PADA WANITA PEKERJA SEKS DI LOKALISASI SUKA DAMAI LOA HUI KOTA SAMARINDA (Studi Kualitatif Pada Wanita Pekerja Seks) The Negotiation Practice Of Using Condoms And Vaginal Douchingto The Female Sex Workerinsuka Damai Loa Hui Localization Samarinda City (Qualitative Study On Female Sex Worker) Lisa Wahidatul Oktaviani1, Rahmi Susanti2, Erni Wingki Susanti3 Email :[email protected] ABSTRACT Wanita Pekerja Seks merupakan kelompok risiko tinggi terkena infeksi menular seksual mengingat pada kelompok ini terbiasa melakukan aktivitas seksualnya dengan pasangan yang tidak tetap, dengan tingkat mobilitas yang sangat tinggi di kelompok tersebut. Perilaku dan gaya hidup pada pelanggan Wanita Pekerja Seks adalah tidak menggunakan kondom pada saat berhubungan seksual dengan pelanggan. Perilaku lain yang menarik untuk dikaji adalah vaginal douching. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan wawancara mendalam pada Wanita Pekerja Seks dan informan lainnya tentang negoisasi penggunaan kondom dan vaginal douching pada Wanita Pekerja Seks. Jenis penelitian adalah deskriptif dengan pengambilan data dalam bentuk kualitatif. Hasil penelitian menginformasikan bahwa seluruh Wanita Pekerja Seks setuju bahwa pelanggan harus menggunakan kondom sebelum memakai jasa mereka. Sebagian besar Wanita Pekerja Seks melakukan negoisasi penggunaan dengan bujukan, rayuan bahkan alasan yang bersangkutan dengan keluarga mereka.Vaginal douching selalu dilakukan oleh Wanita Pekerja Seks dan hamper selalu menggunakan bahan yang tidak dianjurkan. Para Wanita Pekerja Seks merasakan lebih bersih dengan menggunakan bahan seperti sabun atau bahkan pasta gigi. Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa terdapat tindakan yang konsisten pada Wanita Pekerja Seks tentang penggunaan kondom pada pelanggannya. Vaginal douching pada Wanita Pekerja Seks dilakukan dengan mengunakan produk yang dijual secara umum. Kata Kunci : Negoisasi Pengunaan Kondom, Vaginal Douching, Wanita Pekerja Seks ABSTRACT Female Sex Worker is a high-risk group exposed to sexually transmitted infections given in this group used to perform sexual activity with a partner who does not remain, with a very high level of mobility in the group. Behavior and lifestyle on the customer Female Sex Workeris not using a condom during intercourse with customers. Another interesting behavior to be studied is vaginal douching. This study aims to conduct in-depth interviews on Female Sex Workerand other informants negotiate the condoms use and vaginal douching inFemale Sex Worker. This type of research is descriptive with qualitative data collection technique. Results of the study informs that throughout Female Sex Worker agreed that the customer should use a condom before using their services. Most of Female Sex Workernegotiated with the use of persuasion, seduction and even the reasons concerned with their family. Vaginal douching is always done by Female Sex Workerand almost always used materials that are not recommended. The Female Sex Workerfeel cleaner using ingredients such as soap or toothpaste. This study provides the conclusion that there is a consistent action on Female Sex Worker on the condoms use to the customers.Vaginal douching in Female Sex Worker is done by using products sold in general. Keywords: Negotiationof Using Condoms, Vaginal Douching, Female Sex Worker PENDAHULUAN Fenomena WPS yang bertentangan dengan nilai, hukum, agama tidak terlepas dari latar belakang sulitnya mencari pekerjaan dengan pendidikan yang rendah, keterampilan yang tidak memadai dari seseorang adalah beberapa faktor terjadinya fenomena 1,2,3 prostitusi dewasa ini . data dari Dinas Sosial diketahui bahwa jumlah WPS di Kalimantan Timur (Kaltim) hingga bulan ketiga tahun 2012 yaitu sebanyak 4.976 orang. Lokalisasi Suka Damai Loa Hui merupakan salah satu lokalisasi terbesar yang ada di kota Samarinda. Berdasarkan data dari Dinas Kesejahteraan Sosial Samarinda diketahui jumlah WPS dari tahun 2008 – 2011 mengalami fluktuatif, dimana dari tahun 2008 ke tahun 2009 mengalami peningkatan jumlah WPS dari 283 orang menjadi 293 orang dan pada tahun 2010 terjadi penurunan jumlah WPS menjadi 230 orang. WPS merupakan kelompok risiko tinggi terkena infeksi menular seksual mengingat pada kelompok ini terbiasa melakukan aktivitas seksualnya dengan pasangan yang tidak tetap, dengan tingkat mobilitas yang sangat tinggi di kelompok tersebut. Walaupun infeksi menular seksual merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi organisme, namun dalam penyebarannya sangat dipengaruhi oleh pola perilaku dan gaya hidup seseorang. Perilaku dan gaya hidup tersebut salah satunya adalah tidak menggunakan kondom pada saat berhubungan seksual dengan pelanggan4,5. Hal lain yang seringkali dilakukan oleh penjaja seks komersial setelah melakukan hubungan seks adalah bilas vagina atau disebut vaginal douching.Bilas vagina dipercaya dapat mengurangi resiko terjangkit penyakit menular seksual pada wanita penjaja seks.Praktik vaginal douching didefinisikan sebagai upaya pembersihan/bilas vagina baik eksternal maupun internal. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Joesoef dkk, pada tahun 1993 diketahui bahwa praktik vaginal douching dapat meningkatkan risiko kejadian Penyakit Menular Seksual dan Pelvic Inflammatory Disease. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana praktik negosiasi penggunaan kondom dan vaginal douching pada wanita pekerja seks di lokalisasi suka damai loa hui kota samarinda, dengan asumsi bahwa WPS berisiko tinggi terinfeksi IMS dan berpotensi menularkannya pada pelanggan yang selalu berganti - ganti. METODE PENELITIAN Penelitian dimulai dengan merumuskan masalah dan memilih variabel yang akan diteliti, yaitu variabel praktik negosiasi penggunaan kondom dan vaginal douching. Penelitian ini dilakukan di salah satu lokalisasi dikota Samarinda yang terletak di kecamatan Samarinda Seberang, yakni Lokalisasi Suka Damai Loa Hui Harapan Baru Kota Samarinda. Peubah yang akan diamati adalah praktik negoisasi kondom dan vaginal douching pada wanita pekerja seksual. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Teknikpengumpulan data adalah dengan melakukan wawancara mendalam pada informan dengan dibantu alat rekam, observasi non partisipan, kemudian peneliti dibantu dengan panduan wawancara serta penelitian akan dilengkapi dengan dokumentasi – dokumentasi yang dibutuhkan. Teknik analisis pada penelitian kualitatif adalah reduksi data dan peyajian data.Langkah selanjutnya setelah analisis data kualitatif adalah validasi penelitian, yaitu dengan Triangulasi yaitu pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu kemudian dilakukan penarikan kesimpulan. HASIL PENELITIAN Lokalisasi Suka Damai Loa Hui terletak di kecamatan samarinda seberang tepatnya di kelurahan harapan baru.Lokalisasi ini telah ada sejak 25 tahun lalu dengan luas kurang lebih 1.5 Ha.Jumlah wisma sebanyak 40 dengan jumlah WPS sebanyak 10 per wisma. Jumlah wps secara keseluruhan adalah 282 orang dengan 27 mucikari.Lokalisasi ini rutin mendapatkan kunjungan kesehatan dari Puskesmas setempat yakni Puskesmas Harapan Baru. Informan dalam penelitian ini terdiri dari 1 orang petugas kesehatan (Dokter Puskesmas, 5 orang WPS, dan 4 orang mucikari.Informasi diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam (indepth interview) kepada para informan. Praktik negosiasi penggunaan kondom Praktik negosiasi penggunaan kondompada penelitian ini mengenai tindakan WPS dalam negosiasi penggunaan kondom pada saat hubungan seks.Dari hasil wawancara yang dilakukan secara mendalam kepada informan tentang ketersediaan kondom menunjukkan bahwa seluruh informan mendapatkan kondom dari lingkungan lokalisasi dimana kondom tersebut diperoleh dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA). Seperti yang di ungkapkan informan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : “ya dari anu … kesehatan. Maksudnya dari tempa kita pokja lisensinya dari KPA.Jadi kita semua dapat dari situ kondomnya.”(SR : 05 Mei 2015) “ya ada dari lingkungan sini kan dibagi, itu kondomnya dari eee KPA.”(VA : 08 Mei 2015 Hal ini sejalan dengan pernyataan informan kunci yaitu seorang petugas kesehatan yang menyatakan hal serupa sebagai berikut : “pemberian kondom kita berikan, kondomnya dari KPA.”(OP : 11 Mei 2015) Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat ditarik analisis makna yaitu seluruh informan mendapatkan kondom dari lingkungan lokalisasi dimana kondom tersebut diperoleh dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA). Hal ini sesuai dengan Peraturan Daerah provinsi Kalimantan Timur No. 5 Tahun 2007 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual pada pasal 9 dijelaskan bahwa sektor kesehatan berkewajiban untuk menyediakan kondom di tempat-tempat rawan. Dari hasil wawancara yang dilakukan secara mendalam kepada informan tentang praktik negosiasi penggunaan kondom menujukkan bahwa informan selalu menawarkan kondom kepada pelanggan. Seperti yang di ungkapkan oleh informan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : “ya nawarin, harus nawarin. Kan bilang ke tamu nya harus pake kondom mas biar sehat.”(VA : 08 Mei 2015) “la iya mbak nawarin itu. Ya anu... harus, biar ndak dapat penyakit dari mana mana gitu.”(RN : 04 Mei 2015) Hal ini sejalan dengan pernyataan informan kunci yaitu seorang petugas kesehatan yang menyatakan hal serupa sebagai berikut : “ya harus menawarkan ke tamunya.Pokoknya wajib harus terima tamu wajib pake kondom.”(OP : 11 Mei 2015) Dari pernyataan-pernyataan diatas dapat ditarik analisis makna yaitu informan selalu menawarkan kondom kepada pelanggan, dan hal ini diperkuat dengan pernyataan informan kunci yaitu seorang petugas kesehatan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Daerah provinsi Kalimantan Timur No. 5 Tahun 2007 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual pada pasal 5 dijelaskan keharusan menggunakan kondom di tempat-tempat pelaku berisiko tinggi. Dari hasil wawancara yang dilakukan secara mendalam kepada informan tentang cara negosiasi penggunaan kondom menujukkan bahwa cara yang dilakukan oleh informan pada saat melakukan negosiasi dengan pelanggan agar menggunakan kondom antara lain dengan membujuk atau merayu pelanggan dan memberitahukan kepada pelanggan untuk menggunakan kondom agar tidak terkena penyakit menular seksual. Seperti yang di ungkapkan oleh informan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : “ya pokoknya di rayu supaya mau gimana harus mau. Ya pokoknya jangan sampai kita kena penyakit dari mana-mana gitu.Ndak mau aku ndak mau takut.”