2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alat Tangkap Trawl Trawl dasar merupakan pukat kantong berbentuk kerucut dengan mulut lebar yang diberi pemberat pada tali ris bawah (ground rope) dan diberi pelampung pada tali ris atas (Head rope). Pada saat dioperasikan pukat diusahakan terbuka dengan bantuan dua buah papan (otter board) yang terbuat dari kayu atau besi yang ditarik dengan tali warp yang dipasang pada pusatnya, sehingga kedua papan tersebut cenderung saling membuka waktu dioperasikan. Kedua otter board dihubungkan dengan jaring oleh bridle. Briddle ini dapat mencapai panjang 200 meter dan menyapu sejumlah luasan dasar laut. Mereka membuat takut ikan-ikan dan menggiring mereka masuk ke dalam pukat yang bergerak ke depan, dengan demikian berfungsi meningkatkan efektivitas dari pukat. Bentuk pukat dapat bervariasi menurut menurut jenis ikan yang ditangkap dan tipe dasar perairan. Tali ris bawah dapat dipasangi roller gear dan bobbin set sehingga trawl dapat dioperasikan di atas dasar berbatu tanpa menimbulkan kerusakan berarti pada jaring (Widodo, 2001). Komponen trawl dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Gambar 2) Otter board Head rope float warp baiting ground rope bobbi bridle pendant wwing belly Lazy line Codend Gambar 2 Alat penangkap ikan trawl (Madidihang,2010) Menurut Subani dan Barus (1989), pada dasarnya jaring trawl terbagi atas tiga macam dilihat dari cara pembukaan mulut jaringnya yaitu : 1 Otter trawl, terbukanya mulut jaring oleh karena adanya dua buah papan atau "otter board' yang dipasang diujung muka kaki atau sayap 8 jaring yang prinsipnya menyerupai layang-layang. 2 Beam trawl, terbukanya mulut jaring dikarenakan bentangan kayu pada mulut jaring. 3 Paranzella, terbukanya mulut jaring karena ditarik oleh dua buah kapal yang jalannya sejajar dengan jarak tertentu. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2003), spesifikasi bagian- bagian alat tangkap trawl diuraikan sebagai beikut : 1 Tali penarik (warp) Tali penarik adalah tali baja (wire rope) yang digunakan untuk menarik rangkaian jaring yang ujungnya disambung dengan winch utama dan ujung lainnya disambung dengan otter pendant yang disambung dihubungkan ke otter board. 2 Papan pembuka mulut jaring (otter board) Papan pembuka mulut jaring (oteer board )adalah terbuat dari kayu atau papan besi, alat ini dimaksudkan untuk mengatur kedudukan atau posisi jaring agar tetap berada di dasar perairan. Disamping itu juga untuk mengatur membukanya mulut jaring waktu ditarik secara horizontal. Otter board berbentuk pesegi panjang terbuat dari bahan kayu dengan diperkuat rangka besi, bagian bawahnya dipasang plat besi, plat ini berfungsi untuk melindungi papan dari gesekan dengan dasar perairan. 3 Tali lengan (hand line) Tali lengan adalah tali yang menghubungkan papan pembuka (otter board) dengan bagian ujung sayap. 