Penduduk Lansia dan Bonus Demografi Kedua Oleh Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI* Oleh banyak pihak, Indonesia disebut sedang menikmati bonus demografi ketika jumlah penduduk dengan usia produktif sangat besar, sementara penduduk usia mudanya semakin mengecil dan penduduk usia lanjutnya (lansia) belum membesar. Pemerintah sendiri mengklaim bonus demografi ini sudah dinikmati sejak 2012 dimana rasio ketergantungan penduduk di bawah 50% per 100 penduduk usia produktif. Dengan kekuatan tenaga kerja produktifnya, ke depannya bangsa Indonesia diharapkan mampu menguasai ekonomi dunia. Puncak bonus demografi yang dinikmati Indonesia, diperkirakan terjadi tahun 2028-2031. Setelah itu, jumlah penduduk lansianya akan membesar. Jumlah penduduk lansia yang membesar ternyata berpotensi memberikan banyak benefit jika tangguh, sehat dan tetap produktif. Penduduk lansia tersebut bahkan diprediksi menjadi bonus demografi kedua bagi Indonesia. Namun demikian, menjadikan penduduk lansia tetap sehat, tangguh dan produktif tentu membutuhkan banyak persiapan serta dukungan dari semua pihak. Persoalan kualitas gizi, sanitasi serta dukungan lingkungan yang sehat kemudian menjadi beberapa hal prioritas yang wajib diwujudkan, sama halnya dengan penyiapan kualitas penduduk usia produktif. Peran Lansia Menjadi menarik menganalisis lebih lanjut pentingnya peran penduduk lansia ini jika dikaitkan dengan laporan di sebuah kolom majalah The Economist, dimana populasi kaum lansia diprediksikan melesat tinggi di beberapa negara kaya, misalnya di Jepang, proyeksi perbandingan kaum lansia dengan kaum produktif 69 berbanding 100 di tahun 2035. Dibandingkan data tahun 2010, kondisi ini meningkat sangat tajam. Saat itu, kaum lansia di Jepang masih berkisar 43 dari total kaum produktif. Kondisi yang sama juga dihadapi negara Korea, Jerman dan Perancis. Secara umum, menurut catatan PBB, populasi lansia juga meningkat dua kali lipat hanya dalam tempo 25 tahun. Saat ini, PBB memprediksikan jumlah kaum manula mencapai 600 juta jiwa di seluruh dunia, atau setara dengan 8% total populasi penduduk dunia dan terus meningkat hingga 1,1 miliar atau 13% di tahun 2035. Uniknya, fenomena tersebut tidak hanya terjadi di negara-negara maju yang notabene menghadapi sindrom less population, karena Amerika Serikat (AS) dan China yang dikenal sebagai negara dengan populasi yang terbesar juga menghadapi permasalahan yang sama. Di AS, dengan tingkat kelahiran yang begitu besar, harus menanggung 44 lansia berbanding 100 penduduk, sementara di China populasi lansia meningkat dari 15 menjadi 36 per 100 orang penduduk usia produktif. Jika sebelumnya dianggap sebagai mesin pertumbuhan, beberapa pengamat kemudian manganalogikan kaum lansia ini sebagai faktor yang dominan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi dunia. Di Indonesia sendiri, setiap tanggal 29 Mei selalu diperingati sebagai Hari Lanjut Usia (Lansia) Nasional. Untuk tahun 2014 kemarin, tema yang diusung adalah ”Jadikan Lanjut Usia Indonesia Sejahtera” dengan sub tema ”Pengabdianku Untuk Orang Tua”. Definisi Lansia menurut Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia adalah orang yang telah berusia 60 tahun ke atas atau sering disebut sebagai penduduk dengan usia non-produktif. Perayaan Hari Lansia Nasional itu sendiri dicanangkan pertama kali oleh Presiden Soeharto tahun 1996 sebagai bentuk keperdulian dan penghargaan atas penduduk Lansia. Menurut data pemerintah, hingga kini jumlah lansia mencapai 18 juta jiwa dan diperkirakan akan meningkat menjadi 41 juta jiwa di tahun 2035 serta lebih dari 80 juta jiwa di tahun 2050. Nantinya di tahun 2050, satu dari empat penduduk Indonesia adalah penduduk lansia dan lebih mudah menemukan penduduk lansia dibandingkan bayi atau balita. Sayangnya, perhatian terhadap penduduk lansia ini dianggap masih sangat kurang. Belum ada satupun kota di Indonesia yang memenuhi kriteria kota ramah lansia. Sebuah kota didefinisikan ramah lansia jika memiliki banyak ruang publik yang dapat digunakan penduduk lansia untuk bersosialisasi serta tersedianya sistem transportasi dan pelayanan umum yang memperhatikan keterbatasan lansia. Mengingat begitu besarnya peran penduduk lansia, kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah harus komprehensif bersinergi dengan kebijakan penduduk usia produktif. Momen ini juga harus dijadikan sebagai awal dari reformasi kebijakan pemerintah di sektor kependudukan. Terlalu lama pengelolaan kependudukan di Indonesia dijalankan dengan mekanisme asal-asalan. Padahal dengan kekuatan jumlah penduduk terbesar ke-3 di dunia, Indonesia harus menaruh perhatian serius terhadap persoalan kependudukan ini. Kebijakan yang ada, sering kali bersifat populis jangka pendek. Padahal tidak diindahkannya dimensi kependudukan dalam kerangka pembangunan, sama artinya dengan ”menyengsarakan” generasi mendatang. Banyak teori yang menyebutkan penduduk sebagai salah satu faktor strategis dalam mendukung pembangunan nasional. Penduduk adalah subyek dan obyek pembangunan. Sebagai subyek, penduduk harus dibina dan ditingkatkan kualitasnya sehingga mampu menjadi mesin penggerak pembangunan. Sebagai obyek, pembangunan harus dapat dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian, pembangunan harus diperhitungkan dengan seksama, dengan memperhitungkan kemampuan penduduk, sehingga masyarakat mampu berpartisipasi secara aktif. Di periode Orde Baru, pemerintah sebetulnya cukup sukses dalam mengelola persoalan kependudukan. Banyak kebijakan yang kemudian dihasilkan, bersifat terintegrasi demi menciptakan penduduk yang berkualitas. Sayangnya di era reformasi, masalah kependudukan justru menjadi salah satu sektor yang paling terabaikan. Otonomi daerah sepertinya tidak berkorelasi dengan otonomi pengelolaan penduduk. Banyak daerah yang justru tidak menganggap penting pengelolaan kependudukan. Akibatnya peningkatan penduduk semakin tidak terkendali, sehingga di banyak daerah khususnya Jawa dan Bali, terjadi over populated dengan kualitas penduduk yang semakin memprihatinkan. Hal inilah sejujurnya yang menjadi pekerjaan terbesar pemerintah saat ini dan di masa depan, bagaimana mengubah peran kependudukan dari sekedar konsumsi menjadi hal yang lebih produktif via peningkatan kualitas penduduk. Bukan hal mudah memang, namun justru disinilah peran pemerintah menjadi sangat krusial. Pemerintah harus mampu menciptakan berbagai program yang akan digunakan sebagai stimulus bagi upaya peningkatan kualitas masyarakat Indonesia yang kompetitif. Tanpa itu semua, niscaya mustahil bangsa ini mampu berbicara di level internasional. Mumpung masih ada waktu, seyogyanya pekerjaan ini dimulai dari sekarang. *Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja