PADA WANITA PEKERJA SEKS DI LOKALISASI SUKA DAMAI LOA

advertisement
PADA WANITA PEKERJA SEKS DI LOKALISASI SUKA DAMAI LOA HUI
KOTA SAMARINDA
(Studi Kualitatif Pada Wanita Pekerja Seks)
The Negotiation Practice Of Using Condoms And Vaginal Douchingto The Female Sex
Workerinsuka Damai Loa Hui Localization
Samarinda City
(Qualitative Study On Female Sex Worker)
Lisa Wahidatul Oktaviani1, Rahmi Susanti2, Erni Wingki Susanti3
Email :[email protected]
ABSTRACT
Wanita Pekerja Seks merupakan kelompok risiko tinggi terkena infeksi menular seksual
mengingat pada kelompok ini terbiasa melakukan aktivitas seksualnya dengan pasangan yang tidak
tetap, dengan tingkat mobilitas yang sangat tinggi di kelompok tersebut. Perilaku dan gaya hidup
pada pelanggan Wanita Pekerja Seks adalah tidak menggunakan kondom pada saat berhubungan
seksual dengan pelanggan. Perilaku lain yang menarik untuk dikaji adalah vaginal douching.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan wawancara mendalam pada Wanita Pekerja Seks dan
informan lainnya tentang negoisasi penggunaan kondom dan vaginal douching pada Wanita Pekerja
Seks. Jenis penelitian adalah deskriptif dengan pengambilan data dalam bentuk kualitatif. Hasil
penelitian menginformasikan bahwa seluruh Wanita Pekerja Seks setuju bahwa pelanggan harus
menggunakan kondom sebelum memakai jasa mereka. Sebagian besar Wanita Pekerja Seks
melakukan negoisasi penggunaan dengan bujukan, rayuan bahkan alasan yang bersangkutan dengan
keluarga mereka.Vaginal douching selalu dilakukan oleh Wanita Pekerja Seks dan hamper selalu
menggunakan bahan yang tidak dianjurkan. Para Wanita Pekerja Seks merasakan lebih bersih
dengan menggunakan bahan seperti sabun atau bahkan pasta gigi. Penelitian ini memberikan
kesimpulan bahwa terdapat tindakan yang konsisten pada Wanita Pekerja Seks tentang penggunaan
kondom pada pelanggannya. Vaginal douching pada Wanita Pekerja Seks dilakukan dengan
mengunakan produk yang dijual secara umum.
Kata Kunci : Negoisasi Pengunaan Kondom, Vaginal Douching, Wanita Pekerja Seks
ABSTRACT
Female Sex Worker is a high-risk group exposed to sexually transmitted infections given in this
group used to perform sexual activity with a partner who does not remain, with a very high level of
mobility in the group. Behavior and lifestyle on the customer Female Sex Workeris not using a
condom during intercourse with customers. Another interesting behavior to be studied is vaginal
douching. This study aims to conduct in-depth interviews on Female Sex Workerand other
informants negotiate the condoms use and vaginal douching inFemale Sex Worker. This type of
research is descriptive with qualitative data collection technique. Results of the study informs that
throughout Female Sex Worker agreed that the customer should use a condom before using their
services. Most of Female Sex Workernegotiated with the use of persuasion, seduction and even the
reasons concerned with their family. Vaginal douching is always done by Female Sex Workerand
almost always used materials that are not recommended. The Female Sex Workerfeel cleaner using
ingredients such as soap or toothpaste. This study provides the conclusion that there is a consistent
action on Female Sex Worker on the condoms use to the customers.Vaginal douching in Female Sex
Worker is done by using products sold in general.
Keywords: Negotiationof Using Condoms, Vaginal Douching, Female Sex Worker
PENDAHULUAN
Fenomena WPS yang bertentangan
dengan nilai, hukum, agama tidak terlepas
dari latar belakang sulitnya mencari pekerjaan
dengan pendidikan yang rendah, keterampilan
yang tidak memadai dari seseorang adalah
beberapa
faktor
terjadinya
fenomena
1,2,3
prostitusi dewasa ini . data dari Dinas
Sosial diketahui bahwa jumlah WPS di
Kalimantan Timur (Kaltim) hingga bulan
ketiga tahun 2012 yaitu sebanyak 4.976
orang.
Lokalisasi Suka Damai Loa Hui
merupakan salah satu lokalisasi terbesar yang
ada di kota Samarinda. Berdasarkan data dari
Dinas Kesejahteraan Sosial Samarinda
diketahui jumlah WPS dari tahun 2008 –
2011 mengalami fluktuatif, dimana dari tahun
2008 ke tahun 2009 mengalami peningkatan
jumlah WPS dari 283 orang menjadi 293
orang dan pada tahun 2010 terjadi penurunan
jumlah WPS menjadi 230 orang.
WPS merupakan kelompok risiko tinggi
terkena infeksi menular seksual mengingat
pada kelompok ini terbiasa melakukan
aktivitas seksualnya dengan pasangan yang
tidak tetap, dengan tingkat mobilitas yang
sangat tinggi di kelompok tersebut. Walaupun
infeksi menular seksual merupakan penyakit
yang disebabkan oleh infeksi organisme,
namun
dalam
penyebarannya
sangat
dipengaruhi oleh pola perilaku dan gaya
hidup seseorang. Perilaku dan gaya hidup
tersebut salah satunya adalah tidak
menggunakan
kondom
pada
saat
berhubungan seksual dengan pelanggan4,5.
Hal lain yang seringkali dilakukan oleh
penjaja seks komersial setelah melakukan
hubungan seks adalah bilas vagina atau
disebut vaginal douching.Bilas vagina
dipercaya dapat mengurangi resiko terjangkit
penyakit menular seksual pada wanita penjaja
seks.Praktik vaginal douching didefinisikan
sebagai upaya pembersihan/bilas vagina baik
eksternal maupun internal. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Joesoef dkk,
pada tahun 1993 diketahui bahwa praktik
vaginal douching dapat meningkatkan risiko
kejadian Penyakit Menular Seksual dan
Pelvic Inflammatory Disease.
Penelitian
ini
dilakukan
untuk
mengetahui bagaimana praktik negosiasi
penggunaan kondom dan vaginal douching
pada wanita pekerja seks di lokalisasi suka
damai loa hui kota samarinda, dengan asumsi
bahwa WPS berisiko tinggi terinfeksi IMS
dan
berpotensi
menularkannya
pada
pelanggan yang selalu berganti - ganti.
