BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Instrumen keuangan adalah suatu kontrak yang menambah nilai aset keuangan suatu entitas dan kewajiban keuangan atau instrumen ekuitas dari entitas lain (IAI, 2012). Ada beberapa instrumen keuangan banyak digunakan oleh perusahaan seperti perdagangan piutang dagang, obligasi, saham biasa dan saham preferen. Tetapi ada beberapa instrumen lain yang sangat kompleks dan penggunaan instrumen tersebut digunakan oleh manajer untuk kepentingan pajak, untuk melakukan lindung nilai aset atau liabilitas dari suatu entitas terhadap risiko pasar seperti suku bunga, dan lindung nilai valuta asing dan digunakan untuk membuat laporan keuangan agar terlihat baik (Wolk et al.,2013). Pasar global telah berubah secara pesat yang mengakibatkan perkembangan perdagangan internasional seperti impor, ekspor, dan aktivitas pasar modal semakin dinamis sehingga dapat meningkatkan tingkat risiko pada perusahaan dan investor. Salah satu risiko yang paling penting yang terkait dengan perdagangan internasional dan investasi adalah ketidakpastian tentang masa depan nilai tukar mata uang asing dan tingkat suku bunga. Perubahan di pasar keuangan global dan terkait inovasi keuangan telah menyebabkan meningkatnya penggunaan instrumen keuangan untuk mengurangi risiko dengan cara lindung nilai yang timbul dari perubahan kedua nilai 1 2 tukar dan suku bunga. Masalah utama dengan instrumen ini adalah standar akuntansi tidak terus berpacu dengan perubahan. Bagaimanapun sangat penting untuk meningkatkan informasi keuangan tentang derivatif dan kegiatan terkait (Wilson et al., 1997). Pada laporan posisi keuangan bank umum hampir seluruhnya terdiri dari instrumen keuangan. Pengukuran nilai wajar dari instrumen keuangan seperti investasi yang dimiliki hingga jatuh tempo, pinjaman kredit, tabungan deposito, kewajiban keuangan lainnya dan bermacam-macam jenis dari derivatif keuangan akan menghasilkan keuntungan dan kerugian yang belum direalisasi yang merupakan bagian dari operasional bank dan strategi risiko manajemen (Hodder et al., 2006). Oleh karena itu diperlukan adanya peraturan yang mengatur tentang instrumen keuangan agar dapat memberikan informasi yang menggambarkan kinerja entitas dan bermanfaat bagi para pengguna laporan keuangan didalam pengambilan keputusan. Agar bermanfaat, informasi akuntansi harus relevan untuk memenuhi kebutuhan pengguna laporan keuangan (investor, kreditor, dan calon kreditor) dalam proses pengambilan keputusan. Informasi memiliki kualitas relevan kalau dapat memengaruhi keputusan ekonomi pengguna laporan keuangan dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini atau masa depan, menegaskan, atau mengoreksi, hasil evaluasi pengguna di masa lalu. Misalnya ketika pengguna laporan keuangan berusaha meramalkan kemampuan entitas dalam memanfaatkan peluang dan bereaksi dalam situasi yang merugikan (IAI, 2012). Sehingga pada proses penyajian dan pengungkapan instrumen keuangan harus sesuai dengan 3 standar-standar akuntansi yang berlaku yaitu PSAK No.50 tentang penyajian instrumen keuangan, PSAK No.55 tentang pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan dan PSAK No. 60 tentang pengungkapan instrumen keuangan. Akuntansi untuk instrumen keuangan diatur dalam IAS 39 (Instrumen Keuangan: Pengakuan and Pengukuran), IAS 32 (Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan) dan IFRS (Instrumen Keuangan : Pengungkapan) (Oktavia dkk, 2014). Sedangkan di Indonesia akuntansi untuk instrumen keuangan diatur dalam PSAK 50 (revisi 2010) yang merupakan turunan dari IAS 32, PSAK 55 (revisi 2011) yang merupakan turunan dari IAS 39 dan PSAK 