8 Draf Tesis Ujian revisi

advertisement
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hirarki Wilayah di Kabupaten Blitar
Penentuan hirarki didasarkan atas tingkat perkembangan dan kapasitas
pelayanan yang dapat disediakan oleh suatu wilayah. Tingkat hirarki ini penting
dalam penentuan kapasitas suatu wilayah, apakah suatu wilayah merupakan
wilayah pusat/inti atau wilayah hinterland. Konsep wilayah nodal menjadi penting
karena pada dasarnya pembangunan bertujuan untuk mendorong wilayah pusat
untuk menyediakan berbagai fasilitas sehingga mampu mendorong perkembangan
wilayah-wilayah di sekitarnya (hinterland).
Tingkat perkembangan kecamatan di Kabupaten Blitar ditentukan dengan
metode skalogram yang dimodifikasi dan dicerminkan oleh nilai Indeks
Perkembangan Kecamatan (IPK). Umumnya, semakin tinggi nilai IPK, maka
semakin tinggi pula kapasitas pelayanan suatu desa dan tingkat perkembangannya.
Sebaliknya, semakin rendah nilai IPK berarti semakin rendah kapasitas pelayanan
suatu desa dan tingkat perkembangannya. Variabel yang digunakan dalam analisis
skalogram secara umum dapat dibedakan menjadi empat variabel, yaitu :
aksesibilitas, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan fasilitas ekonomi. Hasil
perhitungan skalogram secara lebih jelas dapat dilihat pada Lampiran 1.
Nilai IPK yang dihasilkan berada pada kisaran 34.85 sampai 11.08 yang
dapat dilihat secara rinci pada Tabel 10. Nilai IPK tertinggi sebesar 34.85 dimiliki
oleh kecamatan dengan hirarki/orde pertama, yaitu Kecamatan Wlingi sedangkan
nilai IPK terkecil sebesar 11.08 dimiliki oleh kecamatan dengan hirarki/orde
ketiga, yakni Kecamatan Ponggok. Hasil perhitungan nilai IPK disajikan pada
Tabel 9.
Berdasarkan hasil perhitungan skalogram, nilai IPK seluruh kecamatan yang
tersebar di Kabupaten Blitar dikelompokkan ke dalam tiga hirarki pusat pelayanan
sebagai berikut :
a. Tingkat hirarki I (tinggi) merupakan wilayah kecamatan-kecamatan dengan
tingkat perkembangan tinggi. Terdapat 4 kecamatan yang termasuk dalam
hirarki I, yaitu : Kecamatan Wlingi, Kecamatan Kesamben, Kecamatan
Srengat, dan Kecamatan Sutojayan. Kecamatan-kecamatan yang termasuk
dalam tingkat hirarki ini memiliki IPK antara 34.85-29.63 (rata-rata 31.14).
Kecamatan-kecamatan dengan hirarki I umumnya memiliki ketersediaan
sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan yang lebih tinggi, lebih
lengkap, dan tentunya lebih memadai daripada kecamatan-kecamatan dengan
hirarki yang lebih rendah (hirarki II dan III). Kecamatan yang termasuk
dalam hirarki I memiliki kecenderungan terkonsentrasi pada jalur utama di
Kabupaten Blitar. Kondisi tersebut terjadi karena jalur utama merupakan
lokasi yang paling strategis dalam kaitannya dengan aliran orang, barang,
maupun jasa. Semakin banyak aktivitas orang, barang, maupun jasa maka
membutuhkan fasilitas umum dalam menunjang aktivitas tersebut. Sehingga
tidak salah apabila kawasan di sekitar jalur utama lebih berkembang
dibandingkan kawasan yang tidak dilalui jalur utama.
b. Tingkat hirarki II (sedang) merupakan wilayah kecamatan-kecamatan dengan
tingkat perkembangan sedang. Terdapat 6 kecamatan yang termasuk dalam
42
hirarki II, yaitu : Kecamatan Kanigoro, Kecamatan Wates, Kecamatan Talun,
Kecamatan Bakung, Kecamatan Sanankulon, dan Kecamatan Wonodadi.
Kecamatan-kecamatan yang termasuk dalam tingkat hirarki ini memiliki IPK
antara 28.66-23.53 (rata-rata 26.09). Adapun wilayah kecamatan-kecamatan
dengan tingkat hirarki II mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
• Ketersediaan sarana dan prasarana di wilayah tersebut lebih sedikit dari
hirarki I.
• Umumnya letaknya berada di pinggir wilayah berhirarki I dengan tingkat
kehidupan yang relatif kurang maju dibandingkan dengan wilayah di
hirarki I.
Tabel 9. Nilai IPK dan Hirarki Kecamatan di Kabupaten Blitar
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
c.
Kecamatan
Wlingi
Kesamben
Srengat
Sutojayan
Kanigoro
Wates
Talun
Bakung
Sanankulon
Wonodadi
Wonotirto
Kademangan
Doko
Garum
Selorejo
Nglegok
Selopuro
Udanawu
Gandusari
Panggungrejo
Binangun
Ponggok
Indeks Perkembangan
Kecamatan (IPK)
34.85
30.33
29.75
29.63
28.66
27.58
27.41
25.32
24.05
23.53
22.16
21.77
21.03
19.80
19.54
18.45
18.45
17.46
17.45
17.31
11.77
11.08
Hierarki
Hierarki 1
Hierarki 1
Hierarki 1
Hierarki 1
Hierarki 2
Hierarki 2
Hierarki 2
Hierarki 2
Hierarki 2
Hierarki 2
Hierarki 3
Hierarki 3
Hierarki 3
Hierarki 3
Hierarki 3
Hierarki 3
Hierarki 3
Hierarki 3
Hierarki 3
Hierarki 3
Hierarki 3
Hierarki 3
Tingkat hirarki III (rendah) merupakan wilayah kecamatan-kecamatan dengan
tingkat perkembangan rendah. Terdapat 12 kecamatan yang termasuk dalam
hirarki III, yaitu : Kecamatan Wonotirto, Kecamatan Kademangan,
Kecamatan Doko, Kecamatan Garum, Kecamatan Selorejo, Kecamatan
Nglegok, Kecamatan Selopuro, Kecamatan Udanawu, Kecamatan Gandusari,
Kecamatan Panggungrejo, Kecamatan Binangun, dan Kecamatan Ponggok.
Kecamatan-kecamatan yang termasuk dalam tingkat hirarki ini memiliki IPK
antara 22.16-11.08 (rata-rata 18.02). Kecamatan-kecamatan pada tingkat
hirarki III pada umumnya memiliki tingkat kehidupan yang relatif kurang
maju dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan yang termasuk ke dalam
43
tingkat hirarki yang lebih tinggi. Adapun wilayah kecamatan-kecamatan
dengan tingkat hirarki III mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
• Ketersediaan sarana dan prasarana di kecamatan-kecamatan tersebut
relatif kurang.
• Akses masing-masing kecamatan ke pusat-pusat pelayanan maupun
pusat-pusat aktivitas pemerintahan relatif lebih sulit.
Pada dasarnya, untuk fasilitas-fasilitas tertentu dengan kapasitas pemenuhan
kebutuhan yang lebih kompleks, kecamatan-kecamatan dengan tingkat hirarki
yang lebih rendah masih harus mengaksesnya di kecamatan-kecamatan dengan
tingkat hirarki yang lebih tinggi. Oleh karena itu, umumnya letak kecamatankecamatan yang berhirarki lebih rendah berlokasi di sekitar atau pinggir
kecamatan-kecamatan dengan tingkat hirarki yang lebih tinggi. Secara spasial
hasil perhitungan skalogram dengan tiga hirarki dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Hirarki Wilayah Kecamatan di Kabupaten Blitar
44
5.2 Tipologi Wilayah Kecamatan di Kabupaten Blitar
Pada dasarnya, tipologi wilayah bertujuan untuk menggabungkan beberapa
unit wilayah ke dalam kelas yang sama berdasarkan persamaan karakteristiknya.
Teknik analisis yang digunakan dalam penentuan tipologi wilayah kecamatankecamatan di Kabupaten Blitar adalah analisis gerombol (cluster analysis) lalu
diuji dengan menggunakan analisis diskriminan.
Analisis gerombol yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua
yaitu analisis gerombol berhierarki yang digunakan untuk mendapatkan gambaran
awal jumlah gerombol yang akan dibentuk dan analisis gerombol tidak berhierarki
yang digunakan untuk pengelompokkan akhir. Metode berhirarki sering
digunakan apabila jumlah kelompok yang dibentuk belum diketahui, sedang
metode tak berhirarki dipakai bila banyaknya kelompok yang akan dibentuk telah
ditentukan.
Metode yang digunakan untuk proses clustering secara berhirarki adalah
Ward’s Method. Dalam metode ini jarak antar gerombol adalah jumlah kuadrat
antar gerombol untuk seluruh variabel. Metode ini cenderung digunakan untuk
mengkombinasi gerombol-gerombol dengan jumlah kecil. Variable yang
digunakan pada analisis gerombol berhirarki dan tidak berhirarki seperti tertera
pada Lampiran 2. Hasil analisis gerombol berhirarki dapat dilihat pada Gambar 8.
Analisis Gerombol Berhirarki
14
12
Lingkage Distance
10
8
6
4
2
Bakung
Wonotirto
Kademangan
Binangun
Panggungrejo
Wates
Sutojayan
Wonodadi
Talun
Sanankulon
Selopuro
Udanawu
Kanigoro
Srengat
Kesamben
Wlingi
Selorejo
Gandusari
Garum
Nglegok
Doko
Ponggok
0
Gambar 8. Hasil Analisis Gerombol Berhirarki.
Dendogram seperti tertera pada Gambar 8 menggambarkan proses
pembentukan gerombol yang dinyatakan dalam bentuk gambar. Selanjutnya untuk
menetapkan jumlah kelompok optimum, maka dapat dilakukan dengan mengamati
jarak terpanjang pada linkage distance dari satu pautan ke pautan berikutnya.
Dapat dilihat bahwa, dua tahap terakhir dari dendogram, yaitu tahap “tiga
gerombol” dan tahap “dua gerombol” memiliki jarak paling besar. Dari kedua
45
hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa keputusan tiga gerombol merupakan yang
terbaik.
Setelah dilakukan tahap analisis gerombol berhirarki maka tahap selanjutnya
dilakukan analisis gerombol tidak berhirarki. Berdasarkan analisis gerombol
berhirarki diputuskan bahwa tiga gerombol merupakan yang terbaik sehingga
pada tahap analisis gerombol tidak berhirarki ditetapkan kecamatan-kecamatan di
wilayah studi dikelompokkan menjadi tiga gerombol (cluster). Anggota tiap
gerombol dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil Analisis Gerombol (Cluster)
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Kecamatan
Sutojayan
Kanigoro
Talun
Selopuro
Sanankulon
Ponggok
Srengat
Wonodadi
Udanawu
Kesamben
Selorejo
Doko
Wlingi
Gandusari
Garum
Nglegok
Bakung
Wonotirto
Panggungrejo
Wates
Binangun
Kademangan
Cluster
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
3
Hasil analisis gerombol tidak berhirarki dapat menunjukkan pola perbedaan
karakteristik antara ketiga gerombol melalui grafik nilai tengah dari setiap faktor
utama untuk masing-masing kelompok kecamatan di Kabupaten Blitar. Nilai
tertinggi atau terendah tiap faktor utama akan menjadi penciri/karakter untuk
masing-masing gerombol di Kabupaten Blitar seperti terlihat pada Gambar 9.
