5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hirarki Wilayah di Kabupaten Blitar Penentuan hirarki didasarkan atas tingkat perkembangan dan kapasitas pelayanan yang dapat disediakan oleh suatu wilayah. Tingkat hirarki ini penting dalam penentuan kapasitas suatu wilayah, apakah suatu wilayah merupakan wilayah pusat/inti atau wilayah hinterland. Konsep wilayah nodal menjadi penting karena pada dasarnya pembangunan bertujuan untuk mendorong wilayah pusat untuk menyediakan berbagai fasilitas sehingga mampu mendorong perkembangan wilayah-wilayah di sekitarnya (hinterland). Tingkat perkembangan kecamatan di Kabupaten Blitar ditentukan dengan metode skalogram yang dimodifikasi dan dicerminkan oleh nilai Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK). Umumnya, semakin tinggi nilai IPK, maka semakin tinggi pula kapasitas pelayanan suatu desa dan tingkat perkembangannya. Sebaliknya, semakin rendah nilai IPK berarti semakin rendah kapasitas pelayanan suatu desa dan tingkat perkembangannya. Variabel yang digunakan dalam analisis skalogram secara umum dapat dibedakan menjadi empat variabel, yaitu : aksesibilitas, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan fasilitas ekonomi. Hasil perhitungan skalogram secara lebih jelas dapat dilihat pada Lampiran 1. Nilai IPK yang dihasilkan berada pada kisaran 34.85 sampai 11.08 yang dapat dilihat secara rinci pada Tabel 10. Nilai IPK tertinggi sebesar 34.85 dimiliki oleh kecamatan dengan hirarki/orde pertama, yaitu Kecamatan Wlingi sedangkan nilai IPK terkecil sebesar 11.08 dimiliki oleh kecamatan dengan hirarki/orde ketiga, yakni Kecamatan Ponggok. Hasil perhitungan nilai IPK disajikan pada Tabel 9. Berdasarkan hasil perhitungan skalogram, nilai IPK seluruh kecamatan yang tersebar di Kabupaten Blitar dikelompokkan ke dalam tiga hirarki pusat pelayanan sebagai berikut : a. Tingkat hirarki I (tinggi) merupakan wilayah kecamatan-kecamatan dengan tingkat perkembangan tinggi. Terdapat 4 kecamatan yang termasuk dalam hirarki I, yaitu : Kecamatan Wlingi, Kecamatan Kesamben, Kecamatan Srengat, dan Kecamatan Sutojayan. Kecamatan-kecamatan yang termasuk dalam tingkat hirarki ini memiliki IPK antara 34.85-29.63 (rata-rata 31.14). Kecamatan-kecamatan dengan hirarki I umumnya memiliki ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan yang lebih tinggi, lebih lengkap, dan tentunya lebih memadai daripada kecamatan-kecamatan dengan hirarki yang lebih rendah (hirarki II dan III). Kecamatan yang termasuk dalam hirarki I memiliki kecenderungan terkonsentrasi pada jalur utama di Kabupaten Blitar. Kondisi tersebut terjadi karena jalur utama merupakan lokasi yang paling strategis dalam kaitannya dengan aliran orang, barang, maupun jasa. Semakin banyak aktivitas orang, barang, maupun jasa maka membutuhkan fasilitas umum dalam menunjang aktivitas tersebut. Sehingga tidak salah apabila kawasan di sekitar jalur utama lebih berkembang dibandingkan kawasan yang tidak dilalui jalur utama. b. Tingkat hirarki II (sedang) merupakan wilayah kecamatan-kecamatan dengan tingkat perkembangan sedang. Terdapat 6 kecamatan yang termasuk dalam 42 hirarki II, yaitu : Kecamatan Kanigoro, Kecamatan Wates, Kecamatan Talun, Kecamatan Bakung, Kecamatan Sanankulon, dan Kecamatan Wonodadi. Kecamatan-kecamatan yang termasuk dalam tingkat hirarki ini memiliki IPK antara 28.66-23.53 (rata-rata 26.09). Adapun wilayah kecamatan-kecamatan dengan tingkat hirarki II mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : • Ketersediaan sarana dan prasarana di wilayah tersebut lebih sedikit dari hirarki I. • Umumnya letaknya berada di pinggir wilayah berhirarki I dengan tingkat kehidupan yang relatif kurang maju dibandingkan dengan wilayah di hirarki I. Tabel 9. Nilai IPK dan Hirarki Kecamatan di Kabupaten Blitar No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. c. Kecamatan Wlingi Kesamben Srengat Sutojayan Kanigoro Wates Talun Bakung Sanankulon Wonodadi Wonotirto Kademangan Doko Garum Selorejo Nglegok Selopuro Udanawu Gandusari Panggungrejo Binangun Ponggok Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) 34.85 30.33 29.75 29.63 28.66 27.58 27.41 25.32 24.05 23.53 22.16 21.77 21.03 19.80 19.54 18.45 18.45 17.46 17.45 17.31 11.77 11.08 Hierarki Hierarki 1 Hierarki 1 Hierarki 1 Hierarki 1 Hierarki 2 Hierarki 2 Hierarki 2 Hierarki 2 Hierarki 2 Hierarki 2 Hierarki 3 Hierarki 3 Hierarki 3 Hierarki 3 Hierarki 3 Hierarki 3 Hierarki 3 Hierarki 3 Hierarki 3 Hierarki 3 Hierarki 3 Hierarki 3 Tingkat hirarki III (rendah) merupakan wilayah kecamatan-kecamatan dengan tingkat perkembangan rendah. Terdapat 12 kecamatan yang termasuk dalam hirarki III, yaitu : Kecamatan Wonotirto, Kecamatan Kademangan, Kecamatan Doko, Kecamatan Garum, Kecamatan Selorejo, Kecamatan Nglegok, Kecamatan Selopuro, Kecamatan Udanawu, Kecamatan Gandusari, Kecamatan Panggungrejo, Kecamatan Binangun, dan Kecamatan Ponggok. Kecamatan-kecamatan yang termasuk dalam tingkat hirarki ini memiliki IPK antara 22.16-11.08 (rata-rata 18.02). Kecamatan-kecamatan pada tingkat hirarki III pada umumnya memiliki tingkat kehidupan yang relatif kurang maju dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan yang termasuk ke dalam 43 tingkat hirarki yang lebih tinggi. Adapun wilayah kecamatan-kecamatan dengan tingkat hirarki III mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : • Ketersediaan sarana dan prasarana di kecamatan-kecamatan tersebut relatif kurang. • Akses masing-masing kecamatan ke pusat-pusat pelayanan maupun pusat-pusat aktivitas pemerintahan relatif lebih sulit. Pada dasarnya, untuk fasilitas-fasilitas tertentu dengan kapasitas pemenuhan kebutuhan yang lebih kompleks, kecamatan-kecamatan dengan tingkat hirarki yang lebih rendah masih harus mengaksesnya di kecamatan-kecamatan dengan tingkat hirarki yang lebih tinggi. Oleh karena itu, umumnya letak kecamatankecamatan yang berhirarki lebih rendah berlokasi di sekitar atau pinggir kecamatan-kecamatan dengan tingkat hirarki yang lebih tinggi. Secara spasial hasil perhitungan skalogram dengan tiga hirarki dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Hirarki Wilayah Kecamatan di Kabupaten Blitar 44 5.2 Tipologi Wilayah Kecamatan di Kabupaten Blitar Pada dasarnya, tipologi wilayah bertujuan untuk menggabungkan beberapa unit wilayah ke dalam kelas yang sama berdasarkan persamaan karakteristiknya. Teknik analisis yang digunakan dalam penentuan tipologi wilayah kecamatankecamatan di Kabupaten Blitar adalah analisis gerombol (cluster analysis) lalu diuji dengan menggunakan analisis diskriminan. Analisis gerombol yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu analisis gerombol berhierarki yang digunakan untuk mendapatkan gambaran awal jumlah gerombol yang akan dibentuk dan analisis gerombol tidak berhierarki yang digunakan untuk pengelompokkan akhir. Metode berhirarki sering digunakan apabila jumlah kelompok yang dibentuk belum diketahui, sedang metode tak berhirarki dipakai bila banyaknya kelompok yang akan dibentuk telah ditentukan. Metode yang digunakan untuk proses clustering secara berhirarki adalah Ward’s Method. Dalam metode ini jarak antar gerombol adalah jumlah kuadrat antar gerombol untuk seluruh variabel. Metode ini cenderung digunakan untuk mengkombinasi gerombol-gerombol dengan jumlah kecil. Variable yang digunakan pada analisis gerombol berhirarki dan tidak berhirarki seperti tertera pada Lampiran 2. Hasil analisis gerombol berhirarki dapat dilihat pada Gambar 8. Analisis Gerombol Berhirarki 14 12 Lingkage Distance 10 8 6 4 2 Bakung Wonotirto Kademangan Binangun Panggungrejo Wates Sutojayan Wonodadi Talun Sanankulon Selopuro Udanawu Kanigoro Srengat Kesamben Wlingi Selorejo Gandusari Garum Nglegok Doko Ponggok 0 Gambar 8. Hasil Analisis Gerombol Berhirarki. Dendogram seperti tertera pada Gambar 8 menggambarkan proses pembentukan gerombol yang dinyatakan dalam bentuk gambar. Selanjutnya untuk menetapkan jumlah kelompok optimum, maka dapat dilakukan dengan mengamati jarak terpanjang pada linkage distance dari satu pautan ke pautan berikutnya. Dapat dilihat bahwa, dua tahap terakhir dari dendogram, yaitu tahap “tiga gerombol” dan tahap “dua gerombol” memiliki jarak paling besar. Dari kedua 45 hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa keputusan tiga gerombol merupakan yang terbaik. Setelah dilakukan tahap analisis gerombol berhirarki maka tahap selanjutnya dilakukan analisis gerombol tidak berhirarki. Berdasarkan analisis gerombol berhirarki diputuskan bahwa tiga gerombol merupakan yang terbaik sehingga pada tahap analisis gerombol tidak berhirarki ditetapkan kecamatan-kecamatan di wilayah studi dikelompokkan menjadi tiga gerombol (cluster). Anggota tiap gerombol dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil Analisis Gerombol (Cluster) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. Kecamatan Sutojayan Kanigoro Talun Selopuro Sanankulon Ponggok Srengat Wonodadi Udanawu Kesamben Selorejo Doko Wlingi Gandusari Garum Nglegok Bakung Wonotirto Panggungrejo Wates Binangun Kademangan Cluster 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 Hasil analisis gerombol tidak berhirarki dapat menunjukkan pola perbedaan karakteristik antara ketiga gerombol melalui grafik nilai tengah dari setiap faktor utama untuk