perkembangan jasa-jasa dan posisi indonesia dalam perundingan

advertisement
PERKEMBANGAN JASA-JASA DAN POSISI INDONESIA
DALAM PERUNDINGAN GATS KE DEPAN
Unit Kerja Pelaksana:
Direktorat Neraca Pembayaran dan Kerjasama Ekonomi Internasional
Contact person: [email protected]
Abstrak
Kajian ini ditujukan untuk menganalisis persoalan jasa-jasa karena dalam neraca
pembayaran Indonesia, neraca jasa selalu mencatat defisit baik sebelum maupun
sesudah krisis dengan kecendurang tingkat defisit yang makin membesar. Analisis
dilakukan dengan pendekatan sisi neraca pembayaran dan kaitannya dengan
perundingan General Agreement on Trade in Services (GATS) mengingat perkembangan
jasa terkait dengan komitmen Indonesia dalam GATS. Kajian ini ditujukan pula sebagai
bahan masukan bagi posisi Indonesia dalam perundingan GATS. Metodologi kajian
dilakukan dengan deskriptif analitis menggunakan data sekunder, hasil wawancara dan
kelompok diskusi terfokus (focus group of discussion). Untuk mendapat kedalaman
analisis, fokus kajian diarahkan pada subsektor jasa yang signifikan dalam neraca
pembayaran yaitu transportasi, pariwisata dan keuangan. Disamping itu dianalisis pula
masalah tenaga kerja indonesia (TKI). Dari hasil kajian ditemukan bahwa jasa
transportasi laut nasional lebih banyak dikuasai perusahaan asing sehingga melemahkan
daya saing perdagangan komoditas nasional dan justru memberikan keunggulan
kompetitif kepada produk dan jasa asing. Jasa transporasi nasional belum siap dalam
memasuki pasar bebas. Kebijakan/peraturan pemerintah di bidang jasa transportasi
belum komprehensif dan mendukung pengembangan industri jasa transportasi nasional.
Di jasa pariwisata, kinerjanya relatif lebih rendah dibanding Malaysia, Thailand dan
Singapura melalui pengukuran Tourism Impact Index, dan Tourism Participation Index.
Sedangkan pada jasa keuangan, Indonesia sudah relatif terbuka untuk pasar asing meski
belum mencapai liberalisasi penuh. Menyangkut migrasi tenaga kerja, devisa yang
dihasilkan oleh TKI cukup signifikan. Sepanjang perekonomian dalam negeri masih
terbatas dalam menyediakan lapangan kerja maka pengiriman TKI masih tetap strategis.
Secara umum disimpulkan pula bahwa koordinasi kelembagaan yang menengani jasajasa ini masih lemah. Beberapa rekomendasi utama yang disampaikan diantaranya
adalah bahwa di sektor transportasi laut, Indonesia harus dapat mewujudkan asas
cabotage untuk perairan domestik, menentukan beberapa pelabuhan internasional, dan
perbaikan kebijakan yang berkaitan dengan kemajuan transportasi laut. Sedangkan
rekomendasi utama untuk meningkatkan kualitas jasa transportasi udara adalah
menyederhanakan pelayanan seperti e-ticketing, e-boarding dan kepastian jadwal
penerbangan. Di sektor pariwisata, perlu diperhatikan keunggulan komparatif di bidang
kompetisi harga serta kelemahan di bidang infrastruktur, SDM, teknologi dan lingkungan
sosial dibanding negara ASEAN lainnya. Di bidang jasa keuangan, perlu dilakukan
percepatan implementasi arsitektur perbankan Indonesia dan reformasi institusi
regulator dan pengawas. Di bidang TKI, pemerintah perlu melaksanakan kebijakan
menyeluruh dan terpadu untuk memberikan perlindungan terhadap TKI. Secara umum
rekomendasi lain yang disampaikan adalah perlunya penguatan koordinasi kelembagaan
untuk menangani sektor jasa.
1
1.
Latar Belakang
Jasa-jasa dalam neraca pembayaran Indonesia terdiri atas jasa-jasa non-faktor dan
faktor. Jasa-jasa non-faktor dibagi lagi menjadi jasa transportasi, pariwisata, dan
komunikasi. Sementara itu, jasa-jasa faktor terdiri dari transaksi jasa dalam kelompok
penghasilan (income) dan kelompok transfer. Hasil penggunaan faktor produksi, modal
dan tenaga kerja dicatat dalam kelompok penghasilan, misalnya dividen dan bunga.
Selanjutnya transaksi dalam kelompok transfer meliputi transaksi yang tidak
menimbulkan kewajiban untuk melakukan pembayaran (unrequited transfer), seperti
hibah yang diterima pemerintah maupun swasta. Untuk melihat karakterisitik neraca jasa
Indonesia, maka dipergunakan neraca jasa Indonesia dalam penyajian analitis seperti
ditunjukkan dalam gambar 1.
Gambar 1. Perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia
Perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia 1990 - 2002 (dalam juta US$)
30,000
Juta US$
20,000
10,000
0
-10,000
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
-20,000
Transaksi Berjalan
Neraca Perdagangan
Neraca Jasa
Sumber: Bank Indonesia
Karakteristik Neraca Jasa Indonesia selalu menunjukkan pengeluaran yang lebih
besar dibandingkan dengan penerimaannya, sehingga karakteristik neraca jasa selalu
menunjukkan defisit. Pada umumnya, neraca jasa mempunyai karakteristik yang
menunjukkan selalu defisit pada neraca jasa nonmigas dan selalu surplus pada neraca jasa
migas. Defisitnya neraca jasa terutama berkaitan erat dengan cukup besarnya pengeluaran
untuk pembayaran bunga utang dan biaya transportasi impor barang.
Sementara itu, dalam kaitannya dengan keanggotaan Indonesia dalam organisasi
perdagangan dunia World Trade Organization (WTO), Indonesia perlu segera
memberikan konfirmasi mengenai permintaan (request) yang telah diajukan oleh negara
maju mencakup 5 sektor/subsektor jasa yaitu jasa keuangan, jasa telekomunikasi, jasa
perhubungan laut, jasa industri termasuk jasa konstruksi, dan jasa pariwisata. Ini berarti
Indonesia perlu melakukan identifikasi sektor dan sub-sektor ataupun usaha penunjang
yang akses pasarnya dapat dimasuki oleh investasi asing. Demikian pula dengan
penawaran (offers) yang telah diajukan oleh negara-negara anggota lainnya mencakup
jasa bisnis, komunikasi, konstruksi, distribusi, pendidikan, lingkungan, keuangan, kesehatan,
pariwisata (tourism), rekreasi kebudayaan dan olahraga, transportasi, dan jasa-jasa lainnya,
Indonesia masih dalam tahap klarifikasi. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dilakukan
2
kajian terhadap perkembangan jasa-jasa usulan posisi Indonesia dalam perundingan
General Agreement on Trade in Services (GATS) ke depan.
2.
Tujuan
Tujuan dari kajian ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai
permasalahan di bidang neraca jasa-jasa, menyiapkan bahan masukan untuk perbaikan
terhadap kinerja jasa-jasa, dan untuk merekomendasikan pandangan-pandangan dan
usulan-usulan kebijakan yang sebaiknya ditempuh oleh Indonesia dalam keterlibatannya
di dalam GATS pada umumnya.
3.
Metodologi
3.1.
