@Surat Pembaca Film dan Masa Lalu Bangsa Menarik membaca majalah Pranala edisi perdana, yang mengangkat topik utama gagalnya pemutaran film Senyap di berbagai tempat di Yogyakarta. Setidaknya ada dua hal yang bisa dilihat dari peristiwa ini. Pertama, terjadinya tindakan kekerasan oleh kelompokkelompok tertentu yang tidak sepakat dengan film ini. Situasi ini semakin menguatkan opini publik bahwa di Yogyakarta dari hari ke hari sudah tidak aman dan nyaman bagi warganya. Kekerasan selalu saja menjadi jalan keluar dari setiap perbedaan yang terjadi. Aparat Kepolisian seolah diam membiarkan kekerasan itu terjadi, tanpa proses hukum kepada pelaku. Tentu saja situasi seperti ini jika dibiarkan terus menerus akan mengancam semangat hidup bertoleransi di tengah-tengah masyarakat, yang selama ini melekat pada kota Yogyakarta. Kedua, secara keseluruhan isi dari majalah Pranala edisi perdana ini bisa menjadi pintu bagi masyarakat untuk berdiskusi tentang sejarah masa lalu bangsa. Ada banyak catatan kelam sejarah bangsa yang secara sistematis sengaja dihilangkan dalam ingatan masyarakat kita. Salah satunya adalah seputar peristiwa 65. Film Senyap ini sebenarnya bisa digunakan sebagai media alternatif untuk melihat dan mengurai kembali apa yang sesungguhnya terjadi di masa lalu. Wahyu Warsito, Gowongan Soal Spanduk Syi’ah Di beberapa sudut jalan di Yogya belakangan ini banyak kita jumpai spanduk-spanduk tentang bahaya Syi’ah. Entah siapa yang memasangnya. Agak aneh rasanya, karena selama ini khususnya di Yogya tidak ada aktifitas dari komunitas Syi’ah yang cukup menonjol. Terlepas dari siapa dan bagaimana Syi’ah, munculnya spanduk-spanduk ini tentu menimbulkan keprihatinan, karena dikhawatirkan akan memunculkan potensi kekerasan yang mengarah pada konflik bernuansa agama. Dalam lima tahun terakhir kasus-kasus kekerasan di Yogyakarta meningkat tajam. Baik kekerasan yang bernuansa agama maupun kekerasan karena tindak kriminal murni. Pemerintah daerah dan aparat kepolisian dan semua lapisan masyarakat sudah seharusnya menyikapi masalah ini sejak dini dengan serius. Noviandi Ramadhan, Lempuyangan Cara Mendapatkan Pranala Mau tanya kepada redaksi. Gimana, ya cara untuk mendapatkan majalah Pranala? Apakah dijual secara bebas? Dimana bisa kami dapatkan ? Saya membutuhkan sekitar 20 buah untuk perpustakaan karang taruna di kampung saya. Mohon informasinya. Pratiwi Kusuma, Wates Daftar Isi 2 EDITORIAL Belajar dari Jeffrey Lang 4 LAPORAN UTAMA Pertumbuhan Perumahan Melesat Pesat 8 LAPORAN UTAMA Perumahan Muslim Dilembah Mejing 23 WAWANCARA Arie Sudjito, Sisiolog Universitas Gadjah Mada, "Kultur Masyarakat Jawa Tidak Menyuburkan Garis Keras dalam Agama" 26 RESONANSI Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia 14 LAPORAN UTAMA 31 TAGAR 17 LAPORAN UTAMA 33 RESENSI 20 WAWANCARA 36 PERSPEKTIF Resiko Pembangunan Perumahan Muslim Tak Ada Larangan Membuat Perumahan Muslim Sugeng Bayu Wahyono, Sosiolog Universitas Negeri Yogyakarta, "Kraton Cukup Khawatir dengan Keberadaan Islam Bercorak Timur Tengah yang Menjadi Matahari Baru" Netizen Pertanyakan Toleransi di Indonesia Jalan Raya; Sebuah Jalan Menuju Toleransi Tindak Kekerasan dalam PersPektif Masyarakat Konsumtif Editorial BELAJAR DARI JEFFREY LANG Oleh: Puguh Windrawan A da yang menarik dari tulisan Jeffrey Lang pada sebuah buku yang inspiratif. Buku itu diterbitkan oleh Serambi pada tahun 2008, bertajuk “Aku Beriman, Maka Aku Bertanya”. Jeffrey Lang adalah seorang profesor di sebuah perguruan tinggi di Amerika. Setidaknya, ketika saya membaca buku itu, Prof. Lang masih menjadi Guru Besar Matematika di Universitas Kansas, Amerika. Saya merasa, bagian paling menarik dari pengalaman Prof. Lang adalah ketika suatu saat ia sedang berjalan dengan Jameela, putrinya yang masih kecil. Kemudian terjadilah dialog diantara mereka. Intinya, Jameela ingin bertanya kepada ayahnya. Bagaimana seandainya ia kemudian berpindah agama, dari semula muslim ke Kristen? Sebagai penganut Islam, tentu saja Prof. Lang terperanjat. Alasan Jameelah, sebagai seorang anak kecil sangat sederhana. Ia merasa berat dengan apa yang harus dijalankan untuk menjadi kewajiban seorang muslim. Bahkan ia bertanya kepada ayahnya. “Aku sekedar ingin tahu, apakah Ayah akan marah padaku. Apakah nenek dan kakek memarahi ayah ketika engkau keluar dari agama Kristen dan kemudian memeluk Islam?” Prof. Lang agaknya mulai mengenang masa lalunya. Agaknya, anaknya sudah mulai kritis dengan berbagai hal yang muncul di sekitarnya, termasuk dalam dirinya sendiri. Yang menarik adalah, ia sama sekali tak bisa menyalahkan pemikiran Jameelah, yang kala itu masih berusia 9 tahun. Ia merasa bahwa apa yang dipikirkan 2 PRANALA { Maret - April 2015 } Jameela pernah muncul dalam dirinya sendiri. Anaknya adalah refleksi dari pemikirannnya di masa lalu. Prof. Lang mengerti, bahwa pertanyaan ini hanyalah sebuah bentuk awal dari apa yang disebutnya sebagai fase kritik dan proses dalam perkembangan keagamaan. Tanpa tendensi untuk menyalahkan sedikitpun, ia kemudian berkata kepada Jameelah. Sebuah perkataan bijak, yang luarbiasa. Prof. Lang mengatakan bahwa ia sangat menyayangi anaknya itu. Mulai dari saat menimang membuatnya seakan berada dia atas langit. Sebuah kosakata untuk mengatakan bahwa memilik Jameelah adalah sebuah anugerah yang luarbiasa. “Dan setelah dewasa kelak, engkau juga harus melakukan apa yang kau yakini benar. Ayah akan selalu mendampingi, membantu, dan menasehatimu, tetapi pada akhirnya engkau sendirilah yang harus memutuskan apa yang kaunggap baik, bahkan ketika ayah dan ibumu tak setuju dengan keputusanmu. Aku hanya berharap, bahwa engkau mesti menentukan pilihanpilihan dengan penuh pertimbangan yang cerdas dan matang,” kata Prof. Lang. Siapa yang tidak terkejut mendapatkan pertanyaan dari sang anak. Apalagi menyangkut agama. Bagaimana jika ini terjadi dengan anak Anda? Saya terkadang berpikir, jika saya tidak dilahirkan oleh orang tua saya, maka saya saat ini sedang berada dimana? Kebetulan, saya lahir di keluarga muslim, jadinya tertera dengan jelas bahwa orang tua saya memilihkan agama untuk saya; Islam. Ini saya. Tetapi, mungkin bisa jadi Anda berbeda. Anda lahir di lingkungan keluarga Kristen, yang secara otomatis membuat agama Anda menjadi Kristen. Saya tak pernah menemukan hal ini. Ketika ada seseorang yang lahir dari kedua orang tua yang muslim, ternyata orang tua memilihkan anak itu beragama Kristen. Sebaliknya, kedua orang tuanya Kristen, kemudian anaknya yang lahir dijadikan beragama Islam. Saya belum pernah mendengar itu. Bukan hanya agama. Kita sendiri tak berdaya saat dipilihkan sebuah nama oleh kedua orang tua kita. Ketidakbedayaan membuat kita belum bisa mengambil jalan sendiri. Pilihan orang tua, menjadi pilihan awal yang sama sekali tak bisa ditolak. Memang, suatu saat kita punya pemikiran sendiri. Setelah lama bergelut dengan pengalaman-pengalaman, lantas kita bisa merujuk kepada identitas yang akan kita pikul. Akan tetapi, landasan awal, baik tentang agama ataupun persoalan pemilihan nama tetap pada orang tua masing-masing. Ini juga masalah kesadaran tentang makna identitas itu. Kita itu sama-sama tak berdaya di hadapan Tuhan, dan ketika Tuhan menjadikan kita manusia di muka bumi, ada saat dimana kita sama sekali tak bisa memilih. Ini yang harus dijawab, mengapa Tuhan memilihkan kita berada di tempat ini dan tidak di tempat itu? Mengapa Tuhan menjadikan kita bertemu dengan orang tua ini dan bukan dengan orang tua itu? Mengapa Tuhan memberikan kita latar belakang kemiskinan dan bukan memberikan kita kepada keluarga yang berlatar belakang kekayaan? Inilah yang harus dijawab. Tuhan pasti punya rencana untuk ini. Pastilah ada makna dan keterangan Pranala yang bisa ditelisik. Tuhan itu Maha Adil. Kita sepakat untuk ini. Kita sepakat bahwa Tuhan bukan mahluk. Dia-lah yang menguasai segenap alam, lalu mengapa menjadikan kita berbeda satu sama lain? Dilahirkan berbeda agama dan berbeda keyakinan. Apakah lantas dengan itu semua membuat kita justru memberangus perbedaan tersebut? Awalnya sudah berbeda. Tak mungkin ada kesamaan. Tuhan-lah yang membuat itu. Bukan hak manusia dan bukan kewenangan manusia untuk menaklukan perbedaan. Bagaimana mungkin menaklukan perbedaan sedang dari ‘sono-nya’ kita sudah berbeda? Apa ada yang salah ketika kita dilahirkan di tengah keluarga Muslim, Yahudi atau Kristen? Itu bukan pilihan kita. Kita hanya bisa memilih ketika kita sudah punya pengalaman untuk memilih. Kita bisa menentukan identitas kita setelah kita punya wawasan dan mengerti tentang kehidupan. Agama itu keyakinan, bukan sekedar pemberian. Jika itu pemberian, maka Tuhan bisa dikatakan tidak adil, karena menjadikan agama kita berbeda, karena orang tua yang memilihkan kita untuk itu. Tapi saya yakin dan mungkin Anda juga sepakat untuk itu; bahwa Tuhan bukanlah entitas yang sembarangan. Ia disembah karena Ia punya kelebihan dibanding mahluk dan bahkan menciptakan mahluk. Lantas, apa yang membuat kita semua membenci orang yang sama sekali berbeda keyakinan dengan kita? Diterbitkan Oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta Penaggung Jawab: Eko Riyadi | Pemimpin Redaksi: Puguh Windrawan | Reporter: Kamil Alfi Arifin, Kelik Sugiarto, Prayudha Maghriby | Kontributor: Ahmad Alwajih, Mohammad Fathoni | Fotografer: Gibbran Prathisara | Layout: Arief Mizuary Alamat Redaksi/Tata Usaha: Jeruk Legi RT. 13 RW. 35 Gang Bakung No.517 A, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta 55198 | Telpon: 0274-452032 | Fax: 0274-452158 | Website: www.pusham. uii.ac.id Email: [email protected] PRANALA { Maret - April 2015 } 3 Laporan Utama Pertumbuhan PERUMAHAN MELESAT PESAT Oleh: Prayudha Maghriby Foto: Gibbran Prathisara Kebutuhan perumahan di Jogja saban tahun meningkat secara signifikan. Ini diikuti dengan perkembangan wilayah yang juga semakin pesat. Awalnya didesain sederhana, hanya beberapa wilayah yang bisa dijadikan perumahan. Kebutuhan yang meningkat membuat desain awal tersebut terabaikan. A zizah sudah sekian kali melewati lampu lalu lintas. Terik matahari yang memancar sempurna di siang itu membuat perjalanannya terasa semakin panjang. Dari SD tempatnya mengajar hingga rumahnya di Pajangan terbilang cukup jauh. Itu sekitar 20 kilometer. Wajar jika ibu muda berusia 25 tahun itu kemudian mengeluh di status BBM-nya. “Lampu merah bikin bad mood. Kapan nyampainya?” Cuaca Jogja di bulan-bulan ini memang terbilang cukup ekstrim. Jika siang panasnya menyengat dan di sore harinya hujan turun lebat. Azizah belum sepenuhnya terbiasa dengan perjalanan panjang menuju tempat kerja. Ini karena dia baru beberapa minggu pindah. Sebelumnya ia tinggal di kontrakan dekat SD tempatnya mengajar. Keputusan pindah itu diambil setelah ia dan suaminya bisa mengumpulkan dana untuk uang muka perumahan. Sebagai keluarga muda, ia tak punya banyak pilihan soal lokasi perumahan. Ia mesti 4 PRANALA { Maret - April 2015 } memilih perumahan dengan uang muka dan angsuran yang terendah. Beruntung, sebuah Perumahan Nasional (Perumnas) baru saja di bangun. Namanya Perumnas Bumi Guwosari. Namun demikian, lokasi perumahan terbilang cukup jauh dari pusat kota. Harga murah tentunya tidak bisa dicapai jika lokasi perumahan berada di kota. Harga jual tanah di Jogja saat ini sudah sangat tinggi. Perkembangan lokasi perumahan di Jogja yang begitu pesat itu sebenarnya telah diprediksi. Dikutip dari sebuah tesis di Universitas Gadjah Mada yang ditulis oleh Wahyu Nur Harjadmo pada tahun 1996, berjudul “Konflik dan Resolusi Konflik dalam Pengembangan Perkotaan Yogyakarta”, bahwa sebenarnya pada tahun 1988, pemerintah DIY telah menyiapkan desain pengembangan kota yang bernama Yogyakarta Urban Development Project (YUPP). Desain ini digagas atas kerjasama Pemda DIY dengan Swiss. Melalui SK Gubernur Kepala Laporan Utama membutuhkan 39.742 unit rumah. Pada 2033, jumlah kebutuhan rumah di Bantul diproyeksi mencapai 174.254 unit. Sebagian rumah dapat dipenuhi dalam bentuk perumahan. Pertumbuhan perumahan tersebut terutama akan ada di wilayah YUPP. Wilayah Banguntapan, Sewon, dan Kasihan sebagai daerah penyangga utama memiliki kepadatan penduduk cukup tinggi. Akibatnya, jumlah kebutuhan perumahannya cukup tinggi. Namun demikian, dalam perhitungan Bappeda Bantul, jumlah ketersediaan lahan pemukiman bisa mengimbangai pertumbuhan jumlah penduduk hingga tahun 2033. Semakin padat sebuah lokasi, harga jual tanahnya juga akan semakin naik. Untuk tetap bisa membangun perumahan dengan harga yang masuk akal, sejumlah pengembang mulai melirik wilayah Piyungan, Pleret dan Pajangan untuk dijadikan perumahan. Wilayah Pajangan menjadi lokasi yang baru-baru ini mulai dikembangkan. Meski lokasinya relatif jauh dari Jogja, kepadatan penduduk di Pajangan masih relatif rendah dibanding lokasi penyangga lainnya. Perumnas yang Azizah tempati juga berada di kecamatan yang terkenal dengan keberadaan Goa Selarongnya ini. Cukup sulit untuk bisa menyediakan perumahan yang relatif murah di wilayah penyangga lainnya. **** TINGKAT PENGHASILAN MERUPAKAN KRITERIA DALAM PENGAJUAN KREDIT PERUMAHAN. SESEORANG ATAU SEBUAH KELUARGA DIANGGAP MAMPU UNTUK MENGANG SUR PERUMAHAN JIKA MEMILIKI PENGHASILAN RP.900 RIBU HINGGA RP. 1,5JUTA. 6 PRANALA { Maret - April 2015 } Setelah hampir satu jam berpacu di jalanan kota, motor Suzuki Smash milik Azizah kini mendapat tantangan baru. Mesin 110 cc di motor itu mesti menaklukan tanjakan 45 derajat. Azizah menurunkan gas dan terpaksa diganti ke gigi satu. Gas sedikit digeber dan ibu muda bertinggi badan kurang lebih 150 cm itu melaju. Seluruh motor bergetar termasuk barang belanjaan di motornya. Saat mencapai puncak, Azizah segera menikung tajam ke arah kanan. Roda gigi motor dinaikan ke angka 2. Segera saja ia memasuki sebuah kebun jati yang rimbun. Di balik rerimbunan itulah tempat perumahan Azizah berdiri. Lokasinya tepat di titik tertinggi puncak, tepatnya di Desa Guwosari. Sebagian besar unit yang ada telah rampung. Beberapa lainnya masih dalam proses finishing. Baru saja mesin motor berhenti, Azka, anak Azizah membuka pintu. Ia berlari ke arah Azizah sembari berteriak, “Ummi, mana chiken-nya?” Azizah punya kebiasaan membeli lauk untuk makan siang. Ia cukup kewalahan jika mesti masak untuk makan siang. “Awas knalpot. Ini sayang. Abi mana?” ujar Azizah, memanggil suaminya. Keluarga kecil Azizah kemudian makan siang bersama di rumah tipe 29 itu, tipe rumah terkecil di Perumnas. Sebuah kipas angin menjaga mereka untuk tetap nyaman. Azka makan dengan lahap dan tak bisa diam. Ia lari keluar masuk ruang rumah yang terdiri dari dua kamar, satu kamar mandi, dan ruang tamu itu. Sang suami, Ali, tetap pendiam namun juga terus lahap makan. Setelah makan, Ali mesti berangkat kerja di sebuah restoran sebagai juru masak. Pasangan ini sama-sama bekerja. Namun untuk soal penghasilan, Azizah tak mau begitu terus terang. Jika keduanya digaji UMR Kota Jogja sebesar Rp. 1.302.500, maka penghasilan keluarga