Pengakuan Anak Luar Nikah dalam Hu

advertisement
PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM
Pengakuan Anak Luar Nikah dalam Hukum Islam dan Hubungannya dengan
Kewenangan Peradilan Agama
Ramlah
Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstrak
Pengakuan anak luar nikah merupakan wewenang Peradilan
Agama berdasarkan UU No. 7 tahun 1989 dan perubahannya
menjadi UU No. 3 Tahun 2006 kemudian berubah lagi menjadi
UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peraidalan Agama. Walaupun sudah ada undang-undang yang mengaturnya, namun secara rinci
berupa peraturan pemerintah sebagaimana yang diamanatkan
oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum terwujud.
Oleh karena itulah, bila ada kasus yang muncul kepermukaan
tentang pembahasan anak luar nikah ditanggapi dengan berbagai
macam sudut pandang. Walaupun demikian hakim Pengadilan
Agama dalam menangani perkara ini banyak merujuk ke kitab
Fiqh yang ditemukan dalam pembahasan bab nasab, yang pembahasannya terkait dengan masalah anak zina/anak luar nikah
dalam menentukan ayah biologisnya dengan memperhatikan
berbagai macam syarat yang ditawarkan oleh para fuqaha’. Sedangkan ketentuan anak luar nikah dalam UU No. 1 tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam ditentukan anak luar nikah hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Kata Kunci: Anak luar nikah, Peradilan Agama, KHI.
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
217
218
RAMLAH
Pendahuluan
Agama Islam merupakan agama rahmatan lil’alamin, yang sempurna
mengatur berbagai persoalan di muka bumi ini, di antaranya adalah
masalah keturunan. Islam menetapkan bahwa keturunan/nasab itu
sangat penting diperhatikan dalam kehidupan, agar dapat terjamin
kebenaran dan keabsahan hak-hak manusia sekaligus hak Allah, dan
juga dapat menghilangkan keragu-raguan dan terbagunnya satuansatuan keluarga dengan ikatan yang kuat, saling tarik-menarik antara
darah yang satu dengan yang lainnya, karena asal usul yang sama.
Namun di akhir-akhir ini banyak muncul kepermukaan di tengah masyarakat tentang persoalan ketentuan nasab anak luar nikah
atau anak dari hasil poligami gelap suami-isteri, seperti kasus Hj.
Aisyah Mochtar alias Macicha Muchtar si pelantun lagu “Ilalang”
pada Bulan Februari 2012 lalu pasca putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait kedudukan hukum bagi anak luar
nikah. Munculnya kasus ini dapat mengejutkan para pihak, baik dari
kalangan praktisi hukum, akademisi, LSM, MUI, dan masyarakat.
Kasus ini muncul disebabkan suami Macicha Muchtar yang
bernama Moediono meninggal dunia dan meninggalkan anak yang
bernama Muhammad Iqbal Ramadhan (hasil poligami di bawah
tangan).. Untuk melegalisasikan status anak ini sebagai bagian dari
keluarga almarhum Moerdiono, akan tetapi terjegal oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang menjadi persoalan dalam kasus ini adalah bagaimana status hukum anak yang
dilahirkan dari poligami di bawah tangan, dimana secara tidak langsung berkaitan dengan status anak yang dilahirkan di luar nikah.
Namun oleh Mahkamah Konstitusi langsung mengadakan uji materi
terhadap pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan telah di-review- dimana anak yang diluar nikah
status hukumnya mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan
ayah biologisnya dan berhak mendapat perwalian dan warisan.
Berdasarkan contoh kasus di atas, maka penulis berkeinginan
untuk menyampaikan melalui tulisan ini tentang pengakuan status
anak luar nikah dalam perspektif hukum Islam serta hubungannya
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM
dengan wewenang Pengadilan Agama. Karena sampai saat ini belum
ada terdapat peraturan pemerintah yang mengatur tentang kedudukan anak di luar perkawinan, sebagaimana diamanatkan oleh UU No.
1 Tahun 1974 pasal 43 ayat (2) belum terwujud. Akibat dari belum
terwujudnya peraturan yang mengaturnya, dapat membuat munculnya berbagai persepsi di kalang masyarakat, walaupun ketentuan ini
sudah jelas diatur dalam berbagai kitab fiqh, tapi belum dimasukkan
ke dalam hukum yang tertulis sebagai hukum formal di Indonesia.
Pengertian Pengakuan dan Anak Luar Nikah
Pengakuan anak dalam literatur hukum Islam disebut ‘ istilhag” atau
“iqrar” yang berarti pengakuan seorang laki-laki secara sukarela terhadap seorang anak bahwa ia mempunyai hubungan darah dengan
anak tersebut, baik anak tersebut berstatus di luar nikah atau anak
tersebut tidak diketahui asal usulnya. Pengakuan anak diluar nikah
mirip dengan pengakuan anak sebagaimana yang diatur dalam BW
yang sering disebut dengan anak wajar (Natuurlijek kinderen).1
Anak wajar adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Dalam perkembangan selanjutnya pengertian anak wajar dipakai untuk dua pengertian, yaitu dalam arti luas mencakup semua anak luar
nikah yang disahkan, dalam arti sempit hanya mencakup anak yang
lahir akibat overspel atau incst. Menurut hukum perdata anak wajar
ini mempunyai hubungan keperdataan dengan orang tuanya hanya
dengan cara pengakuan secara sukarela atau dengan paksa sebagaimana tersebut dalam Pasal 280 KUH Perdata. Jika tidak ada pengakuan dari ibunya yang melahirkan atau bapak yang meng-hamili
ibunya, maka anak wajar tersebut tidak mempunyai hubungan keperdataan baik dengan ibu atau bapak yang menghamili ibunya itu.2
Anak diluar perkawinan adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam
ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian diluar kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan
hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
219
220
RAMLAH
hukum positif dan agama yang dipeluknya.