Kerangka Analisis
Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini meliputi dua hal. Pertama, analisa
dilakukan dengan melihat komponen jasa-jasa dalam Neraca Pembayaran dan kedua dengan
melihat sektor jasa dalam kerangka GATS. Dua aspek ini sangat terkait sehingga bila kita
berbicara tentang proyeksi ekspor impor jasa di neraca pembayaran, mau tak mau harus
melihat pula perkembangan perundingan jasa dalam GATS mengingat Indonesia sudah
meratifikasi perjanjian GATS tersebut.
Sektor jasa terdiri dari beberapa sub sektor. Secara internasional terdapat tiga cara
pengklasifikasian. Pertama klasifikasi sektor jasa dalam neraca pembayaran yang terdiri dari
jasa transportasi, travel, komunikasi, konstruksi, asuransi, keuangan, komputer, royalti dan
jasa-jasa lain. 1 Kedua, klasifikasi dari GATS dimana jasa dibagi dalam dua belas sektor yaitu
jasa bisnis, komunikasi, konstruksi, distribusi, pendidikan, lingkungan, keuangan, kesehatan,
pariwisata (tourism), rekreasi kebudayaan dan olahraga, transportasi, dan jasa-jasa lainnya. 2
Ketiga, klasifikasi CPC (central product classification) yang meliputi jasa konstruksi, jasa
distribusi perdagangan, penginapan, pelayanan makanan, transportasi, keuangan, penyewaan,
real estat, jasa bisnis dan produksi, serta jasa pelayanan individu, komunitas dan sosial. 3
Kajian ini berupaya menganalisis sektor jasa di tiap subsektor. Namun mengingat
begitu luasnya sektor jasa, kajian ini akan memfokuskan pada beberapa sektor jasa yang
memiliki dampak signifikan terhadap neraca pembayaran di Indonesia seperti jasa
transportasi, pariwisata dan keuangan. Kemudian selain tiga sub sektor tersebut, akan
ditambahkan pula analisis mengenai tenaga kerja Indonesia (TKI). Disamping perannya
dalam statistik neraca pembayaran, masalah migrasi tenaga kerja juga merupakan salah satu
aspek yang cukup menarik dalam perundingan-perundingan GATS. Jasa pariwisata dan
pendapatan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri menjadi andalan penerimaan
devisa jasa-jasa. Peranannya masing-masing sebesar di atas 20 persen dan sekitar 6 persen
terhadap sektor jasa. Sedangkan jasa transportasi dan keuangan mendorong peningkatan
defisit transaksi jasa-jasa. Peranannya masing-masing sebesar di atas 40 persen dan sekitar 40
persen terhadap sektor jasa secara keseluruhan.
3.2.
Metode Pelaksanaan Kajian
Metodologi yang digunakan dalam kajian ini bersifat deskriptif analisis. Bentuk
kegiatan yang akan dilakukan dalam penelitian adalah: melakukan studi literatur mengenai
1
IMF, Balance of Payment Manual (BPM) V.
WTO, services sectoral classification list, mtn.gns/w/120 10 july 1991
3
United Nations Statistical Commission, CPC version 1.1 21 Pebruary 2002
2
3
neraca jasa-jasa dan kaitan jasa-jasa dalam GATS, melakukan pertemuan (interview) dengan
instansi terkait, dan menggunakan forum kelompok diskusi terbatas (focus group of
discussion) tentang perkembangan jasa-jasa dan dampak perundingan GATS terhadap
Indonesia.
3.3.
Data
Kajian ini dilakukan dengan menggunakan data-data sekunder. Mengingat sektor jasa
yang begitu luas dan bersifat lintas instansi, maka data yang digunakan juga beragam dari
berbagai sumber sesuai dengan subjeknya. Dalam pengumpulan data, disamping
memanfaatkan data hasil publikasi, pengumpulan data juga dilakukan dengan survei berupa
kunjungan (interview) dengan pihak-pihak terkait.
4.
Hasil Kajian dan Analisis
Guna melihat kedalaman hasil kajian yang telah dilakukan, penulisan hasil kajian dan
analisis dirumuskan dalam bentuk yang lebih spesifik pada tiap sub sektor dari beberapa
sektor jasa sebagai berikut.
4.1.
Jasa Transportasi
Jasa transportasi merupakan salah satu faktor yang penting yang berpengaruh
terhadap lancarnya kegiatan perdagangan. Sayangnya penanganan jasa transportasi milik
bangsa Indonesia belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Akibatnya peluang
memperoleh devisa, lapangan pekerjaan dan penguasaan teritorial Indonesia oleh usaha
jasa transportasi nasional belum dapat dimanfaatkan.
4.1.1. Jasa Transportasi Dalam Neraca Pembayaran Indonesia
Berdasarkan data dari Bank Indonesia, defisit jasa transportasi dalam neraca
pembayaran merupakan penyumbang defisit terbesar dibandingkan dengan jasa travel dan
investment income. Jasa travel yang terdiri dari tenaga kerja dan wisman justru
menunjukkan kondisi surplus. Statistik jasa transportasi baik pada jasa pengangkutan
penumpang maupun pengangkutan barang menunjukkan nilai defisit.
Gambar 2
Nilai Transaksi Jasa-Jasa 1994-2002
10,000
Juta US$
5,000
(5,000)
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
(10,000)
(15,000)
(20,000)
Tahun
SERVICES
Transportation
Travel
4
Investment Income
Defisit pada jasa pengangkutan penumpang yang masuk dalam non-freight
sebelum krisis tidak sebesar setelah krisis. Kondisi sebaliknya terjadi pada jasa
pengangkutan barang. Setelah krisis defisitnya lebih baik dari jasa pengangkutan
penumpang, meskipun belum pulih bahkan belum tampil lebih baik dari sebelum krisis.
Hal ini sangat berkaitan erat dengan aktivitas ekspor-impor barang yang mulai pulih
walaupun belum sebaik kondisi sebelum krisis.
Gambar 3
NILAI JASA FREIGHT DAN NON FREIGHT 1994-2003
Juta US$
(1,000)
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
(2,000)
(3,000)
(4,000)
(5,000)
(6,000)
Tahun
A. FREIGHT
B. NON FREIGHT
Defisit dalam neraca jasa transportasi salah satunya disebabkan jasa pengiriman
barang ekpor dari Indonesia tidak dalam C.I.F (Cost, Insurance and Freight) tetapi F.O.B
(Freight On Board). Yang berarti negara ekportir dalam hal ini Indonesia tidak
menanggung transportasi pengiriman barang dan asuransinya, tetapi diurus oleh negara
importir. Karena Indonesia mengekspor barang dalam FOB berarti biaya hanya sampai di
atas kapal. Dengan demikian Indonesia hanya memperoleh penghasilan dari ekspor
barang, tetapi tidak memperoleh pemasukan dari jasa transportasi dan asuransi, sementara
itu nilai jasa pengiriman barang cukup besar. Apabila ekspor Indonesia dengan CIF,
Indonesia akan menerima biaya harga barang, asuransi 4 , dan biaya pengangkutan ke
pelabuhan tujuan, karena dilakukan oleh perusahaan domestik.
4.1.2. Permasalahan Jasa Transportasi Laut dan Udara
Perkembangan transportasi laut Indonesia cukup memprihatinkan, karena terbukti
terus mengalami penurunan pangsa muatan dan jumlah armada. Di tengah-tengah
berkembangnya perdagangan bebas dan meningkatnya kebutuhan angkutan laut dunia,
peran armada laut nasional menyusut drastis. Sehingga banyak kapal-kapal armada asing
yang terlibat dan mengambil pangsa pasar pengangkutan komoditi baik ekspor-impor
maupun antar pulau.
