PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007 Pewarisan Sifat Pemanjangan Nasi dari Varietas Padi Lokal Yudhistira Nugraha dan Suwarno Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jl. Raya Sukamandi Km 9 Subang Jawa Barat ABSTRACT. Inheritance of Grain Elongation of Local Rice Varieties. Among the most important of grain quality component one is the ability of rice grain to elongate upon cooking (grain elongation). In a breeding program to improve this desirable trait, it is necessary to understand the inheritance pattern of grain elongation. Three varieties that have good grain elongation namely, Khao Dawk Mali 105, Basmati 370, and Dupa were crossed with IR36. Based on segregation analysis of F2 and BC1F2, there was maternal effect on the inheritance of grain elongation. The dominant additive gene action model did not fit for inheritance of grain elongation. Complementary gene action played an important role on the inheritance of grain elongation in the crosses of Khao Dawk Mali 105/IR36 and Dupa/IR36, while duplicate gene action was found on cross of Basmati 370/IR36. The cross of Dupa/IR36 and Basmati 370/IR36 had high broad sense heritability, 0.72 and broad sense 0.52, while the other crosses Khao Dawk Mali 105/IR36 had medium heritability (0.39). All of three crosses had low narrow sense heritability (<0.20). Dupa/IR36 had high selection response as compared to the other two crosses. In order to get better grain elongation, selection should be done at later generation. Keywords: Genetic inheritance, grain elongation, gene total effect, gene interaction ABSTRAK. Salah satu karakteristik mutu beras yang baik adalah kemampuannya untuk memanjang setelah dimasak. Program pemuliaan untuk mendapatkan varietas unggul yang mempunyai sifat mutu tanak baik memerlukan dukungan informasi yang memadai mengenai bagaimana sifat tersebut diwariskan. Untuk mempelajari pewarisan sifat tersebut, varietas yang mempunyai kemampuan nasi memanjang yaitu Khao Dawk Mali 105, Basmati 370 dan Dupa disilangkan dengan varietas IR36. Dari hasil analisis segregasi F2 dan BC1F 2 tidak terdapat efek indung pada ketiga persilangan tersebut. Model aksi gen aditif-dominan tidak cocok dalam pola pewarisan pemanjangan nasi, aksi gen interaksi epistatik nonalelik berperan dalam pewarisan sifat tersebut. Pada persilangan Khao Dawk Mali 105 /IR36 dan Dupa/IR36 aksi gen bersifat komplementer. Pada persilangan Basmati 370/IR36, aksi gen bersifat duplikat. Heritabilitas luas tergolong tinggi pada persilangan Dupa/IR36 (0,72) dan Basmati 370/IR36 (0,52), sedangkan untuk persilangan Khao Dawk Mali 105/IR36 tergolong sedang (0,39). Semua persilangan memiliki pendugaan nilai heritabilitas arti sempit sangat kecil (< 0,20). Demikian juga respon seleksi untuk Dupa/IR36 yang lebih besar dari yang lainnya. Seleksi untuk memperoleh sifat pemanjangan nasi yang baik dilakukan pada generasi lanjut. B Kata kunci: Pewarisan genetik, pemanjangan nasi, efek total gen, interaksi gen eras yang bermutu tinggi memiliki nilai jual yang tinggi sehingga berpeluang meningkatkan pendapatan dan perbaikan kesejahteraan petani. Mutu beras merupakan salah satu prioritas dalam program perakitan varietas, selain hasil gabah