padang. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang penulis pakai adalah : a. Studi Dokumen Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, setiap bahan hukum itu harus diperiksa ulang validitas dan reliabilitasnya atau mutu kehandalan, karena hal ini menentukan hasil suatu penelitian. b. Wawancara (Interview) Adalah untuk memperoleh informasi dengan cara menanyakan langsung kepada Pimpinan P.T. Asuransi Jiwasraya (Persero) Cabang Padang dan beberapa orang responden. Wawancara yang dilakukan 30 dengan cara semi struktur artinya dengan membuat daftar pertanyaan, yang kemudian dapat dikembangkan pada saat wawancara. 4. Populasi dan Sampel a. Populasi Penelitian Populasi diartikan sebagai seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti.25 Populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seluruh pihak yang terkait yaitu Pimpinan, karyawan PT. Asuransi Jiwasraya Cabang Padang, agen, pemegang polis. Populasi digunakan untuk memperoleh data yang akurat dan tepat guna penulisan tesis ini. b. Sampel Penelitian Pemilihan sampel berdasarkan pada pengambilan data melalui purposive sampling yaitu peneliti sendiri yang akan menentukan subjek yang akan di wawancara. 5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data a. Pengolahan Data Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data di lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisis.26 Dalam penelitian ini, setelah data yang diperlukan berhasil diperoleh maka penulis melakukan pengolahan terhadap data tersebut. Dengan cara editing yaitu dengan meneliti kembali catatan-catatan, berkas-berkas, informasi 25 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 44. 26 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1999), hlm. 72. 31 dikumpulkan oleh para pencari data yang diharapkan akan dapat meningkatkan mutu kehandalan (reliabilitas) data yang hendak dianalisis.27 b. Analisis Data Analisa data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data untuk dapat memecahkan dan menguraikan masalah yang akan diteliti. Berdasarkan bahan hukum yang diperoleh, maka diperlukan adanya teknik analisa bahan hukum. Setelah didapatkan data-data yang diperlukan, penulis melakukan analisis secara kualitatif,28 yakni dengan melakukan penilaian terhadap data-data yang penulis dapatkan di lapangan dengan bantuan literatur-literatur atau bahan-bahan terkait dengan penelitian, kemudian ditarik kesimpulan yang dijabarkan dalam penulisan deskriptif. H. Sistematika Penulisan Untuk lebih jelasnya mengenai tesis ini dan tujuan dari pembahasannya, penulis menguraikan secara ringkas tentang sistematika penulisan yang dibagi dalam empat bab berikut ini : BAB I : Merupakan pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : Merupakan tinjauan pustaka, yang terdiri dari tinjauan umum tentang perjanjian yang menguraikan pengertian dan pengaturan 27 28 Amirudin dan Zainal Asikin, op. cit., hlm 168-169. Bambang Waluyo, op. cit., hlm. 77. 32 perjanjian, asas-asas dalam hukum perjanjian, syarat-syarat sahnya perjanjian, jenis-jenis perjanjian, berakhirnya perjanjian, akibat perjanjian. Dalam bab ini juga akan diuraikan mengenai tinjauan umum tentang asuransi yang terdiri dari pengertian asuransi, dasar hukum asuransi, aspek hukum privat perjanjian asuransi, perjanjian sebagai landasan asuransi, asas dan prinsip dasar asuransi, sifat-sifat perjanjian asuransi. BAB III : Merupakan bahasan tentang hasil penelitian yang berisikan uraian tentang faktor-faktor apa saja yang mendasari terjadinya pelanggaran prinsip itikad baik (utmost good faith) dalam perjanjian asuransi jiwa, bagaimana penyelesaian dan akibat hukum terhadap pelanggaran prinsip itikad baik (utmost good faith) dalam perjanjian asuransi. BAB IV : Merupakan bab penutup yang berisikan paparan tentang kesimpulan dan saran-saran yang dianggap perlu dan bermanfaat bagi penulis maupun bagi para pemerhati kajian dalam tesis ini. 33