BAB VIII KEMITRAAN DENGAN POLA PHBM BELUM MEMBERDAYAKAN RAKYAT 8.1 Keragaan PHBM di BKPH Parung Panjang Program PHBM di Perhutani BKPH Parung Panjang dimulai pada tahun 2001. Lembaga yang dibentuk untuk pelaksanaan PHBM adalah kelompok tani hutan (KTH) di Desa Babakan, kemudian menyusul KTH Desa Tapos. LMDH baru dibentuk setelah kelompok tani hutan beraktivitas dalam pengelolaan hutan kemitraan. Para pengurus KTH yang merintis dan ikut mensosialisasikan PHBM kepada masyarakat. Sampai sekarang sudah terbentuk puluhan KTH dan LMDH. Setelah penerapan PHBM selama sekitar sepuluh tahun, kinerja PHBM di setiap desa tidak sama kondisinya. Untuk melihat apakah program PHBM yang selama ini diterapkan di Perhutani BKPH Parung Panjang mempunyai performansi yang baik dilihat dari keberlanjutan pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan secara berkelanjutan dapat ditinjau dengan tiga lingkup: ekonomi, sosial, dan perlindungan lingkungan. Ketiga dimensi saling terkait dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan. Keberlanjutan diartikan sebagai tingkat kemampuan sistem hutan untuk menjaga produktivitasnya dari masa ke masa. Keberlanjutan fungsi ekologis diartikan sebagai kemampuan pengelolaan dalam mendukung dan memelihara keseimbangan integrasi komunitas kehidupan hayati yang memiliki komposisi jenis, keanekaragaman, dan berbagai fungsi yang seimbang dan terpadu, seperti kondisi habitat alaminya. Kriteria yang digunakan untuk menganalisisnya perfomansi pengelolaan hutan di Perhutani BKPH Parung Panjang dapat dilihat dari matriks ketiga komponen dapat dilihat pada Tabel 31. Jika dicermati dari perfor Jika dicermati dari performansi PHBM di lapangan tampak bahwa PHBM yang dilaksanakan di Perhutani BKPH Parung Panjang lebih dominan pada aspek ekonomi. Produktivitas kayu yang dihasilkan dengan sistem ini meningkat karena berkurangnya pencurian. Produktivitas kayu akasia yang dihasilkan dari tahun sebelum dilaksanakannya program PHBM dengan sesudah diberlakukan PHBM mengalami kenaikan. Dengan meningkatnya produktivitas kayu berpengaruh pula pada profit perusahaan. Bagi masyarakat, adanya PHBM ini memberikan tambahan pendapatan dari tanaman 115 pangan, penjarangan, kayu bakar, dan bagi hasil, meskipun jumlahnya masih sangat kecil dan hanya memberikan tambahan pendapatan. Tabel 31 Indikator Keberlanjutan PHBM Faktor Ekonomi Indikator Produktivitas kayu Profit usaha Pendapatan naik penilaian + + + Lingkungan Biodivesitas flora Biodiversitas fauna Sumber air - Sosial Kemiskinan Kemanan hutan konflik menurun + + Indikator lingkungan dilihat dari biodiversitas flora dan fauna di hutan dan sumber air. Biodiversitas merupakan keanekaragaman antar makhluk hidup dari berbagai sumber dan ekosistem lainnya, termasuk keanekaragaman dalam spesies antar spesies dalam ekosistem. Biodiversitas perlu dilindungi karena hutan masih menjadi sumber pangan dan obat-obatan, menjaga kestabilan ekosistem, plasma nutfah untuk kepentingan masa depan. Kondisi kawasan hutan di BKPH Parung Panjang sekarang ini berbeda jauh dengan kondisi hutan sebelumnya. Dilihat dari indikator lingkungan, hutan produksi dengan tegakan akasia yang mendominasi berpengaruh terhadap biodiversitas flora dan fauna. Pemilihan jenis pohon Acassia mangium yang ditanam secara monokultur berdampak kepada menurunnya biodiversitas flora. Tanaman pokok ini mengalahkan berbagai tumbuhan lain, bahkan rumput pun banyak yang tidak tumbuh lagi. Jika dibandingkan dengan kondisi hutan pada era tahun enam puluhan telah jauh berbeda. Pada masa itu kondisi hutan sangat bagus, tegakan yang dominan adalah puspa, mahoni, tambesu. Pohon di hutan tinggi-tinggi dan besarbesar, banyak rumput untuk pakan ternak, dan banyak jamur merah (kunir) yang bisa dikonsumsi. Biodiversitas fauna juga mengalami penurunan. Berdasarkan hasil diskusi dengan anggota kelompok tani hutan diperoleh informasi bahwa sebelum ditanam akasia banyak fauna yang sering ditemukan penduduk, antara lain: babi hutan, kelinci, ayam hutan, berbagai burung, ular, dan banyak ikan. Kondisi fauna saat ini jauh berbeda, fauna yang masih bisa ditemukan saat ini antara 116 lain: babi hutan mulai jarang ditemukan, burung makin jarang. Kelinci, ular, biawak masih bisa ditemukan. Akhir-akhir ini ditemukan adanya ular piton yang masuk kampung mencari makan dengan memangsa ayam milik penduduk. Dahulu sumber-sumber mata air banyak dan melimpah, air sumber tetap ada meski sudah kemarau lebih dari tiga bulan. Sekarang sumber air setelah kemarau satu bulan sudah kering, tetapi ketika musim hujan air meluber-luber. Di kawasan Parung Panjang terdapat hutan penelitian Yanpala yang dikelola Kementerian Kehutanan. Hutan multikultur ini masih terdapat sumber mata air yang besar karena hutannya masih alami. Sumber mata air dari hutan Yanpala sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan penduduk. Tanaman akasia diintroduksi pada tahun 1990 an yang dirintis oleh Kepala KPH Bogor waktu itu. Penggantian jenis pohon dengan akasia ini mulai menunjukkan hasilnya. Dengan produktivitas yang tinggi, waktu tanam yang relatif pendek dan profit yang baik secara ekonomi maka pilihan terhadap akasia dianggap paling tepat bagi Perhutani. Acasia merupakan andalan untuk produksi kayu dari BKPH Parung Panjang. Belum ada perubahan kebijakan untuk mengganti jenis pohon yang ada saat dengan jenis pohon lainnya. Pelaksanaan PHBM di BKPH Parung Panjang jika dicermati dari permasalahan sosial terlihat belum banyak berpengaruh. Memang ada tambahan pendapatan dari PHBM, tetapi sempitnya lahan garapan berpengaruh pada kecilnya pendapatan yang ada sehingga belum bisa diharapkan untuk dapat mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Rakyat di sekitar hutan produksi yang ada belum bisa lepas dari jerat kemiskinan. Alternatif pemenuhan kebutuhan ekonomi rakyat adalah menjadi pekerja informal di kota. Dengan adanya pembangunan transportasi kereta api rel ganda akan semakin memudahkan akses masyarakat berintegrasi dengan ekonomi pasar. Masyarakat dengan mudah dapat melakukan perjalanan ke kota Jakarta atau Tangerang. Meningkatnya hubungan masyarakat desa dengan masyarakat kota dapat menyebabkan makin tingginya kebutuhan uang untuk membeli produk industri atau menciptakan kehidupan yang lebih konsumtif (Suharjito dkk 2003). Keberhasilan sebuah program pemberdayaan dapat dilihat dari capaian terhadap indikator yang mencakup: (I) berkurangnya jumlah penduduk miskin; (2) berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan oleh penduduk miskin dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia; (3) meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan 117 kesejahteraan keluarga miskin dilingkungannya; (4) meningkatnya kemandirian kelompok yang anggota sistem ditandai dengan makin berkembangnya usaha kelompok, makin kuatnya permodalan administrasi kelompok, serta makin kelompok,makin produktif rapihnya luasnya interaksi kelompok dengan kelompok lain di dalam masyarakat; serta (5) meningkatnya kapasitas masyarakat dan pemerataan pendapatan pendapatan keluarga miskin yang ditandai oleh peningkatan yang mampu memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan sosial dasarnya (Sumodiningrat, 1999). Keberhasilan program PHBM dapat juga diukur dengan indikator antara lain: (1). Menurunnya gangguan terhadap kelestarian hutan, terutama yang disebabkan karena pencurian, (2). Menurunnya jumlah tanaman gagal disertai dengan meningkatnya kelas hutan.(4). jumlah kualitas tanaman hutan.(3). Membaiknya komposisi Membaiknya neraca sumberdaya hutan, (5). masyarakat miskin di desa hutan, (6). Menurunnya Berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan oleh masyarakat desa hutan dengan memanfaatkan sumberdaya hutan yang tersedia, (7). Meningkatnya kemandirian kelompok pada PHBM, dan (8). Meningkatnya pendapatan keluarga miskin di desa hutan (Yulianto, 2002). Pilihan terhadap jenis pohon akasia perlu pengkajian kebijakan yang lebih komprehensif mengingat sifat akasia yang kurang baik dalam menyuplai ketersediaan pakan ternak, ketersediaan sumberdaya air, dan mendukung keanekaragaman hayati. Petani juga hanya dapat menanam padi satu kali panen karena akasia cepat tumbuh dan berkembang sehingga mengalahkan tanaman lainnya. Prinsip keadilan dalam pelaksanaan PHBM di Perhutani BKPH Parung Panjang juga belum terwujud. Hubungan antara Petugas Perhutani dengan petani masih belum setara. Petugas masih dominan dan merasa paling berhak dan paling tahu bagaimana mengelola hutan. Sedangkan petani masih menjadi objek belum mampu berperan sejajar dengan Petugas Perhutani. Tabel 32 Kinerja dari PHBM dari aspek produktivitas, keberlanjutan, keadilan Indikator Produktivitas Keberlanjutan Keadilan Tinggi V Rendah V V 118 Kondisi pencapaian dari PHBM saat ini , dilihat dari sudut masyarakat desa hutan dan Perhutani adalah : a) posisi tawar masih rendah, b) Hanya ada tambahan pendapatan masyarakat,c) kelembagaan KTH/LMDH telah terbentuk tetapi belum optimal, d) partisipasi baru pada tahapan pelaksanaan. Tabel 33 Kondisi Nyata PHBM dan Target Capain Aktor Masyarakat Desa Hutan Kondisi existing 1)Posisi tawar rendah 2) Peningkatan pendapatan kecil 3)Lembaga belum optimal 4)Partisipasi dalam tahap pelaksanaan Perhutani 1)Belum memberdayakan masyarakat 2) Sikap perilaku petugas intruktif 3) belum transparan 4) dominasi hubungan Capaian yang diharapkan 1) Peningkatan posisi tawar 2) Peningkatan pendapatan 3) Lembaga optimal 4) Partisipasi dalam semua tahapan 1) Pemberdayaan masyarakat 2) Birokrasi lebih efisien 3) transparansi program 4) hubungan harmonis dan egaliter Dari kondisi yang ada diharapkan mulai tumbuhnya kepercayaan terhadap sistem PHBM yang akan dilaksanakan melalui : peningkatan posisi tawar masyarakat, masyarakat mengetahui hak dan kewajibannya, Masyarakat mengetahui hak dan kewajibannya, peningkatan pendapatan masyarakat, optimalnya kelembagaan di tingkat desa, konflik di kalangan masyarakat semakin berkurang. Hubungan antara Perhutani dan masyarakat yang diharapkan adalah terjadinya perubahan dari hubungan yang birokratis diubah menuju koordinatif. Dominasi yang terjadi diubah menuju memberdayakan rakyat. Hubungan Perhutani dengan masyarakat bersifat sejajar. Komunikasi lebih intensif sehingga tidak terjadi salah pengertian. Transparansi dan keterbukaan dalam pelaksanaan program perlu terus ditingkatkan. 