yang tinggi dan ketahanan terhadap organisme pengganggu tanaman. Varietas berdaya hasil tinggi dengan mutu beras yang baik akan lebih mudah diadopsi petani. Beras dikatakan bermutu jika mempunyai karakteristik mutu tanak yang baik. Di antara kategori mutu tanak yang baik adalah kemampuan nasi untuk memanjang (grain elongation) setelah dimasak (Juliano and Perez 1984). Nasi varietas Basmati dari India yang memiliki panjang nasi 13,0-15,0 mm memiliki kemampuan memanjang dua kali lipat dibanding sebelum dimasak (Santha et al. 1997). Varietas dengan karakter nasi demikian juga terdapat pada varietas lokal seperti Bahra (Afganistan), Domsia (Iran), D25-4 (Burma), dan beberapa padi jenis japonica (Juliano and Perez 1984). Penyebab pemanjangan nasi beberapa varietas padi belum diketahui. Menurut Juliano (1979), penyebab terjadinya pemanjangan nasi diduga akibat pecahnya dinding sel endosperma beras yang mengakibatkan nasi memanjang tetapi tidak melebar. Tidak ada perbedaan komposisi biokimia endosperma varietas-varietas yang memiliki dan tidak memiliki kemampuan nasi memanjang (Juliano and Perez 1984). Varietas yang mempunyai kemampuan nasi memanjang memiliki suhu gelatinisasi (GT) rendah (<70 oC), kadar amilosa rendah sampai sedang (<25%) dan konsistensi gel rendah (4160 mm) (Juliano 1979). Menurut penelitian Vanaja dan Babu (2003), pemanjangan nasi tidak berkorelasi nyata dengan kadar amilosa dan nilai alkali, tetapi nyata berkorelasi positif dengan kemampuan menyerap air. Penelitian sifat pemanjangan nasi dari 15 varietas padi bulu, cere, dan varietas unggul baru yang ada di Indonesia menunjukkan keragaman yang sempit, berkisar antara 1,3-1,7 (Damarjati dan Purwani 1993). Keragaman genetik sifat pemanjangan nasi dari 350 varietas padi lokal di India telah diteliti oleh Singh et al. (1997), berkisar antara 1,3-2,3. Keragaman genetik yang tinggi akan sangat berguna bagi pemulia dalam memilih tanaman yang diinginkan. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa rekombinasi yang diinginkan pada persilangan antara varietas unggul baru dengan varietas Basmati sulit didapat, diduga pemanjangan nasi diatur oleh banyak gen (poly genic) (Ahn et al. 1993). Meskipun demikian kemungkinan untuk mendapatkan sifat pemanjangan 1 NUGRAHA DAN SUWARNO: PEMANJANGAN NASI VARIETAS PADI LOKAL nasi pada rekombinan-rekombinannya tetap ada. Santha et al. (1997) berhasil memperoleh rekombinan persilangan varietas Basmati yang mempunyai pemanjangan nasi yang baik dan hasilnya lebih tinggi dari varietas Basmati 370. Varietas lokal introduksi yang mempunyai mutu tanak dan pemanjangan nasi yang baik, seperti Basmati 370 dan Khao Dawk Mali 105, sulit beradaptasi jika ditanam di Indonesia, sehingga hasilnya sangat rendah. Varietas tersebut dapat menjadi sumber gen dalam perakitan varietas yang mempunyai mutu tanak dan sifat pemanjangan nasi yang baik, serta berdaya hasil yang tinggi. Untuk itu diperlukan informasi mekanisme pewarisan sifat pemanjangan nasi. Tulisan ini membahas pewarisan sifat pemanjangan nasi varietas Basmati 370, Khao Dawk Mali 105, dan Dupa. BAHAN DAN METODE Empat varietas padi yang mempunyai sifat beras yang berbeda, masing-masing Basmati 370 (varietas lokal India, bentuk beras