4 Jaring (webbing) Jaring (webbing) adalah lembaran-lembaran jaring yang digunakan untuk berbagai keperluan dalam bentuk yang disesuaikan dengan kebutuhan suatu alat penangkap ikan. a Sayap (wing) Sayap jaring adalah bagian dari alat tangkap trawl yang berada disamping kiri kanan pada bagian papan jaring. Fungsi dari sayap ini adalah mengarahkan ikan dan udang masuk kedalam jaring selain itu juga untuk memperlebar proses pembukaan jaring secara 9 vertikal. Pada bagian alas sayap terdapat head rope sedangkan pada bagian bawah terdapat ground rope agar sayap jaring lebih kuat. b Badan jaring Badan jarring adalah bagian yang merupakan kontruksi terbesar dari alat tangkap trawl yang mana terbentang dari bagian ujung belakang sayap sampai ke ujung depan dari kantong. Badan jaring dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian atas atau baiting dan bagian bawah belly. Ukuran perut bagian bawah lebih besar daripada bagian atasnya, hal ini dimaksudkan agar ikan yang digiring tidak mudah lolos melalui bagian atas jaring. c Kantong (Codend) Kantong adalah merupakan bagian belakang dari alat tangkap trawl yang berfungsi sebagai tempat penampung basil tangkapan yang masuk. Bagian ini memiliki ukuran mata jaring yang lebih kecil dari bagian yang lain dan dibuat tiga lapis agar kantong jaring kuat dan tahan lama apabila bergesekan dengan dasar perairan. d Tali malas (Lazy line) Tali malas adalah tali yang digunakan untuk menghubungkan bagian kantong dengan salah satu pagan pembuka mulut jaring yang nantinya berguna untuk menaikkan bagian kantong jaring pada saat hauling. 5 Tali ris atas (Head rope) Tali ris atas adalah tali panjang yang melekat pada mulut jaring bagian atas. Tali ini berfungsi untuk mengikat pelampung. 6 Tali ris bawah (Ground rope) Tali ris bawah adalah tali yang merupakan tali disepanjang sayap bagian bawah, melingkar melalui mulut jaring bagian bawah. Tali ini berfungsi untuk mengikat pemberat. 7 Pemberat (Weight) Pemberat adalah berfungsi untuk membuka mulut jaring bagian bawah secara vertikal ke bawah. Untuk membuat jaring agar dapat mencapai dasar digunakan pemberat yang terbuat dari rantai besi. Selain pemberat 10 dipasang juga rantai pengejut yang berfungsi untuk mengejutkan ikan atau udang agar dapat masuk ke badan jaring dan selanjutnya digiring ke kantong jaring. Pemasangan rantai ini harus disesuaikan dengan dasar perairan sehingga tidak mengganggu pelaksanaan operasi penangkapan. 8 Pelampung (Floats) Fungsi pelampung adalah untuk membuka mulut jaring bagian atas secara vertikal ke atas. Jumlah pelampung yang digunakan pada alat tangkap trawl berjurnlah 11 buah tiap jaring (tergantung ukuran daripada head rope) 2.2 Pengoperasian Alat Tangkap Trawl Menurut Sudirman dan Mallawa (2004), berdasarkan segi operasinya dikenal tiga jenis trawl yaitu : 1 Stern trawl yaitu trawl yang ditarik pada bagian buritan kapal 2 Side trawl yaitu trawl yang pada waktu operasinya ditarik pada sisi kapal 3 Double rig trawl yaitu trawl yang ditarik melalui dua rigger yang dipasang pada kedua lambung kapal. 2.3 Alat Bantu Penangkapan Alat bantu pada alat tangkap trawl berfungsi untuk membantu kelancaran operasi penangkapan yang terdiri dari : 1 Fish finder Fish finder adalah alat yang berfungsi untuk mengetahui bentuk dasar dan kedalaman perairan sehingga dapat ditentukan panjang warp yang di area. 2 Winch Winch adalah alat yangdigunakan untuk mengarea dan menggulung warp pada waktu operasi penangkapan. 3 Tackle merupakan gabungan antara dua block atau lebih dengan tali tackle berfungsi untuk memperkecil gaya tarik sehingga beban menjadi lebih ringan. 4 Boom Boom berfungsi sebagai penarik kantong (codend) 11 5 Gallow Gallow berfungsi sebagai tempat penahan warp pada waktu diarea dan dihibob serta sebagai tempat bergantungnya otter board. 