(SR : 05 Mei 2015) “ya harus di rayu dong biar dia mau. Kita pake kondom mas biar sehat, itu pasti dia mau mbak.”(SA : 09 Mei 2015) Selain itu hal lain yang dilakukan informan untuk bernegosiasi dengan pelanggan adalah dengan mengingatkan pelanggan kepada keluarganya. Seperti yang di ungkapkan oleh informan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : “ kan bilang ke tamu nya harus pake kondom mas biar sehat. Kita di pake orang banyak mas sedangkan mas dipake istri mas sendiri di rumah, gak kasian kah kalo nanti kena gini-gini. “(VA : 08 Mei 2015) Hal ini sejalan dengan pernyataan informan kunci yaitu seorang petugas kesehatan yang menyatakan hal serupa sebagai berikut : “mereka itu kadang ngerti kadang tahu gitu ya, misalnya saja tentang penggunaan kondom itu dibanding orang yang awam itu mereka lebih tau dong itu pastinya hehe...mereka ya tau duluan yah kayak apa manfaat nya.”(OP : 11 Mei 2015) Dari pernyataan-pernyataan diatas dapat ditarik analisis makna yaitu informan mengetahui bagaimana cara bernegosiasi menggunakan kondom kepada pelanggan dan hal ini diperkuat dengan pernyataan informan kunci yaitu seorang petugas kesehatan. Hal ini sesuai dengan teori Hindle (2001), seni negosiasi didasarkan pada usaha mempertahankan apa yang baik bagi kita dengan apa yang baik bagi pihak lain. Dari hasil wawancara yang dilakukan secara mendalam kepada informan tentang tindakan yang dilakukan oleh informan jika tidak menemui kesepakatan dalam negosiasi penggunaan kondom menunjukkan bahwa informan akan menolak pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom. Seperti yang di ungkapkan oleh informan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : “ada juga yang kayak gitu mbak, nggak mau, tapi kita juga takut penyakit kan kita nggak terima. Uang Cuma seberapa tapi nanti sakit menyesal seumur hidup, kan nggak selamae kerja kayak gini.”(VA : 08 Mei 2015) “iya, kalo seumpama pas kita nego di luar ginikan orangnya mau trus pas eee.. apa di dalam gitu ndak mau pake atau dia lepas kondomnya pas main gitukan ya saya ndak mau lanjut, pernah ada saya dapat pelanggan gitu, saya ndak mau lanjut, tapi ya uangnya tetap saya ambil ndak saya kembalikan, kan sudah kesepakatan tadi di awal pake gitu, kenapa pas di dalam ndak, ya ndak bisa kalau gitu, salah dia sendiri.”(RN : 04 Mei 2015) Namun terdapat pernyataan informan yang menyatakan tetap berusaha mempertahankan agar pelanggan mau menggunakan kondom. Seperti yang di ungkapkan oleh informan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : “pernah, tapi tetap dipertahankan supaya dia mau, pasti mereka dengan sendiri mau pasti mau juga, karena memang demi kesehatan.”(RR : 07 Mei 2015) Hal ini sejalan dengan pernyataan informan kunci yaitu seorang petugas kesehatan yang menyatakan hal serupa sebagai berikut : “pokoknya wajib harus terima tamu wajib pake kondom kita wajibkan kan, ya tapi bagaimana kalo pelanggannya tidak mau memakai kita nggak dapat pelanggan. ”(OP : 11 Mei 2015) Dari pernyataan-pernyataan diatas dapat ditarik analisis makna yaitu informan mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan jika tidak menemui kesepakatan dalam negosiasi penggunaan kondom, dan hal ini diperkuat dengan pernyataan informan kunci yaitu seorang petugas kesehatan. Hal ini sesuai dengan teori Hindle (2001), negosiasi adalah proses yang diakhiri dengan keberhasilan kedua belah pihak atau kegagalan kedua belah pihak. Seni negosiasi didasarkan pada usaha mempertahankan apa yang baik bagi kita dengan apa yang baik bagi pihak lain. Dari hasil wawancara yang dilakukan secara mendalam kepada informan tentang pentingnya penggunaan kondom menunjukkan bahwa informan mengetahui pentingnya penggunaan kondom pada saat melakukan hubungan seksual dengan pelanggan.Hal ini dikarenakan informan merasa takut tertular penyakit menular seksual. Seperti yang di ungkapkan oleh informan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : “pentinglah mbak, kan mencegah kita dari penyakit kan. Penyakit tuh kan banyak dari virus-virus kan juga banyak.”(VA : 04 Mei 2015) “cebok, biar bersih mbak, biar ndak ada sisa lendir lendir itu kalo habis ada tamu kita kan, karna kan kita ya juga ndak nyaman kan kalau ada begitu”(RN : 4 Mei 2015) “yah penting toh, untuk mencegah supaya gak sakit, gak tertular penyakit dan untuk keamanan kesehatan.”(WW : 08 Mei 2015) Hal ini sejalan dengan pernyataan informan kunci yaitu seorang petugas kesehatan yang menyatakan hal serupa sebagai berikut : “itu sangat penting, demi kesehatan kita.”(RR : 04 Mei 2015) “ya penting lah. Ya untuk mencegah supaya ndak tertular penyakit.”(YN : 05 Mei 2015) Hal ini sejalan dengan pernyataan informan kunci yaitu seorang petugas kesehatan yang menyatakan hal serupa sebagai berikut : “ya sangat pentinglah karena menggunakan kondom dengan cara yang benar dapat menghindarkan mereka dari penularan penyakit menular seksual.”