Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Manajemen Keuangan
2.1.1
Pengertian Manajemen Keuangan
Keuangan memiliki ruang lingkup yang luas dan dinamis. Keuangan dapat
berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan manusia dan organisasi. Untuk
dapat memperoleh laba dalam melakukan suatu usaha diperlukan keuangan yang
optimal untuk dapat berjalan dengan baik sehingga untuk dapat mengoptimalkan
keuangan perusahaan diperlukan manajemen yang baik. Oleh karena itu,
keuangan mempunyai hubungan yang erat terhdap ilmu manajerial.
Seiring dengan perkembangannya, manajemen keuangan tidak hanya
mencatat, membuat laporan, mengendalikan posisi kas, membayar tagihan –
tagihan, dan mencari dana. Akan tetapi, manajemen keuangan juga mengatur
penginvestasian dana, mengatur kombinasi dana yang optimal, serta mengatur
pendistribusian keuntungan (pembagian dividen).
Menurut Bambang Riyanto (2004 : 4) :
“Manajemen keuangan adalah manajemen untuk fungsi – fungsi
pembelanjaan.”
Sedangkan dalam bukunya, Sutrisno (2003 : 3) menerangkan bahwa :
“Manajemen keuangan atau sering disebut pembelanjaan dapat
diartikan sebagai semua aktivitas perusahaan yang berhubungan
dengan usaha – usaha mendapatkan dana perusahaan dengan biaya
yang murah serta usaha untuk menggunakan dan mengalokasikan
dana tersebut secara efisien.”
Sedangkan menurut Van Horne dan Wachowicz (2005:2), bahwa:
“Financial management is concern the acquisition, financing, and
managements of assets with some overall goal in mind”.
Artinya bahwa manajemen keuangan berhubungan dengan akuisisi, pembiayaan,
dan pengelolaan aktiva-aktiva dengan keseluruhan tujuan perusahaan.
Berdasarkan pengertian – pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
pengertian dari Manajemen Keuangan adalah adalah usaha –usaha yang dilakukan
oleh perusahaan untuk mendapatakan dana dan mengalokasikan dana tersebut
secara efektif dan efisien untuk menghasilkan keuntungan yang optimal.
2.1.2
Fungsi Manajemen Keuangan
Manajemen Keuangan memiliki kesempatan kerja yang terluas karena
setiap perusahaan pasti membutuhkan seorang manajer keuangan yang menangani
fungsi – fungsi keuangan. Menurut Bambang Riyanto (2001 : 6) seorang
manajer keuangan harus mengetahui atas tiga fungsi utama, yaitu :
a. Menyangkut tentang keputusan alokasi dana, baik yang berasal dari
perusahaan maupun dari luar perusahaan atau bentuk investasi yang
bagaimana yang baik bagi perusahaan.
b.
Menyangkut tentang pengambilan keputusan pembelanjaan atau pembiayaan
investasi. Hal ini menyangkut tentang memperoleh dana investasi yang
efisien, komposisi sumber dana yang harus dipertahankan dan penggunaan
modal dari dalam atau luar.
c. Menyangkut tentang kebijakan dividen. Pada prinsipnya kebijakan dividen
menyangkut tentang keputusan apakah laba yang diperoleh harus dibagikan
kepada para pemegang saham atau ditahan guna pembiayaan investasi dimasa
yang akan datang.
Fungsi manajemen keuangan adalah salah satu fungsi utama yang sangat
penting didalam perusahaan, disamping fungsi – fungsi yang lainnya yaitu fungsi
pemasaran,
sumber
daya
manusia,
dan
operasional.
Walaupun
dalam
pelaksanaannya keempat fungsi – fungsi tersebut saling berhubungan dengan
yang lainnya.
2.1.3
Tujuan Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan yang efisien membutuhkan tujuan dan sasaran yag
digunakan sebagai standard dalam memberikan penilaian keefisienan keputusan
keuangan. Untuk dapat mengambil keputusan – keputusan keuangan yang benar,
manajer keuangan perlu menentukan tujuan yang harus dicapai. Keputusan yang
benar adalah keputusan yang akan membantu mencapai tujuan tersebut. Secara
normatif, tujuan keputusan keuangan adalah untuk memaksimalkan nilai
perusahaan karena dapat meningakatkan kemakmuran para pemilik perusahaan
(pemegang saham).
Sedangkan menurut Ross, Westerfield, Jordan (2006 : 11) tujuan
menajemen keuangan adalah sebagai berikut :
“The goal of financial management to maximize the current value per
share of the existing stock.”
Artinya bahwa tujuan manajemen keuangan yang dilakukan oleh manajer
keuangan adalah merencanakan untuk memperoleh dan menggunakan dana guna
memaksimalkan nilai perusahaan.
2.2
Laporan Keuangan
2.2.1
Pengertian Laporan Keuangan
Membahas manajemen keuangan tidak bisa lepas dari laporan keuangan.
Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari proses akuntansi yang meliputi dua
laporan utama, yaitu : (1) neraca dan (2) laporan rugi – laba. Laporan keuangan
disusun dengan tujuan untuk menyediakan informasi keuangan perusahaan kepada
pihak – pihak yang berkepentingan sebagai bahan pertimbangan dalam
mengambil keputusan.
Pengertian laporan keuangan menurut Ridwan S Sundjaya dan Inge
Barlian (2002 : 68) adalah sebagai beikut :
“Laporan keuangan adalah laporan yang menggambarkan hasil dari
proses akuntansi yang digunakan sebagai alat komunikasi antara data
keuangan atau aktivitas perusahaan dengan pihak – pihak yang
berkepentingan dengan data –data/aktivitas tersebut.”
Sedangkan Sutrisno (2007: 9) menyatakan bahwa :
”Laporan keuangan itu disusun untuk menyediakan informasi
keuangan
suatu
berkepentingan
perusahaan
(manajemen,
kepada
pemilik,
pihakkreditor,
pihak
yang
investor,
dan
pemerintah).”
Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan
merupakan hasil akhir dari aktivitas suatu perusahaan yang dibuat oleh
manajemen dan diproses melalui siklus akuntansi yang akan digunakan oleh
pemilik perusahaan, calon investor, kreditur, pemerintah dan pihak – pihak
lainnya yang berkepentingan untuk melihat kinerja keuangan dan operasional
perusahaan.
2.2.2
Jenis-jenis Laporan Keuangan
Laporan keuangan disajikan manajemen untuk semua pihak yang
berkepentingan terhadap semua perusahaan. Informasi yang ada dalam laporan
keuangan ini dapat langsung digunakan oleh pemakai, namun ada juga yang harus
dianalisa lebih lanjut misalnya dengan menggunakan rasio-rasio keuangan.
Setiap pemakai mempunyai kebutuhan yang berbeda terhadap informasi
keuangan. Berdasarkan kebutuhan tersebut, akan mencari informasi mana yang
akan dibutuhkan untuk dianalisa lebih lanjut, sehingga laporan keuangan perlu
diklasifikasikan dalam berbagai jenis laporan keuangan. Jenis-jenis laporan
keuangan menurut Gitman (2006:46) adalah :
“The four key financial statement required by the SEC for reporting to
shareholder are (1) the income statement, (2) the balance sheet, (3) the
statement of stockholders’ equity, and (4) the statement of cash flows.”
Artinya bahwa empat laporan keuangan kunci yang diperlukan oleh SEC untuk
pelaporan kepada pemegang saham adalah (1) laporan rugi-laba, ( 2) neraca, ( 3)
laporan keuangan ekuitas pemegang saham, dan (4) laporan keuangan arus kas.
Dilihat dari kutipan diatas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya ada
tiga jenis laporan keuangan yang utama, yaitu income statement (laporan laba
rugi), balance sheet (neraca), dan statement of cash flow (laporan arus kas).
Sedangkan laporan lainnya yang juga tercantum dalam kutipan diatas merupakan
bagian integral dari laporan keuangan yang merupakan daftar pendukung
(supporting statement) dari laporan keuangan utama dan bukan laporan keuangan
yang berdiri sendiri.
Menurut Ridwan S Sundjaya dan Inge Barlian (2002:4) jenis-jenis laporan keuangan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Income statement (laporan rugi laba)
Income statement (laporan rugi laba) mencerminkan hasil-hasil yang dicapai
selama suatu periode tertentu biasanya meliputi periode satu tahun. Dimana
tertulis secara lengkap semua pendapatan dan beban yang harus dibayar.
2. Balance sheet (neraca)
Balance sheet (neraca) mencerminkan nilai aktiva, hutang dan modal sendiri
pada suatu saat tertentu. Neraca digunakan untuk menggambarkan kondisi
keuangan perusahaan.
3. Laporan laba ditahan (statement of retained earnings)
Laporan laba ditahan merupakan laporan yang berasal dari tahun-tahun yang
lalu dan tahun berjalan yang tidak dibagikan sebagai dividen.
4. Statement of cash flows (laporan arus kas)
Kemudian jenis laporan keuangan utama yang terakhir adalah laporan arus
kas. Laporan aliran kas meringkas aliran kas masuk dan keluar perusahaan
untuk jangka waktu tertentu.
2. 3
Keputusan Investasi
2.3.1
Pengertian Investasi
Investasi adalah kegiatan penanaman modal untuk satu atau lebih aktiva
yang dimiliki dan biasanya berjangka waktu lama dengan harapan mendapatkan
keuntungan di masa yang akan datang. Beberapa pakar mengemukakan
pendapatnya tentang investasi. Menurut Jogiyanto (2007:5) bahwa :
“Investasi adalah penundaan konsumsi sekarang untuk digunakan
didalam produksi yang effisien selama periode waktu yang
ditentukan”
Sedangkan menurut Kamaruddin Ahmad (2004:3) bahwa :
“Investasi adalah menempatkan uang atau dana dengan harapan
untuk memperoleh tambahan keuntungan tertentu atas uang atau
dana tersebut”.
Kemudian dalam jurnalnya Tendi Harruman. (2008), dikatakan bahwa
keputusan investasi mencakup pengalokasian dana, baik dana yang berasal dari
dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan pada berbagai bentuk investasi.
Gitman (2000) dan Brealy & Myers (2000) menyatakan bahwa keputusan
investasi sangat penting karena akan mempengaruhi keberhasilan pencapaian
tujuan perusahaan dan merupakan inti dari seluruh analisis keuangan. Sedangkan
menurut Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa keputusan investasi
dapat berperan sebagai mekanisme transmisi antara kepemilikan dan nilai
perusahaan.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa konsep
keputusan investasi merupakan suatu konsep yang membicarakan tentang
pengalokasian dana yang ada dan penentuan sumber-sumber dana di masa yang
akan datang. Suatu perusahaan di dalam pengalokasian dananya dapat
menggunakan investasi dalam bentuk aktiva riil yaitu dalam bentuk aktiva
berwujud seperti emas, perak, intan dan real estate atau dalam bentuk surat-surat
berharga atau sekuritas.
2.3.2
Pentingnya Keputusan Investasi
Keputusan Investasi sendiri tercermin dari pertumbuhan Total Asset
perusahaan yang bersangkutan dari tahun ke tahun. Implementasi keputusan
investasi sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dana dalam perusahaan yang
berasal dari sumber pendanaan internal (internal financing) dan sumber
pendanaan eksternal (external financing). Dengan memperhatikan sumber-sumber
pembiayaan, perusahaan memiliki beberapa alternatif pembiayaan untuk
menentukan struktur modal yang tepat bagi perusahaan.
Menurut Kamaruddin Ahmad (2004:118) perencanaan terhadap keputusan
investasi ini sangat penting karena beberapa hal sebagai berikut :
1. Dana yang dikeluarkan untuk investasi sangat besar, dan jumlah dana yang
besar tersebut tidak bisa diperoleh kembali dalam jangka pendek atau
diperoleh sekaligus.
2. Dana yang dikeluarkan akan terikat dalam jangka panjang, sehingga
perusahaan harus menunggu selama jangka waktu cukup lama untuk bisa
memperoleh kembali dana tersebut.
3. Keputusan investasi menyangkut harapan terhadap hasil keuntungan di masa
yang akan datang. Kesalahan dalam mengadakan peramalan akan dapat
mengakibatkan terjadinya over atau under investment, yang akhirnya akan
merugikan perusahaan.