masing-masing kelompok kecamatan di Kabupaten Blitar. Nilai tertinggi atau terendah tiap faktor utama akan menjadi penciri/karakter untuk masing-masing gerombol di Kabupaten Blitar seperti terlihat pada Gambar 9. Berdasarkan plotting nilai tengah masing-masing cluster (Gambar 9), penciri yang signifikan pada Cluster 1 terdiri dari : rendahnya variabel rasio luas lahan padi sawah, tingginya variabel rasio luas lahan kering, rendahnya variabel kepadatan penduduk, dan rendahnya variabel indeks perkembangan kecamatan. Kondisi tersebut dapat diartikan bahwa karakteristik Cluster 1 adalah daerah penghasil utama komoditas pertanian lahan kering dengan kondisi perkembangan 46 wilyah yang masih rendah. Cluster 1 terdiri dari 6 kecamatan atau sekitar 27.27 persen dari seluruh jumlah kecamatan di Kabupaten Blitar. Plotting Nilai Tengah Masing-Masing Cluster 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 -1.5 Cluster 1 -2.0 Padi Sawah Perkebunan Lahan Kering Pekarangan Kepadatan Cluster 2 IPK Cluster 3 Variables Gambar 9. Hasil Cluster Analysis dengan metode K-Means. Cluster 2 memiliki dua penciri utama yang signifikan, yaitu : rendahnya variabel rasio luas lahan kering dan tingginya variabel rasio luas lahan perkebunan. Berdasarkan kondisi tersebut, dapat diartikan bahwa karakteristik Cluster 2 adalah penghasil komoditas perkebunan dengan kondisi perkembangan wilyah yang sedang. Kecamatan-kecamatan pada Cluster 2 ada sebanyak 7 kecamatan atau sekitar 31.81 persen dari seluruh kecamatan di Kabupaten Blitar. Penciri utama yang signifikan untuk Cluster 3 meliputi : tingginya variabel rasio luas lahan padi sawah, rendahnya variabel rasio luas lahan perkebunan, tingginya variabel rasio luas pekarangan dan tingginya variabel indeks perkembangan kecamatan. Kondisi tersebut dapat diartikan bahwa karakteristik Cluster 3 adalah penghasil komoditas padi sawah dengan kondisi perkembangan wilyah yang sudah maju. Cluster 3 terdiri dari 9 kecamatan atau sekitar 40.90 persen dari seluruh jumlah kecamatan di Kabupaten Blitar. Karakteristik pada masing-masing Cluster merupakan karakteristik pada masing-masing tipologi. Secara spasial, tipologi wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten Blitar dapat dilihat pada Gambar 10. 47 Gambar 10. Tipologi Wilayah Kecamatan di Kabupaten Blitar Berdasarkan rangkaian hasil analisis yang dilakukan dalam penentuan tipologi wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten Blitar, diperoleh karakteristik tipologi tiap wilayah seperti tertera pada Tabel 11. 48 Tabel 11. Karakteristik Tipologi Wilayah Kecamatan di Kabupaten Blitar Cluster Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Karakteristik Tipologi Wilayah • Jika dilihat dari sumberdaya alamnya, aktivitas budidaya padi sawah cukup potensial untuk dikembangkan. Namun ada sebagian wilayah yang perlu mendapat perhatian khusus karena merupakan kawasan rawan bencana letusan gunung berapi. • Jika dilihat dari sumberdaya buatan, pengembangan sarana dan prasarana permukiman sudah cukup memadai. Selain itu aktivitas peternakan juga sangat menonjol dalam menunjang perekonomian wilayah yang dapat dilihat berdasarkan besarnya rasio luas lahan pekarangan. • Jika dilihat dari sumberdaya alamnya, aktivitas budidaya komoditas perkebunan paling menonjol dibandingkan aktivitas ekonomi lainnya. Selain itu luas lahan padi sawah juga sangat potensial untuk dikembangkan. • Jika dilihat dari sumberdaya buatan, pengembangan sarana dan prasarana permukiman sudah sangat memadai apalagi ditunjang kemudahan aksesibilitas. • Jika dilihat dari sumberdaya alamnya, aktivitas pertanian lahan kering paling menonjol dibandingkan aktivitas ekonomi lainnya. Potensi luas lahan untuk dikembangkan juga sangat melimpah yang dapat dilihat dari tingkat kepadatan penduduk yang rendah. • Jika dilihat dari sumberdaya buatan, pengembangan infrastruktur perhubungan dan ketersediaan air sangat kurang sehingga indeks perkembangan kecamatan juga relatif kecil. Kesimpulan Wilayah berbasis komoditas pertanian tanaman pangan dengan kondisi perkembangan kecamatan yang tinggi. Wilayah berbasis komoditas tanaman perkebunan dengan kondisi perkembangan kecamatan yang sedang. Wilayah berbasis komoditas pertanian lahan kering dengan kondisi perkembangan kecamatan yang rendah. 5.3 Komoditas Unggulan Cluster Agropolitan Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan pembangunan daerah adalah keberadaan sektor unggulan. Sektor unggulan merupakan sektor perekonomian yang diharapkan menjadi motor penggerak perekonomian wilayah. Dengan mengetahui dan mengoptimalkan sektor unggulan ini maka diharapkan terdapat efek positif bagi kemajuan aktivitas perekonomian daerah (Syahidin, 2006). Salah satu alat analisis yang bisa digunakan untuk mengetahui keberadaan sektor unggulan ini adalah teori basis ekonomi. Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Teori ini menyatakan bahwa sektor basis dapat membangun dan memacu penguatan dan pertumbuhan ekonomi lokal sehingga diidentifikasi sebagai mesin ekonomi lokal. 49 Menurut Rustiadi et al. (2011), sektor ekonomi wilayah dapat dibagi dalam dua golongan yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi di dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Sektor basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah sedangkan sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di wilayahnya sendiri dan kapasitas ekspor wilayah belum berkembang. Metode yang sering dipakai sebagai indikasi sektor basis adalah metode Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA). Analisis Location Quotient (LQ) merupakan teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas di suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Metode LQ juga dapat digunakan untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan bukan basis karena merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Suatu wilayah yang memiliki nilai koefisien lokalisasi (LQ) lebih dari satu untuk suatu kegiatan maka wilayah tersebut berpotensi ekspor sehingga dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi wilayahnya serta memiliki daya saing ekonomi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Dalam konteks perencanaan pengembangan wilayah, upaya untuk mengidentifikasi aktivitas ekonomi basis menjadi bagian yang penting untuk dapat memetakan komoditas atau sektor unggulan. Asumsi yang digunakan dalam analisis sektor basis dengan menggunakan metode LQ ini adalah (1) kondisi geografis unit wilayah relatif seragam, (2) pola aktivitas antar unit wilayah bersifat seragam dan (3) setiap aktivitas menghasilkan kualitas produk yang sama dan dinilai dalam satuan yang sama (Pribadi et al., 2010). Analisis LQ juga memberikan gambaran mengenai sektor atau kegiatan ekonomi mana yang terkonsentrasi (memusat) dan yang tersebar. Tarigan (2008) menyatakan bahwa analisis LQ sebagai petunjuk adanya keunggulan komparatif dapat digunakan bagi sektor-sektor yang telah lama berkembang, sedangkan bagi sektor yang baru atau sedang tumbuh apalagi yang selama ini belum pernah ada, metode LQ tidak dapat digunakan karena produk totalnya belum menggambarkan kapasitas riil daerah tersebut. Variabel yang digunakan sebagai ukuran untuk menentukan potensi komoditas pertanian masing-masing cluster dalam analisis LQ adalah luas lahan yang digunakan untuk aktivitas pertanian lahan kering, aktivitas perkebunan, serta aktivitas pertanian lahan basah tahun 2011 dengan wilayah referensi Kabupaten Blitar. Komoditas yang merupakan sektor basis adalah komoditas dengan nilai LQ > 1, yang menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktifitas di wilayah yang bersangkutan secara relatif dibandingkan dengan total wilayah yang lebih luas atau terjadi pemusatan aktifitas di wilayah yang bersangkutan. Berdasarkan hasil analisis LQ dapat diketahui bahwa untuk Cluster 1 dari 7 komoditas terdapat 2 komoditas yang memiliki keunggulan komparatif, Cluster 2 dari 7 komoditas terdapat 4 komoditas yang memiliki keunggulan komparatif, dan Cluster 3 dari 8 komoditas terdapat 7 komoditas yang memiliki keunggulan komparatif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 12, 13, dan 14. 