BAB II LANDASAN TEORI A. Valuta Asing 1. Pengertian pasar valuta asing secara umum Pasar valuta asing atau sering disebut sebagai Foreign exchange market merupakan pasar di mana transaksi valuta asing dilakukan baik antar Negara maupun dalam suatu Negara. Transaksi dapat dilakukan oleh suatu badan/perusahaan ataupun perorangan dengan berbagai tujuan. Dalam setiap kali melakukan transaksi valuta asing maka digunakan kurs ( nilai tukar). Nilai tukar ini dapat berubah-ubah sesuai kondisi dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh berbagai factor seperti factor ekonomi dan politik. Transaksi Valuta Asing dapat diartikan sebagai kesepakatan atau perjanjian antara dua pihak untuk mempertukarkan (jual/beli) mata uang yang dimilikinya. Istilah yang lebih umum dalam pertukaran valuta tersebut adalah jual beli valuta asing. Menurut Exposure Draft Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) pada bulan Mei 1998 yang pada dasarnya mengacu pada FASB Statement No. 52 bahwa mata uang asing adalah semua mata uang selain mata uang fungsional dari suatu entitas. Dalam perdagangan pasar valas internasional hanya mata uang yang tergolong “convertible currencies” yang sering diperdagangkan, sedangkan yang tidak termasuk dalam golongan tersebut jarang diperdagangkan. Yang menentukan golongan “convertible currencies” adalah salah satunya volume perdagangan suatu Negara baik secara kualitas maupun kuantitas disamping factor lainnya. Yang termasuk ke dalam golongan mata uang yang kuat convertible currencies seperti Dollar Amerika Serikat, Euro Eropa, Pounsterling England, Yen Jepang, Dollar Singapura, Dollar Australia, Dollar Hongkong, sedangkan golongan mata uang lemah (soft currencies), jarang diperjualbelikan dan biasanya berasal dari Negara-negara berkembang seperti Rupe India, Peso philipina, dan termasuk Rupiah kita bagi Negara lain. Disamping dapat dilakukan antar Negara transaksi valas juga dapat dilakukan antar bamk dengan nasabahnya seperti transaksi uang kertas asing (bank notes), travelers cheque, giro valas, transfer ke luar negeri atau kegiatan mata uang asing lainnya. Dalam transaksi ini bank menggunakan kurs jual dan kurs beli di mana penggunaan kurs dapat dilakukan sebagai berikut : Kurs jual pada saat bank menjual dan nasabah membeli Kurs beli pada saat bank membeli dan nasabah menjual Selisih antara kurs jual dan kurs beli yang disebut spread yang merupakan keuntungan bank dan dalam praktiknya selalu kurs jual lebih tinggi dari kurs beli. Penetuan kurs, pihak perbankan mengacu kepada kurs konversi yang dikeluarkan oleh perbankan setiap hari, kemudian ditambah dengan keuntungan yang diinginkan. Penentuan kurs dapat dilakukan secara direct rate dan indirect rate. direct rate maksudnya adalah penentuan yang menempatkan mata uang domestic di depen mata uang asing, contoh : Rp. 9.000,- = U$D 1, sedangkan perhitungan dengan indirect rate adalah sebaliknya yaitu menempatkan mata uang di depan mata uang domestic, contoh : U$D 0,000111 = Rp. 1,-. 2. Pengertian Valuta asing dalam syariah Valuta asing dalam istilah bahasa Inggris dikenal dengan money changer atau foreign exchange, sedangkan dalam istilah Arab disebut al-sharf. Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah disebutkan bahwa al-sharf berarti menjual uang dengan uang lainnya. Al-Sharf yang secara harfiyah berarti penambahan, penukaran, penghindaran, atau transaksi jual beli. Dengan demikian al-Sharf menurut Sutan Remy Sjahdiyni (1999 : 87) adalah perjanjian jual beli satu valuta dengan valuta lainnya. Menurut Heli Charisma Berlianta (2005 : 4-5), Valas atau al-sharf secara bebas diartikan sebagai mata uang yang dikeluarkan dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di negara lain. Muhammad al-Adnani mendefinisikan al-sharf dengan tukar menukar uang. Taqiyyudin an-Nabhani mendefinisikan al-sharf dengan pemerolehan harta dengan harta lain, dalam bentuk emas dan perak, yang sejenis dengan saling menyamakan antara emas yang satu dengan emas yang lain, atau antara perak yang satu dengan perak yang lain atau berbeda jenisnya semisal emas dengan perak, dengan menyamakan atau melebihkan antara jenis yang satu dengan jenis yang lain. Taqiyyudin an-Nabhani (1996 : 187) juga menyatakan bahwa jual beli mata uang merupakan transaksi jual beli dalam bentuk finansial yang menurutnya mencakup beberapa hal sebagai berikut: 1. Pembelian mata uang dengan mata uang yang serupa seperti pertukaran uang kertas dinar baru Irak dengan dinar lama. 2. Pertukaran mata uang dengan mata uang asing seperti pertukaran dolar dengan pound Mesir 3. Pembelian barang dengan uang tertentu serta pembelian mata uang tersebut dengan mata uang asing seperti membeli pesawat dengan dolar, serta pertukaran dolar dengan dinar Irak dalam suatu kesepakatan. 4. Penjualan barang dengan mata uang, misalnya dolar Amerika dengan dolar Australia. 5. Penjulan promis (surat perjanjian untuk membeayar sejumlah uang) dengan mata uang tertentu. 6. Penjualan saham dalam perseroan tertentu dengan mata uang tertentu. Masing-masing dari ke-enam bentuk kegiatan di atas dapat diklasifikasi menjadi dua macam kegiatan, yaitu jual beli dan pertukaran. Sehingga untuk masing-masing kegiatan tersebut dapat diberlakukan hukum jual beli dan pertukaran. Penjualan mata uang dengan mata uang yang serupa atau penjualan mata uang dengan mata uang asing dalam Islam inilah yang kemudian disebut sebagai al-sharf. 3. Pelaku atau subjek dari kegiatan valuta asing Menurut Heli Charisma Berlianta (2005 : 4-5) membedakan beberapa golongan yang aktif melakukan transaksi jual beli valas, yang dapat digolongkan kepada 7 golongan berikut contohnya, yaitu: 1. Perusahaan. Perusahaan menggunakan pasar valuta asing untuk mempermudah pelaksanaan transfer investasi atau komersil. Kelompok ini terdiri dari para importir, investor internasional dan perusahan-perusahaan multinasional. Mereka menggunakan pasar valuta asing untuk tujuan investasi. 2. Masyarakat atau Perorangan. Masyarakat dan perorangan dapat melakukan transaksi valas untuk memenuhi kebutuhannya. Contohnya yaitu, Ayah mengirimkan uang untuk anaknya yang sedang sekolah di Amerika, maka terlebih dahulu Ayah harus membeli dolar atau menukar rupiah dengan dolar Amerika. 3. Bank Umum dan Non Bank. Bank Umum dan non bank beroperasi di kedua pasar antar bank dan nasabah. Mereka melayani nasabah yang ingin bertransaksi valas. Mereka ini memperoleh keuntungan dengan membeli valuta asing pada harga permintaan (bid) dan menjualnya kembali pada harga yang sedikit lebih tinggi dari pada harga penawaran (offer). 4. Broker atau Perantara. Broker atau perantara adalah orang atau persahaan yang tugasnya adalah menjadi perantara aktifitas transaksi valas. 5. Pemerintah. Pemerintah melakukan valas untuk berbagai tujuan antara lain membayar cicilan hutang ke luar negeri, penerimaan hutang dari luar negeri yang harus ditukar ke valuta sendiri. 