BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Makroekonomi Makroekonomi adalah teori dasar kedua dalam ilmu ekonomi, setelah mikroekonomi. Teori mikroekonomi menganalisis mengenai kegiatan di dalam perekonomian dengan melihat bagian-bagian kecil dari keseluruhan kegiatan ekonomi. (Sukirno, 2011: 26) Terdapat beberapa indikator makroekonomi atau alat pengamat makroekonomi, yaitu salah satunya adalah PDB dan inflasi dan salah satu alat pengamat prestasi kegiatan ekonomi adalah dengan melihat kestabilan kurs valuta asing. Beberapa bentuk kebijakan ekonomi dapat dijalankan pemerintah untuk menangani permasalahan makroekonomi, yaitu: (Sukirno, 2011: 24) 1. Kebijakan fiskal Kebijakan fiskal meliputi langkah – langkah pemerintah untuk membuat perubahan dalam bidang perpajakan dan pengeluaran pemerintah dengan maksud untuk mempengaruhi pengeluaran agregat dalam perekonomian. Dalam masa inflasi, dimana kenaikan harga-harga semakin pesat, pajak harus dinaikkan dan pengeluaran pemerintah dikurangi. Langkah ini dilakukan untuk menurunkan pengeluaran agregat, sehingga tekanan inflasi dapat berkurang. 2. Kebijakan moneter Kebijakan moneter meliputi langkah-langkah pemerintah yang dilaksanakan oleh Bank Sentral untuk mempengaruhi penawaran uang dalam perekonomian, atau mengubah suku bunga, dengan maksud untuk mempengaruhi pengeluaran agregat. 3. Kebijakan segi penawaran Kebijakan segi penawaran bertujuan untuk mempertinggi efisiensi kegiatan perusahaan-perusahaan sehingga dapat menawarkan barangnya dengan harga yang lebih murah atau dengan mutu yang lebih baik. Salah satu kebijakan segi penawaran adalah kebijakan pendapatan (income policy), yaitu langkah pemerintah yang bertujuan untuk mengendalikan tuntutan kenaikan 15 pendapatan yang berlebihan. 16 Pemerintah akan melarang tuntutan kenaikan upah yang melebihi kenaikan produktivitas pekerja. Kebijakan ini akan menghindari kenaikan biaya produksi yang berlebihan. 2.2 Teori Perdagangan Internasional Teori perdagangan internasional terdiri dari dua kelompok, yaitu teori klasik dan teori moderen. Teori klasik atau lebih dikenal sebagai teori keunggulan absolut dari Adam Smith dan teori David Ricardo mengenai keunggulan komparatif, yang disebut juga dengan teori biaya relatif, sedangkan teori faktor proporsi dari Heckscher – Ohlin. (Helpman, 2011: 13) 2.2.1 Teori Keunggulan Absolut Teori mengenai perdagangan internasional klasik dipelopori oleh Adam Smith. Teori ini menerangkan bahwa suatu negara akan melakukan spesialisasi dan ekspor terhadap suatu jenis barang tertentu dimana negara tersebut memiliki keunggulan absolut dan tidak memproduksi atau melakukan impor terhadap jenis barang lain, dimana negara tersebut tidak mempunyai keunggulan mutlak terhadap negara lain yang memproduksi barang sejenis. Atau, suatu negara akan melakukan impor suatu jenis barang jika negara tersebut tidak dapat membuat dengan biaya produksi lebih efisien atau dengan harga jual yang lebih murah dibandingkan negara lain. Teori ini lebih menekankan kepada efisiensi penggunaan input atau faktor produksi, misalnya tenaga kerja yang dapat mempengaruhi tingkat daya saing produk. Teori ini juga memiliki penekanan pada keunggulan absolut, hal ini menjadi masalah dimana perdagangan internasional antar dua negara terjadi jika keduanya mendapatkan manfaat dari perdagangan luar negeri dan terjadi jika masing-masing negara memiliki keunggulan absolut yang berbeda. Apabila suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut, maka perdagangan internasional tidak akan terjadi. 2.2.2 Teori Keunggulan Komparatif Teori keunggulan komparatif yang dicetuskan oleh David Ricardo merupakan penyempurnaan terhadap teori keunggulan absolut. Teori ini 17 menjelaskan bahwa perdagangan antar dua negara akan terjadi apabila masing-masing negara memiliki biaya relatif lebih kecil untuk dua jenis barang yang berbeda. Kelemahan dalam teori ini adalah perdagangan internasional dapat terjadi jika terdapat perbedaan faktor produksi, yaitu produktifitas dan efisiensi. Akibatnya, terjadi perbedaan harga barang sejenis di antara dua negara. 