TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BUGIS SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh Firdaus NIM: 1110032100022 JURUSAN STUDI AGAMA AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H./2017 M. i TOLERANST trALAIW TRAI}ISiI KEARIFAFI LOKAL JI{ASYARAI(AT BUGIS SKRITS_i Diajr*aa Ur&ft Mernenrrhi Persymatan Memperctetr Gel.r Sejffi, ^&gffiE Iski €S-r+g) Oleh: F€EftEEffigffffi Pembimbi4g: z*%4 I)w'Hil)*rmdlMA ritB- 1ffi39' 1gl5&3 t g&'t JURUSA1T STUDI AGAMA AGAMA FAI(IILTAS ffiffULIMI}M{ {TNTYERSITAS ISI,AIVI NEGERI SYARIS'trIIBAYATI}LLAII JAKARTA 1438 lf,.J20t7 t{" LEMBAR PENGESAIIAN PANITIA UJIAN SIDANG Skripsi berjudul "TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BUGIS)" telah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif hidayatullah Jakarta, pada 8 Mei 2Afi. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag.) pada Program Studi Agama-Agama. Jakarta,8 Mei 2017 Sidang Munaqosah, Ketua Merangkap Aqggota, Sekretaris Anggota, !vr MA 1975t019 200312 NrP. 19s90413 t99603 2 001 1 Angggta, Penguji I /hc.9"* Dr. M. Amin Nurdin" MA NrP. 19550303 198703 I NIP. 003 Pembimbing, Drs.Dadi Darffi NIP. 19690707 199503 1 001 u 198603 2001 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk mernenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata I di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku ini telah saya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika ditemukan kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil plagiat dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta,2T Maret2}l7 irtt iit: ilii'i, i19r) Firdaus lll KUTIPAN “Jangan pernah berbicara tentang ketuhanan kalau kau masih menghujat perbedaan, jangan pernah mengklaim kebenaran bila sikapmu tak manusiawi, dan jangan pernah mengaku baik jika lisanmu tak terkontrol. Penulis : Firdaus iii ABSTRAK Firdaus 1110032100022 Toleransi Dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bugis Toleransi merupakan hal sangat mendasar untuk menuju kemajuan bangsa Indonesia. Keragaman suku, budaya, ras, kelompok dan agama yang ada sangat rentan untuk dibenturkan dengan isu-isu yang sangat mudah menyulut konflik dikalangan masyarakat. Pencegahan sikap intoleransi sampai resolusi konflik telah ditawarkan oleh para ahli dari berbagai kajian keilmuan. Dalam hal ini penulis fokus pada hasil pemikiran Mukti Ali, Alwi Shihab, dan juga Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang toleran dan juga sekaligus pernah menjadi pejabat tinggi dalam struktur pemerintahan tertinggi di Indonesia. Dengan buah pemikiran para tokoh di atas tentang toleransi. Penulis, menilai bahwa hakikat nilai toleransi adalah suatu sikap yang memanuisakan manusia tanpa melihat latar belakang perbedaan yang ada. Dari nilai toleransi itu sangat tanpak jelas dalam kearifan lokal masyarakat Indonesia, yang menjunjung nilai-nilai moral dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari. Dalam skripsi ini penulis mencoba menggali nilai toleransi kearifan lokal masyarakat Bugis. Dimana masyarakat Bugis menekankan prinsip siri’ dan pesse yang pada hakikatnya menjunjung nilai tau sipakatau, sepakalebbi, dan sipakainge’, selain dari pada itu terdapat pula pedoman-pedoman kehidupan yang terdapat dalam pangederreng, dan juga konsep assimellereng sebagai konsep kesetiakawana sosial dalam masyarakat Bugis. Kata Kunci : Pluralisme, Toleransi, Pangederreng, Bugis. iv Kearifan Lokal, Siri’, Pesse, KATA PENGANTAR بسم هللا الر حمن الرحيم Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam penulis panjatkan kepada junjungan kita yakni Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang senantiasa berkorban menyebarkan dakwah Islam kepada seluruh umat sampai hari kiamat. Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata 1 (S.1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Membahas dan menyusun skripsi ini bukan hal yang mudah, dibutuhkan semangat, kesungguh-sungguhan dan kerja keras serta keikhlasan dalam menjalani setiap rintangannya. Di samping itu, penulis juga banyak mendapatkan motivasi, petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga penyelesaian skripsi ini dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan. Oleh karena itu, penulis senantiasa mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. v 2. Bapak Dr. Media Zainul Bahri MA. Selaku Ketua Program Studi, Studi Agama-Agama dan Ibu Dra. Halimah Mahmudy, MA. Selaku Sekretaris Program Studi Studi Agama-Agama, dan Bapak Hakim, MA. 3. Bapak Dr. Dadi Darmadi, M.A, selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan serta koreksi yang sangat berarti dalam kelancaran penulisan skripsi ini. 4. Para dosen-dosen Fakultas Ushuluddin Jurusan Studi Agama-Agama yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat serta menjadi berkah bagi penulis, serta para pimpinan dan staf perpustakaan baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna menyelesaikan skripsi ini. 5. Kepada kedua orang tua penulis yang tercinta, Ayahanda H. Abd. Gaffar dan Ibunda Hj. Syarifah, yang telah bersusah payah mengasuh dan mendidik penulis dengan kasih sayang, semoga sehat selalu dan panjang umur. Kemudian untuk saudara-saudara penulis tersayang, Masna, Zulkifli, Zulkarnain, Abdul Hadi dan kakak ipar penulis Anas Anda Ganesa, serta keponakanku tercinta Nurul Mekka Shidqia. Juga kepada sepupu penulis Kolonel Inf. Bahman dan om Letkol. Rasli, ST. Terimakasih telah menyemangati penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 6. Kepada keluarga besar Pondok Pesantren Awaluddin Kuo. Terkhusus para dewan pengajar dan staff, Serta kepada kawan-kawan alumni 2010. Menjadi vi santri merupakan pengalaman terbesar dan penuh pelajaran yang berharga yang sekaligus menjadi modal utama penulis untuk bertahan dan menyelesaikan studi di Jakarta. 7. Teruntuk senior-senior yang telah membimbing dan berbagi pengalaman dengan penulis diantaranya, Prof. Dr. Mashadi Said, M. Saleh Mude, Nur Amin Syam, Dr. Saifuddin Zuhri MA. Adli Bahrun, Arjan Sila, Andika Ulil Amri, Awaluddin Jenne, Amiruddin Wata. Terima kasih atas segala atas kerendahan hatinya mau membantu penulis. 8. Kepada kewan-kawan Jurusan Studi Agama-agama angkatan 2010 khususnya Bang Iman Abdulrahman, Bang Tauhid, Bang Faiz Ramadhan dan Kang Yusuf Ambar Firdausy, serta Daeng Kurniawan. Dan tak terlupa kepada kawan ku Kacung Arisma dan Reza Nata Suhandi. Terimakasih telah menjadi patner yang baik selama ini. 9. Senior-senior Alumni dan Saudara-saudara seperjuangan Pengurus IKAMI Sul-Sel Cab. Ciputat. terkhusus IKAMI Sul-Sel Cab. Ciputat periode 2013 terlebih Fahri Husain, Andi Firman, M. Sapril, dan juga Inggrit Pratiwi. Terimakasih telah mengajarkan menjadi team yang komplit. 10. Teman-teman seperjuangan I.C.I (Insan Cendekia Indonesia), ada bang Muamar Midan dan bang H. Muslim selaku senior yang selalu memberikan arahan dalam setiap perjalanan I.C.I, kanda Moh. Farid Chair, Rizal Mampa, Laila Nihayati, Abdullah el Sahar, Firman Faisal, M. Sapril, Arif Hidayat, Ceceng Holilullah, Anis Fahmi, Abdul Khalid, M. Ihsan, Nur Muhaimin, M. Fauzan Chair, M. Fadli Imam, Hifdzil Farazdaq, Al Ghazali, M. Amar, dll. vii 11. Kawan-kawan Pengurus Besar IKAMI SUL-SEL periode 2016. 12. Kepada Senior-senior Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (BPD KKSS TANGSEL), bapak Andi Djalal Latif, Kakanda Saifuddin Zurhi, bapak Mudatsir, bapak Hasanuddin, dan lain-lainnya. Serta BPW KKSS BANTEN, dan BPP KKSS. 13. Kawan-kawan Sandeq Sul-Bar, Ketum Arwin, Mabrur, Rosita, Asrul, Samad, Abangda Aco. Dan lain-lain. 14. Saudara-saudara seperjuangan FKPM Mamuju, ada Siswadi, Ocit, Lita, Wahyu, Aksin, Rahman, Najam, Ulin, UU’, Amrin, Dul’, Rijal, Irda, Tika, dan Ila. Demikianlah ucapan terima kasih yang penulis haturkan atas semua bantuan baik itu moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Mudah- mudahan Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Amin. Jakarta, 5 Maret 2017 Penulis viii DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. i LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... ii KUTIPAN ....................................................................................................... iii ABSTRAK ..................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ................................................................................... v DAFTAR ISI ................................................................................................... x BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ............................................................... 15 C. Batasan Masalah ..................................................................... 15 D. Rumusan Masalah .................................................................. 15 E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................ 16 F. Metode Penelitian ................................................................... 17 1. Sumber Data ..................................................................... 17 2. Jenis Penelitian .................................................................. 17 3. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 17 4. Teknik Penulisan ............................................................... 18 G. Sistematika Penulisan ............................................................. 18 TOLERANSI BERAGAMA A. Pengertian Toleransi Beragama ............................................. 21 B. Perkembangan dan Teori Toleransi Agama di Indonesia ...... 24 ix BAB III 1. Pluralisme ......................................................................... 26 2. Inklusifisme ...................................................................... 27 3. Dialog ............................................................................... 28 C. Pendapat Para Tokoh ............................................................. 28 1. Mukti Ali ........................................................................... 29 a. Singkretisme ............................................................... 29 b. Rekonsepsi ................................................................. 30 c. Sintesis ...................................................................... 31 d. Penggantian ............................................................... 32 e. Agree in Disagreement .............................................. 33 2. Alwi Shihab ...................................................................... 34 a. Saling Mengenal .. ...................................................... 34 b. Keberaganaman Keyakinan ........................................ 34 c. Keberaganaman Etnis ................................................ 35 3. Abdurahman Wahid ......................................................... 36 a. Pribumisasi Islam ....................................................... 36 d. Humanisme dan Demokrasi ....................................... 38 e. Pluralisme dan Toleransi ............................................. 41 KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BUGIS A. Perkembangan Masyarakat Bugis .......................................... 43 B. Siri’ Dan Pesse Prinsip Kehidupan Masyarakat Bugis .......... 44 1. Siri’ .................................................................................... 45 2. Pesse ................................................................................. 52 x C. Pangederreng Masyarakat Bugis’.......................................... 55 1. Ade’ ................................................................................... 59 2. Bicara ............................................................................... 60 3. Rapang .............................................................................. 65 4. Wari ................................................................................... 67 D. Assimellereng sebagai Konsep Kesetiakawan Masyarakat Bugis ..................................................................................... BAB IV BAB V 69 ANALISA A. Pandangan Umum Toleransi .................................................. 75 B. Analisa Toleransi dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bugis 79 PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................... 92 B. Saran-saran ............................................................................ 94 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 96 xi DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. i LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SIDANG ........................... ii LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii KUTIPAN ....................................................................................................... iv ABSTRAK ..................................................................................................... v KATA PENGANTAR ................................................................................... vi DAFTAR ISI................................................................................................... x BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ............................................................... 15 C. Batasan Masalah .................................................................... 16 D. Rumusan Masalah .................................................................. 16 E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................... 16 F. Metode Penelitian .................................................................. 17 1. Sumber Data ..................................................................... 17 2. Jenis Penelitian .................................................................. 18 3. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 18 4. Teknik Penulisan ............................................................... 18 G. Sistematika Penulisan ............................................................ 19 TOLERANSI BERAGAMA A. Pengertian Toleransi Beragama ............................................. 22 B. Perkembangan dan Teori Toleransi Agama di Indonesia ...... 25 1. Pluralisme ......................................................................... 27 2. Inklusivisme ..................................................................... 28 3. Dialog ............................................................................... 29 C. Pendapat Para Tokoh ............................................................ 29 1. Mukti Ali ........................................................................... 30 a. Sinkretisme ................................................................ 30 b. Rekonsepsi ................................................................. 31 c. Sintesis ...................................................................... 32 d. Penggantian ............................................................... 33 e. Agree in Disagreement .............................................. 34 2. Alwi Shihab BAB III ................................... 35 a. Saling Mengenal ........................................................ 35 b. Keberagaman Keyakinan ........................................... 35 c. Keberagaman Etnis ................................................... 36 3. Abdurahman Wahid ......................................................... 37 a. Pribumisasi Islam ....................................................... 37 d. Humanisme dan Demokrasi ....................................... 39 e. Pluralisme dan Toleransi ............................................. 42 KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BUGIS A. Perkembangan Masyarakat Bugis .......................................... 44 B. Siri’ Dan Pesse Prinsip Kehidupan Masyarakat Bugis .......... 45 1. Siri’.................................................................................... 46 2. Pesse ................................................................................. 53 C. Pangederreng Masyarakat Bugis’ ......................................... 56 1. Ade’ ................................................................................... 60 2. Bicara ............................................................................... 61 3. Rapang ............................................................................. 66 4. Wari ................................................................................... 68 D. Assimellereng sebagai Konsep Kesetiakawan Masyarakat Bugis ..................................................................................... BAB IV BAB V 70 ANALISA A. Pandangan Umum Toleransi .................................................. 76 B. Analisa Toleransi dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bugis . 80 PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................... 93 B. Saran-saran ............................................................................ 95 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 97 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara yang terdiri dari beragam suku, bangsa, dan budaya., Indonesia dapat diketegorikan sebagai negara majemuk. Kemajemukan ini menjadi titik perhatian dari founding fathers kita, sehingga dirumuskanlah konsep yang menaungi segala bentuk kemajemukan itu yang dikenal dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Konsep ini merupakan tata nilai moral yang hidup jauh sebelum adanya Indonesia. Konsep kemajemukan ini kemudian diperkokoh dengan sumpah pemuda, yang dicirikan sebagai alat persatuan dalam menghadapi penjajah. Kemajukan masyarakat seyogyanya menjadi kekuatan yang disadari oleh masyarakat itu sendiri. Dengan begitu, segala bentuk keanekaragaman bisa menjadi kekayaan yang bisa digunakan sebagai kontribusi pembangunan negara apabila dikelola dengan baik. Namun demikian, seringkali timbul ancaman yang dapat mengganggu stabilitas dan keutuhan NKRI. Dapat dilihat dari sejarah negara Indonesia, yaitu pasca jatuhnya Orde Baru dari tampuk kekuasaannya, mulai bermunculan kasus yang berbau etnis dan agama di berbagai wilayah Indonesia. Seperti kasus Ambon, Poso, Sampit, dan Aceh. Kesemuanya ini bukan persoalan yang remeh, sebab bila tidak segera ditanggulangi, akan mewabah ke daerah lain. Padahal, pada kasus-kasus tersebut, agama hanyalah menjadi objek tertuduh mendalangi 1 2 semua permusuhan itu, dan bila dirunut jauh, pada hakikatnya kejadian tersebut dilatarbelakangi oleh kepentingan sosial, politik dan ekonomi. Inilah yang menjadi bukti, bahwa perhatian terhadap kesadaran perbedaan haruslah diperhatikan dengan seksama. Pemerintah memang telah memberikan perhatian terhadap tata kelola kehidupan keagamaan di Indonesia. Salah satunya melalui UU Pasal 29 ayat (2) bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan tipa-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”1 Aturan ini sebagai upaya dari pemerintah untuk menciptakan suasana kondusif dan toleransi antar umat beragama di Indonesia. Namun demikian, tetap saja konflik-konflik keagamaan masih terjadi di Indonesia. Melihat fenomena itu, Mukti Ali, Alwi Shihab, Abdurahman Wahib, Ahmad Wahib dan lainnya, menawarkan beberapa jalan alternatif yang bisa ditempuh terkait dengan konflik-konflik yang terjadi. Diantaranya adalah wacana pluralisme dan menyegarkan ulang ingatan kita tentang multikulturalisme bangsa Indonesia yang pernah menjadi payung kokoh dalam sejarah bangsa Indonesia. Dengan memahami pluralisme serta multikultaralisme, diharapkan akan mereduksi gejolak dan konflik-konflik yang terjadi serta membawa dampak yang lebih baik bagi bangsa. Bahkan ada juga yang berpendapat pluralitas itu menjadi prasyarat bagi tumbuhnya demokrasi dalam masyarakat modern. 2 1 UU Pasal 29 ayat 2 Asep Syaefullah, Kerukunan Umat Beragama (studi Pemikiran Tarmizi Taher tentang Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Penerbit Gragindo Khazanah Ilmu, 2007), h. 142. 