60 merupakan adopsi dari IFRS 7. Pada Januari 2010, peraturan mengenai instrumen ini efektif diterapkan setelah sebelumnya ditunda. Tanggal efektif tersebut tertuang dalam surat dari Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) surat No.1705/DSAK/IAI/12/2008 tentang Pengumuman Perubahan Tanggal Efektif PSAK No. 50 (revisi 2006) dan PSAK No. 55 (revisi 2006) tertanggal 30 Desember 2008. Namun selanjutnya PSAK ini direvisi kembali yang akhirnya diterbitkan PSAK No. 50 (revisi 2010) telah disahkan pada tanggal 26 November 2010, PSAK No. 55 (revisi 2011) telah disahkan pada tanggal 26 Januari 2011 dan PSAK No.60 yang disahkan pada tanggal 26 November 2010 (Oktavia dkk, 2014). Karena adanya perubahan terhadap Pernyataan Standar Akuntansi yang mengatur tentang instrumen keuangan. Sehingga menyebabkan terdapat beberapa perbedaan antara PSAK No. 50 dan PSAK No. 55 (revisi 2006) dengan PSAK No. 50 (revisi 2010), PSAK No. 55 (revisi 2011) dan PSAK No. 60 yaitu tentang reklasifikasi dari 4 diukur pada nilai wajar melalui laba rugi ke pinjaman yang diberikan dan piutang dan reklasifikasi dari tersedia untuk dijual ke pinjaman yang diberikan dan piutang. Tetapi di dalam penelitian ini juga menyoroti tentang perubahan terkait dengan pengungkapan aset atau liabilitas keuangan yang diukur pada nilai wajar, pengungkapkan jumlah reklasifikasi ke dan dari setiap kategori dan alasan reklasifikasi serta pengungkapan pengukuran nilai wajar (IAI, 2012). Di dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan PSAK 55 (revisi 2011) mengenai pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan pada paragraf PA 87 yang menyatakan bahwa harga penawaran terkini berlaku biasanya merupakan harga yang sesuai untuk digunakan dalam pengukuran nilai wajar aset yang dimiliki. Menurut Kornel (2014) mengatakan bahwa beberapa tahun terakhir mengalami pergeseran dalam pengukuran akuntansi yang didorong oleh langkah-langkah berbasis pasar, terutama dalam hal instrumen keuangan. Penggunaan akuntansi nilai wajar telah tumbuh berkembang dalam pelaporan keuangan dalam dekade terakhir. Gerakan menuju konvergensi akuntansi global telah menjadi kekuatan pendorong di belakang peningkatan penggunaan nilai wajar instrumen keuangan seperti derivatif keuangan. Hal ini sesuai dengan pendapat yang ada pada penelitian Rayman (2007), penggunaan pengukuran nilai wajar dalam instrumen keuangan supaya dapat meningkatkan kerangka konseptual untuk pelaporan keuangan yang lebih baik pada sistem akuntansi konvensional dapat melalui penggunaan pengukuran nilai wajar. Sedangkan menurut Hitz (2007) mengatakan bahwa penggunaan metode pengukuran yang jauh lebih didasarkan pada nilai wajar dan bukan pada nilai buku, 5 karena dalam rangka untuk meningkatkan kegunaan laporan keuangan perusahaan. Selain itu IASB dan FASB mempercayai bahwa pengukuran nilai wajar untuk beberapa aset keuangan dan kewajiban keuangan akan menyediakan informasi yang lebih berguna dan relevan daripada menggunakan sistem pengukuaran berdasarkan biaya. Karena pengukuran nilai wajar mencerminkan arus kas dari instrumen keuangan daripada biaya transaksi pada masa lalu (Kieso et al., 2011). PSAK 50 dan 55 diharapkan dapat meningkatkan keinformatifan, relevansi nilai, dan transparansi dari laporan keuangan, khususnya pada perusahaan yang menggunakan derivatif keuangan di Indonesia (Oktavia dkk, 2014). Informasi nilai wajar harus mampu membuat perbedaan dalam sebuah keputusan. Jika tidak mempengaruhi keputusan, maka informasi tersebut dikatakan tidak relevan terhadap keputusan yang diambil. Agar relevan, informasi harus tersedia bagi pengambil keputusan sebelum informasi