2.2.3 Teori Heckscher – Ohlin Teori ini menekankan pada perbedaan opportunity cost suatu produk antara satu negara dengan negara lain dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masingmasing negara. Faktor tersebut seperti tenaga kerja, tekhnologi, lahan, dll. Suatu negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor yang relatif sedikit dan mahal dalam memproduksinya. Implikasi dari Heckscher Ohlin ini adalah perdagangan internasional tidak akan terjadi jika jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara relatif sama, sehingga harga barang yang sejenis akan sama pula. 2.2.4 Teori Impor Impor dapat diartikan sebagai memasukkan barang atau jasa yang dihasilkan dari luar negeri ke negara lain dengan mengikuti ketentuan yang berlaku. Tinggi rendahnya nilai impor sangat ditentukan oleh kemampuan produsen dalam negeri dalam menghasilkan barang yang dibutuhkan masyarakat. Apabila produksi barang dan jasa luar negeri memiliki kualitas baik dengan harga yang lebih murah, maka kecenderungan impor barang atau jasa dari negara lain akan tinggi. Impor dapat dikatakan baik jika kegiatan impor dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak dipenuhi oleh produsen lokal. Di sisi lain, kegiatan impor dapat mematikan produk sejenis dalam negeri sendiri. Pada prinsipnya, impor suatu produk terjadi karena tiga alasan. Pertama, produksi dalam negeri terbatas, sedangkan permintaan domestik 18 tinggi (kelebihan permintaan pasar domestik). Keterbatasan produksi dalam negeri dapat terjadi karena dua hal yaitu kapasitas produksi yang terbatas, misalnya lahan yang terbatas atau karena keterbatasan yang disebabkan oleh dana dan kurangnya tenaga kerja. Kedua, impor lebih murah dibandingkan dengan harga produk sendiri, yang dikarenakan berbagai faktor, seperti ekonomi biaya tinggi atau tingkat efisiensi yang rendah dalam produksi dalam negeri, atau dapat juga kualitas produk impor lebih baik dengan harga yang relatif sama. Ketiga, dilihat dari sisi neraca perdagangan (atau neraca pembayaran), impor lebih menguntungkan karena produksi dalam negeri bisa dimaksimalkan untuk kegiatan ekspor, karena harga di pasar luar negeri lebih tinggi daripada harga impor yang harus dibayar. (M. Azhar, 2013) Faktor – faktor dalam kegiatan impor suatu barang dapat dilihat dari aspek permintaan dan penawaran. Permintaan adalah jumlah barang dan jasa yang diminta oleh seseorang atau konsumen atau pembeli pada waktu tertentu, pada tingkat harga tertentu. Teori permintaan menjelaskan hubungan antara jumlah barang yang diminta dengan suatu tingkat harga. Hukum permintaan adalah “jika harga suatu barang naik maka permintaan barang akan turun”. Hubungan yang terjadi antara jumlah barang yang diminta atau biasa disebut sebagai demand dengan suatu tingkat harga, dapat digambarkan dengan kurva permintaan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan, yaitu faktor harga, pendapatan pembeli, selera masyarakat dan jumlah penduduk. Sedangkan, penawaran merupakan keinginan para penjual dalam menawarkan barangnya pada berbagai tingkat harga yang ditentukan oleh faktor harga barang itu sendiri, harga barang lain, biaya produksi, tujuan operasi perusahaan dan tingkat tekhnologi yang digunakan. 2.3 Produk Domestik Bruto (PDB) Pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan produksi barang dan jasa dalam masyarakat bertambah serta kemakmuran masyarakat meningkat dalam jangka waktu yang panjang (Untoro dalam Purnamasari, 2011:10). Pertumbuhan ekonomi 19 merupakan gambaran dari keadaan suatu masyarakat di daerah tertentu, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara, maka dapat disimpulkan bahwa keadaan ekonomi suatu negara tersebut baik, sedangkan apabila pertumbuhan ekonomi suatu negara rendah, maka hal tersebut dapat menggambarkan keadaan ekonomi negara tersebut buruk. Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan proses dari kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan salah satu konsep yang paling penting jika dibandingkan dengan konsep pendapatan nasional lainnya. PDB dapat diartikan sebagai nilai barang dan jasa yang diproduksikan di dalam suatu negara pada periode tertentu. Dalam suatu perekonomian, terdapat barang dan jasa yang diproduksi bukan hanya berasal dari produsen lokal, namun juga dari luar negeri. Berkaitan dengan hal ini, faktor produksi dari luar negeri mempengaruhi produksi nasional. PDB atau Gross Domestic Product juga dapat diartikan sebagai nilai barang dan jasa dalam suatu negara yang diproduksikan oleh faktor-faktor produksi milik negara tersebut dan negara asing. (Sukirno, 2011: 35) PDB menghitung nilai barang dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah negara tanpa membedakan kewarganegaraan pada periode tertentu. PDB sangat mempengaruhi pola konsumsi masyarakat di negara berkembang, seiring peningkatan pola konsumsi, maka impor akan cenderung meningkat. Hal semacam ini diakibatkan oleh tingkat produktifitas suatu negara yang belum mampu melakukan pemenuhan seluruh kebutuhan masyarakat (Nanga, 2005:9) Nopirin (2009:148) berpendapat bahwa, semakin tinggi tingkat PDB (Produk Domestik Bruto), maka semakin besar kemungkinan untuk pengimporan suatu barang. 2.3.1 Komponen Produk Domestik Bruto (PDB) Komponen – komponen dalam Produk Domestik Bruto (PDB) adalah sebagai berikut: (Sukirno, 2011:38) 1. Konsumsi rumah tangga (C), nilai perbelanjaan yang dilakukan oleh rumah tangga untuk membeli berbagai jenis kebutuhan dalam satu tahun tertentu disebut sebagai pengeluaran konsumsi rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga akan digunakan untuk membeli makanan, pakaian, jasa pengangkutan, pendidikan anak, sewa 20 rumah, dll. Barang – barang tersebut dibeli rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya dan perbelanjaan tersebut dinamakan konsumsi, yaitu pembelian barang dan jasa untuk memuaskan keinginan memiliki dan menggunakan barang tersebut. Namun, tidak semua transaksi yang dilakukan oleh rumah tangga digolongkan sebagai konsumsi (rumah tangga), yaitu kegiatan yang berhubungan dengan investasi. Investasi dapat berupa pembelian rumah, pembayaran asuransi, dll. 2. Pengeluaran pemerintah (G), yaitu pembelian barang oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat. Pengeluaran pemerintah dibagi menjadi dua yaitu konsumsi pemerintah dan investasi pemerintah. Konsumsi pemerintah dapat berupa pembelian atas barang dan jasa yang akan dikonsumsikan, seperti pembelian bensin untuk kendaraan pemerintah, membayar gaji guru di sekolah, dll. Sedangkan investasi pemerintah meliputi pengeluaran untuk pembangunan prasarana seperti jalan, sekolah, rumah sakit, dan irigasi. 3. Pembentukan modal tetap sektor swasta (I), yaitu pengeluaran untuk membeli barang modal yang dapat menaikkan produksi barang dan jasa di masa depan. Investasi dapat berupa pembangunan gedung perkantoran, dan mendirikan bangunan industri. 4. Ekspor neto (NX), yaitu nilai ekspor yang dilakukan suatu negara dalam suatu tahun tertentu, dikurangi dengan nilai impor dalam periode yang sama. Ekspor suatu negara, seluruh maupun sebagian dari nilainya, merupakan barang dan jasa yang dihasilkan dalam negeri. Barang impor merupakan produksi dari negara lain, oleh sebab itu impor tidak perlu dihitung ke dalam pendapatan nasional. Akan tetapi, hal ini kaitannya dengan barang impor jadi. Produksi dalam negeri masih membutuhkan barang impor yang masih mentah atau sifatnya sebagai pendukung, maka dari itu tingginya Produk Domestik Bruto (PDB) juga meningkatkan nilai impor bahan mentah. Sehingga terdapat hubungan tidak langsung antara Produk Domestik Bruto (PDB) dan nilai impor bahan mentah. 