itu sebesar Rp. 2.605.000,-. Penghasilan itu termasuk dalam golongan menengah, jika mengikuti kriteria BPS. Tingkat penghasilan merupakan kriteria dalam pengajuan kredit perumahan. Seseorang atau sebuah keluarga dianggap mampu untuk mengangsur perumahan jika memiliki penghasilan Rp. 900 ribu hingga Rp. 1,5 juta. Dengan penghasilan sebesar itu seseorang dikatakan bisa mendapatkan rumah dengan ukuran 21 m2 – 36 m2. Keluarga Azizah masuk dalam kriteria menengah. Dengan demikian, ia seharusnya bisa mendapatkan rumah yang lebih besar. Perumahan sendiri dapat dibagi menjadi dua berdasarkan penyedianya; oleh masyarakat, serta oleh swasta dan pemerintah. Bagi seorang pendatang seperti Azizah, mengakses perumahan dari swasta dan pemerintah lebih masuk akal dari pada mesti membangun sendiri. Azizah adalah perantau dari Banjarnegara, Jawa Tengah, dan suaminya berasal dari Tulang Bawang, Lampung. Cukup sulit bagi Azizah dan suami untuk memiliki tanah di Jogja. Apalagi untuk membangun rumahnya sendiri. Pemda Bantul memperkirakan jika pembangunan perumahan oleh masyarakat dapat memenuhi 25% kebutuhan rumah. Perumahan yang dibangun masyarakat diperkirakan mencapai 57.452 unit hingga tahun 2033. Kebutuhan rumah selanjutnya mesti dipenuhi oleh pengembang baik swasta maupun negara. Hingga tahun 2033, swasta dan negara harus bisa mencapai target pembangunan 172.356 unit rumah di Bantul. Bagi pengembang properti, target pembangunan rumah bukan semata beban, tetapi juga peluang bisnis. Sejumlah pengembang ramai-ramai mengajukan izin pembangunan. Tercatat ada 29 perumahan yang telah mendapatkan ijin pembangunan perumahan. Beberapa pengembang telah memulai pembangunan dan beberapa lainnya masih dalam proses pembebasan lahan. Beberapa perumahan memiliki blok pengembangan yang cukup luas. Dengan demikian, izin yang diajukan juga lebih banyak. Dari 29 perumahan tersebut, tercatat izin pembangunan yang dikeluarkan oleh Dinas Perizinan Bantul mencapai 1.046 pada 2012. Angka itu belum termasuk pengembang yang masih dalam proses pengajuan izin. Perum Padma Residence yang terletak di Bangunjiwo, Kasihan, tercatat mengantongi izin terbanyak yakni 135 perizinan. Sementara itu, Perum Perumnas, tempat Azizah menetap, telah mengantongi 73 izin. Perizinan paling sedikit dimiliki oleh Perumahan Pesona Tamanan Asri, yakni sebanyak 7 izin pembangunan. Nama Pengembang yang Telah Mendapatkan Izin No. Nama Perumahan Jumlah Izin 1. Taman Pleret Asri 62 2. Graha Banguntapan 53 3. Metro Harmony Residence 2 18 4. Graha Nirmala 54 5. Perum Kaliurang 20 6. Kharisma Cepoko 11 7. Pesona Tamanan Asri 7 8. Kadipiro Indah 28 9. Griya Prima Baru 14 10. Purimas Tamansari 41 11. Perumnas Guwosari 73 12. Pesona Tamanan Asri 16 13. Dalem Banguntapan Asri 8 14. Kavling Bangunjiwo 33 15. Potorono Residence 17 16. Kavling Cikalan 7 17. Puri Tamanan Indah 11 18. Pondok Permai Kadipiro 72 19. Padma Residence 135 20. Pesona Nirmala 12 21. Kuantan Regency Soragan 14 22. Azzafira 57 23. Ruko Sonosewu 11 24. Pesona Kuantan 10 25. Graha Sedayu Sejahtera 50 26. Villa Banguntapan 50 27. Laguna Spring Jogja 55 28 Sawit Asri Residence 58 29. Puri Sakinah 49 Jumlah 1.046 Sumber: Dinas Perizinan Kabupaten Bantul per Mei 2012 PRANALA { Maret - April 2015 } 7 Laporan Utama PERUMAHAN MUSLIM DI LEMBAH P engeras suara berbunyi nyaring, tepat pada jam 4 sore. Suaranya membelah perumahan di lembah yang dikelilingi sungai dan hutan bambu itu. “Teman-teman sudah jam 4, loh. Belajar TPA, yuk?” ucap suara anak melalui pengeras suara. Anak-anak yang tadinya asyik bermain sepeda segera menuju sumber suara. Suara itu berasal dari sebuah masjid di tengah lembah. Kubah dan menara masjidnya berwarna keemasan dan menjulang hingga bisa disak- 8 PRANALA { Maret - April 2015 } sikan dari semua penjuru. Di saat yang sama, anak-anak laki-laki di kampung sebelah utara perumahan masih asyik bermain sepak bola. Beberapa anak perempuan sibuk menggarisi tanah untuk bermain engklek. Lokasi bermain itu tepat di depan Masjid Al Hidayah. Di tembok masjid tertera jika pada jam itu seharusnya TPA —sebagaimana di masjid perumahan— telah dimulai. Kampung itu berada tepat di atas lembah. Oleh: Prayudha Maghriby Foto: Gibbran Prathisara H MEJING Perumahan khsusus berbasis keyakinan semakin banyak berdiri. Salah satunya adalah Perumahan Muslim Darussalam. Akankah perumahan eksklusif seperti ini mengurangi seamangat keberagaman? Jalanan kampung saat itu mulai ramai dilintasi mobil. Sempat ada Nissan Grand Livina keluaran terbaru melintas menuju lembah. Merek lain seperti Suzuki APV Arena juga tampak melintasi jalan menurun nan sempit itu. Mereka adalah para penghuni perumahan yang baru pulang dari tempat kerja. Sebaliknya, aktivitas bekerja justru tengah di mulai di kampung sebelah utara lembah. Seorang lelaki bertelanjang baju tampak mengangkat ember besar bekas cat tembok. Air di ember itu lantas disiramkan ke lantai sebuah kandang. Anak-anak anjing tampak berkejar-kejaran di sekeliling kandang. Mungkin karena terganggu, hewan peliaraan di kandang itu mencuatkan kepalanya. Telinga hewan itu pendek. Kulitnya berwarna pink. Rupanya itu adalah kandang babi. Kandang semacam itu ternyata hampir ada pada tiap rumah di kampung utara lembah. Perumahan dan kampung-kampung yang mengitari PRANALA { Maret - April 2015 } 9 Laporan Utama lembah itu terhitung masih dalam wilayah Pedukuhan Mejing Wetan, Ambar Ketawang, Sleman. Waljiati, seorang penduduk asli kampung menuturkan, jika perumahan itu baru didirikan pada 2004 silam. Lokasi perumahan sebelumnya adalah hamparan sawah milik salah satu warga kampung. “Dulu kepunyaan orang kaya di sini. Dia tanahnya ada di mana-mana,” ujar wanita 49 tahun ini. Karena tepat di sisi sungai yang berhulu di Merapi, tanah di lembah itu bercampur dengan pasir. Sawah menjadi kurang subur dan sang pemilik akhirnya memutuskan untuk menjualnya. Singkat cerita, berdirilah perumahan yang kemudian dikenal sebagai Perumahan Muslim Darussalam. Jumlah rumah di kompleks itu terus bertambah. Beberapa warga kampung mau melepas tanah untuk dijadikan lokasi pengembangan perumahan. Hingga kini, perumahan Darussalam terdiri dari 3 Rukun Tetangga (RT) dan 99 unit rumah. **** Darussalam nampak lengang di Ahad siang. Seorang satpam tampak siaga di posnya. Matanya terus mengawasi tiap kendaraan yang melewati pintu masuk perumahan. Setelah bisa memastikan tidak ada yang perlu dicurigai, satpam itu melempar senyum kecil sembari menganggukan kepala. Artinya, sang pengunjung bisa terus masuk. Saat memasuki gang-gang Darussalam, tampak mo- 10 PRANALA { Maret - April 2015 } bil-mobil menepi di sisi-sisi gang. Rumah-rumah sepi. Sedikit aktifitas hanya tampak di salah satu persimpangan gang. Seorang lelaki paruh baya, berperawakan kurus, dengan rambut yang hampir memutih sepenuhnya tengah memanjat tiang listrik dengan tangga. Di bawahnya tampak tiga orang lelaki yang lebih muda berdiri sembari mengawasi. Lelaki paruh baya itu namanya Subari. Usianya 55 tahun. “Ini saya pasangi empat sensor surya di empat titik. Saya paralelkan jaringannya,” ucap Subari sembari memasukan sebatang rokok ke mulutnya. Pemasangan sensor itu agar lampu jalan bisa mati otomatis di saat gelap. Ada masalah soal lampu penerangan jalan. Tagihan listrik masjid membengkak karenanya. Karena penghuni perumahan sibuk, seringkali lampu jalan tetap menyala meski hari telah terang. “Kabel optik internet sekalian saya perbaiki. Kalau pakai wireless mesti ada repeater dan access point,” tambahnya. Subari yang hari itu mengenakan setelan kaus oblong dan celana jeans yang dipotong selutut itu tampak sangat menguasai istilah dalam teknologi informasi. Rupanya dia adalah mantan pegawai Telkom. Saat ini ia mengelola usaha jasa yang terkait dengan IT. Ia sendiri telah menjadi penghuni Darrussallam dari perumahan itu pertama dibangun. Sebelumnya ia tinggal di perkampungan tempat kelahirannya, Sosrowijayan. Karena kurang nyaman dengan lingkungannya, ia dan isteri memutuskan pindah ke Darussalam. Subari dan isteri mendapat informasi perumahan dari sebuah koran. Suatu hari di tahun 2003 isterinya menemukan iklan rumah berharga sekitar Rp. 60 juta. Terbilang cukup murah untuk ukuran saat itu. Meski sedikit tak percaya, Subari memutuskan untuk menelusuri info itu. Ia khawatir jika itu hanya bentuk penipuan. Sampai di lokasi ia mendapati fondasi-fondasi bangunan telah ada. Tak pikir panjang ia pun bergabung menjadi salah satu dari 99 pembeli perumahan itu. Di balik iklan Perumahan Darussalam itu ada tiga serangkai: Mansur Fahmi, Agus Prayitno, dan Salim. Ketiganya adalah alumnus Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta. Berawal dari keinginan memiliki rumah sendiri, mereka kemudian merancang sebuah perumahan. Agar daya tawar ke pihak pengembang kuat, mereka lantas mengumpulkan calon pembeli terlebih dahulu. Iklan yang mereka sebarkan mampu menarik sejumlah calon pembeli. Pada akhir 2003, sekitar 50 calon pembeli kemudian dikumpulkan di Masjid STPN. Sebuah pengembang akhirnya tertarik untuk membangun 99 unit rumah di Dusun Mejing. Perumahan itu terbagi ke dalam Darussalam 1 dan 2. Direktur pengembang, Bambang, rupanya dengan tanpa seizin Mansur, Agus, dan Salim membangun Darussalam 3 di Condongcatur. Belakangan diketahui jika Bambang baru saja keluar penjara atas tindak penipuan terkait Darussalam 3. Mansur menuturkan, jika tidak ada rencana khusus untuk menjadikan Darusalam sebagai perumahan muslim yang eksklusif. Penggunaan nama Darussalam juga lebih karena ia dan Agus Priyatno punya kenangan dengan nama itu saat masih di kampung halamannya, Purbalingga. “Masjid di sana (Purbalingga-red) namanya Darussalam. Jadi sesedarhana itu,” ujar pria kelahiran 1973 ini. Ia juga menampik jika ada ketentuan khusus agar Darussalam menjadi perumahan muslim. Menurutnya, tidak ada ketentuan khusus soal identitas keagamaan bagi calon pembeli perumahan saat itu. “Tidak ada batasan semisal yang kristen tidak boleh beli,” tambah Mansur yang kini bertugas di kantor Badan Pertanahan Umum (BPU) Purwodadi ini. Namun demikian, Mansur tidak mengelak jika konsep perumahan yang islami memang menjadi konsep sedari awal. Pada kesepakatan yang dibuat bersama pengembang, Mansur dan kedua rekannya meminta agar fasilitas masjid menjadi hal utama. Konsep islami itu yang kemudian menjadi salah satu daya tarik bagi PRANALA { Maret - April 2015 } 11 Laporan Utama pembeli. “Kita punya cita-cita. Karena muslim, yah,” ucap Mansur. Dalam perencanaannya, Mansur mencoba memenuhi syarat perumahan yang sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya. Mansur mencontohkan, jika ia memiliki ruangan khusus bagi tamu, terpisah dengan rumah utama. Toilet pada tiap rumah juga diusahakan agar tidak menghadap kiblat. Terkait dengan kehidupan sosial perumahan, Darussalam juga disetting agar sesuai dengan keyakinan yang mereka peluk. Sebuah masjid bernama Masjid Darussalam menjadi pusat kegiatan perumahan. Rapat dan pengajian rutin dilaksanakan di masjid yang diresmikan langsung oleh Sri Purnomo, Bupati Sleman kala itu. Mansur sendiri saat ini dipercaya sebagai ketua takmir masjid. Tepat di samping masjid berdiri sebuah bangunan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Selain sebagai tempat pendidikan, PAUD juga berfungsi untuk menitipkan anak-anak dari penghuni perumahan selama mereka beraktifitas. Rencana selanjutnya, Mansur dan pengurus masjid akan mengambangkan program tahfidzul qur’an. Uniknya, selain memiliki ketua RT, Darussalam juga memiliki Amir. Amir menjadi semacam pemimpin perumahan. Sosok Ahmad Sumiyanto, mantan anggota DPRD DIY dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) didaulah menjadi Amir hingga kini. Terkait dengan konsep keamiran, Mansur menampik jika itu menjadi simbolisasi negara Islam atau semacamnya. Amir perumahan dipilih untuk memudahkan koordinasi warga. “Kami tidak membuat padukuhan sendiri. Itu untuk menjaga hubungan baik dengan warga kampung,” ujarnya. Amir diharapkan bisa memaksimalkan kordinasi kerja antara dua RT di Darussalam. Ahmad Sumiyanto dipilih karena dianggap memiliki kapasitas. “Pak Totok (Ahmad Sumiyanto-Red) dipilih karena beliau bisa diterima semuanya,” tambah Mansur, sembari menampik jika pemilihan Amir dilatarbelakangi kepentingan politik praktis tertentu. **** 12 PRANALA { Maret - April 2015 } Dadang Winarko mengamati pemasangan sensor surya oleh Subari. Sesekali ia melempar canda untuk mencairkan suasana. Sosok berperawakan tinggi besar ini belum begitu lama menjadi ketua RT 12. Sebagaimana Subari, ia juga menjadi penghuni Darussalam sejak awal. “Karena murah dan kalau orang Jawa bilang sudah pulung (keberuntungan),” ungkap Dadang menjelaskan alasan utamanya memilih Perumahan Darussalam sebagai tempat tinggal. Mengurus warga RT 12 Darussalam menurut Dadang tidak terlalu sukar. Sebagian besar warganya memang cukup sibuk. Warganya kebanyakan adalah kaum profesional. Tidak sulit menemukan dokter bahkan dosen di Darussalam. “Ini yang lelaki dosen psikologi UGM dan isterinya dosen psikologi UAD,” ujar Dadang sembari menunjuk sebuah rumah di samping tempatnya berdiri. Kesibukan warganya luar biasa padat, sehingga ia perlu mensiasati jika ingin membuat pertemuan warga. Tidak semua warga ia kenali. Ini karena beberapa dari mereka adalah penghuni kontrak. Bahkan, ada rumah yang dari pertama dibangun hingga kini belum sempat ditengok oleh si pemilik. “Mungkin untuk investasi atau apa saya tidak tahu,” tambah pria kelahiran Kentungan, Surabaya, 1973 silam ini. Terkait investasi, Dadang menceritakan jika rumah tipe 36 —ukuran asli perumahan saat awal— di Darussalam kini bisa mencapai kisaran Rp. 300 juta. Harga itu berbeda jauh dengan harga awal yang hanya Rp. 60 juta-an. Sebagai perumahan yang memakai tageline Islam, Dadang berpendapat jika secara tidak langsung penghu- KERENTANAN KONFLIK DADANG SADARI JUGA BISA MUNCUL DARI PERBEDAAN KARAKTERISTIK ANTARA PENGHUNI PERUMAHAN DENGAN WARGA KAMPUNG. POTENSI KONFLIK YANG TERKAIT DENGAN KELAS SOSIAL, KELAS EKONOMI, DAN JUGA IDEOLOGIS. ni Darussalam memang spesifik. Ada pemisahan secara alami dari sisi keyakinan. Dadang tidak menampik jika pernah terjadi konflik terkait itu. Peristiwa itu terjadi beberapa tahun silam. Satu keluarga mengontrak salah satu rumah. Mereka penganut Kristiani. Dadang dan hampir seluruh warga cukup kaget. Penghuni baru itu tidak mendapat banyak kesempatan untuk bergaul dengan warga. Ini karena sebagian besar kegiatan dipusatkan di masjid. Mungkin karena tidak nyaman, penghuni itu akhirnya memutuskan untuk pindah. Kepindahan itu pun tidak sepengetahuan pengurus RT dan Keamiran. Selain kejadian itu, ada juga penghuni mu’alaf yang mengontrak salah satu rumah. Dia membawa serta keluarganya yang notabene penganut Kristiani. Untuk kejadian ini Dadang tidak terlalu mengikuti. Yang jelas saat ini, penghuni itu sudah tak lagi ada di Darussalam. Kerentanan konflik Dadang sadari juga bisa muncul dari perbedaan