PERKEMBANGAN JASA-JASA DAN POSISI INDONESIA DALAM PERUNDINGAN GATS KE DEPAN Unit Kerja Pelaksana: Direktorat Neraca Pembayaran dan Kerjasama Ekonomi Internasional Contact person: [email protected] Abstrak Kajian ini ditujukan untuk menganalisis persoalan jasa-jasa karena dalam neraca pembayaran Indonesia, neraca jasa selalu mencatat defisit baik sebelum maupun sesudah krisis dengan kecendurang tingkat defisit yang makin membesar. Analisis dilakukan dengan pendekatan sisi neraca pembayaran dan kaitannya dengan perundingan General Agreement on Trade in Services (GATS) mengingat perkembangan jasa terkait dengan komitmen Indonesia dalam GATS. Kajian ini ditujukan pula sebagai bahan masukan bagi posisi Indonesia dalam perundingan GATS. Metodologi kajian dilakukan dengan deskriptif analitis menggunakan data sekunder, hasil wawancara dan kelompok diskusi terfokus (focus group of discussion). Untuk mendapat kedalaman analisis, fokus kajian diarahkan pada subsektor jasa yang signifikan dalam neraca pembayaran yaitu transportasi, pariwisata dan keuangan. Disamping itu dianalisis pula masalah tenaga kerja indonesia (TKI). Dari hasil kajian ditemukan bahwa jasa transportasi laut nasional lebih banyak dikuasai perusahaan asing sehingga melemahkan daya saing perdagangan komoditas nasional dan justru memberikan keunggulan kompetitif kepada produk dan jasa asing. Jasa transporasi nasional belum siap dalam memasuki pasar bebas. Kebijakan/peraturan pemerintah di bidang jasa transportasi belum komprehensif dan mendukung pengembangan industri jasa transportasi nasional. Di jasa pariwisata, kinerjanya relatif lebih rendah dibanding Malaysia, Thailand dan Singapura melalui pengukuran Tourism Impact Index, dan Tourism Participation Index. Sedangkan pada jasa keuangan, Indonesia sudah relatif terbuka untuk pasar asing meski belum mencapai liberalisasi penuh. Menyangkut migrasi tenaga kerja, devisa yang dihasilkan oleh TKI cukup signifikan. Sepanjang perekonomian dalam negeri masih terbatas dalam menyediakan lapangan kerja maka pengiriman TKI masih tetap strategis. Secara umum disimpulkan pula bahwa koordinasi kelembagaan yang menengani jasajasa ini masih lemah. Beberapa rekomendasi utama yang disampaikan diantaranya adalah bahwa di sektor transportasi laut, Indonesia harus dapat mewujudkan asas cabotage untuk perairan domestik, menentukan beberapa pelabuhan internasional, dan perbaikan kebijakan yang berkaitan dengan kemajuan transportasi laut. Sedangkan rekomendasi utama untuk meningkatkan kualitas jasa transportasi udara adalah menyederhanakan pelayanan seperti e-ticketing, e-boarding dan kepastian jadwal penerbangan. Di sektor pariwisata, perlu diperhatikan keunggulan komparatif di bidang kompetisi harga serta kelemahan di bidang infrastruktur, SDM, teknologi dan lingkungan sosial dibanding negara ASEAN lainnya. Di bidang jasa keuangan, perlu dilakukan percepatan implementasi arsitektur perbankan Indonesia dan reformasi institusi regulator dan pengawas. Di bidang TKI, pemerintah perlu melaksanakan kebijakan menyeluruh dan terpadu untuk memberikan perlindungan terhadap TKI. Secara umum rekomendasi lain yang disampaikan adalah perlunya penguatan koordinasi kelembagaan untuk menangani sektor jasa. 1 1. Latar Belakang Jasa-jasa dalam neraca pembayaran Indonesia terdiri atas jasa-jasa non-faktor dan faktor. Jasa-jasa non-faktor dibagi lagi menjadi jasa transportasi, pariwisata, dan komunikasi. Sementara itu, jasa-jasa faktor terdiri dari transaksi jasa dalam kelompok penghasilan (income) dan kelompok transfer. Hasil penggunaan faktor produksi, modal dan tenaga kerja dicatat dalam kelompok penghasilan, misalnya dividen dan bunga. Selanjutnya transaksi dalam kelompok transfer meliputi transaksi yang tidak menimbulkan kewajiban untuk melakukan pembayaran (unrequited transfer), seperti hibah yang diterima pemerintah maupun swasta. Untuk melihat karakterisitik neraca jasa Indonesia, maka dipergunakan neraca jasa Indonesia dalam penyajian analitis seperti ditunjukkan dalam gambar 1. Gambar 1. Perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia Perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia 1990 - 2002 (dalam juta US$) 30,000 Juta US$ 20,000 10,000 0 -10,000 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 -20,000 Transaksi Berjalan Neraca Perdagangan Neraca Jasa Sumber: Bank Indonesia Karakteristik Neraca Jasa Indonesia selalu menunjukkan pengeluaran yang lebih besar dibandingkan dengan penerimaannya, sehingga karakteristik neraca jasa selalu menunjukkan defisit. Pada umumnya, neraca jasa mempunyai karakteristik yang menunjukkan selalu defisit pada neraca jasa nonmigas dan selalu surplus pada neraca jasa migas. Defisitnya neraca jasa terutama berkaitan erat dengan cukup besarnya pengeluaran untuk pembayaran bunga utang dan biaya transportasi impor barang. Sementara itu, dalam kaitannya dengan keanggotaan Indonesia dalam organisasi perdagangan dunia World Trade Organization (WTO), Indonesia perlu segera memberikan konfirmasi mengenai permintaan (request) yang telah diajukan oleh negara maju mencakup 5 sektor/subsektor jasa yaitu jasa keuangan, jasa telekomunikasi, jasa perhubungan laut, jasa industri termasuk jasa konstruksi, dan jasa pariwisata. Ini berarti Indonesia perlu melakukan identifikasi sektor dan sub-sektor ataupun usaha penunjang yang akses pasarnya dapat dimasuki oleh investasi asing. Demikian pula dengan penawaran (offers) yang telah diajukan oleh negara-negara anggota lainnya mencakup jasa bisnis, komunikasi, konstruksi, distribusi, pendidikan, lingkungan, keuangan, kesehatan, pariwisata (tourism), rekreasi kebudayaan dan olahraga, transportasi, dan jasa-jasa lainnya, Indonesia masih dalam tahap klarifikasi. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dilakukan 2 kajian terhadap perkembangan jasa-jasa usulan posisi Indonesia dalam perundingan General Agreement on Trade in Services (GATS) ke depan. 2. Tujuan Tujuan dari kajian ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai permasalahan di bidang neraca jasa-jasa, menyiapkan bahan masukan untuk perbaikan terhadap kinerja jasa-jasa, dan untuk merekomendasikan pandangan-pandangan dan usulan-usulan kebijakan yang sebaiknya ditempuh oleh Indonesia dalam keterlibatannya di dalam GATS pada umumnya. 