PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM Pengakuan Anak Luar Nikah dalam Hukum Islam dan Hubungannya dengan Kewenangan Peradilan Agama Ramlah Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Abstrak Pengakuan anak luar nikah merupakan wewenang Peradilan Agama berdasarkan UU No. 7 tahun 1989 dan perubahannya menjadi UU No. 3 Tahun 2006 kemudian berubah lagi menjadi UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peraidalan Agama. Walaupun sudah ada undang-undang yang mengaturnya, namun secara rinci berupa peraturan pemerintah sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum terwujud. Oleh karena itulah, bila ada kasus yang muncul kepermukaan tentang pembahasan anak luar nikah ditanggapi dengan berbagai macam sudut pandang. Walaupun demikian hakim Pengadilan Agama dalam menangani perkara ini banyak merujuk ke kitab Fiqh yang ditemukan dalam pembahasan bab nasab, yang pembahasannya terkait dengan masalah anak zina/anak luar nikah dalam menentukan ayah biologisnya dengan memperhatikan berbagai macam syarat yang ditawarkan oleh para fuqaha’. Sedangkan ketentuan anak luar nikah dalam UU No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam ditentukan anak luar nikah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kata Kunci: Anak luar nikah, Peradilan Agama, KHI. Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 217 218 RAMLAH Pendahuluan Agama Islam merupakan agama rahmatan lil’alamin, yang sempurna mengatur berbagai persoalan di muka bumi ini, di antaranya adalah masalah keturunan. Islam menetapkan bahwa keturunan/nasab itu sangat penting diperhatikan dalam kehidupan, agar dapat terjamin kebenaran dan keabsahan hak-hak manusia sekaligus hak Allah, dan juga dapat menghilangkan keragu-raguan dan terbagunnya satuansatuan keluarga dengan ikatan yang kuat, saling tarik-menarik antara darah yang satu dengan yang lainnya, karena asal usul yang sama. Namun di akhir-akhir ini banyak muncul kepermukaan di tengah masyarakat tentang persoalan ketentuan nasab anak luar nikah atau anak dari hasil poligami gelap suami-isteri, seperti kasus Hj. Aisyah Mochtar alias Macicha Muchtar si pelantun lagu “Ilalang” pada Bulan Februari 2012 lalu pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait kedudukan hukum bagi anak luar nikah. Munculnya kasus ini dapat mengejutkan para pihak, baik dari kalangan praktisi hukum, akademisi, LSM, MUI, dan masyarakat. Kasus ini muncul disebabkan suami Macicha Muchtar yang bernama Moediono meninggal dunia dan meninggalkan anak yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan (hasil poligami di bawah tangan).. Untuk melegalisasikan status anak ini sebagai bagian dari keluarga almarhum Moerdiono, akan tetapi terjegal oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang menjadi persoalan dalam kasus ini adalah bagaimana status hukum anak yang dilahirkan dari poligami di bawah tangan, dimana secara tidak langsung berkaitan dengan status anak yang dilahirkan di luar nikah. Namun oleh Mahkamah Konstitusi langsung mengadakan uji materi terhadap pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah di-review- dimana anak yang diluar nikah status hukumnya mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan ayah biologisnya dan berhak mendapat perwalian dan warisan. Berdasarkan contoh kasus di atas, maka penulis berkeinginan untuk menyampaikan melalui tulisan ini tentang pengakuan status anak luar nikah dalam perspektif hukum Islam serta hubungannya Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM dengan wewenang Pengadilan Agama. Karena sampai saat ini belum ada terdapat peraturan pemerintah yang mengatur tentang kedudukan anak di luar perkawinan, sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 1 Tahun 1974 pasal 43 ayat (2) belum terwujud. Akibat dari belum terwujudnya peraturan yang mengaturnya, dapat membuat munculnya berbagai persepsi di kalang masyarakat, walaupun ketentuan ini sudah jelas diatur dalam berbagai kitab fiqh, tapi belum dimasukkan ke dalam hukum yang tertulis sebagai hukum formal di Indonesia. Pengertian Pengakuan dan Anak Luar Nikah Pengakuan anak dalam literatur hukum Islam disebut ‘ istilhag” atau “iqrar” yang berarti pengakuan seorang laki-laki secara sukarela terhadap seorang anak bahwa ia mempunyai hubungan darah dengan anak tersebut, baik anak tersebut berstatus di luar nikah atau anak tersebut tidak diketahui asal usulnya. Pengakuan anak diluar nikah mirip dengan pengakuan anak sebagaimana yang diatur dalam BW yang sering disebut dengan anak wajar (Natuurlijek kinderen).1 Anak wajar adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Dalam perkembangan selanjutnya pengertian anak wajar dipakai untuk dua pengertian, yaitu dalam arti luas mencakup semua anak luar nikah yang disahkan, dalam arti sempit hanya mencakup anak yang lahir akibat overspel atau incst. Menurut hukum perdata anak wajar ini mempunyai hubungan keperdataan dengan orang tuanya hanya dengan cara pengakuan secara sukarela atau dengan paksa sebagaimana tersebut dalam Pasal 280 KUH Perdata. Jika tidak ada pengakuan dari ibunya yang melahirkan atau bapak yang meng-hamili ibunya, maka anak wajar tersebut tidak mempunyai hubungan keperdataan baik dengan ibu atau bapak yang menghamili ibunya itu.2 Anak diluar perkawinan adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian diluar kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 219 220 RAMLAH hukum positif dan agama yang dipeluknya. Menurut hukum perdata, pengertian anak luar perkawinan ada dua macam, yaitu (1) apabila orang tua salah satu keduanya masih terikat dengan perkawinan lainnya, kemudian dia melakukan hubungan seksual dengan wanita atau pria lain yang mengakibatkan hamil dan melahirkan anak, maka anak tersebut dinamakan anak zina, bukan anak ruar nikah, (2) apabila orang tua anak diluar kawin itu masih sama-sama bujang, mereka mengadakan hubungan seksual dan hamil serta melahirkan anak, maka anak itu diebut anak diluar nikah. Beda keduanya adalah anak zina dapat diakui oleh orang tua biologisnya, sedangkan anak di luar kawin dapat dapat diakui oleh orang tua biologisnya apabila mereka menikah, dalam akta perkawinan dapat dicantumkan pengakuan dipinggir akta perkawinannya.3 Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan secara khusus dan pasti tentang pengelompokan jenis anak, sebagai pengelompokan yang terdapat dalam hukum perdata umum. Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan tentang kriteria anak sah yang (dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah), sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi: “ 1. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. (2). Hasil pembuahan suami-isteri yang diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut “. Kompilasi Hukum Islam Juga menjelaskan ketentuan anak lahir diluar perkawinan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 100: “ Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Di samping itu dijelaskan juga tentang status anak dari perkawinan seorang lakilaki dengan perempuan yang dihamilinya sebelum pernikahan, sebagaimana yang tercantum pada pasal 53 ayat 3 KHI: “ Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan setelah anak yang dikandung lahir”.4 Di samping itu Kompilasi Hukum Islam menjelaskan status anak dari perkawinan yang dibatalkan, sebagaiman terdapat dalam pasal 75: “ Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut”.5 DeMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM mikian juga terhadap anak li’an (sebagai akibat pengingkaran suami terhadap janin dan /atau anak yang dilahirkan isterinya). Selanjutnya, dalam ketentuan UU NO. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan juga tidak dijelaskan tentang ketentuan anak luar nikah, yang ada ketentuan anak sah sebagaimana terdapat dalam pasal 42: anak yang sah adalah anak dilahirkan dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah.6 Yang termasuk dalam kategori pasal ini adalah: 1. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu ikatan perkawinan yang sah. 2. Anak yang dilahirkan oleh wanita di dalam ikatan perkawinan dengan tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan dengan melahirkan bayi. 3. Anak yang dilahirkan oleh wanita dalam ikatan perkawinan yang waktunya kurang dari kebiasaan masa kehamilan tetapi tidak diingkari kelahirannya oleh suami. Untuk memahami pengertian “anak di luar nikah” ini diadakan suatu pendekatan berdasarkan terminologi yang tertera dalam kitab fiqh yang dipadukan dengan ketentuan yang mengatur tentang status anak yang tertera dalam pasal-pasal UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Ulama’ fiqh memberi terminologi anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari hubungan suami-isteri yang tidak sah. Hubungan suami-isteri yang tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama/wathi’) antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah ditentukan. Selain itu, hubungan suami-isteri yang tidak sah tersebut, dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang telah menikah ataupun belum menikah. Meskipun istilah “anak zina’ merupakan istilah yang populer dan melekat dalam kehidupan masyarakat, namun Kompilasi Hukum Islam tidak mengadopsi istilah tersebut untuk dijadikan sebagai istilah khusus di dalamnya. Hal tersebut mungkin bertujuan agar “anak’ sebagai hasil hubungan zina, tidak dijadikan sasaran hukuman sosial, celaan masyarakat dan sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar (berzinah) ibu Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 221 222 RAMLAH kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada dirinya, sekaligus untuk menunjukkan identitas Islam tidak mengenal adanya dosa warisan. Untuk lebih mendekatkan makna yang demikian, pasal 44 ayat 910 UU No. 1 Tahun 1974 hanya menyatakan “ seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak itu akibat daripada perzinahan tersebut. Untuk menentukan makna anak zina sebagaimana menurut ulama’ fiqh di atas dapat dilihat persamaannya dalam Kompilasi Hukum Islam adalah istilah “ anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah “ sebagaiman terdapat dalam pasal 100 di atas. Dengan demikian, berdasarkan pendekatan makna “anak zina’ di atas, maka yang dimaksud dengan anak zina adalah anak atau janin yang pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan di luar perkawinan, sebagai akibat perbuatan zina. Olek karena itu anak zina adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Ketentuan pasal 45 ayat 1 UU No. Tahun 1974 yang rumusannya sama dengan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam adalah: “ anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Yang termasuk anak yang lahir di luar pekawinana adalah: 1) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya. 2) Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat perkosaan oleh satu orang pria atau lebih. 3) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang dili’an (diingkari) oleh suaminya. 4) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah orang (salah sangka), disangka suami ternyata bukan. 5 ) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat pernikahan yang diharamkan seperti menikah dengan saudara kandung atau saudara sepupuan. Karena itu dapat dipahami dimana angka 4 dan 5 tersebut tergolong anak subhat yang apabila diakui oleh bapak subhatnya, nasabnya dapat dihubungkan dengan kepadanya. Nomor 1, 2 dan 3 adalah termasuk dalam kelompok anak zina. Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM Ketentuan Nasab Anak Sah dalam Islam dan Undangundang Penetapan nasab terhadap anak mempunyai dampak yang sangat besar terhadap individu, keluarga, dan masyarakat, sehingga setiap individu berkewajiban merelefsikannya dalam masyarakat. Dengan demikian diharapkan nasab (asal usul) anak menjadi jelas. Bila terjadi ketidakjelasan nasab tersebut dikhawatirkan akan terjadinya perkawinan antar mahram. Untuk itu sahnya keturunan dapat dijelaskan di bawah. Ketentuan Anak Sah dalam Islam Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan mahram (nasab) antara anak dengan ayahnya. Kendatipun pada hakekatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan lain. Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika berasal dari perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sudah resmi, antara seorang pria dengan seorang wanita. Bila wanita itu hamil dan lalu melahirkan, maka keturunan anak tersebut jelas ayahnya. Menurut pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Demikian pula para fuqaha’ sepakat menentukan bahwa anak yang lahir dari seorang wanita dalam suatu perkawinan yang sah di-nasab-kan kepada suami wanita tersebut. Hal ini seuai dengan sabda Rasulullah: Diriwayatkan dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Anak itu bagi siapa yang menggauli ibunya (dalam nikah yang sah) dan orang yang berzina haknya adalah batu” (HR. Muslim).7 Dalam menetapkan nasab melalui perkawinan yang sah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Kehamilan bagi seorang isteri bukan hal yang mustahil, artinya Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 223 224 RAMLAH normal dan wajar untuk hamil. Imam Hanafi tidak mensyaratkan seperti ini, menurut beliau meskipun suami-isteri tidak melakukan hubungan seksual, apabila anak lahir dari dari seorang isteri yang dikawini secara secara sah, maka anak tersebut adalah anak sah. b. Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan sedikit-dikitnya 6 bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang ini terjadi ijma’ Ulama Fiqh sebagai masa terpendek dari suatu kehamilan. c. Anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang kehamilan. Tentang hal ini masih diperselisihkan oleh para pakar hukum Islam. d. Suami tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga li’an. Jika seorang laki-laki ragu tentang batas minimal tidak terpenuhi dalam masalah kehamilan atau batas maksimal kehamilan terlampau, maka ada alasan bagi suami untuk mengingkari anak yang dikandung oleh isterinya dengan cara li’an.8 Poin nomor b di atas mennjukkan bahwa masa kehamilan anak dalam kandungan ibunya minimal 6 bulan setelah masa perkawinan. Pada masa sekarang, dimana kecanggihan teknologi semakin canggih dalam berabagi ilmu pengetahuan, termasuk dalam ilmu kebidanan yang mempelajari tentang embriologi dalam kandungan seorang ibu, melalui perhitungan exsakta janin yang ada dalam kandungan itu dapat diketahui kapan seorang ibu mulai mengandung janin itu dan dapat diketahui pula kapan ibu hamil itu akan melahirkan anaknya. Dengan adanya kemajuan seperti ini sekarang akan lebih mudah meyakinkan pembuktian untuk menghubungkan nasab anak kepada kedua orang tuanya, daripada diukur dengan ukuran 6 bulan setelah perkawinan, yang dihasilkan dari kebiasaan-kebiasaan seorang ibu dapat melahirkan. Walaupun demikian, kaidah ini masih dapat digunakan sebagai bukti awal bahwa anak yang dilahirkan kurang dari 6 bulan setelah masa perkawinannya diduga bukan anak yang dihasilkan dari perkawinan yang sah menurut hukum dan sebagai bukti yang lengkap apalagi ditambah dengan keterangan para ahli. Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM Penentuan batas minimal 6 bulan masa kehamilan setelah terjadi hubungan suami isteri yang nyata menurut Mayoritas ulama’ dan setelah adanya akad perkawinan menurut Ulama’ Hanafiyah.9 Yang dijadikan sandaran ahli hukum Islam secara mayoritas adalah didasarkan pada hadits: ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮ ﻝ ﺍﷲ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﻟﻠﻔﺮ ﺍ ﺵ ﻭﻟﻠﻌﺎ ﻫﺮ ﺍﳊﺠﺮ. Maksud hadits ini menurut Wahbah Al-Zuhaily adalah bahwa seorang anak nasabnya dapat dihubungkan terhadap ayahnya hanya dalam perkawinan yang sah, yang di maksud al-Firasyi dalam hadits tersebut adalah seorang perempuan menurut pandangan kebanyakan ulama’. Adapun perzinaan tidak dapat dijadikan sebab adanya hubungan nasab antara ayah pezina dengan anak zinanya, sebab seorang perempuan tidak dapat dinyatakan dengan firasy kecuali perempuan itu memungkinkan dapat melakukan hubungan suami-isteri. Para ulama’ berbeda pendapat tentang batas maksimum seorang ibu mengandung janin. Menurut Imam Malik masanya selama 5 tahun, menurut Imam Syafi’i selama 4 tahun, menurut Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah selama dua tahun, sesuai apa yang dinyatakan oleh Aisyah ra. Bahwa seorang perempuan hamil tidak lebih selama 2 tahun. Muhammad bin Ahkam menjelaskan bahwa seorang perempuan hamil paling lama satu tahun hijriyah dan menurut Zhahiriyah selama sembilan bulan tidak lebih dari itu. Abu Zahrah 10dalam hal ini menegaskan bahwa penentuan masa kehamilan seorang ibu, tidak didasarkan kepada nash, melainkan berdasarkan kepada kebiasaan suatu daerah, menurut penelitan yang dilakukan sekarang diperkiran masa maksimum kehamilan adalah sembilan bulan, ditambah satu bulan untuk kehati-hatian menjadi sepuluh bulan. Begitu pula menurut Ibnu Rusyd dalam masalah ini dikembalikan kepada kebiasaan suatu daerah dan ilmu kedokteran. Ketentuan Anak Sah Menurut Undang-undang Ketentuan anak sah dari aspek undang-undang salah satunya dapat dilihat dari bunyi pasal 28-B ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi: “ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Kata “melanjutMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 225 226 RAMLAH kan keturunan” apapun pengertiannya pasti terjemahan konkritnya adalah “anak” yakni kehadirannya melalui pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan, yang keberadaannya harus dilakukan melalui perkawinan yang sah, hal ini dipertegas dengan pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang berbunyi: “ Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.11 Ketentuan/Pengakuan Anak Luar Nikah Penyebab terjadinya anak luar nikah, antara lain adalah :12 1. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan dengan pria yang menyetubuhinya dan tidak mempunyai ikatan perkawinan dengan pria atau wanita lain; 2. Anak yang lahir dari seorang wanita, kelahiran tersebut tidak diketahui dan dikehendaki oleh salah satu atau ibu bapaknya, hanya saja salah satu kedua orang tuanya itu masih terikat dengan perkawinan yang lain; 3. Anak yang lahir dari seorang wanita tetapi pria yang menghamilinya itu tidak diketahui, misalnya akibat korban perkosaan; 4. Anak yang lahir dari seorang wanita dalam masa iddah perceraian, tetapi anak yang dilahirkan itu merupakan hasil hubungan dengan pria yang bukan suaminya. Ada kemungkinan anak di luar kawin ini dapat diterima oleh keluarga kedua belah pihak secara wajar jika wanita yang melahirkan itu kawin dengan pria yang menyetubuhinya; 5. Anak yang lahir dari seorang wanita yang ditinggal suami lebih dari 300 hari, anak tersebut tidak diakui oleh suaminya sebagai anak yang sah; 6. Anak yang lahir dari seorang wanita, pada hal agama mereka yang mereka peluk menentukan lain, misalnya agama katolik tidak mengenal adanya cerai hidup, tetapi dilakukan juga, kemudian ia kawin lagi dan melahirkan anak.Anak tersebut dianggap anak di luar kawin; Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM 7. Anak yang lahir dari seorang wanita, sedangkan pada mereka berlaku ketentuan negara melarang mengadkan perkawinan misalnya WNA tidak mendapat izin dari Kedutaan Besar untuk mengadakan perkawinan, karena salah satunya dari mereka telah mempunyai isteri, tetapi mereka tetap campur dan melahirkan anak tersebut merupakan anak luar kawin; 8. Anak yang dilahirkan oleh seorang wanita, tetapi anak tersebut sama sekali tidak mengetahui kedua orang tuanya; 9. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat di Kantor Catatan Sipil dan/atau Kantor Urusan Agama; 10. Anak yang lahir dari perkawinan secara adat, tidak dilaksanankan secara adat, tidak dilaksanakan menurut agama dan kepercayaannya serta didaftar di Kantor Catatan Sipil dan Kanotr Urusan Agama Kecamatan. Dalam Islam melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan perkawinan yang sah disebut dengan zina. Hubungan tersebut tidak dibedakan apakah pelakunya gadis, bersuami atau duda, jejaka, beristeri atau duda, bila melakukan hubungan seksual tanpa perkawinan yang sah tetap disebut dengan zina. Konsep zina dalam hukum Islam terdapat dua istilah : 1. Zina muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah menikah; 2. Zina ghairu muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka/perawan. Kedua jenis zina ini tetap dikenakan hukuman, bagi pelaku zina muhson dirajam sampai mati, sedangkan pelaku zina ghairu muhson dicambuk 100 kali, anak yang dilahirkan sebagai akibat zina disebut dengan anak luar nikah. Anak luar nikah ini terbagi dua ; 1. Anak mula’anah, yaitu anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang di-li’an oleh suaminya. Kedudukan anak mula’anah ini hukumnya sama saja dengan anak zina. Ia tidak mengikuti nasab suami ibunya yang me-li’an, tetapi mengikuti nasab ibunya yang melahirkannya, ketentuan ini berlaku juga terhadap kewarisan, perwalian dan lain-lain. Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 227 228 RAMLAH 2. Anak subhat. Anak subhat adalah anak yang dilahirkan dari hasil senggama syubhat yaitu hubungan yang terjadi bukan dalam perkawinan yang sah atau fasid dan bukan pula dari perbuatan zina.13 Senggama syubhat bisa terjadi akibat keslahfahaman atau kesalahan informasi. misalnya, seorang pria sebelumnya tidak dikenalnya, pada malam pengantin ia menemukan seorang wanita dikamarnya lalu disenggamanya, akan tetapi terbukti kemudian bahwa wanita itu bukan isterinya yang telah dinikahinya. Syubhat ada dua, Pertama, anak syubhat yang dilahirkan dari syubhat perbuatan adalah hubungan seksual yang dilakukan karena kesalahan, misalnya salah kamar, suami menyangka yang sedang tidur di kamar A adalah isterinya, ternyata adalah iparnya atau wanita lain. Demikian pula isterinya menyangka yang datang ke kamarnya adalah suaminya, kemudian terjadilah hubungan seksual dan menyebabkan hamil serta melahirkan anak di luar nikah; Kedua, anak syubhat yang dilahirkan dari suatu akad, misalnya seorang laki-laki menikahi seorang wanita, kemudian diketahui bahwa wanita yang dinikahi itu adalah adik kandungnya sendiri atau saudara persesusuan yang haram dinikahi. Jika melahirkan anak dari dua bentuk syubhat ini, maka anak tersebut dapat dihubungankan kepada bapak syubhatnya atas pengakuannya.14 Pengakuan menurut hukum adalah merupakan suatu bentuk pemberian keterangan dari seorang pria yang menyatakan pengakuan terhadap anak-anaknya. Sedangkan menurut pengakuan materiil yang dimaksud pengakuan anak adalah merupakan perbuatan hukum untuk menimbulakan hubungan kekeluargaan antara anak dengan yang mengakuinya tanpa mempersoalkan siapa yang membuahi atau membenihi wanita yang melahirkan anak tersebut. Jadi, penekanannya bukan kepada siapa yang membubuhi atau mebenihkan wanita tersebut, tetapi kepada pengakuannya sehingga menjadi sumber lahirnya hubungan kekeluargaan itu. Dengan adanya pengakuan itu, anak yang diakui itu menjadi anak yang sah dan berhak atas warisan dari pria yang mengakuinya.15 Ulama’ fiqh sepakat bahwa nasab seorang anak dapat ditetapMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM kan melalui tiga cara, yaitu : 1. Melalui nikah shahih atau nikah fasid. Ulama’ fiqh sepakat bahwa nikah yang sah dan nikah fasid merupakan salah satu cara dalam menetapkan nasab seorang anak kepada ayahnya, sekalipun pernikahan dan kelahiran anak tidak didaftarkan secara resmi pada istansi terkait.16 2. Melalui pengakuan atau gugatan anak. Ulama’ fiqh membedakan antara pengakuan terhadap anak dan terhadap selain anak, seperti saudara, paman, atau kakek. Jika seorang laki-laki mengakui bahwa seorang anak kecil adalah anaknya, atau sebaliknya seorang anak kecil yang telah baligh (menurut jumhur ulama’) atau mumaiyyiz (menurut ulama’ mazhab Hanafi mengakui seorang laki-laki adalah ayahnya, maka pengakuan itu dapat dibenarkan dan anak di-nasb-kan kepada lelaki tersebut, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a) Anak tidak jelas nasab-nya, tidak diketahui ayahnya. Apabila ayahnya diketahui ayahnya.. Apabila ayahnya diketahui, maka pengakuan itu batal, karena Rasulullah Saw. mencela seseorang yang mengakui dan menjadikan anak orang lain sebagai nasab-nya. Ulama’ fiqh sepakat bahwa apabila anak itu adalah anak yang dinafikan ayahnya melalui li’an, maka dibolehkan seseorang mengakui nasab-nya, selain suami yang me-li’an ibunya. b) Pengakuan tersebut rasional. Maksudnya, seseorang yang mengakui sebagai ayah dari anak tersebut usianya berbeda jauh dari anak yang diakui sebagai nasab-nya. Demikian halnya, apabila seseorang mengakui nasab seorang anak tapi kemudian datang lelaki lain yang mengakui nasab anak tersebut. Dalam kasus seperti ini terdapat dua pengakuan, sehingga hakim perlu meneliti lebih jauh tentang siapa yang berhak terhadap anak tersebut.17 c) Apabila anak tersebut telah baligh dan berakal (menurut ulama’ mazhab Hanafi) dan membenarkan pengakuan lakilaki tersebut. Akan tetapi, syarat ini tidak diterima oleh Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 229 230 RAMLAH mazhab Maliki, karena menurut mereka, nasab merupakan hak dari anak, bukan ayah. d) Lelaki yang mengakui nasab anak tersebut menyangkal bahwa anak tersebut adalah anaknya dari hasil hubungan perzinaan, karena perzinaan tidak bisa menjadi dasar penetapan nasab anak.18 Apabila syarat-syarat di atas terpenuhi, maka pengakuan nasab terhadap seseorang adalah sah dan anak tersebut berhak mendapatkan nafkah, pendidikan, dan harta warisan dari ayahnya tersebut. Ketika itu, ayah yang telah mengakui anak tersebut sebagai anaknya tidak boleh mencabut pengakuannya, karena nasab tidak bisa dibatalkan. Ulama’ fiqh berbeda pendapat, apakah anak yang diakui disyaratkan harus hidup sehingga pengakuan nasab dianggap sah. Ulam’ Mazhab Hanafi mensyaratkan anak yang diakui sebagai nasab orang yang mengaku masih hidup. Apabila anak yang telah diakui telah wafat, pengakuan dianggap tidak sah dan kerenanya nasab anak tidak bisa di-nasab-kan kepada orang yang memberi pengakuan. Namun, Ulama’ Mazhab Maliki tidak mensyaratkan bahwa anak yang diakui nasab-nya harus hidup. Menurut mereka, sekalipun anak yang diakui telah wafat dan pengakuan yang diberikan memenuhi syarat-syarat yang dikemukakan di atas, maka nasab anak tersebut bisa di-nasab-kan kepada orang yang mengaku tersebut. Ulama’ Mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa di samping memenuhi syarat-syarat di atas diperlukan syarat lain, yaitu pengakuan itu juga datang dari seluruh ahli waris orang yang mengaku dan orang yang mengaku itu telah wafat. Ulama’ fiqh sepakat tentang pengakuan selain anak (sepeti kakek, saudara, paman, dan kemenakan), bila telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas ditambah dengan adanya bukti yang menguatkan pengakuan tersebut, dan diakui oleh dua orang ahli waris dari orang yang mengaku. Alat bukti yang dibutuhkan ini terdapat perbedaan ualama’, menurut ulama’ Mazhab Maliki, Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM pengakuan dilakukan oleh dua orang laki-laki saja. Menurut Mazhab Syafi’i, Mazhab Hambali, dan imam Abu Yusuf, pengakuan itu harus datang dari seluruh ahli waris yang mengaku. 3. Melalui alat bukti. Dalam kontek ini ulama’ fiqh sepakat bahwa saksi harus benar-benar mengetahui keadaan dan sejarah anak yang di-nasab-kan. 19 Dalam literatur lain disebutkan bahwa pengakuan anak terbagi dua, yaitu pengakuan anak untuk diri sendiri dan pengakuan anak terhadap orang lain. Pengakuan Anak untuk Diri Sendiri Pengakuan anak dengan cara ini dilaksanakan secara langsung, misalnya si Fulan mengatakan bahwa anak itu adalah anakku. Jika pernyataan ini memenuhi ketentuan yang tetah ditetapkan oleh hukum Islam, maka anak tersebut menjadi anak sah. Adapun syarat yang harus dipenuhi tersebut adalah: (1) orang yang mengetahui anak haruslah seorang pria sebab tidak ada alat bukti lain dalam hukum Islam untuk membuktikan adanya hubungan kebapaan, sedangkan bagi wanita pembuktian dapat dilaksanakan dengan menyatakan ia mengandung dan melahirkan anak tersebut; (2) Orang yang mengakui anak itu haruslah orang mukallaf, sedangkan pengakuan orang gila, orang yang dipaksakan, dan orang yang belum cukup umur tidak dapat diterima; (3) anak yang diakui itu haruslah anak yang tidak diketahui nasab-nya, tidak sah pengakuan terhadap anak yang sudah diketahui nasabnya, demikian juga terhadap anak yang telah terbukti secara sah sebagai anak zina atau tidak diakui sebelumnya dengan cara lain; (4) pengakuan itu tidak disangkal oleh akal sehat, misalnya umur anak yang diakui lebih tua dari yang mengakui, atau tempat tinggal mereka sangat jauh yang menurut ukuran biasa tidak mungkin mereka mempunyai hubungan anak atau kebapaan; (5) pengakuan itu dibenarkan oleh anak dewasa yang diakuinya, jika yang diakuinya menyangkal terhadap pengakuan itu, maka pria yang mengakui itu harus membuktikannya