6. Bank Sentral. Di banyak negara, Bank sentral tidak berada di bawah kendali pemerintah, dia merupakan lembaga independen yang bertugas menstabilkan perekonomian. Bank-bank sentral menggunakan pasar valas ini untuk memperoleh cadangan devisa dan juga mempengaruhi harga di mana mata uangnya diperdagangkan. Bank sentral mungkin melakukan langkah-langkah yang semata-mata dimaksudkan untuk mendukung atau mendongkrak nilai mata uang sendiri. Kebijakan atau strategi seperti ini banyak dilakukan oleh bank-bank sentral. 7. Spekulator dan arbitrase. Mereka ini melakukan transaksi dalam pasar valuta asing untuk memperoleh keuntungan. Arbitrase pada prinsipnya merupakan suatu bentuk spekulasi yang terdapat dalam valuta asing, di mana mereka membeli suatu valuta asing di suatu pusat keuangan kemudian menjualnya kembali di pusat keuangan lain untuk memperoleh keuntungan. Kegiatan arbitrase ini dimungkinkan mudah dan cepat dilakukan transfer dengan menggunakan alat telegrafik antara pusat keuangan satu dengan pusat keuangan dunia lainnya. Motif mereka ini berbeda dengan dealer, karena spekulator dan arbitrase beroperasi hanya untuk kepentingan mereka sediri tanpa suatu kebutuhan atau kewajiban untuk melayani klien atau untuk memastikan kontinuitas pasar. Sedangkan dealer mencari keuntungan dari spread antara permintaan dan penawaran dan hanya secara insedentil mencari keuntungan dari perubahan-perubahan harga. Sementara spekulator mencari seluruh keuntungan dari perubahan-perubahan harga secara simultan. Spekulasi dan arbitrase dalam jumlah besar biasanya dilakukan oleh trader. Bank-bank dalam hal ini dapat bertindak sebagai dealer, spekulator dan arbitrase. 4. Jenis-Jenis Valuta Asing 1. Transaksi spot Transaksi spot adalah pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Misalnya kontrak jual beli suatu mata uang spot dilakukan atau ditutup pada tanggal 12 juni 2002, penyerahan dan penyelesaian kontrak tersebut dilakukan pada tanggal 14 juni 2002. Apabila tanggal 14 juni 2002 tersebut kebetulan hari libur atau hari sabtu, maka penyelesaiannya adalah pada hari kerja berikutnya. Tanggal penyelesaian transaksi seperti ini disebut value date. Penyerahan dana dalam transaksi spot pada dasarnya dapat dilakukan dalam beberapa cara berikut ini: a) Value today, yaitu penyerahan dana dilakukan pada tanggal (hari) yang sama dengan tanggal (hari) diadakannya transaksi (kontrak). b) Value tomorrow, yaitu penyerahan dana dilakukan pada hari kerja berikutnya atau hari keja setelah diadakannya kontrak. c) Value spot, yaitu penyerahan dilakukan dua hari kerja setelah tanggal transaksi. 2. Transaksi Forward Transaksi forward disebut juga dengan transaksi berjangka yang pada prinsipnya adalah transaksi sejumlah mata uang tertentu dengan sejumlah mata uang lainnya dengan penyerahan pada waktu yang akan datang. Kurs ditetapkan pada waktu kontrak dilakukan, tetapi pembayaran dan penyerahan baru dilakukan pada saat kontrak jatuh tempo. Transaksi forward ini biasanya sering digunakan untuk tujuan hedging dan spekulasi. Hedging atau pemagaran resiko yaitu transaksi yang dilakukan semata-mata untuk menghindari resiko kerugian akibat terjadinya perubahan kurs. 2. Transaksi Swap Transaksi swap adalah transaksi pembelian dan penjualan bersamaan sejumlah tertentu mata uang dengan 2 tanggal valuta (penyerahan) yang berbeda. Pembelian dan penjualan mata uang tersebut dilakukan pada bank lain yang sama. Jenis transaksi swap yang umum adalah spot terhadap forward. Dealer membeli suatu mata uang dengan transaksi spot dan secara simultan menjual kembali jumlah yang sama kepada bank lain yang sama dengan kontrak forward. Karena itu dilakukan sebagai suatu transaksi tunggal dengan bank lain yang sama, dealer tidak akan menghadapi resiko valas yang tidak diperkirakan. Seperti dijelaskan di atas bahwa pada prinsipnya transaksi swap merupakan transaksi tukar pakai suatu mata uang untuk jangka waktu tertentu. Transaksi swap berbeda dengan transaksi spot atau forward. Dalam mekanisme swap, terjadi dua transaksi sekaligus dalam waktu yang bersamaan yaitu menjual dan membeli atau menjual dan membeli suatu mata uang yang sama. Sementara pada spot dan forward, transaksi terjadi hanya sekali saja yaitu membeli dan menjual. Penggunaan transaksi swap sebanarnya dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan timbulnya kerugian yang disebabkan oleh perubahan kurs suatu mata uang. Swap dapat dilakukan antara nasabah dengan banknya dan antara bank dengan bank Indonesia (disebut reswap). Pemberian fasilitas reswap tersebut dilakukan atas dasar swap point yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.Transaksi swap antara bank dengan BI : a. Swap likuiditas, yaitu swap yang dilakukan atas inisiatif BI untuk dana yang berasal dari pinjaman luar negeri. Posisi likuiditas ini untuk setiap bank maksimum 20 % dari modal bank tersebut. b. Swap investasi, yaitu swap yang dilakukan atas inisiatif bank berdasarkan swap bank dengan nasabah yang dananya berasal dari pinjaman luar negeri untuk keperluan ivestasi di Indonesia. Sebelum disebutkan jenis valuta asing selanjutnya, maka perlu diketahui dulu perbedaan dari ketiga jenis transaksi di atas, yaitu bahwa transaksi swap terjadi dua transaksi pada saat yang sama (double transaction), yaitu jual beli atau beli dan jual. Sedangkan pada spot dan forward hanya terjadi satu kali transaksin saja (one single transaction), yaitu jual saja beli saja. 3. Transaksi Option Transaksi option yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Dari beberapa macam jenis dari valuta asing di atas, tidak semua dipandang sesuai dengan syari’at Islam, dalam arti ada jenis yang dihukumi haram, dan ada pula yang hukumnya sah menurut Islam. Adapun hukumhukumnya bisa dilihat dalam fatwa yang dikeluarkan fatwa Dewan Syari’ah yang dituliskan dalam pembahasan terakhir. 5. Peranan valuta asing dalam perbankan syariah Pasar valuta asing adalah suatu pasar dimana diperdagangkan mata uang asing, guna menjembatani perbedaan selisih nilai mata uang asing di setiap negara. Dengan aktifnya instrumen pasar valuta asing yang berbasis syariah, maka perbankan syariah dapat melaksanakan fungsinya secara penuh, tidak saja dalam memfasilitasi kegiatan perdagangan jangka pendek tetapi juga dalam berperan mendukung investasi jangka panjang. Struktur keuangan atas produk-produk jual beli berbasis syariah akan memperkaya piranti keuangan syariah dan membuka partisipasi lebih besar dari seluruh pelaku pasar valuta asing, tidak terkecuali non-muslim, karena pasar tersebut bersifat terbuka. 6. Tujuan transaksi valuta asing Ada beberapa tujuan dalam melakukan transaksi valuta asing yang dilakukan para pelaku pasar valuta asing (Kasmir, 2001 : 215-220) : 1. Untuk transaksi pembayaran Contoh : PT. Asia, Importir di Indonesia melakukan pembelian sejumlah barang berupa mesin-mesin dari PT. Forche di Jerman, pembayaran dilakukan tergantung sales contrac yang telah disepakati dan ditandatangani kedua belah pihak apakah dengan euro atau dengan rupiah. 