MEMAHAMI HUKUM NIKAH MUT’AH Oleh: Marzuki∗ Islam yang mensyari’atkan pernikahan, tidak hanya berhenti pada sekedar menyuruh umatnya menikah, tetapi juga mengatur segala yang terkait demgan pernikahan supaya menjamin pencapaian tujuan dan hikmah pernikahan. Untuk sahnya suatu perkawinan harus terpenuhi syarat dan rukunnya. Rukun perkawinan dalam Islam ada lima, yaitu: 1) calon suami; 2) calon isteri; 3) wali nikah; 4) dua orang saksi; dan 5) ijab-kabul. Semua rukun ini memiliki syarat-syarat khusus. Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dengan sila yang pertamanya “Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai peranan yang penting untuk membentuk keluarga yang bahagia, tetapi juga didasarkan pada aturan-aturan agama. Dalam pasal 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 dikatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal ini merupakan landasan pokok dari aturan hukum perkawinan lebih lanjut, baik yang terdapat dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 maupun dalam peraturan lainnya yang mengatur perkawinan. Pengertian Mut’ah Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewariri antara keduanya meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mu’ah itu. (Fathul Bari 9/167, Syarah shahih muslim 3/554, Jami’ Ahkamin Nisa’ 3/169). ∗ Dr. Marzuki, M.Ag. adalah dosen Pendidikan Agama Islam dan Hukum Islam pada jurusan PKn dan Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Hukum Nikah Mut’ah Pada awal perjalanan Islam, nikah mut’ah memang dihalalkan, sebagaimana yang tercantum dalam banyak hadits diantaranya: Hadits Abdullah bin Mas’ud: “berkata: Kami berperang bersama Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedangkan kami tidak membawa istri istri kami, maka kami berkata bolehkan kami berkebiri? Namun Rasululloh melarangnya tapi kemudian beliau memberikan kami keringanan untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai batas waktu tertentu”. (HR. Bukhari 5075, Muslim 1404). Hadits Jabir bin Salamah: “Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata: Pernah kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berkata: Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah maka sekarang mut’ahlah”. (HR. Bukhari 5117). Namun hukum ini telah dimansukh dengan larangan Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menikah mut’ah sebagaimana beberapa hadits diatas. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat kapan diharamkannya niakh mut’ah tersebut dengan perselisihan yang tajam, namun yang lebih rajih-Wallahu a’lam- bahwa nikah mut’ah diharamkan pada saat fathu makkah tahun 8 Hijriyah. Ini adalah tahqiq Imam Ibnul Qoyyim dalam zadul Ma’ad 3/495, Al-Hafidl Ibnu Hajar dalam fathul bari 9/170, Syaikh Al-Albani dalam irwaul Ghalil 6/314. Telah datang dalil yang amat jelas tentang haramnya nikah mut’ah, diantaranya: Hadits Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu: “Dari Ali bin abi Thalib berkata: Sesungguhnya Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging himar jinak pada perang khaibar” (HR. Bukhari 5115, Muslim 1407). Hadits Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani Radiyallahu ‘anhu: “berkata:Rasululloh Shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah mut’ah pada waktu fathu makkah saat kami masuk Makkah kemudian beliau melarang kami sebelum kami keluar dari makkah. Dan dalam riwayat lain: Rasululloh bersabda: Wahai sekalian manusia, sesunggunya dahulu saya telah mengizinkan kalian nikah mut’ah dengan wanita. Sekarang Alloh telah mengharamkannya sampai hari kiamat, maka barangsiapa yang memiliki istri dari mut’ah maka hendaklah diceraikan” (HR. Muslim 1406, Ahmad 3/404). Hadits Salamah bin Akhwa Radiyallahu ‘anhu: “berkata:Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan keringanan keringanan untuk mut’ah selama tiga hari pada perang authos kemudian melarangnya” (HR. Muslim 1023). Pemikiran Mereka Yang Menafsirkan bahwa: Firman Alloh Ta’ala: “Maka apabila kalian menikahi mut’ah diantara mereka (para wanita) maka berikanlah mahar mereka” (QS. An-Nisa: 24). Juga karena Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jelas pernah membolehkan nikah mut’ah, padahal beliau tidak mungkin berbicara dengan dasar hawa nafsu akan tetapi berbicara dengan wahyu, dan oleh karena ayat ini adalah satu-satunya ayat yang berhubungan dengan nikah mut’ah maka hal ini menunjukkan akan halalnya nikah mut’ah. (Lihat AlMut’ah fil Islam oleh Al-Amili hal 9). Jawaban Atas Syubhat ini adalah: Memang sebagian ulama’ manafsirkan istamta’tum dengan nikah mut’ah, akan tetapi tafsir yang benar dari ayat ini apabila kalian telah menikahi wanita lalu kalian berjima’ dengan mereka maka berikanlah maharnya sebagaimana sebuah kewajiban atas kalian. Berkata Imam Ath Thabari setelah memaparkan dua tafsir ayat tersebut: Tafsir yang paling benar dari ayat tersebut adalah kalau kalian menikahi wanita lalu kalian berjima’ dengan mereka maka berikanlah maharnya, karena telah datang dalil dari Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam akan haramnya nikah mut’ah. (Tafsir Ath-Thabati 8/175). Berkata Imam Al-Qurthubi: Tidak boleh ayat ini digunakan untuk menghalalkan nikah mut’ah