Berdasarkan plotting nilai tengah masing-masing cluster (Gambar 9),
penciri yang signifikan pada Cluster 1 terdiri dari : rendahnya variabel rasio luas
lahan padi sawah, tingginya variabel rasio luas lahan kering, rendahnya variabel
kepadatan penduduk, dan rendahnya variabel indeks perkembangan kecamatan.
Kondisi tersebut dapat diartikan bahwa karakteristik Cluster 1 adalah daerah
penghasil utama komoditas pertanian lahan kering dengan kondisi perkembangan
46
wilyah yang masih rendah. Cluster 1 terdiri dari 6 kecamatan atau sekitar
27.27 persen dari seluruh jumlah kecamatan di Kabupaten Blitar.
Plotting Nilai Tengah Masing-Masing Cluster
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0
-1.5
Cluster 1
-2.0
Padi Sawah
Perkebunan
Lahan Kering
Pekarangan
Kepadatan
Cluster 2
IPK
Cluster 3
Variables
Gambar 9. Hasil Cluster Analysis dengan metode K-Means.
Cluster 2 memiliki dua penciri utama yang signifikan, yaitu : rendahnya
variabel rasio luas lahan kering dan tingginya variabel rasio luas lahan
perkebunan. Berdasarkan kondisi tersebut, dapat diartikan bahwa karakteristik
Cluster 2 adalah penghasil komoditas perkebunan dengan kondisi perkembangan
wilyah yang sedang. Kecamatan-kecamatan pada Cluster 2 ada sebanyak
7 kecamatan atau sekitar 31.81 persen dari seluruh kecamatan di Kabupaten
Blitar.
Penciri utama yang signifikan untuk Cluster 3 meliputi : tingginya variabel
rasio luas lahan padi sawah, rendahnya variabel rasio luas lahan perkebunan,
tingginya variabel rasio luas pekarangan dan tingginya variabel indeks
perkembangan kecamatan. Kondisi tersebut dapat diartikan bahwa karakteristik
Cluster 3 adalah penghasil komoditas padi sawah dengan kondisi perkembangan
wilyah yang sudah maju. Cluster 3 terdiri dari 9 kecamatan atau sekitar
40.90 persen dari seluruh jumlah kecamatan di Kabupaten Blitar.
Karakteristik pada masing-masing Cluster merupakan karakteristik pada
masing-masing tipologi. Secara spasial, tipologi wilayah kecamatan-kecamatan di
Kabupaten Blitar dapat dilihat pada Gambar 10.
47
Gambar 10. Tipologi Wilayah Kecamatan di Kabupaten Blitar
Berdasarkan rangkaian hasil analisis yang dilakukan dalam penentuan
tipologi wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten Blitar, diperoleh
karakteristik tipologi tiap wilayah seperti tertera pada Tabel 11.
48
Tabel 11. Karakteristik Tipologi Wilayah Kecamatan di Kabupaten Blitar
Cluster
Cluster 1
Cluster 2
Cluster 3
Karakteristik Tipologi Wilayah
• Jika dilihat dari sumberdaya alamnya, aktivitas
budidaya padi sawah cukup potensial untuk
dikembangkan. Namun ada sebagian wilayah
yang perlu mendapat perhatian khusus karena
merupakan kawasan rawan bencana letusan
gunung berapi.
• Jika
dilihat
dari
sumberdaya
buatan,
pengembangan sarana dan prasarana permukiman
sudah cukup memadai. Selain itu aktivitas
peternakan juga sangat menonjol dalam
menunjang perekonomian wilayah yang dapat
dilihat berdasarkan besarnya rasio luas lahan
pekarangan.
• Jika dilihat dari sumberdaya alamnya, aktivitas
budidaya komoditas perkebunan paling menonjol
dibandingkan aktivitas ekonomi lainnya. Selain
itu luas lahan padi sawah juga sangat potensial
untuk dikembangkan.
• Jika
dilihat
dari
sumberdaya
buatan,
pengembangan sarana dan prasarana permukiman
sudah sangat memadai apalagi ditunjang
kemudahan aksesibilitas.
• Jika dilihat dari sumberdaya alamnya, aktivitas
pertanian lahan kering paling menonjol
dibandingkan aktivitas ekonomi lainnya. Potensi
luas lahan untuk dikembangkan juga sangat
melimpah yang dapat dilihat dari tingkat
kepadatan penduduk yang rendah.
• Jika
dilihat
dari
sumberdaya
buatan,
pengembangan infrastruktur perhubungan dan
ketersediaan air sangat kurang sehingga indeks
perkembangan kecamatan juga relatif kecil.
Kesimpulan
Wilayah berbasis
komoditas
pertanian tanaman
pangan
dengan
kondisi
perkembangan
kecamatan
yang
tinggi.
Wilayah berbasis
komoditas tanaman
perkebunan dengan
kondisi
perkembangan
kecamatan
yang
sedang.
Wilayah berbasis
komoditas
pertanian
lahan
kering
dengan
kondisi
perkembangan
kecamatan
yang
rendah.
5.3 Komoditas Unggulan Cluster Agropolitan
Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan
pembangunan daerah adalah keberadaan sektor unggulan. Sektor unggulan
merupakan sektor perekonomian yang diharapkan menjadi motor penggerak
perekonomian wilayah. Dengan mengetahui dan mengoptimalkan sektor unggulan
ini maka diharapkan terdapat efek positif bagi kemajuan aktivitas perekonomian
daerah (Syahidin, 2006). Salah satu alat analisis yang bisa digunakan untuk
mengetahui keberadaan sektor unggulan ini adalah teori basis ekonomi.
Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah
tersebut. Teori ini menyatakan bahwa sektor basis dapat membangun dan
memacu penguatan dan pertumbuhan ekonomi lokal sehingga diidentifikasi
sebagai mesin ekonomi lokal.
49
Menurut Rustiadi et al. (2011), sektor ekonomi wilayah dapat dibagi dalam
dua golongan yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi di
dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme
ekspor dan impor antar wilayah. Sektor basis ini akan menghasilkan barang dan
jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah sedangkan
sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani
pasar di wilayahnya sendiri dan kapasitas ekspor wilayah belum berkembang.
Metode yang sering dipakai sebagai indikasi sektor basis adalah metode Location
Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA).
Analisis Location Quotient (LQ) merupakan teknik analisis yang digunakan
untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas di suatu wilayah dalam cakupan
wilayah agregat yang lebih luas. Metode LQ juga dapat digunakan untuk
mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan
bukan basis karena merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor
yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Suatu wilayah yang
memiliki nilai koefisien lokalisasi (LQ) lebih dari satu untuk suatu kegiatan maka
wilayah tersebut berpotensi ekspor sehingga dapat memberikan keuntungan
ekonomi bagi wilayahnya serta memiliki daya saing ekonomi dibandingkan
dengan wilayah lainnya.
Dalam konteks perencanaan pengembangan wilayah, upaya untuk
mengidentifikasi aktivitas ekonomi basis menjadi bagian yang penting untuk
dapat memetakan komoditas atau sektor unggulan. Asumsi yang digunakan
dalam analisis sektor basis dengan menggunakan metode LQ ini adalah (1)
kondisi geografis unit wilayah relatif seragam, (2) pola aktivitas antar unit
wilayah bersifat seragam dan (3) setiap aktivitas menghasilkan kualitas produk
yang sama dan dinilai dalam satuan yang sama (Pribadi et al., 2010).
Analisis LQ juga memberikan gambaran mengenai sektor atau kegiatan
ekonomi mana yang terkonsentrasi (memusat) dan yang tersebar. Tarigan (2008)
menyatakan bahwa analisis LQ sebagai petunjuk adanya keunggulan komparatif
dapat digunakan bagi sektor-sektor yang telah lama berkembang, sedangkan bagi
sektor yang baru atau sedang tumbuh apalagi yang selama ini belum pernah ada,
metode LQ tidak dapat digunakan karena produk totalnya belum menggambarkan
kapasitas riil daerah tersebut.
Variabel yang digunakan sebagai ukuran untuk menentukan potensi
komoditas pertanian masing-masing cluster dalam analisis LQ adalah luas lahan
yang digunakan untuk aktivitas pertanian lahan kering, aktivitas perkebunan, serta
aktivitas pertanian lahan basah tahun 2011 dengan wilayah referensi Kabupaten
Blitar. Komoditas yang merupakan sektor basis adalah komoditas dengan nilai LQ
> 1, yang menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktifitas di wilayah yang
bersangkutan secara relatif dibandingkan dengan total wilayah yang lebih luas
atau terjadi pemusatan aktifitas di wilayah yang bersangkutan.
Berdasarkan hasil analisis LQ dapat diketahui bahwa untuk Cluster 1 dari 7
komoditas terdapat 2 komoditas yang memiliki keunggulan komparatif, Cluster 2
dari 7 komoditas terdapat 4 komoditas yang memiliki keunggulan komparatif, dan
Cluster 3 dari 8 komoditas terdapat 7 komoditas yang memiliki keunggulan
komparatif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 12, 13, dan 14.
50
Tabel 12. Nilai LQ komoditas pertanian lahan kering pada Cluster 1
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Komoditas
Padi Sawah
Padi Ladang
Jagung
Ketela Pohon
Ketela Rambat
Kacang Tanah
Kedele
LQ
1.49
0.06
0.97
0.18
0.76
1.04
0.03
Keterangan
Memiliki keunggulan komparatif
Tidak memiliki keunggulan komparatif
Tidak memiliki keunggulan komparatif
Tidak memiliki keunggulan komparatif
Tidak memiliki keunggulan komparatif
Memiliki keunggulan komparatif
Tidak memiliki keunggulan komparatif
Tabel 13. Nilai LQ komoditas perkebunan pada Cluster 2
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Komoditas
Tebu
Tembakau
Kenanga
Cengkeh
Kopi
Kakau
Kelapa
LQ
1.02
2.08
0.25
2.68
2.56
0.86
0.66
Keterangan
Memiliki keunggulan komparatif
Memiliki keunggulan komparatif
Tidak memiliki keunggulan komparatif
Memiliki keunggulan komparatif
Memiliki keunggulan komparatif
Tidak memiliki keunggulan komparatif
Tidak memiliki keunggulan komparatif
Tabel 14. Nilai LQ komoditas pertanian lahan sawah pada Cluster 3
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Komoditas
Padi Sawah
Padi Ladang
Jagung
Ketela Pohon
Kacang Tanah
Kedele
Tebu
Kelapa
LQ
0.21
2.09
1.21
1.55
1.56
2.22
1.19
1.16
Keterangan
Tidak memiliki keunggulan komparatif
Memiliki keunggulan komparatif
Memiliki keunggulan komparatif
Memiliki keunggulan komparatif
Memiliki keunggulan komparatif
Memiliki keunggulan komparatif
Memiliki keunggulan komparatif
Memiliki keunggulan komparatif
Nilai analisis LQ ini merupakan nilai perbadingan relatif antara kemampuan
sektor yang sama pada wilayah yang lebih luas (Rustiadi et al. 2011). Dengan
demikian, maka nilai LQ yang di bawah 1 bukan berarti wilayah tersebut memiliki
luas areal dan produksi suatu komoditas yang rendah. Demikian pula sebaliknya
nilai LQ komoditas yang di atas 1 belum tentu memiliki jumlah luas areal dan
produksi suatu komoditas yang tinggi. Karena nilai analisis LQ adalah nilai
perbandingan relatif suatu komoditas tertentu di suaatu wilayah tertentu dengan
perbandingan total komoditas di suatu wilayah tertentu terhadap wilayah agregat
yang lebih luas. Penggunaan analisis Location Quotient (LQ) digunakan untuk
menggambarkan sisi keunggulan komparatif suatu wilayah terhadap aktivitas
ekonomi tertentu.
