BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Manajemen Keuangan 2.1.1 Pengertian Manajemen Keuangan Keuangan memiliki ruang lingkup yang luas dan dinamis. Keuangan dapat berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan manusia dan organisasi. Untuk dapat memperoleh laba dalam melakukan suatu usaha diperlukan keuangan yang optimal untuk dapat berjalan dengan baik sehingga untuk dapat mengoptimalkan keuangan perusahaan diperlukan manajemen yang baik. Oleh karena itu, keuangan mempunyai hubungan yang erat terhdap ilmu manajerial. Seiring dengan perkembangannya, manajemen keuangan tidak hanya mencatat, membuat laporan, mengendalikan posisi kas, membayar tagihan – tagihan, dan mencari dana. Akan tetapi, manajemen keuangan juga mengatur penginvestasian dana, mengatur kombinasi dana yang optimal, serta mengatur pendistribusian keuntungan (pembagian dividen). Menurut Bambang Riyanto (2004 : 4) : “Manajemen keuangan adalah manajemen untuk fungsi – fungsi pembelanjaan.” Sedangkan dalam bukunya, Sutrisno (2003 : 3) menerangkan bahwa : “Manajemen keuangan atau sering disebut pembelanjaan dapat diartikan sebagai semua aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan usaha – usaha mendapatkan dana perusahaan dengan biaya yang murah serta usaha untuk menggunakan dan mengalokasikan dana tersebut secara efisien.” Sedangkan menurut Van Horne dan Wachowicz (2005:2), bahwa: “Financial management is concern the acquisition, financing, and managements of assets with some overall goal in mind”. Artinya bahwa manajemen keuangan berhubungan dengan akuisisi, pembiayaan, dan pengelolaan aktiva-aktiva dengan keseluruhan tujuan perusahaan. Berdasarkan pengertian – pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari Manajemen Keuangan adalah adalah usaha –usaha yang dilakukan oleh perusahaan untuk mendapatakan dana dan mengalokasikan dana tersebut secara efektif dan efisien untuk menghasilkan keuntungan yang optimal. 2.1.2 Fungsi Manajemen Keuangan Manajemen Keuangan memiliki kesempatan kerja yang terluas karena setiap perusahaan pasti membutuhkan seorang manajer keuangan yang menangani fungsi – fungsi keuangan. Menurut Bambang Riyanto (2001 : 6) seorang manajer keuangan harus mengetahui atas tiga fungsi utama, yaitu : a. Menyangkut tentang keputusan alokasi dana, baik yang berasal dari perusahaan maupun dari luar perusahaan atau bentuk investasi yang bagaimana yang baik bagi perusahaan. b. Menyangkut tentang pengambilan keputusan pembelanjaan atau pembiayaan investasi. Hal ini menyangkut tentang memperoleh dana investasi yang efisien, komposisi sumber dana yang harus dipertahankan dan penggunaan modal dari dalam atau luar. c. Menyangkut tentang kebijakan dividen. Pada prinsipnya kebijakan dividen menyangkut tentang keputusan apakah laba yang diperoleh harus dibagikan kepada para pemegang saham atau ditahan guna pembiayaan investasi dimasa yang akan datang. Fungsi manajemen keuangan adalah salah satu fungsi utama yang sangat penting didalam perusahaan, disamping fungsi – fungsi yang lainnya yaitu fungsi pemasaran, sumber daya manusia, dan operasional. Walaupun dalam pelaksanaannya keempat fungsi – fungsi tersebut saling berhubungan dengan yang lainnya. 2.1.3 Tujuan Manajemen Keuangan Manajemen keuangan yang efisien membutuhkan tujuan dan sasaran yag digunakan sebagai standard dalam memberikan penilaian keefisienan keputusan keuangan. Untuk dapat mengambil keputusan – keputusan keuangan yang benar, manajer keuangan perlu menentukan tujuan yang harus dicapai. Keputusan yang benar adalah keputusan yang akan membantu mencapai tujuan tersebut. Secara normatif, tujuan keputusan keuangan adalah untuk memaksimalkan nilai perusahaan karena dapat meningakatkan kemakmuran para pemilik perusahaan (pemegang saham). Sedangkan menurut Ross, Westerfield, Jordan (2006 : 11) tujuan menajemen keuangan adalah sebagai berikut : “The goal of financial management to maximize the current value per share of the existing stock.” Artinya bahwa tujuan manajemen keuangan yang dilakukan oleh manajer keuangan adalah merencanakan untuk memperoleh dan menggunakan dana guna memaksimalkan nilai perusahaan. 2.2 Laporan Keuangan 2.2.1 Pengertian Laporan Keuangan Membahas manajemen keuangan tidak bisa lepas dari laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari proses akuntansi yang meliputi dua laporan utama, yaitu : (1) neraca dan (2) laporan rugi – laba. Laporan keuangan disusun dengan tujuan untuk menyediakan informasi keuangan perusahaan kepada pihak – pihak yang berkepentingan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Pengertian laporan keuangan menurut Ridwan S Sundjaya dan Inge Barlian (2002 : 68) adalah sebagai beikut : “Laporan keuangan adalah laporan yang menggambarkan hasil dari proses akuntansi yang digunakan sebagai alat komunikasi antara data keuangan atau aktivitas perusahaan dengan pihak – pihak yang berkepentingan dengan data –data/aktivitas tersebut.” Sedangkan Sutrisno (2007: 9) menyatakan bahwa : ”Laporan keuangan itu disusun untuk menyediakan informasi keuangan suatu berkepentingan perusahaan (manajemen, kepada pemilik, pihakkreditor, pihak yang investor, dan pemerintah).” Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan merupakan hasil akhir dari aktivitas suatu perusahaan yang dibuat oleh manajemen dan diproses melalui siklus akuntansi yang akan digunakan oleh pemilik perusahaan, calon investor, kreditur, pemerintah dan pihak – pihak lainnya yang berkepentingan untuk melihat kinerja keuangan dan operasional perusahaan. 2.2.2 Jenis-jenis Laporan Keuangan Laporan keuangan disajikan manajemen untuk semua pihak yang berkepentingan terhadap semua perusahaan. Informasi yang ada dalam laporan keuangan ini dapat langsung digunakan oleh pemakai, namun ada juga yang harus dianalisa lebih lanjut misalnya dengan menggunakan rasio-rasio keuangan. Setiap pemakai mempunyai kebutuhan yang berbeda terhadap informasi keuangan. Berdasarkan kebutuhan tersebut, akan mencari informasi mana yang akan dibutuhkan untuk dianalisa lebih lanjut, sehingga laporan keuangan perlu diklasifikasikan dalam berbagai jenis laporan keuangan. Jenis-jenis laporan keuangan menurut Gitman (2006:46) adalah : “The four key financial statement required by the SEC for reporting to shareholder are (1) the income statement, (2) the balance sheet, (3) the statement of stockholders’ equity, and (4) the statement of cash flows.” Artinya bahwa empat laporan keuangan kunci yang diperlukan oleh SEC untuk pelaporan kepada pemegang saham adalah (1) laporan rugi-laba, ( 2) neraca, ( 3) laporan keuangan ekuitas pemegang saham, dan (4) laporan keuangan arus kas. Dilihat dari kutipan diatas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya ada tiga jenis laporan keuangan yang utama, yaitu income statement (laporan laba rugi), balance sheet (neraca), dan statement of cash flow (laporan arus kas). Sedangkan laporan lainnya yang juga tercantum dalam kutipan diatas merupakan bagian integral dari laporan keuangan yang merupakan daftar pendukung (supporting statement) dari laporan keuangan utama dan bukan laporan keuangan yang berdiri sendiri. Menurut Ridwan S Sundjaya dan Inge Barlian (2002:4) jenis-jenis laporan keuangan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Income statement (laporan rugi laba) Income statement (laporan rugi laba) mencerminkan hasil-hasil yang dicapai selama suatu periode tertentu biasanya meliputi periode satu tahun. Dimana tertulis secara lengkap semua pendapatan dan beban yang harus dibayar. 2. Balance sheet (neraca) Balance sheet (neraca) mencerminkan nilai aktiva, hutang dan modal sendiri pada suatu saat tertentu. Neraca digunakan untuk menggambarkan kondisi keuangan perusahaan. 3. Laporan laba ditahan (statement of retained earnings) Laporan laba ditahan merupakan laporan yang berasal dari tahun-tahun yang lalu dan tahun berjalan yang tidak dibagikan sebagai dividen. 4. Statement of cash flows (laporan arus kas) Kemudian jenis laporan keuangan utama yang terakhir adalah laporan arus kas. Laporan aliran kas meringkas aliran kas masuk dan keluar perusahaan untuk jangka waktu tertentu. 2. 3 Keputusan Investasi 2.3.1 Pengertian Investasi Investasi adalah kegiatan penanaman modal untuk satu atau lebih aktiva yang dimiliki dan biasanya berjangka waktu lama dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa yang akan datang. Beberapa pakar mengemukakan pendapatnya tentang investasi. Menurut Jogiyanto (2007:5) bahwa : “Investasi adalah penundaan konsumsi sekarang untuk digunakan didalam produksi yang effisien selama periode waktu yang ditentukan” Sedangkan menurut Kamaruddin Ahmad (2004:3) bahwa : “Investasi adalah menempatkan uang atau dana dengan harapan untuk memperoleh tambahan keuntungan tertentu atas uang atau dana tersebut”. Kemudian dalam jurnalnya Tendi Harruman. (2008), dikatakan bahwa keputusan investasi mencakup pengalokasian dana, baik dana yang berasal dari dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan pada berbagai bentuk investasi. Gitman (2000) dan Brealy & Myers (2000) menyatakan bahwa keputusan investasi sangat penting karena akan mempengaruhi keberhasilan pencapaian tujuan perusahaan dan merupakan inti dari seluruh analisis keuangan. Sedangkan menurut Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa keputusan investasi dapat berperan sebagai mekanisme transmisi antara kepemilikan dan nilai perusahaan. Dari pengertian-pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa konsep keputusan investasi merupakan suatu konsep yang membicarakan tentang pengalokasian dana yang ada dan penentuan sumber-sumber dana di masa yang akan datang. Suatu perusahaan di dalam pengalokasian dananya dapat menggunakan investasi dalam bentuk aktiva riil yaitu dalam bentuk aktiva berwujud seperti emas, perak, intan dan real estate atau dalam bentuk surat-surat berharga atau sekuritas. 2.3.2 Pentingnya Keputusan Investasi Keputusan Investasi sendiri tercermin dari pertumbuhan Total Asset perusahaan yang bersangkutan dari tahun ke tahun. Implementasi keputusan investasi sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dana dalam perusahaan yang berasal dari sumber pendanaan internal (internal financing) dan sumber pendanaan eksternal (external financing). Dengan memperhatikan sumber-sumber pembiayaan, perusahaan memiliki beberapa alternatif pembiayaan untuk menentukan struktur modal yang tepat bagi perusahaan. Menurut Kamaruddin Ahmad (2004:118) perencanaan terhadap keputusan investasi ini sangat penting karena beberapa hal sebagai berikut : 1. Dana yang dikeluarkan untuk investasi sangat besar, dan jumlah dana yang besar tersebut tidak bisa diperoleh kembali dalam jangka pendek atau diperoleh sekaligus. 2. Dana yang dikeluarkan akan terikat dalam jangka panjang, sehingga perusahaan harus menunggu selama jangka waktu cukup lama untuk bisa memperoleh kembali dana tersebut. 