WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DI INDONESIA Penyunting: Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M.A. Diterbitkan oleh: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika Judul: Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) xix+188 hlm. ; 17x24 cm Cetakan Pertama, 2012 ISBN: 978-979-9052-81-0 Penulis: Lukman Adam, S.Pi., M.Si. Lisbet Sihombing, S.IP., M.Si. Dra. Adirini Pujiyanti, M.Si. Dedeh Haryanti, S.Sos., M.Si. Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M.A. Penyunting: Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M.A. Desain Sampul: Fery C. Syifa Penata Letak: Zaki Diterbikan oleh: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia Gedung Nusantara I Lt. 2 Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta Pusat 10270 Telp. (021) 5715409 Fax. (021) 5715245 Bersama: Azza Grafika, Anggota IKAPI DIY, No. 078/ DIY/ 2012 Kantor Pusat: Jl. Seturan II CT XX/128 Yogyakarta Telp. +62 274-6882748 Perwakilan Jabodetabek: Graha Azza Grafika Perumahan Alam Asri B-1 No. 14 Serua Bojongsari Kota Depok 16520 Telp. +62 21-49116822 Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidanan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). UCAPAN TERIMA KASIH Tulisan berikut ini adalah laporan penelitian lengkap yang telah dilakukan oleh kelompok lintas tim Hubungan Internasional (HI), Politik Dalam Negeri (PDN), dan Ekonomi dan Kebijakan Publik (EKP). Judul penelitian adalah “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Indonesia,” yang hasilnya dikontribusikan bagi pelaksanaan fungsi-fungsi DPR, menyangkut baik legislasi, penyusunan dan pengawasan penggunaan anggaran negara, terutama terkait amandemen UU mengenai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan penyusunan dan pembahasan UU mengenai kepulauan, serta pelaksanaan UU perbatasan. Kegiatan penelitian dilaksanakan sejak bulan Januari hingga September 2012. Sedangkan kunjunghan ke lapangan (field researches) dilakukan pada Juli dan Agustus 2012 Adapun seluruh kegiatan penelitian dibiayai oleh negara, atau menggunakan DIPA 2012. Terima kasih kami sampaikan kepada pihakpihak yang telah memungkinkan pelaksanaan penelitian ini. Penyusunan laporan penelitian ini diupayakan selekasnya agar dapat segera dipergunakan sebagai bahan masukan oleh anggota DPR untuk pembahasan berbagai UU di atas dan juga pengawasan pelaksanaannya di komisi-komisi, Panja, dan Pansus DPR. Diharapkan, laporan penelitian ini dapat dimanfaatkan secara maksimal, sehingga dapat mencapai tujuannya. Adapun penelitian mengenai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ini dapat dilakukan pada tahun 2012 berkat dukungan pembiayaan dari Sekretariat Jenderal (Setjen) DPRRI, melalui anggaran P3DI yang telah direncanakan dalam DIPA 2012. Komponen pembiayaannya meliputi pembelian buku-buku untuk studi kepustakaan, pelaksanaan FGD, penelitian lapangan, pembiayaan transportasi, akomodasi, penyusunan laporan penelitian dan lain-lain. Semua dukungan pembiayaan ini dapat direalsiasikan dengan adanya dukungan pembiayaan sepenuhnya dari pos APBN yang ada dalam belanja Satker Setjen. Karena itu, ucapan terima kasih kami sampaikan untuk pimpinan Setjen DPRRI yang telah mendukung sepenuhnya pembiayaan penelitian ini, serta juga dengan dukungan administrasi yang telah diberikan bagi terselenggaranya dengan mudah penelitian ini di lapangan, khususnya dari Deputi Pengawasan Anggaran dan Kepala Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Pelayanan Informasi (P3DI). iii Ucapan terima kasih kami sampaikan selanjutnya kepada narasumber kami di tingkat pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten, khususnya kantorkantor kementerian, dinas-dinas dan berbagai LSM, baik dari kalangan sipil maupun militer. Tidak kalah pentignya adalah dukungan petugas di lapangan dari kantor pemerintah dan swasta. Secara khusus ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Tim Kordinasi Penelitian (TKP) dan staf di P3DI yang telah berperan sejak awal dalam menyiapkan penelitian ini agar dapat diselenggarakan dengan baik hingga penelitian ini selesai tuntas. Akhirnya, ucapan terima kasih kami sampaikan pada Tim (Editorial) Buku yang berperan dalam memeriksa dan memberikan saran-saran perbaikan, sehingga buku ini dapat diterbitkan dengan hasil terbaik pada waktunya. iv KATA PENGANTAR Pada tanggal 16 Juni 2011, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan uji materiil atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang diajukan oleh Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat dan sejumlah nelayan tradisional. Majelis Hakim MK menyatakan bahwa pemberian hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) oleh pemerintah bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1 Dalam pendapat MK, pemberian HP3 oleh pemerintah kepada pihak swasta bertentangan dengan konstitusi, terutama tak sejalan dengan Pasal 33 Ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pemberian HP3 ini dikhawatirkan akan mengakibatkan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah HP3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar. Sebagai dampaknya, masyarakat nelayan tradisional yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta masyarakat yang menggantungkan mata pencahariannya di pesisir akan tersingkir. Padahal, seharusnya, upaya yang ditempuh negara dalam pengelolaan perairan pesisir dan pulau terkecil bukan HP3, tetapi dalam bentuk dikeluarkannya perijinan. HP3 merupakan pemberian hak kebendaan yang mengalihkan penguasaan negara secara penuh kepada swasta dalam kurun waktu tertentu, sedangkan perijinan sebaliknya. Sehingga, pasal yang dinyatakan oleh MK tidak mempunyai kekuatan mengikat adalah Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran 1 Koran Jakarta online, http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/64686 diakses tanggal 27 Juli 2011. v Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739). Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini belum menerapkan pendekatan integrated coastal management, yang ditandai dengan tidak adanya pembaruan atas penguasaan dan pengusahaan yang timpang dan adanya ketidaksinkronan dengan UndangUndang lainnya. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 juga lebih menekankan aspek investasi dan lebih pro-dunia usaha, sehingga tidak ada ruang bagi masyarakat, khususnya nelayan kecil tradisional dan masyarakat adat dalam pengusulan rencana pengelolaan, dan menyerahkan masalah kedaulatan wilayah teritorial hanya pada setingkat Peraturan Pemerintah. Dengan demikian, masyarakat pesisir hanya menjadi penonton, karena tidak mempunyai modal besar dan teknologi untuk bersaing dengan para pemilik modal. Hal ini mengakibatkan kemiskinan nelayan akan bertambah parah. Undang-Undang ini dianggap menyisakan beberapa permasalahan, yang dapat disebut di sini adalah: Pertama, ia selalu mengkaitkan dengan adaptasi terhadap situasi global, namun tidak jelas apa konteks global yang dimaksud. Jika ditelisik lebih dalam, konsep global di sini lebih mendukung globalisasi; Kedua, terjadinya privatisasi dalam ranah yang harusnya dikuasai negara, serta meningglakan persoalan tata ruang; Ketiga, munculnya masalah perlindungan kelompok rentan di pedesaan pesisir; Keempat, munculnya masalah kemiskinan dan ancaman atas kedaulatan negara di pulau kecil; Kelima, perlunya sinkronisasi dengan peraturan perundangan lainnya yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir.2 Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian Riza Damanik, Arif Satria, dan Budi Prasetiamarti dalam buku Menuju Konservasi Laut yang Pro Rakyat dan Pro Lingkungan terdapat daftar penguasaan pulau dan Taman Nasional di Indonesia, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1:Daftar Penguasaan Pulau dan Taman Nasional oleh Sektor Swasta, termasuk Asing3 No. 1. TN. Kepulauan Seribu 3. TN. Taka Bone Rate 2. 2 3 Nama Taman Nasional TN. Karimunjawa Luas (hektar) 108.000 111.625 530.765 Penguasaan PT. Raja Besi, PT. Awani, PT. Pura, Mr. Soren Lax, Mr. Hendrawan, Mr. Jel Mahkamah Konstitusi, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_ Nomor%203%20PUU%- 20pesisir%202010-TELAH%20BACA.pdf, diakses tanggal 27 Juli 2011. Lihat Putusan MK mengenai Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, hal. 34-35. vi 4. 5. 6. 7. TN. Wakatobi TN. Bunaken TN. Teluk Cenderawasih TN. Ujung Kulon 9. TN. Togean 8. 1.390.000 89.065 1.453.500 TN. Komodo PT WDR dan OPWAL PT Putri Niaga Komodo (TNC & Jaitasha/Faisal Hasim) Penting diketahui, suatu wilayah pesisir, memiliki satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami ataupun buatan (man-made). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun (sea grass), pantai berpasir (sandy beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuari, laguna dan delta. Di dalam ekosistem pesisir tersebut terdapat aspek sumber daya manusia, khususnya masyarakat lokal, kerjasama dengan lembaga asing, pemberdayaan masyarakat, perikanan, dan konservasi. Berbagai aspek tersebut semestinya memperoleh perhatian dalam pengelolaan wilayah pesisir, dengan perlunya membuat pengelompokkan pengelolaan dalam tiga fungsi, yaitu: ekonomi, sosial, dan ekologi, dengan tetap memperhatikan demokrasi ekonomi berdasarkan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dengan kesatuan ekonomi nasional. Buruknya model pengelolaan wilayah konservasi yang dijalankan pemerintah Indonesia, tidak hanya berkutat pada kualitas pengelolaan, melainkan juga wilayah pengelolaan wilayah pesisir yang banyak bertabrakan dengan hajat hidup nelayan tradisional dan masyarakat pesisir. Permasalahan kian rumit saat Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang selanjutnya direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang salah satunya menjabarkan kewenangan pengelolaan sumber daya laut. Semangat otonomi yang dikandung dalam UndangUndang tersebut dijabarkan melalui desentralisasi hubungan pengelolaan wilayah pesisir. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa provinsi dan kabupaten memiliki otonomi dalam pengelolaan wilayah pesisir sejauh 12 mil dan sepertiganya merupakan kewenangan kabupaten dan kota dan sebagainya, diuraikan dalam Pasal 18 ayat (3). Padahal, implementasinya dari Undang-Undang tersebut, pengelolaan sumber daya pesisir seharusnya dilakukan secara berkelanjutan dan bersifat sinergis, dan dapat pula bersifat sebaliknya. Implikasi akan bersifat sinergis apabila pemerintah dan masyarakat wilayah otonomi menyadari arti penting dari pengelolaan sumber daya pesisir secara berkelanjutan. Sehingga, pemanfaatan sumber daya alam pesisir tersebut harus dilakukan secara bijaksana dengan vii menerapkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Implikasi negatif akan muncul apabila daerah berlomba-lomba mengeksploitasi sumber daya tanpa memperhatikan kaidah pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, penelitian ini akan melihat apakah pengelolaan daerah sesuai dengan kewenangannya terhadap daerah pesisir. Objek HP-3 semestinya tidak boleh rancu diartikan atau tumpang-tindih dengan objek perijinan di bidang perikanan, kehutanan, pertambangan, dan pariwisata. Tumpang-tindih objek tersebut di antaranya mencakup hal-hal sebagai berikut: (1) antara HP-3 dengan perijinan bidang kehutanan, yaitu terkait pemanfaatan hutan mangrove serta fauna/flora yang terdapat di kawasan perairan pantai, dan penggunaan jasa lingkungan di kawasan hutan mangrove tersebut; (2) antara HP-3 dengan perijinan bidang pertambangan, yaitu pemanfaatan pasir sebagai sumber daya di kawasan pantai dan mineral dalam laut; (3) antara HP-3 dengan perijinan bidang pariwisata, yaitu pengembangan wisata pantai. Di samping itu, karena luas cakupan objek HP-3 terutama yang terkait dengan pemanfaatan daratan, permukaan bumi yang disebut tanah, maupun tubuh bumi, termasuk yang di bawah air, maka terjadi tumpang tindih dengan objek pengaturan di bidang pertanahan. Selama ini, dalam praktik telah diberikan hak atas tanah sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960), yang dapat berupa Hak Guna Bangunan (HGB), di wilayah dermaga dan perairan pantai, rumah-rumah nelayan dan pelatarannya, bangunan-bangunan di perairan pesisir; Sedangkan Hak Guna Usaha (HGU) diberikan untuk budidaya perikanan pantai, keramba ikan, budidaya rumput laut, dan budidaya mutiara. Patut digarisbawahi, penyebutan HP-3 sebagai “hak” adalah tidak tepat, sebagaimana dikutip dari putusan MK tentang UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam konteks ini, lebih tepat digunakan istilah “ijin” untuk memanfaatkan --dalam hal ini mengusahakan-perairan pesisir. Sebagai contoh, dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, “hak” dalam Undang-Undang yang lama, yaitu UndangUndang Nomor 5 Tahun 1967, telah dikoreksi dengan penyebutan “ijin”, misalnya, Ijin Usaha Pemanfaatan Kawasan, Ijin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu, Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu, dan Ijin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu. Sebagai ijin pemanfaatan/pengusahaan perairan pesisir, HP-3 selayaknya tidak ditumpangi dengan makna berikut: dapat dialihkan, dihibahkan, ditukarkan, disertakan sebagai modal perusahaan, dijadikan objek hak tanggungan, maupun diwariskan. Sebab, jika pemanfaatan HP-3 menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomis, HP-3 dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999. viii Dalam pemberian HP3, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya mempunyai kontribusi dalam pemberian hak tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian HP3 yang memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholders) seperti nelayan tradisional, kelompok masyarakat lokal, dan pemerintah daerah, agar potensi wilayah pesisir dapat dimanfaatkan secara berimbang,denganmemperhatikanbaikaspekekonomimaupunekologi.Sehingga, perlu dicari win-win solution mengenai hak pengusahaan perairan pesisir. Secara spesifik, perlu dilakukan penelitian kelompok untuk mengkaji substansi yang perlu diatur lebih lanjut dalam amandemen UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini harus dilakukan dengan pembentukan peraturan yang terkait dengan HP3 agar dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional dan masyarakat lokal. Mengingat eksistensi pulau-pulai pesisir dan kecil tersebar di banyak wilayah di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang luas dengan garis pantai yang panjang dan posisi pulau-pulau terluarnya berbatasan langsung dengan banyak negara tetangga, maka masalahnya akan menyangkut kedaulatan nasional. Lebih jelas lagi, ancaman yang terjadi di sana, terutama yang berasal dari luar (negara lain) akan merupakan ancaman terhadap eksistensi negara kesatuan dan pemahaman Indonesia sebagai negara maritim dengan konsep Wawasan Nusantaranya. Dalam konsep ini, seluruh pulau-pulau, termasuk pesisir dan kecil, adalah merupakan bagian yang utuh dan terintegrasi secara ideologi, politik, ekonomi, budaya dan pertahanan-keamanan. Sehingga, sebuah masalah, apalagi ancaman, dengan satu pulau kecil, sekalipun di wilayah yang jauh sekali dari Jakarta, pusat pemerintahan, terkait dengan cara pengelolaan dan nasib penduduknya, dapat merupakan pula ancaman atas kedaulatan nasional, yang dapat dikategorikan sebagai ancaman nasional (national threat). Jadi, masa depan pulau-pulau pesisir dan kecil di wilayah perbatasan menjadi sangat penting untuk diperhatikan, sebab ia akan segera menjadi isu internasional, tidak hanya nasional, jika muncul klaim kepemilikan dari negara lain. Dalam konteks perkembangan dunia dewasa ini yang memperlihatkan kesalingterhubugan atau kerja sama ekonomi antar-negara, mengingat tidak ada sebuah negara pun yang bisa mengisolasi diri dan memenuhi kebutuhannya sendiri secara menyeluruh, perlu dipikirkan inisiatif kerja sama dengan negara lain dalam pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam hal ini, segala potensi, masalah dan hambatan yang bakal dijumpai eprlu dikaji secara mendalam dan kritis. Karena itulah, penelitian ini perlu juga mengaji aspek hubungan antarnegara atau internasional untuk pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang dapat dijadikan masukan dalam amandemen UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. ix Untuk menjawab dan menemukan solusi atas permasalahan di atas, diungkapkan beberapa pertanyaan penelitian berikut ini: 1. Ingin diketahui, apa saja ijin/hak pengusahaan pesisir yang dapat diberikan kepada masyarakat lokal, nelayan tradisional, dan pelaku usaha? 2. Lebih spesifik lagi ingin diketahui, bagaimana mekanisme pemberian ijin/hak pengusahaan pesisir yang tidak merugikan kepentingan seluruh pemangku kepentingan? 3. Apa saja masalah atau ancaman kepentingan yang dihadapi oleh stakeholders terkait pengelolaan pulau-pulau pesisir dan kecil di Indonesia, terutama di wilayah yang diteliti? 4. Apakah ancaman keamanan ynag bersifat lokal maupun nasional yang berasal dari negara luar terhadap masa depan terhadap pulau-pulau pesisir dan kecil di Indonesia, terutama di wilayah –perbatasan-- yang diteliti? 5. Lalu, bagaimana kerja sama dengan negara lain dalam pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil? 6. Bagaimana pemanfaatan secara ekonomi terhadap sumber daya di wilayah pesisir? Penelitian masalah di atas berkontribusi dalam membantu DPR dalam melaksanakan tugas pokok di bidang legislasi, sebab, akibat putusan MK di atas, telah terjadi kekosongan hukum dalam pelaksanaan mengenai hak/ijin pengusahaan perairan pesisir, khususnya terhadap pelaku usaha yang telah memperoleh hak tersebut. Laporan penelitian yang dihasilkan berguna untuk mempersiapkan naskah akademik/kajian mengenai RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Mengingat penelitian mengenai pulau-pulau pesisir dan kecil menyangkut pulau-pulau yang ada di perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga, sebab Indoensia merupakan negra kepuluan yang luas, laporan penelitian kelompok yang komprehensif ini kelak dapat dimanfaatkan tidak hanya oleh Komisi IV terkait lingkungan hidup, kehutanan, pertanian, dan perikanan, namun juga Komisi I yang