Dari analisis LQ yang dilakukan, maka perlu dikuatkan dengan Shift Share
Analysis untuk mengetahui keunggulan dari sisi kompetitifnya. Menurut Rustiadi
51
et al. (2011), Shift Share Analysis (SSA) merupakan teknik analisis yang
digunakan untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif (competitiveness) suatu
wilayah dalam wilayah agregat yang lebih luas, berdasarkan kinerja sektor lokal
(local sector) di wilayah tersebut. Analisis SSA juga dapat digunakan untuk
menganalisis pergeseran kinerja suatu sektor di suatu wilayah yang dipilah
berdasarkan sumber-sumber penyebab pergeseran. Ada tiga sumber penyebab
pergeseran yaitu : komponen regional share (komponen laju pertumbuhan total),
komponen proportional shift (komponen pergeseran proporsional) dan Komponen
differential shift (komponen pergeseran diferensial).
Untuk mengetahui posisi, daya saing dan kinerja masing-masing komoditas
pertanian masing-masing cluster dibandingkan dengan komoditas pertanian di
wilayah Kabupaten Blitar digunakan metode SSA. Analisis SSA yang dimaksud
dalam pembahasan ini hanya ditinjau dari komponen differential shift. Hal ini
dilakukan karena ingin mengetahui pertumbuhan masing-masing komoditas
pertanian
masing-masing
cluster
yang
hanya
dipengaruhi
oleh
pertumbuhan/pergeseran aktivitas sektor-sektor tersebut pada masing-masing
cluster itu sendiri apabila dibandingkan dengan cluster lain di wilayah Kabupaten
Blitar, bukan karena pengaruh pertumbuhan proporsional (proportional shift)
maupun pertumbuhan total (regional share). Apabila komponen differential shift
bernilai positif maka cluster tersebut dapat dikatakan memiliki keunggulan
kompetitif karena pada dasarnya masih memiliki potensi untuk terus tumbuh dan
berkembang meskipun faktor-faktor eksternal (komponen proportional shift dan
regional share) tidak mendukung. Variabel yang digunakan untuk mengetahui
keunggulan kompetitif ini adalah luas lahan yang digunakan untuk aktivitas
pertanian lahan kering, aktivitas perkebunan, serta aktivitas pertanian lahan basah
pada Tahun 2007 dan Tahun 2011.
Berdasarkan hasil analisis SSA dapat diketahui bahwa untuk Cluster 1 dari
7 komoditas terdapat 5 komoditas yang memiliki keunggulan kompetitif, Cluster
2 dari 7 komoditas terdapat 4 komoditas yang memiliki keunggulan kompetitif,
dan Cluster 3 dari 8 komoditas terdapat 5 komoditas yang memiliki keunggulan
kompetitif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15, 16, dan 17.
Tabel 15. Nilai DS komoditas pertanian lahan kering pada Cluster 1
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Komoditas
Padi Sawah
Padi Ladang
Jagung
Ketela Pohon
Ketela Rambat
Kacang Tanah
Kedele
DS
0.36
0.40
0.08
-0.33
-0.69
2.33
-0.81
Keterangan
Memiliki keunggulan kompetitif
Memiliki keunggulan kompetitif
Memiliki keunggulan kompetitif
Tidak memiliki keunggulan kompetitif
Tidak memiliki keunggulan kompetitif
Memiliki keunggulan kompetitif
Tidak memiliki keunggulan kompetitif
52
Tabel 16. Nilai DS komoditas perkebunan pada Cluster 2
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Komoditas
Tebu
Tembakau
Kenanga
Cengkeh
Kopi
Kakau
Kelapa
DS
-0.011
0.004
0.160
0.001
0.075
-0.557
-0.090
Keterangan
Tidak memiliki keunggulan kompetitif
Memiliki keunggulan kompetitif
Memiliki keunggulan kompetitif
Memiliki keunggulan kompetitif
Memiliki keunggulan kompetitif
Tidak memiliki keunggulan kompetitif
Tidak memiliki keunggulan kompetitif
Tabel 17. Nilai DS komoditas pertanian lahan sawah pada Cluster 3
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Komoditas
Padi Sawah
Padi Ladang
Jagung
Ketela Pohon
Kacang Tanah
Kedele
Tebu
Kelapa
DS
0.0596
-0.0508
0.0563
0.0735
-0.1799
-0.0001
1.861
0.018
Keterangan
Memiliki keunggulan kompetitif
Tidak memiliki keunggulan kompetitif
Memiliki keunggulan kompetitif
Memiliki keunggulan kompetitif
Tidak memiliki keunggulan kompetitif
Tidak memiliki keunggulan kompetitif
Memiliki keunggulan kompetitif
Memiliki keunggulan kompetitif
Hasil analisis LQ dan SSA dapat dikombinasikan sehingga memberikan
gambaran yang lebih jelas mengenai pengelompokkan komoditas berdasarkan
keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Untuk komoditas yang memiliki
keunggulan komparatif dan kompetitif direkomendasikan sebagai komoditas
unggulan. Hasil kombinasi analisis LQ dan SSA dapat diketahui komoditas
unggulan untuk Cluster 1 adalah komoditas : padi sawah dan kacang tanah.
Komoditas unggulan untuk Cluster 2 adalah komoditas : kopi, cengkeh, dan
tembakau. Komoditas unggulan untuk Cluster 3 adalah : komoditas ketela pohon,
jagung, tebu, dan kelapa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 11, 12,
dan 13.
Keunggulan Komparatif
Komoditas Basis
Padi Ladang
Jagung
Padi Sawah
Kacang Tanah
Positif
Ketela Pohon
Ubi Jalar
Kedelai
-
Negatif
Gambar 11. Komoditas Unggulan Cluster 1.
Keunggulan Kompetitif
Komoditas Non basis
53
Keunggulan Komparatif
Komoditas Non basis
Komoditas Basis
Tembakau
Cengkeh
Kopi
Positif
Kakau
Kelapa
Tebu
Negatif
Keunggulan Kompetitif
Kenanga
Gambar 12. Komoditas Unggulan Cluster 2.
Keunggulan Komparatif
Komoditas Non basis
Komoditas Basis
Positif
-
Padi Ladang
Kacang Tanah
Kedelai
Negatif
Keunggulan Kompetitif
Padi Sawah
Jagung
Ketela Pohon
Tebu
Kelapa
Gambar 13. Komoditas Unggulan Cluster 3.
5.4 Lokasi Pusat Pengembangan Cluster Agropolitan
Menurut Anwar (2004), pengertian agropolitan adalah tempat pusat (central
places) yang mempunyai struktur berhierarki, dimana agropolis mengandung arti
adanya kota-kota kecil dan menengah di sekitar wilayah perdesaan (micro urbanvillage) yang dapat tumbuh dan berkembang karena berfungsinya koordinasi pada
sistem kegiatan-kegiatan utama usaha agribisnis, serta mampu melayani,
mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian di kawasan
sekitarnya. Oleh karenanya kawasan agropolitan diartikan sebagai sistem
fungsional satu atau lebih kota-kota pertanian pada wilayah produksi pertanian
tertentu, yang ditunjukkan oleh adanya sistem hierarki keruangan (spatial
hierarchy) satuan-satuan permukiman petani, yang terdiri dari pusat agropolitan
dan pusat-pusat produksi disekitarnya. Lokasi yang akan ditetapkan sebagai pusat
pengembangan cluster agropolitan harus memenuhi kriteria most accessible bagi
penduduk di wilayah sekitarnya.
Rushton (1979), mengatakan bahwa ada satu simpul dalam jaringan yang
meminimumkan jarak terpendek yang berbobot dari semua simpul terhadap satu
simpul tertentu, dimana simpul tersebut juga merupakan bagian dari jaringan
tersebut. Dengan adanya jarak yang tetap di antara simpul-simpul yang ada dalam
54
jaringan, maka akan ditemukan satu simpul di antara semua simpul yang ada yang
memiliki jarak terpendek dan memiliki kriteria bobot yang ditetapkan. Simpul
atau titik yang dimaksud adalah titik tengah dari jaringan, ini merupakan teori
yang penting karena dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan
penaksiran simpul-simpul alternatif pada jalur jaringan. Salah satu cara
menganalisis lokasi yang most accessible di suatu wilayah adalah dengan spatial
interaction analysis location-allocation models. Metode tersebut merupakan salah
satu pendekatan dari model-model optimasi dalam penentuan lokasi suatu aktifitas
yang dapat meminimumkan biaya, jarak, waktu, dan faktor kendala lainnya.
Menurut Rahman dan Smith (2000) salah satu analisis interaksi spasial
melalui pendekatan dari location-allocation models adalah penggunaan metoda
The P-Median Problem. Penyelesaian fungsi-fungsi dari The P-Median Problem
ini dilakukan dengan menggunakan program komputer/ software Java Applets PMedian Solver. Software P-Median Solver ini disediakan secara gratis melalui
situs http://www.hyuan.com/java/index.html. Untuk mengolah data harus dalam
keadaan on line dengan situs tersebut. Program ini dapat digunakan untuk
menganalisa suatu wilayah dengan jumlah simpul yang besar sampai dengan 99
simpul.