Proses dalam melakukan keputusan investasi dapat diperinci ke dalam tahap
sebagai berikut :
1. Perencanaan
2. Analisis investasi
3. Pemilihan proyek
4. Pelaksanaan proyek
5. Pengawasan proyek
Jika proyek-proyek investasi sudah tersedia atau dapat diperoleh, maka
perusahaan perlu melakukan analisis awal. Dalam analisis awal perusahaan harus
mengumpulkan informasi yang lebih akurat tentang proyek-proyek yang tersedia.
Informasi tentang proyek-proyek yang akan diambil umumnya meliputi :
1. Jenis atau macam proyek
2. Lama berakhirnya proyek
3. Pola produksi atau output selama masa proyek
4. Total produksi dan saat mulai berproduksi
5. Teknologi yang akan digunakan
6. Jumlah dan pola penerimaan dan pengeluaran cash flow
7. Informasi lain yang sangat bervariasi antara satu proyek dengan proyek lain.
Pengaturan investasi modal yang efektif perlu memperhatikan faktor-faktor
berikut ini :
1. Adanya asal-usul investasi
2. Estimasi arus kas dari asal-usul investasi tersebut
3. Evaluasi arus kas tersebut
4. Memilih proyek-proyek yang sesuai dengan kriteria tertentu
5. Monitoring dan penilaian terus-menerus terhadap proyek investasi setelah
investasi dilaksanakan.
Asal-usul investasi tidak mesti berasal dari bagian keuangan. Mungkin
saja usul tersebut berasal dari pemasaran, bagian produksi, dan melibatkan
berbagai bagian. Demikian juga arus kas akan memerlukan kerja sama antara
bagian yang mengusulkan dengan bagian keuangan. Evaluasi arus kas mungkin
lebih banyak dilakukan oleh bagian keuangan, demikian juga pemilihan proyek.
Akhirnya monitoring memerlukan kerja sama dengan seluruh bagian yang terlibat.
Untuk maksud-maksud analisis, suatu proyek bisa dimasukkan ke dalam
salah satu klasifikasi berikut ini :
1.
Pengenalan proyek baru atau pembuatan produk baru
2.
Penggantian peralatan atau pabrik
3.
Penelitian dan pengembangan
4.
Eksplorasi
Jadi, inti dari fungsi pendanaan ini adalah bagaimana perusahaan
menentukan sumber dana yang optimal untuk mendanai berbagai alternatif
investasi, sehingga dapat memaksimalkan nilai perusahaan yang tercermin pada
harga sahamya.
2.3.3 Jenis-jenis investasi keuangan
Investasi ke dalam aktiva keuangan dapat berupa investasi langsung dan
investasi tidak langsung. Investasi langsung dilakukan dengan membeli langsung
aktiva keuangan dari suatu perusahaan baik melalui perantara atau dengan cara
yang lain. Sebaliknya investasi tidak langsung dilakukan dengan membeli saham
dari perusahaan investasi yang mempunyai portofolio aktiva-aktiva keuangan dari
perusahaan-perusahaan lain. Hal ini ditunjukkan dalam gambar berikut.
Gambar 1.1
Tipe-tipe investasi
Investasi tidak
langsung
Investor
Investasi
Perusahaan
investasi
langsung
Aktiva-aktiva
keuangan
Investasi langsung
Sumber : Jogiyanto (2003:7)
Menurut Sunaryah (2006:4), investasi dalam arti luas terdiri dari dua
bagian utama, yaitu:
1. Investasi dalam bentuk aktiva riil (real assets).
Aktiva riil adalah aktiva berwujud seperti emas, perak, intan, barang-barang
seni dan real estate.
2. Investasi dalam bentuk surat-surat berharga atau sekuritas (marketable
securities atau financial assets).
Aktiva finansial adalah surat-surat berharga yang pada dasarnya merupakan
klaim atas aktiva riil yang dikuasai oleh suatu entitas.
2.3.3.1 Investasi Keuangan
Investasi keuangan dalam hal ini adalah berhubungan dengan masalah
pengalokasian dana yang akan dilaksanaakan oleh perusahaan di dalam pembelian
surat-surat berharga. Berikut ini adalah beberapa jenis investasi keuangan,
menurut Sunaryah (2006:4) pemilikan aktiva finansial dalam rangka investasi
pada sebuah entitas dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1.
Investasi langsung
Investasi langsung adalah pembelian langsung aktiva keuangan suatu
perusahaan. Investasi langsung dapat dilakukan dengan membeli aktiva keuangan
yang dapat diperjual-belikan di pasar uang (money market), pasar modal (capital
market), atau pasar turunan (derivative market). Investasi langsung juga dapat
dilakukan dengan membeli aktiva keuangan yang tidak dapat deperjual-belikan.
Aktiva keuangan yang tidak dapat diperjual-belikan biasanya diperoleh melalui
bank komersial. Aktiva-aktiva ini dapat berupa tabungan di bank atau sertifikat
deposito.
Macam-macam investasi langsung dapat disarikan sebagai berikut ini :
1. Investasi langsung yang tidak dapat diperjual-belikan.
a. Tabungan.
b. Deposito.
2. Investasi langsung dapat diperjual-belikan.
a. Investasi langsung di pasar uang.
1) T-bill.
2) Deposito yang dapat dinegosiasi.
b. Investasi langsung di pasar modal.
1) Surat-surat berharga pendapatan tetap (fixed-income securities).
a) T-bond.
b) Federal agency securities.
c) Municipal bond.
d) Corporate bond.
e) Convertible bond.
2) Saham-saham (equity securities).
a) Saham preferen (preferred stock).
b) Saham biasa (common stock).
c. Investasi langsung di pasar turunan.
1) Opsi.
a) Waran (warrant).
b) Opsi put (put option).
c) Opsi call (call option).
2) Futures contract.
2.
Investasi tidak langsung
Investasi tidak langsung adalah pembelian saham dari perusahaan investasi
yang mempunyai portofolio aktiva-aktiva keuangan dari perusahaan-perusahaan
lain. Investasi tidak langsung dilakukan dengan membeli surat-surat berharga dari
perusahaan investasi. Perusahaan investasi adalah perusahaan yang menyediakan
jasa keuangan dengan cara menjual sahamnya ke publik dan menggunakan dana
yang diperoleh untuk diinvestasikan ke dalam portofolionya. Ini berarti bahwa
perusahaan investasi membentuk portofolio (diharapkan portofolionya optimal)
dan menjualnya eceran kepada publik dalam bentuk saham-sahamnya.
Investasi tidak langsung lewat perusahaan investasi ini menarik bagi
investor paling tidak karena dua alasan utama, yaitu :
1.
Investor dengan modal kecil dapat menikmati keuntungan karena
pembentukan portofolio. Jika investor ini harus membuat portofolio sendiri,
maka dia harus membeli beberapa saham dalam jumlah yang cukup besar
nilainya. Investor yang tidak mempunyai dana cukup untuk membentuk
portofolio sendiri dapat membeli saham yang ditawarkan oleh perusahaan
investasi ini.
2.
Membentuk portofolio membutuhkan pengetahuan dan pengalaman yang
mendalam. Investor awam yang kurang mempunyai pengetahuan dan
pengalaman tidak akan dapat membentuk portofolio yang optimal, tetapi
dapat membeli saham yang ditawarkan oleh perusahaan investasi yang telah
membentuk portofolio optimal.
2.3.3.2 Investasi Aktiva Riil
Aktiva riil adalah pembelian aktiva berwujud yang dilakukan oleh
perusahaan seperti emas, perak, intan, barang-barang
seni dan real estate.
Menurut Sentanoe Kertonegoro (2000:11) pemilihan investasi aktiva riil sebagai
berikut :
1. Real estate meliputi investasi dalam rumah, tanah, dan berbagai bentuk
kekayaan yang menghasilkan seperi apartement. Kemanfaatannya berupa
penghasilan dari sewa, kenaikan nilai/harga, dan tahan terhadap inflasi.
2. Emas dan investasi lainnya, yaitu investasi dalam logam mulia, perhiasaan,
barang antik, dan benda seni. Investasi ini bisa merupakan kelengkapan dalam
portofolio investor. Kemanfaatan logam mulia adalah memiliki standar nilai,
dan harganya bisa mengalami kenaikan. Sedang barang antik, seni, dan
koleksi perangko juga merupakan kepuasaan/kesenangan psikis bagi
pemiliknya.
2.3.4
Klasifikasi Investasi
Di dalam penentuan investasi, ada beberapa klasifikasi perusahaan yang
menerbitkan portofolio. Menurut Kamaruddin Ahmad (2004:203) perusahaan
investasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Investment trust
Merupakan trust yang menerbitkan portofolio yang dibentuk dari surat-surat
berharga berpenghasilan tetap (misalnya bond) dan ditangani oleh orang
kepercayaan yang independen. Sertifikat portofolio ini dijual kepada investor
sebesar nilai bersih total aktiva yang tergabung di dalam portofolio ditambah
dengan komisi. Investor dapat menjual balik sertifikat ini kepada trust sebesar
nilai bersih sertifikat tersebut (net asset value atau NAV). Besarnya NAV persertifikat adalah total nilai pasar dari sekuritas-sekuritas yang tergabung di
portofolio dikurangi dengan biaya-biaya yang terjadi dan dibagi dengan
jumlah sertifikat yang diedarkan.
2. Closed-end investment companies
Merupakan perusahaan investasi yang hanya menjual sahamnya dalam jumlah
yang tetap yaitu sebanyak saat penawaran perdana (initial public offering)
saja. Biasanya perusahaan investasi ini tidak menawarkan lagi tambahan
lembar saham, kecuali jika ada penawaran publik berikutnya. Lembar saham
yang sudah beredar dari penawaran perdana diperdagangkan di pasar sekunder
(stock exchange) dengan harga pasar yang terjadi di pasar bursa.
3. Open-end investment companies
Dikenal dengan nama perusahaan reksa dana (mutual funds). Menurut
Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995, pasal 1 ayat (27) reksa dana
didefinisikan sebagai wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari
masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek
oleh manajer investasi. Perusahaan reksa dana (mutual fund) ini adalah
perusahaan investasi yang mengelola portofolio dan menjual kepemilikan
portofolionya di pasar modal. Perusahaan investasi ini masih terus menjual
kepemilikan portofolionya kepada investor. Juga pemegang kepemilikan
portofolio dapat menjual kembali kepemilikan portofolionya ke perusahaan
reksa dana yang bersangkutan. Dengan demikian, perusahaan reksa dana ini
mempunyai besarnya portofolio yang berubah-ubah di pasar modal. Nilai total
portofolio yang dibentuk disebut dengan Nilai Aktiva Bersih atau NAB (Net
Asset Value atau NAV).
2.3.5
Metode Penilaian Investasi
Suatu investasi dikatakan menguntungkan kalau investasi tersebut bisa
membuat pemodal menjadi lebih kaya. Pengertian ini konsisten dengan tujuan
memaksimumkan nilai perusahaan. Ada beberapa alat analisa atau metode dalam
menilai keputusan investasi. Menurut M.Manulang (2005:122) metode-metode
penilaian investasi tersebut antara lain adalah :
1. Payback period
Payback period adalah untuk mengukur lamanya dana investasi yang ditanamkan
kembali seperti semula. Karena itu hasil perhitungannya dinyatakan dalam satuan
waktu (yaitu tahun atau bulan). Untuk mengetahui kelayakan investasi dengan
membandingkan masa payback period dengan target lamanya kembalinya
investasi. Bila payback period lebih kecil dibanding dengan target kembalinya
investasi, maka proyek investasi layak, sedangkan bila lebih besar proyek tidak
layak. Dan untuk menghitung besarnya payback period bila cash flownya sama
tiap tahun adalah :
Kelemahan dari metode payback adalah :
a. Tidak memperhatikan nilai waktu uang, dan
b. Mengabaikan arus kas setelah periode payback.
Untuk mengatasi kelemahan karena mengabaikan nilai waktu uang,
metode perhitungan payback period dicoba diperbaiki dengan mem-present
value-kan arus kas, dan dihitung periode payback-nya. Cara ini disebut sebagai
discounted payback period.
2. Accounting rate of return
Metode accounting rate of return adalah metode penilaian investasi yang
mengukur seberapa besar tingkat keuntungan dari investasi.
Apabila angka accounting rate of return lebih besar dibandingkan dengan
keuntungan yang disyaratkan, maka proyek investasi ini menguntungkan, apabila
lebih kecil daripada tingkat keuntungan yang disyaratkan proyek ini tidak layak.