3. Metodologi 3.1. Kerangka Analisis Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini meliputi dua hal. Pertama, analisa dilakukan dengan melihat komponen jasa-jasa dalam Neraca Pembayaran dan kedua dengan melihat sektor jasa dalam kerangka GATS. Dua aspek ini sangat terkait sehingga bila kita berbicara tentang proyeksi ekspor impor jasa di neraca pembayaran, mau tak mau harus melihat pula perkembangan perundingan jasa dalam GATS mengingat Indonesia sudah meratifikasi perjanjian GATS tersebut. Sektor jasa terdiri dari beberapa sub sektor. Secara internasional terdapat tiga cara pengklasifikasian. Pertama klasifikasi sektor jasa dalam neraca pembayaran yang terdiri dari jasa transportasi, travel, komunikasi, konstruksi, asuransi, keuangan, komputer, royalti dan jasa-jasa lain. 1 Kedua, klasifikasi dari GATS dimana jasa dibagi dalam dua belas sektor yaitu jasa bisnis, komunikasi, konstruksi, distribusi, pendidikan, lingkungan, keuangan, kesehatan, pariwisata (tourism), rekreasi kebudayaan dan olahraga, transportasi, dan jasa-jasa lainnya. 2 Ketiga, klasifikasi CPC (central product classification) yang meliputi jasa konstruksi, jasa distribusi perdagangan, penginapan, pelayanan makanan, transportasi, keuangan, penyewaan, real estat, jasa bisnis dan produksi, serta jasa pelayanan individu, komunitas dan sosial. 3 Kajian ini berupaya menganalisis sektor jasa di tiap subsektor. Namun mengingat begitu luasnya sektor jasa, kajian ini akan memfokuskan pada beberapa sektor jasa yang memiliki dampak signifikan terhadap neraca pembayaran di Indonesia seperti jasa transportasi, pariwisata dan keuangan. Kemudian selain tiga sub sektor tersebut, akan ditambahkan pula analisis mengenai tenaga kerja Indonesia (TKI). Disamping perannya dalam statistik neraca pembayaran, masalah migrasi tenaga kerja juga merupakan salah satu aspek yang cukup menarik dalam perundingan-perundingan GATS. Jasa pariwisata dan pendapatan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri menjadi andalan penerimaan devisa jasa-jasa. Peranannya masing-masing sebesar di atas 20 persen dan sekitar 6 persen terhadap sektor jasa. Sedangkan jasa transportasi dan keuangan mendorong peningkatan defisit transaksi jasa-jasa. Peranannya masing-masing sebesar di atas 40 persen dan sekitar 40 persen terhadap sektor jasa secara keseluruhan. 3.2. Metode Pelaksanaan Kajian Metodologi yang digunakan dalam kajian ini bersifat deskriptif analisis. Bentuk kegiatan yang akan dilakukan dalam penelitian adalah: melakukan studi literatur mengenai 1 IMF, Balance of Payment Manual (BPM) V. WTO, services sectoral classification list, mtn.gns/w/120 10 july 1991 3 United Nations Statistical Commission, CPC version 1.1 21 Pebruary 2002 2 3 neraca jasa-jasa dan kaitan jasa-jasa dalam GATS, melakukan pertemuan (interview) dengan instansi terkait, dan menggunakan forum kelompok diskusi terbatas (focus group of discussion) tentang perkembangan jasa-jasa dan dampak perundingan GATS terhadap Indonesia. 3.3. Data Kajian ini dilakukan dengan menggunakan data-data sekunder. Mengingat sektor jasa yang begitu luas dan bersifat lintas instansi, maka data yang digunakan juga beragam dari berbagai sumber sesuai dengan subjeknya. Dalam pengumpulan data, disamping memanfaatkan data hasil publikasi, pengumpulan data juga dilakukan dengan survei berupa kunjungan (interview) dengan pihak-pihak terkait. 4. Hasil Kajian dan Analisis Guna melihat kedalaman hasil kajian yang telah dilakukan, penulisan hasil kajian dan analisis dirumuskan dalam bentuk yang lebih spesifik pada tiap sub sektor dari beberapa sektor jasa sebagai berikut. 4.1. Jasa Transportasi Jasa transportasi merupakan salah satu faktor yang penting yang berpengaruh terhadap lancarnya kegiatan perdagangan. Sayangnya penanganan jasa transportasi milik bangsa Indonesia belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Akibatnya peluang memperoleh devisa, lapangan pekerjaan dan penguasaan teritorial Indonesia oleh usaha jasa transportasi nasional belum dapat dimanfaatkan. 4.1.1. Jasa Transportasi Dalam Neraca Pembayaran Indonesia Berdasarkan data dari Bank Indonesia, defisit jasa transportasi dalam neraca pembayaran merupakan penyumbang defisit terbesar dibandingkan dengan jasa travel dan investment income. Jasa travel yang terdiri dari tenaga kerja dan wisman justru menunjukkan kondisi surplus. Statistik jasa transportasi baik pada jasa pengangkutan penumpang maupun pengangkutan barang menunjukkan nilai defisit. Gambar 2 Nilai Transaksi Jasa-Jasa 1994-2002 10,000 Juta US$ 5,000 (5,000) 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 (10,000) (15,000) (20,000) Tahun SERVICES Transportation Travel 4 Investment Income Defisit pada jasa pengangkutan penumpang yang masuk dalam non-freight sebelum krisis tidak sebesar setelah krisis. Kondisi sebaliknya terjadi pada jasa pengangkutan barang. Setelah krisis defisitnya lebih baik dari jasa pengangkutan penumpang, meskipun belum pulih bahkan belum tampil lebih baik dari sebelum krisis. Hal ini sangat berkaitan erat dengan aktivitas ekspor-impor barang yang mulai pulih walaupun belum sebaik kondisi sebelum krisis. Gambar 3 NILAI JASA FREIGHT DAN NON FREIGHT 1994-2003 Juta US$ (1,000) 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 (2,000) (3,000) (4,000) (5,000) (6,000) Tahun A. FREIGHT B. NON FREIGHT Defisit dalam neraca jasa transportasi salah satunya disebabkan jasa pengiriman barang ekpor dari Indonesia tidak dalam C.I.F (Cost, Insurance and Freight) tetapi F.O.B (Freight On Board). Yang berarti negara ekportir dalam hal ini Indonesia tidak menanggung transportasi pengiriman barang dan asuransinya, tetapi diurus oleh negara importir. Karena Indonesia mengekspor barang dalam FOB berarti biaya hanya sampai di atas kapal. Dengan demikian Indonesia hanya memperoleh penghasilan dari ekspor barang, tetapi tidak memperoleh pemasukan dari jasa transportasi dan asuransi, sementara itu nilai jasa pengiriman barang cukup besar. Apabila ekspor Indonesia dengan CIF, Indonesia akan menerima biaya harga barang, asuransi 4 , dan biaya pengangkutan ke pelabuhan tujuan, karena dilakukan oleh perusahaan domestik. 