METODE PENELITIAN
Penelitian dimulai dengan merumuskan
masalah dan memilih variabel yang akan
diteliti, yaitu variabel praktik negosiasi
penggunaan kondom dan vaginal douching.
Penelitian ini dilakukan di salah satu
lokalisasi dikota Samarinda yang terletak di
kecamatan Samarinda Seberang, yakni
Lokalisasi Suka Damai Loa Hui Harapan
Baru Kota Samarinda.
Peubah yang akan diamati adalah praktik
negoisasi kondom dan vaginal douching pada
wanita pekerja seksual. Penelitian ini
menggunakan penelitian kualitatif dengan
pendekatan deskriptif.
Teknikpengumpulan data adalah dengan
melakukan wawancara mendalam pada
informan dengan dibantu alat rekam,
observasi non partisipan, kemudian peneliti
dibantu dengan panduan wawancara serta
penelitian
akan
dilengkapi
dengan
dokumentasi – dokumentasi yang dibutuhkan.
Teknik analisis pada penelitian kualitatif
adalah
reduksi
data
dan
peyajian
data.Langkah selanjutnya setelah analisis data
kualitatif adalah validasi penelitian, yaitu
dengan Triangulasi yaitu pengecekan data
dari berbagai sumber dengan berbagai cara,
dan berbagai waktu kemudian dilakukan
penarikan kesimpulan.
HASIL PENELITIAN
Lokalisasi Suka Damai Loa Hui terletak
di kecamatan samarinda seberang tepatnya di
kelurahan harapan baru.Lokalisasi ini telah
ada sejak 25 tahun lalu dengan luas kurang
lebih 1.5 Ha.Jumlah wisma sebanyak 40
dengan jumlah WPS sebanyak 10 per wisma.
Jumlah wps secara keseluruhan adalah
282 orang dengan 27 mucikari.Lokalisasi ini
rutin mendapatkan kunjungan kesehatan dari
Puskesmas setempat yakni Puskesmas
Harapan Baru.
Informan dalam penelitian ini terdiri dari
1 orang petugas kesehatan (Dokter
Puskesmas, 5 orang WPS, dan 4 orang
mucikari.Informasi
diperoleh
dengan
melakukan wawancara mendalam (indepth
interview) kepada para informan.
Praktik negosiasi penggunaan kondom
Praktik
negosiasi
penggunaan
kondompada penelitian ini mengenai tindakan
WPS dalam negosiasi penggunaan kondom
pada saat hubungan seks.Dari hasil
wawancara yang dilakukan secara mendalam
kepada informan tentang ketersediaan
kondom menunjukkan bahwa seluruh
informan
mendapatkan
kondom
dari
lingkungan lokalisasi dimana kondom
tersebut
diperoleh
dari
Komisi
Penanggulangan AIDS (KPA). Seperti yang
di ungkapkan informan dalam penelitian ini,
yaitu sebagai berikut :
“ya dari anu … kesehatan. Maksudnya dari
tempa kita pokja lisensinya dari KPA.Jadi
kita semua dapat dari situ kondomnya.”(SR :
05 Mei 2015)
“ya ada dari lingkungan sini kan dibagi, itu
kondomnya dari eee KPA.”(VA : 08 Mei
2015
Hal ini sejalan dengan pernyataan
informan kunci yaitu seorang petugas
kesehatan yang menyatakan hal serupa
sebagai berikut :
“pemberian kondom kita berikan, kondomnya
dari KPA.”(OP : 11 Mei 2015)
Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat
ditarik analisis makna yaitu seluruh informan
mendapatkan kondom dari lingkungan
lokalisasi dimana kondom tersebut diperoleh
dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA).
Hal ini sesuai dengan Peraturan Daerah
provinsi Kalimantan Timur No. 5 Tahun 2007
Tentang Pencegahan dan Penanggulangan
HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual pada
pasal 9 dijelaskan bahwa sektor kesehatan
berkewajiban untuk menyediakan kondom di
tempat-tempat rawan.
Dari hasil wawancara yang dilakukan
secara mendalam kepada informan tentang
praktik negosiasi penggunaan kondom
menujukkan
bahwa
informan
selalu
menawarkan kondom kepada pelanggan.
Seperti yang di ungkapkan oleh informan
dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
“ya nawarin, harus nawarin. Kan bilang ke
tamu nya harus pake kondom mas biar
sehat.”(VA : 08 Mei 2015)
“la iya mbak nawarin itu. Ya anu... harus,
biar ndak dapat penyakit dari mana mana
gitu.”(RN : 04 Mei 2015)
Hal ini sejalan dengan pernyataan
informan kunci yaitu seorang petugas
kesehatan yang menyatakan hal serupa
sebagai berikut :
“ya harus menawarkan ke tamunya.Pokoknya
wajib harus terima tamu wajib pake
kondom.”(OP : 11 Mei 2015)
Dari pernyataan-pernyataan diatas dapat
ditarik analisis makna yaitu informan selalu
menawarkan kondom kepada pelanggan, dan
hal ini diperkuat dengan pernyataan informan
kunci yaitu seorang petugas kesehatan. Hal
ini sesuai dengan Peraturan Daerah provinsi
Kalimantan Timur No. 5 Tahun 2007 Tentang
Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS
dan Infeksi Menular Seksual pada pasal 5
dijelaskan keharusan menggunakan kondom
di tempat-tempat pelaku berisiko tinggi.