karakteristik antara penghuni perumahan dengan warga kampung. Potensi konflik yang terkait dengan kelas sosial, kelas ekonomi, dan juga ideologis. Sebelum ada perumahan, lokasi Darussalam dikenal sebagai pusat peternakan babi. Perlahan peternakan babi mulai surut. Kini tersisa beberapa rumah di utara perumahan yang masih memlihara babi. “Ada seorang warga tengah menarik babi. Tiba-tiba ada anak kecil bertanya, Pak babi itu, kan, haram,” ujarnya mengingat sebuah cerita jenaka. Untuk soal ini, pihak Darussalam melihatnya sebagai ladang dakwah. Ada pengajian yang turut serta mengundang warga kampung. “Pernah ada ibu-ibu izin pengajian karena babinya melahirkan,” kenang Dadang menyulut tawa. Selain itu, Darussalam juga rutin mengadakan bakti sosial seperti pengobatan gratis dan pemberian sembako. Agoes Erwin Sulaiman, pria yang juga memperhatikan usaha Subari memasang sensor surya menambahkan beberapa keterangan. Darussalam juga telah beberapa kali mengadakan peringatan hari besar bersama-sama dengan warga Kampung Mejing. Menjelang bulan Ramadhan, anak-anak dari Darussalam dan kampung berkolaborasi menggelar karnaval islami. Para penghuni Darussalam yang memiliki pengetahuan seputar Islam juga kerap menjadi pengkhotbah di pengajian atau acara keagamaan lainnya di kampung. Erwin yang sehari-hari bekerja sebagai staf di Fakultas Ilmu Budaya UGM ini juga menuturkan pernah ada kegiatan unik. Pernah sesekali ada peringatan kemerdekaan Republik Indonesia yang perlombaannya tidak lazim. “Ada itu peringatan 17-an, tapi lombanya itu qiroaah dan hafalan qur’an,” canda pria asli Bandung ini. Kepala Dukuh Mejing Wetan, Sudaryono, mengamini jika Darussalam cukup membantu warga kampung. Ini terutama soal keagamaan. Menurutnya, para penghuni Darussalam telah banyak mengubah wajah kampungnya. “Tidak ada yang salah. Kami justru merasa sangat terbantu sejak kehadiaran Perumahan Darussalam terutama soal agama,” kata pria 52 tahun ini. Terkait dengan adanya anggota DPRD di Darussalam, Sudaryono tidak begitu melihatnya sebagai masalah. Ketika Pemilu, tidak ada hal yang dalam penilainnya mengganggu. Semua partai dapat kesempatan untuk memaparkan visi dan misinya. “Aman mas. Di sini semua boleh kampanye,” tukas kepala dusun dari salah satu wilayah di kecamatan Ambar Ketawang yang pada Pemilu 2009 dimenangkan oleh PKS ini. Sudaryono berharap jika hubungan baik antara Perumahan Muslim Darussalam dengan warga kampung Mejing Wetan terus terjaga dengan baik. PRANALA { Maret - April 2015 } 13 Laporan Utama RESIKO PEMBANGUNAN PERUMAHAN MUSLIM Oleh: Kamil Alfi Arifin Foto: Gibbran Prathisara Perumahan-perumahan muslim kian merebak. Kemunculannya menciptakan fenomena kantong-kantong pemukiman eksklusif. Buktinya, warga non-muslim tak boleh membeli dan tinggal di dalamnya. S ejumlah warga di kompleks perumahan muslim Djogja Village Plosokuning IV, Sleman, kasak-kusuk, bergosip tak sedap, ngrasani, dan mempersoalkan penghuni baru, yang baru saja masuk dan tinggal di perumahan muslim ini. Sebabnya, tetangga baru itu ditemukan memiliki identitas agama lain yang berbeda dari seluruh warga yang tinggal di dalamnya. Bagi warga, hal ini dipandang sebagai sesuatu yang ganjil dan sama sekali tidak lazim dalam lingkungan mereka. Kejadian itu berawal saat seorang pemilik salah satu rumah di kompleks perumahan muslim Djogja Village Plosokuning IV, terpaksa meninggalkan rumahnya karena harus pindah ke luar kota. Dari pada tak ditempati, pemilik rumah berpikir untuk menyewakan saja rumah 14 PRANALA { Maret - April 2015 } itu. Rumah terurus, juga dapat keuntungan sewa. Begitu pikirnya. Namun, yang kemudian menjadi persoalan, rumah itu disewakan kepada orang yang dianggap tidak tepat, yakni keluarga non-muslim. Sontak, hal tersebut menjadi sumber kasak-kusuk warga. Mereka mengaku kecolongan atas kasus tinggalnya warga non-muslim di kompleks perumahan muslim ini. Demikian yang diceritakan Firdaus, salah seorang warga, sekaligus mantan Ketua RT, di kompleks perumahan muslim Djogja Village Plosokuning IV, saat ditemui di kediamannya. Menurut Firdaus, warga perumahan muslim Djogja Village Plosokuning IV, mempersoalkan “tinggalnya warga non-muslim” di kompleks perumahan muslim yang mereka tempati, lantaran kasus tersebut memang melanggar aturan sebagaimana yang sudah ditetapkan. “Dulu pernah terjadi, entah karena pemiliknya mengabaikan atau tidak perduli, dia mengontrakkan rumahnya ke non-muslim. Sempat jadi…ya, kita komunikasikan. Waktu itu kita jadi pengurus RT. Terus kita sampaikan ke yang bersangkutan bahwa ada peraturan seperti ini. Sebenarnya kita sendiri, warga internal perumahan ini, tidak masalah. Cuma khawatirnya, dengan warga yang di luar gitu, loh. Kalau kita, sih, enggak apaapa. Sepanjang tidak mengganggu dan melanggar normanorma yang umumlah,” ujar Firdaus panjang lebar. Perumahan muslim Djogja Village ini, terletak di sebuah perkampungan muslim Plosokuning IV, di mana semua warganya adalah muslim. Sejak adanya rencana pembangunan perumahan oleh pengembang di perkampungan ini, kata Firdaus, ada tuntutan dari masyarakat sekitar kampung untuk “memuslimkan” perumahan yang hendak dibangun itu. Akhirnya, berdirilah perumahan muslim Djogja Village ini. Berdasarkan tuntutan warga kampung sekitar, pengembang perumahan muslim Djogja Village menetapkan satu persyaratan penting bagi calon pembeli dan penghuninya, yakni yang bersangkutan harus muslim. Perumahan muslim ini tidak boleh dihuni dan dijualbelikan kepada dan untuk warga non-muslim. Ketua Dukuh Plosokuning IV, Yadidi, juga menegaskan hal yang serupa. Menurutnya, perumahan muslim Djogja Village Plosokuning IV ini memang khusus muslim. Bahkan, persyaratan ini berlaku mengikat dan memiliki kekuatan hukum. “Jadi yang jual tahu, dan yang beli juga tahu, kalau (perumahan) ini muslim. (Ketentuan) ini sudah dinotariskan,” paparnya di waktu dan tempat yang berbeda. Peristiwa dikeluarkannya warga non-muslim di perumahan muslim Djogja Village Plosokuning IV bukan kasus tunggal. Kasus yang hampir sama juga pernah terjadi di perumahan muslim Darussalam 1 dan 2 di Sidoarum Godean. Menurut cerita yang dikisahkan Dadang, salah satu warga di perumahan muslim ini, beberapa tahun yang lalu, ada pemilik rumah yang juga sempat mengontrakkan rumahnya kepada non-muslim. Akan tetapi, warga non-muslim itu tidak diminta keluar. Meski demikian, lanjut Dadang, warga non-muslim itu tetap keluar dengan sendirinya tanpa sepengetahuan warga sekitar. “Enggak pamitan, tiba-tiba keluar dengan sendirinya. Enggak ada yang tahu,” katanya. Di perumahan muslim ini, memang tidak ada ketentuan dan persyaratan secara tertulis, bahwa pembeli dan penghuni harus muslim. Di Jalan Imogiri Timur Km 9, juga terdapat perumahan muslim Graha Taman Asri. Sama halnya dengan perumahan muslim Djogja PRANALA { Maret - April 2015 } 15 Laporan Utama MUNCULNYA PERUMAHAN MUSLIM BERESIKO BAGI MASYARAKAT MULTIKULTUR. INI KERUGIAN. RUANG MENJADI EKSKLUSIF, DIKOTAKKOTAKKAN IDEOLOGI Village Plosokuning IV, perumahan muslim Graha Taman Asri terletak di sebuah perkampungan muslim, Jati Wonokromo. Menurut keterangan ketua RT setempat, saat ada pengembang masuk dan berencana membangun proyek perumahan di wilayah muslim ini, masyarakat berkumpul dan sepakat meminta pihak pengembang untuk membangun perumahan muslim, yang di dalamnya, tidak diperkenankan warga selain muslim tinggal. “Bukan apa-apa, kasihan juga takut tidak kerasan. Karena di sini masyarakatnya muslim,” kata Priyana. Di kampung muslim ini, lanjut Priyana, sudah ada peraturan yang sudah menjadi tradisi, yakni warga non-muslim diwajibkan mengikuti kegiatan (bahkan juga kegiatan keagamaan) yang diadakan masyarakat, termasuk tahlilan. Sementara, warga non-muslim tidak diperkenankan mengadakan aktivitas keagamaan mereka sendiri. Tahun-tahun belakangan ini, perumahan-perumahan muslim kian merebak. Perumahan-perumahan muslim mudah ditemukan di sejumlah tempat di Yogyakarta. Sejauh pantauan redaksi Pranala, empat kabupaten di kota yang majemuk ini, yakni Bantul, Sleman, Kulonprogo dan Gunung Kidul, terdapat perumahan muslim di dalamnya. Meskipun, di kabupaten Bantul, perumahanperumahan muslim lebih banyak dan dominan. *** Menanggapi fenomena kian maraknya perumahanperumahan muslim di Yogyakarta ini, sosiolog Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), S. Bayu Wahyono, mengatakan bahwa ini merupakan bagian dari semakin mengentalnya proses islamisasi di tengah-tengah masyarakat. Dan mengentalnya islamisasi ini, ditangkap 16 PRANALA { Maret - April 2015 } secara cerdas oleh para pengembang (developer) dengan memasukkan konsep agama dalam bisnis properti yang mereka garap. Orang-orang modern, kata dia, memang seperti “belanja agama”. Padahal lanjut Bayu, untuk konteks Yogyakarta sebagai “city of tolerance” dan “city of pluralism”, perumahan-perumahan muslim sangat merugikan dan beresiko. “Munculnya perumahan muslim beresiko bagi masyarakat multikultur. Ini kerugian. Ruang menjadi eksklusif, dikotak-kotakkan ideologi” ujarnya. Di rumah joglonya yang asri dan nyaman, di Dusun Terung, Wedomartani, Bayu menjelaskan panjang lebar pandangannya terkait perumahan muslim dan keberagaman di Yogyakarta. Menurut Bayu, dalam ruang-ruang yang dikotak-kotakkan ideologi, seperti perumahanperumahan muslim, masyarakat sangat mudah untuk dimobilisasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Sebab, interaksi mereka dengan yang lain terbatasi. “Intertekstualitasnya rendah,” katanya. Dengan pertimbangan seperti itu, Bayu kembali menegaskan, bahwa perumahan-perumahan muslim menjadi problem krusial bagi keberagamaan di Yogyakarta. Interaksi menjadi semakin mampat. “Ruang-ruang yang diideologisasi tidak produktif untuk membangun masyarakat toleran,” tegas doktor lulusan Universitas Airlangga (Unair) tersebut. Meski demikian, lelaki yang juga mengajar di jurusan Kajian Budaya dan Media di Sekolah Pascasarja UGM tersebut mengaku tidak tahu pasti, mengapa pemerintah daerah kurang menyadari masalah serius ini. Seolah-olah terkesan begitu mudahnya memberikan Izin Membangun Bangunan (IMB) perumahan muslim di Yogyakarta kepada para pengembang. “Bisa jadi karena kuatnya daya tawar kelompok islam politik di jajaran pemerintahan daerah. Di birokrasi terjadi santrinisasi. Bisa jadi,” kata Bayu. Bayu hanya berharap, saat ini dan ke depan, Islam ditampilkan secara lebih cerdas, agar tidak merugikan. TAK ADA LARANGAN MEMBUAT PERUMAHAN MUSLIM Oleh: Kamil Alfi Arifin Foto: Gibbran Prathisara P Tidak ada persoalan perizinan terkait maraknya perumahan-perumahan muslim di Jogja. Sekalipun perumahan-perumahan tersebut menuai kritik. Dianggap merugikan dalam konteks Yogyakarta sebagai kota yang majemuk dan toleran. ukul 11.00 siang. Matahari bersinar hampir nyaris tepat di atas kepala. Kota Bantul, siang itu, begitu terik dan panas. Sedikit berdebu. Namun, Sri Ediastuti terlihat tetap fokus bekerja di ruangan kantornya yang lebar. Di atas mejanya, bertumpuk-tumpuk berbagai macam dokumen. “Silahkan duduk di sini saja, mas. Saya sambil kerja, ya?” ujarnya sambil menawarkan tim Pranala duduk di atas dua kursi yang terletak di depan meja kerjanya. Setelah dzuhur dan istirahat, dia mengaku ada agenda rapat dengan bawahannya. Sehingga, dia tetap memilih duduk di kursi kerjanya dibandingkan di kursi sofa berwarna hitam tempat dia biasa menerima tamu-tamunya, hanya untuk menyiapkan bahan-bahan rapat berupa data-data yang belum rampung dia bereskan. Sri adalah Kepala Dinas Perizinan Kabupaten Bantul. Melihat posisinya, maklum, jika pekerjaannya bejibun. Semua perizinan, termasuk Izin Mendirikan Bangunan (IMB), di wilayah kabupaten Bantul berada di bawah tugas dan wewenangnya. Saat tim Pranala diminta mengutarakan dan menjelaskan kepentingan menemui dirinya, Sri sempat bingung lantaran tim Pranala mengatakan bahwa Pranala merupakan majalah Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII). “Apa kaitannya, mas?” sergahnya. Sri merasa tak mengerti, apa kaitan HAM dengan tugas-tugasnya di Kantor Dinas Perizinan Kapubaten Bantul. Lulusan Magister Studi Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut juga sempat bingung saat tim Pranala menanyakan soal perumahan-perumahan muslim yang kian marak di Yogyakarta. “Tidak tahu saya,” tegas dia. Sri tidak terlalu memperhatikan fenomena kian maraknya perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta secara serius. Hanya saja, setelah mengingat-ngingat, PRANALA { Maret - April 2015 } 17 Laporan Utama Sri kemudian baru menyadari kalau dirinya beberapa waktu yang lalu sempat mendengar soal adanya perumahan muslim. Tetapi, Sri tidak mendengar langsung soal perumahan muslim ini dari orang-orang di kantornya. Padahal, kata dia, bawahan di kantornya, terutama tim teknis, bertugas setiap hari meninjau pendirian bangunan di lapangan. “Tahunya kita, ya, dengar dari orang luar. Cerita orang saja,” ujarnya. Menurut Sri, pihaknya juga tidak mempersoalkan perumahan-perumahan muslim yang kian marak di Yogyakarta tersebut. Sebab, kata dia, pihaknya hanya sekadar menilai dari segi kelayakan bangunan. Hal itu sesuai dengan peraturan sebagaimana sudah ditetapkan. “Kita, kan IMB itu dari sisi bangunan. Bukan dari sisi muslim tidaknya,” terangnya. Dalam buku panduan dan pedoman “Perizinan Dasar” yang diterbitkan Dinas Perijinan Kabupaten Bantul, berbagai persyaratan yang harus dipenuhi dalam persyaratan permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), hanya tertulis: 1) Foto copy identitas diri/KTP pemohon. 2) Surat kuasa dan fotokopi KTP penerima kuasa, apabila pengurusan diwakilkan. 3) Fotokopi sertifikat tanah/ bukti kepemilikan tanah dengan status tanah pekarangan atau non-pertanian. 4) Surat pernyataan kerelaan antar pemilik bangunan dengan pemilik tanah, apabila pemilik bangunan bukan pemilik tanah. 5) Surat pernyataan membuat peresapan air hujan yang dapat menampung luapan curah hujan. 6) Surat pernyataan tidak keberatan dari tetangga yang berbatasan langsung. 7) Gambar rencana bangunan dengan skala 1:100 atau 1:50 yang meliputi: situasi, denah, tampak (depan, belakang, samping kanan, samping kiri) rencana (pondasi, atap, sanitasi) potongan (melintang dan memanjang). 8) Gambar dan perhitungan konstruksi baja (untuk bangunan yang menggunakan baja). 9) Gambar dan perhitungan beton (untuk bangunan bertingkat dan menggunakan struktur beton). 10) Hasil tes sondir (untuk bangunan bertingkat >12 m). 