50 Tabel 12. Nilai LQ komoditas pertanian lahan kering pada Cluster 1 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Komoditas Padi Sawah Padi Ladang Jagung Ketela Pohon Ketela Rambat Kacang Tanah Kedele LQ 1.49 0.06 0.97 0.18 0.76 1.04 0.03 Keterangan Memiliki keunggulan komparatif Tidak memiliki keunggulan komparatif Tidak memiliki keunggulan komparatif Tidak memiliki keunggulan komparatif Tidak memiliki keunggulan komparatif Memiliki keunggulan komparatif Tidak memiliki keunggulan komparatif Tabel 13. Nilai LQ komoditas perkebunan pada Cluster 2 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Komoditas Tebu Tembakau Kenanga Cengkeh Kopi Kakau Kelapa LQ 1.02 2.08 0.25 2.68 2.56 0.86 0.66 Keterangan Memiliki keunggulan komparatif Memiliki keunggulan komparatif Tidak memiliki keunggulan komparatif Memiliki keunggulan komparatif Memiliki keunggulan komparatif Tidak memiliki keunggulan komparatif Tidak memiliki keunggulan komparatif Tabel 14. Nilai LQ komoditas pertanian lahan sawah pada Cluster 3 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Komoditas Padi Sawah Padi Ladang Jagung Ketela Pohon Kacang Tanah Kedele Tebu Kelapa LQ 0.21 2.09 1.21 1.55 1.56 2.22 1.19 1.16 Keterangan Tidak memiliki keunggulan komparatif Memiliki keunggulan komparatif Memiliki keunggulan komparatif Memiliki keunggulan komparatif Memiliki keunggulan komparatif Memiliki keunggulan komparatif Memiliki keunggulan komparatif Memiliki keunggulan komparatif Nilai analisis LQ ini merupakan nilai perbadingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada wilayah yang lebih luas (Rustiadi et al. 2011). Dengan demikian, maka nilai LQ yang di bawah 1 bukan berarti wilayah tersebut memiliki luas areal dan produksi suatu komoditas yang rendah. Demikian pula sebaliknya nilai LQ komoditas yang di atas 1 belum tentu memiliki jumlah luas areal dan produksi suatu komoditas yang tinggi. Karena nilai analisis LQ adalah nilai perbandingan relatif suatu komoditas tertentu di suaatu wilayah tertentu dengan perbandingan total komoditas di suatu wilayah tertentu terhadap wilayah agregat yang lebih luas. Penggunaan analisis Location Quotient (LQ) digunakan untuk menggambarkan sisi keunggulan komparatif suatu wilayah terhadap aktivitas ekonomi tertentu. Dari analisis LQ yang dilakukan, maka perlu dikuatkan dengan Shift Share Analysis untuk mengetahui keunggulan dari sisi kompetitifnya. Menurut Rustiadi 51 et al. (2011), Shift Share Analysis (SSA) merupakan teknik analisis yang digunakan untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif (competitiveness) suatu wilayah dalam wilayah agregat yang lebih luas, berdasarkan kinerja sektor lokal (local sector) di wilayah tersebut. Analisis SSA juga dapat digunakan untuk menganalisis pergeseran kinerja suatu sektor di suatu wilayah yang dipilah berdasarkan sumber-sumber penyebab pergeseran. Ada tiga sumber penyebab pergeseran yaitu : komponen regional share (komponen laju pertumbuhan total), komponen proportional shift (komponen pergeseran proporsional) dan Komponen differential shift (komponen pergeseran diferensial). Untuk mengetahui posisi, daya saing dan kinerja masing-masing komoditas pertanian masing-masing cluster dibandingkan dengan komoditas pertanian di wilayah Kabupaten Blitar digunakan metode SSA. Analisis SSA yang dimaksud dalam pembahasan ini hanya ditinjau dari komponen differential shift. Hal ini dilakukan karena ingin mengetahui pertumbuhan masing-masing komoditas pertanian masing-masing cluster yang hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan/pergeseran aktivitas sektor-sektor tersebut pada masing-masing cluster itu sendiri apabila dibandingkan dengan cluster lain di wilayah Kabupaten Blitar, bukan karena pengaruh pertumbuhan proporsional (proportional shift) maupun pertumbuhan total (regional share). Apabila komponen differential shift bernilai positif maka cluster tersebut dapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif karena pada dasarnya masih memiliki potensi untuk terus tumbuh dan berkembang meskipun faktor-faktor eksternal (komponen proportional shift dan regional share) tidak mendukung. Variabel yang digunakan untuk mengetahui keunggulan kompetitif ini adalah luas lahan yang digunakan untuk aktivitas pertanian lahan kering, aktivitas perkebunan, serta aktivitas pertanian lahan basah pada Tahun 2007 dan Tahun 2011. Berdasarkan hasil analisis SSA dapat diketahui bahwa untuk Cluster 1 dari 7 komoditas terdapat 5 komoditas yang memiliki keunggulan kompetitif, Cluster 2 dari 7 komoditas terdapat 4 komoditas yang memiliki keunggulan kompetitif, dan Cluster 3 dari 8 komoditas terdapat 5 komoditas yang memiliki keunggulan kompetitif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15, 16, dan 17. Tabel 15. Nilai DS komoditas pertanian lahan kering pada Cluster 1 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Komoditas Padi Sawah Padi Ladang Jagung Ketela Pohon Ketela Rambat Kacang Tanah Kedele DS 0.36 0.40 0.08 -0.33 -0.69 2.33 -0.81 Keterangan Memiliki keunggulan kompetitif Memiliki keunggulan kompetitif Memiliki keunggulan kompetitif Tidak memiliki keunggulan kompetitif Tidak memiliki keunggulan kompetitif Memiliki keunggulan kompetitif Tidak memiliki keunggulan kompetitif 52 Tabel 16. Nilai DS komoditas perkebunan pada Cluster 2 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Komoditas Tebu Tembakau Kenanga Cengkeh Kopi Kakau Kelapa DS -0.011 0.004 0.160 0.001 0.075 -0.557 -0.090 Keterangan Tidak memiliki keunggulan kompetitif Memiliki keunggulan kompetitif Memiliki keunggulan kompetitif Memiliki keunggulan kompetitif Memiliki keunggulan kompetitif Tidak memiliki keunggulan kompetitif Tidak memiliki keunggulan kompetitif Tabel 17. Nilai DS komoditas pertanian lahan sawah pada Cluster 3 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Komoditas Padi Sawah Padi Ladang Jagung Ketela Pohon Kacang Tanah Kedele Tebu Kelapa DS 0.0596 -0.0508 0.0563 0.0735 -0.1799 -0.0001 1.861 0.018 Keterangan Memiliki keunggulan kompetitif Tidak memiliki keunggulan kompetitif Memiliki keunggulan kompetitif Memiliki keunggulan kompetitif Tidak memiliki keunggulan kompetitif Tidak memiliki keunggulan kompetitif Memiliki keunggulan kompetitif Memiliki keunggulan kompetitif Hasil analisis LQ dan SSA dapat dikombinasikan sehingga memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pengelompokkan komoditas berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Untuk komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif direkomendasikan sebagai komoditas unggulan. Hasil kombinasi analisis LQ dan SSA dapat diketahui komoditas unggulan untuk Cluster 1 adalah komoditas : padi sawah dan kacang tanah. Komoditas unggulan untuk Cluster 2 adalah komoditas : kopi, cengkeh, dan tembakau. Komoditas unggulan untuk Cluster 3 adalah : komoditas ketela pohon, jagung, tebu, dan kelapa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 11, 12, dan 13. Keunggulan Komparatif Komoditas Basis Padi Ladang Jagung Padi Sawah Kacang Tanah Positif Ketela Pohon Ubi Jalar Kedelai - Negatif Gambar 11. Komoditas Unggulan Cluster 1. Keunggulan Kompetitif Komoditas Non basis 53 Keunggulan Komparatif Komoditas Non basis Komoditas Basis Tembakau Cengkeh Kopi Positif Kakau Kelapa Tebu Negatif Keunggulan Kompetitif Kenanga Gambar 12. Komoditas Unggulan Cluster 2. Keunggulan Komparatif Komoditas Non basis Komoditas Basis Positif - Padi Ladang Kacang Tanah Kedelai Negatif Keunggulan Kompetitif Padi Sawah Jagung Ketela Pohon Tebu Kelapa Gambar 13. Komoditas Unggulan Cluster 3. 5.4 Lokasi Pusat Pengembangan Cluster Agropolitan Menurut Anwar (2004), pengertian agropolitan adalah tempat pusat (central places) yang mempunyai struktur berhierarki, dimana agropolis mengandung arti adanya kota-kota kecil dan menengah di sekitar wilayah perdesaan (micro urbanvillage) yang dapat tumbuh dan berkembang karena berfungsinya koordinasi pada sistem kegiatan-kegiatan utama usaha agribisnis, serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian di kawasan sekitarnya. Oleh karenanya kawasan agropolitan diartikan sebagai sistem fungsional satu atau lebih kota-kota pertanian pada wilayah produksi pertanian tertentu, yang ditunjukkan oleh adanya sistem hierarki keruangan (spatial hierarchy) satuan-satuan permukiman petani, yang terdiri dari pusat agropolitan dan pusat-pusat produksi disekitarnya. Lokasi yang akan ditetapkan sebagai pusat pengembangan cluster agropolitan harus memenuhi kriteria most accessible bagi penduduk di wilayah sekitarnya. Rushton (1979), mengatakan bahwa ada satu simpul dalam jaringan yang meminimumkan jarak terpendek yang berbobot dari semua simpul terhadap satu simpul tertentu, dimana simpul tersebut juga merupakan bagian dari jaringan tersebut. Dengan adanya jarak yang tetap di antara simpul-simpul yang ada dalam 54 jaringan, maka akan ditemukan satu simpul di antara semua simpul yang ada yang memiliki jarak terpendek dan memiliki kriteria bobot yang ditetapkan. Simpul atau titik yang dimaksud adalah titik tengah dari jaringan, ini merupakan teori yang penting karena dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan penaksiran simpul-simpul alternatif pada jalur jaringan. Salah satu cara menganalisis lokasi yang most accessible di suatu wilayah adalah dengan spatial interaction analysis location-allocation models. Metode tersebut merupakan salah satu pendekatan dari model-model optimasi dalam penentuan lokasi suatu aktifitas yang dapat meminimumkan biaya, jarak, waktu, dan faktor kendala lainnya. Menurut Rahman dan Smith (2000) salah satu analisis interaksi spasial melalui pendekatan dari location-allocation models adalah penggunaan metoda The P-Median Problem. Penyelesaian fungsi-fungsi dari The P-Median Problem ini dilakukan dengan menggunakan program komputer/ software Java Applets PMedian Solver. Software P-Median Solver ini disediakan secara gratis melalui situs http://www.hyuan.com/java/index.html. Untuk mengolah data harus dalam keadaan on line dengan situs tersebut. Program ini dapat digunakan untuk menganalisa suatu wilayah dengan jumlah simpul yang besar sampai dengan 99 simpul. The P-Median Problem adalah metoda pemecahan masalah dalam penentuan lokasi optimal untuk penempatan ’P’ fasilitas di suatu wilayah dengan upaya meminimalkan kendala atau constraints. Dalam metoda The P-Median Problem