Dari hasil wawancara yang dilakukan
secara mendalam kepada informan tentang
cara
negosiasi
penggunaan
kondom
menujukkan bahwa cara yang dilakukan oleh
informan pada saat melakukan negosiasi
dengan pelanggan agar menggunakan
kondom antara lain dengan membujuk atau
merayu pelanggan dan memberitahukan
kepada pelanggan untuk menggunakan
kondom agar tidak terkena penyakit menular
seksual. Seperti yang di ungkapkan oleh
informan dalam penelitian ini, yaitu sebagai
berikut :
“ya pokoknya di rayu supaya mau gimana
harus mau. Ya pokoknya jangan sampai kita
kena penyakit dari mana-mana gitu.Ndak
mau aku ndak mau takut.”(SR : 05 Mei 2015)
“ya harus di rayu dong biar dia mau. Kita
pake kondom mas biar sehat, itu pasti dia
mau mbak.”(SA : 09 Mei 2015)
Selain itu hal lain yang dilakukan
informan
untuk
bernegosiasi
dengan
pelanggan adalah dengan mengingatkan
pelanggan kepada keluarganya. Seperti yang
di ungkapkan oleh informan dalam penelitian
ini, yaitu sebagai berikut :
“ kan bilang ke tamu nya harus pake kondom
mas biar sehat. Kita di pake orang banyak
mas sedangkan mas dipake istri mas sendiri
di rumah, gak kasian kah kalo nanti kena
gini-gini. “(VA : 08 Mei 2015)
Hal ini sejalan dengan pernyataan
informan kunci yaitu seorang petugas
kesehatan yang menyatakan hal serupa
sebagai berikut :
“mereka itu kadang ngerti kadang tahu gitu
ya, misalnya saja tentang penggunaan
kondom itu dibanding orang yang awam itu
mereka lebih tau dong itu pastinya
hehe...mereka ya tau duluan yah kayak apa
manfaat nya.”(OP : 11 Mei 2015)
Dari pernyataan-pernyataan diatas dapat
ditarik analisis makna yaitu informan
mengetahui bagaimana cara bernegosiasi
menggunakan kondom kepada pelanggan dan
hal ini diperkuat dengan pernyataan informan
kunci yaitu seorang petugas kesehatan. Hal
ini sesuai dengan teori Hindle (2001), seni
negosiasi
didasarkan
pada
usaha
mempertahankan apa yang baik bagi kita
dengan apa yang baik bagi pihak lain.
Dari hasil wawancara yang dilakukan
secara mendalam kepada informan tentang
tindakan yang dilakukan oleh informan jika
tidak menemui kesepakatan dalam negosiasi
penggunaan kondom menunjukkan bahwa
informan akan menolak pelanggan yang tidak
mau menggunakan kondom. Seperti yang di
ungkapkan oleh informan dalam penelitian
ini, yaitu sebagai berikut :
“ada juga yang kayak gitu mbak, nggak mau,
tapi kita juga takut penyakit kan kita nggak
terima. Uang Cuma seberapa tapi nanti sakit
menyesal seumur hidup, kan nggak selamae
kerja kayak gini.”(VA : 08 Mei 2015)
“iya, kalo seumpama pas kita nego di luar
ginikan orangnya mau trus pas eee.. apa di
dalam gitu ndak mau pake atau dia lepas
kondomnya pas main gitukan ya saya ndak
mau lanjut, pernah ada saya dapat pelanggan
gitu, saya ndak mau lanjut, tapi ya uangnya
tetap saya ambil ndak saya kembalikan, kan
sudah kesepakatan tadi di awal pake gitu,
kenapa pas di dalam ndak, ya ndak bisa kalau
gitu, salah dia sendiri.”(RN : 04 Mei 2015)
Namun terdapat pernyataan informan
yang
menyatakan
tetap
berusaha
mempertahankan agar pelanggan mau
menggunakan kondom. Seperti yang di
ungkapkan oleh informan dalam penelitian
ini, yaitu sebagai berikut :
“pernah, tapi tetap dipertahankan supaya dia
mau, pasti mereka dengan sendiri mau pasti
mau
juga,
karena
memang
demi
kesehatan.”(RR : 07 Mei 2015)
Hal ini sejalan dengan pernyataan
informan kunci yaitu seorang petugas
kesehatan yang menyatakan hal serupa
sebagai berikut :
“pokoknya wajib harus terima tamu wajib
pake kondom kita wajibkan kan, ya tapi
bagaimana kalo pelanggannya tidak mau
memakai kita nggak dapat pelanggan. ”(OP :
11 Mei 2015)
Dari pernyataan-pernyataan diatas dapat
ditarik analisis makna yaitu informan
mengetahui tindakan apa yang harus
dilakukan jika tidak menemui kesepakatan
dalam negosiasi penggunaan kondom, dan hal
ini diperkuat dengan pernyataan informan
kunci yaitu seorang petugas kesehatan. Hal
ini sesuai dengan teori Hindle (2001),
negosiasi adalah proses yang diakhiri dengan
keberhasilan kedua belah pihak atau
kegagalan kedua belah pihak. Seni negosiasi
didasarkan pada usaha mempertahankan apa
yang baik bagi kita dengan apa yang baik bagi
pihak lain.
Dari hasil wawancara yang dilakukan
secara mendalam kepada informan tentang
pentingnya
penggunaan
kondom
menunjukkan bahwa informan mengetahui
pentingnya penggunaan kondom pada saat
melakukan hubungan seksual dengan
pelanggan.Hal ini dikarenakan informan
merasa takut tertular penyakit menular
seksual. Seperti yang di ungkapkan oleh
informan dalam penelitian ini, yaitu sebagai
berikut :
“pentinglah mbak, kan mencegah kita dari
penyakit kan. Penyakit tuh kan banyak dari
virus-virus kan juga banyak.”(VA : 04 Mei
2015)
“cebok, biar bersih mbak, biar ndak ada sisa
lendir lendir itu kalo habis ada tamu kita kan,
karna kan kita ya juga ndak nyaman kan
kalau ada begitu”(RN : 4 Mei 2015)
“yah penting toh, untuk mencegah supaya gak
sakit, gak tertular penyakit dan untuk
keamanan kesehatan.”(WW : 08 Mei 2015)
Hal ini sejalan dengan pernyataan
informan kunci yaitu seorang petugas
kesehatan yang menyatakan hal serupa
sebagai berikut :
“itu sangat penting, demi kesehatan kita.”(RR
: 04 Mei 2015)
“ya penting lah. Ya untuk mencegah supaya
ndak tertular penyakit.”(YN : 05 Mei 2015)
Hal ini sejalan dengan pernyataan
informan kunci yaitu seorang petugas
kesehatan yang menyatakan hal serupa
sebagai berikut :
“ya sangat pentinglah karena menggunakan
kondom dengan cara yang benar dapat
menghindarkan mereka dari penularan
penyakit menular seksual.”(OP : 11 Mei
2015)
Dari pernyataan-pernyataan diatas dapat
ditarik analisis makna yaitu informan
mengetahui bahwa penggunaan kondom bagi
pekerjaan mereka sangatlah penting karena
dapat menghindarkan mereka dari penularan
penyakit menular seksual. Hal ini sejalan
dengan teori cara kerja kondom yaitu
mencegah penularan mikroorganisme (IMS
termasuk HIV/AIDS) dari satu pasangan
kepada pasangan yang lain.