2. Mempertahankan daya beli Kebijaksanaan pemerintah melakukan devaluasi bertujuan untuk meningkatkan ekspor sehingga barang-barang kita yang di luar negeri menjadi lebih kompetitif. Dengan melakukan devaluasi, maka nilai tukar rupiah diturunkan terhadap mata uang yang didevaluasikan. Akan tetapi bagi pemegang rupiah di dalam negeri justru nilai tukar uangnya terhadap mata uang asing malah menjadi turun akibatnya daya beli pun menurun jika dibandingkan dengan valuta asing tersebut. Contoh : Pemerintah melakukan devaluasi sebesar 50% terhadap nmata uang U$D, sebelum devaluasi U$D 1,- setara dengan Rp. 9.000,-, maka nilai setelah devaluasi adalah sebagai berikut : Nilai sebelum devaluasi U$S 1,- = Rp. 9.000,Devaluasi 50% x Rp. 9.000,- = Rp. 4.500,- Nilai U$D 1,- setelah devalusi = Rp.13.500,- Jika sebelum devalusi anda memegang Rp. 90.000.000,- atau setara dengan U$D 10.000,- maka setelah devaluasi menjadi : Rp. 90.000.000,Rp. 13.500,- = U$D 6.666,67,- Jadi nilai uang tersebut turun jika tidak dibelikan valuta asing sebelum devaluasi 3. Pengiriman uang ke luar negeri atau Multi Currency Remittance (Outward) Pengiriman uang ke luar negeri atau Multi Currency Remittance (Outward) merupakan jasa perbankan sebagai layanan transfer keluar valuta asing dalam semua mata uang utama ke seluruh dunia 4. Mencari margin keuntungan Yaitu dengan membeli valuta asing bank notes pada saat kurs turun kemudian menjualnya kembali pada saat kurs naik, transaksi ini dilakukan terhadap mata uang kuat yang cenderung naik terus serta lebih besar unsur spekulasinya. 5. Kemudahan berbelanja Biasanya digunakan bagi pelaku valuta asing yang suka berpergian ke luar negeri sekedar traveling atau liburan. 7. Jual Beli Valuta Asing Dalam Perspektif Fiqh Secara normative hukum Isalam, jual beli valuta asing yang dilakukan saat sekarang tidaklah berubah fungsi uang dalam Islam. Karena al-sharf yang dijadikan sebagai salah satu jasa perbankan tidaklah sama dengan perdagangan uang atau memperjual belikan uang yang dalam banyak hal telah merugikan masyarakat banyak, terutama dalam kasus Indonesia. Perbedaan antara al-sharf dengan perdagangan uang atau jual beli uang, terletak pada hukum yang diterapkan pada al-sharf. Walaupun al-sharf itu merupakan salah satu variasi dari jual beli, akan tetapi ia tidak dihukumi dengan konsep jual beli secara umum, karena dalam konsep jual beli boleh untuk di tangguhkan. Sedangkan dalam variasi jual beli uang dengan uang memakai hukum khusus yang tidak terdapat dalam bai’ mutlak (jual beli barang dengan uang) dan bai’ muqayyadah (jual beli barang dengan barang) yaitu dalam hal time settlement-nya. Artinya dalam aqad al-Sharf ini harus dilakukan secara tunai (tidak boleh ditangguhkan). Sebagaimana diketahui, bahwa jual beli itu bisa berupa ayn (goods dan service) yang berarti barang dan jasa, atau juga berupa dayn (financial obligation). Objek jual beli yang berupa dayn dengan dayn, hukumnya adalah tidak sah karena hal tersebut telah menjadikan dayn sebagai ayn. Akan tetapi ketika kedua bentuk dayn itu adalah berupa mata uang, maka ia adalah al-sharf yang hukumnya boleh (mubah) dengan syarat kedua mata uang tersebut harus diserahkan secara langsung (tunai) sebelum para pihak berpisah. Sehingga akad al-sharf ini bisa disebut sebagai pengecualian dari aqad lain yang obyeknya berupa dayn. Tujuan dari keharusan tunai dalam aqad al-sharf ini adalah untuk menghindari adanya gharar yang terdapat dalam riba fadl. Gharar dalam aqad al-sharf ini akan lenyap karena time of settlement-nya dilaksanakan secara tunai. Sedangkan dalam aqad yang obyeknya berupa barang, maka selain masa penyerahannya yang harus tunai, juga harus sama dalam hal kualitas dan kuantitasnya. Justru merupakan satu hal yang tepat, ketika Ibn Taimiyah mensyaratkan harus dilakukan secara simultan (taqabud) dalam transaksi perdagangan uang. Sebagai salah satu variasi jual beli, al-sharf juga tentu saja harus memenuhi persyaratan sebagaimana halnya variasi jual beli yang lain seperti bai’ mutlak dan muqayyadah. Karena agar jual beli itu terbentuk dan sah diperlukan sejumlah syarat, yaitu syarat adanya aqad jual beli dan syarat sahnya jual beli. Sehingga aqad jual beli itu tidak saja ada dan terbentuk, akan tetapi juga sah secara hukum. Dengan demikian hukum tentang al-sharf yang biasa diartikan dengan jual beli valuta asing tidak diragukan lagi kebolehannya dari sudut fiqh Islam. 8. Dasar Hukum al-Sharf Seperti yang telah diterangkan dalam pendahuluan bahwa setelah beberapa jenis mata uang telah dibuat, maka mata uang kertas wajib menggantikan fungsi emas dan perak, yang mana emas dan perak inilah yang dulu dipakai sebagai alat tukar. Dengan demikian mata uang kertas menjadi satu-satunya satuan hitung dan sarana perantara dalam tukar menukar. Mata uang kertas menjadi nilai harga sebagaimana halnya emas dan perak. Oleh sebab itu hukum tukar menukar mata uang kertas tunduk kepada peraturan al-sharf sebagaimana halnya emas dan perak. Praktek al-sharf hanya terjadi dalam transaksi jual beli, di mana praktek ini diperbolehkan dalam Islam berdasarkan firman Allah QS. al-Baqarah ayat 275: ”Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” Kemudian dalam hadis Rasulullah juga disebutkan bahwa: و ﺑﯿﻌﻮا اﻟﺬھﺐ ﺑﺎﻟﻔﻀﺔ, اﻻ ﺳﻮاء ﺑﺴﻮاء, واﻟﻔﻀﺔ ﺑﺎﻟﻔﻀﺔ,ﻻ ﺗﺒﯿﻌﻮا اﻟﺬھﺐ ﺑﺎﻟﺬھﺐ اﻻ ﺳﻮاء ﺑﺴﻮاء (واﻟﻔﻀﺔ ﺑﺎﻟﺬھﺐ ﻛﯿﻒ ﺷﺌﺘﻢ )رواه ﺑﺨﺎري “Janganlah engkau menjual emas dengan emas, kecuali seimbang,dan jangan pula menjual perak dengan perak kecuali seimbang. Juallah emas dengan perak atau perak dengan emas sesuka kalian.” (HR. Bukhari). “Nabi melarang menjual perak dengan perak, emas dengan emas, kecuali seimbang. Dan Nabi memerintahkan untuk menjual emas dengann perak sesuka kami, dan menjual perak dengan emas sesuka kami”. “Kami telah diperintahkan untuk membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan perak sesuka kami. Abu Bakrah berkata: beliau (Rasulullah) ditanya oleh seorang laki-laki, lalu beliau menjawab, Harus tunai (cash). Kemudian Abi Bakrah berkata, Demikianlah yang aku dengar.” (HR. Abu Hurairah). Dari beberapa Hadis di atas dipahami bahwa hadis pertama dan kedua merupakan dalil tentang diperbolehkannya al-sharf serta tidak boleh adanya penambahan antara suatu barang yang sejenis (emas dengan emas atau perak dengan perak), karena kelebihan antara dua barang yang sejenis tersebut merupakan riba fadl yang jelas-jelas dilarang oleh Islam. Sedangkan hadis ketiga, selain bisa dijadikan dasar diperbolehkannya al-sharf, juga mengisyaratkan bahwa kegiatan jual beli tersebut harus dalam bentuk tunai, yaitu untuk menghindari terjadinya riba nasi’ah. Dengan demikian dapat disimpulkan menurut Ahmad Hasan (2005 : 241) bahwa jual beli mata uang (valuta asing) dibatasi oleh beberapa syarat, dan syarat-syarat itu telah disebutkan oleh para ulama dalam penukaran emas dan perak yang mana berlaku juga dalam penukaran mata uang yang ada pada zaman setelahnya. 