REPUBLIKA

advertisement
Teraju
REPUBLIKA
AH
SEJAR
RABU, 26 JANUARI 2011
INISIAL NAPOLEON
DI KANTONG INLANDER
25
JENNEKEN.NL
Sejarah tak mencatat Indonesia
pernah dijajah Prancis, tapi koin berinisial
LN membuktikannya.
Oleh Teguh Setiawan
I
Token
Yang menarik
dari sejarah
koin di Indonesia adalah
banyaknya
token yang dibuat perusahaan-perusahaan perkebunan multinasional. Koin tanpa nilai
yang tak ubahnya koin
untuk main dingdong ini
hanya berlaku di kalangan
buruh perkebunan dan tidak bisa digunakan untuk transaksi di tempat lain.
Token tidak hanya beredar di perkebunan-perkebunan di Jawa, tapi juga di
Sumatra dan Kalimantan. Bahkan sampai ke Ternate. Pekerja perkebunan juga
tidak menyebutnya duit, doit, atau apa
pun.
Setiap perkebunan memiliki token
sendiri. Pemilik perkebunan Cina, misalnya, mengeluarkan token berhuruf
Cina dengan simbol perusahaan perkebunan. Demikian pula orang Arab,
Pada tahun pertama Tanam Paksa,
pekerja perkebunan swasta asing
bernasib jauh lebih baik. Mereka setidaknya mendapat upah atas kerja di
perkebunan. Namun, tidak demikian
dengan pekeja di perkebunan milik
Pemerintah Belanda. Petani yang mendapakan tanah diharuskan bekerja di
perkebunan milik pemerintah tanpa
mendapatkan bayaran.
Namun, untuk alat transaksi di
kota-kota diberlakukan mata uang
gulden dengan berbagai satuan. Saat
itulah dikenal istilah ringgit untuk 2,5
gulden, suku (50 sen), tali (25), ketip
dan picis (10 sen), serta kelip (5 sen).
Ada pula benggol dan gobang untuk 2,5
sen.
Satuan mata uang ini relatif beredar
di kalangan menengah ke atas. Ini terlihat dari lahirnya banyak istilah yang
menggunakan satuan mata uang. Misal,
roman picisan, untuk menggambarkan
cerita selera menengah ke bawah.
Anehnya, tidak ada istilah cerita benggolan atau gobangan untuk menjuluki
kisah rendahan.
Ada lagi istilah yang sampai saat ini
masih digunakan. Yaitu, setali tiga
uang, yang berarti tidak ada bedanya.
Peredaran mata uang tampaknya menciptakan budaya berbahasa pada
masanya dan bertahan sampai saat ini.
Tidak diketahui sampai kapan token
berakhir. Yang pasti, ketika sistem upah
diberlakukan dan kian banyak
masyarakat Jawa, Sumatra, dan pulaupulau lainnya terlibat dalam kerja
bebas, token tidak berlaku lagi.
Seorang pekerja bisa berpindah dari
satu ke lain pekebunan guna mendapatkan mata uang yang bisa digunakan
untuk transaksi secara luas. Situasi ini
membuat pemilik perkebunan swasta,
yang membelakukan token, harus
mengintegrasikan diri ke pasar bebas.
Mata uang, terutama koin, juga merekam masa perkembangkan sejarah se-
buah maπsyarakat dan situasi politik
pada saat itu. Menariknya, uang mengungkap banyak hal dalam sejarah yang
luput dari penelitian para sejarawan.
Mata Uang Darurat
Ada satu fase yang tidak bisa dilewatkan dalam sejarah koin mata uang
di Indonesia, yaitu, fase darurat.
Antara 1796 sampai 1797, VOC kesulitan menyuplai duit—terutama
pecahan-pecahan kecil—dalam jumlah
yang cukup untuk keperluan transaksi.
Situasi ini biasanya disebabkan
kiriman duit dari Belanda terlambat
atau tidak sampai karena tenggelam
dan masalah lain.
Pada saat yang sama, jung-jung Cina—yang biasa menyuplai koin picis—
juga tak jua merapat di pelabuhanpelabuhan. Alasannya bisa bermacammacam, dirompak di tengah laut atau
tenggelam dihantam badai. VOC mengambil inisiatif dengan membuat uang
darurat yang disebut bonk. Caranya
dengan mendatangkan tembaga batangan dari Jepang, dipotong-potong, dan
dicap di kedua sisinya. Berat setiap
potong distandardisasi.
Biasanya, setiap pecahan bernilai
setengah, satu, sampai dua stuiver
untuk kalangan menengah ke atas.
Sedangkan untuk transaksi kecil digunakan duit-duit darurat dari timah.
Pada kedua sisi duit tertera mongram
VOC dan huruf N dan tertulis nilai duit
serta tahun pembuatan.
Duit timah, karena lunak, gampang
dipalsukan, dan VOC berisiko mengalami kerugian besar. Akibatnya, koin ini
ditarik dari peredaran untuk dilebur
kembali. Inilah yang menyebabkan
koin era bonk menjadi sangat langka.
Sebagai gantinya dibuat koin dari perunggu dan leburan meriam rusak yang
dicampur timbal. Namun, periode bonk
relatif berjalan singkat, yaitu sampai
1800.■
WWW.SCHOOLTV.NL
wan Suwandy, seorang pensiunan polisi yang menjadi kolektor koin kuno, bercerita tentang
rekannya yang penulis tak
percaya Indonesia pernah
dijajah Prancis ketika Napoleon
Bonaparte berkuasa. Ia kesulitan menjelaskannya karena yang ada di
benak rekannya—dan semua orang
Indonesia—bahwa Nusantara dijajah
Belanda, Inggris, dan Jepang.