Praktik vaginal douching
Pertanyaan ini untuk memperoleh
informasi mengenai pengetahuan informan
mengenai definisi, cara serta bahan bahan
yang digunakan WPS dan mucikari dalam
praktik
vaginal
douching.Dari
hasil
wawancara yang dilakukan secara mendalam
kepada informan tentang apakah yang
dimaksud
dengan
Vaginal
Douching
menunjukkan bahwa pengetahuan informan
mengenai Vaginal Douching sudah baik.
Seperti yang di ungkapkan WPS
yang
menjadi informan dalam penelitian ini, yaitu
sebagai berikut :
“membersihkan
vagina
secara
steril
semuanya keseluruhan.”(VA : 8 Mei 2015)
“bilas vagina, . Cuman kan, tidak boleh
terlalu sering itu aja kan”(OP: 11 Mei 2015)
Dari pernyataan diatas dapat ditarik
analisis makna yaitu, informan mengetahui
definisi Vaginal Douching yaitu upaya
pembersihan vagina baik eksternal maupun
internal.
Dari hasil wawancara yang dilakukan
secara mendalam kepada informan tentang
cara pembilasan vagina menunjukkan bahwa
perilaku vaginal douching yang selama ini
informan lakukan tidak tepat. Seperti di
ungkapkan WPS dan Mucikari yang menjadi
informan dalam penelitian ini, yaitu sebagai
berikut :
“ Dikorek-korek ke dalam pakai jari”(SW: 6
Mei 2015)
“ Disabun dari luar, habis itu vagina kitakan
ada lubang dibersihkan, dimasukan pake alat
jadinya
bersih
semua,
keluar
kotorannya.”(VA: 4 Mei 2015 )
“Yah.. waktu kita habis terima tamu itu di
korek kedalam dengan sabun itu sampai
bersih”DR: 7 Mei 2015)
Hal ini tidak sejalan dengan pernyataan
informan kunci yaitu seorang petugas
kesehatan yang menyatakan hal serupa
sebagai berikut :
“ Gak Boleh dikorek, kalo mencuci vagina
kan cukup di apa….disiram gitu aja, kan kalo
gitu justru mengakibatkan iritasi.”(OP: 11
Mei 2015)
Dari pernyataan diatas dapat ditarik
analisis makna yaitu, Cara pembilasan vagina
yang dilakukan oleh informan tidak tepat
yaitu dengan cara menyiram vagina dari luar
hingga kedalam, mengorek liang vagina
dengan menggunakan jari tangan dan
menggunakan sabun dan alat yang
dimasukkan ke dalam vagina dengan tujuan
mengeluarkan semua kotoran dalam vagina.
Dari hasil wawancara yang dilakukan
secara mendalam kepada informan tentang
bahan yang digunakan untuk vaginal
douching menunjukkan bahwa bahan-bahan
yang digunakan pun tidak tepat. Seperti di
ungkapkan WPS dan mucikari yang menjadi
informan dalam penelitian ini, yaitu sebagai
berikut :
“kalo saya pake sabun sirih mbak, kalo temen
saya yang lain kadang ada yang pake dettol
sama apa itu mbak yang di tetes itu yang ada
di iklan untuk sariawan bisa untuk kita punya
itu juga bisa. Nahh, biasa nya pake itu aja sih
mbak.”(SR: 5 Mei 2015 )
“dari anu… kalo lagi beli… apa itu namanya,
betadin… itukan ada alatnya di campur
sama, disitu kalo albotil sama betadin yang
ukuran tanggung ke atas itu dia ada alatnya,
jadi dia di masukkan langsung ke liang
vagina baru di tekan dia sih, betadin sama
albotilnya masuk dengan sendirinya kita ajak
ngeden baru cebok.” (LL: 4 Mei 2015)
“Kadang-kadang pake odol juga.. Odol
itukan bisa mencegah kuman, kalo untuk gigi
aja takut kuman apa lagi disitu”(SI: 6 Mei
2015 )
Hal ini tidak sejalan dengan pernyataan
informan kunci yaitu seorang petugas
kesehatan yang menyatakan hal serupa
sebagai berikut :
“gak ada sih yang kita anjurkan, itu
membunuh flora normal kan, ya itu kadang
mereka kan setiap habis berhubungan di cuci
vagina nya dengan itu, padahal itu bisa
membunuh flora normal kan. Asumsi mereka
ya mungkin mereka merasa bersih gitu
dengan apa..dengan mencuci vagina itu
kan.”(OP: 11 Mei 2015)
Dari pernyataan diatas dapat ditarik
analisis makna yaitu, bahan-bahan yang
digunakan oleh informan dalam melakukan
vaginal douching tidak tepat yaitu dengan
menggunakan sabun antiseptik, bahkan
menggunakan pasta gigi, cara yang dilakukan
pun tidak tepat, yaitu dengan mengorek liang
vagina dengan menggunakan jari tangan dan
menggunakan sabun dan alat yang
dimasukkan ke dalam vagina dengan tujuan
mengeluarkan semua kotoran dalam vagina.
PEMBAHASAN
Prostitusi merupakan fenomena yang
sudah ada sejak lama di dunia, tidak
terkecuali di Indonesia dan hingga kini masih
menjadi
masalah
yang
belum
terselesaikan.WPS adalah salah satu bagian
dari dunia prostitusi yang didalamnya
termasuk gigolo, waria, mucikari.Fenomena
WPS sangat menarik untuk dikaji, karena
fenomena ini dari dulu hingga sekarang tetap
berlangsung.
Fenomena
WPS
yang
bertentangan dengan nilai, hukum, agama
tidak terlepas dari latar belakang sulitnya
mencari pekerjaan dengan pendidikan yang
rendah, keterampilan yang tidak memadai
dari seseorang adalah beberapa faktor
terjadinya fenomena prostitusi dewasa ini 1,2,3.
Lokalisasi Suka Damai Loa Hui
merupakan salah satu lokalisasi terbesar yang
ada di kota Samarinda. Berdasarkan data dari
Dinas Kesejahteraan Sosial Samarinda
diketahui jumlah WPS dari tahun ke tahun
mengalami fluktuatif dan memungkinkan
adanya penambahan ataupun pengurangan
jumlah WPS dari waktu ke waktu.