9. Syarat-Syarat Dan Batasan-Batasan Al-sharf 1. Serah terima sebelum iftirak (berpisah) Maksudnya yaitu transaksi tukar menukar dilakukan sebelum kedua belah pihak berpisah. Hal ini berlaku pada penukaran mata uang yang berjenis sama maupun yang berbeda, oleh karena itu kedua belah pihak harus melakukan serah terima sebelum keduanya berpisah meninggalkan tempat transaksi dan tidak boleh menunda pembayaran salah satu antara keduanya. Apabila persyaratan ini tidak dipenuhi, maka jelas hukumnya tidak sah. Hal ini sesuai dengan dalil yang bersumber dari hadis nabi seperti yang telah disebutkan terakhir di atas yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Begitu pula dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’ad al- Khudhri, bahwasannya Rasulullah bersabda: ”janganlah kalian menjual emas dengan emas, kecuali sama rata, dan janganlah melebihkan salah satu diantara keduanya. Dan janganlah kalian menjual perak dengan perak, kecuali sama rata, dan janganlah kalian melebihkan salah satu antara keduanya. Dan janganlah kalian menjual -emas dan perak- yang telah ada dengan yang belum ada.” Namun terdapat beberapa interpretasi yang berbeda di kalangan ulama mengenai istilah iftirak (Ivan Susanto, 2007 : 2-3), yaitu: a. Jumhur ulama seperti ulama Hanafi, Syafi’i dan Hambali sepakat bahwa yang dimaksud iftirak adalah apabila kedua belah pihak telah meninggalkan tempat transaksi. Apabila kedua belah pihak belum beranjak dari tempat maka tidak dikatakan iftirak meski dalam waktu yang lama. Pengertian ini didasari kepada Umar bin Khatab ketika meriwayatkan sebuah hadis, lalu beliau berkata kepada thalhah: ”demi Tuhan, jangna kamu tinggalkan orang itu sebelum menerima sesuatu darinya.” dalil ini menunjukkan bahwa yang dijadikan standar iftirak adalah pisah badan. b. Ulama Maliki berpendapat bahwa iftirak badan bukan merupakan ukuran sah atau tidaknya suatu transaksi. Yang jadi ukuran yaitu serah terima harus dilakukan ketika pengucapan ijab dan kabul berlangsung. Maksudnya, jika serah terima dilakukan setelah ijab kabul, maka transaksi tersebut dianggap tidak sah, sekalipun kedua belah pihak belum berpisah badan. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.: ” emas dengan emas adalah riba, kecuali ha wa ha (ucapan ambil dan bayar).” hal ini menunjukkan bahwa serah terima harus dilakukan seketika bersamaan dengan ijab kabul. 2. Al-Tamatsul (sama rata) Pertukaran uang yang nilainya tidak sama rata maka hukumnya haram, syarat ini berlaku pada pertukaran uang yang satu atau sama jenis. Sedangkan pertukaran uang yang jenisnya berbeda, maka dibolehkan al-tafadhul. Misalnya yaitu menukar mata uang dolar Amerika dengan dolar Amerika, maka nilainya harus sama. Namun apabila menukar mata uang dolar Amerika dengan rupiah, maka tidak disyaratkan al-tamatsul. hal ini praktis diperbolehkan mengingat nilai tukar mata uang dimasing-masing negara di dunia ini berbeda. Dan apabila diteliti, hanya ada beberapa mata uang tertentu yang populer dan menjadi mata uang penggerak di perekonomian dunia, dan tentunya masing-masing nilai mata uang itu sangat tinggi nilainya. 3. Pembayaran Dengan Tunai Tidak sah huukmnya apabila di dalam transaksi pertukaran uang terdapat penundaan pembayaran, baik penundaan tersebut berasal dari satu pihak atau disepakati oleh kedua belah pihak. Syarat ini terlepas dari apakah pertukaran itu antara mata uang yang sejenis maupun mata uang yang berbeda. 4. Tidak Mengandung Akad Khiyar Syarat Apabila terdapat khiyar syarat pada akad al-sharf baik syarat tersebut dari sebelah pihak maupun dari kedua belah pihak, maka menurut jumhur ulama hukumnya tidak sah. Sebab salah satu syarat sah transaksi adalah serah terima, sementara khiyar syarat menjadi kendala untuk kepemilikan sempurna. Hal ini tentunya dapat mengurangi makna kesempurnaan serah terima. Menurut ulama Hambali, al-sharf dianggap tetap sah, sedangkan khiyar syaratnya menjadi sia-sia. Selain beberapa syarat di atas, disebutkan pula batasan-batasan pelaksanaan valuta asing yang juga didasarkan dari hadis-hadis yang dijadikan dasar bolehnya jual beli valuta asing. Batasan-batasan tersebut adalah: 1. Motif pertukaran adalah rangka mendukung transaksi komersil, yaitu transaksi perdagangan barang dan jasa antar bangsa, bukan dalam rangka spekulasi. 2. Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan. 3. Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai, atau dengan kata lain tidak dibenarkan jual beli tanpa hak kepemilikan (bai’ ainiah). Seseorang yang melakukan perdagangan valuta asing wajib memperhatikan batasan tersebut dan wajib menjauhkan diri dari pasar gelap. Tidaklah dibenarkan pedagang valas berpendapat bahwa “agama membenarkan penukaran mata uang dengan syarat dilakukan secara tunai, tetapi mereka mengabaikan kepentingan masyarakat banyak.” Jika mereka melakukan penyimpangan karena melakukan pemerasan, maka yang semula halal akan menjadi terlarang karena dapat merugikan. Dalam hal perdagangan mata uang asing ini, Imam al-Subki sebagaimana dikutip Sura’i mengatakan bahwa pendapat yang populer pada mazhab Syafi’I adalah boleh hukumnya melakukan transaksi dengan mata uang dirham yang tengah berlaku walaupun ditukar dengan dirham biasa, sedangkan dirham sebagai mata uang negara yang mempunyai cap, maka transaksi semacam ini dibolehkan. Kemudian ia berkata berlakunya transaksi dengan mempertukarkan mata uang yang tidak sejenis tidaklah ada halangannya, asalkan secara tunai, Namun demikian apakah diperbolehkan mempertukarkan mata uang yang sama namanya tetapi berbeda negara yang memilikinya seperti dinar Marokko dengan dinar Maghribi. Dalam hal ini Imam al-Subki tidak menemukan adanya riwayat yang melarang tetapi pendapat yang terkuat adalah membolehkannya. Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa tukar menukar uang yang satu dengan uang yang lain diperbolehkan. Begitu pula memperdagangkan mata uang asalkan nama dan mata uangnya berlainan atau nilainya saja yang berlainan, namun harus dilakukan secara tunai. Dalam hal memperjualbelikan mata valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai, Yusuf al-Qardhawi mengatakan tidak diperbolehkan. Oleh karena itu tidak sah jual beli uang dengan sistem penangguhan, bahkan harus dilakukan secara tunai ketika di tempat transaksi. Hanya saja yang menjadi kriteria tunainya sesuatu itu menurut ukurannya sendiri-diri. Dalam hal ni menurut Yusuf alQardhawi syara’ telah menyerahkan ukuran tersebut kepada adat kebiasaan yang berlaku di suatu masyarakat. Walaupun demikian, realita tunai ini juga mengikuti hukum darurat yang diukur sesuai dengan ukurannya. Justru itu umat Islam tidak diperkenankan untuk menjual apa yang dibelinya kecuali setelah diterimanya terlebih dahulu barang itu menurut adat kebiasaan yang berlaku. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli hukum Islam di atas, dapatlah disimpulkan bahwa pada dasarnya mereka sepakat tentang bolehnya memperjual belikan valuta asing dari jenis mata uang apapun dan dari negara manapun. Tetapi juga mereka sepakat bahwa transaksi valuta asing harus dilakukan secara tunai dan bertangguh. Hal ini didasarkan pada ketentuan syari’ah seperti yang dijelaskan oleh hadis hadis Nabi di atas. Ada hal penting yang tersirat dari hadis hadis Nabi maupun penafsiran para ahli hukum Islam tentang perdagangan valuta asing ini, yaitu bertujuan agar tidak ada pihak-pihak yang di rugikan dan dizalimi, dan tidak mendatangkan mudharat bagi masyarakat banyak. Persoalan yang merupakan masalah yang berkaitan dengan hajat orang banyak terhadap kebutuhan ekonomi. Oleh sebab itu, dapat dimengerti mafhum mukhalafah dari hikmah yang terkandung dari ketentuan di atas. Di satu sisi pertukaran dan perdagangan valuta asing merupakan suatu kebutuhan untuk perdagangan internasional dan kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan negara lain. Akan tetapi di sisi lain, harus dapat pula menghindarkan diri dari hal-hal yang dilarang syari’ah dan perilaku yang mendatangkan kemudharatan. Sesuai dengan maqashid syari’ah yang salah satu prinsipnya mengenai aspek hajjiyah dalam pengertian segala yang menyulitkan dan menjadi beban bagi kehidupan harus dihindari, maka sesungguhnya elastisitas hukum Islam mengenai perdagangan valuta asing dapat dilihat dari sisi lain. Pada kasus perdagangan valuta asing saat sekarang, yang notabene tidak secara tunai dan tidak simultan penyerahan dana ketika transaksi disepakati, merupakan fenomena yang tidak sesuai dengan ketentuan syari’ah. Ada baiknya ketentuan harus tunai dan simultan itu untuk ditinjau kembali secara mendalam, karena perkembangan dunia modern saat ini dengan kemajuan teknologi yang sudah sedemikian pesatnya, yang seandainya ketentuan tersebut tidak memiliki sifat elastisitas sesuai dengan perubahan waktu, tempat, situasi dan kondisi, maka justru akan mendatangkankesulitan, sedangkan nafyul haraj dalam istilah ushul fiqh merupakan suatu keniscayaan. Persoalan perdagangan valuta asing telah menjadi sangat populer, umum dan hampir dilakukan serta diterima sebagai suatu transaksi yang dipraktekkan di seluruh dunia. Tidak ada sistem ekonomi suatu negara mengalami kemajuan tanpa behubungan dengan perdagangan valuta asing. Oleh sebab itu selayaknya perdagangan valuta asing diterima dan diadopsi sebagai suatu kebutuhan di bidang akonomi dan bermanfaat serta sulit sekali dipisahkan dari dunia modern. Afzalur Rahman mengutip pendapat Imam Hanafi, bahwa jika suatu bisnis secara umum diterima dan dilakukan oleh orang banyak, maka bisnis tersebut menjadi halal, karena merupakan kebutuhan. Akan tetapi jika perdagangan valuta asing tersebut dilakukan dengan tujuan untuk spekulasi, dan merusak sistem prekonomian suatu negara, maka hal inilah yang sangat bertentangan dengan tujuan syari’ah. Solusi yang terbaik untuk hal itu adalah mengadopsi dan menyesuaikan sistem perdagangan valuta asing yang ada dengan prinsip-prinsip yuridis syar’i (hukum Islam), dan penulis sepakat dengan pendapat Yusuf alQardhawi dan Imam Malik batasan tunai dan tangguh diserahkan kepada adat kebiasaan masyarakat sesuai dengan kaedah ushul fiqh al adatu muhakamah. 10. Contoh-Contoh Pelaksanaan Valuta Asing Berikut ini adalah contoh-contoh yang diambil dari salah satu literatur yang khusus membahas masalah-masalah jual beli yang dipertanyakan oleh orangorang yang ingin mendapatkan hukum yang benar sesuai dengan syari’at Islam, dan jawaban yang diberikan merupakan hasil dari musyawarah yang dilakukan oleh kelompok bahstul masail terkenal. 1. Seorang dokter berkebangsaan Mesir bekerja si Saudi menabung sebagian uang dari gajinya disalah satu Bank di Saudi. Saat dia akan pulang, dia berniat untuk menukar mata uang Saudi ke pound Mesir. Di mesir dia akan mendapat dua hal yaitu menukarkannya di bank atau di money changer. Di Mesir nilai tukar satu dolar mencapai 80 qirsy mesir. Jika dia menukarkannya kepada pedagang mata uang maka harga satu dolar bisa mencapai 120 qirasy mesir. Apakah hal tersebut haram?. Jawabannya adalah apabila dia menukarkan uang kepada pedagang valas dengan harga 120 qirsy dari jenis yang berlainan, maka hukumnya halal. 2. Ada beberapa orang al-Jazair yang pergi ke prancis. Lalu mereka mengambil mata uang Perancis dari para pekerja al-Jazair di sana, 1000 franc Prancis ditukar dengan 2000 dinar aljazair dan terkadang bisa lebih. Ketika mereka kembali ke aljazair, mereka menyerahkan uang tersebut kepada keluarga para pekerja dengan mata uang aljazair. Artinya penukaran matauang tersebut tidak berlangsung secara tunai. Dan perlu diketahui bahwa mata uang aljazair lebih mahal daripada prancis. Jika masalahnya seperti ini maka hukumnya tidak diperbolehkan menjual sebagiannya dengan sebagian lainnya kecuali secara tunai (Ahmad bin ’abdurrazzaq Ad-Duwaisy, 2005 : 455-456). 3. Sesorang menerima gaji dengan riyal Saudi, lalu dia menukarnya dengan riyal Sudan. Sedangkan satu riyal Saudi sama dengan 3 riyal Sudan. Maka hal ini dinilai boleh yaitu menukar uang kertas suatu Negara ke uang kertas Negara lain meskipun objek penukaran berbeda nilainya. Namun dengan syarat bahwa serah terima dilaksanakan di tempat transaksi. B. Bank Syariah 1. Pengertian Bank Syariah Bank syariah adalah bank yang dalam menjalankan operasinya dengan system hukum islam atau bank yang menjalankan usahanya mengacu kepada ketentuanketentuan Al-qur’an dan Hadist. Fungsinya sama dengan bank konvensional yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang dan jasa keuangan lainnya, tetapi yang membedakan adalah cara operasi, produk, kesepakatan dan sistemnya. Bank syariah menggunakan prinsip-prinsip islami dalam operasionalnya, yaitu dengan menggunakan prinsip yang menerapkan saling membantu dan bekerja sama antara anggota masyarakat dalam kebaikan dan prinsip menghindari membiarkan uang menganggur dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum. Bank syariah juga tidak menerapkan hal-hal yang melanggar hukum islam, hal ini menyebabkan perbedaan yang mencolok dengan bank konvensional dimana pada bank tersebut, unsur riba sangat kelihatan dengan menetapkan besarnya bunga, baik bunga pinjaman maupun bunga tabungan yang akan menyebabkan ketidakadilan antara nasabah dengan bank. Sehingga jika digunakan hitungan secara kasar atas hasil yang diperoleh antara bank konvensional dengan bank syariah, akan terlihat perbedaan yang mencolok. Menabung adalah tindakan yang dianjurkan oleh islam, karena dengan menabung, berarti seorang muslim telah mempersiapkan diri untuk pelaksanaan perencanaan masa depan sekaligus menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan (Muhammad, 2001 : 153). Hal tersebut didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-qur’an sebagai berikut : Artinya : “Dan, hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (annisaa’:9) Adapun