bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Instrumen keuangan adalah suatu kontrak yang menambah nilai aset keuangan
suatu entitas dan kewajiban keuangan atau instrumen ekuitas dari entitas lain (IAI,
2012). Ada beberapa instrumen keuangan banyak digunakan oleh perusahaan seperti
perdagangan piutang dagang, obligasi, saham biasa dan saham preferen. Tetapi ada
beberapa instrumen lain yang sangat kompleks dan penggunaan instrumen tersebut
digunakan oleh manajer untuk kepentingan pajak, untuk melakukan lindung nilai
aset atau liabilitas dari suatu entitas terhadap risiko pasar seperti suku bunga, dan
lindung nilai valuta asing dan digunakan untuk membuat laporan keuangan agar
terlihat baik (Wolk et al.,2013).
Pasar global telah berubah secara pesat yang mengakibatkan perkembangan
perdagangan internasional seperti impor, ekspor, dan aktivitas pasar modal semakin
dinamis sehingga dapat meningkatkan tingkat risiko pada perusahaan dan investor.
Salah satu risiko yang paling penting yang terkait dengan perdagangan internasional
dan investasi adalah ketidakpastian tentang masa depan nilai tukar mata uang asing
dan tingkat suku bunga. Perubahan di pasar keuangan global dan terkait inovasi
keuangan telah menyebabkan meningkatnya penggunaan instrumen keuangan untuk
mengurangi risiko dengan cara lindung nilai yang timbul dari perubahan kedua nilai
1
2
tukar dan suku bunga. Masalah utama dengan instrumen ini adalah standar akuntansi
tidak terus berpacu dengan perubahan. Bagaimanapun sangat penting untuk
meningkatkan informasi keuangan tentang derivatif dan kegiatan terkait (Wilson et
al., 1997).
Pada laporan posisi keuangan bank umum hampir seluruhnya terdiri dari
instrumen keuangan. Pengukuran nilai wajar dari instrumen keuangan seperti
investasi yang dimiliki hingga jatuh tempo, pinjaman kredit, tabungan deposito,
kewajiban keuangan lainnya dan bermacam-macam jenis dari derivatif keuangan
akan menghasilkan keuntungan dan kerugian yang belum direalisasi yang merupakan
bagian dari operasional bank dan strategi risiko manajemen (Hodder et al., 2006).
Oleh karena itu diperlukan adanya peraturan yang mengatur tentang instrumen
keuangan agar dapat memberikan informasi yang menggambarkan kinerja entitas dan
bermanfaat bagi para pengguna laporan keuangan didalam pengambilan keputusan.
Agar bermanfaat, informasi akuntansi harus relevan untuk memenuhi kebutuhan
pengguna laporan keuangan (investor, kreditor, dan calon kreditor) dalam proses
pengambilan
keputusan.
Informasi
memiliki
kualitas
relevan
kalau
dapat
memengaruhi keputusan ekonomi pengguna laporan keuangan dengan membantu
mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini atau masa depan, menegaskan,
atau mengoreksi, hasil evaluasi pengguna di masa lalu. Misalnya ketika pengguna
laporan keuangan berusaha meramalkan kemampuan entitas dalam memanfaatkan
peluang dan bereaksi dalam situasi yang merugikan (IAI, 2012). Sehingga pada
proses penyajian dan pengungkapan instrumen keuangan harus sesuai dengan
3
standar-standar akuntansi yang berlaku yaitu PSAK No.50 tentang penyajian
instrumen keuangan, PSAK No.55 tentang pengakuan dan pengukuran instrumen
keuangan dan PSAK No. 60 tentang pengungkapan instrumen keuangan.
Akuntansi untuk instrumen keuangan diatur dalam IAS 39 (Instrumen Keuangan:
Pengakuan and Pengukuran), IAS 32 (Instrumen Keuangan: Penyajian dan
Pengungkapan) dan IFRS
(Instrumen Keuangan : Pengungkapan) (Oktavia dkk,
2014). Sedangkan di Indonesia akuntansi untuk instrumen keuangan diatur dalam
PSAK 50 (revisi 2010) yang merupakan turunan dari IAS 32, PSAK 55 (revisi 2011)
yang merupakan turunan dari IAS 39 dan PSAK 60 merupakan adopsi dari IFRS 7.