4
Asuransi adalah persetujuan di mana pihak penanggung berjanji akan mengganti kerugian sehubungan
dengan kerusakan-kerusakan, kerugian atau kehilangan laba yang diharapkan oleh pihak tertanggung yang
diakibatkan oleh suatu kejadian yang tidak disangka.
5
Selama hampir dua dekade belakangan ini sekitar 95% muatan ekspor impor
Indonesia diangkut oleh kapal asing. Pangsa angkutan laut internasional ini semula
pernah mencapai 37%, angka terendah dicapai pada tahun 90an yaitu 3% 5 . Saat ini
terdapat sekitar 400 perusahaan pelayaran yang diberi izin, namun yang beroperasi hanya
50%. Akibatnya, dari pengangkutan barang ekspor yang mencapai 5.000.000 peti kemas,
hanya 250.000 yang diangkut dengan kapal Indonesia. Sisanya sebesar 4,75 juta dikuasai
oleh kapal milik perusahaan asing.
Untuk kepentingan kargo domestik, kapal asing menguasai sekitar 60% (tabel 1)
dari 80 juta ton pengangkutan barang hasil tambang atau mencapai 48 juta ton (Ditjen
Hubla - Dep Hub), sehingga azas cabotage 6 belum dapat diterapkan secara optimal.
Selama ini untuk angkutan peti kemas, barang dan penumpang prinsip cabotage sudah
sebagian diterapkan namun untuk angkutan hasil tambang dan minyak belum sama
sekali. Dari minyak saja yang diangkut perusahaan pelayaran asing setahunnya bisa
mencapai US$ 2,04 milyar 7 . Padahal prinsip cabotage ini tetap berlaku di China dan
Amerika Serikat.
Jika biaya pengangkutan barang sekitar US$ 2.000 per peti kemas, berarti
pendapatan perusahaan asing mencapai sekitar US$ 9,5 milyar setahun. Jumlah itu belum
termasuk yang diperoleh dari angkutan antar pulau.
Tabel 1. Kontribusi Menurut Komoditi dan Bendera Kapal
Bendera Kapal
KOMODITI
Indonesia
Asing
BBM
39%
61%
CPO
62%
38%
Batubara
40%
60%
Pupuk
74%
26%
Kayu
72%
28%
Beras
62%
38%
Karet
65%
35%
Sumber : Ditjen Hubla-Dep Hub, Maret 2004
Setidaknya terdapat tiga faktor yang melemahkan perkembangan jasa transportasi
nasional. Pertama adalah Lemahnya Peraturan/Kebijakan Nasional. Kebijakan
pemerintah Inpres Nomor 4 tahun 1985 yang intinya menggalakkan ekspor nonmigas
dimana dalam pelaksanaannya pemerintah memberi kebebasan kapal asing dari negara
manapun boleh masuk dan bersandar di pelabuhan Indonesia manapun, sepanjang dapat
membantu kelancaran ekspor nasional dinilai tidak pro terhadap jasa transportasi
nasional. Untuk angkutan laut dalam negeri, sejak dikeluarkannya Paket 21 November
1988, secara de facto Indonesia telah menerapkan globalisasi pasar angkutan laut melalui
deregulasi ijin trayek, sehingga semua perusahaan pelayaran baik nasional maupun asing
bebas memilih rute sesuai pasar.
Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 82 tahun 1999 tentang Pelayaran Rakyat
(Pelra). PP tersebut mengartikan Pelra memperoleh keringanan tariff pelabuhan.
5
Data dari Direktorat Jenderal Kelautan tahun 2000.
Azas cabotage berarti bahwa armada nasional suatu negara mempunyai hak penuh untuk mengangkut
muatan dalam negerinya.
7
Kompas 15 September 2004.
6
6
Diharapkan pelaksanaan PP nomor 82 tahun 1999 dapat menghilangkan biaya ekonomi
tinggi di laut maupun di pelabuhan. Namun kebijakan tersebut kenyataannya belum
berhasil mempertahankan prinsip cabotage. Apabila dibandingkan dengan negara lain
seperti China, mereka mewajibkan pemakaian kapal berbendera China bagi siapapun dari
negara manapun yang ingin berdagang dengannya. Bahkan kapal yang digunakanpun
harus dibangun di negeri Tirai Bambu itu, didanai oleh Bank negara di sana, dominan
diawaki oleh pelaut mereka dan wajib direparasi di galangan kapal China.
Faktor kedua adalah Buruknya Keamanan Transportasi. Kinerja transportasi
laut yang rendah dan tertinggal juga disebabkan oleh citra Indonesia dalam kancah bisnis
transportasi laut beresiko tinggi, berkenaan dengan keselamatan pelayaran. International
Maritim Organization (IMO) mencatat Indonesia sebagai negara dengan tingkat
kecelakaan dan perampokan di laut cukup tinggi (hight risk country).
Faktor ketiga adalah Buruknya kondisi pelabuhan laut. Sampai sat ini, tarif
pelabuhan yang dipungut terminal kepada perusahaan pelayaran (Container Handling
Charge/CHC) termasuk yang termahal di dunia, demikian halnya dengan tarif yang
dipungut perusahaan pelayaran kepada eksportir/importir (Terminal Handling
Charge/THC) (tabel 2). Sampai saat ini operator kapal kontainer dikuasai asing seperti
Maersk Sealand 8 .
Tabel 2. Biaya Jasa Kontainer Terminal Pelabuhan di Berbagai Negara
Negara
Container
Terminal
Handling Charge
Handling Charge
Singapura
88
101
Malaysia
61
78
China (Shanghai)
52
66
Filipina
71
78
Indonesia (Jkt)
93
150
Indonesia (Sby)
91
145
Satuan dalam US$, dihitung untuk peti kemas ukuran 20 feet
CHC: dipungut terminal kepada perusahaan pelayaran
THC: dipungut perusahaan pelayaran kepada ekportir/importir
Sumber : Majalah Trust, Edisi 22 tahun 2, 1-7 Maret 2004
Sampai sekarang belum ada satu pelabuhan di Indonesia yang memiliki fasilitas
untuk pengamanan area perairannya secara memadai, meskipun pemberlakuan
Internasional Ship and Port Facility Security (ISPS) Code secara resmi berlaku sejak 1
Juli 2004. Dampak belum dipenuhinya standar pengamanan kapal dan fasilitas pelabuhan
internasional, maka Pelabuhan Makasar sebagai contohnya terancam terisolasi dari
pelayaran internasional. 9
Perkembangan angkutan udara melalui penerbangan internasional dapat dilihat
dari arus kedatangan penumpang, dimana peran wisatawan manca negara (wisman) masih
cukup besar. Pada tahun 2000, jumlah pesawat yang datang dari luar negeri mencapai
40.571 unit dengan membawa penumpang sebanyak 4.243.327 orang, 65% diantaranya
adalah wisman yang datang ke Indonesia. Selama periode 1995-2000, dari total
penumpang internasional berjadwal, mayoritas masih diangkut oleh perusahaan
penerbangan internasional (tabel 3). Karena itu, tantangan jasa penerbangan dimasa
8
9
Perusahaan operator kapal kontainer internasional terbesar berpusat di Denmark.
Kompas, 27 Agustus 2004
7
datang adalah: (1) Penerbangan Asing yang langsung ke daerah tujuan, dan (2)
Persaingan harga tiket.