tersebut kehilangan kapasitas untuk mempengaruhi keputusan yang diambil (Kieso et al., 2011). Harga pasar yang menjadi dasar pengukuran nilai wajar dapat diintervensi sehingga menyebabkan suatu transaksi yang tidak wajar. Hal ini dilakukan oleh beberapa bank yang memanipulasi pasar valuta asing. Lima bank besar secara bersama-sama dikenai denda 3,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 39 triliun oleh badan pengawas Inggris dan Amerika Serikat atas klaim bahwa bank-bank berusaha memanipulasi kurs mata uang asing di pasar valuta asing. Citigroup, HSBC, JPMorgan Chase, Royal Bank of Scotland, dan UBS didenda 5,4 miliar dollar AS oleh Komisi Perdagangan Berjangka Komoditi Amerika Serikat. Denda diberikan 6 kepada lima bank setelah diadakan penyelidikan selama satu tahun tentang dugaan bahwa pasar mata uang asing dimanipulasi. Di pasar itu, bank dan perusahaan keuangan saling membeli dan menjual valuta asing. Jumlah valuta asing yang diperdagangkan setiap hari mencapai 5,3 triliun dollar AS, jauh lebih besar dibanding pasar saham dan obligasi. Sekitar 40 persen transaksi valuta asing dunia diperkirakan diperdagangkan melalui London. Padahal perusahaan-perusahaan di seluruh dunia menggunakan nilai tukar mata uang untuk menghargai aset mereka dan mengelola risiko keuangan mereka. (Liauw, 2014). Selain itu pengukuran nilai wajar pada instrumen keuangan sangat kompleks. Karena apabila tidak adanya harga pasar dari pasar aktif maka pengukuran nilai wajar berdasarkan asumsi subyektivitas sehingga menyebabkan potensi terjadinya manipulasi. Dengan kata lain akuntansi nilai wajar mungkin dapat meningkatkan volatilitas laba perusahaan (Fiechter, 2011). Sedangkan menurut Hitz (2007) mengatakan banyak kelemahan terkait relevansi pengukuran nilai wajar, hal ini berkaitan apabila tidak ada harga pasar yang tersedia, sehingga hanya mengandalkan pada harapan manajemen dan estimasi penilaian aktuaria. Drever et al (2007) mengatakan bahwa harga pasar merupakan ekspektasi dari pembeli dan penjual yang terjadi di pasar. Ekspektasi ini berdasarkan prediksi yang mana belum tentu penilaiannya secara wajar sehingga menyebabkan volatilitas terhadap harga atau harga menjadi sangat tinggi atau sangat rendah. Penman (2011) berpendapat bahwa akuntansi nilai wajar menyebabkan nilai buku akuntansi menjadi jangkar yang lemah 7 untuk menentukan nilai suatu perusahaan untuk perbandingan terhadap harga pasarnya karena subjektivitas dari nilai wajar. Pengungkapan dan pengukuran nilai wajar merupakan informasi yang penting bagi investor, namun tingkat kebenaran informasi dapat dipengaruhi oleh kesalahan jumlah pengukuran karena menggunakan sumber perkiraan yaitu dari manajemen atau penilai eksternal. Sedangkan penelitian yang dilakukan Yuan Lu and Mande (2014) mengatakan bahwa hierarki dari pengukuran nilai wajar terutama berkaitan dengan pengukuran level 2 dan 3 mempunyai potensi risiko manipulasi dan subyektivitas. Dalam prakteknya, ketika pasar aktif untuk aset dan kewajiban keuangan tidak ada maka pengukuran nilai wajar mungkin tidak dapat didefinisikan dengan baik (Landsman, 2007). Di dalam model pengukuran yang ditetapkan oleh IAS 39 terdapat beberapa instrumen keuangan yang diukur melalui nilai wajar melalui laporan laba rugi sedangkan instrumen keuangan yang lainnya diukur menggunakan biaya historis, sehingga secara ekonomi pengukuran yang berbeda menyebabkan volatilitas laba buatan (Fietcher, 2011). Selain itu adanya kompleksitas dari akuntansi untuk instrumen keuangan seperti opsi saham, sekuritas yang dapat dikonversi, dan saham preferen yang sering disebut dengan sekuritas dilutif. Sekuritas dilutif tersebut mempunyai karakteristik sebagai sekuritas utang dan ekuitas sehingga perusahaan dapat mencatat sebagai instrumen utang atau instrumen ekuitas dalam laporan keuangan perusahaan yang akan berdampak kepada perhitungan laba per lembar saham dan nilai buku (Kieso et al., 2011). 