BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai
dengan hiperglikemia. Penyakit ini penyebab primernya adalah rusaknya sel beta
pankreas sehingga tidak dihasilkannya insulin dan dapat terjadi sekunder yaitu akibat
respon abnormal jaringan perifer terhadap insulin. Insulin merupakan salah satu
hormon dalam tubuh manusia yang dihasilkan oleh sel β pulau Langerhans. Pulaupulau Langerhans (islets of Langehans) adalah suatu kumpulan sel-sel endokrin yang
terdiri dari beberapa tipe sel, yang terbanyak adalah sel beta penghasil insulin
membentuk 70% populasi sel. Sel-sel alfa mensekresikan glukagon, sel-sel delta yang
mensekresikan somatostatin dan polipeptida usus vasoaktif (vasoactive intestinal
polypeptide, VIP) dan sel-sel PP mensekresikan polipeptida pankreas (Damjanov,
2000).
Laporan statistik dari International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan
bahwa sekarang sudah ada sekitar 230 juta penderita diabetes. Angka ini terus
bertambah hingga 3% atau sekitar 7 juta orang setiap tahunnya. Jumlah penderita
diabetes diperkirakan akan mencapai 350 juta pada tahun 2025 dan setengah dari
angka tersebut berada di Asia, terutama India, Pakistan, dan Indonesia (Wakhidiyah
dan Zainafree, 2010). Menurut World Health Organization (WHO) penyandang
diabetes di Indonesia pada tahun 2000 sebanyak 8,4 juta jiwa. Jumlah ini
diperkirakan akan terus meningkat dan mencapai angka 21,3 juta jiwa pada tahun
2030. Hal tersebut mengakibatkan Indonesia berada di peringkat keempat jumlah
penyandang diabetes melitus di dunia setelah Amerika Serikat, India, dan Cina
(Tandra, 2008).
Waluyo (2009) mengatakan penyakit diabetes mellitus merupakan penyakit
yang tidak dapat disembuhkan tetapi penderita diabetes bisa hidup normal dengan
cara menyiasatinya dengan mengontrol kadar gula dalam darah sehingga tidak mudah
1
2
terkena komplikasi berbagai penyakit lain. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
minum obat-obat yang diberikan dokter, melakukan olah raga teratur, dan
menerapkan pola makan khusus.
Selama ini pengobatan diabetes mellitus dilakukan dengan pemberian obatobatan oral antidiabetik atau dengan suntikan insulin. Penyakit diabetes mellitus
memerlukan pengobatan jangka panjang. Obat–obatan antidiabetikum oral yang kini
tersedia adalah insulin secretagouge (sulfonilurea, meglitinid, derivat D-fenilalanin),
biguanid, tiazolidinedion, dan inhibitor α-glucosidase. Sulfonilurea dan biguanid
tersedia sejak dulu sebagai terapi inisial untuk diabetes tipe 2. Kelas terbaru insulin
secretagouge yang bekerja cepat yaitu meglitinid dan derivat D-fenilalanin
merupakan alternatif untuk menggantikan sulfonilurea yang bekerja
singkat
(Katzung, 2010).
Obat antidiabetes oral mungkin berguna untuk penderita yang alergi terhadap
insulin atau yang tidak menggunakan suntikan insulin. Sementara penggunaannya
harus dipahami, agar ada kesesuaian dosis dengan indikasinya, tanpa menimbulkan
hipoglikemia (Studiawan dan Santosa, 2005). Selain itu, pemberian obat
antidiabetikum oral secara berkepanjangan cenderung obat tersebut tidak mampu lagi
menurunkan kadar glukosa darah penderita secara baik. Oleh karena itu pemberian
secara oral akan bergeser dengan injeksi yaitu dengan pemberian insulin. Pemberian
obat secara berkepanjangan terlebih dengan insulin yang diberikan secara injeksi
akan membuat penderita menjadi tidak nyaman.
Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat
obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan. Pengetahuan
tentang tanaman berkhasiat obat berdasar pada pengalaman dan keterampilan yang
secara turun temurun telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya
(Kumalasari, 2006). Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia
telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu terbukti dari
adanya naskah lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak pabbura
3
(Sulawesi Selatan), dokumen Serat Primbon Jampi, Serat Racikan Boreh Wulang
Dalem dan relief candi Borobudur yang menggambarkan orang sedang meracik obat
(jamu) dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya (Sukandar, 2006).