8.2 Program Pengamanan Hutan melalui PHBM Setelah terbukanya keterbukaan pascareformasi, timbul kekecewaan masyarakat terhadap cara pandang dan cara kelola dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan belum mampu menyejahterakan rakyat. Perubahan- perubahan untuk perbaikan pengelolaan hutan terus digulirkan dan segera direalisasikan. Sudah cukup lama hutan di Indonesia dikelola dengan cara tidak 119 adil, tidak berkelanjutan, dan hanya menguntungkan sedikit kelompok tertentu yang diistimewakan (Kusumanto et al 2006). Pengelolaan hutan oleh negara dalam praktiknya belum mampu menyejahterakan rakyat di sekitarnya. Keberadaan hutan tidak lagi bisa dimanfaatkan seluruhnya oleh masyarakat, terutama masyarakat sekitar hutan. Kondisi ini terus berlanjut karena negara memberikan domain penuh atas penguasaan dan pengelolaan hutan kepada Perum Perhutani, akibatnya akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan semakin tertutup. Masyarakat tidak lagi bisa menganggap bahwa hutan adalah bagian dari warisan nenek moyangnya. Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan akan dapat menjerat rakyat yang mencoba mengakses sumber daya hutan secara sepihak. Aturan hukum yang seharusnya menyejahterakan rakyat pada kenyataannya justru berlaku sebaliknya di lapangan. Produk hukum kehutanan menghilangkan hak dan akses masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan yang bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani menjadi semakin sulit kehidupannya karena kesulitan mendapatkan lahan garapan. Perhutani membuat program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) yang memberikan akses terbatas terhadap sumber daya hutan kepada masyarakat sekitar hutan. Dengan PHBM dinilai sudah memberi porsi kepada masyarakat melalui sistem bagi hasil. Perhutani mengklaim bahwa PHBM berhasil dalam menggerakkan perekonomian di beberapa desa. Proyek populis tersebut sebenarnya merupakan bentuk program pengamanan yang dilaksanakan BUMN yang bergerak di bidang pengelolaan sumber daya alam, agar rakyat di sekitar hutan tidak mengganggu hutan tanaman. Program PHBM merupakan salah satu bentuk kebijakan yang dikembangkan dari para penganut paham developmentalis. Model pembangunan yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dengan eksploitasi hasil hutan semaksimal mungkin untuk memperoleh pendapatan. Pembangunan yang mengejar pertumbuhan dilakukan dengan mengeksploitasi hasil. Fokus pengelolaan lebih berorientasi pada meningkatkan pendapatan dari hasil eksploitasi hutan. Salah satu contoh lain melalui program PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan). Perusahaan swasta (pemegang HPH) diwajibkan memberikan perhatian bagi pembangunan masyarakat sekitar. Kebanyakan 120 perusahaan lebih suka memberikan bantuan berupa pembangunan fisik daripada pembangunan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat. Projek fisik memang paling mudah dilakukan dan bisa dilihat langsung bukti fisik bangunannya. Perusahaan tidak mau repot mengurusi persoalan pengembangan masyarakat (community development) yang rumit dan harus mempertimbangan aspek sosial dan ekonomi masyarakat. Jika dicermati dalam PHBM, faktor keamanan hutan menjadi prioritas utama. Sebelum PHBM diterapkan pendekatan keamanan lebih dilakukan secara reperesif dengan penegakan hukum, menghukum pencuri kayu. Melalui PHBM pendekatan keamanan yang dilakukan lebih halus yaitu: tindakan persuasif dan represif. Tindakan dilakukan berfokus pada bagaimana mengamankan tanaman pokok dengan memanfaatkan kelembagaan yang sengaja dibentuk untuk itu. Sanksi-sanksi yang diberikan kepada petani yang terdapat dalam perjanjian kerja sama juga menunjukkan bahwa PHBM sarat dengan pendekatan keamanan. Jadwa piket menjaga hutan yang berlakukan pada LMDH juga bermuara pada penekanan terhadap faktor pengamanan kawasan hutan agar tidak terjadi kebakaran dan pembalakan liar. Masyarakat sebenarnya butuh program yang mendasar yang mempunyai niat baik untuk menyejahterakan kehidupan rakyat dan bersifat permanen bukan temporal. Pelibatan yang tidak egaliter akan menyebabkan rakyat mempunyai ketergantungan terhadap pihak lain. Prinsip yang harus digunakan sejalan dengan filosofi pemberdayaan masyarakat yang bersifat emansipatif, egaliter yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak. Pemberdayaan masyarakat butuh keberpihakan. Jika ingin memberdayakan masyarakat, perusahaan tidak bisa kerja sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain. Lembaga-lembaga lokal, LSM bisa berperan strategis dalam membantu karena memiliki kekuatan yang besar dalam proses fasilitasi, pemberdayaan, pendampingan, bahkan analisis kebijakan dan program pembangunan. Kekuatan ini bisa diandalkan untuk mengisi kekurangan yang dimiliki pemerintah dan swasta. Di Indonesia sudah banyak dikembangkan proses-proses fasilitasi, proses multipihak, kolaborasi atau kerjasama baik dalam proyek ataupun jaringan. LSM bisa berperan strategis dalam mengatasi kegagalan kebijakan dan kelembagaan (Djogo,2001). 121 8.3 Kontradiksi Peraturan tentang Pengeloaan Kawasan Hutan Konflik dan sengketa tenurial dalam kawasan hutan telah mengakibatkan ketegangan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan. Konflik-konflik yang terjadi dalam kawasan hutan terjadi akibat permasalahan-permasalahan pokok yang antara lain karena adanya dualisme sistem pertanahan yaitu sistem pertanahan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan dalam Undang-Undang Kehutanan, serta sistem penguasaan lahan menurut pemerintah dan masyarakat. Secara de jure kawasan hutan berada dalam penguasaan negara, namun secara de facto masyarakat secara turun temurun tinggal dan bergantung hidupnya dari hutan dan hasil hutan. Sampai saat ini juga masih ada perbedaan interpretasi dan pemahaman mengenai penguasaan negara atas sumberdaya alam di Indonesia antar berbagai pihak, tidak hanya antara pemerintah dan masyarakat saja (Contreras-Hermosilla dan Fay 2006). Masalah konflik tenurial yang terjadi di Indonesia berawal dari warisan kebijakan kolonial di masa Hindia Belanda yang kemudian berlanjut hingga kebijakan saat ini. Kebijakan kepemilikan (penguasaan) negara pada masa kolonialisme Belanda masih berlanjut hingga kini. Perubahan-perubahan terhadap kebijakan tersebut di masa kemerdekaan belum berjalan dengan baik. Ditinjau dari sisi sejarah, perubahan-perubahan kebijakan di masa Hindia Belanda hingga masa kemerdekaan dan berlanjut di era reformasi berkontribusi besar terhadap konflik tenurial yang terjadi. (Galudra, 2003) Perdebatan status tanah pada masa Belanda atas kepemilikan tanah hutan apakah tanah negara atau tanah adat masih belum tuntas. Perdebatan ini bermula diterbitkannya Agrarische Wet 1870 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Tujuan utama dari AW 1870 ini adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat membuka hutan dan menjadikannya perkebunan besar. Dengan berazaskan domeinverklaring, semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya adalah domein (milik) negara, maka pemerintah selaku perwakilan negara memiliki landasan hukum dan pembuktian kepemilikan untuk memberikan tanah-tanah tersebut kepada perkebunan-perkebunan swasta. Walaupun Agrarische Wet 1870 ini berasaskan pada ketentuan domeinverklaring, juga mengandung ketentuan pengakuan atas keberadaan hak-hak masyarakat adat. Pada tahun 1874, suatu peraturan diterbitkan untuk memberikan penafsiran pasti yang dimaksud dengan wilayah kekuasaan desa 122 untuk Jawa dan Madura. Tanah milik desa adalah padang rumput penggembalaan milik bersama, tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli untuk penggunaan mereka sendiri, baik yang dihuni maupun digarap, dan yang oleh mereka tidak telah ditelantarkan. Peraturan ini tidak mampu menjawab batasan-batasan hak-hak masyarakat desa atas wilayah hutan (Galudra,2003). Dalam perkembangannya, azas domeinverklaring juga menjadi dasar klaim bagi Jawatan Kehutanan atas penguasaan semua tanah hutan yang dianggap penting bagi fungsi hidrologi, klimatologi, dan produksi kayu. Menarik untuk dicermati bahwa isu-isu konservasi seperti hidrologi dilebih-lebihkan oleh Jawatan Kehutanan sebagai alat pembenaran atas penguasaan hutan dan sebagai upaya untuk menghilangkan hak-hak serta menutup akses penduduk atas hutan. Dalam azas domeinverklaring, tanah-tanah negara terbagi atas dua yaitu tanah negara bebas dan tanah Negara tidak bebas. Yang termasuk tanah negara tidak bebas antara lain hak sewa, hak milik, hak pakai pribumi dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk tanah negara bebas adalah tanah-tanah liar yang ditelantarkan. Dalam tafsiran pemerintah yang berlaku secara nyata di lapangan, tanah-tanah yang dimiliki oleh rakyat dengan tanah milik adat (agrarisch eigendom), demikian juga tanah-tanah ulayat adalah tanah domein Negara (Harsono, 2003). Asal-usul keruwetan dalam peraturan kehutanan berawal pada tafsir dari definisi dan lokasi hutan di Indonesia serta kewenangan Kementerian Kehutanan. Tafsir-tafsir yang berbeda menyebabkan perbedaan-perbedaan mendasar tentang peran pengawasan terhadap sumberdaya hutan oleh pelaku dan lembaga yang berbeda. Konflik atas peran kontrol terhadap tanah dan sumberdaya alam yang disebabkan oleh ketidakpastian kepemilikan (negara atau rakyat) akan tetap menjadi masalah kecuali jika ada usaha serius dan terorganisir untuk merasionalisasi kawasan hutan negara melalui strategi tindakan yang jelas. Manfaat pendefinisian dan pengklasifikasian kawasan hutan sangat penting bagi kepastian hukum tentang pengelolaan lahan. Wilayah yang merupakan bagian dari kawasan hutan harus dikelola di bawah seperangkat ketentuan pembatas yang tidak hanya dapat mengarah kepada perampasan hak-hak lokal, tetapi juga untuk membatasi secara administratif beberapa pola pemanfaatan hutan seperti pemanfaatan untuk pertanian atau wanatani. 