keragaan dan dampak penerapan sistem usaha tani konservasi

advertisement
KERAGAAN DAN DAMPAK PENERAPAN SISTEM
USAHA TANI KONSERVASI TERHADAP
TINGKAT PRODUKTIVITAS LAHAN
PERBUKITAN YOGYAKARTA
Abdullah Abas Id., Y. Soelaeman, dan A. Abdurachman
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123
ABSTRAK
Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah mendorong petani
untuk membuka lahan kering berlereng sebagai lahan usaha tani. Lemahnya penerapan teknik konservasi tanah
menyebabkan terjadinya erosi dan degradasi lahan serta munculnya lahan kritis yang mencapai 158.600 ha.
Hampir 90% (142.740 ha) lahan kering berlereng telah dibuat teras bangku, namun kondisi dan struktur teras belum
sempurna sehingga erosi tanah dan aliran permukaan menjadi tidak terkendali. Upaya penanganan dan perbaikan
kawasan perbukitan kritis telah dilakukan dengan menerapkan teknologi sistem usaha tani konservasi (SUK) sesuai
zona agroekosistem setempat. Komponen teknologi SUK meliputi pengendalian erosi tanah, penataan aliran air
permukaan, introduksi ternak dan hijauan pakan, dan penggunaan tanaman tahunan penguat teras. Selama tahun
1993−1997, penerapan teknologi ini berhasil mengendalikan laju erosi tanah. Indeks erosi tanah secara nyata
dapat diperkecil 45−64% (12,24−15,60 t/ha/tahun), meskipun masih lebih tinggi dari nilai yang diperbolehkan (6−
8 t/ha/tahun). Pendapatan petani juga meningkat 28−190%. Aliran air permukaan pada musim hujan yang
ditampung pada kolam penampung air (embung) dapat dimanfaatkan untuk menyiram tanaman pada musim
kemarau. Populasi ternak ruminansia juga berkembang. Teknologi SUK ini telah diadopsi dengan baik, sehingga
dapat menekan erosi dan meningkatkan kesuburan tanah. Limbah ternak berupa pupuk kandang telah dimanfaatkan
untuk meningkatkan kesuburan tanah. Dalam jangka panjang, introduksi SUK diharapkan dapat menstabilkan dan
meningkatkan produktivitas lahan kering berlereng.
Kata kunci: Sistem usaha tani, konservasi lahan, pengendalian erosi, produktivitas lahan, perbukitan
ABSTRACT
Impact of the application of conservation farming systems on land productivity in
hilly lands of Yogyakarta
Continuous population pressure has led to an expansion of subsistance agriculture in upland of the Province of
Yogyakarta Special Territory (DIY). Such agricultural systems and poor conservation practices are viewed as a
major cause of soil erosion and land degradation of which 158,600 ha are considered as critical land. Almost 90%
(142,740 ha) of sloping land has been terraced, but the condition of terrace structure is generally poor, inducing
severe soil loss due to uncontrolled run-off. In general, the productivity of the existing agriculture system in the
sloping dryland are low. Farming system development through a better management of the conservation farming
systems according to the local agroecosystems zones has been done. The conservation farming systems will
emphasize conservation technology, management of run-off water, introduction ruminant livestock and fodder
crops and fruit and industrial trees. During 1993−1997, the applications of a better conservation farming system
have been quite successful in term of decreasing erosion rate. The erosion index has been decreased significantly,
its effectiveness range from 45−64% (12.24−15.60 t/ha/year), even though the rate is still greater than the
tolerable soil loss in the area, which ranges 6−8 t/ha/year. The conservation farming system has increased farmer
income (28−190%) due to increasing the farm productivity. Conserving the run-off water in wet season in small
reservoir for dry season uses has enable farmers to grow high values vegetables and protect young trees in dry
season. The number of all ruminants has increased over the past five years. Adoption rates of the introduced
technologies are not too difficult to asses. Some cooperating farmers have given much attention to their upland.
and become firmly established. The amount of manure is adequate to improve soil fertility, thereby is expected to
stabilize and sustain the upland farming systems.
Keywords: Farming systems, soil conservation, erosion control, land productivity, highlands
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
49
K
ebijakan pembangunan pertanian
selama Pelita I−V yang terlalu terpusat pada lahan sawah menyebabkan
perhatian dan pengelolaan usaha tani
lahan kering terutama di daerah aliran
sungai (DAS) bagian hulu semakin
tertinggal. Ketimpangan ini telah menimbulkan beberapa masalah antara lain
kerusakan lahan dan lingkungan yang
semakin luas, pengelolaan lahan yang
tidak sesuai dengan kemampuannya,
serta produktivitas lahan yang rendah
akibat terjadinya degradasi lahan. Menurut Siswomartono et al. (1990),
sebanyak 39 DAS kritis perlu mendapatkan prioritas penanggulangan dalam
Pelita V.
Masalah utama dalam usaha tani di
lahan kering berlereng adalah terjadinya
erosi tanah bila tidak disertai dengan
tindakan konservasi (Suwardjo et al.
1995). Erosi sangat merugikan produktivitas lahan karena dalam waktu relatif
singkat, tanah lapisan atas yang subur
hilang. Sebagai contoh, tanah Latosol
(Inceptisol) pada kemiringan lahan 14%
di Citayam, Bogor, yang ditanami tanaman semusim tanpa tindakan konservasi
tanah, mengalami kehilangan tanah
setebal 2,50 cm/tahun dan penurunan
produktivitas lahan setelah dua tahun.