Memang tidak mudah menyodorkan
bukti faktual kehadiran Napoleon
Bonaparte di Indonesia. Namun, bagi
kolektor uang (koin) kuno seperti Iwan
Suwandy, bukti itu tampak nyata
dalam bentuk koin berinisial LN—
kependekan dari Louis Napoleon.
Koin-koin itu bernilai satu duit,
setengah stuiver, dan masih banyak
lagi. Seluruh koin dibuat dari perunggu
dan beredar saat Willem Daendles—
penguasa Belanda yang diangkat
Loewijk Napoleon, saudara Napoleon
Bonaparte—yang diangkat menjadi raja
Belanda.
Koin-koin Prancis yang beredar di
Belanda; pecahan dua stuiver dan satu
stuiver (12 Deniers) ditetapkan berlaku
di wilayah Hindia Belanda. Namun,
koin itu tak sempat beredar luas di
masyarakat kelas bawah di kota-kota
di Jawa. Daendles juga tidak menggunakannya untuk membayar pekerja
yang membangun jalan AnyerPanarukan.
Selama tiga tahun kekuasaan
Dandles, 1808-1811, duit hanya beredar
di kalangan terbatas dan di kawasan
perkotaan. Sedangkan di masyarakat
kelas bawah masih beredar uang
tembaga cetakan VOC. Daendles juga
membuka percetakan uang di
Surabaya, yang bertuliskan JAVA 1806,
tapi di baliknya masih tertera lambang
VOC. Akibatnya, pencetakan uang di
Batavia berhenti total.
Pada 1811, Inggris menginvasi Jawa
dan mengakhiri kekuasaan Daendles.
Masyarakat Jawa berkenalan lagi
dengan era mata uang baru, yaitu koin
Java Rupee. Koin terbuat dari emas dan
perak, dengan bagian depan bertuliskan
jawa kuno serta menggunakan tahun
saka 1741. Ada pula tulisan Arab, tapi
dengan bahasa Melayu, dengan tahun
Hijriah 1229.
Raffles, gubernur jenderal HindiaBelanda saat itu, melanjutkan pencetakan uang di Surabaya. Namun, percetakan di Batavia hidup lagi dan digunakan hanya untuk membuat duit Jawa
dari timah murni.
Sumber lain menyebutkan, Raffles
menggunakan kembali koin standar
delapan Real dan perlahan-lahan
menyingkirkan rijksdaalder. Ia
menukar 8,5 juta rijksdallder dengan
perak saat yang kertas berharga dolar
Spanyol dikeluarkan pada 1812.
Kemudian, Inggris mencetak rupiah
perak, yang sama nilainya dengan 30
stuiver atau 120 duit dan setengah
rupiah—yang dianggap sebagai tindakan denominasi. Ada pula uang emas
yang dicetak antara 1813-1816.
Aktivitas ini berlanjut sampai Belanda
kembali.
Berkurangnya mata uang tembaga
lebih disebabkan menyusutnya produksi tembaga mentah. Inggris, yang saat
itu telah kembali ke Kalkuta,
bereksperimen dengan logam mentan
lainnya. Raffles sempat meminta ke
Kalkuta untuk memproduksi 50 juta
duit pada 1813 sampai 1814, tapi tidak
bisa dipenuhi. Inggris akhirnya memproduksi 50 juta duit dari logam timah
yang dibuat di Batavia, beratnya setengah dari tembaga.
Namun, koin ini tidak bisa diterima
dan lebih dari jumlah satu juta duit
dikembalikan. Belanda, yang kembali
lagi ke tanah jajahannya, menolak mengakui koin buatan Inggris. Jauh
sebelumnya, mata uang Inggris
dengan monogram United East
India Company (UEIC) membanjiri Sumatra. Di Bengkulu, misalnya, uang ini beredar sejak
1783 dengan satuan tertentu.
Ada pula yang menyebutnya
sebagai dolar Sumatra.
Jerman, Inggris, Prancis, dan Jepang.
Namun, ada pula perusahaan perkebunan teh, perkebunan karet, atau tembakau, bersatu untuk membentuk token
sesuai jenis komoditas yang ditanam.
Oleh karena itu, dikenallah token teh,
tebu, karet, tembakau, dan kopi. Token
teh hanya berlaku di toko-toko di
dalam kawasan perkebunan komoditas
itu. Begitu pula token koi, karet, dan
lainnya.
Lebih menarik lagi, tidak setiap
token berbentuk bulat dan terbuat dari
logam. Ada yang berbentuk segitiga,
segilima, segienam, atau bulat telur
yang terbuat dari bambu dan berbagai
jenis logam. Pilihan terhadap bambu
atau bahan nonlogam jauh lebih murah,
tapi riskan dipalsukan.
Pemilik perkebunan tidak ingin
mengambil risiko memberlakukan
token nonlogam dalam jangka waktu
lama. Mereka akan segera menggantinya dengan logam. Menggunakan
token, pekerja bisa mendapatkan kebutuhan hidup sehari-hari, dengan
menukarnya di toko yang disediakan
pemilik perkebunan. Pekerja perkebunan tidak bisa menggunakan token
untuk membeli kebutuhan lain, misal
pakaian dan keperluan lainnya, di
tengah kota.
Download