2.4 Tahapan Pengoperasian Trawl Pengoperasian trawl terdiri dari persiapan, penurunan jaring (setting), penarikan jaring (towing) dan pengangkatan jaring (hauling). 1 Persiapan Menurut Usemahu dan Tomasila (2003), sebelum operasi penangkapan ikan dilakukan terlebih dahulu segala sesuatu peralatan dan perlengkapan operasional agar dipersiapkan terlebih dahulu secara teliti. Seperti penyusunan alat ditempatnya agar mudah diturukan, pemeriksaan mesinmesin (mesin induk, winch), pembersihan palka, perbekalan es (bila kapal tidak ada mesin pendingin) dan sebagainya. 2 Penurunan jaring (setting) Penurunan jaring pada operasi dengan menggunakan trawl dapat dilakukan pada setiap saat, baik siang maupun malam hari asalkan cuaca baik dan memungkinkan untuk menurunkan jaring. Setelah sampai di daerah penangkapan yang dituju jaring dapat segera diturunkan. Penurunan jaring mulamula dari bagian kantong ( codend), kemudiann perut (belly), sayap (wing), lalu bridle line (apabila jaring tersebut menggimakan bridle line), otter board dan yang terakhir tali penarik (warp) (Usemahu dan Tomasila, 2003). 3 Penarikan jaring (towing) Penarikan jaring adalah suatu kegiatan, di mana alat tangkap yang ditarik di dasar perairan kira-kira 2 - 3 jam selama operasi penangkapan berlangsung. Selama penarikan jaring, perwira jaga dek perlu memperhatikan keadaan sekeliling kapal dan dasar perairan dengan melihat pada fish finder (Usemahu dan Tomasila, 2003). 4 Pengangkatan jaring (hauling) Selama operasi jaring tersebut terus ditarik sampai kira-kira 2-3 jam, kemudian baru dapat dinaikkan kembali ke atas kapal untuk ambil ikannya. Urutan penarikan jaring merupakan kebalikan dari urutan penurunan jaring (setting). Bila seluruh alat tangkap telah naik ke atas kapal, pengambilan ikan 12 dapat dilakukan dengan cara mengangkat pangkal-pangkal kantong dengan menggunakan boom, kemudian tali pada ujung kantong di buka agar ikan yang berada dalam kantong tercurah ke atas kapal (Usemahu dan Tomasila, 2003). 2.5 Ikan Target Ikan yang menjadi tujuan penangkapan dalam penelitian ini adalah kurisi (Nemipterus virgatus), kuniran (Upeneus sulphureus) dan biji nangka (Upeneus vitatus). Menurut Subani (1990) klasifikasi, morfologi dan daerah penyebaran jenis ikan kurisi (Nemipterus virgatus), kuniran (Upeneus sulphureus) dan biji nangka (Upeneus vitatus) adalah : 1 Kurisi (Nemipterus virgatus) Kurisi tergolong ke dalam Ordo Percomorphi, sub ordo Percoidae, famili Nemipteridae, genus Nemipterus. Ikan kurisi berbadan langsing agak gepeng. Kepala tanpa duri dan bagian depannya tidak bersisik. Sirip punggung berjari-jari keras 10 dan 9 lemah. Jari-jari keras pertama dan kedua tumbuh memenjang seperti serabut, demikian juga jari-jari teratas lembaran sirip ekornya. Sirip dubur berjari-jari keras 3 dan 7 jari-jari lemah. Warna kepala dan pinggir punggung kemerahan. Satu totol kuning terdapat pada awal garis rusuk. Cambuk pada sirip punggung maupun ekornya berwarna kuning. Sirip punggung abu-abu keunguan dengan warna kuning ditengah-tengahnya demikian juga sirip dubur. Sirip ekor sedikit kegelapan. Sirip perut dan dada putih sedikit kecoklatan. Ukuran ikan kurisi dapat mencapai panjang 25 cm, umumnya 12-18 cm. Ikan kurisi hidup di dasar, karang-karang, dasar lumpur atau lumpur pasir pada kedalaman 10-50 m. Ikan ini termasuk ikan buas, makanannya organisme dasar (cacing-cacing kecil, udang, moluska). Tergolong ikan demersal, penangkapannya terdiri dari trawl, cantrang, pukat pantai dan pancing. Daerah penyebaran Ikan Kurisi hampir terdapat diseluruh Perairan Indonesia. 