WPS termasuk dalam kelompok
subpopulasi berisiko karena faktor perilaku
seperti gonta ganti pasangan dan tidak
menggunakan kondom saat berhubungan.
Penggunaan kondom merupakan cara
pencegahan
selain
abstinensia
(tidak
melakukan
hubungan
seksual
sama
sekali/puasa seks) dalam mencegah penularan
IMS. Seperti yang telah diketahui,
penggunaan kondom dalam seks komersial
merupakan kunci penting dalam pencegahan
penularan IMS karena hubungan seksual
merupakan salah satu jalur utama penularan
6,7
.
Sebagai penyedia jasa layanan seks,
WPS tentu akan berusaha memaksimalkan
kepuasan konsumen dengan berbagai macam
cara.
Untuk
menghindari
beralihnya
konsumen ke WPS yang lain, seorang WPS
akan selalu melayani keinginan konsumen
dengan memenuhi permintaan konsumen
untuk tidak menggunakan kondom. Dalam
keadaan ini, posisi tawar (negosiasi) WPS
sangat lemah karena mereka dihadapkan pada
tuntutan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya8.
Selain
penggunaan
kondom
permasalahan lain yang dihdapi oleh WPS
adalah adanya persepsi yang salah mengenai
praktik vaginal douching. Praktik vaginal
douching didefinisikan sebagai upaya
pembersihan/bilas vagina baik eksternal
maupun internal. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Joesoef dkk, pada tahun
1993 diketahui bahwa praktik vaginal
douching dapat meningkatkan risiko kejadian
Penyakit Menular Seksual dan Pelvic
Inflammatory Disease. Douching dengan air
saja setelah hubungan seks tidak berhubungan
dengan PMS tetapi risiko PMS akan
meningkat 2,6 kali lebih tinggi jika
menggunakan air dan sabun atau dengan daun
sirih atau produk komersil. Ahli kesehatan
tidak
menyarankan
douching
untuk
membersihkan vagina karena douching
merubah keseimbangan kimiawi dan flora
normal vagina yang dapat membuat
perempuan lebih rentan terhadap infeksi
bakterial. Dampak nonmedis lain dari praktik
douching adalah timbulnya kepercayaan
“semu”
khususnya
untuk
perempuan
kelompok pekerja seks. Mereka percaya
bahwa dengan douching sebelum dan sesudah
berhubungan seksual akan melindungi dirinya
dari penularan PMS. Berikut ini akan dibahas
secara satu per satu tentang variabel dalam
penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
1. Praktik negosiasi penggunaan kondom
Menurut Teori Green9 yang menyatakan
bahwa hal terpenting dalam perilaku
kesehatan adalah masalah pembentukan
perubahan perilaku. Dalam teori ini Green
mengidentifikasi tiga faktor yang dapat
mempengaruhi perilaku seseorang, dimana
masing-masing tipe pengaruh berbeda-beda
terhadap perilaku yaitu faktor predisposisi
(predisposing factors), faktor pemungkin
(enabling factors), dan faktor penguat
(reinforcing factors).
Dalam penelitian ini faktor predisposisi
yang mempengaruhi praktik penggunaan
kondom pada WPS dan pelanggannya adalah
pengetahuan WPS tentang pentingnya
penggunaan kondom dan praktik negosiasi
penggunaan
kondom.
Pengetahuan
merupakan salah satu bagian dari faktor yang
mempermudah dan mempunyai pengaruh
yang kuat dalam membentuk perilaku
individu atau masyarakat dengan didukung
faktor lain seperti tersedianya sarana dan
prasarana serta sikap dan perilaku petugas
kesehatan.
Berdasarkan hasil indepth interview
diketahui informan mengetahui bahwa
penggunaan kondom bagi pekerjaan mereka
sangatlah
penting
karena
dapat
menghindarkan mereka dari penularan
penyakit
menular
seksual.
Menurut
Notoatmodjo10, pengetahuan merupakan
domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt
behavior). Karena dari pengalaman dan
penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada
perilaku
yang
tidak
didasari
oleh
pengetahuan.
Adanya pengetahuan tentang pentingnya
penggunaan
kondom
itulah
yang
melatarbelakangi informan untuk selalu
melakukan praktik negosiasi penggunaan
kondom sebelum melakukan hubungan
seksual dengan pelanggan.Hal tersebut
diperkuat dengan pernyataan informan kunci
yaitu seorang petugas kesehatan.Praktik
negosiasi penggunaan kondom dalam
penelitian ini adalah tindakan WPS dalam
negosiasi penggunaan kondom pada saat
hubungan seks dengan pelanggan.Praktik atau
perilaku menurut Kwik dalam Notoatmodjo10
adalah tindakan atau perbuatan organisme
yang
dapat
diamati
bahkan
dapat
dipelajari.Praktik berkaitan dengan sikap dan
keyakinan seseorang terhadap sesuatu objek
yang dalam hal ini adalah praktik penggunaan
kondom. Bila WPS sudah mempunyai
keyakinan yang positif terhadap penggunaan
kondom pada saat berhubungan seksual
dengan pelanggan maka diharapkan akan
mempunyai sikap yang positif pula. Dengan
kondisi ini diharapkan akan terjadinya praktik
yang baik, walaupun hal ini tidak dapat
dipastikan.
Menurut Hindle, negosiasi adalah proses
yang diakhiri dengan keberhasilan kedua
belah pihak atau kegagalan kedua belah
pihak. Keberhasilan penggunaan kondom
pada setiap kegiatan seksual di lokalisasi
Suka Damai tidak terlepas dari cara atau
teknik negosiasi yang dilakukan oleh WPS.
Berdasarkan hasil indepth interview diketahui
bahwa informan mengetahui bagaimana cara
bernegosiasi menggunakan kondom kepada
pelanggan. Cara yang dilakukan oleh
informan pada saat melakukan negosiasi
dengan pelanggan agar menggunakan
kondom antara lain dengan membujuk atau
merayu pelanggan dan memberitahukan
kepada pelanggan untuk menggunakan
kondom agar tidak terkena penyakit menular
seksual. Hal ini diperkuat dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Garcia dan
Goldman11, di Dominican Republic bahwa
salah satu strategi untuk kesuksesan dalam
penggunaan kondom pada buruh pabrik,
mereka akan mengingatkan atau memberikan
peringatan kepada mitra bahwa teman-teman
dan kenalan mereka ada yang telah meninggal
karena HIV dan AIDS dalam rangka
memperkuat
pentingnya
menggunakan
kondom dan melindungi diri.