Menurut hukum perdata, pengertian anak luar perkawinan ada
dua macam, yaitu (1) apabila orang tua salah satu keduanya masih
terikat dengan perkawinan lainnya, kemudian dia melakukan hubungan seksual dengan wanita atau pria lain yang mengakibatkan hamil
dan melahirkan anak, maka anak tersebut dinamakan anak zina,
bukan anak ruar nikah, (2) apabila orang tua anak diluar kawin itu
masih sama-sama bujang, mereka mengadakan hubungan seksual
dan hamil serta melahirkan anak, maka anak itu diebut anak diluar
nikah. Beda keduanya adalah anak zina dapat diakui oleh orang tua
biologisnya, sedangkan anak di luar kawin dapat dapat diakui oleh
orang tua biologisnya apabila mereka menikah, dalam akta perkawinan dapat dicantumkan pengakuan dipinggir akta perkawinannya.3
Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan secara khusus dan
pasti tentang pengelompokan jenis anak, sebagai pengelompokan
yang terdapat dalam hukum perdata umum. Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan tentang kriteria anak sah yang (dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah), sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi: “ 1.
Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. (2).
Hasil pembuahan suami-isteri yang diluar rahim dan dilahirkan oleh
isteri tersebut “. Kompilasi Hukum Islam Juga menjelaskan ketentuan anak lahir diluar perkawinan sebagaimana dijelaskan dalam
pasal 100: “ Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Di samping
itu dijelaskan juga tentang status anak dari perkawinan seorang lakilaki dengan perempuan yang dihamilinya sebelum pernikahan, sebagaimana yang tercantum pada pasal 53 ayat 3 KHI: “ Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan
perkawinan setelah anak yang dikandung lahir”.4
Di samping itu Kompilasi Hukum Islam menjelaskan status
anak dari perkawinan yang dibatalkan, sebagaiman terdapat dalam
pasal 75: “ Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut
terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut”.5 DeMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM
mikian juga terhadap anak li’an (sebagai akibat pengingkaran suami
terhadap janin dan /atau anak yang dilahirkan isterinya).
Selanjutnya, dalam ketentuan UU NO. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan juga tidak dijelaskan tentang ketentuan anak luar nikah,
yang ada ketentuan anak sah sebagaimana terdapat dalam pasal 42:
anak yang sah adalah anak dilahirkan dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah.6 Yang termasuk dalam kategori pasal ini adalah:
1. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu ikatan perkawinan yang sah.
2. Anak yang dilahirkan oleh wanita di dalam ikatan perkawinan
dengan tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan dengan melahirkan bayi.
3. Anak yang dilahirkan oleh wanita dalam ikatan perkawinan yang
waktunya kurang dari kebiasaan masa kehamilan tetapi tidak diingkari kelahirannya oleh suami.
Untuk memahami pengertian “anak di luar nikah” ini diadakan
suatu pendekatan berdasarkan terminologi yang tertera dalam kitab
fiqh yang dipadukan dengan ketentuan yang mengatur tentang status
anak yang tertera dalam pasal-pasal UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Ulama’ fiqh memberi terminologi anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari hubungan suami-isteri
yang tidak sah. Hubungan suami-isteri yang tidak sah sebagaimana
dimaksud adalah hubungan badan (senggama/wathi’) antara dua
orang yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun
dan syarat nikah yang telah ditentukan. Selain itu, hubungan suami-isteri yang tidak sah tersebut, dapat terjadi atas dasar suka sama
suka ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang
yang telah menikah ataupun belum menikah. Meskipun istilah “anak
zina’ merupakan istilah yang populer dan melekat dalam kehidupan
masyarakat, namun Kompilasi Hukum Islam tidak mengadopsi istilah tersebut untuk dijadikan sebagai istilah khusus di dalamnya.
Hal tersebut mungkin bertujuan agar “anak’ sebagai hasil hubungan
zina, tidak dijadikan sasaran hukuman sosial, celaan masyarakat
dan sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar (berzinah) ibu
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
221
222
RAMLAH
kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada dirinya,
sekaligus untuk menunjukkan identitas Islam tidak mengenal adanya dosa warisan. Untuk lebih mendekatkan makna yang demikian,
pasal 44 ayat 910 UU No. 1 Tahun 1974 hanya menyatakan “ seorang
suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya,
bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan
kelahiran anak itu akibat daripada perzinahan tersebut.
Untuk menentukan makna anak zina sebagaimana menurut
ulama’ fiqh di atas dapat dilihat persamaannya dalam Kompilasi Hukum Islam adalah istilah “ anak yang dilahirkan di luar perkawinan
yang sah “ sebagaiman terdapat dalam pasal 100 di atas.
Dengan demikian, berdasarkan pendekatan makna “anak zina’
di atas, maka yang dimaksud dengan anak zina adalah anak atau janin
yang pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun
anak yang dilahirkan di luar perkawinan, sebagai akibat perbuatan
zina. Olek karena itu anak zina adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.
Ketentuan pasal 45 ayat 1 UU No. Tahun 1974 yang rumusannya
sama dengan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam adalah: “ anak yang
lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan
ibunya dan keluarga ibunya”. Yang termasuk anak yang lahir di luar
pekawinana adalah: 1) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak
mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya. 2) Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat perkosaan
oleh satu orang pria atau lebih. 3) Anak yang dilahirkan oleh wanita
yang dili’an (diingkari) oleh suaminya. 4) Anak yang dilahirkan oleh
wanita yang kehamilannya akibat salah orang (salah sangka), disangka suami ternyata bukan. 5 ) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang
kehamilannya akibat pernikahan yang diharamkan seperti menikah
dengan saudara kandung atau saudara sepupuan. Karena itu dapat
dipahami dimana angka 4 dan 5 tersebut tergolong anak subhat yang
apabila diakui oleh bapak subhatnya, nasabnya dapat dihubungkan
dengan kepadanya. Nomor 1, 2 dan 3 adalah termasuk dalam kelompok anak zina.
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM
Ketentuan Nasab Anak Sah dalam Islam dan Undangundang
Penetapan nasab terhadap anak mempunyai dampak yang sangat
besar terhadap individu, keluarga, dan masyarakat, sehingga setiap
individu berkewajiban merelefsikannya dalam masyarakat. Dengan
demikian diharapkan nasab (asal usul) anak menjadi jelas. Bila terjadi ketidakjelasan nasab tersebut dikhawatirkan akan terjadinya
perkawinan antar mahram. Untuk itu sahnya keturunan dapat dijelaskan di bawah.