4.1.2. Permasalahan Jasa Transportasi Laut dan Udara Perkembangan transportasi laut Indonesia cukup memprihatinkan, karena terbukti terus mengalami penurunan pangsa muatan dan jumlah armada. Di tengah-tengah berkembangnya perdagangan bebas dan meningkatnya kebutuhan angkutan laut dunia, peran armada laut nasional menyusut drastis. Sehingga banyak kapal-kapal armada asing yang terlibat dan mengambil pangsa pasar pengangkutan komoditi baik ekspor-impor maupun antar pulau. 4 Asuransi adalah persetujuan di mana pihak penanggung berjanji akan mengganti kerugian sehubungan dengan kerusakan-kerusakan, kerugian atau kehilangan laba yang diharapkan oleh pihak tertanggung yang diakibatkan oleh suatu kejadian yang tidak disangka. 5 Selama hampir dua dekade belakangan ini sekitar 95% muatan ekspor impor Indonesia diangkut oleh kapal asing. Pangsa angkutan laut internasional ini semula pernah mencapai 37%, angka terendah dicapai pada tahun 90an yaitu 3% 5 . Saat ini terdapat sekitar 400 perusahaan pelayaran yang diberi izin, namun yang beroperasi hanya 50%. Akibatnya, dari pengangkutan barang ekspor yang mencapai 5.000.000 peti kemas, hanya 250.000 yang diangkut dengan kapal Indonesia. Sisanya sebesar 4,75 juta dikuasai oleh kapal milik perusahaan asing. Untuk kepentingan kargo domestik, kapal asing menguasai sekitar 60% (tabel 1) dari 80 juta ton pengangkutan barang hasil tambang atau mencapai 48 juta ton (Ditjen Hubla - Dep Hub), sehingga azas cabotage 6 belum dapat diterapkan secara optimal. Selama ini untuk angkutan peti kemas, barang dan penumpang prinsip cabotage sudah sebagian diterapkan namun untuk angkutan hasil tambang dan minyak belum sama sekali. Dari minyak saja yang diangkut perusahaan pelayaran asing setahunnya bisa mencapai US$ 2,04 milyar 7 . Padahal prinsip cabotage ini tetap berlaku di China dan Amerika Serikat. Jika biaya pengangkutan barang sekitar US$ 2.000 per peti kemas, berarti pendapatan perusahaan asing mencapai sekitar US$ 9,5 milyar setahun. Jumlah itu belum termasuk yang diperoleh dari angkutan antar pulau. Tabel 1. Kontribusi Menurut Komoditi dan Bendera Kapal Bendera Kapal KOMODITI Indonesia Asing BBM 39% 61% CPO 62% 38% Batubara 40% 60% Pupuk 74% 26% Kayu 72% 28% Beras 62% 38% Karet 65% 35% Sumber : Ditjen Hubla-Dep Hub, Maret 2004 Setidaknya terdapat tiga faktor yang melemahkan perkembangan jasa transportasi nasional. Pertama adalah Lemahnya Peraturan/Kebijakan Nasional. Kebijakan pemerintah Inpres Nomor 4 tahun 1985 yang intinya menggalakkan ekspor nonmigas dimana dalam pelaksanaannya pemerintah memberi kebebasan kapal asing dari negara manapun boleh masuk dan bersandar di pelabuhan Indonesia manapun, sepanjang dapat membantu kelancaran ekspor nasional dinilai tidak pro terhadap jasa transportasi nasional. Untuk angkutan laut dalam negeri, sejak dikeluarkannya Paket 21 November 1988, secara de facto Indonesia telah menerapkan globalisasi pasar angkutan laut melalui deregulasi ijin trayek, sehingga semua perusahaan pelayaran baik nasional maupun asing bebas memilih rute sesuai pasar. Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 82 tahun 1999 tentang Pelayaran Rakyat (Pelra). PP tersebut mengartikan Pelra memperoleh keringanan tariff pelabuhan. 5 Data dari Direktorat Jenderal Kelautan tahun 2000. Azas cabotage berarti bahwa armada nasional suatu negara mempunyai hak penuh untuk mengangkut muatan dalam negerinya. 7 Kompas 15 September 2004. 6 6 Diharapkan pelaksanaan PP nomor 82 tahun 1999 dapat menghilangkan biaya ekonomi tinggi di laut maupun di pelabuhan. Namun kebijakan tersebut kenyataannya belum berhasil mempertahankan prinsip cabotage. Apabila dibandingkan dengan negara lain seperti China, mereka mewajibkan pemakaian kapal berbendera China bagi siapapun dari negara manapun yang ingin berdagang dengannya. Bahkan kapal yang digunakanpun harus dibangun di negeri Tirai Bambu itu, didanai oleh Bank negara di sana, dominan diawaki oleh pelaut mereka dan wajib direparasi di galangan kapal China. Faktor kedua adalah Buruknya Keamanan Transportasi. Kinerja transportasi laut yang rendah dan tertinggal juga disebabkan oleh citra Indonesia dalam kancah bisnis transportasi laut beresiko tinggi, berkenaan dengan keselamatan pelayaran. International Maritim Organization (IMO) mencatat Indonesia sebagai negara dengan tingkat kecelakaan dan perampokan di laut cukup tinggi (hight risk country). Faktor ketiga adalah Buruknya kondisi pelabuhan laut. Sampai sat ini, tarif pelabuhan yang dipungut terminal kepada perusahaan pelayaran (Container Handling Charge/CHC) termasuk yang termahal di dunia, demikian halnya dengan tarif yang dipungut perusahaan pelayaran kepada eksportir/importir (Terminal Handling Charge/THC) (tabel 2). Sampai saat ini operator kapal kontainer dikuasai asing seperti Maersk Sealand 8 . Tabel 2. Biaya Jasa Kontainer Terminal Pelabuhan di Berbagai Negara Negara Container Terminal Handling Charge Handling Charge Singapura 88 101 Malaysia 61 78 China (Shanghai) 52 66 Filipina 71 78 Indonesia (Jkt) 93 150 Indonesia (Sby) 91 145 Satuan dalam US$, dihitung untuk peti kemas ukuran 20 feet CHC: dipungut terminal kepada perusahaan pelayaran THC: dipungut perusahaan pelayaran kepada ekportir/importir Sumber : Majalah Trust, Edisi 22 tahun 2, 1-7 Maret 2004 Sampai sekarang belum ada satu pelabuhan di Indonesia yang memiliki fasilitas untuk pengamanan area perairannya secara memadai, meskipun pemberlakuan Internasional Ship and Port Facility Security (ISPS) Code secara resmi berlaku sejak 1 Juli 2004. Dampak belum dipenuhinya standar pengamanan kapal dan fasilitas pelabuhan internasional, maka Pelabuhan Makasar sebagai contohnya terancam terisolasi dari pelayaran internasional. 