Apabila dalam praktik negosiasi
penggunaan kondom dengan pelanggan
mengalami kegagalan atau tidak menemui
kesepakatan, tindakan yang dilakukan oleh
WPS adalah menolak pelanggan yang tidak
mau menggunakan kondom.Hal tersebut
dilakukan oleh WPS karena mereka sadar
bahwa pekerjaan yang meraka lakukan ini
berisiko tinggi untuk terkena infeksi menular
seksual.Tindakan yang dilakukan oleh WPS
ini didukung oleh informan kunci yaitu
seorang petugas kesehatan. Berdasarkan hasil
indepth interview dengan informan kunci
diketahui bahwa informan kunci mewajibkan
setiap WPS yang akan melakukan hubungan
seksual
dengan
pelanggan
harus
menggunakan kondom.
Menurut
Notoatmodjo10
perilaku
ditunjang oleh pengetahuan dan sikap,
ketidaktahuan seseorang terhadap sesuatu
membuat ia tidak bisa bertingkah laku
terhadap sesuatu tersebut. Apabila seorang
WPS tidak tahu mengenai teknik negosiasi
dalam penggunaan kondom maka WP
tersebut tidak akan berperilaku menawarkan
kondom dengan baik.
WPS merupakan kelompok risiko tinggi
terkena infeksi menular seksual mengingat
pada kelompok ini terbiasa melakukan
aktivitas seksualnya dengan pasangan yang
tidak tetap. Walaupun infeksi ini disebabkan
oleh infeksi organisme, namun dalam
penyebarannya sangat dipengaruhi oleh
perilaku dan gaya hidup seseorang. Perilaku
dan gaya hidup tersebut salah satunya adalah
tidak menggunakan kondom pada saat
berhubungan seksul dengan kelompok risiko
tinggi.
Penggunaan kondom merupakan salah
satu upaya pencegahan penularan infeksi
menular seksual yang harus dilakukan oleh
responden di lokalisasi Suka Damai Kota
Samarinda. Untuk saat ini baru kondom yang
paling efektif mencegah penularan infeksi
menular seksual. Oleh karena itu, kondom
sebaiknya selalu digunakan setiap responden
melakukan hubungan seksual dengan
pelanggan.
Hal ini didukung oleh hasil penelitian
yang dilakukan oleh Rojanapithayakorn 12,
sebuah terobosan penting dalam pencegahan
AIDS di Thailand pada bulan Agustus 1989
di
Ratchaburi.
Peluncuran
program
percontohan pertama untuk penggunaan
kondom 100%. Program penggunaan kondom
100% ini dikembangkan untuk menegakkan
penggunaan kondom pada seks komersial di
lokalisasi
dan
pengaturan
lainnya.
Kesepakatan bersama tentang penggunaan
kondom
100%
sebagai
upaya
penanggulangan IMS, HIV dan AIDS di
Lokalisasi Suka Damai Kota Samarinda
sudah ada sesuai dengan Peraturan Daerah
provinsi Kalimantan Timur No. 5 Tahun 2007
Tentang Pencegahan dan Penanggulangan
HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual13.
Faktor pemungkin (enabling factor)
yang mempengaruhi praktik penggunaan
kondom adalah ketersediaan kondom di
dalam kamar WPS. Menurut teori Green9
bahwa sarana prasarana termasuk dalam
faktor pemungkin yaitu faktor yang
memungkinkan seseorang berperilaku khusus,
dengan ketersediaan kondom yang cukup di
lokalisasi Suka Damai khususnya di masingmasing kamar WPS dimungkinkan para WPS
dapat selalu menggunakan kondom pada saat
melakukan hubungan seksual dengan
pelanggan. Selain itu ketersediaan kondom di
dalam kamar juga dapat meminimalisir
keengganan pelanggan dalam menggunakan
kondom dengan alasan membeli kondom
jauh.
Di lokalisasi Suka Damai Samarinda
kebutuhan kondom dipenuhi oleh Komisi
Penanggulangan AIDS, untuk memasarkan
kondom pada pelanggan WPS diwajibkan
untuk menawarkan kondom pada pelanggan
yang akan melakukan hubungan seksual. Hal
ini sesuai dengan Peraturan Daerah provinsi
Kalimantan Timur No. 5 Tahun 2007 Tentang
Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS
dan Infeksi Menular Seksual pada pasal 9 dan
pasal 5.Pada pasal 9 dijelaskan bahwa sektor
kesehatan berkewajiban untuk menyediakan
kondom di tempat-tempat rawan.Sedangkan
pada pasal 5 dijelaskan
keharusan
menggunakan kondom di tempat-tempat
pelaku berisiko tinggi13.
Sedangkan faktor penguat (reinforcing factor)
praktik negosiasi penggunaan kondom adalah
adanya dukungan dari petugas kesehatan dan
Peraturan Pemerintah Daerah Kalimantan
Timur dalam hal keharusan menggunakan
kondom di tempat-tempat pelaku berisiko
tinggi. Berdasarkan hasil indepth interview
diketahui bahwa informan kunci yaitu petugas
kesehatan mendukung WPS untuk selalu
melakukan negosiasi penggunaan kondom
kepada pelanggan sebelum melakukan
hubungan seksual dan mendukung tindakan
yang dilakukan oleh WPS jika tidak menemui
kesepakatan dalam negosiasi penggunaan
kondom yaitu dengan menolak pelanggan
yang tidak mau menggunakan kondom. Hal
ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Silalahi14, dimana dari
penelitian tersebut diketahui bahwa terdapat
dukungan petugas kesehatan dengan tindakan
menggunakan kondom.
2. Praktik vaginal douching
Praktik vaginal douching didefinisikan
sebagai upaya pembersihan/bilas vagina baik
eksternal maupun internal.
Eksternal
douching meliputi pembilasan labia dan
bagian luar vagina dengan bahan-bahan
tertentu, sedangkan internal douching
meliputi memasukkan bahan/alat pembersih
ke dalam vagina dengan jari, dan/atau dalam
bentuk spraying atau liquid. Praktik vaginal
douching atau tindakan bilas vagina sering
dilakukan oleh masyarakat umum maupun
pekerja seks (PS) sebagai bagian dari personal
hygiene perempuan15.