21 Secara matematika, perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) dapat dirumuskan sebagai berikut: Y = C + I + G + NX 2.4 Kurs Kurs valuta asing adalah salah satu alat pengukur yang selalu digunakan untuk menilai keteguhan suatu kondisi ekonomi melalui perbandingan nilai mata uang asing dengan nilai mata uang domestik. Kurs ini digunakan untuk mengetahui banyaknya uang domestik yang dibutuhkan untuk membeli satu unit valuta asing tertentu. Secara singkat, kurs dapat dianggap sebagai harga dari suatu mata uang asing. (Sukirno, 2011: 21) Kurs valuta asing juga dapat didefinisikan sebagai pertukaran antara dua mata uang yang berbeda, yaitu merupakan perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uang tersebut. Triyono (2008) Penentuan nilai kurs juga erat kaitannya dengan permintaan dan penawaran mata uang yang bersangkutan, jika permintaan rupiah lebih banyak maka kurs akan terapresiasi, dan juga sebaliknya. Apresiasi atau depresiasi akan terjadi jika suatu negara menganut kebijakan free floating exchange rate sehingga nilai tukar ditentukan oleh mekanisme pasar tanpa adanya campur tangan dari pemerintah dalam upaya stabilisasi melalui kebijakan moneter, akibatnya pergerakan nilai tukar rupiah menjadi sangat rentan oleh faktor ekonomi dan non ekonomi. Kuncoro (2011). 2.4.1 Kurs Nominal dan Kurs Riil Dalam teori ekonomi, terdapat dua jenis kurs yaitu: kurs nominal dan kurs riil. Kurs Nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara. sebagai contoh, jika kurs antara dollar AS dan yen Jepang adalah 150 yen per dolar, maka kita bisa menukar 1 dolar untuk 150 yen di pasar dunia untuk mata uang asing. Orang Jepang yang ingin mendapatkan dollar akan membayar 150 yen untuk setiap dollar yang dibelinya, dan orang Amerika yang ingin mendapatkan 150 yen untuk setiap dollar yang ia bayar. Jika kurs tukar nominal sebuah negara, misalnya yen, mengalami depresiasi (penurunan nilai), terhadap kurs 22 tukar negara lain, misalnya US$ maka yen akan menjadi murah bagi penduduk negara Amerika. Hal ini akan memicu ekspor dari Jepang ke Amerika meningkat, sedangkan impor dari Amerika ke Jepang menurun. Namun, kurs tukar riil berbeda dengan kurs nominal, kurs tukar riil yaitu kurs tukar efektif setelah memperhitungkan inflasi. Misalnya, terjadi inflasi besar-besaran di Jepang sebesar 120%, sementara tidak terjadi inflasi di Amerika. Inflasi di Jepang ini akan menaikkan hargaharga barang di Jepang. Sementara itu harga barang – barang di Amerika masih tetap. Maka Jepang akan tetap mengimpor dari Amerika karena harga barang buatan Amerika tetap lebih murah, sedangkan ekspor Jepang ke Amerika akan cenderung turun. 2.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Kurs Perubahan nilai kurs dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (Sukirno, 2011: 402) 1. Perubahan dalam citarasa masyarakat Perubahan citarasa dalam masyarakat mempengaruhi tingkat konsumsi. Perubahan citarasa ini dapat meningkatkan dan menurunkan nilai impor. Dengan adanya perubahan citarasa ini, dapat menimbulkan efek perbaikan kualitas barang impor maupun dalam negeri. Perubahan-perubahan ini akan berdampak pada permintaan dan penawaran valuta asing. 2. Perubahan harga barang ekspor dan impor Semakin tinggi harga barang ekspor dan impor maka nilai ekspor dan impor suatu barang akan semakin rendah, dan sebaliknya. Dengan demikian, perubahan harga barang ekspor dan impor akan mempengaruhi tingkat penawaran dan permintaan kurs mata uang negara tersebut. 3. Kenaikan harga umum (inflasi) Kenaikan harga umum atau inflasi dapat menjadi salah satu faktor yang pengaruhnya besar terhadap nilai kurs mata uang. Dengan adanya inflasi, maka: - Terdapat kecenderungan impor yang lebih besar karena harga barang di dalam negeri lebih tinggi daripada luar negeri. 23 Keadaan ini menyebabkan permintaan kurs mata uang asing bertambah. - Terdapat kecenderungan pengurangan ekspor karena biaya produk dalam negeri lebih tinggi. Keadaan yang demikian menyebabkan harga mata uang negara yang mengalami inflasi menjadi merosot. 4. Perubahan suku bunga dan tingkat pengembalian investasi Suku bunga dan tingkat pengembalian investasi yang rendah cenderung menyebabkan modal dalam negeri mengalir ke luar negeri. Sedangkan suku bunga dan tingkat pengembalian investasi yang tinggi akan menyebabkan modal luar negeri masuk ke negara tersebut. Dengan demikian, semakin banyak modal yang mengalir ke suatu negara, permintaan mata uang negara tersebut akan bertambah, dengan demikian nilai mata uang tersebut akan bertambah, dan sebaliknya. 2.4.3 Kebijakan Pemerintah dalam Ekonomi Terbuka Dalam perekonomian terbuka, masalah yang harus diperhatikan adalah masalah inflasi dan pengangguran. Tak hanya demikian, dalam perekonomian terbuka pemerintah harus memperhatikan dampak dari adanya kebijakan yang dirumusukan untuk mengatasi masalah tersebut terhadap neraca pembayaran dan kurs valuta asing. Defisit dalam neraca pembayaran menyebabkan terpuruknya nilai mata uang suatu negara. Terdapat dua kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu: (Sukirno, 2011:405) 1. Kebijakan memindahkan perbelanjaan Kebijakan memindahkan perbelanjaan adalah langkah yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah defisit dalam neraca pembayaran, dengan dampak peningkatan ekspor dan pengurangan impor. Langkah kebijakan ini adalah sebagai berikut: i. Melakukan pembatasan impor Pembatasan impor dapat dilaksanakan dengan beberapa kebijakan impor, yaitu peningkatan tarif, pembatasan kuota, dll. 24 ii. Menekan (mengurangi penggunaan valuta asing) Pemerintah melalui bank sentral melakukan pembatasan dalam penggunaan valuta asing. Penggunaan valuta asing kegunaannya diutamakan dalam impor barang keperluan pokok dan bahan mentah sektor industri. iii. Menurunkan nilai mata uang (devaluasi) Devaluasi adalah sebuah tindakan pemerintah yang menurunkan nilai mata uangnya terhadap mata uang asing. Devaluasi biasa dilakukan oleh negara yang menjalankan sistem kurs pertukaran tetap. Beberapa efek yang akan ditimbulkan oleh devaluasi adalah sebagai berikut: - Ekspor akan bertambah, karena di pasaran luar negeri ekspor negara menjadi lebih murah - Impor berkurang, karena barang luar negeri akan menjadi lebih mahal. - Kenaikan ekspor dan penurunan impor akan memperbaiki neraca pembayaran sehingga pendapatan nasional akan meningkat, tentunya hal ini juga mendorong investasi. 2. Kebijakan Pengurangan Perbelanjaan Kebijakan pengurangan perbelanjaan yaitu adalah langkah pemerinyah untuk mengatasi masalah keuangan dalam neraca pembayaran dengan mengurangi perbelanjaan agregat dan tingkat kegiatan ekonomi di suatu negara. Kebijakan ini dapat dilakukan dengan langkah berikut: i. Menaikkan pajak pendapatan, tentunya pajak ini akan mengurangi pendapatan disposebel dan konsumsi rumah tangga ii. Menaikkan suku bunga dan menurunkan penawaran uang, hal ini dapat dicapai dengan menjalankan kebijakan moneter, misal dengan menaikkan tingkat cadangan minimum dan menaikkan suku bank (suku diskonto). Pengurangan penawaran uang dan suku bunga yang tinggi akan 25 mempengaruhi investasi yang selanjutnya akan mengurangi pengeluaran agregat. iii. Mengurangi pengeluaran pemerintah, oleh karena pengeluaran pemerintah adalah sebagian dari pengeluaran agregat, maka pengeluaran pemerintah dapat mengurangi pengeluaran agregat. 2.5 Teori Inflasi Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah sebuah peristiwa yang mempengaruhi perekonomian suatu negara melalui proses meningkatnya harga-harga secara umum dan berkelanjutan, serta berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu konsumsi masyarakat yang tinggi. Tingkat inflasi ini berbeda dari satu periode ke periode lainnya, berbeda pula dari negara satu ke negara lainnya. Inflasi adalah kecenderungan dari harga untuk naik secara umum dan terus menerus. Namun, apabila terjadi kenaikan harga pada satu atau dua barang saja, hal tersebut tidak dapat disebut sebagai inflasi, kecuali apabila kenaikan tersebut meluas dan menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain (Boediono, 2013). Inflasi dapat menimbulkan beberapa akibat buruk kepada individu, masyarakat dan kegiatan perekonomian suatu negara secara keseluruhan. Akibat buruk yang dapat dirasakan adalah menurunkan taraf kemakmuran masyarakat secara garis besar. Prospek pembangunan ekonomi jangka panjang akan menjadi semakin memburuk sekiranya inflasi tidak secepatnya ditangani. Inflasi yang bertambah serius akan cenderung mengurangi investasi yang produktif, mengurangi tingkat ekspor dan meningkatkan nilai impor. Tingkat inflasi yang meningkat tiba-tiba adalah wujud dari suatu peristiwa tertentu yang sangat besar atau di luar ekspektasi pemerintah, misalnya efek dari pengurangan nilai uang (depresiasi nilai uang) yang sangat besar atau ketidak stabilan politik. (Sukirno, 2011: 333) 26 2.5.1 Jenis Inflasi 1. Jenis Inflasi Menurut Sifat Berdasarkan tingkat kelajuan kenaikan harga yang berlaku, inflasi dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: (Sukirno, 2011:337) i. Inflasi Merayap (creeping inflation) Inflasi merayap ditandai dengan laju inflasi yang rendah yaitu kurang dari 10% per tahun. Kenaikan harga berjalan secara lambat, dengan persentasi yang kecil, dalam jangka waktu yang relatif lama. ii. Inflasi Sederhana (moderate inflation) Inflasi sederhana adalah inflasi dengan tingkat rata-rata sebesar 5-10%. Inflasi ini terjadi tidak berlangsung cepat, akan tetapi juga tidak berlangsung lamban. Contohnya di beberapa negara berkembang, adakalanya tingkat inflasi tidak mudah dikendalikan, namun keadaan ekonomi negara juga tidak mampu menurunkan inflasi ke tingkat rendah. Inflasi sederhana terjadi lebih cepat jika dibandingkan dengan inflasi merayap, penambahan persentase inflasi dapat terjadi dalam hitungan minggu, maupun bulan. iii. Inflasi Tinggi (hyper inflation) Inflasi tinggi atau hiperinflasi adalah suatu jenis inflasi dengan tingkat paling parah, inflasi jenis ini tidak mudah dikendalikan. Hal ini ditandai dengan kenaikan harga diatas 100% dan nilai uang merosot dengan tajam. Hiperinflasi menyebabkan tingkat harga naik dua atau beberapa kali lipat pada waktu yang singkat. Hiperinflasi sering terjadi ketika suatu negara menghadapi peperangan atau kekacauan politik di dalam negeri. Beberapa menghadapi cara hiperinflasi yang dilakukan pemerintah adalah mengendalikan harga (menetapkan harga maksimum), membuat peraturan yang melarang menyimpanan barang, serta memberikan subsidi kepada produsen. 27 Di Indonesia, pernah mengalami hiperinflasi yang terjadi pada tahun 1955. Defisit negara yang semula sebesar 14% membengkak menjadi 175% dikarenakan propaganda politik, pemadaman aksi militer di beberapa daerah seperti di Irian Barat. Pada tahun 1964, Indonesia juga mengalami hiperinflasi sebesar 109% yang diakibatkan oleh adanya mata uang yang berbeda di daerah Riau dan Papua. 2. Jenis Inflasi Menurut Sebab Terjadi Sebab terjadinya inflasi dibagi menjadi 3, yaitu: (Sukirno, 2011:333) i. Inflasi Tarikan Permintaan Inflasi ini terjadi karena adanya kenaikan permintaan total (aggregate demand) pada masa perekonomian yang berkembang dengan pesat. Dengan perekonomian yang berkembang dengan pesat, hal ini meningkatkan pendapatan yang selanjutnya akan menimbulkan pengeluaran yang melebihi kemampuan ekonomi mengeluarkan barang dan jasa. Tingkat pengeluaran yang berlebihan akan menimbulkan terjadinya inflasi. Gambar 2.1 dapat digunakan untuk menerangkan terjadinya inflasi tarikan permintaan. Gambar 2.1 Inflasi Tarikan Permintaan 1 28 Sumber: adaptasi dari Sukirno, 2011: 333 Kurva AS adalah penawaran agregat dalam ekonomi, sedangkan AD1, AD2, AD3 adalah permintaan agregat. Pada mulanya, permintaan agregat adalah AD1, maka pendapatan nasional adalah Y1, serta tingkat harga adalah P1. Perekonomian yang terus berkembang pesat mendorong kenaikan permintaan mengakibatkan agregat pendapatan menjadi nasional AD2, hal mencapai ini tingkat kesempatan kerja penuh yaitu YF. Kenaikan permintaan agregat ini menyebabkan harga naik dari P1 ke PF. Kondisi ini sudah membuktikkan adanya inflasi. Apabila masyarakat masih tetap