karena Rasululloh Shallallahu ‘alahi wa Sallam telah mengharamkannya. (tafsir AlQurthubi 5/132). Dan kalau kita menerima bahwa makna dari ayat tersebut adalah nikah mut’ah maka hal itu berlaku di awal Islam sebelum diharamkan. (Al-Qurthubi 5/133, Ibnu Katsir 1/474). Kesalahan Pemikiran Pendukung Nikah Mut’ah Berikutnya adalah: Hadits Abdullah bin Mas’ud, Jabir bin Abdullah dan Salamah bin Akwa’ diatas menunjukkan bahwa nikah mut’ah halal. Maka Jawaban atas Hal ini adalah: Semua hadits yang menunjukkan halalnya nikah mut’ah telah di mansukh. Hal ini sangat jelas sekali dengan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yang artinya: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya dahulu saya telah mengizinkan kalian mut’ah dengan wanita. Sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat” Berkata Imam Bukhari (5117) setelah meriwayatkan hadits Jabir dan Salamah: Ali telah menjelaskan dari Rasululloh bahwa hadits tersebut dimansukh. Syubhat Berikutnya adalah: Sebagian para sahabat masih melakukan nikah mut’ah sepeninggal Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai umar melarangnya, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat, diantaranya: Dari jabir bin Abdullah berkata: Dahulu kita nikah mut’ah dengan mahar segenggam kurma atau tepung pada masa Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa sallam juga Abu Bakar sampai umar melarangnya.(Muslim 1023). Jawaban bagi Seorang Muslim yang Taat Kepada Alloh Ta’ala: Riwayat Jabir ini menunjukkan bahwa beliau belum mengetahui terhapusnya kebolehan mut’ah. Berkata Imam Nawawi: Riwayat ini menunjukkan bahwa orang yang masih melakukan nikah mut’ah pada Abu bakar da Umar belum mengetahui terhapusnya hukum tersebut. (Syarah Shahih Muslim 3/555, lihat pula fathul bari, zadul Ma’ad 3/462). Perkataan yang salah dari salah seorang tokoh Nikah Mut’ah kontermporer: Tidak senua orang mampu untuk menikah untuk selamanya terutama para pemuda karena berbagai sebab, padahal mereka sedang mengalami masa puber dalam hal seksualnya, maka banyaknya godaan pada saat ini sangat memungkinkan mereka untuk terjerumus ke dalam perbuatan zina, oleh karena itu nikah mut’ah adalah solusi agar terhindar dari perbuatan keji itu. (lihat Al-Mut’ah fil Islam oleh husan Yusuf Al-Amili hal 12-14). Jawaban atas Syubhat ini adalah: Ucapan ini salah dari pangkal ujungnya, cukup bagi kita untuk mengatakan tiga hal ini : Pertama: bahwa mut’ah telah jelas keharamannya, dan sesuatu yang haram tidak pernah di jadikan oleh Allah sebagai obat dan solusi. Kedua: ucapan ini Cuma melihat solusi dari sisi laki-laki yang sedang menggejolak nafsunya dan tidak memalingkan pandangannya sedikitpun kepada wanita yang dijadikannya sebagai tempat pelampiasan nafsu syahwatnya, lalu apa bedanya antara mut’ah ini dengan pelacuran komersil???? Ketiga: islam telah memberikan solusi tanpa efek samping pada siapapun yaitu pernikahan yang bersifat abadi dan kalau belum mampu maka dengan puasa yang bisa menahan nafsunya, sebagaimana sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yang artinya: “Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu menikah maka hendaklah menikah, karena itu lebih bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, dan barangsiapa yang tidak mampu maka hendaklah dia berpuasa karena itu bisa menjadi tameng baginya”. (HR. Bukhari 5066, Muslim 1400). Wallahu a’lam. REPUBLIKA, Selasa 26 Juli 1994 hal. 16 Iran merupakan negara basis dan produk Syi'ah. Negara dengan luas wilayah 1.648.000 Km2 dan jumlah penduduk 64.625.455 jiwa 98% memeluk agama Islam Syi'ah tersebut dipimpin oleh Rafsanjani, dia dipusingkan dengan lahirnya 250.000 bayi tanpa bapak akibat Kawin Mut'ah atau kawin kontrak. Iran merupakan negara Islam yang bebas dari segala bentuk pelacuran. Prianya berjubah, sementara wanita berjilbab dan bercadar. Namun yang mengagetkan adalah negara tersebut adalah termasuk sarang AIDS. Pada tahun 1994 yang lalu di Republik Islam Iran sudah terdata 82 orang yang meninggal karena AIDS dan yang terserang AIDS sudah mencapai 5.000 orang. Itulah sebagian dari kerusakan nikah mut'ah agama Syi'ah, pengikut-pengikut Abdullah bin Saba', sang penyebar fitnah dan kerusakan besar di dalam Islam dan kaum Muslimin. Hendaknya kaum Muslimin waspada dan hati-hati terhadap agama Syi'ah yang mengatasnamakan Islam ini. Dan kepada mereka yang tertipu oleh Jurus Taqiyah (berbohong untuk menyembunyikan rahasia) segeralah bertaubat kembali kepada Rabbul 'Alamin. Inilah perkenalan kita dengan agama Syi'ah buatan kaum zindiq dan munafik, ajaran yang sesat dan menyesatkan dan menjadi shaf terdepan dari sekalian ajaran sesat dan kufur yang akan merusak Islam dan kaum Muslimin dari dalam. Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam surat ArRum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”. Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika manusia melakukan pernikahan. Hal yang demikian tidak disebutkan Allah s.w.t. ketika binatang ternak berpasangan untuk berkembangbiak. Karena tugas selanjutnya bagi manusia dalam lembaga pernikahan adalah untuk membangun peradaban dan menjadi khalifah di dunia (Quraish Shihab dalam Wawasan al-Qur’an: bab pernikahan). Pernikahan tersebut dianggap sah menurut hukum Islam bila telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Syarat pernikahan adalah (1) persetujuan kedua belah pihak, (2) mahar (mas kawin), (3) tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan. Sedangkan rukun pernikahan adalah (1) calon suami, (2) calon isteri, (3) wali, (4) saksi dan (5) ijab kabul. Nikah Mut’ah Nikah mut’ah mengemuka setelah beberapa orang terkenal di negeri ini melakukannya secara diam-diam, namun tercium oleh pers, sehingga menimbulkan kontroversi di kalangan ummat Islam. Nikah Mut’ah atau lebih dikenal dengan ‘kawin kontrak’ adalah perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk ‘jangka waktu terbatas’ yang berakhir dengan habisnya masa tersebut. Suami tidak berkewajiban memberikan nafkah dan tempat tinggal kepada isteri serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya. Ada 6 (enam) perbedaan prinsip antara nikah mut’ah dan nikah sunni, sebagaimnana dikutip oleh 1. Al-Islam, Nikah Pusat mut’ah Informasi dibatasi oleh dan Komunikasi waktu, Islam sedangkan Indonesia nikah sunni LPPI, tidak yaitu: dibatasi 2. Nikah mut’ah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam akad atau fasakh, sedangkan nikah sunni berakhir dengan talaq atau meninggal dunia 3. Nikah mut’ah tidak berakibat saling mewarisi antara suami isteri, sedangkan nikah sunni menimbulkan pewarisan antara keduanya 4. Nikah mut’ah tidak membatasi jumlah isteri, sedangkan nikah sunni dibatasi dengan jumlah isteri hingga maksimal empat orang 5. Nikah mut’ah dapat dilaksanakan tanpa wali dan saksi, sedangkan nikah sunni harus dilaksanakan dengan wali dan saksi 6. Nikah mut’ah tidak mewajibkan suami memberikan nafkah kepada isteri Nikah mut’ah atau kawin kontrak sebenarnya merupakan tradisi Kaum Syi’ah. Hal ini dimungkinkan karena adanya salah penafsiran atau pemutarbalikan ayat-ayat alQur’an maupun hadits Rasulullah s.a.w. oleh para mufassirin (ahli tafsir) Syi’ah. Mufassirin Syi’ah yang sangat terkenal dalam ‘membela’ dihalalkannya nikah mut’ah adalah Fathullah Al-Kasyani, sebagaimana ditulis dalam kitab Tafsir Manhaj, Dikatakan oleh beliau bahwa nikah mut’ah adalah keistimewaan yang diberikan kepada Rasulullah, dan barang siapa melakukan mut’ah sekali dalam hidupnya, maka ia akan menjadi ahli surga, dan orang yang mengingkari mut’ah dianggap kafir murtad. Sedangkan Abu Ja’far Asth-Thusi dalam kitabnya At-Tahdzif menyatakan bahwa Abu Abdillah a.s. (Imam Syia’ah yang dianggap suci) memberikan pernyataan bahwa ‘kawinlah (secara mut’ah) dengan seribu orang dari mereka karea mereka adalah wanita sewaan, tidak ada talak dan tidak ada waris dia hanya anita sewaan.’ Fathullah al-Kasyani menyatakan bahwa rukun nikah mut’ah adalah suami, isteri, mahar, pembatasan waktu (taukit) dan shighat ijab kabul. Sedangkan syaratnya adalah cukup dengan akad (transaksi) antara dua orang yang ingin bersenang-senang (mut’ah) tanpa ada saksi, terbebas dari beban nafkah, tanpa dibatasi jumlah wanita (boleh dengan seribu wanita sekalipun), tidak ada hak mewarisi, tidak diperlukan wali, tidak dibatasi waktu, wanita yang dimut’ah statusnya sama dengan wanita sewaan atau budak (Risalah Dakwah Al-Hujjah No. 48 tahun IV Shafar 1423). Hukum Nikah Mut’ah Majelis Ulama Indonesia dalam fatwanya tanggal 25 Oktober 1997 menetapkan bahwa Nikah Mut’ah hukumnya HARAM, dan pelaku nikah mut’ah dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-perundangan yang berlaku. Dasar pertimbangannnya adalah pertama bahwa nikah mut’ah mulai banyak dilakukan terutama dilakukan oleh kalangan pemuda dan mahasiswa. Kedua, praktek nikah mut’ah telah menimbulkan keprihatinan, kekhawatiran dan keresahan bagi para orang tua, ulama, pendidik, tokoh masyarakat dan ummat Islam, serta dipandang sebagai alat propaganda paham Syi’ah di Indonesia. Ketiga, bahwa mayoritas ummat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni yang tidak mengakui dan menolak paham Syi’ah. Adapun dalil-dalil yang menjadi dasar keharaman nikah mut’ah adalah sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Mukminun ayat 5 dan 6 serta hadits Nabi s.a.w. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Pengharaman nikah mut’ah oleh Nabi s.a.w. disabdakan sebanyak 2 (dua) kali, yaitu tatkala terjadi perang Khaibar pada tahun 7 Hijrah dan kedua pada Fathu Makkah pada tahun 8 Hijrah. Dari Ali ibn Abi Thalib r.a. ia berkata kepada Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi s.a.w. melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai jinak pada waktu perang Khaibar. Diriwayatkan dari Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani, ia berkata: ‘kami bersama Rasulullah s.a.w. dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan bertemu dengan wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata: ‘ada selimut seperti selimut.’ Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke Masjidil Haram dan tiba-tiba aku melihat Nabi s.a.w. sedang berpidato di antara pintu Ka’bah dan Hijr Ismail. Beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia, aku pernah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut’ah, maka sekarang yang memiliki isteri dengan cara nikah mut’ah haruslah ia menceraikannya dan segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya janganlah kalian ambil lagi, karena Allah Azza wa Jalla telah mengharamkan nikah mut’ah sampai hari Qiyamat. Semua madzhab, baik madzhab Hanafi, madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hambali juga mengharamkan nikah mut’ah, karena memang telah dilarang Allah dan RasulNya, dan hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut’ah dianggap telah mencapai peringkat mutawatir. Nikah Mut’ah dan Martabat Wanita Hikmah dilarangnya nikah mut’ah, khususnya di kalangan kaum Sunni adalah untuk menjaga martabat wanita itu sendiri. Dengan melihat syarat dan rukun nikah mut’ah yang sangat ‘sederhana’, maka wanita tak ubahnya bagai barang mainan, yang pada akhirnya dapat menjerumuskan seorang wanita dalam lembah pelacuran terselubung. Karena wanita yang dinikahi dengan menggunakan cara nikah mut’ah pada hakikatnya hanya untuk pemuas nafsu belaka (bersenang-senang dalam waktu sesaat). Padahal dalam Islam, lembaga pernikahan dibentuk dalam rangka menjunjung harkat dan martabat wanita. Syarat dan rukun nikah adalah salah satu bentuk nyata bagaimana Islam memuliakan wanita. Tanpa memenuhi syarat dan rukun nikah, maka seorang laki-laki tak akan bisa menikahi seorang wanita dan membentuk sebuah lembaga pernikahan. Tujuan disyari’atkannya lembaga pernikahan adalah untuk mewujudkan keluarga yang bahagia, sakinah, mawaddah wa rahmah. Usaha mewujudkan keluarga bahagia, sakinah mawadah wa rahmah tidak dapat diwujudkan hanya dalam waktu sesaat atau dalam waktu singkat (sehari atau dua hari), namun diperlukan rentang waktu yang panjang dengan pembinaan yang simultan antara suami dan isteri. Karena pada tahapan selanjutnya, tugas lembaga pernikahan adalah membentuk peradaban dan menjadi khalifah di muka bumi (dunia). [Ditulis oleh Chamzawi/Tanggal Publikasi : 19/04/2004/Artikel ini telah dimuat dalam Majalah AMANAH No. 49 Th. XVII April 2004 / Shafar 1425 H] Bagaimana Hukum Nikah Mut’ah? 31/12/2007 Secara lughawi nikah berarti ad-damm wal-jam’ (penggabungan dan pengumpulan) atau al-wath'u (persetubuhan). Secara istilahi nikah adalah ikatan perjanjian (‘aqd) yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk mensyahkan istimta' atau hubungan badan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya. Selain ibadah, nikah merupakan wujud sikap ta’awun atau kerjasama antara individu dalam pendirian lembaga keluarga dan sarana reproduksi. Jumhur fuqaha berpendapat, bahwa ada 4 macam nikah fasidah, nikah yang rusak atau tidak sah, yakni nikah syighar (tukar menukar anak perempuan atau saudara perempuan tanpa mahar), nikah mut’ah (dibatasi dengan waktu tertentu yang diucapkan dalam ‘aqd), nikah yang dilakukan terhadap perempuan yang dalam proses khitbah (pinangan) laki-laki lain, dan nikah muhallil (siasat penghalalan menikahi mantan istri yang ditalak bain atau talak yang tidak bisa dirujuk lagi). Namun ada juga yang menghalalkan nikah mut’ah dengan daasr suat An-Nisa' ayat 24: ًيضة َ ورھُنﱠ فَ ِر َ فَآتُوھُنﱠ أُ ُج Maka isteri-isteri yang telah kamu campuri di antara mereka, berikanlah kepada mereka biaya kontrak, sebagai suatu kewajiban. (“Ujrah” yang umumnya diartikan sebagai mahar ini oleh kalangan yang membolehkan nikah mut’ah diartikan sebagai biaya kontrak). Selain itu dasar penghalalannya adalah hadis Nabi Muhammd SAW yang diriwayatkan, ketika Perang Tabuk, bahwa para sahabat pernah diperkenankan untuk menikahi perempuanperempuan dengan sistem kontrak waktu. Nikah mut’ah menurut ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya mazhab empat, hukumnya haram dan tidak sah (batal). Dasar pengambilan, antara lain dari kitab Al-Umm Imam Asy-Syafi’i juz V hlm 71, Fatawi Syar'iyyah Syaikh Husain Muhammad Mahluf juz II hlm 7, kitab Rahmatul Ummah hlm 21, I’anatuth Thalibin juz III hlm 278 – 279, Al-Mizan al-Kubraa juz II hlm 113, dan AsSyarwani 'alat Tuhfah juz Vll hlm. 224. Imam Syafi’i mengatakan, semua nikah yang ditentukan berlangsungnya sampai waktu yang diketahui ataupun yang tidak diketahui (temporer), maka nikah tersebut tidak sah, dan tidak ada hak waris ataupun talak antara kedua pasangan suami istri. (Al-Umm V/71) Syaikh Husain Muhammad Mahluf ketika ditanya mekenai pernikahan dengan akad dan saksi untuk masa tertentu mengatakan bahwa seandainya ada laki-laki mengawini perempuan untuk diceraikan lagi pada waktu yang telah ditentukan, maka perkawinannya tidak sah karena adanya syarat tersebut telah mengalangi kelanggengan perkawinan, dan itulah yang disebut dengan nikah mut’ah. (Fatawi Syar'iyyah II/7) Para ulama bersepakat, bahwa nikah mut’ah itu tidak sah, dan hampir tidak ada perselisihan pendapat. Bentuknya adalah, misalnya seseorang mengawini perempuan untuk masa tertentu dengan berkata: “Saya mengawini kamu untuk masa satu bulan, setahun dan semisalnya.” Perkawinan seperti ini tidak sah dan telah dihapus kebolehannya oleh kesepakatan para ulama sejak dulu. Apalagi praktik nikah mut'ah sekarang ini hanya dimaksudkan untuk menghalalkan prostitusi. (Munas Alim Ulama di Pondok pesantren Qomarul Huda, Bagu, Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 16-20 Rajab 1418 H / 17-21 Novemver 1997 M --nam) Nikah Mut’ah