123 Larangan akses masyarakat lokal terhadap padang rumput untuk dimanfaatkan bagi tanaman pangan bisa terjadi karena tanah tersebut telah diklasifikasi sebagai kawasan hutan yang hanya akan digunakan untuk penamanan pohon kayu-kayuan. Kawasan-kawasan penting yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan pada kenyataannya hanya memiliki sedikit hutan atau bahkan tidak ada hutan sama sekali. Tanah-tanah tersebut sering secara otomatis diklasifikasi sebagai hutan ketika wilayah tersebut tidak terdaftar sebagai tanah pertanian (Fay dan Michon 2005). Hal ini secara umum mengabaikan tata guna tanah yang faktual di lapangan serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang hidup di tanah tersebut, dimana hal ini dilakukan oleh pemerintah kolonial atau pemerintahan pascakolonial (Dove 1983; Lynch 1992). Adanya kontradiksi peraturan perundang-undangan tentang penguasaan hutan bermula dari UUPA 1960 yang mencabut Agrarische Wet 1870 beserta segala aturan pelaksanaannya, akan tetapi tidak secara tegas mencabut Bosch Ordonantie 1927 dan peraturan-peraturan kehutanan yang lainnya. Dengan demikian, terjadilah kontradiksi hukum agraria yang sangat mendasar. Di satu pihak tanah-tanah yang terletak diluar kawasan hutan diatur menurut UUPA 1960 yang berdasar pada hukum adat serta anti asas domein, sementara di pihak lain tanah-tanah yang terletak di dalam kawasan hutan (Jawa-Madura) masih tetap diatur menurut Bosch Ordonantie 1927 yang anti hukum adat dan menganut asas domein. Kontradiksi hukum agraria semakin meluas ketika pemerintah orde baru menetapkan Undang-undang Pokok-pokok Kehutanan tahun 1967 (Undangundang nomor 5/1967). Meskipun tidak dinyatakan secara terang-terangan, akan tetapi sesungguhnya undang-undang ini menganut asas domein. Hal Ini didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, undang-undang tersebut tidak mempertimbangkan UUPA 1960. Pembuat undang-undang kehutanan mengabaikan UUPA 1960 yang merupakan pembongkaran terhadap asas domein warisan kolonial. Kedua, undang-undang tersebut tidak secara tegas mencabut Bosch Ordonantie 1927 yang menganut asas domein. Bosch Ordonantie 1927 baru dicabut secara tegas melalui undang-undang kehutanan no 41 tahun 1999. Ketiga, dalam praktik pelaksanaan undang-undang kehutanan tersebut, tidak ada penghargaan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hutan. Meskipun tanah dan hutan tersebut telah dikuasai oleh masyarakat 124 adat secara turun-temurun, jauh sebelum berdirinya negara Republik Indonesia. Sebagai contoh, dalam hal pemberian hak penguasaan hutan (HPH) serta pelepasan kawasan hutan untuk keperluan usaha perkebunan swasta. Saat undang-undang ini diterapkan bersamaan dengan maraknya investasi pengolahan kayu serta usaha perkebunan besar swasta, terjadilah gelombang penggusuran masyarakat adat dari kampung halamannya. UUPA yang menjadi dasar hukum sistem pengelolaan sumberdaya alam menjadi bias, karena bertentangan dengan Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Perkebunan, Undang-Undang Penanaman Modal dan lain-lain, adanya dualisme sistem pertanahan yaitu sistem pertanahan yang diatur dalam UU Agraria dan dalam UU Kehutanan, serta sistem penguasaan lahan menurut pemerintah dan masyarakat. Sampai saat ini juga masih ada perbedaan interpretasi dan pemahaman mengenai penguasaan negara atas sumberdaya alam di Indonesia antar berbagai pihak. Lahirnya UU Pokok Kehutanan mengabaikan hak-hak ulayat dan kepentingan penduduk lokal. Padahal dalam UUD 1945 pasal 33 dijelaskan: " Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat ”. Pasal ini mengamanatkan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam harus memperhatikan rakyat banyak. Kedudukan rakyat berada pada posisi penting yang tidak bisa diabaikan dengan alasan apa pun. Pasal 33 UUD 1945 jelas-jelas menyebutkan bahwa kekayaan sumber daya alam Indonesia ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Akan tetapi beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sumberdaya alam lebih berorientasi eksploitasi. Beberapa undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam antara lain: 1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan; 2)Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan; 3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan; 4) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-undang tersebut di atas mempunyai karakteristik : 1) berorientasi pada eksploitasi sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam, karena digunakan sebagai perangkat hukum untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan devisa negara. 2). Orientasi pengelolaan SDA lebih berpihak 125 pada pemodal besar sehingga mengabaikan kepentingan dan akses atas sumber daya alam 3) Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam berpusat pada negara sehingga pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik. 4). Implementasi pengelolaan yang dilakukan pemerintah bersifat sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi. Implikasinya, bangunan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi tidak terintegrasi dan tidak terkoordinasi antara sektor yang satu dengan sektor yang lain, sehingga setiap sektor cenderung berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan visi sektornya masing-masing ( Nurjaya 2006). Bila melihat isi Pasal 33 UUD 45, negara atau pemerintah yang diberi wewenang dalam mengelola sumberdaya hutan, seharusnya memberikan manfaat hutan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sulit dipahami, jika tujuan memakmurkan rakyat itu ditempuh dengan jalan menyingkirkan rakyat dari sumber penghidupannya. 8.4 Jalan Menuju Pemerataan Penguasaan dan Akses Lahan Hutan damar, hutan Kemiri, hutan RAKYAT contoh pemberian akses khusus yang lebih luas. Kondisi pertanahan di Indonesia kontemporer belum berubah dari zaman kolonialisme. Sengketa dan ketimpangan pemilikan serta penguasaan tanah adalah warisan penjajahan. Konsep semula yang digunakan adalah tanah dan hutan adalah milik Raja Mataram yang berkuasa di Pulau Jawa. Oleh karena Raja Mataram telah menyerahkan kekuasaannya atas sebagian wilayah Pulau Jawa kepada VOC, maka hutan-hutan di Pulau tersebut menjadi hak milik (domein) VOC atau Raja Mataram. Hal ini disimpulkan berdasarkan plakat 8 September 1803 yang pada pokoknya menyatakan, bahwa semua hutan kayu di Jawa harus dibawah pengawasan Company sebagai domein (hak milik negara) dan regalia (hak istimewa raja dan para penguasa). Tidak seorangpun boleh menebang atau memangkas apalagi menjalankan suatu tindakan kekuasaan. Kalau larangan dilanggar, maka pelanggarnya akan dijatuhi hukuman badan. Pendirian tersebut kemudian diikuti oleh Gubernur Jenderal Daendels,yang memerintah Pulau Jawa pada tahun 1808-1811. Antara lain ditunjukan dengan tindakannya yang menjual tanah-tanah disekitar Jakarta dan Krawang kepada Orang-orang Eropa dan Tionghoa yang kaya, yang juga diberi 126 hak untuk menuntut pekerjaan rodi dari penduduk yang bermukim diatas tanah itu. Inilah asal mula adanya tanah-tanah Partikelir di Pulau Jawa. Raffles sebagai wakil pemerintah Inggris yang berkuasa antara tahun 1811-1816 meneruskan penjualan tanah-tanah di Pulau Jawa, sehingga semakin memperbanyak tanah-tanah Partikelir. Bahkan kemudian memproklamirkan bahwa semua tanah di Indonesia adalah milik raja. Oleh karena kekuasaan Raja diambil alih oleh pemerintah Inggris, maka tanah adalah milik pemerintah Inggris. Oleh sebab itu petani diwajibkan membayar sewa tanah kepada pemerintah Inggris sebanyak 2/5 dari hasil tanaman. Menurut John Ball 6 sejak proklamasi Raffles itulah gelombang perampasan hak milik masyarakat lokal dikawasan Asia dimulai. Ketika Belanda kembali berkuasa di Pulau Jawa pada tahun 1816, mereka tetap mengikuti proklamasi Raffles. Seiring dengan perkembangan kekuatan Partai Liberal yang menguasai parlemen Negeri Belanda pada pertengahan abad ke 19 serta pertumbuhan modal di Eropa pada masa itu, maka Pemerintah Belanda berusaha menciptakan perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi kepentingan para pemilik modal bangsa Belanda. Untuk itu maka pada tahun 1870 pemerintah Hindia Belanda menetapkan Agrarische Wet 1870 yang kemudian diikuti dengan Agrarische Besluit 1870 sebagai aturan pelaksanaannya yang kemudian lebih populer disebut Domein Verklaring (Pernyataan Tanah Negara). Lebih kanjut, pada tahun 1927 pemerintah Hindia Belanda menetapkan Bosordonantie 1927. Kedua peraturan perundangundangan tersebut, sangat banyak mempengaruhi pemikiran dan praktik hukum di Indonesia sampai saat ini, terutama dibidang hukum penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam. Sebelum tahun 1870 pengusaha-pengusaha tidak dapat mendirikan perusahaan pertanian yang besar serta tidak ada kesempatan untuk mengembangkan sayapnya di Nederland Indie (Hindia Belanda). Mereka tidak dapat bisa mendapat tanah dengan hak “eigendom” dan hanya dapat menyewa tanah-tanah yang masih merupakan hutan belukar atau tanah kosong dengan waktu yang terbatas, yaitu tidak lebih dari 20 tahun saja. Hak sewa menurut hukum Eropa adalah hak yang bersifat pribadi, yaitu hak yang melekat pada orangnya, tidak terletak pada tanahnya. Bagi kalangan pengusaha, hak sewa tersebut dipandang tidak kuat dan tidak dapat dijadikan tanggungan untuk mendapatkan pinjaman dibank. Oleh sebab itu, Agrarische Wet 1870 127 mengintroduksi hak erfpacht dengan jangka waktu maksimum 75 tahun dan masih dapat diperpanjang bila dibutuhkan. Hak erfpacht dipandang lebih memenuhi kebutuhan para pengusaha, karena hak tersebut terlekat pada bendanya (tanah), sehingga dapat dijadikan tanggungan dalam meminjam uang di bank untuk menambah modal. Meskipun sudah ada jenis hak yang dapat mengakomodasi kepentingan para pengusaha, belum berarti pemerintah dengan mudah memberikan hak tersebut kepada pengusaha. Karena, hak pemerintah dibatasi oleh hak-hak rakyat yang diperoleh menurut kebiasaan setempat (hak adat). Oleh sebab itu, maka diumumkan pernyataan tanah negara (Domeinverklaring), melalui Agrarische Besluit tahun 1870 (staatblad 1870 no 118). Pernyataan tersebut pada pokoknya menyatakan, bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan sebagai hak eigendom seseorang, adalah tanah milik negara (Domein vanden staat). Dengan demikian, maka semua tanah yang dikuasai oleh bangsa-bangsa pribumi menurut kebiasaan setempat, tergolong tanah milik negara (tanah negara). Karena, tidak satupun jenis hak menurut hukum kebiasaan di Indonesia (hukum adat) dapat disamakan dengan hak eigendom dalam hukum Eropa. Setelah penegasian hak-hak bangsa pribumi (masyarakat adat) atas tanah, maka pemerintah Hindia Belanda menjadi leluasa dalam memberikan hakhak erfpact dan hak-hak lainnya kepada pengusaha untuk mendirikan perusahaan perkebunan. Itulah sebabnya meskipun ada bagian dari Agrarische wet 1870 yang memperingatkan agar Gubernur Jenderal Hindia Belanda jangan melanggar hak-hak pribumi dalam pemberian hak atas tanah, ketentuan tersebut menjadi tidak banyak berarti. Pernyataan tanah negara sebagaimana diatur dalam besluit tersebut hanya berlaku di Pulau Jawa Madura, khususnya didaerah-daerah yang diperintahkan langsung oleh Belanda, tetapi tidak berlaku didaerah-daerah yang tidak diperintah langsung oleh Belanda /berpemerintahan sendiri (swapraja). Menurut Schrieke, sampai menjelang kejatuhan pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia ada sekitar 93 % pulau Jawa Madura dan sekitar 40 % wilayah diluar Pulau Jawa Madura, merupakan daerah gubernemen. Jadi, pernyataan tanah negara sebagaimana diatur dalam besluit tersebut, tidak berlaku untuk sebagian besar daerah diluar Pulau Jawa Madura yang merupakan daerah swapraja. Di daerah-daerah tersebut, tetaplah berlaku hukum adat masing-masing yang tentu saja pluralistik. Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintahan kolonial 128 Belanda memperluas wilayah berlakunya Domeinverklaring melalui sejumlah pernyataan khusus, antara lain untuk daerah-daerah gubernemen di Sumatra (staatblad 1874no 94), Manado (staatblad 1877 no 55), serta Kalimantan Selatan dan Timur (staatblad 1888 no 58). Cengkeraman para pemilik modal dan hukum Eropa terhadap tanah di Indonesia semakin kokoh, ketika pemerintah menetapkan sejumlah ordonansi erfpact, antara lain ordonansi erfpact untuk daerah-daerah swapraja diluar pulau Negara Baru, Hukum Lama Sebagaimana lazimnya bangsa yang merasa berhasil menumbangkan kekuasaan penjajahnya, maka segala hal yang berbau penjajah harus dirombak. Semangat perombakan itu, mendominasi sepanjang masa kekuasaan Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno. Pidato Menteri Agraria (Mr. Sadjarwo) pada pembahasan Rancangan Undang-undang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria tahun 1960 (lebih populer disebut UUPA 1960) dalam sidang DPR-GR, menyatakan : “…rancangan undang-undang ini selain akan menumbangkan puncak- puncak kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan tenaga bangsa Indonesia, hendaknya akan mengakhiri pertikaian dan sengketasengketa tanah antara rakyat dan kaum pengusaha asing, dan aparat-aparat pemerintahan dengan rakyatnya sendiri……”. Dalam konsideran UUPA 1960 antara lain menyatakan, bahwa perundang- undangan agraria kolonial tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat asli (masyarakat adat). Oleh sebab itu diperlukan Undang-undang agraria baru yang berdasarkan hukum adat, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Lebih lanjut dalam penjelasan umum UUPA 1960 dinyatakan, bahwa asas domein sebagaimana yang dianut Agrarische Besluit 1870 bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia. Oleh karena itu, maka asas tersebut ditinggalkan dan pernyataan pernyataan domein dicabut kembali. UUPA 1960 berpangkal pada pendirian, bahwa tidak pada tempatnya negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat bertindak selaku badan penguasa. Isi konsideran dan penjelasan UUPA 1960 tersebut menunjukan, bahwa UUPA 1960 dapat dipandang sebagai monumen pembongkaran terhadap tatanan perundang-undangan agraria kolonial, dan sekaligus menetapkan hukum adat sebagai tuan dirumahnya sendiri. 129 Ketidakjelasan status lahan mengakibatkan terjadinya ratusan kasuskasus kriminalisasi terhadap petani dengan dasar Undanga-undang non or 41 tahun 1999. Maraknya reklaiming dalam beberapa tahun terakhir setelah kejatuhan Soeharto yang dilakukan oleh masyarakat adat dan petani terhadap kawasan hutan dan lahan perkebunan swasta dan pemerintah di seluruh Indonesia. Permasalahan yang terjadi pada status kepimilikan lahan yang tidak jelas. Akibatnya banyak kasus-kasus Reklaming yang dilakukan masyarakat digolongkan pada kriminalisasi sesuai dengan UU 41 tahun 1999. Setidaknya 300 kasus terjadi di Jawa Barat dan 542 di Jawa Tengah. UU 41/99 dijadikan pegangan hukum bagi perhutani untuk memenjarakan orang-orang tersebut. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa hutan yang dikelola masyarakat (Serikat Petani Pasundan) di kawasan selatan Jawa Barat jauh lebih baik kondisi hutan yang dikelola Perhutani. Berbagai negara memang telah melakukan gerakan dengan menyerahkan penguasaan lahan hutan (land ownership) kepada masyarakat lokal. Di Amerika Latin 1.juta hektar kawasan hutan telah dikelola oleh masyarakat. Hampir 75 persen masyarakat di Mexico telah memperoleh hak atas sumberdaya hutan. Demikian juga dengan Afrika, negara-negara Afrika Timur dan Selatan hampir seluruhnya telah meningkatkan pengakuan terhadap hak masyarakat lokal atas sumberdaya hutan. Antara tahun 1994 dan tahun 1998, 2,5 juta hektar hutan (hampir 20% dari wilayah Filipina) diklasifikasikan sebagai wilayah adat, hal serupa juga terjadi di India, Nepal, Philipina, Thailand, Jepang, Korea Selatan dan China. World Summit of Sustainable Development di Afrika Selatan yang dihadiri 130.000 orang di seluruh dunia, juga mengakui bahwa gerakan community forestry akan menjadi sintesa dari gerakan kehutanan dunia. Pemerintah yang terbukti telah gagal mengelola hutan, sudah saatnya mengkuasakan sebagian dari kawasan hutan negara kepada masyarakat. Dilain pihak, keengganan pemerintah dapat pula dipahami, selain hal tersebut bertentangan dengan UU 41/1999, semakin rapuhnya kelembagaan dan kearifan masyarakat lokal, maka penguasaan hutan kepada masyarakat dikawatirkan hanya memindahkan nasib hutan dari mulut singa ke mulut harimau. Kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam memprioritaskan tindakan ke arah pengakuan atau pemberian hak-hak pengelolaan, atau jika memungkinkan, kepemilikan kepada masyarakat setempat (baik secara kolektif 130 maupun perseorangan) atas tanah di dalam kawasan hutan. Hukum di Indonesia tidak menyediakan landasan yang kuat bagi Kementerian Kehutanan untuk memiliki tanah di dalam kawasan hutan negara. Landasan hukum yang ada hanyalah memberikan pemerintah kontrol dan pengelolaan atas sumberdaya alam (Pasal 33 UUD 1945). Sebaliknya, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) memungkinkan bagi negara untuk menguasai secara langsung tanah, jika hanya ketika tidak ada pihak lain yang mengklaim hak atas tanah tersebut. Setelah dilakukan kajian menyangkut hak-hak atas tanah di dalam kawasan hutan, walaupun tanah tersebut dikuasai langsung oleh negara, kewenangan Kehutanan hanyalah menyangkut pengelolaan sumberdaya hutan pada tanah tersebut, (Fay dan Sirait, 2004). Inti dari masalah tersebut yang dihadapi petani adalah kecilnya aset atau akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi terutama tanah, dan terbatasnya akses ke sumber sosial serta ke sumber politik. Program pemerataan sumberdaya agraria dapat menjadi solusi yang dilaksanakan. Perlu segera realisasi pemerataan pengelolaan sumberdaya agraria seperti yang sudah dicanangkan oleh pemerintah sejak tahun 2006 melalui Program Pembaharuan Agraria (PPAN). Reforma agraria merupakan salah satu alternatif solusi yang bisa dipilih untuk realisasi pemerataan pengelolaan sumberdaya agraria. Reforma agraria bukan sekedar bagi-bagi tanah tetapi adalah mengubah pola relasi kelas di masyarakat melalui redistribusi ruang kelola yang berkeadilan. Program reforma agraria harus menyeluruh dan menyentuh penataan pada empat segi dasar yaitu: 1) penataan perubahan dalam tata kuasa atas sumber-sumber agraria, 2) perubahan dalam tata guna sumber-sumber agraria, 3) perubahan tata produksi, dan 4)perubahan tata konsumsi. Menurut Winoto (2008) reforma agraria berdasar pada sebuah proses distribusi yang adil atas tanah. Tanah bagi kebanyakan manusia merupakan identitas yang melekat kepadanya status kebangsaan dan Kenegaraannya. Agar tanah dapat menjadi modal kehidupan, harus didasarkan kepada empat prinsip berikut: (i) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; (ii) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan hidup berkeadilan; (iii) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, dan 131 kebangsaan Indonesia; dan (iv) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk menata kehidupan yang harmonis dan mengatasi berbagai konflik sosial. Reforma Agraria merupakan agenda yang harus menjadi mainstreaming bangsa ini kini dan esok . Dengan reforma agrarian akan menyelesaikan berbagai masalah struktural bangsa yang selama ini tidak terpecahkan dan akan mengembalikan identitas kewargaan yang selama ini kadang tidak terdengar karena alienasi pembangunan. Kepemilikan tanah berpengaruh pada kemakmuran, keadilan, dan keberlanjutan. Reforma Agraria tidak lain untuk melanjutkan amanat UUD 45, tanah dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Karena negara memiliki kekuasaan atas seluruh bumi, air, dan udara, maka dengan reforma agraria berarti negara telah mendorong proses tegaknya keadilan social (Winoto 2008). Negara mana pun yang kini maju, selalu diawali dengan pelaksanaan reforma agraria dalam fase awal pembangunan bangsanya. Reforma agraria merupakan kebijakan mendasar yang langsung dapat membuka akses terhadap kedua sumber itu. Inti dari reforma agraria adalah penataan ulang struktur penguasaan tanah menjadi lebih berkeadilan sosial. Melalui landreform, rakyat miskin, terutama kaum tani yang hidupnya bergantung pada penggarapan tanah, dipastikan akan mendapatkan akses pemilikan tanah. Namun persoalannya bukan sekedar kepemilikan sumberdaya, namun yang tidak kalah penting adalah keberdayaan masyarakat, tanpa masyarakat menjadi berdaya, apapun dan berapapun sumberdaya alam yang mereka kuasai akan jatuh ke tangan mereka yang tidak berhak. Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa akses yang tinggi terhadap sumberdaya hutan yang melimpah tidak menjamin taraf hidup masyarakat. Kekurang berdayaan (miskinnya pendidikan, keterampilan, kelembagaan, sarana dan prasarana serta pasar) telah membuat mereka gagal mentransfer sumberdaya berharga yang mereka miliki kedalam nilai pasar. Tragisnya, apabila aksesibilitas ekonomi mereka di suatu saat meningkat, belum tentu mereka menjadi penikmat sumberdaya alam yang mereka miliki, karena pada saat itu berbagai pemodal kuat dari luar akan berdatangan untuk mengepung sumberdaya yang mereka miliki, dan mereka biasanya akan semakin termarginalisasi. Melalui Perpres No 10/2006 Badan Pertanahan Nasional ditugaskan untuk melaksanakan reforma agraria, dalam merumuskan naskah awal konsep, 132 strategi, dan model reforma agraria. Namun, reforma agraria itu agenda besar yang lintas sektor dan lintas kepentingan sehingga butuh kelembagaan yang juga bisa menjembatani beragam kepentingan dan sektor-sektor yang ada. Idealnya, reforma agraria itu dipimpin Presiden melalui suatu lembaga khusus yang melibatkan banyak pihak yang punya kapasitas dan kepentingan sejalan. Perwujudan pemenuhan hak asasi manusia, baik hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil politik, sesungguhnya dapat ditemukan dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA 1960) misalnya, telah memuat sejumlah peraturan yang menegaskan perlunya dipenuhi hak atas tanah untuk penghidupan yang layak bagi kelompok masyarakat yang hidupnya sangat tergantung kepada tanah. UUPA 1960 juga mengatur bagaimana Negara seharusnya memberikan jaminan dan pelayanan untuk mengatur seluruh sumber-sumber agraria di Indonesia untuk tujuan sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Prinsip utama yang diuraikan dalam UUPA 1960 adalah prinsip keadilan dalam penguasaan tanah dengan memberikan prioritas kepada petani dan keluarga tani yang tidak memiliki tanah. Prinsip ini merupakan perwujudan dari pandangan bahwa penguasaan tanah dalam luasan tertentu akan memberikan (menjamin) terjadinya peningkatan produktivitas mereka yang sekaligus akan menjamin kebutuhan pangan serta mencapai kehidupan yang layak. Walaupun UUPA 1960 telah merumuskan dan menjamin hak-hak rakyat khususnya kaum tani untuk mencapai penghidupan yang layak, menguatnya kecenderungan untuk memberikan fasilitas yang sebesar-besarnya kepada kepentingan pengusaha untuk menguasai tanah dan sumber-sumber agraria lainnya lebih mendominasi kebijakan pemerintah di Indonesia pasca 1965. Akibatnya yang terjadi adalah ketimpangan dalam penguasaan tanah yang disusul dengan maraknya konflik pertanahan sebagai akibat dari praktek-praktek penggusuran dan proses peningkatan "ketuna-kismaan" (landlessness). Sudah 51 tahun sejak UUPA 1960 ditetapkan sebagai payung hukum tunggal atas persoalan agraria, namun sampai saat ini kondisi kaum tani di Indonesia belumlah sejahtera. Reforma Agraria adalah cita-cita dari kemerdekaan nasional demi kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran rakyat. Untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan tersebut maka dibuatlah UUPA 1960. Namun dalam kenyataannya, Reforma Agraria sebagai salah satu tujuan Negara belum pernah secara sungguh-sungguh dijalankan sesuai dengan amanat UUPA 133 1960 dan UUD 1945 pasal 33. Alih-alih menjalankan UUPA 1960, Negara justru menyelewengkannya dengan menerbitkan pelbagai undang-undang yang sektoral seperti UU Sumber daya Air, UU Perkebunan, UU Pertambangan dan undang-undang lainnya. Reforma Agraria yang sejati masih jauh api dari panggang. Politik agraria yang dianut rezim pemerintahan yang berkuasa. Sepanjang rezimnya menganut politik agraria yang kapitalistik, otoritarian, dan represif, sengketa agraria struktural akan terus terjadi. Kita mesti terlebih dahulu bersepakat untuk mengubah politik agraria kita, dari politik agraria yang progolongan ekonomi kuat (kapitalis) menjadi progolongan ekonomi lemah. Sosial forestri dengan demikian adalah sebuah upaya untuk meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat yang hidup di sekitar hutan, terlepas sumber pencahariannya bersumber dari hutan atau bukan. Hutan tidak mungkin dipertahankan kelestariannya apabila masyarakat di sekitarnya dalam kondisi papa (miskin) dan tidak berdaya. Hutan hanya akan dapat dijaga kelestariannya oleh masyarakat yang berdaya. Dengan demikian sosial forestri adalah upaya membuat masyarakat disekitar hutan berdaya! Masalah sosial-ekonomi masyarakat menjadi kunci utama terjaminya kelestarian hutan, dengan demikian sosial forestri perlu dijabarkan secara lebih leluasa, yang meliputi seluruh upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Sosial forestri adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat, bukan sekedar pengusahaan hutan oleh masyarakat De Soto (2006) berpendapat bahwa kapitalisme gagal di luar Barat bukanlah karena alasan-alasan : perbedaan budaya, kurangnya kewirausahaan, agama, inefisiensi, ataupun faktor kemalasan. Kepemilikan properti sebagai kunci untuk mengakhiri kemiskinan, yang hanya dapat bekerja jika orang miskin mampu menggunakan properti mereka untuk menghasilkan kemakmuran. Properti yang menurut De Soto adalah aset-aset yang bisa menghasilkan kapital, sangat menentukan perkembangan kapitalisme. Teori pembangunan modern gagal memahami proses pengembangan sistem hak milik yang terpadu, sehingga membuat kaum miskin tidak mungkin dapat menggunakan apa yang dimilikinya secara informal untuk digunakan sebagai instrumen dan kapital guna mengembangkan jati dirinya. akibatnya, 134 kelompok petani di dunia berkembang, selalu terperangkap dalam jerat kemiskinan karena mereka hanya mampu hidup secara subsisten. Masyarakat di dunia berkembang umumnya tidak memiliki sistem kepemilikan tanah formal yang terpadu sehingga hanya memiliki kepemilikan secara informal terhadap tanah dan barang-barang. Menurut Mubyarto (2006) bagi kita di Indonesia apa yang disampaikan De Soto dalam buku The Mistery of Capital sangat relevan terutama setelah terjadi krisis moneter 1997-98 jelas-jelas membuktikan kegagalan upaya menerapkan kapitalisme oleh pemerintah Orde Baru sejak 1966. Para penentu kebijakan ekonomi Orde Baru mengira sistem ekonomi kapitalisme sama dengan sistem demokrasi ekonomi berdasar atas asas kekeluargaan yang bersumber pada Pancasila. Kesadaran bahwa sistem kapitalisme liberal tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan demokrasi ekonomi Pancasila tidak pernah ada sampai menjadi sangat terlambat pada saat krisis moneter meledak Agustus 1997, 30 tahun sejak mula-mula diterapkan. Adalah sangat merisaukan bahwa banyak pakar ekonomi tetap tidak percaya tentang kekeliruan atau ketidak tepatan sistem kapitalisme bagi Indonesia yang berpaham Pancasila, dan hanya menyalahkan penerapannya saja. Kesilauan terhadap sistem ekonomi kapitalisme mengakibatkan secara langsung pandangan yang meremehkan peranan ekonomi rakyat yang “tak ber-kapital”. Ekonomi Rakyat yang lebih banyak mengandalkan pada modal sendiri dianggap “extra-legal”, bahkan tak diakui eksistensinya. 8.5 Skenario Kebijakan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan Untuk merumuskan alternative kemasyarakatan digunakan analisis kebijakan pengelolaan analytical hierarchy process hutan (AHP). Penentuan prioritas pengelolaan hutan kemasyarakatan disusun menurut urutan prioritas berdasarkan hasil analisis yang melibatkan para pakar dan pemangku kepentingan. AHP bisa digunakan sebagai metode yang efektif dalam penentuan prioritas-prioritas yang strategis. Data yang digunakan merupakan representasi dari para pakar dan pemangku kepentingan yang juga mewakili instansi-instansi dan kepakaran yang terkait dengan pokok kajian. Dalam perumusan alternatif kebijakan ini, menggunakan 11 pakar sebagai responden yang mewakili instansiinstansi terkait, yaitu: perguruan tinggi (IPB), Peneliti dari Kementrian Kehutanan, 135 peneliti dari ICRAF (World Agroforestry Centre), Perum Perhutani, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, lembaga swadaya masyarakat (LSM) LATIN Bogor, dan masyarakat dari kelompok tani hutan. Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa aktor –aktor yang paling berperan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan di BKPH Parung Panjang adalah Perum Perhutani (bobot 0,3402247). Hal ini berkaitan dengan tugas, fungsi kewenangan Perhutani dalam mengelola dan menjaga kelestarian hutan. Dalam pengelolaan hutan Perhutani juga harus tetap memberikan profit bagi perusahaan. Perhutani mendapat mandat dari Kementerian Kehutanan untuk mengusahakan hutan di Jawa , dan menyejahterakan masyarakat di sekitar hutan BKPH Parung Panjang, KPH Bogor. Aktor yang memiliki peran penting lainnya adalah masyarakat (bobot 0,3322763). Masyarakat adalah pihak yang berkepentingan langsung dalam memanfaatkan hutan. Karena masyarakat yang sehari-hari tinggal di sekitar hutan maka interaksi mereka terhadap hutan sangat erat. Hutan bagi masyarakat menjadi sumber penghidupan, sebagai cadangan kawasan untuk pemenuhan kebutuhan pangan, kayu bakar, dan pakan ternak. Aktor penting lainnya yang seharusnya berperan penting dalah pemerintah daerah (bobot 0,2281742 ). Pemda merupakan pihak yang memiliki tugas dan wewenang untuk mengelola dan membangun wilayah Kabupaten Bogor. Semua aspek ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi tanggung jawab pemda. Pemda diharapakan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, menjaga kelestarian lingkungan, dan menjaga wilayah sesuai dengan fungsi dan peruntukannya Aktor yang diperlukan dalam pendampingan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan adalah LSM (0,0993252).LSM sebagai lembaga nonpemerintah diharapkan bisa menjadi fasilitator bagi masyarakat dalam berhubungan dengan pihak lain, baik dari jajaran pemerintah maupun pihak swasta. Dukungan LSM sangat diperlukan dalam mengakses sumberdaya hutan dan memfasilitasi pemberdayaan masyarakat melalui berbagai program yang digulirkan pelbagai pihak : instansi pemerintah, BUMN, perusahaan dan pihak-pihak lain yang terkait dengan pengelolaan hutan kemasyarakatan. 136 Gambar 5 Hasil AHP pengelolaan Hutan Kemasyarakatan 137 Gambar 6 Aktor yang Berpengaruh terhadap Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan Pada level faktor, faktor terpenting yang menjadi prioritas utama dalam pengelolaan hutan kemasyarakat adalah kebijakan dengan (bobot 0,23222). Keberhasilan program hutan kemasyarakatan sangat bergantung dari kebijakan dan pelaksanaan kebijakan tersebut. Kebijakan yang memberikan keberpihakan kepada rakyat sangat diperlukan dalam implementasi program. Karena dalam praktiknya program hutan kemasyarakatan harus dilaksanakan melalui proses rumit dan waktu yang lama kebersamaan, dan kemitraan untuk bisa para pihak mewujudkan yang kesepahaman, terkait. Komitmen dan kesungguhan dari pelaksana kebijakan untuk melaksanakan program sangat menentukan berhasil tidaknya pengelolaan hutan kemitraan. Faktor penting lainnya yang berpengaruh adalah kelembagaan dengan bobot (0,1976824). Kelembagaan dalam pelaksanaan PHBM seperti LMDH dan KTH merupakan perangkat penting sebagai badan hukum secara formal yang bisa mewadahi petani. KTH menjadi wadah permusyawaratan, forum tukar pendapat (berdiskusi), wahana interaksi antaranggota kelompok dan wahana memperjuangkan aspirasi masyarakat. Dengan pengelolaan yang terprogram dengan baik, KTH/LMDH dapat merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi program yang dijalankan, dan melakukan negosiasi dengan pemangku kepentingan yang lain. 138 Faktor ekonomi adalah faktor penting lainnya dengan bobot (0,1976823). Secara ekonomis, program pengelolaan hutan kemasyarakatan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bagi perusahaaan, program yang dijalankan juga harus menguntungkan secara ekonomis sehingga dapat meningkatkan keuntungan perusahaan. Kemiskinan masih mendominasi kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan oleh karena itu diperlukan kegiatan perekonomian warga sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan hendaknya dapat mengurangi jumlah orang miskin di sekitar hutan. Faktor lain yang berkaitan erat dengan pengelolaan hutan kemasyarakatan adalah faktor sosial dengan bobot (0,1976823). Permasalahan sosial seperti keamanan hutan merupakan masalah yang tidak mudah diselesaikan. Permasalah pencurian kayu, pembalakan liar, kebakaran hutan, perusakan tanaman oleh binatang ternak merupakan permasalahan sosial yang sebenarnya dapat diatasi dengan kerja sama antara masyarakat bersama dengan Perhutani. Dengan adanya kerja sama, tugas menjaga keamanan hutan tidak hanya menjadi tanggung jawab Perhutani saja, tetapi menjadi tanggung jawab bersama masyarakat yang setiap hari berada di dekat kawasan hutan. Faktor lain yang penting adalah faktor lahan dengan bobot (0,1747331). Bagi petani yang tinggal di sekitar hutan, ketergantungan terhadap lahan sangat besar karena sempitnya lahan yang dimiliki petani sehingga daya dukung lahan yang ada tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Hal yang paling mudah dilakukan bagi penduduk di sekitar hutan adalah mengakses lahan hutan yang ada. Akses dan pemanfaatan lahan tidak dapat dicegah dengan larangan, tetapi akan lebih baik jika akses itu dapat diatur dalam perjanjian kerja sama antara masyarakat dengan Perhutani dengan hak dan kewajiban yang disepakati bersama seperti dalam Surat Perjanjian Kerja Sama yang dilakukan antara KTH/LMDH dengan Perhutani yang diwakili oleh Asper Perhutani. 139 Gambar 7 Faktor yang berpengaruh dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan Strategi yang dilakukan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan tidak boleh mengabaikan kebutuhan masyarakat. Strategi pendapatan masyarakat dengan bobot tertinggi sebesar (0,2046499) menjadi pertimbangan paling penting. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat melalui kemitraan ini dapat dijamin adanya keuntungan ekonomis yang dapat dirasakan masyarakat. Dengan demikian, gangguan keamanan baik berupa pembalakan liar, pencurian, dapat diminimalisasi sehingga hutan lestari dapat terus diwujudkan. Gambar 8 Strategi dalam pengelolaan Hutan Kemasyarakatan 140 Strategi kedua yang dilakukan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan, yaitu mengurangi konflik merupakan strategi penting dengan bobot (0,1767883). Dalam pengelolaan hutan dengan basis kemitraan, persoalan konflik antar para pihak memang harus diusahakan untuk tidak berlanjut dan dapat diselesaikan dengan kesepakatan yang terus diupayakan secara optimal. Konflik seringkali terjadi akibat perbedaan persepsi, nilai, kepentingan, dan cara pandang yang berbeda diantara para pihak yang bermitra. Strategi lain yang bisa dilakukan adalah selalu mengutamakan kelestarian hutan dengan bobot (0,1584079 ). Fungsi hutan harus menjadi hal penting yang harus dipertimbangkan dalam pengelolan hutan kemasyarakatan. Hutan yang lestari dapat menjamin ketersediaan kayu, pangan, obat-obatan, kayu bakar yang diperlukan masyarakat sekitarnya. Jika hutan rusak semuanya akan dirugikan dan bencana yang lebih besar akan terus mengancam. Strategi lain yang bisa dilakukan untuk pemberdayaan masyarakat adalah pengembangan usaha produktif (0,1650988). Usaha produktif yang paling layak dilakukan adalah mempertimbangkan potensi yang ada, ketersediaan bahan seperti kerajinan yang memanfaatkan kulit kayu. Kulit kayu ini dapat dimanfaatkan untuk membuat pot bunga plastaki, keranjang kecil, asbak. Peternakan ayam pedaging sudah banyak juga dilakukan di wilayah ini dana semakin lama semakin berkembang. Strategi yang dilakukan perlu pula mempertimbangkan kesempatan kerja dengan bobot (0,1747843). Dengan terbukanya kesempatan kerja akan ada kesempatan bagi masyarakat untuk bekerja di sekitar daerahnya tanpa harus pergi ke luar daerah dengan meninggalkan kampung halamannya. Dengan bekerja, masyarakat akan mendapatkan penghasilan. Strategi yang dilakukan harus tetap mempertimbangkan profit usaha dengan bobot (0,1202707 ). Perhutani sebagai perusahaan yang mempunyai tujuan untuk terus membukukan keuntungan disamping harus memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitra hutan. Tanpa adanya profit perusahaan yang memadai akan menganggu kegiatan operasionalnya sehingga pengelolaan hutan lestari dan kemakmuran masyarakat sulit diwujudkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa prioritas utama kegiatan adalah penguatan kelembagaan dengan bobot (0,304747). Keberhasilan program hutan kemasyarakatan tidak bisa dilepaskan dari organisasi kelompok tani hutan (KTH) atau LMDH. Semakin solid kelompok dan semakin baik aktivitas kelompok 141 semakin besar kemampuannya untuk bisa berperan optimal sebagai wadah penyalur aspirasi dan memperjuangkan aspirasi anggota. Oleh karena itu, untuk bisa berfungsi seagaimana yang diharapkan lembaga seperti KTH/LMDH perlu dioptimalkan peran, fungsi dan keberadaannya. Pembenahan manajemen, administrasi, keterampilan, soliditas kelompok diharapkan dapat dilakukan sebagai bentuk capacity building sehingga kelompok mampu mewakili aspirasi dan kepentingan anggota masyarakat dalam bernegosiasi dengan pemangku kepentingan lainnya. Akses terhadap sumberdaya hutan merupakan prioritas kedua dengan bobot (0,268322). Masalah yang dihadapi petani di sekitar hutan adalah kepemilikan lahan yang sempit bahkan tidak sedikit petani yang tunakisma (tidak memiliki lahan) untuk bertani. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah memanfaatkan lahan hutan yang ada baik lahan kosong maupun lahan yang ditanami pohon. Dengan demikian petani dapat melakukan tumpangsari atau pemeliharaan terhadap pohon yang sudah ada. Akses terhadap hutan merupakan alternatif solusi terhadap pemenuhan kebutuhan pokok petani baik kebutuhan terhadap lahan, pangan, kayu bakar, maupun pakan ternak. Prioritas kebijakan yang lain adalah pengelolaan hutan kemitraan yang adil dan demokratis dengan bobot (0,224637). Kemitraan memang memerlukan kesetaraan kedudukan, kesamaan persepsi, transparansi, kejelasan hak dan kewajiban masing-masing pihak sehingga program dapat dilaksanakan dengan baik. Para pihak yang bermitra harus terbuka, saling percaya, mau belajar bersama, saling menghargai sehingga kemitraan yang dilakukan didasarkan pada prinsip kesetaraan, keadilan, dan demokrasi. Kebijakan lain yang bisa dilaksanakan dalam program hutan kemasyarakatan adalah usaha produktif dengan bobot (0,202295). Selain bertani sebagai mata pencaharian sebagian besar masyarakat di sekitar hutan, kegiatan usaha kerajinan kulit kayu bisa menjadi alternatif usaha. Kerajinan kulit kayu yang memanfaatkan limbah kulit kayu dari tempat penimbunan kayu (TPK) ternyata banyak dimanfaatkan masyarakat untuk membuat vas bunga plastik, keranjang, dan asbak. Pasar dari produk kerajinan ini sudah tersedia dan cukup luas. Kegiatan produktif lain yang dikembangkan rakyat adalah peternakan ayam, dengan sistem bagi hasil. Pemeliharaan ternak ayam pedaging biasa dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak investor dari luar. Masyarakat menyediakan 142 lahan,kandang, dan tenaga kerja untuk pemeliharaan, sedangkan investor menyediakan : bibit, pakan, dan pasar produk peternakan. Skenario kebijakan yang dapat dipilih dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan di Perhutani BKPH Parung panjang dapat terlihat pada gambar 9 berikut. Gambar 9 Alternatif Kebijakan dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan 8.5 Penguatan Kelembagaan Kelembagaan bukan hanya sekedar adanya organisasi atau tata aturan yang sudah dibuat tetapi menyangkut juga bgaimana menguatkan organisasi petani sekitar hutan sehingga anggota KTH sadar dan mengetahui hak dan kewajiban. Penting untuk memperkuat organisasi masyarakat pengelola hutan kemasyarakatan agar mereka memahami dengan benar hak dan kewajibannya terhadap sumberdaya hutan. Dengan institusi sosial yang kuat, instrumen organisasi dan norma-norma yang benar yang dibangun di dalam institusi sosial masyarakat , program hutan kemasyarakatan dapat dilaksanakan dengan baik. Kelembagaan bukan hanya sebatas pada kegiatan membetuk organisasi masyarakat sebagai pelaksana program. Kelembagaan ini mencakup juga aktivitas untuk mempertegas menentukan batas-batas yuridiksi atas lahan, mengupayakan permodalan. Dukungan kebijakan terhadap program merupakan aspek lain yang cukup penting. Akhirnya kelembagaan yang ada diharapkan dapat melaksanakan program pemberdayaan yang demokratis. Aspek kelembagaan merupakan salah satu hal terpenting dalam rencana pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Ada enam isu 143 pokok dalam aspek kelembagaan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan yakni: 1) kurangnya peran dan sinergitas diantara para pihak (stakeholder), baik sinergitas antar sektor maupun antar tingkat pemerintahan; 2) lemahnya akses masyarakat terhadap modal (finansial, lahan, saprodi), pasar, iptek, informasi, dan dalam proses pengambilan kebijakan; 3) melemahnya social capital (kepercayaan, kebersamaan, partisipasi, jejaring) masyarakat yang diberdayakan; 4) keempat, kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan; 5) lemahnya posisi tawar masyarakat dalam kemitraan pengelolaan sumber daya hutan; 6) lemahnya data dan informasi tentang masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta kurangnya kepedulian terhadap data (Dephut, 2007). Kurangnya peran dan sinergitas diantara para mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kegiatan sehingga tidak efektif. Hal ini juga berakibat pada sulitnya menciptakan komitmen bersama dalam mengembangkan potensi sumberdaya hutan secara optimal. Akibat dari kurangya peran dan sinergitas diantara para pihak, laju pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan menjadi lambat. Lemahnya akses masyarakat terhadap modal, pasar, iptek, informasi, dan dalam proses pengambilan kebijakan menyebabkan masyarakat tetap dalam kondisi marginal dan apatis. Pengembangan unit usaha sulit tercipta karena peluang masyarakat untuk memperoleh modal pengembangan terbatas. Lemahnya akses masyarakat terhadap modal mengakibatkan program pemberdayaan masyarakat bersifat top down dan tidak tepat sasaran. Modal sosial berpengaruh pemberdayaan masyarakat. terhadap Melemahnya kesuksesan program modal social (kepercayaan, kebersamaan, partisipasi, jejaring) masyarakat yang diberdayakan akan berdampak pada terhambatnya pengembangan potensi masyarakat, rendahnya posisi tawar masyarakat, dan tidak efektifnya berbagai program. pemberdayaan masyarakat menjadi kehilangan menimbulkan konflik sosial di masyarakat. arah dan Program berpotensi Rendahnya modal sosial dapat menjadi faktor penyebab resistensi masyarakat terhadap program pemberdayaan dari pemerintah dan kurang optimalnya internalisasi kebijakan di tingkat masyarakat. 144 Adanya kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan merupakan permasalahan kelembagaan yang cukup serius. Kesenjangan antara substansi kebijakan dan implementasi mengakibatkan kurangnya kepercayaan masyarakat pada aparat pemerintah sehingga program-program tidak bisa berjalan efektif. Selain itu masyarakat akan kecewa dan apatis, yang berpotensi menimbulkan konflik sosial. Apabila kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan sangat lebar, jika terjadi kegagalan program maka sesungguhnya masyarakatlah yang menjadi korban. Lemahnya posisi tawar masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan menyebabkan masyarakat akan dirugikan dan peran masyarakat semakin termarginalkan. Pengaruhnya akan dapat menurunkan semangat masyarakat dalam berusaha dan mengurangi kreativitas masyarakat. Lemahnya data dan informasi tentang masyarakat sekitar hutan mengakibatkan rendahnya akurasi dan kepedulian terhadap keberhasilan program, serta kekeliruan dalam penetapan program kerja dan kebijakan sehingga bermuara pada program yang tidak tepat sasaran. Lemahnya data dan informasi serta kurangnya kepedulian terhadap data adalah refleksi dari perencanaan yang ceroboh atau terkesan asal jadi. Dalam tataran implementasi kebijakan terjadi kesenjangan informasi sehingga pengelolaan sumber daya hutan kurang optimal. Akibat lemahnya data dan informasi, potensi masyarakat tidak dapat tergali secara optimal, sehingga sulit melakukan evaluasi dan akhirnya terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan. Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang terkesan kurang terkoordinasi selama ini karena belum adanya lembaga khusus yang menangani pemberdayaan masyarakat di lingkup departemen kehutanan. Hal ini mengakibatkan belum terjaminnya perluasan akses peningkatan mutu dan akuntabilitas program pemberdayaan serta tidak terfokusnya kegiatan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Pengelolaan sumberdaya hutan lebih efektif jika dikelola oleh masyarakat yang tinggal dekat dengan sumberdaya tersebut sehingga terdapat hubungan yang selaras antara masyarakat lokal dengan kondisi social ekonomi setempat. Kerja sama dengan masyarakat lokal dilakukan untuk mendukung strategi pembangunan dengan skala kecil, bottom up, dan pengukuran respon skala lokal berdasarkan kehendak masyarakat lokal, bukan strategi pembangunan yang berskala besar dan investasi dalam bidang infrastruktur. 145 Penguatan kapasitas lokal untuk melakukan kerja sama dapat mendorong kemampuan masyarakat lokal dalam membuat keputusan sendiri. Penguatan kapasitas kadang-kadang diperlukan untuk membangun modal sosial, seperti jaringan, norma, dan social trust yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan dengan pihak-pihak lain. Ketidakberdayaan dengan kemiskinan dalam banyak hal merupakan suatu hal yang tidak jauh berbeda. Orang-orang miskin tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan pilihan, control atas sumberdaya, juga kesempatan untuk mempengaruhi masa depan, karena semuanya berhubungan dengan representasi aspek-aspek kekuasaan. Mereka tidak mampu melindungi kepentingan dan hak-haknya dari berbagai kepentingan eksternal. Kekuasaan pemerintah seharusnya dapat melindungi orang-orang miskin dan lemah untuk mempertahankan hak-haknya. Dalam penguatan kapasitas, faktor manusia menjadi fokus perhatian. Manusia membangun identitas dirinya dengan cara sosialisai, pendidikan dan pekerjaan. Sosialisasi adalah proses interaksi yang ada dalam masyarakat, yang dilakukan oleh individu dalam berkomunikasi, bersikap, membangun nilai dan kepercayaan pada kelompok-kelompok sosial. Sosialisasi merupakan internalisasi norma-norma sosial, aturan-aturan sosial dan regulasi lain yang dirasakan urgen oleh masyarakat. Sosialisasi dapat dilakukan: di dalam keluarga, di sekolah dan sejumlah kelompok-kelompok, dan di masyarakat dengan cara melibatkan kelompok-kelompok pekerja, anggota masyarakat. Advokasi terhadap masyarakat miskin diperlukan agar dapat mengontrol sumberdaya yang ada di wilayahnya sehingga akan membantu mereka mendapatkan bagian yang lebih besar dari pengaturan sumberdaya alam. Dengan diberikannya kewenangan pengelolaan hutan membuat masyarakat miskin yang tinggal di sekitar hutan mendapatkan akses yang lebih besar terhadap hutan dan dapat menentukan sendiri keputusannya dalam mengelola sumberdaya lokal. Pengembangan jaringan atau network merupakan hal yang penting harus dibangun untuk penguatan organisasi. Tanpa network oraganisasi akan lemah dan tidak cukup dukungan untuk melakukan bargaining. Network lebih berguna sebagai strategi pengembangan daripada sebagai alat, keduanya memerlukan investasi waktu dan biaya sebelum pengaruhnya dapat terasa 146 secara penuh. Keduanya memungkinkan orang dan organisasi untuk belajar dari sesama, bertukar sumberdaya dan hasilnya menjadi lebih mandiri (Eade 1995) Kebijkan yang bisa memberikan akses dan kewenangan dalam pengelolaan sumberday hutan adalah devolusi. Kebijakan devolusi memberikan dampak langsung bagi rakyat yaitu adanya legitimasi dalam pengelolaan lahan hutan. Masyarakat lokal mendapatkan status yang jelas dan mendapatkan dukungan sumberdaya dari Pemerintah, investor, LSM dalam pelaksanaan pengelolaan hutan (Edmunds & Wollenberg,2002). Perlindungan terhadap hutan dapat dilakukan secara individual atau kelompok, tetapi pelibatan kelompok lebih berdampak. Pelibatan kelompok harus dirancang dalam bentuk organisasi dengan struktur yang didasarkan pada norma, aturan dan regulasi, serta nilai dan sanksi. Banyak organisasi di pedesaan telah difungsikan untuk mengelolaan hutan. Salah satu peran institusi itu tidak hanya dapat dilihat pada perlindungan hutan, tetapi juga pada perubahan sikap masyarakat dan pengguna hutan terhadap pengelolaan dan kepercayaan masyarakat pada kemampuan masyarakat desa yang tergabung dalam program (Roy 1993) Ada beberapa cara masyarakat: organisasi yang dilakukan untuk menaikkan kapasitas dibentuk untuk memudahkan mobilisasi masyarakat. Organisasi itu dibentuk secara botton up, mulai dengan pembuatan kelompokkelompok kecil di dalam masyarakat hingga kekelompok yang lebih besar. Penyebaran informasi dapat dilakukan melalui ketua-ketua kelompok. Ketua kelompok dipilih dari anggota kelompok oleh anggota. Pengkaderan selalu dilakukan secara terus-menerus melalui traning maupun pelibatan langsung dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan kelompok, baik bentuk pengelolaan maupun penyelesaian masalah yang ada. Untuk memperkuat mobilisasi masyarakat, para instruktur melakukan doktrin melalui pelatihan-pelatihan yang diadakan. Pengadaan teknologi di dalam masyarakat dilakukan secara bertahap dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan tingkat pengetahuan masyarakat. Bila para petani cepat menguasai pengelolaan teknologi baru maka transforamsi pengetahuan pun akan semakin cepat. Tim memfasilitasi pengelolaan kelompok-kelompok masyarakat. Pendekatan yang digunakan problem-solving. Setiap kelompok melakukan pertemuan secara teratur untuk memajukan kelompoknya, mengidentifikasi masalah, dan mencari 147 solusi secara bersama-sama. Program ditetapkan untuk mempermudah pelayanan terhadap anggota kelompok dan diurut berdasarkan tingkatan urgensinya. Dukungan dari luar didapatkan berdasarkan kerjasama-kerjasama yang bergerak pada bidang yang relevan. Di samping itu, dukungan didapatkan dari pemerintah dan institusi lainnya untuk menguatkan kekuatan aturan main dalam kelompok, termasuk dukungan dari peraturan pemerintah. (Korten 1986) Kelembagaan bukan hanya sekedar adanya organisasi atau aturan yang sudah dibuat tetapi menyangkut bagaimana menguatkan organisai petani sehingga anggota KTH sadar dan mengetahui hak dan kewajiban. Penting untuk memperkuat organisasi masyarakat agar mereka memahami dengan benar hak dan kewajiban atas sumberdaya hutan. Dengan institusi sosial yang kuat, piranti organisasi dan norma-norma yang benar yang dibangun di dalam institusi sosial masyarakat program community forestry dapat berlangsung dengan baik. Kelembagaan bukan hanya sebatas pada membentuk organisasi masyarakat, tetapi harus lebih menjangkau batas-batas yuridiksi atas lahan, permodalan, dukungan kebijakan, dan pemberdayaan yang demokratis. Pengembangan kelembagaan dapat terjamin jika : 1) ada insentif bagi orang atau organisasi 2) penguatan organisasi sasaran pengembangan :siapa yang diuntungkan 3) ada keseimbangan kepemilikan dan akses terhadap informasi 4) kepemilikan dan akses terhadap sumber daya terjamin 5) ada usaha pengendalian perilaku opportunistic. Tindakan opportunistic termasuk perilaku menyimpang yang dapat diklasifikasikan korupsi, penyuapan, free rider, dan moral hazard. 6) ada aturan yang ditegakkan dan ditaati (Djogo, 2003). Berbagai negara memang telah melakukan gerakan dengan menyerahkan penguasaan lahan hutan (land ownership) kepada masyarakat lokal. Di Amerika Latin 1.juta hektar kawasan hutan telah dikelola oleh masyarakat. Hampir 75 persen masyarakat di Mexico telah memperoleh hak atas sumberdaya hutan. Demikian juga dengan Afrika, negara-negara Afrika Timur dan Selatan hampir seluruhnya telah meningkatkan pengakuan terhadap hak masyarakat lokal atas sumberdaya hutan. Antara tahun 1994 dan tahun 1998, 2,5 juta hektar hutan (hampir 20% dari wilayah Filipina) diklasifikasikan sebagai wilayah adat, hal serupa juga terjadi di India, Nepal, Philipina, Thailand, Jepang, Korea Selatan dan China. World Summit of Sustainable Development di Afrika Selatan yang dihadiri 130.000 orang di seluruh dunia, juga mengakui bahwa gerakan community forestry akan menjadi sintesa dari gerakan kehutanan dunia. 148 De Soto (2006) berpendapat bahwa kapitalisme gagal di luar Barat bukanlah karena alasan-alasan : perbedaan budaya, kurangnya kewirausahaan, agama, inefisiensi, ataupun faktor kemalasan. Kepemilikan properti sebagai kunci untuk mengakhiri kemiskinan, yang hanya dapat bekerja jika orang miskin mampu menggunakan properti mereka untuk menghasilkan kemakmuran. Properti yang menurut De Soto adalah aset-aset yang bisa menghasilkan kapital, sangat menentukan perkembangan kapitalisme. Teori pembangunan modern gagal memahami proses pengembangan sistem hak milik yang terpadu, sehingga membuat kaum miskin tidak mungkin dapat menggunakan apa yang dimilikinya secara informal untuk digunakan sebagai instrumen dan kapital guna mengembangkan jati dirinya. akibatnya, kelompok petani di dunia berkembang, selalu terperangkap dalam jerat kemiskinan karena mereka hanya mampu hidup secara subsisten. Masyarakat di dunia berkembang umumnya tidak memiliki sistem kepemilikan tanah formal yang terpadu sehingga hanya memiliki kepemilikan secara informal terhadap tanah dan barang-barang. Menurut Mubyarto (2006) bagi kita di Indonesia apa yang disampaikan De Soto dalam buku The Mistery of Capital sangat relevan terutama setelah terjadi krisis moneter 1997-98 jelas-jelas membuktikan kegagalan upaya menerapkan kapitalisme oleh pemerintah Orde Baru sejak 1966. Para penentu kebijakan ekonomi Orde Baru mengira sistem ekonomi kapitalisme sama dengan sistem demokrasi ekonomi berdasar atas asas kekeluargaan yang bersumber pada Pancasila. Kesadaran bahwa sistem kapitalisme liberal tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan demokrasi ekonomi Pancasila tidak pernah ada sampai menjadi sangat terlambat pada saat krisis moneter meledak Agustus 1997, 30 tahun sejak mula-mula diterapkan. Adalah sangat merisaukan bahwa banyak pakar ekonomi tetap tidak percaya tentang kekeliruan atau ketidak tepatan sistem kapitalisme bagi Indonesia yang berpaham Pancasila, dan hanya menyalahkan penerapannya saja. Kesilauan terhadap sistem ekonomi kapitalisme mengakibatkan secara langsung pandangan yang meremehkan peranan ekonomi rakyat yang “tak ber-kapital”. Ekonomi Rakyat yang lebih banyak mengandalkan pada modal sendiri dianggap “extra-legal”, bahkan tak diakui eksistensinya. Kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam memprioritaskan tindakan ke arah pengakuan atau pemberian hak-hak pengelolaan, atau jika 149 memungkinkan, kepemilikan kepada masyarakat setempat (baik secara kolektif maupun perseorangan) atas tanah di dalam kawasan hutan. Hukum di Indonesia tidak menyediakan landasan yang kuat bagi Kementerian Kehutanan untuk memiliki tanah di dalam kawasan hutan negara. Landasan hukum yang ada hanyalah memberikan pemerintah kontrol dan pengelolaan atas sumberdaya alam (Pasal 33 UUD 1945). Sebaliknya, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) memungkinkan bagi negara untuk menguasai secara langsung tanah, jika hanya ketika tidak ada pihak lain yang mengklaim hak atas tanah tersebut. Setelah dilakukan kajian menyangkut hak-hak atas tanah di dalam kawasan hutan, walaupun tanah tersebut dikuasai langsung oleh negara, kewenangan Kehutanan hanyalah menyangkut pengelolaan sumberdaya hutan pada tanah tersebut, (Fay & Sirait, 2004). Kebijakan yang mungkin bias dilakukan akan mengarah kepada penguasaan hutan yang lebih masuk akal dan diterima luas. Hasilnya diakui oleh masyarakat setempat dan seharusnya diarahkan untuk sebuah pengelolaan bersama (co-management) sumberdaya hutan antara masyarakat setempat dengan pemerintah. Persoalannya bukan sekedar kepemilikan sumberdaya, namun yang tidak kalah penting adalah keberdayaan masyarakat. Tanpa adanya masyarakat yang menjadi berdaya, apapun dan berapapun sumberdaya alam yang mereka kuasai akan jatuh ke tangan mereka yang tidak berhak. Akses yang tinggi terhadap sumberdaya hutan yang melimpah tidak menjamin taraf hidup masyarakat. Kekurangberdayaan ( rendahnya: pendidikan, keterampilan, kelembagaan, sarana dan prasarana serta pasar) telah membuat masyarakat gagal mentransfer sumberdaya berharga yang dimiliki ke dalam nilai pasar. Seringkali jika aksesibilitas ekonomi mereka suatu saat meningktat, belum tentu mereka menjadi penikmat sumberday alam yang dimiliki. Sebab pada saat ituberbagai pemodal kuat dari luar akan berdatangan untuk mengepung sumberdaya yang mereka miliki, dan mereka biasanya akan semakin termarginalisasi. Hutan kemasyarakatan menjadi model sebuah upaya untuk meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat yang hidup di sekitar hutan, terlepas sumber pencahariannya bersumber dari hutan atau bukan. Hutan tidak mungkin dipertahankan kelestariannya apabila masyarakat di sekitarnya dalam kondisi papa (miskin) dan tidak berdaya. Hutan hanya akan dapat dijaga kelestariannya 150 oleh masyarakat yang berdaya. Dengan demikian sosial forestri adalah upaya membuat masyarakat disekitar hutan berdaya. Masalah sosial-ekonomi masyarakat menjadi kunci utama terjaminya kelestarian hutan, dengan demikian sosial forestri perlu dijabarkan secara lebih leluasa, yang meliputi seluruh upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Hutan kemasyaraktan adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat, bukan sekedar pengusahaan hutan oleh masyarakat Dalam demokrasi harus diwujudkan partisipasi dan emansipasi ekonomi. Sistem ekonomi model “majikan-buruh” harus ditinggalkan, sperti hubungan antara inti dan plasma dalam PIR ) Perkubunan inti rakyat) haruslah berupa hubungan participatory-emancipatory , bukan hubungan subordinasi yang diskriminatif yang menumbuhkan ketergantungan pihak plasma (rakyat) kiepada majikan (inti). Prinsip triple-co responsibility. Prinsip yaitu co-ownership, co-determination, co- keterbawasertaan (partisipasi dan emansipasi pembangunan) selama ini belum bias diwujudkan. Kemajuan ekonomi rakyat haruslah inheren dengan kemajuan pembangunan nasional seluruhnya. Tidak boleh terjadi marjinalisasi, penyingkiran terhadap rakya miskin dan lemah. Rakyat yang berada di bawah harus terangkat dan terbawa serta dalam pembangunan (Swasono 2009). 8.7 Ikhtisar Keragaan PHBM yang dilaksanakan di Perhutani BKPH Parung Panjang lebih dominan pada aspek ekonomi. Dilihat dari indikator lingkungan, Acasia mangium yang ditanam secara monokultur berdampak kepada menurunnya biodiversitas flora dan fauna. Dampak lainnya adalah berkurangnya sumber air, sumber air setelah kemarau satu bulan sudah kering, tetapi ketika musim hujan air meluber-luber. Prinsip keadilan dalam pelaksanaan PHBM di Perhutani BKPH Parung Panjang juga belum terwujud. Perhutani menganggap PHBM sudah memberi porsi kepada masyarakat melalui sistem bagi hasil. Program ini merupakan variasi bentuk program pengamanan yang dilaksanakan Perhutani. Faktor keamanan hutan menjadi prioritas utama. pendekatan keamanan yang dilakukan lebih halus yaitu: tindakan persuasif dan represif. Tindakan dilakukan berfokus pada mengamankan tanaman pokok dengan memanfaatkan kelembagaan yang sengaja dibentuk untuk pelaksanaan program. 151 Konflik-konflik tenurial dalam kawasan hutan terjadi akibat adanya dualisme sistem pertanahan yaitu sistem pertanahan yang diatur dalam UndangUndang Pokok Agraria dan sistem pertanahan yang diatur dalam Undang- Undang Kehutanan. Konflik tenurial yang terjadi di Indonesiaberawal dari warisan kebijakan kolonial di masa Hindia Belanda yang kemudian berlanjut hingga kini. Hukum di Indonesia tidak menyediakan landasan yang kuat bagi Kementerian Kehutanan untuk memiliki tanah di dalam kawasan hutan negara. Landasan hukum yang ada hanyalah memberikan pemerintah kontrol dan pengelolaan atas sumberdaya alam (Pasal 33 UUD 1945). Masalah pokok yang dihadapi petani adalah kecilnya aset atau sulitnya akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi terutama tanah. Padahal banyak fakta di lapangan menunjukkan bahwa hutan yang dikelola rakyat lebih baik kondisi hutan yang dikelola pemerintah atauPerhutani. Reforma agraria merupakan salah satu alternatif solusi yang bisa dipilih untuk realisasi pemerataan pengelolaan sumberdaya agraria. Kebijakan hutan kemasyarakatan harus mempertimbangkan pelaku utama yang paling berperan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan yaitu masyarakat dan Perum Perhutani. Faktor terpenting yang menjadi prioritas utama dalam pengelolaan hutan kemasyarakat adalah kebijakan dan kelembagaan. Strategi yang dilakukan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan tidak boleh mengabaikan kepentingan masyarakat. Pertimbangan utama dalam strategi adalah pendapatan masyarakat. Strategi penting lainnya yaitu mengurangi konflik. Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan di wilayah Perhutani BKPH Parung Panjang adalah penguatan kelembagaan dan akses terhadap sumberdaya hutan. 152