Jika tanah yang hilang setebal 10 cm,
maka produksi dapat menurun lebih dari
50% meskipun dilakukan pemupukan
lengkap (Suwardjo 1981). Kerusakan tanah
karena hilangnya unsur hara dapat
diperbaiki dengan menambahkan pupuk
yang tepat, tetapi kerusakan tanah akibat
hilangnya fungsi produksi dan hidrologi
memerlukan proses rehabilitasi yang
relatif lama.
Lahan kering kritis di Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) selama Pelita
IV−V cenderung bertambah dengan laju
30,50%. Sekitar 25.692 ha terdapat di
areal pertanian dan 3.700 ha di lahan
hutan (Maas et al. 1995). Lahan kritis ini
dikhawatirkan semakin meluas karena
tidak seimbang dengan lahan yang
berhasil direhabilitasi. Lahan kritis
sebagian besar terdapat di DAS bagian
hulu dan tengah dan telah berdampak
buruk terhadap wilayah itu sendiri
dan bagian hilir, antara lain timbulnya
banjir dan longsor pada musim hujan
serta kekeringan pada musim kemarau.
Kerugian akibat terjadinya lahan kritis di
Indonesia cukup besar, diperkirakan
mencapai Rp 10 triliun/tahun (Karama dan
Abdurachman 1995).
50
Penerapan sistem usaha tani konservasi dalam pengelolaan DAS di DIY di
harapkan dapat mengendalikan erosi,
mengawetkan lengas tanah, dan meningkatkan hasil pertanian. Upaya
tersebut merupakan bagian dari suatu
rencana konstruktif untuk memperbaiki
pengelolaan lahan dan air. Ketiga upaya
itu hanya efektif apabila merupakan
bagian dari pendekatan penggunaan lahan yang serasi menurut kemampuannya
(Hudson dan Notohadiprawiro 1983),
artinya tidak terjadi penggunaan lahan
melampaui batas (over-utilization) atau di
bawah kemampuannya (under-utilization).
METODE USAHA TANI
KONSERVASI DI LAHAN
KERING DIY
Sistem usaha tani konservasi di lahan
perbukitan kritis DIY berupa usaha tani
praktis dengan menerapkan kaidah
konservasi yang disesuaikan dengan
kemampuan lahan (Hudson dan Notohadiprawiro 1983). Prinsip usaha tani
konservasi adalah pengendalian erosi
tanah dan konservasi air secara efektif,
serta peningkatan produktivitas tanah
dan stabilitas lereng perbukitan. Untuk
mempercepat tercapainya tujuan konservasi tanah dan pembangunan kawasan
perbukitan diperlukan peran serta
masyarakat/petani.
Selama kurun waktu lima tahun
(1992−1997), telah dihasilkan beberapa
komponen/rakitan teknologi sistem
usaha tani konservasi (SUK) yang
prospektif untuk dikembangkan lebih
lanjut (Badan Litbang Pertanian 1997).
Keberhasilan pengembangan teknologi
ditentukan pula oleh dampak dan
manfaat yang dirasakan oleh petani
sehingga diperlukan evaluasi untuk
mengetahui pengaruhnya terhadap
produktivitas lahan, pendapatan petani,
dan adopsi teknologi.
KEADAAN UMUM WILAYAH
Biofisik Lahan Perbukitan
Kritis di DIY
Propinsi DIY mempunyai areal seluas
318.560 ha (Badan Litbang Pertanian
1997) dan sebagian besar berupa lahan
pertanian. Areal sawah berpengairan
sekitar 20% dan sisanya merupakan lahan
kering yang sumber pengairannya tergantung pada curah hujan (Maas et al.
1995).
Lahan kritis diperkirakan mencapai
158.600 ha (World Bank 1991) yang
tersebar di tiga zona agroekosistem.
Zona agroekosistem II berupa perbukitan kapur Pegunungan Seribu di
Kabupaten Gunung Kidul seluas 70.130
ha; zona agroekosistem III meliputi
perbukitan Baturagung, Kabupaten
Gunung Kidul, perbukitan Dlingo, Kabupaten Bantul dan perbukitan Sentolo
dan Manoreh, Kabupaten Kulonprogo
seluas 79.750 ha; dan zona agroekosistem Va meliputi wilayah lahan labil
lereng vulkanik di Kabupaten Sleman
seluas 8.720 ha (Gambar 1). Zona agroekosistem I (dataran tinggi Wonosari)
tergolong lahan tidak kritis, dan zona V
yang terletak di lereng puncak Gunung
Merapi termasuk kawasan lindung.
Kekritisan lahan dapat disebabkan
oleh dua faktor penting, yaitu faktor
endogen dan eksogen (Notohadiprawiro
1978). Khusus untuk lahan kering
perbukitan di DIY, faktor endogen
meliputi sifat bahan induk, sifat tanah,
dan bentuk fisiografi lahan (Suryanto
1995; Sunarminto 1997), sedangkan
faktor eksogen adalah iklim terutama
curah hujan dan musim kering yang jelas.
Kondisi biofisik lahan sangat beragam.Tanah utama tergolong pada ordo
Entisol, Alfisol, Inceptisol, dan Andosol
(Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat
1993) yang berasal dari bahan induk
kapur/karst. Tanah umumnya miskin
bahan organik dan unsur hara khususnya
N, P, K sehingga produktivitas lahan
tergolong sangat rendah sampai sedang.
Kondisi biofisik lahan di zona II, III, dan
Va dicirikan oleh solum tanah dangkal,
sebagian horizon B telah hilang tererosi,
lereng relatif curam, tekstur pasir atau
fragmentasi, dan terdapat singkapan
batuan di permukaan. Meskipun sebagian
besar lahan telah diteras, lahan masih
rawan erosi dan longsor karena tampingan
teras umumnya tegak, tanpa tanaman
penguat, dan kondisi saluran pembuangan air belum baik. Keadaan ini merupakan
kendala bagi perbaikan tanah sebagai
habitat tanaman, fungsi produksi, dan
hidrologi.