3. Keputusan investasi menyangkut harapan terhadap hasil keuntungan di masa yang akan datang. Kesalahan dalam mengadakan peramalan akan dapat mengakibatkan terjadinya over atau under investment, yang akhirnya akan merugikan perusahaan. Proses dalam melakukan keputusan investasi dapat diperinci ke dalam tahap sebagai berikut : 1. Perencanaan 2. Analisis investasi 3. Pemilihan proyek 4. Pelaksanaan proyek 5. Pengawasan proyek Jika proyek-proyek investasi sudah tersedia atau dapat diperoleh, maka perusahaan perlu melakukan analisis awal. Dalam analisis awal perusahaan harus mengumpulkan informasi yang lebih akurat tentang proyek-proyek yang tersedia. Informasi tentang proyek-proyek yang akan diambil umumnya meliputi : 1. Jenis atau macam proyek 2. Lama berakhirnya proyek 3. Pola produksi atau output selama masa proyek 4. Total produksi dan saat mulai berproduksi 5. Teknologi yang akan digunakan 6. Jumlah dan pola penerimaan dan pengeluaran cash flow 7. Informasi lain yang sangat bervariasi antara satu proyek dengan proyek lain. Pengaturan investasi modal yang efektif perlu memperhatikan faktor-faktor berikut ini : 1. Adanya asal-usul investasi 2. Estimasi arus kas dari asal-usul investasi tersebut 3. Evaluasi arus kas tersebut 4. Memilih proyek-proyek yang sesuai dengan kriteria tertentu 5. Monitoring dan penilaian terus-menerus terhadap proyek investasi setelah investasi dilaksanakan. Asal-usul investasi tidak mesti berasal dari bagian keuangan. Mungkin saja usul tersebut berasal dari pemasaran, bagian produksi, dan melibatkan berbagai bagian. Demikian juga arus kas akan memerlukan kerja sama antara bagian yang mengusulkan dengan bagian keuangan. Evaluasi arus kas mungkin lebih banyak dilakukan oleh bagian keuangan, demikian juga pemilihan proyek. Akhirnya monitoring memerlukan kerja sama dengan seluruh bagian yang terlibat. Untuk maksud-maksud analisis, suatu proyek bisa dimasukkan ke dalam salah satu klasifikasi berikut ini : 1. Pengenalan proyek baru atau pembuatan produk baru 2. Penggantian peralatan atau pabrik 3. Penelitian dan pengembangan 4. Eksplorasi Jadi, inti dari fungsi pendanaan ini adalah bagaimana perusahaan menentukan sumber dana yang optimal untuk mendanai berbagai alternatif investasi, sehingga dapat memaksimalkan nilai perusahaan yang tercermin pada harga sahamya. 2.3.3 Jenis-jenis investasi keuangan Investasi ke dalam aktiva keuangan dapat berupa investasi langsung dan investasi tidak langsung. Investasi langsung dilakukan dengan membeli langsung aktiva keuangan dari suatu perusahaan baik melalui perantara atau dengan cara yang lain. Sebaliknya investasi tidak langsung dilakukan dengan membeli saham dari perusahaan investasi yang mempunyai portofolio aktiva-aktiva keuangan dari perusahaan-perusahaan lain. Hal ini ditunjukkan dalam gambar berikut. Gambar 1.1 Tipe-tipe investasi Investasi tidak langsung Investor Investasi Perusahaan investasi langsung Aktiva-aktiva keuangan Investasi langsung Sumber : Jogiyanto (2003:7) Menurut Sunaryah (2006:4), investasi dalam arti luas terdiri dari dua bagian utama, yaitu: 1. Investasi dalam bentuk aktiva riil (real assets). Aktiva riil adalah aktiva berwujud seperti emas, perak, intan, barang-barang seni dan real estate. 2. Investasi dalam bentuk surat-surat berharga atau sekuritas (marketable securities atau financial assets). Aktiva finansial adalah surat-surat berharga yang pada dasarnya merupakan klaim atas aktiva riil yang dikuasai oleh suatu entitas. 2.3.3.1 Investasi Keuangan Investasi keuangan dalam hal ini adalah berhubungan dengan masalah pengalokasian dana yang akan dilaksanaakan oleh perusahaan di dalam pembelian surat-surat berharga. Berikut ini adalah beberapa jenis investasi keuangan, menurut Sunaryah (2006:4) pemilikan aktiva finansial dalam rangka investasi pada sebuah entitas dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1. Investasi langsung Investasi langsung adalah pembelian langsung aktiva keuangan suatu perusahaan. Investasi langsung dapat dilakukan dengan membeli aktiva keuangan yang dapat diperjual-belikan di pasar uang (money market), pasar modal (capital market), atau pasar turunan (derivative market). Investasi langsung juga dapat dilakukan dengan membeli aktiva keuangan yang tidak dapat deperjual-belikan. Aktiva keuangan yang tidak dapat diperjual-belikan biasanya diperoleh melalui bank komersial. Aktiva-aktiva ini dapat berupa tabungan di bank atau sertifikat deposito. Macam-macam investasi langsung dapat disarikan sebagai berikut ini : 1. Investasi langsung yang tidak dapat diperjual-belikan. a. Tabungan. b. Deposito. 2. Investasi langsung dapat diperjual-belikan. a. Investasi langsung di pasar uang. 1) T-bill. 2) Deposito yang dapat dinegosiasi. b. Investasi langsung di pasar modal. 1) Surat-surat berharga pendapatan tetap (fixed-income securities). a) T-bond. b) Federal agency securities. c) Municipal bond. d) Corporate bond. e) Convertible bond. 2) Saham-saham (equity securities). a) Saham preferen (preferred stock). b) Saham biasa (common stock). c. Investasi langsung di pasar turunan. 1) Opsi. a) Waran (warrant). b) Opsi put (put option). c) Opsi call (call option). 2) Futures contract. 2. Investasi tidak langsung Investasi tidak langsung adalah pembelian saham dari perusahaan investasi yang mempunyai portofolio aktiva-aktiva keuangan dari perusahaan-perusahaan lain. Investasi tidak langsung dilakukan dengan membeli surat-surat berharga dari perusahaan investasi. Perusahaan investasi adalah perusahaan yang menyediakan jasa keuangan dengan cara menjual sahamnya ke publik dan menggunakan dana yang diperoleh untuk diinvestasikan ke dalam portofolionya. Ini berarti bahwa perusahaan investasi membentuk portofolio (diharapkan portofolionya optimal) dan menjualnya eceran kepada publik dalam bentuk saham-sahamnya. Investasi tidak langsung lewat perusahaan investasi ini menarik bagi investor paling tidak karena dua alasan utama, yaitu : 1. Investor dengan modal kecil dapat menikmati keuntungan karena pembentukan portofolio. Jika investor ini harus membuat portofolio sendiri, maka dia harus membeli beberapa saham dalam jumlah yang cukup besar nilainya. Investor yang tidak mempunyai dana cukup untuk membentuk portofolio sendiri dapat membeli saham yang ditawarkan oleh perusahaan investasi ini. 2. Membentuk portofolio membutuhkan pengetahuan dan pengalaman yang mendalam. Investor awam yang kurang mempunyai pengetahuan dan pengalaman tidak akan dapat membentuk portofolio yang optimal, tetapi dapat membeli saham yang ditawarkan oleh perusahaan investasi yang telah membentuk portofolio optimal. 2.3.3.2 Investasi Aktiva Riil Aktiva riil adalah pembelian aktiva berwujud yang dilakukan oleh perusahaan seperti emas, perak, intan, barang-barang seni dan real estate. Menurut Sentanoe Kertonegoro (2000:11) pemilihan investasi aktiva riil sebagai berikut : 1. Real estate meliputi investasi dalam rumah, tanah, dan berbagai bentuk kekayaan yang menghasilkan seperi apartement. Kemanfaatannya berupa penghasilan dari sewa, kenaikan nilai/harga, dan tahan terhadap inflasi. 2. Emas dan investasi lainnya, yaitu investasi dalam logam mulia, perhiasaan, barang antik, dan benda seni. Investasi ini bisa merupakan kelengkapan dalam portofolio investor. Kemanfaatan logam mulia adalah memiliki standar nilai, dan harganya bisa mengalami kenaikan. Sedang barang antik, seni, dan koleksi perangko juga merupakan kepuasaan/kesenangan psikis bagi pemiliknya. 2.3.4 Klasifikasi Investasi Di dalam penentuan investasi, ada beberapa klasifikasi perusahaan yang menerbitkan portofolio. Menurut Kamaruddin Ahmad (2004:203) perusahaan investasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Investment trust Merupakan trust yang menerbitkan portofolio yang dibentuk dari surat-surat berharga berpenghasilan tetap (misalnya bond) dan ditangani oleh orang kepercayaan yang independen. Sertifikat portofolio ini dijual kepada investor sebesar nilai bersih total aktiva yang tergabung di dalam portofolio ditambah dengan komisi. Investor dapat menjual balik sertifikat ini kepada trust sebesar nilai bersih sertifikat tersebut (net asset value atau NAV). Besarnya NAV persertifikat adalah total nilai pasar dari sekuritas-sekuritas yang tergabung di portofolio dikurangi dengan biaya-biaya yang terjadi dan dibagi dengan jumlah sertifikat yang diedarkan. 2. Closed-end investment companies Merupakan perusahaan investasi yang hanya menjual sahamnya dalam jumlah yang tetap yaitu sebanyak saat penawaran perdana (initial public offering) saja. Biasanya perusahaan investasi ini tidak menawarkan lagi tambahan lembar saham, kecuali jika ada penawaran publik berikutnya. Lembar saham yang sudah beredar dari penawaran perdana diperdagangkan di pasar sekunder (stock exchange) dengan harga pasar yang terjadi di pasar bursa. 3. Open-end investment companies Dikenal dengan nama perusahaan reksa dana (mutual funds). Menurut Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995, pasal 1 ayat (27) reksa dana didefinisikan sebagai wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi. Perusahaan reksa dana (mutual fund) ini adalah perusahaan investasi yang mengelola portofolio dan menjual kepemilikan portofolionya di pasar modal. Perusahaan investasi ini masih terus menjual kepemilikan portofolionya kepada investor. Juga pemegang kepemilikan portofolio dapat menjual kembali kepemilikan portofolionya ke perusahaan reksa dana yang bersangkutan. Dengan demikian, perusahaan reksa dana ini mempunyai besarnya portofolio yang berubah-ubah di pasar modal. Nilai total portofolio yang dibentuk disebut dengan Nilai Aktiva Bersih atau NAB (Net Asset Value atau NAV). 2.3.5 Metode Penilaian Investasi Suatu investasi dikatakan menguntungkan kalau investasi tersebut bisa membuat pemodal menjadi lebih kaya. Pengertian ini konsisten dengan tujuan memaksimumkan nilai perusahaan. Ada beberapa alat analisa atau metode dalam menilai keputusan investasi. Menurut M.Manulang (2005:122) metode-metode penilaian investasi tersebut antara lain adalah : 1. Payback period Payback period adalah untuk mengukur lamanya dana investasi yang ditanamkan kembali seperti semula. Karena itu hasil perhitungannya dinyatakan dalam satuan waktu (yaitu tahun atau bulan). Untuk mengetahui kelayakan investasi dengan membandingkan masa payback period dengan target lamanya kembalinya investasi. Bila payback period lebih kecil dibanding dengan target kembalinya investasi, maka proyek investasi layak, sedangkan bila lebih besar proyek tidak layak. Dan untuk menghitung besarnya payback period bila cash flownya sama tiap tahun adalah : Kelemahan dari metode payback adalah : a. Tidak memperhatikan nilai waktu uang, dan b. Mengabaikan arus kas setelah periode payback. Untuk mengatasi kelemahan karena mengabaikan nilai waktu uang, metode perhitungan payback period dicoba diperbaiki dengan mem-present value-kan arus kas, dan dihitung periode payback-nya. Cara ini disebut sebagai discounted payback period. 2. Accounting rate of return Metode accounting rate of return adalah metode penilaian investasi yang mengukur seberapa besar tingkat keuntungan dari investasi. Apabila angka accounting rate of return lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang disyaratkan, maka proyek investasi ini menguntungkan, apabila lebih kecil daripada tingkat keuntungan yang disyaratkan proyek ini tidak layak. Kebaikan metode ini adalah sederhana dan mudah, perhitungan metode ini menggunakan data accounting yang tersedia, sehingga tak memerlukan penghitungan tambahan. Sedangkan kelemahan metode ini mengabaikan nilai waktu uang dan tidak memperhitungkan aliran kas, metode ini dianggap kurang memuaskan atau kurang baik untuk digunakan dalam menilai proyek-proyek investasi. 