menambah pengeluarannya, maka permintaan agregat menjadi AD3. Maka dari itu pendapatan nasional riil meningkat dari YF menjadi Y2, serta menyebabkan kenaikan harga yang lebih cepat, yaitu PF menjadi P2. Inflasi tarikan permintaan juga dapat terjadi pada masa perang atau ketidakstabilan politik. Dalam masa seperti ini pemerintah akan berbelanja jauh melebihi pajak yang dipungutnya. Untuk membiayai belanja tersebut maka pemerintah terpaksa melakukan pencetakan uang atau meminjam dari bank sentral. Pengeluaran pemerintah yang berlebihan ini akan menimbulkan permintaan agregat melebihi kemampuan ekonomi dalam penyediaan barang dan jasa. Tentunya hal ini juga menimbulkan inflasi. ii. Inflasi Desakan Biaya (Cost Push Inflation) Inflasi desakan biaya terjadi jika perekonomian berkembang pesat, ketika tingkat pengangguran sangat rendah. Apabila perusahaan masih menghadapi permintaan yang bertambah, mereka akan berusaha menaikkan produksi dengan cara memberikan gaji dan upah yang lebih tinggi kepada karyawan, serta karyawan baru dengan tawaran gaji 29 yang lebih tinggi. Hal ini meningkatkan biaya produksi, hingga pada akhirnya akan menyebabkan kenaikan harga berbagai barang. Gambar 2.2 Inflasi Desakan Biaya 2 Sumber: adaptasi dari Sukirno, 2011: 335 Gambar 2.2 menerangkan mengenai inflasi desakan biaya. Kurva AS1, AS2 dan AS3 adalah kurva penawaran agregat, sedangkan kurva AD adalah permintaan agregat. Kondisi pertama dijelaskan pada AS1, sehingga pada mulanya keseimbangan ekonomi negara tercapai pada pendapatan nasional Y1, kondisi ini mencerminkan pendapatan nasional pada kesempatan kerja penuh, serta harga berada pada tingkat P1. Pada tingkat kesempatan kerja yang tinggi, perusahaan-perusahaan sangat memerlukan tenaga kerja. Keadaan ini cenderung akan meningkatkan upah dan gaji, karena: - Perusahaan berusaha mencegah berpindahnya para tenaga kerja dengan cara menaikkan upah. - Perusahaan berusaha untuk memeroleh pekerja tambahan dengan cara menawarkan upah dan gaji yang lebih tinggi. 30 Kenaikan upah akan meningkatkan biaya produksi, sehingga hal ini akan menggerakkan penawaran agregat keatas, yaitu AS1 menjadi AS2. Akibatnya, tingkat harga naik dari P1 menjadi P2. Harga barang yang tinggi akan mendorong karyawan menuntut kenaikan upah, maka biaya produksi akan semakin meningkat. Hingga hal ini akan menyebabkan kurva penawaran agregat bergerak dari AS2 menjadi AS3. Pergerakan kurva ini menaikkan harga dari P2 menjadi P3. Proses kenaikan harga barang yang disebabkan oleh kenaikan upah dan kenaikan penawaran agregat, akan menyebabkan pendapatan nasional riil terus mengalami penurunan, yaitu dari YF (atau Y1) menjadi Y2 dan Y3. Dengan demikian, akibat dari kenaikan upah akan menyebabkan kegiatan ekonomi menurun dibawah tingkat kesempatan kerja penuh. Dalam analisis diatas, dikondisikan apabila kenaikan upah tidak menyebabkan kenaikan dalam permintaan agregat. Namun dalam prakteknya, kenaikan upah mungkin juga diikuti oleh kenaikan dalam permintaan agregat riil. Apabila keadaan ini berlaku, maka harga akan naik semakin cepat dan kesempatan kerja tidak mengalami penurunan. Andaikan setelah AS1 menjadi AS2, lalu perubahan permintaan agregat berubah dari AD ke AD1, maka akibat dari perubahan ini adalah kesempatan kerja penuh tetap tercapai, namun tingkat harga lebih tinggi dari P2. Apabila proses kenaikan upah baru berlaku, penawaran agregat akan bergerak dari AS2 ke AS3. Jika hal ini diikuti oleh kenaikan permintaan agregat menjadi AD2, maka tingkat kesempatan kerja penuh masih tetap tercapai, namun harga-harga akan mencapai tingkat yang lebih tinggi yaitu dari P3 menjadi P4. iii. Inflasi Diimpor Inflasi dapat juga bersumber dari kenaikan harga-harga yang diimpor. Inflasi akan terwujud apabila barang-barang impor yang memiliki peranan penting bagi perusahaan. 