Dari hasil penelitian yang dilakukan di
Lokalisasi Suka Damai Loa Hui Kecamatan
Loa Janan Kota samarinda menunjukan
bahwa baik WPS maupun mucikari yang
menjadi informan dalam penelitian ini
mengetahui definisi vaginal douching.
informann
menyatakan
bahwa
upaya
mebersihkan vagina dilakukan agar selalu
menjaga kebersihan organ kewanitaan, selain
itu agar tidak tersisa lender-lendir setelah
mereka menerima tamu. Vaginal douching
juga mereka lakukan untuk mencegah
keputihan serta bau tak sedap pada organ
kewanitaan.
Hasil penelitian di Lokalisasi Loa Hui
menunjukan bahwa WPS dan Mucikari yang
menjadi informan dalam penelitian ini telah
memahami definisi dari vaginal douching,
yang di tunjukan dari hasil wawancara
mendalam yang dilakukan kepada para
informan menyatakan bahwa vaginal
douching adalah upaya mebersihkan vagina
dilakukan agar selalu menjaga kebersihan
organ kewanitaan, selain itu agar tidak tersisa
lender-lendir setelah mereka menerima tamu
telah sesuai dengan teori menurut Kespro.
Info yaitu vaginal douching didefinisikan
sebagai upaya pembersihan/bilas vagina baik
eksternal maupun internal.
Eksternal douching meliputi pembilasan
labia dan bagian luar vagina dengan bahanbahan tertentu, sedangkan internal douching
meliputi memasukkan bahan/alat pembersih
ke dalam vagina dengan jari, dan/atau dalam
bentuk spraying atau liquid. Praktik vaginal
douching atau tindakan bilas vagina sering
dilakukan oleh masyarakat umum maupun
pekerja seks (PS) sebagai bagian dari personal
hygiene perempuan15.
Mucikari dan WPS yang menjadi
informan dalam penelitian ini telah
memahami definisi dari vaginal douching,
namun untuk caravaginal douching yang
mereka lakukan selama ini tidak tepat.
Berbagai cara yang dilakukan informan
diantaranya yaitu dengan hanya mencuci
bagian luar vagina saja, sampai dengan
mengorek-ngorek ke bagian dalam vagina
menggunakan jari.
Walaupun telah sesuai dengan teori yang
ada menurut15 mengenai praktik vaginal
douching yaitu memasukkan bahan/alat
pembersih ke dalam vagina dengan jari,
dan/atau dalam bentuk spraying atau liquid,
namun melakukan vaginal douching ini tidak
disarankan. Perempuan tidak usah melakukan
douching untuk membersihkan vagina, karena
ternyata douching dapat membuat pH di
dalam vagina menjadi tidak seimbang apalagi
kalau douching itu sering dilakukan. Ketidak
seimbangan pH akan menyebabkan bakteri-
bakteri komensal menjadi mati sehingga
vagina dapat terserang bakteri dari luar.
Sebuah penelitian mengenai hubungan
praktik vaginal douching dengan Lower
Genital Tract Symptoms, dan ketidak
teraturan menstruasi pada wanita muda di
Nigeria oleh Ekpenyong16 menyatakan bahwa
79.8% wanita muda yang melakuakn praktik
vaginal douching mengalami kegatalan di
daeran
vagina
dan
ketidakteraturan
menstruasi. Sebuah penelitian lain dari
Shaaban17 mengenai praktik vaginal douching
dengan bahaya kesehatan reproduksi pada
wanita di Mesir, menyatakan bahwa secara
statistik
vaginal
douching
dapat
meningkatkan bahaya kesehatan reproduksi.
Bahan –bahan yang informan gunakan
untuk melakukan vaginal douching juga tidak
sesuai teori yang ada. Mucikari dan WPS
yang menjadiinforman menggunakan bahanbahan berupa sabun antiseptic/sabun sirih,
bahkan ada pula yang menggunakan pasta
gigi dalam praktik vaginal douching.
Penelitian lain mengenai vagianl
douching pada pekerja seks di KwazuluNatal, Afrika Selatan yang dilakukan oleh
Morar18 menyatakan bahwa pekerja seks di
daerah tersebut juga melakukan hal serupa
yaitu menggunakan bahan-bahan tradisional
dan cairan antiseptic dalam upaya vaginal
douching yang dilakukan.
Keseimbangan pH di dalam vagina
sangat sensitif, ada baiknya membiarkan
vagina membersihkan dirinya sendiri dengan
membasuh bagian luar vagina menggunakan
air hangat dan sabun yang tidak mengandung
pewangi. Produk-produk seperti sabun sehat
perempuan, bedak, bahkan parfum tidak
selalu baik untuk membersihkan vagina,
bahkan justru dapat membahayakan.
Penelitian di Amerika membuktikan
bahwa seorang perempuan yang secara rutin
melakukan
douching
lebih
besar
kemungkinannya terkena masalah kesehatan
daripada perempuan yang tidak secara rutin
melakukannya. Masalah kesehatan ini
termasuk iritasi pada vagina, infeksi (yang
biasa disebut Bacterial Vaginosis atau BV).
Infeksi rongga panggul yang disebut di atas
dikenal dengan nama Pelvic Inflammatory
Disease (PID). PID sendiri adalah infeksi
pada bagian dalam organ reproduksi
perempuan, yang disebabkan oleh bakteri
yang dapat menjalar dari vagina dan leher
rahim hingga dapat mencapai rahim dan
ovarium. Jika tidak dilakukan pemeriksaan,
PID dapat menyebabkan ketidaksuburan
(sehingga tidak dapat hamil). Baik BV
maupun PID dapat menjurus ke masalah yang
lebih serius selama kehamilan, seperti infeksi
pada bayi dan keguguran19.
Pentingnya peran petugas kesehatan
dalam memberikan pendidikan kesehatan
kepada masyarakat khususnya wanita pekerja
seks komersial mengenai vaginal douching
dapat meningkatkan pengetahuan mereka
mengenai bahayanya melakukan vaginal
douching yang tidak sesuai anjuran, yaitu
hanya membilas bagian luar vagina dengan
air hangat saja. Hal ini sejalan dengan
penelitian mengenai praktik vaginal douching
di turki oleh Arslanta20 menyatakan bahwa
praktik vaginal douching pada wanita di turki
banyak dipengaruhi dari ibu mereka yang
mengajarkan
tentang
praktik
vaginal
douching. Berdasarkan penelitian ini maka
disarankan juga bagi para petugas kesehatan
agar dapat memberikan pendidikan kesehatan
untuk dapat membenarkan praktik vaginal
douching yang selama ini telah salah
diajarkan ibu mereka.