Tingkat bahaya erosi bervariasi dari
rendah, sedang, berat sampai sangat
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
Gambar 1. Peta zona agroekosistem Propinsi DI Yogyakarta.
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
51
berat. Tingkat bahaya erosi rendah
terdapat pada bagian punggung dan
lereng bawah yang mempunyai kemiringan < 15%, bahaya erosi sedang pada
lereng bagian atas dan bawah dengan
kemiringan 15−45%, dan tingkat bahaya
erosi berat sampai sangat berat terdapat
pada lereng bagian atas, tengah, dan bawah dengan kemiringan 30 sampai > 45%.
Keadaan curah hujan, garis isohet,
dan peta tipe curah hujan di kawasan
perbukitan DIY cukup beragam. Zona II
dan III relatif sangat kering (curah hujan
1.500 mm/tahun), zona III memiliki curah
hujan 2.300 mm/tahun, dan zona Va relatif
lebih basah dengan curah hujan 3.100 mm/
tahun. Pada lahan yang berlereng >15%,
intensitas hujan yang relatif besar dan
berlangsung singkat selama 4−5 bulan
(November-Februari/Maret) memacu
terjadinya erosi tanah. Nilai erodibilitas
yang tinggi dan lereng yang panjang
pada tanah bersolum dangkal akan memperbesar laju erosi tanah.
Kondisi Usaha Tani Konservasi
di Tingkat Petani
Munculnya lahan kritis yang tersebar luas
di kawasan perbukitan zona II, III, dan Va
menunjukkan lemahnya penerapan teknik
konservasi di tingkat petani. Upaya
perbaikan lahan serta konservasi tanah
dan air mutlak diperlukan guna meningkatkan fungsi produksi dan fungsi
hidrologi lahan, meningkatkan kesejahteraan petani, memperbaiki lingkungan
hidup, dan membangun pertanian di
kawasan perbukitan.
Kondisi sosial ekonomi petani di
kawasan perbukitan DIY kurang menguntungkan, antara lain ditunjukkan
oleh luas pemilikan lahan relatif sempit
(0,21−0,53 ha/kepala keluarga), tingkat
kepadatan penduduk cukup tinggi (338−
552 jiwa/km2), dan tingkat pendidikan
umumnya rendah (51% berpendidikan
SD, 33% tidak pernah sekolah, 16% berpendidikan nonformal dan buta huruf).
Hal seperti ini menyulitkan petani dalam
menerapkan teknologi usaha tani konservasi (Masbulan et al. 1994).
Upaya memasyarakatkan teknologi
usaha tani konservasi di lahan kering
dengan tanaman pohon-pohonan bernilai
ekonomi tinggi, dikombinasikan dengan
pengembangan usaha ternak ruminansia
sebagai komponen pendukung usaha tani,
dihadapkan kepada masalah rendahnya
52
produktivitas lahan dan kondisi sosial
ekonomi petani. Usaha tani yang berorientasi subsisten juga menghambat
pengembangan sistem usaha tani lahan
kering yang berwawasan konservasi
tanah dan air.
Untuk mempercepat tercapainya
tujuan konservasi tanah dan memacu
integrasi antara teknologi konservasi dan
perbaikan lahan, diperlukan strategi
pendekatan untuk setiap zona agroekosistem. Strategi tersebut kemudian
dibahas bersama petani untuk mempertajam prioritas konservasi (tanaman
penguat teras, tanaman penstabil lereng,
fasilitas embung, ternak ruminansia,
sarana produksi pertanian), mengatasi
berbagai hambatan, dan meningkatkan
kesadaran masyarakat tani di sekitar
lahan kering perbukitan.
KERAGAAN PENERAPAN
SISTEM USAHA TANI
KONSERVASI
Kinerja Konservasi Tanah dan
Air
Kinerja konservasi tanah dan air baik sipil
teknik maupun vegetatif menurut
Suwardjo et al. (1997) menunjukkan
adanya perbaikan yang nyata (Tabel 1).
Kualitas konservasi tanah dan air pada
hampir semua lokasi penelitian tergolong
Tabel 1. Kinerja konservasi tanah dan air pada beberapa zona agroekosistem
di DI Yogyakarta, Desember 1997.
Lokasi/tahun awal penelitian
Zona agroekosistem II
Karangasem/1994
Lahan penelitian
Lahan di luar penelitian
Giriharjo/1994
Lahan pengembangan
Zona agroekosistem III
Nawungan I/1992
Lahan penelitian
Lahan di luar penelitian
Nawungan II/1993
Lahan penelitian
Dlingo/1994
Lahan penelitian
Lahan di luar penelitian
Baturagung/1994
Lahan penelitian
Lahan di luar penelitian
Lahan lokasi pengembangan
Lahan di luar lokasi pengembangan
Banjarsari/1993
Lahan pengembangan
Lahan di luar lokasi pengembangan
Zona agroekosistem Va
Srunen/1994
Lahan penelitian
Lahan di luar penelitian
Kalitengah/1995
Lahan pengembangan
1)
Luas
(ha)
Skor
Kinerja konservasi
Tingkat adopsi 1)
10
30
39
21
Sedang
Kurang
40
26
Sedang
10
30
42
23
Baik
Kurang
10
41
Baik
40
30
37
29
Baik
Sedang
10
−
100
30
40
31
37
34
Baik
Sedang
Sedang
Sedang
100
30
44
25
Baik
Kurang
12
30
35
35
Baik
Baik
40
40
Baik
Tingkat adopsi kurang jika melakukan usaha konservasi mekanik dan vegetatif, tetapi
tidak sesuai dengan ketentuan teknik konservasi.