Tabel 3
Kedatangan dan Keberangkatan Pesawat, Penumpang dan Kargo
Untuk Penerbangan Internasional Berjadwal (1994-2000)
Kedatangan
Tahun
Keberangkatan
Total
Unit
Penumpang
Kargo
Unit
Penumpang
Kargo
Unit
Penumpang
Kargo
Pergerakan
(orang)
(Ton)
Pergerakan
(orang)
(Ton)
Pergerakan
(orang)
(Ton)
Pesawat
Pesawat
Pesawat
1994
37,739
3,823,830
121,724
3,895
3,941,304
206,819
41,634
7,765,134
328,543
1995
41,688
4,146,581
142,372
42,504
4,082,021
209,778
84,192
8,228,602
352,150
1996
44,633
4,512,500
103,469
44,802
4,513,812
228,931
89,435
9,026,312
332,400
1997
47,947
4,513,364
183,451
49,295
4,474,333
229,774
97,242
8,987,697
413,225
1998
37,205
3,778,509
119,570
37,829
3,833,025
226,268
75,034
7,611,534
345,838
1999
40,064
3,877,617
148,889
39,552
3,924,275
226,230
79,616
7,801,892
375,119
2000
40,571
4,243,327
173,791
40,052
4,728,389
215,240
80,623
8,971,716
389,031
Sumber: BPS, Statistik Perhubungan 2000, Jakarta 2002
4.1.3. Jasa Transportasi Indonesia, Dunia dan Isu Dalam GATS
Dalam situasi persaingan pasar yang kompetitif, jasa menjadi sumber nilai tambah
(value added) yang cukup besar. Liberalisasi akan membawa beberapa dampak positif
antara lain pengguna jasa akan lebih leluasa memilih yang tepat untuk mereka, baik untuk
produk penyedia jasanya, mendorong terjadinya flight to quality, akan memacu ke
persaingan usaha yang lebih tertib dan good corporate governance. Liberalisasi juga akan
memperluas kesempatan lapangan kerja bagi para professional dan skilled labors,
dimungkinkan terjadinya arus masuk modal luar serta memacu ke pengembangan
teknologi, informasi dan manajemen yang lebih baik di tingkat global.
Prinsip-prinsip dasar GATS yaitu:
1. GATS mencakup seluruh sektor jasa yang diperdagangkan secara internasional.
2. Perlakuan most favoures nation (perlakuan sama bagi semua) berlaku bagi seluruh
sektor jasa kecuali sektor-sektor yang masih dinyatakan dikecualikan untuk
sementara.
3. Peraturan perundangan seluruh negara anggota harus transparan, yang mana
diperlukan inquiry points di setiap negara. GATS mengharuskan negara-negara
anggota membuat seluruh peraturan perundangan yang relevan terbuka utuk
semua pihak.
4. Peraturan harus obyektif dan beralasan.
5. Pembayaran internasional secara umum tidak terbatas.
6. Komitmen suatu negara (individual countries commitment) harus sebagai hasil
perundingan dan diikat.
7. Liberalisasi progresif melalui perundingan lebih lanjut.
Prinsip GATS yang terkait dengan jasa transportasi laut dibicarakan pada akhir
Putaran Uruguay tepatnya pada pertemuan tingkat menteri di Marakesh pada 12 – 15
April 2004, Komite negosiasi perdagangan mengadopsi keputusan pada Negotiation
Group on maritim Transport Services (NGMTS) dan memberi mandat agar grup
8
melakukan negosiasi jasa maritim dan dijadwalkan pada Juni 2006. Dalam pembicaraan
tersebut diharapkan adanya negosiasi komprehensif yang meliputi pengapalan
internasional, jasa-jasa pendukung, dan akses untuk menggunakan fasilitas pelabuhan.
Indonesia turut dalam NGMTS tersebut sebagai anggota penuh. Pada kenyataannya para
anggota gagal menyetujui paket komitmen yang berkaitan dengan jasa transportasi laut
dalam NGMTS tersebut.
Baru-baru ini berdasarkan pembahasan APEC disepakati mengenai tingkat
kwalitas dan keamanan jasa pelabuhan harus berstandar internasional. Tampaknya hal ini
akan menjadi masalah yang menghadang bagi Indonesia dalam bersaing dengan negara
lain.
Dalam perkembangan jasa transportasi udara, Indonesia telah mengikuti prinsip
dan teknik pemanduan angkutan udara internasional yang disusun ICAO (International
Civil Aviation Organization). Implikasi pelaksanaan ketentuan internasional terhadap
aspek keselamatan penerbangan adalah pengelola bandara harus memenuhi persyaratan
pembangunan dan pengoperasian fasilitas bandar udara serta pelayanan pemanduan
navigasi penerbangan (Air Traffic Services/ATS) yang meliputi Aeronautical Flight
Information Services (AFIS), Aerodrome Control (ADC), Approoach Area (APP), dan
Area Control Centre (ACC).
Sampai saat ini, belum semua bandara di Indonesia berstandar keselamatan
penerbangan dan pengoperasian fasilitas bandara internasional, hanya 7 dari 187 bandara.
Dari 187 bandara hanya 10 bandara yang dapat menarik keuntungan dari jasa transportsai
udara, sisanya masih merugi. Oleh karena itu meskipun dengan UU otonomi daerah,
bandara di daerah diserahkan pengelolaannya pada pemerintah daerah setempat belum
dapat dilaksanakan karena besarnya beban investasi dan operasionalnya.
WTO menginginkan agar semakin banyak sektor jasa dalam negeri yang dibuka
bagi kepentingan investasi jasa dari luar. Ini berarti Indonesia sebagai negara yang telah
commit dengan ketentuan WTO, harus membuka semua sektor termasuk jasa transportasi.
Sampai saat ini sektor jasa masih dikuasai oleh negara-negara maju akibat keunggulannya
dalam penguasaan teknologi, modal, manajemen, dan SDM. Negara yang telah maju
industrinya sudah pasti diikuti dengan jasa palayanan seperti jasa perbaikan,
pemeliharaan, dan pelayanan lainnya. Perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di
negara lain sebagai PMA juga tidak akan diam tetapi justru akan semakin meningkatkan
peran mereka dalam sektor jasa. Kelemahan sektor jasa Indonesia, harus disikapi dengan
penguatan peraturan dan implemensi yang nyata dari pemerintah dengan melibatkan
swasta.
4.2.
Jasa Pariwisata
Pariwisata merupakan salah satu sektor yang sangat diharapkan dapat menjadi
primadona dalam perolehan devisa. Meskipun demikian, kemampuan sektor pariwisata
sebagai penghasil devisa ini menunjukkan kecenderungan yang kurang menggembirakan.
Di sisi lain, kecenderungan orang Indonesia untuk bepergian ke luar negeri semakin
meningkat dalam sepuluh tahun terakhir. Hal ini mengakibatkan semakin mengecilnya
travel balance (inflow devisa-outflow devisa) dari sektor pariwisata.
9
4.2.1. Kinerja Sektor Pariwisata di Indonesia
Penerimaan devisa turis meningkat dari tahun ke tahun pada masa pra krisis dan
mencapai puncaknya sebesar USD 4.237 juta pada tahun 1997 dan turun drastis pada
tahun 1998 hingga hanya sebesar USD 2.153 juta. Meskipun belum mencapai tingkat
pertumbuhan yang sama dengan masa sebelum krisis, angka travel inflows sebenarnya
beranjak naik mulai tahun 1999 yaitu sebesar USD 4,4 miliar dari tahun sebelumnya
yaitu 4,3 miliar. 10
Statistik jasa kunjungan keluar (travel-outflows) mencakup pengeluaran devisa
dari kunjungan wisatawan Indonesia ke luar negeri baik untuk tujuan bisnis maupun
personal, Termasuk haji dan umroh. Pengeluaran devisa turis oleh wisatawan Indonesia
yang bepergian ke luar negeri terus mengalami kenaikan selama satu dasawarsa terakhir
ini. Pengeluaran devisa turis oleh wisatawan Indonesia yang bepergian ke luar negeri
terus mengalami kenaikan selama satu dasawarsa terakhir ini dengan rata-rata
pertumbuhan sekitar 9,8%. Dalam pra krisis angka pertumbuhan pengeluaran devisa turis
bahkan mencapai sekitar 16,2%. Kecenderungan ini terus berlangsung selama periode
pasca krisis dengan pertumbuhan sebesar 4,4% sampai dengan sekarang.