ada dua faktor yang sangat berpengaruh, yaitu faktor jarak antar simpul dan faktor bobot dari simpul yang akan dianalisis. Dalam penelitian ini yang dimasud dengan faktor jarak adalah jarak antar kecamatan dan yang dimaksud dengan bobot dari simpul adalah jumlah penduduk kecamatan serta luas lahan pertanian masing-masing kecamatan. Variabel yang digunakan dalam metoda The P-Median Problem dapa dilihat pada Lampiran 8, 9, dan 10. Hasil analisis PMedian diperoleh pada Cluster 1 yang menjadi lokasi pusat pengembangan adalah Kecamatan Sanankulon, pada Cluster 2 yang menjadi lokasi pusat pengembangan adalah Kecamatan Wlingi, dan pada Cluster 3 yang menjadi lokasi pusat pengembangan adalah Kecamatan Panggungrejo. Proses analisis P-Median masing-masing cluster dapat dilihat pada Gambar 14, 15, dan 16. Gambar 14 menunjukkan hasil analisis P-Median penentuan lokasi pusat pengembangan yang optimal pada Cluster 1 berdasarkan faktor pendorong berupa jumlah penduduk kecamatan serta luas lahan pertanian masing-masing kecamatan dan faktor kendala berupa jarak antar kecamatan, lokasi yang terpilih adalah Kecamatan Sanankulon. Gambar 15 menunjukkan hasil analisis P-Median penentuan lokasi pusat pengembangan yang optimal pada Cluster 2 berdasarkan faktor pendorong berupa jumlah penduduk kecamatan serta luas lahan pertanian masing-masing kecamatan dan faktor kendala berupa jarak antar kecamatan, lokasi yang terpilih adalah Kecamatan Wlingi. Gambar 16 menunjukkan hasil analisis P-Median penentuan lokasi pusat pengembangan yang optimal pada Cluster 3 berdasarkan faktor pendorong berupa jumlah penduduk kecamatan serta luas lahan pertanian masing-masing kecamatan dan faktor kendala berupa jarak antar kecamatan, lokasi yang terpilih adalah Kecamatan Panggungrejo. 55 Udanawu Talun Ponggok Kanigoro Wonodadi Selopuro Srengat Sanankulon Sutojayan Keterangan : : faktor bobot : faktor jarak : lokasi pusat pengembangan Gambar 14. Proses Penentuan Pusat Pengembangan pada Cluster 1. Doko Kesamben Gandusari Wlingi Nglegok Garum Selorejo Keterangan : : faktor bobot : faktor jarak : lokasi pusat pengembangan Gambar 15. Proses Penentuan Pusat Pengembangan pada Cluster 2. 56 Kademangan Binangun Panggungrejo Wates Bakung Wonotirto Keterangan : : faktor bobot : faktor jarak : lokasi pusat pengembangan Gambar 16. Proses Penentuan Pusat Pengembangan pada Cluster 3. Konsep Agropolitan sebenarnya lahir sebagai respon dari munculnya ketimpangan desa-kota dan kebijakan pembangunan yang bersifat urban bias yang dalam jangka pendek merugikan bagi perkembangan kawasan perdesaan dan dalam jangka panjang merugikan tatanan kehidupan bangsa secara nasional. Agropolitan adalah suatu konsep yang berbasis pada pengembangan suatu sistem kewilayahan yang mampu memfasilitasi berkembangnya kawasan perdesaan dalam suatu hubungan desa-kota yang saling memperkuat (Rustiadi et al. 2011). Ditetapkannya lokasi pusat pengembangan masing-masing cluster diharapkan dapat mewujudkan hubungan antara kawasan perdesaan dengan kawasan perkotaan secara berjenjang. Pengembangan lokasi pusat pengembangan masingmasing cluster dalam bentuk kota-kota dalam skala kecil dan menengah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Hal ini karena dengan tumbuhnya kota-kota kecil menengah tersebut fasilitas-fasilitas pelayanan dasar bisa disediakan dan pasar untuk produk-produk perdesaan juga bisa dikembangkan. Pembentukan tiga cluster agropolitan di Kabupaten Blitar beserta lokasi pusat pengembangannya sudah cukup tepat dari sisi pengembangan wilayah. Kecamatan Sanankulon untuk mendukung perkembangan wilayah Kabupaten Blitar ke barat, Wlingi untuk mendukung perkembangan wilayah Kabupaten Blitar ke timur, dan Panggungrejo untuk mendukung perkembangan wilayah Kabupaten Blitar ke selatan. Apalagi saat ini perkembangan wilayah di Kabupaten Blitar masih terkonsentrasi pada jalur transportasi utama. Wilayah Kabupaten Blitar yang cukup luas (meliputi 22 kecamatan) kurang efektif dan efisien apabila hanya mengandalkan satu lokasi pusat pengembangan. Hal ini dapat dilihat pada kondisi perkembangan wilayah pada kawasan Blitar Selatan yang masih tertinggal dibandingkan kawasan Blitar Utara. Semakin banyak kutub-kutub pertumbuhan di Kabupaten Blitar diharapkan dapat menimbulkan multiplier effect bagi wilayah sekitar. Namun yang lebih penting, adanya lokasi pusat pengembangan cluster 57 agropolitan diharapkan dapat mewujudkan hubungan antara kawasan perdesaan dengan kawasan perkotaan secara berjenjang. Sehingga tercapai hubungan antar wilayah yang saling menguatkan (generatif) dan bukan saling melemahkan (eksploitatif). Secara spatial, lokasi pusat pengembangan cluster agropolitan dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 17. Lokasi pusat pengembangan cluster agropolitan. 58 5.5 Arahan dan Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan 5.5.1 Arahan Pengembangan Kawasan Agropolitan Pengembangan kawasan agropolitan dapat dijadikan alternatif solusi dalam pengembangan kawasan perdesaan tanpa melupakan kawasan perkotaan. Melalui pengembangan agropolitan, diharapkan terjadi interaksi yang kuat antara pusat kawasan agropolitan dengan wilayah produksi pertanian dalam sistem kawasan agropolitan. Melalui pendekatan ini, produk pertanian dari kawasan produksi akan diolah terlebih dahulu di pusat kawasan agropolitan sebelum di jual (ekspor) ke pasar yang lebih luas sehingga nilai tambah tetap berada di kawasan agropolitan. Secara lebih luas, pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat mendukung terjadinya sistem kota-kota yang terintegrasi. Hal ini ditunjukkan dengan keterkaitan antar kota dalam bentuk pergerakan barang, modal, dan manusia. Melalui dukungan sistem infrastruktur transportasi yang memadai, keterkaitan antar kawasan agropolitan dan pasar dapat dilaksanakan. Dengan demikian, perkembangan kota yang serasi, seimbang, dan terintegrasi dapat terwujud. Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan secara terintegrasi, perlu disusun arahan pengembangan kawasan agropolitan yang akan menjadi acuan penyusunan program pengembangan. Menurut Friedmann dan Douglass (1976) muatan yang terkandung didalam pengembangan kawasan agropolitan adalah : a. Lokasi pusat pengembangan kawasan agropolitan berfungsi sebagai : • Pusat perdagangan dan transportasi pertanian (agricultural trade/ transport center). • Penyedia jasa pendukung pertanian (agricultural support services). • Pasar konsumen produk non pertanian (nonagricultural consumers market). • Pusat industri pertanian (agro based industry). • Penyedia pekerjaan non pertanian (nonagricultural employment). b. Wilayah hinterland kawasan agropolitan berfungsi sebagai : • Pusat produksi pertanian (agricultural production). • Intensifikasi pertanian (agricultural intensification). • Pusat pendapatan perdesaan dan permintaan untuk barang-barang dan jasa non pertanian (rural income and demand for non-agricultural goods and services). • Produksi tanaman siap jual dan diversifikasi pertanian (cash crop production and agricultural diversification). Berdasarkan pendapat tersebut maka dalam pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Blitar disusun arahan sebagai berikut : a. Lokasi pusat pengembangan agropolitan di tingkat Kabupaten Blitar diarahkan di Ibukota Kabupaten Blitar. Sesuai dengan PP No.3 Tahun 2010 disebutkan Ibukota Kabupaten Blitar ditetapkan di Kecamatan Kanigoro. Lokasi ini berfungsi sebagai : • Pusat perdagangan dan transportasi pertanian (agricultural trade/ transport center). • Penyedia jasa pendukung pertanian (agricultural support services). 59 • Pasar konsumen produk non pertanian (nonagricultural consumers market). b. Lokasi pusat pengembangan cluster agropolitan diarahkan untuk Cluster 1 adalah Kecamatan Sanankulon, Cluster 2 adalah Kecamatan Wlingi, dan Cluster 3 adalah Kecamatan Panggungrejo. Lokasi ini berfungsi sebagai : • Pusat industri pertanian (agro based industry). • Pusat perdagangan dan transportasi pertanian (agricultural trade/ transport center). c. Wilayah hinterland kawasan agropolitan diarahkan pada seluruh kecamatan di luar pusat pengembangan agropolitan sesuai dengan cluster agropolitan. Lokasi ini berfungsi sebagai : • Pusat produksi pertanian (agricultural production). • Intensifikasi pertanian (agricultural intensification). • Produksi tanaman siap jual dan diversifikasi pertanian (cash crop production and agricultural diversification). Arahan pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Blitar dapat dilihat pada Gambar 18. Gambar 18. Arahan pengembangan kawasan agropolitan. 