Ketentuan Anak Sah dalam Islam
Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki
arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan mahram (nasab) antara anak dengan ayahnya. Kendatipun pada hakekatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma
seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan lain. Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika berasal dari
perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang
sudah resmi, antara seorang pria dengan seorang wanita. Bila wanita
itu hamil dan lalu melahirkan, maka keturunan anak tersebut jelas
ayahnya. Menurut pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
disebutkan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Demikian pula para fuqaha’
sepakat menentukan bahwa anak yang lahir dari seorang wanita dalam suatu perkawinan yang sah di-nasab-kan kepada suami wanita
tersebut. Hal ini seuai dengan sabda Rasulullah:
Diriwayatkan dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Anak itu bagi siapa yang menggauli ibunya (dalam nikah yang sah)
dan orang yang berzina haknya adalah batu” (HR. Muslim).7
Dalam menetapkan nasab melalui perkawinan yang sah harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Kehamilan bagi seorang isteri bukan hal yang mustahil, artinya
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
223
224
RAMLAH
normal dan wajar untuk hamil. Imam Hanafi tidak mensyaratkan
seperti ini, menurut beliau meskipun suami-isteri tidak melakukan hubungan seksual, apabila anak lahir dari dari seorang isteri
yang dikawini secara secara sah, maka anak tersebut adalah anak
sah.
b. Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan
sedikit-dikitnya 6 bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang ini terjadi ijma’ Ulama Fiqh sebagai masa terpendek dari
suatu kehamilan.
c. Anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang kehamilan. Tentang hal ini masih diperselisihkan oleh para
pakar hukum Islam.
d. Suami tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga li’an.
Jika seorang laki-laki ragu tentang batas minimal tidak terpenuhi
dalam masalah kehamilan atau batas maksimal kehamilan terlampau, maka ada alasan bagi suami untuk mengingkari anak
yang dikandung oleh isterinya dengan cara li’an.8
Poin nomor b di atas mennjukkan bahwa masa kehamilan anak
dalam kandungan ibunya minimal 6 bulan setelah masa perkawinan.
Pada masa sekarang, dimana kecanggihan teknologi semakin canggih
dalam berabagi ilmu pengetahuan, termasuk dalam ilmu kebidanan
yang mempelajari tentang embriologi dalam kandungan seorang ibu,
melalui perhitungan exsakta janin yang ada dalam kandungan itu
dapat diketahui kapan seorang ibu mulai mengandung janin itu dan
dapat diketahui pula kapan ibu hamil itu akan melahirkan anaknya.
Dengan adanya kemajuan seperti ini sekarang akan lebih mudah
meyakinkan pembuktian untuk menghubungkan nasab anak kepada
kedua orang tuanya, daripada diukur dengan ukuran 6 bulan setelah
perkawinan, yang dihasilkan dari kebiasaan-kebiasaan seorang ibu
dapat melahirkan. Walaupun demikian, kaidah ini masih dapat digunakan sebagai bukti awal bahwa anak yang dilahirkan kurang dari 6
bulan setelah masa perkawinannya diduga bukan anak yang dihasilkan dari perkawinan yang sah menurut hukum dan sebagai bukti
yang lengkap apalagi ditambah dengan keterangan para ahli.
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM
Penentuan batas minimal 6 bulan masa kehamilan setelah terjadi hubungan suami isteri yang nyata menurut Mayoritas ulama’
dan setelah adanya akad perkawinan menurut Ulama’ Hanafiyah.9
Yang dijadikan sandaran ahli hukum Islam secara mayoritas adalah
didasarkan pada hadits: ‫ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮ ﻝ ﺍﷲ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﻟﻠﻔﺮ ﺍ ﺵ ﻭﻟﻠﻌﺎ ﻫﺮ ﺍﳊﺠﺮ‬. Maksud hadits ini menurut Wahbah Al-Zuhaily adalah bahwa seorang
anak nasabnya dapat dihubungkan terhadap ayahnya hanya dalam
perkawinan yang sah, yang di maksud al-Firasyi dalam hadits tersebut adalah seorang perempuan menurut pandangan kebanyakan ulama’. Adapun perzinaan tidak dapat dijadikan sebab adanya hubungan nasab antara ayah pezina dengan anak zinanya, sebab seorang
perempuan tidak dapat dinyatakan dengan firasy kecuali perempuan
itu memungkinkan dapat melakukan hubungan suami-isteri.
Para ulama’ berbeda pendapat tentang batas maksimum seorang ibu mengandung janin. Menurut Imam Malik masanya selama
5 tahun, menurut Imam Syafi’i selama 4 tahun, menurut Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah selama dua tahun, sesuai apa yang dinyatakan oleh Aisyah ra. Bahwa seorang perempuan hamil tidak lebih
selama 2 tahun. Muhammad bin Ahkam menjelaskan bahwa seorang
perempuan hamil paling lama satu tahun hijriyah dan menurut Zhahiriyah selama sembilan bulan tidak lebih dari itu.
Abu Zahrah 10dalam hal ini menegaskan bahwa penentuan masa
kehamilan seorang ibu, tidak didasarkan kepada nash, melainkan
berdasarkan kepada kebiasaan suatu daerah, menurut penelitan yang
dilakukan sekarang diperkiran masa maksimum kehamilan adalah
sembilan bulan, ditambah satu bulan untuk kehati-hatian menjadi
sepuluh bulan. Begitu pula menurut Ibnu Rusyd dalam masalah ini
dikembalikan kepada kebiasaan suatu daerah dan ilmu kedokteran.