3. Net Present Value Pada metode di depan keduanya mengabaikan adanya nilai waktu dari uang, padahal cash flow yang digunakan untuk menutup investasi tersebut diterima di masa yang akan datang, sementara dana untuk investasi dikeluarkan pada saat sekarang. Oleh karena itu perlu metode yang memperhatikan konsep time value of money. Salah satu metode untuk menilai investasi yang memperhatikan time value of money adalah net present value (NPV). NPV adalah merupakan selisih antara nilai sekarang dari cash flow dengan nilai sekarang dari investasi. Bila selisih antara present value dari cash flow lebih besar berarti terdapat NPV positif, artinya proyek investasi layak, sebaliknya bila present value dari cash flow lebih kecil dibanding present value investasi maka NPV negative dan investasi dipandang tidak layak. Dengan demikian dalam perhitungan NPV memerlukan dua kegiatan penting yaitu : a. Menaksir arus kas b. Menentukan tingkat bunga yang dipandang relevan 4. Internal Rate of Return Bila pada metode net present value mencari nilai sekarang bersih dengan tingkat discount rate tertentu, maka metode internal rate of return mencari discount rate yang dapat menyamakan antara present value dari aliran kas dengan present value dari investasi. Dengan demikian internal rate of return (IRR) adalah tingkat discount rate yang dapat menyamakan present value of cash flow dengan present value of investment. Kelemahan metode IRR antara lain : a. Bahwa i yang dihitung akan merupakan angka yang sama untuk setiap tahun usia ekonomis. Metode IRR tidak memungkinkan menghitung IRR yang berbeda setiap tahunnya. Padahal secara teoritis dimungkinkan terjadi tingkat bunga yang berbeda-beda. b. Bisa diperoleh i yang lebih dari satu angka (multiple IRR). Bila demikian, maka akan timbul masalah, yakni i mana yang akan kita pergunakan. Untuk mencari besarnya IRR diperlukan data NPV yang mempunyai dua kutub, positif dan negative. Setelah didapatkan NPV tersebut, selanjutnya dibuat interpolasi atau dihitung dengan rumus sebagai berikut : Dimana : rr : tingkat discount rate (r) lebih rendah rt : tingkat discount rate (r) lebih tinggi TPV : Total Present Value NPV : Net Present Value Bila IRR lebih besar dibanding keuntungan yang disyaratkan berarti layak, demikian sebaliknya bila IRR lebih kecil dibanding keuntungan yang disyaratkan berarti proyek investasi kurang layak. 5. Profitability Index Metode profitability index (PI) ini menghitung perbandingan antara present value dari penerimaan dengan present value dari investasi. Bila PI ini lebih besar dari 1, maka proyek investasi dianggap layak untuk dijalankan. Rumus yang digunakan untuk mencari PI sebagai berikut : 2.4 Struktur Modal 2.4.1 Pengertian Struktur Modal Struktur modal merupakan suatu istilah manajemen keuangan untuk menunjukkan sumber-sumber pembiayaan aktiva (kekayaan) perusahaan yang akan digunakan untuk menjalankan operasi perusahaan. Menurut Martono SU & Agus Harjito (2007 : 240) bahwa struktur modal adalah : ”Struktur modal (capital structure) adalah perbandingan atau imbangan pendanaan jangka panjang perusahaan yang ditunjukan oleh perbandingan hutang jangka panjang terhadap modal sendiri.” Menurut Darsono (2006 :153) struktur modal adalah : ”Struktur modal adalah jumlah permanen perusahaan yang tersumber dari utang jangka panjang dan modal sendiri.” Dari pengertian-pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa konsep struktur modal merupakan suatu konsep yang membicarakan komposisi bagaimana suatu perusahaan didanai baik dengan modal sendiri maupun dengan modal pinjaman. Jika suatu perusahaan dalam memenuhi kebutuhan dananya atau modalnya lebih mengutamakan pemenuhan modal yang bersumber dari dalam perusahaan, akan mengurangi ketergantungan dari pihak luar. Tetapi jika kebutuhan modalnya semakin besar karena pertumbuhan perusahaan sedangkan modal sendirinya terbatas, perusahaan dapat menggunakan modal asing yang berasal dari luar perusahaan. Penggunaan dari masing-masing jenis modal tersebut memiliki pengaruh yang berbeda terhadap laba yang dihasilkan oleh perusahaan. Penggunaan modal sendiri yang kompensasinya berupa pembayaran dividen diambil dari keuntungan setelah pajak, sehingga tidak mengurangi pembayaran pajak. Sedangan penggunaan modal asing akan menurunkan keuntungan perusahaan sebab harus membayar bunga di mana bunga sebagai pengurang laba. Selain itu, bunga juga dapat dimanfaatkan sebagai pengurang pajak yang harus ditanggung oleh perusahaan. 2.4.2 Teori Struktur Modal Teori struktur modal yang dikembangkan beberapa ahli, terutama digunakan untuk mengetahui apakah perusahaan bisa meningkatkan kemakmuran pemegang saham melalui perubahan struktur modal. Menurut Sutrisno (2001; 291), untuk mempermudah pembahasan teori struktur modal, digunakan beberapa asumsi yang kemungkinan besar tidak dijumpai dalam kenyataan. Asumsi-asumsi tersebut adalah: 1. Keuntungan yang diperoleh perusahaan dianggap konstan, artinya perusahaan tidak mengadakan perubahan terhadap investasinya 2. Seluruh keuntungan yang diperoleh merupakan hak pemegang saham, sehingga akan dibagikan semuanya kepada para pemegang saham 3. Perusahaan dapat mengubah struktur modalnya secara langsung, misalnya mengubah obligasi menjadi saham, sebaliknya saham menjadi obligasi dengan mudah dan tidak ada biaya transaksi. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh Van Horne dan Wachowicz (2005:234) sebagai berikut: 1. Pendekatan Laba Bersih (Net Income Approach) Menurut pendekatan laba bersih, biaya modal pinjaman dan biaya modal sendiri tidak dipengaruhi oleh struktur modal, tetapi biaya modal keseluruhan dapat diturunkan dengan jalan meningkatkan leverage sehingga nilai perusahaan dapat ditingkatkan. 2. Pendekatan Laba Operasi Bersih (Net Operatingh Income Approach Pendekatan Net Operating Income (NOI), jika struktur modal berubah, biaya modal pinjaman tetap, akan tetapi biaya modal sendiri akan naik. Kenaikan modal pinjaman yang biayanya murah diimbangi dengan kenaikan biaya modal sendiri, sehingga biaya modal sendiri tidak berubah pada semua tingkat leverage. 3. Pendekatan Tradisional (Traditional Approach) Pendekatan tradisional ini berpendapat bahwa biaya modal sendiri akan meningkat pada kenaikan leverage, disamping itu biaya pinjaman juga dapat meningkat bila melebihi tingkat tertentu. Oleh karena itu akan terdapat suatu titik dimana biaya modal keseluruhan merupakan titik terendah dan itu akan mencerminkan struktur modal yang optimal. 4. Pendekatan Modigliani Miller (Modigliani Miller Approach) Pendekatan Modigliani Miller (MM) menyatakan bahwa nilai perusahaan adalah tidak bergantung atau tidak dipengaruhi struktur modal. Pendapat MM didasarkan pada ide bahwa tidak menjadi masalah bagaimana perusahaan membagi struktur modalnya di antara utang, saham preferen, dan saham biasa. Pernyataan tersebut didukung dengan adanya proses arbitrase. Melalui proses abritrase akan membuat harga saham atau nilai perusahaan baik yang tidak menggunakan utang atau yang menggunakan utang, akhirnya sama. Selain beberapa pendekatan di atas mengenai teori stuktur modal Bayless dan Diltz (1994) sebagaimana dikutip oleh FX. Agus Joko Waluyo (Jurnal Widya Manajemen & Akuntansi Volume 5 No. 3, Desember 2005, p.263) menjelaskan dua teori lagi mengenai struktur modal yaitu: 1. Static Trade Off Theory Menurut Bayless dan Diltz (1994) sebagaimana dikutip oleh FX. Agus Joko Waluyo (Jurnal Widya Manajemen & Akuntansi Volume 5 No. 3, Desember 2005, p.263) menjelaskan bahwa dalam static trade off theory, struktur modal optimal terjadi karena proses trade off antara manfaat penghematan pajak (tax shield of leverage) dengan biaya penggunaan hutang (cost of financial distress and agency cost of leverage). Dalam static trade off theory terdapat dua implikasi penting yaitu perusahaan dengan risiko bisnis tinggi lebih baik menggunakan sedikit hutang. Hal ini akan memperbesar biaya bunga serta menurunkan laba, sehingga perusahaan mengalami financial distress. Static trade off theory mengemukakan bahwa hutang mempunyai dua sisi, yaitu sisi negatif dan sisi positif. Sisi positif dari hutang bahwa pembayaran bunga akan mengurangi pendapatan kena pajak. Penghematan pajak ini akan meningkatkan nilai pasar perusahaan. Hutang menguntungkan perusahaan karena adanya perbedaan perlakuan pajak terhadap bunga dan dividen. Hutang menguntungkan perusahaan karena pembayaran bunga diperhitungkan sebagai biaya dan mengurangi penghasilan kena pajak, sehingga jumlah pajak yang dibayar perusahaan berkurang. Sebaliknya, pembagian dividen kepada pemegang saham perusahaan tidak mengurangi pembayaran pajak persahaan. Jadi, dari sisi pajak akan lebih menguntungkan jika perusahaan membiayai investasi dengan hutang karena adanya pengurangan pajak. Menurut teori ini, semakin besar laba (EBIT) yang dihasilkan oleh perusahaan, semakin besar pula tingkat hutangnya agar pajak yang dibayar berkurang. Namun demikian, besarnya hutang ini dibatasi oleh biaya-biaya kepailitan (bankruptcy cost) dan biaya-biaya tekanan keuangan yang timbul menjelang perusahaan bangkrut (cost of financial distress). 2. Pecking Order Theory Menurut Myers (1984) sebagaimana dikutip oleh Fx. Agus Joko Waluyo dan (Jurnal Widya Manajemen & Akuntansi Volume 2 No. 1, April 2002, p.6) menyatakan bahwa keputusan pendanaan berdasarkan pecking order theory terhadap perilaku pendanaan perusahaan sebagai berikut : a. Perusahaan lebih menyukai pendanaan dari sumber internal. b. Perusahaan menyesuaikan target pembayaran dividen terhadap peluang investasi. c. Kebijakan dividen bersifat sticky, fluktuasi profitabilitas dan peluang investasi berdampak pada aliran kas internal bisa lebih besar atau lebih kecil dari pengeluaran investasi. d. Bila dana eksternal dibutuhkan, perusahaan memilih sumber dana dari hutang karena dipandang lebih aman dari ekuitas. Ekuitas adalah pilihan terakhir dari pecking order theory sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan investasi. Menurut Myers (1984) terdapat inconsistency antara static trade off theory dan pecking order theory. Konsep pecking order theory membedakan ekuitas yang diperoleh dari laba ditahan dan penerbitan saham baru karena urutan atau prioritas sumber pendanaan menempatkan laba ditahan dan penerbitan saham baru karena urutan atau prioritas sumber pendanaan menempatkan laba ditahan pada posisi paling atas, sedangkan penerbitan saham baru berada pada urutan paling bawah. Static trade off theory tidak membedakan urutan pemilihan sumber pendanaan, oleh karena itu ekuitas tidak dibedakan diperoleh dari laba ditahan atau dari penerbitan saham baru, atau merupakan kombinasi dari keduanya. Myers, mengkritik asumsi yang dipakai static trade off theory, bahwa pelaku pasar memiliki informasi serta ekspektasi yang sama dengan