1 PUTUSAN NOMOR 22-24/PUU-VI/2008 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, dengan ini menjatuhkan putusan dalam perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: [1.2] I. Pemohon Perkara Nomor 22/PUU-VI/2008 Nama : MUHAMMAD SHOLEH, S.H; Tempat/Tanggal Lahir : Sidoarjo, 2 Oktober 1976; Agama : Islam; Kewarganegaraan : Indonesia; Alamat : Jalan Magersari Nomor 82 Krian, Sidoarjo, Jawa Timur. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 20 Agustus 2008 telah memberikan kuasa kepada Lujianto, S.H. dan Iwan Prahara, S.H., yang keduanya Advokat pada Kantor SHOLEH & PARTNER beralamat di Jalan Raya Dukuh Kupang Nomor 7 Surabaya, bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama; Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------- PEMOHON I; II. Pemohon Perkara Nomor 24/PUU-VI/2008 1. Nama : SUTJIPTO, S.H., M.Kn; Tempat/Tanggal Lahir : Magetan, 5 Oktober 1950; Alamat Gedung Menara Sudirman Lantai 18 : Jalan Jenderal Sudirman Kav. 60 Jakarta 12190 2 2. Nama : SEPTI NOTARIANA, S.H., M.Kn; Tempat/Tanggal Lahir : Teluk Betung, 24 September 1980; Alamat Jalan Zainal Abidin Pagar Alam 30 : Kedaton, Bandar Lampung 35142; 3. Nama : JOSE DIMA SATRIA, S.H., M.Kn; Tempat/Tanggal Lahir : Semarang, 14 April 1980; Alamat Srondol Bumi Indah J-15, Sumurbroto : Banyumanik, Semarang; Masing-masing memilih domisili hukum pada Kantor Notaris Sutjipto, S.H., Gedung Menara Sudirman Lantai 18, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 60 Jakarta Selatan; Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------- PEMOHON II; [1.3] Membaca permohonan para Pemohon; Mendengar keterangan para Pemohon; Membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat; Mendengar dan membaca keterangan tertulis Pemerintah; Mendengar dan membaca keterangan tertulis Pihak Terkait Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan; Mendengar dan membaca keterangan tertulis Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum; Memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon; Membaca kesimpulan Pemerintah; 2. DUDUK PERKARA [2.1] Menimbang bahwa Pemohon I mengajukan surat permohonan bertanggal 1 September 2008 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 3 September 2008 dengan registrasi Nomor 22/PUU-VI/2008; 3 [2.2] Menimbang bahwa Pemohon II mengajukan surat permohonan bertanggal 1 September 2008 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 5 September 2008 dengan registrasi Nomor 24/PUU-VI/2008, yang telah diperbaiki dengan perbaikan permohonan bertanggal 24 September 2008 dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 25 September 2008. Permohonan dimaksud oleh para Pemohon diperbaiki kembali dengan perbaikan permohonan bertanggal 16 Oktober 2008 dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 16 Oktober 2008; Menimbang bahwa para Pemohon tersebut di atas, di dalam permohonannya telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut: [2.3] PEMOHON PERKARA NOMOR 22/PUU-VI/2008 [2.3.1] Kewenangan Mahkamah Konstitusi Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) juncto Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU 24/2003), menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; [2.3.2] 1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 menyatakan, Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat, atau; d. lembaga negara. 4 Bahwa penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945; 2. Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia yang menjadi Calon Anggota Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur (selanjutnya disebut Caleg DPR) periode 2009 - 2014 untuk daerah pemilihan 1 (satu) Surabaya – Sidoarjo; 3. Bahwa pencalonan Pemohon tersebut melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP); 4. Bahwa diberlakukannya Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU 10/2008) berpotensi menghalangi terpilihnya Pemohon menjadi anggota legislatif; 5. Bahwa Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 tidak sejalan dengan semangat reformasi, dan Pemohon merasa terdiskriminasi karena pasal a quo. Sebab Caleg perempuan mendapat prioritas nomor urut kecil seperti yang diatur dalam pasal a quo (di antara 3 Caleg harus ada 1 Caleg perempuan); 6. Bahwa, Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10/2008 semangatnya telah keluar dari pemilihan umum yang jujur dan adil, karena apabila Pemohon dipilih oleh rakyat ternyata hak Pemohon dipasung oleh pasal a quo, sehingga suara Pemohon apabila tidak mencapai 30% (tiga puluh perseratus) dari Bilangan Pembagi Pemilih (selanjutnya disebut BPP) menjadi sia-sia; 7. Bahwa karenanya Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar dan dirugikan sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1) Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2). Dengan demikian, Pemohon telah memenuhi kualifikasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU 24/2003; 8. Bahwa selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUUIII/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 telah menentukan 5 (lima) syarat kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003, sebagai berikut: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945; 5 b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak lagi terjadi; 9. Bahwa berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, Pemohon merupakan pihak yang memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji karena Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10/2008 jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; [2.3.3] 1. POKOK PERMOHONAN Bahwa Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; 2. Bahwa Pasal 55 UU 10/2008 berbunyi: ayat (1) “Nama-nama calon dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 disusun berdasarkan nomor urut.” ayat (2) “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”. ayat (3) “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pas foto diri terbaru”. 3. Bahwa Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 berbunyi, “Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan 6 ketentuan: a. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; b. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta Pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; c. dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP; d. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta Pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut; e. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.” 4. Bahwa, dalam hal ini Pemohon mempunyai hak konstitusional yang telah dijamin oleh UUD 1945, sebagai berikut: • Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”; • Pasal 28D UUD 1945: - Ayat (1), “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; - Ayat (3), “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”; 7 • Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”; 5. Bahwa setelah dicermati secara saksama, ketentuan dalam Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 ternyata keberadaan pasal tersebut telah menghilangkan makna pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama bagi setiap warga negara di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena telah menghalangi, membatasi hak Pemohon terpilih sebagai calon legislatif periode 2009-2014; 6. Bahwa Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 yang memberikan keistimewaan kepada perempuan di setiap tiga orang calon legislatif (Caleg) harus ada satu orang caleg perempuan jelas merugikan diri Pemohon. Karena posisi di antara tiga orang Caleg harus ada Caleg perempuan memudahkan para pemilih melihat nama perempuan tersebut. Padahal untuk mendapatkan Nomor Urut 1, 2 (dua) atau 3 (tiga) jelas sangat tidak mudah dan harus mengabdi bertahun-tahun di partai; 7. Bahwa Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 memperlihatkan adanya arogansi dan diskriminasi yang membedakan perlakukan terhadap Caleg laki-laki dan perempuan; 8. Bahwa pada dasarnya perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama di depan hukum maupun di dalam pemerintahan tidak terkecuali dalam politik. Tidak dibenarkan di dalam penyusunan daftar nama Caleg antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan. Semua tergantung seberapa jauh pengabdian semua kader dipartai, jika memang komposisi perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki tentunya para Caleg akan didominasi kaum perempuan; 9. Bahwa Pemohon setuju apabila kaum perempuan didorong untuk masuk dalam kancah politik, tetapi jika hal itu harus dilakukan dengan membuat keistimewaan yang berakibat adanya diskriminasi jelas hal itu melanggar UUD 1945 khususnya Pasal 28I ayat (2); 10. Bahwa Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 tersebut tidak memberikan perlakuan yang sama di depan hukum antara Pemohon dengan calon legislatif yang berada di nomor urut terkecil. Sebab 8 antara Pemohon yang apabila berada di nomor urut 7 harus bekerja keras untuk bisa mencapai 30% suara dari BPP, sedangkan nomor urut 1 (satu) tidak harus bekerja keras (cukup duduk-duduk santai), apabila tidak ada Caleg yang mencapai 30% suara dari BPP karena penentuan akan dikembalikan kepada nomor urut sesuai usulan dari partai politik, seperti yang dijelaskan dalam huruf e pasal a quo; 11. Bahwa Pasal 214 huruf a, b, c, d, huruf e UU 10/2008 menunjukkan upaya pembuat undang-undang memberikan kewenangan penuh kepada partai politik dalam mengatur Calegnya agar terpilih dengan menempatkannya pada nomor urut terkecil, padalah Caleg tersebut belum tentu diterima/dikehendaki oleh rakyat. Sehingga penentuan Caleg bukan lagi murni pilihan rakyat, tetapi like and dislike dari petinggi/pengurus partai politik. Bahwa, banyak contoh Caleg titipan dari Jakarta yang harus dipaksakan oleh partai politik ditempatkan di daerah pemilihan luar Jakarta, padahal masyarakat tidak mengenal caleg tersebut yang dikenalnya hanya partainya saja. Tetapi karena caleg itu dapat nomor urit kecil maka otomastis peluang untuk menjadi anggota dewan lebih besar daripada caleg nomor urut di bawahnya; 12. Bahwa dengan diberlakukannya Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan huruf e UU 10/2008, maka hak konstitusional Pemohon telah dilanggar. Karena upaya Pemohon menjadi sia-sia apabila hanya mendapatkan suara 29% dari BPP. Sebab jika mengacu pada pasal a quo maka penentuan untuk dapat menjadi anggota legislatif akan dikembalikan pada nomor urut. Begitu juga, jika Pemohon mendapatkan suara di atas 30% tetap saja jika di nomor urut lebih kecil yang suaranya 30% maka penentuannya dikembalikan pada nomor urut kecil yang mendapatkan suara 30% (huruf b pasal a quo); 13. Bahwa sebenarnya partai politik sangat diuntungkan jika penentuan Caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, dengan begitu semua Caleg dari nomor urut terkecil sampai nomor urut terbesar akan bekerja keras mendapatkan dukungan dari pemilih. Artinya partai politik secara langsung diuntungkan dengan banyak Caleg yang bekerja. Berbeda dengan aturan yang diberlakukan oleh Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10/2008. Caleg nomor 3 (tiga) ke atas tidak akan maksimal dalam bekerja untuk mendapatkan suara karena batasan 30% suara dari BPP sangat-lah berat. Kalaupun mencapai suara 80% tetap 9 dikalahkan nomor urut kecil yang mencapai suara 30%; 14. Bahwa agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas maka penyelenggaraan pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Bahwa keberadaan Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10/2008 menjadikan Pemilu legislatif Tahun 2009 Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 tidak berkualitas; 15. Bahwa Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat dan Partai Golkar sudah menerapkan suara terbanyak sebagai mekanisme untuk menentukan calon legislatif terpilih. Tetapi kebijakan ke 3 (tiga) partai tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008; 16. Bahwa Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) juga setuju dengan mekanisme suara terbanyak dalam menentukan Caleg terpilih, hal ini menunjukkan bahwa arus besar yang menghendaki perubahan mekanisme penentuan caleg terpilih sudah tidak bisa dibendung lagi. Itu artinya DPR harus melakukan revisi Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008; 17. Bahwa Pasal 22E ayat (6) UUD 1945, pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum dimaksud diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap orang warga negara Indonesia terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah. Dengan asas langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara; 18. Bahwa Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakan, Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Bahwa, diberlakukannya pasal a quo merugikan Pemohon. Karena tidak memberikan kesempatan atau peluang kepada Pemohon dalam aktif di pemerintahan. 10 Bagaimana Pemohon bisa menjadi Caleg jika aturannya sudah dibuat sedemikian rupa yang menyulitkan Pemohon bisa terpilih menjadi anggota dewan; 19. Bahwa apabila ketentuan Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 tersebut tidak ada maka hak konstitusional untuk tidak diperlakukan secara tidak adil tersebut, sebagaimana yang dialami oleh Pemohon, tidak akan atau tidak lagi terjadi. Ada hubungan causal antara pembedaan kedudukan dan perlakuan, ketidakpastian hukum, dan ketidakadilan yang diderita oleh Pemohon dengan berlakunya Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008; 20. Pemohon berpendapat bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945; 21. Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10/2008 mencerminkan pembedaan kedudukan dan perlakuan (unequal treatment), ketidakadilan (injustice), ketidakpastian hukum (legal uncertainty), dan bersifat diskriminatif terhadap Pemohon; 22. Diskriminasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pustaka edisi kedua tahun 1995 mendefinisikan diskriminasi adalah pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara. Sementara menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan, yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, rasa, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum sosial budaya dan aspek kehidupan lainnya; 23. Apabila perhatikan dengan seksama makna diskriminasi di atas jelas, apa yang terkandung dalam muatan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 adalah bentuk pengaturan pasal yang diskriminatif, karena 11 memberikan perlakuan yang tidak sama kepada Pemohon dengan Caleg nomor urut kecil; 24. Pasal 28J UUD 1945 menyatakan, Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan keteritiban umum dalam suatu masyarakat demokratis; 25. Bahwa Pemohon tidak termasuk ke dalam apa yang dimaksud oleh 28J UUD 1945. Sebab jika ditelaah lebih dalam yang dimaksud pembatasan dalam Pasal 28J UUD 1945 semata-mata mempertimbangkan aspek moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum; 26. Bahwa setiap warga negara mempunyai persamaan hak dan kewajiban yang sama di depan hukum dan pemerintahan seperti yang dijamin dalam UUD 1945. Bahwa dengan adanya pembedaan antara laki-laki dan perempuan maupun penentuan caleg terpilih berdasarkan nomor urut Caleg menjadikan posisi Pemohon tidak sama dengan para Caleg yang lain; 27. Bahwa Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10/2008 jika dikaitkan dengan hak asasi manusia maka tidak singkron dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan: Ayat (1): ”Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraaan; Ayat (2): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum; Ayat (3): “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. 28. Bahwa Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 tidak singkron dengan Pasal 66 dan pasal 67 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden. Dimana dalam undang-undang tersebut 12 menggunakan sistem suara terbanyak; 29. Bahwa Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 tidak singkron dengan Pasal 107 UU 12/2008 perubahan kedua atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, karena pasal a quo juga mensyaratkan suara terbanyak dalam pemilihan kepala daerah; 30. Bahwa Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10/2008 juga tidak singkron dengan Pasal 215 UU 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan penentuan calon DPD dengan menggunakan mekanisme suara terbanyak; 31. Pasal 215 UU 10/2008 menyatakan: Ayat (1): Penetapan calon terpilih anggota DPD didasarkan pada nama calon yang memperoleh suara terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan keempat di provinsi yang bersangkutan; Ayat (2): Dalam hal perolehan suara calon terpilih keempat terdapat jumlah suara yang sama, calon yangmemperoleh dukungan pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut ditetapkan sebagai calon terpilih; Ayat (3): KPU menetapkan calon pengganti antar waktu anggota DPD dari nama calon yang memperoleh suara terbanyak kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan di provinsi yang bersangkutan. 32. Di sini semakin jelas bahwa semangat Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 tidak sejalan dengan arah reformasi yang mendambakan wakil rakyat dipilih langsung oleh rakyat; 33. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka jelas keberadaan Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) ayat (3 ), dan Pasal 28I ayat (2); 34. Sehingga dengan demikian ketentuan Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10/2008 harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 13 [2.3.4] Petitum Berdasarkan segala yang diuraikan di atas, Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2); 3. Menyatakan Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya (ex aequo et bono). [2.4] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon I telah mengajukan bukti surat yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-6, yaitu berupa: 1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 3. Bukti P-3 : Fotokopi Suara Karya Online tanggal 31 Agustus 2008; 4. Bukti P-4 : Fotokopi Suara Merdeka Online tanggal 14 Agustus 2008; 5. Bukti P-5 : Fotokopi Kliping koran Suara Indonesia tanggal 29 Agustus 2008; 6. Bukti P-6 : Fotokopi Kliping Koran Suara Indonesia tanggal 29 Agustus 2008; [2.5] PEMOHON PERKARA NOMOR 24/PUU-VI/2008 Konteks Kepentingan Pemohon Dalam Uji Materil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan 14 Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU 10/2008); Seluruh Rakyat Indonesia dan dunia internasional tidak akan dapat melupakan suatu peristiwa yang paling dramatis yang dialami oleh bangsa Indonesia pada akhir abad ke-20 yaitu gelombang reformasi yang mempercepat ke arah demokratisasi. Sebagian besar rakyat Indonesia memang mengalami perubahan dan peralihan yang tidak nyaman, timbul banyak penderitaan yang berkaitan dengan lahirnya demokrasi baru; Meskipun demikian, hal-hal tersebut telah memulai langkah penting pembukaan ruang politik yang menakjubkan, timbulnya generasi baru masyarakat sipil, pembebasan ruang gerak media massa dan timbulnya semangat positif untuk berani melakukan penuntutan terhadap pertanggungjawaban pemerintah yang lebih besar; Masyarakat semakin merasa dirinya sebagai mitra dan peserta aktif dalam tata kehidupan pemerintahan di Indonesia. Masa transisi demokratis merupakan masa pembangunan suatu jaman baru meskipun terdapat banyak ketidakpastian; Terciptanya budaya politik yang mendukung praktik-praktik demokratis merupakan sebuah kerja yang berlangsung terus menerus dan memakan waktu yang cukup lama. Praktik pelaksanaan demokratis harus mengisi hubungan antar komunitas, agama, etnis, jender, regional dan hubungan kemasyarakatan yang lain; Proses demokratis tergantung dialog antar mereka yang berkepentingan maupun kesepakatan mengenai agenda reformasi yang didukung oleh rakyat Indonesia yang mengakui bahwa diperlukan upaya yang terkoordinasi dengan baik di berbagai tataran untuk mengedepankan tantangan-tantangan yang mereka hadapi. Demokrasi bukanlah semata-mata penyelesaian masalah tetapi merupakan alat untuk menemukan cara mengatasi masalah; Salah satu tuntutan reformasi adalah perubahan UUD 1945 yang telah diamandemen sebanyak empat kali di mana UUD 1945 betul-betul mencerminkan negara hukum yang demokratis; Konstitusi telah meletakkan dasar-dasar yang kuat mengenai sistem demokrasi, mengatur mengenai pemilihan umum serta lembaga-lembaga negara yang baru yaitu, antara lain, Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan kewenangan-kewenangan lain yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945; 15 Konstitusi juga mengatur mengenai pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap 5 tahun sekali; Bahkan konstitusi kita juga mengatur bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat; Dalam abad modern ini, pemilihan umum masih dianggap sebagai cara yang paling demokratis untuk menentukan wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat baik Pemilu dilaksanakan dengan sistem distrik maupun proporsional; Pemilu yang dilakukan dengan sistem proporsional terbuka akan mengandung sistem yang positif yaitu disamping daerah pemilihannya berdasarkan basis wilayah sehingga setiap daerah akan memiliki wakil baik itu daerah besar maupun daerah kecil, akan tetapi juga hubungan antara orang yang memilih dan dipilih menjadi lebih dekat; Hal ini dimungkinkan karena mereka yang terpilih akan menjaga kredibilitasnya di depan rakyat yang memilihnya sehingga anggota DPR akan sering mengunjungi daerah pemilihannya karena pada dasarnya pemilih mengenal wakil-wakil yang mereka pilih karena pemilih dapat memilih langsung nama orangnya; Dengan memilih nama orangnya langsung rakyat dapat menilai siapa yang benarbenar memperjuangkan pemilih dan daerahnya; Pada dasarnya setiap pemenang Pemilu adalah berdasarkan suara terbanyak, demikian juga seseorang yang terpilih tentu dipilih dan mewakili daerah pemilihannya; Apabila pemenang Pemilu tidak didasarkan pada suara terbanyak serta yang terpilih tidak mewakili pemilih maupun daerah pemilihannya tentu hal ini akan merugikan hak konstitusional para warga negara yang ikut menjadi peserta Pemilu maupun merugikan hak konstitusional para pemilih apabila orang yang dipilihnya tidak mewakili daerahnya; [2.5.1] Wewenang Mahkamah Konstitusi 1. Para Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian terhadap Pasal 205 ayat (4), (5), (6) dan (7) serta Pasal 214 UU 10/2008 (Bukti P-1) terhadap UUD 1945 (bukti P-2); 16 2. Sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU 24/2003), salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian (judicial review) undang-undang terhadap UUD 1945; • Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain menyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; • Pasal 10 ayat (1) huruf a UU 24/2003, antara lain, menyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Selain itu, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa secara hierarkis kedudukan UUD 1945 lebih tinggi dari undang-undang, oleh karenanya setiap ketentuan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika terdapat ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian undang-undang; 4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan memutus permohonan pengujian undang-undang ini; [2.5.2] Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon 1. Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 menyatakan, Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara. 17 Selanjutnya Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 menyatakan, Yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Berdasarkan ketentuan di atas, maka terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk menguji apakah Pemohon memiliki legal standing dalam perkara pengujian undang-undang. Syarat pertama adalah kualifikasi untuk bertindak sebagai Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003. Syarat kedua adalah bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dirugikan dengan berlakunya suatu undang-undang; 3. Untuk selanjutnya legal standing para Pemohon adalah sebagai berikut: • Pemohon Sutjipto, S.H., M.Kn, adalah warga negara Indonesia Calon Anggota DPR RI dari Partai Demokrat Daerah Pemilihan Jawa Timur VIII Provinsi Jawa Timur berdasarkan pengajuan dari Partai Demokrat dengan Nomor Urut 1; (Bukti P-4) • Pemohon Septi Notariana, S.H., M.Kn, adalah warga negara Indonesia Calon Anggota DPR RI dari Partai Demokrat Daerah Pemilihan Jawa Timur VIII Provinsi Jawa Timur berdasarkan pengajuan dari Partai Demokrat dengan Nomor Urut 8 (bukti P-4); • Pemohon Jose Dima Satria, S.H., M.Kn, adalah Warga Negara Indonesia sebagai Pemilih dalam Pemilihan Umum Tahun 2009; Para Pemohon tersebut adalah memiliki kualifikasi sebagai Pemohon dalam pengujian undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003; [2.5.3] Alasan-Alasan Pengajuan Permohonan Pengujian UU 10/2008 A. Pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengandung norma-norma konstitusi yang bertentangan dengan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UU 10/2008, antara lain sebagai berikut: 1. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945: ”Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”; 2. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; 18 3. Bahwa Pasal 205 UU 10/2008: Ayat (4): ”Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR”; Ayat (5): ”Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan tahap kedua, maka dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap ketiga dengan cara seluruh sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu dikumpulkan di propvinsi untuk menentukan BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan”; Ayat (6): ”BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan membagi jumlah sisa suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dengan jumlah sisa kursi”; Ayat (7): ”Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan cara memberikan kursi kepada partai politik yang mencapai BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan”; 4. Bahkan di dalam draf awal Rancangan Undang-Undang Pemilu 2007, Pasal 206 versi Pemerintah (Bukti P-3), yaitu: • Pasal 206 berbunyi, ”Penetapan perolehan kursi partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (2), Pasal 204 ayat (2), dan Pasal 205 ayat (2) dilakukan dengan ketentuan: a. apabila perolehan suara suatu partai politik sama dengan atau lebih besar dari BPP, sisa suara dalam penghitungan perolehan kursi tahap pertama akan diperhitungkan dalam penghitungan perolehan kursi tahap kedua; b. apabila perolehan suara suatu partai politik lebih kecil dari BPP, partai politik tersebut tidak memperoleh kursi pada penghitungan perolehan kursi tahap pertama, dan perolehan suara ini diperhitungkan dalam penghitungan perolehan suara tahap kedua; 19 c. penghitungan perolehan kursi tahap kedua dilakukan apabila terdapat sisa kursi yang belum terbagi pada penghitungan perolehan kursi tahap pertama; d. penghitungan perolehan kursi tahap kedua dilakukan dengan cara membagi kursi satu demi satu kepada partai politik yang memiliki sisa suara paling besar pada penghitungan perolehan kursi tahap pertama”. Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas mengandung norma konstitusi antara lain bahwa pemilihan umum diselenggarakan secara regular setiap 5 (lima) tahun sekali yang berarti rakyat bisa mengevaluasi siapapun yang dipilih melalui Pemilu setiap 5 (lima) tahun, demikian juga warga negara yang telah mencapai umur tertentu sebagai syarat baik untuk dipilih dan memilih bisa ikut dalam Pemilu; Bahwa ketentuan dalam Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UU Pemilu tersebut di atas, jelas-jelas bertentangan dengan norma konstitusi maupun sistem atau prinsip-prinsip Pemilu yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, yang salah satunya Pemilu harus dilaksanakan secara adil, maupun norma yang termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 bahwa setiap orang harus mendapatkan pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil; Bahwa calon anggota legislatif yang terpilih haruslah mewakili pemilihpemilihnya dan mewakili daerah di mana rakyat memilih pada daerah pemilihannya tersebut; Hubungan antara pemilih dan yang dipilih, yaitu anggota DPR tidak hanya berhenti sampai Pemilu saja, akan tetapi hubungan tersebut akan terus menerus selama 5 (lima) tahun, yaitu selama masa tugasnya sebagai anggota DPR sampai dengan Pemilu berikutnya; Seorang anggota DPR wajib menyerap aspirasi dan memperjuangkan konstituennya; Konstituen yang dimaksud adalah para pemilih yang memilihnya pada daerah pemilihan yang bersangkutan; Apabila Pasal 205 ayat (4), (5), (6), dan (7) UU 10/2008 diberlakukan maka akan terjadi anggota DPR yang terpilih berdasarkan BPP DPR baru di provinsi adalah tidak jelas siapa yang memilih (konstituennya), karena konstituennya 20 bisa meliputi seluruh daerah pemilihan pada satu provinsi (contoh Jawa Timur terdapat 11 daerah pemilihan); Seorang anggota DPR yang terpilih tersebut sulit dimintai pertanggungjawaban oleh konstituennya, dilain pihak anggota DPR tersebut tidak mungkin mempunyai konstituen pada satu provinsi yang begitu luas; Bagi para pemilih pada suatu daerah pemilihan juga diperlakukan tidak adil karena calon yang dipilihnya bila suara yang diperolehnya kurang dari 50% BPP DPR maka calon yang dipihnya tidak ada jaminan mendapatkan kursi DPR pada BPP DPR baru di provinsi tersebut; Demikian juga calon anggota DPR yang mendapat perolehan suara kurang dari 50% BPP DPR, maka suaranya juga dibawa ke propinsi dan tidak ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan kursi di DPR berdasarkan BPP DPR baru di provinsi; Padahal calon anggota DPR yang mendapatkan suara mendekati 50% dari BPP DPR seharusnya mereka bisa mendapatkan kursi DPR apabila pembagian kursi diselesaikan pada daerah pemilihan tanpa harus di bawa ke provinsi; Pemohon Sutjipto, S.H., M.Kn, dan Pemohon Septi Notariana, S.H., M.Kn, sebagai calon anggota DPR dirugikan hak konstitusionalnya oleh karena apabila perolehan suara atau sisa suara di daerah pemilihan tersebut kurang dari 50% dari BPP, maka suaranya akan dibawa ke Provinsi dan maupun Pemohon, tidak mendapat jaminan akan mendapatkan kursi di DPR; Pemohon Sutjipto, S.H., M.Kn, Pemohon Septi Notariana, S.H., M.Kn, dan Pemohon Jose Dima Satria, S.H., M.Kn, dalam kedudukannya sebagai Pemilih juga dirugikan hak konstitusionalnya oleh karena suara yang diperoleh oleh calon anggota DPR yang dipilihnya pada satu Daerah Pemilihan, perolehan suara atau sisa suara kurang dari 50% dari BPP dapat dialihkan ke calon anggota DPR RI lain di daerah pemilihan yang lain; Berdasarkan hal-hal tersebut di atas bunyi Pasal 205 ayat (4), (5), (6) dan (7) UU 10/2008 seharusnya diganti menjadi sebagai berikut: Ayat (4): ”Apabila perolehan suara suatu partai politik lebih kecil dari BPP, partai politik tersebut tidak memperoleh kursi pada penghitungan 21 perolehan kursi tahap pertama, dan perolehan suara ini diperhitungkan dalam penghitungan perolehan suara tahap kedua”; Ayat (5): ”Penghitungan perolehan kursi tahap kedua dilakukan apabila terdapat sisa kursi yang belum terbagi pada penghitungan perolehan kursi tahap pertama”; Ayat (6): ”Penghitungan perolehan kursi tahap kedua dilakukan dengan cara membagi kursi satu demi satu kepada partai politik yang memiliki sisa suara paling besar pada penghitungan perolehan kursi tahap pertama”. B. Pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengandung norma-norma konstitusi yang bertentangan dengan Pasal 214 UU Pemilu, antara lain sebagai berikut: 1. Pasal 6A ayat 4 UUD 1945 berbunyi, “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden”; 2. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” 3. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; 4. Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 berbunyi, ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” 5. Bahwa Pasal 214 UU 10/2008 berbunyi, ”Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan: a. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; suara sekurang- 22 b. dalam hal calon yang memenuhi huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta Pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; c. dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP; d. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta Pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut; e. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut; 6. Bahkan di dalam draft awal Rancangan Undang-Undang Pemilu 2007 (Bukti P-3). Pasal 208 ayat (1) berbunyi, “Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan perolehan suara terbanyak masing-masing calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dalam satu partai politik pada satu daerah pemilihan”; Pasal 214 UU 10/2008 bertentangan dengan norma-norma konstitusi yang terkandung dalam Pasal 6A ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 karena pada dasarnya pemenang pemilihan umum haruslah didasarkan pada suara terbanyak, mendapat perlakuan yang adil dan tidak ada diskriminasi; Bahwa norma konstitusi yang terkandung dalam Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 adalah bahwa pemerintahan pemilihan Negara Presiden Republik sebagai Indonesia pemegang kekuasaan pemenangnya diputuskan berdasarkan suara terbanyak, berdasarkan hal tersebut sudah seharusnya dianalogkan kepada Pemilu yang lain, dalam hal ini adalah pemilu anggota DPR dan DPRD haruslah pemenangnya juga ditentukan berdasarkan suara terbanyak; 23 Penjabaran pasal undang-undang mengenai Pemilu dengan menentukan bahwa pemenangnya adalah berdasarkan suara terbanyak tercermin juga dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur bahwa dalam pemilihan kepala daerah pemenangnya adalah juga berdasarkan suara terbanyak; Berkenaan dengan hal tersebut di atas, jelas-jelas hak konstitusional Pemohon Septi Notariana, S.H., M.Kn, yang di dalam Daftar Calon Anggota Legislatif berada di urutan nomor besar (Nomor 8) dirugikan dengan berlakunya Pasal 214 UU 10/2008; Oleh karena itu Pasal 214 UU 10/2008 seharusnya diganti menjadi: “Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan perolehan suara terbanyak masing-masing calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dalam satu partai politik pada satu daerah pemilihan”. C. Dalam hal demikian Mahkamah Konstitusi wajib menjalankan tugas yang diembannya yang diamanatkan oleh UUD 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi adalah the guardian of the constitution dan the final interpreter of the constitution; Oleh karena itu berdasarkan uraian di atas, MK diharapkan menyatakan: 1. Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UU 10/2008 bertentangan dengan UUD 1945 dan norma-norma konstitusi khususnya yang terkandung dalam Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; 2. Pasal 214 UU 10/2008 bertentangan dengan UUD 1945 dan norma-norma konstitusi khususnya yang terkandung dalam Pasal 6A ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945; Sekiranya Majelis Hakim Konstitusi selaku pakar-pakar hukum dan negarawan berkenan mengabulkan permohonan para Pemohon, maka akan berdampak sangat besar dalam sistem pembangunan demokrasi, memperkuat partai politik sebagai pilar demokrasi dan akan memudahkan penyusunan undang-undang Pemilu dan undang-undang politik lainnya di masa-masa yang akan datang dan tidak perlu lagi perdebatan-perdebatan yang melelahkan khususnya tentang penentuan calon anggota legislatif yang terpilih; 24 Para Pemohon juga menyadari bahwa tahapan Pemilu 2009 sudah dimulai sejak tanggal 5 April 2008, akan tetapi penetapan pemenang Pemilu atau calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kota/kabupaten baru akan ditetapkan setelah tanggal 9 April 2009, oleh karena itu tidak menjadi hambatan proses tahapan Pemilu 2009, sekiranya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para Pemohon; [2.5.4] Petitum Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tersebut di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan ini para Pemohon, memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi, agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut: 1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian materiil para Pemohon; 2. Menyatakan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UU 10/2008 bertentangan dengan UUD 1945 dan norma-norma konstitusi khususnya yang terkandung dalam Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; 3. Menyatakan Pasal 214 UU 10/2008 bertentangan dengan UUD 1945 dan normanorma konstitusi khususnya yang terkandung dalam Pasal 6A ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945; 4. Menyatakan bahwa Pasal 205 ayat (4), (5), (6) dan (7) dan Pasal 214 UU 10/2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibatnya, atau bilamana Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadiladilnya; [2.6] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon II telah mengajukan bukti surat yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-4, yaitu berupa: 1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Bukti P-3 : Fotokopi Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 4. Bukti P-4 : Fotokopi Daftar Calon Sementera Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Pemilu 2009; 25 [2.7] Menimbang bahwa berkaitan dengan permohonan para Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan tertulis tanpa tanggal bulan November 2008 yang diserahkan di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 28 November 2008 yang pada pokoknya menguraikan sebagai berikut: [2.7.1] KETERANGAN TERTULIS DPR DALAM PERKARA NOMOR 22/PUU- VI/2008 Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon Sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 menyatakan bahwa Pemohon adalah Pihak yang menganggap hak/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga Negara. Ketentuan tersebut dipertegas dalam penjelasannya bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 menyatakan bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk hak konstitusional; Oleh karena itu, menurut UU 24/2003 bahwa agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: 1. kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003; 2. hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud Penjelasan Pasal 51 ayat (1) yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang; 3. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. 26 Batasan-batasan mengenai kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide, Putusan Perkara Nomor 006/PUUIII/2005 dan Putusan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005), yaitu sebagai berikut: a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (casual verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam mengajukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon; Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10/2008 telah menimbulkan kerugian hak konstitusional Pemohon; Adapun hak konstitusional yang dimaksudkan oleh Pemohon pada pokoknya, yaitu: (a) perlakuan diskriminatif yang dialami Pemohon selaku bakal calon anggota legislatif DPRD Jawa Timur Periode 2009-2014; (b) telah menghilangkan makna pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama bagi setiap warga negara dihadapan hukum; Oleh karenanya menurut Pemohon ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; 27 Terhadap dalil-dalil Pemohon a quo, secara formil perlu dipertanyakan terlebih dahulu mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, yaitu: 1. Apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian atas berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji ? 2. Apakah Pemohon sudah memenuhi kualifikasi sebagai pihak sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasannya UU 24/2003, serta memenuhi 5 (lima) syarat (vide, Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUUIII/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005), yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU 10/2008 ? 3. Siapakah yang sebenarnya dirugikan atas berlakunya Undang-Undang Pemilu, apakah Pemohon sebagai perorangan itu sendiri? atau seluruh bakal calon legislatif? Oleh karena Pemohon tidak secara tegas dan jelas menguraikan kerugian konstitusional apa yang secara nyata-nyata terjadi dan ditimbulkan atas berlakunya undang-undang a quo. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU 24/2003 dan persyaratan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan berpendapat bahwa tidak ada Perkara sedikit pun Nomor 011/PUU-III/2005, DPR hak konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10/2008. Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon a quo, DPR tidak sependapat, dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Bahwa Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah pemilihan umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 [vide, Pasal 1 ayat (2) UU 10/2008]. 28 2. Bahwa atas dasar ketentuan tersebut pada angka 2, pada dasarnya setiap warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan untuk menjadi bakal Caleg DPR sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (selanjutnya disebut UU 2/2008) juncto UU 10/2008 diberikan peluang dan kesempatan yang sama untuk menggunakan haknya untuk dipilih menjadi bakal Caleg DPR, tanpa adanya perbedaan dari status sosial, jenis kelamin, ras, suku, agama, golongan, ekonomi dan hal-hal yang mengandung unsur diskriminasi; 3. Bahwa suatu ketentuan dianggap diskriminatif jika memenuhi batasan pengertian diskriminasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya UU 39/1999), Pasal 1 angka 3 yang menyebutkan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang Iangsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya; 4. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU 39/1999, ketentuan Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 tidak dapat dikategorikan termasuk dalam perlakuan yang diskriminatif dan tidak berpotensi menghalangi terpilihnya bakal Caleg termasuk Pemohon sebagaimana ditentukan dalam UU 39/1999, karena tidak membeda-bedakan pemberlakuan terhadap manusia berdasarkan atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik; 5. Bahwa oleh karena itu, ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 tidak merugikan hak konstitusional Pemohon dengan memberikan keistimewaan bagi bakal Caleg perempuan, karena Pasal a quo tidak menentukan penempatan pada nomor urut kecil atau besar bagi bakal Caleg perempuan, dapat saja nomor urut Pemohon ditempatkan pada nomor urut kecil mendahului nomor urut bakal caleg perempuan, serta tergantung keputusan partai politik untuk 29 menentukannya. Oleh karena itu tidak ada kaitannya dengan hak konstitusionalitas Pemohon; 6. Bahwa begitu pula ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2004 tidak merugikan hak konstitusional Pemohon, oleh karena pengaturan bakal Caleg DPR ditentukan berdasarkan pada nomor urut diberlakukan kepada semua partai politik peserta pemilu, sedangkan dalam hal penentuan bahwa Pemohon ditetapkan berada pada nomor kecil atau besar adalah merupakan kewenangan penuh dari pimpinan partai politik yang bersangkutan. Sehingga, hal ini tidak ada relevansinya dengan persoalan konstitusionalitas dari UU 10/2008; 7. Bahwa jika dihubungkan dengan persoalan yang menyangkut penempatan urutan penomoran Pemohon sebagai bakal calon anggota legislatif dari partai peserta Pemilu (in casu PDIP) adalah merupakan kewenangan dan kebijakan dari partai peserta pemilu tersebut, sehingga hal itu tidak ada relevansinya dengan ketentuan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujian oleh pihak Pemohon; 8. Bahwa seorang bakal calon anggota legislatif sesuai ketentuan yang berlaku terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan dan kelengkapan administrasi serta selain itu akan dilakukan seleksi oleh partai politik peserta Pemilu tempat dimana bakal calon tersebut akan maju. Seleksi bakal calon anggota legislatif maupun urutan penempatan penomoran adalah merupakan kewenangan penuh dari masing-masing partai politik peserta pemilu yang dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik (vide, UU 2/2008); 9. Bahwa mekanisme atau prosedur dan persyaratan untuk menduduki jabatan sebagai anggota DPR dan DPRD tercantum dalam Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008. Untuk menjadi anggota DPR dan DPRD, Partai Politik mempunyai hak untuk menentukan anggota Partai Politik Peserta Pemilu yang akan duduk sebagai anggota DPR dan DPRD. Hal ini tercermin dalam Pasal 12 huruf d UU 2/ 2008 yang menyatakan bahwa partai politik berhak ikut serta dalam Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; 10. Bahwa Pemohon yang saat ini sudah terdaftar sebagai calon anggota legislatif, 30 seharusnya tidak perlu khawatir dan meragukan dirinya sendiri karena jika Pemohon memiliki kualitas, berbobot, kompetensi yang tinggi, kapasitas yang memadai dan mampu menarik simpati para pemilih di daerah pemilihannya dengan sosialisasi yang maksimal serta bekerja keras untuk mencapai tujuan yang diharapkan, maka persoalan akan peluang terpilihnya Pemohon juga akan lebih besar; 11. Bahwa dengan demikian sesungguhnya hak konstitusional Pemohon a quo tidak dirugikan oleh berlakunya ketentun Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan e UU 10/2008, oleh karena antara persoalan penentuan nomor urut bagi Pemohon a quo dan kesempatan yang lebih luas kepada keterwakilan perempuan di parlemen secara konstitusional tidak ada relevansinya dengan hak konstitusional Pemohon itu sendiri. Dalam UU 2/2008, dan UU 10/2008 pada asasnya telah memberikan kesempatan dan peluang yang sama kepada segala warga negara Indonesia untuk menjadi bakal calon legislatif baik di DPR, DPD maupun di DPRD. Kalaupun terdapat ketentuan mengenai penentuan nomor urut untuk bakal calon legislatif di DPR, ini tidak ada kaitannya dengan persoalan diskriminasi, melainkan hal ini adalah kebijakan internal dari partai politik yang bersangkutan. Sebab persoalan pengajuan bakal calon legislatif DPR dari keanggotaan partai politik adalah kewenangan dan kedaulatan penuh dari partai politik yang bersangkutan; Berdasarkan dalil-dalil tersebut, DPR meminta kepada Pemohon melalui Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan dan membuktikan secara sah terlebih dahulu, apakah benar Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan? DPR berpendapat bahwa tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dialami Pemohon a quo dengan berlakunya UU 10/2008. Oleh karena itu kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang a quo tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 dan batasan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUUIII/2005 dan Perkara Nomor 11/PUU-V/2007 terdahulu; Berdasarkan dalil-dalil tersebut, DPR mohon agar Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon 31 ditolak (void) atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); Namun jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini disampaikan keterangan DPR mengenai materi pengujian UU 10/2008; Pengujian Materiil Atas UU 10/2008 Pemohon dalam permohonan a quo, berpendapat bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 yakni bahwa "Ketentuan tersebut tidak memberikan perlakuan yang sama di depan hukum antara Pemohon dengan bakal calon legislatif lain yang berada di nomor urut kecil". Sebab antara Pemohon yang apabila berada di nomor urut 7 (tujuh) harus bekerja keras untuk bisa mencapai 30% suara dari BPP, sedangkan nomor urut 1 (satu) tidak harus bekerja keras (cukup duduk-duduk santai), apabila tidak ada caleg yang mencapai 30% suara dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) karena penentuan akan dikembalikan kepada nomor urut sesuai usulan dari partai politik, seperti yang dijelaskan dalam huruf e pasal a quo; Terhadap hal-hal yang dikemukakan Pemohon tersebut, DPR memberi keterangan sebagai berikut: A. Terhadap Ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 1. Bahwa pemilihan umum diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali. Pemilhan Umum dimaksud diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap orang warga negara Indonesia terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat disetiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga daerah. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial; 2. Bahwa landasan konstitusional untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga politik dan pemerintahan dengan jumlah minimum 30% tercermin dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, "Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk 32 memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan"; 3. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 tersebut, dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR oleh Presiden, DPR, DPA, BPK, MA Pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 pada angka 10 menyatakan, "Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak" huruf (b); "Partisipasi dan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga pengambilan keputusan baik di bidang eksekutif, legislatif, yudikatif masih sangat rendah. Padahal kebijakan dasar untuk meningkatkan keterwakilan perempuan telah ditetapkan dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 mengenai Pengesahan Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Tahun 1979 serta Deklarasi dan Rencana Aksi Beijing Tahun 1995"; 4. Bahwa selanjutnya Ketetapan MPR a quo merekomendasikan, "Membuat kebijakan, peraturan, dan program khusus untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga pengambil keputusan dengan jumlah minimum 30%"; 5. Bahwa minimnya partisipasi politik keterwakilan perempuan dalam parlemen telah menjadi perhatian bangsa di dunia, dan semuanya itu telah diatur dalam Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Tahun 1966 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik); 6. Bahwa minimnya partisipasi politik dan representasi perempuan dalam penetapan kebijakan dan kekuasaan sering mendapat perhatian yang khusus dibandingkan dengan isu-isu Iainnya. Hal ini disebabkan, karena politik yang mereka artikan sebagai setiap kegiatan dimana ada power structure relationship (hubungan kekuasaan secara struktural) dan ketidaksetaraan jender antara perempuan dan laki-laki, dianggap ranah yang sangat strategis karena mencakup semua aspek kehidupan; 7. Bahwa ketentuan Pasal 55 ayat (2) undang-undang a quo, adalah tidak 33 terlepas dari ketentuan Pasal 53 undang-undang a quo yang menyatakan, "Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan"; 8. Bahwa ketentuan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan tersebut, merupakan perwujudan dari kebijakan affirmative action (tindakan khusus sementara) bagi perempuan di bidang politik; 9. Bahwa kebijakan affirmative action (tindakan khusus sementara) tersebut, adalah sebagai bentuk tindak lanjut dari konvensi perempuan se-dunia keIV di Beijing Tahun 1995, yang antara lain merekomendasikan agar negaranegara peserta melaksanakan (termasuk "kuota 30%" Indonesia) keterwakilan segera mewujudkan perempuan di dan Parlemen. Kebijakan affirmative action (tindakan khusus sementara) ini bertujuan untuk membuka peluang dan kesempatan kepada perempuan agar dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan publik secara adil dan seimbang; 10. Bahwa kaitannya dengan kuota 30% keterwakilan perempuan di Parlemen tersebut, Pemerintah dan DPR telah meratifikasi berbagai Konvensi Internasional yang berkaitan dengan hak-hak perempuan dalam bidang politik antara lain: a. Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan (New York), dengan Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita; b. Konvensi tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan/Convention On The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita; c. Konvensi tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Right/ICCPR), dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang menekankan bahwa negara-negara pihak konvensi berjanji untuk menjamin hak-hak yang sederajat antara laki-laki dan perempuan untuk menggunakan hak sipil dan politik; 11. Bahwa hasil Sidang Umum Convention On The (Elimination of All Forms of 34 Discrimination Against Women (CEDAW) tanggal 27 Juli 2007 (New York) menyatakan mendesak negara-negara peserta untuk memperkuat kuota 30% untuk calon legislatif perempuan dalam Undang-Undang Pemilu negara masing-masing, dengan menjatuhkan sanksi-sanksi tertentu apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi; 12. Bahwa Ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 secara konstitusional tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat dan Pasal 28 ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Ketentuan Pasal 55 ayat UU 10/2008 hanya memberikan jaminan kepastian agar suara perempuan dapat tertampung minimal dengan kuota 30% (tiga puluh perseratus) pada lembaga perwakilan. Namun mekanisme dalam praktik pemilihannya tetap diserahkan kepada pemilih itu sendiri; 13. Bahwa porsi adanya 30% (tiga puluh perseratus) suara perempuan yang dilakukan melalui keterwakilan perempuan melalui lembaga legislatif yang mekanisme selanjutnya antara lain diatur dengan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008. Pada dasarnya aturan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28 ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, karena adanya mekanisme yang disusun dalam perolehan suara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 pada dasarnya untuk mengimbang jumlah porsi suara pria agar ada kepentingan yang seimbang dalam menentukan berbagai kebijakan di lembaga parlemen. Berbagai Masukan dari Masyarakat/Organisasi Perempuan dalam RDPU Pansus RUU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD. Pansus RUU tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD telah mengadakan serangkaian Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait dengan substansi RUU. Salah satu pihak yang hadir di dalam RDPU tersebut adalah organisasi atau individu perseorangan yang concern terhadap masalah perempuan (koalisi perempuan); Beberapa masukan yang dapat dirangkum dari masukan tersebut antara lain: 1. Rekomendasi pertama, "Setiap partai politik peserta pemilu wajib mengajukan daftar calon tetap untuk anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD 35 kabupaten/kota yang memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) perempuan”; 2. Konsekuensi dari rumusan tersebut adalah mekanisme sanksi bagi parpol yang tidak memenuhi aturan tersebut, karena tanpa sanksi tidak ada perubahan signifikan dalam penerapan kebijakan afirmatif bagi perempuan; 3. Mengapa sanksi pada parpol? karena partai politik merupakan gatekeeper dalam proses ini. Muaranya terletak pada parpol; 4. Rekomendasi ketiga, "Daftar Calon Tetap untuk anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) perempuan dan harus ditempatkan pada posisi yang peluang terpilihnya besar"; 5. Keterwakilan perempuan dalam struktur kekuasaan dan proses pengambilan keputusan serta perumusan kebijakan publik masih rendah, baik di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kesenjangan partisipasi dan rendahnya keterwakilan perempuan dalam politik dan kehidupan publik tersebut terutama bersumber dari ketimpangan struktural dan sosial-kultural masyarakat dalam bentuk pembatasan, pembedaan, dan pengucilan yang dilakukan terhadap perempuan secara terus menerus (diskriminasi), baik formal maupun informal, dalam lingkup publik maupun privat; 6. Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah memberi jaminan hukum yang kuat untuk persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, termasuk hak politik, yang sudah dijamin dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2); Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 (Ratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Politik Perempuan; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 (Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita/CEDAW), Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 (Ratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Aasasi Manusia, khususnya Pasal 43 dan Pasal 45 s.d. Pasal 51 tentang Hak Wanita; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 (Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), terutama Pasal 3 dan Pasal 25; dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 (Ratifikasi Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya); 7. Landasan hukum yang khusus berkaitan dengan penerapan tindakan khusus 36 sementara (TKS) minimun 30% (tiga puluh perseratus) untuk keterwakilan perempuan adalah UUD 1945 Pasal 28H ayat (2); Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Pasal 4 ayat (1); Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Pasal 65 ayat (1); dan Tap MPR No.VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2002; 8. Jaminan hukum dalam bentuk tindakan khusus sementara dengan mencantumkan jumlah yang jelas (sekurang-kurangnya 30%) sangat penting, karena berdasarkan penelitian oleh PBB, jumlah minimum 30% (tiga puluh perseratus) merupakan suatu critical mass untuk memungkinkan terjadinya suatu perubahan. Dengan demikan ada target yang harus dicapai dan dapat diukur sejauh mana terjadi suatu perubahan. Suatu critical mass akan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembagalembaga publik. Jumlah 30% ditetapkan untuk menghindari dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan publik; 9. Tindakan khusus sementara tidak boleh dianggap sebagai diskriminasi, melainkan suatu koreksi, asistensi, dan kompensasi terhadap perlakuan diskriminatif dan tidak adil yang dialami perempuan selama berabad-abad, dengan maksud untuk mempercepat tercapainya persamaan "de facto" antara keterwakilan perempuan dan laki-laki. Tindakan khusus ini bersifat sementara, untuk mempercepat tercapainya kesetaraan substantif antara perempuan dan laki-laki. Artinya, apabila sudah terjadi kesetaraan, maka tindakan khusus ini harus dihentikan. Prinsip penyempurnaan paket undang-undang Bidang Politik adalah konsolidasi demokrasi; penegakan hukum; persamaan dan kesetaraan semua warga negara (laki-laki dan perempuan); tindakan khusus sementara untuk mempercepat tercapainya kesetaraan dalam keterwakilan dan kepemimpinan yang seimbang antara perempuan dan laki-laki; penyerapan aspirasi politik rakyat; partisipasi dan tanggung jawab publik semua warga negara; serta kebijakan dan pelayanan publik yang adil bagi semua; 10. Usul penyempurnaan Paket Undang-Undang Bidang Politik: • Penerapan tindakan khusus sementara untuk keterwakilan perempuan minimum 30% (tiga puluh perseratus) bersifat mengikat, sebagai syarat bagi 37 partai politik peserta pemilu, yaitu yang berkaitan dengan: a. Keanggotaan partai politik yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. minimal 30% (tiga puluh perseratus) anggota partai politik adalah perempuan, agar partai politik mempunyai jumlah anggota perempuan yang cukup yang slap menjadi caleg. Partai politik minimal juga harus memiliki 30% (tiga puluh perseratus) perempuan dari 1.000 anggota yang disyaratkan; b. Rekrutmen dalam pengisian jabatan publik: partai politik harus melakukan rekrutmen melalui mekanisme yang demokratis, transparan, dan terukur dengan menyertakan keterwakilan perempuan minimum 30% (tiga puluh perseratus); c. Kepengurusan partai politik : minimum 30% (tiga puluh perseratus) perempuan dalam kepengurusan partai di semua tingkatan, dengan penambahan: penempatan dalam jabatan strategis (jabatan yang mempunyai wewenang menentukan atau terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan partai); 11. Dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang berkesetaraan dan berkeadilan jender, perlu dibangun kebersamaan dengan melibatkan partisipasi secara aktif dan konstruktif. Oleh karena itu pengaturan politik yang konvensional yang menghambat kemajuan perempuan dalam politik harus diubah, sehingga Undang-Undang Bidang Politik yang baru benar-benar berperspektif jender dan tidak diskriminatif terhadap perempuan; 12. Ketentuan kuota 30% (tiga puluh perseratus) bagi representasi politik perempuan dalam kepengurusan partai politik dan daftar Caleg wajib diterapkan, sehingga memiliki kekuatan hukum dan sanksi hukum; 13. Untuk meningkatkan jumlah perempuan di legislatif dan eksekutif perlu disusun pengaturan yang jelas dan proporsional dalam menempatkan perempuan dalam daftar Caleg. Perlu juga pengaturan bagi partai politik untuk melakukan pendidikan politik perempuan; B. Terhadap ketentuan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10/2008; 1. Bahwa Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menyebutkan, "Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan rakyat Daerah adalah partai politik"; 38 2. Bahwa ketentuan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e terkait dengan sistem pemilu yang dirumuskan dalam Pasal 5 UU 10/2008 yang menyatakan bahwa Pemilu untuk memilih Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka; 3. Bahwa rumusan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10/2008 mengandung politik hukum transisional antara sistem proporsional terbuka terbatas dengan sistem proporsional terbuka murni. (Nomor urut atau 100% BPP menjadi nomor urut atau sekurang-kurangnya 30% kemudian diharapkan pada Pemilu berikutnya menjadi suara terbanyak). Dalam hal masing-masing partai politik telah mengambil satu langkah ke depan dengan menerapkan suara terbanyak, maka hal tersebut diserahkan kepada masing-masing partai politik sesuai aturan internal partai politik yang bersangkutan; 4. Bahwa dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD di Pansus, terdapat semangat bahwa meskipun pemilu sistem proporsional memiliki karakteristik pada adanya kedaulatan partai politik, namun disadari bahwa kedaulatan pemilih juga harus dihargai, sehingga terdapat angka 30% dari BPP sebagai penghargaan kepada suara pemilih. Kombinasi ini merupakan sebuah upaya meningkatkan adanya kedaulatan rakyat atau pemilih selain kedaulatan partai politik dalam menentukan para calon anggota legislatif. Ketentuan tersebut secara teoritis tidak bertentangan, bahkan menjadi varian baru dalam pemilu sistem proporsional. Secara teoritis, sistem proporsional terbagi atas beberapa varian yaitu sistem daftar (list system), sistem campuran (mixed member proportional), dan sistem single transferable vote. Selain itu terdapat sistem semi proporsional yang menggabung dengan sistem pluiralitas–mayoritas (distrik). Oleh karena itu, penggunaan sistem proporsional terbuka (open list system) merupakan kemajuan yang pesat karena pemilih diberikan pilihan nama calon wakil mereka yang akan duduk dalam lembaga perwakilan. Angka 30% merupakan angka yang bisa dijadikan ukuran bagi legitimasi seseorang wakil, meskipun sangat mungkin seseorang memperoleh 100% BPP seperti yang terjadi pada Pemilu 2004 lalu. Pilihan terhadap penggunaan sistem proporsional terbuka berdasarkan pertimbangan bahwa bagi negara kesatuan dan plural, maka sistem proporsional lebih kompatibel karena mengakui juga suara minoritas. 39 Disadari bahwa tidak ada sistem pemilu yang paling benar atau paling baik. Yang ada adalah sistem pemilu yang paling kompatibel dengan situasi dan kondisi negara yang bersangkutan; 5. Bahwa dalam pelaksanaannya, mekanisme penentuan calon terpilih sangat bergantung kepada aturan internal dari masing-masing partai politik. Oleh karena itu perlu menjadi perhatian partai politik untuk meningkatkan iklim demokrasi di internal partai politiknya. Hal itu disadari oleh Pansus, sehingga terdapat ketentuan Pasal 218 ayat (1) huruf b tentang Penggantian Calon Terpilih yaitu dengan cara mengundurkan diri. Hal itu sebagai upaya bahwa dalam sistem proporsional terbuka terdapat peluang bagi para calon yang berada di urutan nomor besar untuk dapat terpilih secara lebih fair, meskipun sesungguhnya partai politik masih memiliki kewenangan dalam menentukan kader terbaiknya; 6. Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 214 UU 10/2008 bertentangan dengan UUD 1945 khususnya dengan Pasal 6A ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang terkait dengan pemenang pemilu harus didasarkan pada suara terbanyak, mendapat perlakuan yang adil dan tidak ada diskriminasi. Hal ini tidak beralasan mengingat amanat UUD 1945 bahwa ketentuan tentang Pemilu diatur dalam undang-undang termasuk sistemnya; 7. Bahwa tidak terdapat keterkaitan secara essensial antara ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 yang mengatur mengenai pemilihan anggota DPR dan DPRD dengan ketentuan Pasal 215 undang-undang a quo yang mengatur mengenai pemilihan anggota DPD, karena calon anggota DPD mendaftarkan diri atas namanya sendiri dan bukan dicalonkan oleh partai politik, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945; 8. Bahwa tidak ada relevansinya dan tidak dapat dipertentangkan ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 dengan Pasal 6A UUD 1945 karena kedua ketentuan tersebut mengatur mengenai rezim yang berbeda. Pasal 6A UUD 1945 mengatur mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sehingga tidak terdapat alasan bagi 40 Pemohon mempertentangkan UU 10/2008 dengan Pasal 6A UUD 1945 yang mengatur mengenai Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden; Terhadap Ketentuan Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 Tidak Diskriminatif 1. Bahwa DPR tidak sependapat dengan dalil-dalil dan anggapan Pemohon yang menyatakan, ketentuan Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 dianggap telah bertentangan dengan hak asasi manusia dan dianggap telah memberikan perlakuan diskriminatif terhadap Pemohon, sebagaimana dijamin dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, karena menurut DPR, kewajiban untuk menghormati, memberikan perlindungan, dan memberikan jaminan atas pelaksanaan dan pemenuhan hak asasi manusia terhadap setiap orang tersebut bersifat universal yang berlaku terhadap siapapun, termasuk terhadap Pemohon itu sendiri; 2. Bahwa jika dikaitkan dengan apa yang telah kami kemukakan tersebut di atas maka materi muatan ketentuan Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 tidak dapat dikategorikan termasuk dalam perlakuan yang diskriminatif dan tidak berpotensi menghalangi terpilihnya seseorang bakal calon anggota legislatif termasuk Pemohon sebagaimana ditentukan dalam UU 39/1999, karena tidak membeda-bedakan pemberlakuannya terhadap manusia berdasarkan atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik (Vide, Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun Pasal 2 International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR); Bahwa berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon kiranya Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); 2. Menolak permohonan a quo untuk permohonan a quo tidak dapat diterima; seluruhnya atau setidak-tidaknya 41 3. Menyatakan Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan (3) serta Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 4. Menyatakan Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; Apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil–adilnya (ex aequo et bono); [2.7.2] KETERANGAN TERTULIS DPR DALAM PERKARA NOMOR 24/PUU- VI/2008 Kedudukan Hukum (legal standing) Para Pemohon. Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang–Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU 24/2003) menyatakan, Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat ; atau d. lembaga negara Ketentuan tersebut dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak–hak yang diatur dalam Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 menjelaskan bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Negara Republik Tahun 1945 saja yang termasuk "hak konstitusional"; 42 Oleh karena itu, menurut UU 24/2003 bahwa agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: a. kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; b. hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud Penjelasan Pasal 51 ayat (1) yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang; c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; Batasan-batasan mengenai kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003, harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide, Putusan Perkara Nomor 006/PUUIII/2005 dan Putusan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005), yaitu sebagai berikut: a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (casual verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon dalam mengajukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka para Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pihak; Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), serta Pasal 214 UU 10/2008 telah menimbulkan kerugian hak konstitusional para Pemohon. Hak konstitusional yang dimaksudkan oleh para Pemohon secara garis besarnya 43 meliputi: [a]. Perlakuan diskriminatif yang dialami Pemohon I dan Pemohon II selaku calon anggota DPR Periode 2009-2014, [b]. Telah menghilangkan makna pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama bagi setiap warga negara dihadapan hukum. Oleh karenanya menurut para Pemohon ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1), Pasal 6A ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 28E ayat (2) UUD 1945; Dalam hal ini, terhadap permohonan para Pemohon a quo secara formil perlu dipertanyakan terlebih dahulu mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, yaitu: 1. Apakah terdapat kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian atas berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji ? 2. Apakah para Pemohon sudah memenuhi kualifikasi sebagai pihak sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasannya UU 24/2003, serta memenuhi 5 (lima) syarat (vide, Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUUIII/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005), yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU 10/2008 ? 3. Siapakah yang sebenarnya dirugikan atas keberlakuan UU 10/2008, apakah para Pemohon sebagai perseorangan itu sendiri atau seluruh bakal calon anggota DPR periode 2009 – 2014 yang berkeinginan untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR ? Karena para Pemohon tidak secara tegas dan jelas menguraikan kerugian konstitusional apa yang secara nyata-nyata terjadi dan ditimbulkan atas keberlakuan udang-udang a quo; Berdasarkan pada ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU 24/2003 dan persyaratan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUUIII/2005 dan Putusan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005, DPR berpendapat bahwa tidak ada sedikit pun hak konstitusional para Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya Pasal 205 ayat (4), (5), (6), dan (7), serta Pasal 214 UU 10/2008; Terhadap dalil–dalil yang dikemukakan Pemohon a quo, DPR tidak sependapat, dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Bahwa Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah pemilihan umum untuk memilih 44 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (vide, Pasal 1 ayat (2) UU 10/2008); 2. Bahwa perlu dicermati dan difahami oleh para Pemohon bahwa ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) ialah mengatur mengenai cara penetapan perhitungan perolehan suara apabila terdapat sisa kursi dari hasil pemilu tahap pertama, kedua, dan ketiga. Ketentuan a quo tidak sama sekali menghalangi dan atau menggugurkan hak konstitusionalitas para Pemohon untuk dipilih menjadi bakal calon legislatif. Oleh karena sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Pemilu a quo, pemilihan umum terhadap bakal calon legislatif itu ditentukan oleh masyarakat. Sehingga apabila para Pemohon tidak terpilih menjadi bakal calon legislatif, maka hal ini bukan persoalan konstitusionalitas Undang-Undang Pemilu a quo; 3. Bahwa atas dasar ketentuan tersebut pada angka 2 pada dasarnya setiap warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan untuk menjadi bakal calon legislatif DPR sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (selanjutnya disebut UU 2/2008) juncto UU 10/2008 diberikan peluang dan kesempatan yang sama untuk menggunakan haknya untuk dipilih menjadi bakal calon legislatif DPR, tanpa adanya perbedaan dari status sosial, jenis kelamin, ras, suku, agama, golongan, ekonomi dan hal-hal yang mengandung unsur diskriminasi, sedangkan persoalan nantinya para Pemohon terpilih atau tidak, bukan persoalan hak konstitusionalitas para Pemohon yang dirugikan. Melainkan pemilihan umum itu hakekatnya merupakan hak konstitusionalitas dari pada pemilih (masyarakat); 4. Bahwa suatu ketentuan dianggap diskriminatif jika memenuhi batasan pengertian diskriminasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU 31/1999), Pasal 1 angka 3 yang menyebutkan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia ata dasar agarma, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang 45 berakibat pengurangan penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan Iainnya; 5. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU 39/1999, ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6; dan ayat (7), dan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 tidak dapat dikategorikan termasuk dalam perlakuan yang diskriminatif dan tidak berpotensi menghalangi terpilihnya bakal calon legislatif termasuk para Pemohon sebagaimana ditentukan dalam UU 39/1999, karena tidak membeda-bedakan pemberlakuan terhadap manusia berdasarkan atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, statu ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik; 6. Bahwa oleh karena itu, ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UU 10/2008 tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon, karena ketentuan pasal a quo mengatur tentang cara penetapan penghitungan suara jika terdapat sisa kursi dari hasil pemilu tahap pertama, kedua, dan ketiga, tidak menghalangi dan atau menghilangka hak untuk dipilih sebagaimana diuraikan pada angka 2 dan 3. Bahwa ketentuan Pasal 205 a quo berlaku untuk semua partai politik peserta Pemilu anggota legislatif. Oleh karena itu ketentuan Pasal 205 a quo tidak ada kaitannya denga hak konstitusionalitas para Pemohon; 7. Bahwa begitu pula ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon, oleh karena pengaturan bakal calon legislatif DPR ditentukan berdasarkan pada nomor urut diberlakukan kepada semua partai politik peserta Pemilu, sedangkan dalam hal penentuan bahwa para Pemohon ditetapkan berada pada nomor kecil atau besar adalah merupakan kewenangan penuh dari pimpinan partai politik yang bersangkutan. Sehingga, hal ini tidak ada relevansinya dengan persoalan konstitusionalitas dari Undang-Undang Pemilu a quo; 8. Bahwa jika dihubungkan dengan persoalan yang menyangkut penempatan urutan penomoran para Pemohon sebagai bakal calon anggota legislatif da partai peserta Pemilu adalah merupakan kewenangan dan kebijakan dari partai peserta Pemilu tersebut, sehingga hal itu tidak ada relevansinya dengan ketentuan pasalpasal a quo yang dimohonkan pengujian oleh pihak Pemohon; 9. Bahwa seorang bakal calon anggota legislatif sesuai ketentuan yang berlaku 46 terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan dan kelengkapan administrasi serta selain itu akan dilakukan seleksi oleh Partai Politik Peserta Pemilu tempat dimana bakal calon tersebut akan maju. Seleksi bakal calon anggota legislatif maupun urutan penempatan penomoran adalah merupakan kewenangan penuh dari masing-masing partai politik peserta Pemilu yang dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik (vide UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik); 10. Bahwa mekanisme atau prosedur dan persyaratan untuk menduduki jabatan sebagai anggota DPR dan DPRD tercantum dalam Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10/2008. Untuk menjadi anggota DPR dan DPRD, Partai Politik mempunyai hak untuk menentukan anggota partai politik peserta Pemilu yang akan duduk sebagai anggota DPR dan DPRD. Hal ini tercermin pada Pasal 12 huruf d UU 2/2008 yang menyatakan bahwa partai politik berhak ikut serta dalam Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah; 11. Bahwa para Pemohon yang saat ini sudah terdaftar sebagai calon anggota legislatif, seharusnya tidak perlu khawatir dan meragukan dirinya sendiri karena jika Pemohon memiliki kualitas, berbobot, kompetensi yang tinggi, kapasitas yang memadai dan mampu menarik simpati para pemilih di daerah pemilihannya dengan sosialisasi yang maksimal serta bekerja keras untuk mencapai tujuan yang diharapkan, maka persoalan akan peluang terpilihnya para Pemohon juga akan lebih besar; 12. Bahwa dengan demikian sesungguhnya hak konstitusional para Pemohon a quo tidak dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) dan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008, oleh karena antara persoalan cara penetapan perhitungan suara jika terdapat sisa kursi, secara konstitusional tidak ada relevansinya dengan hak konstitusional para Pemohon itu sendiri. Dalam Undang-Undang partai politik, dan Undang-Undang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada asasnya telah memberikan kesempatan dan peluang yang sama kepada segala warga negara Indonesia untuk menjadi bakal calon legislatif baik di DPR, DPD maupun di DPRD. Kalaupun terdapat ketentuan mengenai penentuan nomor urut untuk bakal calon legislatif di DPR, ini tidak ada kaitannya dengan persoalan 47 diskriminasi, melainkan hal ini adalah kebijakan internal dari partai politik yang bersangkutan. Sebab persoalan pengajuan bakal calon legislatif DPR dari keanggotaan partai politik adalah kewenangan dan kedaulatan penuh dari partai politik yang bersangkutan; 13. Bahwa selain itu ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), serta Pasal 214 UU 10/2008 sama sekali tidak terdapat unsur-unsur yang merugikan hak konstitusional para Pemohon serta tidak berpotensi menghalangi terpilihnya seseorang bakal calon anggota DPR termasuk Pemohon I dan Pemohon II sebagaimana ketentuan yang terkandung dalam UU 10/2008; 14. Bahwa tidak ada relevansinya dan tidak dapat dianalogikan mengenai ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UU 10/2008, dengan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena ketentuan mengenai pemilihan anggota DPR diatur dalam rezim UndangUndang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, sedangkan ketentuan mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam rezim Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden; 15. Bahwa tidaklah beralasan apabila Pemohon mempertentangkan UU 10/2008 dengan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden; 16. Bahwa dengan demikian maka ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7), serta Pasal 214 UU 10/2008 justru memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada seluruh bakal calon anggota DPR termasuk juga Pemohon I dan Pemohon II untuk bersaing secara elegan, kompetitif, sehat dan fair kepada setiap bakal calon anggota DPR untuk bisa dipilih oleh rakyat; Berdasarkan hal-hal tersebut, DPR meminta kepada para Pemohon melalui Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan dan membuktikan secara sah terlebih dahulu, apakah benar para Pemohon sebagai Pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan? DPR berpendapat bahwa tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dialami para Pemohon a quo dengan berlakunya UU 10/2008. Oleh karena itu kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam permohonan pengujian Undang-Undang a quo tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 dan 48 batasan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 10/PUU-III/2005 terdahulu; Berdasarkan dalil-dalil yang telah dikemukakan tersebut, DPR mohon agar Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon ditolak (void) atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun jika Ketua /Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini disampaikan keterangan DPR mengenai materi pengujian UU 10/2008 tersebut; Pengujian Materiil Atas UU 10/2008. Para Pemohon dalam permohonan a quo berpendapat bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7), serta Pasal 214 UU 10/2008, yakni "Ketentuan tersebut tidak menunjukkan bentuk kedaulatan rakyat, tidak memberikan perlakuan yang sama di hadapan hukum, tidak adanya jaminan akan keadilan, dan adanya diskriminasi dalam melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga negara"; Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan para Pemohon tersebut, DPR memberikan keterangan/penjelasan sebagai berikut: A. Keterangan Mengenai Ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UU 10/2008 1. Bahwa pemilihan umum diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali. Pemilhan Umum dimaksud diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap orang warga negara Indonesia terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat disetiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga daerah. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial; 2. Bahwa landasan konstitusional pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) dapat dilihat dalam Pasal 22E UUD 1945, khususnya Pasal 22E ayat (6) yang berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut tentang Pemilihan Umum diatur dengan undang-undang"; 49 3. Bahwa berdasarkan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 di atas, Pemerintah bersama-sama dengan DPR diberi kewenangan konstitusional untuk mengatur lebih lanjut tentang pelaksanaan pemilihan umum dan sistem pemilihan umum dalam sebuah undang-undang; 4. Bahwa hal-hal yang terkait dengan sistem Pemilu, mekanisme Pemilu, penetapan perhitungan suara, dan hal-hal yang terkait dengan substansi pemilu adalah merupakan materi muatan yang harus diatur dalam sebuah undang-undang, oleh karena dalam UUD 1945 tidak secara rinci dan konkrit mengatur materi muatan tersebut. Karena itu untuk pelaksanaan Pemilu, UUD 1945 mengamanatkan untuk diatur lebih lanjut dalam sebuah undang-undang; 5. Bahwa untuk melaksanakan kewenangan konstitusional tersebut di atas maka disusunlah UU 10/2008 yang didalamnya mengatur tentang sistem Pemilu dan sistem perhitungan suara hasil Pemilu sebagaimana tercermin dalam Pasal 5, Pasal 205 dan Pasal 214 UU 10/2008. 6. Ketentuan Pasal 5 UU 10/2008 menyatakan, "Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proposional terbuka"; 7. Bahwa ketentuan Pasal 205 UU 10/2008 yang mengatur sistem perhitungan sisa suara hasil pemilu merupakan konsekwensi logis yang perlu diatur dari sistem pemilu proposional terbuka yang kita anut (vide Pasal 5 UU 10/2008) dan ketentuan tersebut berlaku terhadap seluruh partai politik perserta pemilu tanpa adanya diskriminasi; 8. Bahwa ketentuan Pasal 205 UU 10/2008 yang mengatur sistem perhitungan sisa suara hasil pemilu tidak ada relevansinya dengan ketentuan Pasal 6A ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang merupakan ketentuan yang menjamin kesamaan perlindungan dan kedudukan hukum warga negara; 9. Bahwa karena jika para Pemohon memahami makna ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UU 10/2008, maka secara jelas dan nyata ketentuan pasal-pasal tersebut sama sekali tidak berpotensi menghalangi terpilihnya seseorang bakal calon anggota DPR (calon legislatif) termasuk Pemohon I dan Pemohon II sebagaimana ketentuan yang terkandung dalam UU 10/2008; 50 B. Keterangan Mengenai Ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 1. Bahwa Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 berbunyi, "Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan rakyat Daerah adalah partai politik"; 2. Bahwa ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e terkait dengan sistem Pemilu yang dirumuskan dalam Pasal 5 UU 10/2008 yang menyatakan, Pemilu untuk memilih Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proposional terbuka; 3. Bahwa rumusan ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 mengandung politik hukum transisional antara sistem proporsional terbuka terbatas dengan sistem proporsional terbuka murni. (Nomor urut atau 100% BPP menjadi nomor urut atau sekurang-kurangnya 30% kemudian diharapkan pada pemilu berikutnya menjadi suara terbanyak). Dalam hal masing-masing partai politik telah mengambil satu langkah ke depan dengan menerapkan suara terbanyak, maka hal tersebut diserahkan kepada masing-masing partai politik sesuai aturan internal partai politik yang bersangkutan; 4. Bahwa dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD di Pansus, terdapat semangat bahwa meskipun pemilu sistem proporsional memiliki karakteristik pada adanya kedaulatan partai politik, namun disadari bahwa kedaulatan pemilih juga harus dihargai, sehingga terdapat angka 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP sebagai penghargaan kepada suara pemilih. Kombinasi ini merupakan sebuah upaya meningkatkan adanya kedaulatan rakyat atau pemilih selain kedaulatan partai politik dalam menentukan para calon anggota legislatif. Ketentuan tersebut secara teoritis tidak bertentangan, bahkan menjadi varian baru dalam Pemilu sistem proporsional. Secara teoritis, sistem proporsional terbagi atas beberapa varian yaitu sistem daftar (list system), sistem campuran (mixed member proportional), dan sistem single transferable vote. Selain itu terdapat sistem semi proporsional yang menggabung dengan sistem pluiralitasmayoritas (distrik). Oleh karena itu, penggunaan sistem proporsional terbuka (open list system) merupakan kemajuan yang pesat 51 karena pemilih diberikan pilihan nama calon wakil mereka yang akan duduk dalam lembaga perwakilan. Angka 30% (tiga puluh perseratus) merupakan angka yang bisa dijadikan ukuran bagi legitimasi seseorang wakil, meskipun sangat mungkin seseorang memperoleh 100% (seratus perseratus) dari BPP seperti yang terjadi pada pemilu 2004. Pilihan terhadap penggunaan sistem proporsional terbuka berdasarkan pertimbangan bahwa bagi negara kesatuan dan plural, maka sistem proporsional lebih kompatibel karena mengakui juga suara minoritas. Disadari bahwa tidak ada sistem pemilu yang paling benar atau paling balk. Yang ada adalah sistem pemilu yang paling kompatibel dengan situasi dan kondisi negara yang bersangkutan; 5. Bahwa dalam pelaksanaannya, mekanisme penentuan calon terpilih sangat bergantung kepada aturan internal dari masing-masing partai politik. Oleh karena itu perlu menjadi perhatian partai politik untuk meningkatkan iklim demokrasi di internal partai politiknya. Hal itu disadari oleh Pansus, sehingga terdapat ketentuan Pasal 218 ayat (1) huruf b tentang Penggantian Calon Terpilih yaitu dengan cara mengundurkan diri. Hal itu sebagai upaya bahwa dalam sistem proporsional terbuka terdapat peluang bagi para calon yang berada di urutan nomor besar untuk dapat terpilih secara lebih fair, meskipun sesungguhnya partai politik masih memiliki kewenangan dalam menentukan kader terbaiknya; 6. Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 214 bertentangan dengan UUD 1945 khususnya dengan Pasal 6A ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang terkait dengan pemenang Pemilu haruslah didasarkan pada suara terbanyak, mendapat perlakuan yang adil dan tidak ada diskriminasi. Hal ini tidak beralasan mengingat amanat UUD 1945 bahwa ketentuan tentang Pemilu diatur dalam undang-undang termasuk sistemnya; 7. Bahwa tidak ada relevansinya dan tidak dapat dianalogikan mengenai ketentua Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 dengan Pasal 6A UUD 1945 mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena ketentuan mengenai pemilihan anggota DPR diatur dalam rezim Undang-Undang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, sedangkan ketentuan mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam rezim Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden; 52 8. Bahwa tidaklah beralasan apabila Pemohon mempertentangkan UU 10/2008 dengan Pasal 6A UUD 1945 mengenai Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan pada dalil-dalil yang telah kemukakan di atas, maka DPR tidak sependapat dengan dalil-dalil dan anggapan para Pemohon (Pemohon I dan Pemohon II) yang menyatakan ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7), serta Pasal 214 UU 10/2008 dianggap telah bertentangan dengan hak asasi manusia dan dianggap telah memberikan perlakuan diskriminatif terhadap para Pemohon sebagaimana dijamin dalam ketentuan Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasa 28D ayat (1) dan (3), Pasal 28E ayat (2), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; Oleh karena ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7), serta Pasal 214 UU 10/2008 tidak termasuk dalam katagori ketentuan diskriminatif sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU 39/1999. Selain itu, ketentuan pasal-pasal a quo yang dianggap telah merugikan hal konstitusionalitas para Pemohon adalah tidak beralasan. Sebab ketentuan pasal-pasa a quo bukan merupakan persoalan konstitusionalitas Undang-Undang Pemilu a quo. Pendapat ini didasari dengan bahwa secara konstitusional sesungguhnya tidak terdapat kerugian konstitusional bagi para Pemohon. Karena ketentuan pasal-pasal a quo yang dipersoalkan para Pemohon, diberlakukan untuk semua partai politik peserta Pemilu dan semua bakal calon legislatif; Dengan demikian, maka DPR berpandangan bahwa ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) serta Pasal 214 UU 10/2008 tidak bertentangan dengan Pasal 6A ayat (4) Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945; Bahwa berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon kiranya Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); 2. Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima; 53 3. Menyatakan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 4. Menyatakan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak bertentangan dengan Pasal 6A ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 5. Menyatakan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) serta Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; Apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.8] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 12 November 2008, Pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Dalam Negeri telah menyampaikan keterangan secara lisan dan telah pula menyerahkan keterangan tertulisnya bertanggal 17 November 2008 untuk Perkara Nomor 22/PUUVI/2008 dan Perkara Nomor 24/PUU-VI/2008 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 19 November 2008 yang pada pokoknya menguraikan sebagai berikut: Tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon. Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU 24/2003), menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; 54 c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Sehingga agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: a. kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; b. hak dan/atau kewenangan konstitusionainya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji; c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Atas hal-hal tersebut di atas, maka menurut Pemerintah perlu dipertanyakan kepentingan para Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap 55 hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 55 ayat (2), Pasal 205 ayat (4), (5), (6), dan (7); serta Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU 10/2008). Juga, apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; Menurut Pemerintah, permohonan para Pemohon tidak jelas dan tidak fokus (obscuurlibels), utamanya dalam menguraikan/menjelaskan dan mengkonstruksikan telah timbul kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas berlakunya undang-undang a quo, karena pada kenyataannya keberadaan para Pemohon untuk melaksanakan hak-hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin oleh konstitusi tidak terganggu, terkurangi maupun terhalang-halangi atas berlakunya ketentuan tersebut di atas, terbukti saat ini Pemohon I tercatat menjadi calon anggota legislatif (Caleg) DPRD Jawa Timur Periode 2009-2014 melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan Pemohon II tercatat sebagai calon anggota legislatif (Caleg) DPR-RI untuk daerah pemilihan (Dapil) Jawa Timur melalui Partai Demokrat; Lebih lanjut menurut Pemerintah, penempatan calon anggota legislatif (Caleg) perempuan sekurang-kurangnya 1 (satu) calon di antara 3 (tiga) calon legislatif (zipper principle), justru sebagai perwujudan perlindungan terhadap perempuan atas perlakuan yang bersifat marjinalisasi dan diskriminatif yang selama ini terjadi (terbukti keterwakilan/partisipasi politik perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Pusat dan Daerah sejak tahun 1955 sampai dengan tahun 2004 walaupun terdapat kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun, namun hanya berkisar kurang lebih 11,50%); Selain itu berkaitan dengan menggunakan sistem nomor urut guna menentukan calon anggota legislatif yang terpilih menjadi anggota legislatif (pusat/daerah), menurut Pemerintah bukanlah bentuk perlakuan yang tidak adil, karena tidaklah mungkin seluruh calon anggota legislatif (Caleg) DPR maupun DPRD provinsi atau Kabupaten/Kota yang memenuhi BPP ditentukan/disahkan menjadi anggota legislatif secara bersama-sama/secara keseluruhan, jika demikian halnya maka Pemerintah 56 tidak dapat membayangkan berapa jumlah ideal anggota legislatif (pusat dan daerah), dan pada gilirannya dapat menciptakan ketiadakadilan dan ketidakpastian hukum (rechtszekerheid) terhadap para calon anggota legislatif (caleg) termasuk para Pemohon itu sendiri; Karena itu, menurut Pemerintah ketentuan tersebut di atas justru telah menciptakan perlakuan yang adil dan mewujudkan kepastian hukum (rechtszekerheid) terhadap para calon anggota Iegislatii (Caleg) DPR maupun DPRD provinsi atau Kabupaten/Kota, termasuk para Pemohon itu sendiri; Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon atas berlakunya UU 10/2008, karena itu kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum pada Pasal 51 UU 24/2003 maupun berdasarkan putusanputusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu; Karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat dan sudah sepatutnyalah jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitus secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Pengujian UU 10/2008 Menurut para Pemohon ketentuan Pasal 55 ayat (2); Pasal 205 ayat (4), (5), (6), dan (7); serta Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10/2008, yang menyatakan sebagai berikut: • Pasal 55 ayat (2): Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon; • Pasal 205: - Ayat (4): Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR"; - Ayat (5): Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dilakukan penghitungan tahap kedua, maka dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap ketiga dengan cara seluruh sisa suara 57 partai politik Peserta Pemilu dikumpulkan di provinsi untuk menentukan BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan; - Ayat (6): BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan membagi jumlah sisa suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dengan jumlah sisa kursi”; - Ayat (7): Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan cara memberikan kursi kepada Partai Politik yang mencapai BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan”; • Pasal 214, “Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan: a. Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupatenkKota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; b. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; c. Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP; d. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan haruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut; e. Dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang kuranganya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut”; 58 Ketentuan tersebut di atas oleh para Pemohon dianggap bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2); Pasal 27 ayat (1); Pasa 28D ayat (1) dan ayat (3); dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: • Pasal 22E ayat (2): “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”; • Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”; • Pasal 28D: Ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”; Ayat (3): “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”; • Pasal 28I ayat (2): “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”; Terhadap anggapan, alasan dan argumentasi para Pemohon tersebut di atas, Pemerintah dapat menyampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Terhadap ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut: a. Bahwa ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 di atas adalah dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 53 UU 10/2008 yang menyatakan, “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”; b. Bahwa ketentuan tentang regulasi kuota 30% (tiga puluh perseratus) tersebut di atas, merupakan perwujudan dan tindak lanjut dari kebijakan affirmative action (tindakan khusus sementara) bagi perempuan di bidang politik sebagaimana yang telah diberlakukan di berbagai negara, dengan menerapkan adanya kewajiban partai politik untuk menyertakan calon legislatif perempuan, antara lain, Perancis sebanyak 50%; Argentina 59 sebanyak 30%; Bangladesh sebanyak 30%; Pakistan sebanyak 33%, dan lain sebagainya; c. Bahwa kebijakan affirmative action (tindakan khusus sementara) tersebut di atas, adalah sebagai tindak lanjut dari konvensi perempuan se-dunia ke IV di Beijing Tahun 1995, yang antara lain merekomendasikan agar negaranegara peserta (termasuk Indonesia) segera mewujudkan, melaksanakan "kuota 30 %" keterwakilan perempuan di parlemen, dengan tujuan untuk membuka peluang kepada perempuan (sebagai kelompok yang termarjinalkan dan terdiskriminasikan) agar dapat terintegrasi dalam kehidupan publik secara adil dan seimbang; d. Bahwa dalam rangka memberdayakan perempuan Indonesia, Pemerintah telah meratifikasi berbagai konvensi internasional, menandatangani beberapa deklarasi, serta menyepakati optional protocol dan menjadi participant di berbagai konperensi tingkat dunia yang berkaitan dengan hakhak perempuan dalam bidang politik, antara lain sebagai berikut: − Konvensi-konvensi di bidang politik yang telah diratifikasi adalah Konvensi Hak-Hak Politik Perempuan (New York) dengan UndangUndang Nomor 68 Tahun 1958 tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita; Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan/Convention On The Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW), dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita; dan Pasal 3 International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang menekankan bahwa negara-negara pihak kovenan berjanji untuk menjamin hak-hak yang sederajat antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak sipil dan politik; − Deklarasi Internasional yang telah ditandatangani adalah Konferensi Dunia ke IV tentang Perempuan (Beijing Tahun 1995); − Hasil Sidang Umum Convention On The Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW) tanggal 27 Juli 2007 (New York, Amerika Serikat) menyatakan, mendesak negara-negara peserta 60 untuk memperkuat kuota 30% untuk calon legislatif perempuan dalam undang-undang pemilihan umum negara masing-masing, dengan menjatuhkan sanksi-sanksi tertentu apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi; Bahwa dari penjelasan tersebut di atas, Pemerintah berpendapat peran serta (partisipasi) perempuan dalam bidang politik dan pemerintahan harus didorong, diupayakan dan diusahakan melalui berbagai peraturan perundang-undangan, dengan harapan kesetaraan dan keseimbangan keterwakilan perempuan di parlemen dapat terwujud, yang pada gilirannya perlakuan memarjinalisasi dan mendiskriminasi terhadap perempuan dapat diminimalisasi dan dihindarkan; Bahwa dari uraian tersebut di atas, menurut Pemerintah ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 justru telah memberikan jaminan kepastian hukum dan perlakuan yang adil (rechtszekerheid) bagi perempuan untuk ikut berperan serta (partisipasi) dalam hukum dan pemerintahan, dan karenanya ketentuan a quo tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, juga tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon; 2. Terhadap ketentuan Pasal 205 ayat (4), (5), (6), dan (7) UU 10/2008, dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Bahwa ketentuan a quo hanya diberlakukan untuk penetapan perolehan kursi partai politik bagi provinsi yang memiliki lebih dari 1 Dapil DPR. Sedangkan bagi provinsi yang dapil DPR hanya 1 (satu) Dapil, maka penetapan perolehan kursi partai politik dilakukan dengan cara pembagian kursinya habis di Dapil yang bersangkutan berdasarkan hasil suara sah yang diperoleh oleh partai politik; b. Bahwa filosofi pengaturan ketentuan a quo dimaksudkan agar terdapat kesetaraan nilai kursi yang diperoleh masing-masing partai politik, sehingga terwujud keadilan atas nilai kursi yang diperoleh partai politik sesuai wujud aspirasi masyarakat di Dapil; c. Bahwa sisa suara atau perolehan suara parpol yang di bawah 50% dari BPP ditarik ke provinsi, memungkinkan terjadinya perpindahan alokasi kursi antar dapil. Namun demikian, karena sistem Pemilu yang digunakan adalah sistem 61 proporsional, sehingga berpindahnya kursi antar dapil tersebut tidak berpengaruh karena tetap masih dalam 1 (satu) provinsi d. Bawah berdasarkan hal tersebut di atas, maka penghitungan perolehan kursi lebih lanjut dilakukan secara proporsionlal dengan lenagkah-langkah sebagai berikut: 1) bagi partai politik yang memperoleh suara memenuhi BPP Iangsung mendapatkan kursi; 2) bagi partai politik yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% dari BPP Iangsung mendapatkan kursi; 3) bagi partai politik yang memperoleh suara atau masih mempunyai sisa suara di bawah 50% dari BPP ditarik ke provinsi dan sisa kursi yang belum terbagi di Dapil tersebut juga ditarik ke provinsi; 4) setelah sisa suara dan sisa kursi ditarik ke provinsi, langkah berikutnya adalah ditentukan BPP baru dengan rumus "sisa suara dibagi dengan sisa kursi akan memperoleh BPP baru"; 5) bagi partai politik yang memenuhi BPP baru mendapatkan pembagian sisa kursi; 6) apabila masih terdapat sisa kursi maka sisa kursi dimaksud dibagikan kepada partai politik berdasarkan sistem rangking sampai dengan sisa kursi habis dibagi; Berdasarkan uraian tersebut di atas, ketentuan a quo berkaitan dengan pengaturan tentang penetapan perolehan kursi partai politik peserta pemilu, karenanya menurut pemerintah ketentuan a quo tidak terkait sama sekali dengan masalah konstitusionalitas keberlakukan undang-undang yang dimohonkan diuji oleh para Pemohon; Selain itu, menurut Pemerintah ketentuan a quo justru telah memberikan perlakuan yang adil terhadap setiap partai politik peserta pemilu, juga telah memberikan kepastian hukum terhadap setiap calon anggota legislatif (Caleg) yang berhak/terpilih untuk menduduki kursi DPR, karena itu menurut Pemerintah ketentuan a quo tidak bertentangan dengan asas-asas penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana dijamin oleh konstitusi, juga tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon; 3. Terhadap ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut: 62 a. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 menyatakan, Ketentuan lebih lanjut tentang Pemilihan Umum diatur dengan undangundang. Ketentuan ini telah memberikan kewenangan secara atributif kepada pembentuk undang-undang (dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden) untuk mengatur secara teknis mekanisme penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana diatur dalam UU 10/2008; b. Bahwa UU 10/2008 mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tahapan penyelenggaraan pemilihan umum, dari mulai penjaringan calon, pemungutan suara, penghitungan suara, penetapan hasil Pemilu, penetapan perolehan kursi dan calon terpilih, pemberitahuan calon terpilih sampai perselisihan hasil Pemilu; c. Bahwa penetapan calon terpilih bagi anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dari partai politik peserta pemilihan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 214 UU 10/2008 dimaksudkan untuk memberikan peluang yang lebih besar kepada calon anggota legislatif; d. Bahwa memperhatikan huruf c di atas, maka sebagai gambaran/ilustrasi pada pelaksanaan pemilihan umum tahun 2004, untuk menentukan calon terpilih seorang calon anggota DPR dan DPRD harus memperoleh suara 100% (seratus persen) dari BPP per-Dapil. Sehingga dari pengaturan tersebut, khususnya bagi anggota DPR terpilih hasil pemilu 2004 hanya 2 (dua) orang anggota DPR yang berhasil memenuhi 100% (seratus persen) BPP; e. Bahwa jika memperhatikan ketentuan penetapan calon terpilih berdasarkan Undang-Undang 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU 12/2003), maka penetapan calon terpilih menurut ketentuan UU 10/2008 adalah merupakan lompatan kemajuan dalam penentuan calon terpilih, karena pada Pemilu 2009 hanya 30% (tiga puiuh persen) dari BPP per Dapil, sehingga dapat memberikan kesempatan yang Iebih besar bagi calon anggota legislatif untuk menjadi calon terpilih sesuai dengan aspirasi masyarakat; Bahwa dari uraian tersebut di atas, Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan para Pemohon yang menyatakan ketentuan a quo telah menimbulkan 63 perlakuan yang tidak adil bagi Pemohon, justru menurut Pemerintah ketentuan a quo telah memberikan peluang dan kesempatan yang Iebih besar kepada setiap orang untuk bersaing secara terbuka dan fairness untuk menjadi calon anggota legislatif; Lebih lanjut Pemerintah dapat menjelaskan bahwa mekanisme penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk penentuan calon terpilih sebagaimana diatur dalam Pasal 214 UU 10/2008 merupakan pilihan kebijakan hukum (legal policy) pembuat undang-undang, dalam hal ini DPR bersama Presiden (Pemerintah) yang tidak dapat diuji, kecuali pembentukannya mengandung unsur melampaui kewenangan dan penyalahgunaaan kewenangan (de tournement de pavoir) yang dimiliki oleh pembuat undang-undang tersebut; Berdasarkan uraian di atas, menurut Pemerintah ketentuan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10/2008 telah memberikan persamaan hak dan perlakuan yang adil kepada setiap orang (calon anggota legislatif), juga telah memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid) bagi penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota, karena itu menurut Pemerintah ketentuan a quo tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, juga tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon; Kesimpulan Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa memutus dan mengadili permohonan pengujian UU 10/2008 terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing); 2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon (void) seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); 3. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan; 4. Menyatakan Pasal 55 ayat (2); Pasal 205 ayat (4), (5), (6), dan (7); serta Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan 64 Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2); Pasal 27 ayat (1); Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3); dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamar Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.9] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 12 November 2008, Pihak Terkait Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan keterangan secara lisan dan telah pula menyampaikan keterangan tertulisnya bertanggal 24 November 2008 yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut: Tentang Legal Standing Pihak Terkait Bahwa berdasarkan Pasal 13 ayat 1 huruf g, Pasal 14 ayat (1) dan (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut PMK 6/2005) disebutkan Pihak Terkait yang berkepentingan dapat didengar pendapatnya; Bahwa Komnas Perempuan memenuhi panggilan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi karena Komnas Perempuan memiliki kepentingan tidak langsung sebagaimana penjelasan berikut ini; Bahwa Pihak Terkait adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (selanjutnya disebut Komnas Perempuan) yaitu sebuah lembaga negara independen yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan diperbaharui dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (selanjutnya disebut PP 65/2005); Bahwa sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 PP 65/2005 bertujuan mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia; dan meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia perempuan; 65 Bahwa dalam menjalankan tugasnya, Pihak Terkait secara nyata dan terus menerus membuktikan dirinya sebagai lembaga yang mendorong penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak-hak perempuan Indonesia. Dalam hal ini, Pihak Terkait telah melakukan berbagai inisiatif pemantauan kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak-hak perempuan; reformasi hukum dan kebijakan; pendidikan dan kampanye; dan perlindungan kelompok rentan diskriminasi; Bahwa untuk memastikan kondisi yang kondusif sebagaimana tujuan dibentuknya lembaga independen ini, Pihak Terkait secara terus menerus mendorong berbagai kebijakan yang memungkinkan terciptanya situasi yang kondusif bagi pemenuhan hak perempuan, baik hak untuk bebas dari kekerasan maupun bebas dari diskriminasi, termasuk mendorong tindakan khusus sementara dalam berbagai kebijakan guna mempercepat terwujudnya kesetaraan gender di Indonesia. Dengan bangunan relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan, baik di lingkungan masyarakat maupun di ranah politik, Komnas Perempuan meyakini tujuan berbangsa dan bernegara di Indonesia akan terwujud; Berdasarkan uraian di atas, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memperkenankan Pihak Terkait memberikan pendapat hukum dalam persidangan lanjutan Perkara Nomor 22/PUU-VI/2008 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat; Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU 10/2008); Tanggapan atas Pokok Permohonan Pemohon Bahwa pada pokoknya Pemohon memohon agar Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU 10/2008 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Bahwa pada intinya Pemohon menyatakan hak konstitusionalnya dilanggar dengan berlakunya UU 10/2008. Ketentuan-ketentuan dimaksud dianggap telah menghalangi dan membatasi Pemohon untuk mendapatkan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama bagi setiap warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), (2), dan (3), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; Bahwa atas dasar permohonan Pemohon tersebut, Pihak Terkait, khususnya terhadap pengujian Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008, berpendapat sebagai berikut: 66 a. Perlakuan khusus adalah hak konstitusional yang dijamin UUD 1945 Bahwa materi muatan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008, yang pada pokoknya memberikan perlakuan khusus kepada perempuan untuk menjadi calon anggota legislatif dengan ketentuan 1 (satu) dari (tiga) calon yang diajukan adalah perempuan, merupakan amanat dan mandat konstitusional yang tercantum dalam UUD 1945; Bahwa Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, "Setiap orang berhak mendapat, kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan"; Bahwa jaminan konstitusional untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama adalah dalam rangka mencapai persamaan dan keadilan berlaku bagi setiap warga negara, termasuk perempuan. Perlakuan khusus berlaku bagi warga negara yang telah mengalami ketidaksetaraan (diskriminasi), baik dalam peluang, akses dan dampak; Bahwa peraturan yang berisi perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama bukanlah pertama kali dan satu-satunya dengan keberadaan UU 10/2008. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua juga merupakan penegasan tentang mekanisme perlakuan khusus, dalam hal ini bagi masyarakat asli Papua. Perlakuan khusus ini merupakan bentuk diskriminasi positif sebagai koreksi terhadap diskriminasi yang selama ini mereka alami; Bahwa dengan demikian, Pasal 55 ayat (2) dan 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 tidaklah bertentangan dengan UUD 1945 bahkan justru merupakan penerapan dari janji konstitusional Indonesia sendiri; b. Mengambil tindakan khusus sementara untuk mewujudkan kesetaraan substantif adalah kewajiban negara Bahwa pengaturan tentang perlunya perlakuan khusus atau tindakan khusus sementara dalam rangka mewujudkan kesetaraan jender adalah mandat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita [Convention the Ellimination of All Forms Discrimination against Women) (CEDAW)]. Ratifikasi sebuah konvensi internasional menuntut negara pihak (state parties) untuk mengintegrasikan 67 seluruh prinsip-prinsip yang tercantum dalam konvensi ke dalam hukum nasionalnya; Bahwa CEDAW mewajibkan negara pihak untuk menyediakan perangkat dan membuat hasil yang nyata; untuk mendorong penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi manusia bagi perempuan; memenuhi uji kelayakan (due diligence); serta harmonisasi konvensi ke dalam sistem hukum domestik. Selain itu, CEDAW juga menegaskan kewajiban negara untuk melakukan tindakan afirmasi, termasuk perlakuan khusus sementara, sebagai instrumen untuk mengatasi masalah ketidakadilan jender yang dialami perempuan. Pasal 4 ayat (1), dan (2) CEDAV mewajibkan negara pihak untuk menghapus diskriminasi yang dihadapi saat ini atau pada masa lalu dengan mengambil langkah-langkah khusus. Perlakuan khusus sebagaimana tercantum dalam Pasal 55 UU 10/2008 merupakan bentuk perlakuan khusus sebagaimana diamanatkan oleh CEDAW; Bahwa Pasal 4 ayat (1) CEDAW menyebutkan, ”Pembentukan peraturan peraturan dan melakukan tindakan khusus sementara oleh negara-negara pihak yang ditujukan untuk mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, tidak dianggap sebagai diskriminasi seperti ditegaskan dalam konvensi ini, dan sama sekali tidak harus membawa konsekuensi pemeliharaan standar-standar yang tidak sama atau terpisah, maka peraturan-peraturan dan tindakan tersebut wajib dihentikan jika tujuan, persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai”; Bahwa Pasal 7 CEDAW menyebutkan, ”Negara-negara pihak wajib mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat di negaranya, khususnya menjamin bagi perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak”: a. untuk memilih berkemampuan dalam untuk semua dipilih pemilihan dalam dan agenda lembaga-lembaga publik yang dan dipilih masyarakat; b. untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya, serta memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkatan; c. untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan- perkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan 68 masyarakat dan politik negara; Bahwa Rekomendasi Umum Nomor 23 tentang Kehidupan Politik dan Publik Pasal 7 dan 8 CEDAW, sesi ke-16 Tahun 1997 menegaskan, ”... di bawah Pasal 4, konvensi mendorong digunakannya tindakan khusus sementara guna memberi efek penuh pada Pasal 7 dan Pasal 8, di mana negara-negara telah mengembangkan strategi sementara yang efektif dalam upayanya mencapai kesetaraan partisipasi, berbagai jenis tindakan telah diimplementasikan, termasuk merekrut, membantu secara finansial dan melatih kandidat perempuan, mengubah prosedur pemilihan, merancang kampanye yang ditujukan pada partisipasi yang setara, menetapkan target angka dan quota dan menargetkan perempuan untuk ditunjuk pada jabatan publik seperti hakim atau kelompok profesional lainnya yang memainkan peranan penting dalam kehidupan seharihari semua masyarakat”; Bahwa Rekomendasi Umum Komite CEDAW Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 25 tentang Tindakan Khusus Sementara Pasal 4 ayat (1) CEDAW, sesi ke-30 Tahun 2004 menegaskan, ”Secara eksplisit menentukan sifat sementara dari tindakan khusus itu. Dengan demikian, tindakan-tindakan itu tidak diperlukan selama-lamanya, walaupun arti sementara dapat, dalam kenyataan, merupakan pelaksanaan tindakan itu dalam suatu jangka waktu yang lama. Jangka waktu tindakan khusus sementara harus ditentukan oleh hasilnya secara fungsional sebagai respon atas suatu masalah konkrit dan tidak boleh suatu jangka waktu yang ditentukan terlebih dahulu.... “; Bahwa Konferensi PBB tentang Perempuan ke IV di Beijing Tahun 1995 (Beijing Platform for Action-BPFA) menegaskan, "Tercapainya persamaan peluang dan akses partisipasi perempuan dan laki-laki dalam proses pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan negara, merupakan prasyarat berfungsinya demokrasi"; Bahwa Millinium Development Goals – MDGs Tahun 2000 menegaskan, ”Salah satu tujuan pembangunan yang hendak dicapai adalah mendorong tercapainya kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, dengan indikator meningkatnya proporsi perempuan yang duduk dalam lembaga parlemen nasional”; 69 Bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20042009 menggariskan arah kebijakan dan tindakan keberpihakan yang jelas dan nyata guna mengurangi kesenjangan jender di berbagai bidang pembangunan. Prioritas dan arah kebijakan pembangunan pemberdayaan perempuan yang pertama ditujukan untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik; Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, pasal a quo tentang perlakuan khusus bagi perempuan untuk menuju kesetaraan dan keadilan adalah dalam rangka memastikan tercapainya cita-cita UUD 1945; c. Peran politik perempuan masih jauh lebih kecil dibandingkan laki-laki Bahwa fakta menunjukkan bahwa peran politik perempuan jauh lebih rendah dibanding laki-laki, sebagaimana terlihat dalam tabel-tabel berikut: Tabel 1: Perempuan di Parlemen dalam Tiga Periode Periode Perempuan % Laki-laki % Total % 60 12,15 434 87.85 494 100 56 11,20 444 88,80 500 100 44 8,80 456 91,20 500 100 1992 1997 1997 1999 1999 2004 Sumber: Sekjen, MPR RI (Indikator Sosial Wanita Indonesia, 1999, BPS) Tabel 2: Perempuan di Lembaga-lembaga Politik/Jabatan Formal Lembaga Perempuan % Laki-laki % MPR 18 9,2 117 90,8 DPR 44 8;8 455 91,2 MA 77 14,8 40 85,2 BPK 0 0 7 100 DPA*) 2 4,4 43 95,6 KPU 2 181 9 81,9 70 Gubernur 01 0 30 100 Walikota 5 1,5 331 98,5 PNS Gol IV dan III 1883 7,0 25110 93,0 Hakim 536 16,2 2775 83,8 PTUN 35 23,4 150 76,6 Sumber: Ani Sujipto, 2002 diambil dan Divisi Perempuan dan Pemilu, CETRO, 2001. *) lembaga ini telah dihapuskan sejak Amandemen UUD 1945 Tabel 3: Perempuan di DPR, DPD, MPR Hasil Pemilu 2004 No. Partai Politik Total Kursi % Perempuan % LakiLaki % 1 Golkar 127 23.1 18 14 109 86 2 PDIP 109 19.8 12 11 98 90 3 PPP 58 10.5 3 5 55 95 4 PD 56 10.2 6 11 49 89 5 PAN 53 9 .6 7 13 46 87 6 PKB 52 9.5 7 13 45 87 7 PKS 45 8.2 3 9 41 91 8 PBR 14 2.5 2 14 12 86 9 PDS 13 2.4 3 23 10 77 10 PBB 11 2.0 0 0 11 100 11 PDK 4 0.7 0 0 4 100 12 Partai Pelopor 3 0.5 1 33 2 67 13 PKPB 2 0.4 0 0 2 100 14 PKPI 1 0.2 0 0 1 100 15 PPDI 1 0.2 0 0 1 100 16 PNI Marhaenisme 1 0.2 0 0 1 100 550 100 62 11 % 488 89 % Total Sumber: Komisi Pemilihan Umum (2004) Bahwa membandingkan prosentase perempuan dan laki-laki di tubuh parlemen dari tahun ke tahun, menunjukkan angka betapa tingkat keterlibatan perempuan dalam dunia politik (baca: parlemen) sangat rendah. Pembelajaran dari Pemilu Tahun 2004, dengan pengaturan tindakan khusus sementara dalam bentuk 71 memperhatikan keterwakilan perempuan dalam pencalonan yang dilakukan oleh partai politik, juga tidak menunjukkan kenaikan angka yang signifikan, oleh karena pada umumnya, jikapun partai politik memasukkan perempuan sebagai calon anggota legislatif, calon perempuan tidak banyak yang ditempatkan pada nomor urut jadi; Bahwa sejalan dengan perjuangan penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, amandemen UUUD 1945, telah memberikan penegasan komprehensif jaminan hak-hak konstitusional warga negara. Secara khusus, UUD 1945 juga menegaskan perlunya tindakan khusus sementara bagi warga negara yang mengalami ketidaksetaraan dan ketidakadilan; Bahwa adanya pengaturan sebagaimana dalam Pasal 55 UU 10/2008 yang pada pokoknya memberikan perlakukan khusus adalah bentuk pengakuan negara bahwa selama ini perempuan mengalami perlakuan diskriminatif akibat ketidakadilan jender; Bahwa Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang diratifikasi pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 menegaskan, “Diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan". (Pasal 1 CEDAW); Bahwa tidaklah tepat anggapan umum bahwa minimnya keterlibatan perempuan dalam dunia politik disebabkan oleh keengganan perempuan untuk masuk di ranah politik. Jika pun ada keengganan, ini adalah hasil konstruksi sosial yang bias jender dimana perempuan dipersepsikan sebagai tidak patut berada dalam dunia politik, tidak berani, tidak mau dan tidak mampu terjun di dunia politik. Konstruksi ini yang merupakan bentuk ketidakadilan jender itu sendiri. Sementara itu, laki-laki justru dikonstruksikan sebagai yang mampu dan pantas untuk berada di pentas politik dan urusan publik lainnya; Bahwa dengan jaminan yang tegas dari UU 10/2008, cita-cita mewujudkan kesetaraan jender dalam dunia politik bisa secara lebih cepat terpenuhi. Perlakuan 72 khusus sebagaimana dalam Pasal 55 UU 10/2008 diharapkan dapat mendorong partai politik untuk memenuhinya. Perlakuan khusus adalah sarana bagi bangsa menuju kesetaraan antara laki-laki dan perempuan; Bahwa dengan berbagai fakta sebagaimana disebutkan di atas, adanya perlakuan khusus sebagaimana dalam Pasal 55 UU 10/2008 termasuk konsekuensi penetapan calon anggota legislatif terpilih yang diatur dalam Pasal 214, bukanlah bentuk diskriminasi terhadap Pemohon sebagaimana pada pokok permohonan Pemohon. Perlakuan khusus justru merupakan jalan pertama dan utama untuk menuju kesetaraan politik perempuan sehingga perempuan memiliki hak yang sama untuk mendesain berbagai kebijakan negara, yang sudah dipastikan juga akan berhubungan dengan kepentingan perempuan; Kesimpulan Sebagai kesimpulan berikut ini Pihak Terkait sampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Bahwa perlakuan khusus adalah hak konstitusional yang dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (2); 2. Bahwa pengambilan tindakan khusus sementara untuk mewujudkan kesetaraan substantif antara laki-laki dan perempuan di setiap bidang kehidupan adalah kewajiban negara. Kewajiban ini merupakan konsekuensi Indonesia sebagai negara pihak yang dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; 3. Bahwa minimnya peran perempuan dalam lembaga-lembaga politik, seperti partai politik dan parlemen, membenarkan adanya perlakuan khusus bagi perempuan dalam UU 10/2008 guna mempercepat perwujudan kesetaraan dan keadilan jender secara umum di masyarakat dan secara khusus dalam ranah politik. Pada akhirnya, Pihak Terkait berpendapat bahwa: Pokok perkara sebagaimana diajukan dalam permohonan Pemohon tidak mencerminkan secara utuh pemahaman komprehensif terhadap teks UUD 1945 maupun terhadap komitmen negara dalam menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan mewujudkan keadilan dan kesetaraan jender dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia; Pihak Terkait memohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan: 73 1. Permohonan Pemohon tidak dapat diterima; atau 2. Menolak permohonan; 3. Pasal-pasal sebagaimana diajukan oleh Pemohon tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. [2.10] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 12 November 2008, Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyampaikan keterangan yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut: a. Terkait dengan ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 1) Dalam konteks implikasi teknis penyelenggaraan terhadap Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2008 telah mengatur tentang Tata Cara Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi Kabupaten/Kota; 2) Berdasarkan ketentuan a quo, maka Peraturan KPU Nomor 18 Komisi Pemilihan Umum Tahun 2008 tentang Tata Cara Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi Kabupaten/Kota seluruhnya mengacu kepada butir Pasal 55 ayat (2) dan sejauh ini Komisi Pemilihan Umum dalam penetapan daftar calon tetap pada tanggal 31 Oktober 2008 di semua tingkatan baik DPR DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota secara konsisten menerapkan Pasal 55 ayat (2) tersebut dalam Daftar Calon Tetap, bahkan secara lebih khusus Komisi Pemilihan Umum secara umum memberikan penekanan yang lebih tajam terhadap ketentuan bahwa manakala partai politik tidak memenuhi kuota 30% perempuan yang diamanatkan oleh Pasal 55 ayat (2) maka berapapun jumlah minimal calon perempuan yang ada yang diserahkan oleh partai politik dari syarat minimal tersebut perempuan dimaksud calon anggota legislatif dengan jenis kelamin perempuan dimaksud wajib diletakkan pada nomor urut kecil dari ketentuan itu; 3) Oleh karena ketentuan undang-undang dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum tidak memberikan sanksi hukum kepada partai politik kalau menyerahkan kurang dari 30% manakala perempuan calon partai politik tersebut ternyata menyerahkan hanya 1 calon perempuan saja dalam syarat minimal seharusnya 4, maka Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 18 telah menegaskan bahwa seorang calon perempuan yang diserahkan 74 tersebut dari ketentuan seharusnya 4 itu wajib diletakkan pada nomor urut terkecil, artinya minimal nomor urut 3 tidak di nomor urut 6 tidak di nomor urut 9 dan tidak di nomor urut 12. 