8 PSAK 50 & 55 mengklasifikasikan aset keuangan ke dalam empat kategori yaitu aset keuangan atau kewajiban keuangan yang dinilai pada nilai wajar melalui laporan laba rugi (financial asset at fair value through profit or loss/FVTPL), investasi yang dimiliki hingga jatuh tempo (hold-to-maturity/HTM), pinjaman yang diberikan dan piutang (Loan and Receivable/ L&R), dan aset keuangan tersedia untuk dijual (available for sale/AFS). Keempat kategori aset keuangan yang tersebut diukur dengan menggunakan nilai wajar (Geraldina, 2014). Terdapat beberapa pendapat yang tidak setuju terhadap pengukuran akuntansi nilai wajar. Pertama, pengukuran akuntansi nilai wajar untuk investasi yang dimiliki hingga jatuh tempo yang tidak mencerminkan kondisi keuangan bank yang sebenarnya. Konsisten dengan pandangan ini, Sheila Bair, yaitu Ketua Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), yang berpendapat bahwa tidak ada relevansi dalam menggunakan akuntansi nilai wajar untuk investasi yang dimiliki hingga jatuh tempo (Blankespoor et al., 2013). Seperti penerapan opsi nilai wajar untuk investasi yang dimiliki hingga jatuh tempo. Ketika perusahaan berencana akan mengelola sekuritas tersebut hingga jatuh tempo. Tetapi pada akhir tahun perusahaan dapat memilih menggunakan pengukuran nilai wajar atau biaya historis untuk mencatatkan nilai sekuritas tersebut pada laporan keuangannya. Sehingga dapat menyebabkan ketidakonsistenan dalam hal pencatatan dan hal ini akan berdampak pada laporan laba rugi dan neraca (Kieso et al., 2011). Kedua, akuntansi nilai wajar untuk investasi utang tidak tepat karena pasar utang sering tidak likuid dan pengukuran akuntansi nilai wajar untuk utang dengan suku 9 bunga tetap, menyebabkan peningkatan risiko kredit terhadap nilai utang, dan laba bersih (Blankespoor et al., 2013). Ketiga, menurut supervisor dari Bank Sentral Eropa mengkawatirkan dari penggunaan pengukuran nilai wajar yang dilakukan secara tidak tepat. Institusi ini mempercayai bahwa penilaian dari instrumen keuangan seperti aset keuangan atau kewajiban keuangan yang dinilai pada nilai wajar melalui laporan laba rugi akan berbasis subyektifitas, penerapan opsi nilai wajar dari aset kewajiban keuangan yang menghasilkan laba atau rugi akan digunakan untuk mempengaruhi peringkat kredit dari suatu perusahaan dan penggunaan nilai wajar cenderung akan meningkat laba daripada menurunkannya (Fietcher, 2011). Keempat, akuntansi nilai wajar terhadap kondisi operasional keuangan bank yang terkait dengan pinjaman kredit yang dikeluarkan dengan tabungan yang diterima. Supaya dapat mencerminkan kondisi ekonomi suatu bank maka pinjaman kredit yang dikeluarkan dan tabungan harus diukur dengan alat ukur yang sama. Dilihat dari perspektif ini, maka akan sulit untuk mengukur nilai wajar terhadap tabungan, maka kedua-duanya yaitu pinjaman dan deposito sebaiknya diakui pada saat biaya perolehan yang diamortisasi. Perbedaan pengukuran nilai wajar untuk pinjaman kredit dan biaya historis untuk tabungan berjangka, seperti giro dan tabungan deposito yang memiliki tarif bunga yang rendah, sehingga akan mempengaruhi secara signifikan terhadap kondisi operasional suatu bank. Tabungan deposito berjangka tidak sensitif atau terpengaruh terhadap perubahan suku bunga, mereka hanya 10 digunakan untuk lindung nilai terhadap dampak perubahan suku bunga pada pinjaman kredit (Blankespoor et al., 2013). Banyak penelitian yang mengkaitkan pengukuran nilai wajar pada instrumen keuangan dengan volatilitas laba suatu perusahaan. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Geraldina (2014) yang menunjukkan bahwa setelah penerapan PSAK 50 & 55 (Revisi 2006), penggunaan nilai wajar aset keuangan menurunkan informasi tentang laba masa depan perusahaan. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fargher dan Zhang (2014) yang menemukan bahwa adanya pengaruh kebijakan manajer dalam menggunakan pengukuran nilai wajar dengan manajemen laba dan rendahnya informasi laba. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Oktavia dkk (2014) mengatakan bahwa penerapan PSAK No. 50 dan 55 di perusahaan-perusahaan keuangan yang menggunakan instrumen keuangan derivatif, dapat meningkatkan ERC tetapi tidak meningkatkan FERC. Sedangkan penelitian Dorminey and Apostolou (2012) menemukan bahwa perubahan pengukuran nilai wajar yang disajikan di pendapatan komprehensif lainnya dari nilai wajar lindung nilai instrumen derivatif berpengaruh positif terhadap kebingungan investor (volume perdagangan tidak normal). Penelitian ini menunjukkan bahwa informasi nilai wajar yang mempunyai karakteristik subyektif sehingga meningkatkan ketidakpastian terhadap investor. Selain itu komponen pendapatan komprehensif lainnya merupakan pos-pos yang muncul dikarenakan penggunaan nilai wajar atas penyajian nilai suatu aset perusahaan sehingga 11 penyajiannya sudah mengadopsi konsep nilai wajar dimana pendapatan yang diakui masih merupakan belum direalisasi (Pratiwi dkk., 2012). Penulis mencoba menghubungkan penerapan PSAK tentang instrumen keuangan terhadap relevansi instrumen keuangan terhadap return saham pada perusahaan yang menggunakan instrumen keuangan. Penelitian mengenai relevansi nilai menjadi penting karena terdapat klaim yang menyatakan bahwa laporan keuangan berbasis biaya historis telah kehilangan sebagian besar relevansinya bagi investor yang diakibatkan oleh perubahan besar-besaran dalam perekonomian, yaitu dari perekonomian industrial ke perkonomian berteknologi tinggi dan berorientasi jasa (Francis dan Schipper, 1999). Oleh sebab itu penulis tertarik mengambil judul penelitian “RELEVANSI NILAI INFORMASI INSTRUMEN KEUANGAN : PERUSAHAAN KEUANGAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2009-2013”. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Kompleksitas penerapan instrumen keuangan seperti opsi saham, sekuritas yang dapat dikonversi, dan saham preferen yang sering disebut dengan sekuritas dilutif. Sekuritas dilutif tersebut mempunyai karakteristik sebagai sekuritas utang dan ekuitas sehingga perusahaan dapat mencatat sebagai instrumen utang atau instrumen ekuitas dalam laporan keuangan perusahaan yang akan berdampak kepada perhitungan laba per lembar saham dan nilai buku. 12 2. Pengungkapan dan pengukuran nilai wajar merupakan informasi yang penting bagi investor, namun tingkat kebenaran informasi dapat dipengaruhi oleh kesalahan jumlah pengukuran karena menggunakan sumber perkiraan yaitu dari manajemen atau penilai eksternal. 3. Di dalam model pengukuran yang ditetapkan oleh IAS 39 terdapat beberapa instrumen keuangan yang diukur melalui nilai wajar melalui laporan laba rugi sedangkan instrumen keuangan yang lainnya diukur menggunakan biaya historis, sehingga secara ekonomi pengukuran yang berbeda menyebabkan volatilitas laba buatan. 4. Akuntansi nilai wajar menyebabkan nilai buku akuntansi menjadi jangkar yang lemah untuk menentukan nilai suatu perusahaan untuk perbandingan terhadap harga pasarnya karena subjektivitas dari nilai wajar. 