The P-Median Problem adalah metoda pemecahan masalah dalam
penentuan lokasi optimal untuk penempatan ’P’ fasilitas di suatu wilayah dengan
upaya meminimalkan kendala atau constraints. Dalam metoda The P-Median
Problem ada dua faktor yang sangat berpengaruh, yaitu faktor jarak antar simpul
dan faktor bobot dari simpul yang akan dianalisis. Dalam penelitian ini yang
dimasud dengan faktor jarak adalah jarak antar kecamatan dan yang dimaksud
dengan bobot dari simpul adalah jumlah penduduk kecamatan serta luas lahan
pertanian masing-masing kecamatan. Variabel yang digunakan dalam metoda The
P-Median Problem dapa dilihat pada Lampiran 8, 9, dan 10. Hasil analisis PMedian diperoleh pada Cluster 1 yang menjadi lokasi pusat pengembangan adalah
Kecamatan Sanankulon, pada Cluster 2 yang menjadi lokasi pusat pengembangan
adalah Kecamatan Wlingi, dan pada Cluster 3 yang menjadi lokasi pusat
pengembangan adalah Kecamatan Panggungrejo. Proses analisis P-Median
masing-masing cluster dapat dilihat pada Gambar 14, 15, dan 16.
Gambar 14 menunjukkan hasil analisis P-Median penentuan lokasi pusat
pengembangan yang optimal pada Cluster 1 berdasarkan faktor pendorong berupa
jumlah penduduk kecamatan serta luas lahan pertanian masing-masing kecamatan
dan faktor kendala berupa jarak antar kecamatan, lokasi yang terpilih adalah
Kecamatan Sanankulon. Gambar 15 menunjukkan hasil analisis P-Median
penentuan lokasi pusat pengembangan yang optimal pada Cluster 2 berdasarkan
faktor pendorong berupa jumlah penduduk kecamatan serta luas lahan pertanian
masing-masing kecamatan dan faktor kendala berupa jarak antar kecamatan,
lokasi yang terpilih adalah Kecamatan Wlingi. Gambar 16 menunjukkan hasil
analisis P-Median penentuan lokasi pusat pengembangan yang optimal pada
Cluster 3 berdasarkan faktor pendorong berupa jumlah penduduk kecamatan serta
luas lahan pertanian masing-masing kecamatan dan faktor kendala berupa jarak
antar kecamatan, lokasi yang terpilih adalah Kecamatan Panggungrejo.
55
Udanawu
Talun
Ponggok
Kanigoro
Wonodadi
Selopuro
Srengat
Sanankulon
Sutojayan
Keterangan :
: faktor bobot
: faktor jarak
: lokasi pusat pengembangan
Gambar 14. Proses Penentuan Pusat Pengembangan pada Cluster 1.
Doko
Kesamben
Gandusari
Wlingi
Nglegok
Garum
Selorejo
Keterangan :
: faktor bobot
: faktor jarak
: lokasi pusat pengembangan
Gambar 15. Proses Penentuan Pusat Pengembangan pada Cluster 2.
56
Kademangan
Binangun
Panggungrejo
Wates
Bakung
Wonotirto
Keterangan :
: faktor bobot
: faktor jarak
: lokasi pusat pengembangan
Gambar 16. Proses Penentuan Pusat Pengembangan pada Cluster 3.
Konsep Agropolitan sebenarnya lahir sebagai respon dari munculnya
ketimpangan desa-kota dan kebijakan pembangunan yang bersifat urban bias
yang dalam jangka pendek merugikan bagi perkembangan kawasan perdesaan dan
dalam jangka panjang merugikan tatanan kehidupan bangsa secara nasional.
Agropolitan adalah suatu konsep yang berbasis pada pengembangan suatu sistem
kewilayahan yang mampu memfasilitasi berkembangnya kawasan perdesaan
dalam suatu hubungan desa-kota yang saling memperkuat (Rustiadi et al. 2011).
Ditetapkannya lokasi pusat pengembangan masing-masing cluster diharapkan
dapat mewujudkan hubungan antara kawasan perdesaan dengan kawasan
perkotaan secara berjenjang. Pengembangan lokasi pusat pengembangan masingmasing cluster dalam bentuk kota-kota dalam skala kecil dan menengah dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Hal ini karena dengan
tumbuhnya kota-kota kecil menengah tersebut fasilitas-fasilitas pelayanan dasar
bisa disediakan dan pasar untuk produk-produk perdesaan juga bisa
dikembangkan.
Pembentukan tiga cluster agropolitan di Kabupaten Blitar beserta lokasi
pusat pengembangannya sudah cukup tepat dari sisi pengembangan wilayah.
Kecamatan Sanankulon untuk mendukung perkembangan wilayah Kabupaten
Blitar ke barat, Wlingi untuk mendukung perkembangan wilayah Kabupaten
Blitar ke timur, dan Panggungrejo untuk mendukung perkembangan wilayah
Kabupaten Blitar ke selatan. Apalagi saat ini perkembangan wilayah di Kabupaten
Blitar masih terkonsentrasi pada jalur transportasi utama. Wilayah Kabupaten
Blitar yang cukup luas (meliputi 22 kecamatan) kurang efektif dan efisien apabila
hanya mengandalkan satu lokasi pusat pengembangan. Hal ini dapat dilihat pada
kondisi perkembangan wilayah pada kawasan Blitar Selatan yang masih tertinggal
dibandingkan kawasan Blitar Utara. Semakin banyak kutub-kutub pertumbuhan di
Kabupaten Blitar diharapkan dapat menimbulkan multiplier effect bagi wilayah
sekitar. Namun yang lebih penting, adanya lokasi pusat pengembangan cluster
57
agropolitan diharapkan dapat mewujudkan hubungan antara kawasan perdesaan
dengan kawasan perkotaan secara berjenjang. Sehingga tercapai hubungan antar
wilayah yang saling menguatkan (generatif) dan bukan saling melemahkan
(eksploitatif). Secara spatial, lokasi pusat pengembangan cluster agropolitan dapat
dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Lokasi pusat pengembangan cluster agropolitan.
58
5.5 Arahan dan Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan
5.5.1 Arahan Pengembangan Kawasan Agropolitan
Pengembangan kawasan agropolitan dapat dijadikan alternatif solusi dalam
pengembangan kawasan perdesaan tanpa melupakan kawasan perkotaan. Melalui
pengembangan agropolitan, diharapkan terjadi interaksi yang kuat antara pusat
kawasan agropolitan dengan wilayah produksi pertanian dalam sistem kawasan
agropolitan. Melalui pendekatan ini, produk pertanian dari kawasan produksi akan
diolah terlebih dahulu di pusat kawasan agropolitan sebelum di jual (ekspor) ke
pasar yang lebih luas sehingga nilai tambah tetap berada di kawasan agropolitan.
Secara lebih luas, pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat
mendukung terjadinya sistem kota-kota yang terintegrasi. Hal ini ditunjukkan
dengan keterkaitan antar kota dalam bentuk pergerakan barang, modal, dan
manusia. Melalui dukungan sistem infrastruktur transportasi yang memadai,
keterkaitan antar kawasan agropolitan dan pasar dapat dilaksanakan. Dengan
demikian, perkembangan kota yang serasi, seimbang, dan terintegrasi dapat
terwujud.
Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan secara terintegrasi, perlu
disusun arahan pengembangan kawasan agropolitan yang akan menjadi acuan
penyusunan program pengembangan. Menurut Friedmann dan Douglass (1976)
muatan yang terkandung didalam pengembangan kawasan agropolitan adalah :
a. Lokasi pusat pengembangan kawasan agropolitan berfungsi sebagai :
• Pusat perdagangan dan transportasi pertanian (agricultural trade/ transport
center).
• Penyedia jasa pendukung pertanian (agricultural support services).
• Pasar konsumen produk non pertanian (nonagricultural consumers market).
• Pusat industri pertanian (agro based industry).
• Penyedia pekerjaan non pertanian (nonagricultural employment).
b. Wilayah hinterland kawasan agropolitan berfungsi sebagai :
• Pusat produksi pertanian (agricultural production).
• Intensifikasi pertanian (agricultural intensification).
• Pusat pendapatan perdesaan dan permintaan untuk barang-barang dan jasa
non pertanian (rural income and demand for non-agricultural goods and
services).
• Produksi tanaman siap jual dan diversifikasi pertanian (cash crop
production and agricultural diversification).
Berdasarkan pendapat tersebut maka dalam pengembangan kawasan
agropolitan di Kabupaten Blitar disusun arahan sebagai berikut :
a. Lokasi pusat pengembangan agropolitan di tingkat Kabupaten Blitar diarahkan
di Ibukota Kabupaten Blitar. Sesuai dengan PP No.3 Tahun 2010 disebutkan
Ibukota Kabupaten Blitar ditetapkan di Kecamatan Kanigoro. Lokasi ini
berfungsi sebagai :
• Pusat perdagangan dan transportasi pertanian (agricultural trade/ transport
center).
• Penyedia jasa pendukung pertanian (agricultural support services).
59
• Pasar konsumen produk non pertanian (nonagricultural consumers market).
b. Lokasi pusat pengembangan cluster agropolitan diarahkan untuk Cluster 1
adalah Kecamatan Sanankulon, Cluster 2 adalah Kecamatan Wlingi, dan
Cluster 3 adalah Kecamatan Panggungrejo. Lokasi ini berfungsi sebagai :
• Pusat industri pertanian (agro based industry).
• Pusat perdagangan dan transportasi pertanian (agricultural trade/ transport
center).
c. Wilayah hinterland kawasan agropolitan diarahkan pada seluruh kecamatan di
luar pusat pengembangan agropolitan sesuai dengan cluster agropolitan. Lokasi
ini berfungsi sebagai :
• Pusat produksi pertanian (agricultural production).
• Intensifikasi pertanian (agricultural intensification).
• Produksi tanaman siap jual dan diversifikasi pertanian (cash crop
production and agricultural diversification).
Arahan pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Blitar dapat dilihat
pada Gambar 18.
Gambar 18. Arahan pengembangan kawasan agropolitan.
60
5.5.2 Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan
Menurut Rangkuti (2009), proses perumusan strategi dapat dilakukan
melalui 3 (tiga) tahap analisis yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis dan
tahap pengambilan keputusan. Strategi yang akan diterapkan pada pengembangan
masing-masing cluster dalam penelitian ini mengacu pada 3 (tiga) tahapan
tersebut. Strategi pengembangan kawasan agropolitan terpilih hasil analisis
sebelumnya difokuskan pada tiga cluster, yaitu : a). Cluster 1 dengan komoditas
utama berupa komoditas pertanian lahan kering; b). Cluster 2 dengan komoditas
utama berupa tanaman perkebunan; c). Cluster 3 dengan komoditas utama berupa
komoditas tanaman pangan. Penyusunan strategi pengembangan untuk ketiga
cluster tersebut dilakukan dengan menggunakan analisis A’WOT melalui
penggalian informasi kepada pihak terkait. Narasumber tersebut adalah
BAPPEDA Kabupaten Blitar, Dinas Pertanian Kabupaten Blitar, Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Kabupaten Blitar, Kadin Kabupaten Blitar, Tokoh Petani, Tokoh
Perkebunan, dan Tokoh Masyarakat.
Metode A’WOT yang diaplikasikan dalam penelitian ini menggunakan
Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam menentukan pembobotan pada saat
analisis SWOT. Tujuan penggunaan Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah
mengurangi subjektifitas dalam pembobotan masing-masing faktor dari kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman. Bobot dari masing-masing faktor internal dan
eksternal tersebut juga diperoleh dengan pengolahan data yang didukung oleh
program Expert Choice 11 dan Microsoft Excell.
Dalam penelitian ini berbagai faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman diperoleh dari penggalian persepsi dan wawancara dari berbagai
narasumber pada saat penelitian pendahuluan yang kemudian dikombinasikan
dengan berbagai referensi yang terkait. Dari berbagai faktor kekuatan (strengths),
kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities) dan ancaman (threats), akan
dinilai tingkat atau bobot kepentingannya dengan menggunakan teknik Analytical
Hierarchy Process berdasarkan jawaban responden terhadap kuesioner yang
diberikan. Inilah titik tekan metode A’WOT dalam penelitian ini, dimana
pembobotan terhadap berbagai faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
tidak ditentukan oleh peneliti, melainkan didasari pada jawaban responden yang
expert dibidangnya untuk mengurangi unsur subyektifitas dalam penelitian ini.
Adapun strategi pengembangan cluster agropolitan diuraikan sebagai
berikut :
5.5.2.1 Strategi Pengembangan Cluster 1
Untuk merumuskan strategi pengembangan Cluster 1 dengan komoditas
utama berupa komoditas tanaman pangan dalam penyusunannya diawali dengan
mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh baik faktor internal maupun
faktor eksternal. Identifikasi faktor-faktor tersebut dilakukan melalui penggalian
informasi kepada pihak yang memahami pengembangan komoditas peternakan.
Kemudian hasil identifikasi informasi tersebut diberikan bobot dengan
menggunakan bobot skala perbandingan Saaty. Adapun hasil identifikasi setiap
faktor baik internal maupun eksternal dan pembobotannya selengkapnya disajikan
pada Gambar 19.
Ancaman
Peluang
Kelemahan
Kekuatan
Faktor Internal
Faktor Eksternal
61
Konversi
Fluktuasi harga
Fenomena musim
Persaingan
Minat
0.321
0.095
0.054
0.244
0.074
0.098
Agrowisata
Tingginya inovasi
Adanya KUR
Permintaan
Ketahanan
0.189
0.340
0.299
Akses petani
Konsumsi pribadi
Rendahnya SDM
Kelompok tani
Pengolahan
0.276
0.250
0.169
0.164
0.141
LP2B
Kelompok tani
Unit kerja
Pengairan
Sosiokultural
0.195
0.234
0.129
0.379
0.064
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Gambar 19. Hasil Analisis AHP Faktor Internal dan Eksternal Cluster 1.
Berdasarkan hasil pembobotan terhadap faktor SWOT pengembangan
Cluster 1 (Gambar 19), diketahui untuk faktor internal kekuatan yang dimiliki
adalah sistem pengairan yang cukup bagus dan sudah mulai terbentuk kelompok
tani. Faktor yang menjadi kelemahan adalah rendahnya akses petani terhadap
permodalan, teknologi dan pasar serta sebagian hasil pertanian untuk konsumsi
pribadi. Faktor eksternal berupa peluang adalah tingginya permintaan komoditas
perkebunan serta adanya kebijakan ketahanan pangan nasional. Faktor ancaman
yang masih dijumpai adalah fluktuasi harga di pasaran yang tidak menentu serta
konversi lahan pertanian menjadi kawasan terbangun.
Setelah dilakukan pembobotan terhadap faktor SWOT dengan
menggunakan metode AHP langkah selanjutnya adalah membuat matriks IFAS
dan EFAS. Penyusunan matriks IFAS dan EFAS bertujuan untuk mengetahui
tingkatan kepentingan dan pengaruhnya dalam penentuan strategi pengembangan
cluster agropolitan di Kabupaten Blitar. Matrik IFAS dan EFAS pengembangan
Cluster 1 seperti tertera pada Tabel 18 dan 19.
62
Tabel 18. Hasil analisis matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary
(IFAS) Pengembangan Cluster 1
Faktor-Faktor Strategi Internal
Kekuatan
1. Faktor sosiokultural yang sangat mendukung
2. Sistem pengairan yang cukup bagus
3. Tersedianya unit kerja yang memiliki tupoksi dibidang
pertanian
4. Sudah mulai terbentuk kelompok tani
5. Sudah ditetapkannya lahan pertanian pangan
berkelanjutan
Kelemahan
1. Tingkat pengolahan produk pertanian masih rendah
2. Belum optimalnya kinerja kelompok tani
3. Rendahnya SDM
4. Sebagian hasil pertanian untuk konsumsi pribadi
5. Rendahnya akses petani terhadap permodalan, teknologi
dan pasar
Jumlah
Bobot
Rating
Skor
0.0319
0.1893
3 0.0957
4 0.7570
0.0647
3 0.1940
0.1168
3 0.3504
0.0974
3 0.2921
0.0706
0.0822
0.0846
0.1248
3
3
3
3
0.1378
3 0.4133
1.0000
3.1893
0.2119
0.2467
0.2538
0.3743
Tabel 18 matriks IFAS Cluster 1 menunjukkan bahwa skor total perkalian
bobot dan rating dari semua faktor kekuatan dan kelemahan bernilai 3.1893. Nilai
ini berasal dari skor faktor kekuatan yaitu 1.6893 dan skor faktor kelemahan
dengan nilai 1.1500. Dalam kolom bobot diketahui bobot masing-masing faktor
yang merupakan hasil pengolahan data kuesioner dengan metode AHP. Bobot
yang diperoleh masing-masing faktor dikalikan 0.5 agar bobot total faktor
kekuatan dan kelemahan bernilai 1.00 (Rangkuti, 2009). Pada kolom rating
terlihat bahwa sebagian besar faktor kekuatan memiliki rating 3 (agak kuat),
kecuali sistem pengairan yang cukup bagus dengan rating 4 (sangat kuat). Pada
faktor kelemahan terlihat bahwa sebagian besar faktor kekuatan memiliki rating 3
(agak kuat).
Tabel 19. Hasil analisis matriks External Strategic Factors Analysis Summary
(EFAS) Pengembangan Cluster 1
Faktor-Faktor Strategi Eksternal
Peluang
1. Kebijakan ketahanan pangan nasional
2. Tingginya permintaan produk pertanian
3. Adanya KUR
4. Tingginya inovasi produk olahan tanaman pangan
5. Maraknya pembangunan dan pengembangan pertanian
berbasis wisata
Ancaman
1. Semakin kecilnya minat generasi muda untuk terjun ke
sektor pertanian
2. Persaingan produk sejenis dengan daerah lain
3. Fenomena musim yang sulit diprediksi
4. Fluktuasi harga di pasaran yang tidak menentu
5. Konversi lahan pertanian menjadi kawasan terbangun
Jumlah
Bobot
Rating
Skor
0.1496
0.1701
0.0944
0.0488
3
3
3
3
0.0372
3 0.1115
0.1221
3 0.3663
0.0271
0.0474
0.1607
0.1428
1.0000
3
3
4
3
0.4487
0.5103
0.2833
0.1463
0.0812
0.1423
0.6427
0.4283
3.1607
63
Tabel 19 matriks EFAS Cluster 1 menunjukkan bahwa skor total perkalian
bobot dan rating dari semua faktor peluang dan ancaman bernilai 3.1607. Nilai ini
berasal dari skor faktor peluang yaitu 1.5000 dan skor faktor ancaman dengan
nilai 1.6607. Dalam kolom bobot diketahui bobot masing-masing faktor yang
merupakan hasil pengolahan data kuesioner dengan metode AHP. Bobot yang
diperoleh masing-masing faktor dikalikan 0.5 agar bobot total faktor kekuatan dan
kelemahan bernilai 1.00 (Rangkuti, 2009). Pada kolom rating terlihat bahwa
sebagian besar faktor peluang memiliki rating 3 (agak kuat), kecuali tingginya
permintaan produk pertanian dengan rating 4 (sangat kuat). Pada faktor ancaman
hampir semuanya mendapat rating 3 (agak kuat) kecuali semakin kecilnya minat
generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian serta persaingan produk sejenis
dengan daerah lain mendapat rating 2 (agak lemah).
Berdasarkan hasil skor pada matriks IFAS dan EFAS Cluster 1, selanjutnya
disusun analisis matriks space. Selisih skor kekuatan dan kelemahan pada matriks
IFAS dan selisih skor peluang dan ancaman pada matriks EFAS akan mengisi
posisi nilai x dan y dari kuadran di matriks space-nya. Dengan demikian, dapat
diketahui posisi kuadran strategi pengembangan Cluster 1 dengan berbagai faktor
internal dan eksternal yang sudah dianalisis sebelumnya. Berdasarkan analisis
IFAS dan EFAS, maka diperoleh selisih skor kekuatan dan kelemahan pada
matriks IFAS yaitu 0.1893 dan selisih skor peluang dan ancaman pada matriks
EFAS -0.1607. Kombinasi nilai ini akan menghasilkan posisi di kuadran II.
Menurut Marimin (2008), kuadran II, menunjukkan Cluster 1 menghadapi
berbagai ancaman, namun masih mempunyai kekuatan sehingga strategi yang
diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka
panjang dengan menerapkan strategi diversifikasi. Hasil perhitungan matriks
space pengembangan Cluster 1 seperti terlihat pada Gambar 20.
Berbagai Peluang
Kuadran
III
Kuadran
I
Kelemahan
Internal
Kekuatan
Internal
(0.1893 , -0.1607)
Kuadran
II
Kuadran
IV
Berbagai Ancaman
Gambar 20. Hasil Analisis Matriks Space pada Cluster 1.
64
Tahap terakhir dari perumusan strategi (Rangkuti, 2009) adalah tahap
pengambilan keputusan. Tahap ini dapat dilakukan dengan menggunakan matriks
analisis SWOT. Berdasarkan matriks SWOT, terdapat empat kuadran strategi
yang dapat diterapkan dengan mengkolaborasikan berbagai faktor internal
(kekuatan dan kelemahan) dengan faktor eksternal (peluang dan ancaman), yaitu :
a. Strategi SO yaitu memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan
memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.
b. Strategi ST yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi segala
ancaman yang mungkin timbul.
c. Strategi WO yaitu pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan
kelemahan yang ada.
d. Strategi WT yaitu strategi yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan
kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
Hasil analisis matriks SWOT pada Cluster 1 dapat dilihat pada Gambar 21.
INTERNAL
Kekuatan
1. Faktor sosiokultural yang
sangat mendukung.
2. Sistem pengairan yang cukup
bagus.
3. Tersedianya unit kerja yang
memiliki tupoksi dibidang
pertanian.
4. Sudah mulai terbentuk
kelompok tani.
5. Sudah ditetapkannya lahan
pertanian pangan
berkelanjutan.
EKSTERNAL
Peluang
1. Kebijakan ketahanan pangan
nasional.
2. Tingginya permintaan produk
pertanian.
3. Adanya KUR.
4. Tingginya inovasi produk
olahan tanaman pangan.