KESIMPULAN
Praktik negosiasi penggunaan kondom
pada WPS di lokalisasi Suka Damai Loa Hui
Samarinda sudah baik.Tetapi untuk praktik
vaginal douching yang mereka lakukan
selama ini tidak tepat yaitu dengan cara
menyiram vagina dari luar hingga kedalam,
mengorek liang vagina dengan menggunakan
jari tangan dan menggunakan sabun dan alat
yang dimasukkan ke dalam vagina dengan
tujuan mengeluarkan semua kotoran dalam
vagina.
SARAN
Mata rantai penularan infeksi menular
seksual oleh wanita pekerja seks tidak dapat
dihilangkan tetapi hanya dapat diperkecil
peranannya.Oleh karena itu diharapkan bagi
wanita pekerja seks agar tetap terus konsisten
dalam praktik negosiasi penggunaan kondom
dengan pelanggan agar dapat mencegah
penularan infeksi menular seksual.Mucikari
dan WPS yang sebaiknya tidak melakukan
praktikvaginal
douching,
terutama
menggunakan bahan-bahan dan alat yang
tidak disarankan.Cukup membasuh organ
kewanitaan bagian luar dengan air
hangat.Petugas
kesehatan
diharapkan
memberikan pendidikan kesehatan berupa
cara melakukan bilas vagina yang tepat dan
tidak membahayakan khususnya bagi organ
kewanitaan.
/pdfs/frontiers/FR_FinalReports/DR_Suc
cessfulCondomUse.pdf.
Green, Lawrence, Kreuter, Marshal W.
(1991). Health promotion planning, an
educational and environmental approac.
Mountain View. Mayfield Publishing
Company, 2nd Edition.
DAFTAR PUSTAKA
Anonym.
(2003).
“Kita
perlutTahu
douching”,(Online)http://www.isekolah.
org, diakses 15 Oktober 2015).
Kartono, Kartini., (2011). Patologi Sosial.
Jilid 1, Jakarta : Rajawali Pers.
Anonim. (2007). “Vaginal douching praktik
hygiene
perorangan
pada
perempuan”,(Online)http://www.kesrepr
o.info, diakses 20 Oktober 2015).
Morar, Ramjee, Gouws & Wilkinson. (2003).
Vaginal Douching and vaginal substance
use among ses workers in KwazuluNatal, South Africa. Jurnal Of Science
99. University of Pretaria
Arsiantas, Karabagli & Koc. (2010). Vaginal
douching practice in Eskisehir in
Turkey. Journal of Public Health and
Epidemiology Vol. 2(9), pp. 245-250,
December 2010
Available online at
http://www.academicjournals.org/jphe
Barliantari, Luciana., (2007). Faktor-Faktor
Yang
Mempengaruhi
Perilaku
Penggunaan Kondom Di Kalangan
Pasangan Tetap WPS (Gendak) Studi
Kelompok
Dampingan
Yayasan
Perkumpulan
Bandungwangi
Dan
Perkumpulan
Keluarga
Berencana
Indonesia DKI Jakarta Kotamadya
Jakarta Timur, tesis, FISIP-UI. hal 7-8
Cahyo, Suharjo B., (2008). Gaya Hidup Dan
Penyakit Modern, Yogyakarta : Kanisius
Ekpenyong, Davies. (2013). Associations
between Vaginal Douching Practice and
Lower Genital Tract Symptoms and
Menstrual Disorders among Young
Women: A Search for Risk Modulating
Factors. Advances in Sexual Medicine,
2013,
3,
7684http://dx.doi.org/10.4236/asm.2013.34
012Published Online October 2013
(http://www.scirp.org/journal/asm).
Garcia G. Sandra S. D. & Goldman Lisa M.
(2002).
Understanding
successful
condom use in the Dominican Republic.
Diakses 21 Oktober 2014. Available
from:http://www.popcouncil.net/uploads
Murtiastutik, Dwi., (2008). Buku ajar infeksi
menular seksual. Surabaya : Airlangga
University Press.
Notoatmodjo, Soekidjo., (2010). Kesehatan
Masyarakat Ilmu Dan Seni, Jakarta :
Rineka Cipta.
Pakpahan, Triono., (2008). Posisi Tawar PSK
Dalam Pemakaian Kondom Sebagai
Upaya Pencegahan HIV/AIDS Studi
Antropologi Di Warung Bebek, Desa
Firdaus Kecamatan Sei Rempah, tesis,
FISIP-USU.
Peraturan Daerah provinsi Kalimantan Timur
No. 5 Tahun 2007 Tentang Pencegahan
dan Penanggulangan HIV/AIDS dan
Infeksi Menular Seksual.
Rojanapithayakorn W. (2006). The 100%
condom use programme in Asia.
Reproductive health matters, 14, 41-52.
Setyoadi & Triyanto E. (2012). Strategi
Pelayanan Keperawatan Bagi Penderita
AIDS. Jakarta. Graha Ilmu.
Shaaban, Youssef, Khodry & Mostafa.
(2013). Vaginal douching by women
with vulvovaginitis and relation to
reproductive health hazards. Shaaban et
al. BMC Women's Health 2013, 13:23
http://www.biomedcentral.com/14726874/13/23
Silalahi, Roselly Evianty. (2008). Pengaruh
Faktor Predisposisi Pendukung Dan
Komersial
Dalam
Menggunakan
Kondom Untuk Pencegahan HIV/AIDS
Di Lokalisasi Teleju Kota Pekanbaru,
tesis, Sekolah Pascasarjana-USU, hal 7182.
Tana, Susilawati., (2004). Infeksi Menular
Seksual, Terkendalikah ?. Cet. Pertama,
Yogyakarta : Pusat Studi Kependudukan
.
Penguat Terhadap Tindakan Pekerja
Seks
dan Kebijakan Universitas Gadjah
Mada.
Widodo, Edi., (2009) Praktik WPS Dalam
Pencegahan Penyakit Infeksi Menular
Seksual Dan HIV/AIDS Di Lokalisasi
Koplak Kabupaten Grobokan, Jurnal
promosi
kesehatan
Indonesia
Vol.4/No.2/Agustus 2009, hal 95-96
Download