pendapat lain yang berasal dari Amin Aziz, Bank berdasarkan syariah Islam yang berarti operasi perbankan mengikuti tata cara berusaha dan perjanjian berusaha berdasarkan Al-qur’an dan Sunnah Rasulallah Muhammad SAW. Berdasarkan peraturan Bank Indonesia, Bank umum syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ditempatkan dikantor pusat bank tersebut. Anggota DPS harus terdiri dari anggota pakar dibidang syariah muamalah yang ditunjukkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Kedudukan Dewan Pengawas Syariah dalam organisasi baik berdasarkan prinsip bagi hasil bersifat independen dan terpisah dari kepengurusan bank sehingga tidak mempunyai akses terhadap operasional bank. Anggota DPS harus terdiri dari para pakar dibidang syariah muamalah yang juga memiliki pengetahuan umum dibidang perbankan. Persyaratan anggota DPS diatur dan ditetapkan oleh DSN. Dalam kegiatan sehari-hari, Bank syariah juga wajib mengukuti semua fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), yakni satu-satuya dewan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atau jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembagalembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai saat ini DSN telah memfatwakan sebanyak 43 fatwa, melingkupi fatwa mengenai produk perbankan syariah, lembaga keuangan non-bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai fatwa penunjang transaksi dan akad lembaga keuangan syariah. 2. Tujuan bank syariah Pada dasarnya operasi Bank Syariah (Bank Islam) tidak jauh berbeda dengan bank konvensional (bank komersil/umum) yaitu sebagai lembaga perantara. Bank Syariah berperan sebagai lembaga perantara antara satuan-satuan kelompok masyarakat atau unit-unit ekonomi yang mengalami kelebihan dana dengan unitunit lain yang mengalami kekurangan dana. Melalui bank kelebihan dana tersebut dapat disalurkan kepada pihak yang memerlukan dan memberikan manfaat kepada kedua belah pihak. Bank berbasis bunga melaksanakan peran tersebut melalui kegiatannya sebagai peminjam dan pemberi pinjaman. Para pemilik dana tertarik untuk menyimpan dana di bank berdasarkan tingkat bunga yang dijanjikan. Demikian pula bank memberikan pinjaman kepada pihak-pihak yang memerlukan dana berdasarkan kemampuan mereka membayar tingkat bunga tertentu. Hubungan antara bank dengan nasabahnya adalah hubungan antara kreditur dengan debitur. Berbeda dengan bank konvensional, hubungan antara bank syariah dengan nasabahnya bukan hubungan antara debitur dengan kreditur, melainkan hubungan kemitraan penyandang dana dengan pengelola dana. Oleh karena itu, tingkat laba bank syariah bukan saja berpengaruh terhadap tingkat bagi hasil untuk para pemegang saham, tetapi juga berpengaruh terhadap bagi hasil yang dapat diberikan kepada nasabah penyimpan dana. Dengan demikian kemampuan manajemen untuk melaksanakan fungsinya sebagai penyimpan harta, pengusaha dan pengelola investasi yang baik akan sangat menentukan kualitas usahanya sebagai lembaga perantara dan kemampuannya menghasilkan laba. 3. Prinsip-Prinsip Dasar Operasional Bank Syariah Adapun prinsip-prinsip pokok yang menyebabkan antara bank umum dan syariah tidak sama adalah bahwa pemasukan bank syariah tidak berasal dari selisih tingkat bunga dari pembiayaan (kredit) yang disalurkan. Namun pemasukan itu tergantung dari usaha peminjaman (debitur). Aktivitas keuangan dan perbankan dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk membawa mereka kepada, paling tidak, pelaksanaan dua ajaran Al Qur’an yaitu : Prinsip At Ta’awun, yaitu saling membantu dan saling bekerja sama di antara anggota masyarakat untuk kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an : “….dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketaqwaan, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (QS 5:2). Prinsip menghindari Al Iktinaz, yaitu menahan uang (dana) dan membiarkannya menganggur yang tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al Qur’an : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu…” (QS 4:29). Oleh karena itu mekanisme operasional perbankan syariah dijalankan dengan menggunakan dengan piranti-piranti keuangan yang mendasarkan pada prinsipprinsip berikut ini : a. Prinsip titipan atau pinjaman Prinsip ini terdiri dari : Al-Wadiah maksudnya adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja. b. Prinsip bagi hasil 1. Mudharabah Yaitu bank memberikan modal, para nasabah bank memberikan keahlian mereka, sedangkan keuntungan dibagi menurut rasio yang disetujui. Ada dua tipe mudharabah, yaitu mutlaqah (tidak terikat) dan muqayyadah (terikat). Mudharabah mutlaqah: pemilik dana memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola untuk menggunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan pengelola bertanggung jawab untuk mengelola usaha sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf). Mudharabah muqayyadah: pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya. Pengelola menggunakan modal tersebut dengan tujuan yang dinyatakan secara khusus, yaitu untuk menghasilkan keuntungan. 2. Murabahah Dengan operasi murabahah, para klien bank membeli satu komoditi menurut rincian tertentu dan menghendaki agar bank mengirimkannya pada mereka berdasarkan imbuhan harga teretentu menurut persetujuan mula antara kedua pihak. 3. Musharakah Dengan musyarakah, baik bank maupun klien menjadi mitra usaha dengan menyumbang modal dalam berbagai tingkatan dan mencapai kata sepakat atas rasio laba dimuka untuk sesuatu waktu tertentu. c. Prinsip Jual Beli (Al Bai’) Pengertian jual beli meliputi berbagai akad pertukaran antara suatu barang dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang dan jasa lainnya. Penyerahan jumlah atau harga barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera ataupun secara tangguh. Oleh karenanya, untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan syarat-syarat Al Bai’ menyangkut berbagai tipe jual beli tangguh. Dalam fiqh muamalah, telah diidentifikasi dam diuraikan macam-macam jual beli, termasuk jenis jual beli yang dilarang umat islam. Macam atau jenis jual beli itu antara lain: 1. Bai’ al mutlaqah yaitu pertukaran barang atau jasa dengan uang. Uang berperan sebagai alat tukar. Jual beli semacam ini menjiwai semua produk-produk lembaga keuangan yang didasarkan atas prinsip jual beli. 2. Bai’ al muqayyadah yaitu jual beli dimana pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter). Aplikasi jual beli semacam ini dapat dilakukan sebagai jaln keluar bagi transaksi eksport yang tidak dapat menghasilkan valuta asing (devisa). Karena itu dilakukan pertukaran barang dengan barang yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut counter trade. 3. Bai’ al sharf yaitu jual beli atau pertukaran antara satu mata uang asing dengan mata uang asing lain, seperti antara rupiah denga dolar, dolar dengan yen dan sebagaimya. Mata uang asing yang diperjual belikan itu dapat berupa uang kartal (bank notes) atau berupa uang giral (telegrafic transfer atau mail transfer). 