5. Maraknya pembangunan dan
pengembangan pertanian
berbasis wisata.
Ancaman
1. Semakin kecilnya minat
generasi muda untuk terjun ke
sektor pertanian.
2. Persaingan produk sejenis
dengan daerah lain.
3. Fenomena musim yang sulit
diprediksi.
4. Fluktuasi harga di pasaran
yang tidak menentu.
5. Konversi lahan pertanian
menjadi kawasan terbangun.
S-O
1. Mendorong peningkatan
kualitas dan kuantitas produk
dengan penerapan teknologi
budidaya dan pasca panen.
2. Pengembangan industri
pengolahan hasil pertanian
untuk meningkatkan nilai
tambah.
Kelemahan
1. Tingkat pengolahan produk
pertanian masih rendah.
2. Belum optimalnya kinerja
kelompok tani.
3. Rendahnya SDM.
4. Sebagian hasil pertanian untuk
konsumsi pribadi.
5. Rendahnya akses petani
terhadap permodalan,
teknologi dan pasar.
W-O
1. Pengembangan
teknologi
tepat guna berbiaya murah di
tingkat petani.
2. Pengembangan SDM petani
melalui diseminasi maupun
pelatihan.
3. Sosialisasi
dan
fasilitasi
kelompok
tani
dalam
mengakses KUR.
S-T
W-T
1. Menyediakan jaringan usaha
antara gapoktan dengan pihak
swasta.
2. Diversifikasi komoditas yang
lebih ekonomis.
3. Penyediaan klinik konsultasi
dan sistem data dan informasi
pengembangan pertanian yang
integratif dan mudah diakses
oleh petani.
4. Pembatasan ijin konversi
lahan pertanian produktif.
1. Mendorong gapoktan untuk
mengembangkan usaha di
bidang
penyedia
sarana
produksi
pertanian
yang
dikelola secara mandiri.
2. Mentransformasikan
peran
gapoktan menjadi lembaga
koperasi.
Gambar 21. Hasil Analisis Matriks SWOT pada Cluster 1.
65
Pengembangan Cluster 1 jika merujuk hasil analisis matriks space yang
berada pada kuadran II maka strategi yang akan digunakan dalam matriks SWOT
menggunakan strategi ST (Strengths-Threats) sebagai strategi utama yang
meliputi :
a. Menyediakan jaringan usaha antara gapoktan dengan pihak swasta.
b. Diversifikasi komoditas yang lebih ekonomis.
c. Penyediaan klinik konsultasi dan sistem data dan informasi pengembangan
pertanian yang integratif dan mudah diakses oleh petani.
d. Pembatasan ijin konversi lahan pertanian produktif.
5.5.2.2 Strategi Pengembangan Cluster 2
Ancaman
Peluang
Kelemahan
Kekuatan
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Dalam penyusunan strategi pengembangan Cluster 2 dengan komoditas
utama berupa komoditas perkebunan diawali dengan mengidentifikasi faktorfaktor yang berpengaruh baik faktor internal maupun faktor eksternal yang
mempengaruhi pengembangan komoditas perkebunan. Adapun hasil identifikasi
setiap faktor baik internal maupun eksternal dan pembobotannya selengkapnya
disajikan pada Gambar 22.
Lahan terlantar
Pasokan yang kontinue
Standar mutu
Persaingan usaha
Harga saprodi
0.120
0.252
0.293
0.052
0.283
Agrowisata
Tingginya inovasi
Tingginya harga
Tingginya permintaan
Diversifikasi
0.231
0.047
0.165
0.318
0.238
Kondisi topografi
Infrastruktur
Rendahnya SDM
Minimnya teknologi
Produktivitas
0.098
0.172
0.210
0.141
0.379
Revitalisasi perkebunan
Kelompok tani
Unit kerja
Potensi lahan
Faktor sosiokultural
0.182
0.152
0.130
0.464
0.072
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Gambar 22. Hasil Analisis AHP Faktor Internal dan Eksternal Cluster 2.
Berdasarkan hasil pembobotan terhadap faktor SWOT pengembangan
Cluster 2 (Gambar 22), menunjukkan untuk faktor internal kekuatan yang
66
dominan mempengaruhi adalah luasnya lahan perkebunan di Kabupaten Blitar dan
faktor sosiokultural dan program revitalisasi perkebunan. Faktor internal berupa
kelemahan adalah masih rendahnya produktivitas komoditas perkebunan dan
infrastruktur penunjang yang belum memadai. Faktor eksternal peluang yang ada
yaitu tingginya permintaan komoditas perkebunan dan diversifikasi komoditas
perkebunan. Faktor ancaman yang ada adalah diberlakukannya standar mutu
komoditas perkebunan dan harga saprodi yang relatif mahal.
Setelah dilakukan pembobotan terhadap faktor SWOT dengan
menggunakan metode AHP langkah selanjutnya adalah membuat matriks IFAS
dan EFAS. Matrik IFAS dan EFAS pengembangan Cluster 2 tertera pada Tabel
20 dan 21. Tabel 20 matriks IFAS Cluster 2 menunjukkan bahwa skor total
perkalian bobot dan rating dari semua faktor kekuatan dan kelemahan bernilai
3.0858. Nilai ini berasal dari skor faktor kekuatan yaitu 1.5000 dan skor faktor
kelemahan dengan nilai 1.5858. Dalam kolom bobot diketahui bobot masingmasing faktor yang merupakan hasil pengolahan data kuesioner dengan metode
AHP. Bobot yang diperoleh masing-masing faktor dikalikan 0.5 agar bobot total
faktor kekuatan dan kelemahan bernilai 1.00 (Rangkuti, 2009). Pada kolom rating
terlihat bahwa sebagian besar faktor kekuatan memiliki rating 3 (agak kuat),
kecuali potensi lahan perkebunan yang cukup luas serta program revitalisasi
perkebunan dengan rating 4 (sangat kuat). Pada faktor kelemahan terlihat bahwa
sebagian besar faktor kekuatan memiliki rating 3 (agak kuat), kecuali infrastruktur
penunjang yang belum memadai dengan rating 4 (sangat kuat).
Tabel 20. Hasil analisis matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary
(IFAS) Pengembangan Cluster 2
Faktor-Faktor Strategi Internal
Bobot
Rating
Skor
1. Faktor sosiokultural yang sangat mendukung
0.0359
3
0.1078
2. Potensi lahan perkebunan yang cukup luas
3. Tersedianya unit kerja yang memiliki tupoksi dibidang
perkebunan
4. Sudah mulai terbentuk kelompok tani perkebunan
0.2320
3
0.6961
0.0651
3
0.1952
0.0761
3
0.2284
5. Program revitalisasi perkebunan
0.0908
3
0.2725
1. Masih rendahnya produktivitas komoditas perkebunan
0.1896
3
0.5687
2. Minimnya sentuhan teknologi pengolahan pasca panen
0.0706
3
0.2119
3. Rendahnya SDM
0.1049
3
0.3148
4. Infrastruktur penunjang yang belum memadai
5. Kondisi topografi yang bergelombang membutuhkan ketepatan
dalam pola tanam
Jumlah
0.0858
4
0.3434
0.0490
3
0.1470
Kekuatan
Kelemahan
1.0000
3.0858
Tabel 21 matriks EFAS Cluster 2 menunjukkan bahwa skor total perkalian
bobot dan rating dari semua faktor peluang dan ancaman bernilai 3.0341. Pada
kolom bobot hasil pengolahan dengan metode AHP yang diperoleh dengan
67
perkalian 0.5 agar bobot total faktor kekuatan dan kelemahan bernilai 1.00
(Rangkuti, 2009). Pada kolom rating terlihat bahwa sebagian besar faktor peluang
memiliki rating 3 (agak kuat), kecuali diversifikasi komoditas perkebunan serta
adanya konsep agrowisata perkebunan dengan rating 4 (sangat kuat). Pada faktor
ancaman hampir semuanya mendapat rating 3 (agak kuat) kecuali persaingan
produk sejenis dengan daerah lain mendapat rating 2 (agak lemah) serta isu
degradasi lahan akibat pengembangan perkebunan mendapat rating 4 (sangat
kuat).
Tabel 21. Hasil analisis matriks External Strategic Factors Analysis Summary
(EFAS) Pengembangan Cluster 2
Faktor-Faktor Strategi Eksternal
Bobot
Rating
Skor
1. Diversifikasi komoditas perkebunan
0.1190
3
0.3570
2. Tingginya permintaan komoditas perkebunan
0.1592
3
0.4776
3. Harga komoditas perkebunan relatif tinggi
0.0824
3
0.2471
4. Tingginya inovasi produk olahan perkebunan
0.0237
3
0.0711
5. Adanya konsep agrowisata perkebunan
0.1157
3
0.3472
1. Harga saprodi yang relatif mahal
0.1417
3
0.4252
2. Persaingan produk sejenis dengan daerah lain
0.0259
2
0.0518
3. Diberlakukannya standar mutu komoditas perkebunan
4. Industri membutuhkan pasokan komoditas perkebunan yang
kontinue
5. Isu degradasi lahan akibat pengembangan perkebunan
0.1466
3
0.4397
0.1258
3
0.3774
0.0600
4
0.2401
Jumlah
1.0000
Peluang
Ancaman
3.0341
Berdasarkan hasil skor pada matriks IFAS dan EFAS Cluster 2, selanjutnya
disusun analisis matriks space. Menurut Rangkuti (2009), matriks space
digunakan untuk mempertajam posisi dan arah pengembangan dari analisis
matriks internal dan eksternal. Selisih skor kekuatan dan kelemahan pada matriks
IFAS dan selisih skor peluang dan ancaman pada matriks EFAS akan mengisi
posisi nilai x dan y dari kuadran di matriks space-nya. Berdasarkan analisis IFAS
dan EFAS, maka diperoleh selisih skor kekuatan dan kelemahan pada matriks
IFAS yaitu -0.0858 dan selisih skor peluang dan ancaman pada matriks EFAS 0.0341. Kombinasi nilai ini akan menghasilkan posisi di kuadran IV. Menurut
Marimin (2008), pada kuadran IV, strategi yang tepat adalah strategi defensif.
Kuadran IV, menunjukkan Cluster 2 berada pada posisi yang tidak
menguntungkan karena disamping menghadapi ancaman juga menghadapi
kelemahan internal. Hasil perhitungan matriks space pengembangan Cluster 2
seperti terlihat pada Gambar 23.
68
Berbagai Peluang
Kuadran
III
Kuadran
I
Kelemahan
Internal
Kekuatan
Internal
(-0.0858 , -0.0341)
Kuadran
IV
Kuadran
II
Berbagai Ancaman
Gambar 23. Hasil Analisis Matriks Space pada Cluster 2.