panjang, rasio pemanjangan > 2), Khao Dawk Mali 105 (varietas lokal Thailand, bentuk beras panjang, rasio pemanjangan sedang), Dupa (variaetas lokal Indonesia, bentuk beras bulat, rasio pemanjangan >2), dan IR36 (varietas populer asal IRRI, bentuk gabah bulat, rasio pemanjangan nasi <1,5) dipakai sebagai tetua persilangan. Populasi untuk studi pewarisan terdiri atas F1dan F2. Enam seri populasi yang terdiri atas tetua, F1,F2 dan silang balik (BC1P1 dan BC1P2) ditanam di dalam kurung kawat Instalasi Penelitian Padi Muara, Bogor, pada MH 2004/05. Populasi tetua dan F1 masing-masing 50 tanaman, F2 500-600 tanaman, dan silang balik masing-masing 120 tanaman. Setiap seri persilangan ditanam dalam baris yang terdiri atas 25 tanaman, satu bibit setiap lubang. Jarak tanam dalam petak percobaan 25 cm x 25 cm, jarak antarpetak 50 cm. Pupuk 300 kg urea, 150 kg SP36, dan 150 kg KCl/ha diberikan dengan tahapan berikut: sepertiga takaran urea, seluruh KCl, dan SP36 diberikan pada saat tanam. Sisa pupuk urea 50% diberikan seminggu setelah tanam dan 50% lagi empat minggu setelah tanam. Populasi tetua dan F1 dipanen bulk untuk mendapatkan gabah F2 sedangkan untuk populasi F2 dan silang balik dipanen satu malai setiap rumpunnya, untuk mendapatkan gabah F3 dan backcross selfing (BC1P1F2 dan BC1P2F2). Setiap individu persilangan dipanen malai, kemudian dirontok dan diambil gabah yang berada di tengah-tengah malai sebanyak kurang lebih 50 butir. Panen dilakukan pada saat masak panen, kemudian gabah sampel dikeringkan sampai kadar air 14%. Untuk 2 memperoleh beras pecah kulit, gabah digiling dengan menggunakan mesin penggiling Yanmar ST-50, kemudian untuk memperoleh beras putih dilakukan penyosohan dengan menggunakan mesin Takayama JK 5005. Pengukuran pemanjangan nasi dilakukan menurut metode kolaborasi International Association for Cereal Chemestry IACC (1982), yang telah dibakukan oleh Juliano dan Perez (1984). Setiap individu beras diukur panjangnya dengan kertas milimeter blok, setelah itu diletakan pada wadah kawat dan direndam dalam air destilasi selama 30 menit pada suhu kamar. Beras ditanak dengan cara memasukkan wadah tersebut ke dalam air mendidih selama 10 menit, kemudian didinginkan. Pemanjangan nasi dihitung berdasarkan panjang 10 sampel dari beras dan nasinya dengan menggunakan rumus: Rata-rata panjang nasi Rasio pemanjangan nasi = Rata-rata panjang beras Data yang diperoleh dari setiap tetua, F2, F3, BC1 P1F2, dan BC1 P2F2 dihitung nilai tengah (x), ragam (2), dan simpangan bakunya () dengan rumus: x = xi = = 2 n xi 2 di mana: n = jumlah pengamatan xi = nilai pengamatan ke-i i = 1,2,3...,(n-1), n xi 2 n 1 n 2 Hasil pengamatan dikelompokkan untuk membuat distribusi frekuensi dan histogram. Nilai frekuensi F1 dan resiprokalnya digunakan untuk mengetahui ada tidaknya efek indung (maternal effect), untuk melihat ada tidaknya perbedaan dilakukan uji t (Gomez and Gomez 1983). Untuk mengetahui aksi gen yang terlibat digunakan uji skala gabungan, dan model epistatik enam parameter menurut anjuran Mather dan Jink (1982) dengan koefisien parameter menggunakan model trigenik untuk sifat biji (Wilson et al. 2000). Matrik N adalah individu dari petak yang diamati, S merupakan ragam dari sampel yang