Ketentuan Anak Sah Menurut Undang-undang
Ketentuan anak sah dari aspek undang-undang salah satunya dapat
dilihat dari bunyi pasal 28-B ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 yang
berbunyi: “ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Kata “melanjutMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
225
226
RAMLAH
kan keturunan” apapun pengertiannya pasti terjemahan konkritnya
adalah “anak” yakni kehadirannya melalui pertemuan antara ovum
dan spermatozoa baik berdasarkan perkembangan teknologi yang
menyebabkan terjadinya pembuahan, yang keberadaannya harus
dilakukan melalui perkawinan yang sah, hal ini dipertegas dengan
pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang berbunyi: “
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.11
Ketentuan/Pengakuan Anak Luar Nikah
Penyebab terjadinya anak luar nikah, antara lain adalah :12
1. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan
perkawinan dengan pria yang menyetubuhinya dan tidak mempunyai ikatan perkawinan dengan pria atau wanita lain;
2. Anak yang lahir dari seorang wanita, kelahiran tersebut tidak
diketahui dan dikehendaki oleh salah satu atau ibu bapaknya,
hanya saja salah satu kedua orang tuanya itu masih terikat dengan perkawinan yang lain;
3. Anak yang lahir dari seorang wanita tetapi pria yang menghamilinya itu tidak diketahui, misalnya akibat korban perkosaan;
4. Anak yang lahir dari seorang wanita dalam masa iddah perceraian, tetapi anak yang dilahirkan itu merupakan hasil hubungan dengan pria yang bukan suaminya. Ada kemungkinan anak
di luar kawin ini dapat diterima oleh keluarga kedua belah pihak
secara wajar jika wanita yang melahirkan itu kawin dengan pria
yang menyetubuhinya;
5. Anak yang lahir dari seorang wanita yang ditinggal suami lebih
dari 300 hari, anak tersebut tidak diakui oleh suaminya sebagai
anak yang sah;
6. Anak yang lahir dari seorang wanita, pada hal agama mereka
yang mereka peluk menentukan lain, misalnya agama katolik
tidak mengenal adanya cerai hidup, tetapi dilakukan juga, kemudian ia kawin lagi dan melahirkan anak.Anak tersebut dianggap
anak di luar kawin;
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM
7.
Anak yang lahir dari seorang wanita, sedangkan pada mereka
berlaku ketentuan negara melarang mengadkan perkawinan
misalnya WNA tidak mendapat izin dari Kedutaan Besar untuk
mengadakan perkawinan, karena salah satunya dari mereka telah mempunyai isteri, tetapi mereka tetap campur dan melahirkan anak tersebut merupakan anak luar kawin;
8. Anak yang dilahirkan oleh seorang wanita, tetapi anak tersebut
sama sekali tidak mengetahui kedua orang tuanya;
9. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat di Kantor
Catatan Sipil dan/atau Kantor Urusan Agama;
10. Anak yang lahir dari perkawinan secara adat, tidak dilaksanankan secara adat, tidak dilaksanakan menurut agama dan kepercayaannya serta didaftar di Kantor Catatan Sipil dan Kanotr Urusan Agama Kecamatan.
Dalam Islam melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan perkawinan yang sah disebut dengan zina. Hubungan tersebut tidak dibedakan apakah pelakunya gadis, bersuami atau
duda, jejaka, beristeri atau duda, bila melakukan hubungan seksual
tanpa perkawinan yang sah tetap disebut dengan zina. Konsep zina
dalam hukum Islam terdapat dua istilah :
1. Zina muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah
atau pernah menikah;
2. Zina ghairu muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang
belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka/perawan.
Kedua jenis zina ini tetap dikenakan hukuman, bagi pelaku zina
muhson dirajam sampai mati, sedangkan pelaku zina ghairu muhson
dicambuk 100 kali, anak yang dilahirkan sebagai akibat zina disebut
dengan anak luar nikah. Anak luar nikah ini terbagi dua ;
1. Anak mula’anah, yaitu anak yang dilahirkan dari seorang wanita
yang di-li’an oleh suaminya. Kedudukan anak mula’anah ini hukumnya sama saja dengan anak zina. Ia tidak mengikuti nasab
suami ibunya yang me-li’an, tetapi mengikuti nasab ibunya yang
melahirkannya, ketentuan ini berlaku juga terhadap kewarisan,
perwalian dan lain-lain.
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
227
228
RAMLAH
2.
Anak subhat. Anak subhat adalah anak yang dilahirkan dari hasil senggama syubhat yaitu hubungan yang terjadi bukan dalam
perkawinan yang sah atau fasid dan bukan pula dari perbuatan
zina.13 Senggama syubhat bisa terjadi akibat keslahfahaman atau
kesalahan informasi. misalnya, seorang pria sebelumnya tidak
dikenalnya, pada malam pengantin ia menemukan seorang wanita dikamarnya lalu disenggamanya, akan tetapi terbukti kemudian bahwa wanita itu bukan isterinya yang telah dinikahinya.
Syubhat ada dua, Pertama, anak syubhat yang dilahirkan dari
syubhat perbuatan adalah hubungan seksual yang dilakukan karena
kesalahan, misalnya salah kamar, suami menyangka yang sedang tidur di kamar A adalah isterinya, ternyata adalah iparnya atau wanita
lain. Demikian pula isterinya menyangka yang datang ke kamarnya
adalah suaminya, kemudian terjadilah hubungan seksual dan menyebabkan hamil serta melahirkan anak di luar nikah; Kedua, anak
syubhat yang dilahirkan dari suatu akad, misalnya seorang laki-laki
menikahi seorang wanita, kemudian diketahui bahwa wanita yang
dinikahi itu adalah adik kandungnya sendiri atau saudara persesusuan yang haram dinikahi. Jika melahirkan anak dari dua bentuk
syubhat ini, maka anak tersebut dapat dihubungankan kepada bapak
syubhatnya atas pengakuannya.14
Pengakuan menurut hukum adalah merupakan suatu bentuk
pemberian keterangan dari seorang pria yang menyatakan pengakuan terhadap anak-anaknya. Sedangkan menurut pengakuan materiil yang dimaksud pengakuan anak adalah merupakan perbuatan
hukum untuk menimbulakan hubungan kekeluargaan antara anak
dengan yang mengakuinya tanpa mempersoalkan siapa yang membuahi atau membenihi wanita yang melahirkan anak tersebut. Jadi,
penekanannya bukan kepada siapa yang membubuhi atau mebenihkan wanita tersebut, tetapi kepada pengakuannya sehingga menjadi
sumber lahirnya hubungan kekeluargaan itu. Dengan adanya pengakuan itu, anak yang diakui itu menjadi anak yang sah dan berhak
atas warisan dari pria yang mengakuinya.15
Ulama’ fiqh sepakat bahwa nasab seorang anak dapat ditetapMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM
kan melalui tiga cara, yaitu :
1. Melalui nikah shahih atau nikah fasid. Ulama’ fiqh sepakat bahwa nikah yang sah dan nikah fasid merupakan salah satu cara dalam menetapkan nasab seorang anak kepada ayahnya, sekalipun
pernikahan dan kelahiran anak tidak didaftarkan secara resmi
pada istansi terkait.16
2. Melalui pengakuan atau gugatan anak. Ulama’ fiqh membedakan
antara pengakuan terhadap anak dan terhadap selain anak, seperti saudara, paman, atau kakek. Jika seorang laki-laki mengakui
bahwa seorang anak kecil adalah anaknya, atau sebaliknya seorang anak kecil yang telah baligh (menurut jumhur ulama’) atau
mumaiyyiz (menurut ulama’ mazhab Hanafi mengakui seorang
laki-laki adalah ayahnya, maka pengakuan itu dapat dibenarkan
dan anak di-nasb-kan kepada lelaki tersebut, apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a) Anak tidak jelas nasab-nya, tidak diketahui ayahnya. Apabila
ayahnya diketahui ayahnya.. Apabila ayahnya diketahui,
maka pengakuan itu batal, karena Rasulullah Saw. mencela
seseorang yang mengakui dan menjadikan anak orang lain
sebagai nasab-nya. Ulama’ fiqh sepakat bahwa apabila anak
itu adalah anak yang dinafikan ayahnya melalui li’an, maka
dibolehkan seseorang mengakui nasab-nya, selain suami
yang me-li’an ibunya.