2 3 Pemahaman akan pluralisme pada hakikatnya adalah membiarkan mereka yang berpikir lain atau berpandangan lain tanpa menghalang-halangi. Pluralisme menurut filsafat agama, sering diartikan sebagai keyakinan akan kebenaran semua agama yang ada. Istilah pluralisme sudah dikembangkan dibeberapa ruang lingkup seperti pluralisme sosial, pluralisme budaya, dan pluralisme etika dan kemudian muncullah pluralime agama. Gunawan Adnan yang dikutip dalam buku Pluralitas Agama menyebutkan ada dua macam bentuk pluralisme agama. Pertama pluralisme eksternal agama adalah keyakinan akan kebenaran semua agama, baik dalam kapasitas yang sama maupun dengan kapasitas kebenaran yang berbeda-beda. Kedua, pluralisme internal agama adalah keyakinan akan kebenaran semua sekte atau mazhab dalam satu agama tertentu, dimana letak perbedaan sekte atau mazhab adalah disebabkan perbedaan perbedaan penafsiran (heurmeneutika) terhadap konteks agama.3 Selain itu istilah pluralisme ada beberapa tokoh yang mengguankan istilah toleransi merupakan konsep memahami perbedaan itu, dengan mengambil contoh satu agama misalnya Islam memandang toleransi sebagai persamaan hak manusia, semua manusia mempunyai hak yang sama, tidak membedakan antara orang kulit putih, berkulit hitam, berkulit kuning, dan kulit merah atau antara si kaya dan si miskin.4 3 Y.B. Mangunwijaya dkk., Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta: Kompas, 2001), h. 24. 4 Musthafa Muhammad Syak’ah, Islam Tanpa Mazhab (Solo: Tiga Serangkai, 2008), h. 24. 4 Kemudian apabila toleransi ditinjau dari kacamata sejarah, toleransi dibedakan antara toleransi formal dan toleransi material. Toleransi formal berarti membiarkan pandangan-pandangan dan praktik-praktik politik atau agama yang tidak sesuai dengan pandangan umum sejauh itu tidak mengganggu hak orang lain. Toleransi material bermakna suatu pengakuan terhadap nilai-nilai positif yang mungkin terkandung dalam pemahaman yang berbeda itu.5 Kedua bentuk toleransi di atas dengan jelas memberikan gambaran toleransi yang semestinya digunakan di Indonesia, sehingga apabila terjadi konflik tidak lagi mengangkat isu yang mengandung SARA. Selain itu penyadaran kembali atas keragaman masyarakat Indonesia ini diharapkan bisa menghindari konflik dan menyadarkan kita bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk dari perbedaan yang ada. Aksi radikalisme agama atau apapun bentuknya hanya akan menggerogoti nafas pluralisme yang telah menjadi perekat bangsa kita dan pada gilirannya akan mengancam integritas nasioal. Inilah arti pentingnya menumbuhkan kembali dan memupuk multikulturalisme sebagai bagian dari kerja membangun Indonesia yang lebih baik. Multikulturalisme pada hakikatnya merupakan mekanisme kerjasama dan reciprocity (saling memberi) dengan mana setiap individu dan komponen masyarakat sanggup memberikan tempat, merenggangkan perbedaan dan bahkan 5 Elza Peldi Taher, ed., Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi (Jakarta: ICRP & Buku Kompas, 2009), h. 81. 5 membantu individu dan kelompok yang lainnya yang ada dalam masyarakat tersebut. Nilai-nilai toleransi, keterbukaan, inklusivitas, kerjasama dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan mekanisme yang terpenting bagi pendidikan demokrasi dan perlindungan hak-hak minoritas. Ia mencegah adanya individu atau kelompok masyarakat yang merasa diri paling benar, dan dengan mengatasnamakan kebenaran, mengembangkan prilaku ekslusif yang mengabaikan hak-hak orang lain. Dengan demikian multikulturalisme berperan menjaga harmoni sosial, yang didefinisikan sebagai kemampuan sebuah masyarakat untuk mengatur sumber daya dan memproduksi serta mereproduksi tatanan sosial dan lainnya yang ia butuhkan untuk eksis.6 Ini tidak akan mungkin terjadi apabila faham radikalisme menjadi tembok yang kokoh untuk menghadang dan menutup ruang dialog dan juga penghargaan terhadap perbedaan. Dimana radikalisme yang menghambat tumbuhnya harmoni sosial dan saling percaya (trust) dalam kehidupan bermasyarakat. Radikalisme agama merupakan cerminan dari lemahnya hubungan sosial. Dari sudut pandang sosiologis, gejala semacam ini berhubungnan dengan ekspansi meodernisasi yang menciptakan kondisi dunia modern yang sangat paradoksal dan ini menimbulkan tekanan terhadap sistem disposisi berkelanjutan individual 6 Taher, Merayakan Kebebasan Beragama, h. 81. 6 yang mengintegrasikan pengalam-pengalaman masa lalu dan berfungsi sebagai matriks persepsi dan tindakan. Sampai di sini, dapat dilihat bahwa substansi dari multikulturalisme adalah adanya penghayatan akan kesadaran setiap indivindu di dalam masyarakat. Setidaknya itulah pendapat para pakar yang bisa disimpulkan saat ini. Pengahayatan tersebut sebenarnya telah ada jauh sebelum terbentuknya Indonesia seperti saat ini. Dalam artian bahwa, kesadaran akan nilai keragaman telah dipahami oleh para pendahulu bangsa Indonesia. Menerapkan konsep toleransi dan multikultural dari beberapa pendapat tokoh setelah Mukti Ali. Tetapi konsep pluralisme dan multikultural yang mengakui atas perbedaan sebenarnya sudah ada dalam adat dari suku masyarakat jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Modernisasi yang telah membawa arus informasi demikian begitu cepat, sehingga menimbulkan kompleksitas yang tidak terkontrol, dimana suatu pemahaman akan budaya-budaya luar begitu cepat bertrasnformasi dan merubah pemahaman budaya lokal. Sehingga, menimbulkan pembauran nilai budaya yang tidak terstruktur bahkan kadang rancu. Pandangan masyarakat luar tentang multikulturalisme seperti pengalaman negara-negara Eropa Barat, Australia, dan Selandia Baru, bahwa multikulturalisme baru akan tumbuh dalam suatu tatanan masyrakat apabila ditunjang oleh syarat-syarat berikut: 1. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. 7 2. Negara dengan pengamanan sosial yang kuat dan redistribusi kekayaan secara baik melalui sistem pajak yang progresif. 3. Tidak ada kelas bawah terpingkirkan atas garis etnisitas. 4. Negara netral yang tidak berpihak pada kelompok dominan tertentu. 5. Perkawinan antar-ras dan etnik serta agama yang bebas. 6. Akses pendidikan yang merata termasuk bagi perempuan. 7. Kebijakan pemerintah yang berpihak pada nilai kosmopolitanisme dan keragaman budaya. 8. Legislasi yang efektif unutk menghukum provokator yang menebar kebencian antar- agama dan golongan. 9. Pengalaman bersama dalam aktifvittas-aktivitas sosial dan olahraga. 10. Ideologi patriotik yang menghadang loyalitas kedaerahan dan etnis. Akses terbuka untuk naturalisasi. 11. Rule of law dan jaminan kesamaan didepan hukum. 12. Agama berfungsi menciptakan solidareitas, sosial, bukan perpecahan.7 Uraian di atas adalah hasil dari pengalaman-pengalaman “budaya luar” yang tidak selalu tepat jika dipraktekkan di wilayah Indonesia. Sebab suatu budaya merupakan suatu kekayaan nilai yang dimiliki oleh suatu daerah dan apabila budaya yang berkembang di suatu daerah dipaksa diterapkan ke suatu daerah yang lain maka tentunya tidak akan menghasilkan suatu yang baik secara maksimal. Bukannya hendak mengucilkan atau meremehkan nilai “budaya luar”, namun betapa tidak adilnya jika hanya melihat sesuatu hanya dari beberapa bagian 7 Taher, Merayakan Kebebasan Beragama, hal. 203. 8 kecil aspek saja. Terlebih bila dihadapakan pada konteks keindonesian yang mana lebih banyak memiliki ragam budaya yang ada. Sering kali budaya luar diterima oleh masyarakat yang secara mentahmentah menimbulkan problematika yang baru dalam kehidupan bangsa kita saat ini misalnya globalisasi, liberalisasi dan hedonisme, yang mana mendorong masyarakat menjadi individualistis, tidak lagi peduli terhadap individu lainnya. Indonesia yang dulunya menjunjung tinggi nilai “gotong royong” dan rasa empati terhadap orang lain sudah mulai tergerus sehingga dengan tidak disadari ini dapat menggerus identitas bangsa, sehingga nantinya Indonesia tidak lagi menjadi sebuah bangsa seperti apa yang telah diwariskan dan dicita-citakan oleh para founding fathers kita dulu. Masuknya budaya luar dalam kehidupan masyarakt Indonesia begitu menghebohkan masyarakat, sehingga tanpa tersadari masyarakat melupakan budaya leluhurnya. Bahkan dalam beberapa hal budaya yang menjadi identias keIndonesiaan dilupakan karena dianggap tradisional dan kolot. Mengikuti budaya barat yang tanpa mempertimbangkan apakah budaya yang datang dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan konteks Indonesia saat ini. Semestinya kita bisa mensinergikan antara budaya yang datang dari luar dengan budaya Indonesia sendiri, sehingga Indonesia tetap mempunyai identitas yang kuat dalam bersaing dengan negara modern lainnya, apalagi Indonesia kaya keanekaragama budaya, sumber daya manusia, dan sumber daya alam yang dimilikinya. 9 Kita bisa lihat kemajuan bangsa Jepang misalnya yang mana dalam pandangan umum sejajar dengan bangsa modern lainnya yang sampai saat ini mereka tetap mempertahankan kebudayaan nenek moyang yang diwariskan kepada mereka yang pekerja keras dan mempertahankan budaya malu. Walaupun mereka tetap menjaga tradisinya tapi mereka juga tetap melaju menuju bangsa modern lain yang tetap menonjolkan identitas sebagai bangsa Jepang. Dalam konteks Indonesia yang tergolong dalam negara berkembang saat ini sangat rentan dengan pola ikut-ikutan (follower) dari bangsa yang maju yang tanpa filterasi dengan baik dalam masyarakat yang semestinya mengambil nilai positif dan meninggalkan budaya negatif dari budaya bangsa luar yang maju, Sejalan dengan itu, Prof. Dr. Ridwan Lubis menjelaskan bagaimana tujuan pesantren pada awal didirikan oleh para ulama yaitu, “meninggalkan yang tidak baik dan melanjutkan yang baik”, ini bisa menjadi contoh dalam mengadopsi pola kehidupan dari budaya luar, bagaimana mengadopsi budaya dari luar tanpa menghilangkan budaya sendiri yang baik dalam masyarkat kita.8 Melihat dari kondisi di atas ada dua macam respon terhadap budaya luar yang akan beredar dikalangan masyarakat kita seperti yang digambarkan Fuad Hasan yaitu, pertama budaya-tandingan (counter culture) budaya ini biasanya tampil melalui perilaku dan penampilan, gaya berujar, penggunaan kata sandi, dan lain sebagainya; sedangkan yang disebut budaya tandingan tampil dengan ciri negativisme, sikap protes, ungkapan pembangkan, dan sebagainya. Kedua, budaya 8 Penjelasan Prof. Dr. Ridwan Lubis pada mata kuliah Islam dan Kristen di Indonesia, pada tahun 2013 di Fakultas Ushuluddin. 10 sandingan (sub-culture) berbeda dengan budaya-tandingan yang budaya sandingan mengarahkan untuk bagaimana kita bisa mensinergikan dan bisa berjalan beriringan dengan budaya realitas tersebut.9 Dari kedua macam respon yang akan terjadi dalam masyarakat kita terlebih karena kondisi Indonesia yang bergerak manuju negara maju, budaya sandingan menjadi alternatif yang untuk menerima budaya kuar yang akan berpengaruh positif di kalangan masyarakat Indonesia, kemudian budaya tandingan yang positif (bukan dengan sikap pembangkang yang arogan) akan tetapi menawarkan suatu konsep budaya yang positif dalam kehidupan bertoleransi masyarakat yaitu prulalisme yang selama ini para pakar tawarkan berdasarkan pada teori yang bermunculan di negara-negara Eropa yang selama ini diterapkan Indonesia. Ada beberapa pakar pluralisme menggunakan dalil-dalil agama sebagai dasar dalam teorinya, yang mana hasilnya belum begitu signifikan dalam mewujudkan toleransi sebagai bangsa yang multikultur. Padahal sebelum kemerdekaan permasalahan multikulturalitas, pluralitas, dan toleransi sudah terwujud dalam bingkai “Bhinneka Tunggal Ika” yang selalu didengungkan dari Sabang sampai Merauke Dalam hal ini penulis merasa bahwa untuk menciptakan kesadaran dan penghayatan yang mendalam dalam masyakat Indonesia dibutuhkan aspek budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Mengingat akan kesadaran 9 Fuad Hasan, Renungan Budaya (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), Cet..I, h .85. 11 multikulturalitas, pluralitas, dan toleransi telah terbungkus dengan rapi dari nilainilai kearifan lokal masing-masing suku sebelum Indonesia menjadi sebuah negara yang utuh. Saling menghargai, saling menghormati, saling mengasihi dalam intern suatu suku bahkan bagaimana hidup rukun dari sekian banyak perbedaan dari masing suku di suatu daerah seperti hidup rukunnya suku atau masyarakat Minang yang diidentikan Islam dengan masyarakat Melayu yang juga diidentikan Islam, dan dengan masyarakat Batak yang diidentikan dengan Kristen yang ada di pulau Sumatera dimana pertemuan dan pergesekan yang akan berakibat fatal dalam masyarakat meskipun begitu bisa diredam dan terselesaikan dengan baik. Kemudian perbedaan yang sama antara masyarakat suku Makassar, Bugis, Mandar yang diidentikan dengan Islam, dan sementara Toraja yang diidentikan dengan Kristen yang mana demikian ini melihat dari perbedaan-perbedaan yang begitu menonjol dari masing-masing suku, baik itu dari segi adat-istiadat, nilainilai budaya, dan kepercayaan (agama) akan tetapi semua dari semua perbedaan itu mereka bisa bekerja sama dan bersanding dengan baik, hidup rukun. Bagaimana dulu budaya dan tradisi mengatur kehidupan manusia yang mengutakan keharmonisan hubungan manusia, baik hubungan manusia dengan penciptanya, lingkungan, kehidupan sosial, maupun dirinya sendiri, 10 sehingga dapat membuat sebuah peradaban yang besar. 10 Mashadi Said, Jati Diri Manusia Bugis (Jakarta: Pro leader, 2016), h. 3. 12 Apabila kita mengingat kondisi saat itu teori normatif tentang multikulturalisme dan pluralisme belum pernah terdengar dan diketahui oleh suku-suku tersebut, melainkan sebuah kearifan lokal yang dimiliki oleh masingmasing suku tersebut melihat perbedaan yang ada. Kehidupan yang toleran dalam masyakat bangsa Indonesia sudah terletak sejak lama dalam nilai-nilai budaya kita sendiri. Masyarakat Bugis mempunyai peradaban yang tinggi dalam tataran masyarakat Sulawesi Selatan yang bisa membuat masyarakat Bugis dikenal yang cepat menyesuaikan dan pantang menyerah akan cita-citanya. kekayaan sumber daya alamnya saat itu sehingga banyak neraga yang melakukan perdagangan dengan masyarakat Bugis, baik itu dari pedangan Nusantara, Cina, India, serta banyak negara samudra Hindia lainnya11, begitu pulat kapal pedagang Wajo sampai ke Singapura.12 Menurut penelitian antropologi yang dikemukakan oleh A. Mattulada dalam disertasinya berjudul “Latoa, suatu lukisan analisis terhadap antropologi politik orang Bugis” yang juga dikutip oleh Laica Marzuki mengatakan bahwa manuskrip lontara karya klasik gubahan La Mellong membuktikan bahwa siri mendinamisasi serta menjadi kekuatan pendorong terhadap pangederreng sebagai wujud totalitas kebudayaan beserta dengan isinya.13 Pangederreng menjadi sebuah budaya yang tinggi dalam masyarakat Bugis selama ini dengan beberapa 11 Cristian Pelras, Manusia Bugis (Jakarta: Forum Jakarta-Paris, 2006), h. 356. Pelras, Manusia Bugis h. 362. 13 M. Laica Marzuki, Siri: Sebagai Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar sebuah telaah filsafat hukum (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995), h. 25. 12 13 unsurnya yaitu, Ade’ (kaedah hukum, adat-istiadat, kebiasaan), Bicara (Peradilan, putusan hakim atau raja), Rapang (rujukan, yurisprudinsil), Wari’ (aturan kekerabatan, protokoler, pengaturan silsilah menurut garis keturunan), dan Sara’ (syariat). Dari pengederreng bagaimana kehidupan orang Bugis diatur sedemikian rupa agar mencapai kemajuan dalam hidupnya, dari pangederreng itu terangkum dalam “Siri na Pesse”. Siri na Pesse adalah dua suku kata yang terdiri dari kata “Siri”dan kata “Pesse”. Siri diartikan sebagai malu, harga diri atau martabat diri seseorang, peneliti Auckland University, Selandia Baru Leonard Y Andaya. yang dikutip oleh Mashadi Said, bahwa Siri’ itu dua makna yang kontradiktif, pertama Siri’ diartikan sebagai shame (malu) kedua yaitu makna self respect, self esteem, selfworth (harga diri).14 Seseorang Bugis akan menyerahkan segalanya bahkan nyawanya sekalipun untuk menegakkan Siri’-nya dan dianggap mulia dan terhormat apabila seseorang bisa menegakkan siri’-nya meskipun dia membunuh sekalipun, dalam hal ini masyarakat Bugis banyak yang menggangap bahwa logika orang Bugis itu tidak baik dan salah karena menghargai dan memuliakan pembunuh. Akan tetapi di lain sisi kondisi psikologis masyarakat Bugis “sangat peka” dimana sikap saling mengormati dan saling menghargai begitu dijunjung tinggi yang mana akan berakibat fatal bagi pribadi yang tidak menghormati dan menghargai orang lain sebagai manusia. 14 Said, Jati Diri Manusia Bugis, hal. 38. 14 Kemudian kata “Pesse” yang berarti pedas seperti cabe atau merica yang menganding rasa pedas yang mengigit. Pesse juga bisa diartiakan, pesse perru’ atau bebbua contoh dalam ungkapan mapesse perru’na (perih hatinya) maka artinya adalah perasaan kasihan, iba hati atau rasa empati terhadap orang lain yang juga merupakan suatu panggilan hati.15 Ini menunjukan kepekaan masyarakat Bugis untuk memanusiakan manusia lainnya. Untuk menciptakan kondisi yang toleran dan solidaritas dalam masyarakat Bugis pada Zaman dahulu dikenal dengan istilah Assimellereng yang terdapat dalam Pangaderreng yang kini menjadi prinsip paling dijunjung dalam kehidupan sehari-hari. Assimellereng mengadung makna kesehatian, kerukunan, kesatupaduan antara satu keluarga dengan yang lainnya, antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya.16 Realisasi dari Assimellereng ini terdapat dalam tiga (3) sipa’ (sifat) yaitu, Sipakatau (saling menghormati), sipakalebbi’ (saling menghargai), dan sipakainge’ (saling mengingatkan) yang kemudian dikenal dengan falsafah 3-S dalam masyarakat Bugis. Sehubungan itu penulis ingin menjadikan budaya lokal sebagai salah sudut pandang untuk menciptakan kesadaran dan penghayatan menuju masyarakat Indonesia yang toleran dalam skiripsi penulis dengan judul “Toleransi dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bugis”. Sebagaimana yang telah ada tergambar dalam nilai-nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat Bugis secara idea. 15 Marzuki, Siri Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar, h. 135. Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 204. 16 15 B. Identifikasi Masalah 1. Selama ini masalah intoleransi di Indonesia kebanyakan timbul dari sudut pandang agama dan selalu diselesaikan menggunakan teori toleransi yang diambil dari dalil agama-agama, dalil filsafat Timur dan Barat yang tentunya berbeda dari segi history dan budaya yang ada di Indonesia. 2. Memberikan ruang kepada kearifan lokal di Indonesia untuk berbicara dalam permasalahan intoleransi khususnya kearifan lokal masyarakat Bugis. 3. Indonesia menuju masyarakat yang unggul dan berperadaban memiliki masalah yang kompleks termasuk perbedaan itu bisa terselesaikan dan membentuk peradabannya baru. C. Batasan Masalah Dalam proposal ini penulis membatasi penelitian secara merinci pada isuisu intoleransi baik daerah dan nasional yang solusinya sudah diwariskan oleh leluhur masyarakat Bugis: 1. Bagaimana kearifan lokal masyarakat Bugis Menyikapi perbedaanperbedaan yang ada, baik itu di internal masyarakat Bugis dan masyarakat di luar dari masyarakat Bugis. D. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam pembahasan skripsi dengan judul “toleransi dalam kearifan lokal masyarakat Bugis” sebagai berikut: 1. Bagaimana pesan toleransi dalam kearifan lokal masyarakat Bugis ? E. Tujuan dan Manfaat penelitian 16 1. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui dan mendalami konsep toleransi dalam masyarakat Bugis. 2) Melestarikan warisan budaya dan kearifan lokal masyarakat Indonesia. 3) Setidaknya menjadi sebuah kontribusi kecil untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang toleran. 4) Dan menjadikan budaya lokal salah satu unsur untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang toleran. 