Pada Januari 2010, peraturan mengenai instrumen ini efektif diterapkan setelah
sebelumnya ditunda. Tanggal efektif tersebut tertuang dalam surat dari Dewan
Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) surat No.1705/DSAK/IAI/12/2008 tentang
Pengumuman Perubahan Tanggal Efektif PSAK No. 50 (revisi 2006) dan PSAK No.
55 (revisi 2006) tertanggal 30 Desember 2008. Namun selanjutnya PSAK ini direvisi
kembali yang akhirnya diterbitkan PSAK No. 50 (revisi 2010) telah disahkan pada
tanggal 26 November 2010, PSAK No. 55 (revisi 2011) telah disahkan pada tanggal
26 Januari 2011 dan PSAK No.60 yang disahkan pada tanggal 26 November 2010
(Oktavia dkk, 2014).
Karena adanya perubahan terhadap Pernyataan Standar Akuntansi yang mengatur
tentang instrumen keuangan. Sehingga menyebabkan terdapat beberapa perbedaan
antara PSAK No. 50 dan PSAK No. 55 (revisi 2006) dengan PSAK No. 50 (revisi
2010), PSAK No. 55 (revisi 2011) dan PSAK No. 60 yaitu tentang reklasifikasi dari
4
diukur pada nilai wajar melalui laba rugi ke pinjaman yang diberikan dan piutang dan
reklasifikasi dari tersedia untuk dijual ke pinjaman yang diberikan dan piutang.
Tetapi di dalam penelitian ini juga menyoroti tentang perubahan terkait dengan
pengungkapan aset atau liabilitas keuangan yang diukur pada nilai wajar,
pengungkapkan jumlah reklasifikasi ke dan dari setiap kategori dan alasan
reklasifikasi serta pengungkapan pengukuran nilai wajar (IAI, 2012).
Di dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan PSAK 55 (revisi 2011)
mengenai pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan pada paragraf PA 87 yang
menyatakan bahwa harga penawaran terkini berlaku biasanya merupakan harga yang
sesuai untuk digunakan dalam pengukuran nilai wajar aset yang dimiliki. Menurut
Kornel (2014) mengatakan bahwa beberapa tahun terakhir mengalami pergeseran
dalam pengukuran akuntansi yang didorong oleh langkah-langkah berbasis pasar,
terutama dalam hal instrumen keuangan. Penggunaan akuntansi nilai wajar telah
tumbuh berkembang dalam pelaporan keuangan dalam dekade terakhir. Gerakan
menuju konvergensi akuntansi global telah menjadi kekuatan pendorong di belakang
peningkatan penggunaan nilai wajar instrumen keuangan seperti derivatif keuangan.
Hal ini sesuai dengan pendapat yang ada pada penelitian Rayman (2007), penggunaan
pengukuran nilai wajar dalam instrumen keuangan supaya dapat meningkatkan
kerangka konseptual untuk pelaporan keuangan yang lebih baik pada sistem
akuntansi konvensional dapat melalui penggunaan pengukuran nilai wajar.
Sedangkan menurut Hitz (2007) mengatakan bahwa penggunaan metode
pengukuran yang jauh lebih didasarkan pada nilai wajar dan bukan pada nilai buku,
5
karena dalam rangka untuk meningkatkan kegunaan laporan keuangan perusahaan.
Selain itu IASB dan FASB mempercayai bahwa pengukuran nilai wajar untuk
beberapa aset keuangan dan kewajiban keuangan akan menyediakan informasi yang
lebih berguna dan relevan daripada menggunakan sistem pengukuaran berdasarkan
biaya. Karena pengukuran nilai wajar mencerminkan arus kas dari instrumen
keuangan daripada biaya transaksi pada masa lalu (Kieso et al., 2011). PSAK 50 dan
55 diharapkan dapat meningkatkan keinformatifan, relevansi nilai, dan transparansi
dari laporan keuangan, khususnya pada perusahaan yang menggunakan derivatif
keuangan di Indonesia (Oktavia dkk, 2014). Informasi nilai wajar harus mampu
membuat perbedaan dalam sebuah keputusan. Jika tidak mempengaruhi keputusan,
maka informasi tersebut dikatakan tidak relevan terhadap keputusan yang diambil.