pihak manajemen, dalam prakteknya antar pelaku pasar terjadi asymmetric information, sehingga diperlukan keputusan berjenjang ketika memilih sumber dana. Mengacu pecking order theory, perusahaan lebih memilih menggunakan dana internal sebagai alternatif awal untuk memenuhi kebutuhan investasi, hal ini untuk mereduksi masalah dan biaya yang menyertai pendanaan eksternal, yaitu adanya berbagai perjanjian dengan kreditor yang dapat membatasi keputusan pendanaan perusahaan di masa mendatang, serta adanya kecenderungan harga saham turun ketika perusahaan melakukan emisi saham baru. Alternatif kedua yang dipilih sebagai sumber pendanaan adalah hutang, meski terdapat beberapa kekurangan dan mengandung risiko tinggi, namun dianggap memiliki biaya relatif daripada emisi saham baru. Hutang mendorong manajer untuk lebih disiplin dalam berinvestasi secara tepat, hal ini memberikan tekanan untuk terus melakukan perbaikan dalam mewujudkan efisiensi operasional perusahaan (Brealy dan Myers, 2000:528). Tindakan ini didorong adanya tekanan psikologis bahwa perusahaan berkewajiban untuk membayar hutang dan bunga secara tepat waktu jika tidak ingin perusahaannya dikenai sanksi atau dinyatakan bangkrut. Manfaat penggunaan ekuitas adalah kondisi perusahaan menjadi lebih sehat, sehingga di masa mendatang ada kemungkinan biaya yang dikeluarkan perusahaan atas emisi saham baru, menjadi lebih murah daripada menggunakan sumber dana yang lain. Bila terdapat asymmetric information antara pihak manajemen dengan pelaku pasar, perusahaan hanya menerbitkan saham baru, jika perusahaan merasa memiliki peluang investasi yang sangat menguntungkan serta tidak dapat ditunda, sementara sumber dana lain sudah tidak mencukupi atau jika manajemen merasa yakin harga saham baru tersebut overvalue. 2.4.3 Mengukur Sumber Modal Perusahaan/Debt to Equity Ratio (DER) Debt to Equity Ratio (DER) merupakan salah satu rasio pengelolaan modal yang mencerminkan kemampuan perusahaan untuk membiayai usaha dengan pinjaman yang disediakan oleh pemegang saham. Seperti yang diungkapkan oleh Martono dan D.Agus Harjito(2007:59): “Debt to Equity Ratio adalah perbandingan total hutang yang dimiliki perusahaan dengan modal sendiri (ekuitas)”. Menurut Suad Husnan (2004:70) : “Debt to Equity Ratio menunjukkan perbandingan antara hutang dengan modal sendiri.” Menurut Helfert (2000:115) menyatakan : “The debt to equity ratio is an attempt to show, in another format, the relative proportions of all lender’s claims to ownership claims, and it is used as a measure of debt exposure.” Artinya bahwa DER adalah satu usaha untuk menunjukkan, format lain, ukuran relatif dari semua klaim-klaim pemberi pinjaman kepada para pemilik, dan itu digunakan sebagai satu ukuran dari pengunjukan hutang. Kemudian menurut Van Horne (2002:131) pengertian DER adalah sebgai berikut : “The debt to equity ratio is computed by simply dividing the total debt of the firm (including current liabilities) by its shareholder’s equity” Artinya bahwa DER dihitung dengan cara membagi total hutang (termasuk kewajiban lancar) dengan kekayaan pemegang sahamnya. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya: 1. Para kreditur akan melihat modal sendiri perusahaan atau dana yang disediakan pemilik untuk menentukan besarnya margin pengaman. 2. Dengan mencari dana yang berasal dari hutang pemilik memperoleh manfaat mempertahankan kendali perusahaan dengan investasi terbatas. 3. Jika perusahaan memperoleh hasil yang lebih besar daripada dana yang dipinjam, maka hasil pengembalian untuk para pemilik akan meningkat. Menurut Agnes Sawir (2003:13), rasio ini dapat dicari dengan menggunakan rumus : Debt to Equity Ratio (DER) = Total Debt 100% Total Equity Rasio ini dapat melihat seberapa jauh perusahaan dibiayai oleh pihak luar dengan kemampuan perusahaan yang digambarkan oleh modal. Apabila perusahaan menetapkan bahwa pelunasan hutangnya akan diambil dari laba ditahan, berarti perusahaan harus menahan sebagian besar dari pendapatannya untuk keperluan tersebut. Sehingga hanya sebagian kecil saja dari pendapatan yang dibayarkan oleh dividen. Para pemberi pinjaman, menginginkan rasio ini semakin rendah. Semakin rendah rasio ini, semakin tinggi tingkat pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang saham dan semakin besar batas pengaman pemberi pinjaman jika terjadi penyusutan nilai aktiva atau kerugian. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Gibson (2001:326), yaitu : ”The debt to equity ratio also helpsdetermine how well creditors protected in case of insolvency of the company.” Artinya bahwa bagi investor, semakin tinggi rasio ini, maka semakin tinggi risiko yang akan dihadapi. Bagi investor yang tidak suka untuk mengambil risiko, maka mereka akan menghindari untuk menanamkan modalnya pada perusahaan yang memiliki DER yang tinggi. Hal ini akan berpengaruh pada harga saham perusahaan tersebut. 2.4.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal Pemilihan bentuk sumber pembiayaan sangat berpengaruh terhadap struktur modal perusahaan. Di samping itu, baik buruknya struktur modal akan mempunyai pengaruh yang berakibat langsung terhadap posisi keuangan perusahaan. Oleh karena itu, sebelum suatu perusahaan membuat kebijakankebijakan yang berhubungan dengan struktur modal maka akan terlebih dahulu perlu dianalisis hal-hal yang berpengaruh terhadap struktur modal itu sendiri. Menurut Agus Sartono (2005:248) faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal antara lain : 1. Stabilitas Penjualan Perusahaan dengan penjualan yang relatif stabil dapat menggunakan hutang yang lebih besar daripada perusahaan dengan penjualan yang tidak stabil. Perusahaan jasa umumnya memiliki penjualan yang relatif stabil sehingga dapat menggunakan leverage yang lebih besar dari pada perusahaan manufaktur. 2. Struktur aktiva Perusahaan yang sebagian besar aktivanya berupa biaya tetap biasanya akan memenuhi kebutuhan danaanya dengan hutang jangka panjang. Sebaliknya, perusahaan yang sebagian besar aktivanya berupa aktiva lancar biasanya akan memenuhi kebutuhan dana dengan hutang jangka pendek. Perusahaan dengan struktur aktiva yang fleksibel cenderung menggunakan leverage lebih besar dari pada perusahaan yang struktur aktivanya tidak fleksible. 3. Leverage Operasi Perusahhan dengan leverage operasi yang lebih kecil lebih mampu untuk memperbesar leverage keuntungan, karena interaksi leverage operasi dan keuanganlah yang mempengaruhi penurunan penjualan terhadap laba operasi. 4. Tingkat Pertumbuhan Perusahaan yang memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi cenderung lebih banyak menggunakan sumber dana dari luar (misalnya obligasi) daripada perusahaan yang lambat pertumbuhannya. Alasan menggunakan obligasi karena biaya emisi saham biasanya lebih mahal jika dibandingkan dengan biaya pengeluaran obligasi. 5. Profitabilitas Perusahaan yang memiliki rasio profitabilitas yang tinggi (tingkat pengembalian investasi yang tinggi) umunya menggunakan hutang dalam jumlah yang relatif sedikit. Tingkat pengembalian investasi yang tinggi memungkinkan perusahaan untuk menyediakan dana yang cukup melalui laba ditahan. 6. Pajak Bunga yang dibayarkan kepada kreditur merupakan pengurang pajak sebagai akibat dari penggunaan hutang. Oleh karena itu, semakin tinggi pajak perusahaan, semakin besar perusahaan menggunakan leverage. 7. Pengendalian Pemilik perusahaan yang tidak ingin kehilangan kendali atas perusahaan mungkin akan memilih menggunakan hutang. Apabila perusahaan menerbitkan saham baru maka proporsi kepemilikan pemegang saham yang lama akan berkurang, kecuali pemilik dapat membeli saham baru tersebut dengan proporsi yang sama. Masalahnya adalah kemungkinan pemegang saham lama memang tidak mempunyai uang yang cukup, padahal perusahaan memerlukan tambahan dana. 8. Sikap manajemen akan berpengaruh dalam pengambilan keputusan mengenai cara pemenuhan kebutuhan dana Manajemen yang menyukai risiko cenderung menggunakan hutang yang lebih besar. Sebaliknya, manajemen yang menghindari risiko cenderung menggunakan hutang yang relatif sedikit. 9. Sikap pemberi pinjaman dan perusahaan penilai kredibilitas Pada umunya perusahaan akan membicarakan struktur permodalannya dengan kreditur dan selalu memperhatikan pendapat mereka. Manajemen berusaha mendapatkan hutang yang melebihi norma-norma untuk sektor usahanya, tetapi kreditur akan enggan memenuhi permintaannya atau mungkin akan dipenuhi dengan suku bunga yang tinggi. Semakin baik persepsi para kreditur akan enggan memenuhi permintaannya atau mungkin akan dipenuhi dengan suku bunga yang tinggi. Semakin baik persepsi para kreditur terhadap perusahaan, semakin mudah perusahaan mendapatkan hutang. 2.5 Kebijakan Dividen 2.5.1 Pengertian Dividen Dividen adalah distribusi yang bisa berbentuk kas, aktiva lain, surat atau bukti lain yang menyatakan utang perusahaan, dan saham, kepada pemegang saham suatu perusahaan sebagai proporsi dari jumlah saham yang dimiliki oleh pemilik. Pengertian dividen menurut Brealy, Myers dan Marcus (2004 ; 143) adalah : “Periodic cash distribution from the firm to its shareholders.” Artinya bahwa distribusi laba tunai berkala dari perusahaan kepada para pemegang sahamnya. Menurut Hassel Nogi (2003 ; 20) : “Dividen adalah bagian dari laba bersih yang dibagikan kepada pemegang saham (pemilik modal sendiri, equity).” Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dividen merupakan bagian dari laba bersih untuk dibagikan kepada para pemegang saham secara berkala. Disatu pihak, setiap perusahaan selalu menginginkan adanya pertumbuhan pendapatan bagi perusahaan dan dapat membayarkan dividen kepada pemegang saham. Dilain pihak, kedua tujuan tersebut selalu bertentangan. Sebab seandainya makin tinggi tingkat dividen yang dibayarkan, berarti semakin sedikit laba yang akan ditahan, dan akibatnya menghambat tingkat pertumbuhan dalam pendapatan dan harga sahamnya. Jika perusahaan ingin menahan sebagian besar pendapatannya untuk tetap didalam perusahaan berarti bahwa sebagian dari pendapatan yang tersedia untuk pembayaran dividen adalah semakin kecil. Pembagian dividen dipengaruhi oleh banyak variabel, sebagai contoh kebutuhan arus kas dan investasi perusahaan mungkin berubah-rubah dengan cepat sehingga untuk menentukan jumlah dividen tetap yang tinggi. Dilain pihak, perusahaan mungkin menginginkan pembayaran dividen yang tinggi untuk menyalurkan dana yang dibutuhkan dalam investasi. Dalam kasus seperti ini pimpinan perusahaan dapat menetapkan dividen yang tetap rendah sehingga perusahaan akan dapat membayarkannya pada tahun-tahun dimana laba yang diperoleh perusahaan rendah atau pada tahun-tahun diperlukannya dana yang cukup besar untuk investasi. Pada umumnya, kebanyakan perusahaan membayarkan dividen berupa kas, seperti yang dikatakan oleh Brealy dan Myers (2003 ; 434) : “Most companies pay a regural cash dividend each quarter.” Artinya bahwa kebanyakan perusahaan membayar dividen dalam bentuk kas setiap kuartal. Demikian juga yang diungkapkan oleh Narayaman (2004 ; 115) : “The commonest types of dividend are cash dividends paid regurally at quaterly or semianual interval.” Artinya bahwa jenis dividen yang paling umum adalah dividen kas yang dibayarkan secara regular dalam kuartal atau setiap semester. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dividen merupakan bagian dari laba bersih yang berasal dari aliran kas untuk dibagikan kepada para pemegang saham yang memberikan informasi tentang kinerja perusahaan saat ini dan akan datang. Pengertian kebijakan dividen menurut Martono DU dan Agus Harjito (2007: 253) : ”Kebijakan dividen (dividend Policy) merupakan keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan pada akhir tahun akan dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen atau akan ditahan untuk menambah modal guna pembiayaan investasi di masa yang akan datang.” Dengan demikian dapat disimpulkan kebijakan dividen adalah kebijakan yang mengatur berapa bagian laba bersih yang akan dibagikan sebagai dividen kepada para pemegang saham dan berapa bagian laba bersih yang akan digunakan untuk membiayai investasi perusahaan. 2.5.2 Tujuan Pembayaran Dividen Dalam pembayaran dividen, perusahaan dapat menggunakan bentuk-bentuk tertentu pembayaran dividen. Dividen dapat dibayarkan dalam bentuk dividen tunai (cash dividend), dividen dalam bentuk aktiva yang lain (property dividend), dividen dalam bentuk surat utang (notes), ataupun dividen dalam bentuk saham (stock dividend). Menurut R. Agus Sartono (2001:283) tujuan dari pembagian dividen sebagai berikut: 1. Untuk memaksimumkan kemakmuran bagi para pemegang saham, karena tingginya dividen yang dibayarkan akan mempengaruhi harga saham. 2. Untuk menunjukkan likuiditas perusahaan. Dengan dibayarkannya dividen, diharapkan kinerja perusahaan dimata investor bagus dan dapat diakui bahwa perusahaan mampu menghadapi gejolak ekonomi dan mampu memberikan hasil kepada investor. 3. Sebagian investor memandang bahwa risiko dividen adalah lebih rendah dibanding resiko capital gain. 4. Untuk memenuhi kebutuhan para pemegang saham akan pendapatan tetap yang digunakan untuk keperluan konsumsi. 5. Dividen dapat digunakan sebagai alat komunikasi antara manajer dan pemegang saham. Adapun tujuan utama seorang investor dalam menanamkan dananya yaitu untuk memperoleh pendapatan (return) yang dapat berupa pendapatan dividen (dividend yield) maupun pendapatan dari selisih harga jual saham terhadap harga belinya (capital gain). Dalam kaitannya dengan pendapatan dividen, para investor pada umumnya menginginkan pembagian dividen yang relatif stabil. Stabilitas dividen akan meningkatkan kepercayaan investor terhadap perusahaan. Karena akan mengurangi ketidakpastian investor dalam menanamkan dananya. Keputusan untuk menentukan berapa banyak dividen yang harus dibagikan kepada para investor disebut kebijakan dividen (dividend policy). Di sisi lain perusahaan di hadapkan dalam berbagai macam kebijakan, antara lain : perlunya menahan sebagian laba untuk re-investasi yang mungkin lebih menguntungkan, kebutuhan dana perusahaan, likuiditas perusahaan, sifat pemegang saham, target tertentu yang berhubungan dengan rasio pembayaran dividen dan faktor lain yang berhubungan dengan kebijakan dividen. 2.5.3 Beberapa Jenis Kebijakan Dividen Kebijakan dividen adalah berhubungan dengan keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi dimasa datang. Atas dasar teori tentang kebijakan dividen di atas, menurut Gitman (2006: 602-603) bentuk kebijakan dividen diantaranya : 1. Kebijakan Dividen Rasio Pembayaran Konstan (Constant Payout Ratio Dividend Policy) Merupakan kebijakan dividen yang didasarkan pembayaran dividen dalam persentase tertentu dari pendapatan yang dibayarkan kepada pemilik setiap periode pembagian dividen. 2. Kebijakan Divien yang teratur (Reguler Dividend Policy) Merupakan kebijakan dividen yang didasarkan atas pembayaran dividen dengan jumlah uang yang tetap dalam setiap periode. 3. Kebijakan dividen rendah yang teratur dan ditambah ekstra (Low- Regularand- Extra Dividend Policy) Merupakan kebijakan dividend yang didasarkan pembayaran dividend rendah yang teratur, penambahan dividen jika pendapatan lebih tinggi dari normal pada periode pembayaran dividen. 2.5.4 Teori Kebijakan Dividen Kebijakan dividen (dividend policy) adalah suatu keputusan untuk menentukan berapa besar bagian dari pendapatan perusahaan akan dibagikan kepada para pemegang saham dan akan diinvestasikan kembali (reinvesment) atau ditahan (retained) didalam perusahaan. Pengertian kebijakan dividen menurut R. Agus Sartono (2001 ; 281) “Kebijakan dividen adalah keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi dimasa datang.” Menurut Bambang Riyanto (2001 ; 265) : “Kebijakan dividen adalah bersangkutan dengan penentuan pembagian pendapatan (earning) antara penggunaan pendapatan untuk dibayarkan kepada pemegang saham sebagai dividen atau digunakan didalam perusahaan, yang berarti pendapatan tersebut harus ditahan di dalam perusahaan.” Kedua alasan tersebut merupakan dua sisi kepentingan yang agak kontroversial. Sehingga manajemen perusahaan harus memutuskan secara hatihati dan teliti terhadap kebijakan dividen yang akan dipilih. Ada beberapa teori yang digunakan sebagai landasan dalam menentukan kebijakan dividen untuk perusahaan. Sehingga dapat dijadikan pemahaman mengapa suatu perusahaan mengambil kebijakan dividen tertentu. Menurut R. Agus Sartono (2001; 282) teori –teori tersebut sebagai berikut: 1. Dividend irrelevance theory Teori yang dianjurkan oleh Modigliani-Miller (MM) ini menyatakan bahwa kebijakan dividen tidak mempunyai pengaruh, baik terhadap harga saham maupun biaya modalnya atau sebenarya tidak relevan. 2. Bird-in-the-hand theory dapat dikatakan bahwa kebijakan dividen Teori ini dikemukakan oleh Myron Gordon dan John Linther yang menyatakan bahwa biaya modal sendiri akan naik jika Dividend Payout Ratio (DPR) rendah. Hal ini dikarenakan investor lebih suka menerima dividen daripada capital gain. 3. Tax preference theory Adalah suatu teori yang menyatakan bahwa karena adanya pajak terhadap keuntungan dividen dan capital gains maka para investor lebih menyukai capital gains karena dapat menunda pembayaran pajak. Kebijakan dan keputusan dividen pada hakekatnya akan menentukan porsi keuntungan yang akan dibagikan kepada pemegang saham dan seberapa banyak yang ditahan sebagai retained earning (Sarnat,1990). Perbandingan antara dividen dan keuntungan merupakan rasio pembayaran dividend (Dividend Payout Ratio) atau persentase dari pendapatan yang akan dibayarkan kepada pemegang saham sebagai cash dividend. Semakin tinggi tingkat dividen yang akan dibayarkan berarti semakin sedikit laba yang dapat ditahan (retained earning). Dalam keputusan pembagian dividen, perusahaan harus mempertimbangkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaannya. Laba yang diperoleh perusahaan pada umumnya tidak dibagikan seluruhnya sebagai dividen karena sebagian disisihkan untuk diinvestasikan kembali atau sebagian ditahan dalam retained earning. Besar kecilnya dividen yang di bayarkan kepada pemegang saham tergantung pada kebijakan dividen masing-masing perusahaan sehingga pertimbangan manajemen sangat diperlukan. 2.5.5 Mengukur Tingkat Pembayaran Dividen/Dividend Payout Ratio Dividend Payout Ratio adalah perbandingan antara dividen yang dibayarkan dengan laba bersih yang didapat dan biasanya disajikan dalam bentuk persentase. Semakin tinggi Dividen Payout Ratio akan menguntungkan para investor tetapi dari pihak perusahaan akan memperlemah internal financial karena memperkecil laba ditahan, tetapi sebaliknya Dividen Payout Ratio semakin kecil akan merugikan para pemegang saham (investor) tetapi internal financial perusahaan semakin kuat. Dividend Payout Ratio menurut R. Agus Sartono (2001 ; 73) adalah : “Persentase laba yang dibayarkan dalam bentuk dividen, atau rasio antara laba yang dibayarkan dalam bentuk dividen dengan total laba yang tersedia bagi pemegang saham.” Menurut Keown, Martin, Petty dan Scott (2001 ; 45) “Dividend Payout Ratio indicates the amount of dividends paid relative to the companies earnings.” Artinya bahwa DPR mengindikasi adanya jumlah dari dividen-dividen yang dibayar sehubungan dengan pendapatan perusahaan. Sedangkan menurut Ross, Westerfield, Jordan (2000 ; 94) bahwa Dividend Payout Ratio adalah : “The amount of cash paid out to shareholders divided by net income.” Artinya bahwa jumlah dari pendapatan tunai yang sampai kepada pemegang saham yang dibagi oleh pendapatan netto. Dan menurut Gibson (2001 ; 321) adalah : “The Dividend Payout Ratio measures the proportion of current earning per common share being paid out in dividends.” Artinya bahwa Dividend Payout Ratio mengukur proporsi pendapatan per lembar saham biasa yang sedang dikeluarkan di dalam dividen-dividen. Dari pengertian tersebut Dividend Payout Ratio dapat diformulasikan menjadi : Dividend Payout Ratio Dimana : DPS 100 % EPS DPS = Dividend Per Share EPS = Earning Per Share 2.5.6 Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kebijakan Dividen. Dalam menentukan kebijakan dividen, perusahaan harus mempertimbangkan sejumlah hal atau faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen menurut Ridwan S Sundjaja dan Inge barlian (2003:387-390) : 1. Peraturan hukum a. Peraturan mengenai laba bersih menentukan bahwa dividen dapat dibayar dari laba tahun-tahun yang lalu dan laba tahun berjalan. b. Peraturan mengenai tindakan yang merugikan modal. Melindungi para direktur, dengan melarang pembayaran dividen yang berasal dari modal (membagikan investasinya dan bukan membagikan dividen). c. Peraturan mengenai tak mampu bayar. Perusahaan boleh tidak membayar dividen jika tidak mampu (bangkrut). 2. Posisi likuiditas Laba ditahan biasanya diinvestasikan dalam bentuk aktiva yang diperlukan untuk menjalankan usaha. Laba ditahan dari tahun-tahun terdahulu sudah diinvestasikan dalam bentuk mesin dan peralatan, persediaan, dan barangbarang lainnya, bukan disimpan dalam bentuk uang tunai, Oleh karena itu sesuatu perusahaan yang keuntungannya luar biasa mungkin saja tidak dapat membayar dividen karena keadaan likuiditasnya. Memang perusahaan yang sedang tumbuh biasanya betul-betul kekurangan dana. Dalam situasi seperti ini mungkin perusahaan memutuskan untuk tidak membayar dividen dalam bentuk tunai. 3. Membayar Pinjaman Jika perusahaan telah membuat pinjaman untuk memperluas usahanya atau untuk pembiayaan lainnya maka ia dapat melunasi pinjamannya pada saat jatuh tempo atau ia dapat menyisihkan cadangan-cadangan untuk melunasi pinjaman itu nantinya. Jika diputuskan bahwa pinjaman itu akan dilunasi , maka biasanya harus ada laba ditahan 4. Kontrak Pinjaman Kontrak pinjaman apabila jika menyangkut pinjaman jangka panjang, seringkali membatasi kemampuan perusahaan untuk membayar dividen tunai. Pembatasan-pembatasan yang dimaksudkan untuk melindungi para kreditur yaitu : a Dividen yang akan datang hanya boleh dibayar dari keuntungan yang diperoleh sesudah ditandatanganinya kontrak pinjaman (artinya tidak boleh dibayarkan dari laba tahun lalu yang ditahan). b Dividen tidak boleh dibayarkan jika modal kerja bersih jumlahnya lebih kecil dari suatu jumlah tertentu. Begitu pula persetujuan mengenai saham preferen biasanya menyatakan bahwa dividen atas saham preferen selesai dibayar. 