31 Dengan adanya kenaikan harga barang impor yang memiliki peranan penting untuk perusahaan akan menyebabkan stagflasi. Pada tahun 1997, keadaan stagflasi dialami oleh Indonesia sebagai dampak dari krisis ekonomi di Asia. Pada tahun berikutnya, pendapatan nasional Indonesia mengalami penurunan sebesar 13%, tingkat pengangguran tinggi, serta tingkat inflasi berada pada level lebih dari 70%. Stagflasi ini terjadi sebagai akibat dari merosotnya nilai mata uang rupiah serta ketidakstabilan politik yang ditimbulkan oleh penurunan nilai mata uang rupiah yang drastis tersebut. Gambar 2.3 Inflasi Diimpor 3 Sumber: diadaptasi dari Sukirno, 2011: 337 Pada Gambar 2.3, dapat ditunjukkan mengenai wujud stagflasi sebagai akibat dari inflasi diimpor dan penurunan nilai mata uang. Permintaan agregat adalah AD, sedangkan penawaran agregat pada kondisi pertama adalah AS1. Pendapatan menunjukkan nasional adalah pendapatan Y1. nasional Pada gambar dicapai di 2.4, bawah pendapatan pada kesempatan kerja penuh (YF), maka tingkat pengangguran tinggi. 32 Kenaikan harga barang impor yang mendukung kegiatan industri sebuah perusahaan akan meningkatkan biaya produksi, hal ini akan menyebabkan pergerakan kurva dari AS1 menjadi AS2. Sehingga pendapatan menurun dari Y1 ke Y2 sedangkan harga naik dari P1 menjadi P2. Hal ini menunjukkan keadaan ekonomi yang memburuk secara serentak, dimana terjadi tingkat pengangguran yang tinggi, bersamaan dengan kenaikan harga yang cepat, serta kegiatan ekonomi semakin menurun. Hal inilah yang disebut sebagai stagflasi. 2.5.2 Efek Buruk Inflasi Tingkat inflasi yang tinggi akan mengganggu perkembangan ekonomi. Biaya yang naik terus menerus menyebabkan kegiatan produksi menjadi tidak menguntungkan, sehingga pemiliki modal biasanya lebih suka menggunakan hartanya untuk tujuan spekulasi, seperti pembelian tanah, rumah dan bangunan. Oleh karena pengusaha lebih suka menjalankan kegiatan investasi yang bersifat demikian, hal ini akan membuat kegiatan ekonomi menurun, sehingga pengangguran akan meningkat. Kenaikan harga juga menimbulkan efek buruk ke perdagangan. Kenaikan harga barang dalam negeri menyebabkan harga jual produk tersebut tidak dapat bersaing di pasar internasional, dengan demikian tingkat ekspor akan menurun, dan sebaliknya, harga barang impor akan menjadi terlihat semakin murah karena barang tersebut diimpor dari negara yang tingkat inflasi nya rendah. (Sukirno, 2011: 339) 33 2.6 Kerangka Pikir Gambar 2.4 Kerangka Pikir 4 Sumber: Peneliti, 2016 2.7 Hipotesis Berdasarkan kerangka pikir diatas, maka berikut adalah hipotesisnya: 1. H0: Tidak terdapat pengaruh antara PDB terhadap volume impor baja CRC di PT. Handy Mandiri Steel. H1: Terdapat pengaruh antara PDB terhadap volume impor baja CRC di PT. Handy Mandiri Steel. 2. H0: Tidak terdapat pengaruh antara kurs dollar AS terhadap volume impor baja CRC di PT. Handy Mandiri Steel. 34 H1: Terdapat pengaruh antara kurs dollar AS terhadap volume impor baja CRC di PT. Handy Mandiri Steel. 3. H0: Tidak terdapat pengaruh antara inflasi terhadap terhadap volume impor baja CRC di PT. Handy Mandiri Steel. H1: Terdapat pengaruh antara inflasi terhadap terhadap volume impor baja CRC di PT. Handy Mandiri Steel. 4. H0: Tidak terdapat pengaruh antara PDB dan kurs dollar AS terhadap volume impor baja CRC di PT. Handy Mandiri Steel. H4: Terdapat pengaruh antara PDB dan kurs dollar AS terhadap volume impor baja CRC di PT. Handy Mandiri Steel. 5. H0: Tidak terdapat pengaruh antara PDB dan inflasi terhadap volume impor baja CRC di PT. Handy Mandiri Steel. H5: Terdapat pengaruh antara PDB dan inflasi terhadap volume impor baja CRC di PT. Handy Mandiri Steel. 6. H0: Tidak terdapat pengaruh antara kurs dollar AS dan inflasi terhadap volume impor baja CRC di PT. Handy Mandiri Steel. H6: Terdapat pengaruh antara kurs dollar AS dan inflasi terhadap volume impor baja CRC di PT. Handy Mandiri Steel. 7. H0: Tidak terdapat pengaruh antara PDB, kurs dollar AS dan inflasi terhadap volume impor baja CRC di PT. Handy Mandiri Steel. H7: Terdapat pengaruh antara PDB, kurs dollar AS dan inflasi terhadap volume impor baja CRC di PT. Handy Mandiri Steel. 35