Wisatawan asing yang paling banyak berkunjung ke Indonesia berasal dari
Singapura yang berdekatan secara geografis dengan Indonesia. Namun demikian,
karakteristik turis dari negara Asia berbeda dengan turis yang berasal dari Eropa atau
Timur Tengah. Wisman asal Singapura merupakan yang tersingkat masa kunjungannya di
antara 10 pasar utama pariwisata Indonesia. Sedangkan kunjungan dengan lama tinggal
relatif panjang, yaitu sekitar 2 minggu dilakukan oleh wisman dari USA, Inggris, Jerman
dan Belanda. Hal ini mungkin terkait dengan jarak negara asal wisman ke Indonesia.
Wisman dari negara yang jauh cenderung tinggal lebih lama untuk mengkompensasi
biaya dan waktu perjalanan yang dibutuhkan.
4.2.2. Pariwisata Indonesia dalam menghadapi GATS
Data The World Travel and Tourism Council (WTTC) tahun 2003 menunjukkan,
satu-satunya faktor yang menguntungkan Indonesia hanya harga ( price Competitiveness
Index). Berdasarkan data WTTC, pertumbuhan kunjungan wisman ke Indonesia pada
tahun 2000 dan 2004 adalah 7,11% dan 2,41%. Namun pertumbuhan ini masih berada
dibawah Malaysia, Singapura dan Thailand yang tumbuh masing-masing 28.89%,
10.53%, 10.73% untuk tahun 2000 dan 12,66%, 4,28%, 6,46% untuk tahun 2004. Dengan
demikian kedepan persaingan untuk mendatangkan wisman semakin ketat apalagi upaya
intensif dari negara negara tersebut semakin meningkat.
Guna melihat perbandingan yang lebih baik, dapat menggunakan beberapa
beberapa indikator sebagai pendekatan untuk melihat kesiapan kita dalam menghadapi
GATS dan Perdagangan Bebas.
Pertama adalah indikator Tourism Impact Index (TII).TII mengukur dampak
ekonomi secara langsung dari aktifitas perekonomian dari industri pariwisata di suatu
negara. TII dihitung dari rasio antara jumlah penerimaan pariwisata internasional dan
belanja pariwisata internasional terhadap GDP. Dibandingkan negara-negara ASEAN
lainnya, TII Indonesia masih dibawah Malaysia, Singapura dan Thailand. Dengan
demikian Indonesia masih mempunyai pekerjaan rumah yang besar dalam upaya
10
Pariwisata, Potensi Sumber Devisa, Bank Indonesia, Mei 2004
10
meningkatkan kemampuan pariwisata dalam memperluas dampak pariwisata terhadap
pertumbuhan ekonomi dalam kerangka GATT dan perdagangan global.
Tabel 4. Asean Tourism Impact Index (TII) Th. 1990-2004
Negara
Malaysia
Singapore
Thailand
Indonesia
Philipina
1990
8,49
22,70
7,24
2,89
3,67
1995
11,16
25,25
11,71
5,62
5,99
2000
11,71
19,70
13,43
9,30
6,17
2004
20,53
18,96
16,48
9,75
2,85
Sumber : World Bank (2004), World Development Indicators
Kedua adalah indikator Tourism Participation Index (TPI). TPI mengukur
keterlibatan masyarakat dalam aktivitas pariwisata TII dihitung dari ratio antara jumlah
wisatawan yang masuk dan wisatawan domestik yang keluar negeri dibandingkan jumlah
total penduduk dinegara tersebut. Dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, TPI
Indonesia masih dibawah Singapura, Malaysia, Thailand dan Philipina. Hal ini perlu
perhatian besar terutama dalam hal kesadaran pariwisata nasional untuk lebih memajukan
daya saing wisata Indonesia di dunia internasional.
Tabel 5. Asean Tourism Participation Index (TPI) Th. 1990-2003
Negara
1990
1995
2000
2003
Malaysia
20.52
13.65
10.32
11.0
Singapore
29.19
24.44
15.59
15.35
Thailand
1.68
1.25
0.89
0.95
Indonesia
0.20
0.26
0.17
0.19
Philipina
0.54
0.47
0.31
0.31
Sumber : World Bank (2004), World Development Indicators
4.3.
Jasa Keuangan
Perkembangan sektor jasa keuangan saat ini dipengaruhi oleh globalisasi atau
liberalisasi baik di bidang perdagangan maupun investasi. Kini semakin marak transaksi
yang bersifat lintas batas negara dimana hal tersebut bisa dimungkinkan terjadi karena
adanya jasa lembaga keuangan. Kemudian seiring dengan makin globalnya
perekonomian melalui arus perdagangan dan investasi, kebutuhan akan jasa intermediasi
dan manajemen resiko juga kian meningkat.
Perkembangan Jasa keuangan tak bisa dilepaskan dengan perkembangan dalam
GATS mengingat Indonesia telah menjadi anggota WTO dan telah memberikan
komitmennya dalam GATS untuk sektor jasa keuangan.
4.3.1. Mengambil Manfaat dan Mengurangi Resiko Liberalisasi Jasa Keuangan
Jika dicari nilai benefitnya, setidaknya terdapat enam keuntungan dari liberalisasi
jasa-jasa. Keenam keuntungan tersebut adalah: jasa keuangan yang efisien menjamin
suksesnya ekonomi, membantu eksportir dan produsen di negara-negara berkembang
untuk menambah daya kompetitif mereka, bertambahnya pilihan konsumen, meingkatkan
inovasi baik proses maupun inovasi produk, memberikan kepastian hukum, membawa
teknologi dan keahlian baru.
11
Disamping manfaat, liberalisasi jasa keuangan juga berpotensi memberi dampak
negatif terhadap perekonomian nasional karena di dalam liberalisasi jasa keuangan
tersebut mengandung beberapa resiko. Beberapa resiko tersebut adalah: potensi dampak
negatif dari liberalisasi terhadap penyedia jasa keuangan domestik, kemungkinan
kesulitan dalam monitoring/pengawasan perusahaan asing, potensi untuk mematikan
“infant industry”, kemungkinan tak adanya komitmen dari perusahaan asing terhadap
ekonomi lokal, potensi terjadinya “capital flight”.
Harus disadari bahwa untuk bisa mendapatkan manfaat riil dari liberalisasi jasa
keuangan tersebut, suatu negara perlu membuat berbagai persiapan yang matang.
Beberapa faktor kunci untuk memperoleh manfaat dan kesuksesan upaya pembukaan
pasar jasa keuangan meliputi bagaimana Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang
kondusif dengan menjaga stabilitas makroekonomi dan keuangan, memperkuat sistem
jasa keuangan domestik melalui reformasi struktural, serta penguatan regulasi dan
pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan.