11) SPPL/DPL (untuk bangunan gedung kepentingan umum dan komersial dengan luasan ruang komersial >54 m2); 12) Untuk selain bangunan rumah tinggal tidak bertingkat dilengkapi dengan: a) 18 PRANALA { Maret - April 2015 } KALAU PERSYARATAN TIDAK APA-APA. KIT DENGAN PERATURA Surat Keterangan Rencana Kabupaten dari DPU. b). Pengesahan Dokumen Perencanaan dari DPU. 13) Untuk perumahan dilengkapi dengan: a). Persetujuan site-plan dari DPU. b). Dokumen Pengelolaan Lingkungan bila luas lahan >5.000m2. Dari segi mata rantai prosedur perizinan perumahan, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ini, merupakan puncak legalitas atau output akhir suatu perumahan bisa disebut legal atau tidak. Bagi pengembang perumahan, sebelum IMB bisa diterbitkan, terdapat beberapa izin lain yang juga mesti dipenuhi. Untuk di Kabupaten Bantul, berikut berbagai ketentuan admintrasi yang harus dipenuhi tersebut, tim Pranala kutip dan himpunkan dari situs rumahjogjaindonesia.com. Pertama, Persetujuan Prinsip kepada bupati. Persetujuan prinsip ini merupakan langkah awal yang harus ditempuh setiap pengembang sebelum melakukan pembukaan lahan baru. Persetujuan prinsip ini berisi rekomendasi dari Bupati Bantul, apakah lokasi yang akan dibuka sebagai perumahan, secara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bantul, boleh digunakan sebagai pemukiman atau tidak. Kedua, Aspek Tata Ruang kepada Kepala DPU. Setelah mendapatkan persetujuan prinsip dari bupati, dalam tahapan berikutnya, pengembang harus mengajukan permohonan aspek kesesuaian tata ruang kepada DPU. Ketentuan ini, dimaksudkan agar setiap pembangunan perumahan sesuai dengan perencanaan tata ruang wilayah Kabupaten Bantul. Sehingga akan terwujud penyelenggaraan bangunan perumahan yang tertib, andal, dan serasi dengan arah kebijakan Kabupaten Bantul. Ketiga, Klarifikasi (luas lahan 0,05 Ha s/d 1 Ha) kepada Kepala Kantor Pertanahan atau mengajukan Ijin Lokasi kepada Kepala Dinas Perijinan (luas lahan >1 Ha (10.000 m²). Setelah pengembang mendapatkan rekomendasi aspek tata ruang, pengembang harus mengurus perijinan FENOMENA KIAN MARAKNYA P DI YOGYAKARTA MULAI MEND BANYAK KRITIK. PERUMAHAN SEMAKIN MEMPERTAJAM SEKAT KANTONG EKSKLUSI NNYA TERPENUHI, YA TA NORMATIF, SESUAI AN YANG BERLAKU, berkaitan dengan proses tanah yang akan digunakan. Untuk luas lahan dengan luasan antara 0,5 Ha sampai dengan 1 Ha, harus mengajukan klarifikasi ke kantor pertanahan. Sedangkan, untuk lahan di atas 1Ha pengembang harus mengajukan ijin lokasi ke Dinas Perijinan. Keempat, Pengesahan Site plan kepada Kepala DPU. Site plan adalah rencana tapak suatu lingkungan dengan fungsi tertentu yang memuat rencana tata bangunan, jaringan sarana dan prasarana fisik serta fasilitas lingkungan. Dalam site plan, diatur berbagai ketentuan yang harus dilakukan pengembang, agar perumahan tersebut tidak membawa dampak negatif bagi kelestarian lingkungan serta dampak sosial lainnya. Misalnya, soal prosentase penggunaan tanah, luas tanah efektif maksimal 65% dari seluruh luas lahan, sementara sisanya 35% persen untuk fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas khusus (fasos). Kelima, Dokumen Pengelolaan Lingkungan kepada Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH). Pengembang perumahan juga harus menyusun dokumen UKL/UPL jika lokasinya di perkotaan dengan luas lahan 0,5 ha sampai dengan 5 ha atau luas lantai bangunan kurang dari 10.000 m2. Menyusun AMDAL jika lokasi di perkotaan, dengan luas lebih dari 5 ha atau kepadatan penduduknya 350 jiwa/ha atau luas lantai bangunan lebih dari 10.000 m2. Sedangkan, pembangunan perumahan di luar perkotaan dengan luas lahan 0,5 ha sampai dengan 10 ha atau kepadatan penduduknya 150 jiwa/ha atau luas lantai bangunan kurang dari 10.000 m2 wajib menyusun dokumen UKL/UPL. Luas lahan lebih dari 10 ha atau luas lantai bangunan lebih dari 10.000 m2 yang lokasinya di luar perkotaan wajib menyusun AMDAL. Setelah melewati berbagai ketentuan tersebut, baru kemudian masuk ke dalam proses akhir yaitu Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Dilihat dari prosedur perizinan perumahan dari instansi terkait di Kabupaten PERUMAHAN-PERUMAHAN MUSLIM DAPATKAN SOROTAN DAN MENUAI N-PERUMAHAN MUSLIM DIANGGAP T-SEKAT DAN MEMBUAT KANTONGSIF DI YOGYAKARTA. Bantul, tidak terlihat adanya larangan membangun perumahan-perumahan berlabel agama yang peruntukannya dikhususkan untuk pembeli dengan identitas agama yang sama dalam bisnis properti, seperti perumahanperumahan muslim. Kalau ada pengembang memohon surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB), mengisi formulir dan memenuhi semua persyaratannya, pihak perizinan akan memproses dan menerbitkan izinnya. Tidak jadi soal apakah itu perumahan muslim, Kristen, Hindu, Budha dan lain sebagainya. “Kalau persyaratannya terpenuhi, ya tidak apa-apa. Kita normatif, sesuai dengan peraturan yang berlaku,” terang Sri. Seorang pengembang perumahan muslim yang bernaung di bawah PT Arofa, Fajrianto, saat ditemui tim Pranala di waktu dan tempat yang berbeda, juga menyatakan hal senada dengan Sri. Menurutnya, secara perizinan, tidak masalah mendirikan perumahan dengan label agama, seperti perumahan muslim. Fajriyanto sendiri sudah cukup lama bermain dalam bisnis properti perumahan. Pada tahun 2009 yang lalu, Fajriyanto sudah mendirikan perumahan muslim Taman Azmi di Kasongan, Bantul. Tahun ini, Fajriyanto kembali membangun proyek perumahan muslim Sidoarum Harmony 2 di Godean Sleman. Padahal, fenomena kian maraknya perumahan-perumahan muslim di Yogyakarta mulai mendapatkan sorotan dan menuai banyak kritik. Perumahan-perumahan muslim dianggap semakin mempertajam sekat-sekat dan membuat kantong-kantong eksklusif di Yogyakarta. Sebagai kota yang majemuk, kemunculan dan kian maraknya perumahan-perumahan muslim dianggap kontraproduktif bagi Yogyakarta terutama dalam agenda membangun masyarakat multikultur. Di wilayah Bantul, sejauh pantauan tim Pranala, cukup banyak perumahanperumahan muslim bila dibandingkan dengan di wilayah kabupaten lainnya, seperti di Kulonprogo dan Gunung Kidul. Menanggapi kritik tersebut, Sri tutup mulut. “Enggak komen, karena saya dari sisi bangunannya, ya?” tampiknya. PRANALA { Maret - April 2015 } 19 Wawancara Sugeng bayu Wahyono, SoSiolog univerSitaS negeri yogyakarta “KERATON CUKUP KHAWATIR DENGAN KEBERADAAN ISLAM BERCORAK TIMUR TENGAH YANG BISA MENJADI MATAHARI BARU.” Wawancara Oleh: Kelik Sugiarto Di Yogyakarta marak pendirian perumahan berlabel agama tertentu. Nyaris di setiap kabupaten bahkan sudah berdiri perumahan muslim. Menurut Anda apa yang terjadi? Fenomena ini memang tidak terlepas dari perkembangan sosial politik selama 20 tahun terakhir. Terutama gerakan Islam politik di Indonesia. Gerakan Islam politik berkembang cukup signifikan dan masuk ke dalam negara. Tentu ini bisa dikatakan sebagai awal kebangkitan gerakan Islam. Gerakan Islam politik menyadari betul bahwa di Indonesia ini negara mempunyai posisi yang sangat penting, sehingga mereka bergerak mengembangkan diri lewat negara. Kalau bisa ya, merebut negara. Gerakan Islam politik ini semakin mendapatkan momentum yang lebih baik ketika terjadi perubahan sistem politik dari otoriter ke demokrasi. Sebagai contoh, pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam beberapa dekade terakhir ditempati oleh kalangan islamis. Padahal dulu diisi dari kalangan nasionalis. Media juga secara luar biasa memproduksi wacana keislaman ini. Pada posisi itulah kemudian Islam hadir membangun kelas menengah. Dulu di jajaran birokrasi dari kalangan priyayi nasionalis Jawa, sekarang mengalami santrinisasi. Secara ekonomi, kelas menengah ini potensial, sehingga ini ditangkap oleh pasar sebagai peluang untuk dijadikan 20 PRANALA { Maret - April 2015 } Foto Oleh: Gibbran Prathisara lahan bisnis. Bagaimana pasar ini kemudian melayani kelas menengah yang lebih santri, islami, yang mempunyai kesadaran beragama Islam yang lebih kuat. Ini kemudian ada kaitannya dengan gaya hidup kelas menengah generasi muslim. Apakah situasi ini bisa dihubungkan dengan fenomena kapitalisme yang juga semakin menguat? Yang namanya kapitalis, bendera itu nggak penting. Yang berlaku ya, pasar. Sebagai contoh, pasar ini kemudian melayani gaya hidup dalam hal fashion, misalnya busana muslim. Bersamaan dengan itu, di institusi birokrasi, tren busana muslim ini kemudian bisa menggantikan busana nasional. Busana muslim sekarang ini menjadi busana resmi. Itulah salah satu keberhasilan pasar menangkap kebutuhan kelas menengah. Logika sosiologis mengatakan, siapapun yang berada dalam kelas menengah ini pasti mereka akan gelisah dan sekuler. Mereka takut mati. Satu-satunya tawaran alternatif untuk menetralisir kegelisahan itu ya, agama. Agama menjadi penting untuk memapankan supaya pencapaiannya dan kemapanannya tadi tidak terusik dan terus diakui keberadaannya sebagai kelas menengah. Nah, dari situ muncullah kemudian apa yang di namakan “belanja agama”. Salah satunya ya, perumahan muslim itu tadi. Apakah munculnya perumahan muslim ini bisa mengancam semangat toleransi? Fakta di lapangan penguatan identitas agama, entah itu Islam, Kristen, memang cukup menguat, khususnya di Yogyakarta ini. Orang merepresentasikan identitasnya itu ke arah agama. Implikasinya, muncul ruang-ruang mengikuti atau dibatasi oleh ideologi. Nah, kalau itu yang terjadi, maka munculnya perumahan muslim itu sebenarnya merupakan kerugian dalam upaya membangun masyarakat yang multikultur. Apalagi bagi Yogyakarta sendiri yang berniat menjadi “City of Tolerance” ini. Hal ini pasti menjadi masalah karena ruang itu menjadi eksklusif, terkotak-kotak oleh identitas agama. Sekarang banyak muncul kos muslim, sekolah muslim, salonpun ada yang muslim. Akibatnya, masyarakat yang berada di ruang-ruang itu intelektualnya rendah dan akan makin ideologis, tapi mudah untuk di mobilisasi. Makanya orang-orang PKS, Hizbut Tahrir itu kan, intelektualnya rendah dan jadi lebih ideologis, tapi mudah untuk digerakkan. Jadi munculnya perumahan muslim itu sebenarnya ya, bentuk dari ruang-ruang ideologis tadi. Jika memang keberadaan perumahan muslim ini dirasakan mengancam kehidupan bertoleransi, mengapa pemerintah daerah tetap memberikan izin pendiriannya? Kalau pemerintah daerah konsisten dengan sebutan “City of Tolerance”, maka seharusnya selektif dengan apapun yang tidak produktif bagi terciptanya masyarakat yang toleran. Bisa jadi ini karena kuatnya daya tawar kelompok Islam politik ini di jajaran birokrasi. Bisa juga karena sudah terjadi santrinisasi birokrasi, atau bisa juga karena gigihnya developer dalam menawarkan produk propertinya. Sebenarnya keberadaan perumahan muslim ini berpotensi menjadi tidak produktif untuk membangun masyarakat yang toleran. Dulu Sultan pernah mencanangkan perkampungan muslim di daerah Piyungan. Namun akhirnya tidak jadi. Tapi toh, perumahan muslim ini kemudian tetap dibangun dan tersebar di seluruh kabupaten. Ini bisa ditafsirkan bagaimana keraton membonsai Islam. “Itu lho, wong mung sak kampung“. Sama halnya dengan perumahan muslim tadi. Itu kan, sebenarnya merugikan bagi umat muslim sendiri. Pertama karena menjadi eksklusif, kedua mengandaikan yang di luar perumahan muslim berarti bukan muslim. Yang muslim ya, yang berada di perumahan itu. Yang lainnya bukan muslim. Sama halnya kalau kita masuk ke kawasan tertib lalu lintas. Itu kan, berarti di luar kawasan itu kita bisa sakkarepe, to? Boleh nggak pakai helm, SIM, STNK. Kan, tidak berada di kawasan tertib lalu lintas? Keberadaan perumahan muslim ini maksudnya biar kelihatan islami, tapi akhirnya malah kontra produktif bagi umat muslim sendiri. Kasus-kasus intoleransi marak terjadi di Yogyakarta. Sultan sebagai pengayom masyarakat sepertinya tidak cukup baik merespon masalah ini. Menurut Anda? Sebenarnya keraton cukup gelisah dan prihatin dengan aksi-aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Hanya saja keraton tidak cukup adaptif dengan perkembangan perilaku masyarakat yang cenderung lebih vulgar dan dangkal. Politik keraton itu mengedepankan rasa. Jadi menyikapi peristiwa intoleran ini dengan rasa itu tadi. Tapi kan, itu dulu. Kalau sekarang ya, tidak bisa. Harus dengan tindakan tegas. Dulu kalau Sultan mengeluarkan statement yang sifatnya menyindir secara halus itu masih efektif bagi masyarakat. Kalau sekarang kan, tidak. Keraton sebenarnya tidak diam. Hanya saja kemudian tidak mengambil PRANALA { Maret - April 2015 } 21 Wawancara tindakan dengan tegas dan masih menggunakan politik rasa. Bisa juga bagi keraton, masalah intoleransi ini dianggap sebagai masalah biasa yang akan hilang dengan sendirinya. Tapi harus diakui, politik keraton dalam menyikapi masalah intoleran ini memang mengalami penurunan. Padahal dukungan kepada keraton jika mengambil isu tentang toleransi beragama itu tinggi sekali. Kalau dulu keraton mempunyai sumber daya yang cukup kuat untuk membonsai agar Islam tidak masuk ke dalam ranah politik, caranya seperti apa? Ya, pokoknya Islam itu mengurus orang mati dan DALAM PEMIKIRAN SAYA, KELAS MENENGAH MUSLIM INI HARUS MEMBANGUN FASILITASFASILITAS PUBLIK SEBAGAI WADAH BEREKSPRESI BAGI BUDAYA LOKAL INI. DAN DENGAN SENDIRINYA, YANG NAMANYA RADIKALISME ITU AKAN PUDAR. menikah saja. Kemampuan untuk memanage politik Islam itu cukup canggih. Tapi sekarang nampaknya sudah tidak bisa. Seperti penjelasan di awal, dalam 20 tahun ini gerakan Islam politik ini sangat masif, bahkan negara pun tidak bisa membendung munculnya gerakangerakan ini. Negara kesulitan membendung, apakah ini artinya keraton juga memiliki kesulitan yang sama? Pada sisi yang lain, keraton cukup khawatir dengan keberadaan Islam bercorak Timur Tengah yang bisa menjadi “matahari baru”. Dalam politik kekuasaan Jawa tidak di kenal “matahari kembar”. Kalau ada potensi munculnya “matahari baru” pasti ditumpas. Dan yang paling berpotensi ya, gerakan-gerakan Islam, terutama yang dimobilisasi dari pesisir. Jadi pihak keraton memang sudah sejak dulu mewaspadai gerakan-gerakan Islam. Dalam penelitian saya ketika keraton bertindak sebagai penjaga toleransi dan kebudayaan Jawa, maka resonansi kekuasaan keraton itu memudar. Seperti gelombang radio, semakin jauh akan semakin lemah sinyalnya. Tapi kalau isunya tentang persatuan, maka 22 PRANALA { Maret - April 2015 } dukungan di daerah itu tidak pudar. Jadi walaupun jauh secara teritori tapi punya kedekatan secara budaya, maka orang-orang di daerah itu akan mendukung kebijakan keraton. Jadi seperti orang abangan yang ada di Pacitan atau di Ponorogo yang mempunyai kedekatan budaya dengan keraton. Kalau untuk membangun toleransi mereka akan mendukung. Sebaliknya, kalau dekat secara teritori, seperti Kauman, tetap bersikap kritis kepada keraton. Jadi tetap ada potensi untuk berkompetisi secara politik dengan keraton, dan yang paling menonjol ya kelompok Islam ini. Seperti yang saya katakan tadi, kalau keraton bersikap tegas terhadap masalah-masalah intoleransi, pasti akan mendapat dukungan dari masyarakat. Hanya sepertinya masalah intoleransi ini memang uncontroling. Bahkan institusi negara tidak cukup mampu mengatasi masalah ini, termasuk keraton. Anda bisa memberikan contoh? Acara nonton film Senyap saja dibubarkan paksa. Ada organisasi gay mengekspresikan identitasnya juga digrebek. Komunitas Ahmadiyah juga ditekan. Tradisi-tradisi lokal yang hidup di masyarakat dicap syirik, bid’ah. Padahal kalau agama tidak disentuh dengan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal, maka agama itu