(OP : 11 Mei 2015) Dari pernyataan-pernyataan diatas dapat ditarik analisis makna yaitu informan mengetahui bahwa penggunaan kondom bagi pekerjaan mereka sangatlah penting karena dapat menghindarkan mereka dari penularan penyakit menular seksual. Hal ini sejalan dengan teori cara kerja kondom yaitu mencegah penularan mikroorganisme (IMS termasuk HIV/AIDS) dari satu pasangan kepada pasangan yang lain. Praktik vaginal douching Pertanyaan ini untuk memperoleh informasi mengenai pengetahuan informan mengenai definisi, cara serta bahan bahan yang digunakan WPS dan mucikari dalam praktik vaginal douching.Dari hasil wawancara yang dilakukan secara mendalam kepada informan tentang apakah yang dimaksud dengan Vaginal Douching menunjukkan bahwa pengetahuan informan mengenai Vaginal Douching sudah baik. Seperti yang di ungkapkan WPS yang menjadi informan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : “membersihkan vagina secara steril semuanya keseluruhan.”(VA : 8 Mei 2015) “bilas vagina, . Cuman kan, tidak boleh terlalu sering itu aja kan”(OP: 11 Mei 2015) Dari pernyataan diatas dapat ditarik analisis makna yaitu, informan mengetahui definisi Vaginal Douching yaitu upaya pembersihan vagina baik eksternal maupun internal. Dari hasil wawancara yang dilakukan secara mendalam kepada informan tentang cara pembilasan vagina menunjukkan bahwa perilaku vaginal douching yang selama ini informan lakukan tidak tepat. Seperti di ungkapkan WPS dan Mucikari yang menjadi informan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : “ Dikorek-korek ke dalam pakai jari”(SW: 6 Mei 2015) “ Disabun dari luar, habis itu vagina kitakan ada lubang dibersihkan, dimasukan pake alat jadinya bersih semua, keluar kotorannya.”(VA: 4 Mei 2015 ) “Yah.. waktu kita habis terima tamu itu di korek kedalam dengan sabun itu sampai bersih”DR: 7 Mei 2015) Hal ini tidak sejalan dengan pernyataan informan kunci yaitu seorang petugas kesehatan yang menyatakan hal serupa sebagai berikut : “ Gak Boleh dikorek, kalo mencuci vagina kan cukup di apa….disiram gitu aja, kan kalo gitu justru mengakibatkan iritasi.”(OP: 11 Mei 2015) Dari pernyataan diatas dapat ditarik analisis makna yaitu, Cara pembilasan vagina yang dilakukan oleh informan tidak tepat yaitu dengan cara menyiram vagina dari luar hingga kedalam, mengorek liang vagina dengan menggunakan jari tangan dan menggunakan sabun dan alat yang dimasukkan ke dalam vagina dengan tujuan mengeluarkan semua kotoran dalam vagina. Dari hasil wawancara yang dilakukan secara mendalam kepada informan tentang bahan yang digunakan untuk vaginal douching menunjukkan bahwa bahan-bahan yang digunakan pun tidak tepat. Seperti di ungkapkan WPS dan mucikari yang menjadi informan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : “kalo saya pake sabun sirih mbak, kalo temen saya yang lain kadang ada yang pake dettol sama apa itu mbak yang di tetes itu yang ada di iklan untuk sariawan bisa untuk kita punya itu juga bisa. Nahh, biasa nya pake itu aja sih mbak.”(SR: 5 Mei 2015 ) “dari anu… kalo lagi beli… apa itu namanya, betadin… itukan ada alatnya di campur sama, disitu kalo albotil sama betadin yang ukuran tanggung ke atas itu dia ada alatnya, jadi dia di masukkan langsung ke liang vagina baru di tekan dia sih, betadin sama albotilnya masuk dengan sendirinya kita ajak ngeden baru cebok.” (LL: 4 Mei 2015) “Kadang-kadang pake odol juga.. Odol itukan bisa mencegah kuman, kalo untuk gigi aja takut kuman apa lagi disitu”(SI: 6 Mei 2015 ) Hal ini tidak sejalan dengan pernyataan informan kunci yaitu seorang petugas kesehatan yang menyatakan hal serupa sebagai berikut : “gak ada sih yang kita anjurkan, itu membunuh flora normal kan, ya itu kadang mereka kan setiap habis berhubungan di cuci vagina nya dengan itu, padahal itu bisa membunuh flora normal kan. Asumsi mereka ya mungkin mereka merasa bersih gitu dengan apa..dengan mencuci vagina itu kan.”(OP: 11 Mei 2015) Dari pernyataan diatas dapat ditarik analisis makna yaitu, bahan-bahan yang digunakan oleh informan dalam melakukan vaginal douching tidak tepat yaitu dengan menggunakan sabun antiseptik, bahkan menggunakan pasta gigi, cara yang dilakukan pun tidak tepat, yaitu dengan mengorek liang vagina dengan menggunakan jari tangan dan menggunakan sabun dan alat yang dimasukkan ke dalam vagina dengan tujuan mengeluarkan semua kotoran dalam vagina. PEMBAHASAN Prostitusi merupakan fenomena yang sudah ada sejak lama di dunia, tidak terkecuali di Indonesia dan hingga kini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan.WPS adalah salah satu bagian dari dunia prostitusi yang didalamnya termasuk gigolo, waria, mucikari.Fenomena WPS sangat menarik untuk dikaji, karena fenomena ini dari dulu hingga sekarang tetap berlangsung. Fenomena WPS yang bertentangan dengan nilai, hukum, agama tidak terlepas dari latar belakang sulitnya mencari pekerjaan dengan pendidikan yang rendah, keterampilan yang tidak memadai dari seseorang adalah beberapa faktor terjadinya fenomena prostitusi dewasa ini 1,2,3. Lokalisasi Suka Damai Loa Hui merupakan salah satu lokalisasi terbesar yang ada di kota Samarinda. Berdasarkan data dari Dinas Kesejahteraan Sosial Samarinda diketahui jumlah WPS dari tahun ke tahun mengalami fluktuatif dan memungkinkan adanya