Kebaikan metode ini adalah sederhana dan mudah, perhitungan metode ini
menggunakan data accounting yang tersedia, sehingga tak memerlukan
penghitungan tambahan. Sedangkan kelemahan metode ini mengabaikan nilai
waktu uang dan tidak memperhitungkan aliran kas, metode ini dianggap kurang
memuaskan atau kurang baik untuk digunakan dalam menilai proyek-proyek
investasi.
3. Net Present Value
Pada metode di depan keduanya mengabaikan adanya nilai waktu dari uang,
padahal cash flow yang digunakan untuk menutup investasi tersebut diterima di
masa yang akan datang, sementara dana untuk investasi dikeluarkan pada saat
sekarang. Oleh karena itu perlu metode yang memperhatikan konsep time value of
money. Salah satu metode untuk menilai investasi yang memperhatikan time value
of money adalah net present value (NPV). NPV adalah merupakan selisih antara
nilai sekarang dari cash flow dengan nilai sekarang dari investasi. Bila selisih
antara present value dari cash flow lebih besar berarti terdapat NPV positif,
artinya proyek investasi layak, sebaliknya bila present value dari cash flow lebih
kecil dibanding present value investasi maka NPV negative dan investasi
dipandang tidak layak. Dengan demikian dalam perhitungan NPV memerlukan
dua kegiatan penting yaitu :
a. Menaksir arus kas
b. Menentukan tingkat bunga yang dipandang relevan
4. Internal Rate of Return
Bila pada metode net present value mencari nilai sekarang bersih dengan
tingkat discount rate tertentu, maka metode internal rate of return mencari
discount rate yang dapat menyamakan antara present value dari aliran kas dengan
present value dari investasi. Dengan demikian internal rate of return (IRR) adalah
tingkat discount rate yang dapat menyamakan present value of cash flow dengan
present value of investment.
Kelemahan metode IRR antara lain :
a. Bahwa i yang dihitung akan merupakan angka yang sama untuk setiap tahun
usia ekonomis. Metode IRR tidak memungkinkan menghitung IRR yang
berbeda setiap tahunnya. Padahal secara teoritis dimungkinkan terjadi tingkat
bunga yang berbeda-beda.
b. Bisa diperoleh i yang lebih dari satu angka (multiple IRR). Bila demikian,
maka akan timbul masalah, yakni i mana yang akan kita pergunakan.
Untuk mencari besarnya IRR diperlukan data NPV yang mempunyai dua
kutub, positif dan negative. Setelah didapatkan NPV tersebut, selanjutnya
dibuat interpolasi atau dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Dimana :
rr
: tingkat discount rate (r) lebih rendah
rt
: tingkat discount rate (r) lebih tinggi
TPV
: Total Present Value
NPV
: Net Present Value
Bila IRR lebih besar dibanding keuntungan yang disyaratkan berarti layak,
demikian sebaliknya bila IRR lebih kecil dibanding keuntungan yang disyaratkan
berarti proyek investasi kurang layak.
5. Profitability Index
Metode profitability index (PI) ini menghitung perbandingan antara
present value dari penerimaan dengan present value dari investasi. Bila PI ini
lebih besar dari 1, maka proyek investasi dianggap layak untuk dijalankan. Rumus
yang digunakan untuk mencari PI sebagai berikut :
2.4
Struktur Modal
2.4.1
Pengertian Struktur Modal
Struktur modal merupakan suatu istilah manajemen keuangan untuk
menunjukkan sumber-sumber pembiayaan aktiva (kekayaan) perusahaan yang
akan digunakan untuk menjalankan operasi perusahaan. Menurut Martono SU &
Agus Harjito (2007 : 240) bahwa struktur modal adalah :
”Struktur modal (capital structure) adalah perbandingan atau
imbangan pendanaan jangka panjang perusahaan yang ditunjukan
oleh perbandingan hutang jangka panjang terhadap modal sendiri.”
Menurut Darsono (2006 :153) struktur modal adalah :
”Struktur modal adalah jumlah permanen
perusahaan yang
tersumber dari utang jangka panjang dan modal sendiri.”
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa konsep struktur
modal merupakan suatu konsep yang membicarakan komposisi bagaimana suatu
perusahaan didanai baik dengan modal sendiri maupun dengan modal pinjaman.
Jika suatu perusahaan dalam memenuhi kebutuhan dananya atau modalnya lebih
mengutamakan pemenuhan modal yang bersumber dari dalam perusahaan, akan
mengurangi ketergantungan dari pihak luar.
Tetapi jika kebutuhan modalnya semakin besar karena pertumbuhan
perusahaan sedangkan modal sendirinya terbatas, perusahaan dapat menggunakan
modal asing yang berasal dari luar perusahaan. Penggunaan dari masing-masing
jenis modal tersebut memiliki pengaruh yang berbeda terhadap laba yang
dihasilkan oleh perusahaan.
Penggunaan modal sendiri yang kompensasinya berupa pembayaran
dividen diambil dari keuntungan setelah pajak, sehingga tidak mengurangi
pembayaran pajak. Sedangan penggunaan modal asing akan menurunkan
keuntungan perusahaan sebab harus membayar bunga di mana bunga sebagai
pengurang laba. Selain itu, bunga juga dapat dimanfaatkan sebagai pengurang
pajak yang harus ditanggung oleh perusahaan.
2.4.2
Teori Struktur Modal
Teori struktur modal yang dikembangkan beberapa ahli, terutama
digunakan untuk mengetahui apakah perusahaan bisa meningkatkan kemakmuran
pemegang saham melalui perubahan struktur modal. Menurut Sutrisno (2001;
291), untuk mempermudah pembahasan teori struktur modal, digunakan beberapa
asumsi yang kemungkinan besar tidak dijumpai dalam kenyataan. Asumsi-asumsi
tersebut adalah:
1. Keuntungan yang diperoleh perusahaan dianggap konstan, artinya perusahaan
tidak mengadakan perubahan terhadap investasinya
2. Seluruh keuntungan yang diperoleh merupakan hak pemegang saham,
sehingga akan dibagikan semuanya kepada para pemegang saham
3. Perusahaan dapat mengubah struktur modalnya secara langsung, misalnya
mengubah obligasi menjadi saham, sebaliknya saham menjadi obligasi dengan
mudah dan tidak ada biaya transaksi.
Pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh Van Horne dan Wachowicz
(2005:234) sebagai berikut:
1.
Pendekatan Laba Bersih (Net Income Approach)
Menurut pendekatan laba bersih, biaya modal pinjaman dan biaya modal
sendiri tidak dipengaruhi oleh struktur modal, tetapi biaya modal keseluruhan
dapat diturunkan dengan jalan meningkatkan leverage sehingga nilai perusahaan
dapat ditingkatkan.
2.
Pendekatan Laba Operasi Bersih (Net Operatingh Income Approach
Pendekatan Net Operating Income (NOI), jika struktur modal berubah, biaya
modal pinjaman tetap, akan tetapi biaya modal sendiri akan naik. Kenaikan modal
pinjaman yang biayanya murah diimbangi dengan kenaikan biaya modal sendiri,
sehingga biaya modal sendiri tidak berubah pada semua tingkat leverage.
3.
Pendekatan Tradisional (Traditional Approach)
Pendekatan tradisional ini berpendapat bahwa biaya modal sendiri akan
meningkat pada kenaikan leverage, disamping itu biaya pinjaman juga dapat
meningkat bila melebihi tingkat tertentu. Oleh karena itu akan terdapat suatu titik
dimana biaya modal keseluruhan merupakan titik terendah dan itu akan
mencerminkan struktur modal yang optimal.
4.
Pendekatan Modigliani Miller (Modigliani Miller Approach)
Pendekatan Modigliani Miller (MM) menyatakan bahwa nilai perusahaan
adalah tidak bergantung atau tidak dipengaruhi struktur modal. Pendapat MM
didasarkan pada ide bahwa tidak menjadi masalah bagaimana perusahaan
membagi struktur modalnya di antara utang, saham preferen, dan saham biasa.
Pernyataan tersebut didukung dengan adanya proses arbitrase. Melalui proses
abritrase akan membuat harga saham atau nilai perusahaan baik yang tidak
menggunakan utang atau yang menggunakan utang, akhirnya sama.
Selain beberapa pendekatan di atas mengenai teori stuktur modal Bayless
dan Diltz (1994) sebagaimana dikutip oleh FX. Agus Joko Waluyo (Jurnal
Widya Manajemen & Akuntansi Volume 5 No. 3, Desember 2005, p.263)
menjelaskan dua teori lagi mengenai struktur modal yaitu:
1.
Static Trade Off Theory
Menurut Bayless dan Diltz (1994) sebagaimana dikutip oleh FX. Agus
Joko Waluyo (Jurnal Widya Manajemen & Akuntansi Volume 5 No. 3, Desember
2005, p.263) menjelaskan bahwa dalam static trade off theory, struktur modal
optimal terjadi karena proses trade off antara manfaat penghematan pajak (tax
shield of leverage) dengan biaya penggunaan hutang (cost of financial distress
and agency cost of leverage). Dalam static trade off theory terdapat dua implikasi
penting yaitu perusahaan dengan risiko bisnis tinggi lebih baik menggunakan
sedikit hutang. Hal ini akan memperbesar biaya bunga serta menurunkan laba,
sehingga perusahaan mengalami financial distress.
Static trade off theory mengemukakan bahwa hutang mempunyai dua sisi,
yaitu sisi negatif dan sisi positif. Sisi positif dari hutang bahwa pembayaran bunga
akan mengurangi pendapatan kena pajak. Penghematan pajak ini akan
meningkatkan nilai pasar perusahaan. Hutang menguntungkan perusahaan karena
adanya perbedaan perlakuan pajak terhadap bunga dan dividen. Hutang
menguntungkan perusahaan karena pembayaran bunga diperhitungkan sebagai
biaya dan mengurangi penghasilan kena pajak, sehingga jumlah pajak yang
dibayar perusahaan berkurang. Sebaliknya, pembagian dividen kepada pemegang
saham perusahaan tidak mengurangi pembayaran pajak persahaan. Jadi, dari sisi
pajak akan lebih menguntungkan jika perusahaan membiayai investasi dengan
hutang karena adanya pengurangan pajak. Menurut teori ini, semakin besar laba
(EBIT) yang dihasilkan oleh perusahaan, semakin besar pula tingkat hutangnya
agar pajak yang dibayar berkurang. Namun demikian, besarnya hutang ini dibatasi
oleh biaya-biaya kepailitan (bankruptcy cost) dan biaya-biaya tekanan keuangan
yang timbul menjelang perusahaan bangkrut (cost of financial distress).
2.
Pecking Order Theory
Menurut Myers (1984) sebagaimana dikutip oleh Fx. Agus Joko Waluyo
dan (Jurnal Widya Manajemen & Akuntansi Volume 2 No. 1, April 2002, p.6)
menyatakan bahwa keputusan pendanaan berdasarkan pecking order theory
terhadap perilaku pendanaan perusahaan sebagai berikut :
a. Perusahaan lebih menyukai pendanaan dari sumber internal.
b. Perusahaan menyesuaikan target pembayaran dividen terhadap peluang
investasi.
c. Kebijakan dividen bersifat sticky, fluktuasi profitabilitas dan peluang investasi
berdampak pada aliran kas internal bisa lebih besar atau lebih kecil dari
pengeluaran investasi.
d. Bila dana eksternal dibutuhkan, perusahaan memilih sumber dana dari hutang
karena dipandang lebih aman dari ekuitas. Ekuitas adalah pilihan terakhir dari
pecking order theory sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan investasi.
Menurut Myers (1984) terdapat inconsistency antara static trade off theory
dan pecking order theory. Konsep pecking order theory membedakan ekuitas yang
diperoleh dari laba ditahan dan penerbitan saham baru karena urutan atau prioritas
sumber pendanaan menempatkan laba ditahan dan penerbitan saham baru karena
urutan atau prioritas sumber pendanaan menempatkan laba ditahan pada posisi
paling atas, sedangkan penerbitan saham baru berada pada urutan paling bawah.
Static trade off theory tidak membedakan urutan pemilihan sumber pendanaan,
oleh karena itu ekuitas tidak dibedakan diperoleh dari laba ditahan atau dari
penerbitan saham baru, atau merupakan kombinasi dari keduanya. Myers,
mengkritik asumsi yang dipakai static trade off theory, bahwa pelaku pasar
memiliki informasi serta ekspektasi yang sama dengan pihak manajemen, dalam
prakteknya antar pelaku pasar terjadi asymmetric information, sehingga
diperlukan keputusan berjenjang ketika memilih sumber dana.