4.3.2. Posisi Indonesia dalam Perundingan GATS di Bidang Jasa Keuangan
Dalam GATS, Indonesia memiliki dokumen schedule of commitment tanggal 15
April 1994, yang kemudian diperbaharui melalui suplemen pertama 28 Juli 1995,
suplemen kedua 11 April 1997 dan terakhir diperbaharui lagi dalam suplemen ketiga
tanggal 26 Februari 1998. Jasa keuangan menjadi tema sentral dalam perubahan
suplemen-suplemen tersebut. Disamping itu, Indonesia memiliki List of Article II (MFN)
Exemptions, pertama tanggal 15 April 1994, yang kemudian diperbaharui dalam
suplemen pertama tanggal 15 April 1994. Dalam suplemen kedua disebutkan bahwa
lisensi bank joint venture, diberikan dengan prinsip resiprocal.
Secara umum boleh dikatakan bahwa hingga saat ini, Indonesia belum memiliki
kebijakan nasional yang menyeluruh dan terpadu untuk menghadapi liberalisasi jasa
keuangan. Penyebab belum adanya kebijakan nasional atau kebijakan sektoral di bidang
perdagangan jasa, antara lain masing-masing sektor belum memiliki arah kebijakan,
kemudian cakupan bidang jasa yang terlalu luas (ada 12 sektor dan sekitar 600 subsektor
jasa), serta masih banyaknya regulasi yang belum disusun sesuai ketentuan WTO, serta
permasalahan otonomi daerah yang terkait dengan peraturan daerah. Pada saat ini belum
terdapat suatu lembaga yang mengkoordinasikan kebijakan sektor jasa-jasa dan GATS
secara menyeluruh. Kebutuhan terhadap lembaga seperti ini dirasakan sangat penting
sehingga perlu dibentuk.
Saat ini posisi Indonesia boleh dikatakan belum full liberalized sehingga dalam
perundingan-perundingan ke depan mengenai liberalisasi jasa keuangan ini, Indonesia
dapat secara bertahap membuka lebih lanjut hingga mencapai liberalisasi penuh. Namun
patokan utama dari langkah liberalisasi ini harus didasarkan pada proses deregulasi
sistem jasa keuangan domestik, penguatan regulasi dan pengawasan serta penguatan
institusi keuangan domestik. Pembukaan lebih lanjut bagi penyedia jasa keuangan asing
ke pasar domestik, hanya dan hanya dapat dilakukan jika dibarengi dengan proses
deregulasi, penguatan regulasi, pengawasan dan instutusi jasa keuangan domestik. Jika di
dalam negeri proses penguatan jasa keuangan domestik baik dari sisi regulasi,
pengawasan maupun institusinya itu sendiri belum bisa terlaksana, maka sebaiknya
delegasi Indonesia dapat mengambil posisi bertahan. Posisi bertahan ini dapat diambil
setidaknya sampai dengan tahun 2010 didasarkan atas tahapan implementasi arsitektur
12
perbankan indonesia (API) yang dibuat oleh Bank Indonesia, dimana pada tahun tersebut
diharapkan perbankan Indonesia menjadi lebih kokoh.
4.4.
Perkembangan Jasa Tenaga Kerja
Terdapat dua isu utama yang dihadapi dunia pada saat ini berkaitan dengan
globalisasi yaitu yang pertama adalah isu mengenai liberalisasi perdagangan dan isu
kedua adalah mengenai personal movement atau migrasi tenaga kerja internasional atau
yang di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Dengan
adanya globalisasi atau perdagangan bebas, persaingan bagi tenaga kerja Indonesia tidak
hanya untuk memperebutkan peluang pasar kerja di luar negeri namun juga
memperebutkan peluang pasar kerja di dalam negeri terutama apabila dilihat dari segi
kualitas dimana ada kemungkinan tenaga kerja yang ada di dalam negeri akan diisi oleh
tenaga kerja asing yang lebih baik dan berkompeten. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kinerja bangsa Indonesia akan sangat tergantung pada sumber daya manusianya,
bukan lagi pada sumber daya alam yang selama ini menjadi keunggulan komparatif.
4.4.1. Perkembangan dan Permasalahan di Sektor Jasa Personal Movement
Tingkat pengangguran semakin meningkat yang dipicu oleh krisis ekonomi sejak
tahun 1998 mengakibatkan jumlah angkatan kerja tidak dapat terserap seluruhnya. Hal
tersebut merupakan salah satu faktor yang mendorong meningkatnya potensi jumlah TKI
yang mencari pekerjaan di luar negeri. Pada tahun 2003 jumlah penduduk Indonesia
mencapai 213,170 juta jiwa dengan jumlah angkatan kerja mencapai 100,316 juta jiwa
sementara jumlah pengangguran mencapai 9,531juta jiwa atau 9,5 % terhadap angkatan
kerja. Hal tersebut tampak pada tabel 6.
Disamping sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi masalah pengangguran;
ada beberapa keuntungan lain yang dapat diperoleh dari pengiriman TKI ke luar negeri;
diantaranya adalah penciptaan devisa dari remittance yang dikirimkan ke dalam negeri,
peningkatan kualitas tenaga kerja berkat pengalaman kerja dan interaksi sosial di luar
negeri; serta peningkatan kesejahteraan sosial tenaga kerja.
Tabel 6
TKI dan Angkatan Kerja Indonesia
Keterangan
1997
1998
1999
2000
Jumlah Penduduk
199,359 201,661 203,963 206,265
Angkatan Kerja
89,706
92,772
94,847
95,651
Bekerja :
85,406
87,672
88,817
89,838
- Pertanian, Kehutanan
34,790
39,415
38,378
40,677
- Industri Manufaktur
11,009
9,934
11,516
11,642
- Perdagangan, Restoran
16,953
16,814
17,529
18,489
- Jasa-jasa
12,575
12,394
12,225
9,574
- Lainnya
10,079
9,115
9,169
9,456
Menganggur
4,300
5,100
6,030
5,813
TKI :
- Formal
- Informal
Prosentase
1997
1998
1999
2000
Angk. Kerja / Jml. Pend.
45.0
46.0
46.5
46.4
Bekerja / Jml. Pend.
42.8
43.5
43.5
43.6
Menganggur / Jml Pend.
2.2
2.5
3.0
2.8
Bekerja / Angk. Kerja
95.2
94.5
93.6
93.9
Menganggur / Angk. Kerja
4.8
5.5
6.4
6.1
TKI / Menganggur
TKI-Informal / Menganggur
Sumber : BPS dan BI.
Keterangan : angkatan kerja adalah usia produktif di atas 15 tahun.