60 5.5.2 Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan Menurut Rangkuti (2009), proses perumusan strategi dapat dilakukan melalui 3 (tiga) tahap analisis yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis dan tahap pengambilan keputusan. Strategi yang akan diterapkan pada pengembangan masing-masing cluster dalam penelitian ini mengacu pada 3 (tiga) tahapan tersebut. Strategi pengembangan kawasan agropolitan terpilih hasil analisis sebelumnya difokuskan pada tiga cluster, yaitu : a). Cluster 1 dengan komoditas utama berupa komoditas pertanian lahan kering; b). Cluster 2 dengan komoditas utama berupa tanaman perkebunan; c). Cluster 3 dengan komoditas utama berupa komoditas tanaman pangan. Penyusunan strategi pengembangan untuk ketiga cluster tersebut dilakukan dengan menggunakan analisis A’WOT melalui penggalian informasi kepada pihak terkait. Narasumber tersebut adalah BAPPEDA Kabupaten Blitar, Dinas Pertanian Kabupaten Blitar, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Blitar, Kadin Kabupaten Blitar, Tokoh Petani, Tokoh Perkebunan, dan Tokoh Masyarakat. Metode A’WOT yang diaplikasikan dalam penelitian ini menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam menentukan pembobotan pada saat analisis SWOT. Tujuan penggunaan Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah mengurangi subjektifitas dalam pembobotan masing-masing faktor dari kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Bobot dari masing-masing faktor internal dan eksternal tersebut juga diperoleh dengan pengolahan data yang didukung oleh program Expert Choice 11 dan Microsoft Excell. Dalam penelitian ini berbagai faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman diperoleh dari penggalian persepsi dan wawancara dari berbagai narasumber pada saat penelitian pendahuluan yang kemudian dikombinasikan dengan berbagai referensi yang terkait. Dari berbagai faktor kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities) dan ancaman (threats), akan dinilai tingkat atau bobot kepentingannya dengan menggunakan teknik Analytical Hierarchy Process berdasarkan jawaban responden terhadap kuesioner yang diberikan. Inilah titik tekan metode A’WOT dalam penelitian ini, dimana pembobotan terhadap berbagai faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman tidak ditentukan oleh peneliti, melainkan didasari pada jawaban responden yang expert dibidangnya untuk mengurangi unsur subyektifitas dalam penelitian ini. Adapun strategi pengembangan cluster agropolitan diuraikan sebagai berikut : 5.5.2.1 Strategi Pengembangan Cluster 1 Untuk merumuskan strategi pengembangan Cluster 1 dengan komoditas utama berupa komoditas tanaman pangan dalam penyusunannya diawali dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh baik faktor internal maupun faktor eksternal. Identifikasi faktor-faktor tersebut dilakukan melalui penggalian informasi kepada pihak yang memahami pengembangan komoditas peternakan. Kemudian hasil identifikasi informasi tersebut diberikan bobot dengan menggunakan bobot skala perbandingan Saaty. Adapun hasil identifikasi setiap faktor baik internal maupun eksternal dan pembobotannya selengkapnya disajikan pada Gambar 19. Ancaman Peluang Kelemahan Kekuatan Faktor Internal Faktor Eksternal 61 Konversi Fluktuasi harga Fenomena musim Persaingan Minat 0.321 0.095 0.054 0.244 0.074 0.098 Agrowisata Tingginya inovasi Adanya KUR Permintaan Ketahanan 0.189 0.340 0.299 Akses petani Konsumsi pribadi Rendahnya SDM Kelompok tani Pengolahan 0.276 0.250 0.169 0.164 0.141 LP2B Kelompok tani Unit kerja Pengairan Sosiokultural 0.195 0.234 0.129 0.379 0.064 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 Gambar 19. Hasil Analisis AHP Faktor Internal dan Eksternal Cluster 1. Berdasarkan hasil pembobotan terhadap faktor SWOT pengembangan Cluster 1 (Gambar 19), diketahui untuk faktor internal kekuatan yang dimiliki adalah sistem pengairan yang cukup bagus dan sudah mulai terbentuk kelompok tani. Faktor yang menjadi kelemahan adalah rendahnya akses petani terhadap permodalan, teknologi dan pasar serta sebagian hasil pertanian untuk konsumsi pribadi. Faktor eksternal berupa peluang adalah tingginya permintaan komoditas perkebunan serta adanya kebijakan ketahanan pangan nasional. Faktor ancaman yang masih dijumpai adalah fluktuasi harga di pasaran yang tidak menentu serta konversi lahan pertanian menjadi kawasan terbangun. Setelah dilakukan pembobotan terhadap faktor SWOT dengan menggunakan metode AHP langkah selanjutnya adalah membuat matriks IFAS dan EFAS. Penyusunan matriks IFAS dan EFAS bertujuan untuk mengetahui tingkatan kepentingan dan pengaruhnya dalam penentuan strategi pengembangan cluster agropolitan di Kabupaten Blitar. Matrik IFAS dan EFAS pengembangan Cluster 1 seperti tertera pada Tabel 18 dan 19. 62 Tabel 18. Hasil analisis matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) Pengembangan Cluster 1 Faktor-Faktor Strategi Internal Kekuatan 1. Faktor sosiokultural yang sangat mendukung 2. Sistem pengairan yang cukup bagus 3. Tersedianya unit kerja yang memiliki tupoksi dibidang pertanian 4. Sudah mulai terbentuk kelompok tani 5. Sudah ditetapkannya lahan pertanian pangan berkelanjutan Kelemahan 1. Tingkat pengolahan produk pertanian masih rendah 2. Belum optimalnya kinerja kelompok tani 3. Rendahnya SDM 4. Sebagian hasil pertanian untuk konsumsi pribadi 5. Rendahnya akses petani terhadap permodalan, teknologi dan pasar Jumlah Bobot Rating Skor 0.0319 0.1893 3 0.0957 4 0.7570 0.0647 3 0.1940 0.1168 3 0.3504 0.0974 3 0.2921 0.0706 0.0822 0.0846 0.1248 3 3 3 3 0.1378 3 0.4133 1.0000 3.1893 0.2119 0.2467 0.2538 0.3743 Tabel 18 matriks IFAS Cluster 1 menunjukkan bahwa skor total perkalian bobot dan rating dari semua faktor kekuatan dan kelemahan bernilai 3.1893. Nilai ini berasal dari skor faktor kekuatan yaitu 1.6893 dan skor faktor kelemahan dengan nilai 1.1500. Dalam kolom bobot diketahui bobot masing-masing faktor yang merupakan hasil pengolahan data kuesioner dengan metode AHP. Bobot yang diperoleh masing-masing faktor dikalikan 0.5 agar bobot total faktor kekuatan dan kelemahan bernilai 1.00 (Rangkuti, 2009). Pada kolom rating terlihat bahwa sebagian besar faktor kekuatan memiliki rating 3 (agak kuat), kecuali sistem pengairan yang cukup bagus dengan rating 4 (sangat kuat). Pada faktor kelemahan terlihat bahwa sebagian besar faktor kekuatan memiliki rating 3 (agak kuat). Tabel 19. Hasil analisis matriks External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS) Pengembangan Cluster 1 Faktor-Faktor Strategi Eksternal Peluang 1. Kebijakan ketahanan pangan nasional 2. Tingginya permintaan produk pertanian 3. Adanya KUR 4. Tingginya inovasi produk olahan tanaman pangan 5. Maraknya pembangunan dan pengembangan pertanian berbasis wisata Ancaman 1. Semakin kecilnya minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian 2. Persaingan produk sejenis dengan daerah lain 3. Fenomena musim yang sulit diprediksi 4. Fluktuasi harga di pasaran yang tidak menentu 5. Konversi lahan pertanian menjadi kawasan terbangun Jumlah Bobot Rating Skor 0.1496 0.1701 0.0944 0.0488 3 3 3 3 0.0372 3 0.1115 0.1221 3 0.3663 0.0271 0.0474 0.1607 0.1428 1.0000 3 3 4 3 0.4487 0.5103 0.2833 0.1463 0.0812 0.1423 0.6427 0.4283 3.1607 63 Tabel 19 matriks EFAS Cluster 1 menunjukkan bahwa skor total perkalian bobot dan rating dari semua faktor peluang dan ancaman bernilai 3.1607. Nilai ini berasal dari skor faktor peluang yaitu 1.5000 dan skor faktor ancaman dengan nilai 1.6607. Dalam kolom bobot diketahui bobot masing-masing faktor yang merupakan hasil pengolahan data kuesioner dengan metode AHP. Bobot yang diperoleh masing-masing faktor dikalikan 0.5 agar bobot total faktor kekuatan dan kelemahan bernilai 1.00 (Rangkuti, 2009). Pada kolom rating terlihat bahwa sebagian besar faktor peluang memiliki rating 3 (agak kuat), kecuali tingginya permintaan produk pertanian dengan rating 4 (sangat kuat). Pada faktor ancaman hampir semuanya mendapat rating 3 (agak kuat) kecuali semakin kecilnya minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian serta persaingan produk sejenis dengan daerah lain mendapat rating 2 (agak lemah). Berdasarkan hasil skor pada matriks IFAS dan EFAS Cluster 1, selanjutnya disusun analisis matriks space. Selisih skor kekuatan dan kelemahan pada matriks IFAS dan selisih skor peluang dan ancaman pada matriks EFAS akan mengisi posisi nilai x dan y dari kuadran di matriks space-nya. Dengan demikian, dapat diketahui posisi kuadran strategi pengembangan Cluster 1 dengan berbagai faktor internal dan eksternal yang sudah dianalisis sebelumnya. Berdasarkan analisis IFAS dan EFAS, maka diperoleh selisih skor kekuatan dan kelemahan pada matriks IFAS yaitu 0.1893 dan selisih skor peluang dan ancaman pada matriks EFAS -0.1607. Kombinasi nilai ini akan menghasilkan posisi di kuadran II. Menurut Marimin (2008), kuadran II, menunjukkan Cluster 1 menghadapi berbagai ancaman, namun masih mempunyai kekuatan sehingga strategi yang diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan menerapkan strategi diversifikasi. Hasil perhitungan matriks space pengembangan Cluster 1 seperti terlihat pada Gambar 20. Berbagai Peluang Kuadran III Kuadran I Kelemahan Internal Kekuatan Internal (0.1893 , -0.1607) Kuadran II Kuadran IV Berbagai Ancaman Gambar 20. Hasil Analisis Matriks Space pada Cluster 1. 64 Tahap terakhir dari perumusan strategi (Rangkuti, 2009) adalah tahap pengambilan keputusan. Tahap ini dapat dilakukan dengan menggunakan matriks analisis SWOT. Berdasarkan matriks SWOT, terdapat empat kuadran strategi yang dapat diterapkan dengan mengkolaborasikan berbagai faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dengan faktor eksternal (peluang dan ancaman), yaitu : a. Strategi SO yaitu memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. b. Strategi ST yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi segala ancaman yang mungkin timbul. c. Strategi WO yaitu pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. d. Strategi WT yaitu strategi yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. Hasil analisis matriks SWOT pada Cluster 1 dapat dilihat pada Gambar 21. INTERNAL Kekuatan 1. Faktor sosiokultural yang sangat mendukung. 