akan tampil garang. Dan di situ pasti muncul intoleran dan akan tergelincir pada tindakan yang lebih otoriter. Maka di Nahdlatul Ulama (NU) itu bisa hidup berdampingan dengan kaum abangan tanpa ada masalah. Ini karena Islam bisa bertemu dengan budaya-budaya lokal. Sepanjang spirit lokalitas itu tetap diberi ruang untuk berekspresi, maka itu akan menjadi habitat subur bagi tumbuhnya toleransi. Tapi kalau ruang itu dimatikan, maka yang lokal ini akan habis. Tidak punya daya tawar lagi dalam hal toleransi agama. Dalam pemikiran saya, kelas menengah muslim ini harus membangun fasilitas-fasilitas publik sebagai wadah berekspresi bagi budaya lokal ini. Dan dengan sendirinya, yang namanya radikalisme itu akan pudar. Tapi kelas menengah ini yang bermasalah. Sibuk dengan dirinya sendiri. Akhirnya ya, belanja agama itu tadi. Perumahan muslim salah satunya. arie Sudjito,SoSiolog univerSitaS gadjah mada “KULTUR MASYARAKAT JAWA TIDAK MENYUBURKAN GARIS KERAS DALAM AGAMA.” Wawancara oleh: Kamil Alfi Arifin Foto Oleh: Gibbran Prathisara Belakangan ini di Yogyakarta, semakin merebak perumahan-perumahan berlabelkan agama, perumahan-perumahan muslim atau perumahan-perumahan Islam. Ini fenomena apa? Ini merupakan gejala makin menguatnya sentimen identitas di masyarakat, sektarianisme sebagai bagian dari ekspresi pendangkalan relasi antar kelompok. Gejala ini sebenarnya sudah agak lama, dalam berbagai bentuk. Bukan saja mereproduksi identitas agama namun juga etnik, afiliasi politik dan sejenisnya. Ini sebagai sinyal menguatnya pola eksklusif masyarakat baru saat memahami perbedaan. Namun hal semacam ini sebenarnya merupakan gejala yang dialami kota-kota besar, dimana arus perubahan sosialnya pesat. Hal ini tanpa dibarengi orientasi membangun kultur kewargaan yang inklusif. Kalau di Yogyakarta terus terjadi sektarianisme kelompok, berarti ada suasana “kohesi dan inklusi” yang hilang. Hal demikian bisa jadi dampak pembangunan dan kebijakan pemerintah yang keliru, ataukah juga karena masyarakat yang makin pragmatis dan kurang peduli atas situasi seperti ini. Menurut Anda, perumahan-perumahan muslim ini hanya sekedar bentuk eksploitasi kapitalisme (bisnis properti) terhadap agama? Atau semacam penguatan identitas keislaman dan upaya kontrol terhadap ruang yang dilakukan oleh kelompok tertentu untuk kepentingan ideologi tertentu? Hal tersebut perpaduan antara bagian menguatnya sentimen identitas sektarianisme di satu sisi, dengan hasrat komodifikasi para pemilik modal yang berupaya memanfaatkan hal seperti itu untuk kepentingan bisnis. Namun yang namanya kapitalisme itu, apa saja dijadikan komoditas. Mereka selalu berupaya mencari untung, bahkan dengan cara merusak sekalipun. Itulah kenapa kapitalisme itu membahayakan, persis juga bahayanya sektarianisme agama atau etnik. PRANALA { Maret - April 2015 } 23 Wawancara Dalam konteks toleransi, apakah fenomena merebaknya perumahan-perumahan muslim ini tidak “mengganggu”, karena hanya membuat kantong-kantong pemukiman yang tertutup? Kalau pembentukan komunitas itu diikuti oleh sentimen kuat kelompok dan mereproduksinya secara eksklusif, ini akan problematik dalam interaksi antar identitas. Agama apapun atau etnik apapun potensi eksklusif selalu ada. Namun ruang interaksi untuk terbuka saling belajar dan bekerjasama sangat dibutuhkan dalam masyarakat plural seperti Indonesia. Apalagi di Yogyakarta, sikap inklusif dan kerjasama dalam perbedaan sangat diperlukan untuk membangun toleransi. Paling tidak itu bagian dari pertanggungjawabannya sebagai daerah istimewa dalam pengertian positif. Kecenderungan sekat itu, membutuhkan jalan keluar agar tidak mengarah tubrukan atau gesekan yang negatif. Adalah makin diperlukannya ruang publik untuk kerjasama, berdebat dan berdialog dalam kebijakan, dalam praksis kebudayaan maupun cara-cara apapun yang memiliki misi kerjasama dan dialog yang bermartabat. Di perumahan muslim, salah satu persyaratannya harus muslim. Bahkan ini sudah diaktanotariskan oleh pihak pengembang. Sementara warga non-muslim tidak boleh membeli dan tinggal di dalam perumahan muslim. Ada semacam eksklusi, pengeluaran non-muslim dari ruang sosial. Apa ini cermin dari semakin intolerannya masyarakat Jogja sekarang? 24 PRANALA { Maret - April 2015 } PEMERINTAH DAERAH MEMANG KURANG PEKA. IMAJINASI MEREKA SOAL HUBUNGAN ANTAR KELOMPOK SANGAT PRAGMATIS SAJA, TIDAK MEM PERTIMBANGKAN VALUE ATAU SPIRIT MENGELOLA KEBER AGAMAN DIKAITKAN DENGAN PRAKTIK KEBIJAKAN. Sebenarnya gejala eksklusif beberapa kelompok masyarakat di Yogyakarta sudah nampak lama. Baik itu komunitas berbasis kesamaan agama, kesamaan kelas orang kaya, kesamaan etnik dan sejenisnya. Nah, reproduksi hal semacam ini memang potensial konflik, saat berinteraksi dengan kelompok lain jika diikuti rasa saling curiga identitas. Mengapa pemerintah daerah seolah-olah tidak menyadari dan membiarkan masalah ini? Melalui dinas perizinan dan badan penanaman modal dan pelayanan perizinan terpadu, misalnya. Mengapa proses perizinannya tidak dipersulit? Pemerintah daerah memang kurang peka. Imajinasi mereka soal hubungan antar kelompok sangat pragmatis saja, tidak mempertimbangkan value atau spirit mengelola keberagaman dikaitkan dengan praktik kebijakan. Dalam hal informalitas, pemerintah mungkin peduli soal pluralitas, namun urusan kebijakan kadang mereka tidak menyadari bahwa kebijakannya itu menjadi pintu terbentuknya sekat-sekat eksklusif. Atau dalam beberapa hal sadar soal itu, tetapi lebih sadar kepentingan pragmatis ekonomi politik saja. Ini perlu menjadi bahan refleksi pemerintah dan masyarakatnya saat ini dan jangka panjang. Kalau soal perijinan itu instrumen. Tentu hanya mengikuti ideologinya apa. Perumahan-perumahan muslim menimbulkan dampak. Bukan hanya pada persoalan toleransi dan keberagaman, melainkan juga dampak lingkungan, seperti pembangunan mal, hotel dan apartemen yang belakangan dipersoalkan publik. Menurut Anda, bagaimana seharusnya pemerintah daerah bersikap? Sebenarnya kalau soal maraknya kehadiran mal dan apartemen mewah di Yogyakarta itu memang bentuk keserakahan kapitalisme. Itu juga merupakan ekspansi modal yang menguasai arena kebijakan tata ruang kabupaten, kota, juga provinsi. Jadi nggak perlu dan nggak ada kaitannya dengan urusan sentimen yang berasal dari agama. Jangan salah kaprah. Intinya, kapitalisme di Yogyakarta berbentuk pembangunan mal dan apartemen makin merusak kohesi sosial dan tata ruang Yogyakarta. Selain memiskinkan, juga membuat potensi konflik stuktural kian membesar. Yogyakarta menyimpan bom waktu soal pembangunan yang makin tidak ramah lingkungan dan mengancam keadilan sosial jika dibiarkan berlarut-larut soal tata ruang. Mulai marginalisasi, kemacetan, polusi, dan ketimpangan yang dialaminya. Sementara itu, kalau soal watak eksklusif terkait sentimen agama dan etnik juga masalah tersendiri yang memprihatinkan. Ironi jika daerah istimewa justru menghadapi masalah soal relasi perbedaan antar kelompok. warganya sesuai konstitusi. Sebagai daerah istimewa, memang Sultan sebagai pemimpin masyarakat Yogyakarta menjadi ikon tokoh yang menjaga itu. Namun ingat, itu tugas negara dengan alat-alatnya agar bisa memastikan warga negara tidak diintimidasi, tidak direpresi, serta tidak ada diskriminasi oleh kelompok manapun. Kita memang masih berharap Sultan sebagai simbol yang bisa menjaga pluralitas sebagai identitas keistimewaan dengan baik, sekalipun sekarang kian menyusut kecenderungannya. Tantangannya sekarang adalah bagaimana membangkitkan emansipasi warga dan pemimpin komunitas sebagai pilar-pilar penting. Ini untuk mengatasi potensi anarkisme dengan berbagai strategi. Baik wacana, edukasi dan tindakan praksis kemanusiaan yang mencerminkan Yogkarta benar-benar istimewa terkait konteks kerukunan dalam perbedaan. Ricklefs dalam penelitiannya yang terakhir mengemukakan bahwa pasca reformasi, Jawa semakin “hijau”. Semakin terislamkan. Bahkan kata dia, tidak ada penentangan yang signifikan terhadap semakin mengentalnya proses islamisasi ini? Anda setuju? Saya tidak setuju dengan pendapat itu. Konsep keislaman itu secara kontekstual terbuka di Indonesia, termasuk masyarakat Jawa juga Islamnya plural. Sekalipun ada gejala pengentalan kelompok tertentu yang berhaluan keras dalam Islam, toh hal itu tidak mainstream. Struktur dan kultur masyarakat Jawa tidak memungkinkan menyuburkan garis keras dalam agama. Bahkan harus dicatat, sikap kritis banyak dan kuat bermunculan dari golongan Islam moderat dan Islam kultural dalam merespon gejala sektarianisme kelompok keras. Di Jogja, banyak sekali tindakan-tindakan anarkis yang dilakukan oleh kelompok tertentu. Keberadaan Sultan sebagai tokoh masyarakat kemudian dipertanyakan. Bagaimana pandangan Anda? Sebenarnya semua pemimpin formal sebagai representasi negara seperti gubernur, bupati dan walikota beserta aparatnya, harus bertanggung jawab melindungi PRANALA { Maret - April 2015 } 25 Resonansi POLITIK IDENTITAS DAN MASA DEPAN PLURALISME INDONESIA Orasi Ilmiah pada Nurcholis Majied Memorial Lecture III (NMML III) Judul Orasi “Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia”. Source Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=H2FvFQbPHqc Oleh: Ahmad Syafii Maarif D ilihat dari rentang waktu, ilmuwan sosial baru tertarik kepada isu politik identitas pada 1970an. Bermula di Amerika Serikat, ketika menghadapi masalah minoritas, jender, feminisme, ras, etnisitas, dan kelompok-kelompok sosial lainnya yang merasa terpinggirkan, merasa teraniaya. Dalam perkembangan selanjutnya, cakupan politik identitas ini meluas kepada masalah agama, kepercayaan, dan ikatan-ikatan kultural yang beragam. Di Indonesia politik identitas lebih terkait dengan masalah etnisitas, agama, ideologi, dan kepentingankepentingan lokal, yang diwakili pada umumnya oleh para elit dengan artikulasinya masing-masing. Gerakan pemekaran daerah dapat dipandang sebagai salah satu wujud dari politik identitas itu. Isu-isu tentang keadilan dan pembangunan daerah menjadi sangat sentral dalam wacana politik mereka, tetapi apakah semuanya sejati atau lebih banyak dipengaruhi oleh ambisi para elit lokal untuk tampil sebagai pemimpin? Ini merupakan masalah yang tidak selalu mudah dijelaskan. Pertanyaannya kemudian adalah; apakah politik identitas ini akan membahayakan posisi nasionalisme dan pluralisme Indonesia di masa depan? Jika berbahaya, 26 PRANALA { Maret - April 2015 } kira-kira dalam bentuk apa, dan bagaimana cara mengatasinya? Makalah ini akan mendiskusikannya lebih jauh. Tetapi sebelum pembicaraan menukik kepada permasalahan yang muncul di negeri kita, sebagai bahan perbandingan yang cukup relevan dengan situasi Indonesia, kita juga akan melihat berbagai tipe politik identitas di berbagai tempat dan di kalangan diaspora muslim di Barat. Adalah L.A. Kauffman yang pertama kali menjelaskan hakikat politik identitas dengan melacak asal-muasalnya pada gerakan mahasiswa anti-kekerasan yang dikenal dengan SNCC (The Student Nonviolent Coordinating Committee). Sebuah organisasi gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat di awal 1960-an. Siapa sebenarnya yang menciptakan istilah politik identitas itu pertama kali masih kabur sampai hari ini. Tetapi secara substantif, politik identitas dikaitkan dengan kepentingan anggotaanggota sebuah kelompok sosial yang merasa diperas dan tersingkir oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa atau negara. Di sinilah ide tentang keadilan untuk semua menjadi sangat relevan. Di Amerika Serikat, para penggagas teori politik identitas berdalil bahwa praktik pemerasanlah yang membangun kesadaran golongan yang diperas. Khususnya masyarakat kulit hitam, masyarakat yang berbahasa Spanyol, dan etnis-etnis lainnya yang merasa terpinggirkan oleh roda kapitalisme yang berpihak kepada pemilik modal, yang umumnya dikuasai golongan kulit putih tertentu. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia Setelah kita menyoroti tipe-tipe politik identitas di negara-negara lain, tibalah saatnya kita turun ke nusantara untuk mencoba meneropong isu serupa. Ini didasarkan pada pengalaman sejarah dalam rentang waktu 100 tahun terakhir. Dengan uraian ini, nanti saya ingin mengukuhkan posisi intelektual Profesor Nurcholish Madjid dalam kaitannya dengan gagasan besarnya tentang Pancasila yang mungkin dapat diangkat menjadi kalimatun sawâ’ (prinsip/pegangan/proposisi dasar bersama) bagi Indonesia, dulu, sekarang, dan di masa depan. Dengan Pancasila yang dipahami dan dilaksanakan secara jujur dan bertanggungjawab, semua kecenderungan politik identitas negatif-destruktif yang dapat meruntuhkan bangunan bangsa dan negara ini pasti dapat dicegah. Pluralisme etnis, bahasa lokal, agama, dan latar belakang sejarah, kita jadikan sebagai mozaik kultural yang sangat kaya, demi terciptanya sebuah taman sari Indonesia yang memberi keamanan dan kenyamanan bagi siapa saja yang menghirup udara di nusantara ini. Secara historis, pembentukan Indonesia sebagai bangsa baru terjadi tahun 1920-an, dilakukan melalui kegiatan intensif Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda, kemudian dikukuhkan oleh Sumpah Pemuda 1928. Semua peristiwa penting ini terjadi di zaman kolonial periode akhir. Selanjutnya dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, sebuah negara baru yang juga bernama Indonesia, muncul ke atas peta dunia, sekalipun Belanda dibantu Inggris sama sekali tidak rela dengan cetusan kemerdekaan rakyat terjajah ini. Seperti sudah disinggung di atas, bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia bisa saja tertunda sekiranya PD II tidak meledak. Belanda sebagai penjajah memang tidak pernah siap untuk melihat sebuah kemerdekaan bagi nusantara yang sebagaian wilayahnya sudah cukup lama dikuasainya. Indonesia adalah negara kepulauan yang terluas di muka bumi. Jumlah pulaunya lebih dari 17.000, etnisitas, sub-kultur, dan bahasa lokalnya ratusan. Bahkan di Papua saja misalnya, tidak kurang dari 252 suku dengan bahasa khasnya masing-masing. Dari sisi keragaman budaya (pluralisme) ini saja, jika Indonesia bisa bertahan dalam tempo lama, maka menurut saya adalah mukjizat sejarah yang bernilai sangat tinggi. Oleh sebab itu, apa yang bernama politik identitas yang sering muncul ke permukaan sejarah modern Indonesia harus ditangani dan dikawal secara bijak oleh nalar historis yang dipahami secara benar dan cerdas. Saat proklamasi, jumlah penduduk Indonesia adalah sekitar 70 juta. Sekarang di awal abad ke-21 sudah menjadi sekitar 235 juta, membengkak lebih tiga kali lipat sejak 1945, telah muncul sebagai bangsa terbesar keempat di dunia sesudah Cina, India, dan Amerika Serikat. Modal dasar untuk pengawalan keutuhan bangsa itu sudah kita miliki, yaitu; pengalaman sejarah berupa pergerakan nasional, PI, Sumpah Pemuda, Pancasila, dan adanya tekat bulat untuk mempertahankan dan membela keutuhan bangsa dan negara ini. Dalam ranah gerakan sosial keagamaan, ada Muhammadiyah dan NU, dua