dalam Islam… Kamis, 08 Juli 2010 04:08 Assalamu’alaikum Wr. Wb. Saya ingin menanyakan tentang nikah mut’ah dalam Islam. Saya janda dengan dua orang anak yang ditinggal suami karena kematian. Saat ini saya menjalani pernikahan mut’ah dengan seorang laki-laki sudah dua tahun lamanya. Kami menikah dengan alasan tidak mau tidak dijalan Allah, saat kami menikah tidak ada siapapun yang tahu tentang pernikahan kami. Waktu terus berlanjut, tapi setiap saya menanyakannya tentang kapan pastinya pernikahan yang sesungguhnya akan dijalankan, pasangan saya selalu bicara dua tahun lagi. Saya mendesak banget kare keluarga juga sudah bertanya dan saya memikirkan perkembangan anak-anak saya nanti. Dia menunda pernikahan yang sebenarnya dengan alas an ada hal-hal yang harus dia buktikan dahulu (pekerjaan) kepada keluarganya. Padahal anakanak saya sudah merasa bahwa dia adalah bapak mereka dan saya meyakini kalau rezeki tidak akan ke mana. Terus terang pengetahuan saya tentang aturan pernikahan memang tidak banyak, malah dahulu dia yang menyarankan untuk dilakukannya nikah mut’ah antara kami. Yang menjadi pertanyaan saya adalah: 1. Apa dan bagaimana aturan/hadis tentang nikah mut’ah dalam Islam? 2. Sampai kapan nikah mut’ah itu berlaku? 3. Apa yang bisa saya jadikan alas an kuat kepada pasangan agar dapat segera melangsungkan pernikahan sesungguhnya? Demikian, dan terimakasih atas bimbingannya Wassalam, Khadijah. Alhamdulillah, was-shalatu was-salamu ‘ala rasulillah, la haula wala quwwata illa billah, waba’du. Ibu Khadijah yang budiman, Saya mengapresiasi usaha ibu yang selalu mencari kebenaran, termasuk dalam hal status perkawinan ibu. Perlu diketahui, bahwa kebenaran menurut ajaran Islam adalah jika sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Quran al-karim dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW dalam sunnahnya, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis yang artinya : “Aku tinggalkan kepada kalian dua hal yang kalian tidak akan tersesat jika berpegang teguh kepada keduanya: kitab Allah (al-quran) dan sunnah rasulNya” . Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa ajaran yang tidak sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasulNya adalah ajaran yang tersesat jalan, termasuk dalam hal pernikahan. Dalam ajaran Islam, maksud utama dari pernikahan itu selain sebagai ibadah adalah untuk membangun ikatan keluarga yang langgeng (mitsaqan ghalidzha) yang dipenuhi dengan sinar kedamaian (sakinah), saling cinta (mawaddah), dan saling kasih-sayang (rahmah). Dengan begitu, ikatan pernikahan yang tidak ditujukan untuk membangun rumah tangga secara langgeng, tidaklah sesuai dengan tujuan ajaran Islam. Di samping itu, jika kita tengok sejarah awal Islam, di mana ketika itu masyarakat jahiliyah tidak memberikan kepada wanita hak-haknya sebagaimana mestinya karena wanita ketika itu lebih dianggap sebagai barang yang bisa ditukar seenaknya, dapat kita ketahui betapa ajaran Islam menginginkan agar para wanita dapat diberikan hak-haknya sebagaimana mestinya. Oleh karenanya, dengan syariat nikah menurut Islam ini, ajaran Islam ingin melindungi para wanita untuk mendapatkan hak-haknya. Para wanita tidak dapat dipertukarkan lagi sebagaimana zaman jahiliyah. Para wanita selain harus menjalankan kewajibannya sebagai istri, juga mempunyai hak untuk diperlakukan secara baik (mu’asyarah bil ma’ruf), dan ketika suami meninggal ia juga dapat bagian dari harta warisan. Demikian tujuan nikah menurut ajaran Islam. Sedangkan nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak. Dalam nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam. Dalam hal ini syaikh al-Bakri dalam kitabnya I’anah at-Thalibin menyatakan yang artinya: “Kesimpulannya, nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan”. Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim yang artinya: “yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”. Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu. Ada pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri, sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah yang artinya: Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya tersebut. Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh” Namun demikian, pendapat yang menghalalkan nikah mut’ah tersebut tidaklah kuat untuk dijadikan dasar hukum. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih yang artinya : “Diriwayatkan bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika perang Khaibar” Hadis dianggap shahih oleh imam Bukhari dan Muslim. Hadis lain menyatakan: “Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’ r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika ditundukkannya Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya” HR. Muslim. Di hadis lain disebutkan: “Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban. Hadis-hadis tersebut cukup kuat untuk dijadikan pijakan menetapkan hukum haram bagi nikah mut’ah, dan sangat terang benderang menjelaskan bahwa Islam melarang nikah mut’ah. Oleh karena itu, jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka ia telah dianggap melanggar ajaran Islam dan secara otomatis nikahnya tersebut batal, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim: “Para ulama sepakat (ijma’) bahwa jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka hukumnya tidak sah (batal), baik sebelum atau sesudah dilakukan hubungan badan” Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan ketika zaman Rasul s.a.w. masih hidup, tapi kemudian diharamkan oleh rasulullah s.a.w. sampai hari kiamat. Jika ada yang melaksanakan nikah mut’ah pada masa sekarang, maka nikah mut’ah tersebut hukumnya batal. Dengan begitu, kiranya pertanyaan ibu sudah terjawab semuanya. Sebenarnya melalui pertanyaan yang ibu ajukan, saya menangkap kesan bahwa ibu sudah tidak yakin dengan sahnya nikah mut’ah yang ibu lakukan. Berkali-kali ibu menyebutkan ingin “nikah sesungguhnya”. Apalagi pernikahan ibu dilakukan “dengan tanpa diketahui siapapun”. Sedangkan dalam Islam pernikahan selain harus ada wali juga harus ada yang menjadi saksi, sehingga tetap harus ada orang yang menyaksikan. Selain itu, ajaran Islam juga sangat menganjurkan adanya walimah (semacam pesta). Tujuannya, agar semakin banyak orang yang menjadi saksi bahwa kedua orang tersebut telah menjalin ikatan pernikahan. Saksi ini penting, karena setelah akad nikah selesai kedua mempelai, yakni suami dan istri, saling mempunyai hak-hak perdata, misalnya dalam hal warisan. Jika ada sengketa di kemudian hari, misalnya, maka kedudukan istri untuk menuntut haknya akan semakin kuat, karena ada banyak saksi. Ketentuan ini tentu tidak berlaku terhadap nikah mut’ah, karena dalam nikah mut’ah ketika jangka waktu pernikahan telah habis, maka tanpa talakpun secara otomatis tidak ada lagi hubungan antara kedua orang tersebut. Dan jangan lupa, dalam nikah mut’ah istri tidak berhak mendapat warisan dari suami, ketika, misalnya, suaminya tersebut meninggal. Tegasnya, dengan nikah mut’ah, para wanita yang menjadi istri kedudukannya sangatlah lemah. Oleh karenanya Islam melarang nikah mut’ah tersebut. Apabila kita renungkan dengan hati yang jernih, betapa ajaran Islam itu sangat indah, jika dilaksanakan dengan tulus ikhlas, sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sekarang tinggal kemauan dan kesungguhan dari kita, umat manusia, untuk tunduk dan mematuhi sabda rasulullah s.a.w. tersebut. Kemuliaan di sisi Allah SWT adalah bagi orang yang rela mendahulukan dan tunduk kepada aturan-aturanNya sebagaimana disampaikan oleh utusanNya. Oleh karenanya, saya menyarankan kepada ibu, selagi masih ada kesempatan segeralah menyatakan penyesalan secara bersungguh-sungguh dengan bertaubat, dan mulailah dengan ikatan pernikahan yang diridhai oleh Allah SWT. Yakinlah, bahwa ampunan Allah itu maha luas, dan tetapkan hati bahwa Allah ‘azza wajalla akan senantiasa bersama orang yang tunduk terhadap aturan-aturanNya.Wallahu a’lam bi as-shawab (Oleh Drs. H. Sholahudin al Aiyub, M.Sc) Haramkah Nikah Mut'ah yang Diagungkan Syi'ah? Nikah mut'ah sepertinya tidak bisa dipisahkan dari sekte Syi'ah Itsna 'Asyariyah yang pada tanggal 2-4 Maret 2010 kemarin mengadakan Silatnas Ahlul Bait Indonesia ke-5 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta. Sekte Syi'ah sangat mengagungkan nikah mut'ah ini dengan keyakinan mendapat pahala yang besar. Disebutkan dalam Minhajul Qashidin (kitab Syi'ah), karya Fathullah al Kasyani (hal 356), dari imam al Shadiq, "bahwa mut'ah adalah bagian dari agamaku dan agama nenek moyangku. Barangsiapa yang mengamalkannya berarti berarti ia mengamalkan agama kami, dan yang mengingkarinya berarti mengingkati agama kami, bahkan dia bisa dianggap beragama dengan selain agama kami. Anak yang dilahirkan dari perkawinan mut'ahlebih utama daripada anak yang dilahirkan melalui nikah yang tetap. Dan orang yang mengingkari nikah Mut'ah ia kafir dan murtad." Bahkan As-Sayyid Fathullah Al Kasyaani di dalam Tafsir Manhajish Shadiqiin 2/493 menyebutkan hadits, "Barangsiapa melakukan nikah mut'ah satu kali maka derajatnya seperti Al-Husain, barangsiapa melakukannya dua kali maka derajatnya seperti Al-Hasan, barangsiapa melakukannya tiga kali maka derajatnya seperti Ali radhiyallahu 'anhu, dan barangsiapa melakukannya sebanyak empat kali maka derajatnya seperti aku." Apa sebenarnya nikah mut'ah itu dan bagaimana hukumnya dalam Islam berdasarkan hadits-hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam? akan dijelaskan berikut ini, Insya Allah. Pengertian Nikah Mut'ah Mut'ah secara bahasa berasal dari kata "Tamattu" yang berarti bersenang-senang atau menikmati. Adapun secara istilah, nikah mut'ah adalah sebuah bentuk pernikahan yang dibatasi dengan perjanjian waktu dan upah tertentu tanpa memperhatikan perwalian dan saksi, untuk kemudian terjadi perceraian apabila telah habis masa kontraknya tanpa terkait hukum perceraian dan warisan. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi dengan beberapa tambahan) Nikah mut'ah yang disyari'atkan agama Syi'ah ini sangat mirip dengan zina yaitu kawin untuk melakukan hubungan seks dengan berdasarkan mahar tertentu. Masa berlakunya bisa setengah jam, bisa satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan dan seterusnya, sesuai dengan akad perjanjian di kedua belah pihak tergantung kesanggupan membayarnya. (Catatan atas jawaban lengkap Dr. Hasan terhadap seminar sehari tentang Syiah, hal. 46.) Al-Kulaini dalam Al-Furu' min al-Kaafi, 5/489, meriwayatkan bahwa Zurarah pernah bertanya kepada Abul-Hasan Ar-Ridla, "apakah boleh masa mut'ah sesaat atau dua saat (yaitu ukuran waktu yang pendek)? Maka dijawab: "Yang boleh bukan sesaat atau dua saat, tetapi perjanjian mut'ahnya adalah sekali jima' atau dua kali atau sehari atau dua hari, semalam atau dua malam dan yang semisalnya." Nikah Mut'ah : bentuk pernikahan yang dibatasi dengan perjanjian waktu dan upah tertentu tanpa memperhatikan perwalian dan saksi. . . terjadi perceraian apabila telah habis masa kontraknya tanpa terkait hukum perceraian dan warisan. Hukum Nikah Mut'ah Pada awal Islam, nikah mut’ah dihalalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan beberapa sabdanya, lalu hukum ini dihapus dengan beberapa hadits yang melarangnya dan mengharamkannya hingga hari kiamat. Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya nikah mut'ah di awal Islam adalah: Pertama, Hadis Abdullah Bin Mas'ud radliyallah 'anhu, berkata: ''Kami berperang bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sedangkan kami tidak membawa serta istri– istri kami. Lalu kami berkata; ''bolehkah kami berkebiri?" Namun Rasululullah shallallahu 'alaihi wasallam melarangnya, tapi kemudian beliau memberikan keringanan untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai batas waktu tertentu" (HR. Ahmad) Kedua, Hadis Jabir dan Salamah bin al Akwa' radliyallah 'anhuma, berkata, "pernah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menemui kami dalam sebuah peperangan, lalu bersabda, س َت ْمتِ ُعوا ْ ستَ ْمتِ ُعوا فَا ْ َإِنﱠهُ قَ ْد أُ ِذنَ لَ ُك ْم أَنْ ت ''Telah di izinkan bagi kalian untuk menikah mut'ah maka sekarang mut'alah." (HR.Bukhori no. 5117) Al-Imam Al-Muzani rahimahullah berkata: “Telah sah bahwa nikah mut’ah dulu pernah diperbolehkan pada awal-awal Islam. Kemudian datang hadits-hadits yang shahih bahwa nikah tersebut tidak diperbolehkan lagi. Kesepakatan ulama telah menyatakan keharaman nikah tersebut.” (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi) Ketiga, sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Namun sekarang Allah ‘Azza wa Jalla telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat.” (HR. Muslim) Adapun nikah mut’ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, maka hal itu disebabkan mereka belum mendengar berita tentang diharamkannya nikah mut’ah untuk selama-lamanya. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1405 karya An-Nawawi) Sedangkan gambaran nikah Mut’ah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dapat dirinci sebagai berikut: 1. Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404) 2. Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404) 3. Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405) 4. Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406) “Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Namun sekarang Allah ‘Azza wa Jalla telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat.” (HR. Muslim) Adapun dalil-dalil yang mengharamkan nikah mut'ah ini adalah sebagai berikut: Pertama, Hadis Ali bin Abi Thalib radliyallah 'anhu, yang berkata kepada Ibnu 'Abbas, "sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang nikah mut'ah dan memakan daging khimar jinak pada waktu perang khaibar. (HR.Bukhari no. 5115,Muslim no. 1407) Kedua, Hadis Sabrah bin Ma'bad Al-Juhaini radliyallah 'anhu, dari ayahnya dari kakeknya, berkata, صلﱠى ﱠ سو ُل ﱠ ح ِحينَ د ََخ ْل َنا َم ﱠكةَ ثُ ﱠم لَ ْم ُ نَ ْخ ُر ْج ِم ْن َھا َحتﱠى نَ َھا َنا َع ْن َھاأَ َم َرنَا َر َ ﷲُ َعلَ ْي ِه َو َ ِﷲ ِ سلﱠ َم بِا ْل ُم ْت َع ِة عَا َم ا ْلفَ ْت 'Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kami untuk nikah mut'ah pada Fathu Mekah saat kami masuk mekah. Dan tidaklah kami keluar darinya sehingga melarang kami darinya." Dalam Riwayat lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ''Wahai sekalian manusia, sesungguhnya saya dahulu telah mengizinkan kalian mut'ah dengan wanita. Sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat ,maka barang siapa yang memiliki istri dari mut'ah maka hendaklah dia ceraikan.'' (HR.Muslim no. 1406, Ahmad 3/404, Thabrani dalam al-Kabir no. 6536, al-Baihaqi 7/202, dan al-Darimi 2/140) Ketiga, hadis Salamah bin Akwa radliyallah 'anhu berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberikan keringanan untuk mut'ah selama tiga hari pada perang Authos kemudian beliau melarangnya." (HR.Muslim no. 1023) Keempat, seluruh umat Islam telah sampai pada posisi ijma' tentang pengharamannya. Semua sepakat menyatakan bahwa dalil yang pernah menghalalkan nikah mut'ah itu telah dimansukhkan sendiri oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Tidak ada satu pun kalangan ulama Ahli Sunnah yang menghalalkannya kecuali oleh ulama syi'ah sendiri. Kelima, Ibnu Umar telah berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberi izin untuk nikah mut'ah selama tiga hari lalu beliau mengharamkannya. Lebih lanjut tentang pelaku nikah mut'ah ini, fuqaha dari kalangan shahabat Umar radliyallah 'anhu yang agung itu berkata, "Demi Allah, takkan kutemui seorang pun yang menikah mut'ah padahal dia muhshan kecuali aku merajamnya." Imam