13 Gambar 3 Ikan kurisi (Nemipterus virgatus) FL 12 cm – 18 cm (www.fishbase.org). Gambar 4 Peta penyebaran ikan kurisi (Nemipterus virgatus) di dunia (sumber : aqua maps). 2 Kuniran (Upeneus sulphureus) Kuniran tergolong ke dalam ordo Percomorphi, famili Mullidae, genus Upeneus spesies Upeneus sulphureus. Ikan kuniran (Upeneus sulphureus) merupakan jenis ikan yang memiliki bentuk badan memanjang sedang, pipih samping dengan penampang melintang bagian depan punggung, serta ukurannya 14 tubuhnya yang mencapai 20 cm. Mempunyai pita gelap berwarna coklat kemerahan memanjang di atas gurat sisi mulai dari moncong melewati mata sampai ke pertengahan dasar pangkal ekor. panjang rata-rata 20-22 cm, memiliki ekor dan sebuah garis kuning horisontal sepanjang tubuhnya, serta memiliki sungut dibagian dagu untuk mencari makan di dalam pasir, hidup di daerah beriklim tropis / subtropis dan mendiami pantai yang sedikit berlumpur dengan kedalaman 100 m. Jenis ikan ini hidup di daerah dangkal berpasir di sekitar terumbu karang. Alat penangkap trawl dasar, dogol. Daerah penyebarannya dasar perairan lumpur atau lumpur berpasir, perairan pantai yang dangkal dan telukteluk. Indo-Pasifik Barat, Afrika Timur ke Asia Tenggara, utara ke Cina, selatan ke utara Australia dan Fiji. Gambar 5 Ikan kuniran (Upeneus sulphureus) FL 20 cm – 22 cm (www.fishbase.org). 15 Gambar 6 Peta penyebaran ikan kuniran (Upeneus sulphureus) di dunia (Sumber : Aqua Maps) 3 Biji nangka (Upeneus vitatus) Biji nangka tergolong ke dalam ordo Percomorphi, family Mullidae, genus Upenerus. Bentuk badannya memanjang dan langsing, memiliki dua sungut pendek pada dagu. Mempunyai sisik pada garis rusuk 30 – 32 dan sisik transversal di atas garis rusuk 2 dan 6 di bawah. Sirip punggung pertama berjarijari keras 7 – 8 dan sirip punggung kedua dan dubur berjari-jari keras 1 dan 6 – 7 lemah. Ikan ini termasuk ikan buas, memangsa hewan yang hidup di dasar, hidupnya soliter dan bergerombol pada perairan pantai sampai dengan kedalaman 40 m. Ikan ini bisa mencapai panjang 28 cm dan umumnya tertangkap pada saat ukuran panjang badannya 20 cm, termasuk kelompok ikan demersal dan dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap trawl, cantrang, pukat pantai dan sero. Daerah penyebarannya meliputi : perairan pantai, perairan karang di seluruh Indonesia dan perairan indo Pasifik. 16 Gambar 7 Ikan biji nangka (Upeneus vitatus) FL 20 cm (www.fishbase.org). Gambar 8 Peta penyebaran ikan biji nangka (Upeneus vitatus) di dunia (Sumber : Aqua Maps). 2.6 Panjang Ikan Pertama Kali Matang Gonad (Length at First Maturity) Untuk menjaga keberlangsungan stok sumber daya sebaiknya ikan diberikan kesempatan untuk memijah sekali (Effendi, 1979). Setelah ukuran ikan yang siap memijah diketahui maka ukuran mata jaring yang dapat meloloskannya dapat ditentukan (Sparre dan Venema, 1999). Length at first maturity merupakan hal penting untuk dapat diketahui dalam penetapan mesh size jaring suatu alat tangkap. Ikan yang belum pernah memijah sebaiknya diloloskan agar recruitment dalam suatu populasi tetap terjaga. Setiap 17 spesies ikan memiliki length at first maturity yang berbeda untuk fork length (fl) (www.fishbase.org) yang terdapat dalam Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1 Ukuran panjang ikan pertama kali matang gonad (length at first maturity) untuk setiap spesies ikan (fl) Jenis ikan Kurisi (Nemipterus virgatus) Kuniran (Upeneus sulphureus) Biji nangka (Upeneus vitatus) Kelamin Length at first maturity (cm) Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina 15,8 17,0 9,6 9,9 12,0 12,5 Martasuganda et al. (1991), menyatakan bahwa panjang biji nangka (Upeneus vitatus) saat pertama kali memijah adalah 12 – 14 cm untuk ikan jantan dan 13 – 15 cm untuk ikan betina yang tertangkap di perairan Semarang. Mardjudo (2002), mengemukakan hasil penelitiannya tentang kajian selektivitas alat tangkap pukat pantai di Teluk Palu bahwa L50% dan L75% untuk biji nangka (Upeneus vitatus) masing-masing adalah 7,8 cm dan 9,9 cm dan masih jauh lebih kecil dari dari ukuran length at first maturity dari ikan tersebut. 2.7 Hubungan Panjang dengan Berat Ikan dan Lingkar Badan Maksimum Faktor-faktor lingkungan yang kemungkinan besar dapat berpengaruh terhadap kehidupan ikan adalah intensitas cahaya, suhu, salinitas, oksigen, sedimen, curah hujan, muara sungai dan aliran sungai, tingkat kekeruhan air, arus, pasang surut air, fase bulan, keadaan hari (siang atau malam), lintang, makanan, dan plankton serta luasan hutan mangrove (Juliani, 2004). Untuk mengetahui sejauh mana hubungan panjang dengan berat ikan ada beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi rendahnya nilai b, dimana salah satunya adalah faktor lingkungan perairan. Hubungan panjang berat dianalisis dengan menggunakan rumus (Bal & Rao, 1984) : W = a Lb dengan : W = berat 18 L = panjang a dan b = konstanta 1 Nilai b digunakan sebagai penduga tingkat kedekatan hubungan antara panjang dan berat dengan hukum kubik. 2 Nilai b = 3, merupakan hubungan yang isometrik (pertambahan berat seimbang dengan pertambahan panjang pangkat tiga, atau dengan kata lain mengikuti hukum kubik). 3 Nilai b > 3, merupakan hubungan allometrik positif (pertambahan berat lebih besar dari pertambahan panjang pangkat tiga) 4 Nilai b < 3, merupakan hubungan allometrik negatif (pertambahan berat lebih kecil dari pertambahan panjang pangkat tiga ). Sparre dan Venema (1999), menyatakan bahwa ukuran body girth berbanding lurus dengan panjang ikan, sehingga selektifitas alat tangkap gill net dapat ditentukan dengan mengamati struktur ukuran panjang ikan yang tertangkap. Tertangkapnya ikan dengan gill net ditentukan ukuran body girth atau lingkar penampang ikan dan mesh parameter atau ukuran keliling mata jaring (Matsuoka 1995). 2.8 Kurva Selektivitas Alat Tangkap Bagian ujung jaring dengan ukuran mata jaring yang lebih kecil di mana hasil tangkapan dikumpulkan disebut kantong (codend). Ternyata bahwa "ukuran mata jaring" dari bagian kantong, sampai batas tertentu, menentukan selektivitas dari alat tangkap trawl (Sparred danVenema, 1999). Ukuran mata jaring biasanya didefinisikan sebagai panjang dari seluruh mata jaring yang direntangkan (stretched) atau antara dua simpul yang berhadapan ketika mata jaring direntangkan. Ukuran mata jaring yang diperlihatkan disini adalah 2*d, di mana d adalah panjang antara dua simpul. 