2. Sistem pengairan yang cukup bagus. 3. Tersedianya unit kerja yang memiliki tupoksi dibidang pertanian. 4. Sudah mulai terbentuk kelompok tani. 5. Sudah ditetapkannya lahan pertanian pangan berkelanjutan. EKSTERNAL Peluang 1. Kebijakan ketahanan pangan nasional. 2. Tingginya permintaan produk pertanian. 3. Adanya KUR. 4. Tingginya inovasi produk olahan tanaman pangan. 5. Maraknya pembangunan dan pengembangan pertanian berbasis wisata. Ancaman 1. Semakin kecilnya minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian. 2. Persaingan produk sejenis dengan daerah lain. 3. Fenomena musim yang sulit diprediksi. 4. Fluktuasi harga di pasaran yang tidak menentu. 5. Konversi lahan pertanian menjadi kawasan terbangun. S-O 1. Mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas produk dengan penerapan teknologi budidaya dan pasca panen. 2. Pengembangan industri pengolahan hasil pertanian untuk meningkatkan nilai tambah. Kelemahan 1. Tingkat pengolahan produk pertanian masih rendah. 2. Belum optimalnya kinerja kelompok tani. 3. Rendahnya SDM. 4. Sebagian hasil pertanian untuk konsumsi pribadi. 5. Rendahnya akses petani terhadap permodalan, teknologi dan pasar. W-O 1. Pengembangan teknologi tepat guna berbiaya murah di tingkat petani. 2. Pengembangan SDM petani melalui diseminasi maupun pelatihan. 3. Sosialisasi dan fasilitasi kelompok tani dalam mengakses KUR. S-T W-T 1. Menyediakan jaringan usaha antara gapoktan dengan pihak swasta. 2. Diversifikasi komoditas yang lebih ekonomis. 3. Penyediaan klinik konsultasi dan sistem data dan informasi pengembangan pertanian yang integratif dan mudah diakses oleh petani. 4. Pembatasan ijin konversi lahan pertanian produktif. 1. Mendorong gapoktan untuk mengembangkan usaha di bidang penyedia sarana produksi pertanian yang dikelola secara mandiri. 2. Mentransformasikan peran gapoktan menjadi lembaga koperasi. Gambar 21. Hasil Analisis Matriks SWOT pada Cluster 1. 65 Pengembangan Cluster 1 jika merujuk hasil analisis matriks space yang berada pada kuadran II maka strategi yang akan digunakan dalam matriks SWOT menggunakan strategi ST (Strengths-Threats) sebagai strategi utama yang meliputi : a. Menyediakan jaringan usaha antara gapoktan dengan pihak swasta. b. Diversifikasi komoditas yang lebih ekonomis. c. Penyediaan klinik konsultasi dan sistem data dan informasi pengembangan pertanian yang integratif dan mudah diakses oleh petani. d. Pembatasan ijin konversi lahan pertanian produktif. 5.5.2.2 Strategi Pengembangan Cluster 2 Ancaman Peluang Kelemahan Kekuatan Faktor Internal Faktor Eksternal Dalam penyusunan strategi pengembangan Cluster 2 dengan komoditas utama berupa komoditas perkebunan diawali dengan mengidentifikasi faktorfaktor yang berpengaruh baik faktor internal maupun faktor eksternal yang mempengaruhi pengembangan komoditas perkebunan. Adapun hasil identifikasi setiap faktor baik internal maupun eksternal dan pembobotannya selengkapnya disajikan pada Gambar 22. Lahan terlantar Pasokan yang kontinue Standar mutu Persaingan usaha Harga saprodi 0.120 0.252 0.293 0.052 0.283 Agrowisata Tingginya inovasi Tingginya harga Tingginya permintaan Diversifikasi 0.231 0.047 0.165 0.318 0.238 Kondisi topografi Infrastruktur Rendahnya SDM Minimnya teknologi Produktivitas 0.098 0.172 0.210 0.141 0.379 Revitalisasi perkebunan Kelompok tani Unit kerja Potensi lahan Faktor sosiokultural 0.182 0.152 0.130 0.464 0.072 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 Gambar 22. Hasil Analisis AHP Faktor Internal dan Eksternal Cluster 2. Berdasarkan hasil pembobotan terhadap faktor SWOT pengembangan Cluster 2 (Gambar 22), menunjukkan untuk faktor internal kekuatan yang 66 dominan mempengaruhi adalah luasnya lahan perkebunan di Kabupaten Blitar dan faktor sosiokultural dan program revitalisasi perkebunan. Faktor internal berupa kelemahan adalah masih rendahnya produktivitas komoditas perkebunan dan infrastruktur penunjang yang belum memadai. Faktor eksternal peluang yang ada yaitu tingginya permintaan komoditas perkebunan dan diversifikasi komoditas perkebunan. Faktor ancaman yang ada adalah diberlakukannya standar mutu komoditas perkebunan dan harga saprodi yang relatif mahal. Setelah dilakukan pembobotan terhadap faktor SWOT dengan menggunakan metode AHP langkah selanjutnya adalah membuat matriks IFAS dan EFAS. Matrik IFAS dan EFAS pengembangan Cluster 2 tertera pada Tabel 20 dan 21. Tabel 20 matriks IFAS Cluster 2 menunjukkan bahwa skor total perkalian bobot dan rating dari semua faktor kekuatan dan kelemahan bernilai 3.0858. Nilai ini berasal dari skor faktor kekuatan yaitu 1.5000 dan skor faktor kelemahan dengan nilai 1.5858. Dalam kolom bobot diketahui bobot masingmasing faktor yang merupakan hasil pengolahan data kuesioner dengan metode AHP. Bobot yang diperoleh masing-masing faktor dikalikan 0.5 agar bobot total faktor kekuatan dan kelemahan bernilai 1.00 (Rangkuti, 2009). Pada kolom rating terlihat bahwa sebagian besar faktor kekuatan memiliki rating 3 (agak kuat), kecuali potensi lahan perkebunan yang cukup luas serta program revitalisasi perkebunan dengan rating 4 (sangat kuat). Pada faktor kelemahan terlihat bahwa sebagian besar faktor kekuatan memiliki rating 3 (agak kuat), kecuali infrastruktur penunjang yang belum memadai dengan rating 4 (sangat kuat). Tabel 20. Hasil analisis matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) Pengembangan Cluster 2 Faktor-Faktor Strategi Internal Bobot Rating Skor 1. Faktor sosiokultural yang sangat mendukung 0.0359 3 0.1078 2. Potensi lahan perkebunan yang cukup luas 3. Tersedianya unit kerja yang memiliki tupoksi dibidang perkebunan 4. Sudah mulai terbentuk kelompok tani perkebunan 0.2320 3 0.6961 0.0651 3 0.1952 0.0761 3 0.2284 5. Program revitalisasi perkebunan 0.0908 3 0.2725 1. Masih rendahnya produktivitas komoditas perkebunan 0.1896 3 0.5687 2. Minimnya sentuhan teknologi pengolahan pasca panen 0.0706 3 0.2119 3. Rendahnya SDM 0.1049 3 0.3148 4. Infrastruktur penunjang yang belum memadai 5. Kondisi topografi yang bergelombang membutuhkan ketepatan dalam pola tanam Jumlah 0.0858 4 0.3434 0.0490 3 0.1470 Kekuatan Kelemahan 1.0000 3.0858 Tabel 21 matriks EFAS Cluster 2 menunjukkan bahwa skor total perkalian bobot dan rating dari semua faktor peluang dan ancaman bernilai 3.0341. Pada kolom bobot hasil pengolahan dengan metode AHP yang diperoleh dengan 67 perkalian 0.5 agar bobot total faktor kekuatan dan kelemahan bernilai 1.00 (Rangkuti, 2009). Pada kolom rating terlihat bahwa sebagian besar faktor peluang memiliki rating 3 (agak kuat), kecuali diversifikasi komoditas perkebunan serta adanya konsep agrowisata perkebunan dengan rating 4 (sangat kuat). Pada faktor ancaman hampir semuanya mendapat rating 3 (agak kuat) kecuali persaingan produk sejenis dengan daerah lain mendapat rating 2 (agak lemah) serta isu degradasi lahan akibat pengembangan perkebunan mendapat rating 4 (sangat kuat). Tabel 21. Hasil analisis matriks External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS) Pengembangan Cluster 2 Faktor-Faktor Strategi Eksternal Bobot Rating Skor 1. Diversifikasi komoditas perkebunan 0.1190 3 0.3570 2. Tingginya permintaan komoditas perkebunan 0.1592 3 0.4776 3. Harga komoditas perkebunan relatif tinggi 0.0824 3 0.2471 4. Tingginya inovasi produk olahan perkebunan 0.0237 3 0.0711 5. Adanya konsep agrowisata perkebunan 0.1157 3 0.3472 1. Harga saprodi yang relatif mahal 0.1417 3 0.4252 2. Persaingan produk sejenis dengan daerah lain 0.0259 2 0.0518 3. Diberlakukannya standar mutu komoditas perkebunan 4. Industri membutuhkan pasokan komoditas perkebunan yang kontinue 5. Isu degradasi lahan akibat pengembangan perkebunan 0.1466 3 0.4397 0.1258 3 0.3774 0.0600 4 0.2401 Jumlah 1.0000 Peluang Ancaman 3.0341 Berdasarkan hasil skor pada matriks IFAS dan EFAS Cluster 2, selanjutnya disusun analisis matriks space. Menurut Rangkuti (2009), matriks space digunakan untuk mempertajam posisi dan arah pengembangan dari analisis matriks internal dan eksternal. Selisih skor kekuatan dan kelemahan pada matriks IFAS dan selisih skor peluang dan ancaman pada matriks EFAS akan mengisi posisi nilai x dan y dari kuadran di matriks space-nya. Berdasarkan analisis IFAS dan EFAS, maka diperoleh selisih skor kekuatan dan kelemahan pada matriks IFAS yaitu -0.0858 dan selisih skor peluang dan ancaman pada matriks EFAS 0.0341. Kombinasi nilai ini akan menghasilkan posisi di kuadran IV. Menurut Marimin (2008), pada kuadran IV, strategi yang tepat adalah strategi defensif. Kuadran IV, menunjukkan Cluster 2 berada pada posisi yang tidak menguntungkan karena disamping menghadapi ancaman juga menghadapi kelemahan internal. Hasil perhitungan matriks space pengembangan Cluster 2 seperti terlihat pada Gambar 23. 