4) Secara teknis, di tingkat pelaksanaan oleh Komisi Pemilihan Umum tidak ada hambatan yang berarti. Dari 38 partai politik peserta Pemilu secara ratarata seluruhnya ada di atas angka 33% pemenuhan keterwakilan perempuan. Dari 38 partai politik hanya 4 partai politik yang kuotanya di bawah 33% itupun dengan angka yang mendekati 30% sebetulnya yaitu sekitar angka 27 sampai 29%. Jadi kuota 30% sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang dapat disimpulkan telah dilaksanakan hampir seluruhnya oleh partai politik peserta Pemilu. b. Terkiat dengan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UU 10/2008 1) Berkaitan dengan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UU 10/2008, sejauh ini Peraturan Komisi Pemilihan Umum dimaksud sedang digarap oleh Komisi Pemilihan Umum; 2) Bahwa berkenaan dengan implementasi dari Pasal 205 berdasarkan hasil diskusi dan perdebatan di komisi pemilihan umum maka substansi dari Pasal 205 ini menurut Komisi Pemilihan Umum memberikan relatiif keadilan lebih baik dibanding dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, karenanya Komisi Pemilihan Umum berpendapat ketika sisa suara ditarik ke provinsi maka nilai satu kursi, nilai satu kursi yang nanti akan ditetapkan oleh komisi pemilihan umum itu cenderung lebih representatif atau langkahnya lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kursi yang dibagi habis di tiap Dapil. Artinya satu kursi ditarik ke provinsi secara kuantitas jumlah pemilih yang terwakili memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ketentuan undang-undang sebelumnya in casu Nomor 12 Tahun 2003; 3) Komisi Pemilihan Umum mencanangkan dalam membuat peraturan akan mengalokasikan kursi dimaksud kepada calon dari Dapil yang memperoleh suara terbanyak dari Dapil-Dapil yang dikumpulkan itu, dengan pendekatan itu maka dua asumsi yang akan dibangun bahwa nilai kursi menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai sebelumnya dan representasi keterwakilan calon di situ dengan konstituennya juga didekati akan bisa terjawab dengan pendekatan semacam itu. c. Berkaitan dengan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e UU 75 10/2008 1) Berkenaan dengan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e, secara tehnis di lapangan tidak ada persoalan yang cukup signifikan, artinya dalam pembagian alokasi kursi untuk calon terpilih di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana diatur di Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, termasuk untuk Dewan Perwaklian Rakyat maka Komisi Pemilihan Umum akan secara konsisten melaksanakan ayat demi ayat dalam pasal-pasal tersebut, sehingga sejauh ini dalam rancangan peraturan yang sedang dibahas oleh komisi pemilihan umum tidak ada persoalan yang cukup signifikan berkenaan dengan implementasi dari Pasal 214 a quo. 2) Secara teknis sebetulnya untuk pelaksanaan Pasal 218, antara Pasal 214 dengan Pasal 218 penggantian calon terpilih secara tehnis sebetulnya teknis yuridis tidak ada persoalan bagi komisi pemilihan umum artinya, manakala kemungkinan partai politik yang bersangkutan secara internal menetapkan suara terbanyak maka secara tidak langsung sebenarnya ruang itu sepertinya mendapat tempat di Pasal 218 walaupun ketentuan menyangkut suara terbanyak yang menjadi kesepakatan internal partai politik tidak mengikat komisi pemilihan umum. 3) Ketika proses penggantian calon terpilih terjadi menurut Pasal 218 ada salah satu dari empat syarat saja terpenuhi maka bisa diganti, pertama meninggal dunia, kedua, mengundurkan diri dibuktikan dengan surat pengunduran diri penarikan yang diberikan oleh partai politik. Ketiga, terkena pidana Pemilu dan keempat, tidak memenuhi syarat calon; 4) Manakala salah satu dari empat tersebut terpenuhi, maka partai politik mengirim surat kepada KPU untuk melakukan penggantian dan kemudian KPU melakukan verifikasi. Apabila terbukti calon tersebut dapat diganti, maka penggantinya menurut Pasal 218 diserahkan sepenuhnya kepada partai politik yang bersangkutan sepanjang terdaftar di daerah pemilihan itu dan masih memenuhi syarat; 5) Berdasarkan pemahaman KPU pada saat penggantian calon terpilih tidak lagi melihat nomor urut, tidak lagi melihat berapa prosentase suara yang diperoleh ketika pemilihan umum namun sepenuhnya tergantung pada partai 76 politik yang nama manapun yang didorong sepanjang ada di Dapil itu dan memenuhi syarat, itulah yang nanti ditetapkan oleh KPU; 6) Dalam perspektif inilah sebenarnya secara implisit jika kemudian partai politik mendorong suara terbanyak maka ruang itu menjadi terbuka. Tetapi ketika KPU menetapkan bukan bahasanya karena suara terbanyak tetapi karena memang calon itulah menurut Pasal 218 yang diminta mengganti calon penggantinya.; 7) Bahwa berdasarkan pengalaman Tahun 2004 dan prediksi Tahun 2009, akan menimbulkan persoalan cukup serius menyangkut masalah stabilitas politik di tingkat lokal. Ketika kemungkinan problem-problem internal partai politik menyangkut suara terbanyak dan seterusnya itu menimbulkan masalah secara politis pada calon yang akan diganti maupun calon yang akan menggantikan. Artinya, kepastian hukum yang menyangkut persoalan ini secara yuridis sebetulnya sangat jelas tetapi secara politis patut diduga akan menimbulkan persoalan tersendiri di tingkat lapangan. [2.11] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam putusan ini; 3. PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa permasalahan hukum utama permohonan para Pemohon adalah mengenai pengujian materiil Pasal 55 ayat (2), ) Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), dan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c huruf d, dan huruf e, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836, selanjutnya disebut UU 10/2008) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum memasuki Pokok Permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan: 77 a. Kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo; b. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo; Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.4] Menimbang bahwa permohonan a quo adalah mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, in casu UU 10/2008 terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo; Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) beserta Penjelasannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK), yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu: 78 a. kedudukannya sebagai pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK; b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian mengenai ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, sesuai dengan uraian Pemohon dalam permohonannya beserta bukti-bukti yang relevan, sebagai berikut: • Pemohon I, yang menjelaskan kedudukannya dalam permohonan a quo sebagai perorangan warga negara Indonesia, calon Aggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk Daerah Pemilihan I Surabaya-Sidoarjo, mendalilkan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 yang berbunyi, “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurangkurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon” bertentangan dengan UUD 79 1945 karena telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagaimana diatur dalam: a. Pasal 27 ayat (1), “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”; b. Pasal 28D ayat (1), “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; c. Pasal 28I ayat (2), “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu” sehingga telah merugikan hak konstitusional Pemohon dengan alasan, Pasal 55 ayat (2) tidak sejalan dengan semangat reformasi, dan Pemohon merasa terdiskriminasi oleh Pasal a quo, sebab calon anggota legislatif perempuan mendapat prioritas nomor urut kecil, sehingga berpotensi menghalangi terpilihnya Pemohon menjadi anggota legislatif; Selanjutnya tentang Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 yang berbunyi “Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan: a. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; b. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; c. dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari 80 BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP; d. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut; e. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut. Oleh karena itu, semangatnya telah keluar dari pemilihan umum yang jujur dan adil karena apabila Pemohon I dipilih oleh rakyat ternyata hak Pemohon dipasung oleh pasal a quo, sehingga suara Pemohon apabila tidak mencapai 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP menjadi sia-sia. Alasan yang dikemukakan Pemohon adalah pasal a quo semangatnya telah keluar dari pemilihan umum yang jujur dan adil karena apabila tidak mencapai 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP menjadi sia-sia. [3.8] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana dikemukakan di atas, oleh karena Pemohon I (Muhammad Sholeh, S.H.) berpotensi tidak terpilih menjadi anggota DPRD, Mahkamah berpendapat, Pemohon I (Muhammad Sholeh, S.H.) mempunyai kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon dalam permohonan a quo; • Pemohon II (Sutjipto, S.H., M.Kn, Septi Notariana, S.H., M.Kn dan Jose Dima Satria, S.H., M.Kn), sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian Duduk Perkara, dapat dianggap sebagai sekelompok orang warga negara Indonesia yang mempunyai kepentingan sama. Pemohon II (Sutjipto, S.H., M.Kn, Septi Notariana, S.H., M.Kn dan Jose Dima Satria, S.H., M.Kn), mendalilkan dirugikan oleh berlakunya pasal-pasal a quo karena apabila perolehan suara atau sisa suara di daerah Pemilihan tersebut kurang dari 50% (lima puluh perseratus) dari BPP, maka suaranya akan dibawa ke provinsi sehingga Pemohon II (Sutjipto, S.H., M.Kn, Septi Notariana, S.H., M.Kn dan Jose Dima Satria, S.H., M.Kn), tidak mendapat jaminan akan mendapatkan kursi di DPR dan suara yang diperoleh oleh calon anggota DPR yang dipilihnya pada satu daerah pemilihan, perolehan suara atau sisa suara kurang dari 50% (lima puluh perseratus) dari BPP dapat dialihkan ke calon anggota DPR lain di daerah pemilihan yang lain; 81 [3.9] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana dikemukakan di atas, oleh karena Pemohon II (Sutjipto, S.H., M.Kn dan Septi Notariana, S.H., M.Kn) berpotensi tidak terpilih menjadi anggota DPR, mutatis mutandis Jose Dima Satria, S.H., M.Kn, juga dirugikan karena suara yang diperoleh oleh calon anggota DPRD yang dipilihnya pada satu daerah pemilihan, perolehan suara atau sisa suara kurang dari 50% (lima puluh perseratus) dari BPP dapat dialihkan kepada calon anggota DPRD lain di daerah pemilihan yang lain, Mahkamah berpendapat, Pemohon II mempunyai kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon dalam permohonan a quo; [3.10] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo, dan para Pemohon seluruhnya memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon, maka Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan Pokok Permohonan; Pokok Permohonan [3.11] Menimbang permohonannya bahwa membaca masing-masing serta dalil-dalil para keterangan para Pemohon Pemohon pada dalam persidangan, sebagaimana telah dijelaskan dalam Duduk Perkara, persoalan hukum yang harus dipertimbangkan dan diputus oleh Mahkamah dari kedua permohonan di atas adalah sebagai berikut: • Bahwa menurut Pemohon I (Muhammad Sholeh, S.H.), Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 yang berbunyi, “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakan calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon” bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, selengkapnya berbunyi sebagai berikut: o Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”; o Pasal 28D UUD 1945: Ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; 82 Ayat (3): “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”; o Pasal 28I ayat (2): “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu; • Bahwa menurut Pemohon I (Muhammad Sholeh, S.H,) dan Pemohon II (Sutjipto, S.H., M.Kn, Septi Notariana, S.H., M.Kn, dan Jose Dima Satria, S.H., M.Kn) Pasal 214 huruf a, b, c, d dan e UU 10/2008 yang berbunyi, “Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan: a. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; b. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; c. dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP; d. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut; e. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.” 83 Karena semangatnya telah keluar dari pemilihan umum yang jujur dan adil karena apabila Pemohon I dipilih oleh rakyat ternyata hak Pemohon dipasung oleh pasal a quo, sehingga suara Pemohon apabila tidak mencapai 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP menjadi sia-sia. Menurut Pemohon I (Muhammad Sholeh, S.H.) juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sebagaimana diuraikan di atas dan menurut Pemohon II (Sutjipto, S.H., M.Kn, Septi Notariana, S.H., M.Kn., dan Jose Dima Satria, S.H., M.Kn) bertentangan dengan Pasal 6A ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Ketentuan pasal-pasal tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 6A ayat (4): “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden” Pasal 28E ayat (2): “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya” • Bahwa menurut Pemohon II (Sutjipto, S.H., M.Kn, Septi Notariana, S.H., M.Kn., dan Jose Dima Satria, S.H., M.Kn), Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UU 10/2008 bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UU 10/2008 berbunyi sebagai berikut: Ayat (4): “Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR; Ayat (5): Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan tahap kedua, maka dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap ketiga dengan cara seluruh sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu dikumpulkan di provinsi untuk menentukan BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan”; 84 Ayat (6): “BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan membagi jumlah sisa suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dengan jumlah sisa kursi; Ayat (7): ”Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan cara memberikan kursi kepada partai politik yang mencapai BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan.” Ketentuan dalam UUD 1945 yang menjadi batu uji adalah Pasal 22E ayat (1) yang berbunyi, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”; [3.12] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon I (Muhammad Sholeh, S.H.) telah mengajukan bukti surat yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-6 dan Pemohon II (Sutjipto, S.H., M.Kn, Septi Notariana, S.H., M.Kn., dan Jose Dima Satria, S.H., M.Kn) telah mengajukan bukti surat yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-4; [3.13] Menimbang bahwa Mahkamah telah membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat, mendengar keterangan lisan dan membaca keterangan tertulis Pemerintah, mendengar keterangan lisan dan membaca keterangan tertulis Pihak Terkait Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), serta mendengar keterangan Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum (KPU), selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut: 1. Keterangan Tertulis Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Perkara 22/PUUVI/2008 a. Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon: Pemohon I dalam permohonan pengujian undang-undang a quo tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan batasan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUUIII/2005 dan Nomor 11/PUU-V/2007; b. Terhadap Ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008: 1) Landasan konstitusional untuk meningkatkan keterwakilan perempuan 85 di lembaga politik dan pemerintahan dengan jumlah minimum 30% (tiga puluh perseratus) tercermin dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, "Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan"; 2) Ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008, adalah tidak terlepas dari ketentuan Pasal 53 undang-undang a quo yang menyatakan, "Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan"; 3) Ketentuan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan, merupakan perwujudan dari kebijakan affirmative action (tindakan khusus sementara) bagi perempuan di bidang politik; 4) Penentuan kuota 30% (tiga puluh perseratus) adalah berdasarkan aspirasi dari masyarakat/organisasi perempuan selama Rapat Dengar Pendapat Umum Panitia Khusus (Pansus) UU Pemilu baik yang disampaikan oleh organisasi maupun yang disampaikan oleh perseorangan yang mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah perempuan; 5) Ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena ketentuan a quo hanya memberikan jaminan kepastian agar suara perempuan dapat tertampung minimal dengan kuota 30% (tiga puluh perseratus) pada lembaga perwakilan; c. Terhadap ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008: 1) Ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 terkait dengan sistem Pemilu yang dirumuskan dalam Pasal 5 UU 10/2008 dengan sistem proporsional terbuka; 2) Ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 mengandung politik hukum transisional antara sistem proporsional terbuka terbatas dan sistem proporsional terbuka murni. Dalam hal masing-masing partai politik telah mengambil satu langkah 86 ke depan dengan menerapkan suara terbanyak, maka hal tersebut diserahkan kepada masing-masing partai politik sesuai dengan aturan internal partai politik yang bersangkutan; 3) Dalam proses pembahasan RUU Pemilu di Pansus, terdapat semangat bahwa meskipun Pemilu sistem proporsional memiliki karakteristik pada adanya kedaulatan partai politik, namun disadari bahwa kedaulatan pemilih juga harus dihargai, sehingga terdapat angka 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP sebagai penghargaan kepada suara pemilih. Kombinasi ini merupakan sebuah upaya meningkatkan adanya kedaulatan rakyat atau pemilih selain kedaulatan partai politik dalam menentukan para calon anggota legislatif. Ketentuan tersebut secara teoretis tidak bertentangan, bahkan menjadi varian baru dalam Pemilu dengan sistem proporsional; 4) Pilihan terhadap penggunaan sistem proporsional terbuka berdasarkan pertimbangan bahwa bagi negara kesatuan dan plural, maka sistem proporsional lebih kompatibel karena mengakui juga suara minoritas; 5) Dalil Pemohon I, mengenai ketentuan Pasal 214 UU 10/2008 bertentangan dengan UUD 1945 khususnya dengan Pasal 6A ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28E ayat (2) yang terkait dengan pemenang Pemilu harus didasarkan pada suara terbanyak, mendapat perlakuan yang adil dan tidak ada diskriminasi. Hal ini tidak beralasan mengingat amanat UUD 1945 bahwa ketentuan tentang Pemilu diatur dalam undang-undang termasuk sistemnya; Keterangan DPR dalam Perkara Nomor 24/PUU-VI/2008 a. Tentang Kedudukan Hukum Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pemohon karena terdapat dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak konstitusional yang dialami Pemohon II dengan berlakunya UU 10/2008; b. Tentang Ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UU 10/2008 Ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) mengatur mengenai cara penetapan perhitungan perolehan suara apabila terdapat sisa 87 kursi dari hasil Pemilu tahap pertama, kedua, dan ketiga. Ketentuan a quo sama sekali tidak menghalangi dan/atau menggugurkan hak konstitusional Pemohon II untuk dipilih menjadi bakal calon legislatif. Oleh karena sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan undang-undang Pemilu a quo, Pemilu terhadap bakal calon legislatif itu ditentukan oleh masyarakat. Sehingga, apabila Pemohon II tidak terpilih menjadi bakal calon legislatif, maka hal ini bukan persoalan konstitusionalitas undang-undang Pemilu a quo; c. Tentang Ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 Ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 tidak merugikan hak konstitusional Pemohon II, oleh karena pengaturan bakal calon legislatif DPR ditentukan berdasarkan pada nomor urut diberlakukan kepada semua partai politik peserta Pemilu, sedangkan dalam hal penentuan bahwa Pemohon II ditetapkan berada pada nomor kecil atau besar adalah merupakan kewenangan penuh dari pimpinan partai politik yang bersangkutan. Sehingga, hal ini tidak ada relevansinya dengan persoalan konstitusionalitas dari undang-undang Pemilu a quo; 2. Keterangan Pemerintah a. Tentang Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang a quo karena para Pemohon tidak jelas dan tidak fokus (obscuur libels), utamanya dalam menguraikan/ menjelaskan dan mengkonstruksikan telah timbul kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas berlakunya undang-undang a quo, karena pada kenyataannya keberadaan para Pemohon untuk melaksanakan hak-hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin oleh konstitusi tidak terganggu, terkurangi maupun terhalang-halangi atas berlakunya ketentuan tersebut di atas; b. Terhadap Ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 1) Ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 adalah dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 53 UU 10/2008 yang menyatakan, “Daftar 88 bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”; 2) Ketentuan tentang regulasi kuota 30% (tiga puluh perseratus) merupakan perwujudan dan tindak lanjut dari kebijakan affirmative action (tindakan khusus sementara) bagi perempuan di bidang politik sebagaimana yang telah diberlakukan di berbagai negara, dengan menerapkan adanya kewajiban partai politik untuk menyertakan calon legislatif perempuan; 3) Peran serta (partisipasi) perempuan dalam bidang politik dan pemerintahan harus didorong, diupayakan, dan diusahakan melalui berbagai peraturan perundang-undangan, dengan harapan kesetaraan dan keseimbangan keterwakilan perempuan di parlemen dapat terwujud; c. Ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UU 10/2008 Ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UU 10/2008 adalah berkaitan dengan pengaturan tentang penetapan perolehan kursi partai politik peserta Pemilu, karenanya ketentuan a quo tidak terkait sama sekali dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan undang-undang yang dimohonkan diuji oleh para Pemohon, dengan alasan: 1) Ketentuan a quo hanya diberlakukan untuk penetapan perolehan kursi partai politik bagi provinsi yang memiliki lebih dari 1 Dapil DPR, sedangkan bagi provinsi yang Dapil DPR hanya 1 (satu) Dapil, maka penetapan perolehan kursi partai politik dilakukan dengan cara pembagian kursinya habis di Dapil yang bersangkutan berdasarkan hasil suara sah yang diperoleh oleh partai politik; 2) Filosofi pengaturan ketentuan a quo dimaksudkan agar terdapat kesetaraan nilai kursi yang diperoleh masing-masing partai politik, sehingga terwujud keadilan atas nilai kursi yang diperoleh partai politik sesuai wujud aspirasi masyarakat di daerah pemilihan; 3) Sisa suara atau perolehan suara partai politik yang di bawah 50% (lima puluh perseratus) dari BPP ditarik ke provinsi, memungkinkan terjadinya perpindahan alokasi kursi antardaerah pemilihan. Namun demikian, karena sistem Pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional, maka 89 berpindahnya kursi antardaerah pemilihan tersebut tidak berpengaruh karena tetap masih dalam satu provinsi; d. Terhadap ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e UU 10/2008 1) Ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e terkait dengan sistem Pemilu yang dirumuskan dalam Pasal 5 UU 10/2008 yang menyatakan bahwa Pemilu untuk memilih Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka; 2) Rumusan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 mengandung politik hukum transisional antara sistem proporsional terbuka terbatas dengan sistem proporsional terbuka murni (nomor urut atau 100% BPP menjadi nomor urut atau sekurangkurangnya 30% kemudian diharapkan pada Pemilu berikutnya menjadi suara terbanyak). Dalam hal masing-masing partai politik telah mengambil satu langkah ke depan dengan menerapkan suara terbanyak, maka hal tersebut diserahkan kepada masing-masing partai politik sesuai aturan internal partai politik yang bersangkutan; 3) Dalam proses pembahasan RUU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD di Pansus, terdapat semangat bahwa meskipun Pemilu sistem proporsional memiliki karakteristik pada adanya kedaulatan partai politik, namun disadari bahwa kedaulatan pemilih juga harus dihargai, sehingga terdapat angka 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP sebagai penghargaan kepada suara pemilih. Kombinasi ini merupakan sebuah upaya meningkatkan adanya kedaulatan rakyat atau pemilih selain kedaulatan partai politik dalam menentukan para calon anggota legislatif. Ketentuan tersebut secara teoritis tidak bertentangan, bahkan menjadi varian baru dalam Pemilu sistem proporsional; 4) Tidak ada relevansinya dan tidak dapat dipertentangkan ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 dengan Pasal 6A UUD 1945 karena kedua ketentuan tersebut mengatur mengenai rezim yang berbeda. Pasal 6A UUD 1945 mengatur mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diatur lebih 90 lanjut dalam Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 mengatur mengenai pemilihan anggota legislatif, sehingga tidak terdapat alasan bagi Pemohon mempertentangkan UU 10/2008 dengan Pasal 6A UUD 1945 yang mengatur mengenai Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden; 3. Keterangan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) a. Perlakuan khusus adalah hak konstitusional yang dijamin UUD 1945 1) Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 merupakan amanat dan mandat konstitusional yang tercantum dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, "Setiap orang berhak mendapat, kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan"; 2) Jaminan konstitusional untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama adalah dalam rangka mencapai persamaan dan keadilan berlaku bagi setiap warga negara, termasuk perempuan. Perlakuan khusus berlaku bagi warga negara yang telah mengalami ketidaksetaraan (diskriminasi), baik dalam peluang, akses dan dampak; 3) Peraturan yang berisi perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama bukanlah pertama kali dan satu-satunya dengan keberadaan UU 10/2008. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua juga merupakan penegasan tentang mekanisme perlakuan khusus, dalam hal ini bagi masyarakat asli Papua. Perlakuan khusus ini merupakan bentuk diskriminasi positif sebagai koreksi terhadap diskriminasi yang selama ini mereka alami; 4) Dengan demikian, Pasal 55 ayat (2) dan 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 tidaklah bertentangan dengan UUD 1945, justru merupakan penerapan dari janji konstitusional Indonesia sendiri; b. Mengambil tindakan khusus sementara untuk mewujudkan kesetaraan 91 substantif adalah kewajiban negara. 1) Bahwa pengaturan tentang perlunya perlakuan khusus atau tindakan khusus sementara dalam rangka mewujudkan kesetaraan gender adalah mandat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita [Convention the Ellimination of All Forms Discrimination Against Women) (CEDAW)]. Ratifikasi sebuah konvensi internasional menuntut negara pihak (state parties) untuk mengintegrasikan seluruh prinsip-prinsip yang tercantum dalam konvensi ke dalam hukum nasionalnya; 2) Bahwa CEDAW mewajibkan negara pihak untuk menyediakan perangkat dan membuat hasil yang nyata untuk mendorong penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi manusia bagi perempuan, memenuhi uji kelayakan (due diligence); serta harmonisasi konvensi ke dalam sistem hukum domestik. Selain itu. CEDAW juga menegaskan kewajiban negara untuk melakukan tindakan afirmasi, termasuk perlakuan khusus sementara, sebagai instrumen untuk mengatasi masalah ketidakadilan jender yang dialami perempuan. Pasal 4 ayat (1), dan (2) CEDAW mewajibkan negara pihak untuk menghapus diskriminasi yang dihadapi saat ini atau pada masa lalu dengan mengambil langkahlangkah khusus. Perlakuan khusus sebagaimana tercantum dalam Pasal 55 UU 10/2008 merupakan bentuk perlakuan khusus sebagaimana diamanatkan oleh CEDAW; 3) Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, pasal a quo tentang perlakuan khusus bagi perempuan untuk menuju kesetaraan dan keadilan adalah dalam rangka memastikan tercapainya cita-cita UUD 1945; c. Peran politik perempuan masih jauh lebih kecil dibandingkan laki-laki 1) Membandingkan prosentase perempuan dan laki-laki di tubuh parlemen dari tahun ke tahun, menunjukkan angka betapa tingkat keterlibatan perempuan dalam dunia politik (baca: parlemen) sangat rendah, jikapun partai politik memasukkan perempuan sebagai calon anggota legislatif, calon perempuan tidak banyak yang ditempatkan pada nomor urut jadi; 92 2) Tidaklah tepat anggapan umum bahwa minimnya keterlibatan perempuan dalam dunia politik disebabkan oleh keengganan perempuan untuk masuk di ranah politik. Jika pun ada keengganan, ini adalah hasil konstruksi sosial yang bias gender dimana perempuan dipersepsikan sebagai tidak patut berada dalam dunia politik, tidak berani, tidak mau dan tidak mampu terjun di dunia politik. Konstruksi ini yang merupakan bentuk ketidakadilan jender itu sendiri. Sementara itu, laki-laki justru dikonstruksikan sebagai yang mampu dan pantas untuk berada di pentas politik dan urusan publik lainnya; 4. Keterangan Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum (KPU) a. Terkait dengan ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 1) Dalam konteks implikasi teknis penyelenggaraan terhadap Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2008 telah mengatur tentang Tata Cara Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota; 2) Berdasarkan ketentuan a quo, maka Peraturan KPU Nomor 18 Komisi Pemilihan Umum Tahun 2008 tentang Tata Cara Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota seluruhnya mengacu kepada butir Pasal 55 ayat (2) dan sejauh ini Komisi Pemilihan Umum dalam penetapan Daftar Calon Tetap pada tanggal 31 Oktober 2008 di semua tingkatan baik DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota secara konsisten menerapkan Pasal 55 ayat (2) tersebut dalam Daftar Calon Tetap, bahkan secara lebih khusus Komisi Pemilihan Umum secara umum memberikan penekanan yang lebih tajam terhadap ketentuan bahwa manakala partai politik tidak memenuhi kuota 30% (tiga puluh perseratus) perempuan yang diamanatkan oleh Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 maka berapapun jumlah minimal calon perempuan yang ada yang diserahkan oleh partai politik dari syarat minimal perempuan dimaksud, calon anggota legislatif dengan jenis kelamin perempuan dimaksud wajib diletakkan pada nomor urut kecil dari ketentuan itu; 3) Oleh karena ketentuan undang-undang dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum tidak memberikan sanksi hukum kepada partai politik kalau menyerahkan kurang dari 30% (tiga puluh perseratus) calon perempuan, 93 partai politik tersebut ternyata menyerahkan hanya 1 calon perempuan saja dalam syarat minimal seharusnya 4, maka Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 18 telah menegaskan bahwa seorang calon perempuan yang diserahkan tersebut dari ketentuan seharusnya 4 itu wajib diletakkan pada nomor urut terkecil, artinya minimal nomor urut 3 tidak di nomor urut 6 tidak di nomor urut 9 dan tidak di nomor urut 12. 4) Secara teknis, di tingkat pelaksanaan oleh Komisi Pemilihan Umum tidak ada hambatan yang berarti. Dari 38 partai politik peserta Pemilu secara rata-rata seluruhnya ada di atas angka 33% pemenuhan keterwakilan perempuan. Dari 38 partai politik hanya empat partai politik yang kuotanya di bawah 33% itupun dengan angka yang mendekati 30%, yaitu sekitar angka 27% sampai 29%. Jadi kuota 30% sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang dapat disimpulkan telah dilaksanakan hampir seluruhnya oleh partai politik peserta Pemilu. b. Terkait dengan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UU 10/2008 1) Berkaitan dengan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UU 10/2008, sejauh ini Peraturan Komisi Pemilihan Umum dimaksud sedang digarap oleh Komisi Pemilihan Umum; 2) Bahwa berkenaan dengan implementasi dari Pasal 205 berdasarkan hasil diskusi dan perdebatan di KPU maka substansi dari Pasal 205, menurut KPU, memberikan relatiif keadilan lebih baik dibanding dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, karenanya KPU berpendapat, ketika sisa suara ditarik ke provinsi maka nilai satu kursi, nilai satu kursi yang nanti akan ditetapkan oleh KPU lebih representatif atau peluangnya lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kursi yang dibagi habis di tiap Dapil. Artinya, satu kursi ditarik ke provinsi secara kuantitas jumlah pemilih yang terwakili memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ketentuan undang-undang sebelumnya in casu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003; 3) KPU merencanakan dalam membuat peraturan akan mengalokasikan kursi dimaksud kepada calon dari Dapil yang memperoleh suara terbanyak dari Dapil-Dapil yang dikumpulkan itu, dengan pendekatan itu maka dua asumsi yang akan dibangun bahwa nilai kursi menjadi lebih 94 tinggi dibandingkan dengan nilai sebelumnya dan representasi keterwakilan calon di situ dengan konstituennya juga didekati akan bisa terjawab dengan pendekatan semacam itu. c. Berkaitan dengan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e UU 10/2008 1) Berkenaan dengan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e UU 10/2008, secara tehnis di lapangan tidak ada persoalan yang cukup signifikan, artinya dalam pembagian alokasi kursi untuk calon terpilih di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana diatur Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, termasuk untuk Dewan Perwakilan Rakyat maka KPU akan secara konsisten melaksanakan ayat demi ayat dalam pasal-pasal tersebut, sehingga sejauh ini dalam rancangan peraturan yang sedang dibahas oleh KPU tidak ada persoalan yang cukup signifikan berkenaan dengan implementasi dari Pasal 214 UU 10/2008; 2) Antara Pasal 214 dengan Pasal 218 UU 10/2008, penggantian calon terpilih secara teknis yuridis tidak ada persoalan bagi KPU, artinya, manakala kemungkinan partai politik yang bersangkutan secara internal menetapkan suara terbanyak maka secara tidak langsung sebenarnya ruang itu mendapat tempat di Pasal 218 UU 10/2008 walaupun ketentuan menyangkut suara terbanyak yang menjadi kesepakatan internal partai politik tidak mengikat KPU; 3) Ketika proses penggantian calon terpilih terjadi menurut Pasal 218 UU 10/2008, ada salah satu dari empat syarat saja terpenuhi, maka bisa diganti; yaitu Pertama meninggal dunia, kedua, mengundurkan diri dibuktikan dengan surat pengunduran diri penarikan yang diberikan oleh partai politik. Ketiga, terkena pidana Pemilu dan keempat, tidak memenuhi syarat calon; 4) Manakala salah satu dari empat tersebut terpenuhi, maka partai politik mengirim surat kepada KPU untuk melakukan penggantian dan kemudian KPU melakukan verifikasi. Apabila terbukti calon tersebut dapat diganti, maka penggantinya menurut Pasal 218 UU 10/2008 95 diserahkan sepenuhnya kepada partai politik yang bersangkutan sepanjang terdaftar di daerah pemilihan itu dan masih memenuhi syarat; 5) Berdasarkan pemahaman KPU pada saat penggantian calon terpilih tidak lagi melihat nomor urut, tidak lagi melihat berapa prosentase suara yang diperoleh ketika pemilihan umum namun sepenuhnya tergantung pada partai politik yang manapun yang didorong sepanjang ada di Dapil itu dan memenuhi syarat, itulah yang nanti ditetapkan oleh KPU; 6) Dalam perspektif inilah sebenarnya secara implisit jika kemudian partai politik mendorong suara terbanyak maka ruang itu menjadi terbuka. Tetapi ketika KPU menetapkan bukan bahasanya karena suara terbanyak tetapi karena memang calon itulah menurut Pasal 218 yang diminta mengganti calon penggantinya; 7) Bahwa berdasarkan pengalaman Tahun 2004 dan prediksi Tahun 2009, akan menimbulkan persoalan cukup serius menyangkut masalah stabilitas politik di tingkat lokal. Ketika kemungkinan problem-problem internal partai politik menyangkut suara terbanyak menimbulkan masalah secara politis pada calon yang akan diganti maupun calon yang akan menggantikan. Artinya, kepastian hukum yang menyangkut persoalan ini secara yuridis sebetulnya sangat jelas tetapi secara politis patut diduga akan menimbulkan persoalan tersendiri di tingkat lapangan; Pendapat Mahkamah [3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan keterangan Pemohon, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, Pihak Terkait Komnas Perempuan dan Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum, sebagaimana telah diuraikan di atas beserta bukti-bukti surat yang diajukan para Pemohon, sebelum mempertimbangkan mengenai pokok permohonan, Mahkamah akan menyatakan pendapatnya tentang pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo. Sebelumnya, Mahkamah memandang perlu menegaskan beberapa hal sebagai berikut: Di dalam kehidupan setiap negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum, 96 akan selalu terjadi tarik menarik antara dua kepentingan yang sama-sama fundamental, yaitu kepentingan untuk membentuk hukum (undang-undang) guna menjamin dan memastikan bekerjanya tertib hukum dalam masyarakat, sekaligus untuk melindungi kepentingan masyarakat (umum) dan kepentingan untuk menjaga hak atau kebebasan individu (individual liberty) sebagai unsur inheren; Konsekuensi negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, tidak hanya berarti bahwa proses pembentukan hukum dan materi muatannya (in casu undang-undang) harus mengindahkan prinsip-prinsip demokrasi, tetapi juga berarti bahwa praktik demokrasi harus tunduk pada prinsip negara hukum (rechtsstaat, rule of law) yang menempatkan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi (supreme law). Oleh karena itulah, undang-undang, baik proses pembentukannya maupun materi muatannya, dapat diuji terhadap undang-undang dasar sebagai hukum tertinggi; Kewenangan Mahkamah, untuk mengadili dan memutus permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, mengandung amanat konstitusi kepada Mahkamah untuk mengawal konstitusi. The guardian of the constitution dalam hubungan ini, yang dimaksud adalah Mahkamah harus memastikan tidak ada undang-undang yang melanggar hak konstitusional warga negara semata-mata karena alasan menciptakan tertib hukum. Namun, di lain pihak, Mahkamah juga harus memastikan tidak terjadi keadaan yang dengan alasan melindungi hak konstitusional warga negara mengesampingkan kepentingan masyarakat; Bahwa oleh karena itu, semua pihak, terlebih lagi Mahkamah, haruslah berpendirian bahwa setiap undang-undang adalah konstitusional (principle of constitutionality) sampai terbukti melalui proses peradilan di hadapan Mahkamah bahwa undang-undang yang bersangkutan inkonstitusional; [3.15] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan memberikan pendapat mengenai hal-hal yang menjadi materi pokok permohonan para Pemohon sebagai berikut: [3.15.1] Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 berbunyi, “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat 97 sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.” Pemohon I (Muhammad Sholeh, S.H.) mendalilkan bahwa Pasal 55 ayat (2) a quo tidak sejalan dengan reformasi, mencerminkan pembedaan kedudukan dan perlakuan (unequal treatment), ketidakadilan (injustice), ketidakpastian hukum (legal uncertainty), dan bersifat diskriminatif karenanya bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, Pasal 28D ayat (1), “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,” Pasal 28D ayat (3), “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan,” Pasal 28I ayat (2), “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Terhadap dalil Pemohon I (Muhammad Sholeh) tersebut, Mahkamah berpendapat: • Diberlakukannya ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008, yakni setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang calon perempuan adalah dalam rangka memenuhi affirmative action (tindakan sementara) bagi perempuan di bidang politik sebagaimana yang telah dilakukan oleh berbagai negara dengan menerapkan adanya kewajiban bagi partai politik untuk menyertakan calon anggota legislatif bagi perempuan. Hal ini sebagai tindak lanjut dari Konvensi Perempuan se-Dunia Tahun 1995 di Beijing dan berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi [Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Hak Sipil dan Politik, Hasil Sidang Umum Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman (CEDAW)]; • Affirmative action juga disebut sebagai reverse discrimination, yang memberi kesempatan kepada perempuan demi terbentuknya kesetaraan gender dalam lapangan peran yang sama (level playing-field) antara perempuan dan laki-laki, sekalipun dalam dinamika perkembangan sejarah terdapat perbedaan, karena alasan kultural, keikutsertaan perempuan dalam pengambilan keputusan dalam kebijaksanaan nasional, baik di bidang hukum maupun dalam pembangunan 98 ekonomi dan sosial politik, peran perempuan relatif masih kecil. Kini, disadari melalui sensus kependudukan ternyata jumlah penduduk Indonesia yang terbesar adalah perempuan, maka seharusnyalah aspek kepentingan gender dipertimbangkan dengan adil dalam keputusan-keputusan di bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, dan kultural; • Bahwa kalau sistem kuota bagi perempuan dipandang mengurangi hak konstitusional calon legislatif laki-laki sebagai pembatasan, hal itu tidak berarti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pembatasan tersebut dibenarkan oleh konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Bahkan di dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, perlakuan khusus tersebut diperbolehkan. Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Dewasa ini, komitmen Indonesia terhadap instrumeninstrumen hak asasi manusia (HAM) yang berhubungan dengan penghapusan segala bentuk diskriminasi perempuan serta komitmen untuk memajukan perempuan di bidang politik telah diwujudkan melalui berbagai ratifikasi dan berbagai kebijakan pemerintah; • Bahwa sepanjang ambang batas kuota 30% (tiga puluh per seratus) dan keharusan satu perempuan dari setiap tiga calon anggota legislatif bagi perempuan dan laki-laki dinilai cukup memadai sebagai langkah awal untuk memberi peluang kepada perempuan di satu pihak, sementara di pihak lain, menawarkan kepada publik/pemilih untuk menilai sekaligus menguji akseptabilitas perempuan memasuki ranah politik yang bukan semata-mata karena statusnya sebagai perempuan, tetapi juga dari sisi kapasitas dan kapabilitasnya sebagai legislator, serta tempatnya menurut kultur Indonesia. Pemberian kuota 30% (tiga puluh per seratus) dan keharusan satu calon perempuan dari setiap tiga calon merupakan diskriminasi positif dalam rangka menyeimbangkan antara keterwakilan perempuan dan laki-laki untuk menjadi 99 legislator di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota. Pemberian kuota 30% (tiga puluh per seratus) bagi calon perempuan ditegaskan oleh Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 agar jaminan yang memberi peluang keterpilihan perempuan lebih besar dalam pemilihan umum; • Bahwa untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam bidang politik tidak semata-mata tergantung pada faktor hukum, melainkan juga faktor budaya, kemampuan, kedekatan dengan rakyat, agama, dan derajat kepercayaan masyarakat atas calon legislatif perempuan, serta kesadaran yang semakin meningkat atas peranan perempuan dalam bidang politik. Terkait dengan asas Bhinneka Tunggal Ika dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, maka setiap pilihan masing-masing orang sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan harus tetap dihargai sekalipun terdapat perbedaan satu dengan yang lain; • Pandangan Mahkamah ini, sejalan dengan pandangan Pemerintah dan DPR yang menyatakan bahwa kebijakan mengenai cita-cita 30% (tiga puluh per seratus) kuota perempuan dan keharusan satu perempuan dari setiap tiga calon anggota legislatif merupakan satu kebijakan affirmative action yang sifatnya sementara untuk mendorong keikutsertaan perempuan dalam pengambilan kebijakan nasional melalui partisipasi dalam pembentukan undang-undang; • Berdasarkan pandangan dan penilaian hukum di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 tidak bertentangan dengan konstitusi, karena perlakuan hak-hak konstitusional gender untuk tidak dikualifikasi diskriminatif tersebut, dimaknai untuk meletakkan secara adil hal yang selama ini ternyata tidak memperlakukan kaum perempuan secara tidak adil; [3.15.2] Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UU 10/2008 yang berbunyi, Ayat (4): “Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR”; Ayat (5): ”Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan tahap kedua, maka dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap ketiga dengan cara 100 seluruh sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu dikumpulkan di propvinsi untuk menentukan BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan; Ayat (6): ”BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan membagi jumlah sisa suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dengan jumlah sisa kursi”; Ayat (7): ”Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan cara memberikan kursi kepada partai politik yang mencapai BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan”; Pemohon II (Sutjipto, S.H.,M.Kn, Septi Notariana, S.H.,M.Kn., dan Jose Dima Satria, S.H.M.Kn), mendalilkan bahwa Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UU 10/2008 tidak adil dan bersifat diskriminatif karena apabila perolehan suara atau sisa suara di Daerah Pemilihan tersebut kurang dari 50% (lima puluh perseratus) dari BPP, maka suaranya akan dibawa ke provinsi dan Pemohon II tidak mendapat jaminan akan mendapatkan kursi di DPR. Begitu juga Pemohon II dalam kedudukannya sebagai calon dan sebagai pemilih juga dirugikan hak konstitusionalnya oleh karena suara yang diperoleh oleh calon anggota DPR yang dipilihnya pada satu daerah pemilihan, perolehan suara atau sisa suara kurang dari 50% (lima puluh perseratus) dari BPP dapat dialihkan ke calon anggota DPR lain di Daerah Pemilihan yang lain. Pemohon II juga mendalilkan bahwa pemenang Pemilu harus didasarkan pada suara terbanyak, mendapat perlakuan yang adil dan tidak ada diskriminasi; Terhadap dalil Pemohon II tersebut di atas, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UU 10/2008 adalah berkaitan dengan perolehan kursi partai politik dan tidak berhubungan dengan terpilihnya calon. Sejauh menyangkut sisa suara yang dikumpulkan dari setiap daerah pemilihan (Dapil) ke tingkat provinsi hanyalah untuk menentukan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) baru yang juga berhubungan dengan perolehan kursi partai politik. Dengan demikian, dalil tersebut tidak berkenaan dengan konstitusionalitas karena tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Mahkamah berpendapat bahwa untuk menentukan partai politik yang memperoleh kursi berdasarkan BPP baru sebagaimana diatur dalam Pasal 205 ayat (7) UU 10/2008 dan penentuan calon terpilih berdasarkan BPP baru tersebut, harus 101 didasarkan atas suara terbanyak sesuai dengan keterangan Komisi Pemilihan Umum di persidangan sebagaimana telah termuat dalam Duduk Perkara a quo; [3.15.3] Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 yang berbunyi, “Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan: a. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; b. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; c. dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP; d. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut; e. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.” Pemohon I mendalilkan bahwa Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 telah menghilangkan makna pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama bagi setiap warga negara di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena telah menghalangi dan membatasi hak Pemohon untuk terpilih sebagai calon legislatif periode 2009-2014; Pemohon II mendalilkan bahwa Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 bertentangan dengan norma-norma konstitusi yang terkandung dalam Pasal 6A ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan 102 Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 karena pada dasarnya pemenang pemilihan umum haruslah didasarkan pada suara terbanyak, serta mendapat perlakuan yang adil dan tidak ada diskriminasi; Terhadap dalil Pemohon I (Muhammad Sholeh, S.H.) dan Pemohon II (Sutjipto, S.H.,M.M.Kn, Septi Notariana, S.H.,M.M.Kn, dan Jose Dima Satria, S.H.,M.M.Kn,) sepanjang berkaitan dengan konstitusionalitas Pasal 214 huruf a, b, c, d dan e UU 10/2008, Mahkamah memberikan satu penilaian dan pendapat hukum, sebagai berikut: • Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga dalam berbagai kegiatan pemilihan umum, rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya. Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif maupun eksekutif, sebaliknya rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan; • Bahwa prinsip kedaulatan rakyat merupakan prinsip konstitusi yang sangat mendasar yang bukan saja memberi warna dan semangat pada konstitusi yang menentukan bentuk pemerintahan, akan tetapi juga dapat dipandang sebagai moralitas konstitusi yang memberi warna dan sifat pada keseluruhan undangundang di bidang politik. Meskipun harus diakui perlunya dipelihara satu sistem rekrutmen pimpinan politik yang terutama diperankan oleh partai politik yang sehat, maka sebagai satu metode dan prosedur rekrutmen dalam sistem politik dan perwakilan yang dianut, harus diberi batas yang jelas bahwa partai politik tersebut tidak boleh sampai melanggar prinsip kedaulatan rakyat, yang dapat dipandang sebagai prinsip konstitusi yang sangat mendasar dan tidak dapat dikesampingkan, karena bukan hanya merupakan basic norm melainkan lebih dari itu merupakan moralitas konstitusi bagi semua kehidupan negara dan bangsa baik di bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum. Prinsip tersebut harus berdampingan, tidak boleh menafikan tetapi justru harus menjunjung tinggi hak asasi manusia yang membentuk dan menjadi dasar harkat dan martabat manusia (the dignity of man); 103 • Bahwa tujuan utama peletakan kedaulatan rakyat sebagai prinsip dasar konstitusi adalah menempatkannya sedemikian rupa sehingga penghargaan dan penilaian hak suara pemilih yang membentuk wujud kedaulatan rakyat, tidak merupakan masalah yang tunduk pada perubahan-perubahan yang timbul dari kontroversi politik di parlemen, in casu dengan jalan menempatkan kekuasaan partai politik untuk mengubah pilihan rakyat menjadi pilihan pengurus partai melalui nomor urut. Peran partai dalam proses rekrutmen telah selesai dengan dipilihnya caloncalon yang cakap untuk kepentingan rakyat, karena rakyat tidak mungkin secara keseluruhan mengartikulasikan syarat-syarat calon pemimpin yang dipandang sesuai dengan keinginan rakyat kecuali melalui organisasi politik yang memperjuangkan hak-hak dan kepentingan politik dari kelompok-kelompok dalam masyarakat. Karena itu, keterpilihan calon anggota legislatif tidak boleh bergeser dari keputusan rakyat yang berdaulat kepada keputusan pengurus partai politik, sebagaimana amanat konstitusi yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”... “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat...”; • Bahwa Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan agar penyelenggaraan Pemilu lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas prinsip demokrasi, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, harus menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan Pemilu, untuk dikembangkan dan diimplementasikan oleh undang-undang mengenai Pemilu secara singkat dan sederhana, yang dipergunakan untuk memberi landasan bagi seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu agar dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat, tidak hanya 104 ditempatkan sebagai objek oleh peserta Pemilu dalam mencapai kemenangan semata; • Bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, dengan demikian adanya keinginan rakyat memilih wakil-wakilnya yang diajukan oleh partai politik dalam Pemilu, sesuai dengan kehendak dan keinginannya dapat terwujud, harapan agar wakil yang terpilih tersebut juga tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik, tetapi mampu membawa aspirasi rakyat pemilih. Dengan sistem proporsional terbuka, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih, maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak; • Bahwa dengan diberikan hak kepada rakyat secara langsung untuk memilih dan menentukan pilihannya terhadap calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan suara terbanyak, di samping memberikan kemudahan kepada pemilih dalam menentukan pilihannya, juga lebih adil tidak hanya bagi calon anggota DPR/DPRD, tetapi juga untuk masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya, baik masyarakat yang bergabung sebagai anggota partai politik maupun masyarakat yang tidak bergabung sebagai anggota partai politik peserta Pemilu, karena kemenangan seseorang calon untuk terpilih tidak lagi digantungkan kepada partai politik peserta Pemilu, tetapi sampai sejauh mana besarnya dukungan suara rakyat yang diberikan kepada calon tersebut. Dengan demikian, konflik internal partai politik peserta Pemilu yang dapat berimbas kepada masyarakat dapat dikurangi, yang semuanya sesuai dengan prinsipprinsip Pemilu yang adil, jujur, dan bertanggung jawab; • Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 yang menentukan bahwa calon terpilih adalah calon yang mendapat di atas 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP, atau menempati nomor urut lebih kecil, jika tidak ada yang memperoleh 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP, atau yang menempati nomor urut lebih kecil jika yang memperoleh 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP lebih dari jumlah kursi proporsional yang diperoleh suatu partai politik peserta Pemilu adalah inkonstitusional. 105 Inkonstitusional karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat sebagaimana telah diuraikan di atas dan dikualifisir bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Hal tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif akan benar-benar melanggar kedaulatan rakyat dan keadilan, jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem terpaksa calon yang mendapat suara banyak dikalahkan oleh calon yang mendapat suara kecil, karena yang mendapat suara kecil nomor urutnya lebih kecil; • Bahwa dilihat dari dimensi keadilan dalam pembangunan politik, pada saat ini Indonesia telah menganut sistem pemilihan langsung untuk Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Daerah, dan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sehingga menjadi adil pula jika pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga bersifat langsung memilih orang tanpa mengurangi hak-hak politik partai politik, sehingga setiap calon anggota legislatif dapat menjadi anggota legislatif pada semua tingkatan sesuai dengan perjuangan dan perolehan dukungan suara masing-masing; • Hal tersebut akan menusuk rasa keadilan dan melanggar kedaulatan rakyat dalam artinya yang substantif, karena tidak ada rasa dan logika yang dapat membenarkan bahwa keadilan dan kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat dapat dilanggar dengan cara seperti itu; • Bahwa dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak, maka penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada siapapun calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, setiap pemilihan tidak lagi menggunakan standar ganda, yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara masing-masing Caleg. Memberlakukan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak; 106 • Bahwa dengan adanya pengakuan terhadap kesamaan kedudukan hukum dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan (equality and opportunity before the law) sebagaimana diadopsi dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945, artinya setiap calon anggota legislatif mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di hadapan hukum, memberlakukan suatu ketentuan hukum yang tidak sama atas dua keadaan yang sama adalah sama tidak adilnya dengan memberlakukan suatu ketentuan hukum yang sama atas dua keadaan yang tidak sama. Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 214 UU 10/2008 mengandung standar ganda sehingga dapat dinilai memberlakukan hukum yang berbeda terhadap keadaan yang sama sehingga dinilai tidak adil; [3.16] Menimbang bahwa memang benar, affirmative action adalah kebijakan yang telah diterima oleh Indonesia yang bersumber dari CEDAW, tetapi karena dalam permohonan a quo Mahkamah dihadapkan pada pilihan antara prinsip UUD 1945 dan tuntutan kebijakan yang berdasarkan CEDAW tersebut maka yang harus diutamakan adalah UUD 1945. Sejauh menyangkut ketentuan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 bahwa “setiap orang berhak mendapat perlakuan khusus” maka penentuan adanya kuota 30% (tiga puluh perseratus) bagi calon perempuan dan satu calon perempuan dari setiap tiga calon anggota legislatif, menurut Mahkamah sudah memenuhi perlakuan khusus tersebut; [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon I dan Pemohon II sepanjang menyangkut Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 cukup beralasan; [3.18] Menimbang bahwa sepanjang dalil Pemohon tentang Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UU 10/2008 bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berpendapat, dalil tersebut tidak berkenaan dengan konstitusionalitas norma karenanya tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; [3.19] Menimbang bahwa karena dalil para Pemohon beralasan sepanjang mengenai Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008, maka permohonan Pemohon harus dikabulkan, sehingga pasal tersebut tidak mempunyai 107 kekuatan hukum mengikat, namun hal tersebut tidak akan menimbulkan kekosongan hukum, walaupun tanpa revisi undang-undang maupun pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Putusan Mahkamah demikian bersifat self executing. Komisi Pemilihan Umum (KPU) beserta seluruh jajarannya, berdasarkan kewenangan Pasal 213 UU 10/2008, dapat menetapkan calon terpilih berdasarkan Putusan Mahkamah dalam perkara ini. 4. KONKLUSI Berdasarkan seluruh penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan sebagai berikut: [4.1] Bahwa Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 meskipun dipandang sebagai suatu yang bersifat diskriminatif secara terbalik atau reverse discrimination, akan tetapi tidak melanggar konstitusi karena ketentuan a quo adalah untuk meletakkan dasar-dasar yang adil secara sama bagi laki-laki dan perempuan, karenanya permohonan Pemohon tidak beralasan; [4.2] Bahwa Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UU 10/2008 tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karenanya permohonan Pemohon tidak beralasan; [4.3] Bahwa Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, karenanya permohonan Pemohon beralasan dan harus dikabulkan; [4.5] Bahwa secara teknis administratif pelaksanaan putusan Mahkamah diyakini tidak akan menimbulkan hambatan yang pelik karena Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum pada Sidang Pleno di Mahkamah Konstitusi tanggal 12 November 2008 menyatakan siap melaksanakan putusan Mahkamah jika memang harus menetapkan anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak. 5. AMAR PUTUSAN Dengan mengingat Pasal 56 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 57 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah 108 Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316), maka berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mengadili, • Mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk sebagian; • Menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; • Menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; • Menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk selain dan selebihnya; • Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi pada hari Jumat tanggal sembilan belas bulan Desember tahun dua ribu delapan dan diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal dua puluh tiga bulan Desember tahun dua ribu delapan oleh kami delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD, sebagai Ketua merangkap Anggota, M. Arsyad Sanusi, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Abdul Mukthie Fadjar, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, dan Maruarar Siahaan masing-masing sebagai Anggota dengan didampingi oleh Makhfud sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat 109 atau yang mewakili, dan Pihak Terkait Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, serta Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum. KETUA, ttd. Moh. Mahfud MD ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. ttd. M. Arsyad Sanusi Achmad Sodiki ttd. ttd. Muhammad Alim td Abdul Mukthie Fadjar Tttd. ttd. M. Akil Mochtar Maria Farida Indrati ttd. Maruarar Siahaan PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION) Terhadap putusan Mahkamah di atas, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion) sebagai berikut: Masalah yang berkaitan dengan kuota perempuan merupakan hal yang harus diperjuangkan sebagai suatu hak konstitusional dalam mencapai suatu kesetaraan dalam pembangunan bangsa Indonesia secara menyeluruh. Hal tersebut merupakan 110 suatu kewajiban bagi Pemerintah dan para pembentuk undang-undang untuk mengatur dan melaksanakannya. Mengapa diperlukan kuota perempuan? Pemenuhan kuota perempuan dilandasi pada argumen (Hanna Pitkin, The Concept of Representation, 1967) sebagai berikut: 1. Perempuan mewakilil setengah dari populasi dan punya hak untuk setengah dari kursi (”justice argument”); 2. Perempuan mempunyai pengalaman yang berbeda dari laki-laki (biologis maupun sosial) yang diwakili (”experience argument”). Sejalan dengan argumen ini perempuan dapat memasuki posisi kekuasaan karena mereka akan terikat dalam politik yang berbeda; 3. Perempuan dan laki-laki mempunyai pertentangan kepentingan sehingga lakilaki tidak dapat mewakili perempuan (”interest group argument”); 4. Politisi perempuan mewakili model peran penting mendorong perempuan lain untuk mengikuti. Inti ide di belakang kuota gender pemilihan adalah merekrut perempuan ke dalam institusi politik dan memastikan bahwa perempuan tidak terisolasi dalam kehidupan politik. Dalam konklusi Putusan Mahkamah terhadap pengujian undang-undang a quo dalam paragraf [4.1] telah menetapkan bahwa “Pasal 55 ayat (2) UndangUndang 10/2008 meskipun dipandang sebagai suatu yang bersifat diskriminatif secara terbalik atau reverse discrimination, akan tetapi tidak melanggar konstitusi karena ketentuan a quo adalah untuk meletakkan dasar-dasar yang adil secara sama bagi laki-laki dan perempuan, karenanya permohonan Pemohon tidak beralasan”. Konklusi ini menurut saya tidak sejalan dengan paragraf [4.3] yang menyatakan bahwa Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pendapat ini dilandasi dengan alasan sebagaimana diuraikan di bawah ini; Dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms Discrimination against Women – CEDAW), maka Negara Republik Indonesia mempunyai kewajiban sebagai negara pihak (state parties) untuk mengintegrasikan seluruh prinsip-prinsip yang tercantum dalam konvensi tersebut ke dalam hukum nasional; 111 Untuk menjamin terpenuhinya pelaksanaan pengaturan dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) tersebut maka Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah menetapkan dalam Pasal 53, Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 yang mengatur mengenai kuota perempuan, dengan rumusan sebagai berikut: Pasal 53: “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) keterwakilan perempuan.” Pasal 55: Ayat (1): “Nama-nama calon dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 disusun berdasarkan nomor urut.” Ayat (2): “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.” Ayat (3) “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pasfoto terbaru.” Pasal 214: “Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan: a. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; b. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; c. dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut 112 lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurangkurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP; d. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut; e. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurangkurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.” Perumusan ketentuan dalam ketiga pasal tersebut merupakan tindakan afirmatif bagi keterwakilan perempuan yang merupakan desain “dari hulu ke hilir”, dalam arti mengkombinasikan antara proteksi dalam mekanisme internal partai (pencalonan dan penempatan dalam daftar calon), dan mekanisme eksternal partai berupa dukungan konstituen yang diraih calon anggota dewan (DPR dan DPRD) melalui perjuangan di daerah pemilihan yang bersangkutan; Perumusan ketentuan dalam Pasal 55 ayat (2) undang-undang a quo sebenarnya merupakan implementasi dari ketentuan dalam Pasal 53, yang diharapkan dapat mendukung perolehan suara bagi keterwakilan perempuan. Selain itu, penetapan calon terpilih seperti diatur dalam Pasal 214 undang-undang a quo merupakan juga tindakan afirmatif dalam rangka memberikan peluang keterpilihan lebih besar bagi calon perempuan. Oleh karena itu, penetapan penggantian dengan “suara terbanyak” akan menimbulkan inkonsistensi terhadap tindakan afirmatif tersebut. Tujuan tindakan afirmatif yang merupakan tindakan sementara ini adalah mendorong jumlah perempuan lebih banyak di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, sehingga menggantinya dengan “suara terbanyak” adalah identik dengan menafikan tindakan afirmatif tersebut. Tindakan afirmtif tersebut dirumuskan sebagai upaya agar penerapan kuota 30% perempuan sebagai calon di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, tidak hanya merupakan retorika saja, tetapi merupakan suatu tindakan nyata yang didukung dengan sistem yang baik dalam setiap partai politik; Apabila tindakan afirmatif yang ditetapkan dalam undang-undang digantikan dengan ”suara terbanyak” maka hal tersebut merupakan tindakan yang tidak 113 konsisten dengan mekanisme yang dibangun dalam penyelenggaraan pemilihan umum dalam undang-undang a quo, oleh karena penggantian tersebut dilaksanakan setelah adanya penetapan Daftar Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, sehingga mekanisme desain “dari hulu ke hilir” yang dilakukan untuk menunjang tindakan afirmatif tidak dapat terlaksana. Penggunaan suara terbanyak seharusnya dikemas sejak awal penyelenggaraan Pemilihan Umum (Penetapan Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) melalui mekanisme internal partai yang demokratis dalam pelaksanaan rekrutmen dan penempatan daerah pemilihan (Dapil). Tidak adanya mekanisme internal di partai politik yang transparan, terukur, dan demokratis akan menyebabkan penggunaan suara terbanyak hanya akan menguntungkan segelintir orang dan tidak memenuhi asas keadilan bagi semua calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang bersaing; Walaupun sebenarnya, penggunaan mekanisme “suara terbanyak” dalam pemilihan umum adalah merupakan cara terbaik dan memenuhi asas demokrasi untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan kehendak masyarakat pemilih, akan tetapi apabila mekanisme tersebut tidak diatur secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu peraturan (dalam hal ini undang-undang) hal tersebut justru akan menimbulkan dampak yang negatif. Tanpa adanya peraturan yang menyeluruh dan terpadu maka mekanisme “suara terbanyak” hanya akan digunakan sebagai alat untuk melegalkan strategi internal partai politik untuk meraih suara pemilih sebanyak mungkin dengan mengabaikan kompetensi calon dan reformasi internal partai politik yang komprehensif, serta mengabaikan tindakan afirmatif yang sudah disepakati bersama; Perumusan dalam Pasal 53, Pasal 55, dan Pasal 214 UU 10/2008 sebenarnya merupakan tindakan afirmatif yang dilandasi ketentuan dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 dan beberapa pasal dalam CEDAW yang, antara lain, berbunyi sebagai berikut: o Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menetapkan, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”; o Pasal 4 ayat (1) CEDAW menetapkan, “Pembentukan peraturan-peraturan dan melakukan tindakan khusus sementara oleh negara-negara pihak yang 114 ditujukan untuk mempercepat kesetaraan “de facto” antara laki-laki dan perempuan, tidak dianggap sebagai diskriminasi seperti ditegaskan dalam konvensi ini, dan sama sekali tidak harus membawa konsekuensi pemeliharaan standar-standar yang tidak sama atau terpisah, maka peraturan-peraturan dan tindakan tersebut wajib dihentikan jika tujuan persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai”; o Pasal 7 CEDAW menetapkan, “Negara-negara pihak wajib mengambil langkahlangkah yang sesuai untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat di negaranya, khususnya menjamin bagi perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak: (a) untuk memilih dalam berkemampuan untuk semua dipilih pemilihan dalam dan agenda lembaga-lembaga publik yang dan dipilih masyarakat; (b) untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya, serta memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkatan; (c) untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan- perkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara. Rekomendasi Umum Nomor 23 tentang Kehidupan Politik dan Publik Pasal 7 dan Pasal 8 CEDAW, Sesi ke-16 Tahun 1997 menegaskan: “… di bawah Pasal 4, konvensi mendorong digunakannya tindakan khusus sementara guna memberi efek penuh pada Pasal 7 dan 8, di mana negaranegara telah mengembangkan strategi sementara yang efektif dalam upayanya mencapai kesetaraan partisipasi, berbagai jenis tindakan telah diimplementasikan, termasuk merekrut, membantu secara finansial dan melatih kandidat perempuan, mengubah prosedur pemilihan, merancang kampanye yang ditujukan pada partisipasi yang setara, menetapkan target angka dan quota dan menargetkan perempuan untuk ditunjuk pada jabatan publik seperti hakim atau kelompok.” Berdasarkan alasan hukum dan fakta yang diuraikan di atas, saya berkesimpulan bahwa Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e 115 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. PANITERA PENGGANTI, ttd. Makhfud