membahas terutama masalah luar negeri dan pertahanankeamanan. Dengan demikian, laporan penelitian tim atau kelompok yang komprehensif ini dapat dimanfaatkan untuk anggota Komisi I, Komisi IV dan Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) yang juga membidangi masalah-masalah antar negara dan pertahanan dan keamanan nasional. Secara khusus, laporan penelitian adapat dikontribusikan bagi Badan Legislasi, yang tugasnya bertanggung jawab dan berperan dalam penyusunan legislasi, dan Panitia Khusus RUU mengenai masalah-masalah kelautan dan kejahatan transnasional. x Diketahui, ekosistem di sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antara lain terdiri dari mangrove, terumbu karang, rumput laut, dan padang lamun. Wilayah pesisir Kendari, sebagai salah satu contohnya, kondisinya saat ini sangat memprihatinkan. Kondisi Teluk Kendari terus mengalami pendangkalan akibat abrasi dan menurunnya luasan hutan mangrove. Maraknya kegiatan pertambangan nikel di beberapa Kabupaten di Sulawesi Tenggara mengakibatkan kerusakan lingkungan di daerah pesisir. Hal ini dinilai kian mengkhawatirkan oleh Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo Kendari, La Ode M. Aslan. Kehancuran lingkungan pesisir akibat aktivitas pertambangan nikel di Sultra, menurut Aslan, terjadi di Kabupaten Kolaka, Konawe Utara, Bombana, dan Konawe Selatan. Akibatnya budidaya rumput laut masyarakat mati, terumbu karang juga rusak dan mengakibatkan populasi ikan berkurang.4 Lebih jelas lagi, di Sulawesi Tenggara, menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tenggara, Abdul Salam, sekitar 40 persen terumbu karang yang mengisi 396.915 hektar luas wilayah pesisir pantai Sulawesi Tenggara mengalami kerusakan dan sangat memprihatinkan. Terumbu karang yang mengalami kerusakan tersebut tersebar di wilayah pesisir laut Kabupaten Muna, Konawe Selatan, Bombana, Buton Utara dan Kabupaten Buton. Penyebab utama dari kerusakan terumbu karang yang membentang pada garis pantai sepanjang 1.740 kilometer itu, adalah aktivitas nelayan yang menangkap ikan menggunakan bahan peledak dan racun potasium sianida.5 Penggunaan bahan peledak dan racun sianida dalam menangkap ikan di daerah tersebut, kemungkinan besar terjadi karena rendahnya kesadaran dan pemahaman warga setempat tentang pentingnya menjaga kelesatarian lingkungan laut. Padahal di Sulawesi Tenggara telah ada kegiatan Coral Reef Management and Rehabilitation Programme (Coremap). Coremap Tahap II merupakan kegiatan pelestarian terumbu karang yang didanai oleh World Bank dengan salah satu lokasinya adalah di Wakatobi (Sulawesi Tenggara). Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara sendiri masih kesulitan mengamankan aktivitas para nelayan yang menangkap ikan menggunakan bahan peledak dan racun potasium. Karena, kapal patroli yang dimiliki oleh Dinas Kelautan dan Perikanan untuk melakukan pengawasan sangat terbatas, yaitu hanya memiliki tiga kapal patrol yang konidisinya sudah berumur tua, dan kecepatannya kalah dibandingkan dengan kapal nelayan penangkap ikan secara ilegal. Selain aktivitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan itu, kerusakan terumbu karang juga terjadi 4 5 Sumber: http://www.radiolawero.com/index.php/berita-daerah/3-berita-daerah/618wilayah-pesisir-sultra-ru-sak-akibat-maraknya-aktivitas-pertambangan.html diakses tanggal 7 Februari 2012. Sumber:http://regional.kompas.com/read/2011/12/11/17383253/Terumbu.Karang.Sultra. Memprihatinkan diak-ses tanggal 7 Februari 2012. xi karena masih adanya sebagian warga pesisir yang menggunakan batu karang sebagai bahan bangunan atau timbunan. Sementara itu, untuk contoh lain, di NTT, tepatnya di Alor, terdapat Kawasan Konservasi Laut Daerah, yang dikenal sebagai Taman Laut Selat Pantar, dengan luas mencapai 21.850 hektar yang berpotensi sebagai jalur migrasi ikan paus dan keanekaragaman ekosistem terumbu karang. Di wilayah kabupaten ini terdapat paling sedikit 7 kecamatan yang mendapat prioritas pertama, 1 kecamatan untuk prioritas kedua, dan 10 kecamatan untuk prioritas ketiga proyek internasional penanganan rehabilitasi terumbu karang (COREMAP). Dalam kaitannya dengan situasi di beberapa daerah tersebut, diketahui, salah satu sebab dibatalkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah diabaikannya masyarakat lokal dalam pengusahaan perairan pesisir. Di NTT, kearifan masyarakat lokal dalam pengusahaan perairan pesisir sangat kuat, seperti Badu, Muro, Kolo Umen Bale Lamaq, Poan Kemer Puru Larang, Toto, Bito Berue, Lepa Nua Dewe, Bruhu Bito dan Leffa Nuang. Masyarakat