9 Perkembangan angkutan udara melalui penerbangan internasional dapat dilihat dari arus kedatangan penumpang, dimana peran wisatawan manca negara (wisman) masih cukup besar. Pada tahun 2000, jumlah pesawat yang datang dari luar negeri mencapai 40.571 unit dengan membawa penumpang sebanyak 4.243.327 orang, 65% diantaranya adalah wisman yang datang ke Indonesia. Selama periode 1995-2000, dari total penumpang internasional berjadwal, mayoritas masih diangkut oleh perusahaan penerbangan internasional (tabel 3). Karena itu, tantangan jasa penerbangan dimasa 8 9 Perusahaan operator kapal kontainer internasional terbesar berpusat di Denmark. Kompas, 27 Agustus 2004 7 datang adalah: (1) Penerbangan Asing yang langsung ke daerah tujuan, dan (2) Persaingan harga tiket. Tabel 3 Kedatangan dan Keberangkatan Pesawat, Penumpang dan Kargo Untuk Penerbangan Internasional Berjadwal (1994-2000) Kedatangan Tahun Keberangkatan Total Unit Penumpang Kargo Unit Penumpang Kargo Unit Penumpang Kargo Pergerakan (orang) (Ton) Pergerakan (orang) (Ton) Pergerakan (orang) (Ton) Pesawat Pesawat Pesawat 1994 37,739 3,823,830 121,724 3,895 3,941,304 206,819 41,634 7,765,134 328,543 1995 41,688 4,146,581 142,372 42,504 4,082,021 209,778 84,192 8,228,602 352,150 1996 44,633 4,512,500 103,469 44,802 4,513,812 228,931 89,435 9,026,312 332,400 1997 47,947 4,513,364 183,451 49,295 4,474,333 229,774 97,242 8,987,697 413,225 1998 37,205 3,778,509 119,570 37,829 3,833,025 226,268 75,034 7,611,534 345,838 1999 40,064 3,877,617 148,889 39,552 3,924,275 226,230 79,616 7,801,892 375,119 2000 40,571 4,243,327 173,791 40,052 4,728,389 215,240 80,623 8,971,716 389,031 Sumber: BPS, Statistik Perhubungan 2000, Jakarta 2002 4.1.3. Jasa Transportasi Indonesia, Dunia dan Isu Dalam GATS Dalam situasi persaingan pasar yang kompetitif, jasa menjadi sumber nilai tambah (value added) yang cukup besar. Liberalisasi akan membawa beberapa dampak positif antara lain pengguna jasa akan lebih leluasa memilih yang tepat untuk mereka, baik untuk produk penyedia jasanya, mendorong terjadinya flight to quality, akan memacu ke persaingan usaha yang lebih tertib dan good corporate governance. Liberalisasi juga akan memperluas kesempatan lapangan kerja bagi para professional dan skilled labors, dimungkinkan terjadinya arus masuk modal luar serta memacu ke pengembangan teknologi, informasi dan manajemen yang lebih baik di tingkat global. Prinsip-prinsip dasar GATS yaitu: 1. GATS mencakup seluruh sektor jasa yang diperdagangkan secara internasional. 2. Perlakuan most favoures nation (perlakuan sama bagi semua) berlaku bagi seluruh sektor jasa kecuali sektor-sektor yang masih dinyatakan dikecualikan untuk sementara. 3. Peraturan perundangan seluruh negara anggota harus transparan, yang mana diperlukan inquiry points di setiap negara. GATS mengharuskan negara-negara anggota membuat seluruh peraturan perundangan yang relevan terbuka utuk semua pihak. 4. Peraturan harus obyektif dan beralasan. 5. Pembayaran internasional secara umum tidak terbatas. 6. Komitmen suatu negara (individual countries commitment) harus sebagai hasil perundingan dan diikat. 7. Liberalisasi progresif melalui perundingan lebih lanjut. Prinsip GATS yang terkait dengan jasa transportasi laut dibicarakan pada akhir Putaran Uruguay tepatnya pada pertemuan tingkat menteri di Marakesh pada 12 – 15 April 2004, Komite negosiasi perdagangan mengadopsi keputusan pada Negotiation Group on maritim Transport Services (NGMTS) dan memberi mandat agar grup 8 melakukan negosiasi jasa maritim dan dijadwalkan pada Juni 2006. Dalam pembicaraan tersebut diharapkan adanya negosiasi komprehensif yang meliputi pengapalan internasional, jasa-jasa pendukung, dan akses untuk menggunakan fasilitas pelabuhan. Indonesia turut dalam NGMTS tersebut sebagai anggota penuh. Pada kenyataannya para anggota gagal menyetujui paket komitmen yang berkaitan dengan jasa transportasi laut dalam NGMTS tersebut. Baru-baru ini berdasarkan pembahasan APEC disepakati mengenai tingkat kwalitas dan keamanan jasa pelabuhan harus berstandar internasional. Tampaknya hal ini akan menjadi masalah yang menghadang bagi Indonesia dalam bersaing dengan negara lain. Dalam perkembangan jasa transportasi udara, Indonesia telah mengikuti prinsip dan teknik pemanduan angkutan udara internasional yang disusun ICAO (International Civil Aviation Organization). Implikasi pelaksanaan ketentuan internasional terhadap aspek keselamatan penerbangan adalah pengelola bandara harus memenuhi persyaratan pembangunan dan pengoperasian fasilitas bandar udara serta pelayanan pemanduan navigasi penerbangan (Air Traffic Services/ATS) yang meliputi Aeronautical Flight Information Services (AFIS), Aerodrome Control (ADC), Approoach Area (APP), dan Area Control Centre (ACC). Sampai saat ini, belum semua bandara di Indonesia berstandar keselamatan penerbangan dan pengoperasian fasilitas bandara internasional, hanya 7 dari 187 bandara. Dari 187 bandara hanya 10 bandara yang dapat menarik keuntungan dari jasa transportsai udara, sisanya masih merugi. Oleh karena itu meskipun dengan UU otonomi daerah, bandara di daerah diserahkan pengelolaannya pada pemerintah daerah setempat belum dapat dilaksanakan karena besarnya beban investasi dan operasionalnya. WTO menginginkan agar semakin banyak sektor jasa dalam negeri yang dibuka bagi kepentingan investasi jasa dari luar. Ini berarti Indonesia sebagai negara yang telah commit dengan ketentuan WTO, harus membuka semua sektor termasuk jasa transportasi. Sampai saat ini sektor jasa masih dikuasai oleh negara-negara maju akibat keunggulannya dalam penguasaan teknologi, modal, manajemen, dan SDM. Negara yang telah maju industrinya sudah pasti diikuti dengan jasa palayanan seperti jasa perbaikan, pemeliharaan, dan pelayanan lainnya. Perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di negara lain sebagai PMA juga tidak akan diam tetapi justru akan semakin meningkatkan peran mereka dalam sektor jasa. Kelemahan sektor jasa Indonesia, harus disikapi dengan penguatan peraturan dan implemensi yang nyata dari pemerintah dengan melibatkan swasta. 4.2. Jasa Pariwisata Pariwisata merupakan salah satu sektor yang sangat diharapkan dapat menjadi primadona dalam perolehan devisa. Meskipun demikian, kemampuan sektor pariwisata sebagai penghasil devisa ini menunjukkan kecenderungan yang kurang menggembirakan. Di sisi lain, kecenderungan orang Indonesia untuk bepergian ke luar negeri semakin meningkat dalam sepuluh tahun terakhir. Hal ini mengakibatkan semakin mengecilnya travel balance (inflow devisa-outflow devisa) dari sektor pariwisata. 9 4.2.1. Kinerja Sektor Pariwisata di Indonesia Penerimaan devisa turis meningkat dari tahun ke tahun pada masa pra krisis dan mencapai puncaknya sebesar USD 4.237 juta pada tahun 1997 dan turun drastis pada tahun 1998 hingga hanya sebesar USD 2.153 juta. Meskipun belum mencapai tingkat pertumbuhan yang sama dengan masa sebelum krisis, angka travel inflows sebenarnya beranjak naik mulai tahun 1999 yaitu sebesar USD 4,4 miliar dari tahun sebelumnya yaitu 4,3 miliar. 