Agar relevan, informasi harus tersedia bagi pengambil keputusan sebelum informasi
tersebut kehilangan kapasitas untuk mempengaruhi keputusan yang diambil (Kieso et
al., 2011).
Harga pasar yang menjadi dasar pengukuran nilai wajar dapat diintervensi
sehingga menyebabkan suatu transaksi yang tidak wajar. Hal ini dilakukan oleh
beberapa bank yang memanipulasi pasar valuta asing. Lima bank besar secara
bersama-sama dikenai denda 3,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 39 triliun oleh
badan pengawas Inggris dan Amerika Serikat atas klaim bahwa bank-bank berusaha
memanipulasi kurs mata uang asing di pasar valuta asing. Citigroup, HSBC,
JPMorgan Chase, Royal Bank of Scotland, dan UBS didenda 5,4 miliar dollar AS
oleh Komisi Perdagangan Berjangka Komoditi Amerika Serikat. Denda diberikan
6
kepada lima bank setelah diadakan penyelidikan selama satu tahun tentang dugaan
bahwa pasar mata uang asing dimanipulasi. Di pasar itu, bank dan perusahaan
keuangan saling membeli dan menjual valuta asing. Jumlah valuta asing yang
diperdagangkan setiap hari mencapai 5,3 triliun dollar AS, jauh lebih besar dibanding
pasar saham dan obligasi. Sekitar 40 persen transaksi valuta asing dunia diperkirakan
diperdagangkan melalui London. Padahal perusahaan-perusahaan di seluruh dunia
menggunakan nilai tukar mata uang untuk menghargai aset mereka dan mengelola
risiko keuangan mereka. (Liauw, 2014).
Selain itu pengukuran nilai wajar pada instrumen keuangan sangat kompleks.
Karena apabila tidak adanya harga pasar dari pasar aktif maka pengukuran nilai wajar
berdasarkan asumsi subyektivitas sehingga menyebabkan potensi terjadinya
manipulasi. Dengan kata lain akuntansi nilai wajar mungkin dapat meningkatkan
volatilitas laba perusahaan (Fiechter, 2011). Sedangkan menurut Hitz (2007)
mengatakan banyak kelemahan terkait relevansi pengukuran nilai wajar, hal ini
berkaitan apabila tidak ada harga pasar yang tersedia, sehingga hanya mengandalkan
pada harapan manajemen dan estimasi penilaian aktuaria. Drever et al (2007)
mengatakan bahwa harga pasar merupakan ekspektasi dari pembeli dan penjual yang
terjadi di pasar. Ekspektasi ini berdasarkan prediksi yang mana belum tentu
penilaiannya secara wajar sehingga menyebabkan volatilitas terhadap harga atau
harga menjadi sangat tinggi atau sangat rendah. Penman (2011) berpendapat bahwa
akuntansi nilai wajar menyebabkan nilai buku akuntansi menjadi jangkar yang lemah
7
untuk menentukan nilai suatu perusahaan untuk perbandingan terhadap harga
pasarnya karena subjektivitas dari nilai wajar.
Pengungkapan dan pengukuran nilai wajar merupakan informasi yang penting
bagi investor, namun tingkat kebenaran informasi dapat dipengaruhi oleh kesalahan
jumlah pengukuran karena menggunakan sumber perkiraan yaitu dari manajemen
atau penilai eksternal. Sedangkan penelitian yang dilakukan Yuan Lu and Mande
(2014) mengatakan bahwa hierarki dari pengukuran nilai wajar terutama berkaitan
dengan pengukuran level 2 dan 3 mempunyai potensi risiko manipulasi dan
subyektivitas. Dalam prakteknya, ketika pasar aktif untuk aset dan kewajiban
keuangan tidak ada maka pengukuran nilai wajar mungkin tidak dapat didefinisikan
dengan baik (Landsman, 2007). Di dalam model pengukuran yang ditetapkan oleh
IAS 39 terdapat beberapa instrumen
keuangan yang diukur melalui nilai wajar
melalui laporan laba rugi sedangkan instrumen keuangan yang lainnya diukur
menggunakan biaya historis, sehingga secara ekonomi pengukuran yang berbeda
menyebabkan volatilitas laba buatan (Fietcher, 2011). Selain itu adanya kompleksitas
dari akuntansi untuk instrumen keuangan seperti opsi saham, sekuritas yang dapat
dikonversi, dan saham preferen yang sering disebut dengan sekuritas dilutif. Sekuritas
dilutif tersebut mempunyai karakteristik sebagai sekuritas utang dan ekuitas sehingga
perusahaan dapat mencatat sebagai instrumen utang atau instrumen ekuitas dalam
laporan keuangan perusahaan yang akan berdampak kepada perhitungan laba per
lembar saham dan nilai buku (Kieso et al., 2011).