4. Bai’ al murabahah adalah akad jual beli barang tertentu dalam transaksi jual beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjual belikan, ternasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil. 5. Bai’ al musawamah adalah jual beli biasa, dimana penjual tidak memberi tahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya. 6. Bai’ al muwadha’ah yaitu jual beli dimana penjual melakukan penjualan dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan (discount). Penjualan semacam ini biasanya hanya dilakukan untuk barang-narang atau aktifa tetap yang nilai bukunya sudah sangat rendah. 7. Bai’ as salam adalah akad jual beli dimana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjual belikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati. Bai’ as salam biasanya dilakukan untuk produk-produk pertanian jangka pendek. 8. Bai’ al istishna’ hampir sama dengan bai’ as salam yaitu kontrak jual beli dimana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tetapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian. d. Prinsip Sewa dan Sewa-Beli Sewa (ijarah) dan sewa-beli (ijarah wa iqtina’ atau disebut juga ijarah muntahiyah bi tamlik) oleh para ulama dianggap sebagai model pembiayaan yang dibenarkan oleh syariah islam. Al ijarah atau sewa adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas barang lainnya. e. Prinsip Jasa 1. Al-Wakalah adalah penyerahan, pendelegasian atau pemberian mandat. 2. Al-Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung atau dalam pengertian lain adalah mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. 3. Al-Hawalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. 4. Ar-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. 5. Al-Qordh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan C. Laba 1. Pengertian laba Laba adalah kenaikan modal (aktiva bersih) yang berasal dari transaksi sampingan atau transaksi yang jarang terjadi dari suatu badan usaha, dan dari semua transaksi atau kejadian lain yang mempunyai badan usaha selama satu periode, kecuali yang timbul dari pendapatan (revenue) atau investasi pemilik (Baridwan, 1992: 55). Pengertian laba secara umum adalah selisih dari pendapatan di atas biayabiayanya dalam jangka waktu (perioda) tertentu. Laba sering digunakan sebagai suatu dasar untuk pengenaan pajak, kebijakan deviden, pedoman investasi serta pengambilan keputusan dan unsur prediksi (Harnanto, 2003: 444). Dalam teori ekonomi juga dikenal adanya istilah laba, akan tetapi pengertian laba di dalam teori ekonomi berbeda dengan pengertian laba menurut akuntansi. Dalam teori ekonomi, para ekonom mengartikan laba sebagai suatu kenaikan dalam kekayaan perusahaan, sedangkan dalam akuntansi, laba adalah perbedaan pendapatan yang direalisasi dari transaksi yang terjadi pada waktu dibandingkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan pada periode tertentu (Harahap, 1997). 2. Jenis-jenis laba a. Laba kotor (gross profit) Laba kotor menurut Marianus (2000 : 107 ) adalah : “ Kelebihan pendapatan atas penjualan individualnya sama dengan harga jual dikurangi biaya untuk mendapatkan dan mempersiapkan barang untuk dijual tetapi sebelum dikurangi dengan beban penjualan dan administrasi”. b. Laba usaha (income from operation) Menurut Waren (2000 : 250) jilid 1, laba usaha adalah : “Kelebihan laba kotor terhadap total beban operasi disebut laba usaha atau laba dari operasi. Rasio atau perbandingan laba operasi terhadap total aktiva dan terhadap penjualan bersih merupakan faktor penting dalam menilai efisiensi dan profitabilitas operasi”. c. Laba bersih sebelum pajak (net income before tax) “Laba bersih sebelum pajak adalah kelebihan seluruh pendapatan atas seluruh biaya untuk suatu periode tertentu sebelum dikurangi pajak penghasilan yang disajikan dalam laporan laba rugi”. d. Laba bersih setelah pajak (net income after tax) “Laba bersih setelah pajak atau Earning after tax (EAT) adalah kelebihan seluruh pendapatan atas seluruh biaya untuk suatu periode tertentu. Jumlah tersebut kemudian dikurangi pajak penghasilan yang harus disetorkan ke kas Negara”. e. Laba perlembar saham (Earning Per Share /EPS) Menurut Marianus (2000 : 46), Laba per lembar saham aadalah : “Laba bersih untuk satu tahun dibagi dengan jumlah rata-rata lembar saham yang beredar selama setahun itu”. f. Laba ditahan (retaired earnings) Menurut Marianus (2000 : 118), Laba ditahan adalah : “Jumlah laba yang ditahan dalam perusahaan dan tidak didistribusikan kepada para pemegang saham dalam bentuk deviden”. 3. Konsep Laba bersih Konsep laba bersih menurut Ahmed Belkoui (2000:250) terdiri dari : a. Konsep laba bersih pada tingkat sintaksis Isitlah sintaksis berkaitan dengan peraturan kelogisan dan konsistensi hubungan di antara bagian-bagian dalam informasi keuangan. Dalam konteks laba adalah peraturan tentang kelogisan dan konsistensinya penentuan laba. Ada dua pendekatan yang dipakai dalam mengukur laba bersih yakni : 1. Pendekatan transaksi (transaction approach), yang melibatkan pencatatan perubahan penilaian aktiva dan kewajiban yang hanya dihasilkan transaksi, baik yang bersifat eksternal maupun internal. 2. Pendekatan kegiatan (activities approach) yang memusatkan perhatian pada penjelasan aktivitas suatu perusahaan bukan pada pelaporan transaksi. Diandaikan laba timbul apabila transaksi atau peristiwa tertentu terjadi. Contohnya , laba aktivtitas dicatat selana proses perencanaan, pembelian, produksi, penjualan, penagihan. b. Konsep laba bersih pada tingkat sematik Istilah semantis merujuk kepada makna suatu konsep yang digunakan dalam informasi keuangan dan memberikan interpretatif (penilaian) mengenai laba bersih dan alternative-alternatif bagi pengukurannya juga akan disinggung batasan-batasan praktis c. Konsep laba bersih pada tingkat pragmatis Pragmatis mengacu pada dampak suatu konsep terhadap pemakainya. Konsep pragmatis laba berkaitan dengan proses keputusan investor dan kreditor, reaksi harga saham dalam pasar modal terhadap pelaporan laba, keputusan manajemen tentang pengeluaran modal, dan reaksi umpan balik manajemen dan akuntan. Dari penjelasan diatas terlihat bahwa laba pada akhirnya akan menambah modal perusahaan. Tetapi tidak jarang perusahaan menahan atau menyisihkan laba untuk tujuan pengembangan. Laba secara operasional membuat pengukuran aktiva dan kewajiban yang dikenal sebagai aktiva bersih atau ekuitas, yang akan meningkat setelah semua investasi atau distribusi ekuitas yang baru dieleminasi, maka laba dapat dihasilkan. Tetapi apabila tidak ada perubahan maka tidak ada laba, jika bagian ekuitas menurun akan terjadi laba yang negatif atau rugi. Dengan mengenakan suatu tingkat target laba yang diperoleh dari pengalaman, pengharapan, atau perbandingan maka akan dapat ditetapkan standar laba relatif yang dianggap memadai bagi perusahaan. Dalam menghitung besarnya kenaikan laba dapat dilihat dari nilai laba bersih. Oleh karena itu untuk memungkinkan analisa yang baik terhadap laporan keuangan tersebut serta agar bersifat komunikatif, terutama tentang laba maka dalam penyusunan laporan keuangan konsep laba yang disajikan harus jelas. D. Pengaruh Valuta asing terhadap Laba bersih 1. Manajemen Resiko Keuangan Tujuan utama manajemen risiko keuangan adalah untuk meminimalkan potensi kerugian yang timbul dari perubahan tak terduga dalam harga mata uang, kredit, komoditas, dan ekuitas. Resiko volatilitas harga yang dihadapi ini disebut dengan resiko pasar. Risiko pasar terdapat dalam berbagai bentuk. 