Tahap berikutnya adalah tahap pengambilan keputusan. Tahap ini dapat
dilakukan dengan menggunakan matriks analisis SWOT. Berbagai hasil analisis
tahap pertama dan kedua akan menjadi pertimbangan dan masukan dalam
merumuskan analisis SWOT pada tahap pengambilan keputusan ini. Khusus
pengembangan Cluster 2 jika merujuk hasil analisis matriks space yang berada
pada kuadran IV maka strategi yang akan digunakan dalam matriks SWOT
menggunakan strategi WT (Weaknesses-Threats) sebagai strategi utama yang
meliputi :
1. Meningkatkan produktivitas komoditas perkebunan.
2. Meningkatkan kualitas komoditas perkebunan.
3. Pengembangan SDM petani melalui diseminasi maupun pelatihan
4. Menyediakan jaringan usaha antara kelompok tani perkebunan dengan pihak
swasta.
5. Mengatasi kondisi topografi melalui sistem pola tanam.
Hasil analisis matriks SWOT pada Cluster 2 dapat dilihat pada Gambar 24.
69
INTERNAL
Kekuatan
1. Faktor sosiokultural yang
sangat mendukung.
2. Potensi lahan perkebunan
yang cukup luas.
3. Tersedianya unit kerja yang
memiliki tupoksi dibidang
perkebunan.
4. Sudah mulai terbentuk
kelompok tani perkebunan.
5. Program revitalisasi
perkebunan.
EKSTERNAL
Kelemahan
1. Masih rendahnya produktivitas
komoditas perkebunan.
2. Minimnya sentuhan teknologi
pengolahan pasca panen.
3. Rendahnya SDM.
4. Infrastruktur penunjang yang
belum memadai.
5. Kondisi topografi yang
bergelombang membutuhkan
ketepatan dalam pola tanam.
Peluang
S-O
W-O
1. Diversifikasi komoditas
perkebunan.
2. Tingginya permintaan
komoditas perkebunan.
3. Harga komoditas perkebunan
relatif tinggi.
4. Tingginya inovasi produk
olahan perkebunan.
5. Adanya konsep agrowisata
perkebunan.
1. Mendorong peningkatan
kualitas dan kuantitas produk
dengan penerapan teknologi
budidaya dan pasca panen.
2. Diversifikasi komoditas
perkebunan yang lebih
ekonomis dengan
mengoptimalkan pemanfaatan
potensi lahan yang masih luas.
3. Menawarkan paket investasi
kepada swasta untuk
pengembangan agrowisata
berbasis perkebunan.
1. Pengembangan SDM petani
perkebunan melalui diseminasi
maupun pelatihan.
2. Mentransformasikan
peran
kelompok petani perkebunan
menjadi lembaga koperasi.
3. Pengembangan teknologi tepat
guna berbiaya murah di tingkat
petani perkebunan.
4. Pengembangan infrastruktur.
Ancaman
S-T
W-T
1. Pendampingan
terhadap
kelompok tani perkebunan.
2. Mendorong
peningkatan
kualitas komoditas pertanian
sehingga dapat diterima oleh
industri pengolahan.
3. Membuat sarana promosi
untuk lebih mengenalkan
komoditas perkebunan.
1. Meningkatkan
produktivitas
komoditas perkebunan.
2. Meningkatkan
kualitas
komoditas perkebunan.
3. Pengembangan SDM petani
melalui diseminasi maupun
pelatihan
4. Menyediakan jaringan usaha
antara
kelompok
tani
perkebunan dengan pihak
swasta.
5. Mengatasi kondisi topografi
melalui sistem pola tanam.
1. Harga saprodi yang relatif
mahal.
2. Persaingan produk sejenis
dengan daerah lain.
3. Diberlakukannya standar
mutu komoditas perkebunan.
4. Industri membutuhkan
pasokan komoditas
perkebunan yang continue.
5. Lahan terlantar akibat
mahalnya saprodi.
Gambar 24. Hasil Analisis Matriks SWOT pada Cluster 2.
5.5.2.3 Strategi Pengembangan Cluster 3
Strategi pengembangan Cluster 3 dengan komoditas utama berupa
komoditas pertanian lahan kering diawali dengan mengidentifikasi faktor-faktor
yang berpengaruh baik faktor internal maupun faktor eksternal yang
mempengaruhi pengembangan komoditas pertanian lahan kering. Adapun hasil
identifikasi setiap faktor baik internal maupun eksternal dan pembobotannya
selengkapnya disajikan pada Gambar 25.
Berdasarkan hasil pembobotan terhadap faktor SWOT pengembangan
Cluster 3 (Gambar 25) menunjukkan untuk faktor internal berupa kekuatan yang
dominan mempengaruhi adalah potensi lahan kering yang cukup luas serta sudah
mulai terbentuk kelompok tani. Faktor internal berupa kelemahan yang dominan
70
Ancaman
Peluang
Kelemahan
Kekuatan
Faktor Internal
Faktor Eksternal
adalah kondisi infrastruktur penunjang yang belum memadai dan ketersediaan air
bersih yang kurang. Faktor eksternal peluang yang dominan adalah maraknya
investor di bidang pertanian lahan kering serta diversifikasi komoditas pertanian
lahan kering. Faktor ancaman yang dominan adalah harga saprodi yang relatif
mahal serta investor menginginkan infrastruktur yang memadai.
Perijinan
Infrastruktur
Fluktuasi harga
Persaingan usaha
Harga saprodi
0.162
0.325
0.176
0.058
0.278
Maraknya investor
Tingginya inovasi
Adanya KUR
Tingginya permintaan
Diversifikasi
0.346
0.057
0.226
0.124
0.246
Ketersediaan air
Infrastruktur
Rendahnya SDM
Kelompok tani
Tingkat pengolahan
0.156
0.400
0.117
0.115
0.211
Potensi tenaga kerja
Kelompok tani
Unit kerja
Potensi lahan
Faktor sosiokultural
0.135
0.245
0.061
0.441
0.119
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Gambar 25. Hasil Analisis AHP Faktor Internal dan Eksternal Cluster 3.
Setelah dilakukan pembobotan terhadap faktor SWOT dengan
menggunakan metode AHP langkah selanjutnya adalah membuat matriks IFAS
dan EFAS. Matrik IFAS dan EFAS pengembangan Cluster 3 seperti tertera pada
Tabel 22 dan 23. Tabel 22 matriks IFAS Cluster 3 menunjukkan bahwa skor total
perkalian bobot dan rating dari semua faktor kekuatan dan kelemahan bernilai
3.4985. Pada kolom bobot diketahui bobot masing-masing faktor yang merupakan
hasil pengolahan data kuesioner dengan metode AHP. Bobot yang diperoleh
masing-masing faktor dikalikan 0.5 agar bobot total faktor kekuatan dan
kelemahan bernilai 1.00 (Rangkuti, 2009). Pada kolom rating terlihat bahwa
sebagian besar faktor kekuatan memiliki rating 3 (agak kuat), kecuali potensi
lahan kering yang cukup luas dengan rating 4 (sangat kuat). Pada faktor
kelemahan terdapat rating yang bervariasi mulai dari rating 4 (sangat kuat), rating
3 (agak kuat), hingga rating 2 (agak lemah). Ketersediaan air bersih yang kurang
memiliki rating 4, rendahnya SDM dan infrastruktur penunjang yang belum
71
memadai memiliki rating 3, serta tingkat pengolahan produk pertanian masih
rendah dan belum optimalnya kinerja kelompok tani memiliki rating 2.
Tabel 22. Hasil analisis matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary
(IFAS) Pengembangan Cluster 3
Faktor-Faktor Strategi Internal
Kekuatan
1. Faktor sosiokultural yang sangat mendukung
2. Potensi lahan kering yang cukup luas
3. Tersedianya unit kerja yang memiliki tupoksi dibidang pertanian
4. Sudah mulai terbentuk kelompok tani
5. Potensi tenaga kerja
Kelemahan
1. Tingkat pengolahan produk pertanian masih rendah
2. Belum optimalnya kinerja kelompok tani
3. Rendahnya SDM
4. Infrastruktur penunjang yang belum memadai
5. Ketersediaan air bersih yang kurang
Jumlah
Bobot
Rating
Skor
0.0594
0.2203
0.0305
0.1223
0.0675
3
4
3
3
3
0.1781
0.8813
0.0916
0.3668
0.2025
0.1057
0.0574
0.0587
0.2000
0.0782
1.0000
3
3
3
4
4
0.3172
0.1722
0.1762
0.7998
0.3127
3.4985
Tabel 23 matriks EFAS Cluster 1 menunjukkan bahwa skor total perkalian
bobot dan rating dari semua faktor peluang dan ancaman bernilai 2.9916. Nilai ini
berasal dari skor faktor peluang yaitu 1.7353 dan skor faktor ancaman dengan
nilai 1.2563. Dalam kolom bobot diketahui bobot masing-masing faktor yang
merupakan hasil pengolahan data kuesioner dengan metode AHP. Bobot yang
diperoleh masing-masing faktor dikalikan 0.5 agar bobot total faktor kekuatan dan
kelemahan bernilai 1.00 (Rangkuti, 2009). Pada kolom rating terlihat bahwa
sebagian besar faktor peluang memiliki rating 3 (agak kuat), kecuali tingginya
permintaan produk pertanian serta maraknya investor di bidang pertanian lahan
kering dengan rating 4 (sangat kuat). Pada faktor ancaman hampir semuanya
mendapat rating 3 (agak kuat) kecuali faktor investor menginginkan infrastruktur
yang memadai serta mekanisme perijinan yang tidak sesuai prosedur yang
mendapat rating 2 (agak lemah).
Tabel 23. Hasil analisis matriks External Strategic Factors Analysis Summary
(EFAS) Pengembangan Cluster 3
Faktor-Faktor Strategi Eksternal
Peluang
1. Diversifikasi komoditas pertanian lahan kering
2. Tingginya permintaan produk pertanian
3. Adanya KUR
4. Tingginya inovasi produk olahan pertanian
5. Maraknya investor di bidang pertanian lahan kering
Ancaman
1. Harga saprodi yang relatif mahal
2. Persaingan produk sejenis dengan daerah lain
3. Fluktuasi harga di pasaran yang tidak menentu
4. Investor menginginkan infrastruktur yang memadai
5. Mekanisme perijinan yang tidak sesuai prosedur
Jumlah
Bobot
Rating
Skor
0.1230
0.0621
0.1132
0.0285
0.1731
3
4
3
3
4
0.3691
0.2486
0.3396
0.0855
0.6926
0.1391
0.0291
0.0882
0.1626
0.0811
1.0000
3
3
3
2
2
0.4172
0.0872
0.2647
0.3252
0.1621
2.9916
Berdasarkan hasil skor pada matriks IFAS dan EFAS Cluster 3, selanjutnya
disusun analisis matriks space. Marimin (2008) menyatakan bahwa hasil analisis
matriks IFAS dan EFAS dapat digunakan untuk mengetahui posisi suatu usaha
72
dalam matriks space. Selisih skor kekuatan dan kelemahan pada matriks IFAS dan
selisih skor peluang dan ancaman pada matriks EFAS akan mengisi posisi nilai x
dan y dari kuadran di matriks space-nya. Dengan demikian, dapat diketahui posisi
kuadran strategi pengembangan Cluster 3 dengan berbagai faktor internal dan
eksternal yang sudah dianalisis sebelumnya. Berdasarkan analisis IFAS dan
EFAS, maka diperoleh selisih skor kekuatan dan kelemahan pada matriks IFAS
yaitu -0.0578 dan selisih skor peluang dan ancaman pada matriks EFAS 0.4790.