Mengacu pecking order theory, perusahaan lebih memilih menggunakan
dana internal sebagai alternatif awal untuk memenuhi kebutuhan investasi, hal ini
untuk mereduksi masalah dan biaya yang menyertai pendanaan eksternal, yaitu
adanya berbagai perjanjian dengan kreditor yang dapat membatasi keputusan
pendanaan perusahaan di masa mendatang, serta adanya kecenderungan harga
saham turun ketika perusahaan melakukan emisi saham baru.
Alternatif kedua yang dipilih sebagai sumber pendanaan adalah hutang,
meski terdapat beberapa kekurangan dan mengandung risiko tinggi, namun
dianggap memiliki biaya relatif daripada emisi saham baru. Hutang mendorong
manajer untuk lebih disiplin dalam berinvestasi secara tepat, hal ini memberikan
tekanan untuk terus melakukan perbaikan dalam mewujudkan efisiensi
operasional perusahaan (Brealy dan Myers, 2000:528). Tindakan ini didorong
adanya tekanan psikologis bahwa perusahaan berkewajiban untuk membayar
hutang dan bunga secara tepat waktu jika tidak ingin perusahaannya dikenai
sanksi atau dinyatakan bangkrut.
Manfaat penggunaan ekuitas adalah kondisi perusahaan menjadi lebih
sehat, sehingga di masa mendatang ada kemungkinan biaya yang dikeluarkan
perusahaan atas emisi saham baru, menjadi lebih murah daripada menggunakan
sumber dana yang lain. Bila terdapat asymmetric information antara pihak
manajemen dengan pelaku pasar, perusahaan hanya menerbitkan saham baru, jika
perusahaan merasa memiliki peluang investasi yang sangat menguntungkan serta
tidak dapat ditunda, sementara sumber dana lain sudah tidak mencukupi atau jika
manajemen merasa yakin harga saham baru tersebut overvalue.
2.4.3
Mengukur Sumber Modal Perusahaan/Debt to Equity Ratio (DER)
Debt to Equity Ratio (DER) merupakan salah satu rasio pengelolaan modal
yang mencerminkan kemampuan perusahaan untuk membiayai usaha dengan
pinjaman yang disediakan oleh pemegang saham. Seperti yang diungkapkan oleh
Martono dan D.Agus Harjito(2007:59):
“Debt to Equity Ratio adalah perbandingan total hutang yang dimiliki
perusahaan dengan modal sendiri (ekuitas)”.
Menurut Suad Husnan (2004:70) :
“Debt to Equity Ratio menunjukkan perbandingan antara hutang
dengan modal sendiri.”
Menurut Helfert (2000:115) menyatakan :
“The debt to equity ratio is an attempt to show, in another format, the
relative proportions of all lender’s claims to ownership claims, and it is
used as a measure of debt exposure.”
Artinya bahwa DER adalah satu usaha untuk menunjukkan, format lain, ukuran
relatif dari semua klaim-klaim pemberi pinjaman kepada para pemilik, dan itu
digunakan sebagai satu ukuran dari pengunjukan hutang. Kemudian menurut Van
Horne (2002:131) pengertian DER adalah sebgai berikut :
“The debt to equity ratio is computed by simply dividing the total debt of
the firm (including current liabilities) by its shareholder’s equity”
Artinya bahwa DER dihitung dengan cara membagi total hutang (termasuk
kewajiban lancar) dengan kekayaan pemegang sahamnya. Hal ini akan
mengakibatkan terjadinya:
1. Para kreditur akan melihat modal sendiri perusahaan atau dana yang
disediakan pemilik untuk menentukan besarnya margin pengaman.
2. Dengan mencari dana yang berasal dari hutang pemilik memperoleh manfaat
mempertahankan kendali perusahaan dengan investasi terbatas.
3. Jika perusahaan memperoleh hasil yang lebih besar daripada dana yang
dipinjam, maka hasil pengembalian untuk para pemilik akan meningkat.
Menurut Agnes Sawir (2003:13), rasio ini dapat dicari dengan
menggunakan rumus :
Debt to Equity Ratio (DER) =
Total Debt
100%
Total Equity
Rasio ini dapat melihat seberapa jauh perusahaan dibiayai oleh pihak luar
dengan kemampuan perusahaan yang digambarkan oleh modal. Apabila
perusahaan menetapkan bahwa pelunasan hutangnya akan diambil dari laba
ditahan, berarti perusahaan harus menahan sebagian besar dari pendapatannya
untuk keperluan tersebut. Sehingga hanya sebagian kecil saja dari pendapatan
yang dibayarkan oleh dividen.
Para pemberi pinjaman, menginginkan rasio ini semakin rendah. Semakin
rendah rasio ini, semakin tinggi tingkat pendanaan perusahaan yang disediakan
oleh pemegang saham dan semakin besar batas pengaman pemberi pinjaman jika
terjadi penyusutan nilai aktiva atau kerugian. Hal ini seperti yang dikatakan oleh
Gibson (2001:326), yaitu :
”The debt to equity ratio also helpsdetermine how well creditors
protected in case of insolvency of the company.”
Artinya bahwa bagi investor, semakin tinggi rasio ini, maka semakin tinggi
risiko yang akan dihadapi. Bagi investor yang tidak suka untuk mengambil risiko,
maka mereka akan menghindari untuk menanamkan modalnya pada perusahaan
yang memiliki DER yang tinggi. Hal ini akan berpengaruh pada harga saham
perusahaan tersebut.
2.4.4
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal
Pemilihan bentuk sumber pembiayaan sangat berpengaruh terhadap
struktur modal perusahaan. Di samping itu, baik buruknya struktur modal akan
mempunyai pengaruh yang berakibat langsung terhadap posisi keuangan
perusahaan. Oleh karena itu, sebelum suatu perusahaan membuat kebijakankebijakan yang berhubungan dengan struktur modal maka akan terlebih dahulu
perlu dianalisis hal-hal yang berpengaruh terhadap struktur modal itu sendiri.
Menurut Agus Sartono (2005:248) faktor-faktor yang mempengaruhi
struktur modal antara lain :
1.
Stabilitas Penjualan
Perusahaan dengan penjualan yang relatif stabil dapat menggunakan hutang
yang lebih besar daripada perusahaan dengan penjualan yang tidak stabil.
Perusahaan jasa umumnya memiliki penjualan yang relatif stabil sehingga
dapat menggunakan leverage yang lebih besar dari pada perusahaan
manufaktur.
2.
Struktur aktiva
Perusahaan yang sebagian besar aktivanya berupa biaya tetap biasanya akan
memenuhi kebutuhan danaanya dengan hutang jangka panjang. Sebaliknya,
perusahaan yang sebagian besar aktivanya berupa aktiva lancar biasanya
akan memenuhi kebutuhan dana dengan hutang jangka pendek. Perusahaan
dengan struktur aktiva yang fleksibel cenderung menggunakan leverage lebih
besar dari pada perusahaan yang struktur aktivanya tidak fleksible.
3.
Leverage Operasi
Perusahhan dengan leverage operasi yang lebih kecil lebih mampu untuk
memperbesar leverage keuntungan, karena interaksi leverage operasi dan
keuanganlah yang mempengaruhi penurunan penjualan terhadap laba
operasi.
4.
Tingkat Pertumbuhan
Perusahaan yang memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi cenderung lebih
banyak menggunakan sumber dana dari luar (misalnya obligasi) daripada
perusahaan yang lambat pertumbuhannya. Alasan menggunakan obligasi
karena biaya emisi saham biasanya lebih mahal jika dibandingkan dengan
biaya pengeluaran obligasi.
5.
Profitabilitas
Perusahaan yang memiliki rasio profitabilitas yang tinggi (tingkat
pengembalian investasi yang tinggi) umunya menggunakan hutang dalam
jumlah yang relatif sedikit. Tingkat pengembalian investasi yang tinggi
memungkinkan perusahaan untuk menyediakan dana yang cukup melalui
laba ditahan.
6.
Pajak
Bunga yang dibayarkan kepada kreditur merupakan pengurang pajak sebagai
akibat dari penggunaan hutang. Oleh karena itu, semakin tinggi pajak
perusahaan, semakin besar perusahaan menggunakan leverage.
7.
Pengendalian
Pemilik perusahaan yang tidak ingin kehilangan kendali atas perusahaan
mungkin
akan memilih menggunakan
hutang.
Apabila
perusahaan
menerbitkan saham baru maka proporsi kepemilikan pemegang saham yang
lama akan berkurang, kecuali pemilik dapat membeli saham baru tersebut
dengan proporsi yang sama. Masalahnya adalah kemungkinan pemegang
saham lama memang tidak mempunyai uang yang cukup, padahal
perusahaan memerlukan tambahan dana.
8.
Sikap manajemen akan berpengaruh dalam pengambilan keputusan mengenai
cara pemenuhan kebutuhan dana
Manajemen yang menyukai risiko cenderung menggunakan hutang yang
lebih besar. Sebaliknya, manajemen yang menghindari risiko cenderung
menggunakan hutang yang relatif sedikit.
9.
Sikap pemberi pinjaman dan perusahaan penilai kredibilitas
Pada umunya perusahaan akan membicarakan struktur permodalannya
dengan kreditur dan selalu memperhatikan pendapat mereka. Manajemen
berusaha mendapatkan hutang yang melebihi norma-norma untuk sektor
usahanya, tetapi kreditur akan enggan memenuhi permintaannya atau
mungkin akan dipenuhi dengan suku bunga yang tinggi. Semakin baik
persepsi para kreditur akan enggan memenuhi permintaannya atau mungkin
akan dipenuhi dengan suku bunga yang tinggi. Semakin baik persepsi para
kreditur terhadap perusahaan, semakin mudah perusahaan mendapatkan
hutang.
2.5 Kebijakan Dividen
2.5.1
Pengertian Dividen
Dividen adalah distribusi yang bisa berbentuk kas, aktiva lain, surat atau
bukti lain yang menyatakan utang perusahaan, dan saham, kepada pemegang
saham suatu perusahaan sebagai proporsi dari jumlah saham yang dimiliki oleh
pemilik.
Pengertian dividen menurut Brealy, Myers dan Marcus (2004 ; 143) adalah :
“Periodic cash distribution from the firm to its shareholders.”
Artinya bahwa distribusi laba tunai berkala dari perusahaan kepada para
pemegang sahamnya.
Menurut Hassel Nogi (2003 ; 20) :
“Dividen adalah bagian dari laba bersih yang dibagikan kepada
pemegang saham (pemilik modal sendiri, equity).”
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dividen merupakan bagian
dari laba bersih untuk dibagikan kepada para pemegang saham secara berkala.
Disatu pihak, setiap perusahaan selalu menginginkan adanya pertumbuhan
pendapatan bagi perusahaan dan dapat membayarkan dividen kepada pemegang
saham. Dilain pihak, kedua tujuan tersebut selalu bertentangan. Sebab seandainya
makin tinggi tingkat dividen yang dibayarkan, berarti semakin sedikit laba yang
akan ditahan, dan akibatnya menghambat tingkat pertumbuhan dalam pendapatan
dan harga sahamnya. Jika perusahaan ingin menahan sebagian besar
pendapatannya untuk tetap didalam perusahaan berarti bahwa sebagian dari
pendapatan yang tersedia untuk pembayaran dividen adalah semakin kecil.
Pembagian dividen dipengaruhi oleh banyak variabel, sebagai contoh
kebutuhan arus kas dan investasi perusahaan mungkin berubah-rubah dengan
cepat sehingga untuk menentukan jumlah dividen tetap yang tinggi. Dilain pihak,
perusahaan mungkin menginginkan pembayaran dividen yang tinggi untuk
menyalurkan dana yang dibutuhkan dalam investasi. Dalam kasus seperti ini
pimpinan perusahaan dapat menetapkan dividen yang tetap rendah sehingga
perusahaan akan dapat membayarkannya pada tahun-tahun dimana laba yang
diperoleh perusahaan rendah atau pada tahun-tahun diperlukannya dana yang
cukup besar untuk investasi.
Pada umumnya, kebanyakan perusahaan membayarkan dividen berupa
kas, seperti yang dikatakan oleh Brealy dan Myers (2003 ; 434) :
“Most companies pay a regural cash dividend each quarter.”