sayap besar umat Islam, yang telah mengukuhkan dirinya sebagai benteng demokrasi dan pluralisme di Indonesia. Sekalipun sering digerogoti oleh kelakuan politisi salah tingkah dalam berbagai periode sejarah pasca proklamasi, toh, sudah lebih enam dasawarsa, Indonesia masih bertahan dengan segala keberuntungan dan malapetaka yang dialaminya. Tantangan lain yang cukup serius terhadap keutuhan bangsa datang dari berbagai gerakan sempalan agama dengan politik indentitasnya masing-masing. Mereka ini semua anti-Pancasila, anti-demokrasi, dan anti-pluralisme. Bentuk ekstrem dari gerakan sempalan ini yang sering melakukan bom bunuh diri di Indonesia punya akar transnasional pada al-Qaedah dengan tokoh utamanya Osama bin Laden (Saudi) dan Ayman al-Zawahiri (Mesir). Indonesia sangat terganggu oleh perilaku nekat bom bunuh diri ini. Peran Densus 88 yang pada akhirnya bisa menghabisi beberapa tokoh puncak bom bunuh diri ini, seperti Dr. Azahari dan Noordin M. Top (keduanya PRANALA { Maret - April 2015 } 27 Resonansi warga Malaysia), dan beberapa pengikutnya warga Indonesia, patut diberi apresiasi yang tinggi. Di atas sudah dikatakan bahwa politik identitas di Indonesia lebih bermuatan etnisitas, agama, dan ideologi politik. Republik Maluku Selatan (RMS), Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan Gerakan Papua Merdeka (GPM), sebagai misal, adalah perwujudan dari kegelisahan etnis-etnis ini terhadap politik sentralistik Jakarta yang dirasa sangat tidak adil, khususnya bagi Aceh dan Papua. Gerakan Darul Islam (DI) di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan, menggunakan agama sebagai payung ideologi politik identitas mereka. Kecuali GPM yang masih seperti api dalam sekam sampai hari ini, gerakangerakan politik identitas lain seperti tersebut di atas, relatif telah dapat diatasi melalui kekerasan senjata atau diplomasi persuasif. Selain itu, masih di era pasca-proklamasi, Indonesia juga pernah diancam oleh Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, Pemberontakan PRRI/Permesta di akhir 1950-an dan awal 1960-an. PKI menggunakan ideologi Marxisme sebagai politik identitasnya, sedangkan PRRI/ Permesta lebih merupakan gerakan protes terhadap politik Presiden Sukarno yang dinilai telah melanggar UUD 1950 dan sikap pro-PKI yang dirasakan pada periode itu. Untuk Pemberontakan G30S 1965, politik identitas apa yang memicunya, masih kontroversial sampai hari ini. Pemerintahan Soeharto, yang didukung oleh pendapat beberapa penulis domestik dan asing, mengatakan bahwa PKI-lah sebagai otak utama tragedi itu. Penulispenulis kiri berpendapat sebaliknya. Jika pun ada unsur PKI terlibat, partai ini hanyalah terseret arus oleh persaingan dalam tubuh Angkatan Darat (AD). Sedangkan di mana posisi Presiden Sukarno dalam tragedi itu, masih perlu dikaji lebih jauh. Karena masalah ini sudah banyak dikupas oleh berbagai kalangan, sekalipun belum juga tuntas, saya tidak ingin untuk saat ini berbicara banyak tentang peristiwa berdarah yang terjadi di kalangan sesama anak bangsa ini. Sekarang saya beralih kepada realitas politik Indonesia kontemporer. Yang menjadi burning issues dalam kaitannya dengan masalah politik identitas sejak 11 tahun terakhir ialah munculnya gerakan-gerakan radikal atau 28 PRANALA { Maret - April 2015 } setengah radikal yang berbaju Islam di Indonesia. Sebagaimana partner mereka di bagian dunia lain, gerakangerakan ini juga anti-demokrasi dan anti-pluralisme, dan sampai batas-batas yang jauh juga anti-nasionalisme. Secara ideologis, mereka ini jelas mendapat inspirasi dan pengaruh dari gerakan Islamis dan Salafi yang semula berpusat di beberapa negara-negara Arab, kemudian dengan kecepatan tinggi menyebar ke seluruh jagat. Untungnya di Indonesia, sebagian besar masjid masih di bawah pengawalan Muhammadiyah dan NU, sekalipun ada beberapa yang terinfiltrasi oleh virus ideologi serba radikal itu. Sekalipun gerakan Islamis dan Salafi ini terdiri dari berbagai faksi di Indonesia, dalam satu hal mereka punya tuntutan yang sama; pelaksanaan Syariah Islam dalam kehidupan bernegara. Faksi-faksi yang ingin kita bicarakan di sini ialah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI) , dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sedangkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang sesungguhnya adalah partai Islamis yang sangat dipengaruhi oleh cita-cita al-Ikhwan al-Muslimun (Persaudaraan Muslim), bentukan Hassan alBanna tahun 1928 di Mesir, menempuh jalan demokrasi untuk mencapai tujuannya. Apakah cara-cara demokrasi itu sebagai taktik PKS sebelum menjadi kekuatan politik besar atau memang telah menerima demokrasi sebagai sebuah sistem politik, belum dapat dikatakan sekarang. Kita akan kembali lagi ke PKS ini pada bagian akhir makalah ini. Tetapi satu hal yang pasti adalah bahwa semua gerakan Islam yang sedang kita sorot ini telah menjadikan Islam sebagai politik identitas mereka. Bedanya adalah MMI, FPI, dan HTI, tidak menyebut diri sebagai gerakan politik, sekalipun melakukan fungsi politik, sedangkan PKS jelas-jelas sebuah partai politik dan sekaligus partai dakwah. Kita bicarakan sekadarnya tentang MMI, FPI, dan HTI. Sebenarnya literatur sudah tersedia yang membahas faksi-faksi Islam radikal ini. Seperti sudah dikatakan, semua faksi ini bersikeras untuk pelaksanaan syariah dalam kehidupan bernegara. MMI misalnya sangat menyesalkan tersingkirnya Piagam Jakarta, khususnya pencoretan tujuh kata dari sila pertama Pancasila yang berbunyi ”dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada 18 Agustus 1945 atas prakarsa Hatta. Bagi MMI, penolakan arus besar umat Islam Indonesia terhadap pelaksanaan syariah secara konstitusional dengan sendirinya dapat masuk dalam kategori ”kafir, fasiq, dan zalim.” Berikutnya, kita lihat FPI yang didirikan 17 Agustus 1998 di Pesantren Al-Umm, Ciputat, Tangerang, diprakarsai oleh beberapa habib dan kyai. Tentang latar belakang kelahirannya, dikatakan bahwa umat Islam telah lama menjadi korban penindasan, seperti yang berlaku di Aceh, Lampung, Tanjung Priok, Haur Koneng, dan Sampang, tetapi tidak terungkap dan tidak mendapat keadilan. Tetapi ada sebuah ironi di sini. Tersiar berita bahwa ada oknum tentara hadir dalam pertemuan itu, bahkan memberikan bantuan dana dan latihan militer. Apa artinya ini? Tidak lain; oknum militer sedang main api yang dapat membakar Indonesia untuk jangka panjang. Sekiranya kelompok-kelompok radikal ini dibiarkan melakukan tindakan-tindakan kekerasan atas nama agama, seperti yang dilakukan atas gereja, Ahmadiyah, dan lain-lain, sementara aparat tidak mencegah perbuatan kriminal mereka. Bagi FPI, segala tindakan kekerasan itu dinilai sebagai bagian dari prinsip nahi munkar (mencegah kemungkaran). Yang biadab adalah bahwa tindakan kekerasan itu dilakukan dengan cara-cara yang munkar oleh aparat swasta. Kemudian kita lihat selintas HTI. Berbeda dengan MMI dan FPI yang bercorak lokal Indonesia, HTI adalah gerakan politik transnasional yang pertama kali digagas antara lain oleh Taqiyuddin al-Nabhani, sempalan dari Ikhwan. Tujuan akhir perjuangan politik mereka adalah terciptanya sebuah kekhilafahan yang meliputi seluruh dunia Islam di bawah satu payung politik. Bagi HTI, khilafah adalah satu-satunya sistem politik yang sejalan dengan kehendak Syariah. Salah seorang tokoh HTI, M. Shiddiq al-Jawi, dalam sebuah diskusi buku di Padepokan Musa Asyarie (PADMA) Yogyakarta beberap waktu yang lalu, dengan nada optimis mengatakan bahwa kekhilafahan yang dibayangkan itu akan berdiri tahun 2020. Tidak dijelaskan bagaimana semuanya itu akan terjadi. Tokoh HTI yang lain, Farid Wadjdi, ketika menyoroti demokrasi dengan prinsip ke daulatan rakyatnya, tegas-tegas mengatakan bahwa demokrasi itu sistem kufur. Menurut HTI, kekhilafahan juga sebagai realisasi negara syariah. Oleh sebab itu, formalisasi syari’ah harus dilakukan oleh negara. Sedangkan dalam sebuah negara-bangsa, seperti Indonesia, cita-cita ke arah realisasi syari’ah menjadi tidak mungkin. Dalam perspektif ini, bagi HTI, konsep-negara bangsa itu tidak lain hasil rekayasa penjajah yang kafir. Kesimpulan kita tentang HTI. Sekalipun diembeli dengan perkataan Indonesia, organisasi ini jelas bercorak transnasional, di mana bangunan negara-negara bangsa harus dilebur. Bukankah angan-angan semacam ini tidak lain dari sebuah utopia mereka yang berusaha lari dari kenyataan? Tetapi kritik HTI terhadap praktik demokrasi di berbagai tempat, bukan substansinya yang menempatkan setiap warga pada posisi yang setara dalam sebuah negara, mengandung beberapa unsur kebenaran. Pertanyaan saya adalah; mengapa HTI menutup mata terhadap praktik busuk ”kekhilafahan” yang dipaksakan PRANALA { Maret - April 2015 } 29 Resonansi PANCASILA SEBAGAI DASAR FILOSOFI NEGARA TIDAK DIBIARKAN TERGANTUNG DI AWANG-AWANG, TETAPI DI HAYATI DAN DILAKSANAKAN DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH DAN PENUH TANGGUNG JAWAB. dalam berbagai periode sejarah Muslim? Bukankah sistem khilafah selama berabad-abad telah membunuh prinsip egalitarian yang diakui dalam demokrasi, yang begitu tegas dinyatakan dalam al-Qur’an? Pandangan yang ahistoris semacam inilah yang mengkhawatirkan saya; bahwa HTI berangan-angan menciptakan sebuah ”imperialisme agama” pada skala global, yang menurut Shiddiq al-Jawi akan menjadi kenyataan pada tahun 2020. Tinggal 11 tahun lagi dari sekarang. Kelompok-kelompok radikal ini, dengan kemungkinan perbedaan dan bahkan konflik di antara berbagai faksi di kalangan mereka, menurut Yusuf al-Qardhawi termasuk dalam kategori mazhab Zha hiriyyah baru dengan enam ciri yang menonjol; pemahaman dan penafsiran yang literal, keras, dan menyulitkan, sombong terhadap pendapat mereka, tidak menerima perbedaan pendapat, mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dengan mereka, dan tidak peduli terhadap fitnah. Kita turunkan salah satu ciri saja, yaitu mudah mengkafirkan orang yang berbeda pendapat. Jika sikap mudah mengkafirkan orang-orang yang berlainan pendirian ini menyebar, maka sudah bisa dibayangkan bahwa yang akan terjadi adalah makin buyarnya suasana persaudaraan muslim yang memang sudah lama rusak. Dengan kata lain, ”Mereka memonopoli kebenaran, sebuah keangkuhan teologis yang muaranya satu; menghancurkan peradaban dengan memakai lensa kacamata kuda!” Akhirnya untuk menutup bagian ini, kita kembali kepada PKS. Dalam dokumen resmi partai disebutkan bahwa PKS tidak menolak demokrasi, pluralisme, dan nasionalisme Indonesia. Bahkan, menurut dokumen itu, dengan berpedoman kepada Piagam Madinah, PKS menerima kenyataan pluralitas agama dalam masyarakat 30 PRANALA { Maret - April 2015 } Indonesia. Lalu untuk meredam pengaruh gerakan radikalisme Islam, umat Islam perlu memiliki gerakan Islam politik dalam sistem demokrasi. Tentu yang dimaksud dengan gerakan Islam di sini adalah PKS sendiri. Sekalipun belum ada kupasan yang agak mendalam tentang pluralisme dan nasionalisme, PKS secara tertulis menerima kedua prinsip itu. Persoalannya kemudian adalah; apakah penerimaan ini sebagai siasat politik sementara atau memang PKS telah menyesuaikan perjuangannya dengan realitas sosiologis masyarakat Indonesia? Jawabannya tidak mungkin diberikan sekarang. Kita masih harus menunggu sampai suatu ketika sekiranya PKS pegang kekuasaan dan telah membesar. Bila partai ini konsisten dengan apa yang dikatakan dalam dokumen resminya, maka corak Islamis yang menjadi ciri utama Gerakan Ikhwan di negara-negara Arab dan di negara-negara lain telah mengalami perubahan orientasi mendasar di tangan PKS. Yang dimaksud dengan corak Islamis ialah suatu cita-cita politik untuk melaksanakan Syariat Islam dalam sistem kenegaraan dengan mencantumkannya dalam konstitusi sebuah negara. Dengan kata lain, terciptanya sebuah negara Islam atau negara berdasarkan Islam, sebagaimana yang dulu pernah diperjuangkan oleh kekuatan politik Islam dalam Majelis Konstituante (1956-1959) di Indonesia. Posisi PKS belum terlalu jelas, apakah sudah menerima Pancasila sebagai sesuatu yang sudah final atau masih berfikir untuk alternatif yang lain. Akhirnya Politik identitas dalam bentuk apa pun tidak akan membahayakan keutuhan bangsa dan negara ini di masa depan, selama cita-cita para pendiri bangsa tentang persatuan dan integrasi nasional, semangat Sumpah Pemuda yang telah melebur sentimen kesukuan, dan Pancasila sebagai dasar filosofi negara tidak dibiarkan tergantung di awang-awang, tetapi dihayati dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Kesungguhan dan tanggung jawab inilah yang sering benar dipermainkan oleh orang yang larut dalam pragmatisme politik yang tuna-moral dan tuna-visi. Sikap semacam inilah yang menjadi musuh terbesar bagi Indonesia, dulu, sekarang, dan di masa datang. Tagar Netizen Pertanyakan Toleransi di Yogyakarta Oleh: Kamil Alfi Arifin Para netizen menggugat dan mempertanyakan toleransi di Yogyakarta. Ini seiring dengan banyaknya tindakantindakan anarkis yang terjadi. Mereka juga memandang perlu adanya ruang publik yang lebih bisa menghormati perbedaan. Dalam beberapa tahun belakangan, toleransi di Yogyakarta mulai digugat dan dipertanyakan oleh publik. Saat tindakan-tindakan anarkis dan intoleran semakin marak terjadi dan berulang-ulang, sebutan “City of Tolerance” untuk kota ini hanya dianggap sebagai mitos. Bisa dianggap ini sebagai sekadar slogan kosong yang semakin menjauh dari realitasnya. Begitu mudah menyebut banyaknya tindakan anarkis dan intoleran tersebut. Sebut saja misal beberapa di antaranya; pembubaran diskusi bersama Irshad Manji yang diadakan LkiS, penyerangan terhadap Julius Felicianus, pembubaran diskusi dan seminar tentang gay di kampus Sanata Dharma, pembubaran paksa nonton bareng film Senyap dan masih banyak yang lainnya. Atas tindakan-tindakan kekerasan itu, publik kecewa dan mempersoalkan toleransi di Yogyakarta. Ini juga terjadi di dunia sosial media. “Kemana perginya toleransi?? ,” tulis Yuviana Lestari di twitternya denganakun @uv_ana saat merespon kasus penyerangan pada Julius Felicianus beberapa waktu lalu, sambil membagikan tautan berita Kompas yang berisi sikap Komnas HAM yang mengecam para pelaku biadab itu. Senada dengan Yuviana, salah seorang netizen lain, Astri Kusumawardani dengan akun @astricyrene, juga mempertanyakan hal yang serupa. “Kenapa di Jogja jadi banyak kekerasan… kenapa kekerasan di Jogja makin banyak..toleransi hilang dan orang-orang semena-mena,” keluhnya. Ancaman terhadap toleransi memang sedang menguat di berbagai tempat di Indonesia, termasuk di Yogyakarta. Hal itu diteguhkan oleh sebuah LSM Inggris, Christian Solidarity Worldview (CSW) belum lama ini. Menurut lembaga tersebut, seperti dilansir media online KBR, pluralisme dan toleransi di Indonesia sedang berada dalam ancaman serius. Dalam laporan CSW tahun 2014, setidaknya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pluralisme dan toleransi berada dalam bahaya dan tindakan-tindakan anarkis yang intoleran meningkat cukup signifikan. Pertama, penyebaran ideologi ekstrimis melalui pendidikan, ceramah dan penyebaran literatur, penerbitan pamflet dan buku-buku, DVD, dan CD, melalui internet. Kedua, kasus intoleransi juga dipicu penerapan undang-undang dan peraturan yang PRANALA { Maret - April 2015 } 31 diskriminatif. Hal ini diperparah dengan lemahnya penegakan hukum oleh polisi dan pengadilan. Ketiga, ketidakmampuan mayoritas Islam di Indonesia untuk menolak intoleransi. Dalam konteks di Yogyakarta, netizen makin sedih. Terutama saat menyadari jika Yogyakarta saja yang selama ini dijadikan parameter dan rujukan bagi kota-kota lain dalam mengembangkan masyarakat yang multikultur dan toleran, tak terhindarkan dari adanya ancaman tindakan-tindakan anarkis. Pertanyaannya, bagaimana dengan kota-kota yang lain, yang memang dikenal sebagai kota yang eksklusif dan tak terbuka? Seorang netizen dengan akun @Okky Soetanto meratap, “Oh Jogja kenapa seperti ini…di daerah yang toleransi kuat…masih saja ada aksi intoleransi,” ujarnya. Tindakan-tindakan anarkis dan intoleran di Yogyakarta tersebut, oleh sebagian kalangan, dipandang tidak melulu merupakan masalah teologis, apalagi dipersempit dan dilokalisir sebagai konflik islam dengan agama lain. Melainkan kadang, kata mereka, problemnya adalah masalah sosiologis. Sebuah lembaga studi yang bergiat dalam persoalan pluralisme dan multikulturalisme di Yogyakarta (Impulse), dalam status facebooknya menegaskan hal itu. Lembaga itu merespon kasus penyerangan jamaat yang sedang berdoa rosario. Penyerangan yang dilakukan oleh ormas tertentu. “Massa yang mengenakan atribut mirip anggota Front Pembela Islam (FPI), menyerang sekelompok jemaat yang sedang berdoa rosario. Penyerangan ini, seakan merupakan konflik dua agama; Kristen vs Islam. Tapi hati-hati, anggapan seperti itu terlalu simplistis. Serangan yang memang marak terjadi oleh kalangan mengatasnamakan ormas Islam, bukanlah perang teologi. Hal itu sebab utamanya, karena perebutan lahan semata. Artinya, konflik berada pada ranah sosiologis, bukan teologis,” tulisnya. 