Tingkat adopsi sedang jika melakukan usaha konservasi mekanik dan vegetatif, tetapi
hanya sebagian yang sesuai dengan ketentuan teknik konservasi.
Tingkat adopsi baik jika melakukan usaha konservasi vegetatif yang sesuai ketentuan
teknik konservasi, tetapi hanya sebagian melakukan usaha konservasi mekanik.
Sumber: Suwardjo et al. (1997).
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
sedang sampai baik yang ditunjukkan,
oleh: 1) kualitas teras yang cukup baik
(bentuk goler kampak) sehingga erosi
dapat ditekan; 2) berfungsinya rumput
penguat teras serta leguminosa perdu
dan pohon-pohonan dalam mengurangi
erosi dan longsor; serta menyediakan
pakan; 3) berfungsinya saluran pembuang air dan bangunan terjunan air; 4)
tidak terjadinya palungan erosi pada
teras gulud; 5) terdapat pergiliran tanaman dengan memanfaatkan pupuk hijau
dan pupuk kandang; 6) jumlah tanaman
tahunan cukup memadai sesuai dengan
kondisi lereng; dan 7) produktivitas tanah
membaik dan erosi mendekati batas
ambang toleransi.
Tingkat adopsi teknologi konservasi
tanah dan air di lahan kering perbukitan
DIY dipengaruhi oleh kondisi biofisik
wilayah pada setiap zona agroekosistem.
Pada zona agroekosistem II dan III yang
umumnya merupakan wilayah perbukitan
berbahan induk karst dan breksi andesit
yang telah mengalami proses erosi cukup
lama, tanahnya mempunyai sifat-sifat
fisika dan kimia yang kurang mendukung
pertumbuhan dan perkembangan tanaman (lahan kritis). Pada zona agroekosistem
Va yang merupakan lahan labil vulkanik
Merapi muda berbahan induk pasir,
kondisi tanahnya masih cukup baik,
tetapi mempunyai potensi menjadi kritis
jika tidak dikelola dengan baik. Perbedaan kondisi biofisik lahan pada setiap zona
agroekosistem secara tidak langsung
telah mempengaruhi dan menciptakan
sistem tata nilai, pandangan, perilaku,
dan tindakan dalam kehidupan petani,
khususnya yang berkaitan dengan aspek
konservasi tanah dan air.
Tingkat adopsi petani terhadap
kinerja konservasi tanah dan air pada
lahan penelitian dan pengembangan di
setiap zona agroekosistem tergolong
sedang sampai baik (Tabel 1). Keadaan
ini disebabkan petugas/teknisi lapangan
tinggal dan bergaul langsung dengan
petani, sehingga kegiatan penyuluhan
dan bimbingan dapat dilakukan secara
intensif sesuai dengan kebutuhan petani.
Adopsi teknologi oleh petani nonkooperator berlangsung melalui proses
difusi dan memerlukan waktu lebih lama,
sehingga tingkat adopsinya tergolong
kurang sampai sedang. Untuk mempercepat adopsi teknologi pada petani
nonkooperator diperlukan sosialisasi
melalui kegiatan penyuluhan. Tingkat
adopsi petani pada zona agroekosistem
Va lebih cepat dibandingkan dengan
petani pada zona agroekosistem II dan
III, karena kondisi agroekosistemnya
lebih baik.
Untuk menurunkan nilai inderosi
sampai batas yang tidak membahayakan
produktivitas lahan pada setiap agroekosistem diperlukan penyuluhan dan
bimbingan yang intensif , terutama dalam
penataan rumput pakan dan tanaman
leguminosa pada bibir dan tampingan
teras, peningkatan penanaman tanaman
buah-buahan, integrasi ternak ruminansia
dalam sistem usaha tani, dan panen hujan
melalui teknologi embung. Koordinasi di
antara berbagai instansi formal dan
informal juga diperlukan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan
pendapatan petani secara berkelanjutan.
Nilai Induk Erosi (Inderosi)
Beberapa teknik konservasi tanah yang
telah populer dan cukup dikenal di
antaranya adalah teras bangku, teras
gulud, budi daya lorong, mulsa, dan strip
rumput (Sukmana 1995). Strip rumput
yang ditanam secara campuran pada
bibir teras paling efektif mengendalikan
erosi (35−40%) (Tabel 3) dan sebagai
sumber hijauan pakan ternak.
Pengukuran tingkat erosi dilakukan
di Banjarsari (lereng 20−40%) dan
Nawungan (lereng 15−30%) menunjukkan bahwa pembuatan teras disertai
dengan penanaman tanaman penguat
teras yang rapat dapat menekan laju
erosi antara 16−20 t/ha/tahun (Hafif et al.
1995; Suhardjo et al. 1995). Pada lahan
berlereng 15−45%, petani telah mengadopsi teknologi konservasi dengan
baik, sehingga erosi dapat dikendalikan
sampai mendekati batas laju erosi yang
dibolehkan (permissible rate of erosion)
sebesar 6−8 t/ha/tahun.
Pemeliharaan ternak mendorong
petani di wilayah perbukitan kritis untuk
menanam rumput yang sangat efektif
untuk mencegah erosi dan longsor.