diamati, matrik Y adalah vektor kolom dari ratarata sampel, matrik C adalah genetik model yang merupakan nilai harapan genetik dari model enam parameter, m, [d], [h], [i], [j] dan [l] masing-masing PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007 n(P1) n(P2) n(F2) n(F3) n (BC1(P1)F2) n(BC1(P2)F2) N ó2 (P1) ó2 (P2s) ó2 (F2) ó2 (F3) ó2 (BC1(P1)F2) ó2 (BC1(P2)F2) S P1 P2 F2 F3 BC1(P1)F2 BC1(P2)F2 1 1 1 1 1 1 1 -1 0 0 0.5 -0.5 Y 0 0 1 0.5 0.5 0.5 C merupakan efek rata-rata, efek gen aditif, efek gen dominan, efek gen aditif x aditif, pengaruh gen aditif x dominan, dan efek gen dominan x dominan. Parameter dihitung dengan menggunakan rumus: M = (C’ NS -1 C) -1 C’ NS-1 Y di mana ‘ adalah tranpose matrik dan -1 merupakan matrik invers Nilai heritabilitas dalam arti sempit diduga dengan rumus: h = 2F2 - (2 BC1+ 2 BC2)/2F2 (Warner 1952) Nilai heritabilitas dalam arti luas diduga dengan rumus: H = [2F2 – (2P1 . 2P2)0.5] – 2F2 (Mahmud and Kramer 1951) Tanggapan terhadap seleksi dihitung berdasarkan rumus: R = i h p ( Falconer 1960) di mana: R = tanggapan seleksi i = intensitas seleksi sebesar 5% h = heritabilitas dalam arti sempit p = standar deviasi 1 1 0 0 0.25 0.25 0 0 0 0 0.125 0.125 m [d] [h] [I] [J] [l] 0 0 0.25 0.0625 0.0625 0.0625 M HASIL DAN PEMBAHASAN Efek Indung Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat efek sitoplasmik yang berasal dari indung ketiga populasi persilangan (Tabel 1). Penelitian menunjukkan bahwa efek indung pada sifat biji juga tidak berbeda, di antaranya kadar amilosa pada padi (Somantri et al. 1985) dan laju akumulasi bahan kering pada biji kedelai (Raihani et al. 1996). Pada kedua penelitian tersebut populasi yang digunakan adalah F1, yang sebenarnya biji yang diamati untuk pengamatan adalah benih populasi F 2. Biji tanaman berbeda generasi dengan induk yang menghasilkannya, sehingga pewarisan sifat yang ada di dalam biji lebih rumit dibandingkan dengan sifat agronomi lainnya karena ada efek epistasis, indung, dan sitoplasma (Pooni et al. 1992; Zhu and Weir 1994). Pada kasus ini, kemungkinan tidak adanya efek indung disebabkan oleh tidak adanya gen dalam sitoplasma yang berpengaruh terhadap pewarisan sifat tersebut, dan atau jumlah populasi yang digunakan tidak memadai sehingga perbedaan tidak terdeteksi. Pewarisan Sifat dan Aksi Gen Pengujian kecocokan model aditif-dominan sifat pemanjangan nasi pada ketiga persilangan menunjukkan efek gen aditif bertanda negatif nyata sampai sangat nyata, sedangkan efek gen dominan bertanda positif 3 NUGRAHA DAN SUWARNO: PEMANJANGAN NASI VARIETAS PADI LOKAL Tabel 1. Rata-rata, nilai tengah, standar deviasi, varian dan varian gabungan rasio pemanjangan nasi tetua dan populasi F2, F3 dan silang balik. n Rata-rata Nilai tengah Standar deviasi 2 100 100 100 100 531 495 447 486 460 414 470 443 471 153 120 116 137 113 105 1,608 1,846 2,100 1,407 1,547 1,505 1,626 1,548 1,591 1,496 1,546 1,584 1,753 1,354 1,545 1,633 1,682 1,633 1,714 1,600 1,857 2,115 1,397 1,543 1,528 1,643 1,528 1,613 1,500 1,556 1,597 1,759 1,361 1,533 1,635 1,686 1,635 1,750 0,052 0,066 0,152 0,080 0,122 0,090 0,110 0,102 0,136 0,077 0,090 0,131 0,161 0,063 0,010 0,156 0,121 0,156 0,179 0,003 0,004 0,004 0,006 0,018 0,028 0,015 0,017 