2. Manfaat Akademis Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam meraih gelar kesarjanaan strata satu (S1) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Manfaat Praktis Menambah wawasan mahasiswa pada umumnya, dan bagi penulis pribadi pada khususnya bahwa ada sebuah etika toleransi yang wariskan para leluhur kita khususnya masyarakat Bugis kepada kita masih eksis dan dapat diterapkan dengan baik sesuai cita-cita bangsa yaitu masyarakat yang toleran. Dan diharapkan memberi sumbangan wacana civitas akademika bagi jurusan Perbandingan Agama dan Fakultas Ushuluddin. F. Metode Penelitian 1. Sumber Data 17 Penelitian ini menggunakan referensi utama buku-buku yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Bugis di antaranya: Manusia Bugis17, Jati Diri Manusia Bugis18, I La Galigo19, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis20, dan Siri’ Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassa.,21 Adapun data sekunder yang digunaka mungkin dari Jurnal-jurnal, Majalah, atikel dan koran-koran yang kiranya berhubungan dengan pembahasan etika secara umum dan toleransi secara umum pula yang bisa memperlancar pembahasan toleransi dalam kearifan lokal masyarakat Bugis. 2. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis yaitu dengan mendeskripsikan secara terperinci terkait dengan masalah yang hendak diteliti kemudian menganalisis setiap masalah untuk memperoleh pemahaman secara komprehensif. 3. Teknik Pengumpulan Data Karena penelitian ini termasuk penelitian library research, maka teknik pengumpulan data dilakukan di sebagian besar perpustakaan, baik perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan Nasional, maupun perpustakaan pribadi yang menyediakan literatur berkaitan dengan tema pada penelitian ini. Semua buku yang berkaitan dengan pembahasan penelitian ini 17 Cristian Pelras, Manusia Bugis, Jakarta: Forum Jakarta-Paris.2006. Marhadi Said, Jati Diri Manusia Bugis, Jakarta: Pro leader, 2016. 19 R.A. Kern, I LA GALIGO Cerita Bugis Kuno Edisi Indonesia, (Jogja: Gadjah Mada University Press, cetakan pertama, 1989). 20 Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, (Ujung Pandang: Hasanuddin Universitas Press, 1992). 21 M. Laica Marzuki. Siri: Sebagai Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar (sebuah telaah filsafat hukum) (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995). 18 18 dikumpulkan dan diklasifikasi berdasarkan relevansi terhadap pembahasan penelitian ini. Setelah semua buku telah diklasifikasi maka langkah selanjutnya adalah dibaca dan diteliti dan pada akhirnya dimasukkan pada pembahasan penelitian yang diangkat. 4. Teknik Penulisan Teknik penulisan pada penelitian ini mengacu pada buku “Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” tahun 2010-201122. G. Sistematika Penulisan Pembahasan penelitian ini disusun dalam lima BAB, BAB I adalah pendahuluan. Di dalamnya menjelaskan tentang latar belakang masalah dan rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Di dalam bagian ini juga dikemukakan secara umum tentang toleransi dalam kearifan lokal masyarakat Bugis. Pada BAB II, diuraikan toleransi agama meliputi pengertian toleransi agama yang memberikan definisi-definisi toleransi yang selama ini berkembang. Perkembangan dan teori toleransi di Indonesia, menjelaskan bagaimana proses toleransi berkembang dan beberapa teori toleransi yang berkembang di Indonesia pendapat tokoh-tokoh muslim tentang toleransi: 1. Mukti Ali, beliau sebagai peletak batu pertama toleransi dalam institusi perguruan tinggi di Indonesia. 2. Alwi Shihab merupakan tokoh yang cukup diperhitungkan dengan 2 kali menjadi kabinet pemerintah, selain itu beliau juga menulis beberapa karya tentang 22 Jamhari, dkk., Pedoman Akademik Program Strata 1, 2010/2011 (Jakarta: UIN Syarif Hiduatullah Jakarta, 2010. 19 toleransi sehingga penulis merasa tertarik meneliti karya beliau. 3. Abdurahman Wahid, beliau adalah satu-satunya presiden ke-4 Republik Indonesia yang bergelar Kiyai Haji yang mempuanyai pemikiran yang cerdas dengan argumentasi sederhana dan rasional serta dilengkapi oleh rasa humanisme yang kuat di setiap sikapnya terhadap perbedaan. Pada BAB III, pada bab ini pembahasannya mengenai Perkembangan mayarakat Bugis meliputi sejarah tentang Bugis kemudian perkembangan masyarakat Bugis sampai sekarang, kearifan lokal masyarakat Bugis, membahas bagaimana masyarakat Bugis bisa mengendalikan dan menyelesasikan masalah yang terjadi dalam masyarakt. Siri na Pesse prinsip hidup masyarakat Bugis, Prinsip yang menjadi pegangan pokok dalam masyarakat Bugis dalam menyikapi segala bentuk persoalan. Pangederreng masyarakat Bugis adalah suatu identitas yang sudah ditanamkan kepada masyarakt Bugis, meliputi: 1. Ade’, ade’ merupakan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Bugis di semua ruang lingkup kehidupan. 2. Bicara, bicara adalah aturan-aturan peradilan yang normatif yang mengatur kehidupan masyarakat Bugis, sama hal Pengadilan Negeri yang ada sekarang ini. 3. Rapang, rapang perumpamaan, contoh, kesamaan, atau sebagai yurisprudensial, suatu ketentuan yang diambil berdasarkan ketentuan-ketentuan atau kejadian-kejadian yang pernah dilakukan pada waktu yang lalu.23 4. Wari, wari Wari merupakan suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas 23 Mattulada, LATOA : Satu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995), h.334. 20 kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan 5. Assimellereng merupakan konsep sehatian, kerukunan, kesatupaduan, solidaritas antara satu dan lainnya, antara satu keluarga dengan keluarga lain dan antara manusia sesama manusia yang lainnya. Pada BAB IV, analisis toleransi dalam masyarakat Bugis, bagaimana masyarakat menyikapi atas perberdaan yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sesuai dengan konsep kearifan lokal masyarakat Bugis. Pada BAB V, merupakan bagian terakhir dari penulisan skripsi ini yang berisikan Kesimpulan dan Saran penulis yang dianggap penting terhadap toleransi dalam kearifan lokal masyarakat Bugis ini. 21 BAB II TOLERANSI BERAGAMA A. Pengertian Toleransi Beragama Toleransi berasal dari bahasa Latin “tolerantia” yang artinya menahan. Ketika seseorang memiliki “toleransi yang tinggi pada rasa sakit”, berarti dia bisa “menahan rasa sakit”. Dengan demikian toleransi adalah istilah sebuah sikap untuk menahan dari hal-hal yang dinilai negatif, khususnya dalam hal perbedaan sikap dan tingkah laku dalam suatu intraksi dalam kehidupan bermasyarakat.1 Menurut definisi Gerald O’Colins SJ dan Edward JFarrugia SJ toleransi adalah membiarkan dalam damai orang-orang yang mempunyai keyakinan dan praktik hidup yang lain.2 Menurut Soejorno Soekanto bahwa toleransi adalah suatu sikap yang merupakan perwujudan pemahaman diri terhadap sikap pihak lain yang tidak disetujui.3 Dalam kamus umum bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata toleran, secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional dan kelapangan dada. Sedangkan secara terminologi, toleransi yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, 1 Abd Muqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis alQuran (Depok: Katakita, 2009), h. 5. 2 Gerald O’ Collins SJ dan Edward G. Farrugia SJ, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 335. 3 Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: Royandi, 1985), h. 518. 21 22 pandangan, kepercayaan, kebiasaan) yang berbeda dan atau bertentangan dengan pendiriannya.4 Dalam istilah agama-agama seperti dalam agama Islam (bahasa Arab) toleransi biasanya dikatakan ikhtimal, tamaamukh yang artinya, sikap membiarkan, lapang dada, samakha-tasaamakha: lunak berhati ringan atau ada yang memberi arti tolerantie itu dengan kesabaran atau membiarkan, dalam arti menahan diri walaupun diperlakukan senonoh.5 Dalam bahasa Inggris toleransi berasal dari kata tolerate yang berarti memperkenankan atau sabar tanpa protes terhadap perilaku orang atau kelompok lain. Ia juga berarti saling menghormati, melindungi, dan kerja sama terhadap yang lain.6 Bahasa Yunani toleransi disebutkan dengan istilah sophrosyne yang artinya adalah moderasi atau mengambil jalan tengah. Dari semua penjelasan di atas toleransi dimaksudkan adalah adanya sikap untuk saling menghasgai dan menghormanti orang lain, dan menjaga sikap dalam memutuskan langkah yang dilakukan setelah adanya suatu tindakan yang menuinggung perasaan dari kelompok yang berbeda. Jadi, apabila toleransi yang telah dikemukakan di atas, ditimbahkan dengan kata “beragama” maka yang terpikirkan adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak menganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan 4 Binsar A. Hutabarat, Kebebasan Beragama VS Toleransi Beragama, http://www.toleran.com, di akses pada tanggal 28 Oktober 2016. 5 Djohan Efendi & Ismet Natsir, ed., Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib (Jakarta: LP3ES, 2003), h. 55. 6 Sufa’at Mansur, Toleransi dalam agama Islam (Yogyakarta: Harapan Kita, 2012), h. 1. 23 dan ibadah penganut agama-agama lain. Toleransi berarti sikap lunak, membiarkan dan memberi keleluasaan kepada penganut agama lain untuk memenuhi hak dan kewajiban atas agama yang dianutnya. Dalam hubungan antar agama, toleransi dapat berupa toleransi ajaran atau toleransi dogmatis dan toleransi bukan ajaran praksis.7 Dengan toleransi dogmatis maka pemeluk agama tidak menonjolkan keunggulan ajaran agamanya masingmasing. Toleransi praksis maka pemeluk agama akan membiarkan pemeluk agama yang lain melaksanakan keyakinan mereka masing-masing. Pemahaman demikian ini akan melahirkan konsep damai dalam kehidupan manusia. Menurut Thogir senada dengan M. Natsir yang mengatakan man is born as social being (manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial). Sebagai akhluk sosial manusia tidak bisa melepaskan komunikasi dan hubungan pergaulan terhadap sesama. Pada tataran ini akan terjadi proses pembaruan yang tidak mungkin dihindari.8 Toleransi dalam beragama bukan berarti seseorang boleh dengan bebas menganut agama tertentu dan esok harinya berpindah atau menganut agama yang lain. Sehingga nantinya seseorang itu dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan dan saling hormat terhadap perbedaan yang ada. 7 A.M Hardjana, Penghayatan Agama: Yang Otentik dan Tidak Otentik (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 115. 8 Thohir Luth, Masyarakat Madani: Solusi Damai dalam Perbedaan (Jakarta: Mediacita, 2006), h.76. 24 B. Perkembangan dan Teori Toleransi Agama di Indonesia Perkembangan tentang toleransi diikuti oleh perkembangan globalisasi dan modernitas yang ada, tidak bisa lagi memaksakan kehendak pribadi dan suatu kelompok yang tentunya akan menghambat suatu kemajuan. Sehingga bisa dikatakan bahwa apabila suatu kelompok yang intoleran maka akan mengalami stagnansi dari segala sendi kehidupan. Kemudian toleransi dalam keagamaam mulai dilirik dan dikembangkan melalui doktrin yang tentunya belandaskan kitab suci. Toleransi agama-agama yang diakui di Indonesia berjalan sesuai dengan pemahaman keagamaan dalam setiap agama itu sendiri. Misalnya dalam Gereja katolik Roma, beberapa keputusan Konsili Vatikan II telah menumbuhkan sikap yang lebih positif terhadap keberadaan agama-agama lain. Sedangkan dalam kalangan Protestan selama tahun 1970-an Dewan Gereja-Gereja dunia menganggap semakin penting artinya dalam upaya menggalakkan dialog yang sekarang tetap menjadi pembahasan dalam setiap Gereja yang menjadi anggotanya, kemudian umat Kristen mulai meninggalkan sikap eksklusifnya 9 Dalam ajaran Protestan diajarkan hidup yang rukun beragama adalah seperti yang diajarkan dalam Alkitab yaitu hukum cinta kasih. hukum kasih yang mengajarkan untuk mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri, bagi Kristen Protestan adalah hukum utama di dalam kehidupan orang Kristen. Sedangkan dalam Kristen Katolik seperti yang telah dikatakan sebelumnya, 9 Norbert Ama Ngongu, “Pluralisme Dalam Perspektif Agama Katolik”artikel diakses pada tanggal 4 September 2016 dari http://norbertang.blogspot.co.id/2008/03/pluralisme-dalamperspektif-agama.html 25 bahwa kerukunan antar umat beragama terkandung dalam konsili Vatikan II tentang sikap gereja terhadap agama lain. Perkembangan yang ada memaksa setiap manusia untuk hidup toleran dan makin hari makin erat bersatu, hubungan antar bangsa menjadi kokoh, gereja lebih seksama mempertimbangkan bagaimana hubungannya dengan agama-agama dan karena tugasnya memelihara persatuan dan perdamaian di antara manusia dan juga di antara para bangsa, maka di dalam deklarasi ini gereja mempertimbangkan secara istimewa apakah kesamaan manusia dan apa yang menarik mereka untuk hidup berkawanan.10 Toleransi agama bukan sekedar wacana yang berkembang pada saat ini, tetapi sudah terbentuk dalam berbagai formulasi yang terus berkembang. Semua agama pada dasarnya menjunjung tinggi nilai toleransi ini, Islam mengajarkan (amar ma’ruf nahi mungkar), Kristen mengajarkan cinta kasih, Hindu mengajarkan dharma dan Budha mengajarkan jalan kebenaran yang semuanya menuntut pemeluknya untuk menebarkan perdamaian dan sikap toleran kepada pemeluk agama lain. Dalam perkembangan toleransi beragam memuat beberapa konsep yaitu: 1. Pluralisme Pluralitas yang berarti majemuk atau berbeda identitas. Sebagaimana dinyatakan Alwi Shibab pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan 10 Wijaya, Spiritualitas Baru, h. 9. 26 adanya kemajemukan, namun yang terpenting adalah keterlibatan aktif menyikapi fakta pluralitas itu. Dengan kata lain, pluralisme agama berarti setiap pemeluk agama dituntut untuk mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi turut serta dalam usaha memahami perbedaan ajaran masing-masing dan persamaan kedudukan pemeluknya dalam pergaulan kehidupan di masyarakat demi tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.11 Dari sikap yang aktif untuk memahami perbedaan akan tumbuh kesadaraan dan akan menjunjung nilai-nilai yang perbedaan. Bila komunitas agama menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme maka akan menghasilkan potensi besar yang membangun toleransi dalam kehiduapan sehari. Sebaliknya potensi destruktif akan dominan jika komunitas agama tidak mau menghargai perbedaan bahkan menganggap superior agamanya dan memandang inferior agama lain.12 Menurut Muhaimin pluralistik adalah Sikap pluralistik (kemajemukan) dalam hidup bukan berarti mengajak seseorang untuk beragama dengan jalan sinkretisme, yakni semua agama adalah sama, dan mencampurbaurkan segala agama menjadi satu.13 Demikian juga bukan mengajak seseorang untuk melakukan sintesis (campuran) dalam beragama, yaitu menciptakan agama baru yang elemenelemennya diambilkan dari berbagai agama, supaya dengan demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa dalam agama sintesis (campuran) itu menjadi 11 Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka (Bandung: Mizan, 1999), h. 34. Said Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai – Nilai Al-Qur’an dalam Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 122. 13 Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 317. 12 27 solusi dari permasalahan agama-agama yang ada sebelumnya. Agama sintesis tidak mungkin dapat diciptakan, karena tiap-tiap agama mempunyai latar belakang sejarahnya sendiri yang tidak begitu saja diputuskan dan tiap-tiap agama terikat kepada hukum-hukum sejarahnya sendiri. 2. Inklusivisme Inklusivisme yaitu pemikiran atau sikap yang memandang bahwa kebenaran yang di anut oleh suatu agama adalah juga dianut oleh agama lain. Oleh karena itu inklusivisme memandang kebenaran yang universal yaitu memandang bahwa dalam agama terdapat nilai-nilai universal yang bisa diakui dan dianut oleh siapa saja dan dari pemeluk mana saja. Dalam pemikiran ini terdapat titik temu antara agama-agama yang ada dalam aspek tertentu dari ajaranajarannya. Menurut Amin Abdullah membagi wilayah sosial keberagamaan umat manusia, ada wilayah yang disebut normatifitas dan sakralitas, dan pada saat yang sama juga ada wilayah historitas dan profanitas.14 3. Dialog Dialog agama sangat diperlukan di era keterbukaan ini. Dialog agama bukanlah untuk mencari kebenaran agama masing-masing, tetapi menjembatani segala perbedaan yang ada dan memuaskan semua komunitas yang berdialog. Oleh karena itu hendaknya bahasa yang didialogkan adalah bahasa-bahasa sosial, 14 Ahmad Norma Permata, ed., Metodologi Studi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 5. 28 kepentingan bersamaan nilai-nilai profan yang ada dalam agama bukan sebaliknya mendialogkan hal-hal yang normatif dan dogmatif yang memang sebenarnya dimiliki dan diakui oleh penganutnya masing-masing. W.C. Smith.15 Keduanya harus terkadang bercampur aduk dan sangat erat kaitannya. Oleh karena itu inklusif sangat dibutuhkan sehingga meminimalisir bias keagamaan dengan menonjolkan emosi keagamaan dan simbol-simbol keagamaan yang destruktif. C. Pendapat Tokoh-Tokoh Muslim tentang Toleransi Melihat penomena intoleran yang semakin membesar dan meluas dikalangan masyarakat Indonesia para tokoh intelektual muslim khususnya Indonesia sendiri mencari jalan keluar dari keresahan ini. Adapun solusi yang ditawarkan oleh para tokoh di Indonesia antara lain sebagai berikut : 1. Mukti Ali Mukti Ali adalah tokoh Indonesia pertama yang membawa Ilmu Perbandingan Agama untuk dipelajari dikalangan Mahasiswa. Menurut beliau bahwa alasan paling pokok untuk melibatkan diri dalam studi Ilmu Perbandingan Agama adalah untuk meningkatkan hubungan antara pemeluk agama, keterbukaan terhadap agama-agama lain, juga menumbuhkan toleransi aktif dalam menyikapi perbedaan.16 Dalam penelitian agama-agama Mukti Ali memberikan pendekatan baru yang menggabungkan pendekatan lintas disiplin dan interdisiplin yang 15 Permata, Metodologi Studi Agama, h. 91. Singgih Basuki, Pemikiran keagamaan Mukti Ali (Yogyakarta: Suka Press, 2013), h. 16 242. 29 disebut dengan pendekatan sintetis.17 Ada 4 hal yang diprioritaskan dalam upaya para ahli lainnya merumuskan formulasi sehingga diharapkan akan mencapi masyarakat toleran. a. Sinkretisme Paham ini berkeyakinan bahwa pada dasarnya semua agama itu adalah sama. Sinkretisme berbendapat bahwa semua tindak laku harus dilihat sebagai wujud dan manifestasi dari keberadaan azali (zat), sebagai pancaran dari terang azali yang satu, sebagai ungkapan dari subtansi yang satu, dan sebagai ombak dari samudra yang satu.18 Paham ini secara tidak langsung menyatukan semua unsurunsur yang ada pada tiap-tiap agama. Mukti Ali bagaimana mengkaji agama tanpa hanya melihat dari satu sudut pandang saja akan tetapi melihat suatu penomena agama yang timbul dalam masyarakat akan keliru apabila hanya menggunakan satu sudut pandang saja seperti hal para orientalis memandang Islam hanya dari ajarannya saja, atau juga para ulama menggunakan pendekatan doktriner yang dihubungkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.19 Melihat agama yang hanya dari satu sudut pandang saja menurut Mukti Ali akan menghasilkan kesimpulan yang keliru dan tidak utuh pada suatu agama, sehingga dibutuhkan ilmu pengetahuan yang lainnya.20 b. Rekonsepsi 17 Basuki, Pemikiran keagamaan Mukti Ali, h. 243. Mukti Ali, Agama dan Keagamaan di Indonesia (Jakarta: Biro Humas Departemen Agama RI, 1972), h. 118. 19 Singgih, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, h. 244. 20 Mukti Ali. Alam Pemikiran Islam Modern di Indonesia (Yogyakarta: Jajasan Nida, 1971), h. 76. 18 30 Agama adalah suatu keyakinan mengenai cara hidup yang benar, kegiatan ini adalah desakan atau tuntutan alam semesta. Keinginan yang timbul menjadi inti dari agama yang bersifat pribadi dan universal, artinya agama merupakan pengalaman seseorang tetapi sesuai dengan kebutuhan dan keinginan umum dari hati manusia. Untuk itu disusun agama universal yang memenuhi segala kebutuhan dengan merekonsepsi, menata, dan meninjau ulang agama masingmasing dalam konfrontasi dengan agama-agama lain.21 Ini menjadi sebuah konsep yang akan berkembang dari kondisi paham keagamaan yang terus menerus menimbulkan konflik dikalagan pemeluk agama. Dimana paham ini memandang bahwa masing-masing agama harus mempunyai celah yang rasioanal untuk meredam dan mengasilkan sebuah terobosan solutif dari konflik-konflik agama yang ada. Sehingga dari semua agama menghasilkan pandangan yang sama dari semua unsur agama yang berbeda. Agama adalah seperangkat doktrin, kepercayaan, atau sekumpulan norma dan ajaran Tuhan yang bersifat universal dan mutlak kebenaranya. Adapun kebeagamaan adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan atau ajaran-ajaran Tuhan itu, yang tentu saja menjadi relatif dan sudah pasti kebenarannya menjadi bernilai relatif pula.22 c. Sintesis 21 Khairah Husin, “Peran Mukti Ali dalam Pengembangan Toleransi Agama di Indonesia,” Jurnal Ushuluddin UIN RIAU, Vol. XXI, No.1 (Januari 2014), h. 109. 