13
2001
208,567
98,812
90,807
39,744
12,086
17,469
11,003
10,505
8,005
877
80
797
2001
47.4
43.5
3.8
91.9
8.1
11.0
10.0
(dalam ribuan orang)
2002
2003
210,869 213,170
100,779 100,316
91,647
90,785
9,132
9,531
502
819
279
217
223
602
2002
2003
47.8
47.1
43.5
42.6
4.3
4.5
90.9
90.5
9.1
9.5
5.5
8.6
2.4
6.3
Angka remitansi TKI selama periode sebelum krisis sampai dengan tahun 1997
relatif stabil rata-rata sekitar 2,2 miliar USD. Sedangkan pada periode setelah krisis,
terutama pada tahun 1998 angka remitansi TKI mengalami penurunan cukup berarti
kurang lebih separuh dari angka sebelum krisis sebesar rata-rata 1 miliar USD untuk 4
tahun pertama sampai dengan tahun 2001. Namun pada tahun 2003, angka remintasi TKI
mulai meningkat cukup berarti sebesar 25 % dari jumlah remitan tahun sebelumnya;
seperti terlihat pada tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7
TRANSFER DEVISA TKI
Worker’s Remitances (WR)
GDP (harga berlaku)
Ekspor Non Migas (FOB)
Ekspor (total)
Impor Non Migas (C&F)(-)
Services, inflows (tanpa WR)
Services, inflows (total)
Current Account
Official Capital Inflows
FDI inflows
Private Capital Inlows (non FDI)
Jumlah penduduk (juta)
1995
2.0
202.3
53.2
63.7
41.2
5.3
7.3
6.8
5.8
6.0
10.4
195
1996
2.5
226.9
58.6
70.8
44.3
5.8
8.3
7.8
5.7
8.1
12.6
197
1997
2.2
212.8
59.3
71.0
46.0
7.2
9.4
5.0
4.6
10.0
13.0
199
1998
0.9
97.5
51.6
59.0
32.1
6.4
7.3
4.1
7.4
7.0
8.2
202
1999
1.1
139.5
41.0
51.3
29.0
6.4
7.5
5.8
6.6
3.7
9.8
104
2000
1.2
150.7
50.3
65.4
37.0
7.6
8.8
8.0
3.9
3.0
5.5
206
(dalam miliar USD kecuali penduduk)
2001
2002
2003
1.0
1.3
1.5
142.8
172.0
208.3
44.8
46.3
47.9
57.4
59.2
63.4
31.3
31.0
33.0
7.5
6.7
5.1
8.5
8.0
6.6
6.9
7.8
7.7
2.5
2.3
2.1
2.3
5.2
3.0
6.5
3.5
7.3
209
211
213
Prosentase WR/GDP
1.0
1.1
1.0
0.9
0.8
0.8
Prosentase WR/Ekspor non migas
3.8
4.3
3.7
1.8
2.7
2.4
Prosentase WR/Ekspor (total)
3
4
3
2
2
2
Prosentase WR/Impor
4.9
5.6
4.8
2.9
3.8
3.2
Prosentase WR/Services Inflows (tanpa
37.7
43.1
30.6
14.4
17.2
15.8
WR)
Prosentase WR/Services Inflows (total)
27.4
30.1
23.4
12.6
14.7
13.6
Prosentase WR/Current Account
29.4
32.1
44.0
22.4
19.0
15.0
Prosentase WR/Official Capital Inflows
34.5
43.9
47.8
12.4
16.7
30.8
Prosentase WR/FDI Inflows
33.3
30.9
22.0
13.1
29.7
40.0
Prosentase WR/Private Cap.Inflow (non
19.2
19.8
16.9
11.2
11.2
21.8
FDI)
WR per Kapita
10.26
12.69
11.06
4.55
5.39
5.83
Keterangan : ekspor & impor non migas data dari BI, sedangkan PDB data dari BPS
Jumlah penduduk berdasarkan sensus nasional tahun 1995 dan 2000 dan prorata untuk tahun diantaranya dan tahun berikutnya
0.7
2.2
2
3.2
13.3
0.8
2.8
2
4.2
19.4
0.7
3.1
2
4.5
29.4
11.8
14.5
40.0
43.5
15.4
16.3
16.7
56.5
25.0
37.1
22.7
19.5
71.4
50.0
20.5
4.78
6.16
7.04
Pada era globalisasi ini, masalah perlindungan TKI di luar negeri menjadi isu
yang sensitif di dalam negeri. Lemahnya pencatatan transfer devisa yang dilakukan oleh
Bank Indonesia juga merupakan suatu persoalan tersendiri. Pencatatan transfer devisa
yang dilakukan oleh BI selama ini merupakan transfer yang dilakukan melalui bank
sementara umumnya TKI belum berorientasi kepada bank (belum “bank minded”).
Permasalahan selanjutnya adalah berkaitan dengan kualitas TKI dimana kualitas TKI
yang bermigrasi ke luar negeri relatif termasuk negara maju dapat dikatakan masih
rendah dibandingkan tenaga kerja dari negara lain.
Disamping itu, Indonesia sendiri tidak luput dari migrasi tenaga kerja asing.
Sejauh ini yang umum dijumpai adalah tenaga kerja skilled. Meski demikian, apabila
situasi politik dan ekonomi sudah membaik, tidak tertutup kemungkinan Indonesia akan
dimasuki tenaga kerja semi-skilled dari sesama negara Asia. Akibatnya, ancaman
pengangguran untuk tenaga kerja skilled domestik akan semakin serius. Bagi Indonesia
sendiri, berdasarkan data dari majalah Newsweek edisi 17 Oktober 1994, para migran
tenaga kerja asing umumnya datang dari negara dimana tingkat upah buruh rendah dan
terbanyak di antaranya berasal dari Indonesia (800 ribu) yang pada umumnya kualitas
tenaga kerja dari Indonesia ini masih tergolong buruh kasar, sama seperti tenaga kerja
migran dari Bangladesh.
Untuk mengatur, membina, melaksanakan dan mengawasi penyelenggaraan
penempatan dan perlindugnan TKI di luar negeri, pada tanggal 18 Oktober 2004 telah
14
diterbitkan Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Sedangkan berkaitan dengan GATS, sampai saat
ini belum ada kesepatakan / komitmen yang khusus mengatur mengenai sektor jasa
tenaga kerja (personal movement) ini.
Adapun hal-hal yang sedang dilakukan oleh Pemerintah antara lain adalah :
meninjau standar pelatihan dan struktur biaya serta peningkatan pelayanan bagi TKI,
melakukan kerjasama bilateral ketenagakerjaan, melakukan kerjasama dan koordinasi
antara instansi berupa persiapan teknis pembentukan Tim Advokasi, dan membentuk
Badan Penempatan TKI ke luar negeri.
5.
Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1.
Kesimpulan
Dari hasil kajian yang dilakukan untuk melihat perkembangan jasa-jasa dan
kaitannya dengan GATS yang dilakukan secara spesifik melihat pada empat sektor jasa
yaitu jasa transportasi, jasa pariwisata, jasa keuangan dan tenaga kerja, secara umum
dapat disimpulkan bahwa di subsektor jasa transportasi, penerimaan devisa dari sektor
jasa transportasi masih defisit, dimana Jasa transportasi laut nasional lebih banyak
dikuasai perusahaan asing sehingga melemahkan daya saing perdagangan komoditas
nasional dan justru memberikan keunggulan kompetitif kepada produk dan jasa asing.
Jasa transporasi nasional belum siap dalam memasuki pasar bebas. Kebijakan/peraturan
pemerintah di bidang jasa transportasi belum komprehensif dan mendukung
pengembangan industri jasa transportasi nasional.
Kinerja sektor pariwisata di Indonesia berdasarkan analisa devisa menunjukkan
penerimaan devisa dari pariwisata meningkat sampai krisis tahun 1997. Pasca krisis,
kinerja pariwisata beranjak naik mulai tahun 1999. Analisa non devisa menunjukkan ratarata lama tinggal relatif tinggi dilakukan wisman dari kawasan jauh seperti Eropa,
sedangkan yang terendah dari kawasan ASEAN. Satu-satunya faktor yang
menguntungkan pariwisata Indonesia adalah faktor harga (price competitiveness index).
Jika dibandingkan beberapa negara ASEAN lain yaitu Malaysia, Thailand dan Singapura,
peringkat Indonesia masih kalah dalam hal pertumbuhan kedatangan wisman, Tourism
Impact Index, dan Tourism Participation Index. Ini menunjukkan bahwa di tingkat
regional saja Indonesia masih perlu berbenah dalam menghadapi persaingan.