b) Pengakuan tersebut rasional. Maksudnya, seseorang yang
mengakui sebagai ayah dari anak tersebut usianya berbeda
jauh dari anak yang diakui sebagai nasab-nya. Demikian
halnya, apabila seseorang mengakui nasab seorang anak
tapi kemudian datang lelaki lain yang mengakui nasab anak
tersebut. Dalam kasus seperti ini terdapat dua pengakuan,
sehingga hakim perlu meneliti lebih jauh tentang siapa yang
berhak terhadap anak tersebut.17
c) Apabila anak tersebut telah baligh dan berakal (menurut
ulama’ mazhab Hanafi) dan membenarkan pengakuan lakilaki tersebut. Akan tetapi, syarat ini tidak diterima oleh
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
229
230
RAMLAH
mazhab Maliki, karena menurut mereka, nasab merupakan
hak dari anak, bukan ayah.
d) Lelaki yang mengakui nasab anak tersebut menyangkal
bahwa anak tersebut adalah anaknya dari hasil hubungan
perzinaan, karena perzinaan tidak bisa menjadi dasar
penetapan nasab anak.18
Apabila syarat-syarat di atas terpenuhi, maka pengakuan
nasab terhadap seseorang adalah sah dan anak tersebut berhak
mendapatkan nafkah, pendidikan, dan harta warisan dari ayahnya tersebut. Ketika itu, ayah yang telah mengakui anak tersebut
sebagai anaknya tidak boleh mencabut pengakuannya, karena
nasab tidak bisa dibatalkan.
Ulama’ fiqh berbeda pendapat, apakah anak yang diakui disyaratkan harus hidup sehingga pengakuan nasab dianggap sah.
Ulam’ Mazhab Hanafi mensyaratkan anak yang diakui sebagai
nasab orang yang mengaku masih hidup. Apabila anak yang telah
diakui telah wafat, pengakuan dianggap tidak sah dan kerenanya
nasab anak tidak bisa di-nasab-kan kepada orang yang memberi
pengakuan. Namun, Ulama’ Mazhab Maliki tidak mensyaratkan bahwa anak yang diakui nasab-nya harus hidup. Menurut
mereka, sekalipun anak yang diakui telah wafat dan pengakuan
yang diberikan memenuhi syarat-syarat yang dikemukakan di
atas, maka nasab anak tersebut bisa di-nasab-kan kepada orang
yang mengaku tersebut. Ulama’ Mazhab Syafi’i dan Hambali
berpendapat bahwa di samping memenuhi syarat-syarat di atas
diperlukan syarat lain, yaitu pengakuan itu juga datang dari seluruh ahli waris orang yang mengaku dan orang yang mengaku
itu telah wafat.
Ulama’ fiqh sepakat tentang pengakuan selain anak (sepeti
kakek, saudara, paman, dan kemenakan), bila telah memenuhi
syarat-syarat tersebut di atas ditambah dengan adanya bukti
yang menguatkan pengakuan tersebut, dan diakui oleh dua orang
ahli waris dari orang yang mengaku. Alat bukti yang dibutuhkan
ini terdapat perbedaan ualama’, menurut ulama’ Mazhab Maliki,
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM
pengakuan dilakukan oleh dua orang laki-laki saja. Menurut Mazhab Syafi’i, Mazhab Hambali, dan imam Abu Yusuf, pengakuan
itu harus datang dari seluruh ahli waris yang mengaku.
3. Melalui alat bukti. Dalam kontek ini ulama’ fiqh sepakat bahwa
saksi harus benar-benar mengetahui keadaan dan sejarah anak
yang di-nasab-kan. 19
Dalam literatur lain disebutkan bahwa pengakuan anak terbagi
dua, yaitu pengakuan anak untuk diri sendiri dan pengakuan anak
terhadap orang lain.
Pengakuan Anak untuk Diri Sendiri
Pengakuan anak dengan cara ini dilaksanakan secara langsung,
misalnya si Fulan mengatakan bahwa anak itu adalah anakku. Jika
pernyataan ini memenuhi ketentuan yang tetah ditetapkan oleh hukum Islam, maka anak tersebut menjadi anak sah. Adapun syarat
yang harus dipenuhi tersebut adalah: (1) orang yang mengetahui
anak haruslah seorang pria sebab tidak ada alat bukti lain dalam hukum Islam untuk membuktikan adanya hubungan kebapaan, sedangkan bagi wanita pembuktian dapat dilaksanakan dengan menyatakan ia mengandung dan melahirkan anak tersebut; (2) Orang yang
mengakui anak itu haruslah orang mukallaf, sedangkan pengakuan
orang gila, orang yang dipaksakan, dan orang yang belum cukup
umur tidak dapat diterima; (3) anak yang diakui itu haruslah anak
yang tidak diketahui nasab-nya, tidak sah pengakuan terhadap anak
yang sudah diketahui nasabnya, demikian juga terhadap anak yang
telah terbukti secara sah sebagai anak zina atau tidak diakui sebelumnya dengan cara lain; (4) pengakuan itu tidak disangkal oleh akal
sehat, misalnya umur anak yang diakui lebih tua dari yang mengakui,
atau tempat tinggal mereka sangat jauh yang menurut ukuran biasa
tidak mungkin mereka mempunyai hubungan anak atau kebapaan;
(5) pengakuan itu dibenarkan oleh anak dewasa yang diakuinya,
jika yang diakuinya menyangkal terhadap pengakuan itu, maka pria
yang mengakui itu harus membuktikannya atau anak yang diakui itu
harus mengangkat sumpah kalaui ia mau maka hubungan nasab itu
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
231
232
RAMLAH
terbukti adanya.20
Bila syarat ini telah tepenuhi, maka sahlah anak yang diakui itu
kedudukannya sama dengan anak kandung. Pengakuan anak tersebut dilaksanakan di depan dua orang saksi, atau dihadapan lembaga
resmi dengan akta autentik atau surat biasa, dan memerlukan proses
pengadilan. Pengakuan yang sudak dilaksanakan tidak boleh dicabut
kembali.