Teknologi konservasi tanah dan air yang
terintegrasi dengan ternak dan penanaman rumput pakan dalam bentuk strip
sebagai penguat teras terbukti mampu
menekan erosi, meningkatkan kesuburan
tanah, dan mendorong petani untuk
menambah pemilikan ternak. Kekurangan
pakan, pada musim kemarau dapat diatasi
dengan menerapkan teknologi penyimpanan pakan seperti pembuatan
silase atau hay.
Di lokasi yang telah dilengkapi dengan
teras bentuk tampingan miring, rorak,
saluran pembuang air, dan tanaman
penguat teras, perubahan pola tanam
telah menurunkan nilai inderosi (Tabel 2).
Penurunan nilai inderosi terkecil terdapat
pada wilayah zona II, terutama disebabkan oleh nilai faktor pengelolaan tanaman
yang lebih kecil dibandingkan dengan
zona lainnya. Perbaikan pengelolaan
lahan telah menurunkan nilai rata-rata
inderosi sebesar 55%. Namun, nilai ini
masih relatif besar karena kompleksnya
permasalahan yang dihadapi petani, baik
biofisik lahan, sosial-ekonomi maupun
infrastruktur. Pendekatan partisipatif
dengan metode bottom-up dimaksudkan
agar adopsi berlangsung secara bertahap
sesuai dengan kemampuan sumber daya
petani.
Tabel 2. Nilai indeks erosi di beberapa zona agroekosistem DI Yogyakarta.
Zona agroekosistem
Zona
Zona
Zona
Zona
Nilai indeks erosi
Penurunan (%)
Sebelum SUK
Sesudah SUK
28,12
34,60
28,16
37,11
15,60
12,24
13,56
15,71
45
64
52
57
31,99
14,28
55
II, Gunung Kidul
III, Kulonprogo
III, Bantul
Va, Sleman
Rata-rata
SUK = sistem usaha tani konservasi.
Sumber: Sunarminto (1997).
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
Efektivitas Tanaman Rumput
untuk Mengurangi Erosi dan
sebagai Sumber Hijauan Pakan
53
Tabel 3. Pengaruh strip rumput terhadap erosi pada lereng 15−30% di lahan
perbukitan kritis DI Yogyakarta.
Perlakuan
Erosi (t/ha/tahun)
Satu jenis rumput
Vetivera zizanoides
Pennisetum purpureum
Pannicum maximum
Pennisetum purpuroides
Tripsacum laxum
Kontrol
Kombinasi lebih dari satu jenis rumput
Satu strip rumput (Vetivera, P. purpureum,
Setaria, P. purpuroides)
Dua strip rumput (Vetivera, P. purpureum,
Setaria, P. purpuroides)
Kontrol
34,20
27
60,70
39,20
39
49,70
11,90
21,80
21,80
Sumber: Hafif et al. (1995); Suhardjo et al. (1995).
Tanaman Tahunan
Dalam jangka panjang, tanaman tahunan
mempunyai peran penting dalam stabilisasi lereng curam. Pemilihan jenis
tanaman hendaknya disesuaikan dengan
pedo-agroklimat lahan. Karakteristik
tanah (ketebalan dan tekstur tanah)
sangat berkorelasi dengan pertumbuhan
tanaman. Pada tanah yang dangkal,
perkembangan perakaran tanaman cenderung terhambat, karena terbatasnya
volume tanah dan rendahnya ketersediaan
hara dan air. Hasil penelitian Soekardi et
al. (1996) menunjukkan bahwa lahan
dengan solum tanah < 30 cm kurang
mendukung pertumbuhan tanaman dan
sebagian tanaman mati. Pada tanah
bertekstur pasir dengan solum tanah
relatif tebal (> 75 cm) dan daya sangga
terhadap hara dan air rendah, pertumbuhan tanaman tahunan pada musim
kemarau menunjukkan gejala cekaman
kekeringan. Oleh karena itu, lahan
bersolum relatif dalam (> 50 cm) sebaiknya dimanfaatkan untuk penanaman
tanaman industri dan buah-buahan
bernilai ekonomi tinggi seperti melinjo,
mangga, petai, nangka, rambutan, durian,
alpukat, dan pisang. Lahan bersolum
dangkal seyogianya digunakan untuk
mengusahakan tanaman hutan seperti
akasia, albizia, sonokeling, jati, dan mahoni
yang berfungsi sebagai bahan papan dan
kayu bakar serta untuk mengkonservasi
tanah dan air.
Pemeliharaan tanaman berumur < 3
tahun mutlak diperlukan mengingat
54
lahan mengalami masa kering selama 5−6
bulan. Teknologi irigasi tetes dengan
menggunakan botol plastik bekas yang
bagian bawahnya dilubangi sebesar
jarum untuk meneteskan air ke media
perakaran (4−6 l/batang/bulan), pemberian mulsa dan pupuk organik serta
pembuatan naungan dapat mempertahankan lengas tanah di bawah batas
kritis (pF < 3,90) dan dapat mendukung
pertumbuhan tanaman selama musim
kemarau.
Pendapatan Usaha Tani
Pendapatan usaha tani setelah mengikuti
pola anjuran menunjukkan peningkatan
yang bervariasi dari 28% di Umbulhardjo
sampai 190% di Banjarhardjo (Tabel 4).
Namun, keberlanjutannya sangat tergantung pada ketersediaan modal dan
kelancaran penyaluran sarana produksi
yang diperlukan.
DAMPAK PENERAPAN
SISTEM USAHA TANI
KONSERVASI
Peningkatan Hara Tanah
Kadar C-organik tanah yang rendah
(0,50−1%) merupakan penyebab utama
struktur tanah menjadi labil, mudah
memadat, dan peka terhadap erosi.