penambahan ataupun pengurangan jumlah WPS dari waktu ke waktu. WPS termasuk dalam kelompok subpopulasi berisiko karena faktor perilaku seperti gonta ganti pasangan dan tidak menggunakan kondom saat berhubungan. Penggunaan kondom merupakan cara pencegahan selain abstinensia (tidak melakukan hubungan seksual sama sekali/puasa seks) dalam mencegah penularan IMS. Seperti yang telah diketahui, penggunaan kondom dalam seks komersial merupakan kunci penting dalam pencegahan penularan IMS karena hubungan seksual merupakan salah satu jalur utama penularan 6,7 . Sebagai penyedia jasa layanan seks, WPS tentu akan berusaha memaksimalkan kepuasan konsumen dengan berbagai macam cara. Untuk menghindari beralihnya konsumen ke WPS yang lain, seorang WPS akan selalu melayani keinginan konsumen dengan memenuhi permintaan konsumen untuk tidak menggunakan kondom. Dalam keadaan ini, posisi tawar (negosiasi) WPS sangat lemah karena mereka dihadapkan pada tuntutan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya8. Selain penggunaan kondom permasalahan lain yang dihdapi oleh WPS adalah adanya persepsi yang salah mengenai praktik vaginal douching. Praktik vaginal douching didefinisikan sebagai upaya pembersihan/bilas vagina baik eksternal maupun internal. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Joesoef dkk, pada tahun 1993 diketahui bahwa praktik vaginal douching dapat meningkatkan risiko kejadian Penyakit Menular Seksual dan Pelvic Inflammatory Disease. Douching dengan air saja setelah hubungan seks tidak berhubungan dengan PMS tetapi risiko PMS akan meningkat 2,6 kali lebih tinggi jika menggunakan air dan sabun atau dengan daun sirih atau produk komersil. Ahli kesehatan tidak menyarankan douching untuk membersihkan vagina karena douching merubah keseimbangan kimiawi dan flora normal vagina yang dapat membuat perempuan lebih rentan terhadap infeksi bakterial. Dampak nonmedis lain dari praktik douching adalah timbulnya kepercayaan “semu” khususnya untuk perempuan kelompok pekerja seks. Mereka percaya bahwa dengan douching sebelum dan sesudah berhubungan seksual akan melindungi dirinya dari penularan PMS. Berikut ini akan dibahas secara satu per satu tentang variabel dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 1. Praktik negosiasi penggunaan kondom Menurut Teori Green9 yang menyatakan bahwa hal terpenting dalam perilaku kesehatan adalah masalah pembentukan perubahan perilaku. Dalam teori ini Green mengidentifikasi tiga faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang, dimana masing-masing tipe pengaruh berbeda-beda terhadap perilaku yaitu faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors), dan faktor penguat (reinforcing factors). Dalam penelitian ini faktor predisposisi yang mempengaruhi praktik penggunaan kondom pada WPS dan pelanggannya adalah pengetahuan WPS tentang pentingnya penggunaan kondom dan praktik negosiasi penggunaan kondom. Pengetahuan merupakan salah satu bagian dari faktor yang mempermudah dan mempunyai pengaruh yang kuat dalam membentuk perilaku individu atau masyarakat dengan didukung faktor lain seperti tersedianya sarana dan prasarana serta sikap dan perilaku petugas kesehatan. Berdasarkan hasil indepth interview diketahui informan mengetahui bahwa penggunaan kondom bagi pekerjaan mereka sangatlah penting karena dapat menghindarkan mereka dari penularan penyakit menular seksual. Menurut Notoatmodjo10, pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Adanya pengetahuan tentang pentingnya penggunaan kondom itulah yang melatarbelakangi informan untuk selalu melakukan praktik negosiasi penggunaan kondom sebelum melakukan hubungan seksual dengan pelanggan.Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan informan kunci yaitu seorang petugas kesehatan.Praktik negosiasi penggunaan kondom dalam penelitian ini adalah tindakan WPS dalam negosiasi penggunaan kondom pada saat hubungan seks dengan pelanggan.Praktik atau perilaku menurut Kwik dalam Notoatmodjo10 adalah tindakan atau perbuatan organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari.Praktik berkaitan dengan sikap dan keyakinan seseorang terhadap sesuatu objek yang dalam hal ini adalah praktik penggunaan kondom. Bila WPS sudah mempunyai keyakinan yang positif terhadap penggunaan kondom pada saat berhubungan seksual dengan pelanggan maka diharapkan akan mempunyai sikap yang positif pula. Dengan kondisi ini diharapkan akan terjadinya praktik yang baik, walaupun hal ini tidak dapat dipastikan. Menurut Hindle, negosiasi adalah proses yang diakhiri dengan keberhasilan kedua belah pihak atau kegagalan kedua belah pihak. Keberhasilan penggunaan kondom pada setiap kegiatan seksual di lokalisasi Suka Damai tidak terlepas dari cara atau teknik negosiasi yang dilakukan oleh WPS. Berdasarkan hasil indepth interview diketahui bahwa informan mengetahui bagaimana cara bernegosiasi menggunakan kondom kepada pelanggan. Cara yang dilakukan oleh informan pada saat melakukan negosiasi dengan pelanggan agar menggunakan kondom antara lain dengan membujuk atau merayu pelanggan dan memberitahukan kepada pelanggan untuk menggunakan kondom agar tidak terkena penyakit menular seksual. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Garcia dan Goldman11, di Dominican Republic bahwa salah satu strategi untuk kesuksesan dalam penggunaan kondom pada buruh pabrik, mereka akan mengingatkan atau memberikan peringatan kepada mitra bahwa teman-teman dan kenalan mereka ada yang telah meninggal karena HIV dan AIDS dalam rangka memperkuat pentingnya menggunakan kondom dan melindungi diri. Apabila dalam praktik negosiasi penggunaan kondom dengan pelanggan mengalami kegagalan atau tidak menemui kesepakatan, tindakan yang dilakukan oleh WPS adalah menolak pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom.Hal tersebut dilakukan oleh WPS karena mereka sadar bahwa pekerjaan yang meraka lakukan ini berisiko tinggi untuk terkena infeksi menular seksual.Tindakan yang dilakukan oleh WPS ini didukung oleh informan kunci yaitu seorang petugas kesehatan. Berdasarkan hasil indepth interview dengan informan kunci diketahui bahwa informan kunci mewajibkan setiap WPS yang akan melakukan hubungan seksual dengan pelanggan harus menggunakan kondom. Menurut Notoatmodjo10 perilaku ditunjang oleh pengetahuan dan sikap, ketidaktahuan seseorang terhadap sesuatu membuat ia tidak bisa bertingkah laku terhadap sesuatu tersebut. Apabila seorang WPS tidak tahu mengenai teknik negosiasi dalam penggunaan kondom maka WP tersebut tidak akan berperilaku menawarkan kondom dengan baik. WPS merupakan kelompok risiko tinggi terkena infeksi menular seksual mengingat pada kelompok ini terbiasa melakukan aktivitas seksualnya dengan pasangan yang tidak tetap. Walaupun infeksi ini disebabkan oleh infeksi organisme, namun dalam penyebarannya sangat dipengaruhi oleh perilaku dan gaya hidup seseorang. Perilaku dan gaya hidup tersebut salah satunya adalah tidak menggunakan kondom pada saat berhubungan seksul dengan kelompok risiko tinggi. Penggunaan kondom merupakan salah satu upaya pencegahan penularan infeksi menular seksual yang harus dilakukan oleh responden di lokalisasi Suka Damai Kota Samarinda. Untuk saat ini baru kondom yang paling efektif mencegah penularan infeksi menular seksual. Oleh karena itu, kondom sebaiknya selalu digunakan setiap responden melakukan hubungan seksual dengan pelanggan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Rojanapithayakorn 12, sebuah terobosan penting dalam pencegahan AIDS di Thailand pada bulan Agustus 1989 di Ratchaburi. Peluncuran program percontohan pertama untuk penggunaan kondom 100%. Program penggunaan kondom 100% ini dikembangkan untuk menegakkan penggunaan kondom pada seks komersial di lokalisasi dan pengaturan lainnya. Kesepakatan bersama tentang penggunaan kondom 100% sebagai upaya penanggulangan IMS, HIV dan AIDS di Lokalisasi Suka Damai Kota Samarinda sudah ada sesuai dengan Peraturan Daerah provinsi Kalimantan Timur No. 5 Tahun 2007 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual13. Faktor pemungkin (enabling factor) yang mempengaruhi praktik penggunaan kondom adalah ketersediaan kondom di dalam kamar WPS. Menurut teori Green9 bahwa sarana prasarana termasuk dalam faktor pemungkin yaitu faktor yang memungkinkan seseorang berperilaku khusus, dengan ketersediaan kondom yang cukup di lokalisasi Suka Damai khususnya di masingmasing kamar WPS dimungkinkan para WPS dapat selalu menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seksual dengan pelanggan. Selain itu ketersediaan kondom di dalam kamar juga dapat meminimalisir keengganan pelanggan dalam menggunakan kondom dengan alasan membeli kondom jauh. Di lokalisasi Suka Damai Samarinda kebutuhan kondom dipenuhi oleh Komisi Penanggulangan AIDS, untuk memasarkan kondom pada pelanggan WPS diwajibkan untuk menawarkan kondom pada pelanggan yang akan melakukan hubungan seksual. Hal ini sesuai dengan Peraturan Daerah provinsi Kalimantan Timur No. 5 Tahun 2007 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual pada pasal 9 dan pasal 5.Pada pasal 9 dijelaskan bahwa sektor kesehatan berkewajiban untuk menyediakan kondom di tempat-tempat rawan.Sedangkan pada pasal 5 dijelaskan keharusan menggunakan kondom di tempat-tempat pelaku berisiko tinggi13. Sedangkan faktor penguat (reinforcing factor) praktik negosiasi penggunaan kondom adalah adanya dukungan dari petugas kesehatan dan Peraturan Pemerintah Daerah Kalimantan Timur dalam hal keharusan menggunakan kondom di tempat-tempat pelaku berisiko tinggi. Berdasarkan hasil indepth interview diketahui bahwa informan kunci yaitu petugas kesehatan mendukung WPS untuk selalu melakukan negosiasi penggunaan kondom kepada pelanggan sebelum melakukan hubungan seksual dan mendukung tindakan yang dilakukan oleh WPS jika tidak menemui kesepakatan dalam negosiasi penggunaan kondom yaitu dengan menolak pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Silalahi14, dimana dari penelitian tersebut diketahui bahwa terdapat dukungan petugas kesehatan dengan tindakan menggunakan kondom. 