0,019 0,011 0,015 0,017 0,020 0,012 0,010 0,016 0,014 0,014 0,010 Generasi P1 (KDM 105) P2 (Basmati 370) P3 (Dupa) P4 (IR36) F2 P1/P4 F2 P4/P1 F2 P2/P4 F2 P4/P2 F2 P3/P4 F2 P4/P3 F3 P1/P4 F3 P2/P4 F3 P3/P4 BC1F2 P4/P1//P4 BC1F2 P4/P1//P1 BC1F2 P2/P4//P4 BC1F2 P2/P4//P2 BC1F2 P3/P4//P4 BC1F2 P3/P4//P3 2gab t (hit) 0,0109 5,68ns 0,01032 9,25 ns 0,01136 9,75 ns ns tidak nyata pada taraf 5%. Tabel 2. Uji skala gabungan kesesuaian model aksi gen aditif dominan dan parameter genetik rasio pemanjangan nasi. Persilangan P1/P4 P2/P4 P3/P4 m |d| |h| 2 1,474 ± 0,004 1,613 ± 0,004 1,616 ± 0,004 -0,139 ± 0,004 -0,210 ± 0,004 -0,213 ± 0,004 0,047 ± 0,007 0,008 ± 0,007 0,006 ± 0,007 380,78** 134,36** 118,44** P1= KDM 105, P2= Basmati 370, P3= Dupa, P4= IR36. * dan ** masing-masing nyata pada taraf 1% dan 5%. m = tengah tetua; [d]= total efek genetik aditif; [h]= total efek genetik dominan. tidak nyata (Tabel 2). Uji chi-kuadrat dari ketiga persilangan tersebut sangat nyata, yang menunjukkan tidak adanya kesesuaian model aksi gen aditif-dominan. Dengan kata lain, aksi gen interaksi nonalelik berperan dalam mengontrol ekspresi fenotipik pemanjangan nasi, sehingga pengujian perlu dilanjutkan berdasarkan model interaksi gen. Parameter genetik pemanjangan nasi yang dianalisis berdasarkan model efek interaksi gen pada persilangan Khao Dawk Mali 105/IR36 dan Dupa/IR36 menunjukkan koefisien parameter genetik efek aditif x aditif [i], efek aditif x dominan [l], dan efek dominan x dominan [j] yang sangat nyata (Tabel 3). Hal tersebut mengindikasikan bahwa efek gen dominan dan interaksi nonalelik sangat berperan ekspresi sifat pemanjangan nasi pada persilangan. Di samping itu, pada dua persilangan tersebut parameter [h] dan [l] mempunyai tanda yang sama (negatif) yang mengindikasikan efek gen bersifat komplementer. Pada persilangan Basmati 370/IR36 nilai parameter [d], [j], dan [l] sangat nyata, mengindikasikan efek gen 4 aditif dan interaksi lebih besar terhadap kontribusi keragaman genetik dibandingkan dengan efek gen lainnya. Tanda [h] dan [l] berlawanan positif dan negatif pada persilangan Basmati 370/IR36. Menurut Mather dan Jink (1982), pembagian interaksi pada analisis enam generasi sangat bergantung pada besaran tanda [h] dan [l ], jika [h] dan [l ] bertanda sama maka interaksi bersifat komplementer, sedangkan jika tanda [h] dan [l] berlawanan maka interaksi bersifat duplikat. Tanda parameter efek [d] bergantung pada tetua P1 dan tetua P2, sedangkan tanda parameter lainnya tidak berbengaruh. Dalam hal ini, tanda [d] harus positif, karena tetua dengan skor ekspresi fenotipik memiliki tingkat pemanjangan nasi yang lebih tinggi sebagai tetua P1, dan tetua dengan skor lebih rendah sebagai tetua P2. Pada persilangan Khao Dawk Mali 105 /IR36, dan Dupa/IR36 tanda parameter total efek genetik dominan [h] bernilai negatif, yang menunjukkan alel-alel yang menurunkan pemanjangan nasi lebih banyak. Untuk persilangan Basmati 370/IR36, total efek gen dominan bertanda positif meskipun tidak nyata. Ini merupakan PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007 Tabel 3. Parameter genetik sifat rasio pemanjangan nasi pada tiga persilangan kultivar padi. Koefisien parameter genetik Persilangan KDM105./IR36 