10 Statistik jasa kunjungan keluar (travel-outflows) mencakup pengeluaran devisa dari kunjungan wisatawan Indonesia ke luar negeri baik untuk tujuan bisnis maupun personal, Termasuk haji dan umroh. Pengeluaran devisa turis oleh wisatawan Indonesia yang bepergian ke luar negeri terus mengalami kenaikan selama satu dasawarsa terakhir ini. Pengeluaran devisa turis oleh wisatawan Indonesia yang bepergian ke luar negeri terus mengalami kenaikan selama satu dasawarsa terakhir ini dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 9,8%. Dalam pra krisis angka pertumbuhan pengeluaran devisa turis bahkan mencapai sekitar 16,2%. Kecenderungan ini terus berlangsung selama periode pasca krisis dengan pertumbuhan sebesar 4,4% sampai dengan sekarang. Wisatawan asing yang paling banyak berkunjung ke Indonesia berasal dari Singapura yang berdekatan secara geografis dengan Indonesia. Namun demikian, karakteristik turis dari negara Asia berbeda dengan turis yang berasal dari Eropa atau Timur Tengah. Wisman asal Singapura merupakan yang tersingkat masa kunjungannya di antara 10 pasar utama pariwisata Indonesia. Sedangkan kunjungan dengan lama tinggal relatif panjang, yaitu sekitar 2 minggu dilakukan oleh wisman dari USA, Inggris, Jerman dan Belanda. Hal ini mungkin terkait dengan jarak negara asal wisman ke Indonesia. Wisman dari negara yang jauh cenderung tinggal lebih lama untuk mengkompensasi biaya dan waktu perjalanan yang dibutuhkan. 4.2.2. Pariwisata Indonesia dalam menghadapi GATS Data The World Travel and Tourism Council (WTTC) tahun 2003 menunjukkan, satu-satunya faktor yang menguntungkan Indonesia hanya harga ( price Competitiveness Index). Berdasarkan data WTTC, pertumbuhan kunjungan wisman ke Indonesia pada tahun 2000 dan 2004 adalah 7,11% dan 2,41%. Namun pertumbuhan ini masih berada dibawah Malaysia, Singapura dan Thailand yang tumbuh masing-masing 28.89%, 10.53%, 10.73% untuk tahun 2000 dan 12,66%, 4,28%, 6,46% untuk tahun 2004. Dengan demikian kedepan persaingan untuk mendatangkan wisman semakin ketat apalagi upaya intensif dari negara negara tersebut semakin meningkat. Guna melihat perbandingan yang lebih baik, dapat menggunakan beberapa beberapa indikator sebagai pendekatan untuk melihat kesiapan kita dalam menghadapi GATS dan Perdagangan Bebas. Pertama adalah indikator Tourism Impact Index (TII).TII mengukur dampak ekonomi secara langsung dari aktifitas perekonomian dari industri pariwisata di suatu negara. TII dihitung dari rasio antara jumlah penerimaan pariwisata internasional dan belanja pariwisata internasional terhadap GDP. Dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, TII Indonesia masih dibawah Malaysia, Singapura dan Thailand. Dengan demikian Indonesia masih mempunyai pekerjaan rumah yang besar dalam upaya 10 Pariwisata, Potensi Sumber Devisa, Bank Indonesia, Mei 2004 10 meningkatkan kemampuan pariwisata dalam memperluas dampak pariwisata terhadap pertumbuhan ekonomi dalam kerangka GATT dan perdagangan global. Tabel 4. Asean Tourism Impact Index (TII) Th. 1990-2004 Negara Malaysia Singapore Thailand Indonesia Philipina 1990 8,49 22,70 7,24 2,89 3,67 1995 11,16 25,25 11,71 5,62 5,99 2000 11,71 19,70 13,43 9,30 6,17 2004 20,53 18,96 16,48 9,75 2,85 Sumber : World Bank (2004), World Development Indicators Kedua adalah indikator Tourism Participation Index (TPI). TPI mengukur keterlibatan masyarakat dalam aktivitas pariwisata TII dihitung dari ratio antara jumlah wisatawan yang masuk dan wisatawan domestik yang keluar negeri dibandingkan jumlah total penduduk dinegara tersebut. Dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, TPI Indonesia masih dibawah Singapura, Malaysia, Thailand dan Philipina. Hal ini perlu perhatian besar terutama dalam hal kesadaran pariwisata nasional untuk lebih memajukan daya saing wisata Indonesia di dunia internasional. Tabel 5. Asean Tourism Participation Index (TPI) Th. 1990-2003 Negara 1990 1995 2000 2003 Malaysia 20.52 13.65 10.32 11.0 Singapore 29.19 24.44 15.59 15.35 Thailand 1.68 1.25 0.89 0.95 Indonesia 0.20 0.26 0.17 0.19 Philipina 0.54 0.47 0.31 0.31 Sumber : World Bank (2004), World Development Indicators 4.3. Jasa Keuangan Perkembangan sektor jasa keuangan saat ini dipengaruhi oleh globalisasi atau liberalisasi baik di bidang perdagangan maupun investasi. Kini semakin marak transaksi yang bersifat lintas batas negara dimana hal tersebut bisa dimungkinkan terjadi karena adanya jasa lembaga keuangan. Kemudian seiring dengan makin globalnya perekonomian melalui arus perdagangan dan investasi, kebutuhan akan jasa intermediasi dan manajemen resiko juga kian meningkat. Perkembangan Jasa keuangan tak bisa dilepaskan dengan perkembangan dalam GATS mengingat Indonesia telah menjadi anggota WTO dan telah memberikan komitmennya dalam GATS untuk sektor jasa keuangan. 4.3.1. Mengambil Manfaat dan Mengurangi Resiko Liberalisasi Jasa Keuangan Jika dicari nilai benefitnya, setidaknya terdapat enam keuntungan dari liberalisasi jasa-jasa. Keenam keuntungan tersebut adalah: jasa keuangan yang efisien menjamin suksesnya ekonomi, membantu eksportir dan produsen di negara-negara berkembang untuk menambah daya kompetitif mereka, bertambahnya pilihan konsumen, meingkatkan inovasi baik proses maupun inovasi produk, memberikan kepastian hukum, membawa teknologi dan keahlian baru. 11 Disamping manfaat, liberalisasi jasa keuangan juga berpotensi memberi dampak negatif terhadap perekonomian nasional karena di dalam liberalisasi jasa keuangan tersebut mengandung beberapa resiko. Beberapa resiko tersebut adalah: potensi dampak negatif dari liberalisasi terhadap penyedia jasa keuangan domestik, kemungkinan kesulitan dalam monitoring/pengawasan perusahaan asing, potensi untuk mematikan “infant industry”, kemungkinan tak adanya komitmen dari perusahaan asing terhadap ekonomi lokal, potensi terjadinya “capital flight”. Harus disadari bahwa untuk bisa mendapatkan manfaat riil dari liberalisasi jasa keuangan tersebut, suatu negara perlu membuat berbagai persiapan yang matang. Beberapa faktor kunci untuk memperoleh manfaat dan