8
PSAK 50 & 55 mengklasifikasikan aset keuangan ke dalam empat kategori yaitu
aset keuangan atau kewajiban keuangan yang dinilai pada nilai wajar melalui laporan
laba rugi (financial asset at fair value through profit or loss/FVTPL), investasi yang
dimiliki hingga jatuh tempo (hold-to-maturity/HTM), pinjaman yang diberikan dan
piutang (Loan and Receivable/ L&R), dan aset keuangan tersedia untuk dijual
(available for sale/AFS). Keempat kategori aset keuangan yang tersebut diukur
dengan menggunakan nilai wajar (Geraldina, 2014).
Terdapat beberapa pendapat yang tidak setuju terhadap pengukuran akuntansi
nilai wajar. Pertama, pengukuran akuntansi nilai wajar untuk investasi yang dimiliki
hingga jatuh tempo yang tidak mencerminkan kondisi keuangan bank yang
sebenarnya. Konsisten dengan pandangan ini, Sheila Bair, yaitu Ketua Federal
Deposit Insurance Corporation (FDIC), yang berpendapat bahwa tidak ada relevansi
dalam menggunakan akuntansi nilai wajar untuk investasi yang dimiliki hingga jatuh
tempo (Blankespoor et al., 2013). Seperti penerapan opsi nilai wajar untuk investasi
yang dimiliki hingga jatuh tempo. Ketika perusahaan berencana akan mengelola
sekuritas tersebut hingga jatuh tempo. Tetapi pada akhir tahun perusahaan dapat
memilih menggunakan pengukuran nilai wajar atau biaya historis untuk mencatatkan
nilai sekuritas tersebut pada laporan keuangannya. Sehingga dapat menyebabkan
ketidakonsistenan dalam hal pencatatan dan hal ini akan berdampak pada laporan laba
rugi dan neraca (Kieso et al., 2011).
Kedua, akuntansi nilai wajar untuk investasi utang tidak tepat karena pasar utang
sering tidak likuid dan pengukuran akuntansi nilai wajar untuk utang dengan suku
9
bunga tetap, menyebabkan peningkatan risiko kredit terhadap nilai utang, dan laba
bersih (Blankespoor et al., 2013). Ketiga, menurut supervisor dari Bank Sentral
Eropa mengkawatirkan dari penggunaan pengukuran nilai wajar yang dilakukan
secara tidak tepat. Institusi ini mempercayai bahwa penilaian dari instrumen
keuangan seperti aset keuangan atau kewajiban keuangan yang dinilai pada nilai
wajar melalui laporan laba rugi akan berbasis subyektifitas, penerapan opsi nilai
wajar dari aset kewajiban keuangan yang menghasilkan laba atau rugi akan
digunakan untuk mempengaruhi peringkat kredit dari suatu perusahaan dan
penggunaan nilai wajar cenderung akan meningkat laba daripada menurunkannya
(Fietcher, 2011).
Keempat, akuntansi nilai wajar terhadap kondisi operasional keuangan bank yang
terkait dengan pinjaman kredit yang dikeluarkan dengan tabungan yang diterima.