Artinya bahwa kebanyakan perusahaan membayar dividen dalam bentuk kas
setiap kuartal.
Demikian juga yang diungkapkan oleh Narayaman (2004 ; 115) :
“The commonest types of dividend are cash dividends paid regurally at
quaterly or semianual interval.”
Artinya bahwa jenis dividen yang paling umum adalah dividen kas yang
dibayarkan secara regular dalam kuartal atau setiap semester.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dividen merupakan
bagian dari laba bersih yang berasal dari aliran kas untuk dibagikan kepada para
pemegang saham yang memberikan informasi tentang kinerja perusahaan saat ini
dan akan datang. Pengertian kebijakan dividen menurut Martono DU dan Agus
Harjito (2007: 253) :
”Kebijakan dividen (dividend Policy) merupakan keputusan apakah
laba yang diperoleh perusahaan pada akhir tahun akan dibagikan
kepada pemegang saham dalam bentuk dividen atau akan ditahan
untuk menambah modal guna pembiayaan investasi di masa yang
akan datang.”
Dengan demikian dapat disimpulkan kebijakan dividen adalah kebijakan
yang mengatur berapa bagian laba bersih yang akan dibagikan sebagai dividen
kepada para pemegang saham dan berapa bagian laba bersih yang akan digunakan
untuk membiayai investasi perusahaan.
2.5.2
Tujuan Pembayaran Dividen
Dalam pembayaran dividen, perusahaan dapat menggunakan bentuk-bentuk
tertentu pembayaran dividen. Dividen dapat dibayarkan dalam bentuk dividen
tunai (cash dividend), dividen dalam bentuk aktiva yang lain (property dividend),
dividen dalam bentuk surat utang (notes), ataupun dividen dalam bentuk saham
(stock dividend). Menurut R. Agus Sartono (2001:283) tujuan dari pembagian
dividen sebagai berikut:
1.
Untuk memaksimumkan kemakmuran bagi para pemegang saham, karena
tingginya dividen yang dibayarkan akan mempengaruhi harga saham.
2.
Untuk menunjukkan likuiditas perusahaan. Dengan dibayarkannya dividen,
diharapkan kinerja perusahaan dimata investor bagus dan dapat diakui bahwa
perusahaan mampu menghadapi gejolak ekonomi dan mampu memberikan
hasil kepada investor.
3.
Sebagian investor memandang bahwa risiko dividen adalah lebih rendah
dibanding resiko capital gain.
4.
Untuk memenuhi kebutuhan para pemegang saham akan pendapatan tetap
yang digunakan untuk keperluan konsumsi.
5.
Dividen dapat digunakan sebagai alat komunikasi antara manajer dan
pemegang saham.
Adapun tujuan utama seorang investor dalam menanamkan dananya yaitu
untuk memperoleh pendapatan (return) yang dapat berupa pendapatan dividen
(dividend yield) maupun pendapatan dari selisih harga jual saham terhadap harga
belinya
(capital gain). Dalam kaitannya dengan pendapatan dividen, para
investor pada umumnya menginginkan pembagian dividen yang relatif stabil.
Stabilitas dividen akan meningkatkan kepercayaan investor terhadap perusahaan.
Karena akan mengurangi ketidakpastian investor dalam menanamkan dananya.
Keputusan untuk menentukan berapa banyak dividen yang harus dibagikan
kepada para investor disebut kebijakan dividen (dividend policy). Di sisi lain
perusahaan di hadapkan dalam berbagai macam kebijakan, antara lain : perlunya
menahan sebagian laba untuk re-investasi yang mungkin lebih menguntungkan,
kebutuhan dana perusahaan, likuiditas perusahaan, sifat pemegang saham, target
tertentu yang berhubungan dengan rasio pembayaran dividen dan faktor lain yang
berhubungan dengan kebijakan dividen.
2.5.3
Beberapa Jenis Kebijakan Dividen
Kebijakan dividen adalah berhubungan dengan keputusan apakah laba
yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai
dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi
dimasa datang. Atas dasar teori tentang kebijakan dividen di atas, menurut
Gitman (2006: 602-603) bentuk kebijakan dividen diantaranya :
1. Kebijakan Dividen Rasio Pembayaran Konstan (Constant Payout Ratio
Dividend Policy)
Merupakan kebijakan dividen yang didasarkan pembayaran dividen dalam
persentase tertentu dari pendapatan yang dibayarkan kepada pemilik setiap
periode pembagian dividen.
2. Kebijakan Divien yang teratur (Reguler Dividend Policy)
Merupakan kebijakan dividen yang didasarkan atas pembayaran dividen
dengan jumlah uang yang tetap dalam setiap periode.
3. Kebijakan dividen rendah yang teratur dan ditambah ekstra (Low- Regularand- Extra Dividend Policy)
Merupakan kebijakan dividend yang didasarkan pembayaran dividend rendah
yang teratur, penambahan dividen jika pendapatan lebih tinggi dari normal
pada periode pembayaran dividen.
2.5.4 Teori Kebijakan Dividen
Kebijakan dividen (dividend policy) adalah suatu keputusan untuk
menentukan berapa besar bagian dari pendapatan perusahaan akan dibagikan
kepada para pemegang saham dan akan diinvestasikan kembali (reinvesment)
atau ditahan (retained) didalam perusahaan.
Pengertian kebijakan dividen menurut R. Agus Sartono (2001 ; 281)
“Kebijakan dividen adalah keputusan apakah laba yang diperoleh
perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen
atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan
investasi dimasa datang.”
Menurut Bambang Riyanto (2001 ; 265) :
“Kebijakan dividen adalah bersangkutan dengan penentuan
pembagian pendapatan (earning) antara penggunaan pendapatan
untuk dibayarkan kepada pemegang saham sebagai dividen atau
digunakan didalam perusahaan, yang berarti pendapatan tersebut
harus ditahan di dalam perusahaan.”
Kedua alasan tersebut merupakan dua sisi kepentingan yang agak
kontroversial. Sehingga manajemen perusahaan harus memutuskan secara hatihati dan teliti terhadap kebijakan dividen yang akan dipilih.
Ada beberapa teori yang digunakan sebagai landasan dalam menentukan
kebijakan dividen untuk perusahaan.
Sehingga dapat dijadikan pemahaman
mengapa suatu perusahaan mengambil kebijakan dividen tertentu. Menurut R.
Agus Sartono (2001; 282) teori –teori tersebut sebagai berikut:
1. Dividend irrelevance theory
Teori yang dianjurkan oleh Modigliani-Miller (MM) ini menyatakan bahwa
kebijakan dividen tidak mempunyai pengaruh, baik terhadap harga saham
maupun biaya modalnya atau
sebenarya tidak relevan.
2. Bird-in-the-hand theory
dapat dikatakan bahwa kebijakan dividen
Teori ini dikemukakan oleh Myron Gordon dan John Linther yang
menyatakan bahwa biaya modal sendiri akan naik jika Dividend Payout Ratio
(DPR) rendah. Hal ini dikarenakan investor lebih suka menerima dividen
daripada capital gain.
3. Tax preference theory
Adalah suatu teori yang menyatakan bahwa karena adanya pajak terhadap
keuntungan dividen dan capital gains maka para investor lebih menyukai
capital gains karena dapat menunda pembayaran pajak.
Kebijakan dan keputusan dividen pada hakekatnya akan menentukan porsi
keuntungan yang akan dibagikan kepada pemegang saham dan seberapa banyak
yang ditahan sebagai
retained earning (Sarnat,1990). Perbandingan antara
dividen dan keuntungan merupakan rasio pembayaran dividend (Dividend Payout
Ratio) atau persentase dari pendapatan yang akan dibayarkan kepada pemegang
saham sebagai
cash dividend. Semakin tinggi tingkat dividen yang akan
dibayarkan berarti semakin sedikit laba yang dapat ditahan (retained earning).
Dalam
keputusan
pembagian
dividen,
perusahaan
harus
mempertimbangkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaannya. Laba
yang diperoleh perusahaan pada umumnya tidak dibagikan seluruhnya sebagai
dividen karena sebagian disisihkan untuk diinvestasikan kembali atau sebagian
ditahan dalam retained earning. Besar kecilnya dividen yang di bayarkan kepada
pemegang saham tergantung pada kebijakan dividen masing-masing perusahaan
sehingga pertimbangan manajemen sangat diperlukan.
2.5.5
Mengukur Tingkat Pembayaran Dividen/Dividend Payout Ratio
Dividend Payout Ratio adalah perbandingan antara dividen yang
dibayarkan dengan laba bersih yang didapat dan biasanya disajikan dalam bentuk
persentase. Semakin tinggi Dividen Payout Ratio akan menguntungkan para
investor tetapi dari pihak perusahaan akan memperlemah internal financial karena
memperkecil laba ditahan, tetapi sebaliknya Dividen Payout Ratio semakin kecil
akan merugikan para pemegang saham (investor) tetapi internal financial
perusahaan semakin kuat.
Dividend Payout Ratio menurut R. Agus Sartono (2001 ; 73) adalah :
“Persentase laba yang dibayarkan dalam bentuk dividen, atau rasio
antara laba yang dibayarkan dalam bentuk dividen dengan total laba
yang tersedia bagi pemegang saham.”
Menurut Keown, Martin, Petty dan Scott (2001 ; 45)
“Dividend Payout Ratio indicates the amount of dividends paid relative
to the companies earnings.”
Artinya bahwa DPR mengindikasi adanya jumlah dari dividen-dividen yang
dibayar sehubungan dengan pendapatan perusahaan.
Sedangkan menurut Ross, Westerfield, Jordan (2000 ; 94) bahwa
Dividend Payout Ratio adalah :
“The amount of cash paid out to shareholders divided by net income.”
Artinya bahwa jumlah dari pendapatan tunai yang sampai kepada pemegang
saham yang dibagi oleh pendapatan netto.
Dan menurut Gibson (2001 ; 321) adalah :
“The Dividend Payout Ratio measures the proportion of current earning
per common share being paid out in dividends.”
Artinya bahwa Dividend Payout Ratio mengukur proporsi pendapatan per lembar
saham biasa yang sedang dikeluarkan di dalam dividen-dividen.
Dari pengertian tersebut Dividend Payout Ratio dapat diformulasikan menjadi :
Dividend Payout Ratio
Dimana :
DPS
100 %
EPS
DPS = Dividend Per Share
EPS = Earning Per Share
2.5.6 Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kebijakan Dividen.
Dalam
menentukan
kebijakan
dividen,
perusahaan
harus
mempertimbangkan sejumlah hal atau faktor-faktor yang mempengaruhi
kebijakan dividen. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen menurut
Ridwan S Sundjaja dan Inge barlian (2003:387-390) :
1.
Peraturan hukum
a.
Peraturan mengenai laba bersih menentukan bahwa dividen dapat
dibayar dari laba tahun-tahun yang lalu dan laba tahun berjalan.
b.
Peraturan mengenai tindakan yang merugikan modal. Melindungi para
direktur, dengan melarang pembayaran dividen yang berasal dari modal
(membagikan investasinya dan bukan membagikan dividen).
c.
Peraturan mengenai tak mampu bayar. Perusahaan boleh tidak
membayar dividen jika tidak mampu (bangkrut).
2.
Posisi likuiditas
Laba ditahan biasanya diinvestasikan dalam bentuk aktiva yang diperlukan
untuk menjalankan usaha. Laba ditahan dari tahun-tahun terdahulu sudah
diinvestasikan dalam bentuk mesin dan peralatan, persediaan, dan barangbarang lainnya, bukan disimpan dalam bentuk uang tunai, Oleh karena itu
sesuatu perusahaan yang keuntungannya luar biasa mungkin saja tidak dapat
membayar dividen karena keadaan likuiditasnya. Memang perusahaan yang
sedang tumbuh biasanya betul-betul kekurangan dana. Dalam situasi seperti
ini mungkin perusahaan memutuskan untuk tidak membayar dividen dalam
bentuk tunai.
3.
Membayar Pinjaman
Jika perusahaan telah membuat pinjaman untuk memperluas usahanya atau
untuk pembiayaan lainnya maka ia dapat melunasi pinjamannya pada saat
jatuh tempo atau ia dapat menyisihkan cadangan-cadangan untuk melunasi
pinjaman itu nantinya. Jika diputuskan bahwa pinjaman itu akan dilunasi ,
maka biasanya harus ada laba ditahan
4.