5. Pengembaliaan Aktiva Semakin cepat pertumbuhan perusahaan, semakin besar kebutuhannya untuk membiayai pengembangan aktiva perusahaan. Semakin banyak dana yang dibutuhkan di kemudiaan hari, semakin banyak laba yang harus ditahan dan tidak dibayarkan. Apabila ingin menambah modal dari luar maka sumber alami yang tersedia adalah para pemegang saham sekarang yang sudah mengenal perusahaan. Jika keuntungannya dibayarkan kepada mereka sebagai dividen dan terkena tarif pajak perorangan yang tinggi, maka hanya sebagian saja yang dapat ditanam kembali. 6. Tingkat Pengembalian Tingkat pengembaliaan atas asset menentukan pembagiaan laba dalam bentuk dividen yang dapat digunakan oleh pemegang saham baik ditanamkan kembali di dalam perusahaan maupun di tempat lain. 7. Stabilitas Keuntungan Perusahaan yang keuntungannya relatif teratur seringkali dapat memperkirakan bagaimana keuntungan di kemudiaan hari. Maka perusahaan seperti itu kemungkinan besar akan membagikan keuntungannya dalam bentuk dividen dengan persentasi yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang keuntungannya berfluktuasi. 8. Pasar modal Perusahaan besar yang sudah mantap, dengan profitabilitas yang tinggi dan keuntungan yang teratur, dengan mudah dapat masuk ke pasar modal atau memperoleh macam-macam dana dari luar untuk pembiayaannya. Perusahaan yang sudah mantap akan mempunyai tingkat dividen yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan kecil atau yang masih baru. 9. Kendali Perusahaan Jika perusahaan hanya memperkuat usahanya dari pembiayaan intern maka pembayaran dividen akan berkurang. Kebijakan ini dijalankan atas pertimbangan bahwa menambah modal dengan menjual saham biasa akan mengurangi pengendalian atas perusahaan itu oleh golongan pemegang saham yang kini sedang berkuasa. Selain itu penjualan saham tambahan akan memperbesar resiko berfluktuasinya keuntungan bagi para pemegang saham. 10. Keputusan kebijakan dividen Hampir semua perusahaan ingin mempertahankan dividen per saham pada tingkat yang konstan. Tetapi naiknya dividen selalu terlambat dibandingkan dengan naiknya keuntungan. Artinya dividen itu baru akan dinaikkan jika sudah jelas bahwa meningkatnya keuntungan itu benar-benar mantap dan nampak cukup permanen. Sekali dividen sudah naik, maka segala daya dan upaya akan dikerahkan. Jika keuntungannya kemudian menurun. Menurut Sutrisno (2001 ; 304 – 305), faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya dividen yang akan dibayarkan oleh perusahaan kepada pemegang saham antara lain adalah : 1. Posisi Solvabilitas Perusahaan Apabila perusahaan dalam kondisi insolvensi atau solvabilitasnya kurang menguntungkan, biasanya perusahaan tidak membagikan laba. Hal ini disebabkan laba yang diperoleh lebih banyak digunakan untuk memperbaiki posisi struktur modalnya. 2. Posisi Likuiditas Perusahaan Bagi perusahaan yang kondisi likuiditasnya kurang baik, biasanya dividend payout rationya kecil, sebab sebagian besar laba yang digunakan untuk menambah likuiditas. Namun perusahaan yang sudah mapan dengan likuiditas yang baik cenderung memberikan dividen yang lebih besar. 3. Kebutuhan untuk melunasi hutang Salah satu sumber dana perusahaan adalah dari kreditor berupa hutang baik jangka pendek maupun jangka panjang. Semakin banyak hutang yang harus dibayar semakin besar dana yang harus disediakan sehingga mengurangi jumlah dividen yang akan dibayarkan kepada pemegang saham. Disamping itu dengan jatuh temponya hutang, berarti dana hutang tersebut harus diganti. Alternatif mengganti dan hutang bisa dengan mencari hutang baru, dan juga bisa dengan sumber dana intern dengan cara memperbesar laba ditahan. Hal ini tentunya akan memperkecil dividend payout ratio. 4. Rencana perluasan Perusahaan yang berkembang ditandai dengan semakin pesatnya pertumbuhan perusahaan, dan hal ini bisa dilihat dari perluasan yang dilakukan oleh perusahaan. Semakin pesat pertumbuhan perusahaan, juga semakin pesat perluasan yang dilakukan. Konsekuensinya semakin besar dana yang dibutuhkan untuk membiayai perluasan tersebut. Kebutuhan dana dalam rangka ekspansi tersebut bisa dipenuhi baik dari hutang, menambah modal sendiri yang berasal dari pemilik, dan salah satunya juga bisa diperoleh dari internal resources berupa memperbesar laba ditahan. Dengan demikian semakin pesat perluasan yang dilakukan perusahaan semakin kecil dividend payout rationya. 5. Kesempatan investasi Kesempatan investasi juga merupakan faktor yang mempengaruhi besarnya dividen yang akan dibagikan. Semakin terbuka kesempatan investasi semakin kecil dividen yang dibayarkan sebab dananya digunakan untuk memperoleh kesempatan investasi. Namun bila kesempatan investasi kurang baik, maka dananya lebih banyak akan digunakan untuk membayar dividen. 6. Stabilitas pendapatan Bagi perusahaan yang pendapatannya kurang stabil, dividen yang akan dibayarkan kepada pemegang saham lebih besar dibanding dengan perusahaan yang pendapatannya tidak stabil. Perusahaan yang pendapatannya stabil tidak perlu menyediakan kas yang banyak untuk berjaga-jaga, sedangkan perusahaan yang pendapatannya tidak stabil harus menyediakan uang kas yang cukup besar untuk berjaga-jaga. 7. Pengawasan terhadap perusahaan Kadang-kadang pemilik tidak mau kehilangan kendali terhadap perusahaan. Apabila perusahaan mencari sumber dana dari modal sendiri, kemungkinan akan masuk investor baru dan tentunya akan mengurangi kekuasaan pemilik lama dalam mengendalikan perusahaan. Jika dibelanjai dari hutang risikonya cukup besar. Oleh karena itu perusahaan cenderung tidak membagi dividennya agar pengendalian tetap berada ditangannya 2.6 Struktur Kepemilikan (Ownership Structure) 2.6.1 Pengertian Struktur Kepemilikan (Ownership Structure) Struktur kepemilikan dapat dijelaskan dari dua sudut pandang, yaitu pendekatan keagenan dan pendekatan informasi asimetri. Menurut pendekatan keagenan, struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Pendekatan ketidakseimbangan informasi memandang mekanisme struktur kepemilikan sebagai suatu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insiders dan outsiders melalui pengungkapan informasi di dalam pasar modal.(www.kesimpulan.com) Para peneliti berpendapat bahwa struktur kepemilikan perusahaan memiliki pengaruh terhadap perusahaan. Tujuan perusahaan sangat ditentukan oleh struktur kepemilikan, motivasi pemilik dan kreditur corporate governance dalam proses insentif yang membentuk motivasi manajer. Pemilik akan berusaha membuat berbagai strategi untuk mencapai tujuan perusahaan, setelah strategi ditentukan maka langkah selanjutnya akan mengimplementasi strategi dan mengalokasikan sumber daya yang dimiliki perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan. Kesemua tahapan tersebut tidak terlepas dari peran pemilik dapat dikatakan bahwa peran pemilik sangat penting dalam menentukan keberlangsungan perusahaan. Menurut Jensen and Meckling (1976) struktur kepemilikan dibedakan menjadi tiga yaitu : 1. Kepemilikan Manajerial Para pemegang saham yang mempunyai kedudukan di manajemen perusahaan baik sebagai kreditur maupun sebagai dewan komisaris disebut sebagai kepemilikan manajerial (managerial ownership). Adanya kepemilikan saham oleh pihak manajemen akan menimbulkan suatu pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh manajemen perusahaan. Kepemilikan manajerial juga dapat diartikan sebagai persentase saham yang dimiliki oleh manajer dan direktur perusahaan pada akhir tahun untuk masing-masing periode pengamatan. Masalah teknis tidak akan timbul jika kepemilikan dan pengelolaan perusahaan tidak dijalankan secara terpisah. Pemilik (pemegang saham) bertujuan untuk memaksimumkan kekayaannya dengan melihat nilai sekarang dari arus kas yang dihasilkan oleh investasi perusahaan sedangkan manajer bertujuan pada peningkatan pertumbuhan dan ukuran perusahaan. Tujuan manajer ini dilandasi oleh dua alasan, yaitu : a. Pertumbuhan yang meningkat akan memberikan peluang bagi manajer bawah dan menengah untuk dipromosikan. Selain itu, manajer dapat membuktikan diri sebagai karyawan yang produktif sehingga dapat diperoleh penghargaan lebih dari wewenang untuk menentukan pengeluaran (biaya-biaya), b. Ukuran perusahaan yang semakin besar memberikan keamanan pekerjaan atau mengurangi kemungkinan lay-off dan kompensasi yang semakin besar. Semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan, maka manajemen cenderung berusaha lebih giat untuk kepentingan pemegang saham yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Kepemilikan saham manajerial akan membantu penyatuan kepentingan antar manajer dengan pemegang saham. Kepemilikan manajerial akan mensejajarkan kepentingan manajemen dengan pemegang saham, sehingga manajer ikut merasakan secara langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan ikut pula menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Argumen tersebut mengindikasikan mengenai pentingnya kepemilikan manajerial dalam struktur kepemilikan perusahaan. Namun, tingkat kepemilikan manajerial yang terlalu tinggi juga dapat berdampak buruk terhadap perusahaan. Dengan kepemilikan manajerial yang tinggi, manajer mempunyai hak voting yang tinggi sehingga manajer mempunyai posisi yang kuat untuk mengendalikan perusahaan, hal ini dapat menimbulkan masalah pertahanan, dalam artian, adanya kesulitan bagi para pemegang saham eksternal untuk mengendalikan tindakan manajer. Agency problem bisa dikurangi bila manajer mempunyai kepemilikan saham dalam perusahaan, semakin meningkat proporsi kepemilikan saham manajerial maka akan baik kinerja perusahaan. Kepemilikan saham yang besar dari segi ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor. Secara teoritis ketika kepemilikan manajerial rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya oportunistik manajemen akan meningkat. Kepemilikan manajerial terhadap saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara pemegang saham luar dengan manajemen. Sehingga permasalahan keagenan diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer adalah juga sekaligus sebagai seorang pemilik. Kepemilikan manajerial berhasil menjadi mekanisme corporate governance yang dapat mengurangi konflik kepentingan antara manajer dan berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan. Semakin besar kepemilikan saham manajerial dapat mencegah tindakan opportunistik manajer. Hubungan antara kepemilikan manajerial dengan discretionary accruals. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif antara kepemilikan manajerial dengan discretionary accruals. Penelitian yang menguji hubungan kepemilikan manajerial dengan discretionary accrual dan kandungan informasi laba menemukan bukti bahwa kepemilikan manajerial berhubungan secara negatif dengan discretionary accrual. Hasil penelitian tersebut juga manyatakan bahwa kualitas laba meningkat karena kepemilikan manajerial tinggi. 