2. Praktik vaginal douching Praktik vaginal douching didefinisikan sebagai upaya pembersihan/bilas vagina baik eksternal maupun internal. Eksternal douching meliputi pembilasan labia dan bagian luar vagina dengan bahan-bahan tertentu, sedangkan internal douching meliputi memasukkan bahan/alat pembersih ke dalam vagina dengan jari, dan/atau dalam bentuk spraying atau liquid. Praktik vaginal douching atau tindakan bilas vagina sering dilakukan oleh masyarakat umum maupun pekerja seks (PS) sebagai bagian dari personal hygiene perempuan15. Dari hasil penelitian yang dilakukan di Lokalisasi Suka Damai Loa Hui Kecamatan Loa Janan Kota samarinda menunjukan bahwa baik WPS maupun mucikari yang menjadi informan dalam penelitian ini mengetahui definisi vaginal douching. informann menyatakan bahwa upaya mebersihkan vagina dilakukan agar selalu menjaga kebersihan organ kewanitaan, selain itu agar tidak tersisa lender-lendir setelah mereka menerima tamu. Vaginal douching juga mereka lakukan untuk mencegah keputihan serta bau tak sedap pada organ kewanitaan. Hasil penelitian di Lokalisasi Loa Hui menunjukan bahwa WPS dan Mucikari yang menjadi informan dalam penelitian ini telah memahami definisi dari vaginal douching, yang di tunjukan dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan kepada para informan menyatakan bahwa vaginal douching adalah upaya mebersihkan vagina dilakukan agar selalu menjaga kebersihan organ kewanitaan, selain itu agar tidak tersisa lender-lendir setelah mereka menerima tamu telah sesuai dengan teori menurut Kespro. Info yaitu vaginal douching didefinisikan sebagai upaya pembersihan/bilas vagina baik eksternal maupun internal. Eksternal douching meliputi pembilasan labia dan bagian luar vagina dengan bahanbahan tertentu, sedangkan internal douching meliputi memasukkan bahan/alat pembersih ke dalam vagina dengan jari, dan/atau dalam bentuk spraying atau liquid. Praktik vaginal douching atau tindakan bilas vagina sering dilakukan oleh masyarakat umum maupun pekerja seks (PS) sebagai bagian dari personal hygiene perempuan15. Mucikari dan WPS yang menjadi informan dalam penelitian ini telah memahami definisi dari vaginal douching, namun untuk caravaginal douching yang mereka lakukan selama ini tidak tepat. Berbagai cara yang dilakukan informan diantaranya yaitu dengan hanya mencuci bagian luar vagina saja, sampai dengan mengorek-ngorek ke bagian dalam vagina menggunakan jari. Walaupun telah sesuai dengan teori yang ada menurut15 mengenai praktik vaginal douching yaitu memasukkan bahan/alat pembersih ke dalam vagina dengan jari, dan/atau dalam bentuk spraying atau liquid, namun melakukan vaginal douching ini tidak disarankan. Perempuan tidak usah melakukan douching untuk membersihkan vagina, karena ternyata douching dapat membuat pH di dalam vagina menjadi tidak seimbang apalagi kalau douching itu sering dilakukan. Ketidak seimbangan pH akan menyebabkan bakteri- bakteri komensal menjadi mati sehingga vagina dapat terserang bakteri dari luar. Sebuah penelitian mengenai hubungan praktik vaginal douching dengan Lower Genital Tract Symptoms, dan ketidak teraturan menstruasi pada wanita muda di Nigeria oleh Ekpenyong16 menyatakan bahwa 79.8% wanita muda yang melakuakn praktik vaginal douching mengalami kegatalan di daeran vagina dan ketidakteraturan menstruasi. Sebuah penelitian lain dari Shaaban17 mengenai praktik vaginal douching dengan bahaya kesehatan reproduksi pada wanita di Mesir, menyatakan bahwa secara statistik vaginal douching dapat meningkatkan bahaya kesehatan reproduksi. Bahan –bahan yang informan gunakan untuk melakukan vaginal douching juga tidak sesuai teori yang ada. Mucikari dan WPS yang menjadiinforman menggunakan bahanbahan berupa sabun antiseptic/sabun sirih, bahkan ada pula yang menggunakan pasta gigi dalam praktik vaginal douching. Penelitian lain mengenai vagianl douching pada pekerja seks di KwazuluNatal, Afrika Selatan yang dilakukan oleh Morar18 menyatakan bahwa pekerja seks di daerah tersebut juga melakukan hal serupa yaitu menggunakan bahan-bahan tradisional dan cairan antiseptic dalam upaya vaginal douching yang dilakukan. Keseimbangan pH di dalam vagina sangat sensitif, ada baiknya membiarkan vagina membersihkan dirinya sendiri dengan membasuh bagian luar vagina menggunakan air hangat dan sabun yang tidak mengandung pewangi. Produk-produk seperti sabun sehat perempuan, bedak, bahkan parfum tidak selalu baik untuk membersihkan vagina, bahkan justru dapat membahayakan. Penelitian di Amerika membuktikan bahwa seorang perempuan yang secara rutin melakukan douching lebih besar kemungkinannya terkena masalah kesehatan daripada perempuan yang tidak secara rutin melakukannya. Masalah kesehatan ini termasuk iritasi pada vagina, infeksi (yang biasa disebut Bacterial Vaginosis atau BV). Infeksi rongga panggul yang disebut di atas dikenal dengan nama Pelvic Inflammatory Disease (PID). PID sendiri adalah infeksi pada bagian dalam organ reproduksi perempuan, yang disebabkan oleh bakteri yang dapat menjalar dari vagina dan leher rahim hingga dapat mencapai rahim dan ovarium. Jika tidak dilakukan pemeriksaan, PID dapat menyebabkan ketidaksuburan (sehingga tidak dapat hamil). Baik BV maupun PID dapat menjurus ke masalah yang lebih serius selama kehamilan, seperti infeksi pada bayi dan keguguran19. Pentingnya peran petugas kesehatan dalam memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat khususnya wanita pekerja seks komersial mengenai vaginal douching dapat meningkatkan pengetahuan mereka mengenai bahayanya melakukan vaginal douching yang tidak sesuai anjuran, yaitu hanya membilas bagian luar vagina dengan air hangat saja. Hal ini sejalan dengan penelitian mengenai praktik vaginal douching di turki oleh Arslanta20 menyatakan bahwa praktik vaginal douching pada wanita di turki banyak dipengaruhi dari ibu mereka yang mengajarkan tentang praktik vaginal douching. Berdasarkan penelitian ini maka disarankan juga bagi para petugas kesehatan agar dapat memberikan pendidikan kesehatan untuk dapat membenarkan praktik vaginal douching yang selama ini telah salah diajarkan ibu mereka. KESIMPULAN Praktik negosiasi penggunaan kondom pada WPS di lokalisasi Suka Damai Loa Hui Samarinda sudah baik.Tetapi untuk praktik vaginal douching yang mereka lakukan selama ini tidak tepat yaitu dengan cara menyiram vagina dari luar hingga kedalam, mengorek liang vagina dengan menggunakan jari tangan dan menggunakan sabun dan alat yang dimasukkan ke dalam vagina dengan tujuan mengeluarkan semua kotoran dalam vagina. SARAN Mata rantai penularan infeksi menular seksual oleh wanita pekerja seks tidak dapat dihilangkan tetapi hanya dapat diperkecil peranannya.Oleh karena itu diharapkan bagi wanita pekerja seks agar tetap terus konsisten dalam praktik negosiasi penggunaan kondom dengan pelanggan agar dapat mencegah penularan infeksi menular seksual.Mucikari dan WPS yang sebaiknya tidak melakukan praktikvaginal douching, terutama menggunakan bahan-bahan dan alat yang tidak disarankan.Cukup membasuh organ kewanitaan bagian luar dengan air hangat.Petugas kesehatan diharapkan memberikan pendidikan kesehatan berupa cara melakukan bilas vagina yang tepat dan tidak membahayakan khususnya bagi organ kewanitaan. /pdfs/frontiers/FR_FinalReports/DR_Suc cessfulCondomUse.pdf. Green, Lawrence, Kreuter, Marshal W. (1991). Health promotion planning, an educational and environmental approac. Mountain View. Mayfield Publishing Company, 2nd Edition. DAFTAR PUSTAKA Anonym. (2003). “Kita perlutTahu douching”,(Online)http://www.isekolah. org, diakses 15 Oktober 2015). Kartono, Kartini., (2011). Patologi Sosial. Jilid 1, Jakarta : Rajawali Pers. Anonim. (2007). “Vaginal douching praktik hygiene perorangan pada perempuan”,(Online)http://www.kesrepr o.info, diakses 20 Oktober 2015). Morar, Ramjee, Gouws & Wilkinson. (2003). Vaginal Douching and vaginal substance use among ses workers in KwazuluNatal, South Africa. Jurnal Of Science 99. University of Pretaria Arsiantas, Karabagli & Koc. (2010). Vaginal douching practice in Eskisehir in Turkey. Journal of Public Health and Epidemiology Vol. 2(9), pp. 245-250, December 2010 Available online at http://www.academicjournals.org/jphe Barliantari, Luciana., (2007). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Penggunaan Kondom Di Kalangan Pasangan Tetap WPS (Gendak) Studi Kelompok Dampingan Yayasan Perkumpulan Bandungwangi Dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia DKI Jakarta Kotamadya Jakarta Timur, tesis, FISIP-UI. hal 7-8 Cahyo, Suharjo B., (2008). Gaya Hidup Dan Penyakit Modern, Yogyakarta : Kanisius Ekpenyong, Davies. (2013). Associations between Vaginal Douching Practice and Lower Genital Tract Symptoms and Menstrual Disorders among Young Women: A Search for Risk Modulating Factors. Advances in Sexual Medicine, 2013, 3, 7684http://dx.doi.org/10.4236/asm.2013.34 012Published Online October 2013 (http://www.scirp.org/journal/asm). Garcia G. Sandra S. D. & Goldman Lisa M. (2002). Understanding successful condom use in the Dominican Republic. Diakses 21 Oktober 2014. Available from:http://www.popcouncil.net/uploads Murtiastutik, Dwi., (2008). Buku ajar infeksi menular seksual. Surabaya : Airlangga University Press. Notoatmodjo, Soekidjo., (2010). Kesehatan Masyarakat Ilmu Dan Seni, Jakarta : Rineka Cipta. Pakpahan, Triono., (2008). Posisi Tawar PSK Dalam Pemakaian Kondom Sebagai Upaya Pencegahan HIV/AIDS Studi Antropologi Di Warung Bebek, Desa Firdaus Kecamatan Sei Rempah, tesis, FISIP-USU. Peraturan Daerah provinsi Kalimantan Timur No. 5 Tahun 2007 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual. Rojanapithayakorn W. (2006). The 100% condom use programme in Asia. Reproductive health matters, 14, 41-52. Setyoadi & Triyanto E. (2012). Strategi Pelayanan Keperawatan Bagi Penderita AIDS. Jakarta. Graha Ilmu. Shaaban, Youssef, Khodry & Mostafa. (2013). Vaginal douching by women with vulvovaginitis and relation to reproductive health hazards. Shaaban et al. BMC Women's Health 2013, 13:23 http://www.biomedcentral.com/14726874/13/23 Silalahi, Roselly Evianty. (2008). Pengaruh Faktor Predisposisi Pendukung Dan Komersial Dalam Menggunakan Kondom Untuk Pencegahan HIV/AIDS Di Lokalisasi Teleju Kota Pekanbaru, tesis, Sekolah Pascasarjana-USU, hal 7182. Tana, Susilawati., (2004). Infeksi Menular Seksual, Terkendalikah ?. Cet. Pertama, Yogyakarta : Pusat Studi Kependudukan . Penguat Terhadap Tindakan Pekerja Seks dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada. Widodo, Edi., (2009) Praktik WPS Dalam Pencegahan Penyakit Infeksi Menular Seksual Dan HIV/AIDS Di Lokalisasi Koplak Kabupaten Grobokan, Jurnal promosi kesehatan Indonesia Vol.4/No.2/Agustus 2009, hal 95-96