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka pertanyaan dari penelitian ini adalah apakah relevansi nilai dari informasi nilai wajar instrumen keuangan meningkat setelah revisi PSAK 50, 55 dan 60 tentang instrumen keuangan pada perusahaan keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2013 ? 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Dalam penelitian ini diperlukan pembatasan ruang lingkup permasalahan agar permasalahan tidak meluas. Supaya penelitian ini mendapatkan temuan yang fokus dan mendalam serta untuk menghindari penafsiran yang tidak diinginkan, maka pokok masalah penelitian ini dibatasi pada relevansi nilai dari informasi nilai wajar 13 instrumen keuangan meningkat setelah revisi PSAK 50, 55 dan 60 tentang instrumen keuangan pada perusahaan keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2013. 1.5 Tujuan Penelitian Sesuai dengan pertanyaan penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji peningkatan relevansi nilai dari informasi nilai wajar instrumen keuangan setelah dan sebelum revisi PSAK 50, 55 dan 60 tentang instrumen keuangan pada perusahaan keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2013. 1.6 Motivasi Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disampaikan di atas, maka motivasi penulis untuk melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian mengenai relevansi nilai menjadi penting karena terdapat klaim yang menyatakan bahwa laporan keuangan berbasis biaya historis telah kehilangan sebagian besar relevansinya bagi investor yang diakibatkan oleh perubahan besar-besaran dalam perekonomian, yaitu dari perekonomian industrial ke perkonomian berteknologi tinggi dan berorientasi jasa (Francis dan Schipper, 1999). 2. Terdapat beberapa perbedaan antara PSAK No. 50 dan PSAK No. 55 (revisi 2006) dengan PSAK No. 50 (revisi 2010), PSAK No. 55 (revisi 2011) dan PSAK No. 60 yaitu tentang reklasifikasi dari diukur pada nilai wajar melalui laba rugi ke pinjaman yang diberikan dan piutang dan reklasifikasi dari tersedia untuk dijual ke pinjaman yang diberikan dan piutang. Selain itu juga terkait dengan 14 pengungakapan aset atau liabilitas keuangan yang diukur pada nilai wajar, pengungkapkan jumlah reklasifikasi ke dan dari setiap kategori dan alasan reklasifikasi serta pengungkapan pengukuran nilai wajar (IAI, 2012). 3. Adanya fenomena yang menarik terkait dengan harga pasar. Ternyata harga pasar yang menjadi dasar pengukuran nilai wajar dapat dimanipulasi atau dapat diintervensi. Hal ini dilakukan oleh beberapa bank yang memanipulasi pasar valuta asing. Lima bank besar yaitu Citigroup, HSBC, JPMorgan Chase, Royal Bank of Scotland, dan UBS berusaha memanipulasi kurs mata uang asing di pasar valuta asing. Citigroup, HSBC, JPMorgan Chase, Royal Bank of Scotland, dan UBS didenda 5,4 miliar dollar AS oleh Komisi Perdagangan Berjangka Komoditi Amerika Serikat. Lima bank tersebut di duga memanipulasi pasar mata uang asing. Padahal perusahaan-perusahaan di seluruh dunia menggunakan nilai tukar mata uang untuk menghargai aset mereka dan mengelola risiko keuangan mereka (Liauw, 2014). 