Keadaan ini mengakibatkan produktivitas
tanah rendah sehingga diperlukan
pemberian pupuk kandang untuk mendukung pertumbuhan dan hasil tanaman
secara optimal. Hasil jagung dan ubi
kayu masing-masing hanya 0,50 t/ha dan
5 t/ha.
Dalam kurun waktu 3−6 tahun,
penyempurnaan teras yang diikuti
rehabilitasi lahan dengan pemberian
pupuk kandang 5−10 t/ha dan pergiliran
tanaman pangan dengan legum seperti
koro benguk, kacang tunggak, dan gude,
mampu memperbaiki kondisi tanah.
Kadar C-organik meningkat sangat nyata
sehingga KTK tanah serta kandungan K
dan Mg meningkat (Tabel 5).
Peningkatan bahan organik tanah
dapat memperbaiki daya pegang tanah
terhadap pupuk sehingga tanah kritis
berangsur-angsur mendekati ke kondisi
normal dan produktif. Dengan memelihara
ternak sapi, kambing, atau domba, petani
di Srunen, Nawungan, Banjarasri, dan
Karangasem dapat memberikan pupuk
kandang dengan takaran agak tinggi (>10
t/ha), sehingga memperbaiki kondisi
tanah. Oleh karena itu, keberadaan ternak
ruminansia di lahan kering perbukitan
mempunyai kaitan yang erat dengan
Tabel 4. Peningkatan pendapatan usaha tani sesudah menerapkan sistem
usaha tani konservasi (SUK) dan dengan SUK.
Desa/kabupaten
Selopamioro, Nawungan, Bantul (zona II)
Banjarhardjo, Kulonprogo (zona III)
Hargomulyo, Kulonprogo (zona III)
Karangasem, Gunung Kidul (zona II)
Umbulhardjo, Gunung Kidul (zona II)
Peningkatan pendapatan (%)
Sesudah SUK
−
190
60
39
28
Dengan SUK
11,84
−
39,04
16,93
36,92
Sumber: Suwardjo et al. (1997).
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
Tabel 5. Kadar C-organik, KTK, K, dan Mg tanah awal (1993) dan akhir
penelitian (1997).
Waktu
C-organik
(%)
Awal penelitian (1993)
Akhir penelitian (1997)
1.026
2.045
KTK
K
Mg
------------- mg/100 g ------------23,21
40,75
0,27
0,54
5,50
8,02
Sumber: Suwardjo et al. (1997).
upaya pengendalian erosi tanah karena
petani harus menanam hijauan pakan
pada teras lahannya.
Peningkatan Penggunaan Pupuk
Kandang
Sebelum sistem usaha tani konservasi
diintroduksikan, petani sudah menggunakan pupuk kandang, tetapi takarannya relatif rendah karena populasi ternak
kurang memadai dan pengetahuan petani
mengenai manfaat pupuk kandang relatif
kurang. Introduksi teknologi sistem usaha
tani konservasi dapat menambah
pengetahuan petani sehingga populasi
ternak dan penggunaan pupuk kandang
untuk pertanian meningkat. Penggunaan
pupuk kandang di Hargomulyo (zona
agroekosistem III) meningkat 53% dari
sebelumnya sebesar 2 t/ha, sedangkan di
Karangasem (zona agroekosistem II)
meningkat sampai 225% dari sebelumnya
yang hanya 1,50 t/ha. Penggunaan pupuk
kandang pada petani kooperator berkisar
antara 10−11,50%, lebih banyak dibandingkan dengan petani nonkooperator
(Suwardjo et al. 1997).
Introduksi Ternak Sapi Perah
Untuk mendorong petani agar dapat
mengkonservasi lahan, Proyek Bangun
Desa Komponen-8 telah mengintroduksikan 25 ekor sapi perah peranakan Brahman
pada tahun 1995 di Desa Glagaharjo,
Cangkringan, Sleman bekerja sama
dengan Koperasi Peternakan Sarono
Makmur. Introduksi sapi perah ini mengharuskan petani untuk menanam rumput
unggul (rumput gajah dan raja) pada teras,
serta kotoran ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang. Ketersediaan hijauan pakan menyebabkan
produksi susu yang semula hanya 48 l/
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
hari meningkat menjadi 250−300 l/hari
dengan harga yang diterima petani
meningkat dari Rp 375/l menjadi Rp 425/l.
Peningkatan produksi dan harga susu ini
secara langsung telah meningkatkan
pendapatan petani sehingga sejak bulan
Maret 1994 sampai Desember 1997 terjadi
pertambahan populasi ternak dari 25 ekor
menjadi 81 ekor.
Bentuk kerja sama dengan Koperasi
Peternakan Sarono Makmur ini telah
dikembangkan oleh Perusahaan Listrik
Negara (PLN) dengan menginvestasikan
sebagian keuntungannya pada usaha tani
konservasi tanah berbasis ternak sapi
perah. Pada bulan Maret 1998 telah
diintroduksikan 50 ekor sapi perah kepada
petani yang selanjutnya akan dikembangkan secara bertahap menjadi 1.000
ekor melalui program pengentasan
kemiskinan. Namun, program kerja sama
ini berjalan kurang baik karena petani di
Desa Glagaharjo lebih tertarik kepada
program pemeliharaan sapi perah yang
diintroduksikan oleh Proyek Bangun
Desa II Komponen-8. Hasil observasi
pada bulan Februari 2002 menunjukkan
bahwa populasi sapi perah yang diintroduksikan kepada petani melalui kerja
sama antara koperasi dan PLN selama 5
tahun masih kurang dari 100 ekor,
sedangkan yang diintroduksikan oleh
Komponen-8 telah berjumlah 176 ekor
selama 7 tahun pemeliharaan.