Liberalisasi jasa keuangan merupakan suatu hal yang harus dihadapi, dan untuk
itu dapat dijadikan sebagai suatu pilihan strategi untuk pengembangan sektor jasa
keuangan di Indonesia. Namun diperlukan strategi khusus mempersiapkan prasyarat dan
kondisi yang diperlukan untuk bisa mengambil manfaat dari liberalisasi jasa keuangan
tersebut. Sejauh ini jika dibandingkan dengan beberapa negara lain, Indonesia sudah
cukup lebar membuka sektor jasa melalui komitmennya di GATS meski belum
sepenuhnya terbuka (full liberlized).
Masalah jasa juga menyangkut persoalan tenaga kerja. Dalam Neraca Pembayaran
Indonesia, devisa yang dihasilkan oleh tenaga kerja Indonesia di luar negeri cukup
signifikan. Sepanjang perekonomian dalam negeri masih terbatas dalam menyediakan
lapangan kerja atau usaha bagi angkatan kerja yang berjumlah besar maka pengiriman
TKI ke luar negeri masih tetap akan strategis. Kebijaksanaan menyeluruh dan terpadu
untuk memberikan perlindungan terhadap TKI masih perlu disempurnakan lebih lanjut
15
mengingat masih banyak terdapat permasalahan berkaitan dengan TKI. Tidak hanya pada
sub-sektor jasa TKI, secara umum koordinasi kelembagaan untuk menangani persoalan
jasa-jasa ini secara holistik juga masih lemah.
Berdasarkan komitmen yang telah dibuat dalam GATS, dunia jasa nasional tetap
mendapatkan perlindungan secara layak dari persaingan dengan pihak asing. Meskipun
demikian, posisi aman bagi industri jasa domestik tersebut tidak boleh membuat
kewaspadaan Indonesia berkurang. Proses perundingan komitmen sendiri akan terus
berlanjut di tingkat internasional dalam beberapa tahun ke depan.. Dari sudut pandang
keluar, terdapat peluang bagi Indonesia untuk memanfaatkan komitmen yang diberikan
negara lain di sektor jasa.
5.2. Rekomendasi
Dari kajian yang telah dilakukan, dapat dikemukakan beberapa saran atau
rekomendasi. Di sub sektor jasa transportasi, Indonesia harus mampu mewujudkan
transportasi udara dan laut yang menuju kemandirian finansial, teknologi, dan SDM.
Pemerintah dalam waktu dekat perlu menyusun dan melaksanakan kebijakan/peraturan
yang meliputi keberadaan armada laut dan udara, jasa dan keamanan pelabuhan (port
manajemen dan port security) dan bandara secara komprehensif, konsisten dan dinamis
untuk meningkatkan penerimaan devisanya. Kebijakan/peraturan tentang jasa transportasi
tersebut harus memperhitungkan berbagai faktor kendala dan pendorong serta melibatkan
berbagai stakeholders termasuk Pemda yang melaksanakan otonomi daerah, bea cukai,
perusahaan jasa pelabuhan dan bandara. Di sektor transportasi laut, Indonesia harus dapat
mewujudkan asas cabotage untuk perairan domestik, menentukan beberapa pelabuhan
internasional, dan perbaikan kebijakan yang berkaitan dengan kemajuan transportasi laut.
Sedangkan untuk meningkatkan kualitas jasa transportasi udara adalah menyederhanakan
pelayanan seperti e-ticketing, e-boarding dan kepastian jadwal penerbangan. Kemampuan
SDM di bidang jasa transportasi harus ditingkatkan baik kemampuan terhadap
pengelolaan jasa transportasi, penggunaan teknologi modern, kemampuan koordinasi, dan
integritasnya untuk kepentingan nasional.
Di bidang pariwisata, pemerintah sebaiknya memperhatikan keunggulan dan
kekurangan industri pariwisata nasional sebagaimana teridentifikasi dalam index value
yang memperlihatkan keunggulan komparatif di bidang kompetisi harga serta kelemahan
di bidang infrastruktur, kualitas SDM, teknologi dan lingkungan sosial dibanding dengan
negara lain di Asia Tenggara. Perlu dipertimbangkan juga pengembangan sentra-sentra
industri dan perdagangan mengingat proporsi pengeluaran wisman untuk belanja dan
souvernir serta animo wisman dari negara-negara tetangga untuk datang berkunjung
dalam rangka bisnis yang cukup besar. Dengan kelebihan daya saing harga yang dimiliki,
pemerintah dapat menawarkan pusat-pusat belanja khusus bagi wisman.
Dalam perundingan di GATS yang menyangkut jasa keuangan, tim negosiator
sebaiknya untuk sementara bertahan pada posisi dan komitmen yang ada yaitu yang telah
dituangkan dalam schedule of commitment tanggal 15 April 1994, 28 Juli 1995, 11 April
1997, dan 26 Pebruari 1998. Di dalam negeri pemerintah perlu melakukan penguatan
stabilitas makroekonomi, percepatan implementasi arsitektur perbankan Indonesia, dan
reformasi institusi regulator dan pengawas (termasuk pembentukan otoritas jasa
keuangan) sebagai prasyarat utama memperoleh manfaat dari internasionalisasi jasa
keuangan.
16
Menyangkut Jasa TKI, pemerintah perlu melakukan kebijakan menyeluruh dan
terpadu untuk memberikan perlindungan terhadap TKI dan untuk meningkatkan kualitas
serta produktifitas TKI yang akan bermigrasi ke negara lain mengingat masih banyak
terdapat permasalahan berkaitan dengan TKI. Pada akhirnya, untuk dapat memanfaatkan
peluang yang timbul dari GATS, Indonesia perlu segera melakukan persiapan selain
untuk bersaing di pasar dalam negeri dengan pihak asing, juga bersaing di pasar luar
negeri. Secara umum, hal yang perlu dilakukan adalah penguatan koordinasi
kelembagaan yang menangani sektor-jasa-jasa secara menyeluruh.
17
Daftar Pustaka
Bank Indonesia, Pariwisata, Potensi Sumber Devisa, Mei 2004
Hendra Halwan, Drs., MA., dan Priyono H. Tjiptoherijanto, Dr., Perdagangan
Internasional Pendekatan Ekonomi Micro dan Macro, Ghalia Indonsia, 1993.
Intermatrix Communication & DJLK, Proceeding Seri Seminar tentang GATS, 2003
Kim Yun-Hwan, Financial Opening Under The WTO Agreement in Selected Asian
Countries, Asian Development Bank, 2002
K. Michael Fingerand, Ludger Schuknecht, Trade, Finance and Financial Crises, Special
Studies, WTO Secretariat
Masamichi Kono, Opening Market in Financial Services and The Role of The GATS,
Special Studies, WTO Secretariat
Mattoo Aaditya, Financial Services and the WTO: Liberalization in the Developing and
Transition Economies, WTO Publication, 1998
Stijn Claessens and Marion Jansen, Internationalization of Financial Services, Issues and
Lessons for Developing Countries, Kluwer Law International, 2000
Shin, Inseok, Korea’s Liberalization of Financial Service, Korea Development Institute,
2000
Wendy Dobson, Further Financial Services Liberalization in the Doha Round?,
International Economic Policy Brief, Institute for International Economics, 2002
Yogo Mikiko, Liberalization of Trade in Services in APEC: Assessment of IAP and the
GATS Commitments,
http://www.ide.go.jp/japanese/publish/apec/pdf/apec12_21st_04.pdf
WTO, GATS/SC/43/ and Supplement 1-3, Indonesia-Schedule of Specific Commitments
WTO, GATS/EL/43/ and Supplement 1, Indonesia-List of Article II (MFN) Exemptions
18
Download