68 Berbagai Peluang Kuadran III Kuadran I Kelemahan Internal Kekuatan Internal (-0.0858 , -0.0341) Kuadran IV Kuadran II Berbagai Ancaman Gambar 23. Hasil Analisis Matriks Space pada Cluster 2. Tahap berikutnya adalah tahap pengambilan keputusan. Tahap ini dapat dilakukan dengan menggunakan matriks analisis SWOT. Berbagai hasil analisis tahap pertama dan kedua akan menjadi pertimbangan dan masukan dalam merumuskan analisis SWOT pada tahap pengambilan keputusan ini. Khusus pengembangan Cluster 2 jika merujuk hasil analisis matriks space yang berada pada kuadran IV maka strategi yang akan digunakan dalam matriks SWOT menggunakan strategi WT (Weaknesses-Threats) sebagai strategi utama yang meliputi : 1. Meningkatkan produktivitas komoditas perkebunan. 2. Meningkatkan kualitas komoditas perkebunan. 3. Pengembangan SDM petani melalui diseminasi maupun pelatihan 4. Menyediakan jaringan usaha antara kelompok tani perkebunan dengan pihak swasta. 5. Mengatasi kondisi topografi melalui sistem pola tanam. Hasil analisis matriks SWOT pada Cluster 2 dapat dilihat pada Gambar 24. 69 INTERNAL Kekuatan 1. Faktor sosiokultural yang sangat mendukung. 2. Potensi lahan perkebunan yang cukup luas. 3. Tersedianya unit kerja yang memiliki tupoksi dibidang perkebunan. 4. Sudah mulai terbentuk kelompok tani perkebunan. 5. Program revitalisasi perkebunan. EKSTERNAL Kelemahan 1. Masih rendahnya produktivitas komoditas perkebunan. 2. Minimnya sentuhan teknologi pengolahan pasca panen. 3. Rendahnya SDM. 4. Infrastruktur penunjang yang belum memadai. 5. Kondisi topografi yang bergelombang membutuhkan ketepatan dalam pola tanam. Peluang S-O W-O 1. Diversifikasi komoditas perkebunan. 2. Tingginya permintaan komoditas perkebunan. 3. Harga komoditas perkebunan relatif tinggi. 4. Tingginya inovasi produk olahan perkebunan. 5. Adanya konsep agrowisata perkebunan. 1. Mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas produk dengan penerapan teknologi budidaya dan pasca panen. 2. Diversifikasi komoditas perkebunan yang lebih ekonomis dengan mengoptimalkan pemanfaatan potensi lahan yang masih luas. 3. Menawarkan paket investasi kepada swasta untuk pengembangan agrowisata berbasis perkebunan. 1. Pengembangan SDM petani perkebunan melalui diseminasi maupun pelatihan. 2. Mentransformasikan peran kelompok petani perkebunan menjadi lembaga koperasi. 3. Pengembangan teknologi tepat guna berbiaya murah di tingkat petani perkebunan. 4. Pengembangan infrastruktur. Ancaman S-T W-T 1. Pendampingan terhadap kelompok tani perkebunan. 2. Mendorong peningkatan kualitas komoditas pertanian sehingga dapat diterima oleh industri pengolahan. 3. Membuat sarana promosi untuk lebih mengenalkan komoditas perkebunan. 1. Meningkatkan produktivitas komoditas perkebunan. 2. Meningkatkan kualitas komoditas perkebunan. 3. Pengembangan SDM petani melalui diseminasi maupun pelatihan 4. Menyediakan jaringan usaha antara kelompok tani perkebunan dengan pihak swasta. 5. Mengatasi kondisi topografi melalui sistem pola tanam. 1. Harga saprodi yang relatif mahal. 2. Persaingan produk sejenis dengan daerah lain. 3. Diberlakukannya standar mutu komoditas perkebunan. 4. Industri membutuhkan pasokan komoditas perkebunan yang continue. 5. Lahan terlantar akibat mahalnya saprodi. Gambar 24. Hasil Analisis Matriks SWOT pada Cluster 2. 5.5.2.3 Strategi Pengembangan Cluster 3 Strategi pengembangan Cluster 3 dengan komoditas utama berupa komoditas pertanian lahan kering diawali dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh baik faktor internal maupun faktor eksternal yang mempengaruhi pengembangan komoditas pertanian lahan kering. Adapun hasil identifikasi setiap faktor baik internal maupun eksternal dan pembobotannya selengkapnya disajikan pada Gambar 25. Berdasarkan hasil pembobotan terhadap faktor SWOT pengembangan Cluster 3 (Gambar 25) menunjukkan untuk faktor internal berupa kekuatan yang dominan mempengaruhi adalah potensi lahan kering yang cukup luas serta sudah mulai terbentuk kelompok tani. Faktor internal berupa kelemahan yang dominan 70 Ancaman Peluang Kelemahan Kekuatan Faktor Internal Faktor Eksternal adalah kondisi infrastruktur penunjang yang belum memadai dan ketersediaan air bersih yang kurang. Faktor eksternal peluang yang dominan adalah maraknya investor di bidang pertanian lahan kering serta diversifikasi komoditas pertanian lahan kering. Faktor ancaman yang dominan adalah harga saprodi yang relatif mahal serta investor menginginkan infrastruktur yang memadai. Perijinan Infrastruktur Fluktuasi harga Persaingan usaha Harga saprodi 0.162 0.325 0.176 0.058 0.278 Maraknya investor Tingginya inovasi Adanya KUR Tingginya permintaan Diversifikasi 0.346 0.057 0.226 0.124 0.246 Ketersediaan air Infrastruktur Rendahnya SDM Kelompok tani Tingkat pengolahan 0.156 0.400 0.117 0.115 0.211 Potensi tenaga kerja Kelompok tani Unit kerja Potensi lahan Faktor sosiokultural 0.135 0.245 0.061 0.441 0.119 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 Gambar 25. Hasil Analisis AHP Faktor Internal dan Eksternal Cluster 3. Setelah dilakukan pembobotan terhadap faktor SWOT dengan menggunakan metode AHP langkah selanjutnya adalah membuat matriks IFAS dan EFAS. Matrik IFAS dan EFAS pengembangan Cluster 3 seperti tertera pada Tabel 22 dan 23. Tabel 22 matriks IFAS Cluster 3 menunjukkan bahwa skor total perkalian bobot dan rating dari semua faktor kekuatan dan kelemahan bernilai 3.4985. Pada kolom bobot diketahui bobot masing-masing faktor yang merupakan hasil pengolahan data kuesioner dengan metode AHP. Bobot yang diperoleh masing-masing faktor dikalikan 0.5 agar bobot total faktor kekuatan dan kelemahan bernilai 1.00 (Rangkuti, 2009). Pada kolom rating terlihat bahwa sebagian besar faktor kekuatan memiliki rating 3 (agak kuat), kecuali potensi lahan kering yang cukup luas dengan rating 4 (sangat kuat). Pada faktor kelemahan terdapat rating yang bervariasi mulai dari rating 4 (sangat kuat), rating 3 (agak kuat), hingga rating 2 (agak lemah). Ketersediaan air bersih yang kurang memiliki rating 4, rendahnya SDM dan infrastruktur penunjang yang belum 71 memadai memiliki rating 3, serta tingkat pengolahan produk pertanian masih rendah dan belum optimalnya kinerja kelompok tani memiliki rating 2. Tabel 22. Hasil analisis matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) Pengembangan Cluster 3 Faktor-Faktor Strategi Internal Kekuatan 1. Faktor sosiokultural yang sangat mendukung 2. Potensi lahan kering yang cukup luas 3. Tersedianya unit kerja yang memiliki tupoksi dibidang pertanian 4. Sudah mulai terbentuk kelompok tani 5. Potensi tenaga kerja Kelemahan 1. Tingkat pengolahan produk pertanian masih rendah 2. Belum optimalnya kinerja kelompok tani 3. Rendahnya SDM 4. Infrastruktur penunjang yang belum memadai 5. Ketersediaan air bersih yang kurang Jumlah Bobot Rating Skor 0.0594 0.2203 0.0305 0.1223 0.0675 3 4 3 3 3 0.1781 0.8813 0.0916 0.3668 0.2025 0.1057 0.0574 0.0587 0.2000 0.0782 1.0000 3 3 3 4 4 0.3172 0.1722 0.1762 0.7998 0.3127 3.4985 Tabel 23 matriks EFAS Cluster 1 menunjukkan bahwa skor total perkalian bobot dan rating dari semua faktor peluang dan ancaman bernilai 2.9916. Nilai ini berasal dari skor faktor peluang yaitu 1.7353 dan skor faktor ancaman dengan nilai 1.2563. Dalam kolom bobot diketahui bobot masing-masing faktor yang merupakan hasil pengolahan data kuesioner dengan metode AHP. Bobot yang diperoleh masing-masing faktor dikalikan 0.5 agar bobot total faktor kekuatan dan kelemahan bernilai 1.00 (Rangkuti, 2009). Pada kolom rating terlihat bahwa sebagian besar faktor peluang memiliki rating 3 (agak kuat), kecuali tingginya permintaan produk pertanian serta maraknya investor di bidang pertanian lahan kering dengan rating 4 (sangat kuat). Pada faktor ancaman hampir semuanya mendapat rating 3 (agak kuat) kecuali faktor investor menginginkan infrastruktur yang memadai serta mekanisme perijinan yang tidak sesuai prosedur yang mendapat rating 2 (agak lemah). Tabel 23. Hasil analisis matriks External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS) Pengembangan Cluster 3 Faktor-Faktor Strategi Eksternal Peluang 1. Diversifikasi komoditas pertanian lahan kering 2. Tingginya permintaan produk pertanian 3. Adanya KUR 4. Tingginya inovasi produk olahan pertanian 5. Maraknya investor di bidang pertanian lahan kering Ancaman 1. Harga saprodi yang relatif mahal 2. Persaingan produk sejenis dengan daerah lain 3. Fluktuasi harga di pasaran yang tidak menentu 4. Investor menginginkan infrastruktur yang memadai 5. Mekanisme perijinan yang tidak sesuai prosedur Jumlah Bobot Rating Skor 0.1230 0.0621 0.1132 0.0285 0.1731 3 4 3 3 4 0.3691 0.2486 0.3396 0.0855 0.6926 0.1391 0.0291 0.0882 0.1626 0.0811 1.0000 3 3 3 2 2 0.4172 0.0872 0.2647 0.3252 0.1621 2.9916 Berdasarkan hasil skor pada matriks IFAS dan EFAS Cluster 3, selanjutnya disusun analisis matriks space. Marimin (2008) menyatakan bahwa hasil analisis matriks IFAS dan EFAS dapat digunakan untuk mengetahui posisi suatu usaha 72 dalam matriks space. Selisih skor kekuatan dan kelemahan pada matriks IFAS dan selisih skor peluang dan ancaman pada matriks EFAS akan mengisi posisi nilai x dan y dari kuadran di matriks space-nya. Dengan demikian, dapat diketahui posisi kuadran strategi pengembangan Cluster 3 dengan berbagai faktor internal dan eksternal yang sudah dianalisis sebelumnya. Berdasarkan analisis IFAS dan EFAS, maka diperoleh selisih skor kekuatan dan kelemahan pada matriks IFAS yaitu -0.0578 dan selisih skor peluang