Konservasi Air
Berdasarkan keadaan iklim, wilayah
perbukitan kritis mengalami defisit air
sebesar 630 mm/tahun selama 5−6 bulan
(Mei-Oktober), sehingga selama musim
kemarau (MK) lahan dibiarkan bera
(Pramudia et al. 1994). Untuk meningkatkan indeks pertanaman (IP), pada tahun
1993/94 telah dibuat embung di Umbulhardjo, Gunung Kidul, dengan volume air
150 m3 dan di Nawungan, Bantul, dengan
volume 280 m3. Pembuatan embung ini
direspons positif oleh petani sehingga
dalam waktu satu tahun petani telah
berinisiatif membuat embung sendiri di
lahan usaha taninya (Maswar et al. 1995).
Air embung digunakan untuk
mengairi tanaman yang bernilai ekonomi
tinggi seperti kacang merah, kacang
panjang, cabai, tembakau, tanaman buahbuahan berumur muda, minum ternak dan
sebagainya. Teknologi ini dapat meningkatkan pendapatan petani hingga
163,60%/tahun (Hafif et al. 1995). Embung
juga memberikan pengaruh terhadap
sebaran lengas yang berasal dari air
rembesan sehingga keragaan tanaman
tahunan (melinjo, mangga, petai, nangka,
dan pisang) pada radius 200 m ke arah
lereng bawah embung lebih segar dan
hijau dibandingkan dengan tanaman
yang berada di lahan sekitarnya (Badan
Litbang Pertanian 1997).
Pembuatan embung memberikan
dampak cukup baik terhadap peningkatan
pendapatan petani. Pada MK 1996,
jumlah embung yang dibuat oleh petani
individu maupun kelompok mencapai 19
buah dengan kapasitas 22−53 m3, dan
pada MK 1999 telah bertambah menjadi
61 buah. Keadaan ini menunjukkan
bahwa tingkat adopsi teknologi embung
di lahan kering perbukitan kritis cukup
baik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Sistem usaha tani konservasi telah
diadopsi oleh petani kooperator di
kawasan perbukitan kritis DIY yang
tercermin dari perbaikan teras, peningkatan penanaman rumput penguat teras,
baik di bibir teras maupun di tampingan,
perbaikan saluran pembuangan air,
bangunan terjunan air, dan rorak, peningkatan penggunaan pupuk kandang,
dan penanaman leguminosa penutup
tanah. Penerapan SUK pada lahan seluas
40 ha dan 100 ha di lahan perbukitan kritis
dapat meningkatkan produktivitas lahan
dan memperbaiki fisik lingkungan, yang
ditunjukkan oleh menurunnya laju erosi
dari 21,80 t/ha menjadi 11,10−20 t/ha,
meningkatnya kesuburan tanah, dan
meningkatnya pendapatan usaha tani.
Usaha konservasi air dengan
pembuatan embung berdampak positif
terhadap diversifikasi tanaman bernilai
55
ekonomi tinggi dan menambah pendapatan usaha tani.
Ternak merupakan bagian integral
dari SUK. Penanaman rumput penguat
teras dan penggunaan pupuk kandang
merupakan sarana penting untuk mengendalikan erosi dan rehabilitasi lahan
dan meningkatkan pendapatan petani.
Pemeliharaan sapi perah dalam pola SUK
telah mendorong pengembangan SUK
sapi perah oleh kooperator bekerja sama
dengan swasta.
Adopsi teknologi SUK pada petani
nonkooperator telah pula terjadi, namun
belum sebaik pada petani kooperator.
Untuk memasyarakatkan teknologi diperlukan sosialisasi dan peningkatan
kemampuan sumber daya petani yang
lebih intensif. Keberhasilan pengelolaan
lahan kering perbukitan kritis di DIY
dapat diacu untuk wilayah lain yang
mempunyai agroekosistem serupa.
karya dan Ekspose Teknologi Sistem Usaha
Tani Konservasi dan Alat Mesin Pertanian,
Yogyakarta, 17−19 Januari 1995. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
hlm. 155−170.
Sukmana, S. 1995. Teknik konservasi tanah
dalam penanggulangan degradasi tanah
pertanian lahan kering. Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian
Tanah dan Agroklimat, Cisarua-Bogor, 26−
28 September 1995. Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat, Bogor. hlm. 1−22.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian Bagian Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan
Perbukitan Kritis, Yogyakarta. 1997. Laporan Tahunan 1996/97. Bagian Proyek
Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan
Perbukitan Kritis, Yogyakarta. 97 hlm.
Hafif, B., M. Maswar, Suhardjo, Supriadi, dan A.
Abas, Id. 1995. Potensi dan efektivitas
beberapa teknik stabilisasi lahan pada
kawasan perbukitan kritis Nawungan
Yogyakarta. Prosiding Lokakarya dan
Ekspose Teknologi Sistem Usaha Tani
Konservasi dan Alat Mesin Pertanian,
Yogyakarta 17−19 Januari 1995. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
hlm. 171−184.
Hudson, N. and T. Notohadiprawiro. 1983. Soil
and Water Conservation. Composite Report
of the Watershed Assessment Team. GOIUSAID. Vol. II Techn. App. III. 50 pp.
Karama, A.S. dan A. Abdurachman. 1995.
Kebijaksanaan nasional dalam penanganan
lahan kritis di Indonesia. Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Sistem Usaha
Tani Konservasi dan Alat Mesin Pertanian,
Yogyakarta, 17−19 Januari 1995. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
hlm. 1−6.