Supaya dapat mencerminkan kondisi ekonomi suatu bank maka pinjaman kredit yang
dikeluarkan dan tabungan harus diukur dengan alat ukur yang sama. Dilihat dari
perspektif ini, maka akan sulit untuk mengukur nilai wajar terhadap tabungan, maka
kedua-duanya yaitu pinjaman dan deposito sebaiknya diakui pada saat biaya
perolehan yang diamortisasi. Perbedaan pengukuran nilai wajar untuk pinjaman
kredit dan biaya historis untuk tabungan berjangka, seperti giro dan tabungan
deposito yang memiliki tarif bunga yang rendah, sehingga akan mempengaruhi secara
signifikan terhadap kondisi operasional suatu bank. Tabungan deposito berjangka
tidak sensitif atau terpengaruh terhadap perubahan suku bunga, mereka hanya
10
digunakan untuk lindung nilai terhadap dampak perubahan suku bunga pada
pinjaman kredit (Blankespoor et al., 2013).
Banyak penelitian yang mengkaitkan pengukuran nilai wajar pada instrumen
keuangan dengan volatilitas laba suatu perusahaan. Seperti hasil penelitian yang
dilakukan oleh Geraldina (2014) yang menunjukkan bahwa setelah penerapan PSAK
50 & 55 (Revisi 2006), penggunaan nilai wajar aset keuangan menurunkan informasi
tentang laba masa depan perusahaan. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Fargher dan Zhang (2014) yang menemukan bahwa adanya pengaruh kebijakan
manajer dalam menggunakan pengukuran nilai wajar dengan manajemen laba dan
rendahnya informasi laba. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Oktavia dkk
(2014) mengatakan bahwa penerapan PSAK No. 50 dan 55 di perusahaan-perusahaan
keuangan yang menggunakan instrumen keuangan derivatif, dapat meningkatkan
ERC tetapi tidak meningkatkan FERC.
Sedangkan penelitian Dorminey and Apostolou (2012) menemukan bahwa
perubahan pengukuran nilai wajar yang disajikan di pendapatan komprehensif lainnya
dari nilai wajar lindung nilai instrumen derivatif berpengaruh positif terhadap
kebingungan
investor
(volume
perdagangan
tidak
normal).
Penelitian
ini
menunjukkan bahwa informasi nilai wajar yang mempunyai karakteristik subyektif
sehingga meningkatkan ketidakpastian terhadap investor. Selain itu komponen
pendapatan komprehensif lainnya merupakan pos-pos yang muncul dikarenakan
penggunaan nilai wajar atas penyajian nilai suatu aset perusahaan sehingga
11
penyajiannya sudah mengadopsi konsep nilai wajar dimana pendapatan yang diakui
masih merupakan belum direalisasi (Pratiwi dkk., 2012).
Penulis mencoba menghubungkan penerapan PSAK tentang instrumen keuangan
terhadap relevansi instrumen keuangan terhadap return saham pada perusahaan yang
menggunakan instrumen keuangan. Penelitian mengenai relevansi nilai menjadi
penting karena terdapat klaim yang menyatakan bahwa laporan keuangan berbasis
biaya historis telah kehilangan sebagian besar relevansinya bagi investor yang
diakibatkan oleh perubahan besar-besaran dalam perekonomian, yaitu dari
perekonomian industrial ke perkonomian berteknologi tinggi dan berorientasi jasa
(Francis dan Schipper, 1999). Oleh sebab itu penulis tertarik mengambil judul
penelitian “RELEVANSI NILAI INFORMASI INSTRUMEN KEUANGAN :
PERUSAHAAN KEUANGAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK
INDONESIA PERIODE 2009-2013”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas, maka penulis dapat
merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.
Kompleksitas penerapan instrumen keuangan seperti opsi saham, sekuritas yang
dapat dikonversi, dan saham preferen yang sering disebut dengan sekuritas
dilutif. Sekuritas dilutif tersebut mempunyai karakteristik sebagai sekuritas utang
dan ekuitas sehingga perusahaan dapat mencatat sebagai instrumen utang atau
instrumen ekuitas dalam laporan keuangan perusahaan yang akan berdampak
kepada perhitungan laba per lembar saham dan nilai buku.
12
2.
Pengungkapan dan pengukuran nilai wajar merupakan informasi yang penting
bagi investor, namun tingkat kebenaran informasi dapat dipengaruhi oleh
kesalahan jumlah pengukuran karena menggunakan sumber perkiraan yaitu dari
manajemen atau penilai eksternal.
3.