22 Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 20. 31 Sintesis yakni membuat agama baru dengan formulasi yang diambil dari berbagai pada setiap agama-agama yang ada. Sehingga pemeluk dari suatu agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah diambil dan dimasukkan ke dalam agama sintesis tadi, dari agama sintesis ini orang-orang akan menganggap bahwa toleransi dan kerukunan antar umat beragama akan tercipta dengan baik. dalam hal ini Mukti Ali berpandangan seperti berikut : “Agama sintesis sendiri tidak bisa diciptakan karena setiap agama memiliki latar belakang historis masing-masing yang tidak secara mudah dapat diputuskan begitu saja. Dengan kata lain, tiap-tiap agama terikat secara kental dan kuat kepada nilai-nilai dan hukum-hukum sejarahnya sendiri.”23 Mukti Ali menawarkan sintesis yang berusaha menggabungkan kedua kecenderungan melalui gagasan yang menggunakan pendekatan religio-scientific (ilmiah-agamais) atau scientific-cumdoktrinair dalam studi agama. Jadi metode sintesis merupakan cara memahami agama yang memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, objektif, kritis, dengan metode teologis normatif. Metode ilmiah digunakan untuk memahami agama yang tampak dalam kenyataan historis, empiris, dan sosiologis, sedangkan metode normatif digunakan untuk memahami agama yang terkandung dalam kitab suci. Melalui metode teologis normatif ini seseorang memulainya dengan memahami agama sebagai agama yang mutlak benar. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagaimana norma ajaran yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia yang secara keseluruhan diyakini amat ideal. 23 Mukti Ali, “Setuju dalam perbedaan,” Majalah Mawas Diri, no. 1 (Maret 1972), hal. 6. liat juga Faisal Ismail, Republik Bhineka Tunggal Ika:Mengurai Isu-isu Konflik Multikulturalisme, Agama, Sosial, dan Budaya (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keragamaan, 2012), h. 9. 32 Dari metode ilmiah religius ini memungkin terjadinya sikap fanatik radikal dari suatu kelompok agama disebabkan oleh kebenaran yang dianggapnya mutlak, dimana suatu ajaran agama atau dogma secara ilmu pengetahuan telah membuktikan kebenarannya. Metode ini rawan untuk diterapka dalam menciptakan kondisi rukun bagi pemeluk antar umat agama. d. Penggantian Pandangan ini menyatakan bahwa untuk mewujudkan toleransi maka semua agama akan melebur menjadi satu, dan agama itulah yang benar. Seraya berupaya keras agama para pengikut agama-agama lain memeluk agamanya, Ia tidak rela melihat orang lain memeluk agama dan kepercayaan lain yang berbeda dengan agama yang dianutnya. Oleh karena itu, agama-agama lain itu haruslah diganti dengan agama yang dia peluk. Dengan jalan ini ia menduga bahwa kerukunan hidup umat beragama dapat tercipta dan dikembangkan. 24 e. Agree in Disagreement Dalam mewujudkan kondisi kehidupan toleransi, dialog antaragama, damai dan harmoni dalam masyarakat yang berbeda-beda Mukti Ali memberikan konsep berupa bentuk prinsip setuju dalam ketidaksetujuan “agree in disagreement” yang mana ketidaksepahaman yang terjadi dalam masyarakat, karena kondisinya yang majemuk semua setuju dalam perbedaan itu dan mengesampingkan perbedaan yang ada sehingga tercipta kehidupan yang harmonis antar umat beragama. 24 Ali, “Setuju dalam perbedaan,” Majalah Mawas Diri, no. 1 (Maret 1972), h. 9. 33 Prinsip ini menekankan pengakuan dari para pemeluk agama, pengakuan bahwa ada hal dasar yang menjadikan agama memiliki persamaan dan perbedaan.25 Dari pengakuan ini yang dapat menumbuhkan sikap saling menghargai dan saling menghormati, sehinga harmonisasi lebih mudah untuk diwujudkan antar agama, suku, ras, dan kelompok. Dari kelima konsep di atas tepat dikembangkan untuk membina dan mengembangkan toleransi di Indonesia, karena tercermin beberapa sikap yang rela untuk meluangkan dan juga kesadaran yang ditimbulkan apabila dari kelima konsep diatas di pegang teguh setiap masyarakat dan kelompok agama. Dari konsep sinkretisme yang notabenenya dibutuhkan sikap rendah hati untuk mengatakan bahwa semua agama berangkat dari asali yang satu. 2. Alwi Shihab a. Saling Mengenal Sebagaimana dikatakan oleh Alwi Shihab, bahwa umat Islam dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan apa yang pernah dialami sebelumnya. Pluralisme agama, konflik internal atau antar agama 25 Mukti Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Biro Humas Departemen Agama RI, 1972), h. 118. 34 adalah fenomena nyata. 26 Sebagaimana ketentuan dalam firman Allah yakni QS. al-Hujurat ayat 13, Alwi Shihab mengemukakan ayat Al-Quran yang berbunyi: َّ َعارفُىا إِ َّن أَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد َ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَ لَ ْقنا ُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َوأُ ْنثى َو َج َع ْلنا ُك ْم ُشعُىبا ً َوقَبائِ َل لِت َِّللا َّ أَ ْتقا ُك ْم إِ َّن َّللاَ َعلِي ٌم خَ بِي ٌر Artinya: “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku suku supaya kamu saling kenal-menganal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.27 b. Keberagamaan Keyakinan Keberagamaan keyakinan menurut Alwi Shihab adalah sebagai peristiwaperistiwa kekerasan baik terhadap individu maupun terhadap kelompok. Penyerangan dilakukan oleh sekelompok organisasi massa keagamaan dengan mengatasnamakan agama ataupun Tuhan. Fenomena intoleransi anatara umat beragama tersebut masih terus berlangsung sampai detik ini. Padahal kalau kita perlu meyakini, Alwi Shihab tidak mengajarkan sesuatu yang berbau kekerasan yang mengatasnamakan agama. Alwi sendiri memaknai keberagamaan keyakinan adalah sikap pasrah dan tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang patuh dan tunduk kepada Tuhan disebut Muslim, bentuk jamaknya adalah “muslimin”. Dalam kepasrahan ini terkandung keyakinan bahwa hanya Tuhanlah satu-satunya yang harus disembah, dipuja, dan diagungkan. Ajaran ini dalam Islam disebut Tauhid. Ini 26 Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka, h. 39. QS. Al-Hujurat, Ayat 13. 27 35 adalah inti dan prinsip tertinggi serta ajaran utama bukan hanya bagi agama yang dibawa Oleh Rasulullah SAW, tetapi juga dalam semua agama yang ada. c. Keberagamaan Etnis Keberagamaan etnis menurut Alwi Shihab adalah kebudayaan sebagai sesuatu yang mandiri, utuh dan statis sesungguhnya mereduksi makna kebudayaan sebagai proses kemanusiaan. Artinya, sebagai proses kemanusiaan, kebudayaan dimanapun, kapanpun selalu mengalami perubahan dan perkembangan secara terbaru. Bahkan bisa jadi ia menjadi sekedar fosil pada saatnya. Itulah sebabnya, keinginan untuk menyatukan kebudayaan tanpa dibarengi dengan kesadaran multikultural sifatnya tidak permanen. Karena yang terjadi kemudian adalah (kita) hanya seolah menghimpun kebudayaan dalam satu simbol kebudayaan nasional.28 3. Abdurrahman wahid a. Pribumisasi Islam Islam pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad di Jazirah Arab dan dilanjutkan para sahabat-sahabat nabi beserta para tabi’in sampai saat ini tersebar di seluruh dunia, akan tetapi dengan datang Islam di Jazirah Arab tidak serta merta menolak semua tradisi Arab pra-Islam (tradisi masyarakat Arab praIslam). Inti budaya, tradisi dan adat setempat tidak bertentangan secara diametral dengan Islam sehingga itu menjadi ciri khas dari fenonema Islam di tempat 28 Listiyono Santoso, Mewacanakan Nalar Agama yang Inklusif dalam konteks Kemanusiaan dan Kemajemukan Indonesia, diakses pada 15 November 2016 dari https://www.academia.edu/8554403/Mewacanakan_Nalar_Agama_yang_Inklusif_dalam_konteks _Kemanusiaan_dan_Kemajemukan_Indonesia, 36 tertentu.29 Demikian juga proses pertumbuhan Islam di Indonesia, tidak serta merta menghapus semua tradisi, budaya dan adat masyarakat setempat yaitu masyarakat Nusantara pada saat itu. Mayoritas masyarakat menganggap bahwa agama dan budaya bagaikan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Agama Islam bersumberkan al-Qur’an, wahyu yang bersifat normatif maka cenderung permanen. Sedangkan budaya ciptaan manusia, dimana budaya sendiri dalam perkembangannya mengikuti zaman dan cenderung untuk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.30 Sederhananya bahwa Islam mengandung nilai normatif dan universal, sedangkan budaya atau tradisi akan selalu mengalami perubahan mengikuti perkembangan struktur masyarakat dan juga perkembangan zaman. Tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Kekayaan budaya memungkinkan adanya hubungan antar berbagai kelompok atas dasar persamaan. Dalam hal ini Gus Dur membedah antara agama dan budaya menambah kreatifitas manusia dalam memahami apa yang diberikan oleh Allah. Selanjutnya Gus Dur lebih menawarkan bahwa pribumisasi bukan merupakan suatu upaya yang kalah dari kuat suatu kebudayaan di suatu daerah akan tetapi bagaimana hukum Islam bisa menjadi solusi dari permasalahan 29 Umarudin Masdar, Membaca Pememikiran Gusdur dan Amin Rais tentang Demokrasi (Yogyakarta Pustaka Pelajar), h. 141. 30 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Jakarta: Desantara, 2001), h. 117. 37 kontemporer dalam masyarakat Islam. pribumisasi Islam dilakukan agar kita tidak tercabut dari akar budaya.31 Sebaliknya, kecenderungan “Arabisasi” bukan saja membuat kita jadi terasing dengan budaya sekitar, tetapi dalam banyak hal sering tidak bersesuaian bahkan bertentangan dengan keperluan masyarakat di Indonesia. Pribumisasi juga bukan upaya untuk menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya setempat, tetapi justeru agar budaya itu tidak hilang. Lalu, bagaimanakah proses pribumisasi berlangsung dan dapat dikawal, Gus Dur menawarkan pola yang cukup sederhana, yaitu dengan mempergunakan variasi pemahaman nash dengan tetap memberikan peranan kepada usul fiqh dan qaidah fiqhiyah.32 Qaidah fiqhiyah seperti al- cadat al-muhakkamah (adat istiadat menjadi hukum) dan al-muhafazatu bi qadimi al- sahih wa akhazu bi al-jadid al-aslah (memelihara yang lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).33 misalnya boleh menjadi petunjuk untuk mendorong, mengawal, dan sekaligus mengevaluasi gerak pribumisasi ini. Dalam upaya mewujudkan pribumisasi Islam ini, menurut Gus Dur bahwa umat Islam tidak perlu melihat budaya Arab, tapi Islam yang dilihat dari sisi agamanya bukan berkembang dari budaya Arab karena Islam diturunkan pertama kali di Arab. Sehingga Islam bisa menjadi ways of life dengan kondisi budaya yang jauh berbeda dengan budaya Arab, konsep Islam yang dinamis sangat 31 Abdurahman Wahid, Islam Ku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 245. 32 Wahid, Islam Ku, Islam Anda, Islam Kita, h. 246. 33 Muhammad Bakir dan M. Zaid Mahyudi, Gus Dur: Santri Par Exellence (Teladan Sang Guru Bangsa “Abdurahman Wahid Ketegaran Pluralisme Akar Rumput) (Jakarta: Kompas, 2010), h. 200. 38 dibutuhkan sekarang ini melihat bahwa konteks keberagamaan seseorang kebanyaka hanya sebagai formalitas semata. b. Humanisme dan Demokrasi Gus Dur Gus Dur dikenal sebagai seorang tokoh humanis dikalangan masyarakat, apa yang diperjuangkannya merupakan nilai kemanusiaan tanpa adanya embelembel yang menjadi dinding pembatas untuk menegakkan hak kemanusiaan yang dimiliki oleh seseorang. Gus Dur dalam praktik keagamaannya sering kali melebih batasan dalil-dalil agama yang statis, menengakkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal adalah intisari dari semua ajaran agama yang mana toleransi dan hidup damai merupakan tujuan semua agama.34 Masuknya Islam di Nusantara secara historis pada saat itu mayoritas masyarakatnya telah berkembang kepercayaan Hindu, Budha dan ajaran agamaagama lokal di setiap daerah, akan tetapi penyebaran Islam pada saat itu masih diberi tempat sehingga Islam bisa menjadi agama mayoritas dianut masyarakat Indonesia. Dengan ini Gus Dur menganggap bahwa sangat ironi ketika sekarang ini penganut agama Islam yang mayoritas menjadikan Islam yang tidak toleran atas hak-hak kemanusia orang lain yang minoritas.35 Kaum minoritas hakikatnya hanya ingin diperlakukan selayak manusia yang bebas untuk memperoleh hak sebagai manusia dan warga negara Indonesia tanpa harus membedakan kelompok, agama, etnis ataupun budayanya. Demokrasi merupakan salah satu tema besar yang perlu digaris bawahi dari perjuangan dan pemikiran Gus Dur. Baginya konsep demokrasi adalah 34 Ali Masykur Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gusdur (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002), h. 120. 35 Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gusdur, h. 121. 39 konsekuensi logis yang dianggapnya sebagai salah satu dimensi dalam ajaran Islam. Alasan Gus Dur mengapa Islam dikatakan agama demokrasi. Pertama, Islam adalah agama hukum, dengan pengertian bahwa agama Islam yang mempunyai nilai hukum dimana dalam hal ini hukum berlaku bagi semua orang tanpa memandang ras, suku, kelompok minoritas maupun kelompok mayoritas. Terkait dengan kaum minorits Gus Dur menganggap bahwa dengan penerapan demokrasi yang sehat dan baik akan memberikan tempat bagi para kaum minoritas untuk bernaung, memperoleh hak dan juga berekspresi sebagaimana masyarakat lainnya, secara sederhanya dikenal dengan prinsip kesetaraaan.36 Kedua, Islam memiliki asas permusyawaratan (amruhum syuraa bainahum), artinya adanya tradisi bersama membahas dan mengajukan pemikiran secara terbuka dan pada akhirnya diakhiri dengan kesepakatan. Ketiga, Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan, menguatkan inspirasi dan juga sekaligus menjadi kekuatan moral dalam masyarakat37 Ide demokratisasi Gus Dur muncul karena ia melihat ada kecenderungan umat Islam Indonesia menjadikan Islam sebagai “alternatif” bukannya sebagai “inspirasi” bagi kehidupan masyarakat. Maksudnya bahwa selama ini Islam selalu dijadikan sebagai alternatif dari permasalahan yang ada dalam masyarakat dimana pada praktiknya juga tidak berjalan baik, sehingga menurut Gus Dur agama semestinya menjadi inspirasi. 36 Listiono Santoso, Teologi Politik Gus Dur (Jogjakarta: Ar-Ruszz Media, 2004), h.190. Santoso, Teologi Politik Gus Dur, h.199. 37 40 Dalam proses demokratisasi ada sesuatu keharusan yang tidak boleh dilupakan dan diabaikan yaitu tentang “kemanusiaan”. Pada dasarnya hakekat demokrasi itu adalah menempatkan manusia sebagai subjek demokrasi itu sendiri. “dari sekarang sebenarnya telah dituntut dari kesediaan untuk memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi yang hidup di negeri kita. Perjuangan itu haruslah dimulai kesediaan menumbuhkan moralitas dalam kehidupan bangsa dan negara dalam kehidupan bangsa, yaitu moralitas yang terlibat dengan penderitaan rakyat di bawah”.38 Berangkat dari kedua alasan ini bahwa dengan humanisme dan demoktatisme yang dimilikinya tergambar dari ide untuk mencabut ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang baginya substansi gagasan itu merangkum nilai cinta yang universal non-diskriminasi terhadap suatu kelompok yang telah dihilangkan hak demokrasinya.39 c. Pluralisme dan Toleransi Pluralisme dalam pandangan Gus Dur menjadi sebuah keniscayaan dalam sebuah negara yang dianugrahkan dari Tuhan Yang Maha Esa yang akan terus menghiasi kemajemukan Indonesia sampai kapan pun.40 Menurut pendapat Gus Dur bahwa UUD 1945 dan Pancasila bentuk jaminan atas sikap toleransi dan juga mengandung nilai Islam “kekuatan inspratif”. 38 Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 190. 39 Limas Susanto, Gus Dur: Santri Par Exellence, h. 165. Bakir dan Mahyudi, Gus Dur: Santri Par Exellence, h.199. 40 41 Selain itu nilai toleransi yang beliau dapatkan melihat bahwa dari sekian banyak perbedaan pendapat dalam tradisi keilmuannya bahwa perbedaan itu tidak sedikit pun mengurangi penghormatan terhadap pendapat lain, dan juga dari penghormatan itu tidak mengurangi sedikit pun keyakinan atas pendapat yang lain meskipun jelas berbeda. Bahkan sejak dari kecil Gus Dur sudah menadapatkan pembelajaran tentang kesetaraan (semua agama dipandang sama dan harus dihormati) dari semua pemeluk agama saat ayahnya menjadi Menteri.41 pandangan Gus Dur tentang kemanusiaan ini muncul karena dipengaruhi beberapa faktor di antaranya adalah konflik berkepanjangan yang terus terjadi dari hari ke hari sampai sekarang ini baik atas nama suku, ras, golongan maupun yang mengatasnamakan agama di berbagai daerah di Indonesia. Konflik berkepanjangan ini menunjukkan bahwa belum adanya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan mudahnya orang dengan main hakim sendiri. Sehingga situasi yang seperti ini perlunya melibatkan tokoh agama, birokrat, penegak hukum, pendidik, dan tokoh masyarakat berperan dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dengan cara menanamkan nilai-nilai agama yang berkaitan dengan moralitas guna menyadarkan pluralitas masyarakat. Khususnya adalah kelompok minoritas agama, etnis dan gender lainnya, karena ia memang telah mengkampanyekan toleransi agama dan kerukunan hidup sejak lama. Bahkan, Gus Dur memasukkan beberapa anggota kabinet dari kelompok Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Dalam kapasitasnya sebagai presiden, Gus Dur melanjutkan aktifitasnya dalam mempromosikan toleransi dan menunjukan komitmennya terhadap kebebasan beragama dengan memanggil para pemuka agama Hindu, Buddha, Shikh dan lainnya dalam festival agama-agama. 41 Abdurahman Wahid dan Daisaku Ikeda, Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 44. 42 43 BAB III KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BUGIS A. Perkembangan Masyarakat Bugis Masyarakat Bugis merupakan masyarakat yang menempati bagian selatan pulau Sulawesi. Masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan biasanya disebut dengan to Ogi, to Bugi atau to Ugi, yang kebanyakan menurut beberapa ahli kata ugi atau ogi diambil dari kata La Sempugi. La Sempugi sendiri adalah sebuah nama dari bapak La Wicudai yang kemudian menjadi mertua dari Sawirigading.1 Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan dan kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Suku Makassar dan Mandar terdapat hubungan melalui proses pernikahan oleh Keturunan raja-raja Bugis sehingga adanya pertalian darah suku terdekat dari pemukiman masyarakat Bugis. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu: Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai dan Barru.2 Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Seiring berjalannya waktu dan terjadinya 1 Sawirigading merupakan tokoh yang menjadi manusia pertama di dalam Lontara’ suku Bugis. 2 Hamid Abudullah, Manusia Bugis Makassar (Jakarta: PT Inti Idayu Press, 1985), h. 12. 43 44 beberapa perang diantara perang melawan penjajah dan juga perang saudara yang memaksa beberapa masyarakat Bugis harus meninggalkan kampung halamannya (ri akkanropangi tanah) dan pergi ke beberapa daerah seperti di Kalimantan, Jawa, dan Sumatera.3 B. Siri Na Pesse Prinsip Hidup Masyarakat Bugis Dalam kebudayaan masyarakat Bugis perbuatan seseorang tidak bisa dipisahkan oleh seseorang yang lainnya, ini disebabkan karena masyarakat Bugis dilandasi pada suatu prinsip pemuliaan harkat dan martabat seseorang sebagai manusia, disebutkan dalam bahasa Bugis “tau-sipakatau” yang bisa diterjemahkan dengan “memanusiakan manusia sebagai layaknya manusia yang sesungguhnya”. Mashadi Said dalam bukunya “Jati Diri Manusia Bugis” menyebutkan bahwa “manusia secara individual harus memiliki dua keutamaan yaitu siri’ dan pesse. Siri’ dan pesse yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan dijadikan sebagai prinsip bagi masyarakat Bugis”.4 Kedua prinsip ini merupakan pola hidup yang menentukan bentuk perilaku dan semua intraksi dalam praktik hidup bermasyarakat. Tuntutan prinsip itu selalu didasari oleh masyarakat Bugis sebagai suatu hal yang menjadi landasan dalam bertingkah laku. Siri’ merupakan adat kebiasaan yang melembaga dan masih besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis).5 3 Mashadi Said, Jati Diri Manusia Bugis (Jakarta: Prodeleader, 2016), h. 36. Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 98. 5 Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis (Ujung Pandang: Hasanuddin Universitas Press, 1992), h. 168. 4 45 1. Siri’ Ada banyak pendapat tentang siri’ dalam pembahasan ini Mattulada yang dikutip oleh Laica Marzuki menyebutkan bahwa siri’ adalah “kesadaran tentang nilai martabat yang didukung oleh tiap-tiap orang dalam tradisi kehidupan masyarakat Bugis” dikatatan, siri’ juga merupakan kesadaran kolektif yang amat peka, dibebankan kepada tiap-tiap orang anggota persekutuan hidup untuk membangunya, untuk mempertahakan dan menegakkannya.6 Nilai siri’ dapat dipandang sebagai suatu konsep kultural yang memberikan implikasi terhadap segenap tingkah laku yang nyata. Tingkah laku itu dapat diamati sebagai pernyataan ataupun wujud kehidupan masyarakat Bugis. Apabila kita mengamati pernyataan nilai siri’ ini atau lebih konkritnya mengamati kejadian-kejadiannya berupa tindakan, perbuatan atau tingkah laku yang katanya dimotivasi oleh siri’, maka akan timbul kesan bahwa nilai siri’ itu pada bagian terbesar unsurnya dibangun oleh perasaan sentimental atau sejenisnya. Cara pandang seperti ini jelas merupakan sebuah cara pandang yang kurang lengkap terutama apabila hendak mengamatinya dari sudut pandang kebudayaan. Sebab hal tersebut merupakan sebuah nilai yang bukan hanya 6 M. Laica Marzuki. Siri: Sebagai Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar (sebuah telaah filsafat hukum) (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995), h. 36. 46 sekedar memiliki nilai kebudayaan akan tetapi juga merupakan sebuah prinsip atau falsafah hidup manusia.7 Kemudian, hakikat kebenaran dari falsafah inilah yang mulai surut dalam setiap tingkah laku maupun tindakan kolektif masyarakat Bugis Sebagai seorang masyarakat Sulawesi Selatan, penulis melihat, missinterpretasi semacam ini sudah lama terjadi. Bagaimana rasa malu yang tidak ditempatkan pada tempat semestinya, mendahulukan rasa amarah ketimbang sikap rasional dalam memahami suatu permasalahan. Jika berkaca pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah saat ini, mulai dari demonstrasi yang selalu berakhir dengan kerusuhan, sampai kepada perilaku bermasyarakat yang kebanyakan berujung pada konflik yang menimbulkan korban jiwa. Ini disebabkan karena siri yang sekarang dipahami masyarakat mengalami pergeseran makna. Disintegrasi seperti inilah yang kemudian berpotensi melahirkan ketidakstabilan dalam kehidupan sosial masyarakat sehingga seringkali menimbulkan konflik. Dimana siri’ pun harus timbul pada diri seorang yang telah berbuat zalim, khianat dan curang atau yang berakibat akan merugikan orang lain dalam suatu kelompok masyarakat.8 Maksudnya siri’ juga harus timbul dari dalam diri seseorang untuk menjaga siri’ orang lain dalam bentuk berbuat baik, amanah, dan menghargai orang lain. 7 Mattulada, LATOA : Satu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995), h. 62. 8 Nurhayati Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas (Makassar: La Galigo Press, 2012), h. 175. 47 Apabila kita ingin mendalami makna siri’ dengan segenap permasalahannya, antara lain dapat diketahui dari lontara‟ La Toa, Dimana dalam lontara ini berisi paseng (pesan atau amanat) dan pappanngaja (nasehat-nasehat) yang merupakn kumpulan petuah untuk dijadikan sebagai suri tauladan.9 Kata Latoa sendiri sejatinya memiliki arti petuah-petuah, dimana juga memiliki hubungan yang erat dengan peranan siri’ dalam pola hidup atau adat istiadat masyarakat Bugis. Misalnya dapat dilihat pada beberapa point dalam lontara‟ tersebut: Siri’ sebagai harga diri atau pun kehormatan, mapappakasiri’ artinya menodai kehormatannya, ritaroang siri’ yang artinya ditegakkan kehormatannya, passampo siri’ yang artinya penutup malu, siri’ sebagai perwujudan sikap tegas demi sebuah kehormatan hidup.10 Ungkapan sikap yang mencerminkan siri’ yang harus dijaga masyarakat Bugis yang termanifestasikan lewat kata-kata taro ada’ taro gau (selarasnya kata dengan perbuatan), merupakan tekad atau cita-cita dan janji yang telah diucapkan pastilah dipenuhi dan dibuktikan dalam perbuatan nyata. Hal tersebut juga sejalan dengan prinsip-prinsip abattireng ripolipukku (asal usul leluhur senantiasa dijunjung tinggi, semuanya ku abadikan demi keagungan leluhurku).11 Pada pernyataan di atas tergambar bahwa siri’ bukan hanya tercermin dari sikap masyarakat Bugis semata tapi juga melalui ucapan yang harus dibuktikan melalui perbuatan. Karena membuktikan perbuatan selama apapun itu menandakan bahwa seseorang itu mempunyai harga diri dan naluri kebaikan. 9 Mattulada, LATOA, h. 85. Mattulada, LATOA, h. 64. 11 Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 95. 10 48 Pembagian makna siri’, Mattulada memamaparkan hal yang sependapat dengan C.H. Salam Basjah dan Sappena Mustaring yang memberikan penjelasan atas kata siri’ dalam tiga golongan pengertian yaitu:12 1. Siri’ sama artinya dengan malu, isin (Jawa), shame (Inggris) 2. Siri’merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh, mengasingkan, mengusir dan hukuman lainnya terhadap apa atau siapa saja yang telah menghilangkan kehormatan diri orang lain, atau melakukan hal yang salah dalam masyarakat. Hal ini merupakan kewajiban adat, kewajiban yang mempunyai sanksi adat, yaitu berupa hukuman dari norma-norma jika tidak dilaksaanakan. 3. Siri’ sebagai penyemangat atau daya pendorong yang bisa juga ditujukan kearah pembangkitan tenaga untuk suatu pekerjaan atau usaha. Adapun makna siri’ menurut La Side budayawan Bugis dalam buku Mashadi Said mengatakan bahwa konsep siri’ mengandung tujuh makna yaitu:13 1. Siri’ dalam makna malu-malu, dapat dilihat dari kalimat “ adeppeki’ mai, aja’ na tu masiri’, nasaba tania ki tau laing” yang berarti mendekatlah kemari, janganlah malu, karena anda bukan orang lain (yang sudah kenal maupun yang sudah akrab). 2. Siri’ bermakna malu dapat dilihat dari kalimat berikut ini “de’na kuissenggi siri’ku nasaba risenge ri tenggana tau maegae” artinya “tak terkira maluku karena saya ditagih ditengah orang banyak”, kata siri’ 12 Mattulada, LATOA, h. 62. Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 101. 13 49 diatas menunjukan malu seseorang karena ditagih utangnya diantara orang banyak. 3. Siri’ dalam makna takut dapat dilihat dari kalimat berikut “temmasiriki matti ri Nabitta na de’ta turussiewi panggaja’na” artinya tidakkah anda merasa takut kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga tidak menuruti nasehat dan ajarannya” kata siri’ di atas menujukan kata takut. 4. Siri’ dalam makna hina atau aib, dapat dilihat dari kalimat “ Masseroa” napakasiri naleppa’ riolo na tau maegae” artinya betapa ia menghina saya, menampar saya di depan orang banyak. Siri’ di sini bermakna penghinaan atau aib. 5. Siri’ dalam makna iri hati atau dengki terlihat dari kalimat berikut ini “ masiri ati wi ri iyya, na saba ubettai menre pangka’” artinya dia iri hati terhadap saya karena mendahuluinya naik pangkat. Siri’ di sini bermakna iri hati. 6. Siri’ dalam makna harga diri atau kehormatan, dilihat dari kalimat “ na ia tau matanre e siri’ na tenna pojiwi minreng tenna poji mellau” artinya orang mempunyai harga diri adalah orang tidak suka berhutang dan tidak suka meminta. 7. Siri’ dalam makna kesusilaan bisa dilihat dari kalimat „ ia pasilainggi tau na olo’ kolo’ e iana ritu siri’e” artinya yang membedakan manusia dengan binatang ialah kesusilaan. Dari tulisan di atas dapat disederhanakan menjadi dua macam sikap reaktif dari siri’ yaitu pertama, Siri Ripakasiri bersifat eksternal reaktif, yang disebabkan 50 oleh penyerangan kehormatan (martabat) yang datang dari luar pribadi seseorang pihak yang mengalami perlakuan penyerangan kehormatan berkewajiban untuk melakukan tindakan pemulihan, karena orang telah diserang kehormatannya disebut dengan mate siri’, orang yang mate siri‟nya tidak lagi dianggap sebagai manusia, melainkan binatang (olokolok) yang menyerupai manusia (rupa tau). sehingga harkat kemanusiaan yang telah Mate Siri’ pulih kembali seperti semula, siri’ ripakasiri terjadi apabila orang lain di hina atau dipermalukan.14 Siri’ yang dimaksudkan di sini adalah siri’ yang datang dari luar diri seseorang. Kedua, itu Siri’ Masiri terjadi karena adanya reaksi siri’ datang dari dalam diri pribadi seseorang, yang dilandasi kehendak untuk mencapai prestasi yang lebih baik dalam kehidupannya. Siri’ masiri bersifat internal, bertujuan mencapai serta meningkatkan prestasi demi siri pribadi, siri keluarga, dan siri masyarakat.15 Tidak hanya itu tapi juga harus ditanamkan siri’ mappakasiri maksudnya seseorang harus mempunyai kesadaran siri’ untuk menjaga dan menegakkan siri’ yang timbul karena kesadaran ingin mamanusiakan manusia yang lainnya. Layaknya sebuah tradisi, maka secara turun temurun konsep nilai ini senantiasa akan menjadi pegangan serta pedoman dalam kehidupan masyarakat Bugis. Bilamana pada suatu generasi penafsirannya meleset, maka akan berdampak ke generasi berikutnya. Jika terjadi disintegrasi terhadap penafsiran tentang nilai Siri’ ini, maka tentunya akan berdampak kepada kelanjutan eksistensi kepada generasi yang akan datang. 14 15 Marzuki, Siri’ Sebagai Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar, h. 53. Marzuki, Siri’ Sebagai Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar, h. 54. 51 Dasar falsafah hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan masyarakat Bugis untuk senantiasa hidup baik di negeri sendiri atau negeri orang lain adalah menjadi manusia yang perkasa dalam menjalani kehidupan. Setiap manusia keturunan Bugis dituntut harus memiliki keberanian, pantang menyerah menghadapi tantangan ataupun ujian hidup. Itulah sebabnya maka setiap orang yang mengaku sebagai masyarakat Bugis memiliki orientasi yang mampu menghadapi apapun. Hakekat prinsip tersebut bersumber pada leluhur masyarakat Bugis yang tersimpul dengan “duai temmallaiseng, tellui temmasarang” (dua bagian yang tak terpisahkan dan tiga bagian yang tak terceraikan). Yaitu siri na pesse dan tiga sifat sipakatau, sipakainge, dan sipakalebbi (yaitu siri’ dan pesse serta tiga sifatnya yaitu saling memanusiakan, saling mengingatkan atau menyeru pada kebaikan, dan saling menghormati juga menghargai.16dengan demikian konsep siri’ memberikan pengarahan yang cukup jelas bagi kehidupan masyarakat Bugis lebih baik. Siri’ adalah sebuah kesadaran yang muncul dari dalam diri manusia yang tidak terjadi secara sepintas sehingga secara langsung akan bereaksi apabila terjadi sesuatu, siri‟ disejajarkan dengan akal pikiran yang baik karena bukan timbul dari kemarahan, dengan peradilan yang bersih karena tidak dilakukan 16 Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas, h.154. 52 secara sewenang-wenang, dengan perbuatan kebijakan yang tidak menjengkelkan sesama manusia secara tak patut.17 2. Pesse Kata pesse secara harfiah dapat berarti pedih, yang menyerap dalam kalbu seseorang, karena melihat penderitaan orang lain.18 Pesse yang lengkapnya pesse bebbua yang berarti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri, mengindikasikan adanya perasaan haru (empati) yang dalam terhadap tetangga, kerabat, atau sesama kelompok sosial.19 Sehingga ini dimaknai sebagai rasa solidaritas yang dimiliki masyarakat Bugis dalam berbagai hal, baik suka maupun duka. Lebih luas lagi, ungkapan pesse ini menunjukkan rasa simpati yang mendalam, atau perasaan empati terhadap sesama anggota kelompok komunitas masyarakat.20 Kata pesse juga selalu disandingkan dengan siri’, sebagaimana Laica Marzuki kemukakan pesse merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan oleh siri’. Pesse juga menurut dalam sebuah panggilan nurani untuk menyatakan sikap untuk melarutkan diri setiap pribadi pendukung siri’ guna kepentingan bersama. Pesse berfungsi sebagai pemersatu, penggalang solidaritas, kebersamaan serta pemuliaan manusia (sipakatau).21 sehingga mendorong seseorang untuk saling tolong menolong, saling menghormati, dan turut membela harkat dan martabat 17 Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas, h.169. Marzuki, Siri’ Sebagai Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar, h. 132. 19 Cristian Pelras, Manusia Bugis, Jakarta: Forum Jakarta-Paris.2006, h. 252. 20 Rahmawati, “Integrasi Nilai Budaya Siri’ dan Pesse Masyarakat Bugis Makassar dalam Pelajaran IPA, Jurnal Pendidikan Nusantara Indonesia, vol.1, 2015, (Unismuh Makassar), hal. 92. 21 Marzuki, Siri’ Sebagai Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar, h. 132. 18 53 orang lain untuk menegakkan kembali siri’ (martabat seseorang). Pesse menjadi hal yang tidak terpisahkan dari manusia seperti disebutkan dalam Lontara: “Iya sempugi’ku, rekkua de’na siri’na, engka messa pessena” Artinya “Kalaupun saudaraku sesama Bugis (sempugi’ku) tidak menaruh siri’ atasku, paling tidak, dia pasti masih menyisakan pesse.” Maksudnya dari pernyataan di atas adalah apabila seseorang tidak mempunyai rasa hormat terhadap orang lain tapi orang Bugis pasti memiliki rasa empati atau rasa kasihan terhadap orang lain.22 Dengan kata lain bahwa pesse adalah panggilan hati untuk merasakan penderitaan orang lain dalam hati nurani masyarakat Bugis. Pesse mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial tanpa mementingkan diri sendiri dan golongan inil adalah salah satu konsep yang membuat suku Bugis mampu bertahan dan disegani diperantauan, pesse mengeskpresikan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, orang lain di sini meliputi semua orang yang di luar dari diri orang yang bersangkutan. tepatnya, siapapun yang menjadikan dirinya larut oleh endapan perasaan pesse. Perasaan pesse dikala melihat orang lain menderita karena diperlakukan (ripakasiri) menjadikan konsep pesse selalu tampil berpadanan, bagi orang Bugis manusia tanpa siri’ dipandang sebagai sama dengan binatang, tapi apabila manusia tanpa endapan pesse menjadikan dirinya lebih rendah derajatnya dari 22 Pelras, Manusia Bugis, h. 253. 54 binatang. Sehingga pesse yang timbul dari dalam diri sesorang inilah yang akan membantu baik secara langsung dan tidak langsung dalam mengembalikan dirinya menjadi Tau (manusia yang semestinya).23 Maksudnya menjadi makhluk yang paling biadaplah apabila ada seseorang yang tidak mempunyai sebuah pesse dalam hati nuraninya, karena binatang sekali sekalipun masih mempunyai rasi kasihan dan empati terhadap sesamanya binatang. Tidak hanya dalam hal orang lain yang telah diperlakukan tidak terhormat (mate siri’) tetapi pesse dijadikan sumber yang mengeratkan anggota kelompok sosial.24 Misalnya penderitaan siapa saja dalam kelompok sosial yang sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah, atau menderita sakit. Maka diwajibkan untuk membantu sekuat dan semampunya kita sebagai manusia. Bahkan pesse dijadikan sebagai hutang budi pada seorang yang telah berbuat baik kepadanya, tentunya tidak hanya ditunjukan dalam ucapan “terimakasih” saja melainkan ditunjukan dengan sesuatu perbuatan yang setara atau lebih dari apa yang telah diterimanya.25 Dalam pesse bertumpuhnya sebuah solidaritas yang menunjukan persaudaraan di kalangan masyarakat Bugis dan di sebutkan dalam lontara bahwa : Iya padecengi assijingeng: 1. Sianrasa-ranggange na sipammase-mase, 2. 23 Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 131. Pelras, Manusia Bugis, h. 252. 25 Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 136. 24 55 Sipakario-rio, 3. Tessicarinnainggeng ri sitinajae, 4. Sipakainge’ ri gau patujue, na siaddampengeng pulanae.26 Artinya, yang melestarikan hubungan kekeluargaan dalam masyarakat yaiu: 1. sependeritaan dan saling mengasihi, 2. Saling menggembirakan, 3. Rela merelakan harta dalam batas sepantasnya, 4. Saling memperingati dalam kebaikan, dan 5. saling memaafkan dengan penuh keikhlasan. Inti budaya siri' na pesse mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat Bugis, karena siri' na pesse merupakan jati diri dari orang-orang Bugis. Dengan adanya falsafah dan ideologi siri' na pesse maka keterikatan antar sesama dan kesetiakawanan menjadi lebih kuat baik dengan sesama suku, maupun dengan suku yang lain. Konsep siri' na pesse bukan hanya menjadi prinsip oleh kedua suku ini (Bugis dan Makassar), tetapi juga dianut oleh suku-suku lain yang mendiami daratan Sulawesi seperti, suku Mandar dan Toraja, hanya kosakata dan penyebutannya saja yang berbeda, tetapi falsafah ideologinya memilikii kesamaan dalam berinteraksi dengan sesama. C. Pangederreng Masyarakat bugis Pangaderreng menurut La Tadamperreng Puang ri Manggalatung27 (arung Matoa Wajo) dalam Lontara Sau Wae (LSW) bahwa “ Naia riaseng e 26 Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 133. 56 pangaderreng tellu toi: seuani, allelengeng elempu’, madduanna to mappalaleng malempu’, mattellunna to mallaleng malempu’ aga ennassarang pura onro, pura llaloe” adapun yang disebut pangederreng ada tiga: pertama, tempat berjalan (peraturan Hukum) yang lurus; kedua, orang yang menyuruh untuk menjalani (penguasa pemerintah pelaksana hukum) yang lurus dan orang yang disuruh menaati yang lurus maka ia tidak akan dipisahkan dari peraturan yang telah diterapkan lebih dahulu, yang tak boleh diubah lagi”.28 Panngaderreng menurut Mattulada mengatakan bahwa panngaderreng bukan hanya meliputi aspek-aspek yang disebut sistem norma dan aturan-aturan adat, yaitu hal-hal yang ideal yang mengandung nilai-nilai normatif, juga meliputi hal-hal dimana seseorang dalam tingkah lakunya dan dalam memperlakukan diri dalam kegiatan sosial, bukan saja merasa “harus” melakukannya, melainkan lebih jauh daripada itu, ialah adanya semacam perasaan bahwa seseorang adalah bagian integral dari pangederreng29. S.H. Alatas dan Nurhayati Rahman mendefinisikan pangederreng sebagai keseluruhan falsafah sosial dan budaya masyarakat Bugis, mencakup hidup politik, keadilan, ekonomi, adat, keluarga, dan lain-lainnya.30 Sehingga bisa dikatakan pangederreng adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari personal seseorang dalam keterlibatannya secara total dalam 27 La Tadamperreng Puang ri Manggalatung adalah raja dari kerajaan Wajo di kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. 28 A. Zainal Abidin Farid, dkk., Siri’ Filosofi Suku Bugis, Makassar, Toraja, Mandar: “Siri, Pesse Dan Were’ Pandangan Hidup Orang Bugis” (Makassar: Arus Timur, 2014), h. 37. 29 Mattulada, LATOA, h. 339. 30 Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas, h. 175. 57 kehidupan bermasyarakat yang tentunya memiliki tolak ukur baik dan buruknya perilaku manusia dalam kehidupan masyarakatnya. Pangedereng meliputi semua pikiran-pikiran yang baik, perbuatanperbuatan atau tingkah laku yang baik.31 Lebih lanjut pangederreng menunjukan nilai-nilai dari kebiasaan yang terdapat dari perilaku seseorang, masyarakat dan juga pemerintah (Kerajaan) yang akan mengharmoniskan serta akan memberikan manfaat bagi harkat dan martabat manusia. Secara rinci pangederreng berbeda dengan adat yang dimaksudkan dalam konsep kebudayaan, adat mengandung pengertian umum sedangkan pangederreng mengandung pengertian terbatas. Adat meliputi adat makan-minum dengan keluarganya, atau yang adat yang melembaga dalam suatu keluarga seperti, tidur, bangun, berpakaian dan sebagainya. Semua contoh yang disebutkan diatas tidak masuk dalam ruang lingkup pangederreng, namun pangederreng berbicara boleh atau tidak boleh, baik dan buruknya sesuatu dalam kehidupan masyarakat.32 Apabila pangederreng adalah kebiasaaan atau aturan-aturan yang sudah dibiasakan saja maka akan menghilangkan satu aspek terdapat dari hakikat pengederreng, yaitu memelihara dan menumbuhkan harkat dan nilai-nilai kebaikan yang justru menjadi tulang punggung untuk tegaknya pangederreng. Sehingga apabila suatu masyarakat menerima kebiasaan atau aturan-aturan yang diadatkan berupa kekerasan dan penindasan sebagai satu aspek sosial, selaku adat kebiasaan, aturan yang dibiasakan, tentu dapat disebut adat tapi bukan 31 Mattulada, LATOA, h. 128. Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas, h.137. 32 58 pangederreng dalam arti essensial. Adat yang demikian akan ditentang oleh pangederreng, karena pangederreng membangun harkat dan martabat manusia.33 Dan unsur pangederreng memberi tempat yang sangat tinggi kepada 1) Hak-hak asasi manusia, 2) kedaulatan rakyat, dan 3) pejabat sebagai abdi rakyat.34 Mattulada mengidentifikasi bahwa aspek-aspek panngederreng mengandung 4 azas yang menjadi latar belakang yaitu: 1. Azas mappasilasa’e, diwujudkan dalam manifestasi ade‟ agar terjadi keserasian dalam sikap dan tingkah laku manusia di dalam memperilakukan dirinya dalam pangederreng. Dalam tindakan-tindakan operasionalnya ia menyatakan diri dalam usaha-usaha pencegahan (preventif) sebagai tindakan-tindakan penyelamat. 2. Azas mappasisaue, diwujudkan dalam manifestasi ade’ untuk hukuman deraan pada tiap-tiap pelanggaran ade’ yang diyatakan dalam bicara. 3. Azas mappasenrupae, diwujudkan dalam manifestasi untuk memelihara kelangsungan aturan-aturan dahulu yang sudah ada. 4. Azas mappallaiseng, diwujudkan dalam manifestasi ade untuk memberikan batas-batas yang jelas tentang hubungan antara manusia dan lembaga-lembaga sosialnya, dimana ini adalah upaya agar manusia terhindar dari hal negatif dalam masyarakat. 33 Mattulada, LATOA, h. 141. Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas, h. 176. 34 59 Para ahli kebudayaan Bugis menjelaskan ada empat unsur yang terkait kelangsungan kehidupan moral manusia Bugis, yaitu ade’, rapang, bicara, wari.35 ini berdasarkan apa yang telah diwariskan oleh Kajao La Liddo dari tanah Bone sekitar abad ke 16 M. Aspek ideal dalam pangederreng juga terbagi dalam beberapa kategori dibawah ini. 1. Ade’ Ade’ merupakan salah satu aspek pangaderreng menurut Kajao La Liddo36 yang dikutip Anwar Ibrahim bahwa ade’ yang memperkuat kebesaran raja, menjadi pagar dalam perbuatan orang-orang berbuat semaunya dan sandaran bagi orang-orang lemah.37 Ade’ bisa dikatakan sebuah norma adat dalam bahasa Indonesia yang juga dimiliki semua suku-suku dimana adat berisi tentang aturanaturan bermasyarakat. Ade’ adalah penjelmaan sesuatu aspek kebudayaan, baik dalam bentuk nilai-nilai ideal berupa perilaku. Adat dan lain-lain disebut singkeruang, kelakuan-kelakuan yang disebut barangkau‟, maupun dalam bentuk fisik yang disebut abbaramparangeng38. Sehingga bisa dikatakan bahwa ade’ merupakan nilai kebaikan secara konsep dan juga sekaligus menjadi sebuah nilai implementasi dari konsep di atas. 35 Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 69. Kajao La Liddo atau Kajao berarti orang pintar dan La Liddo adalah nama desa asalnya. Nama sebenarnya La Mellong, dia salah satu penasehat kerajaan Bone pada abad XVI yang terkenal dengan kecerdasannya. 37 Anwar Ibrahim, Sulesana: Kumpulan Esai Tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal (Makassar: Lembaga penerbit Universitas Hasanuddin, 2003), h.12. 38 Mattulada, LATOA : Satu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, h. 340. 36 60 Ade’ diucapkan Arung Bila39 terbagi dalam beberapa jenis yaitu:40 a. Ade’ pura Onro, yaitu norma yang bersifat permanen atau menetap dengan sukar untuk diubah. b. Ade’ Abiasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. c. Ade’Maraja, yaitu norma baru, apabila ada fenomena yang belum pernah ada dalam pranata sosial masyakarat maka parewa ade’41 berhak menentukan seperti apa solusi yang terhadap fenomena tersebut. Dari ketiga Jenis ade’ ini adalah kerangka yang menata kehidupan masyarakat dimana ade’ maraja adalah sebuah ketetapan yang dibuat oleh yang sedang menjabat untuk memperlancar urusan untuk menciptakan keadilan dan ketentraman bagi rakyatnya. 2. Bicara Bicara adalah aturan-aturan peradilan yang normatif dalam arti luas. Dengan demikian maka bicara itu adalah aspek pangederreng yang mempersoalkan hak dan kewajiban setiap orang atau badan hukum dalam interaksi kehidupan bermasyarakat. Tujuan bicara adalah menyelesaikan persengketaan orang yang berselisih.42 Memberikan jaminan hukum bagi masyarakat atas perselisihan yang terjadi dalam masyarakat. 39 Arung Bila adalah raja dari kerajaan bila yang terdapat di kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. 40 Anwar Ibrahim, Sulesana: Kumpulan Essay Demokrasi dan Kearifan Lokal (Makassar: Lembaga Penerbit universitas Hasanuddin 2003), h.110. 41 Parewa ade‟ merupakan seperangkat pemangku adat. 42 Ibrahim, Sulesana, h. 12. 61 Dalam Lontara’ Latoa, Mattulada menjelaskan secara spesifik tentang makna adil seperti yang biasa kita pahami dalam bahasa Indonesia, akan tetapi keadilan atau adil dalam bahasa Bugis lebih dikenal dengan istilah tongeng atau tongengge, bila diartikan secara harfiah (tongeng) berarti “benar” dan (tongengge) diartikan “kebenaran” Bicara lebih bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada objektivitas, tidak berat sebelah. Apabila kita memandangnya dari sudut hukum adat, maka akan lebih memudahkan pemahaman, bicara mempersoalkan masalah hukum, sebagai hukum ada, yang lazim kita kenal dalam gelanggang ilmu pengetahuan hukum di Indonesia.43 Kini bicara menjadi sebuah disiplin yang jelas sebagai aspek pangederreng yang berfungsi representatif terhadap pelanggaran tata tertib dalam masyarakat, bicara memberikan batasan bagi anggota masyarakat dan juga menentukan baik buruknya perbuatan dan hukuman apa yang akan diberikan kepada si pelanggar ade’ dan pangederreng. Bicara sekaligus menjadi mappasisaue (memulihkan atau penyembuhan agar seseorang bisa kembali menjadi tau tongeng (orang yang benar).44 Dalam penetapan hukum Tomabbicara45 tidak semena-mena dalam menetapkan hukuman seperti apa yang akan dijalani oleh seseorang yang melanggar aturan karena dalam pangederreng menganggap bahwa manusia pada 43 Mattulada, LATOA, h. 359. Mattulada, LATOA, h. 363. 45 Tomabbicara adalah orang yang bertugas menangani perkara atau peradilan, lihat Nurhayati Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas, h. 131. 44 62 dasarnya tau tongeng, sehingga membutuh kejelasan akar atas suatu permasalahan yang terjadi. Dalam ade’ mengajarkan bahwa untuk menetapkan hukuman atas kesalahan seseorang adalah tomabbicara dan pakketenni ade’ mempunyai pertimbangan dan kebijaksanaan terhadap pelaku, kemudian tomabbicara diupayakan memperhatikan bila hukuman itu diberikan kepada dirinya sebelum menentukan hukuman yang diberikan (bagamana aku terhadap dia, dan begitu pula dia terhadapku) dalam Lontara’ disebutkan dalam landasan dalam menetapkan hukuman.46 “takaranku kupakai menakar, timbanganku ku pakai menimbang, yang rendah kutempatkan di bawah, yang tengah kutempatkan di tengah, yang tinggi ku tempatkan di atas”. Jadi dalam menetapkan hukuman pada terdakwa maka pabbicara harus mempertimbangkan bila hukuman itu terjdi pada diri pabbicara. Apakah pabbicara sanggup untuk menjalankan hukuman itu bila dia menjadi terdakwa. sehingga dibutuhkan musyawarah dalam menentukan hukuman seseorang. memusyawarakan hukuman itu menjadi sangat sangat penting sebagaimana dijelas pula dalam Lontara’47: “tentang bicara yang paling dipuji oleh dewata (Sang pencipta), untuk menetepkan bicara, yang mengambil contoh pada dirinya, artinya apabila engkau sudi memlalui (sesuatu jalan), barulah engkau menyuruh orang lain melaluinya, 46 Mattulada, LATOA, h. 363. Mattulada, LATOA, h. 363. 47 63 karena itulah to-riolo berkata, bersepakatlah engkau sanggup melaluinya, barulah engkau menjajak orang lain untuk melaluinya”. Maksdunya dalam menjalankan ketentuan-ketentuan bicara pangederreng menekankan adanya kesadaran dari pelaksana kekuasaan peradilan, bahwa apa yang ditetapkan akan berguna bagi penerima hukuman tapi juga berguna bagi orang lain, oleh karena itu pelaksana peradilan (tomabbicara) harus sanggup membebaskan diri perasaan senang, perasaan marah dan perasaan segan dalam melaksanakan peradilan terhadap siapa pun, sekalipun yang dihukum itu raja yang bersalah. Dalam penetapan hukum selain yang di atas pabbicara juga harus pegang teguh pada48: a. Bicara tongengtellue (tiga kebenaran hukum) 1. Pengakuan kesalahan dan kebenaran kedua belah pihak 2. Pengakuan kesalahan dan kebenaran menurut ade’ 3. Kenyataan-kenyataan yang sesungguhnya (bukti-bukti kongkrit) b. Melepaskan diri dari : 1. Kemarahan 2. Kegirangan 3. Keseganan 4. Maksud-maksud yang mengadung tujuan lain, dan 5. Keharuan. Penjelasan ini telah pernah terjadi sebagai mana dicontohkan dalam Lontara’ 48 Mattulada, LATOA, h. 365. 64 “karena adapun ade’ itu, sedangkan raja pun harus diturunkan dari tahtanya apabila ia tak mau berjalan menurut pangederreng dan jadikanlah Arungpone Matinroe ri-addenenna, yang berani melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak menurut pangederreng sebagai rapang, sehingga orang pun bersepakat membunuhnya di atas tangganya, dan disebut Arungpone yang berada di atas tangganya”. Ini menjadi contoh bahwa apabila pangederreng dilanggar maka pelaku harus mengakui kesalahnya sesuai dengan ketentuan ade’ dan juga ikut sertakan bukti-bukti dari kesalahannya dalam hal ini raja sekalipun. Dari contoh di atas juga menunjukan bahwa dalam penetapan hukum tidak semesternya seorang pabbicara terinterpensi oleh rasa kasihan, rasa marah, dan rasa bahagia, sehingga dalam kesepakatannya Arungpone yang melanggar pangederreng harus dibunuh di bawah tangga rumah kerajaan. Bagian terpenting dalam pelaksanaan bicara adalah sanksi hukuman yang bertujuan untuk menegakkan hukum tanpa menunda-nunda, sebagai pembelajaran kepada masyarakat lainnya bahwa ade’ tidak hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Adapun jenis-jenis hukuman yang telah ada dalam lontara sebagai berikut49 : 1. Dibunuh (Ri uno) 2. Hukuman pengasingan (Pali‟) 3. Hukuman deraan badan (Calla) 4. Hukuman sita (Rappa) 5. Hukuman tawanan (Ri reppung) 6. Hukum jual (Ri balu). 49 Mattulada, LATOA, h. 65. 65 3. Rapang Rapang secara istilah bisa disebut juga dengan perumpamaan, contoh, kesamaan, atau sebagai yurisprudensial, suatu ketentuan yang diambil berdasarkan ketentuan-ketentuan atau kejadian-kejadian yang pernah dilakukan pada waktu yang lalu.50 Rapang juga diartikan sebagai contoh, perumpamaan, ibarat, kias, atau juga perumpamaan yang dapat mengokohkan negara atau yang ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusan-keputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga.51 Pada salinan Lontara’ misalnya yang dikutip Fredericy (1933) dan ditetapkan sebagai kata pembukaan dari Erste Hoofdstuk dari buku De Standen bij De Boegineesen en Makassaren, kata rapang itu digantikan dengan “oendang”52. Abdul Razak Daeng Patunru juga dalam bukunya Sejarah Gowa yang dikutip Mattulada tidak menyebutkan rapang, tetapi menyebutnya undangundang.53 Sementara menurut Mattulada penggantian rapang menjadi undangundang menunjukan bahwa undang-undang yang disebutkan oleh Daeng Patunru adalah kata yang bisa menggambarkan rapang secara singkat, Akan tetapi undang-undang dalam bahasa Indonesia yang tertentunya mempunyai batasan sebagaimana pengertiannya, yakni hukum tertulis, sedangkan rapang lingkupnya sangat luas daripada undang-undang. 50 Mattulada, LATOA, h. 334. Mattulada, LATOA, h. 377. 52 Oendang yang dimaksudkan adalah kata undang-undang dalam bahasa Indonesia. 53 Mattulada, LATOA, h. 378. 51 66 Menurut fungsinya rapang sebagai: 1. Stabilisator; seperti undang-undang yang ketetapan, keseragaman, dan konstintensi kebijakan atas suatu permasalahan dalam masyarakat dari masa ke masa. 2. Bahan perbandingan suatu (tidak ada atau belum adanya norma-norma dan undang-undang yang mengatur permasalahan baru, berdasarkan ketetapan di masa lampau), 3. Alat pelindung dari pamali, yang berfungsi untuk melindungi milik umum dan seseorang dari mara bahaya.54 Sehubungan dengan fungsi rapang untuk memberikan penguatan bagi negara atau kerajaan. Sehingga dibutuhkan sikap magetteng ri rapangnge (sikap keras terhadap masyarakat untuk menegakkan rapang sebagai undang-undang negeri, dimana rapang adalah suatu hukum yang objektif dan konkrit di masa lalu yang mana rapang mengandung makna mappasenrupa yaitu memberi hukuman yang sama atas permasalahan yang sama berdasarkan masa lalu. Rapang memberikan kejelasan atas sanksi yang sesuai dengan apa yang telah dijadikan sanksi di masa lalu, juga sekaligus menjadi perbandingan atas suatu sanksi yang belum pernah ada sanksi dari permasalahan baru didapatkan dalam masyarakat. Sehingga pabbicara bisa mengambil sebuah kebijakan yang tidak merugikan bagi kerajaan dan masyarakat yang ada. Contohnya apabila rapang tidak ditegakkan maka akan terjadi banyak mala petaka, meluasnya perselisihan pada masyarakat. Sehingga dengan ini negara akan maju. 4. Wari 54 Mattulada, LATOA, h. 378. 67 Wari adalah perbuatan mappalaisengge (yang tau membedakan) atau pengelompokan jenis, yang membedakan satu yang lain dengan yang lainnya. Wari merupakan suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang. Menurut friedericy menerjemahkan wari dengan “de indeeling in standen” berfungsi mengatur tata susunan dan jenjang-jenjang keturunan serta menentukan hubungan kekerabatan.55 Lebih dari pada itu wari tidak hanya menjelaskan masalah keturunan dan pelapisan masyarakat semata-mata, melainkan mempunyai fungsi-fungsi lain yang cakupan lebih luas. Dengan demikian umumnya wari’ berfungsi : a. Menjaga jalur dan garis keturunan yang membentuk pelapisan masyarakat atau mengatur tentang tata keturunan melalui hubungan perkawinan. b. Menjaga atau memelihara tata susunan atau tata penempatan sesuatu menurut urutan semestinya. c. Memelihara tata susunan hubungan kekeluargaan antara raja suatu negeri dengan negeri lainnya, sehingga dapat ditentukan mana yang lebih tua, mana yang muda dalam tata pengederreng. Dalam kegunaannya wari bertujuan untuk penataan pangederreng dan penertibannya meliputi: 1. Wari’tana ialah tata kekuasaan dan tata pemerintahan dalam hal 55 mengenal dasar-dasarnya, Mattulada, LATOA, h. 380. bagaimana raja bersikap kepada 68 masyarakatnya dan bagaimana sikap rakyat kepada rajanya, 2. Wari asseajingeng, ialah tata tertip yang menentukan garis keturunan dan kekeluargaan sehingga bisa dibedakan mana keturunan raja-raja (anakarung), masyarakat biasa (maradeka) dan mana yang termasuk dalam budak (ata), atau dalam bahasa Jawa kita kenal dengan kata “abdi dalem”, 3. Wari’ pangoriseng ialah mengenai tata urutan dari hukum yang belaku dalam sistem hukum. Inilah yang menjadi tolak ukur berlaku atau tidaknya suatu rapang atau undang-undang.56 Selain itu wari berfungsi sebagai suatu pedoman yang mengatur sikap manusia dari sekian banyak perbedaan yang ada dalam masyarakat, mangajarkan bagaimana layaknya seorang masyarakat berhubungan dengan kerajaan, tomabbicara dengan raja. Bagaimana hubungan suatu kerajaan dengan kerajaan lainnya yang tentunya mengedepankan nilai kebaikan selayaknya fitrah manusia.57 Demikian lah wari memberikan antara oposisi-oposisi yang berlawanan dengan pangederreng dan kerajaan dalam masyarakat. D. Assimellereng sebagai Konsep Kesetiakawanan Masyarakat Bugis Assimellereng secara istilah memiliki arti yang hampir sama dengan konsep pesse di awal pembahasan bab ini, akan tetapi assimellereng diambil dari kata melle’ yang berarti “keterikatan” sesuatu dengan yang lainnya, kata melle’ juga kebanyakan selalu disandingkan dengan kata perru berarti usus atau isi dalam perut seorang manusia. sebagaimana ungkapan melle’ perru ri padanna rupa tau artinya memiliki rasa keterikatan kepada sesama manusia. Secara 56 Mattulada, LATOA, h. 380. Mattulada, LATOA, h. 382. 57 69 mendalam melle‟ perru dimaksudkan bahwa adanya rasa kasih yang besar kepada orang lain. Menurut Mashadi Said Assimellereng merupakan konsep sehatian, kerukunan, kesatupaduan antara satu dan lainnya, antara satu keluarga dengan keluarga lain dan antara manusia sesama manusia yang lainnya dalam masyarakat Bugis.58 Memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, kesetiakawanan, cepat marasakan penderitaan orang lain, dan tidak tega membiarkan kesulitan saudaranya yang lain yang berada dalam penderitaan dan cepat dalam mengambil tindakan untuk membantu saudaranya yang terkena musibah. Dalam assimellereng terdapat konsep yang dikenal dengan “sipa’depurepu” yaitu (saling memelihara, saling kasih mengasihi). Dan bette’ perru (tega) yang dimaksudkan adalah orang yang tidak memperdulikan kesulitan sanak keluarganya, tetangganya, atau orang lain, ini ada antitesa dari assimellereng yang peka terhadap orang lain.59 Selain itu dalam bahasa Bugis lain yang sepadan dengan bette perru yaitu pettu perru yang juga berarti sikap seseorang tidak lagi ada rasa welas kasih dan tidak lagi memiliki empati terhadap orang lain, sekalipun itu kepada keluarganya. Dalam kehidupan sehari hari penerapan assimellereng atau melle disebut dalam ungkapan Bugis “tejjalli tettappere banna mase-mase” artinya tanpa tikar dan permadani kecuali kasih sayang. ungkapan ini biasanya diucapkan ketika tuan rumah kedatangan tamu, karena keinginan menjamu tamunya dengan baik, tuan 58 Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 204. Said, Jati Diri Manusia Bugis, hal. 204. 59 70 rumah menunjukan kepada tamunya layanan sebaik-baiknya, bahwa apabila seorang tamu sudah berada di dalam rumah maka sang tamu akan merasa aman, tentram, terlindungi dan kasih sayang dari tuan rumah.60 Dengan penuh kerendahan hati tuan rumah akan menatakan “kami tidak mempunyai apapun untuk kami suguhkan kepada tuan. Kami tidak mempunyai permadani atau sofa yang empuk untuk tuan duduki, kami tidak memiliki makanan yang enak untuk kami suguhkan. Yang kami miliki hanyalah kasih sayang”. Dengan demikian bukan berarti tuan rumah tidak mempunyai apa-apa yang bisa di hidangkan atau tidak menjamu tamunya, akan tetapi hanya memberi informasi kepada tamu bahwa tuan rumah kemungkinan tidak mempunyai sesuatu yang sama apabila bertamu di tempat lain. Dikalangan masyarakat Bugis menghargai dan melayani tamu sebaik-baiknya adalah sebuah kewajiban dan juga adalah untuk menunjukan solidaritas yang tinggi terhadap sesama manusia.61 Dalam lontara‟ dijelaskan untuk memperoleh hubungan baik kepada sesama manusia, masyarakat Bugis harus berpegang pada 5 syarat berikut yaitu62 : a. Sianrasa-rasang na si ammase-masei (Sependeritaan dan saling mengasihi). Maksudnya adalah apabila ada anggota keluarga yang mengalami penderitaan maka anggota keluarga yang lainnya harus membantunya dengan ketulus-ikhlasan dan kasih sayang. 60 Said, Jati Diri Manusia Bugis, hal. 204. Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 205. 62 Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 206. 61 71 b. Sipakario-rio (sama-sama bergembira) apabila kita merasakan kegembiraan, kita patut berbagi kepada orang lain atas kegembiraan yang kita rasakan. Misalnya dalam keseharian leluhur orang Bugis apabila pulang dari melaut maka hasi tangkapannya akan dibagikan kepada tetangganya yang lain. Ini yang dimaksudkan berbagi kegembiraan. c. Tensicarinnainggeng ri sitinajae (kerelaan berkorban yang semestinya) maksudnya kalau ada keluarga atau kawan yang memerlukan bantuan maka kita berkewajiban dalam untuk membantu sesuai dengan kemanpuan kita. Contohnya dalam pernikahan masyarakat Bugis apabila keluarga lelaki belum memncukupi atas permintaan pinangan (Sompa atau Panaik) keluarga perempuan, maka semua keluarga perempuan berkewajiban dalam memenuhi sompa tersebut sesuai dengan kemampuan masing-masing. d. Sipakainge ri gau patujue (saling mengingatkan kepada kebaikan) saling mengingatkan kepada kebaikan, disini menjadi kewajiban apabila melihat keluarga atau orang lain sebelum dan setelah melakukan kesalahan. Juga disebutkan Malilu Sipakainge “saling mengingatkan tak kala sedang lupa” e. Siaddampengeng pulanae (selalu saling memaafkan) memberi maaf atas kesalahan yang orang lain pernah lakukan kepada kita. Dari kelima syarat di atas bahwa menunjukan hubungan yang semestinya dimiliki oleh sebuah keluarga atau kelompok masyarakat sehingga keharmonisan dalam masyarakat semakin melekat. 