Kontrak Pinjaman
Kontrak pinjaman apabila jika menyangkut pinjaman jangka panjang,
seringkali membatasi kemampuan perusahaan untuk membayar dividen
tunai. Pembatasan-pembatasan yang dimaksudkan untuk melindungi para
kreditur yaitu :
a
Dividen yang akan datang hanya boleh dibayar dari keuntungan yang
diperoleh sesudah ditandatanganinya kontrak pinjaman (artinya tidak
boleh dibayarkan dari laba tahun lalu yang ditahan).
b
Dividen tidak boleh dibayarkan jika modal kerja bersih jumlahnya lebih
kecil dari suatu jumlah tertentu. Begitu pula persetujuan mengenai
saham preferen biasanya menyatakan bahwa dividen atas saham
preferen selesai dibayar.
5.
Pengembaliaan Aktiva
Semakin cepat pertumbuhan perusahaan, semakin besar kebutuhannya untuk
membiayai pengembangan aktiva perusahaan. Semakin banyak dana yang
dibutuhkan di kemudiaan hari, semakin banyak laba yang harus ditahan dan
tidak dibayarkan. Apabila ingin menambah modal dari luar maka sumber
alami yang tersedia adalah para pemegang saham sekarang yang sudah
mengenal perusahaan. Jika keuntungannya dibayarkan kepada mereka
sebagai dividen dan terkena tarif pajak perorangan yang tinggi, maka hanya
sebagian saja yang dapat ditanam kembali.
6.
Tingkat Pengembalian
Tingkat pengembaliaan atas asset menentukan pembagiaan laba dalam
bentuk dividen yang dapat digunakan oleh pemegang saham baik ditanamkan
kembali di dalam perusahaan maupun di tempat lain.
7.
Stabilitas Keuntungan
Perusahaan
yang
keuntungannya
relatif
teratur
seringkali
dapat
memperkirakan bagaimana keuntungan di kemudiaan hari. Maka perusahaan
seperti itu kemungkinan besar akan membagikan keuntungannya dalam
bentuk dividen dengan persentasi yang lebih besar dibandingkan dengan
perusahaan yang keuntungannya berfluktuasi.
8.
Pasar modal
Perusahaan besar yang sudah mantap, dengan profitabilitas yang tinggi dan
keuntungan yang teratur, dengan mudah dapat masuk ke pasar modal atau
memperoleh
macam-macam
dana
dari
luar
untuk
pembiayaannya.
Perusahaan yang sudah mantap akan mempunyai tingkat dividen yang lebih
tinggi dibandingkan dengan perusahaan kecil atau yang masih baru.
9.
Kendali Perusahaan
Jika perusahaan hanya memperkuat usahanya dari pembiayaan intern maka
pembayaran dividen akan berkurang. Kebijakan ini dijalankan atas
pertimbangan bahwa menambah modal dengan menjual saham biasa akan
mengurangi pengendalian atas perusahaan itu oleh golongan pemegang
saham yang kini sedang berkuasa. Selain itu penjualan saham tambahan akan
memperbesar resiko berfluktuasinya keuntungan bagi para pemegang saham.
10. Keputusan kebijakan dividen
Hampir semua perusahaan ingin mempertahankan dividen per saham pada
tingkat yang konstan. Tetapi naiknya dividen selalu terlambat dibandingkan
dengan naiknya keuntungan. Artinya dividen itu baru akan dinaikkan jika
sudah jelas bahwa meningkatnya keuntungan itu benar-benar mantap dan
nampak cukup permanen. Sekali dividen sudah naik, maka segala daya dan
upaya akan dikerahkan. Jika keuntungannya kemudian menurun.
Menurut Sutrisno (2001 ; 304 – 305), faktor-faktor yang mempengaruhi
besar kecilnya dividen yang akan dibayarkan oleh perusahaan kepada pemegang
saham antara lain adalah :
1. Posisi Solvabilitas Perusahaan
Apabila perusahaan dalam kondisi insolvensi atau solvabilitasnya kurang
menguntungkan, biasanya perusahaan tidak membagikan laba. Hal ini
disebabkan laba yang diperoleh lebih banyak digunakan untuk memperbaiki
posisi struktur modalnya.
2. Posisi Likuiditas Perusahaan
Bagi perusahaan yang kondisi likuiditasnya kurang baik, biasanya dividend
payout rationya kecil, sebab sebagian besar laba yang digunakan untuk
menambah likuiditas. Namun perusahaan yang sudah mapan dengan likuiditas
yang baik cenderung memberikan dividen yang lebih besar.
3. Kebutuhan untuk melunasi hutang
Salah satu sumber dana perusahaan adalah dari kreditor berupa hutang baik
jangka pendek maupun jangka panjang. Semakin banyak hutang yang harus
dibayar semakin besar dana yang harus disediakan sehingga mengurangi
jumlah dividen yang akan dibayarkan kepada pemegang saham. Disamping itu
dengan jatuh temponya hutang, berarti dana hutang tersebut harus diganti.
Alternatif mengganti dan hutang bisa dengan mencari hutang baru, dan juga
bisa dengan sumber dana intern dengan cara memperbesar laba ditahan. Hal
ini tentunya akan memperkecil dividend payout ratio.
4. Rencana perluasan
Perusahaan yang berkembang ditandai dengan semakin pesatnya pertumbuhan
perusahaan, dan hal ini bisa dilihat dari perluasan yang dilakukan oleh
perusahaan. Semakin pesat pertumbuhan perusahaan, juga semakin pesat
perluasan yang dilakukan. Konsekuensinya semakin besar dana yang
dibutuhkan untuk membiayai perluasan tersebut. Kebutuhan dana dalam
rangka ekspansi tersebut bisa dipenuhi baik dari hutang, menambah modal
sendiri yang berasal dari pemilik, dan salah satunya juga bisa diperoleh dari
internal resources berupa memperbesar laba ditahan. Dengan demikian
semakin pesat perluasan yang dilakukan perusahaan semakin kecil dividend
payout rationya.
5. Kesempatan investasi
Kesempatan investasi juga merupakan faktor yang mempengaruhi besarnya
dividen yang akan dibagikan. Semakin terbuka kesempatan investasi semakin
kecil dividen yang dibayarkan sebab dananya digunakan untuk memperoleh
kesempatan investasi. Namun bila kesempatan investasi kurang baik, maka
dananya lebih banyak akan digunakan untuk membayar dividen.
6. Stabilitas pendapatan
Bagi perusahaan yang pendapatannya kurang stabil, dividen yang akan
dibayarkan kepada pemegang saham lebih besar dibanding dengan perusahaan
yang pendapatannya tidak stabil. Perusahaan yang pendapatannya stabil tidak
perlu menyediakan kas yang banyak untuk berjaga-jaga, sedangkan
perusahaan yang pendapatannya tidak stabil harus menyediakan uang kas yang
cukup besar untuk berjaga-jaga.
7. Pengawasan terhadap perusahaan
Kadang-kadang pemilik tidak mau kehilangan kendali terhadap perusahaan.
Apabila perusahaan mencari sumber dana dari modal sendiri, kemungkinan
akan masuk investor baru dan tentunya akan mengurangi kekuasaan pemilik
lama dalam mengendalikan perusahaan. Jika dibelanjai dari hutang risikonya
cukup besar. Oleh karena itu perusahaan cenderung tidak membagi dividennya
agar pengendalian tetap berada ditangannya
2.6
Struktur Kepemilikan (Ownership Structure)
2.6.1 Pengertian Struktur Kepemilikan (Ownership Structure)
Struktur kepemilikan dapat dijelaskan dari dua sudut pandang, yaitu
pendekatan keagenan dan pendekatan informasi asimetri. Menurut pendekatan
keagenan, struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi
konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Pendekatan
ketidakseimbangan informasi memandang mekanisme struktur kepemilikan
sebagai suatu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insiders
dan
outsiders
melalui
pengungkapan
informasi
di
dalam
pasar
modal.(www.kesimpulan.com)
Para peneliti berpendapat bahwa struktur kepemilikan perusahaan
memiliki pengaruh terhadap perusahaan. Tujuan perusahaan sangat ditentukan
oleh struktur kepemilikan, motivasi pemilik dan kreditur corporate governance
dalam proses insentif yang membentuk motivasi manajer. Pemilik akan berusaha
membuat berbagai strategi untuk mencapai tujuan perusahaan, setelah strategi
ditentukan maka langkah selanjutnya akan mengimplementasi strategi dan
mengalokasikan sumber daya yang dimiliki perusahaan untuk mencapai tujuan
perusahaan. Kesemua tahapan tersebut tidak terlepas dari peran pemilik dapat
dikatakan
bahwa
peran
pemilik
sangat
penting
dalam
menentukan
keberlangsungan perusahaan. Menurut Jensen and Meckling (1976) struktur
kepemilikan dibedakan menjadi tiga yaitu :
1. Kepemilikan Manajerial
Para pemegang saham yang mempunyai kedudukan di manajemen
perusahaan baik sebagai kreditur maupun sebagai dewan komisaris disebut
sebagai kepemilikan manajerial (managerial ownership). Adanya kepemilikan
saham oleh pihak manajemen akan menimbulkan suatu pengawasan terhadap
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh manajemen perusahaan. Kepemilikan
manajerial juga dapat diartikan sebagai persentase saham yang dimiliki oleh
manajer dan direktur perusahaan pada akhir tahun untuk masing-masing periode
pengamatan.
Masalah teknis tidak akan timbul jika kepemilikan dan pengelolaan
perusahaan tidak dijalankan secara terpisah. Pemilik (pemegang saham) bertujuan
untuk memaksimumkan kekayaannya dengan melihat nilai sekarang dari arus kas
yang dihasilkan oleh investasi perusahaan sedangkan manajer bertujuan pada
peningkatan pertumbuhan dan ukuran perusahaan. Tujuan manajer ini dilandasi
oleh dua alasan, yaitu :
a. Pertumbuhan yang meningkat akan memberikan peluang bagi manajer bawah
dan menengah untuk dipromosikan. Selain itu, manajer dapat membuktikan
diri sebagai karyawan yang produktif sehingga dapat diperoleh penghargaan
lebih dari wewenang untuk menentukan pengeluaran (biaya-biaya),
b. Ukuran perusahaan yang semakin besar memberikan keamanan pekerjaan atau
mengurangi kemungkinan lay-off dan kompensasi yang semakin besar.
Semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan, maka
manajemen cenderung berusaha lebih giat untuk kepentingan pemegang
saham yang tidak lain adalah dirinya sendiri.
Kepemilikan saham manajerial akan membantu penyatuan kepentingan
antar manajer dengan pemegang saham. Kepemilikan manajerial akan
mensejajarkan kepentingan manajemen dengan pemegang saham, sehingga
manajer ikut merasakan secara langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan
ikut pula menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan
yang salah. Argumen tersebut mengindikasikan mengenai pentingnya kepemilikan
manajerial dalam struktur kepemilikan perusahaan.
Namun, tingkat kepemilikan manajerial yang terlalu tinggi juga dapat
berdampak buruk terhadap perusahaan. Dengan kepemilikan manajerial yang
tinggi, manajer mempunyai hak voting yang tinggi sehingga manajer mempunyai
posisi yang kuat untuk mengendalikan perusahaan, hal ini dapat menimbulkan
masalah pertahanan, dalam artian, adanya kesulitan bagi para pemegang saham
eksternal untuk mengendalikan tindakan manajer.
Agency problem bisa dikurangi bila manajer mempunyai kepemilikan
saham dalam perusahaan, semakin meningkat proporsi kepemilikan saham
manajerial maka akan baik kinerja perusahaan. Kepemilikan saham yang besar
dari segi ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor. Secara teoritis ketika
kepemilikan manajerial rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya
oportunistik manajemen akan meningkat. Kepemilikan manajerial terhadap saham
perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara
pemegang saham luar dengan manajemen. Sehingga permasalahan keagenan
diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer adalah juga sekaligus sebagai
seorang pemilik.
Kepemilikan
manajerial
berhasil
menjadi
mekanisme
corporate
governance yang dapat mengurangi konflik kepentingan antara manajer dan
berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan. Semakin besar
kepemilikan saham manajerial dapat mencegah tindakan opportunistik manajer.
Hubungan antara kepemilikan manajerial dengan discretionary accruals. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif antara kepemilikan
manajerial dengan discretionary accruals.