Di dalam model pengukuran yang ditetapkan oleh IAS 39 terdapat beberapa
instrumen keuangan yang diukur melalui nilai wajar melalui laporan laba rugi
sedangkan instrumen keuangan yang lainnya diukur menggunakan biaya historis,
sehingga secara ekonomi pengukuran yang berbeda menyebabkan volatilitas laba
buatan.
4.
Akuntansi nilai wajar menyebabkan nilai buku akuntansi menjadi jangkar yang
lemah untuk menentukan nilai suatu perusahaan untuk perbandingan terhadap
harga pasarnya karena subjektivitas dari nilai wajar.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka pertanyaan dari penelitian ini
adalah apakah relevansi nilai dari informasi nilai wajar instrumen keuangan
meningkat setelah revisi PSAK 50, 55 dan 60 tentang instrumen keuangan pada
perusahaan keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2013 ?
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini diperlukan pembatasan ruang lingkup permasalahan agar
permasalahan tidak meluas. Supaya penelitian ini mendapatkan temuan yang fokus
dan mendalam serta untuk menghindari penafsiran yang tidak diinginkan, maka
pokok masalah penelitian ini dibatasi pada relevansi nilai dari informasi nilai wajar
13
instrumen keuangan meningkat setelah revisi PSAK 50, 55 dan 60 tentang instrumen
keuangan pada perusahaan keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode
2009-2013.
1.5 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pertanyaan penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menguji peningkatan relevansi nilai dari informasi nilai wajar instrumen keuangan
setelah dan sebelum revisi PSAK 50, 55 dan 60 tentang instrumen keuangan pada
perusahaan keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2013.
1.6 Motivasi Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disampaikan di atas, maka motivasi
penulis untuk melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Penelitian mengenai relevansi nilai menjadi penting karena terdapat klaim yang
menyatakan bahwa laporan keuangan berbasis biaya historis telah kehilangan
sebagian besar relevansinya bagi investor yang diakibatkan oleh perubahan
besar-besaran dalam perekonomian, yaitu dari perekonomian industrial ke
perkonomian berteknologi tinggi dan berorientasi jasa (Francis dan Schipper,
1999).
2.
Terdapat beberapa perbedaan antara PSAK No. 50 dan PSAK No. 55 (revisi
2006) dengan PSAK No. 50 (revisi 2010), PSAK No. 55 (revisi 2011) dan PSAK
No. 60 yaitu tentang reklasifikasi dari diukur pada nilai wajar melalui laba rugi
ke pinjaman yang diberikan dan piutang dan reklasifikasi dari tersedia untuk
dijual ke pinjaman yang diberikan dan piutang. Selain itu juga terkait dengan
14
pengungakapan aset atau liabilitas keuangan yang diukur pada nilai wajar,
pengungkapkan jumlah reklasifikasi ke dan dari setiap kategori dan alasan
reklasifikasi serta pengungkapan pengukuran nilai wajar (IAI, 2012).
3.
Adanya fenomena yang menarik terkait dengan harga pasar. Ternyata harga pasar
yang menjadi dasar pengukuran nilai wajar dapat dimanipulasi atau dapat
diintervensi. Hal ini dilakukan oleh beberapa bank yang memanipulasi pasar
valuta asing. Lima bank besar yaitu Citigroup, HSBC, JPMorgan Chase, Royal
Bank of Scotland, dan UBS berusaha memanipulasi kurs mata uang asing di
pasar valuta asing. Citigroup, HSBC, JPMorgan Chase, Royal Bank of Scotland,
dan UBS didenda 5,4 miliar dollar AS oleh Komisi Perdagangan Berjangka
Komoditi Amerika Serikat. Lima bank tersebut di duga memanipulasi pasar mata
uang asing. Padahal perusahaan-perusahaan di seluruh dunia menggunakan nilai
tukar mata uang untuk menghargai aset mereka dan mengelola risiko keuangan
mereka (Liauw, 2014).
1.7 Kontribusi Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut:
1.
Manfaat Teoritis
Informasi nilai wajar harus mampu membuat perbedaan dalam sebuah keputusan.