32 PRANALA { Maret - April 2015 } Dalam status facebooknya yang lain, Impulse Jogja juga menegaskan perlunya membangun dialog antar etnis dan antar agama untuk meminimalisir tindakan-tindakan anarkistis. Upaya membangun dialog lintas iman dan kesukuan ini, harus mutlak dibarengi juga dengan dibangunnya ruang-ruang publik yang bisa diakses oleh semua pihak. “Tampaknya di Yogya yang toleran ini tidak punya ruang publik, yang gratis, dan mampu diakses oleh semua publik di Yogyakarta,” kritiknya. Impulse menegaskan bahwa persoalan intoleransi tidak harus selalu menyangkut persoalan agama, melainkan masalah “keruangan” di Yogyakarta. Di jalan raya, misalnya, orang biasa berebut satu sama lain, saling sikut dan bahkan misuh-misuh. Hal ini merupakan sebuah potret sikap intoleransi masyarakat Yogyakarta di jalan raya. Yogyakarta sudah mengalami banyak perubahan, terutama perubahan demografi penduduknya. Seorang antropolog, Agus Indianto, dalam sebuah diskusi bertajuk “Perubahan Demografi Masyarakat Terhadap Dinamika Perbedaan di Yogyakarta”, yang diadakan di kampus UKDW oleh sebuah lembaga lintas agama, Interfidei, juga memandang urgennya Yogyakarta memiliki ruang publik untuk mengurangi konflik perbedaan. Menurutnya, perubahan demografi penduduk di Yogyakarta menimbulkan masalah-masalah serius yang mesti disikapi dengan serius pula. “Perubahan penduduk di Jogja menimbulkan 3 potensi: konflik keruangan, hilangnya ruang sosial, intoleransi. Jogja perlu ruang simbolik untuk orang saling berbicara dengan bahasa yang sama agar terjadi interaksi, saling memahami,” ujar Indianto, seperti dikutip oleh akun @Dian_Interfidei di twitternya. Resensi JALAN RAYA; SEBUAH JALAN MENUJU TOLERANSI? Oleh: Ahmad Alwajih Mahasiswa Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Berbicara mengenai toleransi, sebenarnya tidak melulu gagasan besar yang hanya bisa dijumpai di puncak menara gading ilmu pengetahuan. Ia adalah “ruang” nyata dan tertangkap panca indera tanpa kita sadari. Ruang itu bernama “jalan raya”. Tengoklah Jalan Kaliurang, Yogyakarta Pada jam-jam berangkat-pulang kerja, hampir seluruh Judul Buku Penulis Penerbit Cetakan Tebal : Negara di Persimpangan Jalan Kampusku : Hani Raihana : Kanisius : Kelima, Tahun 2011 : 158 Halaman ruas jalanan kota macet oleh kendaraan bermotor. Hingar-bingar bunyi klakson, entah marah atau tergesa, memaksa mereka yang ada di depan untuk menyingkir secepatnya. Hampir semua kendaraan bermotor melakukan hal yang sama. Belum lagi bicara tentang semakin sesaknya dada akibat polusi dari knalpot kendaraan bermotor. Kesemua itu adalah fragmen pemandangan yang kini seakan lumrah dalam siklus keseharian warga Yogyakarta. Seiring bertambahnya waktu, pemandangan ini semakin memadati kedua mata kita. Dan bagaimana dengan nasib pesepeda dan pejalan kaki? PRANALA { Maret - April 2015 } 33 Resensi Meski usia terbitnya buku ini sudah usang, yakni di tahun 2007 silam, tetapi agaknya fragmen kehidupan di Jalan Kaliurang tersebut masih pantas disimak. Isu dalam buku Hani Raihana ini masih hangat untuk diperbincangkan. “Negara di Persimpangan Jalan Menuju Kampusku” adalah sebuah upaya merefleksikan gagasan tentang jalan, di luar makna ia hanya sekedar menjadi bagian dari prasarana transportasi. Benar apabila ada yang mengatakan jalan adalah tempat kendaraan berlalu-lalang. Namun, kesimpulan ini terlalu tergesa-gesa dan teramat reduktif. Sebab, jalan di sisi yang lain adalah ruang penuh makna juga. Seperti diungkapkan Marco Kusuma Wijaya dalam sekapur sirih buku ini, jalan memiliki banyak arti seperti “jalan kebenaran”, “jalan simpang”, “jalan buntu”, dan “jalan terbuka.” Oleh karena tidak bisa direduksi semata prasana angkutan itulah, maka jalan seharusnya bisa menjadi ruang publik. Ia tempat bertemunya berupa-rupa gagasan. Di sini satu isu menarik yang hendak dibidik adalah garis penghubung antara jalan, negara, dan toleransi para penggunanya. Sementara konteks yang dipilih adalah Yogyakarta, terkenal akan kota para pesepeda dan predikatnya sebagai “city of tolerance”. Minimnya Toleransi Sesama Pengguna Jalan Pada bagian-bagian awal pembahasan, Hani menyeret ingatan kita ke kondisi jalan Yogyakarta di masa lalu. Dulu, ketika jalan belum diramaikan oleh kendaraan bermotor, orang masih bisa saling bertemu sapa sekaligus berbagi informasi. Gambaran ini tampak pada momen ketika sepeda masih mendominasi jalan di Yogyakarta. Para pekerja berangkat beriringan dari Bantul dan berpencar di Gondomanan ke tempat kerja masing-masing, lalu bertemu kembali di persimpangan saat sore, saling bersisian, bercanda, dan berkeluh kesah. Jika dilihat secara historis, asal muasal konsep tentang jalan sebenarnya sudah dibangun sejak kolonial, yang membuka jalan fisik dari Anyer 34 PRANALA { Maret - April 2015 } sampai Panarukan. Logika yang dipakai tentunya pertimbangan ekonomi-politik eksploitatif kolonial. Tidak hanya memakan korban, tetapi juga ada yang tertinggal sejak proses itu dimulai, yaitu edukasi. Pembangunan fasilitas fisik ternyata tidak berimbang dengan penyiapan-penyiapan mental yang mendidik para manusianya untuk menggunakan jalan. Itulah kenapa masih kerap dijumpai tidak hanya pelanggaran lalu lintas, tetapi juga arogansi dari masing-masing pengguna jalan. Celakanya, kondisi ini kerap tidak disadari (atau diabaikan?) oleh pemerintah sebagai pihak pemegang otoritas jalan, sehingga logika pembangunan fisik masih menjadi tolok ukur kemajuan suatu daerah. Maka kesemrawutan di jalan adalah wajah pemerintah juga. Di sinilah Hani memaknai jalan sebagai ranah perjuangan, tempat bagi individu dan modal berinteraksi UNTUK MEREDAKAN GEJOLA SUDAH ADA BEBERAPA SOLUS PELEBARAN JALAN DI BEBE JUAN UNTUK MENGURANGI K INI CENDERUNG PROBLEMA PULA OLEH PENGENDALIAN TOR DI JALAN YANG dan berjuang hingga menentukan posisi. Sepeda memiliki modal kebal dari peraturan lalu lintas, motor dengan kegesitan dan iritnya, dan mobil dengan segala kenyamanannya. Mobil memberi ruang kepada motor, motor memberi ruang kepada sepeda, dan seterusnya, sampai pemberian ruang kepada pejalan kaki. Faktanya, para pengguna jalan ini justru menganggap jalan itu arena perebutan ruang. Sepeda wajib mengalah kepada motor, motor harus memberi jalan pada mobil, dan mobil dengan segala modal yang dimilikinya menjadi penguasa tunggal jalanan. Maka, mereka ini diibaratkan para pelaku yang sadar tentang aturan main, tetapi menghendaki ruang untuk dapat eksis, bahkan kalau bisa menguasainya. Lalu dimanakah makna “city of tolerance”? Toleransi bukan semata soal penerimaan akan agama, budaya, atau etnis yang berbeda. Dari kondisi di jalan, kita akan tahu bahwa toleransi juga persoalan kenyataan sehari-hari yang lekat dengan saling kelindan sosial-ekonomi-budaya-politik. Di jalan, toleransi adalah dengan memberi ruang pada pengguna jalan lain untuk hidup berdampingan berdasarkan nilai dan tujuan bersama, selayaknya bertetangga. Lebih jauh lagi, carut-marutnya kondisi lalu lintas di Yogyakarta bisa dilihat sebagai cermin tentang kondisi umat beragama. Jangan-jangan selama ini agama hanyalah simbol idelogis belaka dan belum menyentuh hakikat kehidupan pemeluknya? Janganjangan inilah wajah toleransi dan multikulturalisme yang selama ini diidealkan, tak mau tahu, hipokrit, dan sikap kesemau-gue-an, antara satu individu dengan yang lain? (hal:132-134) AK DI JALAN, SEBENARNYA SI YANG LUMAYAN. SEMISAL, ERAPA TEMPAT YANG BERTU KEMACETAN. NAMUN, SOLUSI ATIS KARENA TAK DIIKUTI JUMLAH KENDARAAN BERMO SEMAKIN BERTAMBAH. Tentu ironis. Jangankan memberi ruang, bahkan di jalan, kita seakan sudah tak mampu lagi berdialog. Komunikasi antar pengguna jalan hanyalah bersifat simbolik belaka. Antara lain terwujud dari nyalak bunyi klakson, lampu-lampu sein, dan sesekali umpatan. Bagaimana dengan Pengguna Jalan yang Lain? Jika dicermati lebih teliti, sebenarnya pengguna jalan tidak sebatas pada pengendara motor, mobil, pesepeda, maupun pejalan kaki. Di sana masih dijumpai para pedagang kaki lima, warung-warung, pengamen, polisi, tukang parkir, sampai yang kerap terpinggirkan selain pesepeda adalah kaum difabel. Namun, kita tak boleh melupakan, bahwa jalan tak hanya sesak oleh manusia, tetapi juga simbolsimbol kapitalisme, yang kesemuanya seakan berebut perhatian dari para pengguna jalan. Jalan akhirnya menjadi arena kontestasi simbol, dimana yang paling banyak menyedot perhatianlah yang akan menang. Akibat dari kurangnya kontrol terhadap logika ini, maka ukuran papan reklame semakin bertambah dari hari ke hari. Akhirnya kerap terdengar kabar tentang papan reklame berukuran raksasa yang jatuh dan melukai para pengguna jalan ketika hujan disertai angin kencang tengah melanda. Ruang-ruang kota Yogyakarta disulap menjadi roda penggerak ekonomi belaka karena adanya pergeseran dari masyarakat produktif menuju masyarakat yang semakin konsumtif. Dalam logika ini, jalan kemudian dipandang sebatas penghubung kegiatan kapitalisme. Bukan lagi sarana yang memprioritaskan manusia atau memberi kesempatan pada interaksiinteraksi sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Mencari Titik Terang Dalam Konteks Saat Ini Sampai di titik ini, buku Hani tidak hanya mengajak untuk kritis terhadap kondisi jalan. Namun memancing sebuah pencarian solusi secara konkret. Ada dua isu yang ditawarkan. Pertama, solusi dari segi fisik. Untuk meredakan gejolak di jalan, sebenarnya sudah ada beberapa solusi yang lumayan. Semisal, pelebaran jalan di beberapa tempat yang bertujuan untuk mengurangi kemacetan. Namun, solusi ini cenderung problematis karena tak diikuti pula oleh pengendalian jumlah kendaraan bermotor di jalan yang semakin bertambah. Maka, alternatif kedua, sebagaimana sering disinggung oleh Hani, adalah meng-upgrade dari segi nonfisik, sebutlah edukasi mentalitas pengguna jalan. Tentu dibutuhkan studi-studi lanjutan yang mendalam. Harus ditemukan cara terbaik untuk menggugah kesadaran para pengguna jalan, agar jalan tidak lagi dilihat sebagai arena perebutan kuasa semata. Jalan adalah ruang tempat bertemunya “dialog-dialog” manis, agar antar pengguna jalan mau belajar bersikap toleran terhadap sesamanya. PRANALA { Maret - April 2015 } 35 Tindak Kekerasan dalam Perspektif Masyarakat Konsumtif Oleh: Moh. Fathoni, M.A ( Direktur Karimata Institute ) Dewasa ini, konflik dan kekerasan cenderung sering terjadi. Terbukanya ruang publik, kebebasan, dan terbentuknya organisasi masyarakat sipil tidak selalu berkorelasi dengan tiadanya kekerasan. Sedangkan kampaye nir-kekerasan di Indonesia tampaknya belum berhasil. Di pihak lain, kekerasan yang terorganisir menunjukkan kematangan dalam logikanya sendiri. Tulisan ini akan membahas persoalan tindak kekerasan dari cara pandang aktor kekerasan dalam rangka untuk memahami persoalan toleransi dan kekerasan, dengan asumsi; 1) bahwa tindak kekerasan yang mereka lakukan rasional, 2) rasionalitas mereka sejajar dengan logika konsumen dalam perspektif masyarakat konsumtif, dan 3) kedua hal tersebut mengandaikan adanya kondisi, dimana toleransi sulit diwujudkan jika mengabaikan kondisi masyarakat konsumtif. 