Basmati 370 /IR36 Dupa/IR36 KDM105./IR36 Basmati 370 /IR36 Dupa/IR36 m [d] [h] 1,741 ± 0,037** 1,538 ± 0,053** 2,589 ± 0,050** 0,129 ± 0,007** 0,212 ± 0,005* 0,336 ± 0,008** -1,074 ± 0,197** 0,166 ± 0,301ns -4,748 ± 0,270** [i] [j] [l] -0,263 ± 0,035** 0,095 ± 0,052 ns -0,825 ± 0,049** -12361,232 ± 9,868** -7773,930 ± 10,808** -10975,780 ± 9,430** -2732,497 ± 0,258** -6035,161 ± 0,396** -3047,335 ± 0,346** * dan ** masing-masing nyata pada taraf 1% dan 5% m = tengah tetua; [d]= total efek genetik aditif; [h]= total efek genetik dominan; [i]= efek interaksi aditif x aditif; [j]= efek interaksi aditif x dominan; [j]= efek interaksi dominan x dominan. Tabel 4. Heritabilitas, nilai rata-rata F2 dan F3, dan respon seleksi dengan intensitas seleksi 5%. Persilangan KDM105/IR36 Basmati 370 /IR36 Dupa/IR36 Heritabilitas arti sempit (hns) Heritabilitas arti luas (hbs) F2 F3 2F2 2F3 Respon seleksi (R) 0,033 0,027 0,048 0,387 0,580 0,721 1,547 1,626 1,589 1,546 1,584 1,753 0,015 0,012 0,019 0,018 0,013 0,026 0,029 0,044 4,325 Nilai heritabilitas (Stanfield 1983): 0,50 < H < 1,00 = tinggi, 0,20 < H < 0,50 = sedang dan < 0,20 = rendah kebalikan dari dua persilangan sebelumnya, yaitu alelalel yang meningkatkan pemanjangan nasi lebih banyak. Dalam metode pemuliaan yang bertujuan untuk membentuk galur murni, termasuk tanaman padi, aksi gen dominan dipandang dari variabilitas genetik kurang respon terhadap seleksi, sehingga dianggap kurang penting (Sprangue 1966). Pemulia tanaman padi lebih menaruh perhatian kepada aksi gen aditif karena seleksi dilakukan di dalam populasi dengan mengakumulasikan gen-gen aditif yang diharapkan. Pada persilangan Khao Dawk Mali 105/IR36 dan Dupa/IR36, total efek gen aditif x aditif bertanda negatif nyata, artinya tingkat pemanjangan nasi cenderung ke arah lebih rendah. Dengan demikian, untuk mencari keturunan yang mempunyai tingkat pemanjangan nasi yang tinggi lebih sulit. Aksi gen aditif adalah istilah yang digunakan dalam hubungan gen yang mempengaruhi ekspresi sifat, di mana setiap alel memberikan kontribusi kepada fenotipe sifat. Kontribusi-kontribusi tersebut dikenal sebagai efek-efek aditif, karena fenotipe ditentukan oleh jumlah efek setiap alel dari lokus-lokus gen yang terlibat. Perubahan yang ditimbulkan oleh substitusi alelik setiap lokus tidak dipengaruhi oleh alelalel pada lokus lain. Efek genetik aditif dari setiap alel diteruskan dari tetua kepada keturunannya, karena konstribusi setiap alel tidak bergantung pada interaksi alelik (Allard 1964; Crowder 1981). Pola sebaran F2 dan F3 memperkuat hasil analisis nilai tengah generasi aksi gen komplementer dan duplikat berperan dalam ekspresi pemanjangan nasi, serta distribusi lebih ke arah tingkat pemanjangan nasi yang rendah, kecuali untuk persilangan Basmati/IR36 (Gambar 1). Meskipun demikian, pada persilanganpersilangan tersebut masih terlihat sejumlah individu yang lebih tinggi tingkat pemanjangan nasinya dibandingkan dengan rata-rata kedua induknya. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Welsh (1981) bahwa aksi gen duplikat dan gen aditif dapat menyebabkan segregasi transgresif, yaitu segregasi yang menyebabkan keturunannya lebih baik atau buruk dari kedua tetuanya, sehingga memberikan peluang kepada pemulia untuk mendapatkan segregat yang diinginkan. Heritabilitas dan Respon Seleksi Heritabilitas sempit secara teoritis harus lebih kecil dari heritabilitas luas dan terbukti dalam penelitian ini. Heritabilitas luas yang dihitung berdasarkan varians kedua tetua dan F2 tergolong tinggi untuk persilangan Dupa/ IR36 dan Basmati/IR36, sedang untuk persilangan KDM105/IR36 mempunyai nilai yang rendah. Pendugaan nilai heritabilitas sempit, dimana varians aditif dihitung dengan mengasumsikan efek interaksi dan gen nonalelik kecil atau diabaikan, maka ketiga persilangan 5 NUGRAHA DAN SUWARNO: PEMANJANGAN NASI VARIETAS PADI LOKAL Frekuensi 160 140 120 P1 = Khao Dawk Mali 105 P4 = IR36 100 80 = F2 P1 P4 = F3 60 = F2 dan F3 berimpit 40 20 0 1,25 1,35 1,45 1,55 1,65 1,75 1,85 1,95 2,05 2,15 2,25 2,35 2,45 2,55 160 140 120 100 80 P4 P2 P2 = Basmati 370 P4 = IR36 60 40 20 0 1,25 1,35 1,45 1,55 1,65 1,75 1,85 1,95 2,05 2,15 2,25 2,35 2,45 2,55 2,45 2,55 180 160 140 120 100 P3 P4 80 P3 = Dupa P4 = IR36 60 40 20 0 1,25 1,35 1,45 1,55 1,65 1,75 1,85 1,95 2,05 2,15 2,25 2,35 Rasio pemanjangan nasi Gambar 1. Pola sebaran rasio pemanjangan nasi pada populasi F2 dan F3 dari persilangan Khao Dawk Mali 105/IR36, Basmati 370/IR36, dan Dupa/IR36. tersebut memiliki nilai duga heritabilitas yang kecil. Kemajuan genetik erat kaitannya dengan heritabilitas, pada persilangan Dupa/IR36 lebih tinggi dibanding persilangan yang lain. Hal tersebut dapat dilihat dari pergeseran nilai rata-rata F2 dan F3 yang meningkat untuk persilangan Dupa/IR36, dibandingkan dengan per6 silangan lainnya yang cenderung menurun. Nilai heritabilitas yang kecil pada sifat pemanjangan nasi menjadikan tekanan seleksi yang diberikan harus lebih longgar. Jika tekanan seleksi kuat maka akan sedikit tanaman terpilih dan kemungkinan akan banyak genotipe potensial yang tidak terpilih. Dengan demikian, PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007 metode seleksi yang paling tepat untuk mendapatkan genotipe yang diinginkan dengan sifat pemanjangan nasi yang baik adalah single seed desent atau populasi bulk dengan tujuan membentuk populasi yang homozigot tetapi memiliki variabilitas genetik yang tinggi, kemudian dikombinasikan dengan pedigree pada generasi lanjut dengan intensitas seleksi longgar. KESIMPULAN 1. Tidak terdapat efek indung dalam pewarisan sifat pemanjangan nasi pada ketiga persilangan yang dibuat. 2. Terdapat interaksi nonalelik dalam pewarisan pemanjangan nasi. Aksi gen interaksi bersifat komplementer terdapat pada persilangan Khao Dawk Mali 105 /IR36 dan Dupa/IR36, sedangkan pada persilangan Basmati 370/IR36 aksi gen bersifat duplikat. 3. Heritabilitas luas tergolong tinggi untuk persilangan Dupa/IR36 dan Basmati 370/IR36, sedangkan untuk Khao Dawk Mali 105 /IR36 tergolong rendah. Pendugaan nilai heritabilitas sempit sangat kecil untuk ketiga persilangan. Demikian juga halnya respon seleksi untuk Dupa/IR36 yang lebih besar dari yang lainnya. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Aan A. Darajat yang telah menelaah tulisan ini serta kepada Ibu Gusnimar Alidawati, Bapak Warsono, SE. dan Sukirman, SP. yang telah banyak menyumbangkan waktu dan tenaga selama penelitian ini berlangsung. DAFTAR PUSTAKA Ahn, S.N., C.N. Bollich, A.M. Mc Clung, and S.D. Tanksley. 