19 d d Keterangan : d = jarak antara dua simpul (bar) Gambar 9 Ukuran mata jaring Kurva selektivitas secara ideal dapat dibuat dengan cara menghitung proporsi ikan yang tertangkap relatif terhadap jumlah ikan yang berada pada area penangkapan untuk setiap ukuran kelas panjang. Namun kondisi di alam sulit untuk mengetahui jumlah ikan yang berada pada area penangkapan. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka digunakan metode penutupan kantong. Untuk menentukan jumlah dan ukuran ikan yang lolos melalui mata jaring dari bagian kantong dapat dilakukan dengan menutupi bagian kantong tersebut dengan kantong lain yang lebih besar dengan ukuran mata yang lebih kecil. Ide yang mendasari percobaan seperti itu diilustrasikan dalam Gambar 10. Selektivitas dari alat kemudian dapat ditentukan dengan cara membandingkan ukuran ikan dalam bagian kantong dengan ikan-ikan dalam jaring yang menutupinya. Metode kantong yang ditutupi ini telah dideskripsikan, antara lain, oleh Pope et al. (1975), dan Jones (1976), dalam Sparre dan Venema (1999). Metode ini membandingkan antara jumlah ikan yang berada di kantong penutup (cover net) dengan jumlah ikan di kantong trawl (codend) (Gambar 10). 20 Gambar 10 Percobaan kantong tertutup (Sparre dan Venema 1999) Menurut Fridman (1986), umumnya ikan dengan ukuran besar lebih sesuai untuk ukuran mata jaring lebih besar dan untuk suatu alat tertentu ada ukuran ikan yang 50% tertangkap dan 50% lolos. Panjang iakn seperti ini adalah L50% Kurva selektivitas memberikan gambaran kisaran selektivitas a% dibandingkan efisiensi tertinggi sehingga didapat panjang selektif a% dengan notasi La (a%-selective length) misalnya L25% atau L50% dan berkaitan dengan masing-masing ukuran mata jaring (Matsuoka, 1995). Penentuan panjang ikan yang selektif sehubungan dengan pengaturan ukuran mata jaring menurut Murdiyanto (1997), ditetapkan pada kisaran antara L25% sampai L50%. 2.9 Selektivitas Alat Tangkap Trawl Alat penangkap ikan jaring insang (gill net) selektif bagi suatu kisaran panjang saja, sehingga dengan demikian tidak menangkap ikan-ikan yang sangat kecil dan juga ikan yang sangat besar. Sifat-sifat dari alat penangkapan seperti itu dinamakan selektivitas alat (Sparre dan Venema, 1999). Sifat ini harus dipertimbangkan bila kita ingin mengestimasi komposisi ukuran atau umur ikan yang sesungguhnya di daerah penangkapan. Pada saat yang sama, hal ini merupakan piranti yang penting bagi para pengelola perikanan untuk membuat regulasi tentang ukuran-ukuran mata jaring dari suatu armada perikanan, mampu menentukan ukuran minimum dari spesies target dari suatu perikanan tertentu. Selektivitas alat sangat berkaitan erat dengan estimasi mortalitas total, 21 analisis data dari survai trawl maupun dari perikanan komersial dengan prediksi produksi (yield) yang akan datang (Thompson & Bell, 1934) dalam Sparre dan Venema (1999). Selektivitas suatu alat tangkap bergantung pada prinsip penangkapan dan parameter desain alat itu sendiri seperti ukuran mata jarring (mesh size), beban benang, material, ukuran benang, hanging ratio dan kecepatan penarikan alat tangkap (Fridman, 1986). Tingkat selektivitas alat tangkap merupakan fungsi dari suatu alat tangkap untuk dapat memanfaatkan sumber daya/organisma dengan spesies terbatas dan atau kisaran ukuran tertentu diantara populasi yang terdapat di daerah penangkapan (Arimoto, 1999). Selektifitas alat adalah tingkat kemampuan suatu alat untuk dapat menangkap kisaran ukuran panjang ikan tertentu (Sparre dan Venema, 1999). Alat tangkap yang bersifat selektif akan memiliki kemampuan untuk menyeleksi spesies dan atau ukuran tertentu terhadap populasi/stok di daerah pengoperasian. Semakin tinggi tingkat selektivitas suatu alat tangkap maka semakin seragam baik jenis maupun ukuran hasil tangkapan (Arimoto, 1999). Penelitian mengenai penggunaan ukuran mata jaring tertentu pada kantong trawl telah banyak dilakukan. Jones (1976) dalam Sparre and Venema (1999), melakukan penelitian mengenai bagian kantong jaring trawl yang ditutup dengan jaring berukuran mata lebih kecil. Penelitian tersebut dilakukan menggunakan alat tangkap trawl dengan ukuran mata jaring 40 mm pada bagian kantong terhadap ikan kurisi (Nemipterus japonicus). Hasil dari penelitian itu diperoleh L50% ikan kurisi adalah 13,2 cm. Menurut Vesa Tschernij dan René Holst (1998), Penelitian yang dilakukan pada bulan Agustus 1998 dengan tujuan penangkapan ikan cod di sepanjang pantai Selatan Swedia. Menggunakan alat tangkap trawl dengan ukuran mata jaring kantong 120 mm didapatkan hasil L50% ikan cod (Gadus morhua) adalah 15,4 cm (Gambar 11). 22 Gambar 11 Gadus morhua. Menurut Antonello Sala (2010), bahwa peningkatan ketebalan benang dari 2,38 mm sampai 2,89 mm mengurangi selektivitas sebesar 20-31%. Oleh karena itu, ketebalan benang dari jaring codend memainkan peran penting dalam selektivitas. Menurut George dan Konstantios (1997), dengan menggunakan ukuran mata jaring kantong 20 mm dan penutup kantong 14 mm pada alat tangkap trawl diperoleh nilai Lm50 dan L50% terhadap spesies (Tabel 2) Tabel 2 Spesies ikan yang tertangkap dalam codend dan ukuran Lm (Length at first maturity) Spesies Merluccius merluccius Trisopterus minutus capelanus Lm50 30 - 33* 14** * Papaconstatinou et al (1989) ** Politou dan Papaconstatinou (1991) Gambar 12 Merluccius merluccius. Codend L50% 15.1 cm 13.7 cm 23 Gambar 13 Trisopterus minutus capelanus. Penelitian yang dilakukan oleh Eckhard Bethke (2004), menggunakan trawl dengan ukuran mata jaring pada bagian kantong 60 mm diperoleh L50% terhadap ikan Merluccius merluccius adalah 22 cm. Menurut Yeliz, Zafer dan Huseyin (2002), penelitian yang dilakukan dengan menggunakan ukuran mata jaring kantong 40 mm dan ukuran mata jaring penutup kantong 24 mm pada alat tangkap trawl dasar diperoleh nilai L50% terhadap spesies (Tabel 3). Tabel 3 Spesies ikan yang tertangkap dalam codend dengan ukuran L50% Spesies L50% (cm) Mullus barbatus barbatus Merluccius australis Pagellus erythrinus Pagellus acarne Diplodus annularis Spicara smaris 10,6 10,6 10,8 11,6 9,4 13,5 24 Gambar 14 Diplodus annularis. Gambar 15 Pagellus acarne. 25 Gambar 16 Mullus barbatus barbatus. Gambar 17 Pagellus erythrinus. 26 Gambar 18 Spicara smaris. Gambar 19 Merluccius australis. Menurut Tenriware (2005), penelitian mengenai hubungan antara mesh size bagian bunuhan (crib) dengan selektivitas alat penangkap ikan sero didapatkan hasil tangkapan (Tabel 4) dan menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 11/2009 bahwa ukuran mata jaring pukat ikan adalah lebih besar 5 cm 27 Tabel 4 Spesies ikan yang tertangkap dalam codend dengan ukuran L50% dengan ukuran mesh size yang berbeda Jenis ikan Parameter Mesh size (cm) 3 4 6 Biji nangka L50% 5,4 6,9 11,0 Kerong-kerong L50% 7,0 7,3 8,1 Lencam L50% 5,8 7,3 7,8 Salamandar L50% 5,9 7,3 10,3 1.10 Pengkajian