72 Soal kesetiakawanan orang Bugis selalu akan membuka diri untuk menegakkan persahabatan. Orang Bugis rela mengorbankan apa yang dia miliki termasuk nyawanya sendiri untuk mempertahankan kesetiakawanan tersebut sebagaimana ungkapan dalam Lontara’ disebutkan.63 Tessiakkakeng tigerro tessicalekeng tange (LPT: 12) Artinya : Tidak saling mencekik leher Tidak saling menutupkan pintu. Dalam hal tolong menolong dalam tradisi masyarakat Bugis selalu membuka diri, bahkan tak dimintai pertolongan dan dilakukannya secara dengan sukaria sebagaimana penyataan di atas. Artinya apabila seseorang memerlukan bantuan dan diri kita terasa sanggup untuk membantunya maka kewajiban untuk membuka diri untuk membantu. Dalam Lontara’ juga disebutkan64: Tessisampoang uring loa, tessipaopangeng pamuttu (LPT:10) Artinya : tidak saling menutup belanga, tidak saling menutupkan kuali. Selain daripada itu belanga dan kuali dalam masyarakat Bugis merupakan simbol kesejateraan keluarga. Untuk membantu dalam suatu kebajikan, saling 63 Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 205. Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 206. 64 73 membukakan jalan dalam kesempitan, rasa solidaritas ditandai dengan saling membantu dalam permasalahan yang ada, saling mengingatkan agar terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan yang bisa menghambat kebajikan. Dalam mempertahankan hubungan masyarakat Bugis berpegang pada hal berikut ini. Rebba sipatokkong Mali siparappe Siwata’menre tessirui no’ Malilu sipakainge Mainge’ pi mu paja Artinya : Rebah, saling menegakkan Hanyut saling mendamparkan Saling menarik ke atas bukan saling menarik turun Hilaf, saling mengigatkan Tak henti sampai ia menyadarinya. Inilah gambaran kesetiakawanan dalam masyarakat Bugis yang dipegang teguh sehingga kemudian mampu untuk memberikan hidup yang baik dalam bermasyarakat. Dengan demikian secara otomatis bahwa toleransi yang sebagaimana cita-cita oleh para semua agama dan pemerintah untuk hidup damai dan berdampingan. 75 BAB IV ANALISA A. Pandangan Umum Toleransi Toleransi menjadi hal yang penting pada masa sekarang. Mengingat semakin melebarnya jurang perdebatan yang mencari-cari perbedaan dalam keyakinan, hingga yang terparah adalah adanya perang fisik yang diakibatkan oleh dorongan membela kebenaran agama, maka toleransi sudah menjadi perihal mutlak dikedepankan. Karena itu, tidak sedikit para tokoh memberikan argumen dan pendepatnya untuk merealisasikan toleransi antar umat beragama saat ini. Dalam hal ini penulis akan memberikan gambaran sedikit dari tiga tokoh yaitu: Mukti Ali, Alwi Sihab, dan Gus Dur. Mukti Ali memberikan dua argumen mendasar dalam hal toleransi. Pertama, dengan menawarkan sintesis. Metode ini menggabungkan dua kecenderungan melalui gagasan pendekatan. Lebih jelasnya, metode ini berusaha memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya seperti rasional, objektif, kritis, dengan metode teologis normatif. Metode ilmiah digunakan memahami agama dari sisi historis, empiris, sosiologis. Sedangkan metode normatif digunakan untuk memahami agama sebagaimana yang terkandung dalam kitab sucinya masing-masing, dengan membawa dogma awal bahwa agamanya sudah mutlak kebenarannya. Barulah setelah itu agama dilihat sebagai norma ajaran yang amat terkait dengan aspek 75 76 kehidupan sosial, yang mana dengan kaca mata agama, arahan yang bersentuhan dengan aspek sosial adalah ideal sebab telah tercantum dalam kitab sucinya.1 Kedua, Mukti Ali memaparkan konsep agree in disagreement. Konsep ini dapat diartikan dengan setuju dalam ketidaksetujuan. Konsep ini ideal menurutnya, bila diterapkan dalam tatanan masyarakat yang majemuk dan plural. Masyarakat yang dalam kondisi seperti ini, tentu terdapat setuju dan ketidaksetujuan dalam memandang suatu hal. Maka ketidaksetujuan atau perbedaan ini disepakati dan diakui oleh masing-masing pemeluk agama. Dengan adanya pengakuan perbedaan maka diharapkan akan terciptanya kondisi yang harmonis antara umat beragama, sebab semua hal tidak harus sama.2 Setelah Mukti Ali, adalah Alwi Sihab. Tokoh ini memberikan pandangannya berkenaan realisasi toleransi dalam masyarakat. Berbeda dengan Mukti Ali, Alwi Sihab berangkat dari ajaran agama Islam. Menurutnya, sebuah masyarakat majemuk dan plural adalah pasti dalam sebuah kebudayaan. Sebab, tidak ada satu kebudayaan pun yang luput dari sebuah perubahan, dan perubahan itu mengandaikan adanya kemajemukan. Dia menyebutnya dengan “proses kemanusiaan”. Lantas bila terjadi pristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama dan keyakinan, misalnya agama Islam, maka sudah keluar dari garis ajaran agama Islam. Dalam ajaran agama Islam, diajarkan kepatuhan dan tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sikap kepatuhan itu dilalui dengan jalan menaati 11 Mukti Ali, “Setuju dalam perbedaan,” Majalah Mawas Diri, no. 1 (Maret 1972), hal. 6 liat juga Faisal Ismail, Republik Bhineka Tunggal Ika:Mengurai Isu-isu Konflik Multikulturalisme, Faisal Ismail, Paving The War For Interreligion Dialogue, Tolerance, and Harmoni Following, h. Agama, Sosial, dan Budaya (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keragamaan, 2012), h. 174. 2 Mukti Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Biro Humas Departemen Agama RI, 1972), h. 118. 77 ajarannya, dimana ajaran agama Islam tidak melegalkan kekerasan atas nama agama. Tokoh terakhir adalah Gus Dur. Tokoh ini merupakan sosok yang dipandang sebagai orang yang sangat mengerti konsep toleransi. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pada masa kepemimpinannya, merupakan bukti nyata bahwa beliau adalah sosok yang kosmopolit yang mendalami keberagaman. Landasan awalnya dalam meneguhkan toleransi antara umat beragama di Indonesia, dengan melihat bahwa keberagaman dalam negara adalah suatu kenyataan sosial. Menolak salah satunya merupakan bukti mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Padahal, bila kita mencermati, jauh hari dalam peradaban umat manusia, mengutamakan nilai kemanusiaan adalah tujuan yang hendak dicapai sehingga kadang menimbulkan perang fisik. Demokrasi lahir bertujuan untuk meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan, dengan menempatkan manusia sebagai subjek dari demokrasi itu. Begitu pula dengan ajaran Islam memiliki asas permusyawaratan, adalah instrumen untuk menempatkan nilai kemanusiaan sebagai tujuan.3 Sehingga, instrumen-intrumen pengantar menuju nilai kemanusiaan ini akan menempatkan manusia memiliki derajat yang sama, serta tidak memandang ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah. Demikianlah pendapat para tokoh dalam memberikan pandangannya. Partisipasi mereka dalam memberikan pandangannya, mengingat pengejawantahan dari toleransi adalah sebuah keharusan. Bila tidak, sungguh 3 Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, h. 85. 78 situasi yang harmonis dan tentram tidak akan pernah tercapai. Terlebih lagi, akan menghambat sebuah kebudayaan dan kemajuan bangsa. Penulis melihat pandangan para tokoh di atas sikap penuh pendewasaan dalam melihat keragaman dan juga keuniversalitasan suatu agama, suku, ras, maupun kelompok bahwa dengan menunjukan sikap yang ramah, saling menghormati, dan saling menghargai karena melihat seseorang sebagai manusia yang memiliki hak-hak dasar. Oleh karena itu, penulis berusaha mengeneralisir secara terperinci bagaimana sikap atau pun cara mendasari terciptanya toleransi dalam masyarakat dari beberapa pandangan para tokoh di atas sebagai berikut: 1. Pluralisme Pluralisme sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa suatu sikap untuk mengakui eksistensi dan hak-hak atas agama, suku, ras, maupun kelompok lain sebagai bagian dari masyarakat. Dalam hal ini menurut penulis untuk melihat pluralisme dibutuhkan suatu sikap sikap empati dan rasa memiliki satu sama lain guna melihat perbedaan yang ada dalam masyarakat. 2. Inklusivisme Inklusivisme yaitu pemikiran atau sikap yang memandang bahwa kebenaran yang di anut oleh suatu agama adalah juga dianut oleh agama lain. Dalam hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat harus mempunyai sikap terbuka secara aktif oleh setiap pribadi masyarakat, bahwa kebenaran sesungguhnya tidak harus mengabaikan atau mengesamping norma-norma kemanusiaan. 79 3. Dialog Dialog agama sangat diperlukan di era keterbukaan ini. Dialog agama bukanlah untuk mencari kebenaran agama masing-masing, tetapi menjembatani segala perbedaan yang ada dan memberikan ruang kepada semua komunitas yang berdialog. B. Analisa Toleransi Dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bugis Meskipun demikian, di samping pandangan para tokoh yang telah disebutkan sebelumnya, sebenarnya terdapat konsep toleransi dalam masyarakat Bugis yang sudah lama dipraktikkan dan terpelihara dan terlembaga dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis). Lebih jauh, sebenarnya toleransi dalam masyarakat Sulawesi Selatan adalah bentuk luar yang bersifat empiris dan dapat diamati, namun sebenarnya mempunyai landasan filosofis yang mendorongnya dari dalam.4 Landasan filosofis tersebut tidak empiris, melainkan sesuatu sifat sentimental dan perasaan yang sangat dalam. Dengan kata lain, landasan tersebut menjadi prinsip hidup yang begitu sangat kuat mengakar dalam pribadi masing-masing masyarakat Sulawesi Selatan. Landasan hidup yang termanifestasi menjadi filosofi inilah yang penulis coba uraikan dengan hati-hati. Disebut dengan “hati-hati” karena dalam mengurai prinsip hidup ini, penulis sendiri merupakan generasi belakangan yang sudah dilanda misinterpretasi dalam memahami prinsip tersebut. 4 Mattulada, LATOA: Satu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995), h. 62. 80 Prinsip hidup masyarakat suku Bugis adalah siri’ dan pesse’. Memaknai kata siri’, sungguh telah banyak budayawan baik lokal maupun luar, memberi batasan pengertian tentang siri’. Siri’ dapat diartikan dengan kehormatan. Bagi Mattulada, siri’ dimaknai dengan kesadaran tentang nilai martabat yang didukung oleh tiap-tiap orang dalam tradisi kehidupan masyarakat Bugis. 5 Artinya, dengan kehormatan yang tegak, merupakan sikap hidup yang harus dan mesti dijaga. Selain permaknaan itu, pada bab sebelumnya dijelaskan siri’ tidak lain akibat yang kemudian timbul jika salah satu nilai kemanusia dilanggar. Seseorang tidak hanya merasa masiri’ karena telah diperlakukan tidak jujur, dipandang enteng, dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Tetapi siri’ juga sekaligus harus sebab yang timbul dari dalam diri seorang manusia untuk selalu menjaga sikap, saling mengormati, saling menghargai, memperaktekkan panggederreng, dan juga menjadi semangat untuk meraih kesuksesan.6 Nilai siri’ harus menjadi tingkah laku nyata dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, siri’ juga sebagai sikap aktif untuk menjaga harkat dan martabat orang lain karena masyarakat Bugis sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa apabila seseorang tidak mempunyai siri’ maka hanya dianggap sebagai mayat hidup dan juga binatang. Seperti yang dijelaskan dalam Lontara’: Siri’e tu ri aseng tau, na rekko de’i siri’na, tania i tau, rupa tau mani Artinya: Kerena siri’lah seseorang disebut sebagai manusia, 5 M Laica Marzuki, Siri Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum) (Ujung Pandang, Hasanuddin University Press, 1995), h. 36. 6 Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis (Ujung Pandang: Hasanuddin Universitas Press, 1992), h. 174. 81 manakala seseorang tidak mempunyai siri’, maka bukan lagi manusia tetapi menyerupai manusia. Ungkapan lainnya: Naia tau de’e siri’na, de’i laenna olok-kolok Artinya: Jikalau manusia tidak mempunyai siri’, mereka itu tidak lain dari pada binatang. Pesan dari ungkapan Bugis di atas memberikan tanda bahwa selain perbuatan melanggar siri’ akan menghilangkan nilai atau hak-hak kemanusiaan seseorang dalam suatu kelompok sosial, tetapi Si pelanggar juga akan dianggap bersikap paling menjengkelkan, menjijikan seperti sikap binatang karena tidak lagi memperlakukan seorang manusia yang selayaknya. Rahman Rahim menyebutkan si pelanggar siri’ adalah orang yang telah tertelanjangi dari moralitas dan dalam Lontara’ binatang itu seperti binatang tikus, dimana kerusakan yang ditimbulkannya, tidak terbatas pada sawah, tetapi juga pada padi yang sudah di simpan di lumbung akan digerogoti juga. Bahkan setelah menjadi beras tikus tetap saja menggerogotinya dan sampai sudah menjadi nasi tikus masih saja memperetelinya. Begitu lah ungkapan kekejian seseorang yang tidak mempunyai siri’ dalam dirinya.7 Lebih dari pada tikus yang menjijikan di atas sikap yang dianggap melebihi binatang apabila dalam hati seseorang tidak terdapat nilai pesse. Dimana pesse merupakan rasa empati yang timbul dari dalam hati seorang manusia, ibah hati, rasa yang menyatuh antara seseorang dengan orang yang lainnya, rasa untuk peduli akan kesulitan yang orang lain alami. 7 Rahman Rahim, Nilai-Nilai Kebudayaan Bugis, h. 170. 82 Pesse’ dapat diartikan sebagai “obbi”, yaitu panggilan hati nurani untuk ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri. Ini mengindikasikan adanya perasaan haru atau empati yang dalam terhadap tetangga, kerabat, atau sesama kelompok sosial. Disebutkan dalam Lontara’ bahwa setiap manusia harus mempunyai rasa pesse dalam dirinya jika menjadi lebih mulia dibandingkan orang-orang lainnya, dan agar tidak dianggap keji melebihi binatang.8 Selain dari pada itu, hakikat siri’ dan pesse adalah menitik-beratkan sikap sipakatau, sipakalebbi, dan sipakainge’. Sipakatau adalah sikap saling menghormati sesama manusia yang notabene sesama makhluk Tuhan, sipakalebbi adalah sikap saling memuliakan dari semua kelompok masyarakat yang ada, dan sipakainge’ menekankan sikap pesse untuk saling mengingatkan dalam hal kebaikan, saling memperingati untuk menjauhi hal-hal yang bisa merugikan diri peribadi dan orang lain. tentunya dilakukan dengan cara yang baik dari hati nurani manusia. Sebagaimana yang disebutkan dalam Lontara’ sebagai berikut: “akkita tau mu madeceng kalawing ati, apak iya sininna deceng enrengge upe’ e, kumanenggi pole riatau madeceng kalawing ati e. Apa’ iyyanaritu tau rilalenna tauwe. Aja iya mualai pompola tomapperumae, apa’ iyatu mata e, dauccilie. Lilae, inge’e, majeppu tomapperuma ritu. Majeppu iyana ritu tau pole ri lalenna tauwe. Iyatona pakkita matae, iya tona perengkalingae dauccilie, iya tona pakedo lilae, iyamuto parimmau. Iyato makkita tekkemata-mata, iya muto maringkalinga tekkeculing-culing. Iyamuto makkeda takkelessuk-lessuk, iyatona maremmau tekke emammau- 8 M Laica Marzuki, Siri’ Sebagai Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar, h. 134. 83 emmau. Makkedai namatane’ to; makkitai nasellempik. Maringkalinga ri sillalennae. Mainge’i pua na pugau’. Enrengge pura napoadae, kuaettopa pura naegkalingae. Aga nainge;e ritu naonroi lampek paringgerrang. Nariaseng tau to mainge’”. artinya: Berpandanganlah sebagai manusia dan perbaiki sikap hatimu. Sebab, semua kebaikan dan keberuntungan sumbernya berasal dari orang yang baik dari dalam hati, itulah yang disebut kemanusiawian yang dimiliki seseorang. Jangan jadikan perioritas, penghuni rumah yang menumpang padamu. Sebab, adapun mata, telinga, lidah, hidung itu adalah hanya menumpang. Sesungguhnya ia adalah tamu dalam diri manusia. Itulah yang menjadikan mata melihat. Menjadikan telinga mendengar, ia menjadikan lidah bergerak. Ia juga penciuman. Ia yang tidak melihat sembarangan, mendengar sembarangan, tidak sembarangan berkata-kata, menjaga penciuman, ia juga tidak sembarangan bergerak. Bergeraknya ia sepatutnya dan mendengar sewajarnya. Sadar akan apa yang dilakukakan, dikatakan disertai pendengaran. Kesadaran itu tempatnya ingatan. Maka disebutlah orang itu adalah orang yang penuh kesadaran. Ini menunjukan sikap yang baik dan akan membuat manusia lebih beruntuk dari manusia yang lainnya apabila memiliki bawaan hati nurani yang baik, dengan bawaan hati yang baik ini menjadikan seseorang mempunyai nilai kemanusiaan dalam dirinya, nilai kemanusiaan yang tidak mengikuti hawa nafsu karena nilai pokok dari manusia adalah nilai kebaikan. 84 Manusia yang madeceng kalawing ati dan ininnawa tau, disertai nilai paramata mattappa’: yaitu lempu’, ada tongeng, sibawa tette’, siri’ sibawa getteng, yang terwujud dalam perilaku (barang-kau’), hati (ati), lidah (lila), dan usaha atau jerih- payah (reso).9 Maksudnya adalah orang yang mempunyai bawaan hati nurani dan rasa kemanusiaan harus disertai dengan sikap “permata yang terlihat” yaitu, kejujuran, perkataan benar yang konsisten, harga diri dengan keteguhan hati, dan harus terbukti lewat perilaku, hati, lidah untuk selalu berkata benar dan baik, serta dari usaha-usaha yang seorang manusia kerjakan. Selain dari pada itu kejujuran dan kesucian hati menjadi hal utama yang diajarkan para pendahulu orang Bugis yang diabadikan dan karya sastra klasik atau yang dikenal dengan istilah elong-kelong, berikut ini: Dua kuala sappo, Unganna panasae, na belo kanuku Artinya : Dua hal ku jadikan pagar, yaitu bunga nangka (kejujuran) dan hiasan kuku (hati yang penuh kesucian) Ungkapan di atas mempunyai makna yang sangat dalam karya sastra orang Bugis, dua hal yang dijadikan pagar atau pelindung dari kehidupan. Kejujuran diumpamakan dengan bunga nangka, karena bunga nangka tidak perna membengkok dan selalu lurus. Itulah mengapa bunga nangka yang lurus itu diartikan kejujuran. Kemudian hiasan kuku dalam masyarakat Bugis dikenal dengan istilah pacci atau paccing, yang berarti bersih dan tak bernoda. Sehingga diartikan sebagai kesucian. 9 Anwar Ibrahim, Sulesana: Kumpulan Essai Tentang Demokrasi Dan Kearifan Lokal, h. 104. 85 Dengan semua penjelasan diatas tadi bahwa dari siri dan pesse yang menjadi prinsip masyarakat Bugis yang menekankan sikap sipakatau, sipakalebbi dan sipakainge’ guna untuk menjaga harga diri atau hak kemanusiaan dari hati nurani yang suci dari seseorang sehingga terciptanya kehidupan yang harmonis dalam masyarakat. Dalam masyarakat Bugis Seseorang tidak dapat dipisahkan dengan individu lainnya, karena prinsip harkat dan martabat manusia (manusia saling memanusiakan), seseorang dikatakan manusia apabila menempatkan dirinya dan orang lain sebagai tau “pesona”, yang berarti bahwa hati, ucapan, dan perilaku mempraktikan manusia yang sesungguhnya. Beranjak kekonsep berikutnya bahwa pangederreng memberikan pesanpesan untuk hidup yang tentram, damai, dan kemajuan dalam masyarakat. Menurut Mattulada, Pangedderreng bukan hanya meliputi aspek-aspek yang disebut sistem norma dan aturan-aturan adat, yaitu hal-hal dimana seorang dalam tingkah lakunya dan dalam memperlakukan diri dalam kegiatan sosial, bukan saja merasa “harus” melakukannya, melainkan lebih jauh dari itu, yaitu adanya semacam perasaan bahwa seseorang adalah bagian internal dari pangedderreng’.10 Penekanan pada kata harus berarti pengedderreng adalah sesuatu yang sangat dihayati dan didalami. Adanya semacam ikatan yang bila ditinggalkan selain terkena sanksi, juga perasaan penyesalan yang amat mendalam. Pangedderreng merupakan kebiasaan berbentuk peraturan yang terdapat dalam perilaku seseorang, masyarakat dan juga pemerintah. Kebiasaan tersebut 10 Mattulada, LATOA, h. 339. 