1993. RFLP analysis of genomic regions associated with cookedgrain elongation in rice. Theor.Appl.Genet. 87:27-32 Allard, R.W. 1964. Principles of plant breeding. John Wiley and Sons. Inc. New York-London. 485 pp. Crowder, LF. 1981. Genetika Tumbuhan. Fakultas Pertanian, Univ. Gajah Mada Indonesia. 358 pp. Damarjati, J.S. dan E.Y Purwani. 1993. Mutu beras. pp. 875-914. dalam Soenarjo, J.S. Darmajati, Syam S (eds). Padi, buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Falconer, D.S. 1960. Introduction to quantitative genetics. Oliver and Boyd. Edinburgh.339 pp Gomez, K and A.A.Gomez. 1983. Statistical procedurees for agricultural research 2nd edition. Jhon Wiley and Sons. Inc. New Tork-London. 680 pp. International Association for Cereal Chemistry. 1982. Draft for study group 21b, cooking properties of rice-grain elongation. pp 23-25. Juliano, B.O. and C.M. Perez. 1984. Result of a collaborative test on the measurement of grain ellogation of milled rice during cooking. J Cereal Sci 2:281-292. Juliano, B.O. 1979. Rice grain quality improvement at IRRI. Proc. Workshop on chemical aspect of rice grain quality. In Rice Res Inst, Los Banos, Laguna Philipines. pp.69-90. Mahmud, I. and H.H. Kramer. 1951. Segregation for yield, height and maturity following a soybean cross. Agron. J.44:20-25. Mather, K. and J.L Jink. 1982. Introduction biometrical genetics, The study of continuous variation. Cornell Univ. Press, Ithica, NY.396 pp. Pooni, H.S., I Kumar, and G.S Khush. 1992. A Comprehensive model for disomically inheritance metrical traits expressed in triploid tissues. Heredity 69 :166-174. Raihani, W, A. Baihaki. R. Setiamihardja, dan S. Giat. 1996. Pewarisan laju akumulasi bahan kering pada biji kedelai. Zuriat 7:(2) 57-63. Santha, S., L. Mahalingam, T.B. Ranganathan, and W. W. Manuel. 1997. Grain quality of some Basmati 370 genotypes. Int. Rice Res Note. 22(2):20. Singh, V.P., G.S. Khush, and N. Della Cruz. 1997. Variability of quality indices in aromatic rice germplasm. Int. Rice Res Note. 22(1):22-23. Somantri, I.H., A. Baehaki, Z. Harahap, dan D. Suwandi. 1985. Pewarisan kadar Amilosa pada padi. Penelitian Pertanian. 5(3):105-113. Sprangue, G.F. 1966. Quantitative genetics in plant improvement. p 315-354. In K.J. Frey (ed). Plant breeding. Iowa State Univ. Press, Ames, Iowa. Stanfield, W.D.1983. Theory and problems of genetics 2nd schain’s outline series. Mc Grow thill Book Co. New Delhi. Vanaja, T. and L.C. Babu. 2003. Association between physicochemical characters and cooking qualities in high-yielding rice varieties of diverse origin. Int. Rice Res Note. 28(1):2829. Warner, J.N. 1952. A method for estimating heritability. Agron. J. 44: 427-290 Welsh, J.R. 1981. Fundamentals of plant genetics and breeding. John Wiley and Sons, Inc., New york. Wilson, J.A., D.V. Glover and W.E. Nyquist. 2000. Genetic effect of the soft starch (h) and background loci on volume of starch granules in five inbreeds of maize. Plant Breeding (119): 173-176 Zhu, J and B.S. Weir. 1994. Analysis of cytoplasmic and maternal effects I. A genetics model for diploid plant seeds and animals. Theor. Appl. Genet 89: 153-159. 7