Obat herbal meskipun berbahan alami bukan berarti aman 100% karena
tanaman obat pun mengandung racun. Penggunaan obat herbal selama ini hanya
bersifat empiris artinya hanya berdasarkan dosis dan efek yang didapat dari
pengalaman yang bervariasi tiap-tiap orang (Wulandari, 2010). Kandungan zat kimia
pada obat herbal bisa menimbulkan efek samping dan toksik. Efek samping itu bisa
disebabkan obat itu sendiri maupun oleh kontaminan atau zat sintesis yang
ditambahkan. Kemungkinan efek samping makin besar jika memakai banyak obat,
pasien berusia lanjut, atau menderita penyakit terutama ginjal dan hati. Interaksi obat
herbal dengan obat modern ini penting untuk obat dengan batas keamanan sempit
atau indeks terapi rendah. Namun, interaksi itu bisa meningkatkan toksisitas atau efek
samping dan mengurangi efektivitas kerja obat. Interaksi obat herbal dengan obat
modern bisa membahayakan, seperti perdarahan, gangguan jantung, atau obat jadi
tidak efektif (Dewoto, 2007).
Salah satu tanaman yang dipakai masyarakat Indonesia sebagai bahan obat
tradisional adalah
herbal daun sirih merah (Piper crocatum). Sirih merah yang
dikenal sebagai tanaman hias yang eksotis, ternyata bermanfaat untuk mengobati
berbagai macam penyakit. Sirih merah dapat dipakai untuk mengobati diabetes,
hipertensi, kanker payudara, peradangan, hepatitis, ambeien, asam urat, mag, luka.
Pemanfaatan sirih merah dilakukan dengan cara mengkonsumsi daunnya, atau
diekstrak terlebih dahulu untuk mengambil bahan aktifnya (Bayoo, 2006; Sudewo,
2010).
Banyak khasiat dari tanaman
sirih merah ini antara lain mengandung
sejumlah senyawa aktif yaitu flavonoid, alkoloid, polivenolad, tanin, dan minyak
atsiri. Para ahli pengobatan tradisional telah banyak menggunakan tanaman sirih
merah karena mempunyai kandungan kimia yang penting untuk menyembuhkan
4
berbagai penyakit. Senyawa flavonoid dan polovenolad bersifat antioksidan,
antidiabetik, anti kanker, antiseptik dan anti-inflamasi. Sedangkan senyawa alkaloid
menpunyai sifat antineoplastik yang juga ampuh menghambat pertumbuhan sel-sel
kanker (Sudewo, 2010).
Analisis fitokimia ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) mengandung
alkaloids, flavonoids dan tannins. Komponen fitokimia seperti flavonoids,
sterols/triterpenoids,
alkaloids dan fenol diketahui merupakan komponen
antidiabetes (Atta, 1989). Kandungan flavonoid diketahui dapat memperbaiki
kerusakan sel β pada tikus diabetes mellitus (Chakkaravarthy, et al., 1980).
Kandungan bioaktif lainnya seperti tannin pada daun sirih merah (Piper crocatum)
memiliki banyak aktivitas biologi termasuk sebagai antikanker (Okuda, et al., 1995),
antioksidan (Hagerman, et al., 1998) dan antibakteri (Cowan, 1999).
Setelah diperoleh bahan calon obat, maka selanjutnya calon obat tersebut akan
melalui serangkaian uji yang memakan waktu yang panjang dan biaya yang tidak
sedikit sebelum diresmikan sebagai obat oleh Badan pemberi izin. Biaya yang
diperlukan dari mulai isolasi atau sintesis senyawa kimia sampai diperoleh obat baru
lebih kurang US$ 500 juta per obat. Uji yang harus ditempuh oleh calon obat adalah
uji praklinik dan uji klinik (Sukandar, 2006).
Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini
diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan
toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah
pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi,
selanjutnya dipandang perlu menguji pada hewan utuh. Hewan yang baku digunakan
adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau
beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi
pengembangan obat. Hanya dengan menggunakan
hewan utuh dapat diketahui
apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau aman (Sukandar,
2006).