Maas, A.S. Nuryani, dan Tukijo. 1995. Usaha
penanganan lahan kritis bukit kapur
Rongkop dan Kasihan, Yogyakarta (Suatu
tinjauan empiris). Prosiding Lokakarya dan
Ekspose Teknologi Sistem Usaha Tani
Konservasi dan Alat Mesin Pertanian,
Yogyakarta, 17−19 Januari 1995. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
hlm. 85−91
Masbulan, E., R. Srinarni, dan E. Supratman.
1994. Makna orientasi pendekatan sosial
ekonomi dalam proses alih teknologi dan
pengembangan sistem usaha tani konservasi di wilayah perbukitan kritis DI
Yogyakarta. Prosiding Seminar Hasil-hasil
Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan
Perbukitan Kritis DI Yogyakarta. Bagian
Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS
Kawasan Perbukitan Kritis, Yogyakarta.
hlm. 134−151.
Maswar, M., B. Hafif, A. Abas Id., dan E.
Masbulan. 1995. Aplikasi rakitan teknologi
stabilisasi lahan pada sistem usaha tani
konservasi kawasan perbukitan kritis Kabupaten Gunung Kidul. Prosiding Loka-
56
Notohadiprawiro, T. 1978. Lahan Sumber Daya
atau Serba Gatra dan Lingkungan Hidup
Manusia. Jurusan Ilmu Tanah Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 38 hlm.
Pramudia, A., G. Irianto, Nasrullah, E. Runtunuwu, B. Kartiwa, dan M. Suhardjo. 1994.
Pedo-agroklimat DI Yogyakarta, Potensi
dan kendalanya. Prosiding Seminar Hasilhasil Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis (Bangun Desa II
Komponen-8). Badan Litbang Pertanian,
Jakarta. hlm. 95−115.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1993.
Survai Tanah Detil di Sebagian Wilayah DI
Yogyakarta (Skala 1:50.000). Proyek LREP
II, Part C. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor. 137 hlm.
Siswomartono, D., A.N. Ginting, K. Subagyono,
and S. Sukmana. 1990. Development of
conservation farming systems in Indonesia.
Country review. Regional Action Learning
Programme on the Development of Conservation Farming Systems. Report of the
Inaugural Workshop, Chiangmai, Thailand,
23 Feb−1 March 1990. ASOCON Report
(No. 2).
Soekardi, M., A. Abas Id, A. Mulyani, dan R.
Srinarni. 1996. Penelitian dinamika karakterisasi tanah dan ekosistem tanaman pada
sistem usaha tani konservasi, YUADP,
Yogyakarta. Prosiding Seminar Rekayasa
Teknologi Sistem Usaha Tani Konservasi,
Yogyakarta, 19−20 Januari 1996. Bagian
Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS
Kawasan Perbukitan Kritis Yogyakarta
(YUADP Komponen-8). Badan Litbang
Pertanian, Jakarta. hlm. 59−70.
Suhardjo, M. Maswar, Supriadi, A.Abas Id., M.
Thamrin, dan E. Masbulan. 1995. Peranan
strip rumput dalam usaha tani konservasi di
lahan perbukitan kritis Kulonprogo DI
Yogyakarta. Prosiding Lokakarya dan
Ekspose Teknologi Sistem Usaha Tani
Konservasi dan Alat Mesin Pertanian,
Yogyakarta, 17−19 Januari 1995. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
hlm. 141−154.
Sunarminto, B.H. 1997. Evaluasi mikro DAS dan
dampaknya di Kabupaten Gunung Kidul,
Sleman, Bantul, dan Kulonprogo, Propinsi
DIY. Kerja Sama dengan Proyek Pendukung
Pengembangan Kawasan Perbukitan Kritis
Propinsi DIY. Universitas Gadjah Mada. 37
hlm.
Suryanto. 1995. Konservasi Kesuburan Tanah di
Daerah Perbukitan Kritis untuk Pertanian
Berkelanjutan. Prosiding Lokakarya dan
Ekspose Teknologi Sistem Usaha Tani
Konservasi dan Alat Mesin Pertanian,
Yogyakarta, 17−19 Januari 1995. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
hlm. 101−120.
Suwardjo. 1981. Peranan Sisa-sisa Tanaman
dalam Konservasi Tanah dan Air pada Usaha
Tani Tanaman Semusim. Disertasi Fakultas
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor. 240 hlm.
Suwardjo, H., N.L. Nurida, dan Irawan. 1995.
Langkah-langkah pengembangan usaha
tani konservasi di wilayah perbukitan kritis
DI Yogyakarta. Prosiding Seminar Hasilhasil Penelitian Terapan Sistem DAS
Kawasan Perbukitan Kritis DI Yogyakarta.
Bagian Proyek Penelitian Terapan Sistem
DAS Kawasan Perbukitan Kritis, Badan
Litbang Pertanian. hlm. 47−58.
Suwardjo, Hendiarto, B. Prawirodiputro, dan
Z. Mahmud. 1997. Evaluasi kinerja dan
dampak teknologi sistem usaha tani
konservasi di perbukitan kritis. Seminar
Teknologi Sistem Usaha Tani Konservasi
Lahan Kering Kawasan Perbukitan Kritis
Yogyakarta, 29 Desember 1997. Bagian
Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS
Kawasan Perbukitan Kritis, Kerja Sama
Pemda. Prop. DIY dengan Badan Litbang
Pertanian. 21 hlm. (belum dipublikasikan).
World Bank. 1991. Staff Appraisal Report,
Yogyakarta Upland Area Development
Project. World Bank, Washington, DC. 133
pp.
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
Download