2. Kepemilikan Institusional Kepemilikan suatu perusahaan dapat terdiri atas kepemilikan institusional maupun kepemilikan individual. Atau campuran keduanya dengan proporsi tertentu. Investor institusional memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan investor individual, diantaranya yaitu: a. Investor institusional memiliki sumber daya yang lebih daripada investor individual untuk mendapatkan informasi. b. Investor institusional memiliki profesionalisme dalam menganalisa informasi, sehingga dapat menguji tingkat keandalan informasi. c. Investor institusional, secara umum, memiliki realisasi bisnis yang lebih kuat dengan manajemen. d. Investor institusional memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan. e. Investor institusional lebih aktif dalam melakukan jual beli saham sehingga dapat meningkatkan jumlah informasi secara cepat yang tercermin di tingkat harga. Adanya pemegang saham seperti institusional ownership memiliki arti penting dalam memonitor manajemen. Adanya kepemilikan oleh institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan-perusahaan investasi dan kepemilikan oleh institusi-institusi lain akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Mekanisme monitoring tersebut akan menjamin peningkatan kemakmuran pemegang saham. Signifikasi institusional ownership sebagai agen pengawas ditekankan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal. Apabila institusional merasa tidak puas atas kinerja manajerial, maka mereka akan menjual sahamnya ke pasar. Perubahan perilaku institusional ownership dari pasif menjadi aktif dapat meningkatkan akuntabilitas manajerial sehingga manajer akan bertindak lebih hati-hati dalam pengambilan keputusan. Meningkatnya aktivitas institusional ownership dalam melakukan monitoring disebabkan oleh kenyataan bahwa adanya kepemilikan saham yang signifikan oleh institusional ownership telah meningkatkan kemampuan mereka untuk bertindak secara kolektif. Dalam waktu yang sama, biaya untuk keluar dari investasi yang mereka lakukan menjadi semakin mahal karena adanya resiko saham akan terjual pada harga diskon. Kondisi ini akan memotivasi institusional ownership untuk lebih serius dalam mengawasi maupun mengoreksi semua perilaku manajer dan memperpanjang jangka waktu investasi. Mekanisme pengawasan dapat dilakukan dengan menempatkan dewan ahli yang tidak dibiayai perusahaan sehingga posisinya tidak berada dibawah pengawasan manajer. Dengan demikian, dewan ahli dapat menjalankan fungsinya secara efektif untuk mengontrol semua tindakan manajer. Pengawasan lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara memberikan masukan-masukan sebagai bahan pertimbangan bagi manajer dalam menjalankan usaha dan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Semakin besar prosentase saham yang dimiliki oleh institusional ownership akan menyebabkan pengawasan yang dilakukan menjadi lebih efektif karena dapat mengendalikan perilaku oportunistik manajer dan mengurangi agency cost. Dengan adanya beberapa kelebihan yang dimiliki, investor institusional diduga lebih mampu untuk mencegah terjadinya manajemen laba, dibanding dengan investor individual. Investor institusional dianggap lebih professional dalam mengendalikan portofolio investasinya, sehingga lebih kecil kemungkinan mendapatkan informasi keuangan yang terdistorsi, karena mereka memiliki tingkat pengawasan yang tinggi untuk menghindari terjadinya tindakan manajemen laba. Secara singkat dapat dikatakan institusional dengan manajemen laba mempunyai hubungan negatif dimana semakin besar persentase saham yang dimiliki oleh korporasi maka semakin kecil kemungkinan terjadi manajemen laba. 3. Kepemilikan Publik Struktur Kepemilikan (Ownership Structure) adalah komposisi kepemilikan dalam perusahaan yang mempengaruhi kinerja perusahaan. Kemudian salah satu kepemilikan di perusahaan adalah kepemilikan publik dimana merupakan porsi saham beredar (outstanding share) yang dimiliki masyarakat atau publik domestik (degree of public ownership). Anderson (2002) mengatakan bahwa perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga mempunyai struktur yang menyebabkan berkurangnya konflik agensi antara pemegang saham dan kreditur, dimana kreditur menganggap kepemilikan keluarga lebih melindungi kepentingan kreditur. Anderson & Reeb (2002) menunjukkan bahwa pemegang saham minoritas justru diuntungkan dari adanya kepemilikan keluarga. Arifin (2003) menunjukkan bahwa perusahaan publik di Indonesia yang dikendalikan keluarga atau negara atau institusi keuangan masalah agensinya lebih baik jika dibandingkan perusahaan yang dikontrol oleh publik atau tanpa pengendali utama. Menurutnya dalam perusahaan yang dikendalikan keluarga masalah agensinya lebih kecil karena berkurangnya konflik antara principal dan agent. Jika kepemilikan keluarga lebih efisien, maka pada perusahaan dengan kepemilikan keluarga yang tinggi pengelolaan laba yang oportunis dapat dibatasi. Tetapi pengendalian yang lebih efisien dalam kepemilikan keluarga tersebut besar kemungkinan tidak berlaku di perusahaan konglomerasi seperti yang banyak terdapat di Indonesia. Struktur Kepemilikan akan mempengaruhi perilaku dan performansi perusahaan (Pierce, 2003). Menurut Villalonga dan Amit (2004), kepemilikan keluarga akan menciptakan nilai serta memperbaiki kinerja perusahaannya jika disertai beberapa bentuk kontrol dan manajemen keluarga tersebut. Struktur Kepemilikan ini juga akan mempengaruhi perilaku perusahaan karena adanya pergantian kepemimpinan sehingga akan merubah performansi perusahaan. Lemmon dan Lins (2003), meneliti 800 perusahaan di negara-negara Asia Timur. Mereka meneliti pengaruh struktur kepemilikan terhadap performansi perusahaan. Kesimpulannya ialah bahwa perusahaan yang melakukan pemisahan antara pemilik dan manajer lalu melakukan kontrol yang kuat cenderung memiliki performansi perusahaan yang lebih jelek. Dengan demikian, struktur kepemilikan perusahaan akan mempengaruhi keputusan keuangan yang terdiri dari keputusan investasi, pendanaan dan kebijakan dividen. 2.6.2 Jenis-jenis Struktur Kepemilikan Adanya agency problem dapat dipengaruhi oleh struktur kepemilikan (kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional). Struktur kepemilikan oleh beberapa peneliti dipercaya mampu mempengaruhi jalannya perusahaan yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan yaitu maksimalisasi nilai perusahaan. Hal ini disebabkan oleh karena adanya kontrol yang mereka miliki. Struktur kepemilikan terbagi dalam beberapa kategori. Struktur kepemilikan terkonsentrasi dan menyebar. Secara spesifik kategori struktur kepemilikan meliputi kepemilikan oleh institusi domestik, institusi asing, pemerintah, karyawan, dan individual domestik. Struktur kepemilikan yang dibahas dalam penelitian ini adalah struktur kepemilikan perusahaan yang menyebar dan terkonsentrasi. Proporsi kepemilikan diwakili oleh variabel dummy, dimana nilai 1 untuk kepemilikan terkonsentrasi ( mayoritas) dan 0 untuk kepemilikan menyebar. Karakteristik kepemilikan dalam perusahaan sebagai berikut : 1. Kepemilikan menyebar (dispersed ownership). Ditemukan bahwa perusahaan yang kepemilikannya lebih menyebar memberikan imbalan yang lebih besar kepada pihak manajemen daripada perusahaan yang kepemilikannya lebih terkonsentrasi (Gilberg dan Idson, 1995) 2. Kepemilikan terkonsentrasi (closely held). Dalam tipe kepemilikan seperti ini timbul dua kelompok pemegang saham, yaitu controlling interest dan minority interest (shareholders). Adanya agency problem dapat dipengaruhi oleh struktur kepemilikan (kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional). Struktur kepemilikan oleh beberapa peneliti dipercaya mampu mempengaruhi jalannya perusahaan yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan yaitu maksimalisasi nilai perusahaan. Hal ini disebabkan oleh karena adanya kontrol yang mereka miliki. Dukungan empiris perihal faktor -faktor yang mempengaruhi kinerja antara lain penelitian yang dilakukan oleh Suad Husnan (2000) bahwa perusahaan yang kepemilikannya lebih menyebar memberikan imbalan yang lebih besar kepada manajemen dibanding dengan perusahaan yang kepemilikannya lebih terkonsentrasi. 2.6.3 Agency Theory Kajian terhadap masalah kepemilikan perusahaan (ownership) dapat dimulai dari pendekatan Agency Theory dan Signalling Theory. Kedua teori ini membahas perilaku manusia yang memiliki keterbatasan rasional (bounded rationality), mengutamakan kepentingan pribadi (self-interest) dan kecenderungan menolak risiko (risk averse). Teori keagenan (agency theory) menyatakan bahwa kinerja perusahaan dipengaruhi oleh adanya konflik kepentingan antara agen (Manajemen) dengan prinsipal (Pemilik/Investor) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Konflik kepentingan antar agen dan prinsipal disebut sebagai masalah keagenan (agency problem). Sedangkan, Teori Signaling (signalling theory) membahas bagaimana seharusnya signal-signal keberhasilan atau kegagalan manajemen (agen) disampaikan kepada pemilik (principal). Laporan tentang kinerja perusahaan yang baik akan meningkatkan nilai perusahaan. Sebagai pengelola perusahaan, manajer perusahaan tentu akan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu manajer sudah seharusnya selalu memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang dapat diberikan oleh manajer yakni melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan hal yang sangat penting bagi para pengguna eksternal terutama sekali karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastiannya Ali (2002). Adanya ketidakseimbangan penguasaan informasi ini akan memicu munculnya kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry). Manajer memiliki asimetri informasi terhadap pihak eksternal perusahaan seperti investor dan kreditor. Asimetri informasi terjadi ketika manajer memiliki informasi internal perusahaan yang relatif lebih banyak dan mengetahui informasi tersebut relatif lebih cepat dibandingkan pihak eksternal. Kondisi ini memberikan kesempatan kepada manajer untuk menggunakan informasi yang diketahuinya untuk memanipulasi pelaporan keuangan sebagai usaha untuk memaksimalkan kemakmurannya. Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan dimana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki Ali ( 2002). Menurut William R Scott (1967) informasi asimetri mempunyai dua tipe. Tipe pertama, adverse selection. Pada tipe ini, pihak yang merasa memiliki informasi lebih sedikit dibandingkan pihak lain tidak akan mau untuk melakukan perjanjian dengan pihak lain tersebut apapun bentuknya, dan jika tetap melakukan perjanjian, dia akan membatasi dengan kondisi yang sangat ketat dan biaya yang sangat tinggi. Contohnya, adalah kemungkinan konflik yang terjadi antara orang dalam (manajer) dengan orang luar (investor potensial). Berbagai cara dapat dilakukan oleh manajer untuk memperoleh informasi lebih dibandingkan investor, misalnya dengan menyembunyikan, menyamarkan, memanipulasi informasi yang diberikan kepada investor. Akibatnya, investor tidak yakin terhadap kualitas perusahaan, atau membeli saham perusahaan dengan harga sangat rendah. Contoh lain dari informasi asimetri adalah ketika kreditor dan pemegang saham minoritas memiliki informasi yang lebih sedikit dibandingkan manajer dan pemegang saham mayoritas. Tipe kedua dari informasi asimetri adalah moral hazard. Moral hazard terjadi ketika manajer melakukan tindakan tanpa sepengetahuan pemilik untuk keuntungan pribadinya dan menurunkan kesejahteraan pemilik. Contohnya, pada perusahaan yang relatif besar, dengan terpisahnya kepemilikan dan pengendalian manajemen, maka sulit bagi pemegang saham dan kreditur untuk melihat sejauh mana kinerja manajer sejalan dengan tujuan yang diinginkan pemegang saham, manajer mungkin cenderung bekerja kurang optimal. Moral hazard juga menghambat operasi perusahaan secara efisien. Kemudian Eisenhardt (1989) menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia guna menjelaskan tentang teori agensi yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia kemungkinan besar akan bertindak berdasarkan sifat opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya Haris (2004). Berdasarkan teori keagenan, laporan keuangan dipersiapkan oleh manajemen sebagai pertanggung-jawaban stewardship mereka kepada prinsipal. Dalam kapasitasnya sebagai pihak yang menyediakan informasi keuangan dan secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, manajemen memiliki insentif untuk melaporkan segala sesuatu yang dapat memaksimumkan utilitas dirinya. Cara yang paling sering dilakukan adalah dengan merekayasa laba (earnings) yang menjadi fokus utama perhatian pihak eksternal sesuai dengan motivasi yang melatarbelakanginya. 2.7 Hubungan Keputusan Investasi, Struktur Modal dan Kebijakan Dividen terhadap Struktur Kepemilikan. 2.7.1 Hubungan Keputusan Investasi dengan Struktur Modal. Dalam menentukan pengambilan keputusan modal yang akan digunakan, akan dapat memberikan pengaruh baik pengaruh positif maupun pengaruh negative bagi perusahaan. Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan dibutuhkan penentuan komposisi struktur modal yang ideal bagi perusahaan. Struktur modal merupakan salah satu bagian penting dalam pengambilan keputusan financial karena berhubungan dengan variable keputusan financial lainnya. Salah satu keputusan penting yang dihadapi oleh manajer keuangan dalam kaitannya dengan kelangsungan operasi perusahaan adalah keputusan pendanaan di dalam berinvestasi, yaitu suatu keputusan keuangan yang berkaitan dengan komposisi hutang yang harus digunakan oleh perusahaan. Manajer harus mampu menghimpun dana, baik yang bersumber dari dalam perusahaan maupun luar perusahaan secara efisien, dalam arti keputusan pendanaan tersebut merupakan keputusan pendanaan yang mampu meminimalkan biaya modal yang harus ditanggung perusahaan (Saidi, 2002). 2.7.2 Hubungan Keputusan Investasi dengan Kebijakan Deviden. Variabel indikator dari keputusan investasi adalah perkembangan investasi perusahaan dari tahun ke tahun. Seperti yang dikemukakan dalam jurnalnya Tendi Haruman (2008), dikatakan bahwa keputusan investasi mencakup pengalokasian dana, baik dana yang berasal dari dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan pada berbagai bentuk investasi. Menurut Sunaryah (2006:4) Investasi adalah penanaman modal untuk satu atau lebih aktiva yang dimiliki dan biasanya berjangka waktu lama dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa-masa yang akan datang. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa investasi adalah suatu komitmen atas dana yang dibuat untuk diinvestasikan pada satu atau lebih aktiva, yang berjangka waktu lebih dari satu tahun dengan tujuan untuk mendapatkan laba yang positif di masa akan datang. Keuntungan yang dibagikan itu dapat berupa dividend dan capital gain. Hubungan antara investasi dengan deviden adalah negatif dimana apabila investasi meningkat maka deviden yang dibagikan akan menurun. 2.7.3 Hubungan Struktur Modal dengan Kebijakan Dividen. Indikator struktur modal yaitu debt to equity ratio (DER) karena mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh beberapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Seperti yang dikemukakan oleh Brealey, Myers and Marcus (2007:458): “financial leverage is usually measured by the ratio of long term debt to total long term capital”. Oleh karena itu semakin rendah DER akan semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya. Semakin besar proporsi hutang yang digunakan untuk struktur modal perusahaan maka akan semakin besar pula jumlah kewajibannya. Peningkatan hutang pada gilirannya akan mempengaruhi besar kecilnya laba bersih yang tersedia bagi pemegang saham perusahaan termasuk dividen yang diterima, karena kewajiban tersebut lebih diprioritaskan daripada pembagian dividen. Jika utang semakin tinggi maka kemampuan perusahaan untuk membagi dividen akan semakin rendah, sehingga DER mempunyai hubungan negative dengan dividen payout ratio, Sutrisno (2001:1). Penelitian terdahulu yang berhasil menemukan bukti bahwa terdapat pengaruh negatif dan signifikan antara kebijakan hutang dan kebijakan dividen antara lain Ismiyanti dan Hanafi (2003), Moh’d (1992) dan Jensen (1992) dalam Wahidahwati (2002). Sedangkan peneliti yang berhasil menemukan bukti bahwa pengaruh antara kebijakan dividen dan kebijakan hutang adalah positif dan signifikan antara lain Emery dan Finnerty (1997:568) dalam Ismiyanti dan Hanafi (2003), Miller dan Rock (1985) dalam Mahadwartha dan Hartono (2002). 2.7.4 Hubungan Keputusan Investasi dengan Struktur Kepemilikan Struktur kepemilikan terbagi menjadi tiga, yaitu : (1) Kepemilikan Institusional, (2) Kepemilikan Manajerial, (3) Kepemilikan Publik. Ketiga pihak yang sama-sama memiliki kepentingan terhadap perusahaan ini tentunya akan memiliki perbedaan pandangan dalam mengambil keputusan untuk mencapai tujuannya untuk sama-sama meningkatkan kesejahteraan para pemegang saham. Dalam jurnalnya, Tendi Haruman (2008:11) menemukan bahwa variabel investasi berpengaruh terhadap managerial ownership dan institutional ownership dengan arah hubungan positif. 2.7.5 Hubungan antara Struktur Modal dengan Struktur Kepemilikan Istilah struktur kepemilikan digunakan untuk menunjukkan bahwa variabel-variabel yang penting didalam struktur modal tidak hanya ditunjukkan oleh jumlah hutang dan equity tetapi juga oleh prosentase kepemilikan oleh manajer, institusional dan publik Menurut Chen dan Steiner (1999), hutang memiliki hubungan kausal terbalik dengan kepemilikan manajerial. Hubungan kausalitas ini menunjukkan hubungan substitusi antara kebijakan hutang dengan kepemilikan manajerial dalam mengurangi konflik keagenan. Penggunaan hutang tinggi meningkatkan risiko kebangkrutan sehingga manajer mengurangi proporsi kepemilikan saham. Pada kondisi ini diperlukan pembatasan terhadap penggunaan hutang untuk mengurangi masalah keagenan antara stockholder dan bondholder. Menurut Friend dan Lang (1988), Crutchley dan Hansen (1989) dan Jensen, Solberg dan Zorn (1992) terdapat hubungan negatif antara kepemilikan manajerial dengan kebijakan hutang. Penelitian mengenai hubungan hutang dengan kepemilikan perusahaan telah banyak dilakukan oleh banyak peneliti. Kim dan Sorensen (1986), Agrawal dan Mendelker (1987) dan Mechran (1992), dalam Wahidahwati (2001), menemukan hubungan positif antara rasio hutang dengan kepemilikan manajerial perusahaan. Sedangkan penelitian Frend & Hasbrouk (1988), Jensen (1992) dalam Wahidahwati (2001), menemukan hubungan negatif antara rasio hutang perusahaan dengan prosentase saham yang dipegang oleh manajer. Demikian pula penelitian Bathala (1994) dalam Wahidahwati (2001), menemukan bukti bahwa investor institusional mempunyai pengaruh negatif terhadap rasio hutang dan kepemilikan manajerial. Penelitian tentang pengaruh kebijakan hutang terhadap kepemilikan juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti di Indonesia. Wahidahwati (2001), menemukan bukti bahwa kebijakan hutang berpengaruh negatif terhadap kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional. Penelitian tersebut juga menemukan fakta bahwa variabel kontrol yaitu firm size, asset structure, earning volatility, dan stock volatility juga berpengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang perusahaan. Sedangkan Putu Anom (2003) mengatakan bahwa kebijakan hutang dapat digunakan untuk memprediksi kepemilikan manajerial satu tahun kedepan. 2.7.6 Hubungan antara Kebijakan Dividen dengan Struktur Kepemilikan Hubungan antara dividen dengan kepemilikan manajerial dijelaskan melalui hipotesis aliran kas bebas. Melalui hipotesis ini kebijakan dividen digunakan untuk mempengaruhi kepemilikan manajerial sehingga mengurangi biaya keagenan yang berkaitan dengan free cash flow. Penelitian ini membuktikan hubungan substitusi antara kebijakan dividen dan kepemilikan manajerial. Mekanisme pengurangan masalah keagenan ini dilakukan dengan cara : 1. Menggunakan free cash flow untuk membayar dividen kas sehingga menghidari alokasi pada tindakan yang tidak menguntungkan. (Jensen : 1986). 2. Meningkatkan dividen untuk memperkuat posisi perusahaan dalam mencari tambahan dana dari pasar modal. Perusahaan diawasi oleh tim pengawas pasar modal atau kreditur sehingga manajer termotivasi mempertahankan atau meningkatkan kinerja. (Crutchley dan Hansen : 1989). 3. Meningkatkan dividen untuk memuaskan sebagian stockholder yang menyukai dividen besar atau penganut the bird in the hand theory, (Brigham, Gapenski : 1999). Peningkatan dividen menyebabkan perusahaan memiliki sumber internal dalam jumlah sedikit sehingga manajer memilih melakukan diversifikasi pada kesempatan investasi yang lebih menguntungkan. Pembayaran dividen akan membuat pemegang saham mempunyai tambahan return selain dari capital gain. Dividen juga membuat pemegang saham mempunyai kepastian pendapatan dan mengurangi agency cost of equity karena tindakan perquisites yang dilakukan manajemen terhadap cash flow perusahaan seiring dengan menurunnya biaya monitoring karena pemegang saham yakin bahwa kebijakan manajemen akan menguntungkan dirinya (Crutchley dan Hansen, 1989 dalam Mahadwartha dan Hartono, 2002). Holder (1998) melakukan penelitian mengenai perkembangan teori stakeholder dalam proses kebijakan dividen. Faktor teori stakeholder dikelompokkan kedalam net organization capital pengaruh ukuran, biaya-biaya agensi, dan biaya transaksi. Perusahaan-perusahaan yang didanai Net Organization Capital lebih banyak mempergunakan ekuitas, dan mempertahankan tingkat likuiditas yang lebih tinggi untuk mencegah timbulnya biaya-biaya kekurangan finansial. Untuk meningkatkan likuiditas perusahaan perlu menurunkan rasio pembayaran dividen. Kemudian Jensen (1992) menguji pengaruh kebijakan dividen kebijakan hutang terhadap insider ownership (debt ratio). Hasil penelitian Chen dan Steiner (1999) menyebutkan bahwa debt dan dividen memiliki hubungan yang negatif dengan managerial ownership. Hasil ini mengindikasikan bahwa debt dan dividen sebagai monitoring agent yang dapat mereduksi agency cost. Sedangkan hasil Turiyasingura (2000) menyebutkan bahwa hubungan antara dividend dengan managerial ownership secara signifikan berhubungan positif. Penelitian Crutchley (1999), memberikan bukti bahwa ada keterkaitan antara keputusan leverage, dividend payout ratio, insider ownership, dan institutional ownership yang ditentukan secara simultan meskipun tidak menyeluruh.