5
Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan
percobaan maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik). Uji pada manusia harus
diteliti dulu kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki. Uji klinis
terdiri dari 4 fase yaitu Fase I, calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk
mengetahui apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada
manusia. Fase II, calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efikasi pada penyakit
yang diobati. Fase III melibatkan kelompok besar pasien, di sini obat baru
dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah
diketahui. Fase IV, setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran
(post marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi,
berbagai usia dan ras, studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat
nilai terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat
(Sukandar, 2006).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan R.I. No. 760/Menkes/IX/1992
fitofarmaka ditakrifkan sebagai sediaan obat yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang telah
memenuhi persyaratan yang berlaku. Jadi fitofarmaka sebagai obat harus memenuhi
persyaratan fitokimiawi, adanya bukti manfaat klinis (efficacy), keamanan (safety)
dan sebagainya sesuai kriteria dan metode yang telah diharapkan. Keharusan adanya
data uji farmakologi, uji toksisitas, dan uji klinis sudah mulai diberlakukan dengan
keluarnya UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan agar obat tradisional lebih
mampu
bersaing
dengan
obat
modern
dan
secara
medik
lebih
dapat
dipertanggungjawabkan penggunaannya (Haumahu, 2011).
Secara farmakokinetik, zat yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami
absorbsi, distribusi, metabolisme dan eksresi. Ginjal merupakan organ eksresi utama
yang sangat penting untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme tubuh, termasuk zatzat toksik yang tidak sengaja masuk ke dalam tubuh. Pemberian senyawa-senyawa
yang bersifat toksik ataupun senyawa-senyawa yang bersifat iritatif dapat
6
menimbulkan perubahan-perubahan degeneratif seperti degenerasi melemak sampai
nekrosis (Katzung, 2001; Guyton, 1997). Ginjal juga sangat berperan dalam
mempertahankan homeostasis tubuh dengan menghasilkan urin serta serta sebagai
tempat untuk pembentukan renin dan eritropoetin (Junqueria dan Carniero, 1997).
Oleh karena itu ginjal berperan dalam proses eksresi suatu obat, maka apabila terjadi
gangguan fungsi ginjal, akan mengakibatkan perubahan pada farmakodinamika obat
yang disebabkan karena perubahan kadar obat dalam darah, terutama obat yang
sebagian besar dieksresi melalui ginjal (Yoshitani, 2002).
Menurut Prof. dr. Wiguno Prodjosudjadi PhD dari sub bagian Nefrologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, gula yang tinggi dalam darah akan
bereaksi dengan protein sehingga mengubah struktur dan fungsi dalam sel termasuk
membran basal glomerulus. Akibatnya, penghalang protein rusak dan terjadi
kebosoran protein ke urin (albuminuria). Hal ini berpengaruh buruk pada ginjal.
Gangguan ginjal juga akan menyebabkan fungsi ekskresi, filtrasi dan hormonal ginjal
menjadi terganggu (Maulana, 2009).
Sebagai obat untuk menurunkan kadar gula darah (antidiabetik), untuk
mengetahui penggunaan herbal ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) aman
dikonsumsi maka pada kesempatan ini penulis ingin mengetahui pengaruhnya
terhadap gangguan stuktur dilihat dari gambaran mikroskopis ginjal tikus putih
(Rattus norvegicus) yang diinduksi aloksan 120 mg/kgBB secara intraperitoneal
(Filipponi, et al., 2008).
1.1. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut: apakah pemberian ekstrak daun sirih merah berpengaruh toksik terhadap
gambaran mikroskopik ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) diabetes mellitus?
7
1.2. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) berpengaruh
toksik terhadap gambaran mikroskopik ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) diabetes
mellitus.
1.3. Manfaat Penelitian
1.3.1. Untuk memperoleh informasi ilmiah mengenai toksisitas dari ekstrak daun
sirih merah (Piper crocatum) terhadap ginjal tikus putih (Rattus norvegicus)
diabetes meliitus.
1.3.2. Sebagai bahan pertimbangan bagi para penderita diabetes mellitus dalam
memilih pengobatan.
1.4.Kerangka Konsep
Beberapa proses metabolisme dalam tubuh akibat senyawa-senyawa
xenobiotik yang dapat berupa senyawa logam berat atau radikal bebas dapat dapat
menimbulkan beberapa macam penyakit. Salah satu penyakit tersebut adalah diabetes
mellitus (Purwakusumah, 2003). Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolisme
yang disebabkan kurangnya hormon insulin. Hormon insulin dihasilkan oleh
sekelompok sel beta di kelenjar pankreas dan sangat berperan dalam metabolisme
glukosa dalam sel tubuh. Kerja insulin dapat diganggu dengan terjadinya stres
oksidatif sehingga terbentuk radikal bebas di dalam tubuh. Radikal bebas tersebut
akan menganggu kerja insulin sehingga insulin tidak maksimal menurunkan kadar
glukosa (Ceriello, 2000).