Jika tidak mempengaruhi keputusan, maka informasi tersebut dikatakan tidak relevan
terhadap keputusan yang diambil (Kieso et al., 2011). Tetapi ada fenomena yang
menarik terkait harga pasar yang menjadi dasar pengukuran nilai wajar dapat
dimanipulasi atau dapat diintervensi sehingga menyebabkan suatu transaksi yang
15
tidak wajar. Lima bank besar yaitu Citigroup, HSBC, JPMorgan Chase, Royal Bank
of Scotland, dan UBS berusaha memanipulasi kurs mata uang asing di pasar valuta
asing.
Pengungkapan dan pengukuran nilai wajar merupakan informasi yang penting
bagi investor, namun tingkat kebenaran informasi dapat dipengaruhi oleh kesalahan
jumlah pengukuran karena menggunakan sumber perkiraan yaitu dari manajemen
atau penilai eksternal. Dalam prakteknya, ketika pasar aktif untuk aset dan kewajiban
keuangan tidak ada maka pengukuran nilai wajar mungkin tidak dapat didefinisikan
dengan baik (Landsman, 2007).
Penelitian mengenai relevansi nilai menjadi penting karena terdapat klaim yang
menyatakan bahwa laporan keuangan berbasis biaya historis telah kehilangan
sebagian besar relevansinya bagi investor yang diakibatkan oleh perubahan besarbesaran dalam perekonomian, yaitu dari perekonomian industrial ke perkonomian
berteknologi tinggi dan berorientasi jasa (Francis and Schipper, 1999).
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada penambahan
pengetahuan atau masukan teori baru yang berkaitan tentang relevansi nilai pada nilai
wajar instrumen keuangan kepada investor maupun manajer investasi sehingga
mereka dapat menentukan nilai wajar instrumen keuangan yang dimiliki, meramalkan
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya dan mengelola risiko
keuangan mereka.
2.
Manfaat Praktis
a.
Bagi Manajer Investasi
16
Penelitian ini juga memberikan informasi kepada Manajer Investasi bagaimana
relevansi nilai dari informasi nilai wajar instrumen keuangan setelah penerapan
PSAK 50, 55 dan 60 tentang instrumen keuangan pada perusahaan keuangan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2013 sehingga manajer investasi
dapat mengelola risiko terhadap instrumen keuangan yang dikelolanya dalam
mengambil keputusan investasi.
b.
Bagi Regulator
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi tentang kompleksitas
penerapan nilai wajar instrumen keuangan dalam menetapkan Standar Akuntansi
Keuangan tentang instrumen keuangan yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan
Indonesia supaya dapat membuat Standar Akuntansi Keuangan yang Long Lasting.
c.
Bagi Investor
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi atau pengetahuan
tambahan tentang relevansi nilai dari informasi nilai wajar instrumen keuangan
sehingga investor dapat menilai arus kas masa depan instrumen keuangan yang
dimilikinya, daya saing kegiatan perusahaan yang berisiko, menentukan nilai wajar
instrumen keuangan yang dimiliki ketika akan menjual instrumen keuangan tersebut
dan mengelola risiko keuangan mereka.
1.8 Sistematika Penulisan Penelitian
Penelitian ini disusun dengan sistematika penulisan penelitian sebagai berikut:
BAB I
:
PENDAHULUAN.
17
Bab ini akan menguraikan latar belakang masalah, batasan masalah,
perumusan masalah, pertanyaan penelitian, ruang lingkup penelitian,
tujuan penelitian, motivasi peneletian, konstribusi penelitian, dan juga
sistematika penulisan penelitian.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS.
Bab ini akan menguraikan teori relevan dengan penelitian dan hasil
penelitian terdahulu sebagai dasar untuk pengembangan hipotesis
penelitian.
BAB III
:
METODE PENELITIAN.
Bab ini akan menguraikan metode yang digunakan dalam penelitian,
termasuk
sumber
dan
jenis
data,
identifikasi
variabel
dan
pengukurannya serta metode analisis yang digunakan untuk pengujian
hipotesis.
BAB IV
:
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.
Bab ini akan menguraikan hasil penelitian yang meliputi deskripsi
data,
pengujian
asumsi
klasik,
pengujian
hipotesis
dan
pembahasannya.
BAB V
:
PENUTUP.
Bab ini akan memberikan uraian tentang kesimpulan, keterbatasan,
saran dan implikasi penelitian.
Download