Pengakuan Anak terhadap Orang Lain
Pengakuan anak dalam kategori ini sering disebut dengan pengakuan
secara tidak langsung, misalnya si Fulan mengatakan bahwa seorang
anak yang bernama si Fulan adalah saudara kandung dirinya. Ini berarti bahwa si Fulan itu mengakui Faisal sebagai anak dari Abdullah,
dimana Abdullah itu adalah ayah kandung dari orang yang bernama
Fulan. Jika syarat-syarat yang telah ditentukan itu sudah terpenuhi,
maka terjadilah hubungan nasab antara Fulan dengan Faisal sebagai
saudaranya dan dengan Abdullah sebagai ayahnya.21
Antara syarat-syarat pengakuan anak untuk diri sendiri dengan
syarat pengakuan anak terhadap orang lain itu sama , hanya saja
terhadap pengakuan anak orang lain ditambah yaitu (1) orang yang
dihubungkan nasab kepadanya membenarkan bahwa ia betul mempunyai hubungan nasab dengan seorang yang dihubungkan nasab
kepadanya; (2) ada saksi-saksi yang membenarkan pengakuan dari
orang yang dihubungkan nasab kepadanya dan saksi-saksi ini diperlukan jika orang lain yang dihubungkan dengan nasab kepadanya
tidak membenarkan pengakuan tersebut.22
Di samping itu, menurut Ahmad Husni, bila terdapat perempuan hamil di luar nikah, lalu ia menikah dengan laki-laki yang bukan
membuahi kehamilannya, maka anak yang dilahirkan oleh wanita itu
menjadi anak yang sah. Hal ini disebabkan adanya kesediaan lakilaki tersebut menikahi wanita hamil tadi, berarti secara diam-diam
ia telah mengakui anak yang lahir dari perkawinan tersebut, kecuali
suami wanita itu mengingkari dengan cara lain. Ketentuan ini adalah
sejalan dengan hal yang tersebut dalam fikih Syafi’i, dimana disebutMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM
kan bahwa wanita hamil karena zina dapat saja dinikahi oleh lakilaki yang tidak menghamilinya dan sah sebagai suami-isteri dengan
segala akibat hukumnya, dan anak tersebut menjadi anak yang sah
dari laki-laki tersebut, sebagaimana juga diungkapkan oleh Imam
Hanafi.23
Lain halnya dengan apa yang terdapat menurut Kompilasi Hukum Islam, dimana laki-laki yang menghamili wanita itu saja yang
boleh menikahi dengan wanita yang hamil tersebut. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi percampuran nasab anak yang lahir itu apabila wanita itu kawin dengan laki-laki yang bukan menghamilinya.
Menurut Fathi Ustman pemikiran dari mazhab Syafi’i ini lebih
terpokus pada manfa’at dan mudharat bagi semua pihak terutama
bagi anak yang lahir dari hasil perbuatan zina atau luar nikah. Tentang hal ini Asy Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqaat menjelaskan
bahwa manfaat dan mudharat adalah merupakan hal yang nibi, bukan hakiki. Suatu keadaan yang mungkin dianggap bermanfaat pada
waktu yang lain, demikian juga bermanfaat pada diri seseorang belum tentu bermanfaat untuk orang lain.24
Selanjutnya, UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak
membahas secara rinci tentang pengakuan anak luar nikah, yang
ada hanya25 bahwa anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang tidak sah dan ia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu yang melahirkannya atau keluarga ibunya. Kemudian terdapat dalam pasal 44 disebutkan bahwa seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang berzina dan anak tersebut sebagai
akibat dari perzinaan tersebut. Dan pasal 42 dijelaskan bahwa anak
sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Bila
diperhatikan ketentuan yang ditampilkan oleh UU No. 1 tahun 1974
ini baru sekedar memaparkan pengertian anak luar nikah.
Kompilasi Hukum Islam juga demikian tidak menjelaskan secara rinci tentang pengakuan anak luar nikah ini, Walaupun demikian, terdapat ada beberapa pasal yang menjelaskan tentang hal ini,
yaitu pasala 100 yang isinya telah disebutkan di atas, dan pasal 102
ayat (1) bahwa suami yang mengingkari seseorang anak yang lahir
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
233
234
RAMLAH
dari isterinya dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama
dalam jangka waktu 180 hari setelah hari akhirnya atau 360 hari sesudah putusan perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa
isterinya melahirkan anak dan berada ditempat yang memungkinkan
dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama, dalam ayat
(2) ditetapkan bahwa pengingkaran yang diajukan sesudah lampau
waktu tersebut tidak dapat diterima.26
Ada sebagian pendapat pakar hukum di Indonesia yang tidak
setuju dengan ketentuan pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 dan
pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan: “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya” bertentangan dengan konstitusi
Negara RI, yaitu UUD 1945 pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) serta pasal
28 D ayat (1)?
Adapun norma hukum yang dimuat dalam UUD 1945 adalah
pasal 28 B ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.
Pasal 28 B ayat (2) menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi” dan pasal 28 D ayat (1) menyatakan: “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, dan kepastian
hukum yang adil serta pengakuan yang sama di hadapan hukum “.