1.7 Kontribusi Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Informasi nilai wajar harus mampu membuat perbedaan dalam sebuah keputusan. Jika tidak mempengaruhi keputusan, maka informasi tersebut dikatakan tidak relevan terhadap keputusan yang diambil (Kieso et al., 2011). Tetapi ada fenomena yang menarik terkait harga pasar yang menjadi dasar pengukuran nilai wajar dapat dimanipulasi atau dapat diintervensi sehingga menyebabkan suatu transaksi yang 15 tidak wajar. Lima bank besar yaitu Citigroup, HSBC, JPMorgan Chase, Royal Bank of Scotland, dan UBS berusaha memanipulasi kurs mata uang asing di pasar valuta asing. Pengungkapan dan pengukuran nilai wajar merupakan informasi yang penting bagi investor, namun tingkat kebenaran informasi dapat dipengaruhi oleh kesalahan jumlah pengukuran karena menggunakan sumber perkiraan yaitu dari manajemen atau penilai eksternal. Dalam prakteknya, ketika pasar aktif untuk aset dan kewajiban keuangan tidak ada maka pengukuran nilai wajar mungkin tidak dapat didefinisikan dengan baik (Landsman, 2007). Penelitian mengenai relevansi nilai menjadi penting karena terdapat klaim yang menyatakan bahwa laporan keuangan berbasis biaya historis telah kehilangan sebagian besar relevansinya bagi investor yang diakibatkan oleh perubahan besarbesaran dalam perekonomian, yaitu dari perekonomian industrial ke perkonomian berteknologi tinggi dan berorientasi jasa (Francis and Schipper, 1999). Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada penambahan pengetahuan atau masukan teori baru yang berkaitan tentang relevansi nilai pada nilai wajar instrumen keuangan kepada investor maupun manajer investasi sehingga mereka dapat menentukan nilai wajar instrumen keuangan yang dimiliki, meramalkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya dan mengelola risiko keuangan mereka. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Manajer Investasi 16 Penelitian ini juga memberikan informasi kepada Manajer Investasi bagaimana relevansi nilai dari informasi nilai wajar instrumen keuangan setelah penerapan PSAK 50, 55 dan 60 tentang instrumen keuangan pada perusahaan keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2013 sehingga manajer investasi dapat mengelola risiko terhadap instrumen keuangan yang dikelolanya dalam mengambil keputusan investasi. b. Bagi Regulator Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi tentang kompleksitas penerapan nilai wajar instrumen keuangan dalam menetapkan Standar Akuntansi Keuangan tentang instrumen keuangan yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia supaya dapat membuat Standar Akuntansi Keuangan yang Long Lasting. c. Bagi Investor Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi atau pengetahuan tambahan tentang relevansi nilai dari informasi nilai wajar instrumen keuangan sehingga investor dapat menilai arus kas masa depan instrumen keuangan yang dimilikinya, daya saing kegiatan perusahaan yang berisiko, menentukan nilai wajar instrumen keuangan yang dimiliki ketika akan menjual instrumen keuangan tersebut dan mengelola risiko keuangan mereka. 1.8 Sistematika Penulisan Penelitian Penelitian ini disusun dengan sistematika penulisan penelitian sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN. 17 Bab ini akan menguraikan latar belakang masalah, batasan masalah, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, motivasi peneletian, konstribusi penelitian, dan juga sistematika penulisan penelitian. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Bab ini akan menguraikan teori relevan dengan penelitian dan hasil penelitian terdahulu sebagai dasar untuk pengembangan hipotesis penelitian. BAB III : METODE PENELITIAN. Bab ini akan menguraikan metode yang digunakan dalam penelitian, termasuk sumber dan jenis data, identifikasi variabel dan pengukurannya serta metode analisis yang digunakan untuk pengujian hipotesis. BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Bab ini akan menguraikan hasil penelitian yang meliputi deskripsi data, pengujian asumsi klasik, pengujian hipotesis dan pembahasannya. BAB V : PENUTUP. Bab ini akan memberikan uraian tentang kesimpulan, keterbatasan, saran dan implikasi penelitian.