Stok Menurut Sparre dan Venema (1999), yang dimaksud pengkajian stok adalah upaya pencarian tingkat pemanfaatan dalam jangka panjang memberikan hasil tangkapan maksimum perikanan dalam bentuk bobot. Selanjutnya dikatakan, tujuan dari pengkajian stok adalah memberikan saran tentang pemanfaatan yang optimum sumberdaya hayati perairan seperti ikan dan udang. Menurut Pauly (1977) dalam Sparre dan Venema (1999), ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk pendugaan stok sumberdaya perikanan, yaitu: 1 Metode akustik, digunakan untuk menduga stok sumberdaya ikan pelagis. 2 Metode pembiusan dan perhitungan langsung, digunakan untuk menduga stok sumberdaya ikan karang. 3 Metode swept area, digunakan untuk menduga stok sumberdaya ikan demersal. Sparre dan Venema (1999), menyatakan bahwa metode swept area merupakan metode yang didasarkan atas hasil tangkapan persatuan area dari survey dengan trawl. Selanjutnya kepadatan ikan yang diamati (bobot ikan yang tertangkap di daerah yang disapu trawl) dapat diperoleh suatu dugaan biomassa di laut. Widodo (1998), menyatakan bahwa metode swept area merupakan metode yang dilakukan dengan menghitung jumlah/berat ikan yang terdapat dalam luasan tertentu yang disapu oleh alat tangkap (jaring trawl), untuk menentukan densitas 28 stok, kelimpahan total (dalam jumlah/biomassa) diperoleh dari hasil perkalian antara densitas dengan luas area yang dihuni oleh ikan yang bersangkutan. Menurut Losse dan Dwiponggo (1977), kepadatan stok ikan pada bulan Juni (musim timur) di utara Jawa Tengah pada kedalaman lebih dari 20 m sebesar 2,4 ton/km2, sedangkan menurut Sumiono et al. (2000), kepadatan stok ikan pada bulan Juni (musim timur) di utara Jawa Tengah pada kedalaman lebih dari 30 m 0,8 ton/km2. sebesar 2.11 Sistem Bukaan Trawl Bukaan trawl (spread of the trawl) selama towing sangat bervariasi tergantung kecepatan towing, kondisi cuaca, keadaan dasar perairan, arus, warp, bentuk dan angle of attack otter board, serta disain itu sendiri (Fridman, 1986). Untuk menentukan secara tepat besarnya bukaan diperlukan pengamatan langsung pada alat yang sedang dioperasikan di dasar perairan dengan menggunakan under water camera atau pengukuran pada model yang dilakukan dalam plum tank. Bukaan diatas diukur dengan menggunakan alat akustik net sounder (Nomura, 1977). Bukaan trawl adalah sebesar h x X2, disini h adalah panjang ris atas, X2 adalah koefisien. Koefisien untuk kawasan Asia Tenggara berkisar antara 0,4 - 0,66 (FAO, 1993). Pauly (1983) dalam Sparre dan Venema (1999), menyarankan nilai pendekatan X2 = 0,5. Sparre dan Venema (1999), menganjurkan untuk memperkirakan besarnya bukaan trawl dengan cara mengukur bukaan warp pada gallows. Hasil percobaan di laut Baltik rasio bukaan trawl terhadap head rope berkisar antara 0,45 - 0,55. Prado (1990) dalam Sparre dan Venema (1999), menyatakan besarnya bukaan trawl dihitung dengan rumus : S= .................................................................................................. ( 1 ) dengan : S = bukaan trawl D = bukaan otter board L1 = panjang trawl tanpa kantong LS = panjang head rope 29 Bukaan otter board ( D) diperkirakan dengan rumus pendekatan : .............................................................................. ( 2 ) dengan : B = lebar warp pada jarak satu meter dari gallows A = jarak gallows F = panjang warp