Ketentuan-ketentuan tersebut yang menjadi kata kunci adalah
“melalui perkawinan yang sah” sebagaimana terdapat pada pasal 28
B ayat (1) UUD 1945 di atas. Yang dimaksud dengan perkawinan yang
sah di sini harus dibaca sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat 1 UU
No. 1 Tahun 1974, yaitu “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Norma dasar ini menghendaki bahwa setiap orang diberikan hak untuk mendapatkan keturunan yang dibenarkan, yaitu keturunan yang
diperoleh dari perkawinan yang sah menurut hukum agamanya, dan
tidak melegalisasikan hak untuk mendapatkan keturunan dari perkumpulan seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa ikatan
perkawinan yang sah atau kumpul kebo.
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM
Oleh karena itu, pula menurut UUD 1945 ini keturunan yang
sah adalah keturunan yang dilahirkan dari perkawinan yang sah yang
berarti pula tidak melegalisasikan keturunan yang sah dari perkumpulan seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan. Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 adalah turunan dari ayat sebelumnya, dalam ayat ini menunjukkan hak-hak anak yang merupakan
kewajiaban orang tuanya yang sah untuk memberikan segala sesuatu
demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak,
demikian pula negara berkewajiban melindungi anak dari kekerasan
(dalam rumah tangga) dan diskriminasi.
Sedangkan pasal 28 D ayat (1) menunjukkan kewajiban negara
terhadap setiap orang sebagai warga negara diharuskan mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Setiap orang dalam ayat ini kaitannya dengan anak adalah setiap anak baik yang dilahirkan dari perkawinan yang sah maupun yang dilahirkan di luar
perkawinan, termasuk di dalamnya anak-anak terlantar yang asalusulnya tidak diketahui atau ditinggalkan orang tuanya atau anak
yang dibuang ibunya, walaupun setatus dan identitas mereka berbeda-beda.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketentuan pasal 43
ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, selain sejalan dengan teori fiqh, juga sejalan dengan apa yang diamanatkan oleh UUD 1945 khususnya pasal
28 B ayat (1) dan (2) serta pasal 28 D ayat (1). Tapi bila dikaitkan
dengan putusan MK dalam menyelesaikan kasus Machica Mukhtar
terdapat pertentangan, dimana MK berpendapat dalam putusannya
menyatakan pasal 43 ayat (1) UU NO. Tahun 1974 bertentangan dengan UUD 1945, karena hak anak yang lahir di luar perkawinan atas
adanya hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya”.27
Oleh karena itu, MK. Me-review pasal 43 ayat (1) UU NO> 1 Tahun
1974 yang berbunyi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” menjadi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
235
236
RAMLAH
laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/ atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya.28
Pendapat ini didukung oleh Mukti Arto yang menyatakan bahwa
adanya hubungan nasab antara ayah dan ibu dengan anaknya adalah karena semata-mata adanya hubungan darah sebagai akibat dari
hubungan badan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, walaupun tanpa ikatan perkawinan yang sah, dengan alasan
sesuai pandangan ulama Hanafiyah bahwa dengan hubungan badan semata, telah menimbulkan hubungan mahram.29 Hubungan
darah menjadi hubungan perdata yaitu hubungan nasab, hubungan
mahram, hubungan hak dan kewajiban, hubungan kewarisan, dan
hubungan perwalian.
Argumentasi tersebut tidak sesuai denga teori fiqh yang dibangun ulama’ dahulu, karena hubungan mahram antara dua orang terdapat tiga penyebab, yaitu adanya hubungan badan 9mushaharah),
adanya hubungan nasab, dan adanya hubungan sesusuan.30 Dengan
demikian, dengan adanya putusan MK ini berakibat adanya hubungan hukum antara anak dengan ayah biologisnya yang dilahirkan di
luar perkawinan, diberlakukan secara general baik terhadap anak sebagai akibat perzinaan, sebagai akibat perkawinan monogami secara
di bawah tangan atau sebagai akibat perkawinan poligami di bawah
tangan, memiliki akibat hukum lahirnya hak dan kewajiban menurut
hukum antara kedua belah pihak secara timabl balik.
Pengakuan Anak sebagai Wewenang Pengadilan Agama
Masalah pengakuan anak sebenarnya dalam UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan telah mencantumkan penetapan asal usul anak
menjadi kewenangan Peradilan Agama. Oleh karena adanya peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1977 yang masih membatasi kewenangan Peradilan Agama, maka penetapan asal usul
anak itu masih dilaksanakan oleh Peradilan Umum. Baru setelah lahirnya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM
baru terjadi perubahan bahwa penetapan asal usul anak bagi yang
beragama Islam menjadi kewenangan Peradilan Agama. Sebagai pemantapannya yaitu dengan keluarnya Undang-undang No. 3 tahun
2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 dan dirubah lagi
dengan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Dimana
dalam pasal 49 dalam penjelasannya poin 20 dijelaskan mengenai “
penetapan asal usul anak dan penetapan pengangkatan berdasarkan
hukum Islam”,31 menjadi wewenag Peradilan Agama.
Perkara penetapan asal usul anak termasuk perkara volunteer
ynga produk pengadilan bersifat penetapan. Perkara penetapan asal
usul anak dapat menjadi perkara contentious jika pihak-pihak yang
dijadikan tergugat dalam perkara tersebut. Jika perkara asal-usul
anak diajukan dengan contentious, maka pemeriksaannya dilaksanakan dengan cara pembuktian yang lengkap (istbat nasab bil baiyyinah) tidak lagi dengan cara pemeriksaan yang lazim dilakukan dalam
perkara volunteer atau prosedur penetapan asal-usul anak dengan
pengakuan (istbat nasab bil Ikrar).32 Penerapan bukti tersebut sebagaimana tersebut di atas tentang syarat-syarat sahnya suatu pengakuan berdasarkan konsep hukum Islam. Bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perkaranya dapat ditolak oleh Pengadilan
Agama.
Meskipun dalam literatur kitab fiqh tidak terdapat secara hkusus
pembahas tentang pengakuan dan penetapan asal-usul anak secara
lengkap sebagaimana ditemukan dalam hukum perdata Barat, tetapi
secara substansial dapat ditemukan dalam bab yang membahas tentang hukum keluarga khususnya tentang bab tentang nasab.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembahasan tentang pengertian anak luar nikah dalam perspektif hukum Islam. Dalam literatur fiqh anak luar nikah disebut dengan anak zina dan yang
terkait dengan itu seperti anak subhat. Sedangkan menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia mengharuskan pencatatan,
maka tidak dapat disamakan antara luar perkawinan dengan zina.