Kombinasi nilai ini akan menghasilkan posisi dikuadran III untuk strategi
pengembangan Cluster 3 pada matriks space. Menurut Marimin (2008), kuadran
III mempunyai peluang yang sangat besar namun disisi lain memiliki kelemahan
internal. Menghadapi situasi ini Cluster 1 harus berusaha memanfaatkan peluang
yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. Hasil perhitungan
matriks space pengembangan Cluster 3 seperti terlihat pada Gambar 26.
Berbagai Peluang
Kuadran
III
Kuadran
I
(-0.0578 , 0.0479)
Kelemahan
Internal
Kekuatan
Internal
Kuadran
IV
Kuadran
II
Berbagai Ancaman
Gambar 26. Hasil Analisis Matriks Space pada Cluster 3.
Tahap terakhir dari perumusan strategi (Rangkuti, 2009) adalah tahap
pengambilan keputusan. Tahap ini dapat dilakukan dengan menggunakan matriks
analisis SWOT. Berbagai hasil analisis tahap pertama dan kedua akan menjadi
pertimbangan dan masukan dalam merumuskan analisis SWOT pada tahap
pengambilan keputusan ini.
Menurut Marimin (2008), dalam tahap pengambilan keputusan, matriks
SWOT perlu merujuk kembali pada matriks IFAS dan matriks EFAS yang sudah
dihasilkan. Dengan demikian dapat diketahui posisi suatu usaha berada pada sel
mana dari matriks Internal Eksternal dan berada pada kuadran mana dari matriks
space. Khusus pengembangan Cluster 3 jika merujuk hasil analisis matriks space
yang berada pada kuadran III maka strategi yang akan digunakan dalam matriks
73
SWOT menggunakan strategi WO (Weaknesses-Opportunities) sebagai strategi
utama yang meliputi :
1. Menawarkan paket investasi kepada swasta untuk pengembangan industri
pengolahan hasil pertanian (pabrik gula) dengan harapan dapat menyerap
tenaga kerja lokal.
2. Pengembangan SDM petani melalui diseminasi maupun pelatihan.
3. Pengembangan infrastruktur sesuai hirarki wilayah.
4. Pembangunan embung guna memenuhi kebutuhan air.
Hasil analisis matriks SWOT pada Cluster 2 dapat dilihat pada Gambar 24.
INTERNAL
Kekuatan
1. Faktor sosiokultural yang
sangat mendukung.
2. Potensi lahan kering yang
cukup luas.
3. Tersedianya unit kerja yang
memiliki tupoksi dibidang
pertanian.
4. Sudah mulai terbentuk
kelompok tani.
5. Potensi tenaga kerja.
EKSTERNAL
Kelemahan
1. Tingkat pengolahan produk
pertanian masih rendah.
2. Belum optimalnya kinerja
kelompok tani.
3. Rendahnya SDM.
4. Infrastruktur penunjang yang
belum memadai.
5. Ketersediaan air yang kurang.
Peluang
S-O
W-O
1. Diversifikasi komoditas
pertanian lahan kering.
2. Tingginya permintaan produk
pertanian.
3. Adanya KUR.
4. Tingginya inovasi produk
olahan pertanian.
5. Maraknya investor di bidang
pertanian lahan kering.
1. Mendorong
peningkatan
kualitas dan kuantitas produk
dengan penerapan teknologi
budidaya dan pasca panen.
2. Diversifikasi
komoditas
pertanian lahan kering yang
lebih ekonomis.
3. Pengembangan
teknologi
tepat guna berbiaya murah di
tingkat petani.
4. Melakukan
pendampingan
kepada masyarakat.
1. Menawarkan paket investasi
kepada swasta dengan harapan
dapat menyerap tenaga kerja
lokal.
2. Pengembangan SDM petani
melalui diseminasi maupun
pelatihan.
3. Pengembangan infrastruktur
sesuai hirarki wilayah.
4. Pembangunan embung guna
memenuhi kebutuhan air.
Ancaman
S-T
W-T
1. Menyediakan jaringan usaha
antara gapoktan dengan pihak
swasta.
2. Penyediaan klinik konsultasi
dan sistem data dan informasi
pengembangan pertanian yang
integratif dan mudah diakses
oleh petani.
1. Mendorong gapoktan untuk
mengembangkan usaha di
bidang
penyedia
sarana
produksi
pertanian
yang
dikelola secara mandiri.
2. Mentransformasikan
peran
gapoktan menjadi lembaga
koperasi.
1. Harga saprodi yang relatif
mahal.
2. Persaingan produk sejenis
dengan daerah lain.
3. Fluktuasi harga di pasaran
yang tidak menentu.
4. Investor menginginkan
infrastruktur yang memadai.
5. Mekanisme perijinan yang
tidak sesuai prosedur.
Gambar 27. Hasil Analisis Matriks SWOT pada Cluster 3.
5.5.3 Strategi Pengembangan Kawasan Perdesaan di Kabupaten Blitar
Mencermati kondisi tipologi wilayah kecamatan di Kabupaten Blitar
menunjukkan adanya kecenderungan antara faktor kedekatan lokasi ibukota
kabupaten dengan faktor rasio luas lahan pertanian berpengaruh terhadap tingkat
74
perkembangan wilayah kecamatan. Kondisi tersebut menunjukkan indikasi
lemahnya keterkaitan dan keterpaduan sektoral dan spasial dalam kinerja
pembangunan wilayah. Lemahnya keterkaitan dan keterpaduan antar sektor dan
spasial mengakibatkan adanya kesenjangan wilayah antar cluster agropolitan.
Keberadaaan cluster 3 yang memiliki jarak relatif jauh dari Ibukota Kabupaten
Blitar dan belum ditunjang dengan pembangunan infrastruktur yang proporsional
berdampak pada lemahnya interaksi spasial pada cluster 3. Apalagi kondisi
alamiah cluster 3 adalah lahan kering dengan ketersediaan air yang kurang
semakin memperburuk ketertinggalan perkembangan wilayah. Lemahnya
interaksi spasial menghambat aliran modal, teknologi dan sumber daya manusia
yang tidak berimbang antar wilayah dalam mengelola dan memanfaatkan potensi
ekonomi yang tersedia secara optimal, adil, dan berkelanjutan. Berbeda dengan
cluster 3, lokasi cluster 1 dan cluster 2 yang relatif dekat dengan Ibukota
Kabupaten Blitar serta ditunjang dengan kondisi infrastruktur yang memadai
berdampak pada kuatnya interaksi spasial pada kedua cluster tersebut. Sehingga
cluster 1 dan cluster 2 juga relatif lebih berkembang daripada cluster 3.
Untuk mengatasi lemahnya keterkaitan dan keterpaduan sektoral dan spasial
dalam kinerja pembangunan wilayah maka perlu dilakukan upaya perbaikan ke
arah hubungan antar wilayah yang generatif, hubungan yang sinergis dalam arti
dapat mendorong perkembangan wilayah secara berimbang, baik perdesaan
maupun perkotaan. Strategi pengembangan kawasan perdesaan di Kabupaten
Blitar dalam upaya mendorong perkembangan wilayah secara berimbang antara
lain :
1. Strategi demand side.
Strategi demand side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang
diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa-jasa dari masyarakat
setempat melalui kegiatan produksi lokal. Dalam pendekatan strategi demand
side, tujuan pengembangan wilayah dilakukan dengan berbagai upaya untuk
meningkatkan taraf hidup penduduk di suatu wilayah. Peningkatan taraf hidup
penduduk diharapkan akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang
non pertanian. Adanya peningkatan permintaan tersebut akan meningkatkan
perkembangan sektor industri dan jasa-jasa di wilayah yang bersangkutan
sehingga akan lebih mendorong perkembangan wilayah tersebut.
2. Strategi supply side.
Strategi supply side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang
diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan produksi yang
berorientasi keluar. Strategi ini diprioritaskan pada komoditas unggulan
masing-masing desa sesuai pembagian cluster agropolitan. Adanya
peningkatan produksi yang berorientasi ekspor diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan lokal. Selanjutnya peningkatan pendapatan lokal dengan sendirinya
dapat menarik kegiatan/ investasi lain untuk dating ke wilayah tersebut.
3. Perluasan pengembangan pertanian.
Kawasan Agropolitan merupakan kawasan perdesaan yang secara fungsional
merupakan kawasan dengan kegiatan utama adalah sektor pertanian.
Pengembangan agropolitan ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian
dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung tumbuhnya industri
agroprosesing skala kecil menengah dan mendorong keberagaman aktivitas
ekonomi dari pusat pasar. Integrasi antara konsep agroindustri dan
75
pembangunan desa menjadi penting keterkaitannya dalam penyediaan dan
penyaluran sarana produksi, penyediaan dana dan investasi, teknologi, serta
dukungan sistem tataniaga dan perdagangan yang efektif. Pengembangan
agroindustri pada dasarnya diharapkan selain memacu pertumbuhan tingkat
ekonomi, juga sekaligus diarahkan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan
pendapatan petani. Sebagai wilayah agraris dengan potensi komoditas
pertanian yang beragam maka pengembangan pertanian berbasis agribisnis,
agroindustri, serta agrowisata merupakan strategi yang paling tepat dalam
mengurangi kemiskinan masyarakat antar wilayah.
4. Peningkatan kapasitas SDM dan sosial kapital masyarakat lokal.
Strategi peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan sosial kapital
masyarakat lokal diarahkan pada :
• Pemberdayaan masyarakat lokal baik dari sisi pengembangan sumber daya
manusia maupun kelembagaan (sosial kapital).
• Pengembangan fasilitas pendukung pendidikan dan kesehatan serta
peningkatan dan distribusi tenaga pendidikan dan kesehatan yang
proporsional dan berkualitas.
• Hak akses terhadap sumberdaya utama lokal harus diperkuat antara lain
akses terhadap lahan, pendidikan, kesehatan, air minum, energi, komunikasi
dan penerangan dan sebagainya.
• Pengembangan kapasitas (capacity building) institusi lokal harus dipenuhi
melalui peningkatan investasi dan penguatan sosial kapital.
5. Pengembangan infrastruktur.
Strategi pengembangan infastruktur diarahkan pada pengembangan
infrastruktur yang menjamin akses pada air bersih, energi, komunikasi,
informasi, layanan pendidikan, kesehatan, dan interaksi sosial-ekonomi.
Namun demikian dalam jangka menengah pengembangan infrastruktur
transportasi (jalur transportasi) yang menghubungkan antara ibukota kabupaten
dengan kota kecamatan hingga desa pusat pertumbuhan harus menjadi
prioritas, untuk mendukung strategi demand side dan strategi supply side.
Download