kesuksesan upaya pembukaan pasar jasa keuangan meliputi bagaimana Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang kondusif dengan menjaga stabilitas makroekonomi dan keuangan, memperkuat sistem jasa keuangan domestik melalui reformasi struktural, serta penguatan regulasi dan pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan. 4.3.2. Posisi Indonesia dalam Perundingan GATS di Bidang Jasa Keuangan Dalam GATS, Indonesia memiliki dokumen schedule of commitment tanggal 15 April 1994, yang kemudian diperbaharui melalui suplemen pertama 28 Juli 1995, suplemen kedua 11 April 1997 dan terakhir diperbaharui lagi dalam suplemen ketiga tanggal 26 Februari 1998. Jasa keuangan menjadi tema sentral dalam perubahan suplemen-suplemen tersebut. Disamping itu, Indonesia memiliki List of Article II (MFN) Exemptions, pertama tanggal 15 April 1994, yang kemudian diperbaharui dalam suplemen pertama tanggal 15 April 1994. Dalam suplemen kedua disebutkan bahwa lisensi bank joint venture, diberikan dengan prinsip resiprocal. Secara umum boleh dikatakan bahwa hingga saat ini, Indonesia belum memiliki kebijakan nasional yang menyeluruh dan terpadu untuk menghadapi liberalisasi jasa keuangan. Penyebab belum adanya kebijakan nasional atau kebijakan sektoral di bidang perdagangan jasa, antara lain masing-masing sektor belum memiliki arah kebijakan, kemudian cakupan bidang jasa yang terlalu luas (ada 12 sektor dan sekitar 600 subsektor jasa), serta masih banyaknya regulasi yang belum disusun sesuai ketentuan WTO, serta permasalahan otonomi daerah yang terkait dengan peraturan daerah. Pada saat ini belum terdapat suatu lembaga yang mengkoordinasikan kebijakan sektor jasa-jasa dan GATS secara menyeluruh. Kebutuhan terhadap lembaga seperti ini dirasakan sangat penting sehingga perlu dibentuk. Saat ini posisi Indonesia boleh dikatakan belum full liberalized sehingga dalam perundingan-perundingan ke depan mengenai liberalisasi jasa keuangan ini, Indonesia dapat secara bertahap membuka lebih lanjut hingga mencapai liberalisasi penuh. Namun patokan utama dari langkah liberalisasi ini harus didasarkan pada proses deregulasi sistem jasa keuangan domestik, penguatan regulasi dan pengawasan serta penguatan institusi keuangan domestik. Pembukaan lebih lanjut bagi penyedia jasa keuangan asing ke pasar domestik, hanya dan hanya dapat dilakukan jika dibarengi dengan proses deregulasi, penguatan regulasi, pengawasan dan instutusi jasa keuangan domestik. Jika di dalam negeri proses penguatan jasa keuangan domestik baik dari sisi regulasi, pengawasan maupun institusinya itu sendiri belum bisa terlaksana, maka sebaiknya delegasi Indonesia dapat mengambil posisi bertahan. Posisi bertahan ini dapat diambil setidaknya sampai dengan tahun 2010 didasarkan atas tahapan implementasi arsitektur 12 perbankan indonesia (API) yang dibuat oleh Bank Indonesia, dimana pada tahun tersebut diharapkan perbankan Indonesia menjadi lebih kokoh. 4.4. Perkembangan Jasa Tenaga Kerja Terdapat dua isu utama yang dihadapi dunia pada saat ini berkaitan dengan globalisasi yaitu yang pertama adalah isu mengenai liberalisasi perdagangan dan isu kedua adalah mengenai personal movement atau migrasi tenaga kerja internasional atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Dengan adanya globalisasi atau perdagangan bebas, persaingan bagi tenaga kerja Indonesia tidak hanya untuk memperebutkan peluang pasar kerja di luar negeri namun juga memperebutkan peluang pasar kerja di dalam negeri terutama apabila dilihat dari segi kualitas dimana ada kemungkinan tenaga kerja yang ada di dalam negeri akan diisi oleh tenaga kerja asing yang lebih baik dan berkompeten. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kinerja bangsa Indonesia akan sangat tergantung pada sumber daya manusianya, bukan lagi pada sumber daya alam yang selama ini menjadi keunggulan komparatif. 4.4.1. Perkembangan dan Permasalahan di Sektor Jasa Personal Movement Tingkat pengangguran semakin meningkat yang dipicu oleh krisis ekonomi sejak tahun 1998 mengakibatkan jumlah angkatan kerja tidak dapat terserap seluruhnya. Hal tersebut merupakan salah satu faktor yang mendorong meningkatnya potensi jumlah TKI yang mencari pekerjaan di luar negeri. Pada tahun 2003 jumlah penduduk Indonesia mencapai 213,170 juta jiwa dengan jumlah angkatan kerja mencapai 100,316 juta jiwa sementara jumlah pengangguran mencapai 9,531juta jiwa atau 9,5 % terhadap angkatan kerja. Hal tersebut tampak pada tabel 6. Disamping sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi masalah pengangguran; ada beberapa keuntungan lain yang dapat diperoleh dari pengiriman TKI ke luar negeri; diantaranya adalah penciptaan devisa dari remittance yang dikirimkan ke dalam negeri, peningkatan kualitas tenaga kerja berkat pengalaman kerja dan interaksi sosial di luar negeri; serta peningkatan kesejahteraan sosial tenaga kerja. Tabel 6 TKI dan Angkatan Kerja Indonesia Keterangan 1997 1998 1999 2000 Jumlah Penduduk 199,359 201,661 203,963 206,265 Angkatan Kerja 89,706 92,772 94,847 95,651 Bekerja : 85,406 87,672 88,817 89,838 - Pertanian, Kehutanan 34,790 39,415 38,378 40,677 - Industri Manufaktur 11,009 9,934 11,516 11,642 - Perdagangan, Restoran 16,953 16,814 17,529 18,489 - Jasa-jasa 12,575 12,394 12,225 9,574 - Lainnya 10,079 9,115 9,169 9,456 Menganggur 4,300 5,100 6,030 5,813 TKI : - Formal - Informal Prosentase 1997 1998 1999 2000 Angk. Kerja / Jml. Pend. 45.0 46.0 46.5 46.4 Bekerja / Jml. Pend. 42.8 43.5 43.5 43.6 Menganggur / Jml Pend. 2.2 2.5 3.0 2.8 Bekerja / Angk. Kerja 95.2 94.5 93.6 93.9 Menganggur / Angk. Kerja 4.8 5.5 6.4 6.1 TKI / Menganggur TKI-Informal / Menganggur Sumber : BPS dan BI. Keterangan : angkatan kerja adalah usia produktif di atas 15 tahun. 