setempat sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keraifan lokal, tradisi,dan aturan-aturan adat, karena itu kepatuhan dan ketaatan terhadap adat sangat tinggi pula. Mereka menyadari dan memiliki persepsi bahwa kearifan lokal merupakan suatu pranata, norma yang dapat mengatur eksistensi kehidupan manusia dengan eksistensi kehidupan makhluk lain di alam ini. Dengan dilakukannya penelitian ini, maka pemberian hak pengusahaan perairan pesisir diprioritaskan kepada masyarakat lokal. Pemerintah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menentukan masyarakat lokal yang diberikan hak. Pemahaman masyarakat lokal ini adalah kelompok atau gabungan kelompok. Pelaku usaha diberikan kewenangan untuk mengusahakan perairan pesisir dengan melakukan kemitraan. Terkait kerjasama internasional yang diperlukan nantinya dalam pengelolaan pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir, perlu diperhatian pemikiran K.J. Holsti yang relevan dengan riset ini. Adapun Holsti menggarisbawahi adanya komitmen terhadap sumber daya, gagasan-gagasan, dan ide menuju kepada suatu tujuan bersama menurut aturan-aturan dan pengeluaran biaya yang telah disepakati bersama.6 Kerjasama internasional dibutuhkan karena adanya rasa saling tergantung antara satu dengan negara lainnya di dalam memenuhi kebutuhannya masing-masing. Dengan demikian, semua pihak akan merasa diuntungkan dari kerjasama tersebut. Jika ditinjau dari wilayahnya, kerja sama internasional dapat berlangsung dalam lingkup global, inter-regional, regional maupun bilateral. Sedangkan 6 K. J. Holsti, “International Politics; A Framework for Analysis. Fifith Edition”, (New Jersey: Prentice Hall, 1988), hal 433. xii apabila ditinjau dari banyaknya pihak yang terlibat --baik state actor maupun non-state actor-- kerja sama internasional dapat dibagi menjadi kerja sama bilateral, trilateral, quadrilateral, dan multilateral. Pada umumnya, kerja sama internasional akan berjalan dengan baik jika terdapat persamaan kepentingan diantara aktor-aktor yang terlibat. Sedangkan saran untuk melaksanakan kerja sama internasional dapat dilakukan melalui perjanjian internasional seperti treaty, convention, pact, declaration, dan sebagainya. Selain melalui perjanjian internasional, kerja sama internasional juga dapat ditempuh dengan cara membentuk organisasi internasional dengan bentuk dan struktur yang lebih jelas.7 Penelitian yang telah dilakukan ini merupakan penelitian deskriptisanalitis, yang menggunakan metode kualitatif. Laporan penelitiannya mengungkapkan masalah-masalah yang perlu direvisi dalam amandemen UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil. Juga dibahas di laporan penelitian tentang berbagai persoalan krusial yang tengah dihadapi puilau-pulau wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang juga perlu mendapat perhatian dalam naskah usulan amandemen UU tersebut. Pengumpulan data awal dilakukan dengan studi kepustakaan, dengan membaca dan mempelajari bahan-bahan tertulis yang sudah dimiliki dan dapat diperoleh sebelum melakukan penelitian lapangan. Sesuai dengan keperluan, pada bagian awal, pertengahan dan akhir penelitian dilakukan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) untuk pengumpulan data dan pendalaman pemahaman masalah. Selanjutnya, pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan (on the spot) di pulau-pulau pesisir dan kecil yang dikunjungi dan diteliti. Di dua lokasi penelitian yang dipilih dan, dan juga Jakarta, telah dilakukan serangkaian wawancara mendalam dengan pihakpihak yang terkait dalam pembuatan RUU amandemen ini. Narasumber untuk wawancara mendalam antara lain pihak-pihak dari Dirjen Pesisir dan Pulaupulau kecil, Dirjen Perikanan, aparat pertahanan-keamanan dan kepolisian, pemda provinsi dan kabupaten, serta perwakilan kantor-kantor dinas yang terdapat di wilayah setempat, perwakilan LSM di tingkat nasional dan daerah yang prihatin dengan (perkembnagan) isu dimaksud, dan komunitas lokal, terutama nelayan dan pelaku usaha setempat. Penelitian lapangan telah dilakukan di dua pulau pesisir, terutama yang terletak di wilayah perbatasan dan memiliki permasalahan dalam pengelolaannya, yang ditandai dengan maraknya eksploitasi sumber daya alam dan pengelolaan oleh pihak asing. Semakin kompleks indikasi permasalahan yang dihadapi, dan semakin tingginya ancaman yang dihadapi 7 Teuku May Rudy, “Studi Strategis Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin”, (Bandung: PT Refika Aditama, 2002), hal 73-74. xiii terkait dengan kepentingan nasional dan