Penelitian yang menguji hubungan kepemilikan manajerial dengan
discretionary accrual dan kandungan informasi laba menemukan bukti bahwa
kepemilikan manajerial berhubungan secara negatif dengan discretionary accrual.
Hasil penelitian tersebut juga manyatakan bahwa kualitas laba meningkat karena
kepemilikan manajerial tinggi.
2. Kepemilikan Institusional
Kepemilikan suatu perusahaan dapat terdiri atas kepemilikan institusional
maupun kepemilikan individual. Atau campuran keduanya dengan proporsi
tertentu. Investor institusional memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan
investor individual, diantaranya yaitu:
a. Investor institusional memiliki sumber daya yang lebih daripada investor
individual untuk mendapatkan informasi.
b. Investor institusional memiliki profesionalisme dalam menganalisa informasi,
sehingga dapat menguji tingkat keandalan informasi.
c. Investor institusional, secara umum, memiliki realisasi bisnis yang lebih kuat
dengan manajemen.
d. Investor institusional memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan
pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.
e. Investor institusional lebih aktif dalam melakukan jual beli saham sehingga
dapat meningkatkan jumlah informasi secara cepat yang tercermin di tingkat
harga.
Adanya pemegang saham seperti institusional ownership memiliki arti
penting dalam memonitor manajemen. Adanya kepemilikan oleh institusional
seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan-perusahaan investasi dan
kepemilikan oleh institusi-institusi lain akan mendorong peningkatan pengawasan
yang lebih optimal. Mekanisme monitoring tersebut akan menjamin peningkatan
kemakmuran pemegang saham. Signifikasi institusional ownership sebagai agen
pengawas ditekankan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar
modal. Apabila institusional merasa tidak puas atas kinerja manajerial, maka
mereka akan menjual sahamnya ke pasar.
Perubahan perilaku institusional ownership dari pasif menjadi aktif dapat
meningkatkan akuntabilitas manajerial sehingga manajer akan bertindak lebih
hati-hati dalam pengambilan keputusan. Meningkatnya aktivitas institusional
ownership dalam melakukan monitoring disebabkan oleh kenyataan bahwa
adanya kepemilikan saham yang signifikan oleh institusional ownership telah
meningkatkan kemampuan mereka untuk bertindak secara kolektif. Dalam waktu
yang sama, biaya untuk keluar dari investasi yang mereka lakukan menjadi
semakin mahal karena adanya resiko saham akan terjual pada harga diskon.
Kondisi ini akan memotivasi institusional ownership untuk lebih serius dalam
mengawasi maupun mengoreksi semua perilaku manajer dan memperpanjang
jangka waktu investasi.
Mekanisme pengawasan dapat dilakukan dengan menempatkan dewan ahli
yang tidak dibiayai perusahaan sehingga posisinya tidak berada dibawah
pengawasan manajer. Dengan demikian, dewan ahli dapat menjalankan fungsinya
secara efektif untuk mengontrol semua tindakan manajer.
Pengawasan lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara memberikan
masukan-masukan sebagai bahan pertimbangan bagi manajer dalam menjalankan
usaha dan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Semakin besar
prosentase saham yang dimiliki oleh institusional ownership akan menyebabkan
pengawasan yang dilakukan menjadi lebih efektif karena dapat mengendalikan
perilaku oportunistik manajer dan mengurangi agency cost.
Dengan adanya beberapa kelebihan yang dimiliki, investor institusional
diduga lebih mampu untuk mencegah terjadinya manajemen laba, dibanding
dengan investor individual. Investor institusional dianggap lebih professional
dalam mengendalikan portofolio investasinya, sehingga lebih kecil kemungkinan
mendapatkan informasi keuangan yang terdistorsi, karena mereka memiliki
tingkat pengawasan yang tinggi untuk menghindari terjadinya tindakan
manajemen laba. Secara singkat dapat dikatakan institusional dengan manajemen
laba mempunyai hubungan negatif dimana semakin besar persentase saham yang
dimiliki oleh korporasi maka semakin kecil kemungkinan terjadi manajemen laba.
3. Kepemilikan Publik
Struktur
Kepemilikan
(Ownership
Structure)
adalah
komposisi
kepemilikan dalam perusahaan yang mempengaruhi kinerja perusahaan.
Kemudian salah satu kepemilikan di perusahaan adalah kepemilikan publik
dimana merupakan porsi saham beredar (outstanding share) yang dimiliki
masyarakat atau publik domestik (degree of public ownership).
Anderson (2002) mengatakan bahwa perusahaan yang dikendalikan oleh
keluarga mempunyai struktur yang menyebabkan berkurangnya konflik agensi
antara pemegang saham dan kreditur, dimana kreditur menganggap kepemilikan
keluarga lebih melindungi kepentingan kreditur. Anderson & Reeb (2002)
menunjukkan bahwa pemegang saham minoritas justru diuntungkan dari adanya
kepemilikan keluarga. Arifin (2003) menunjukkan bahwa perusahaan publik di
Indonesia yang dikendalikan keluarga atau negara atau institusi keuangan masalah
agensinya lebih baik jika dibandingkan perusahaan yang dikontrol oleh publik
atau tanpa pengendali utama. Menurutnya dalam perusahaan yang dikendalikan
keluarga masalah agensinya lebih kecil karena berkurangnya konflik antara
principal dan agent. Jika kepemilikan keluarga lebih efisien, maka pada
perusahaan dengan kepemilikan keluarga yang tinggi pengelolaan laba yang
oportunis dapat dibatasi. Tetapi pengendalian yang lebih efisien dalam
kepemilikan keluarga tersebut besar kemungkinan tidak berlaku di perusahaan
konglomerasi seperti yang banyak terdapat di Indonesia.
Struktur Kepemilikan akan mempengaruhi perilaku dan performansi
perusahaan (Pierce, 2003). Menurut Villalonga dan Amit (2004), kepemilikan
keluarga akan menciptakan nilai serta memperbaiki kinerja perusahaannya jika
disertai beberapa bentuk kontrol dan manajemen keluarga tersebut.
Struktur Kepemilikan ini juga akan mempengaruhi perilaku perusahaan
karena adanya pergantian kepemimpinan sehingga akan merubah performansi
perusahaan. Lemmon dan Lins (2003), meneliti 800 perusahaan di negara-negara
Asia Timur. Mereka meneliti pengaruh struktur kepemilikan terhadap performansi
perusahaan. Kesimpulannya ialah bahwa perusahaan yang melakukan pemisahan
antara pemilik dan manajer lalu melakukan kontrol yang kuat cenderung memiliki
performansi perusahaan yang lebih jelek. Dengan demikian, struktur kepemilikan
perusahaan akan mempengaruhi keputusan keuangan yang terdiri dari keputusan
investasi, pendanaan dan kebijakan dividen.
2.6.2
Jenis-jenis Struktur Kepemilikan
Adanya agency problem dapat dipengaruhi oleh struktur kepemilikan
(kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional). Struktur kepemilikan oleh
beberapa peneliti dipercaya mampu mempengaruhi jalannya perusahaan yang
pada akhirnya berpengaruh pada kinerja perusahaan dalam mencapai tujuan
perusahaan yaitu maksimalisasi nilai perusahaan. Hal ini disebabkan oleh karena
adanya kontrol yang mereka miliki.
Struktur
kepemilikan
terbagi
dalam
beberapa
kategori.
Struktur
kepemilikan terkonsentrasi dan menyebar. Secara spesifik kategori struktur
kepemilikan meliputi kepemilikan oleh institusi domestik, institusi asing,
pemerintah, karyawan, dan individual domestik. Struktur kepemilikan yang
dibahas dalam penelitian ini adalah struktur kepemilikan perusahaan yang
menyebar dan terkonsentrasi. Proporsi kepemilikan diwakili oleh variabel dummy,
dimana nilai 1 untuk kepemilikan terkonsentrasi ( mayoritas) dan 0 untuk
kepemilikan menyebar.
Karakteristik kepemilikan dalam perusahaan sebagai berikut :
1. Kepemilikan menyebar (dispersed ownership). Ditemukan bahwa perusahaan
yang kepemilikannya lebih menyebar memberikan imbalan yang lebih besar
kepada pihak manajemen daripada perusahaan yang kepemilikannya lebih
terkonsentrasi (Gilberg dan Idson, 1995)
2. Kepemilikan terkonsentrasi (closely held). Dalam tipe kepemilikan seperti ini
timbul dua kelompok pemegang saham, yaitu controlling interest dan minority
interest (shareholders).
Adanya agency problem dapat dipengaruhi oleh struktur kepemilikan
(kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional). Struktur kepemilikan oleh
beberapa peneliti dipercaya mampu mempengaruhi jalannya perusahaan yang
pada akhirnya berpengaruh pada kinerja perusahaan dalam mencapai tujuan
perusahaan yaitu maksimalisasi nilai perusahaan. Hal ini disebabkan oleh karena
adanya kontrol yang mereka miliki. Dukungan empiris perihal faktor -faktor yang
mempengaruhi kinerja antara lain penelitian yang dilakukan oleh Suad Husnan
(2000) bahwa perusahaan yang kepemilikannya lebih menyebar memberikan
imbalan yang lebih besar kepada manajemen dibanding dengan perusahaan yang
kepemilikannya lebih terkonsentrasi.
2.6.3
Agency Theory
Kajian terhadap masalah kepemilikan perusahaan (ownership) dapat
dimulai dari pendekatan Agency Theory dan Signalling Theory. Kedua teori ini
membahas perilaku manusia yang memiliki keterbatasan rasional (bounded
rationality), mengutamakan kepentingan pribadi (self-interest) dan kecenderungan
menolak risiko (risk averse).
Teori keagenan (agency theory) menyatakan bahwa kinerja perusahaan
dipengaruhi oleh adanya konflik kepentingan antara agen (Manajemen) dengan
prinsipal (Pemilik/Investor) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk
mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya.
Konflik kepentingan antar agen dan prinsipal disebut sebagai masalah keagenan
(agency problem). Sedangkan, Teori Signaling (signalling theory) membahas
bagaimana seharusnya signal-signal keberhasilan atau kegagalan manajemen
(agen) disampaikan kepada pemilik (principal). Laporan tentang kinerja
perusahaan yang baik akan meningkatkan nilai perusahaan.
Sebagai pengelola perusahaan, manajer perusahaan tentu akan lebih
banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan
datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu manajer sudah
seharusnya selalu memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada
pemilik. Sinyal yang dapat diberikan oleh manajer yakni melalui pengungkapan
informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan hal
yang sangat penting bagi para pengguna eksternal terutama sekali karena
kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastiannya Ali
(2002). Adanya ketidakseimbangan penguasaan informasi ini akan memicu
munculnya kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information
asymmetry).
Manajer memiliki asimetri informasi terhadap pihak eksternal perusahaan
seperti investor dan kreditor. Asimetri informasi terjadi ketika manajer memiliki
informasi internal perusahaan yang relatif lebih banyak dan mengetahui informasi
tersebut relatif lebih cepat dibandingkan pihak eksternal. Kondisi ini memberikan
kesempatan kepada manajer untuk menggunakan informasi yang diketahuinya
untuk memanipulasi pelaporan keuangan sebagai usaha untuk memaksimalkan
kemakmurannya. Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di
dalam perusahaan dimana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau
mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki Ali ( 2002).
Menurut William R Scott (1967) informasi asimetri mempunyai dua tipe.
Tipe pertama, adverse selection. Pada tipe ini, pihak yang merasa memiliki
informasi lebih sedikit dibandingkan pihak lain tidak akan mau untuk melakukan
perjanjian dengan pihak lain tersebut apapun bentuknya, dan jika tetap melakukan
perjanjian, dia akan membatasi dengan kondisi yang sangat ketat dan biaya yang
sangat tinggi. Contohnya, adalah kemungkinan konflik yang terjadi antara orang
dalam (manajer) dengan orang luar (investor potensial). Berbagai cara dapat
dilakukan oleh manajer untuk memperoleh informasi lebih dibandingkan investor,
misalnya dengan menyembunyikan, menyamarkan, memanipulasi informasi yang
diberikan kepada investor. Akibatnya, investor tidak yakin terhadap kualitas
perusahaan, atau membeli saham perusahaan dengan harga sangat rendah. Contoh
lain dari informasi asimetri adalah ketika kreditor dan pemegang saham
minoritas
memiliki informasi yang lebih sedikit dibandingkan manajer dan
pemegang saham mayoritas.