Kadar glukosa yang tinggi dalam tubuh tidak bisa diserap semua dan tidak
mengalami metabolisme dalam sel. Akibatnya, seseorang akan kekurangan energi,
sehingga mudah lelah dan berat badan terus turun. Kadar glukosa yang berlebih
tersebut dikeluarkan melalui ginjal dan dikeluarkan bersama urin. Gula memiliki sifat
menarik air sehingga menyebabkan seseorang banyak mengeluarkan urin dan selalu
merasa haus (Maulana, 2009).
8
Kandungan kimia tanaman sirih merah belum diteliti secara detil. Daun sirih
merah mengandung flavonoid, senyawa polifenolat, tanin, dan minyak atsiri
(Sudewo, 2010). Solikhah (2006) senyawa fitokimia yang terkandung dalam daun
sirih merah yakni alkaloid, saponin, dan flavonoid. Senyawa aktif alkoloid dan
flavonoid memiliki aktivitas hipoglikemik atau penurun kadar glukosa darah (Manoi,
2007).
Salah satu kandungan sirih merah yaitu flavonoid. Flavonoid merupakan salah
satu golongan fenol alam yang tersebar jumlahnya. Tumbuhan yang mengandung
flavonoid dapat digunakan untuk pengobatan sitotoksis, gangguan fungsi hati,
menghambat pendarahan, antioksidan, antihipertensi dan antiinflamasi (Farnsworth,
1996; Robinson, 1995).
Tanin adalah senyawa fenol yang tersebar luas pada tumbuhan berpembuluh
biasanya terdapat pada daun, buah, kulit kayu atau batang. Kadar tanin yang tinggi
mempunyai arti penting bagi tumbuhan yaitu untuk pertahanan bagi tumbuhan dan
membantu mengusir hewan pemakan tumbuhan. Beberapa tanin terbukti mempunyai
aktivitas antioksidan dan menghambat pertumbuhan tumor (Harborne, 1987).
Saponin merupakan glikosida yang membentuk basa dalam air. Apabila
dihidrolisis dengan asam akan menghasilkan gula dan spogenin yang sesuai, saponin
merupakan senyawa kimia aktif permukaan yang dapat dideteksi berdasarkan
kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah (Harborne, 1987).
Polifenolad merupakan senyawa fenol yang memiliki gugus –OH. Senyawa
polivenol ini adalah antioksidan yang kekuatannya 100 kali lebih efektif
dibandingkan vitamin C dan 25 kali lebih efektif dibandingkan vitamin E (Fessenden,
1989).
Menurut Achmad dalam Fitriani (1999) sejak dahulu orang mengetahui
bahwa bunga, daun dan akar dari berbagai tumbuhan mengandung bahan yang mudah
menguap dan berbau wangi yang disebut minyak atsiri. Minyak atsiri pada sirih
merah ini berfungsi sebagai antiradang dan antiseptik.
9
Antioksidan biasanya senyawa organik yang lebih mudah dioksidasi dan
karenanya dapat menghambat sifat oksidatif zat kedua itu bila ditambahkan
kepadanya (Gupte, 1990). Mardiana (2004) antioksidan adalah zat yang mampu
mematikan zat lain yang membuat sel menjadi rapuh dan mampu memperbaiki sel
yang rusak. Antioksidan merupakan senyawa penting dalam menjaga kesehatan tubuh
karena berfungsi sebagai penangkal radikal bebas yang banyak terbentuk dalam
tubuh. Selain dikonsumsi dalam bentuk makanan, antioksidan juga dimanfaatkan
untuk bagian luar tubuh.
Bahan-bahan asing yang masuk ke dalam tubuh, pada umumnya dapat
dimetabolisme melalui proses enzimatik sebagai pertahanan untuk melindungi tubuh
dari bahan-bahan kimia berbahaya. Secara simultan, bahan-bahan berbahaya hasil
buangan metabolisme tersebut diproses dan diekskresikan dalam bentuk urin yang
dikeluarkan setiap hari (Aldridge, 1993). Ginjal merupakan organ tubuh yang vital.
Hal ini disebabkan karena fungsinya untuk ekskresi sisa-sisa metabolisme tubuh
sehingga zat-zat tersebut tidak terakumulasi dan menyebabkan toksik bagi tubuh.
Proses ekskresi sisa-sisa metabolit di ginjal dapat menyebabkan kerusakan jaringan
karena keracunan akibat kontak dengan bahan-bahan tersebut (Price dan Wilson,
2005).
1.5.Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep tersebut dapat dibuat hipotesis yakni pemberian
ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) tidak berpengaruh toksik terhadap
gambaran mikroskopik ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) diabetes mellitus.
Download