86 mencakup hanya pada perbuatan atau prilaku yang mengharmoniskan serta memberikan manfaat bagi harkat dan martabat manusia.11 Selain pangederreng memberikan panduan yang bersifat normatif dalam bentuk petunjuk dan arahan menuju ke jalan yang benar guna mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan hidup bagi setiap manusia dalam masyarakat,12juga mengandung tiga tujuan utama dalam kehidupan masyarakat. Pertama, Tuhan titik sentral bagi manusia. Kedua, sikap jujur. Ketiga, sebagai unsur keadilan dan kebijaksanaan. Ini terlihat dari Pangederreg pada hakikatnya mengandung 4 azas dasar yaitu:13 Pertama, Azas Mappasilasa’e terangkum dalam Ade’, sebagian maknanya adalah adat. Namun adat di sini, sebagaimana yang telah diterangkan, memiliki aspek yang mengangkat harkat dan martabat manusia. Ade’ adalah aturan yang diberikan oleh raja dan juga harus dipatuhi oleh raja. Kedua, Azas mappasisau e diwujudkan dalam bicara yang konkritnya saat ini, adalah lembaga peradilan. Bedanya, bicara yang dalam porsinya memberikan keadilan dan kebenaran kepada masing-masing pihak yang bersengketa, menggunakan pijakan objektivitas, dimana tomabbicara (hakim) tidak semenamena dalam memberikan sanksi. Karena pada dasarnya manusia dianggap sebagai tau tongeng (orang yang baik), sehingga tomabbicara terlebih dahulu akan menanyakan kepada dirinya, apakah sanksi yang diberikan kepada orang lain, dapatkah ia tanggung, dalam artian, apabila seorang pabbicara melanggar hukum 11 Nurhayati Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas (Makassar: La Galigo Press, 2012), h. 137. 12 Mashadi Said, Jati Diri Manusia Bugis (Jakarta: Prodeleader, 2016), h. 73. Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 69. 13 87 dan dihukum seperti yang akan dihukumkan kepada seseorang pabbicara dianggap sanggup, maka hukuman itu boleh dijalankan. Ini merupakan landasan objektif yang dalam Lontara’ disebut sebagai pijakan hukum. Selain itu, penegak hukum juga harus berpegang pada tiga hal yaitu, Bicara tongengetellue (tiga kebenaran hukum): pengakuan kesalahan dan kebenaran kepada kedua belah pihak, pengakuan kesalahan menurut ade’ (adat atau hukum), kenyataan-kenyataan yang sesungguhnya atau bukti-bukti kongkrit. Setelah ketiganya tercapai, raja sekalipun dijatuhkan hukuman, bila perbuatannya melanggar ade’ dan proses penjatuhan hukumannya dilaksanakan dengan Bicara. Ketiga, azas mappasenrupae yang diwujudkan dalam rapang. Dalam istilah disebut dengan perumpamaan. Rapang dalam dunia hukum saat ini dapat diartikan dengan yurisprudensi, yaitu suatu ketentuan yang diambil dari ketentuan-ketentuan dan kejadian-kejadian yang pernah dilakukan di waktu yang lalu. Dengan rapang, suatu keputusan negara tetangga dapat dibandingkan dengan keputusan berdasarkan ade’.14 Sementara menurut pendapat yang lain, lebih mendefenisikan rapang masuk dalam kategori undang-undang. Hal ini yang perlu diluruskan, sebab makna rapang lebih luas dari hanya sekedar undang-undang. Adapun fungsi rapang antara lain: sebagai stabilisator, sebagai bahan pembanding terhadap norma yang belum terdapat aturannya, dan sebagai alat pelindung dari pamali-pamali. Keempat, azas mappallaiseng e diwujudkan dalam wari yaitu suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan. Fridericy mengartikan wari 14 Mattulada, LATOA, h. 334. 88 sebagai fungsi yang mengatur tata susunan dan jenjang-jenjang keturunan serta menentukan kekerabatan. Jenjang atau lapisan yang terdapat dalam masyarakat suku Bugis, menimbulkan mana yang menjadi hak dan kewajibannya diukur sesuai hirarkinya.15 Kekerabatan yang dimaksud di sini, dimana raja yang menikahkan anaknya dengan raja lain, yang berada dalam satu koalisi. Hubungan kekerabatan ini, dapat dirujuk pada pangedderreng, sehingga dapat ditentukan mana yang lebih tua dan mana yang lebih muda. Klasifikasi ini, memudahkan dalam menentukan tata pengedderreng yang berlaku. Dari keempat azas ini memiliki tugas-tugas tersendiri seperti yang disebutkan dalam Lontara’ dari percakapan antara La Kajao La liddo dengan raja Bone yang dikutip oleh Anwar Ibrahim sebagai berikut.16 Iyanaritu adek-e, Arumpone, peesseriwi arajanna arung-mangkauk-e iyatona sappoipangkaukenna topegaubawannge, iyatona nasanresi tomadodonnge; naiya bicarae, iyana passaranngi assisalangenna tomangkagaek-e; naiya rapang, iyana passiajinngi tana-masseajinnge. Nakko marusakni, Arumpone, adek-e, temmassekni,rituarajangna arung-mangkauk-e, masolang-toni tanae; narekko temmagettengni bicarae, masolang ritu jemma-tebbek-e; narekko temagettengni rapange, iyanaritu, Arumpone, mancaji assisalangeng, gagaenna ritu mancaji musuk. Musuk-ena ritu mancaji assiuno-unong: Sabak makkuanna naro, Arumpone, rieloreng riyatututi adek-e, kuwaetopa bicarae, enrennge rapannge, sibawa warik-e. 15 Matuulada, LATOA, h. 380. Ibrahim, Sulesana, h. 31. 16 89 Artinya: Adapun ade’ itu, Arumpone, akan memperkuat kebesaran Arung Mangkau’17; itulah juga yang memagari perbuatan orang yang berbuat semenamena; itulah juga yang menjadi sandaran orang lemah. Adapun bicara itu ialah menyelesaikan perselisihan orang yang bertengkar. Adapun rapang itu, ialah yang membina kerukunan kekeluargaan negeri yang sekeluarga. Kalau menjadi rusak, Arumpone, ade’ itu, tak kuatlah sebesaran Arung Mangkau’, rusak pulalah negeri; kalau tak tegas bicara itu, akan rusaklah rakyat banyak; dan kalau tak tegas rapang itu, itulah Arumpone, menjadi perselisihan. Dan perselisihan itulah, menjadi permusuhan; dan permusuhan itu yang menjadi penyebab saling bunuhmembunuh. Oleh karena itulah Arumpone, maka dikehendaki terpeliharanya ade’ itu, demikian juga bicara, beserta rapang dan wari’. Dari kutipan di atas bisa disimpulkan bahwa apabila ade’, bicara, rapang, dan wari tidak tegakkan dalam masyarakat, maka akan menimbulkan kekacauan dan saling membunuh antar masyarakat karena tidak ada lagi becci18 atau ukuran dalam bersikap dan berperilaku.19 Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, paseng dan pappaseng para leluhur mengajarkan agar apa yang telah dijanjikan, harus direalisasikan. Bila tidak, derajatnya tidak lebih dari hewan. Begitu pula paseng dan pappaseng yang ditulis dalam lontara’ yaitu: Tessiakkekeng tigoro,Tessicalekeng tange, yang artinya, tidak saling mencekek leher, tidak saling menutupkan pintu. 17 Arung Mangkau’ adalah sebutan bagi seorang raja yang sedang menjabat pada kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan. 18 Becci secara harifiah adalah alat pengukur, yang digunakan untuk melihat lurus atau tidaknya suatu tanaman dengan menggunakan tali, akan tetapi becci dalam hal di atas bermakna aturan-aturan atau pedoman yang telah diatur dalam kehidupan masyarakat Bugis. 19 Ibrahim, Sulesana, h. 13. 90 Konsep ini sangat sepadan dengan konsep assimellereng (kesetiakawanan), dimana mengajarkan saling membantu, saling membukakan jalan dalam kesempitan, dan saling membantu dalam menghadapi permasalahan yang ada. Bila kemudian rasa kesetiakawanan ini hilang dari lubuk hati orang Bugis, maka dikatakan, Siri’-nya sudah hilang, bersamaan dengan hilangnya kehormatannya. Dengan demikian, siri’ sebenarnya adalah instrumen pendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan terpuji, saling menghargai, dan saling mengasihi, dimana pada ujungnya akan menciptakan kondisi, dimana penghargaan manusia ditempatkan sebagai manusia, dengan cara mengajukan sikap toleran antar sesama manusia. Sebab, manusia pada sifat asalnya melekat kebaikan (tau tongeng). Assimellereng (kesetiakawanan) adalah untuk mewujudkan persatuan masyarakat (masseuwani tauwe) dalam masyarakat apabila seluruh komponen dalam masyarakat bersatu maka kedamaian dan keharmonisan. Sehingga kemudian kehidupan masyarakat tercipta kehidupan yang sejahtera. Dalam mewujudkan persatuan (masseuwani tauwe) menurut Anwar Ibrahim mengutip pemikiran To Maccae ri Luwu20 sebagai berikut.21 Delapan sifat yang perlu dipelihara untuk menciptakan persatuan, yaitu: 1. Massituru’i ri lalempanua, seiya-sekatanya masyarakat dalam suatu negeri. 20 To Maccae ri Luwu adalah orang yang bijak sekaligus penasehat kerajaan Luwu, Sulawesi Selatan. Beliau hidup sekitar tahun 1530 an, sekitar 50 setelah lahirnya Kajao La Mellong penasehat kerajaan Bone. Lihat Anwar Ibrahim, Sulesana: Kumpulan Essai Tentang Demokrasi Dan Kearifan Lokal, h. 33. 21 Ibrahim, Sulesana, h. 41. 91 2. Siallempurenggi, kejujuran kepada sesama masyarakat. 3. Siakkeda tongenggi, saling berkata benar diantara masyarakat. 4. Sia-sirikenggi, Saling memelihara siri’. 5. Ja’ na uru’, deceng na uru’, bersatu dalam duka dan bersatu dalam suka. 6. Sitereng ri bulu’e, tessinoreng ri lompo’e, ke gunung sama mendaki, tidak saling menurunkan ke lembah. 7. Tessicarinnaianggi ri silasanae, tidak segan-segan membantu sesama masyarakat. 8. Sipatonggi ri akkunae, saling membenarkan dengan apa adanya. Dari cerita di atas menjelaskan bagaimana masyarakat akan mendapatkan kesejahteraan dengan mengedapankan persatuan melalui sikap konsistennya perkataan dan perbuatan, berkata jujur dan benar, saling menghargai, bersatu dalam suka dan duka, saling menyanjung dan tidak saling menjatuhkan, menghina seta menjelek-jelekan, tidak segan dalam membantu atas kesusahan yang dialami oleh orang lain dan juga membenarkan apa yang memang pantas untuk dibenarkan. Dalam toleransi dalam masyarakat berdasarkan apa yang telah dijelaskan oleh para tokoh sebelumnya bahwa selalu dibutuhkan dialog untuk melihat dengan jelas permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Berdialog dengan mengedepankan rasa hormat dan saling menghargai. Dalam masyarakat Bugis berdialog dikenal dengan istilah tudang sipulung atau bermusyawarah untuk memperjelas persoalan yang terjadi dalam masyarakat.22 Adapun hasil dialog atau hasil musyawarah tidak boleh dilanggar oleh raja karena ketetapan itu adalah hasil dari ketetapan masyarakat banyak. 22 Ibrahim, Sulesana, h.156. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Toleransi dan keharmonisan sangat dibutuhkan dalam masyarakat guna untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera dan berkemajuan dalam suatu negeri. Indonesia yang kondisi masyarakat yang beragam dan kekayaan alam yang berlimpah, mempunyai potensi besar untuk menjadi negara adidaya diantara negara-negara lainnya apabila masyarakatnya bersatu dengan mengesampingkan perbedaan yang ada. Konflik yang selama ini terjadi, terlebih lagi konflik yang benuansa SARA kebanyakan berangkat dari kepentingan kelompok yang mempropokasi masyarakat. Kemudian dibumbuhi dengan anggapan isu-isu yang subjektif tanpa mempertimbangkan benar dan baiknya. Dalam hal ini penulis melihat konflik yang sudah perna terjadi khusus konflik yang membawa isu perbedaan agama sesungguhnya menghancurkan harapan para founding fathers dan batang tubuh dari dasar negara kita yaitu Pancasila. Para tokoh telah menawarkan konsep toleransi dalam masyarakat. dalam hal ini, penulis membahas toleransi menurut Mukti Ali, Alwi Shihab, dan Abdurahman Wahid (Gus Dur). Dimana dari hasil analisis menulis yang secara hati-hati menganggap bahwa Mukti Ali lebih menekankan penerimaan perbedaan pendapat atas perbedaan yang ada dalam masyarakat. Alwi Shihab menekankan keterbukaan dalam kehidupan beragama tanpa harus mempermasalahkan klaim 92 1 93 kebenaran suatu agama, maksudnya setiap orang akan mengatakan agama yang dianutnya adalah agama yang paling benar dan tidak harus menghakimi ketidakbenaran agama orang lain. Kemudian Abdurahman Wahid (Gus Dur) menitik-beratkan toleransi dari sisi kemanusiaannya, bahwa setiap orang mempunyai hak-hak dalam kehidupannya, terlebih lagi undang-undang telah mengatur hak-hak masyarakat untuk bebas memilih agama dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Dari ketiga tokoh tersebut secara umum penulis memandang bahwa toleransi menempatkan hak-hak kemanusiaan sebagai objek tertinggi. Ini sejalan dengan konsep karifan lokal masyarakat Indonesia dalam hal ini penulis mengambil objek toleransi yang terdapat dalam kearifan lokal masyarakat Bugis. Dalam masyarakat Bugis bahwa prinsip siri’ adalah bagaimana seseorang manusiakan seseorang yang lainnya (tau sipakatau), saling menghormati dan saling menghargai (sipakalebbi), dan saling mengingatkan (sipakainge’). Kemudian pesse yang menenkankan empaty atau jiwa sosial yang harus ada dalam hati setiap orang. Karena seseorang akan dianggap lebih hina daripada binatang (olok-kolok) apabila tidak terdapat pesse di dalam dirinya. Begitu pula dengan panggederreng yang secara sederhana merupakan serangkaian pedoman hidup masyarakat Bugis yang terdiri dari ade’, bicara, rapang, dan wari. Dari keempat pedoman itu menjadi acuan masyarakat untuk membedakan yang pantas atau tidak pantas seorang manusia lakukan. Niat, perkataan dan perbuatan harus selalu dikontrol sehingga sesaui dengan ajaran 94 panggederreng, yang hakikatnya menjaga dan melestarikan siri’ dalam seseorang, masyarakat, dan negara. Kemudian yang terakhir konsep assimellereng (kesetiakawanan sosial) dalam masyarakat bugis yang secara harfiah diambil dari kata “melle” yang berarti bersambung atau terhubung. Masyarakat Bugis juga biasanya mengganti assimellereng dengan kata “melle perru” yang bermakna rasa yang menyatuh dengan orang lainnya, yang secara kongkrit berupa rasa kasihan, dimana itu menjadi keharusan. Demikian kesimpulan penulis melihat kearifan lokal masyarakat Bugis yang mengandung nilai-nilai toleransi dan keharmonisan sebagaimana apa yang telah penulis analisis dari teori Mukti Ali, Alwi Shihab, dan Abdurahman Wahid (Gus Dur). B. Saran-saran Penulis menyadari bahwa penelitian ini tidak lepas dari berbagai keterbatasan dan kekurangan, meskipun penulis sudah berusaha semaksimal mungkin. Toleransi merupakan pendukung terbesar untuk menciptakan Indonesia negara yang maju. Mempermasalahkan perbedaan hanya membuang waktu saja. Maka dari itu mari hidup damai dalam perbedaan, pada hakikatnya semua agama mengajarkan kebaikan. Semoga kajian toleransi dalam nilai-nilai kearifan lokal menjadi salah satu aspek tinjauan dalam mewujudkan toleransi di Indonesia dan semoga menambah luas peranan jurusan Studi Agama-Agama dalam menciptakan 95 akademisi yang toleran, serta bisa terjun langsung dalam masyarakat banyak. Ini merupakan langkah awal dari penelitian yang telah penulis kaji. Oleh karena itu, penulis berharap agar dapat melanjutkan penelitian ini, yang masih memiliki banyak kekurangan dalam segi khasana keilmuan. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Amin dan Norma Permata, Ahmad. (ed), Metodologi Studi Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000. Abudullah, Hamid. Manusia Bugis Makassar, Jakarta: PT Inti Idayu Press, Cet. I. 1985. Agil Husin Al Munawar, Said. Aktualisasi Nilai – Nilai Al-Qur’an dalam Pendidikan Islam, Jakarta, 2005. Ali, Mukti. Agama dan Keagamaan di Indonesia, Jakarta: Biro Humas Departemen Agama RI, 1972. Ali, Mukti. Alam Pemikiran Islam Modern di Indonesia, Yogyakarta: Jajasan Nida, 1971. Ali, Mukti “Setuju dalam perbedaan” dalam Majalah Mawas Diri No. 1 TH. 1 Maret 1972, hal.6. liat juga Faisal Ismail, Republik Bhineka Tunggal Ika:Mengurai Isu-isu Konflik Multikulturalisme, Agama, Sosial, dan Budaya, Jakarta: Puslitbang Kehidupan keragamaan, 2012. Ali, Mukti. Agama dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Biro Humas Departemen Agama RI, 1972. Bakir, Muhammad dan Zaid Mahyudi, M. Gus Dur: Santri Par Exellence (Teladan Sang Guru Bangsa “Abdurahman Wahid Ketegaran Pluralisme Akar Rumput), Jakarta: Kompas, Cet. I, 2010. Basuki, Singgih. Pemikiran keagamaan Mukti Ali, Yogyakarta: Suka Press, 2013. 1 93 Ghofur, Abdul. Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia : Studi Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Hardjana, A.M. Penghayatan Agama: Yang Otentik dan Tidak Otentik, Yogyakarta, Kanisius, 1993. Hasan, Fuad. Renungan Budaya, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. ke-I, 1989. Husin, Khairah. Peran Mukti Ali dalam Pengembangan Toleransi Agama di Indonesia, RIAU: jurnal Ushuluddin UIN RIAU, Vol. XXI, No.1 Januari 2014. Ismail, Faisal. Paving the War For Interreligion Dialogue, Tolerance, and Harmony Following, Mukti Ali’s Path, hal. 174Mukti Ali, “Setuju dalam perbedaan” Majalah Mawas Diri No. 1 TH. 1 Maret 1972 Ibrahim, Anwar. Sulesana: Kumpulan Esai Tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal, Makassar: Lembaga penerbit Universitas Hasanuddin, 2003. Kern, R.A. I LA GALIGO Cerita Bugis Kuno Edisi Indonesia, Jogja: Gadjah Mada University Press, 1989, Cet.I. Laica Marzuki, M. Siri Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum), Ujung Pandang, Hasanuddin University Press, Cet. I, 1995. Luth, Thohir. Masyarakat Madani: Solusi Damai dalam Perbedaan, Jakarta: Mediacita, 2006. Mangunwijaya, Y.B, dkk. Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, Jakarta: Kompas, 2001. Mansur, Sufa’at. Toleransi dalam agama Islam, Yogyakarta; Harapan Kita, 2012. 94 Masdar, Umarudin. Membaca Pemikiran Gusdur dan Amin Rais tentang Demokrasi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Masykur Musa, Ali. Pemikiran dan Sikap Politik Gusdur, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002. Mattulada, LATOA : Satu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, Ujung Pandang: Hasanuddin University Press Cet.II, 1995. Muchtar Ghazali, Adeng. Ilmu Studi Agama, Bandung: Pustaka Setia, 2005. Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, Jakarta: Rajawali Pres, 2009 Muhammad Syak’ah, Musthafa. Islam Tanpa Mazhab, Solo: Tiga Serangkai 2008. Muqsith Ghazali, Abd Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Quran, Depok: Katakita, 2009, Norma Permata, Ahmad (Ed.), Metodologi, Yogyakarta: UII Press, 2003. O’ Collins SJ, Gerald dan G. Farrugia SJ, Edward. Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996. Pelras, Cristian. Manusia Bugis, Jakarta: Forum Jakarta-Paris, Cet. I,2006. Peldi Taher, Elza., ed., Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai 70 tahun Djohan Effendi, Jakarta: ICRP & Buku Kompas, 2009. Rahim, Rahman. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, Ujung Pandang: Hasanuddin Universitas Press, 1992. 95 Rahmawati, Jurnal Pendidikan Nusantara Indonesia “Integrasi Nilai Budaya Siri’ dan Pesse Masyarakat Bugis Makassar dalam Pelajaran IPA Vol.1.No, 2015, (Unismuh Makassar) Rahman, Nurhayati. Suara-Suara dalam Lokalitas, Makassar: La Galigo Press, 2012 Said, Marhadi. Jati Diri Manusia Bugis, Jakarta: Pro leader, 2016. Santoso, Listiono. Teologi Politik Gus Dur, Jogjakarta: Ar-Ruszz Media, 2004. Santoso, Listiyono. Mewacanakan Nalar Agama yang Inklusif dalam konteks Kemanusiaan dan Kemajemukan Indonesia Susanto, Limas. Dkk. Gus Dur: Santri Par Exellence “Psikoterapi Abdurahman Wahid”, Jakarta: Kompas, Cet. I, 2010. Shihab, Alwi. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka, Bandung: Mizan, 1999. Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi, Jakarta: Royandi, 1985. Syaefullah, Asep. Kerukunan Umat Beragama (studi Pemikiran Tarmizi Taher tentang Kerukunan Umat Beragama, Jakarta: Penerbit Gragindo Khazanah Ilmu. 2007. Wahid, Abdurahman. dan Ikeda, Daisaku. Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010. Wahid, Abdurrahman. Tuhan Tidak Perlu Dibela, Yogyakarta: LKiS, Cet. 1,1999. Wahid, Abdurrahman. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, Cet.I, 2001. Wahid, Abdurahman. Islam Ku, Islam Anda, Islam Kita (Agama Masyarakat Negara Demokrasi), Jakarta: The Wahid Institute, Cet. I, 2006. 96 Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES, 1981. Zainal Abidin Farid, A. dkk, Siri’ Filosofi Suku Bugis, Makassar, Toraja, mandar “Siri, Pesse Dan Were’ Pandangan Hidup Orang Bugis”, Makassar: Arus Timur, 2014. Sumber Internet Norbert Ama Ngongu, “Pluralisme Dalam Perspektif Agama Katolik”artikel diakses pada tanggal 4 September 2016, http://norbertang.blogspot.co.id/2008/03/pluralisme-dalam-perspektif-agama.html Listiyono Santoso, Mewacanakan Nalar Agama yang Inklusif dalam konteks Kemanusiaan dan Kemajemukan Indonesia, diakses pada 15 November 2016 , https://www.academia.edu/8554403/Mewacanakan_Nalar_Agama_yang_Inklusif _dalam_konteks_Kemanusiaan_dan_Kemajemukan_Indonesia,