dan ancaman pada matriks EFAS 0.4790. Kombinasi nilai ini akan menghasilkan posisi dikuadran III untuk strategi pengembangan Cluster 3 pada matriks space. Menurut Marimin (2008), kuadran III mempunyai peluang yang sangat besar namun disisi lain memiliki kelemahan internal. Menghadapi situasi ini Cluster 1 harus berusaha memanfaatkan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. Hasil perhitungan matriks space pengembangan Cluster 3 seperti terlihat pada Gambar 26. Berbagai Peluang Kuadran III Kuadran I (-0.0578 , 0.0479) Kelemahan Internal Kekuatan Internal Kuadran IV Kuadran II Berbagai Ancaman Gambar 26. Hasil Analisis Matriks Space pada Cluster 3. Tahap terakhir dari perumusan strategi (Rangkuti, 2009) adalah tahap pengambilan keputusan. Tahap ini dapat dilakukan dengan menggunakan matriks analisis SWOT. Berbagai hasil analisis tahap pertama dan kedua akan menjadi pertimbangan dan masukan dalam merumuskan analisis SWOT pada tahap pengambilan keputusan ini. Menurut Marimin (2008), dalam tahap pengambilan keputusan, matriks SWOT perlu merujuk kembali pada matriks IFAS dan matriks EFAS yang sudah dihasilkan. Dengan demikian dapat diketahui posisi suatu usaha berada pada sel mana dari matriks Internal Eksternal dan berada pada kuadran mana dari matriks space. Khusus pengembangan Cluster 3 jika merujuk hasil analisis matriks space yang berada pada kuadran III maka strategi yang akan digunakan dalam matriks 73 SWOT menggunakan strategi WO (Weaknesses-Opportunities) sebagai strategi utama yang meliputi : 1. Menawarkan paket investasi kepada swasta untuk pengembangan industri pengolahan hasil pertanian (pabrik gula) dengan harapan dapat menyerap tenaga kerja lokal. 2. Pengembangan SDM petani melalui diseminasi maupun pelatihan. 3. Pengembangan infrastruktur sesuai hirarki wilayah. 4. Pembangunan embung guna memenuhi kebutuhan air. Hasil analisis matriks SWOT pada Cluster 2 dapat dilihat pada Gambar 24. INTERNAL Kekuatan 1. Faktor sosiokultural yang sangat mendukung. 2. Potensi lahan kering yang cukup luas. 3. Tersedianya unit kerja yang memiliki tupoksi dibidang pertanian. 4. Sudah mulai terbentuk kelompok tani. 5. Potensi tenaga kerja. EKSTERNAL Kelemahan 1. Tingkat pengolahan produk pertanian masih rendah. 2. Belum optimalnya kinerja kelompok tani. 3. Rendahnya SDM. 4. Infrastruktur penunjang yang belum memadai. 5. Ketersediaan air yang kurang. Peluang S-O W-O 1. Diversifikasi komoditas pertanian lahan kering. 2. Tingginya permintaan produk pertanian. 3. Adanya KUR. 4. Tingginya inovasi produk olahan pertanian. 5. Maraknya investor di bidang pertanian lahan kering. 1. Mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas produk dengan penerapan teknologi budidaya dan pasca panen. 2. Diversifikasi komoditas pertanian lahan kering yang lebih ekonomis. 3. Pengembangan teknologi tepat guna berbiaya murah di tingkat petani. 4. Melakukan pendampingan kepada masyarakat. 1. Menawarkan paket investasi kepada swasta dengan harapan dapat menyerap tenaga kerja lokal. 2. Pengembangan SDM petani melalui diseminasi maupun pelatihan. 3. Pengembangan infrastruktur sesuai hirarki wilayah. 4. Pembangunan embung guna memenuhi kebutuhan air. Ancaman S-T W-T 1. Menyediakan jaringan usaha antara gapoktan dengan pihak swasta. 2. Penyediaan klinik konsultasi dan sistem data dan informasi pengembangan pertanian yang integratif dan mudah diakses oleh petani. 1. Mendorong gapoktan untuk mengembangkan usaha di bidang penyedia sarana produksi pertanian yang dikelola secara mandiri. 2. Mentransformasikan peran gapoktan menjadi lembaga koperasi. 1. Harga saprodi yang relatif mahal. 2. Persaingan produk sejenis dengan daerah lain. 3. Fluktuasi harga di pasaran yang tidak menentu. 4. Investor menginginkan infrastruktur yang memadai. 5. Mekanisme perijinan yang tidak sesuai prosedur. Gambar 27. Hasil Analisis Matriks SWOT pada Cluster 3. 5.5.3 Strategi Pengembangan Kawasan Perdesaan di Kabupaten Blitar Mencermati kondisi tipologi wilayah kecamatan di Kabupaten Blitar menunjukkan adanya kecenderungan antara faktor kedekatan lokasi ibukota kabupaten dengan faktor rasio luas lahan pertanian berpengaruh terhadap tingkat 74 perkembangan wilayah kecamatan. Kondisi tersebut menunjukkan indikasi lemahnya keterkaitan dan keterpaduan sektoral dan spasial dalam kinerja pembangunan wilayah. Lemahnya keterkaitan dan keterpaduan antar sektor dan spasial mengakibatkan adanya kesenjangan wilayah antar cluster agropolitan. Keberadaaan cluster 3 yang memiliki jarak relatif jauh dari Ibukota Kabupaten Blitar dan belum ditunjang dengan pembangunan infrastruktur yang proporsional berdampak pada lemahnya interaksi spasial pada cluster 3. Apalagi kondisi alamiah cluster 3 adalah lahan kering dengan ketersediaan air yang kurang semakin memperburuk ketertinggalan perkembangan wilayah. Lemahnya interaksi spasial menghambat aliran modal, teknologi dan sumber daya manusia yang tidak berimbang antar wilayah dalam mengelola dan memanfaatkan potensi ekonomi yang tersedia secara optimal, adil, dan berkelanjutan. Berbeda dengan cluster 3, lokasi cluster 1 dan cluster 2 yang relatif dekat dengan Ibukota Kabupaten Blitar serta ditunjang dengan kondisi infrastruktur yang memadai berdampak pada kuatnya interaksi spasial pada kedua cluster tersebut. Sehingga cluster 1 dan cluster 2 juga relatif lebih berkembang daripada cluster 3. Untuk mengatasi lemahnya keterkaitan dan keterpaduan sektoral dan spasial dalam kinerja pembangunan wilayah maka perlu dilakukan upaya perbaikan ke arah hubungan antar wilayah yang generatif, hubungan yang sinergis dalam arti dapat mendorong perkembangan wilayah secara berimbang, baik perdesaan maupun perkotaan. Strategi pengembangan kawasan perdesaan di Kabupaten Blitar dalam upaya mendorong perkembangan wilayah secara berimbang antara lain : 1. Strategi demand side. Strategi demand side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa-jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal. Dalam pendekatan strategi demand side, tujuan pengembangan wilayah dilakukan dengan berbagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup penduduk di suatu wilayah. Peningkatan taraf hidup penduduk diharapkan akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang non pertanian. Adanya peningkatan permintaan tersebut akan meningkatkan perkembangan sektor industri dan jasa-jasa di wilayah yang bersangkutan sehingga akan lebih mendorong perkembangan wilayah tersebut. 2. Strategi supply side. Strategi supply side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan produksi yang berorientasi keluar. Strategi ini diprioritaskan pada komoditas unggulan masing-masing desa sesuai pembagian cluster agropolitan. Adanya peningkatan produksi yang berorientasi ekspor diharapkan dapat meningkatkan pendapatan lokal. Selanjutnya peningkatan pendapatan lokal dengan sendirinya dapat menarik kegiatan/ investasi lain untuk dating ke wilayah tersebut. 3. Perluasan pengembangan pertanian. Kawasan Agropolitan merupakan kawasan perdesaan yang secara fungsional merupakan kawasan dengan kegiatan utama adalah sektor pertanian. Pengembangan agropolitan ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung tumbuhnya industri agroprosesing skala kecil menengah dan mendorong keberagaman aktivitas ekonomi dari pusat pasar. Integrasi antara konsep agroindustri dan 75 pembangunan desa menjadi penting keterkaitannya dalam penyediaan dan penyaluran sarana produksi, penyediaan dana dan investasi, teknologi, serta dukungan sistem tataniaga dan perdagangan yang efektif. Pengembangan agroindustri pada dasarnya diharapkan selain memacu pertumbuhan tingkat ekonomi, juga sekaligus diarahkan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani. Sebagai wilayah agraris dengan potensi komoditas pertanian yang beragam maka pengembangan pertanian berbasis agribisnis, agroindustri, serta agrowisata merupakan strategi yang paling tepat dalam mengurangi kemiskinan masyarakat antar wilayah. 4. Peningkatan kapasitas SDM dan sosial kapital masyarakat lokal. Strategi peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan sosial kapital masyarakat lokal diarahkan pada : • Pemberdayaan masyarakat lokal baik dari sisi pengembangan sumber daya manusia maupun kelembagaan (sosial kapital). • Pengembangan fasilitas pendukung pendidikan dan kesehatan serta peningkatan dan distribusi tenaga pendidikan dan kesehatan yang proporsional dan berkualitas. • Hak akses terhadap sumberdaya utama lokal harus diperkuat antara lain akses terhadap lahan, pendidikan, kesehatan, air minum, energi, komunikasi dan penerangan dan sebagainya. • Pengembangan kapasitas (capacity building) institusi lokal harus dipenuhi melalui peningkatan investasi dan penguatan sosial kapital. 5. Pengembangan infrastruktur. Strategi pengembangan infastruktur diarahkan pada pengembangan infrastruktur yang menjamin akses pada air bersih, energi, komunikasi, informasi, layanan pendidikan, kesehatan, dan interaksi sosial-ekonomi. Namun demikian dalam jangka menengah pengembangan infrastruktur transportasi (jalur transportasi) yang menghubungkan antara ibukota kabupaten dengan kota kecamatan hingga desa pusat pertumbuhan harus menjadi prioritas, untuk mendukung strategi demand side dan strategi supply side.