36 PRANALA { Maret - April 2015 } Kekerasan Terorganisir Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) melaporkan jumlah korban akibat kekerasan selama 2014 di 34 provinsi, yakni sekurang-kurangnya 2.943 korban tewas dan 22.118 cedera dari 27.775 insiden dan 26 persen adalah konflik.1 Jumlah ini sangat memprihatinkan. Sebelumnya, pada 2012, Center for Strategic and International Studies (CSIS) melakukan survei yang menunjukkan bahwa pemeluk agama tertentu tidak nyaman hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain.2 Belakangan di beberapa daerah terjadi intimidasi dan intoleransi terhadap minoritas atau pihak yang berbeda agama, kepentingan, dan beragam perbedaan lainnya. Dalam melakukan aksinya, aktor kekerasan tersebut berorganisasi dan berafiliasi dengan kelompok tertentu serta mengatasnamakan aksinya. Diantaranya, aktor tersebut seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI), Gerakan Reformis Islam (GARIS), Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI), Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat (GAPAS), Forum Anti-Komunis Indonesia (FAKI) dan lainnya. Motif atau pesan yang diangkat oleh aktor kekerasan tersebut adalah persoalan agama dan paham komunisme. Persoalan tersebut tampak pada pernyataan, tanda dan identitas yang sengaja dimunculkan, seperti muslim sejati, Islam kaffah, anti-maksiat dan pemurtadan/ sesat, atau yang terkini misalnya; masyarakat madani. Hal ini menandakan bahwa terdapat pergeseran isu dan pesan yang digunakan sesuai dengan kondisi tertentu. Dalam aksinya organisasi-organisasi tersebut juga secara progresif menyebarkan pesan intoleransi dan kebencian yang berujung pada kekerasan terhadap pihak yang tidak hanya minoritas, tapi juga pihak yang sudah mereka tandai. Organisasi juga memiliki logika dan moralitas sendiri sehingga tindakan yang dilakukan bukan berarti irrasional dan tidak beralasan. Bahkan organisasi tersebut juga memiliki akses, mendapat sponsor, dan berpartner dengan pihak keamanan, FPI misalnya.3 Ketika anggota organisasi ini ditangkap polisi karena bertindak kekerasan, mereka hanya dituntut dan dihukum ringan.4 Dengan demikian, insiden-insiden kekerasan tersebut tidak dapat dilepaskan dari keterkaitan dengan logika dan cara pandang, sensitifitas dan mentalitas, dan moralitas sekelompok orang “menyerang” orang atau pihak lain yang tidak hanya dianggapnya berbeda, tapi juga yang sudah mereka jadikan sasaran atau target tertentu, sehingga aksinya berhasil dan pesan yang mereka usung sampai pada publik. Organisasi yang mengatasnamakan “masyarakat madani” dapat dikatakan mengusung pesan bahwa “masyarakat madani” itu anti-demokrasi, atau “agama” menolak demokrasi. Apa yang dilakukan organisasi tersebut telah membentuk penafsiran “masyarakat madani” dan “demokrasi”, sesuai dengan perspektif mereka. Maka, secara tidak langsung mereka berhasil mengacaukan dan memberi makna baru terhadap “masyarakat madani” dan “demokrasi”, termasuk “agama Islam” dan “Pancasila”. Yang menarik lagi, bahwa aksi anti-Komunisme, antiAhmadiyah dan anti-Syiah dipandang sebagai sebuah pesan. Sebuah tanda bahwa terdapat masyarakat yang menentang paham komunisme dan aliran Islam tersebut sehingga regulasi-regulasi yang legal dan fatwa atau opini yang sejalan dengan penentangan tetap memiliki relevansi dengan pekerjaan mereka.5 PRANALA { Maret - April 2015 } 37 Perspektif Tindak Kekerasan Sebagai Pekerjaan Keberhasilan dan relevansi tersebut bukan terjadi karena kebetulan. Di atas disebutkan bahwa organisasi ini memiliki relasi dengan pihak tertentu, termasuk otoritas dan keamanan misalnya.6 Maka diasumsikan bahwa mereka menjadi “pekerja” untuk mengerjakan suatu “tugas” tertentu, atau yang jelas bahwa mereka memiliki visi dan misi sendiri yang sejalan dengan kepentingan tertentu. Mereka juga memiliki moralitas atau etika baru, sehingga yang dilakukan merupakan “sebagian dari perjuangan”.7 Dalam perkembangannya, organisasi ini menggunakan isu dan pesan yang menjadi trend kekinian. Pada 2005, setahun setelah bangkit yang sebelumnya sempat beku (2002-2004), seorang anggota FPI mengatakan bahwa nasionalisme dan kebangsaan sudah ketinggalan zaman, kini anti-kemaksiatan atas nama Islam jauh lebih seksi.8 Maka, dapat dikatakan bahwa organisasi ini mengalami pergeseran visi; dari bela bangsa ke persoalan simbolik, tetapi cara bertindak mereka tetap konsisten, kecuali mereka tetap melakukan tindakan intimidasi, ancaman, perusakan, pembakaran, atau kekerasan lainnya yang mengatasnamakan bangsa (dulu) atau agama (kini). Sebagaimana logika dan moralitas mereka, tindak kekerasan yang mereka lakukan tersebut adalah benar. Benar dalam artian sesuai dengan acuan moril organisasi. Benar dalam pengertian bahwa tindakan mereka dipandang sebagai “perjuangan” (dulu) atau “jihad”, “saleh”, “muslim sejati” (kini). Apabila mereka melakukan tindak kekerasan mereka seperti orang yang dianggap semacam “pahlawan”. Pahlawan adalah sebuah tanda yang dilekatkan secara sosial sesuai dengan moral yang menjadi acuan mereka. Maka, jika mendapatkan identitas tersebut mereka akan bangga, dihargai dan dihormati diantara sesama mereka. Hal ini semacam pencapaian prestisius, seperti pemenang dari sebuah persaingan. Sayangnya, persaingan tersebut hanya sebatas di antara kelompok mereka sendiri. Artinya, di luar mereka, tindakan tersebut belum tentu disebut prestisius dan belum tentu mendapat pengharagaan sebagaimana di dalam logika mereka. Sebab, mereka termasuk kelompok yang menganut 38 PRANALA { Maret - April 2015 } DALAM LOGIKA KON SUMEN, SESEORANG HARUS BEKERJA KERAS UNTUK MEMILIKI PENDAPATAN YANG CUKUP AGAR DAPAT MEMBELI SUATU PRODUK. MEREKA HARUS BEKERJA KERAS UNTUK MENDAPATKAN TANDA KEISTIMEWAAN, YANG PRETISIUS, DAN ME MENANGKAN PERSAINGAN. logika tertutup; toleransi dan keberagaman yang dikampanyekan oleh beberapa pihak di bawah payung demokrasi pun dianggap menjadi tantangan kerja. Mereka tampak seperti tenaga kerja yang terlatih (skilled labour). Selain itu, dalam logika produksi masyarakat konsumtif, produk juga dapat digunakan sebagai komoditas yang bernilai komersial dan menghasilkan keuntungan—keuntungan dipahami tidak hanya berupa materiil atau finansial, tapi juga keuntungan sosial, politik, dan kultural, yang akhirnya adalah upaya pencapaian nilai tukar. Maka, masyarakat konsumsi juga bersifat proaktif dalam memproduksi tanda dan makna. Tidak benar jika disebut konsumen itu pasif. Logika produksi suatu barang bagi konsumen sebagaimana produksi kekerasan, mereka mengonsumsi dan sekaligus memproduksi kekerasan. Dalam logika konsumen, seseorang harus bekerja keras untuk memiliki pendapatan yang cukup agar dapat membeli suatu produk. Mereka harus bekerja keras untuk mendapatkan tanda keistimewaan, yang pretisius, dan memenangkan persaingan. Tetapi, dalam keadaan demikian beroperasi pula kekuatan modal dan kuasa pasar yang mempengaruhi dan sistem sosial, menggeser tata nilai sekelompok orang atau masyarakat, dan kemudian membentuk sistem sosial baru. Menariknya, sistem yang baru tersebut tidak memiliki kemampuan reflektif dan tidak terkendali, sebab kebenaran dan moralitas yang mereka anut hanya semacam sistem nilai yang dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi dan kepentingan sosial-politik,9 yang tidak jauh berbeda dengan perilaku konsumen. Sebuah Prakondisi atau Prasyarat Toleransi Di pihak lain, untuk menghadang dan mengatasi gerakan kekerasan tersebut dilawan dengan wacana toleransi baik dalam kerangka demokrasi maupun dalam kearifan, kebhinnekaan dan nasionalisme. Wacana yang terakhir ini mendorong pendekatan dalam penafsiran lain mengenai keragaman, kemanusiaan (HAM), antikekerasan, dan sebagainya. Yang perlu dicatat adalah upaya menghalau kekerasan dengan pendekatan toleransi dan keragaman tersebut mengasumsikan bahwa masyarakat Indonesia diandaikan: 1) terdapat perbedaan, 2) yang mestinya dipandang sebagai keragaman. Keragaman disini berarti cara pandang sekaligus konsep nilai yang mengutamakan sikap saling menghargai, menghormati, atau yang disebut tenggangrasa. Keragaman memerlukan prakondisi yang mengakui bahwa terdapat perbedaan. Sedangkan dalam masyarakat konsumtif pada dasarnya menyembunyikan perbedaan. Di mata konsumsi antara orang kaya dan miskin tidak dilihat dan dipersoalkan. Orang yang pendapatan rendah dan tinggi dianggap sama. Pekerjaan, pendidikan, budaya, dan jenis kelamin dianggap sama. Buruh dan bos dinilai mempunyai keinginan yang sama dalam konsumsi. Pengangguran dan politikus samasama memiliki keinginan membeli kendaraan, televisi, alat komunikasi, dan seterusnya. Orang Islam dan kafir sekalipun sama. Siapapun orangnya adalah sama, sebagai konsumen. Namun, kesamaan dalam konsumsi ini di sisi lain menyimpan dan menyembunyikan perbedaan, kebutuhan, kemampuan, termasuk budaya, negara, bahasa, bahkan ideologi. Kesamaan dalam konsumsi adalah membonceng keseragaman dan mengabaikan KONSUMEN HIDUP...MEMBEDAKAN DIRI, SELALU MENJADI BENTURAN UNTUK MENDIRIKAN KELOMPOK YANG SECARA TOTAL BER BEDA, LANGSUNG, NYATA DALAM MASYARAKAT... (MEREKA) MENANDAI TING KATAN-TINGKATAN DALAM PERBEDAAN GOLONGAN, MELALUI PEMBENARAN GOLONGANNYA SENDIRI hubungan satu orang dengan yang lain, sebagaimana disebut sebelumnya. Sehingga, kesadaran terhadap keragaman sulit dipahami. Kesadaran ini dalam konsumsi adalah strategi keinginan dan ketidakpedulian. “Ini adalah pengingkaran kenyataan,” kata Baudrillard, seorang pemikir berkebangsaan Perancis.10 Kesadaran relasi sosial diganti dengan relasi konsumsi. Maka, ketidakpedulian yang dimaksud berangkat dari relasi sosial logika konsumsi bahwa hubungan manusia dengan manusia lain diandaikan dengan sebuah produk—yang pertama adalah persaingan, seperti dijelaskan di atas—memperlakukan orang lain sebagaimana memperlakukan produk. Agama, Tuhan, keyakinan dan semacamnya adalah produk kenyataan yang dipandang memenuhi kebutuhan seseorang. Maka, mengikuti pandangan kelompok keagamaan tertentu seperti halnya mengkonsumsi suatu produk tertentu. “Konsumen hidup...membedakan diri, selalu menjadi benturan untuk mendirikan kelompok yang secara total berbeda, langsung, nyata dalam masyarakat...(mereka) menandai tingkatan-tingkatan dalam perbedaan golongan, melalui pembenaran golongannya sendiri,” kata Baudrillard.11 Mereka menganggap dirinya “lebih” daripada yang lain, yakni meninggikan pihaknya dan merendahkan yang lain. Seseorang yang dapat memiliki atau menggunakan produk yang bernilai prestis akan mengganggap dirinya berbeda dengan orang lain. Dalam logika konsumsi ini, produk (kekerasan) adalah bernilai prestis (kesalehan atau perjuangan), sedang keragaman tidak dijadikan sebagai pertimbangan. Masyarakat dalam pandangan tersebut dipandang seragam. Mereka melihat keberadaannya seperti dalam medan pertempuran, padahal mereka dalam persaingan pasar. Tetapi, dalam medan yang disebut pasar sebuah produk dipandang menarik dan memberikan dorongan (terhadap kebutuhan, kepuasan, dan penyebaran nilainilai) yang sudah dipengaruhi citra atau promosi yang beredar di dalam pasar. Situasi sosial-politik memproduksi pemaknaan terhadap kekerasan yang mereka lakukan. Relasi dengan pihak tertentu (otoritas dan kemanan) membuat mereka berani melakukan identifikasi dan pembedaan diri dengan yang lain. *** PRANALA { Maret - April 2015 } 39 Perspektif Dalam logika masyarakat konsumtif, tindak kekerasan merupakan sebuah pekerjaan untuk mencapai tanda. Mereka memproduki dan mengonsumsi kekerasan. Konsumen membeli dan menggunakan tanda untuk mencapai “keistimewaan” tertentu dan itu menguntungkan bagi mereka. Hal ini disebabkan oleh cara pandang yang berlaku dalam masyarakat konsumsi bahwa; 1) relasi antar manusia diandaikan seperti persaingan, dan persaingan tersebut mereka ciptakan sendiri dan diseragamkan, sehingga mereka melihat bahwa, 2) semua orang dianggap seragam, seragam dalam kaca mata mereka dan tidak mengakui perbedaan. Hal ini adalah semacam prakondisi bagi toleransi dan kesadaran keragaman yang nirkekerasan tampaknya sulit dilakukan tanpa menggeser sistem masyarakat konsumtif dan menghalau industrialisasi lanjut—tidak berbeda jauh dengan seruan Gus Dur, perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.12 Jika tidak demikian, maka “Saya yakin bahwa di masa-masa yang akan datang, Polri masih akan menghadapi konflik-konflik agama...” kata Kapolri, Badrodin Haiti.13 (Endnotes) 1 Kriminalitas 59 persen, KDRT 8 persen, persoalan hukum 7 persen, dan konflik 26 persen. Sedangkan dilihat dari jenis konflik; konflik separatisme, konflik identitas, konflik sumber daya, konflik pemilihan dan jabatan, konflik tata kelola pemerintah, konflik main hakim sendiri, selengkapnya lihat dalam www.snpkindonesia.com/. 2 Seperti dilaporkan oleh Direktur CSIS, Phillips Vermonte, sekitar 60 persen mengatakan mereka tidak keberatan tinggal di sebelah orang dari agama lain, lebih dari 33 persen menyatakan ketidaknyamanan. Lebih dari 68 persen tidak ingin rumah ibadah selain agamanya dibangun di komunitas mereka. Penolakan hampir sama tinggi di antara mereka yang berpendidikan tinggi dan mereka yang berhenti sampai SMP; Lihat, “Survei: Toleransi Beragama Orang Indonesia Rendah,” www.tempo.co, 5 Juni 2012. 3 Menurut Wilson, mereka mendapat akses ke sumber daya dan manfaat ekonomi sering lebih penting daripada komitmen ideologis. Lihat, Ian Douglas Wilson, “As long as it’s halal: Islamic Preman in Jakarta,” dalam Greg Fealy and Sally White (eds.), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2008). Fenomena kekerasan dan organisasi semacam ini merupakan warisan Orde Baru. Orde Baru memobilisasi preman dan pemuda untuk menyerang komunis—seperti yang diperlihatkan dalam film dokumenter The Act of Killing (2012)—dan kemudian mensponsori mereka masuk ke organisasi seperti Pemuda Pancasila; Lihat, David Brown & Ian Wilson, “Ethnicized 40 PRANALA { Maret - April 2015 } Violence in Indonesia: Where Criminals and Fanatics Meet,” Nationalism and Ethnic Politics, Vol. 13, No. 3, (23 Agustus 2007), hlm. 373. 4 Seperti ketika pada kasus insiden Monas pada 2008 atau aksi penusukan anggota HKBP Ciketing pada 2010, anggota FPI dihukum jauh dari maksimum yang ada di KUHP. Lihat Sidney Jones, Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia (Jakarta: Pusad Paramadina, 2015), hlm. 10-11. Mengenai hal ini Nurcholish Madjid (Cak Nur) berpendapat bahwa perlu upaya memutus keterkaitan aktor negara dengan organisasi tersebut, serta memperkuat pluralisme. Dalam Laporan Wahid Institute 2014 menyebutkan bahwa pemerintah pusat tidak banyak mendayagunakan kekuasaanya untuk memajukan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Terdapat sikap yang mendua pemerintah. “SBY memilih mendelegasikan kekuasaannya kepada kepala daerah ketika terjadi perselisihan menyangkut IMB di HKBP Filadelfia dan GKI Taman Yasmin. Pada kasus lainnya, kepala daerah tidak ditegur karena mengabaikan perkara semacam ini.” Lihat, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan dan Inttoleransi 2014: “Utang” Warisan Pemerintah Baru (Jakarta: The Wahid Institute, 2014), hlm. 19. 5 Lihat aksi anti-komunisme akan dianggap relevan dengan dipertahankannya Ketetapan MPRS RI No. XXV 1966; aksi anti-ahmadiyah relevan dengan fatwa sesat atau SKB dua menteri; anti-liberal atau anti-syiah dengan keputusan ulama, dan sebagainya. 6 Pada April 2012, Forum Ulama Ummat Indonesa (FUUI) mengadakan diskusi yang 7 8 9 10 11 12 13 bertajuk “Merumuskan Langkah Strategis untuk Menyikapi Penyesatan dan Penghinaan Para Penganut Syiah.” Hasil diskusi tersebut menyimpulkan bahwa Syiah sesat dan bisa tidak dianggap Muslim sejati. Salah satu tamu diskusi tersebut antara lain Gubernur Jawa Barat dan Walikota Bandung. Perlu dicatat bahwa organisasi ini pada akhir 2002 silam mengeluarkan fatwa mati terhadap Ulil Abshar Abdalla, Jaringan Islam Liberal; Lihat, “Pemerintah akan mengawasi gerakan anti-Syiah,” dalam www.syiah.co/viewtopic.php?id=38. Sidney Jones, hlm. 26. Ian Douglas Wilson, 2008, hlm. 193. Sidney Jones, hlm. 23 Lihat Jean P. Baudrillard, Masyarakat Konsumsi (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), hlm. 18. Ibid, hlm. 61. Lihat, seruan Yenny Wahid dalam pawai damai peringatan Wahid Institute dan Gus Dur pada Hari Perdamaian Internasional, 21 September 2014, yang dilansir SCTV; Lihat http://news.liputan6.com/read/2106366/yenny-wahidahok-bawa-keadilan-di-tengah-masyarakat. Dalam sebuah pengantar laporan riset mengenai “Pemolisian Konflik-konflik Keagamaan di Indonesia pasca-Orde Baru” yang dilangsungkan pada Januari 2012-September 2013. Lihat dalam Rizal Panggabean & Ihsan Ali-Fauzi, Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia, Edisi Ringkas (Jakarta: Pusad Paramadina, 2014), hlm. V.