stakeholders, semakin baik untuk dipilih sebagai lokasi penelitian. Representasi yang berimbang antara wilayah barat, tengah, atau timur Indonesia juga telah dipertimbangkan dalam penentuan lokasi penelitan. Dalam hal ini, Kabupaten Wakatobi, di Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Kepulauan Alor di Provinsi Nusa Tenggara Timur telah dipilih sebagai lokasi penelitian. Keduanya merupakan wilayah yang kaya dengan sumber daya alam, terutama terumbu karang dan ikan, namun ekosistem terancam rusak parah secara menyeluruh oleh maraknya eksploitasi pertambangan dan sumber daya alam lainnya secara ilegal. Kedua wilayah tersebut terletak di kawasan Segitiga Karang Dunia (The Coral Triangle) yang juga merupakan kawasan konservasi, yang selain merupakan aset nasional, juga internasional (dunia). Data yang dikumpulkan dari hasil studi kepustakaan dan penelitian lapangan (observasi dan wawancara mendalam) digunakan saling melengkapi dalam analisis. Analisis terhadap data dilakukan secara kualitatif. Laporan penelitian dalam bentuk buku ini selain berupaya mempresentasikan, mendeskripsikan, serta mengulas data dan temuan secara kritis data dan temuan, juga memberikan rekomendasi kebijakan bagi amandemen RUU dimaksud. Adapun buku rangkuman hasil penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut ini. Bagian Pertama adalah, soal hak pengesahan perairan pesisir dari tinjauan ekonomi, lingkungan, dan sosial. Bagian Kedua mengenai nilai Strategis coral triangle initiative bagi masyarakat wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Selanjutnya, Bagian Ketiga membahas tentang peran lembaga lembaga swadaya masyarakat internasional dalam pengelolaan wilayah pesisir. Adapun Bagian Keempat membahas tentang peran pemda dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil: Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Alor. Sedangkan Bagian terakhir, yaitu Bagian Kelima, membahas mengenai masalah-masalah keamanan tradisional (konvensional) dan non-tradisional (non-konvensional) yang memberikan ancaman bagi eksistensi pulau-pulau pesisir dan pulau-pulau kecil di masa kini dan mendatang. Masing-masing penulis yang menguasai bidang yang ditelitinya (dirisetnya) menuliskan bagiannya sendiri-sendiri tentang topiktopik atau judul-judul dimaksud. Demikianlah Kata Pengantar buku ini dibuat dan disampaikan kepada para pembaca. Selanjutnya, kami sampaikan ucapan ”selamat membaca buku” mengenai berbagai persoalan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sebagai (hasil) laporan akhir penelitian kami ini. Harapan kami, di tengahtengah kesadaran masih adanya kekurangan di sana-sini, kehadiran buku ini semakin melengkapi data, informasi, dan sekaligus referensi mengenai xiv Kepulauan Indonesia, terutama kawasan pesisir, pulau-pulau kecil, dan terluar, yang berada di wilayah perbatasan dengan negara-negara tetangga. Dengan demikian, pengenalan dan kecintaan terhadap Kepulauan Indonesia dan segenap isinya semakin tumbuh, tidak hanya di kalangan akademisi, aparat penjaga keamanan, dan pengambil keputusan, namun juga generasi muda. Jakarta, 25 September 2012 Penyunting xv xvi DAFTAR ISI Ucapan Terima Kasih.............................................................................................................iii Kata Pengantar...........................................................................................................................v Daftar Isi....................................................................................................................................vii Bagian Kesatu HAK PENGUSAHAAN PERAIRAN PESISIR: TINJAUAN ASPEK EKONOMI, LINGKUNGAN, DAN SOSIAL oleh: Lukman Adam, S.Pi., M.Si............................................................................................ 1 BAB I: .PENDAHULUAN........................................................................................ 3 BAB II: .KERANGKA PEMIKIRAN....................................................................... 