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
237
238
RAMLAH
Luar perkawinan di Indonesia menurut fiqh adalah sah sedangkan
zina menurut pandangan fiqh adalah tidak pernah tersentuh dengan
istilah perkawinan.
Penentuan nasab anak terhadap orang tuanya harus dilaksanakan melalui tiga aspak secara kumulatif, yaitu anak tersebut dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah, bukan hasil hubungan badan di luar perkawinan yang sah (zina0, suai-isteri telah melakukan
hubungan badan secara nyata dan anak tersebut berada dalam kandungan ibunya minimal 6 bulan, terhitung ketiga aspek tersebut juga
disyaratkan suami memungkinkan dapat menghamili isteri telah
pernah hidup bersama dalam satu seranjang dan suami tidak pernah
mengingkari anak yang dilahirkan. Dengan demikian apabila syaratsyarat ini tidak terpenuhi, maka seorang anak nasabnya tidak dapat
dihubungkan terhadap suami dari ibu itu.
Untuk menentukan nasab anak di luar nikah berdasarkan perspektif hukum Islam ditetapkan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, untuk mengkaitkan hubungan anak
luar nikah dengan ayah biologisnya perlu memperhatikan sysratsyarat yang telah ditentukan oleh hukum Islam.[]
Catatan:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006 ), hal. 76.
Taufiq, Pengakuan Anak Wajar Menurut Hukum Perdata Tertulis dan
Hukum Islam, Artikel dalam Majalah Minbar Hukum No. 15 tahun V,
Dirbinbaparais Departemen Agama, Jakarta, 1994. (Dalam Abdul Manan, Aneka...2006, hal. 75.
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 80-81.
Undang-undang RI No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dilengkapi Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994), hal.
92.
Undang-undang RI...1994, hal. 99.
Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap Undang-undang dan Peraturan
Perkawinan di Indonesia,, (Pen. Djambatan, 1985), hal. 14.
Lihat Hadits Shahih Muslim, nomor 2646.
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum...2006, hal. 79
Wahbah Al-Zuhaily, ....hal. 676
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM
10 Muhammad Abu Zahrah, Al-ahwaal al-Syakhshiyyah, (Beirut: Dar alFikr al-‘Araby, 1957), hal. 404.
11 Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap Undang-undang dan Peraturan
Perkawinan di Indonesia, Pen. Djambatan, 1985, hal. 14.
12 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam....2008, hal. 8182.
13 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa ‘adillatuhu, (Damascus: Dar alFikr, 1989, Cet. Ke. 3, Jilid VII), hal. 690.
14 Abdul Mana, Aneka masalah....2006, hal. 84.
15 Abdul Manan, Aneka Masalah... 2006, hal.
16 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami....1959, hal. 690.
17 Wahbah, al-Fiqh...hal. 691
18 Wahbah, al-Fiqh..hal. .691.
19 Andi Syamsu Alam, dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: Kencana, 2008, hal.
20 Abdullah Ali Husein, al-Muqaranah Tasyri’iyah Minal Qawaninul
Wadh’iyah wa Tasyri’il Islami Muaqaranahnatan Bainal Fiqhil Qanuniyah Faransiy wa Mazhabil Imani Malik, ( Cairo: Darul Ihyail Kutub
Arabiyah, 1947, hal. 236-237. (Dalam Abdul Manan, Aneka...2006, hal.
91.
21 Abdul Manan, Aneka Masalah...2006, hal. 92.
22 Ahmad Husni, Ahkam Syar’iyah fi Ahwalisy Syakhshiyyah Ala Mazhibil
Imam Abu Hanifah, (Kairo: Darul Qutub, 1960), hal. 56 (Dalam Abdul
Manan, Masalah...2006, hal. 92-93.
23 Ahmad Husni, Ahkam Syar’iyah...1960, hal. 56. (Dalam Abdul Manan,.
Aneka...2006, hal. 93).
24 Fathi Usman, Al Fiqh al Islamy wa tathawwur, (Kuwait: Darul Kuwaitiyah, 1969), hal. 26. (Dalam Abdul Manan, Aneka...2006, hal. 94.
25 Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap Undang-undang dan Peraturan
Perkawinan di Indonesia, penerbit: Djambatan, 1985), hal. 14.
26 Undang-undang RI No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dilengkapi Kompilasi Hukum Islam, ( Surabaya ; Pustaka Tinta Mas, 1994),
hal. 107
27 Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 hal. 36
(dikutif oleh H. Syamsul Anwar dan Isak Munawwar, ketua Pengadilan
Agama Majalengka dalam makalahnya: Nasab Anak di luar Perkawinan
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-IIIV/2010 Tanggal
27 Pebruari 2012 Menurut Teori Fiqh dan Perundang-undangan, hal.
26.
28 Putusan MK. Hal. 37 dikutif oleh H. Syamsul Anwar dalam makalahnya...
Hal. 26.
29 Mukti Arto, halaman 15 yang dikutif dari putusan MK hal. 35 (Dikutip
oleh H. Syamsul anwar...hal. 28.
30 Lihat Wahbah Zuhaili,...hal. 132.
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
239
240
RAMLAH
31 Undang-undang RI...1989, hal. 87.
32 Abdul Manan, Aneka...2006, hal. 101.
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad, Al-Ahwal al-Syakhshiyah, Beirut ; Dar
al-‘Araby, 1957.
Al-Zuhaily, Wahbah, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Damaskus:
Dar al-Fikr, 1959
Bakry, Hasbullah, Kumpulan lengkap Undang-undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia, pen. Djambatan, 1985
Manan, Abdullah, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta ; Kencana, 2008.
Syamsu Alam, Andi, dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak
dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Kencana, 2008.
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dilengkapi Kompilasi Hukum Islam, Surabaya: Pustaka Tinta
Mas, 1994.
Syamsul Anwar, dan Isak Munawar, Nasab Anak di luar Perkawinan
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-IIIV/2010
Tanggal 27 Pebruari 2012 menurut Teori Fikih dan Perundang-undangan.
Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013
241
Download