2. Peranan Akuntansi Akuntansi manajemen memainkan peran yang penting dalam proses risiko manajemen. Mereka membantu dalam mengidentifikasikan eksposur pasar, mengkuantifikasi keseimbangan yang terkait dengan strategi respons risiko alternative, mengukur potensi yang dihadapi perusahaan terhadap risiko tertentu, mencatat produk lindung nilai tertentu dan mengevalusi program lindung nilai. Kerangka dasar yang bermanfaat untuk mengidentifikasi berbagai jenis risiko market berpotensi dapat disebut sebagai pemetaan risiko. Kerangka ini diawali dengan pengamatan atas hubungan berbagai risiko pasar terhadap pemicu nilai suatu perusahaan dan pesaingnya. Pemicu nilai mengacu pada kondisi keuangan dan pos-pos kinerja operasi keuangan utama yang mempengaruhi nilai suatu perusahaan. Risiko pasar mencakup risiko kurs valuta asing dan suku bunga, serta risiko harga komoditas dan ekuitas. Mata uang Negara sumber pembelian mengalami penurunan nilai relative terhadap mata uang Negara domnestik, maka perubahan ini dapat menyebabkan pesaing domestic mampu menjual dengan harga yang lebih rendah, ini disebut sebagai risiko kompetitif mata uang yang dihadapi. Akuntan manajemen harus memasukkan suatu fungsi demikian probabilitas yang terkait dengan serangkaian hasil keluaran masing-masing pemicu nilai. Peran lain yang dimainkan oleh para akuntan dalam proses manajemen resiko meliputi proses kuantifikasi penyeimbangan yang berkaitan dengan alternative strategi respon risiko. Risiko kurs valuta asing adalah salah satu bentuk risiko yang paling umum dan akan dihadapi oleh perusahaan multinasional. Di dalam dunia kurs mengambang, manajemen risiko mencakup: (1) antisipasi pergerakan kurs, (2) pengukuran risiko kurs valuta asing yang dihadapi perusahaan, (3) perancangan strategi perlindungan yang memadai, dan (4) pembuatan pengendalian manajemen risiko internal. Manajer keuangan harus memiliki informasi mengenai kemungkinan arah, waktu, dan magnitude perubahan kurs dan dapat menyusun ukuran-ukuran defensive memadai dengan lebih efisien dan efektif. Potensi terhadap risiko valas timbul apabila perubahan kurs valas juga mengubah nilai aktiva bersih, laba, dan arus kas suatu perusahaan. Pengukuran akuntansi tradisional terhadap potensi risiko valas ini berpusat pada dua jenis potensi risiko: translasi dan transaksi. Potensi risiko translasi mengukur pengaruh perubahan kurs valas terhadap nilai ekuivalen mata uang domestik atas aktiva dan kewajiban dalam mata uang asing yang dimiliki oleh perusahaan. Karena jumlah dalam mata uang asing umumnya ditranslasikan ke dalam nilai ekuivalen mata uang domestik untuk tujuan pengawasan manajemen atau pelaporan keuangan eksternal, pengaruh translasi itu menimbulkan dampak langsung terhadap laba yang diinginkan. Kelebihan antara aktiva terpapar resiko dengan kewajiban terpapar (yaitu pos-pos dalam mata uang asing yang ditranslasikan berdasarkan kurs kini) menyebabkan timbulnya posisi aktiva terpapar bersih. Posisi ini sering disebut potensi risiko positif. Devaluasi mata uang asing relatif terhadap mata uang pelaporan menimbulkan kerugian translasi. Revaluasi mata uang asing menghasilkan keuntungan translasi. Sebaliknya, jika perusahaan memiliki posisi kewajiban terpapar bersih atau potensi risiko negatif apabila kewajiban terpapar melebihi aktiva terpapar. Dalam kasus ini, devaluasi mata uang asing menyebabkan timbulnya keuntungan translasi. Revalusi mata uang asing menyebabkan kerugian translasi. Potensi risiko transaksi, berkaitan dengan keuntungan dan kerugian nilai tukar valuta asing yang timbul dari penyelesaian transaksi yang berdenominasi dalam mata uang asing. Keuntungan dan kerugian transaksi memiliki dampak langsung terhadap arus kas. Laporan potensi risiko transaksi berisi pos-pos yang umumnya tidak muncul dalam laporan keuangan konvensional, tetapi menimbulkan keuntungan dan kerugian transaksi seperti kontrak forward mata uang asing, komitmen pembelian dan penjualan masa depan dan sewa guna usaha jangka panjang. Untuk meminimalkan atau menghilangkan potensi risiko tersebut, dibutuhkan strategi yang mencakup lindung nilai neraca, operasional, dan kontraktual. Lindung nilai neraca dapat mengurangi potensi risiko yang dihadapi perusahaan dengan menyesuaikan tingkatan dan nilai denominasi moneter aktiva dan kewajiban perusahaan yang terpapar. Lindung nilai operasional berfokus pada variabel-variabel yang mempengaruhi pendapatan dan beban dalam mata uang asing. Lindung nilai structural mencakup relokasi tempat manufaktur untuk mengurangi potensi risiko yang dihadapi perusahaan atau mengubah Negara yang menjadi sumber bahan mentah dan komponen manufaktur. Lindung nilai kontraktual dikembangkan untuk memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada para manajer dalam mengelola potensi risiko valas yang dihadapi. 3. Perlakuan Akuntasi FASB menerbitkan FAS No 133, yang diklarifikasi melalui FAS 149 pada bulan April 2003, untuk memberikan pendekatan tunggal yang komprehensif atas akuntansi untuk transaksi derivative dan lindung nilai. Provisi dasar standar ini adalah: - seluruh instrument derivative dicatat pada neraca sebagai aktiva dan kewajiban - keuntungan dan kerugian dari perubahan dalam nilai wajar instrument derivative bukankan aktiva atau kewajiban - lindung nilai haruslah sangat efektif agar layak mendapatkan perlakuan akuntansi khusus, yaitu keuntungan atau kerugian atas instrument lindung niai secara tepat harus mengimbangi keuntungan dan kerugian sesuatu yang dilindungi nilai - hubungan lindung nilai haruslah terdokumentasi secara lengkap demi manfaat pemvaca laporan - keuntungan atau keruhian dari investasi bersih dalam mata uang asing pada awalnya dicatat dalam laba komprehensif lainnya - keuntungan atau kerugian lindung nilai terhadap arus kas masa depan yang belum pasti, seperti perkiraan penjualan ekspor, pada awalnya diakui sebagai bagian dari laba komprehensif. Meskipun aturan penuntun yang dikeluarkan FASB dan IASB telah banyak mengklarifikasi pengakuan dan pengukuan derivative, masih saja terdapat beberapa masalah. Yang pertama berkaitan dengan nilai wajar. Kompleksitas pelaporan keuangan juga semakin meningkat jika lindung nilai dianggap sangatlah tidak efektif untuk mengimbangi risiko valas.