13 2001 208,567 98,812 90,807 39,744 12,086 17,469 11,003 10,505 8,005 877 80 797 2001 47.4 43.5 3.8 91.9 8.1 11.0 10.0 (dalam ribuan orang) 2002 2003 210,869 213,170 100,779 100,316 91,647 90,785 9,132 9,531 502 819 279 217 223 602 2002 2003 47.8 47.1 43.5 42.6 4.3 4.5 90.9 90.5 9.1 9.5 5.5 8.6 2.4 6.3 Angka remitansi TKI selama periode sebelum krisis sampai dengan tahun 1997 relatif stabil rata-rata sekitar 2,2 miliar USD. Sedangkan pada periode setelah krisis, terutama pada tahun 1998 angka remitansi TKI mengalami penurunan cukup berarti kurang lebih separuh dari angka sebelum krisis sebesar rata-rata 1 miliar USD untuk 4 tahun pertama sampai dengan tahun 2001. Namun pada tahun 2003, angka remintasi TKI mulai meningkat cukup berarti sebesar 25 % dari jumlah remitan tahun sebelumnya; seperti terlihat pada tabel 7 di bawah ini. Tabel 7 TRANSFER DEVISA TKI Worker’s Remitances (WR) GDP (harga berlaku) Ekspor Non Migas (FOB) Ekspor (total) Impor Non Migas (C&F)(-) Services, inflows (tanpa WR) Services, inflows (total) Current Account Official Capital Inflows FDI inflows Private Capital Inlows (non FDI) Jumlah penduduk (juta) 1995 2.0 202.3 53.2 63.7 41.2 5.3 7.3 6.8 5.8 6.0 10.4 195 1996 2.5 226.9 58.6 70.8 44.3 5.8 8.3 7.8 5.7 8.1 12.6 197 1997 2.2 212.8 59.3 71.0 46.0 7.2 9.4 5.0 4.6 10.0 13.0 199 1998 0.9 97.5 51.6 59.0 32.1 6.4 7.3 4.1 7.4 7.0 8.2 202 1999 1.1 139.5 41.0 51.3 29.0 6.4 7.5 5.8 6.6 3.7 9.8 104 2000 1.2 150.7 50.3 65.4 37.0 7.6 8.8 8.0 3.9 3.0 5.5 206 (dalam miliar USD kecuali penduduk) 2001 2002 2003 1.0 1.3 1.5 142.8 172.0 208.3 44.8 46.3 47.9 57.4 59.2 63.4 31.3 31.0 33.0 7.5 6.7 5.1 8.5 8.0 6.6 6.9 7.8 7.7 2.5 2.3 2.1 2.3 5.2 3.0 6.5 3.5 7.3 209 211 213 Prosentase WR/GDP 1.0 1.1 1.0 0.9 0.8 0.8 Prosentase WR/Ekspor non migas 3.8 4.3 3.7 1.8 2.7 2.4 Prosentase WR/Ekspor (total) 3 4 3 2 2 2 Prosentase WR/Impor 4.9 5.6 4.8 2.9 3.8 3.2 Prosentase WR/Services Inflows (tanpa 37.7 43.1 30.6 14.4 17.2 15.8 WR) Prosentase WR/Services Inflows (total) 27.4 30.1 23.4 12.6 14.7 13.6 Prosentase WR/Current Account 29.4 32.1 44.0 22.4 19.0 15.0 Prosentase WR/Official Capital Inflows 34.5 43.9 47.8 12.4 16.7 30.8 Prosentase WR/FDI Inflows 33.3 30.9 22.0 13.1 29.7 40.0 Prosentase WR/Private Cap.Inflow (non 19.2 19.8 16.9 11.2 11.2 21.8 FDI) WR per Kapita 10.26 12.69 11.06 4.55 5.39 5.83 Keterangan : ekspor & impor non migas data dari BI, sedangkan PDB data dari BPS Jumlah penduduk berdasarkan sensus nasional tahun 1995 dan 2000 dan prorata untuk tahun diantaranya dan tahun berikutnya 0.7 2.2 2 3.2 13.3 0.8 2.8 2 4.2 19.4 0.7 3.1 2 4.5 29.4 11.8 14.5 40.0 43.5 15.4 16.3 16.7 56.5 25.0 37.1 22.7 19.5 71.4 50.0 20.5 4.78 6.16 7.04 Pada era globalisasi ini, masalah perlindungan TKI di luar negeri menjadi isu yang sensitif di dalam negeri. Lemahnya pencatatan transfer devisa yang dilakukan oleh Bank Indonesia juga merupakan suatu persoalan tersendiri. Pencatatan transfer devisa yang dilakukan oleh BI selama ini merupakan transfer yang dilakukan melalui bank sementara umumnya TKI belum berorientasi kepada bank (belum “bank minded”). Permasalahan selanjutnya adalah berkaitan dengan kualitas TKI dimana kualitas TKI yang bermigrasi ke luar negeri relatif termasuk negara maju dapat dikatakan masih rendah dibandingkan tenaga kerja dari negara lain. Disamping itu, Indonesia sendiri tidak luput dari migrasi tenaga kerja asing. Sejauh ini yang umum dijumpai adalah tenaga kerja skilled. Meski demikian, apabila situasi politik dan ekonomi sudah membaik, tidak tertutup kemungkinan Indonesia akan dimasuki tenaga kerja semi-skilled dari sesama negara Asia. Akibatnya, ancaman pengangguran untuk tenaga kerja skilled domestik akan semakin serius. Bagi Indonesia sendiri, berdasarkan data dari majalah Newsweek edisi 17 Oktober 1994, para migran tenaga kerja asing umumnya datang dari negara dimana tingkat upah buruh rendah dan terbanyak di antaranya berasal dari Indonesia (800 ribu) yang pada umumnya kualitas tenaga kerja dari Indonesia ini masih tergolong buruh kasar, sama seperti tenaga kerja migran dari Bangladesh. Untuk mengatur, membina, melaksanakan dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindugnan TKI di luar negeri, pada tanggal 18 Oktober 2004 telah 14 diterbitkan Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Sedangkan berkaitan dengan GATS, sampai saat ini belum ada kesepatakan / komitmen yang khusus mengatur mengenai sektor jasa tenaga kerja (personal movement) ini. Adapun hal-hal yang sedang dilakukan oleh Pemerintah antara lain adalah : meninjau standar pelatihan dan struktur biaya serta peningkatan pelayanan bagi TKI, melakukan kerjasama bilateral ketenagakerjaan, melakukan kerjasama dan koordinasi antara instansi berupa persiapan teknis pembentukan Tim Advokasi, dan membentuk Badan Penempatan TKI ke luar negeri. 5. Kesimpulan dan Rekomendasi 5.1. Kesimpulan Dari hasil kajian yang dilakukan untuk melihat perkembangan jasa-jasa dan kaitannya dengan GATS yang dilakukan secara spesifik melihat pada empat sektor jasa yaitu jasa transportasi, jasa pariwisata, jasa keuangan dan tenaga kerja, secara umum dapat disimpulkan bahwa di subsektor jasa transportasi, penerimaan devisa dari sektor jasa transportasi masih defisit, dimana Jasa transportasi laut nasional lebih banyak dikuasai perusahaan asing sehingga melemahkan daya saing perdagangan komoditas nasional dan justru memberikan keunggulan kompetitif kepada produk dan jasa asing. Jasa transporasi nasional belum siap dalam memasuki pasar bebas. Kebijakan/peraturan pemerintah di bidang jasa transportasi belum komprehensif dan mendukung pengembangan industri jasa transportasi nasional. Kinerja sektor pariwisata di Indonesia berdasarkan analisa devisa menunjukkan penerimaan devisa dari pariwisata meningkat sampai krisis tahun 1997. Pasca krisis, kinerja pariwisata beranjak naik mulai tahun 1999. Analisa non devisa menunjukkan ratarata lama tinggal relatif tinggi dilakukan wisman dari kawasan jauh seperti Eropa, sedangkan yang terendah dari kawasan ASEAN. Satu-satunya faktor yang menguntungkan pariwisata Indonesia adalah faktor harga (price competitiveness index). Jika dibandingkan beberapa negara ASEAN lain yaitu Malaysia, Thailand dan Singapura, peringkat Indonesia masih kalah dalam hal pertumbuhan kedatangan wisman, Tourism Impact Index, dan Tourism Participation Index. Ini menunjukkan bahwa di tingkat regional saja Indonesia masih perlu berbenah dalam menghadapi persaingan. Liberalisasi jasa keuangan merupakan suatu hal yang harus dihadapi, dan untuk itu dapat dijadikan sebagai suatu pilihan strategi untuk pengembangan sektor jasa keuangan di Indonesia. Namun diperlukan strategi khusus mempersiapkan prasyarat dan kondisi yang diperlukan untuk bisa mengambil manfaat dari liberalisasi jasa