7 BAB III: .METODOLOGI PENELITIAN..............................................................11 BAB IV: POTENSI KABUPATEN WAKATOBI DAN KABUPATEN ALOR......................................................................13 BAB V: .PERMASALAHAN EKONOMI DAN SOLUSINYA..........................19 BAB VI: STRATEGI PENINGKATAN KEHIDUPAN MASYARAKAT PESISIR.............................................27 BAB VII: MASUKAN BAGI AMANDEMEN UU NO. 27/2007.....................................................................................33 BAB VIII: .KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................37 BIBLIOGRAFI...................................................................................................................39 Bagian Kedua NILAI STRATEGIS CORAL TRIANGLE INITIATIVE BAGI MASYARAKAT WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DI INDONESIA oleh: Lisbeth Sihombing, S.IP., M.Si...................................................................................41 BAB I: .PENDAHULUAN......................................................................................43 BAB II: .METODOLOGI PENELITIAN..............................................................51 BAB III: .CORAL TRIANGLE INITIATIVE............................................................ 53 BAB IV: .RUSAKNYA TERUMBU KARANG......................................................59 BAB V: NILAI STRATEGIS CTI BAGI MASYARAKAT PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL................................................................63 xvii BAB VI: .KESIMPULAN...........................................................................................67 BIBLIOGRAFI...................................................................................................................69 Bagian Ketiga PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT INTERNASIONAL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL oleh: Dra. Adirini Pujayanti, M.Si......................................................................................73 BAB I: .PENDAHULUAN......................................................................................75 BAB II: .MEGADIVERSITY LAUT INDONESIA............................................... 85 BAB III: UPAYA PELESTARIAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL................................................................89 BAB IV: DUKUNGAN INTERNASIONAL DALAM PELESTARIAN LINGKUNGAN..........................................93 BAB V: .PERUBAHAN POLA PIKIR MASYARAKAT LOKAL....................97 BAB VI: .KESIMPULAN DAN REKOMENDASI............................................107 BIBLIOGRAFI................................................................................................................109 Bagian Keempat PERAN PEMDA DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL: KABUPATEN WAKATOBI DAN KABUPATEN ALOR oleh: Dedeh Haryati, S.Sos., M.Si.....................................................................................113 BAB I: .PENDAHULUAN...................................................................................115 BAB II: .TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................123 BAB III: .PROFIL WILAYAH PENELITIAN....................................................133 BAB IV: PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR............................137 BAB V: IMPLIKASI OTONOMI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR.....................................................................141 BAB VI: .KESIMPULAN........................................................................................145 BIBLIOGRAFI................................................................................................................147 Bagian Kelima ANCAMAN KEAMANAN YANG DIHADAPI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL: PERSPEKTIF TRADISIONAL DAN NON-TRADISIONAL. oleh: Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M.A.........................................................151 BAB I: .PENDAHULUAN...................................................................................153 BAB II: .PERSPEKTIF KEAMANAN EKONOMI..........................................161 BAB III: .DAMPAK PERUBAHAN IKLIM........................................................163 xviii BAB IV: BAB V: BAB VI: .KEJAHATAN TRANSNASIONAL.....................................................165 .KEAMANAN LINGKUNGAN.............................................................167 KETERBATASAN PENGAMANAN PULAU TERLUAR.................................................................................173 BAB VII: .KESIMPULAN DAN REKOMENDASI............................................175 BIBLIOGRAFI................................................................................................................177 LAMPIRAN: DAFTAR PERTANYAAN...........................................................................185 KETERANGAN PENULIS...................................................................................................187 xix