atau anak yang diakui itu harus mengangkat sumpah kalaui ia mau maka hubungan nasab itu Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 231 232 RAMLAH terbukti adanya.20 Bila syarat ini telah tepenuhi, maka sahlah anak yang diakui itu kedudukannya sama dengan anak kandung. Pengakuan anak tersebut dilaksanakan di depan dua orang saksi, atau dihadapan lembaga resmi dengan akta autentik atau surat biasa, dan memerlukan proses pengadilan. Pengakuan yang sudak dilaksanakan tidak boleh dicabut kembali. Pengakuan Anak terhadap Orang Lain Pengakuan anak dalam kategori ini sering disebut dengan pengakuan secara tidak langsung, misalnya si Fulan mengatakan bahwa seorang anak yang bernama si Fulan adalah saudara kandung dirinya. Ini berarti bahwa si Fulan itu mengakui Faisal sebagai anak dari Abdullah, dimana Abdullah itu adalah ayah kandung dari orang yang bernama Fulan. Jika syarat-syarat yang telah ditentukan itu sudah terpenuhi, maka terjadilah hubungan nasab antara Fulan dengan Faisal sebagai saudaranya dan dengan Abdullah sebagai ayahnya.21 Antara syarat-syarat pengakuan anak untuk diri sendiri dengan syarat pengakuan anak terhadap orang lain itu sama , hanya saja terhadap pengakuan anak orang lain ditambah yaitu (1) orang yang dihubungkan nasab kepadanya membenarkan bahwa ia betul mempunyai hubungan nasab dengan seorang yang dihubungkan nasab kepadanya; (2) ada saksi-saksi yang membenarkan pengakuan dari orang yang dihubungkan nasab kepadanya dan saksi-saksi ini diperlukan jika orang lain yang dihubungkan dengan nasab kepadanya tidak membenarkan pengakuan tersebut.22 Di samping itu, menurut Ahmad Husni, bila terdapat perempuan hamil di luar nikah, lalu ia menikah dengan laki-laki yang bukan membuahi kehamilannya, maka anak yang dilahirkan oleh wanita itu menjadi anak yang sah. Hal ini disebabkan adanya kesediaan lakilaki tersebut menikahi wanita hamil tadi, berarti secara diam-diam ia telah mengakui anak yang lahir dari perkawinan tersebut, kecuali suami wanita itu mengingkari dengan cara lain. Ketentuan ini adalah sejalan dengan hal yang tersebut dalam fikih Syafi’i, dimana disebutMedia Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM kan bahwa wanita hamil karena zina dapat saja dinikahi oleh lakilaki yang tidak menghamilinya dan sah sebagai suami-isteri dengan segala akibat hukumnya, dan anak tersebut menjadi anak yang sah dari laki-laki tersebut, sebagaimana juga diungkapkan oleh Imam Hanafi.23 Lain halnya dengan apa yang terdapat menurut Kompilasi Hukum Islam, dimana laki-laki yang menghamili wanita itu saja yang boleh menikahi dengan wanita yang hamil tersebut. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi percampuran nasab anak yang lahir itu apabila wanita itu kawin dengan laki-laki yang bukan menghamilinya. Menurut Fathi Ustman pemikiran dari mazhab Syafi’i ini lebih terpokus pada manfa’at dan mudharat bagi semua pihak terutama bagi anak yang lahir dari hasil perbuatan zina atau luar nikah. Tentang hal ini Asy Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqaat menjelaskan bahwa manfaat dan mudharat adalah merupakan hal yang nibi, bukan hakiki. Suatu keadaan yang mungkin dianggap bermanfaat pada waktu yang lain, demikian juga bermanfaat pada diri seseorang belum tentu bermanfaat untuk orang lain.24 Selanjutnya, UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak membahas secara rinci tentang pengakuan anak luar nikah, yang ada hanya25 bahwa anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah dan ia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu yang melahirkannya atau keluarga ibunya. Kemudian terdapat dalam pasal 44 disebutkan bahwa seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang berzina dan anak tersebut sebagai akibat dari perzinaan tersebut. Dan pasal 42 dijelaskan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Bila diperhatikan ketentuan yang ditampilkan oleh UU No. 1 tahun 1974 ini baru sekedar memaparkan pengertian anak luar nikah. Kompilasi Hukum Islam juga demikian tidak menjelaskan secara rinci tentang pengakuan anak luar nikah ini, Walaupun demikian, terdapat ada beberapa pasal yang menjelaskan tentang hal ini, yaitu pasala 100 yang isinya telah disebutkan di atas, dan pasal 102 ayat (1) bahwa suami yang mengingkari seseorang anak yang lahir Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 233 234 RAMLAH dari isterinya dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari setelah hari akhirnya atau 360 hari sesudah putusan perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa isterinya melahirkan anak dan berada ditempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama, dalam ayat (2) ditetapkan bahwa pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.26 Ada sebagian pendapat pakar hukum di Indonesia yang tidak setuju dengan ketentuan pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” bertentangan dengan konstitusi Negara RI, yaitu UUD 1945 pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 28 D ayat (1)? Adapun norma hukum yang dimuat dalam UUD 1945 adalah pasal 28 B ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Pasal 28 B ayat (2) menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” dan pasal 28 D ayat (1) menyatakan: “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil serta pengakuan yang sama di hadapan hukum “. Ketentuan-ketentuan tersebut yang menjadi kata kunci adalah “melalui perkawinan yang sah” sebagaimana terdapat pada pasal 28 B ayat (1) UUD 1945 di atas. Yang dimaksud dengan perkawinan yang sah di sini harus dibaca sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Norma dasar ini menghendaki bahwa setiap orang diberikan hak untuk mendapatkan keturunan yang dibenarkan, yaitu keturunan yang diperoleh dari perkawinan yang sah menurut hukum agamanya, dan tidak melegalisasikan hak untuk mendapatkan keturunan dari perkumpulan seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan yang sah atau kumpul kebo. Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM Oleh karena itu, pula menurut UUD 1945 ini keturunan yang sah adalah keturunan yang dilahirkan dari perkawinan yang sah yang berarti pula tidak melegalisasikan keturunan yang sah dari perkumpulan seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan. Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 adalah turunan dari ayat sebelumnya, dalam ayat ini menunjukkan hak-hak anak yang merupakan kewajiaban orang tuanya yang sah untuk memberikan segala sesuatu demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak, demikian pula negara berkewajiban melindungi anak dari kekerasan (dalam rumah tangga) dan diskriminasi. Sedangkan pasal 28 D ayat (1) menunjukkan kewajiban negara terhadap setiap orang sebagai warga negara diharuskan mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Setiap orang dalam ayat ini kaitannya dengan anak adalah setiap anak baik yang dilahirkan dari perkawinan yang sah maupun yang dilahirkan di luar perkawinan, termasuk di dalamnya anak-anak terlantar yang asalusulnya tidak diketahui atau ditinggalkan orang tuanya atau anak yang dibuang ibunya, walaupun setatus dan identitas mereka berbeda-beda. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketentuan pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, selain sejalan dengan teori fiqh, juga sejalan dengan apa yang diamanatkan oleh UUD 1945 khususnya pasal 28 B ayat (1) dan (2) serta pasal 28 D ayat (1). Tapi bila dikaitkan dengan putusan MK dalam menyelesaikan kasus Machica Mukhtar terdapat pertentangan, dimana MK berpendapat dalam putusannya menyatakan pasal 43 ayat (1) UU NO. Tahun 1974 bertentangan dengan UUD 1945, karena hak anak yang lahir di luar perkawinan atas adanya hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya”.27 Oleh karena itu, MK. Me-review pasal 43 ayat (1) UU NO> 1 Tahun 1974 yang berbunyi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” menjadi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 235 236 RAMLAH laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/ atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.28 Pendapat ini didukung oleh Mukti Arto yang menyatakan bahwa adanya hubungan nasab antara ayah dan ibu dengan anaknya adalah karena semata-mata adanya hubungan darah sebagai akibat dari hubungan badan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, walaupun tanpa ikatan perkawinan yang sah, dengan alasan sesuai pandangan ulama Hanafiyah bahwa dengan hubungan badan semata, telah menimbulkan hubungan mahram.29 Hubungan darah menjadi hubungan perdata yaitu hubungan nasab, hubungan mahram, hubungan hak dan kewajiban, hubungan kewarisan, dan hubungan perwalian. Argumentasi tersebut tidak sesuai denga teori fiqh yang dibangun ulama’ dahulu, karena hubungan mahram antara dua orang terdapat tiga penyebab, yaitu adanya hubungan badan 9mushaharah), adanya hubungan nasab, dan adanya hubungan sesusuan.30 Dengan demikian, dengan adanya putusan MK ini berakibat adanya hubungan hukum antara anak dengan ayah biologisnya yang dilahirkan di luar perkawinan, diberlakukan secara general baik terhadap anak sebagai akibat perzinaan, sebagai akibat perkawinan monogami secara di bawah tangan atau sebagai akibat perkawinan poligami di bawah tangan, memiliki akibat hukum lahirnya hak dan kewajiban menurut hukum antara kedua belah pihak secara timabl balik. Pengakuan Anak sebagai Wewenang Pengadilan Agama Masalah pengakuan anak sebenarnya dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah mencantumkan penetapan asal usul anak menjadi kewenangan Peradilan Agama. Oleh karena adanya peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1977 yang masih membatasi kewenangan Peradilan Agama, maka penetapan asal usul anak itu masih dilaksanakan oleh Peradilan Umum. Baru setelah lahirnya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM baru terjadi perubahan bahwa penetapan asal usul anak bagi yang beragama Islam menjadi kewenangan Peradilan Agama. Sebagai pemantapannya yaitu dengan keluarnya Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 dan dirubah lagi dengan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Dimana dalam pasal 49 dalam penjelasannya poin 20 dijelaskan mengenai “ penetapan asal usul anak dan penetapan pengangkatan berdasarkan hukum Islam”,31 menjadi wewenag Peradilan Agama. Perkara penetapan asal usul anak termasuk perkara volunteer ynga produk pengadilan bersifat penetapan. Perkara penetapan asal usul anak dapat menjadi perkara contentious jika pihak-pihak yang dijadikan tergugat dalam perkara tersebut. Jika perkara asal-usul anak diajukan dengan contentious, maka pemeriksaannya dilaksanakan dengan cara pembuktian yang lengkap (istbat nasab bil baiyyinah) tidak lagi dengan cara pemeriksaan yang lazim dilakukan dalam perkara volunteer atau prosedur penetapan asal-usul anak dengan pengakuan (istbat nasab bil Ikrar).32 Penerapan bukti tersebut sebagaimana tersebut di atas tentang syarat-syarat sahnya suatu pengakuan berdasarkan konsep hukum Islam. Bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perkaranya dapat ditolak oleh Pengadilan Agama. Meskipun dalam literatur kitab fiqh tidak terdapat secara hkusus pembahas tentang pengakuan dan penetapan asal-usul anak secara lengkap sebagaimana ditemukan dalam hukum perdata Barat, tetapi secara substansial dapat ditemukan dalam bab yang membahas tentang hukum keluarga khususnya tentang bab tentang nasab. Kesimpulan Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembahasan tentang pengertian anak luar nikah dalam perspektif hukum Islam. Dalam literatur fiqh anak luar nikah disebut dengan anak zina dan yang terkait dengan itu seperti anak subhat. Sedangkan menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia mengharuskan pencatatan, maka tidak dapat disamakan antara luar perkawinan dengan zina. Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 237 238 RAMLAH Luar perkawinan di Indonesia menurut fiqh adalah sah sedangkan zina menurut pandangan fiqh adalah tidak pernah tersentuh dengan istilah perkawinan. Penentuan nasab anak terhadap orang tuanya harus dilaksanakan melalui tiga aspak secara kumulatif, yaitu anak tersebut dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah, bukan hasil hubungan badan di luar perkawinan yang sah (zina0, suai-isteri telah melakukan hubungan badan secara nyata dan anak tersebut berada dalam kandungan ibunya minimal 6 bulan, terhitung ketiga aspek tersebut juga disyaratkan suami memungkinkan dapat menghamili isteri telah pernah hidup bersama dalam satu seranjang dan suami tidak pernah mengingkari anak yang dilahirkan. Dengan demikian apabila syaratsyarat ini tidak terpenuhi, maka seorang anak nasabnya tidak dapat dihubungkan terhadap suami dari ibu itu. Untuk menentukan nasab anak di luar nikah berdasarkan perspektif hukum Islam ditetapkan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, untuk mengkaitkan hubungan anak luar nikah dengan ayah biologisnya perlu memperhatikan sysratsyarat yang telah ditentukan oleh hukum Islam.[] Catatan: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006 ), hal. 76. Taufiq, Pengakuan Anak Wajar Menurut Hukum Perdata Tertulis dan Hukum Islam, Artikel dalam Majalah Minbar Hukum No. 15 tahun V, Dirbinbaparais Departemen Agama, Jakarta, 1994. (Dalam Abdul Manan, Aneka...2006, hal. 75. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 80-81. Undang-undang RI No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dilengkapi Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994), hal. 92. Undang-undang RI...1994, hal. 99. Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap Undang-undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia,, (Pen. Djambatan, 1985), hal. 14. Lihat Hadits Shahih Muslim, nomor 2646. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum...2006, hal. 79 Wahbah Al-Zuhaily, ....hal. 676 Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM 10 Muhammad Abu Zahrah, Al-ahwaal al-Syakhshiyyah, (Beirut: Dar alFikr al-‘Araby, 1957), hal. 404. 11 Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap Undang-undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia, Pen. Djambatan, 1985, hal. 14. 12 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam....2008, hal. 8182. 13 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa ‘adillatuhu, (Damascus: Dar alFikr, 1989, Cet. Ke. 3, Jilid VII), hal. 690. 14 Abdul Mana, Aneka masalah....2006, hal. 84. 15 Abdul Manan, Aneka Masalah... 2006, hal. 16 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami....1959, hal. 690. 17 Wahbah, al-Fiqh...hal. 691 18 Wahbah, al-Fiqh..hal. .691. 19 Andi Syamsu Alam, dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: Kencana, 2008, hal. 20 Abdullah Ali Husein, al-Muqaranah Tasyri’iyah Minal Qawaninul Wadh’iyah wa Tasyri’il Islami Muaqaranahnatan Bainal Fiqhil Qanuniyah Faransiy wa Mazhabil Imani Malik, ( Cairo: Darul Ihyail Kutub Arabiyah, 1947, hal. 236-237. (Dalam Abdul Manan, Aneka...2006, hal. 91. 21 Abdul Manan, Aneka Masalah...2006, hal. 92. 22 Ahmad Husni, Ahkam Syar’iyah fi Ahwalisy Syakhshiyyah Ala Mazhibil Imam Abu Hanifah, (Kairo: Darul Qutub, 1960), hal. 56 (Dalam Abdul Manan, Masalah...2006, hal. 92-93. 23 Ahmad Husni, Ahkam Syar’iyah...1960, hal. 56. (Dalam Abdul Manan,. Aneka...2006, hal. 93). 24 Fathi Usman, Al Fiqh al Islamy wa tathawwur, (Kuwait: Darul Kuwaitiyah, 1969), hal. 26. (Dalam Abdul Manan, Aneka...2006, hal. 94. 25 Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap Undang-undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia, penerbit: Djambatan, 1985), hal. 14. 26 Undang-undang RI No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dilengkapi Kompilasi Hukum Islam, ( Surabaya ; Pustaka Tinta Mas, 1994), hal. 107 27 Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 hal. 36 (dikutif oleh H. Syamsul Anwar dan Isak Munawwar, ketua Pengadilan Agama Majalengka dalam makalahnya: Nasab Anak di luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-IIIV/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 Menurut Teori Fiqh dan Perundang-undangan, hal. 26. 28 Putusan MK. Hal. 37 dikutif oleh H. Syamsul Anwar dalam makalahnya... Hal. 26. 29 Mukti Arto, halaman 15 yang dikutif dari putusan MK hal. 35 (Dikutip oleh H. Syamsul anwar...hal. 28. 30 Lihat Wahbah Zuhaili,...hal. 132. Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 239 240 RAMLAH 31 Undang-undang RI...1989, hal. 87. 32 Abdul Manan, Aneka...2006, hal. 101. Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM DAFTAR PUSTAKA Abu Zahrah, Muhammad, Al-Ahwal al-Syakhshiyah, Beirut ; Dar al-‘Araby, 1957. Al-Zuhaily, Wahbah, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 1959 Bakry, Hasbullah, Kumpulan lengkap Undang-undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia, pen. Djambatan, 1985 Manan, Abdullah, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta ; Kencana, 2008. Syamsu Alam, Andi, dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Kencana, 2008. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dilengkapi Kompilasi Hukum Islam, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994. Syamsul Anwar, dan Isak Munawar, Nasab Anak di luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-IIIV/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 menurut Teori Fikih dan Perundang-undangan. Media Akademika, Vol. 28, No. 2, April 2013 241