keuangan tersebut. Sejauh ini jika dibandingkan dengan beberapa negara lain, Indonesia sudah cukup lebar membuka sektor jasa melalui komitmennya di GATS meski belum sepenuhnya terbuka (full liberlized). Masalah jasa juga menyangkut persoalan tenaga kerja. Dalam Neraca Pembayaran Indonesia, devisa yang dihasilkan oleh tenaga kerja Indonesia di luar negeri cukup signifikan. Sepanjang perekonomian dalam negeri masih terbatas dalam menyediakan lapangan kerja atau usaha bagi angkatan kerja yang berjumlah besar maka pengiriman TKI ke luar negeri masih tetap akan strategis. Kebijaksanaan menyeluruh dan terpadu untuk memberikan perlindungan terhadap TKI masih perlu disempurnakan lebih lanjut 15 mengingat masih banyak terdapat permasalahan berkaitan dengan TKI. Tidak hanya pada sub-sektor jasa TKI, secara umum koordinasi kelembagaan untuk menangani persoalan jasa-jasa ini secara holistik juga masih lemah. Berdasarkan komitmen yang telah dibuat dalam GATS, dunia jasa nasional tetap mendapatkan perlindungan secara layak dari persaingan dengan pihak asing. Meskipun demikian, posisi aman bagi industri jasa domestik tersebut tidak boleh membuat kewaspadaan Indonesia berkurang. Proses perundingan komitmen sendiri akan terus berlanjut di tingkat internasional dalam beberapa tahun ke depan.. Dari sudut pandang keluar, terdapat peluang bagi Indonesia untuk memanfaatkan komitmen yang diberikan negara lain di sektor jasa. 5.2. Rekomendasi Dari kajian yang telah dilakukan, dapat dikemukakan beberapa saran atau rekomendasi. Di sub sektor jasa transportasi, Indonesia harus mampu mewujudkan transportasi udara dan laut yang menuju kemandirian finansial, teknologi, dan SDM. Pemerintah dalam waktu dekat perlu menyusun dan melaksanakan kebijakan/peraturan yang meliputi keberadaan armada laut dan udara, jasa dan keamanan pelabuhan (port manajemen dan port security) dan bandara secara komprehensif, konsisten dan dinamis untuk meningkatkan penerimaan devisanya. Kebijakan/peraturan tentang jasa transportasi tersebut harus memperhitungkan berbagai faktor kendala dan pendorong serta melibatkan berbagai stakeholders termasuk Pemda yang melaksanakan otonomi daerah, bea cukai, perusahaan jasa pelabuhan dan bandara. Di sektor transportasi laut, Indonesia harus dapat mewujudkan asas cabotage untuk perairan domestik, menentukan beberapa pelabuhan internasional, dan perbaikan kebijakan yang berkaitan dengan kemajuan transportasi laut. Sedangkan untuk meningkatkan kualitas jasa transportasi udara adalah menyederhanakan pelayanan seperti e-ticketing, e-boarding dan kepastian jadwal penerbangan. Kemampuan SDM di bidang jasa transportasi harus ditingkatkan baik kemampuan terhadap pengelolaan jasa transportasi, penggunaan teknologi modern, kemampuan koordinasi, dan integritasnya untuk kepentingan nasional. Di bidang pariwisata, pemerintah sebaiknya memperhatikan keunggulan dan kekurangan industri pariwisata nasional sebagaimana teridentifikasi dalam index value yang memperlihatkan keunggulan komparatif di bidang kompetisi harga serta kelemahan di bidang infrastruktur, kualitas SDM, teknologi dan lingkungan sosial dibanding dengan negara lain di Asia Tenggara. Perlu dipertimbangkan juga pengembangan sentra-sentra industri dan perdagangan mengingat proporsi pengeluaran wisman untuk belanja dan souvernir serta animo wisman dari negara-negara tetangga untuk datang berkunjung dalam rangka bisnis yang cukup besar. Dengan kelebihan daya saing harga yang dimiliki, pemerintah dapat menawarkan pusat-pusat belanja khusus bagi wisman. Dalam perundingan di GATS yang menyangkut jasa keuangan, tim negosiator sebaiknya untuk sementara bertahan pada posisi dan komitmen yang ada yaitu yang telah dituangkan dalam schedule of commitment tanggal 15 April 1994, 28 Juli 1995, 11 April 1997, dan 26 Pebruari 1998. Di dalam negeri pemerintah perlu melakukan penguatan stabilitas makroekonomi, percepatan implementasi arsitektur perbankan Indonesia, dan reformasi institusi regulator dan pengawas (termasuk pembentukan otoritas jasa keuangan) sebagai prasyarat utama memperoleh manfaat dari internasionalisasi jasa keuangan. 16 Menyangkut Jasa TKI, pemerintah perlu melakukan kebijakan menyeluruh dan terpadu untuk memberikan perlindungan terhadap TKI dan untuk meningkatkan kualitas serta produktifitas TKI yang akan bermigrasi ke negara lain mengingat masih banyak terdapat permasalahan berkaitan dengan TKI. Pada akhirnya, untuk dapat memanfaatkan peluang yang timbul dari GATS, Indonesia perlu segera melakukan persiapan selain untuk bersaing di pasar dalam negeri dengan pihak asing, juga bersaing di pasar luar negeri. Secara umum, hal yang perlu dilakukan adalah penguatan koordinasi kelembagaan yang menangani sektor-jasa-jasa secara menyeluruh. 17 Daftar Pustaka Bank Indonesia, Pariwisata, Potensi Sumber Devisa, Mei 2004 Hendra Halwan, Drs., MA., dan Priyono H. Tjiptoherijanto, Dr., Perdagangan Internasional Pendekatan Ekonomi Micro dan Macro, Ghalia Indonsia, 1993. Intermatrix Communication & DJLK, Proceeding Seri Seminar tentang GATS, 2003 Kim Yun-Hwan, Financial Opening Under The WTO Agreement in Selected Asian Countries, Asian Development Bank, 2002 K. Michael Fingerand, Ludger Schuknecht, Trade, Finance and Financial Crises, Special Studies, WTO Secretariat Masamichi Kono, Opening Market in Financial Services and The Role of The GATS, Special Studies, WTO Secretariat Mattoo Aaditya, Financial Services and the WTO: Liberalization in the Developing and Transition Economies, WTO Publication, 1998 Stijn Claessens and Marion Jansen, Internationalization of Financial Services, Issues and Lessons for Developing Countries, Kluwer Law International, 2000 Shin, Inseok, Korea’s Liberalization of Financial Service, Korea Development Institute, 2000 Wendy Dobson, Further Financial Services Liberalization in the Doha Round?, International Economic Policy Brief, Institute for International Economics, 2002 Yogo Mikiko, Liberalization of Trade in Services in APEC: Assessment of IAP and the GATS Commitments, http://www.ide.go.jp/japanese/publish/apec/pdf/apec12_21st_04.pdf WTO, GATS/SC/43/ and Supplement 1-3, Indonesia-Schedule of Specific Commitments WTO, GATS/EL/43/ and Supplement 1, Indonesia-List of Article II (MFN) Exemptions 18