Al-Baihaqi menukil dari Ja'far bin Muhammad bahwa beliau ditanya tentang nikah mut'ah dan jawabannya adalah bahwa nikah mut'ah itu adalah zina itu sendiri. . . . bahwa nikah mut'ah itu adalah zina itu sendiri. "Demi Allah, takkan kutemui seorang pun yang menikah mut'ah padahal dia muhshan kecuali aku merajamnya." Ibnu Umar Keenam, bertentangan dengan fitrah manusia. Hal ini dapat dibuktikan dengan enggannya seorang ayah menikahkan anak wanitanya secara mut'ah. Seandainya orang-orang yang menghalalkan nikah mut'ah itu punya anak wanita yang disayanginya, dipelihara dengan kasih sayang, dibesarkan dan diberikan pendidikan serta rizki yang cukup, lalu setelah besar hanya dijadikan piala bergilir oleh laki-laki manapun yang mau membayarnya dengan beberapa uang receh, tentu saja hatinya menjerit untuk menolak nikah mut'ah. Sungguh aneh melihat ada orang tua yang rela anak perempuannya disetubuhi hanya berdasarkan kesepakatan kontrak dan menerima bayaran dari jasa kenikmatan. Sungguh nikah mut'ah tidak ada bedanya dengan pelacuran yang dilegalkan. Sungguh nikah mut'ah tidak ada bedanya dengan pelacuran yang dilegalkan. Fatwa Para Ulama Madzhab tentang Nikah Mut'ah A. Ulama Madzhab Hanafi : 1. Imam Al-Sarakhsi berkata : ''Nikah mut'ah ini batil menurut madzhab kami." (al Mabshut 5/152) 2. Imam Al-Kasani berkata: ''Tidak boleh nikah yang bersifat sementara yaitu nikah mut'ah." (Bada'i al Shana'I 2/272) 3. Imam Abu Ja'far Ath-Thahawi berkata; ''Sesungguhnya semua hadis yang membolehkan nikah mut'ah telah di mansukh ( di hapus)." (Ma'ani Atsar 3/26) 4. Beliau juga berkata pada hal 27, "lihatlah umar beliau melarang nikah mut'ah di hadapan semua sahabat tanpa ada yang mengingkari. Ini adalah dalil bahwasanya mereka mengikuti larangan Umar, dan kesepakatan mereka untuk melarang hal tersebut adalah hujjah atas di hapusnya kebolehan mut'ah." B. Ulama Madzhab Maliki: 1. Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, "Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu maka nikahnya batil. (Al-Mudhawannah Alkubra 2/130) 2. Imam Ibnu Rusyd rahimahullah berkata, "Hadis–hadis yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai peringkat yang mutawatir." (Bidayatul Mujtahid 4/325) 3. Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, ''Adapun semua shahabat, Tabi'in dan orang-orang yag setelah mereka mengharamkan nikah mut'ah, di antara mereka adalah Imam Malik dari Madinah, Abu Hanifah dan Abu Tsur dari Kufah, Al-Auza'i dari Syam, Laits bin Sa'ad dari Mesir serta seluruh ulama hadits." (Al-Tamhid 10/121) C. Ulama Madzhab Syafi'i: 1. Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata, "Nikah mut'ah yang di larang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu baik pendek maupun panjang." (Al-Umm 5/85) 2. Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Nikah mut'ah tidak di perbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya suatu akad yang bersifat mutlak. Maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu." (Al-Majmu, 17/356) 3. Imam Al-Khathabi rahimahullah berkata,"keharaman nikah mut'ah semacam kesepakatan antara kaum muslimin, memang nikah ini dihalalkan di awal masa Islam, Akan tetapi diharamkan pada sa'at haji wada dan demikian itu terjadi di akhir–akhir masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan sekarang tidak ada perbeda'an antar para ulama mengenai keharaman masalah ini kecuali sedikit dari kalangan orang–orang Syiah Rafidhah." (Ma'alimus Sunan, 2/558) D. Ulama Madzhab Hanbali 1. Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan bahwa nikah mut'ah ini batil sebagaimana di tegaskan oleh Imam Ahmad, beliau berkata, "nikah mut'ah haram." (Al-Mughni, 6/644) 2. Bahkan sebagian ulama menukil ijma tentang keharaman nikah mut'ah seperti Imam Al-Baghawi sebagaimana di nukil Syaikh Shidiq hasan Khan (Raudhah Nadiyah, 2/165. Ma'at Ta'liqat), Imam Al-Qurthubi dan Ibnul Al-Arabi (dalam Bidayatul Mujtahid, 2/48) dan Sayyid Sabiq (Fiqhus Sunnah 2/130). Kesimpulan 1. Di Indonesia Pernikahan Mut’ah tidak sah, hal ini sesuai dengan Undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Bab I tentang Dasar Perkawinan pasal 2 ayat 1 dan 2. Hal ini juga diperkuat oleh Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Bab II tentang Dasar-dasar Perkawinan Pasal 4. Sedangkan Pernikahan Mut’ah hanyalah didasarkan pada perjanjian sesaat (kontrak). Dan hal tersebut merugikan pihak wanita dan keturunannya karena status hukumnya kurang jelas. 2. Bahwa Nikah Mut’ah akan menimbulkan akibat hukum terhadap isteri, anak dan harta kekayaan baik selama masa kontrak maupun setelah berakhirnya masa kontrak. a. Isteri Mut’ah juga wajib melayani segala keperluan suami mut’ah nya sebagaimana layaknya isteri pada umumnya, tanpa hak untuk meminta apalagi menuntut nafkah bagi dirinya. Jika batas waktu yang telah disepakati berakhir, berakhir pula pernikahan itu tanpa ada talak.b. Anak yang diperoleh dari pernikahan mut’ah, baik laki-laki maupun perempuan, mengikuti garis keturunan ayahnya dan bernasab kepadanya. Ia memperoleh warisan dari ibunya, dan memperoleh segala hal yang berkaitan dengan hubungan anak, ayah dan ibu. c. Nikah Mut’ah tidak mengakibatkan hubungan warisan antara suamiisteri.