Tipe kedua dari informasi asimetri adalah moral hazard. Moral hazard
terjadi ketika manajer melakukan tindakan tanpa sepengetahuan pemilik untuk
keuntungan pribadinya dan menurunkan kesejahteraan pemilik. Contohnya, pada
perusahaan yang relatif besar, dengan terpisahnya kepemilikan dan pengendalian
manajemen, maka sulit bagi pemegang saham dan kreditur untuk melihat sejauh
mana kinerja manajer sejalan dengan tujuan yang diinginkan pemegang saham,
manajer mungkin cenderung bekerja kurang
optimal. Moral hazard juga
menghambat operasi perusahaan secara efisien.
Kemudian Eisenhardt (1989) menggunakan tiga asumsi sifat dasar
manusia guna menjelaskan tentang teori agensi yaitu: (1) manusia pada umumnya
mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas
mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu
menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut
manajer sebagai manusia kemungkinan besar akan bertindak berdasarkan sifat
opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya Haris (2004).
Berdasarkan teori keagenan, laporan keuangan dipersiapkan oleh
manajemen sebagai pertanggung-jawaban stewardship mereka kepada prinsipal.
Dalam kapasitasnya sebagai pihak yang menyediakan informasi keuangan dan
secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, manajemen memiliki insentif
untuk melaporkan segala sesuatu yang dapat memaksimumkan utilitas dirinya.
Cara yang paling sering dilakukan adalah dengan merekayasa laba (earnings)
yang menjadi fokus utama perhatian pihak eksternal sesuai dengan motivasi yang
melatarbelakanginya.
2.7
Hubungan Keputusan Investasi, Struktur Modal dan Kebijakan
Dividen terhadap Struktur Kepemilikan.
2.7.1
Hubungan Keputusan Investasi dengan Struktur Modal.
Dalam menentukan pengambilan keputusan modal yang akan digunakan,
akan dapat memberikan pengaruh baik pengaruh positif maupun pengaruh
negative bagi perusahaan. Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan
dibutuhkan penentuan komposisi struktur modal yang ideal bagi perusahaan.
Struktur modal merupakan salah satu bagian penting dalam pengambilan
keputusan financial karena berhubungan dengan variable keputusan financial
lainnya.
Salah satu keputusan penting yang dihadapi oleh manajer keuangan dalam
kaitannya dengan kelangsungan operasi perusahaan adalah keputusan pendanaan
di dalam berinvestasi, yaitu suatu keputusan keuangan yang berkaitan dengan
komposisi hutang yang harus digunakan oleh perusahaan. Manajer harus mampu
menghimpun dana, baik yang bersumber dari dalam perusahaan maupun luar
perusahaan secara efisien, dalam arti keputusan pendanaan tersebut merupakan
keputusan pendanaan yang mampu meminimalkan biaya modal yang harus
ditanggung perusahaan (Saidi, 2002).
2.7.2
Hubungan Keputusan Investasi dengan Kebijakan Deviden.
Variabel indikator dari keputusan investasi adalah perkembangan investasi
perusahaan dari tahun ke tahun. Seperti yang dikemukakan dalam jurnalnya Tendi
Haruman (2008), dikatakan bahwa keputusan investasi mencakup pengalokasian
dana, baik dana yang berasal dari dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan
pada berbagai bentuk investasi. Menurut Sunaryah (2006:4) Investasi adalah
penanaman modal untuk satu atau lebih aktiva yang dimiliki dan biasanya
berjangka waktu lama dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa-masa
yang akan datang.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa investasi adalah suatu
komitmen atas dana yang dibuat untuk diinvestasikan pada satu atau lebih aktiva,
yang berjangka waktu lebih dari satu tahun dengan tujuan untuk mendapatkan
laba yang positif di masa akan datang. Keuntungan yang dibagikan itu dapat
berupa dividend dan capital gain. Hubungan antara investasi dengan deviden
adalah negatif dimana apabila investasi meningkat maka deviden yang dibagikan
akan menurun.
2.7.3
Hubungan Struktur Modal dengan Kebijakan Dividen.
Indikator struktur modal yaitu debt to equity ratio (DER) karena
mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya
yang ditunjukkan oleh beberapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk
membayar hutang. Seperti yang dikemukakan oleh Brealey, Myers and Marcus
(2007:458):
“financial leverage is usually measured by the ratio of long term debt to
total long term capital”.
Oleh karena itu semakin rendah DER akan semakin tinggi kemampuan
perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya. Semakin besar proporsi
hutang yang digunakan untuk struktur modal perusahaan maka akan semakin
besar pula jumlah kewajibannya. Peningkatan hutang pada gilirannya akan
mempengaruhi besar kecilnya laba bersih yang tersedia bagi pemegang saham
perusahaan termasuk dividen yang diterima, karena kewajiban tersebut lebih
diprioritaskan daripada pembagian dividen. Jika utang semakin tinggi maka
kemampuan perusahaan untuk membagi dividen akan semakin rendah, sehingga
DER mempunyai hubungan negative dengan dividen payout ratio, Sutrisno
(2001:1).
Penelitian terdahulu yang berhasil menemukan bukti bahwa terdapat
pengaruh negatif dan signifikan antara kebijakan hutang dan kebijakan dividen
antara lain Ismiyanti dan Hanafi (2003), Moh’d (1992) dan Jensen (1992) dalam
Wahidahwati (2002). Sedangkan peneliti yang berhasil menemukan bukti bahwa
pengaruh antara kebijakan dividen dan kebijakan hutang adalah positif dan
signifikan antara lain Emery dan Finnerty (1997:568) dalam Ismiyanti dan Hanafi
(2003), Miller dan Rock (1985) dalam Mahadwartha dan Hartono (2002).
2.7.4
Hubungan Keputusan Investasi dengan Struktur Kepemilikan
Struktur kepemilikan terbagi menjadi tiga, yaitu : (1) Kepemilikan
Institusional, (2) Kepemilikan Manajerial, (3) Kepemilikan Publik. Ketiga pihak
yang sama-sama memiliki kepentingan terhadap perusahaan ini tentunya akan
memiliki perbedaan pandangan dalam mengambil keputusan untuk mencapai
tujuannya untuk sama-sama meningkatkan kesejahteraan para pemegang saham.
Dalam jurnalnya, Tendi Haruman (2008:11) menemukan bahwa variabel
investasi berpengaruh terhadap managerial ownership dan institutional ownership
dengan arah hubungan positif.
2.7.5
Hubungan antara Struktur Modal dengan Struktur Kepemilikan
Istilah struktur kepemilikan digunakan untuk menunjukkan bahwa
variabel-variabel yang penting didalam struktur modal tidak hanya ditunjukkan
oleh jumlah hutang dan equity tetapi juga oleh prosentase kepemilikan oleh
manajer, institusional dan publik
Menurut Chen dan Steiner (1999), hutang memiliki hubungan kausal
terbalik dengan kepemilikan manajerial. Hubungan kausalitas ini menunjukkan
hubungan substitusi antara kebijakan hutang dengan kepemilikan manajerial
dalam mengurangi konflik keagenan. Penggunaan hutang tinggi meningkatkan
risiko kebangkrutan sehingga manajer mengurangi proporsi kepemilikan saham.
Pada kondisi ini diperlukan pembatasan terhadap penggunaan hutang untuk
mengurangi masalah keagenan antara stockholder dan bondholder. Menurut
Friend dan Lang (1988), Crutchley dan Hansen (1989) dan Jensen, Solberg dan
Zorn (1992) terdapat hubungan negatif antara kepemilikan manajerial dengan
kebijakan hutang.
Penelitian mengenai hubungan hutang dengan kepemilikan perusahaan
telah banyak dilakukan oleh banyak peneliti. Kim dan Sorensen (1986), Agrawal
dan Mendelker (1987) dan Mechran (1992), dalam Wahidahwati (2001),
menemukan hubungan positif antara rasio hutang dengan kepemilikan manajerial
perusahaan. Sedangkan penelitian Frend & Hasbrouk (1988), Jensen (1992)
dalam Wahidahwati (2001), menemukan hubungan negatif antara rasio hutang
perusahaan dengan prosentase saham yang dipegang oleh manajer. Demikian pula
penelitian Bathala (1994) dalam Wahidahwati (2001), menemukan bukti bahwa
investor institusional mempunyai pengaruh negatif terhadap rasio hutang dan
kepemilikan manajerial.
Penelitian tentang pengaruh kebijakan hutang terhadap kepemilikan juga
telah dilakukan oleh beberapa peneliti di Indonesia. Wahidahwati (2001),
menemukan bukti bahwa kebijakan hutang berpengaruh negatif terhadap
kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional. Penelitian tersebut juga
menemukan fakta bahwa variabel kontrol yaitu firm size, asset structure, earning
volatility, dan stock volatility juga berpengaruh signifikan terhadap kebijakan
hutang perusahaan. Sedangkan Putu Anom (2003) mengatakan bahwa kebijakan
hutang dapat digunakan untuk memprediksi kepemilikan manajerial satu tahun
kedepan.
2.7.6
Hubungan antara Kebijakan Dividen dengan Struktur Kepemilikan
Hubungan antara dividen dengan kepemilikan manajerial dijelaskan
melalui hipotesis aliran kas bebas. Melalui hipotesis ini kebijakan dividen
digunakan untuk mempengaruhi kepemilikan manajerial sehingga mengurangi
biaya keagenan yang berkaitan dengan free cash flow. Penelitian ini membuktikan
hubungan substitusi antara kebijakan dividen dan kepemilikan manajerial.
Mekanisme pengurangan masalah keagenan ini dilakukan dengan cara :
1. Menggunakan free cash flow untuk membayar dividen kas sehingga menghidari
alokasi pada tindakan yang tidak menguntungkan. (Jensen : 1986).
2. Meningkatkan dividen untuk memperkuat posisi perusahaan dalam mencari
tambahan dana dari pasar modal. Perusahaan diawasi oleh tim pengawas pasar
modal atau kreditur sehingga manajer termotivasi mempertahankan atau
meningkatkan kinerja. (Crutchley dan Hansen : 1989).
3. Meningkatkan dividen untuk memuaskan sebagian stockholder yang menyukai
dividen besar atau penganut the bird in the hand theory, (Brigham, Gapenski :
1999).
Peningkatan dividen menyebabkan perusahaan memiliki sumber internal
dalam jumlah sedikit sehingga manajer memilih melakukan diversifikasi pada
kesempatan investasi yang lebih menguntungkan. Pembayaran dividen akan
membuat pemegang saham mempunyai tambahan return selain dari capital gain.
Dividen juga membuat pemegang saham mempunyai kepastian pendapatan dan
mengurangi agency cost of equity karena tindakan perquisites yang dilakukan
manajemen terhadap cash flow perusahaan seiring dengan menurunnya biaya
monitoring karena pemegang saham yakin bahwa kebijakan manajemen akan
menguntungkan dirinya (Crutchley dan Hansen, 1989 dalam Mahadwartha dan
Hartono, 2002).
Holder (1998) melakukan penelitian mengenai perkembangan teori
stakeholder
dalam
proses
kebijakan
dividen.
Faktor
teori
stakeholder
dikelompokkan kedalam net organization capital pengaruh ukuran, biaya-biaya
agensi,
dan
biaya
transaksi.
Perusahaan-perusahaan
yang
didanai
Net
Organization Capital lebih banyak mempergunakan ekuitas, dan mempertahankan
tingkat likuiditas yang lebih tinggi untuk mencegah timbulnya biaya-biaya
kekurangan
finansial.
Untuk
meningkatkan
likuiditas
perusahaan
perlu
menurunkan rasio pembayaran dividen.
Kemudian Jensen (1992) menguji pengaruh kebijakan dividen kebijakan
hutang terhadap insider ownership (debt ratio). Hasil penelitian Chen dan Steiner
(1999) menyebutkan bahwa debt dan dividen memiliki hubungan yang negatif
dengan managerial ownership. Hasil ini mengindikasikan bahwa debt dan dividen
sebagai monitoring agent yang dapat mereduksi agency cost. Sedangkan hasil
Turiyasingura (2000) menyebutkan bahwa hubungan antara dividend dengan
managerial ownership secara signifikan berhubungan positif. Penelitian Crutchley
(1999), memberikan bukti bahwa ada keterkaitan antara keputusan leverage,
dividend payout ratio, insider ownership, dan institutional ownership yang
ditentukan secara simultan meskipun tidak menyeluruh.
Download